Anda di halaman 1dari 11

 R EP UB LI KA .

I D

 R EP UB LI KA TV

 G ER AI

 I HR AM

 R EP JA BA R

 R EP JO GJ A

 R ET IZE N

 B UK U R EP UB LI KA

Wednesday, 12 Rabiul Akhir 1443 / 17 November 2021


 HOME

 NEWS

 NUSANTARA

 KHAZANAH

O
O

 ISLAM DIGEST

 INTERNASIONAL

 EKONOMI
O

 REPUBLIKBOLA

 LEISURE

 
 KOLOM

 INFOGRAFIS

 REPUBLIKA TV

 ENGLISH

O
O

 KONSULTASI

 IN PICTURES

 SASTRA

 INDEKS


 

KHAZANAH
Wednesday, 12 Rabiul Akhir 1443 / 17 November 2021

 HOME

 INDONESIA

 DUNIA

 FILANTROPI

 HIKMAH

 MUALAF

 RUMAH ZAKAT

 SANG PENCERAH

 IHRAM

 
 ALQURAN DIGITAL

 Home >
 

 Khazanah  >
 

 Khazanah

Berpikir Kritis atau Berpikir


Kreatif? Pilih Mana?
Senin 16 Jul 2018 17:27 WIB
Red: Agung Sasongko

Purwa Udiutomo, General Manajer Beastudi Indonesia Dompet Dhuafa Pendidikan


Foto: Dok Dompet Dhuafa

Berpikir kreatif adalah seni menghubungkan informasi menjadi


gagasan baru.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Purwa Udiutomo, General Manajer Beastudi


Indonesia Dompet Dhuafa Pendidikan

 Thinking is the hardest work there is, which is probably the reason so few engage in
it (Henry Ford)

  

Berpikir dalam KBBI didefinisikan sebagai menggunakan akal budi untuk


mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, atau menimbang-nimbang
dalam ingatan. Berpikir banyak macamnya, di antaranya memiliki makna
yang saling bertolak belakang. Misalnya antara berpikir subjektif (menurut
pandangan/ perasaan sendiri) dengan berpikir objektif (menurut keadaan
yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi).

Atau berpikir deduktif (menyimpulkan dari yang umum ke yang khusus)


dengan berpikir induktif (menyimpulkan berdasarkan keadaan yang khusus
untuk diperlakukan secara umum). Berpikir realistik dengan berpikir
autestik. Berpikir rasional dengan berpikir irrasional. Berpikir logis dengan
berpikir emosional. Berpikir ilmiah dengan berpikir alamiah. Berpikir
sistematis dengan berpikir acak. Berpikir analisis dengan berpikir sintesis.

Lantas bagaimana dengan berpikir kritis? Apa yang menjadi lawannya?

Berpikir kritis adalah seni menganalisis gagasan berdasarkan penalaran


logis. Ada proses analisis dan evaluasi yang menyertainya. Sikap tidak
kritis bisa jadi muncul karena apatis, skeptis, atau karena taklid buta.
Hanya saja berpikir apatis, skeptis, apalagi taklid buta seringkali tidak
butuh benar-benar berpikir. Tidak perlu banyak pertimbangan, apalagi
mengedepankan akal budi. Karenanya berpikir kritis jarang ‘dibenturkan’
dengan ketiga hal ini. Dalam berbagai literatur, ‘lawan’ dari berpikir kritis
adalah berpikir kreatif. Hal ini didasarkan pada karakteristiknya yang saling
berseberangan.

Berpikir kritis dicirikan sebagai berpikir analisis, konvergen, vertical, fokus,


dan objektif dengan mengoptimalkan otak kiri. Sementara berpikir
kreatif memiliki karakteristik generatif, divergen, lateral, menyebar, dan
subjektif dengan mengoptimalkan otak kanan. Lalu mana yang lebih baik?
Berpikir kritis atau berpikir kreatif?

Berpikir kreatif adalah seni menghubungkan informasi menjadi gagasan


baru. Gagasan spektakuler adalah buah dari berpikir kreatif. Bagi yang
menggunakan referensi taksonomi Bloom, berpikir kreatif ini ada di level
yang lebih tinggi dari berpikir kritis. Dimensi proses kognitif secara berurut
dimulai dari remembering (mengingat), understanding (memahami),
applying (mengaplikasikan), analyzing (menganalisis), evaluating
(mengevaluasi), hingga creating (membuat/ menciptakan). Berpikir kritis
ada di level menganalisis dan mengevaluasi, sementara berpikir kreatif ada
di level membuat dan menciptakan. Lalu apakah artinya untuk dapat
berpikir kreatif, seseorang harus mampu berpikir kritis terlebih dahulu?
Mungkinkah berpikir kritis dan berpikir kreatif dapat dilakukan secara
simultan?

Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak.


Sebagaimana setiap manusia pasti memiliki belahan otak sebelah kiri
maupun kanan, antara berpikir kritis dengan berpikir kreatif seharusnya
tidak perlu didikotomikan. Keduanya ada di dimensi yang berbeda. Justru
harus digunakan secara simultan. Misalnya dalam menulis sebuah buku,
berpikir kreatif akan menghasilkan ide tulisan.

Namun ide-ide tersebut harus ditata dalam sebuah outline atau gunung
alur dengan berpikir kritis. Pemilihan diksi atau gaya bahasa lahir dari
berpikir kreatif. Judul buku atau bab yang menarik pun hadir karena proses
berpikir kreatif. Hanya saja buku yang rapi dengan proses editing yang baik
membutuhkan sentuhan berpikir kritis. Review buku perlu berpikir kritis,
sementara membuat buku baru perlu diawali dengan berpikir kreatif.
Semakin tampak jelas perbedaannya kan? Atau justru kian tampak
‘simbiosis mutualisme’ antara keduanya?

Berpikir kritis dan kreatif adalah dua sisi mata uang yang saling
melengkapi. Menghasilkan gagasan program inovatif butuh berpikir kreatif,
namun merencanakannya secara detail termasuk menguji kelayakan
gagasan tersebut perlu proses berpikir kritis. Kelincahan dalam mengelola
dinamika organisasi butuh berpikir kreatif, sementara melakukan
improvement (perbaikan) perlu berpikir kritis. Untuk menghasilkan gagasan
ideal yang dapat diimplementasikan dan terus dikembangkan, berpikir kritis
dan kreatif keduanya perlu untuk dilakukan secara simultan.

Dan simultan disini sangatlah realistis, bukan utopis. Misalnya, bagaimana


judul dan setiap paragraf dalam tulisan ini diawali dengan kata ‘berpikir’
dan diakhiri dengan dua pertanyaan membutuhkan proses berpikir kritis
sekaligus kreatif. Menarik bukan? Jadi, pilih mana, berpikir kritis atau
berpikir kreatif?

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya


malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)

Anda mungkin juga menyukai