Anda di halaman 1dari 21

PRIVASI PENGGUNA GADGET DI RUANG PUBLIK

Ery Bramana Sakti, Achmad Hery Fuad

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

E-mail : ery.bramanasakti@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai privasi dari pengguna gadget saat ia berada di dalam ruang publik. Gadget
memungkinkan penggunanya untuk mendekatkan diri pada orang lain dengan jarak spasial yang jauh dan
mengisolasi diri dari orang lain dengan jarak spasial dekat namun memiliki jarak emosional yang jauh. Kegiatan
yang sifatnya personal tersebut kemudian kontras dengan keberadaan subyek di ruang yang sifatnya publik, yan
memiliki publisitas yang seluas-luasnya. Analisa dilakukan untuk melihat bagaimana ruang digunakan pengguna
gadget dan bagaimana subyek berperilaku dalam kondisi ruang publik yang ramai maupun sepi. Dari hasil
analisa ditemukan bahwa pengguna akan melakukan upaya-upaya untuk mengubah ruangnya untuk bisa
mendapatkan privasi yang ia inginkan. Pada saat ruang tidak dapat diubah, pengguna akan memanfaatkan
tubuhnya dan menggunakan elemen ruang yang tidak bergerak untuk bisa mendapatkan privasi yang ia inginkan.
Selain itu, ditemukan bahwa pada pengguna gadget, privasi yang dibutuhkan tidak hanya terhadap isi dari gadget
yang ia gunakan, namun juga pada keamanan dirinya dan barang bawaannya. Ini menunjukkan bagaimana
kemajuan teknologi menyebabkan perlunya perubahan pada ruang publik untuk dapat menyesuaikan dengan
kebutuhan baru yang muncul akibat adanya bentuk kegiatan baru.

Gadget User Privacy in Public Space

Abstract

Gadget can be use to connect different people from different location with near emotional distance. It also can be
use to isolate its user from stranger in his/her vicinity. Using gadget, which has its personal value in the acitvity,
in public space is in contrast with the publicity character of a public space. This phenomenon may introduce
several problem in gadget usage in public space. Therefore, it’s required to analyse how gadget user use the
space and place around them and see how they react to crowded and empty public space. From the analysys
there are several finding regarding the use of gadget in public space. First, gadget user in public space will try to
change their surrounding space to meet their privacy needs. When the space cannot be change at all or the user
needs are not meet by the change, gadget user will use their body and other static element surrounding them to
meet their privacy needs. Privacy needs of gadget user in public space are not only for the privacy of the
personal activity in gadget usage, but also in securing their physical safety and personal belonging. This show
how technology advance may force public space design to acknowledge and accommodate or adapt to new needs
for new activities introduced by the technological advances.

1 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


Keywords : privacy, public space, technology

Pendahuluan

Kemajuan teknologi kemudian memunculkan adanya perangkat – perangkat baru yang


memudahkan kehidupan manusia. Mulai dari yang perangkat yang sifatnya membantu
kegiatan manusia secara langsung dengan membentuk perilaku baru seperti telefon sebagai
sarana komunikasi bagi manusia – manusia yang terpisahkan jarak, ataupun miniaturisasi
perangkat – perangkat yang sudah ada, seperti handphone atau telefon genggam yang juga
menimpulkan kebiasaan baru.

Ada istilah yang berkembang di masyarakat bahwa “gadget menjauhkan yang dekat,
mendekatkan yang jauh.” Perangkat elektronik dapat membantu menghubungkan dua orang
yang terpisahkan oleh jarak. Namun di lain sisi, penggunaan perangkat elektronik dapat
memisahkan penggunanya dengan kondisi disekitarnya. Hal ini menjadi sangat bertolak
belakang jika kemudian dilakukan di ruang publik, dimana kegiatan yang sifatnya sosial dapat
dan biasa dilakukan.

Apa yang terjadi dalam aktivitas yang menggunakan perangkat elektronik seperti smartphone
dapat digolongkan kedalam ranah privat. Meskipun sering kali hasil kegiatannya kemudian
muncul di ranah publik. Penggunaan smartphone untuk mengetikan pesan di media sosial
merupakan salah satu contohnya. Namun terlepas dari hasil kegiatannya, aktivitas
menggunakan gadget dianggap sebagai bentuk kegiatan yang membutuhkan privasi tertentu.
Dapat dengan mudah ditemui bagaimana seseorang merasa tidak nyaman saat ia
menggunakan smartphone-nya ketika ada orang lain di dekatnya.

Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh My Paper Singapore pada tahun 2013, 55 persen
pengguna angkutan umum merasa terganggu saat pengguna lain mengintip apa yang sedang ia
lakukan dengan perangkat genggamnya. Disisi lain, 42 persen responden mengaku jika
mereka juga mengintip orang lain. 36.7 persen responden mengatakan hal tersebut tidak bisa
dihindari karena layar perangkat tersebut ada di dalam jangkauan pandangannya. Namun 33.3
persen mengaku bahwa mereka melakukannya karena penasaran dan 20 persen karena bosan.

2 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


Namun dapat pula terjadi sebaliknya, seperti yang disebutkan oleh Hatuka dan Toch (2014)
mengenai portable private-personal territory (PPPT) dimana penggunaan perangkat
elektronik justru dilakukan dan dipertunjukkan untuk memisahkan diri mereka dari ruang
publik disekitarnya. Misalnya pada orang yang menggunakan smartphone saat ia merasa tidak
nyaman berada diantara orang – orang yang tidak ia kenal. Atau saat seseorang menggunakan
earphone atau headphone saat akan mengerjakan hal penting di notebook-nya. Ketika hal ini
dilakukan di ruang publik, yang diharapkan terjadi adalah orang lain mengerti bahwa ia tidak
ingin diganggu. Setidaknya, ia dapat pura – pura tidak mengindahkan bentuk stimulasi
apapun.

Konsep distance dan strangeness yang diutarakan oleh Simmel pada tahun 1902 kemudian
masih cukup relevan saat digunakan dalam melihat konsep pemakaian gadget yang baru
mulai muncul pada 90 tahun setelah tulisan tersebut dibuat. Penggunaan gadget dapat
menyebabkan dalam satu waktu dapat terjadi hubungan antar manusia yang memiliki jarak
spasial yang jauh, namun dengan jarak emosional yang dekat saat ia berada di tengah
kerumunan manusia yang memiliki jarak spasial dekat namun jarak emosional yang jauh.

Dari fenomena diatas kemudian dapat dirumuskan beberapa masalah yang muncul. Pertama,
bagaimana seseorang menggunakan gadgetnya di ruang publik? Perkembangan teknologi
menyebabkan terciptanya jenis – jenis kegiatan baru, yang mana kemudian dapat berakibat
pada munculnya dua pertanyaan. Bagaimana ruang yang ada dipergunakan oleh seseorang
yang menggunakan gadget? Terutama pada ruang yang tidak secara khusus dibuat dengan
mengantisipasi adanya kegiatan berupa penggunaan gadget. Yang kedua adalah, bagaimana
seseorang mengadaptasikan dirinya dan kegiatannya disaat ia tidak mungkin mengubah
kondisi ruang yang ada? Kedua hal tersebut akan dilihat berkaitan dengan personal space,
territory, distance, dan boundary dari penggunanya.

Penulisan dilakukan dengan tujuan untuk :

1. Memaparkan bagaimana ruang dalam ruang publik digunakan oleh pengguna


gadget.
2. Memaparkan bagaimana perilaku pengguna gadget di ruang publik dalam kondisi
yang sepi dan dalam kondisi yang ramai dalam kaitannya dengan privasi.

3 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


Tinjauan Teoritis

Dari beragamnya definisi mengenai privasi yang ada, kemudian dapat disimpulkan bahwa
privasi memiliki tiga karakteristik utama yaitu terkait dengan fungsinya sebagai pengatur
akses dan interaksi yang dilakukan oleh seseorang dalam kaitannya terhadap hubungannya
dengan orang lain (Altman 1975, 1977 & Inness 1992) dan sebagai alat bagi seseorang untuk
memastikan dirinya memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan terkait dengan perilaku
yang dapat ia lakukan pada setiap saat (Inness 1992 & Bell, et al 1996). Karakteristik ketiga
terkait dengan mekanisme pembentukan dari privasi itu sendiri yang beragam bentuknya
(Altman 1977 & McDougall 2002).

Keberadaan seseorang dan hubungannya dengan orang lain mengandung 2 buah unsur jarak,
yaitu jarak spasial (distance) dan jarak emosional (strangeness) (Simmel, 1950). Ruang
publik dengan minimnya pembatasan terhadap orang yang masuk di dalamnya menyebabkan
banyaknya orang yang dapat masuk di dalamnya dengan jarak spasial dekat tanpa memiliki
jarak emosional yang dekat antar satu sama lain. Sifat publik pada ruang publik, juga
menyebabkan apa yang dilakukan dalam sebuah ruang publik dapat terpublikasi seluas –
luasnya.

Selanjutnya dapat dilihat bahwa dari ketiga karakteristik tersebut terdapat aspek kontrol yang
menjadi dasar dari munculnya ketiga karakteristik tersebut. Aspek kontrol ini kemudian
diperlukan oleh seseorang saat ia berada di sebuah ruang publik, dimana dengan adanya orang
lain di sekitarnya dalam jarak spasial yang dekat namun dengan jarak emosional yang jauh,
diperlukan adanya bentuk – bentuk pengaturan agar ia dapat merasa nyaman dan aman tanpa
rasa terganggu dari keberadaan orang lain disekitarnya.

Untuk dapat melihat bagaimana seseorang melakukan kontrol dalam upayanya mendapatkan
privasi di ruang publik, diperlukan pengamatan bagaimana kondisi dari subyek dengan
melihat bagaimana personal space dan teritori yang ia miliki saat itu dan upaya – upaya apa
saja yang dilakukan orang tersebut yang berkaitan dengan pembentukan personal space dan
teritorinya. Jarak antara orang tersebut dengan orang lain serta batas – batas yang dimilikinya
kemudian juga perlu dilihat untuk menganalisis keberadaan orang tersebut dalam ruang yang
ia gunakan. Personal space sendiri berkaitan dalam upaya komunikasi non verbal terhadap

4 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


hubungan seseorang dengan orang lain (Hall, 1969), yang kemudian juga berkaitan sebagai
mekanisme dalam pembentukan privasi dari seseorang (Altman dalam Bell et al, 1996).

Dalam pembentukannya, personal space berkaitan dengan jarak yang diinginkan oleh seorang
individu terhadap individu lain sesuai keinginannya (Bell et al, 1996). Untuk melihat jarak
tersebut kemudian digunakan empat zona spasial terkait dengan bentuk hubungan dan
aktivitas yang sesuai dengan tingkat intimasinya. Empat zona spasial, dikemukakan oleh
Edward T. Hall pada tahun 1969 menandakan jarak yang terjadi diantara dua individu. Zona
spasial tersebut adalah :

a. Intimate distance (Near phase = 0 cm - 15.24 cm, Far phase = 15.24 cm – 45.72
cm)

Bentuk hubungan dapat berupa hubungan yang intim. Aktivitas yang berlaku dapat
berupa olahraga dengan kontak fisik.

b. Personal Distance (Near phase = 45.72 cm – 76.2 cm, Far phase = 76.2 cm – 1.21
m)

Bentuk hubungan dapat berupa teman dekat atau sahabat. Aktivitas yang berlaku
dapat berupa kegiatan interaksi sehari – hari dengan orang – orang tersebut.

c. Social distance (Near phase = 1.21 m – 2.13 m, Far phase = 2.13 m – 3.65 m)

Bentuk hubungan dapat berupa kolega non personal. Aktivitas yang berlaku dapat
berupa kegiatan kontak bisnis.

d. Public Distance (Near phase = 3.65 m - 7.62 m, Far phase = lebih dari 7.62 m)

Bentuk hubungan dapat berupa seseorang dengan publik. Aktivitas yang berlaku
dapat berupa pidato atau komunikasi satu orang dengan banyak orang lain.

Mekanisme penjarakkan yang dilakukan kemudian mengacu kepada keempat bentuk jarak
tersebut. Keempat jarak tersebut berkaitan dengan definisi strangeness dan distance sebagai
bentuk jarak emosional dan jarak spasial. Penjarakkan secara spasial yang dilakukan
kemudian bergantung dengan kondisi jarak emosional yang dikehendaki sehingga terjadi
keseimbangan antara jarak spasial yang terjadi dan jarak emosional yang diharapkan.

Pembatasan dapat berupa hal yang sifatnya fisik maupun non fisik. Carmona et al (2003)
menuliskan adanya bentuk “layar pembatas” visual atau aural dalam usaha untuk menjaga dan

5 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


mendapatkan privasi. Secara fungsional, ia kemudian membagi privasi dalam dua konsep,
yaitu konsep privasi visual dan privasi aural. Privasi visual kemudian berkaitan dengan
bagaimana penglihatan berkaitan dengan aspek – aspek kegiatan yang memisahkan ruang
privat dari publik. Bentuk layar pembatas dapat berupa sebuah penghalang yang sifatnya
permanen atau yang dapat berubah – ubah. Sedangkan privasi aural terkait dengan
pembatasan rangsangan suara yang tidak dikehendaki.

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya mengenai unsur komunikasi non verbal dari
sebuah personal space (Hall 1969), penjarakkan dilakukan untuk memperoleh bentuk intimasi
tertentu dalam mencapai privasi yang diinginkan. Penjarakkan dapat juga dipahami sebagai
bentuk pembatasan non fisik. Artinya, seperti “layar pembatas” visual dan aural yang
disebutkan diatas, jarak juga dapat dipahami sebagai bentuk batasan.

Terdapat berbagai konsep mengenai perilaku penggunaan gadget di ruang publik dan
kaitannya dengan privasi penggunanya, seperti Telecocoon (Habuchi dalam Varnelys dan
Friedberg, 2005), Territory Machine (Fujimoto, 2005), dan Portable Private – Personal
Territory (Hatuka dan Toch, 2014). Dari ketiga konsep tersebut kemudian didapat bahwa
penggunaan gadget dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu sebagai alat yang memungkinkan
terjadinya kegiatan yang sifatnya intim di tempat umum, maupun sebagai alat pembentuk
ruang yang intim, sehingga memungkinkan terjadinya kegiatan intim. Hal ini kemudian
menyebabkan penggunaan gadget dapat ditinjau sebagai sebuah kegiatan yang membutuhkan
privasi dan aspek – aspek kontrol yang disebutkan diatas, dan sebagai sebuah bentuk
mekanisme pembentukan privasi itu sendiri.

METODE PENELITIAN

Studi dilakukan pada dua buah food court di sebuat pusat perbelanjaan yang terletak di
kawasan Jakarta Utara. Studi dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap para
pengguna gadget di dalam kedua food court tersebut baik dari segi perilaku maupun aspek
keruangan dari ruang yang ada di sekitar mereka maupun ruang yang dibentuk oleh subyek.
Food court dipilih karena subyek lebih mungkin menggunakan gadget dalam waktu yang

6 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


lama sehingga menghasilkan bentuk – bentuk kontrol tertentu terkait privasi saat
menggunakannya.

Berikut merupakan gambaran secara umum mengenai kedua food court yang dijadikan
sebagai tempat pengamatan. Kedua food court ini sama – sama terletak di lantai 3 pusat
perbelanjaan tersebut, dimana dua food court tersebut berada bersebelahan. Food court 1
merupakan tempat makanan dimana pembeli membeli makanan di counter dan membayarnya
secara langsung untuk kemudian dibawa ke meja masing – masing. Pada food court 2
diberlakukan cara yang berbeda untuk membeli makanan, dimana pengunjung terlebih dahulu
harus membeli kartu yang menjadi tempat penyimpanan uang di kasir untuk kemudian
menggesekkan kartu tersebut di counter makanan yang ia pilih sebelum akhirnya ia membawa
makanan ke mejanya masing-masing. Food court 1 berada diantara atrium pusat perbelanjaan
tersebut dengan salah satu anchor tenant. Sedangkan food court 2 berada tepat di depan
anchor tenant tersebut, dan memiliki jalur sirkulasi vertikalnya sendiri, selain melalui food
court 1. Kedua food court tersebut berada di lantai yang sama. Namun yang membedakan,
food court 1 berada di daerah penghubung atrium pusat perbelanjaan dan anchor tenant,
sedangkan food court 2 berada di pojok bangunan.

Kedua foodcourt tersebut berada dalam pusat perbelanjaan yang dimiliki oleh pihak swasta.
Artinya, dari segi kepemilikan, ia merupakan sebuah private space. Namun dari segi
fungsinya, ia merupakan sebuah public space. Adanya unsur kepemilikan menyebabkan
adanya aturan yang ditujukan untuk membatasi publik yang berada dalam kawasan ini.
Meskipun tidak ada penyaringan secara langsung, pusat perbelanjaan yang menyasar
golongan menengah keatas ini kemudian secara tidak langsung membatasi orang yang masuk.
Karenanya kemudian ada semacamperaturan tidak tertulis yang diharapkan menjadi acuan
berperilaku di tempat ini. Adanya satpam dan petugas pembersihan menjadi penegak aturan
tersebut secara resmi dan tidak resmi. Oleh karena itu, tempat ini dapat dikatakan sebagai
privately owned-public space.

Food court 1 memiliki fasilitas seperti televisi sehingga orang yang datang dapat makan
dengan menonton TV. Adanya banyak pagar yang membatasi dengan void menyebabkan
pengunjung untuk dapat berdiri dan menyandarkan diri pada pagar sembari melihat
pengunjung lain atau bagian mal lain yang ada di bawahnya atau di sisi lain dari void tersebut.
Selain itu, karena food court ini berada di dalam ruangan, ia memiliki sistem pendingin
ruangan yang cukup sejuk. Food court ini memiliki pengaturan tempat duduk yang tetap,

7 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


dimana sudah ditentukan adanya daerah – daerah yang digunakan sebagai tempat makan dan
jalur sirkulasi. Namun, kursi dan meja yang digunakan dapat dipindah – pindahkan, sesuai
dengan kebutuhan pengunjung yang datang. Hal ini kemudian memungkinkan pengunjung
untuk datang tidak hanya untuk makan, tetapi juga untuk sekedar beristirahat, bersantai, dan
berkumpul dengan teman atau keluarga.

Sedangkan pada food court 2 tidak ada fasilitas seperti TV. Namun sebagai gantinya
foodcourt ini menggunakan ornamen – ornamen masa penjajahan sampai awal kemerdekaan
dengan nuansa kayu yang dapat menjadi daya tarik saat pengunjung sedang makan. Seperti
pada food court 1¸ food court ini memiliki sistem pendingin ruangan yang sejuk dan
pengaturan tempat duduk yang tetap. Namun, berbeda dengan food court 1¸kursi dan meja
yang digunakan di tempat ini terbuat dari kayu, sehingga cukup menyulitkan untuk dipindah-
pindahkan karena berat. Sebagai gantinya, food court ini memiliki beberapa bentuk kursi dan
meja yang dapat dipilih oleh pengunjung sesuai dengan keperluan maupun jumlahnya.

Kedua food court ini sama – sama memungkinkan pengunjung untuk menjadi penonton dan
aktor dari ruang publik. Hal ini disebabkan karena keduanya tidak memiliki sekat – sekat fisik
yang secara khusus membatasi setiap meja yang digunakan pengunjung. Akibatnya, setiap
pengunjung dapat melihat apa yang dilakukan oleh pengunjung lain. Fasilitas dan ornamen
serta jumlah makanan yang tersedia menyebabkan setiap pengunjung dapat berada di ruang
publik tersebut dengan lima needs yang disebutkan oleh Carmona, yaitu users, nonusers,
space managers and owners, public officials, dan designers.

Secara umum suasana dari kedua food court ini sama, dimana banyak orang yang lalu lalang
di jalur sirkulasi dalam area untuk makan yang telah disediakan. Hal ini terjadi baik di hari
kerja maupun hari libur. Yang membedakan hari kerja dan hari libur adalah jumlah
pengunjung yang menggunakan food court ini. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah
pengunjung yang datang ke dalam pusat perbelanjaan tersebut. Pengunjung pusat
perbelanjaan pada hari kerja jauh lebih sedikit dibandingkan dengan hari libur. Hal ini
berimbas pada jumlah kursi yang tersedia untuk digunakan oleh pengunjung food court yang
baru datang. Di hari kerja, sedikitnya pengunjung menyebabkan jumlah kursi yang tersedia
untuk duduk menjadi lebih banyak. Akibatnya, orang yang berlalu lalang di jalur – jalur
sirkulasi pun lebih sedikit karena mereka tidak perlu mencari – cari kursi terlebih dahulu.
Sedangkan di hari libur, besarnya jumlah pengunjung berakibat pada sedikitnya kursi yang
tersedia. Ini mengakibatkan besarnya jumlah orang yang berlalu lalang. Baik yang baru

8 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


datang dan akan membeli makanan, maupun yang sudah membeli makanan dan hendak
mencari tempat duduk.

Penelitian ini dibatasi pada pengguna ruang publik berupa food court di sebuah pusat
perbelanjaan di kawasan Jakarta Utara. Food court dipilih karena disana dimungkinkan untuk
mengamati subyek yang menggunakan gadget dalam kondisi diam pada waktu yang cukup
lama, Pengamatan dilakukan siang hari pada hari kerja dan hari libur. Pengguna ruang publik
tersebut dibatasi pada :

a. Rentang usia remaja sampai dewasa (12 tahun keatas). Hal ini dilakukan dengan
alasan bahwa pada rentang umur tersebut, gadget yang digunakan cenderung
merupakan milik dari subyek dengan konten yang personal terhadap subyek. Sehingga
kegiatan yang dilakukan terhadap gadget-nya memiliki unsur personal.
b. Menggunakan gadget berupa telefon genggam, perangkat multimedia jinjing, tablet,
dan komputer jinjing.
c. Merupakan pengguna ruang publik sesuai pada teori users dan nonusers ruang publik
oleh Francis (1989) dan teori pengguna ruang publik oleh Carr (1992).

Kedua teori yang disebutkan dalam poin C menjadi acuan dalam memilah subyek untuk
diamati. Menurut Francis (1989), kelompok – kelompok tersebut terbagi menjadi 5, yaitu
users, nonusers, space managers and owners, public officials, dan designers. Menurutnya,
users merupakan “…those who frequent public places and rely on them for passive and
active engagement.” (Francis, 1989, p152) Sedangkan nonusers merupakan orang – orang
yang “…pass by parks, plazas, and atriums on foot, in buses, and in cars” (Francis, 1989,
p152). Perbedaan antara seorang users dan nonusers terletak pada adanya engagement
terhadap tempat tersebut. Ketika seseorang melewati sebuah public space tanpa memiliki
keterlibatan didalamnya, ia kemudian dikatakan sebagai seorang nonusers, sesering apapun
ia melakukannya.

Menurut Carr, et al (1992), terdapat berbagai macam alasan yang melatarbelakangi


kebutuhan seseorang akan public space. Alasan – alasan tersebut kemudian menyebabkan
bagaimana seseorang akan menggunakan public space berupa comfort, relaxation, passive
engagement with environment, active engagement with environment, dan discovery. Segi
comfort berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, minum dan tempat
berlindung. Relaxation terkait pada aspek yang lebih lanjut dari apa yang dibahas oleh
comfort. Jika comfort diartikan sebagai kenyamanan, maka relaxation dapat diartikan dengan

9 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


kondisi bersantai, dimana kondisi bersantai membutuhkan seseorang untuk terlebih dulu
merasa nyaman. Passive engagement with environment merupakan bentuk keterlibatan
seseorang dengan public space namun dalam bentuk yang pasif, cenderung satu arah. Contoh
dari bentuk keterlibatan ini adalah saat seseorang datang ke sebuah public space dengan
tujuan melihat orang lain yang ada di sana. Sedangkan sebaliknya, active engagement
mengandung unsur keterlibatan yang lebih dalam dan aktif dibandingkan passive
engagement. Contohnya adalah saat seseorang datang ke public space dengan tujuan untuk
bertemu dan berinteraksi dengan temannya, ataupun dengan orang asing yang ada disana.
Ketika passive dan active engagement berkaitan dengan hal yang sifatnya familiar, discovery
terkait dengan keinginan dalam mencari pengalaman atau suasana yang baru dari sebuah
tempat.

Pengamatan dilakukan terhadap dua belas subyek, dengan enam subyek pada hari kerja dan
enam subyek pada hari libur pada rentang waktu antara 29 April 2014 sampai dengan 24 Mei
2014. Setiap waktu (hari kerja dan hari libur) terdiri dari 4 subyek yang berada di food court 1
dan 2 subyek yang berada di food court 2. Hal ini disebabkan perbedaan ukuran antara kedua
food court, sehingga jumlah kemungkinan kasus yang muncul akan berbeda. Studi kasus
disusun sebagai berikut. Subyek 1 sampai dengan 4 merupakan subyek yang mengunjungi
food court 1 pada hari kerja. Subyek 5 dan 6 merupakan subyek yang mengunjungi food court
2 pada hari kerja. Subyek 7 sampai dengan 10 merupakan subyek yang mengunjungi food
court 1 pada hari libur. Dan terakhir Subyek 11 dan 12 merupakan subyek yang mengunjungi
food court 2 pada hari libur.

Pengamatan dilakukan dalam 2 waktu yang berbeda, yaitu pada hari kerja dan hari libur. Ini
dilakukan karena adanya perbedaan kepadatan pengunjung yang terjadi di ruang publik ini.
Pengamatan di hari kerja dilakukan untuk melihat subyek yang melakukan aktivitas di kedua
food court dalam kondisi kepadatan yang rendah. Sedangkan pengamatan di hari libur
dilakukan untun melihat subyek dalam kondisi kepadatan yang tinggi. Kedua pengamatan
dilakukan hanya pada saat makan siang untuk dapat melihat persamaan dan perbedaan dari 2
tipe waktu namun pada bagian hari yang sama.

Subyek yang dipilih sengaja hanya sendiri atau berdua dengan orang lain. Hal ini dilakukan
untuk memisahkan pengguna gadget yang menggunakan gadget-nya untuk diri sendiri dengan
pengguna gadget yang menggunakan gadget-nya secara bersama – sama. Hal ini dilakukan
untuk melihat bagaimana seseorang yang berada di ruang publik menanggapi keberadaannya

10 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


saat berada di tempat umum yang berisi orang yang asing bagi subyek, sehingga sisi kontrol
dari aspek privasi dapat dilihat secara utuh.

11 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


HASIL PENELITIAN

Gambar 1 Ragam penggunaan gadget (Sumber : Ilustrasi Pribadi)

Berdasarkan hasil pengamatan kemudian ditemukan ragam cara penggunaan gadget pada
kedua food court (gambar 3.38). Gadget terlihat digunakan dengan menggunakan satu tangan,
dua tangan, ataupun diletakkan diatas meja. Cara menggunakan gadget yang berbeda
kemudian memunculkan bentuk posisi yang berbeda – beda.

Gambar 2 Ragam elemen ruang sebagai pembentuk privasi visual (Sumber : Ilustrasi Pribadi)

Kedua food court yang dijadikan sebagai tempat studi kasus tidak memiliki unsur – unsur
pembatas yang dapat digunakan untuk membentuk privasi aural. Hal ini disebabkan oleh
bentuk kedua food court yang terbuka tanpa partisi apapun, dengan bentuk pembatas antar
meja yang satu dengan meja yang lain hanya berupa penjarakkan. Sedangkan untuk pembatas

12 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


yang dapat digunakan sebagai privasi visual tidak dapat menyembunyikan subyek secara
keseluruhan dari segala sisi. Pada gambar 3.39 terlihat bahwa subyek dapat tersembunyi dari
satu sisi seperti pada Subyek 6 dan Subyek 10 karena adanya unsur seperti partisi ornamental
dan pilar. Subyek 3 juga kemudian dapat tersembunyi dari beberapa sisi karena bentuk kursi
yang ia gunakan. Namun, ketiga subyek tersebut tidak mengubah unsur – unsur yang
menyembunyikan pandangan terhadap diri mereka untuk dapat lebih menyembunyikan diri
mereka. Hal ini disebabkan karena ornamen yang ada tidak dapat digerakkan (pilar) atau sulit
untuk digerakkan (partisi dan kursi).

Gambar 3 Penggunaan kursi sebagai pembentuk privasi visual tas pada tas. (Sumber : Ilustrasi Pribadi)

Privasi visual juga dapat membatasi pandangan kepada sebagian dari tubuh subyek yang
kemudian digunakan untuk menyembunyikan barang bawaan. Misalnya pada Subyek 2,
Subyek 7, dan Subyek 8 (gambar 3.40). Ketiga subyek tersebut menggunakan kursi dengan
sandara yang berlekuk untuk kemudian menyembunyikan tas bawaannya. Subyek 2 dan
Subyek 7 kemudian memperkuat privasi visual dengan merapatkan kursi dengan meja. Hal ini
menyebabkan meja menjadi layar pembatas tambahan yang juga membantu menghalangi
pandangan akan keberadaan barang bawaan. Selain itu, meja dan kursi pada subyek 7 dan 8
membantu membentuk pembatas fisik yang menghalangi akses orang lain kepada barang
bawaan subyek meskipun mereka tidak secara langsung mengawasi. Namun Subyek 8
meletakkan kursi tempat ia menaruh tas tepat berada di sampingnya. Ini menyebabkan privasi
visual yang terbentuk hanya terbatas pada pandangan subyek yang ada di belakang dirinya.
Hal ini juga menyebabkan tidak terbentuknya batasan fisik yang kuat yang mencegah akses
pada barang bawaan subyek.

13 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


Gambar 4 Peletakan tas dalam pangkuan (Sumber : Ilustrasi Pribadi)

Ketika subyek tidak memiliki pembatas fisik yang menghalangi akses orang lain ataupun
menyembunyikan hal tertentu dari pandangan orang lain, Subyek akan menggunakan
tubuhnya sebagai pembatas fisik. Hal ini terlihat dari adanya 5 subyek yang meletakkan tas
tangannya dalam pangkuan (gambar 3.41). Kelima subyek tersebut (Subyek 1, Subyek 4,
Subyek 10, Subyek 11, dan Subyek 12) berada di waktu dan tempat yang berbeda. Para
subyek menggunakan badannya sebagai layar pembatas visual, sedangkan tangan yang sedang
menggunakan gadget digunakan sebagai pembatas fisik terhadap barang bawaan subyek. Hal
ini menunjukkan subyek yang sedang menggunakan gadget merasa tidak aman untuk
meletakkan tas atau barang berharganya di tempat lain. Ini disebabkan oleh dua hal. Yang
pertama terkait dengan ketidak adanya pembatas fisik dan visual yang dapat mengamankan
barang yang dibawa subyek. Yang kedua adalah karena keterbatasan subyek untuk dapat
mengawasi barang bawaannya saat sedang menggunakan gadget.

Dari hasil studi kasus, beberapa subyek terlihat memilih posisi atau tempat yang menyulitkan
jika ada orang lain yang berada dalam kondisi diam untuk melihat konten dari gadget yang
digunakan oleh subyek. Hal tersebut terjadi jika orang lain yang diam di dekat subyek berada

14 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


dalam jarak personal distance sampai dengan social distance yang masih berbatasan dengan
jarak personal distance. Hal ini terlihat dari Subyek 4, Subyek 7, Subyek 8 dan Subyek 12
yang memilih tempat dan posisi dimana orang lain tidak dapat melihat isi dari gadget yang ia
gunakan dengan jelas. Hal ini terjadi baik saat orang lain yang bersama subyek merupakan
orang lain yang ia kenal (Subyek 4 dan Subyek 12) maupun pada orang lain yang tidak ia
kenal (Subyek 7 dan Subyek 8).

Semua subyek menunjukkan personal space-nya saat menggunakan gadget dengan terlihat
fokus memandang layar gadget yang ia gunakan. Disini, penggunaan gadget pada umumnya
menunjukkan komunikasi non verbal dari subyek bahwa saat ia berada di ruang publik ini, ia
sedang tidak ingin diganggu. Hal ini membedakan mereka dengan para pengguna ruang
publik yang membutuhkan passive engagement dan active engagement dalam ruang publik
dengan berinteraksi dengan orang lain. Pada Subyek 4 dan Subyek 12, pemilihan posisi
kemudian juga menunjukkan personal space yang dimiliki oleh subyek pada saat itu, dimana
kedua subyek terlihat tidak atau belum ingin berinteraksi dengan orang lain yang ia kenal.

PEMBAHASAN

Kedua food court ini dengan konfigurasi ruang yang longgar dan tidak adanya pembatasan
manusia yang ada didalamnya menyebabkan teritori yang dapat dibentuk oleh subyek
cenderung terbatas. Hal ini disebabkan karena ruang yang dapat berubah – ubah untuk
mengakomodasi kebutuhan pengguna yang berbeda-beda jumlahnya membutuhkan ruang
yang terbuka, dengan perabot yang mudah dipindah – pindahkan. Akibatnya, perabot yang
ada tidak dapat menjadi pembatas fisik yang kuat untuk sepenuhnya meletakkan kontrol
interaksi pada pengguna. Subyek dalam kedua food court ini akhirnya selalu berada dalam
kondisi privasinya terancam. Namun, food court 2 dengan kursi yang bersenderan lebih tinggi
dan meja kursi yang terbuat dari bahan kayu dapat membentuk teritori yang lebih kuat, jika
dibandingkan dengan food court 1 yang memiliki kursi bersandaran rendah dan meja kursi
yang terbuat dari plastik.

Dari hasil studi kasus, kemudian dapat dilihat bahwa ruang yang ramai dan sepi pada kedua
food court ini berpengaruh pada ada atau tidaknya orang lain pada daerah personal distance

15 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


dan social distance dari pengguna. Saat ruang di sekitar subyek ramai dengan orang lain yang
berdiam didaerah tersebut, terlihat adanya pembatasan akan pandangan kepada konten gadget
subyek. Sedangkan saat ruang disekitar subyek sepi, privasi pengguna gadget lebih banyak
berkaitan pada unsur keamanan dari pengguna dan barang bawaannya, bukan dari konten dari
gadget itu sendiri. Teralihkannya pandangan pengguna dari ruang tempat ia berada ke layar
gadget yang ia gunakan menimbulkan rasa tidak aman tersebut. Pengaturan akses visual
kemudian baru muncul saat adanya orang lain yang tidak bergerak di sekitar subyek dalam
radius personal distance dan perbatasannya dengan social distance. Hal ini disebabkan karena
pada jarak tersebutlah kemudian konten dari gadget yang digunakan seseorang dapat mulai
jelas terlihat. Pengguna gadget kemudian menunjukkan keberadaan dirinya yang sedang sibuk
dengan gadget-nya sehingga ia tidak ingin diganggu meskipun ia sedang berada di ruang
publik.

Ruang dalam ruang publik, dalam hal ini food court, kemudian digunakan oleh pengguna
gadget dengan memilih titik – titik dimana ia sebisa mungkin mendapatkan layar pembatas
untuk membentuk teritori yang sekuat mungkin. Hal ini disebabkan karena teritori yang kuat
dapat menghasilkan keamanan bagi barang bawaannya disaat ia sedang tidak dapat
mengawasi secara langsung barang bawaanya karena ia sedang menggunakan gadget-nya.
Teritori yang kuat membutuhkan batasan secara fisik yang mencegah akses terhadap diri dan
area teritorinya, dan batasan yang sifatnya menghalangi secara visual.

Namun, pada kedua food court ini, teritori yang kuat sulit untuk dibentuk. Hal ini disebabkan
karena sifat dari ruang publik itu sendiri. Sebagai tempat untuk makan yang digunakan oleh
banyak orang, kedua food court ini memiliki bentuk ruang yang luas terbuka dengan partisi
seminimal mungkin. Hal ini mengakibatkan tidak adanya elemen ruang yang dapat menjadi
pembatas pembentuk privasi visual yang dapat menghalangi pandangan kepada pengguna
secara keseluruhan. Elemen ruang yang ada hanya mampu menyembunyikan pengguna secara
sebagian ataupun hanya dari sisi – sisi tertentu. Elemen ruang yang dimaksud beragam, baik
yang sifatnya tetap seperti pilar, semi tetap seperti partisi ornamental ataupun tidak tetap
seperti perangkat meja dan kursi.

Selain itu, kedua food court ini memiliki konfigurasi ruang yang dapat diubah – ubah dalam
cakupan mikro. Ini disebabkan karena banyaknya ragam pengunjung yang datang dengan
jumlah dan kebutuhan yang berbeda. Pengunjung yang datang dapat memindahkan dan
menyesuaikan meja dan kursi yang ia gunakan, secara jumlah maupun secara posisi. Hal ini

16 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


lebih jelas terlihat di food court 1 dimana jenis meja dan kursi yang tersedia umumnya
memiliki bentuk yang sama di hampir seluruh bagiannya dan material yang ringan sehingga
mudah dipindahkan. Sedangkan pada food court 2 hal ini masih tetap terjadi, namun tidak
dalam efek yang sebesar food court 1. Hal ini disebabkan karena food court 2 memiliki
berbagai bentuk meja dan kursi yang ditujukan pada pengunjung yang berbeda sesuai dengan
jumlahnya. Selain itu material kayu yang berat mengurangi kemungkinan adanya perubahan
posisi kursi dan meja.

Kedua food court yang merupakan tempat untuk makan tidak dirancang secara spesifik untuk
kegiatan – kegiatan yang melibatkan penggunanan gadget. Hal ini kemudian memunculkan
dua bentuk perilaku yang muncul dari pengguna. Yang pertama berkaitan dengan adanya
bentuk perilaku perubahan bentuk ruang dan kegunaan benda dalam ruang yang digunakan,
sedangkan yang kedua berkaitan dengan adaptasi dari tubuh si pengguna saat ia tidak mampu
mengubah dan/atau mendapatkan ruang yang ia butuhkan dalam kaitannya dengan privasi.
Bentuk pertama dapat dilihat dari bentuk – bentuk penggunaan kursi yang didekatkan dengan
meja untuk membentuk batasan fisik yang menghalangi akses fisik maupun visual terhadap
dirinya dan barang bawaannya. Pada bentuk perilaku ini terdapat perubahan bentuk ruang,
dimana semula posisi kursi tidak menempel dengan meja kemudian diubah menjadi
menempel dengan meja. Selain itu kegunaan benda pun bergerser, yang awalnya kursi
digunakan sebagai tempat duduk kemudian dijadikan tempat menyembunyikan benda.

Kedua bentuk perilaku tersebut kemudian mengakibatkan terlihatnya kecenderungan subyek


untuk memiliki personal space yang kecil saat berada dalam kondisi ramai jika dibandingkan
dengan pengguna saat berada dalam kondisi sepi. Selain itu, personal space pengguna pada
ruang – ruang yang tidak memiliki elemen – elemen yang mampu membentuk teritori yang
kuat juga cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan pengguna yang berada dalam ruang
dengan elemen ruang yang dapat membantu membentuk teritori yang lebih kuat. Ini terlihat
misalnya pada subyek yang berada dekat dengan pilar, partisi ornamental ataupun kursi yang
memiliki sandaran tinggi.

KESIMPULAN

Menjawab dua pertanyaan yang ada dalam tujuan penulisan, yaitu :

17 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


1. Memaparkan bagaimana ruang dalam ruang publik digunakan oleh pengguna
gadget.
2. Memaparkan bagaimana perilaku pengguna gadget di ruang publik dalam kondisi
yang sepi dan dalam kondisi yang ramai dalam kaitannya dengan privasi.

Maka kemudian penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut.

Pengguna gadget menggunakan ruang publik dalam beberapa cara. Yang pertama pada
kondisi gadget digunakan saat sedang beristirahat secara sementara. Pada kondisi ini ruang
digunakan dengan cara tanpa melakukan perubahan. Yang kedua pada kondisi dimana gadget
digunakan sebagai aktivitas utama yang membutuhkan bagian dari ruang publik tersebut.
Meskipun fungsi utama food court merupakan tempat makan, namun adanya fasilitas –
fasilitas berupa tempat duduk dan meja menyebabkan munculnya kegiatan utama baru dalam
food court seiring dengan menjamurnya gadget. Disini, pengguna melakukan berbagai cara
agar dirinya dapat menggunakan ruang tersebut seperti yang ia butuhkan.

Kebutuhan yang dimaksud, dalam tulisan ini, berkaitan dengan kebutuhan privasi dari
pengguna gadget. Privasi yang dimaksud kemudian terbagi menjadi dua. Yang pertama
berkaitan dengan kontrol akses orang lain terhadap konten dari gadget yang digunakan. Yang
kedua berkaitan dengan kontrol akses orang lain terhadap diri subyek itu sendiri. Hal ini
kemudian berkaitan dengan ada atau tidaknya bentuk pembatasan antara subyek dengan
bagian lain subyek. Batasan yang dimaksud dapat berupa batasan fisik yang dapat mencegah
akses fisik, selanjutnya membentuk teritori yang kuat, maupun batasan visual yang yang
mencegah pandangan dari orang lain.

Ruang publik yang berisi banyak orang baik orang yang ia kenal maupun orang asing
kemudian belum tentu dapat memiliki elemen - elemen yang dapat menghasilkan batasan –
batasan tersebut. Hal ini kemudian terjadi pada ruang publik yang tidak secara khusus
dirancang untuk kegiatan penggunaan gadget. Hal ini kemudian memunculkan bentuk –
bentuk perilaku adaptasi yang muncul. Perilaku ini muncul bergantung pada tingkat
keramaian ruang publik. Namun secara umum bentuk perilaku yang muncul terbagi menjadi
dua, yaitu yang berkaitan dengan perubahan ruang dan yang berkaitan dengan penggunaan
elemen tubuh. Ruang yang ada diubah agar sebisa mungkin dapat membentuk batasan fisik
dan visual, sembari memanfaatkan elemen – elemen ruang yang sifatnya tidak dapat bergerak.

18 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


Elemen tubuh kemudian digunakan saat elemen ruang yang ada tidak mampu membentuk
batasan fisik dan visual, ataupun tidak dapat menyediakan pembatasan secara cukup.

Kemudian dari penelitian disimpulkan diagram sebagai berikut terkait cara – cara penggunaan
ruang publik oleh pengguna gadget.

19 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


Gambar 5 Diagram alur perilaku pengguna gadget di ruang publik (sumber : Ilustrasi pribadi)

DAFTAR REFERENSI
Altman, Irwin. Privacy Regulation : Culturally Universal or Culturally Specific?.Dalam
Journal of Social Issues.1977

Arrendt, Hannah. Human Condition.1998

Baum, Andrew., Bell, Paul A., Fisher, Jeffrey D., Greene, Thomas C. Environmental
Psychology fourth edition. 1996

Carr, Stephen., Francis, Mark., Rivlin, Leanne G., Stone, Andrew M. Public Space.
1992

Carmona, Matthew., Heath, Tim., Oc, Taner., Tiesdell, Steven. Public Places – Urban
Spaces. 2003

Carmona, Matthew., Tiesdell, Steven. Urban Design Reader.2007.

Francis, Mark. Control as Dimension of Public-Space Quality.Dalam Public Places and


Spaces. 1984

Fujimoto, Kenichi. The Third-Stage Paradigm : Territory Machines from the Girls
Pager Revolution to Mobile Aesthetics. Dalam Personal, Portable, Pedestrian. Mobile
Phones in Japanese Life. 2005

Hatuka, Tali dan Toch, Eran. The Emergence of Portable Private-Personal Territory :
Smartphones, Social Conduct, and Public Spaces. Dalam Urban Studies Journal. 2014.

Hall, Edward T. The Hidden Dimension. 1969

Inness, Julie C. Privacy, Intimacy and Isolation.1992

McDougall, Bonnie S. Love Letters and Privacy in Modern China.2002

Simmel, Georg. The Stranger. Dalam “The Sociology of Georg Simmel”.1950

Varnelis, Kazys dan Friedberg, Anne. Place: The Networking of Public Space.Dalam
Networked Publics. 2008

20 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014


Chua, Atalia. Singapore Commuters Peeved By Gadget Peeking. Dimuat dalam
AsiaOne News, 5 Juni 2013.
http://news.asiaone.com/News/Latest%2BNews/Singapore/Story/A1Story20130605-
427524.html (diakses pada 13 Mei 2014)

21 Universitas Indonesia

Privasi pengguna..., Ery Bramana Sakti, FT UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai