Anda di halaman 1dari 2

Semua orang pasti ingin dihormati atau setidaknya diuwongke.

Saat memiliki posisi atau


pangkat lebih tinggi, kemudian diperlakukan semena-mena atau disepelekan oleh orang
yang pangkatnya lebih rendah, semua orang pasti merasa kecewa dan sedih.

Penghormatan yang diberikan seseorang, memang acapkali sangat tergantung pada jabatan atau
kekuasaan yang dimiliki. Ketika kekuasaan tak lagi di tangan, saat jabatan sudah melayang,
banyak orang berpaling, dan tak lagi merasa perlu merasa hormat.

Mengapa tradisi atau kecenderungan semacam itu, demikian kental terasa di negeri kita ? Hal
ini terjadi, karena jabatan atau kekuasaan acapkali dijadikan sebagai power, untuk menjalankan
kebijakannya.

Kebijakan yang lebih dominan didasari oleh power, hampir selalu mengabaikan nurani dan
terjerumus pada sikap semena-mena. Alhasil promosi dan rekrutmen yang dilakukan lebih
didasari kepentingan (vested interested), serta pertimbangan like or dislike. Bahkan tak jarang
mesti menyediakan upeti dulu, baru mendapat jabatan yang diinginkan.Akibatnya
bermunculanlah pejabat berpangkat ‘nagabonar’ serta penunjukan pejabat tidak sesuai dengan
kompetensinya.

Jabatan dan kekuasaan memang selalu menawarkan kemewahan. Sebab, dengan jabatan di
tangan, seseorang bisa dengan mudah ‘mengutak-atik’ struktur pejabat di bawahnya, sekaligus
menebar keresahan, yang membuat para bawahan merasa perlu, untuk selalu rajin ‘setor muka’
dan ‘angkat telor’.

Makan-minumlah senang-senanglah, dalam pesta kehidupan dunia, tapi ingatlah gunakan pikir,
bahwa pesta pasti ‘kan berakhir. Dunia hanyalah persinggahan, dari sebuah perjalanan panjang,
dunia bukanlah tujuan. Namun hanya ladang tempat bertanam.

Begitu banyak orang yang terbius candu jabatan, hingga sering alpa menakar dan mengukur kekuatan
sendiri. Kekuatan dimaksud, bukan hanya kekuatan pendanaan, yang lebih penting lagi adalah
kekuatan raga mereka, yang beberapa di antaranya sudah mulai pikun.

Peran dan keberadaan seseorang dalam sebuah institusi apa pun, tak ditentukan dan tidak
selamanya tergantung pada jabatan. Idealnya jabatan yang disandang adalah jaminan kualitas
seseorang dalam bidangnya. Tetapi faktanya tidak selalu demikian.

Kreativitas bisa dipicu dan dipaksa. Namun pemaksaaan terhadap kreativitas itu hanya dimungkinkan
dapat berjalan mulus, apabila didukung kualitas. Tanpa kualitas, semuanya cuma sebatas karya apa
adanya alias bukan karya lawas yang berkelas…..!

Persahabatan sesungguhnya lebih berharga dibanding percintaan.

Mengapa demikian ? Sebab percintaan seringkali berujung duka, benci dan dendam. Sedangkan
persahabatan hampir dapat dipastikan sangat jarang melahirkan kebencian. Bahkan bisa jadi
persahabatan akan menumbuhkan benih-benih kekaguman dan perasaan sayang yang positif.

Rayu dulu, tikam kemudian. Teori dan jargon ini sering kita alami dalam kehidupan.
Tak hanya dalam bidang politik, juga dalam kehidupan sosial dan percintaan.

Saat masih mesranya jalinan kasih, aksi rayu-merayu, bisa muncul sepanjang hari. Mulai pagi,
siang, sore hingga malam. Tetapi saat hubungan putus, aksi saling tikam pun mulai dilancarkan.
Segala aib tak lagi tabu dibukakan.
Begitu juga dalam hal pertemanan. Ketika semuanya masih baik-baik saja, jalinan silaturrahmi
terus dibina sehingga yang kelihatan cuma kebaikannya saja. Saat persahabatan retak, kebaikan
dilupakan, keburukan dibeberkan.

Tetapi yang lebih parah dan bisa mengundang implikasi sosial meluas, jika aksi rayu dulu,
tikam kemudian itu mewabah di kalangan elite politik dan lingkar kekuasaan.

Dan memang aksi main tikam teman seperjuangan, lumrah terjadi di jagad politik. Itulah
sebabnya sering muncul sebutan Brutus, bagi mereka yang bermental pengkhianat dan ‘kutu
loncat’.

Manusia sering lebih mementingkan gengsi ketimbang prestasi. Manusia juga lebih suka
mendahulukan emosi daripada bisikan nurani.

Tetapi, masih ada juga manusia yang bisa mengontrol diri dan menjadikan jabatan, harta, dan
hidupnya semata-mata sebagai washilah (sarana) untuk mengabdi padaNya.

Masih ada pula manusia yang sering merayu, tak paham soal tikam-menikam, bahkan
suka menabur benih kebahagiaan bagi banyak orang. Semoga kita bisa menjadi bahagian dari
kualifikasi manusia, yang jumlahnya relatif kecil itu.

Fesbuk juga akan menyesatkan, bila dijadikan sebagai sarana untuk mendiskreditkan orang lain. Untuk
itu, fesbuk seharusnya hanya dijadikan sebagai sarana mempererat silaturrahmi, bukan sebagai alat
mencari mangsa.

Anda mungkin juga menyukai