Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERKEMBANGAN OPERATOR SELULER DI-INDONESIA


HINGGA SAAT INI

NAMA : DESNO DEMITRIUS BOKIMNASI


NIM : 200301024
KELAS/SEMESTER : B/III
MATA KULIAH : PENGANTAR SISTEM MOBILE DAN NIRKABLE
PRODI : TEKNIK INFORMATIKA

TEKNIK DAN PERANCANGAN


UNIVERSITAS SAN PEDRO KUPANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Telekomunikasi seluler di Indonesia mulai dikenalkan pada tahun 1985 (walaupun baru
beroperasi pada 1986) dan hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang
pertama mengadopsi teknologi seluler versi komersial. Hingga 1993, teknologi seluler yang
digunakan adalah NMT (Nordic Mobile Telephone) dari Eropa (sejak 1985), disusul oleh
AMPS (Advanced Mobile Phone System) dari Amerika Serikat (sejak 1991), keduanya
dengan sistem analog. Teknologi seluler yang masih bersistem analog itu seringkali disebut
sebagai teknologi seluler generasi pertama (1G). Pada tahun 1995 diluncurkan teknologi
generasi pertama CDMA (Code Division Multiple Access) yang disebut ETDMA (Extended
Time Division Multiple Access) melalui operator Ratelindo yang hanya tersedia di beberapa
wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Sementara itu di dekade yang sama, diperkenalkan teknologi GSM (Global System for
Mobile Communications) yang membawa teknologi telekomunikasi seluler di Indonesia ke
era generasi kedua (2G). Pada masa ini, Layanan pesan singkat (Inggris: short message
service) menjadi fenomena di kalangan pengguna ponsel berkat sifatnya yang hemat dan
praktis. Teknologi GPRS (General Packet Radio Service) juga mulai diperkenalkan, dengan
kemampuannya melakukan transaksi paket data. Teknologi ini kerap disebut dengan generasi
dua setengah (2,5G), kemudian disempurnakan oleh EDGE (Enhanced Data Rates for GSM
Evolution), yang biasa disebut dengan generasi dua koma tujuh lima (2,75G). Telkomsel
sempat mencoba mempelopori layanan ini, tetapi kurang berhasil memikat banyak
pelanggan.[1] Pada tahun 2000, sebenarnya di Indonesia telah dikenal teknologi CDMA
generasi kedua (2G), dengan awalnya masih berjenis CDMAOne. Kemudian, sejak 2002
muncul operator sistem CDMA yang lebih mutakhir, yaitu CDMA2000.
Pada 2006 mulai muncul operator 3G pertama yaitu Telkomsel pada 15 Agustus 2006
(sebenarnya yang pertama mendapatkannya adalah PT Cyber Access Communication dan PT
Natrindo Telepon Seluler pada 2003 dan 2004, namun keduanya baru mengoperasikannya
pada 2007).[3] Selanjutnya, operator-operator lain juga meluncurkan jaringan ini pada 2006-
2007 dan selanjutnya juga menjadi 3,5G dengan teknologi HSDPA (High-Speed Downlink
Packet Access) yang mampu memungkinkan transfer data secepat 10 Mbps. Pada tahun 2011,
lewat teknologi WiMAX BWA, mulai diperkenalkan sistem 4G, namun pemakaiannya baru
masif setelah sistemnya menjadi LTE yang diluncurkan pada 2013 pertama kali oleh BOLT!.
Setelah Bolt, operator yang sudah ada juga ramai-ramai menggelar jaringan 4G, dengan kini
Smartfren merupakan yang cakupannya terluas. Smartfren juga menjadi pionir akan
perkembangan sistem termutakhir saat ini, yaitu 4,5G pada 20 Agustus 2015 dan selanjutnya
disusul oleh operator lain seperti Indosat dan XL pada akhir 2016.Saat ini, sistem 4,5G
merupakan sistem terbaru yang digunakan di Indonesia dan banyak operator yang
mengoperasikannya pararel dengan sistem GSM (2G/3G). Di masa depan, diperkirakan
Indonesia juga bisa menikmati 5G, teknologi termutakhir jaringan seluler dalam beberapa
tahun kedepan.
Berikut ini teknologi jaringan seluler yang digunakan di Indonesia :

1G
NMT (Nordic Mobile Telephone): 1985-2006
AMPS (Advanced Mobile Phone System): 1991-2003

2G/2,5G
GSM (Global System for Mobile Communication): 1993-sekarang
GSM 900 MHz: 1993-sekarang
GSM 1800 MHz (dahulu DCS-1800): 2001-sekarang
GPRS (General Packet Radio Service): 2001-sekarang
EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution): 2004-sekarang
CDMAOne: 2000-2003
D-AMPS (Digital AMPS): 1995-2003
CT2 (Telepoint): 1996-1999

3G/3,5G
CDMA2000 1x: 2002-2017
EVDO (Evolution-Data Optimized): 2003-2017
UMTS (Universal Mobile Telecommunications System): 2006-sekarang
HSPA (High-Speed Packet Access): 2006-sekarang

4G/4,5G
WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access): 2011-2015
LTE (Long-Term Evolution): 2013-sekarang

5G
NR (New Radio): 2021-sekarang
Industri
Penyedia layanan telekomunikasi seluler yang mendominasi saat ini di Indonesia (dari atas ke
bawah: Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, 3 dan smartfren).
Saat ini, ada 8 operator telekomunikasi seluler di Indonesia (dengan 5 yang mendominasi).
Hampir semuanya mengoperasikan jaringan berbasis 4G LTE, kecuali PSN yang
menggunakan telepon satelit.
a. PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), beroperasi sejak 1995. 171,1 juta pengguna
pada 2019, sistem GSM, 4G LTE, dan 5G.
b. PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo), beroperasi sejak 1993 (dahulu dibawah Satelindo
dan Indosat-M3). 59,3 juta pengguna pada 2019, sistem GSM, 4G LTE, dan 5G.
c. PT XL Axiata Tbk (XL), beroperasi sejak 1996. 56,7 juta pengguna pada 2019, sistem
GSM, 4G LTE, dan 5G.
d. PT Hutchison Tri Indonesia (3 Indonesia), beroperasi sejak 2007. 30,4 juta pengguna
pada 2019, sistem GSM dan 4G LTE.
e. PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren), beroperasi sejak 2002. 13,3 juta pengguna
pada 2019, sistem 4G LTE (dulu CDMA2000).
f. PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (Net1 Indonesia), beroperasi sejak 1995.
200.000 pengguna pada 2019, sistem 4G LTE (dulu CDMA2000 dan NMT).
g. PT Berca Global Access (Hinet), beroperasi sejak 2012. Sistem 4G LTE (dulu
WiMAX).
h. PT Pasifik Satelit Nusantara (ByRU). Sistem telepon satelit.
i. Selain itu, pernah ada berbagai pemain dalam industri ini yang tidak lagi beroperasi:
j. PT Rajasa Hazanah Perkasa (NMT 1985-1995, sejak 1995 dialihkan ke PT Mobile
Selular Indonesia - kini Sampoerna Telekomunikasi Indonesia)
k. PT Elektrindo Nusantara (AMPS 1991-1995, sejak 1995 dialihkan ke PT Komunikasi
Selular Indonesia/Komselindo)
l. PT Centralindo Pancasakti Cellular (AMPS 1991-1995, sejak 1995 dialihkan ke PT
Metro Selular Nusantara/Metrosel)
m. PT Telekomindo Primabhakti (AMPS 1991-1996, sejak 1996 dialihkan ke PT
Telekomindo Selular Raya/Telesera)
n. PT Komunikasi Selular Indonesia/Komselindo (AMPS/D-AMPS 1995-2003,
CDMAOne 2000-2003. Digabungkan ke Mobile-8 Telecom pada 2003).
o. PT Metro Selular Nusantara/Metrosel (AMPS 1995-2003. Digabungkan ke Mobile-8
Telecom pada 2003).
p. PT Telekomindo Selular Raya/Telesera (AMPS 1996-2003. Digabungkan ke Mobile-
8 Telecom pada 2003).
q. PT Telepoint Nusantara/Telepoint (CT2 1996-1999).
r. PT Axis Telekom Indonesia - dikenal dengan merek AXIS (dahulu NTS dan Lippo
Telecom. GSM 2001-2013, merger dengan XL Axiata pada 2013)
s. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk - dikenal dengan merek Flexi (CDMA2000 2002-
2014)
t. PT Bakrie Telecom Tbk - dikenal dengan merek Esia, AHA, Wifone, Wimode,
Ratelindo (CDMA2000 2003-2014 dan ETDMA 1993-2006)
u. PT Satelit Palapa Indonesia/Satelindo (GSM 1993-2003, merger dengan Indosat pada
2003)
v. PT Indosat Multimedia Mobile/Indosat-M3 (GSM 2001-2003, merger dengan Indosat
pada 2003)
w. PT Smart Telecom - dikenal dengan merek Smart (CDMA2000 2006-2010,
operasional digabungkan ke Mobile-8 Telecom pada 2010-2011)
x. PT Internux - dikenal dengan merek BOLT! (4G LTE 2013-2018)
y. PT First Media Tbk - dikenal dengan merek Sitra (WiMAX 2010-2013)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penulisan Makalah ini adalah:

1. Bagaimana Perkembangan Operator Seluler Di Indonesia Hingga Saat Ini

2. Sejarah Perkembangan Operator Seluler


BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH

1. 1985-1993: Perkembangan awal


Teknologi komunikasi seluler mulai diperkenakan pertama kali di Indonesia ketika Perumtel
bersama dengan PT Rajasa Hazanah Perkasa mulai menyelenggarakan layanan komunikasi
seluler dengan mengusung teknologi NMT-450 (yang menggunakan frekuensi 450 MHz)
melalui pola bagi hasil. Telkom mendapat 30% sedangkan Rajasa 70%. Layanan yang sudah
diluncurkan pada 1985 ini kemudian berubah menjadi NMT-470, modifikasi NMT-450
(berjalan pada frekuensi 470 MHz, khusus untuk Indonesia). Rajasa merupakan operator
tunggal dari sistem NMT.
Pada tahun 1991, teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System, mempergunakan
frekuensi 800 MHz dan merupakan cikal bakal CDMA saat ini) dengan sistem analog mulai
diperkenalkan ke publik. Teknologi AMPS ditangani oleh tiga operator: PT Elektrindo
Nusantara, PT Centralindo Panca Sakti, dan PT Telekomindo Primabhakti (yang pertama
adalah Centralindo pada Juli 1991, disusul oleh Elektrindo dan Telekomindo selanjutnya).
Regulasi yang berlaku saat itu mengharuskan para penyelenggara layanan telepon dasar
bermitra dengan Perumtel (umumnya dengan sistem bagi hasil).
Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum bisa dimasukkan ke
dalam saku karena ukurannya yang besar dan berat, rata-rata 430 gram atau hampir setengah
kilogram. Harganya pun masih mahal, sekitar Rp10 juta. Operasi sistem AMPS dan NMT ini,
pada umumnya ditujukan bagi pengguna telepon mobil, dan cakupan layanannya terbatas
bagi setiap operator.
2. 1993-2000: Kemajuan dan penurunan
Pada Oktober 1993, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) memulai pilot-project
pengembangan teknologi generasi kedua (2G), GSM, di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia
dihadapkan pada dua pilihan: melanjutkan penggunaan teknologi AMPS atau beralih ke GSM
yang menggunakan frekuensi 900 MHz. Akhirnya, Menristek saat itu, BJ Habibie,
memutuskan untuk menggunakan teknologi GSM pada sistem telekomunikasi digital
Indonesia.
Pada waktu itu dibangun 3 BTS (Base Transceiver Station), yaitu satu di Batam dan dua di
Bintan. Persis pada 31 Desember 1993, pilot-project tersebut sudah on-air. Daerah Batam
dipilih sebagai lokasi dengan beberapa alasan: Batam adalah daerah yang banyak diminati
oleh berbagai kalangan, termasuk warga Singapura. Jarak yang cukup dekat membuat sinyal
seluler dari negara itu bisa ditangkap pula di Batam. Alhasil, warga Singapura yang berada di
Batam bisa berkomunikasi dengan murah meriah, lintas negara tapi seperti menggunakan
telepon lokal. Jadi pilot-project ini juga dimaksudkan untuk menutup sinyal dari Singapura
sekaligus memberikan layanan komunikasi pada masyarakat Batam.

PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul sebagai operator GSM pertama di Indonesia,
melalui Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No. PM108/2/MPPT-93,
dengan awal pemilik saham adalah PT Telkom Indonesia (30%), PT Indosat (10%), dan PT
Bimagraha Telekomindo (60%),dengan wilayah cakupan layanan meliputi Jakarta dan
sekitarnya. Pada periode ini, teknologi NMT dan AMPS mulai ditinggalkan, ditandai dengan
tren melonjaknya jumlah pelanggan GSM di Indonesia. Beberapa faktor penyebab lonjakan
tersebut antara lain, karena GSM menggunakan Kartu SIM yang memungkinkan pelanggan
untuk berganti handset tanpa mengganti nomor. Selain itu, ukuran perangkat juga sudah lebih
baik dengan lebih mudah digenggam.
Kesuksesan pilot-project di Batam dan Bintan membuat pemerintah memperluas
daerah layanan GSM ke provinsi-provinsi lain di Sumatra. Untuk memfasilitasi hal itu, pada
26 Mei 1995 didirikan sebuah perusahaan telekomunikasi bernama Telkomsel, sebagai
operator GSM nasional kedua di Indonesia, dengan kepemilikan bersama Telkom dan Indosat
(65%-35%). Pada akhir tahun 1996, PT Excelcomindo Pratama (Excelcom, sekarang XL
Axiata) yang berbasis GSM muncul sebagai operator seluler nasional ketiga. Telkomsel yang
sebelumnya telah sukses merambah Medan, Surabaya, Bandung, dan Denpasar dengan
produk Kartu Halo, mulai melakukan ekspansi ke Jakarta. Pemerintah juga mulai turut
mendukung bisnis seluler dengan dihapuskannya bea masuk telepon seluler. Alhasil, harga
telepon seluler dapat ditekan hingga Rp1 juta. Pada 29 Desember 1996, Maluku tercatat
menjadi provinsi ke-27 yang dilayani Telkomsel. Untuk membantu pengembangan teknologi
GSM pada saat itu, tiga operatornya sama-sama mengundang partner dari investor asing.
Satelindo menggandeng Deutsche Telekom pada 3 April 1995 dengan 25%
kepemilikan.Telkomsel menggandeng KPN dengan 17,2% saham pada 1996, sedangkan di
tahun sebelumnya (Oktober 1995) Excelcomindo sudah menggandeng NYNEX dan Mitsui
dengan masing-masing 23% dan 4% saham.
Selain perkembangan pesat dari teknologi GSM, juga berkembang beberapa teknologi
lain, yaitu CT2, TDMA dan PHS. Penggunaan teknologi GMH 2000/ETDMA diperkenalkan
oleh Ratelindo. Layanan yang diberikan oleh Ratelindo berupa layanan Fixed-Cellular
Network Operator, yaitu telepon rumah nirkabel. Teknologi CT2 diperkenalkan oleh PT
Telepoint Nusantara pada 12 November 1996, dengan modal awal 1.000 base station.PHS
sendiri berusaha diperkenalkan oleh PT Indoprima Mikroselindo (Primasel) pada 1996,
dengan wilayah layanan awal di Jawa Timur (walaupun akhirnya tidak pernah
dioperasikan).Baik PHS maupun CT2 sendiri merupakan teknologi telepon nirkabel,
walaupun tidak sama/kompatibel dengan jenis GSM. Bagaimanakah dengan sistem AMPS
dan NMT? Operator dari dua jenis sistem analog ini masih bertahan, dan kini juga tidak lagi
untuk telepon mobil melainkan juga telepon seluler. Operasionalnya tidak lagi berbentuk bagi
hasil, melainkan kini berupa perusahaan patungan bersama Telkom.
Pada 1995, operator tunggal NMT di Indonesia, yaitu PT Rajasa Hazanah Perkasa
mentransformasikan proyek bagi hasilnya menjadi perusahaan patungan bernama PT Mobile
Selular Indonesia (Mobisel). Jumlah penggunanya ada 24.200, dan tersebar di Jakarta dan
Jawa Barat. Kemudian, Mobisel mermperluas operasionalnya hingga ke pulau Sumatra
(seperti Lampung).
Operator AMPS pertama yang mengubah proyek bagi hasilnya menjadi perusahaan patungan
yaitu adalah PT Elektrindo Nusantara pada awal 1995. Perusahaannya bernama PT
Komunikasi Selular Indonesia (Komselindo), dengan wilayah operasional di Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, Jabodetabek, Sumatra Utara serta Aceh.
Operator AMPS kedua, yaitu PT Centralindo Panca Sakti mengubah proyek bagi hasilnya
menjadi perusahan patungan bernama PT Metro Selular Nusantara (Metrosel) pada akhir
1995. Wilayah operasionalnya ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya dan Maluku.
Operator AMPS terakhir (dan terkecil) yaitu PT Telekomindo Primabhakti melakukan
transformasi bentuk usahanya pada tahun 1996, dengan kini dibawah PT Telekomindo
Selular Raya (Telesera). Wilayah layanannya ada di Bali, Kalimantan dan Sumatera
Selatan.Telesera merupakan satu-satunya operator analog yang bukan perusahaan patungan
dan tetap mempertahankan skema bagi hasil bersama Telkom.
Pada periode 1997-1999, Indonesia mengalami guncangan hebat akibat krisis ekonomi dan
krisis moneter. Walaupun sempat menurun (dari akhir 1997 sebesar 1 juta menjadi 162.000
pada September 1998), minat masyarakat kemudian berhasil naik kembali untuk menikmati
layanan telepon seluler. Untuk menyiasati keinginan konsumen, maka beredarlah jenis kartu
prabayar untuk pertama kalinya di era ini. Di tahun 1998, Telkomsel memperkenalkan
produk prabayar pertama yang diberi nama Simpati, sebagai alternatif layanan pascabayar
Kartu Halo. Lalu Excelcom meluncurkan Pro-XL sebagai jawaban atas tantangan dari para
kompetitornya (dan pelengkap layanan pascabayar GSM-XL), dengan layanan unggulan
roaming pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, Satelindo tak mau ketinggalan dengan
meluncurkan produk Mentari, dengan keunggulan perhitungan tarif per detik. Produk Mentari
yang diluncurkan Satelindo pun mampu dengan cepat meraih 10.000 pelanggan. Padahal,
harga kartu perdana saat itu termasuk tinggi, mencapai di atas Rp100 ribu dan terus naik pada
tahun berikutnya. Hingga akhir 1999, jumlah pelanggan seluler di Indonesia telah mencapai
3.6 juta pelanggan, yang sebagian besar merupakan pelanggan layanan prabayar.

Mengantisipasi keinginan konsumen, pemerintah juga berusaha memperbanyak operator


seluler, menggunakan jenis Personal Communications Service/Network (PCS/N). PCS
menggunakan dua sistem yaitu GSM (atau bisa disebut juga DCS)-1800 dan PHS. Lisensi
layanan DCS-1800 sendiri pertama kali diberikan pada awal 1997 kepada PT Selnet Nasional
Indonesia (dengan merek Selnas, dimiliki Sudwikatmono dan Mamiek Soeharto lewat PT
Cellnet Nusantara) dan PT Indomedia Telephone (dengan merek Indophone, milik Bob
Hasan dan Titiek Soeharto lewat PT Nusamba Indopacific).Masing-masing operator sendiri
berkongsi dengan Telkom (35% di Indophone dan 10% di Selnas) dan ada yang sudah
mengujicoba sistem ini di Jakarta (Selnas), namun kemudian dibatalkan pemerintah setelah
kejatuhan Orde Baru karena terkesan menampilkan unsur KKN yang kuat. Pada pertengahan
1998, pemerintah kemudian mengadakan tender untuk sistem DCS/GSM-1800 lagi secara
regional yang diumumkan pada Oktober-November 1998, dengan pemenangnya yaitu:
PT Astratel Nusantara (dimiliki oleh Astra Internasional), dengan wilayah layanan pulau
Sumatra. Mereknya direncanakan bernama AstraCell.
PT Indonesia Selular, wilayah layanan di Jakarta dengan merek Indosel.
PT Natrindo Global Telekomunikasi (dimiliki oleh Grup Lippo dan Hutchison
Telecommunications) untuk wilayah Jawa Timur. Sejak 2000 izinnya dialihkan kepada PT
Natrindo Telepon Seluler.
PT Kodel Margahayu Telindo (dimiliki oleh Grup Kodel), memiliki wilayah layanan
Indonesia Timur.
PT Primarindo Sistel, memiliki wilayah layanan pulau Kalimantan.
PT Ariawest Internasional, memiliki wilayah layanan Jawa Barat.
Seiring waktu, pemerintah juga memberi izin pada 2000-2001 kepada sejumlah operator
baru. Tiga dari operator baru ini berasal dari BUMN.

PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) diberikan izin untuk beroperasi nasional pada 16


Agustus 2000. Direncanakan dengan merek TelkoMOBILE.
PT Indonesian Satellite Corporation (Indosat) diberikan izin untuk beroperasi nasional pada
16 Agustus 2000.
PT Inti Mitratama Abadi (di bawah PT Industri Telekomunikasi Indonesia berpatungan
dengan sejumlah pihak termasuk Grup Lippo), untuk wilayah layanan Jakarta (pengganti
Indosel), diberi izin pada 2001.
PT Mitra Perdana, dengan wilayah operasional Jawa Tengah, diberi izin pada 2001.
Dari calon-calon operator telekomunikasi tersebut, tidak banyak yang bisa beroperasi. Yang
dapat mengoperasikan sistemnya hanyalah Natrindo, Indosat dan Telkom. Natrindo sendiri
merupakan operator pertama yang layanannya diluncurkan pada 27 April 2001 menggunakan
merek Lippo Telecom. Indosat sendiri kemudian izinnya dialihkan ke anak usahanya, yaitu
PT Indosat Multimedia Mobile yang dikenal dengan merek SMART dan BRIGHT, dan
diluncurkan pada 31 Agustus 2001 di Batam. Sedangkan Telkom mengalihkan izin DCS-
1800nya ke anak usahanya, Telkomsel pada 2002.Sementara itu, bagi operator lain mereka
ada yang menyerahkan izinnya kepada pihak lain. Indosel sendiri mengembalikan izinnya
pada 2000 ke pemerintah, sedangkan izin Astratel, Inti Mitratama, Mitra Perdana, Primarindo
dan Ariawest kemudian digabungkan dengan izin Lippo Telecom pada November 2002
sehingga Lippo Telecom bisa beroperasi nasional. Beberapa perusahaan tersebut juga ada
yang diambilalih Grup Lippo.

Satu paket dengan tender GSM-1800, pemerintah juga melakukan tender untuk membangun
jaringan PHS. Sebenarnya, tender ini sudah berusaha dilakukan pada 1997 untuk 10 operator
(PHS/DCS) namun krisis moneter 1998 membuat rencana itu batal. Seiring waktu, tender
yang dibuka pada pertengahan 1998 kemudian berhasil mendapatkan 36 peminat, dari target
11 operator (5 PHS dan 6 DCS). Akan tetapi, walaupun target calon operator GSM/DCS-
1800 kemudian berhasil terpenuhi, tidak halnya dengan PHS yang hanya menghasilkan dua
pemenang, yaitu PT Bima Investa Utama (Jawa Tengah) dan Telkom (Jakarta).Kedua
operator ini (ditambah Primasel sebelumnya) sudah berusaha membuka operasionalnya
dalam waktu 12 bulan (dari tahun 1998), namun pada akhirnya tidak ada yang mampu
menjalankannya sama sekali. Bagaimanakah dengan CT2? Layanan ini akhirnya juga
bernasib tidak baik, yaitu dihentikan pada 1999 setelah hanya beroperasi 3 tahun.
3. 2000-2005: Deregulasi dan perubahan teknologi
Di tahun 2000, industri telepon seluler menunjukkan perbaikan, terkhususnya bagi operator
GSM yang terus mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun yang sama, layanan pesan
singkat (bahasa Inggris: Short Message Service/SMS) mulai diperkenalkan, dan langsung
menjadi primadona layanan seluler saat itu. Pada tahun 2001, Indosat mendirikan PT Indosat
Multi Media Mobile (Indosat-M3), yang kemudian menjadi pelopor layanan GPRS (General
Packet Radio Service) dan MMS (Multimedia Messaging Service) di Indonesia. Pada 8
Oktober 2002, Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan layanan tersebut dan
selanjutnya Satelindo pada awal 2003 juga meluncurkan layanan yang sama.

Masih pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor


telekomunikasi dengan membuka kompetisi pasar bebas. Telkom tak lagi memonopoli
telekomunikasi, ditandai dengan dilepasnya saham Satelindo kepada Indosat. Pada akhir
2002, Pemerintah Indonesia juga melepas 41,94% saham Indosat ke Singapore Technologies
Telemedia Pte Ltd (SingTel). Kebijakan ini menimbulkan kontroversi, yang pada akhirnya
membuat Pemerintah terus berupaya melakukan aksi beli-kembali/buyback. Sebelumnya,
pada akhir 2001 Indosat sudah mengakuisisi Bimagraha Telekomindo (bekas induk
Satelindo) dan mendirikan Indosat-M3. Pada November 2003, Indosat menyatukan
Bimagraha, Satelindo dan Indosat-M3 dengan induknya (merger).
Di sisi lain, penurunan justru dialami oleh operator AMPS dan NMT. Pada tahun 1999,
pengguna AMPS sudah menurun menjadi 4,4% dari seluruh pengguna telepon seluler, dan
operator terbesarnya, Komselindo mengalami penurunan yang besar menjadi 36.500
pengguna saja.Hal yang sama juga ditemui operator tunggal NMT, Mobisel yang pada 2003
hanya memiliki 5.000 pengguna.Dengan munculnya sistem CDMA, maka operator teknologi
analog juga berusaha mengubah sistemnya menjadi CDMA. Layanan CDMA pertama di
Indonesia dihadirkan oleh Komselindo dengan sistem CDMAOne (IS-95) pada Mei 2000,
walaupun tidak sukses.Seiring dengan kemajuan CDMAOne menjadi CDMA2000, maka
kemudian langkah konversi lebih ditujukan ke sistem mutakhir ini.
Operator pertama yang mengadakan sistem CDMA2000 adalah Flexi milik Telkom, pada
Desember 2002, menggunakan frekuensi 1900 MHz dengan lisensi FWA (Fixed Wireless
Access). Artinya, sistem penomoran untuk tiap pelanggan menggunakan kode area menurut
kota asalnya, seperti yang dipergunakan oleh telepon berbasis sambungan tetap dengan kabel
milik Telkom. Setelah Flexi, kemudian bermunculan operator CDMA2000 lain. Operator
kedua yang meluncurkan sistem CDMA2000 adalah Bakrie Telecom (yang telah berganti
nama dari PT Radio Telepon Indonesia/Ratelindo), dengan merek Esia yang diluncurkan
pada 12 September 2003.Lalu, bermunculan tiga operator lain: PT Mobile-8 Telecom dengan
merek Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 (dan merupakan hasil konversi dari
jaringan AMPS Komselindo, Metrosel dan Telesera yang telah diakuisisinya), kemudian ada
PT Mandara Selular Indonesia dengan merek Neo_n (hasil konversi dari jaringan NMT
Mobisel sebelumnya) yang diluncurkan pada Mei 2004 (lalu pada 1 Maret 2006 berganti
nama lagi menjadi Ceria),dan terakhir ada Indosat dengan StarOne yang diperkenalkan pada
bulan yang sama. StarOne dan Esia berbasis FWA, sedangkan Fren dan Neo_n/Ceria berbasis
CDMA nasional.
Melalui Keputusan Dirjen Postel No. 253/Dirjen/2003 tanggal 9 Oktober 2003, pemerintah
akhirnya memberikan lisensi kepada PT Cyber Access Communication (sekarang PT
Hutchison 3 Indonesia) sebagai operator seluler 3G pertama di Indonesia melalui proses
tender, menyisihkan 11 peserta lainnya. CAC memperoleh lisensi pada jaringan UMTS
(Universal Mobile Telecommunications System) atau juga disebut dengan W-CDMA
(Wideband-Code Division Multiple Access) pada frekuensi 1900 MHz sebesar 15 MHz.
Lalu, pada 17 September 2004 Natrindo juga mendapatkan izin 3G kedua dengan alokasi
frekuensi sebesar 10 MHz.Walaupun demikian, keduanya kemudian baru mengoperasikan
jaringannya setelah perubahan kepemilikan pada 2007.
Pada Februari 2004, Telkomsel meluncurkan layanan EDGE (Enhanced Data Rates for GSM
Evolution), dan menjadikannya sebagai operator EDGE pertama di Indonesia. EDGE
sanggup melakukan transfer data dengan kecepatan sekitar 126 kbps (kilobit per detik) dan
menjadi teknologi dengan transmisi data paling cepat yang beroperasi di Indonesia saat itu.
Bahkan menurut GSM World Association, EDGE dapat menembus kecepatan hingga 473,8
kilobit/detik.
Sejak April 2004, para operator seluler di Indonesia akhirnya sepakat melayani layanan MMS
antar-operator. Pada akhir tahun 2004, jumlah pelanggan seluler sudah menembus kurang
lebih 30 juta. Melihat perkembangan yang begitu pesat, di prediksi pada tahun 2005 jumlah
pelanggan seluler di Indonesia akan mencapai 40 juta.

4. 2005-2008: Era reformasi Pertelekomunikasian Indonesia


Pada Mei 2005, Telkomsel berhasil melakukan ujicoba jaringan 3G di Jakarta dengan
menggunakan teknologi Motorola dan Siemens, sedangkan CAC baru melaksanakan ujicoba
jaringan 3G pada bulan berikutnya. CAC melakukan ujicoba layanan telepon video, akses
internet kecepatan tinggi, dan menonton siaran MetroTV via ponsel Sony Ericsson Z800i.
Setelah melalui proses tender, akhirnya tiga operator telepon seluler ditetapkan sebagai
pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G, yakni PT Telekomunikasi Seluler
(Telkomsel), PT Excelcomindo Pratama (XL), dan PT Indosat Tbk (Indosat) pada tanggal 8
Februari 2006. Dan pada akhir tahun yang sama, ketiganya meluncurkan layanan 3G secara
komersial.
Pada Agustus 2006, Indosat meluncurkan StarOne dengan jaringan CDMA2000 1x EV-DO
di Balikpapan. Pada saat yang sama, Bakrie Telecom memperkenalkan layanan ini pada
penyelenggarakan kuliah jarak jauh antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan
California Institute for Telecommunication and Information (Calit2) di San Diego State
University (UCSD) California.
Pemerintah melalui Depkominfo mengeluarkan Permenkominfo No. 01/2006 tanggal 13
Januari 2007 tentang Penataan Pita Frekuensi Radio 2.1 GHz Untuk Penyelenggaraan
Jaringan Bergerak Seluler IMT-2000, menyebutkan bahwa penyelenggaraan jaringan tetap
lokal dengan mobilitas terbatas hanya dapat beroperasi di pita frekuensi radio 1900 MHz
sampai dengan 31 Desember 2007. Jaringan pada frekuensi tersebut kelak hanya
diperuntukan untuk jaringan 3G. Operator dilarang membangun dan mengembangkan
jaringan pada pita frekuensi radio tersebut. Maka, berdasarkan keputusan tersebut, para
operator seluler CDMA berbasis FWA yang menghuni frekuensi 1900 MHz harus segera
bermigrasi ke frekuensi 800 MHz. Saat itu ada dua operator yang menghuni frekuensi CDMA
1900 MHz, yaitu Flexi dan StarOne. Akhirnya, Telkom bekerjasama dengan Mobile-8 dalam
menyelenggarakan layanan Fren dan Flexi, sedangkan Indosat dengan produk StarOne
bekerja sama dengan Esia milik Bakrie Telecom. Walaupun demikian, sebuah operator baru
yaitu Smart Telecom yang menggunakan sistem CDMA 1900 MHz (tapi bukan FWA) sejak
3 September 2007, justru tidak terkena peraturan ini.
Jumlah pengguna layanan seluler di Indonesia mulai mengalami ledakan. Jumlah pelanggan
layanan seluler dari tiga operator terbesar (Telkomsel, Indosat, dan Excelcom) saja sudah
menembus 38 juta. Itu belum termasuk operator-operator CDMA. Hal ini disebabkan oleh
murahnya tarif layanan seluler jika dibandingkan pada masa sebelumnya yang masih cukup
mahal. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang
sekitar 220 juta pada saat itu, angka 38 juta masih cukup kecil. Para operator masih melihat
peluang bisnis yang besar dari industri telekomunikasi seluler itu. Maka, untuk meraih
banyak pelanggan baru, sekaligus mempertahankan pelanggan lama, para operator
memberlakukan perang tarif yang membuat tarif layanan seluler di Indonesia semakin murah.
Namun di balik gembar-gembor tarif murah itu, BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menemukan fakta menarik,
ternyata para operator seluler telah melakukan kartel tarif layanan seluler, dengan
memberlakukan tarif minimal yang boleh diberlakukan di antara para operator yang
tergabung dalam kartel tersebut. Salah satu fakta lain yang ditemukan BRTI dan KPPU
adalah adanya kepemilikan silang Temasek Holdings, sebuah perusahaan milik Pemerintah
Singapura, di Indosat dan Telkomsel, yang membuat tarif layanan seluler cukup tinggi. Maka,
pemerintah melalui Depkominfo akhirnya mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para
operator seluler menurunkan tarif mereka 5%-40% sejak bulan April 2008, termasuk di
antaranya penurunan tarif interkoneksi antar operator. Penurunan tarif ini akan dievaluasi
oleh pemerintah selama 3 bulan sekali.
Salah satu hal yang cukup menjadi sorotan dalam era ini adalah banyaknya pengalihan
kepemilikan atas izin operator telekomunikasi, terutama kepada pihak asing. Walaupun
pemerintah beberapa kali menunjukkan kekecewaannya, namun tetap saja semuanya berjalan
mulus. Pihak asing tampak mendominasi industri telekomunikasi seluler (terutama GSM)
yang masih berlangsung sampai sekarang. Perubahan kepemilikan itu, yaitu:
Telkomsel, 35% sahamnya dimiliki oleh perusahaan komunikasi milik Temasek Holdings,
Singtel sejak 2002.
Indosat (dahulu Indosat-M3 dan Satelindo), mayoritas sahamnya sejak 2002 dimiliki oleh
Temasek Holdings (41,94%) Lalu, pada 2008 sahamnya dijual lagi pada perusahaan Qatar,
Ooredoo.
PT Excelcomindo Pratama, sejak 27 Oktober 2005 dimiliki oleh Telekom Malaysia sebesar
56,9% yang dibeli dari pemilik lama. Sejak 2009, saham ini kemudian dialihkan ke
perusahaan afiliasi, Axiata.
PT Cyber Access Communication, sejak Juli 2005 dimiliki oleh Hutchison
Telecommunications sebesar 60% (menjadi 65% pasca 2013). Pada 2007, layanannya
diluncurkan dengan nama 3 (Tri).
PT Natrindo Telepon Seluler, sejak 22 Januari 2005 dimiliki oleh Maxis Communications
(51%, lalu menjadi 95% pada 2007). Pada 2007, 51% sahamnya dijual lagi pada Saudi
Telecom Company.

5. 2009-sekarang: Perkembangan mutakhir


Di Indonesia pada tahun 2009, telah beroperasi sejumlah 10 operator dengan perkiraan
jumlah pelanggan sekitar 175,18 juta. Berikut ini adalah Tabel Perolehan pelanggan per tahun
2009 pada setiap Operator:

Operator Produk Jaringan Jumlah Pelanggan (Q1-2009, kecuali ada catatan)

Bakrie Telecom Esia CDMA2000 800 MHz 10,6 juta (Q4-2009)

Hutchison 3GSM 1800 MHz 6,4 juta

Indosat IM3, Indosat Matrix, Indosat MentariGSM 900/1800 MHz 33,1 juta (Q4-2009)

StarOne CDMA2000 800 MHz 570.000

Mobile-8 Fren, Mobi dan Hepi CDMA2000 800 MHz 3 juta

Natrindo AXIS GSM 1800 MHz 5 juta

Sampoerna Telekom Ceria CDMA2000 450 MHz 780.000

Smart Telecom Smart CDMA2000 1900 MHz >2 juta

Telkom Flexi CDMA2000 800 MHz 13,49 juta

Telkomsel Kartu AS, kartuHalo dan simPATI GSM 900/1800 MHz 81,644 juta (Q4-2009)

XL Axiata XL GSM 900/1800 MHz 31,437 juta (Q4-2009)


Sebagian besar operator telah meluncurkan layanan 3G dan 3,5G. Seluruh operator
GSM telah mengaplikasikan teknologi UMTS, HSDPA dan HSUPA pada jaringannya, dan
operator CDMA juga telah mengaplikasikan teknologi CDMA2000 1x EV-DO.
Akibat kebijakan pemerintah tentang penurunan tarif pada awal 2008, serta gencarnya perang
tarif para operator yang makin gencar, kualitas layanan operator seluler di Indonesia terus
memburuk, terutama pada jam-jam sibuk, Sementara itu, tarif promosi yang diberikan pun
seringkali hanya sekadar akal-akalan, bahkan cenderung merugikan konsumen itu sendiri.
Melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan penetrasi seluler yang baru hampir
mencapai 50%, maka masih ada peluang yang terbuka lebar untuk meraih banyak pelanggan
baru. Pada 2012, diperkirakan penetrasi seluler di Indonesia akan mencapai 80%.
Jumlah pengguna seluler di Indonesia hingga bulan Juni 2010 diperkirakan mencapai
180 juta pelanggan, atau mencapai sekitar 80 persen populasi penduduk. Dari 180 juta
pelanggan seluler itu, sebanyak 95 persen adalah pelanggan prabayar. Menurut catatan ATSI
(Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia), pelanggan Telkomsel hingga bulan Juni 2010
mencapai 88 juta nomor, XL sekitar 35 juta, Indosat sekitar 39,1 juta, selebihnya merupakan
pelanggan Axis dan Three. Menurut Direktur Utama Telkomsel Sarwoto, dari sisi pendapatan
seluruh operator seluler sudah menembus angka Rp100 triliun. Industri ini diperkirakan terus
tumbuh, investasi terus meningkat menjadi sekitar US$2 miliar per tahun, dengan jumlah
BTS mencapai lebih 100.000 unit.
Seiring perkembangan zaman, juga muncul teknologi 4G yang mulai diperkenalkan dengan
dikembangkannya WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) oleh
pemerintah. Pemerintah selaku regulator telah menerbitkan tiga peraturan pada bulan
Februari 2008 melalui keputusan Dirjen Postel No. 94, 95, 96 mengenai persyaratan teknis
mengenai alat dan perangkat telekomunikasi pada frekuensi 3.3 Ghz, sebagai frekuensi yang
akan ditempati WiMAX di Indonesia. Pemerintah sendiri telah menyiapkan dana sebesar
Rp18 miliar untuk penelitian dan pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia,
bekerjasama dengan beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Pemerintah
membuka akses internet untuk publik sembari menguji coba teknologi WiMAX lokal selama
tiga bulan berturut-turut mulai 15 Oktober hingga akhir 2008. WiMAX sendiri adalah
teknologi telekomunikasi terbaru yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan koneksi
internet berkualitas dan melakukan aktivitas dan teknologi nirkabel telekomunikasi berbasis
protokol internet yang berjalan pada frekuensi 2,3 dan 3.3 GHz.
Telkomsel telah menggunakan frekuensi 5,8 GHz untuk menguji coba teknologi
WiMAX tersebut. Namun, karena tak punya izin lisensi, operator ini mengklaim meminjam
perangkat dan izin penggunaan frekuensi dari penyelenggara lain. Telkomsel sendiri
mengklaim mereka tak akan mengkomersilkan WiMAX, sebab mereka lebih memilih LTE
(Long Term Evolution) sebagai teknologi masa depan mereka. Telkomsel menggunakan
teknologi WiMAX ini untuk backhaul saja. Sementara itu, Indosat melalui produk IndosatM2
bekerja sama dengan Intel untuk menawarkan program pengadaan komputer beserta koneksi
internet nirkabelnya di sekolah-sekolah. Program itu nantinya jadi cikal-bakal untuk
membidik peluang WiMAX di sekolah.
Pada 27 April 2009 pemerintah memulai melakukan tender untuk membangun sistem
WiMAX. Hasilnya ada sejumlah perusahaan yang mememangkan tender pembangunan
jarinagn ini secara regional di 15 zona (terbanyak oleh Berca Hardyaperkasa dengan 7 zona).
Namun, dari banyak perusahaan itu hanya ada dua yang bisa menyelenggarakannya: PT First
Media dengan merek Sitra pada 28 Juni 2010 dan PT Berca meluncurkan layanannya yang
diberi nama WiGO pada 20 September 2010. Walaupun demikian, prospek WiMAX
kemudian tidak berkembang sehingga banyak operator lebih memfokuskan untuk
membangun sistem LTE.
Pada tanggal 14 November 2013, perusahaan telekomunikasi Internux meluncurkan layanan
4G LTE pertama di Indonesia yaitu Bolt Super 4G LTE. Teknologi yang diterapkan adalah
Time Division Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 2300 MHz. Bolt menawarkan kecepatan
akses data hingga 72 Mbps. Operator kedua sistem ini adalah Berca Hardayaperkasa dengan
merek Hinet pada tanggal 3 Juli 2015. Teknologi yang diterapkan adalah Time Division
Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 2300 MHz. Hinet menawarkan kecepatan akses data
hingga 72 Mbps. Pada tanggal 27 Juni 2017, perusahaan telekomunikasi Sampoerna
Telekomunikasi Indonesia meluncurkan layanan 4G LTE ketiga di Indonesia yaitu Net1.
Teknologi yang diterapkan adalah Time Division Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 450
MHz. Net1 menawarkan kecepatan akses data hingga 30 Mbps. Ketiga operator ini bukan
merupakan operator murni, melainkan hasil konversi dari sistem lain (yang ditinggalkan).
Bolt merupakan konversi dari jaringan WiMAX Internux dan First Media, begitu juga Hinet
yang merupakan konversi jaringan WiGO Berca. Sementara Net1 merupakan hasil konversi
jaringan CDMA2000 dengan merek Ceria sebelumnya. Belakangan, muncul operator lain
seperti XL, Telkomsel, Indosat, Tri dan Smartfren yang juga meluncurkan jaringannya.
Terkecuali Smartfren, keempat operator sebelumnya saat ini juga mengoperasikan sistem
3G/GSM dan 4G secara pararel.
Era pasca 2009 juga ditandai dengan berbagai aksi konsolidasi dalam industri
telekomunikasi. Berbagai merek dan operator menghilang atau bergabung dengan yang lain,
meninggalkan 5 pemain utama. Ada juga operator yang mengubah sistemnya (terutama
CDMA) agar bisa kompetitif di pasaran.
Pada 2009, Mobile-8 Telecom diakuisisi oleh Sinarmas Group. Sinarmas menyatukan Smart
Telecom miliknya dengan Mobile-8 Telecom pada 2010-2011, dengan nama baru yaitu
Smartfren.
Pada 7 Juni 2013, layanan WiMAX Sitra resmi dihentikan. Seiring peluncuran Bolt, maka
layanan WiMAX Sitra dialihkan ke Bolt.
Pada 2013, PT Axis Telekom Indonesia diakuisisi oleh XL Axiata dari dua pemegang saham
utamanya, STC dan Maxis. Lalu, pada 8 April 2014, perusahaan ini digabungkan dengan XL
Axiata, sehingga merek AXIS kini berada di bawah naungan XL.
Pada 2014-2016, Bakrie Telecom memutuskan untuk meninggalkan industri operator seluler.
Sebelumnya, operator CDMA besar ini sudah mengonsolidasikan mereknya (yang awalnya
ada Esia, AHA, Wifone dll) menjadi hanya satu merek, yaitu Esia pada 2012.[75] Namun,
seiring kerugian dan penurunan pengguna CDMA, maka pada 30 Oktober 2014 dijalin
kerjasama dengan Smartfren untuk menyatukan jaringan mereka. Setelah itu, pada 2015 dan
2016, Bakrie Telecom menghentikan operasional jaringan seluler mereka.
Pada 4 Oktober 2014, Flexi, operator CDMA Telkom resmi menghentikan operasionalnya.
Pada 30 Juni 2015, StarOne, operator CDMA Indosat resmi menghentikan operasionalnya.
Pada 3 Juli 2015, diluncurkan layanan Hinet, pengganti sistem WiMAX sebelumnya yang
bernama WiGO. Dengan peluncuran ini, maka operasional sistem WiMAX di Indonesia
berakhir.
Pada 27 Juli 2017, layanan Ceria yang berbasis CDMA resmi berganti nama menjadi Net1
Indonesia dengan basis 4G LTE.
Pada 13 November 2017, layanan CDMA Smartfren resmi ditutup, mengakhiri layanan
CDMA di Indonesia.Pelanggannya dialihkan ke 4G LTE.
Pada 28 Desember 2018, layanan Bolt milik Internux resmi menghentikan operasinya karena
menunggak biaya BHP frekuensi ke negara.
Pada 29 Desember 2020, pemilik Indosat, Ooredoo menandatangani nota kesepahaman
(MoU) dengan pemilik Tri, CK Hutchison Holdings untuk menggabungkan kedua
perusahaan ini. Namun, sampai saat ini tindakan merger tersebut masih sebatas perjanjian
tidak mengikat semata hingga pada September 2021, kedua perusahaan itu akhirnya secara
resmi mengumumkan akan merger untuk membentuk PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk
dan akan selesai pada akhir tahun 2021.
Selain itu, rumor-rumor konsolidasi lain juga banyak beredar, misalnya Tri-XL, dan juga XL-
Smartfren. Walaupun saat ini isu-isu konsolidasi masih sebatas rumor, namun para operator
dan pemerintah mendukung rencana ini.
Dengan perkembangan pemakai telepon seluler dan digitalisasi yang semakin meningkat,
maka berbagai teknologi terus muncul. Pada Juli 2019, seiring dengan beredarnya iPhone XS,
sistem eSIM mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Smartfren, sehingga pelanggan tidak
membutuhkan kartu SIM fisik.Selain itu, teknologi jaringan seluler juga kini menjadi 4,5G,
dan bahkan direncanakan naik menjadi 5G. Ujicoba sistem 5G ini sudah dilakukan pada akhir
2019-2020 oleh XL, Tri dan Telkomsel. Salah satu langkah awal menuju peluncuran sistem
ini adalah lelang jaringan yang diumumkan pemerintah pada 18 Desember 2020, dimana
Smartfren, Tri dan Telkomsel menjadi pemenangnya masing-masing pada frekuensi 2,3 GHz
di blok A, B dan C. Namun, tiba-tiba pada 25 Januari 2021, Kemenkominfo membatalkan
hasil lelang ini. Walaupun demikian pemerintah masih tetap berkomitmen untuk mengadakan
lelang ulang (dengan lebih baik) dan pemajuan teknologi 5G dalam waktu segera.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dengan Perkembangan Operator Seluler Di Indonesia Yang Semakin Lebih Baik Ini
Membuat Masayrakat Dapat Menggunakan Layanan Jaringan Yang Jauh Lebih Baik
Dari Sebelumnya.

B. SARAN

Semoga Dengan Perkembangan Operator Seluler Yang Semakin Baik Ini Juga
Semakin Membuat Negara Ini Menjadi Lebih Maju Dan Lebih Unggul

Anda mungkin juga menyukai