OLEH
i
loyals). Kondisi tersebut membuat perusahaan tidak hanya focus memenangkan market share akan
tetapi juga memenangkan wallet share. Pengukuran positioning penyedia jasa operator seluler
berdasarkan atribut produk menjadi hal yang menarik untuk dilakukan penelitian guna mengetahui
atribut-atribut mana saja menjadi keunggulan dari merek utama dan merek alternative serta
mengetahui kelemahan dari penyedia jasa operator selular. Untuk mengetahui atribut-atribut mana saja
yang dapat menjadi perbanding, diperlukan pengalaman masa lalu yang membuat pelanggan dapat
membuat evaluasi sesuai dengan nilai yang diinginkan (Spreng et al., 1996). Perkembangan operator
seluler di Indonesia ini, memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Di zaman dahulu,
orang-orang harus menempuh jarak yang jauh dan waktu yang cukup lama untuk mengirim pesan,
sekarang di era teknologi komunikasi yang semakin modern tidak membutuhkan waktu yang lama
untuk dapat meyampaikan pesan kepada orang lain. Hanya dengan hitungan menit bahkan detik pesan
yang ingin disampaikan dapat diterima lebih cepat dan instan. Handphone adalah salah satu alat
komunikasi yang dapat digunakan untuk mengirim pesan, baik berupa lisan maupun tulisan dengan
waktu yang sangat singkat. Peluang inilah yang dilihat oleh para operator seluler untuk
mengembangkan usahanya. Saat ini sudah beberapa operator seluler yang didirikan di Indonesia.
Dengan demikian persaingan pun sudah semakin ketat Manus, dkk (2015).
1.2 TUJUAN
1. Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Sistem Mobile dan Nirkable
b. Untuk mengetahui dan memahami lebih luas tentang sejarah Perkembangan Operator Seluler
1.3 RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian dan Perkembangan Operator Seluler Hingga Saat Ini
b. Sejarah Perkembangan Operator Seluler
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2011, lewat teknologi WiMAX BWA, mulai
3
diperkenalkan sistem 4G, namun pemakaiannya baru masif setelah sistemnya menjadi LTE yang
diluncurkan pada 2013 pertama kali oleh BOLT!. Setelah Bolt, operator yang sudah ada juga ramai-
ramai menggelar jaringan 4G, dengan kini Smartfren merupakan yang cakupannya terluas. Smartfren
juga menjadi pionir akan perkembangan sistem termutakhir saat ini, yaitu 4,5G pada 20 Agustus 2015
dan selanjutnya disusul oleh operator lain seperti Indosat dan XL pada akhir 2016. Saat ini, sistem 4,5G
merupakan sistem terbaru yang digunakan di Indonesia dan banyak operator yang mengoperasikannya
paralel dengan sistem GSM (2G/3G). Di masa depan, diperkirakan Indonesia juga bisa menikmati 5G,
teknologi termutakhir jaringan seluler dalam beberapa tahun kedepan.
Berikut ini teknologi jaringan seluler yang digunakan di Indonesia:
1G
o NMT (Nordic Mobile Telephone): 1986-2006
o AMPS (Advanced Mobile Phone System): 1991-2003
2G/2,5G
o GSM (Global System for Mobile Communication): 1994-sekarang
GSM 900 MHz: 1994-sekarang
GSM 1800 MHz (dahulu DCS-1800): 2001-sekarang
GPRS (General Packet Radio Service): 2001-sekarang
EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution): 2004-sekarang
o CDMAOne: 1999-2003
o D-AMPS (Digital AMPS): 1995-2003
o CT2 (Telepoint): 1996-1999
3G/3,5G
o CDMA2000 1x: 2002-2017
o EVDO (Evolution-Data Optimized): 2006-2017
o UMTS (Universal Mobile Telecommunications System): 2006-2022
o HSPA (High-Speed Packet Access): 2006-2022
4G/4,5G
o WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access): 2011-2015
o LTE (Long-Term Evolution): 2013-sekarang
5G
o NR (New Radio): 2021-sekarang
4
Industri.
Saat ini, ada 5 operator telekomunikasi seluler di Indonesia (dengan 4 yang mendominasi). Hampir
semuanya mengoperasikan jaringan berbasis 4G LTE dan 5G, kecuali PSN yang menggunakan telepon
satelit.
PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), beroperasi sejak 1995. 175 juta pengguna pada Mei
2022,[8] sistem GSM, 4G LTE, dan 5G.
PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo Hutchison), beroperasi sejak 1994
(dahulu dibawah Satelindo dan Indosat-M3). 102,2 juta pengguna pada
akhir
2022,[9] sistem GSM, 4G LTE, dan 5G.
PT XL Axiata Tbk (XL), beroperasi sejak 1996. 57,5 juta pengguna pada
akhir 2022,[10] sistem GSM, 4G LTE, dan 5G.
PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren), beroperasi sejak 2002. 35,5 juta pengguna pada
akhir 2022,[11] sistem 4G LTE (dulu CDMA2000), dan 5G.[12]
PT Pasifik Satelit Nusantara (ByRU). Sistem telepon satelit.
Selain itu, pernah ada berbagai pemain dalam industri ini yang tidak lagi beroperasi:
PT Rajasa Hazanah Perkasa - dikenal dengan merek Era Mobitel (NMT 1986-1995, sejak 1995
dialihkan ke PT Mobile Selular Indonesia - kini PT Net Satu Indonesia)
PT Elektrindo Nusantara (AMPS 1991-1995, sejak 1995 dialihkan ke PT Komunikasi Selular
Indonesia/Komselindo)
PT Centralindo Panca Sakti/Centralindo Pancasakti Cellular (AMPS 1991-1995, sejak 1995
dialihkan ke PT Metro Selular Nusantara/Metrosel)
PT Telekomindo Primabhakti (AMPS 1993-1996, sejak 1996 dialihkan ke PT Telekomindo
Selular Raya/Telesera)
PT Komunikasi Selular Indonesia/Komselindo (AMPS/D-AMPS 1995-2003, CDMAOne 2000-
2003. Digabungkan ke Mobile-8 Telecom pada 2003).
PT Metro Selular Nusantara/Metrosel (AMPS 1995-2003. Digabungkan ke Mobile-8 Telecom
pada 2003).
PT Telekomindo Selular Raya/Telesera (AMPS 1996-2003. Digabungkan ke Mobile-8 Telecom
pada 2003).
PT Telepoint Nusantara/Telepoint (CT2 1996-1999).
5
PT Axis Telekom Indonesia - dikenal dengan merek AXIS (dahulu NTS dan Lippo
Telecom. GSM 2001-2013, merger dengan XL Axiata pada 2013)
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk - dikenal dengan merek Flexi (CDMA2000 2002-2014)
PT Bakrie Telecom Tbk - dikenal dengan
merek Esia, AHA, Wifone, Wimode, Ratelindo (CDMA2000 2003-2014 dan ETDMA 1995-
2006)
PT Satelit Palapa Indonesia/Satelindo (GSM 1993-2003, merger dengan Indosat pada 2003)
PT Indosat Multimedia Mobile/Indosat-M3 (GSM 2001-2003, merger dengan Indosat
pada 2003)
PT Smart Telecom - dikenal dengan merek Smart (CDMA2000 2006-2010, operasional
digabungkan ke Mobile-8 Telecom pada 2010-2011)
PT Internux - dikenal dengan merek BOLT! (4G LTE 2013-2018)
PT First Media Tbk - dikenal dengan merek Sitra (WiMAX 2010-2013)
PT Net Satu Indonesia - dikenal dengan merek Mobisel, Ceria, Neo n dan Net1 (NMT 1995-
2006, CDMA2000 2004-2017, 4G LTE 2017-2021)
PT Hutchison 3 Indonesia - dikenal dengan merek 3 (GSM 2007-2022, 4G LTE 2013-2022,
merger dengan Indosat Ooredoo pada 2022)
PT Berca Global Access - dikenal dengan merek WiGO dan Hinet (WiMAX 2010/2012-
2015, 4G LTE 2015-2022)
Teknologi komunikasi seluler mulai diperkenalkan pertama kali di Indonesia di tahun 1985, ketika
Perumtel bersama dengan PT Rajasa Hazanah Perkasa mulai menyelenggarakan layanan komunikasi seluler
dengan mengusung teknologi NMT-450 (yang menggunakan frekuensi 450 MHz). Telkom mendapat 30%
sedangkan Rajasa 70%. Layanan yang diluncurkan pada 1986 ini kemudian berubah menjadi NMT-470,
modifikasi NMT-450 (berjalan pada frekuensi 470 MHz, khusus untuk Indonesia). Rajasa merupakan
operator tunggal dari sistem NMT dengan merek Era Mobitel. Selanjutnya, di tahun
1991, teknologi AMPS (mempergunakan frekuensi 800 MHz) dengan sistem analog mulai diperkenalkan ke
publik. Teknologi AMPS ditangani oleh tiga operator: PT Elektrindo Nusantara, PT Centralindo Panca
Sakti, dan PT Telekomindo Primabhakti (yang pertama adalah Centralindo pada Juli 1991, disusul oleh
Elektrindo dan Telekomindo selanjutnya). Regulasi yang berlaku saat itu mengharuskan para penyelenggara
layanan telepon
dasar bermitra dengan Perumtel (umumnya dengan sistem bagi hasil).
5
Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum bisa dimasukkan ke dalam
saku karena ukurannya yang besar dan berat, rata-rata 430 gram atau hampir setengah kilogram. Harganya
pun masih mahal, sekitar Rp10 juta. Operasi sistem AMPS dan NMT ini, pada umumnya ditujukan bagi
pengguna telepon mobil, dan cakupan layanannya terbatas bagi setiap operator.
Pada waktu itu dibangun 3 BTS (Base Transceiver Station), satu buah di Batam dan dua di Bintan.
Pada 31 Desember 1993, pilot-project tersebut selesai dibangun infrastrukturnya, dan sistem GSM-nya resmi
diujicoba untuk yang pertama kali pada 2 Juli 1994 oleh Habibie. Daerah Batam dipilih sebagai lokasi
dengan beberapa alasan yaitu Batam adalah daerah yang banyak diminati oleh berbagai kalangan,
termasuk warga Singapura. Jarak yang cukup dekat membuat sinyal seluler dari negara itu bisa ditangkap
pula di Batam. Alhasil, warga Singapura yang berada di Batam bisa berkomunikasi dengan murah meriah,
lintas negara tapi seperti menggunakan telepon lokal. Jadi pilot-project ini juga dimaksudkan untuk menutup
sinyal dari Singapura sekaligus memberikan layanan komunikasi pada masyarakat Batam.
Menyusul keberhasilan proyek tersebut, operator GSM pertama di Indonesia kemudian diberi izin
pemerintah lewat Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No. PM108/2/MPPT-93 untuk
beroperasi, dengan nama Satelindo (PT Satelit Palapa Indonesia). Adapun Satelindo awalnya dimiliki oleh
PT Telkom Indonesia (30%), PT Indosat (10%), dan PT Bimagraha Telekomindo (60%) dan cakupan
layanannya meliputi Jakarta dan sekitarnya. Tidak lama kemudian, operator GSM kedua di Indonesia
didirikan, yaitu Telkomsel (PT Telekomunikasi Seluler) pada 26 Mei 1995 yang daerah operasionalnya
dimulai dari Medan, Surabaya, Bandung, dan Denpasar dengan produk Kartu Halo. Tercatat dalam waktu
setahun (29 Desember 1996), Telkomsel sudah menjangkau provinsi ke-27, Maluku. Selanjutnya, mulai
beroperasi juga PT Excelcomindo Pratama (Excelcom, sekarang XL Axiata) sebagai operator GSM ketiga
6
pada akhir
7
tahun 1996. Untuk membantu pengembangan teknologi GSM pada saat itu, tiga operatornya sama-sama
mengundang partner dari investor asing. Satelindo menggandeng Deutsche Telekom pada 3 April 1995
dengan 25% kepemilikan, Telkomsel menggandeng KPN dengan 17,2% kepemilikan pada 1996, sedangkan
pada tahun sebelumnya (Oktober 1995) Excelcomindo sudah menggandeng NYNEX dan Mitsui dengan
masing-masing 23% dan 4% saham.
Pada periode inilah, jumlah pengguna telepon seluler mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik,
yang didorong oleh beberapa faktor seperti ukuran perangkat yang makin kecil dan ringan sehingga mudah
dibawa dan mulai munculnya operator GSM yang menawarkan kelebihan dibanding teknologi sebelumnya
(AMPS dan NMT), seperti kartu SIM yang memungkinkan pelanggan untuk berganti perangkat tanpa
mengganti nomor. Kebijakan pemerintah, seperti pembebasan bea masuk telepon genggam, ikut menekan
harga menjadi lebih terjangkau. Belum lagi upaya deregulasi industri telekomunikasi demi mendorong
investor swasta dengan mengubah regulasi perusahaan telekomunikasi yang awalnya harus berupa sistem
bagi hasil dan bangun-guna-serah (BOT) menjadi diizinkan dalam bentuk perusahaan patungan bersama
Telkom.
Sebenarnya, tidak hanya teknologi GSM, ada teknologi komunikasi nirkabel lainnya yang berusaha
diterapkan di Indonesia saat itu, yaitu CT2, TDMA dan PHS. Penggunaan teknologi GMH 2000/ETDMA
diperkenalkan oleh Ratelindo. Layanan yang diberikan oleh Ratelindo berupa layanan fixed-cellular network
operator, yaitu telepon rumah nirkabel. Teknologi CT2 diperkenalkan oleh PT Telepoint Nusantara pada 12
November 1996, dengan modal awal 1.000 base station. PHS berusaha diperkenalkan oleh PT Indoprima
Mikroselindo (Primasel) pada 1996, dengan wilayah layanan awal di Jawa Timur (walaupun akhirnya tidak
pernah dioperasikan). Baik PHS maupun CT2 merupakan teknologi telepon nirkabel, walaupun tidak
sama/kompatibel dengan jenis GSM.
Selain itu, teknologi analog yaitu AMPS dan NMT tercatat juga masih memiliki "peminat" di era
1990-an, dengan kini juga tidak lagi untuk telepon mobil melainkan juga telepon seluler. Operasionalnya
tidak lagi berbentuk bagi hasil, melainkan kini berupa perusahaan patungan bersama Telkom.
Pada 1995, operator tunggal NMT di Indonesia, yaitu PT Rajasa Hazanah Perkasa
mentransformasikan proyek bagi hasilnya menjadi perusahaan patungan bernama PT Mobile
Selular Indonesia (Mobisel). Jumlah penggunanya ada 24.200, dan tersebar di Jakarta dan Jawa
Barat. Kemudian, Mobisel mermperluas operasionalnya hingga ke pulau
Sumatra (seperti Lampung).
Operator AMPS pertama yang mengubah proyek bagi hasilnya menjadi perusahaan patungan
yaitu adalah PT Elektrindo Nusantara pada awal 1995. Perusahaannya bernama PT
Komunikasi Selular Indonesia (Komselindo), dengan wilayah operasional di Jawa Barat,
8
Sulawesi
Selatan, Jabodetabek, Sumatra Utara serta Aceh.
9
Operator AMPS kedua, yaitu PT Centralindo Panca Sakti mengubah proyek bagi hasilnya
menjadi perusahan patungan bernama PT Metro Selular Nusantara (Metrosel) pada akhir 1995.
Wilayah operasionalnya ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya dan Maluku.
Operator AMPS terakhir (dan terkecil) yaitu PT Telekomindo Primabhakti melakukan
transformasi bentuk usahanya pada tahun 1996, dengan kini dibawah PT Telekomindo
Selular Raya (Telesera). Wilayah layanannya ada di Bali, Kalimantan dan Sumatra Selatan.
Telesera merupakan satu-satunya operator analog yang bukan perusahaan patungan dan tetap
mempertahankan skema bagi hasil bersama Telkom.
Pada periode 1997-1999, Indonesia mengalami guncangan hebat akibat krisis moneter. Walaupun
sempat menurun (dari akhir 1997 sebesar 1 juta menjadi 162.000 pada September 1998), minat masyarakat
kemudian berhasil naik kembali untuk menikmati layanan telepon seluler, meskipun masih tercatat rendah
(saat itu hanya 4 telepon seluler per 1.000 penduduk, jauh dibanding misalnya Singapura yang terdapat 110
telepon seluler/1.000 penduduk). Untuk memenuhi keinginan konsumen, maka beredarlah jenis kartu
prabayar untuk pertama kalinya pada era ini. Di tahun 1998, Telkomsel memperkenalkan produk prabayar
pertama yang diberi nama Simpati, sebagai alternatif layanan pascabayar Kartu Halo. Lalu Excelcom
meluncurkan Pro-XL sebagai jawaban atas tantangan dari para kompetitornya (dan pelengkap layanan
pascabayar GSM-XL), dengan layanan unggulan roaming pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, Satelindo
tak mau ketinggalan dengan meluncurkan produk Mentari, dengan keunggulan perhitungan tarif per detik.
Produk Mentari yang diluncurkan Satelindo pun mampu dengan cepat meraih 10.000 pelanggan. Padahal,
harga kartu perdana saat itu termasuk tinggi, mencapai di atas Rp 100 ribu dan terus naik pada tahun
berikutnya. Hingga akhir 1999, jumlah pelanggan seluler di Indonesia telah mencapai 3,6 juta pelanggan,
yang sebagian besar merupakan pelanggan layanan prabayar.
PT Astratel Nusantara (dimiliki oleh Astra Internasional), dengan wilayah layanan pulau
Sumatra. Mereknya direncanakan bernama AstraCell. Beberapa waktu kemudian, izinnya
dialihkan ke PT Nuvia Mitra Swarnabhumi yang merupakan patungan grup Astra
bersama Milicom, yang direncanakan menggunakan merek Tango.
PT Indonesia Selular, wilayah layanan di Jakarta dengan merek Indosel.
PT Natrindo Global Telekomunikasi (dimiliki oleh Grup Lippo dan Hutchison
Telecommunications) untuk wilayah Jawa Timur. Sejak 2000 izinnya dialihkan kepada
PT Natrindo Telepon Seluler.
PT Kodel Margahayu Telindo (dimiliki oleh Grup Kodel), memiliki wilayah layanan Indonesia
Timur.
PT Primarindo Sistel, memiliki wilayah layanan pulau Kalimantan.
PT Ariawest Internasional, memiliki wilayah layanan Jawa Barat.
Seiring waktu, pemerintah juga memberi izin pada 2000-2001 kepada sejumlah operator baru. Tiga
dari operator baru ini berasal dari BUMN.
Dari calon-calon operator telekomunikasi tersebut, tidak banyak yang bisa beroperasi. Yang dapat
mengoperasikan sistemnya hanyalah Natrindo, Indosat dan Telkom. Natrindo merupakan operator pertama
yang layanannya diluncurkan pada 27 April 2001 menggunakan merek Lippo Telecom. Indosat kemudian
izinnya dialihkan ke anak usahanya, yaitu PT Indosat Multimedia Mobile yang dikenal dengan merek
SMART dan BRIGHT, dan diluncurkan pada 31 Agustus 2001 di Batam. Sedangkan Telkom mengalihkan
izin DCS-1800nya ke anak usahanya, Telkomsel pada 2002. Sementara itu, bagi operator lain mereka ada
yang menyerahkan izinnya kepada pihak lain. Indosel mengembalikan izinnya pada 2000 ke pemerintah,
sedangkan izin Astratel/Nuvia, Inti Mitratama, Mitra Perdana, Primarindo dan Ariawest kemudian
11
digabungkan dengan izin Lippo Telecom pada November 2002 sehingga Lippo Telecom bisa beroperasi
nasional. Beberapa perusahaan tersebut juga ada yang diambilalih Grup Lippo.
Satu paket dengan tender GSM-1800, pemerintah juga melakukan tender untuk membangun
jaringan PHS. Sebenarnya, tender ini sudah berusaha dilakukan pada 1997 untuk 10 operator (PHS/DCS)
namun krisis moneter 1998 membuat rencana itu batal. Seiring waktu, tender yang dibuka pada pertengahan
1998 kemudian berhasil mendapatkan 36 peminat, dari target 11 operator (5 PHS dan 6 DCS). Akan tetapi,
walaupun target calon operator GSM/DCS-1800 kemudian berhasil terpenuhi (yang ditunjukkan di atas),
tidak halnya dengan PHS yang hanya menghasilkan empat pemenang saja, yaitu:
Di tahun 2000, industri telepon seluler menunjukkan perbaikan, terkhususnya bagi operator GSM
yang terus mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun yang sama, layanan pesan singkat (bahasa
Inggris: Short Message Service/SMS) mulai diperkenalkan, dan langsung menjadi primadona layanan
seluler saat itu. Pada tahun 2001, Indosat mendirikan PT Indosat Multi Media Mobile (Indosat-M3), yang
kemudian menjadi pelopor layanan GPRS (General Packet Radio Service) dan MMS (Multimedia
Messaging Service) di Indonesia. Pada 8 Oktober 2002, Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan
layanan tersebut dan selanjutnya Satelindo pada awal 2003 juga meluncurkan layanan yang sama.
Operator pertama yang mengadakan sistem CDMA2000 adalah Flexi milik Telkom,
pada Desember 2002, menggunakan frekuensi 800/1900 MHz dengan lisensi FWA (Fixed Wireless Access).
Artinya, sistem penomoran untuk tiap pelanggan menggunakan kode area menurut kota asalnya, seperti
yang dipergunakan oleh telepon berbasis sambungan tetap dengan kabel milik Telkom. Setelah Flexi,
kemudian bermunculan operator CDMA2000 lain. Operator kedua yang meluncurkan sistem CDMA2000
adalah Bakrie Telecom (yang telah berganti nama dari PT Radio Telepon Indonesia/Ratelindo), dengan
merek Esia yang diluncurkan pada 12 September 2003. Lalu, bermunculan tiga operator lain: PT Mobile-8
Telecom dengan merek Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 (dan merupakan hasil konversi dari
jaringan AMPS Komselindo, Metrosel dan Telesera yang telah diakuisisinya), kemudian ada PT Mandara
Selular Indonesia dengan merek Neo_n (hasil konversi dari jaringan NMT Mobisel sebelumnya) yang
diluncurkan pada Mei 2004 (lalu pada 1 Maret 2006 berganti nama lagi menjadi Ceria), dan terakhir ada
Indosat dengan StarOne yang diperkenalkan pada bulan yang sama. StarOne dan Esia berbasis FWA,
sedangkan Fren dan Neo_n/Ceria berbasis CDMA nasional.
Melalui Keputusan Dirjen Postel No. 253/Dirjen/2003 tanggal 9 Oktober 2003, pemerintah akhirnya
memberikan lisensi kepada PT Cyber Access Communication (sekarang PT Hutchison 3 Indonesia) sebagai
operator seluler 3G pertama di Indonesia melalui proses tender, menyisihkan 11 peserta lainnya. CAC
memperoleh lisensi pada jaringan UMTS (Universal Mobile Telecommunications System) atau juga disebut
dengan W-CDMA (Wideband-Code Division Multiple Access) pada frekuensi 1900 MHz sebesar 15 MHz.
Lalu, pada 17 September 2004 Natrindo juga mendapatkan izin 3G kedua dengan alokasi frekuensi sebesar
10 MHz. Walaupun demikian, keduanya kemudian baru mengoperasikan jaringannya setelah perubahan
kepemilikan pada 2007.
Pada Februari 2004, Telkomsel meluncurkan layanan EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution),
dan menjadikannya sebagai operator EDGE pertama di Indonesia. EDGE sanggup
13
melakukan transfer data dengan kecepatan sekitar 126 kbps (kilobit per detik) dan menjadi teknologi dengan
transmisi data paling cepat yang beroperasi di Indonesia saat itu. Bahkan menurut GSM World Association,
EDGE dapat menembus kecepatan hingga 473,8 kilobit/detik. Lalu, sejak April 2004, para operator seluler
di Indonesia akhirnya sepakat melayani layanan MMS antar-operator. Pada akhir tahun 2004, jumlah
pelanggan seluler sudah menembus kurang lebih 30 juta. Melihat perkembangan yang begitu pesat,
diprediksi pada tahun 2005 jumlah pelanggan seluler di Indonesia akan mencapai 40 juta.
Pada Mei 2005, Telkomsel berhasil melakukan ujicoba jaringan 3G di Jakarta dengan menggunakan
teknologi Motorola dan Siemens, sedangkan CAC baru melaksanakan ujicoba jaringan 3G pada bulan
berikutnya. CAC melakukan ujicoba layanan telepon video, akses internet kecepatan tinggi, dan
menonton siaran MetroTV via ponsel Sony Ericsson Z800i. Setelah melalui proses tender, akhirnya tiga
operator telepon seluler ditetapkan sebagai pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G, yakni PT
Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), PT Excelcomindo Pratama (XL), dan PT Indosat Tbk (Indosat) pada
tanggal 8 Februari 2006. Dan pada akhir tahun yang sama, ketiganya meluncurkan
layanan 3G secara komersial.
Pada Agustus 2006, Indosat meluncurkan StarOne dengan jaringan CDMA2000 1x EV-
DO di Balikpapan. Pada saat yang sama, Bakrie Telecom memperkenalkan layanan ini pada
penyelenggarakan kuliah jarak jauh antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan California Institute for
Telecommunication and Information (Calit2) di San Diego State University (UCSD) California.
Maka, berdasarkan keputusan tersebut, para operator seluler CDMA berbasis FWA yang menghuni
frekuensi 1900 MHz harus segera bermigrasi ke frekuensi 800 MHz. Saat itu ada dua operator yang
menghuni frekuensi CDMA 1900 MHz, yaitu Flexi dan StarOne. Akhirnya, Telkom bekerjasama
dengan Mobile- 8 dalam menyelenggarakan layanan Fren dan Flexi, sedangkan Indosat dengan produk
StarOne bekerja sama dengan Esia milik Bakrie Telecom. Walaupun demikian, sebuah operator baru yaitu
Smart Telecom yang menggunakan sistem CDMA 1900 MHz (tapi bukan FWA) sejak 3 September 2007,
justru tidak terkena peraturan ini.
14
Jumlah pengguna layanan seluler di Indonesia mulai mengalami ledakan. Jumlah pelanggan layanan seluler
dari tiga operator terbesar (Telkomsel, Indosat, dan Excelcom) saja sudah menembus 38 juta. Itu belum
termasuk operator-operator CDMA. Hal ini disebabkan oleh murahnya tarif layanan seluler jika
dibandingkan pada masa sebelumnya yang masih cukup mahal. Walaupun demikian, jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta pada saat itu, angka 38 juta masih cukup
kecil. Para operator masih melihat peluang bisnis yang besar dari industri telekomunikasi seluler itu. Maka,
untuk meraih banyak pelanggan baru, sekaligus mempertahankan pelanggan lama, para operator
memberlakukan perang tarif yang membuat tarif layanan seluler di Indonesia semakin murah.
Namun di balik gembar-gembor tarif murah itu, BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia)
dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menemukan fakta menarik, ternyata para operator seluler
telah melakukan kartel tarif layanan seluler, dengan memberlakukan tarif minimal yang boleh diberlakukan
di antara para operator yang tergabung dalam kartel tersebut. Salah satu fakta lain yang
ditemukan BRTI dan KPPU adalah adanya kepemilikan silang Temasek Holdings, sebuah perusahaan
milik Pemerintah Singapura, di Indosat dan Telkomsel, yang membuat tarif layanan seluler cukup tinggi.
Maka, pemerintah melalui Depkominfo akhirnya mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para operator
seluler menurunkan tarif mereka 5%-40% sejak bulan April 2008, termasuk di antaranya penurunan
tarif interkoneksi antar operator. Penurunan tarif ini akan dievaluasi oleh pemerintah selama 3 bulan sekali.
Salah satu hal yang cukup menjadi sorotan dalam era ini adalah banyaknya pengalihan kepemilikan atas izin
operator telekomunikasi, terutama kepada pihak asing. Walaupun pemerintah beberapa kali menunjukkan
kekecewaannya, namun tetap saja semuanya berjalan mulus. Pihak asing tampak mendominasi industri
telekomunikasi seluler (terutama GSM) yang masih berlangsung sampai sekarang. Perubahan kepemilikan
itu, yaitu:
Di Indonesia pada tahun 2009, telah beroperasi sejumlah 10 operator dengan perkiraan jumlah
pelanggan sekitar 175,18 juta. Berikut ini adalah Tabel Perolehan pelanggan per tahun 2009 pada setiap
Operator:
Sebagian besar operator telah meluncurkan layanan 3G dan 3,5G. Seluruh operator GSM telah
mengaplikasikan teknologi UMTS, HSDPA dan HSUPA pada jaringannya, dan operator CDMA juga telah
mengaplikasikan teknologi CDMA2000 1x EV-DO.
Akibat kebijakan pemerintah tentang penurunan tarif pada awal 2008, serta gencarnya perang tarif
para operator yang makin gencar, kualitas layanan operator seluler di Indonesia terus memburuk, terutama
pada jam-jam sibuk, Sementara itu, tarif promosi yang diberikan pun sering kali hanya sekadar akal-akalan,
bahkan cenderung merugikan konsumen itu sendiri. Melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan
16
penetrasi Rp100 triliun. Industri ini diperkirakan terus tumbuh, investasi terus meningkat menjadi sekitar
US$2 miliar per tahun, dengan jumlah BTS mencapai lebih 100.000 unit.
Seiring perkembangan zaman, juga muncul teknologi 4G yang mulai diperkenalkan dengan
dikembangkannya WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) oleh
pemerintah. Pemerintah selaku regulator telah menerbitkan tiga peraturan pada bulan Februari 2008 melalui
keputusan Dirjen Postel No. 94, 95, 96 mengenai persyaratan teknis mengenai alat dan
perangkat telekomunikasi pada frekuensi 3.3 Ghz, sebagai frekuensi yang akan ditempati WiMAX di
Indonesia. Pemerintah sendiri telah menyiapkan dana sebesar Rp18 miliar untuk penelitian dan
pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia, bekerjasama dengan beberapa lembaga penelitian
dan perguruan tinggi. Pemerintah membuka akses internet untuk publik sembari menguji coba
teknologi WiMAX lokal selama tiga bulan berturut-turut mulai 15 Oktober hingga akhir
2008. WiMAX sendiri adalah teknologi telekomunikasi terbaru yang memudahkan masyarakat untuk
mendapatkan koneksi internet berkualitas dan melakukan aktivitas dan teknologi nirkabel telekomunikasi
berbasis protokol internet yang berjalan pada frekuensi 2,3 dan 3.3 GHz.
Telkomsel telah menggunakan frekuensi 5,8 GHz untuk menguji coba teknologi WiMAX tersebut.
Namun, karena tak punya izin lisensi, operator ini mengklaim meminjam perangkat dan izin penggunaan
frekuensi dari penyelenggara lain. Telkomsel sendiri mengklaim mereka tak akan mengkomersilkan
WiMAX, sebab mereka lebih memilih LTE (Long Term Evolution) sebagai teknologi masa depan mereka.
Telkomsel menggunakan teknologi WiMAX ini untuk backhaul saja. Sementara itu, Indosat
melalui produk IndosatM2 bekerja sama dengan Intel untuk menawarkan program pengadaan komputer
beserta koneksi internet nirkabelnya di sekolah-sekolah. Program itu nantinya jadi cikal-bakal untuk
membidik peluang WiMAX di sekolah.
Pada 27 April 2009 pemerintah memulai melakukan tender untuk membangun sistem WiMAX.
Hasilnya ada sejumlah perusahaan yang mememangkan tender pembangunan jaringan ini secara regional di
15 zona (terbanyak oleh Berca Hardyaperkasa dengan 7 zona). Namun, dari banyak perusahaan itu hanya
ada dua yang bisa menyelenggarakannya yaitu PT First Media dengan merek Sitra pada 28 Juni 2010 dan
PT Berca meluncurkan layanannya yang diberi nama WiGO pada 20 September 2010. Walaupun demikian,
prospek WiMAX kemudian tidak berkembang sehingga banyak operator lebih memfokuskan untuk
membangun sistem LTE.
17
2015.
18
Teknologi yang diterapkan adalah Time Division Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 2300 MHz. Hinet
menawarkan kecepatan akses data hingga 72 Mbps. Pada tanggal 27 Juni 2017, perusahaan telekomunikasi
Sampoerna Telekomunikasi Indonesia meluncurkan layanan 4G LTE ketiga di Indonesia yaitu Net1.
Teknologi yang diterapkan adalah Time Division Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 450 MHz. Net1
menawarkan kecepatan akses data hingga 30 Mbps. Ketiga operator ini bukan merupakan operator murni
baru, melainkan hasil konversi dari sistem lain (yang ditinggalkan). Bolt merupakan konversi dari jaringan
WiMAX Internux dan First Media, begitu juga Hinet yang merupakan konversi jaringan WiGO Berca.
Sementara Net1 merupakan hasil konversi jaringan CDMA2000 dengan merek Ceria sebelumnya.
Belakangan, muncul operator lain seperti XL, Telkomsel, Indosat, Tri dan Smartfren yang juga meluncurkan
jaringannya. Terkecuali Smartfren, keempat operator sebelumnya saat ini juga mengoperasikan sistem
3G/GSM dan 4G secara paralel.
Era pasca-2009 juga ditandai dengan berbagai aksi konsolidasi dalam industri telekomunikasi.
Berbagai merek dan operator menghilang atau bergabung dengan yang lain, meninggalkan 4 pemain utama.
Ada juga operator yang mengubah sistemnya (terutama CDMA) agar bisa kompetitif di pasaran. Konsolidasi
tersebut didorong oleh beberapa faktor, seperti mulai ditinggalkannya penggunaan operator berbasis CDMA
oleh masyarakat dan produsen telepon seluler dibanding GSM; munculnya teknologi baru seperti LTE;
"perang harga" pada 2008-2009 yang justru menggerogoti keuntungan seluler yang baru hampir mencapai
50%, maka masih ada peluang yang terbuka lebar untuk meraih banyak pelanggan baru. Pada 2012,
diperkirakan penetrasi seluler di Indonesia akan mencapai 80%.
Jumlah pengguna seluler di Indonesia hingga bulan Juni 2010 diperkirakan mencapai 180 juta
pelanggan, atau mencapai sekitar 80 persen populasi penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu,
sebanyak 95 persen adalah pelanggan prabayar. Menurut catatan ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler
Indonesia), pelanggan Telkomsel hingga bulan Juni 2010 mencapai 88 juta nomor, XL sekitar 35 juta,
Indosat sekitar 39,1 juta, selebihnya merupakan pelanggan Axis dan Three. Menurut Direktur Utama
Telkomsel Sarwoto, dari sisi pendapatan seluruh operator seluler sudah menembus angka perusahaan
penyelenggara jaringan seluler; dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) jaringan yang makin mahal. Belum lagi
pertumbuhan bisnis sejumlah operator yang melambat belakangan ini, upaya menerapkan teknologi baru
(seperti 4G dan 5G) dan memperluas bandwith yang dibatasi hak spektrum, maupun dukungan dari
pemerintah dan berbagai pihak demi mendukung transformasi digital nasional. Beberapa operator yang
tercatat harus "angkat tangan" atau menggabungkan diri pada periode ini, seperti:
Pada 2009, Mobile-8 Telecom diakuisisi oleh Sinarmas Group. Sinarmas menyatukan Smart
Telecom miliknya dengan Mobile-8 Telecom pada 2010-2011 dan merger dengan nama baru
yaitu PT Smartfren Telecom Tbk.
19
Pada 7 Juni 2013, layanan WiMAX Sitra resmi dihentikan. Seiring peluncuran Bolt, maka
layanan WiMAX Sitra dialihkan ke Bolt.
Pada 2013, PT Axis Telekom Indonesia diakuisisi oleh PT XL Axiata Tbk dari dua pemegang
saham utamanya, STC dan Maxis. Lalu, pada 8 April 2014, perusahaan ini digabungkan dengan
XL Axiata, sehingga merek AXIS kini berada di bawah naungan PT XL Axiata Tbk
Pada 2014-2016, Bakrie Telecom memutuskan untuk meninggalkan industri operator seluler.
Sebelumnya, operator CDMA besar ini sudah mengonsolidasikan mereknya (yang awalnya
ada Esia, AHA, Wifone dll) menjadi hanya satu merek, yaitu Esia pada 2012. Namun, seiring
kerugian dan penurunan pengguna CDMA, maka pada 30 Oktober 2014 dijalin kerjasama
dengan Smartfren untuk menyatukan jaringan mereka. Setelah itu, pada 2015 dan 2016, Bakrie
Telecom menghentikan operasional jaringan seluler mereka.
Pada 4 Oktober 2014, Flexi, operator CDMA Telkom resmi menghentikan operasionalnya.
Pada 30 Juni 2015, StarOne, operator CDMA Indosat resmi menghentikan operasionalnya.
Pada 3 Juli 2015, diluncurkan layanan Hinet, pengganti sistem WiMAX sebelumnya yang
bernama WiGO. Dengan peluncuran ini, maka operasional sistem WiMAX di Indonesia
berakhir.
Pada 27 Juli 2017, layanan Ceria yang berbasis CDMA resmi berganti nama menjadi Net1
Indonesia dengan basis 4G LTE.
Pada 13 November 2017, layanan CDMA Smartfren resmi ditutup, mengakhiri layanan CDMA
di Indonesia. Pelanggannya dialihkan ke 4G LTE.
Pada 28 Desember 2018, layanan Bolt milik Internux resmi menghentikan operasinya karena
menunggak biaya BHP frekuensi ke negara.
Pada 29 Desember 2020, pemilik Indosat, Ooredoo menandatangani nota kesepahaman (MoU)
dengan pemilik Tri, CK Hutchison Holdings untuk menggabungkan kedua perusahaan ini.
Setelah melalui perjanjian tidak mengikat dan perundingan, pada tahun 2021, Indosat
dan 3 akhirnya secara resmi meleburkan diri membentuk Indosat Ooredoo Hutchison pada 4
Januari 2022, sehingga merek 3 (Tri) kini berada di bawah naungan PT Indosat Tbk.
Pada 30 November 2021, Net1 Indonesia resmi menghentikan operasinya karena izinnya
dicabut, akibat menunggak biaya BHP frekuensi ke pemerintah.
Operator eks-WiMAX terakhir, Hinet yang beroperasi dengan sistem 4G-LTE, ikut
menghentikan operasionalnya di akhir 2022.
Selain itu, rumor-rumor konsolidasi lain juga banyak beredar, misalnya Tri-XL, dan juga XL-
Smartfren. Walaupun saat ini isu-isu konsolidasi masih sebatas rumor, namun para operator dan
pemerintah mendukung rencana ini.
20
Di sisi lain, pengguna jaringan seluler di Indonesia semakin meningkat, dari 2013 mencapai 313
juta, menjadi 435 juta di tahun 2017 dan 365 juta di tahun 2021. Hampir sekitar 97%-nya menggunakan
kartu prabayar, sedangkan sisanya pascabayar, dan banyak yang memiliki 2 nomor atau lebih perorang.
Adapun penurunan sempat terjadi ketika pemerintah menerapkan kewajiban registrasi kartu SIM pada tahun
2017, yang dilandasi upaya untuk mencegah penyalahgunaan kartu SIM untuk hal yang tidak
bertanggungjawab seperti penyebaran kabar bohong dan kejahatan finansial. Hal ini sempat membuat
operator seperti Telkomsel dan Indosat mengalami penurunan subscriber yang cukup besar, hingga 30-50
juta pelanggan dalam setahun (2017-2018). Pada saat yang sama, persentase rumah tangga pengguna telepon
seluler juga hampir mendekati 100%, yaitu 88,46% pada 2018 dan 90,75% di tahun 2020, sedangkan untuk
kepemilikan per individu, naik dari 47,9 juta unit di tahun 2013 menjadi 65,87 juta unit di tahun 2021.
Dengan perkembangan pemakai telepon seluler dan digitalisasi yang semakin meningkat, maka
berbagai teknologi terus muncul. Pada Juli 2019, seiring dengan beredarnya iPhone XS, sistem eSIM mulai
diperkenalkan di Indonesia oleh Smartfren, sehingga pelanggan tidak membutuhkan kartu SIM fisik. Selain
itu, teknologi jaringan seluler juga kini menjadi 4,5G, dan bahkan direncanakan naik menjadi 5G. Ujicoba
sistem 5G ini sudah dilakukan pada akhir 2019-2020 oleh XL, Tri dan Telkomsel. Salah satu langkah awal
menuju peluncuran sistem ini adalah lelang jaringan yang diumumkan pemerintah pada 18 Desember 2020,
dimana Smartfren, Tri dan Telkomsel menjadi pemenangnya masing-masing pada frekuensi 2,3 GHz di blok
A, B dan C. Namun, tiba-tiba pada 25 Januari 2021, Kemenkominfo membatalkan hasil lelang ini.
Walaupun demikian pemerintah masih tetap berkomitmen untuk mengadakan lelang ulang (dengan lebih
baik) dan pemajuan teknologi 5G dalam waktu segera.
21
BABIII
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Ketergantungan masyarakat terhadap internet, membuat kompetisi bisnis telekomunikasi operator seluler
semakin intens. Salah satu syarat yang harus dipenuhi suatu perusahaan agar dapat mencapai sukses dalam
persaingan adalah menciptakan dan mempertahankan pelanggan . Strategi pemasaran menurut Assauri
adalah serangkaian tujuan dan sasaran, kebijakan dan aturan yang memberi arah kepada usaha-usaha
pemasaran perusahaan dari waktu kewaktu, pada masing-masing tingkatan dan acuan serta alokasinya,
terutama sebagai tanggapan dari keadaan persaingan perusahaan yang selalu berubah.
22