JALAN MENUJU
KESEJAHTERAAN RAKYAT
DAN KELESTARIAN HUTAN
DESEMBER 2020
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL
JALAN MENUJU
KESEJAHTERAAN RAKYAT
DAN KELESTARIAN HUTAN
DESEMBER 2020
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
ii JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN
Ringkasan Eksekutif
Selain itu, pada sisi ekologi juga tercatat bahwa masyarakat merasakan
kualitas tanah membaik dan hutan mulai menghijau sejak adanya status
Hutan Sosial. Angka tutupan hutan pada saat ini meningkat dibandingkan
dengan sebelum penetapan Kawasan, angka luasan hutan kritis berkurang
sedang hutan primer bertambah, serta vegetasi menjadi multikultur.
Disisi lain, hasil pemetaan daerah dalam program Perhutanan Sosial melalui
Indeks Perhutanan Sosial menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan
progam Perhutanan sosial masih pada tahap sedang. Artinya, program
ini masih mempunyai potensi untuk dapat terus ditingkatkan pada masa
mendatang.
Program ini dapat berjalan lebih baik dengan kolaborasi antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, para pendamping, organisasi terkait, hingga
masyarakat untuk dapat mewujudkan tujuan dari program Perhutanan
Sosial yang berkelanjutan.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
iv JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN
Editor
TIM PENYUSUN Mulya Amri, Ph. D Heri Susanto menjabat
merupakan Research sebagai Chief Content
EDITOR: Director di Katadata Officer Katadata, memiliki
Mulya Amri Insight Center. Mulya pengalaman lebih dari
Heri Susanto adalah spesialis senior 20 tahun sebagai jurnalis
kebijakan publik dan di bidang ekonomi
PENANGGUNGJAWAB: pembangunan perkotaan dengan 20 dan bisnis di sejumlah media, seperti
Arie Mega Prastiwi tahun pengalaman bekerja bersama Media Indonesia, Tempo dan Vivanews.
pejabat pemerintah, bisnis, dan com. Heri memulai karir di bidang
TIM DATA: kelompok masyarakat sipil di berbagai riset dengan bekerja di Independent
Agus Dwi Darmawan negara. Mulya memiliki gelar Ph. D Research and Advisory Indonesia (IRAI)
Nazmi Haddyat Tamara Kebijakan Publik dari National University sebelum ikut mendirikan Katadata.
Viva Budi Kusnandar of Singapore. Mulya berpengalaman Heri memimpin sejumlah riset di bidang
menyusun beragam indeks di sejumlah energi, sustainability dan lingkungan.
SURVEI: sektor, termasuk indeks perhutanan
Vivi Zabkie sosial.
Amalia Afifah
Kata Pengantar
“Dulu lahan ini banyak diberikan kepada yang gede-gede. Sekarang, kita berikan kepada
rakyat dalam bentuk surat keputusan. Ini untuk 35 tahun, tapi status hukumnya jelas.”
Itulah pernyataaan Presiden Joko Widodo pada 2017 tatkala menyerahkan Surat
Keputusan (SK) Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial. Pemberian SK merupakan
tindak lanjut pemerintah mewujudkan komitmen pengelolaan hutan berbasis masyarakat
yang bertujuan untuk kesejahteraan mereka dengan tetap menjaga kelestarian hutan.
Untuk mengetahui sejauh mana dampak program tersebut, Katadata Insight Center
(KIC) mengukurnya melalui survei terhadap 103 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial.
Sedangkan, untuk mendukung percepatan program ini, KIC merumuskan Indeks
Perhutanan Sosial yang mengukur kontribusi dan peran pemerintah provinsi dalam
percepatan pelaksanaan program ini.
Dari hasil survei diketahui terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan,
kelestarian hutan, serta penyelesaian konflik tenurial. Sedagkan, berdasarkan Indeks
Perhutanan Sosial dihasilkan lima pemerintah provinsi yang bisa menjadi percontohan
guna mencapai tujuan yang diharapkan. Pemaparan secara detail atas hasil survei dan
indeks tersebut merupakan bagian utama dari laporan ini.
Atas terbitnya laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan dukungan dan bantuan, khususnya kepada Direktorat Jenderal
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Kementerian Dalam
Negeri, Ford Foundation, serta sejumlah lembaga nirlaba seperti Kemitraan, Madani
Berkelanjutan dan lainnya. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan
dalam bentuk data, dokumen, informasi, masukan dan dukungan lainnya.
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif ii
Tim Penyusun iv
Profil Tim Ahli v
Daftar Isi vi
Daftar Grafik vii
BAB I PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 3
1.2 TUJUAN 6
1.3 Metodologi 6
1. Input 7
2. Proses 8
3. Output 9
BAB II TEMUAN SURVEI 12
2.1 Kegiatan Survei 13
2.2 Dampak Ekonomi 15
2.3 Dampak Lingkungan 17
2.4 Mengatasi Konflik 19
2.5. Pendukung dan Kendala 22
BAB III INDEKS PERTHUTANAN SOSIAL 26
3.1 Skema Hutan Desa 32
3.2 Skema Hutan Kemasyarakatan 34
3.3 Skema Hutan Tanaman Rakyat 36
3.4 Skema Hutan Adat 39
3.5 Skema Hutan Kemitraan 40
3.6 Kesimpulan 42
Daftar Pustaka 45
Lampiran 46
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN vii
Daftar Grafik
Kawasan hutan memiliki nilai ekologis, ekonomi, hingga nilai sosial yang tinggi
bagi masyarakat. Selain sebagai sumber kehidupan, hutan berfungsi sebagai
sistem penyangga biodiversitas serta memperbaiki kualitas air dan udara, serta
meredam kenaikan gas rumah kaca yang menjadi pemicu perubahan iklim.
Hutan juga mempunyai potensi besar menjadi sumber pendapatan yang dapat
diandalkan oleh masyarakat di sekitar hutan.
Kedua, konflik tenurial di kawasan hutan. Selama ini, konflik dalam pengelolaan
hutan kerap terjadi akibat ketidakjelasan status kawasan serta tumpang tindih
perizinan. Ketidakpastian status lahan tidak hanya menimpa masyarakat
adat maupun masyarakat lokal di sekitar hutan, melainkan juga institusi yang
memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Akibatnya, muncul konflik
berkepanjangan.
Hingga September 2020, dari total luas lahan yang ditargetkan, pencapaian
program sebanyak 4,2 juta hektar luas areal Perhutanan Sosial yang
sudah diserahkan dan diberikan SK untuk masyarakat. Pemerintah akan
melanjutkan untuk mengejar target tersebut hingga 2024. Jika target 12,7
juta hektar program Perhutanan Sosial tercapai, maka perbandingan izin
kelola hutan untuk swasta dan masyarakat akan berbanding di kisaran 70
persen : 30 persen.
1.2 TUJUAN
1.3 Metodologi
1. Input
Pengukuran Indeks Perhutanan Sosial melalui input utamanya terkait
aspek legalitas penetapan dari Perhutanan Sosial tersebut. Input tersebut
mengukur empat pilar yang menjadi input secara langsung untuk
pengembangan Perhutanan Sosial yakni rasio jumlah Surat Keputusan
(SK) yang terbit terhadap jumlah izin yang diajukan, rasio luas Perhutanan
Sosial sesuai SK terhadap jumlah SK yang ada, rasio luas Perhutanan Sosial
sesuai SK terhadap total luas hutan, rasio luas Perhutanan Sosial sesuai SK
terhadap luas indikatif PS yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
2. Proses
Perkembangan Perhutanan Sosial besar ditentukan oleh proses yang
memungkinkan input tersebut dapat diolah dengan baik untuk menghasilkan
output yang diharapkan. Sub indeks proses mengukur peran pemerintah
provinsi dalam program Perhutanan Sosial khususnya melalui regulasi
dan kebijakan yang dikeluarkan. Indikator yang diukur pada sub indeks ini
adalah pengakuan Perhutanan Sosial dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD), pengakuan Perhutanan Sosial dalam Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan legalitas Perhutanan Sosial dalam
Peraturan Daerah.
3. Output
Dengan input dari aspek legalitas dan proses yang berkaitan dengan
peran dan dukungan pemerintah daerah, pengembangan Perhutanan
Sosial diharapkan dapat memberikan output manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pilar ini mengukur
pencapaian dari kelompok usaha, dinilai dari jumlah kelompok usaha,
jumlah potensi komoditas, dan penambahan tutupan lahan.
Perhitungan Indeks
Nilai aktual dari setiap indikator memiliki satuan yang berbeda. Untuk itu,
kami menghitung skor dengan skala 0 sampai 100 untuk menyelaraskan
setiap indikator. Skor ini menunjukkan perbandingan relatif untuk melihat
kinerja provinsi tertentu dibandingkan dengan provinsi lain. Pada skor 0
(berkinerja terburuk untuk suatu provinsi di Indikator tersebut) dan skor
100 (berkinerja terbaik untuk suatu provinsi di indikator tersebut).
Provinsi dengan skor indikator lebih tinggi dianggap “lebih kompetitif” dalam
indikator tersebut. Skor indikator untuk provinsi tertentu dihitung dengan
menggunakan rumus berikut, di mana Xi adalah nilai yang diperoleh untuk
indikator tertentu, Xmin dan Xmax masing-masing, adalah nilai minimum
dan maksimum untuk indikator tersebut, di semua provinsi di Indonesia.
Xi— Xmin
Skor Indikatori= 100 ( ) 100
Xmax— Xmin
Xi— Xmin
Skor Indikatori= 100- [( ) 100 ]
Xmax— Xmin
6 - 8 tahun 7,8%
4 - 5 tahun 18.4%
1 - 3 tahun 53.4%
Kurang dari 1 tahun 3.9%
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
14 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN
Hasil survei juga menunjukkan lebih dari 50% kelompok usaha berusia 1-3
tahun & beranggotakan 10-50 orang. Saat ini separuh dari kelompok usaha
memiliki anggota kurang dari 50 orang dan tidak memiliki buruh/karyawan.
Kebanyakan kegiatan usaha pengolahan hasil hutan dilakukan di rumah
masing-masing anggota dan bangunan milik kelompok.
Lainnya 0,5
25,8 25,8
2,4
Ya
98,4 Tidak
1,6 Tak Naik 2 kali Naik 2-3 Naik lebih
sampai lipat kali lipat dari 3 kali
2 kali lipat lipat
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 17
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh KIC pada 2020, dampak
terhadap perbaikan lingkungan dari program Perhutanan Sosial juga
tercermin dari perubahan tutupan lahan, perbaikan kualitas tanah,
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
18 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN
perbaikan mata air, kehadiran hewan atau satwa liar, serta penambahan
jenis tanaman di kawasan lahan yang menjadi program Perhutanan Sosial.
Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas responden merasakan
kualitas tanah membaik dan hutan mulai menghijau setelah adanya status
Perhutanan Sosial.
Lainnya 1,0
92,2%
55,3%
44,7%
7,8%
Perhutanan Sosial dengan jenis tanaman pokok yang paling banyak ditanam
adalah tanaman perkebunan seperti kopi, lada dan cengkeh. Sementara
untuk jenis tanaman pendamping paling banyak adalah empon-empon
seperti kunyit, jahe, sereh serta temulawak. Selanjutnya, jenis tanaman
kehutanan yang banyak ditanam adalah Mahoni.
Salah satu sasaran strategis Ditjen PSKL Kementerian LHK dalam menjalankan
program Perhutanan Sosial adalah meningkatkan upaya penyelesaian konflik
tenurial di kawasan hutan. Penyebabnya, selama ini sengketa atau konflik
merupakan salah satu persoalan yang kerap mengemuka dalam pengelolaan
kawasan hutan. Bahkan, konflik yang terjadi bisa berlarut-larut hingga puluhan
tahun. Konflik yang kerap terjadi adalah konflik antarwarga, konflik antar
warga dengan korporasi swasta, serta konflik antar warga dengan BUMN
(Perhutani, PTPN), termasuk konflik di Hutan Adat.
Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar dalam acara Jakarta Food Security Summit
pada 18-19 November 2020 menyebutkan bahwa upaya mengatasi konflik
di kawasan hutan dilakukan melalui program Perhutanan Sosial yang
menerapkan model kemitraan antara korporasi dengan kelompok usaha
masyarakat, serta kebijakan pengukuhan kawasan hutan untuk Perhutanan
Sosial. Adanya perizinan pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial
merupakan wujud dari bentuk kepastian hukum bagi kelompok usaha petani
di kawasan hutan. Sedangkan, pola pendekatan mediasi menjadi prioritas
yang pemerintah dalam menangani masalah sengketa di kawasan hutan.
Konflik Lahan
0,0
Lebih dari 5 kasus
2,9
14,6
1 - 5 kasus
23,3
85,4
Tidak ada
73,8
Mediasi 79,5
Persidangan 15,9
(proses hukum)
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 21
Selain upaya mengatasi konflik di kawasan hutan, hasil survei KIC juga
menunjukkan bahwa program Perhutanan Sosial berdampak pada
penurunan kasus illegal logging atau pencurian kayu, serta penurunan
peristiwa kebakaran hutan. Hasil survei menyebutkan bahwa setelah
penetapan kawasan Perhutanan Sosial, jumlah responden yang menyatakan
tidak terjadi lagi kasus illegal logging bertambah dari semula 71 persen
menjadi 89 persen. Sedangkan, responden yang menyatakan tidak ada lagi
peristiwa kebakaran hutan juga bertambah dari semula 78 persen menjadi
94 persen.
Sesudah Sebelum
10,7%
1-5 kasus 16,5%
27,2%
89,3%
Tidak ada 18,4%
70,9%
Kebakaran Hutan
0,0%
Lebih dari 5 kasus 1,9%
0,0%
5,8%
1-5 kasus 15,6%
21,4%
94,2%
15,6%
Tidak ada
78,6%
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
22 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN
a. Pendukung
Pendukung Salah satu proses yang mendukung keberhasilan program
Perhutanan Sosial adalah pendampingan. Kegiatan ini dilakukan
bersama masyarakat secara kontinu untuk pengelolaan hutan lestari
yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan
adat. Melalui pendampingan, masyarakat diharapkan mampu mengasah
kemampuan diri dan kelompok dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
pemodalan dan sumber daya lainnya sebagai upaya meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya serta
meningkatkan kesadaran dan kemandirian dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Ya
96,1%
Tidak
3,9%
34,3%
b. Kendala
Hasil survei KIC memperlihatkan kendala yang ditengarai menghambat
percepatan dan implementasi program Perhutanan Sosial untuk mencapai
tujuan yang diharapkan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat di
sekitar hutan, serta pelestarian lingkungan dan hutan. Kendala pertama
adalah proses penerbitan izin yang memakan waktu cukup lama. Lebih dari
70% kelompok usaha mengaku membutuhkan waktu lebih dari 3 bulan
untuk mengajukan izin hingga hak pengelolaan hutan diperoleh. Sedangkan,
biaya bukan menjadi persoalan utama. Hanya 12,6 responden yang mengaku
mengeluarkan biaya saat proses pengajuan izin. Biaya tersebut mencakup
administrasi dan akomodasi, biaya anggota pengukuh dan operasional.
Bab III
INDEKS
PERHUTANAN
SOSIAL
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 27
Untuk mengejar target akses kelola tersebut, pemerintah pusat tidak bisa
bekerja sendiri sehingga perlu melibatkan pemerintah daerah. Bahkan,
peran pemerintah daerah sangat krusial dalam membantu memfasilitasi
masyarakat hutan terkait Perhutanan Sosial. Menurut Konsorsium
HL : 2.349.534 Ha
HP : 3.455.053 Ha
HPK : 1.266.948 Ha Ket: Tiap 6 bulan sekali ditinjau kembali
HPT : 3.896.094 Ha
Definitif : 2.658.081 Ha
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 29
Secara khusus Menteri LHK telah mengirimkan surat resmi untuk mohon
dukungan kepada Menteri Dalam Negeri melalui surat No. A.1016/MENLHK/
PSKL/PSL.2/11/2019, tanggal 18 November 2019, perihal Pengembangan
Usaha Perhutanan Sosial Pasca Izin. Dalam merespon tersebut, Menteri
Dalam Negeri telah menerbitkan surat kepada seluruh Gubernur (kecuali
DKI Jakarta) No. 552/1391/SJ dan kepada 353 Bupati/Walikota No. 552/1392/
SJ tanggal 13 Februari 2020 yang mempungai izin pemanfaatan Perhutanan
Sosial di wilayahnya agar dapat memberi perhatian terhadap dukungan
pengembangan usaha pasca izin.
Sebagai bagian dari upaya untuk mengukur peran daerah dalam membantu
Percepatan Perhutanan Sosial, Katadata Insight Center membuat “Indeks
Perhutanan Sosial” melalui penghimpunan data sekunder, serta melakukan
wawancara pendalaman dengan sejumlah sumber terkait di lapangan.
Skor Indeks Perhutanan Sosial bernilai dari 0-100. Berdasarkan kedua sub-
indeks tersebut secara umum nilai tengah (median) Indeks Perhutanan
Sosial berdasarkan skema hutan berkisar 24-36. Dengan skala 0-100, angka
ini memperlihatkan bahwa Indeks Perhutanan Sosial masih terbilang rendah.
Indeks ini digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah provinsi pada lima
skema Perhutanan Sosial, yakni Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Hutan Kemitraan. Berikut ini adalah hasil
penilaian berdasarkan Indeks Perhutanan Sosial tersebut.
Hutan desa merupakan salah satu dari 5 skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang ditawarkan oleh pemerintah. Hutan desa adalah hutan
negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa,
untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Model pengelolaan hutan
desa dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi
dengan jangka waktu pengelolaan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang
berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap 5 tahun. Kebijakan
mengenai hutan desa diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia P.89/Menhut-II/2014. Hutan Desa (HD) dengan tenurial HPHD atau
Hak Pengelolaan Hutan Desa. Berdasarkan data capaian izin Perhutanan
Sosial tahun 2007-2020 untuk hutan desa mencapai 1.803.368 Ha, terbesar
diantara skema pengelolaan hutan lainnya.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 33
Indeks Perhutanan Sosial untuk skema hutan desa memiliki nilai tengah
(median) yang paling tinggi dibandingkan skema Perhutanan Sosial lainnya.
Nilai tengah Indeks Perhutanan Sosial hutan desa dari 25 provinsi adalah
sebesar 35,99. Indeks Perhutanan Sosial yang tertinggi pada skema hutan
desa adalah Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Barat dan
Aceh.
Kalimantan Barat unggul pada sub indeks proses dan output dengan
menempati posisi pertama, sedangkan untuk sub indeks input menempati
posisi ketiga. Provinsi ini memenuhi seluruh penilaian di aspek proses
dengan pengakuan Perhutanan Sosial pada RKPD, RPJMD, juga memiliki
kebijakan Perhutanan Sosial yang dituangkan pada peraturan daerah. Pada
sisi output, provinsi ini memiliki kelompok usaha platinum, emas, dan perak
terbanyak dibandingkan provinsi lain dengan jumlah potensi komoditas
mencapai 105 komoditas.
Jika dibandingkan dengan nilai tengah dari Indeks Perhutanan Sosial hutan
desa masih terdapat 12 provinsi yang skor indeksnya dibawah nilai tengah,
dan Gorontalo sebagai provinsi dengan skor indeks terendah.
Jika dibandingkan dengan nilai tengah dari Indeks Perhutanan Sosial hutan
kemasyarakatan masih terdapat 9 provinsi yang skor indeksnya dibawah
nilai tengah, dan Gorontalo sebagai provinsi dengan skor indeks paling kecil
yakni 4,61.
Hutan adat merupakan pengelolaan kawasan hutan yang ada di wilayah adat
yang dilakukan oleh masyarakat adat, berdasarkan nilai-nilai kearifan adat.
Luasan hutan adat saat ini adalah 64% dari 7,4 juta hektar wilayah adat. Hutan
Adat (HA), tenurialnya adalah Penetapan Pencantuman Hutan Adat. Capaian izin
hutan adat pada tahun 2007-2020 sebesar 578.420 Ha. Bagi masyarakat adat,
Hutan adat menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari,
dan juga titipan bagi generasi yang akan datang. Hutan adat menjadi salah
satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan
hidupnya.
JAMBI 52,54
KALIMANTAN BARAT 43,67
BANTEN 36,31
SULAWESI TENGAH 34,33 Median :
SUMATERA SELATAN 31,23 33,35
Indeks Perhutanan Sosial untuk skema hutan adat memiliki nilai tengah
(median) di posisi kedua terbawah dibandingkan skema Perhutanan Sosial
lainnya. Nilai tengah Indeks Perhutanan Sosial hutan adat dari 8 provinsi
adalah sebesar 32,78. Dilihat berdasarkan skema hutan adat provinsi dengan
nilai indeks tertinggi adalah Jambi (52,54) disusul kemudian oleh Kalimantan
Barat (43,67) di posisi kedua dan Banten (36,31) di posisi ketiga. Berdasarkan
sub-indeks input dan output provinsi Jambi menempati peringkat pertama.
Namun provinsi Jambi berada di peringkat 10 provinsi terbawah berdasarkan
sub-indeks proses.
Keunggulan Jambi berada pada indikator rasio luas hutan adat terhadap
Luas hutan total tertinggi dan provinsi memiliki rasio izin yang dikeluarkan
terhadap izin yang diajukan paling tinggi. Pada sisi output, Jambi memiliki
Kelompok Usaha Emas dan Perak tertinggi dibandingkan provinsi lainnya
di skema Hutan Adat.
Jika dibandingkan dengan nilai tengah dari Indeks Perhutanan Sosial hutan
adat masih terdapat 4 provinsi atau setengah dari jumlah provinsi hutan adat
yang skor indeksnya dibawah nilai tengah, dan Jawa Barat sebagai provinsi
dengan skor indeks terendah.
coklat (kakao) dan karet. Tanaman keras yang dapat ditanam di lahan hutan
kemitraan diantaranya jenis tanaman buah dan tanaman kayu keras hutan.
Diantaranya durian, jengkol, petai, duku, damar, gaharu, meranti, cengal,
kruing, dan jenis tanaman lainnya.
3.6 Kesimpulan
bentuk pemberian Surat Keputusan (SK) atau izin Perhutanan Sosial, sebaran
skor pada semua provinsi cenderung menyebar dengan ketimpangan yang
rendah. Ini menandakan bahwa setiap provinsi sudah memiliki modal input
yang cukup baik. Artinya, di setiap provinsi, sudah cukup banyak kelompok
usaha yang memiliki SK untuk mengelola Perhutanan Sosial.
Kendati demikian, jika dilihat dari sisi indikator rasio luas hutan terhadap luas
indikatif terhitung masih rendah. Ini menunjukkan bahwa masih banyak area
perhutanan yang belum diturunkan menjadi SK kepada masyarakat. Sejauh
ini, dari total target PS seluas 12,7 juta ha, pencapaian hingga September
2020 masih sekitar 4,2 juta ha. Peran pemerintah diharapkan dapat lebih
maksimal dalam mendorong pembebasan lahan pada area potensial
perhutanan sosial.
Untuk itu, seperti disampaikan oleh Dirjen Bangda Kemendagri, Hari Nur
Cahya Murni, diperlukan pola kerja bersama atau kolaborasi yang dinamis
dan mata di tataran kementerian/lembaga terkait di pusat, antar tingkatan
pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota), serta antar perangkat
daerah terkait di lingkup pemerintahan daerah. Ini mencakup perangkat
dari sisi perencanaan hingga implementasi program Perhutanan Sosial
melalui sinergi program kegiatan pada lokus yang sama dalam skema
penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan
masyarakat dan ketahanan pangan. Kolaborasi menjadi salah satu
kunci keberhasilan tercapainya tujuan Perhutanan Sosial dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan fungsi kawasan hutan.
Daftar Pustaka
Aji, G. B, Yuliyanti, R., Suryanto, J., Desita Ekaputri, A., Saptono, T., & Muis, H. (2015). Sumbangan
Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa terhadap Pendapatan dan Pengurangan
Kemiskinan (2nd ed.). Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
Bakar, S. N. (2018). Percepatan Penyediaan Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (Tora) dari
Kawasan Hutan. Presentasi, Jakarta.
BPSKL Wilayah Maluku Papua. (2019). Kajian Dampak Perhutanan Sosial Wilayah Maluku-Papua.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Djauhari, M., S. Lubis, A., & Ari Moenir, N. (2018). Bunga Rampai: Strategi Percepatan Tora dan
Perhutanan Sosial. Bogor: Konsorsium KpSHK.
Kartodihardjo, H. (2015). Indeks Tata Kelola Hutan 2014: Sebuah Potret Pekerjaan Rumah.
Presentasi, Jakarta.
LAMPIRAN
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 47
Rekapitulasi Nilai Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Desa Rekapitulasi Nilai Indeks Perhutanan Sosial
Skema Hutan Kemasyarakatan
Median Nasional 35,99
Provinsi Input Proses Output Indeks Median Nasional 35,81
KALIMANTAN BARAT 54,65 100,00 91,21 81,95 Provinsi Input Proses Output Indeks
SUMATERA BARAT 73,39 75,00 27,39 58,59 KEP BANGKA BELITUNG 66,34 91,67 4,48 54,16
BALI 52,74 66,67 38,79 52,73 ACEH 53,45 91,67 2,56 49,23
SULAWESI BARAT 43,80 100,00 6,43 50,08 SULAWESI BARAT 34,68 100,00 6,07 46,92
ACEH 41,34 91,67 8,13 47,05 LAMPUNG 61,90 41,67 35,64 46,40
KALIMANTAN TIMUR 65,24 58,33 5,73 43,10 SUMATERA UTARA 34,62 91,67 5,51 43,93
SUMATERA UTARA 23,59 91,67 8,65 41,30 SULAWESI SELATAN 17,25 33,33 74,45 41,68
KEP BANGKA BELITUNG 24,77 91,67 5,02 40,48 NUSA TENGGARA BARAT 18,30 91,67 14,67 41,55
SULAWESI TENGGARA 44,06 66,67 5,99 38,90 KALIMANTAN BARAT 19,41 100,00 3,96 41,12
SUMATERA SELATAN 26,66 83,33 3,67 37,89 SUMATERA SELATAN 36,09 83,33 3,47 40,96
RIAU 41,77 66,67 4,43 37,62 NUSA TENGGARA TIMUR 33,88 41,67 44,81 40,12
SULAWESI SELATAN 27,82 33,33 47,58 36,25 SUMATERA BARAT 36,53 75,00 6,55 39,36
KALIMANTAN SELATAN 30,18 58,33 19,45 35,99 SULAWESI UTARA 16,75 91,67 5,52 37,98
MALUKU 53,17 33,33 20,52 35,68 KALIMANTAN TENGAH 38,59 66,67 6,87 37,38
SULAWESI TENGAH 33,63 41,67 31,05 35,45 RIAU 34,56 66,67 1,53 34,25
KALIMANTAN UTARA 41,80 41,67 21,01 34,83 KALIMANTAN SELATAN 32,75 58,33 10,37 33,82
KALIMANTAN TENGAH 15,23 66,67 21,21 34,37 SULAWESI TENGGARA 20,08 66,67 9,95 32,23
JAMBI 42,06 41,67 10,79 31,51 KEP RIAU 25,45 66,67 2,04 31,38
PAPUA 39,88 41,67 8,64 30,06 JAMBI 40,73 41,67 4,12 28,84
LAMPUNG 24,05 41,67 14,94 26,88 KALIMANTAN UTARA 39,54 41,67 3,22 28,14
KEP RIAU 4,52 66,67 5,07 25,42 SULAWESI TENGAH 29,07 41,67 10,73 27,16
BENGKULU 23,59 25,00 7,07 18,55 MALUKU 33,43 33,33 7,60 24,79
MALUKU UTARA 12,92 8,33 15,26 12,17 BENGKULU 29,64 25,00 10,28 21,64
PAPUA BARAT 19,95 0,00 11,32 10,42 KALIMANTAN TIMUR 3,96 58,33 2,31 21,53
GORONTALO 13,71 0,00 11,26 8,32 GORONTALO 37,67 0,00 7,33 15,00
MALUKU UTARA 12,07 8,33 4,40 8,27
PAPUA BARAT 7,50 0,00 1,54 3,01
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 49
Provinsi Input Proses Output Indeks Provinsi Input Proses Output Indeks
SUMATERA SELATAN 44,53 83,33 34,06 53,98 JAWA TIMUR 27,46 75,00 76,57 59,68
KEP BANGKA BELITUNG 48,54 91,67 7,76 49,32 KALIMANTAN BARAT 41,40 100,00 1,62 47,67
KALIMANTAN TENGAH 61,92 66,67 13,88 47,49 BALI 32,64 66,67 23,63 40,98
SULAWESI BARAT 11,94 100,00 30,29 47,41 JAWA BARAT 54,96 0,00 58,53 37,83
JAMBI 72,05 41,67 13,26 42,33 SUMATERA UTARA 12,82 91,67 3,73 36,07
KALIMANTAN BARAT 17,86 100,00 1,71 39,86 JAWA TENGAH 58,86 8,33 37,24 34,81
SUMATERA UTARA 9,94 91,67 3,21 34,94 SUMATERA SELATAN 17,80 83,33 0,50 33,88
KEP RIAU 33,54 66,67 2,32 34,18 NUSA TENGGARA BARAT 1,05 91,67 1,34 31,35
BALI 33,08 66,67 1,49 33,75 RIAU 16,37 66,67 0,66 27,90
KALIMANTAN TIMUR 39,84 58,33 0,70 32,96 KALIMANTAN SELATAN 12,16 58,33 3,45 24,65
SULAWESI TENGGARA 18,79 66,67 5,54 30,33 SULAWESI TENGGARA 2,88 66,67 1,13 23,56
LAMPUNG 36,64 41,67 3,91 27,41 KALIMANTAN TIMUR 11,54 58,33 0,15 23,34
KALIMANTAN SELATAN 17,54 58,33 2,36 26,08 KALIMANTAN UTARA 16,03 41,67 2,17 19,95
KALIMANTAN UTARA 29,54 41,67 2,20 24,47 LAMPUNG 11,12 41,67 2,09 18,29
NUSA TENGGARA TIMUR 11,59 41,67 8,93 20,73 JAMBI 10,28 41,67 2,20 18,05
PAPUA 15,08 41,67 3,02 19,92 NUSA TENGGARA TIMUR 0,45 41,67 8,94 17,02
SULAWESI SELATAN 0,09 33,33 3,47 12,30 BANTEN 25,66 16,67 3,37 15,23
GORONTALO 10,11 0,00 3,71 4,61 BENGKULU 12,32 25,00 2,13 13,15
GORONTALO 25,27 0,00 2,02 9,10