Anda di halaman 1dari 62

SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL

JALAN MENUJU
KESEJAHTERAAN RAKYAT
DAN KELESTARIAN HUTAN
DESEMBER 2020
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL
JALAN MENUJU
KESEJAHTERAAN RAKYAT
DAN KELESTARIAN HUTAN
DESEMBER 2020
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
ii JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Ringkasan Eksekutif

PROGRAM Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan


lestari yang berada di kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat
yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal/hukum adat. Pengelolaan
hutan sosial ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
termasuk masyarakat adat, namun tetap menjaga kelestarian hutan dan
keseimbangan lingkungan, serta dinamika sosial budaya.

Analisis ini memperlihatkan bahwa program Perhutanan Sosial memberikan


dampak positif pada sisi ekonomi, pembukaan lapangan pekerjaan, hingga
penurunan konflik di kawasan hutan. Mayoritas merasakan peningkatan
jumlah pendapatan keluarga setelah bergabung dengan kelompok usaha
pada program Perhutanan Sosial, hampir separuh diantaranya menyatakan
pendapatan naik 2 kali lipat.

Selain itu, pada sisi ekologi juga tercatat bahwa masyarakat merasakan
kualitas tanah membaik dan hutan mulai menghijau sejak adanya status
Hutan Sosial. Angka tutupan hutan pada saat ini meningkat dibandingkan
dengan sebelum penetapan Kawasan, angka luasan hutan kritis berkurang
sedang hutan primer bertambah, serta vegetasi menjadi multikultur.

Namun demikian, beberapa kendala masih ditemui dilapangan seperti


waktu pengajuan izin yang masih relatif lebih panjang dibandingkan waktu
yang ditetapkan. Mayoritas kelompok usaha membutuhkan waktu lebih dari
3 bulan untuk mengajukan izin hak pengelolaan hutan. Selain itu, masih
minimnya peran perempuan dalam program ini juga menjadi catatan khusus
dalam berjalannya program Perhutanan Sosial.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN iii

Disisi lain, hasil pemetaan daerah dalam program Perhutanan Sosial melalui
Indeks Perhutanan Sosial menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan
progam Perhutanan sosial masih pada tahap sedang. Artinya, program
ini masih mempunyai potensi untuk dapat terus ditingkatkan pada masa
mendatang.

Indeks ini memotret 5 provinsi sebagai percontohan pelaksanaan program


Perhutanan Sosial untuk masing-masing skema. Provinsi Kalimantan
Barat pada skema Hutan Desa, Kep. Bangka Belitung pada skema Hutan
Kemasyarakatan. Selanjutnya, Sumatera Selatan pada skema Hutan
Tanaman Rakyat, Jambi pada skema Hutan Adat, dan terakhir Jawa Timur
pada skema Hutan Kemitraan.

ANALISIS INI MEMPERLIHATKAN BAHWA PROGRAM PERHUTANAN


SOSIAL MEMBERIKAN DAMPAK POSITIF PADA SISI EKONOMI,
PEMBUKAAN LAPANGAN PEKERJAAN, HINGGA PENURUNAN KONFLIK
DI KAWASAN HUTAN. MAYORITAS MERASAKAN PENINGKATAN JUMLAH
PENDAPATAN KELUARGA SETELAH BERGABUNG DENGAN KELOMPOK
USAHA PADA PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL, HAMPIR SEPARUH
DIANTARANYA MENYATAKAN PENDAPATAN NAIK 2 KALI LIPAT.

Dukungan pemerintah daerah dalam bentuk regulasi dan kebijakan dinilai


dapat mendorong pelaksanaan program Perhutanan Sosial yang lebih baik.
Hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah izin pada sisi input, dan juga
produktivitas kelompok usaha pada sisi output.

Program ini dapat berjalan lebih baik dengan kolaborasi antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, para pendamping, organisasi terkait, hingga
masyarakat untuk dapat mewujudkan tujuan dari program Perhutanan
Sosial yang berkelanjutan.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
iv JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Editor
TIM PENYUSUN Mulya Amri, Ph. D Heri Susanto menjabat
merupakan Research sebagai Chief Content
EDITOR: Director di Katadata Officer Katadata, memiliki
Mulya Amri Insight Center. Mulya pengalaman lebih dari
Heri Susanto adalah spesialis senior 20 tahun sebagai jurnalis
kebijakan publik dan di bidang ekonomi
PENANGGUNGJAWAB: pembangunan perkotaan dengan 20 dan bisnis di sejumlah media, seperti
Arie Mega Prastiwi tahun pengalaman bekerja bersama Media Indonesia, Tempo dan Vivanews.
pejabat pemerintah, bisnis, dan com. Heri memulai karir di bidang
TIM DATA: kelompok masyarakat sipil di berbagai riset dengan bekerja di Independent
Agus Dwi Darmawan negara. Mulya memiliki gelar Ph. D Research and Advisory Indonesia (IRAI)
Nazmi Haddyat Tamara Kebijakan Publik dari National University sebelum ikut mendirikan Katadata.
Viva Budi Kusnandar of Singapore. Mulya berpengalaman Heri memimpin sejumlah riset di bidang
menyusun beragam indeks di sejumlah energi, sustainability dan lingkungan.
SURVEI: sektor, termasuk indeks perhutanan
Vivi Zabkie sosial.
Amalia Afifah

TIM RISET & ANALIS:


Nazmi Haddyat Tamara
Fitria Nurhayati
Tim Ahli
Hanna Farah Vania
Risanti Delphia Prof. Hariadi Ir. Suwito telah berkiprah
Kartodihardjo adalah mendukung pengelolaan
DESAIN: Guru Besar Tetap di hutan berbasis
Muhammad Yana Fakultas Kehutanan masyarakat dan program
Wahyu Risyanto dan Lingkungan IPB Perhutanan Sosial
University. Sebagai selama 25 tahun terakhir.
TIM AHLI: guru besar, saat ini Ia dipercaya sebagai Alumnus IPB ini juga menggeluti isu
Hariadi Kartodihardjo Penasehat Senior Menteri Lingkungan dan praktik pendampingan masyarakat
Suwito Hidup dan Kehutanan bidang Kebijakan selama lebih dari 30 tahun. Dia memiliki
Tatakelola dalam Pengelolaan pengetahuan yang luas tentang masalah
DITERBITKAN OLEH: Sumberdaya Alam dan sebagai Tenaga penguasaan lahan hutan (konflik tenurial
Katadata Insight Center Ahli Kajian Perum Perhutani oleh kawasan hutan) dan memfasilitasi
Desember 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). proses pembelajaran penanganan
Prof Hariadi juga memiliki berbagai penyelesaiannya. Sebagai praktisi
macam publikasi baik di majalah, jurnal program Perhutanan Sosial, Suwito
FOTO COVER
ilmiah, koran maupun buku. Karyanya memiliki pengalaman membangun
Oleh: Ir. Suwito
Hutan Sosial Sasaka Patengan
tersebut umumnya mengangkat isu-isu jejaring dengan pejabat kunci penentu
di Desa Patengan, Kec. Rancabali, lingkungan, kehutanan, dan sumberdaya kebijakan pemerintah untuk mendukung
Kab. Bandung (KPH Bandung Selatan) alam. advokasi.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN v

Kata Pengantar
“Dulu lahan ini banyak diberikan kepada yang gede-gede. Sekarang, kita berikan kepada
rakyat dalam bentuk surat keputusan. Ini untuk 35 tahun, tapi status hukumnya jelas.”

Itulah pernyataaan Presiden Joko Widodo pada 2017 tatkala menyerahkan Surat
Keputusan (SK) Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial. Pemberian SK merupakan
tindak lanjut pemerintah mewujudkan komitmen pengelolaan hutan berbasis masyarakat
yang bertujuan untuk kesejahteraan mereka dengan tetap menjaga kelestarian hutan.

Pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo, 2014 – 2019, pemerintah


menargetkan 12,7 juta hektar hutan bisa dikelola oleh masyarakat. Namun, karena
target tersebut tidak tercapai, pemerintah memperpanjang hingga akhir 2024. Sejauh
ini, hingga September 2020, sudah tercapai 4,2 juta ha.

Untuk mengetahui sejauh mana dampak program tersebut, Katadata Insight Center
(KIC) mengukurnya melalui survei terhadap 103 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial.
Sedangkan, untuk mendukung percepatan program ini, KIC merumuskan Indeks
Perhutanan Sosial yang mengukur kontribusi dan peran pemerintah provinsi dalam
percepatan pelaksanaan program ini.

Dari hasil survei diketahui terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan,
kelestarian hutan, serta penyelesaian konflik tenurial. Sedagkan, berdasarkan Indeks
Perhutanan Sosial dihasilkan lima pemerintah provinsi yang bisa menjadi percontohan
guna mencapai tujuan yang diharapkan. Pemaparan secara detail atas hasil survei dan
indeks tersebut merupakan bagian utama dari laporan ini.

Atas terbitnya laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan dukungan dan bantuan, khususnya kepada Direktorat Jenderal
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Kementerian Dalam
Negeri, Ford Foundation, serta sejumlah lembaga nirlaba seperti Kemitraan, Madani
Berkelanjutan dan lainnya. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan
dalam bentuk data, dokumen, informasi, masukan dan dukungan lainnya.

Jakarta, Desember 2020


TIM PENYUSUN
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
vi JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif ii
Tim Penyusun iv
Profil Tim Ahli v
Daftar Isi vi
Daftar Grafik vii
BAB I PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 3
1.2 TUJUAN 6
1.3 Metodologi 6
1. Input 7
2. Proses 8
3. Output 9
BAB II TEMUAN SURVEI 12
2.1 Kegiatan Survei 13
2.2 Dampak Ekonomi 15
2.3 Dampak Lingkungan 17
2.4 Mengatasi Konflik 19
2.5. Pendukung dan Kendala 22
BAB III INDEKS PERTHUTANAN SOSIAL 26
3.1 Skema Hutan Desa 32
3.2 Skema Hutan Kemasyarakatan 34
3.3 Skema Hutan Tanaman Rakyat 36
3.4 Skema Hutan Adat 39
3.5 Skema Hutan Kemitraan 40
3.6 Kesimpulan 42
Daftar Pustaka 45
Lampiran 46
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN vii

Daftar Grafik

Grafik 1. Skema Perhutanan Sosial 13


Grafik 2. Usia Kelompok Usaha 13
Grafik 3. Jenis dan pemasaran produk 14
Grafik 4. Peningkatan Pendapatan 16
Grafik 5. Kondisi Lingkungan 18
Grafik 6. Jumlah dan Penyelesaian Konflik 20
Grafik 7. Masalah Kehutanan 21
Grafik 8. Pendamping Kelompok Usaha 23
Grafik 9. Pengajuan Ijin Pengelolaan hutan(%) 24
Grafik 10. Jumlah Pengurus dan Anggota 25
Grafik 11. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Desa 31
Grafik 12. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Kemasyarakatan 33
Grafik 13. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Tanaman Rakyat 34
Grafik 14. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Adat 37
Grafik 15. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Kemitraan 39
Bab I
PENDAHULUAN
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 3

1.1 Latar Belakang

Kawasan hutan memiliki nilai ekologis, ekonomi, hingga nilai sosial yang tinggi
bagi masyarakat. Selain sebagai sumber kehidupan, hutan berfungsi sebagai
sistem penyangga biodiversitas serta memperbaiki kualitas air dan udara, serta
meredam kenaikan gas rumah kaca yang menjadi pemicu perubahan iklim.
Hutan juga mempunyai potensi besar menjadi sumber pendapatan yang dapat
diandalkan oleh masyarakat di sekitar hutan.

Namun, pengelolaan kawasan hutan sejauh ini menghadapi sejumlah


permasalahan. Pertama, masalah ketimpangan penguasaan lahan kawasan
hutan. Pada 2015, perizinan pemanfaatan lahan hutan untuk korporasi
mencapai 96 persen, sedangkan untuk masyarakat hanya mencapai 4 persen.
Pemerintah bertekad untuk mengurangi ketimpangan pemanfaatan lahan
hutan tersebut.

Kedua, konflik tenurial di kawasan hutan. Selama ini, konflik dalam pengelolaan
hutan kerap terjadi akibat ketidakjelasan status kawasan serta tumpang tindih
perizinan. Ketidakpastian status lahan tidak hanya menimpa masyarakat
adat maupun masyarakat lokal di sekitar hutan, melainkan juga institusi yang
memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Akibatnya, muncul konflik
berkepanjangan.

Ketiga, kesenjangan ekonomi masyarakat. Hasil studi Lembaga Penyelidik


Ekonomi Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
(FEB UI) pada 2020 menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang tinggal di
kawasan hutan merupakan kelompok masyarakat dengan tingkat kemiskinan
tertinggi di Indonesia. Pada akhir 2019, tingkat kemiskinan masyarakat di sektor
kehutanan mencapai 20 persen atau terbesar dibandingkan sektor lainnya.

Keempat, persoalan laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia. Menurut


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, deforestasi adalah perubahan
kondisi tutupan lahan kategori hutan menjadi tutupan lahan non hutan.
Sedangkan, degradasi adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok
karbon selama periode tertentu.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
4 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Guna mengatasi beragam persoalan tersebut, pemerintah meluncurkan


program Perhutanan Sosial sejak 2015. Ini adalah sebuah program
pengelolaan hutan yang berbasis pemberdayaan masyarakat melalui
pemberian akses atau izin kelola bagi masyarakat di kawasan hutan.
Program ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat
mengelola lahan hutan, seperti pemanfaatan kawasan dan komoditas
perhutanan hingga kesempatan mendirikan kelompok usaha untuk
meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat.

Lebih jauh, Perhutanan Sosial merupakan bentuk pengelolaan hutan


lestari dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk memanfaatkan
sumber daya dan menjaga kelestarian hutan. Dengan adanya program ini,
pemerintah berharap penngelolaan kawasan hutan dapat memberikan
kesejahteraan langsung kepada masyarakat dengan hak pengusahaan yang
diserahkan ke masyarakat. Konsep Perhutanan Sosial juga ditujukan untuk
meminimalkan konflik yang sering kali terjadi seperti permasalahan tenurial.

Pelaksanaan Perhutanan Sosial termaktub dalam Peraturan Menteri


Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016
tentang Perhutanan Sosial. Peraturan Menteri tersebut menetapkan
bagaimana skema Perhutanan Sosial dijalankan, serta memberikan arahan
tentang pemberian hak pengolahan hutan, perijinan, dan kemitraan di
wilayah Perhutanan Sosial tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) juga menyiapkan Peta Indikatif Areal Perhutanan
Sosial (PIAPS) yang menunjukkan areal potensial yang diusulkan sebagai
Perhutanan Sosial.

Pemberian akses kepada masyarakat sekitar hutan dalam pemanfaatan


kawasan hutan dilaksanakan melalui lima skema yaitu Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Hutan Kemitraan.
Implementasi dari pilihan skema ini diharapkan membuka peluang
terciptanya lapangan kerja yang baru untuk menurunkan pengangguran,
hingga meningkatkan nilai tambah demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 5

Sebagai komitmen dari perwujudan program tersebut, dalam Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019,
pemerintah Indonesia menargetkan dapat memberikan akses kelola
kawasan hutan untuk masyarakat seluas 12,7 juta hektar. Sejauh ini, target
tersebut belum tercapai. Namun, data Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan
luas areal Perhutanan Sosial yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Hingga September 2020, dari total luas lahan yang ditargetkan, pencapaian
program sebanyak 4,2 juta hektar luas areal Perhutanan Sosial yang
sudah diserahkan dan diberikan SK untuk masyarakat. Pemerintah akan
melanjutkan untuk mengejar target tersebut hingga 2024. Jika target 12,7
juta hektar program Perhutanan Sosial tercapai, maka perbandingan izin
kelola hutan untuk swasta dan masyarakat akan berbanding di kisaran 70
persen : 30 persen.

Sejauh ini, implementasi program Perhutanan Sosial telah berkembang


dengan berbagai karakteristik sosial dan keragaman potensinya. Namun,
usaha komunitas masyarakat yang berbasis hutan tersebut belum
seluruhnya berkembang secara efektif dan berhasil menopang penghidupan
masyarakat sekitar kawasan hutan. Dalam pelaksanaannya, terdapat
berbagai kendala di antaranya proses legalisasi yang relatif lama, tumpang
tindih kebijakan pemerintah, minimnya informasi, hingga minimnya
kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan suatu analisis untuk mengidentifikasi


dan menilai bagaimana dampak program Perhutanan Sosial terhadap
masyarakat yang bergabung dalam kelompok usaha. Pemetaan dilakukan
untuk melihat pencapaian daerah dalam mengelola Perhutanan Sosial,
baik dari sisi struktur pengelolaan kawasan, peningkatan kesejahteraan
masyarakat, perbaikan kualitas lingkungan serta peran pemerintah dalam
program Perhutanan Sosial.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
6 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

1.2 TUJUAN

Tujuan dari analisis berbasis survei dan pengukuran Indeks Perhutanan


Sosial adalah sebagai berikut:
• Mengukur keberhasilan program Perhutanan Sosial terhadap
dampak ekonomi berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat
di sekitar hutan, dampak sosial berupa penyelesaian konflik di sekitar
hutan antara masyarakat dengan pemerintah, korporasi BUMN dan
swasta, serta dampak ekologis berupa kelestarian hutan.
• Mengetahui aspek-aspek yang menjadi pendukung, serta aspek-
aspek yang menjadi kendala atau hambatan dalam pencapaian
program Perhutanan Sosial baik dari sisi peningkatan kesejahteraan,
maupun kelestarian hutan.
• Mengukur keberhasilan dan kontribusi pemerintah daerah dalam
upaya percepatan, pelaksanaan dan pengelolaan program
Perhutanan Sosial mengacu pada lima skema, yakni Hutan Adat,
Hutan Kemasyarakatan, Hutan Kemitraan, Hutan Desa, serta Hutan
Tanaman Rakyat.

1.3 Metodologi

Survei Dampak Perhutanan Sosial Kepada Kelompok Usaha


Perhutanan Sosial
Tanggal Survei : 15 – 24 September 2020
Metode Survei : Wawancara ketua dan anggota kelompok
melalui telepon (telesurvei)
Target Responden : 103 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial
Jumlah Responden : 210 orang (103 Ketua/Pengurus Kelompok + Anggota)

Indeks Perhutanan Sosial


Dalam pengukuran indeks tersebut, ada beberapa tahap yang dilakukan,
yaitu:
• Analisis pendahuluan
• Studi literatur: regulasi, presentasi, laporan analisis, dll
• Penentuan kerangka dan indikator indeks untuk 5 Skema Perhutanan
Sosial
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 7

• Penghimpunan data dan informasi sekunder


• Pengolahan data
• Pembentukan Indeks Perhutanan Sosial

Kerangka Indeks Perhutanan Sosial


Untuk menghitung Indeks Perhutanan Sosial Indonesia, tim analisis
menggunakan pendekatan komprehensif yang mempertimbangkan kondisi
input, output, dan proses. Indeks tersebut terdiri dari tiga pilar, dan masing-
masing pilar terdiri dari 3 sampai 4 indikator pembentuk.

1. Input
Pengukuran Indeks Perhutanan Sosial melalui input utamanya terkait
aspek legalitas penetapan dari Perhutanan Sosial tersebut. Input tersebut
mengukur empat pilar yang menjadi input secara langsung untuk
pengembangan Perhutanan Sosial yakni rasio jumlah Surat Keputusan
(SK) yang terbit terhadap jumlah izin yang diajukan, rasio luas Perhutanan
Sosial sesuai SK terhadap jumlah SK yang ada, rasio luas Perhutanan Sosial
sesuai SK terhadap total luas hutan, rasio luas Perhutanan Sosial sesuai SK
terhadap luas indikatif PS yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.

Indikator 1.1. Jumlah SK yang terbit/Jumlah izin yang


diajukan
Pemerintah memberikan izin kelola kepada masyarakat melalui penerbitan
surat keputusan (SK). Penerbitan SK ini ditujukan untuk menjamin kepastian
hukum bagi masyarakat yang mengelola hutan. Pilar ini mengukur jumlah
SK yang diterbitkan dibandingkan dengan sejumlah perizinan yang diajukan
oleh kelompok masyarakat.

Indikator 1.2. Luas Hutan Sosial sesuai SK/Jumlah SK


Dalam pengembangan Perhutanan Sosial, peningkatan luas area kelola
sesuai dengan target yang ditetapkan pada SK. Variabel ini menilai realisasi
dari luas area Perhutanan Sosial yang dikelola terhadap jumlah SK yang
diterima oleh kelompok masyarakat.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
8 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Indikator 1.3. Luas Hutan Sosial sesuai SK/Luas Hutan


Tiap wilayah administratif provinsi memiliki proporsi kawasan hutan
yang menjadi bagian penggerak perekonomian suatu daerah. Variabel
ini mengukur perbandingan luas kawasan yang dikelola dalam skema
Perhutanan Sosial sesuai SK terhadap luasan hutan total di masing-masing
provinsi.

Indikator 1.4. Luas Hutan Sosial sesuai SK/Luas PS Indikatif


Masyarakat mendapatkan hak untuk mengelola hutan di kawasan
tempat tinggal sesuai areal potensial yang dapat dikembangkan sebagai
Perhutanan Sosial. Variabel ini mengukur perbandingan realisasi dari luas
area Perhutanan Sosial yang dikelola sesuai SK terhadap luas indikatif dari
kawasan Perhutanan Sosial yang ditargetkan.

2. Proses
Perkembangan Perhutanan Sosial besar ditentukan oleh proses yang
memungkinkan input tersebut dapat diolah dengan baik untuk menghasilkan
output yang diharapkan. Sub indeks proses mengukur peran pemerintah
provinsi dalam program Perhutanan Sosial khususnya melalui regulasi
dan kebijakan yang dikeluarkan. Indikator yang diukur pada sub indeks ini
adalah pengakuan Perhutanan Sosial dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD), pengakuan Perhutanan Sosial dalam Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan legalitas Perhutanan Sosial dalam
Peraturan Daerah.

Indikator 2.1. Pengakuan PS dalam RPJMD


Dalam rangka pengembangan program Perhutanan Sosial, pemerintah
provinsi dapat menuangkan skema ini dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Hal tersebut memperjelas perencanaan kelola
sumber daya alam Perhutanan Sosial yang ada di masing-masing wilayah,
disertai sasaran dan target pendanaan. Untuk variabel tersebut, diukur
dengan rentang skor 0-4, yaitu dari tidak ada pembahasan PS sampai adanya
KPI dan Target Pendanaan PS.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 9

Indikator 2.2. Pengakuan PS dalam RKPD


Dalam rangka penguatan Perhutanan Sosial, pemerintah dapat memasukkan
unsur-unsur program sasaran, dan target pendanaan terhadap pemanfaatan
potensi hutan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Untuk
variabel tersebut, diukur dengan skor 0-4, yaitu dari tidak ada pembahasan
PS sampai adanya KPI dan Target Pendanaan PS.

Indikator 2.3. Legalitas PS dalam Perda


Pemanfaatan potensi sumber daya hutan oleh kelompok masyarakat
ditunjang oleh kepastian kebijakan agar model pengembangan Perhutanan
Sosial sesuai dengan hak dan izin pengelolaan yang diatur. Untuk variabel
ini, diukur dengan skor 0-1, yakni ada atau tidak ada Perda tentang PS.

3. Output
Dengan input dari aspek legalitas dan proses yang berkaitan dengan
peran dan dukungan pemerintah daerah, pengembangan Perhutanan
Sosial diharapkan dapat memberikan output manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pilar ini mengukur
pencapaian dari kelompok usaha, dinilai dari jumlah kelompok usaha,
jumlah potensi komoditas, dan penambahan tutupan lahan.

Indikator 3.1. Jumlah Kelompok Usaha (KU)


Dalam peningkatan kapasitas usaha Perhutanan Sosial, terdapat klasifikasi
kelompok usaha Perhutanan Sosial sesuai dengan struktur kelembagaan
yang terbentuk. Pertama adalah kategori Biru, yaitu kelompok usaha
yang baru saja mendapatkan ijin/hak pengelolaan hutan sosial. Kemudian
Perak/Silver, yakni kelompok usaha yang sudah menyusun Rencana Kerja
Usaha dan melakukan kegiatan usaha. Selanjutnya adalah Emas/Gold yaitu
yang telah memiliki unit usaha dan memasarkan produk. Terakhir adalah
Platinum, kelompok usaha tersebut telah memiliki pasar yang luas baik
nasional maupun internasional.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
10 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Variabel ini mengukur jumlah kelompok usaha, dengan pembobotan skor


sebagai berikut:
• Biru (bobot = 1)
• Perak (bobot = 2)
• Emas (bobot = 3)
• Platinum (bobot = 4)

Indikator 3.2. Jumlah Potensi Komoditas


Dengan pemberian izin pengelolaan hutan, masyarakat dapat
mengusahakan komoditas sesuai dengan potensi yang ada pada masing-
masing skema hutan. Dalam skema Perhutanan Sosial tertentu, hal ini dapat
meningkatkan keanekaragaman secara berkelanjutan. Variabel ini mengukur
jumlah potensi komoditas yang ada di kawasan Perhutanan Sosial.

Indikator 3.3. Penambahan Tutupan Lahan


Terbukanya akses legal bagi masyarakat akan memberikan dampak
terhadap perubahan tutupan lahan dari waktu ke waktu. Perubahan
ini dipengaruhi oleh fungsi penggunaan lahan yang dimanfaatkan
sesuai kebutuhan kelompok masyarakat. Variabel ini mengukur jumlah
penambahan tutupan lahan pada masing-masing skema hutan.

Perhitungan Indeks

Sub Indeks Input dan Output


Berlaku untuk tiap skema PS di seluruh provinsi

Skor Sub Indeks INPUT dan


OUTPUT = Rata-rata Skor
Indikator
Skor INDEKS PERHUTANAN
Daftar Indikator
Bobot Indikator sama, SOSIAL =
kecuali Kelompok Usaha
Skor tiap indikator:
Rata-rata dari skor Subindeks
0-100
INPUT, OUTPUT dan PROSES
* Biru=1, Perak=2, Emas=3,
Platinum=4
Bobot Subindeks sama

Sub Indeks Proses


Berlaku untuk satu kesatuan PS di seluruh provinsi

Skor Subindeks PROSES = Rata-rata Skor Indikator

Bobot Indikator sama


SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 11

Indeks ini dihitung dengan menggunakan pendekatan bertingkat, skor


dari masing-masing indikator dikumpulkan ke dalam skor sub-indeks.
Selanjutnya, skor sub-indeks dikumpulkan menjadi skor keseluruhan indeks.
Setiap indikator membawa bobot yang berbeda pada masing-masing sub-
indeks. Sedangkan dalam menggabungkan tiga sub-indeks ke dalam Indeks
Perhutanan Sosial secara keseluruhan, kami memberikan bobot yang sama
untuk setiap sub indeks.

Nilai aktual dari setiap indikator memiliki satuan yang berbeda. Untuk itu,
kami menghitung skor dengan skala 0 sampai 100 untuk menyelaraskan
setiap indikator. Skor ini menunjukkan perbandingan relatif untuk melihat
kinerja provinsi tertentu dibandingkan dengan provinsi lain. Pada skor 0
(berkinerja terburuk untuk suatu provinsi di Indikator tersebut) dan skor
100 (berkinerja terbaik untuk suatu provinsi di indikator tersebut).

Provinsi dengan skor indikator lebih tinggi dianggap “lebih kompetitif” dalam
indikator tersebut. Skor indikator untuk provinsi tertentu dihitung dengan
menggunakan rumus berikut, di mana Xi adalah nilai yang diperoleh untuk
indikator tertentu, Xmin dan Xmax masing-masing, adalah nilai minimum
dan maksimum untuk indikator tersebut, di semua provinsi di Indonesia.

Xi­— Xmin
Skor Indikatori= 100 ( ) 100
Xmax— Xmin

Untuk indikator yang merupakan “indikator terbalik” (diidentifikasi dalam


daftar indikator lengkap), rumus skor adalah sebagai berikut:

Xi­— Xmin
Skor Indikatori= 100- [( ) 100 ]
Xmax— Xmin

Skor masing-masing dari tiga sub-indeks dihitung dengan menggunakan


rata-rata terboboti untuk setiap indikator di sub-indeks tersebut.
Selanjutnya, skor masing-masing dari ketiga sub-indeks dikumpulkan
dengan mengambil skor rata-rata semua sub-indeks.
Bab II
TEMUAN
HASIL SURVEI
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 13

2.1 Kegiatan Survei

KATADATA Insight Center memotret kondisi di lapangan mengenai


pelaksanaan program Perhutanan Sosial melalui survei yang dilakukan di 21
provinsi kepada 210 responden yang tergabung dalam 103 kelompok usaha.

Grafik 1. Skema Perhutanan Sosial

Hutan Kemasyarakatan 35.2%

Hutan Kemitraan (Kulin KK) 18.4%

Hutan Tanaman Rakyat 18.4%

Hutan Desa 12.6%

Hutan Kemitraan (IPHPS) 7,8%

Hutan Adat 6,8%

Kelompok usaha tersebar pada semua skema Perhutanan Sosial. Hampir


36% kelompok usaha berasal dari kategori Hutan Kemasyarkatan, disusul
Hutan Kemitraan Kulin KK dan Hutan Taman Rakyat dengan masing-
masing 18,4%. Sedangkan Hutan Adat hanya 6,8% dari kelompok usaha
yang menjadi responden penelitian ini.

Grafik 2. Usia Kelompok Usaha

Lebih dari 8 tahun 16,5%

6 - 8 tahun 7,8%

4 - 5 tahun 18.4%

1 - 3 tahun 53.4%
Kurang dari 1 tahun 3.9%
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
14 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Hasil survei juga menunjukkan lebih dari 50% kelompok usaha berusia 1-3
tahun & beranggotakan 10-50 orang. Saat ini separuh dari kelompok usaha
memiliki anggota kurang dari 50 orang dan tidak memiliki buruh/karyawan.
Kebanyakan kegiatan usaha pengolahan hasil hutan dilakukan di rumah
masing-masing anggota dan bangunan milik kelompok.

Grafik 3. Jenis dan pemasaran produk

Jenis Produk/Jasa yang Dihasilkan Kelompok Usaha (%)

Hasil hutan bukan kayu 80,0


Hasil hutan kayu
17,6
Bibit
12,4
Jasa Lingkungan
(Pariwisata/Ekowisata) 11,4
Kerajinan 7,1
Perikanan 5,7
Mangrove 3,8
Sayur 3,3
Budidaya/ternak 1,9
Buah 1,0
Kopi 1,0
Lainnya 2,4

Beralih pada produk dan komoditas yang dihasilkan kelompok usaha


di Perhutanan Sosial, Mayoritas produk yang dihasilkan oleh kelompok
usaha adalah hasil hutan bukan kayu, diikuti hasil hutan kayu dan bibit
dari kawasan hutan. Kegiatan lain yang dilakukan kelompok usaha di
Perhutanan Sosial adalah Jasa Lingkungan (Ekowisata) dan juga kerajinan.
Dari sisi pemasaran produk, mayoritas kelompok usaha masih memasarkan
produk mereka ke desa dan kecamatan lain. Masih sedikit kelompok usaha
yang memasarkan produknya ekspor dan penjualan secara online. Luas
Perhutanan Sosial yang dikelola paling banyak 101 – 500 hektar, sementara
luas yang digarap paling banyak 10 – 50 hektar.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 15

Cara Pemasaran Produk/Jasa yang Dihasilkan (%)

Langsung ke konsumen 67,6


Dijual melalui tengkulak 65,7

Dijual melalui koperasi 50,5

Dititipkan ke warung/toko 46,7

Dijual ke usaha lain/industri 44,3

Dijual online 27,1

Ditampung BUMDES 1,0

Lainnya 0,5

2.2. Dampak Ekonomi

Salah satu tujuan utama program Perhutanan Sosial yakni meningkatkan


kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan. Hasil survei ini menjawab
seberapa jauh program Perhutanan Sosial memberikan dampak ekonomi
dalam bentuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui
pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Kementerian LHK


berkomitmen untuk berkontribusi menurunkan angka kemiskinan,
khususnya di sekitar hutan. Apalagi, angka kemiskinan di sekitar hutan
tergolong tertinggi dibandingkan sektor lainnya. Menurut hasil peneitian LIPI
mengenai “Strategi Pengurangan Kemiskinan di Desa-Desa Sekitar Hutan”
pada 2010, masalah kemiskinan di dalam dan sekitar hutan disebabkan
oleh sejumlah faktor, seperti proses marjinalisasi daerah pedalaman,
ketimpangan pembangunan pedesaan, serta eksklusi sosial di sektor
kehutanan. Program Perhutanan Sosial terbukti berperan besar dalam
menurunkan angka kemiskinan di pedesaan di sekitar hutan.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
16 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Sedangkan, menurut Herman Supriyanto, peneliti Konsorsium Pendukung


Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) dalam buku yang berjudul “Strategi
Percepatan TORA dan Perhutanan Sosial” pada 2018 menyebutkan bahwa
tingginya angka kemiskinan penduduk yang tinggal di kawasan hutan
disebabkan oleh ketimpangan penguasaan lahan hutan yang didominasi
oleh perusahaan besar; rendahnya akses kegiatan ekonomi; serta tingginya
konflik tenurial. Sebagai contoh, pada 2017, dari total 27,8 juta penduduk
miskin, sebanyak 36,7 persen adalah penduduk di sekitar hutan. Hasil
studi menunjukkan bahwa program Perhutanan Sosial menunjukkan
bahwa skema Hutan Kemasyarakatan berkontribusi pada peningkatan
kesejahteraan lebih besar 13 persen dibandingkan dengan penduduk non
Hutan Kemasyarakatan.

Hasil survei KIC terhadap kelompok usaha Perhutanan Sosial memperkuat


sejumlah temuan tersebut. Hampir semua responden menyatakan
Perhutanan Sosial membawa manfaat pada sektor lapangan pekerjaan,
ekonomi, dan sosial. Secara ekonomi pemberian izin Perhutanan Sosial telah
membuat petani hutan terlepas dari jeratan kemiskinan yang ditunjukan
dengan meningkatnya produksi, baik hasil hutan maupun jasa lingkungan,
meningkatnya pendapatan petani serta meningkatnya penyerapan tenaga
kerja di lokasi izin Perhutanan Sosial tersebut.

Grafik 4. Peningkatan Pendapatan

Proporsi Pendapatan yang Mengalami Peningkatan Pendapatan Setelah Bergabung


Peningkatan Setelah Bergabung dengan dengan Kelompok Usaha (%)
Kelompok Usaha (%)
46,0

25,8 25,8

2,4
Ya
98,4 Tidak
1,6 Tak Naik 2 kali Naik 2-3 Naik lebih
sampai lipat kali lipat dari 3 kali
2 kali lipat lipat
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 17

Hampir separuh responden menyatakan bahwa sumber pendapatan


utama keluarga sebelum bergabung dengan kelompok usaha berasal dari
keuntungan penjualan hasil pertanian. Mayoritas responden merasakan
peningkatan jumlah pendapatan keluarga setelah bergabung dengan
kelompok usaha, dan hampir separuh responden menyatakan pendapatan
naik 2 kali lipat. Terjadi peningkatan jumlah responden yang berpenghasilan
2-5 juta sebelum bergabung dengan kelompok usaha hanya 11% meningat
menjadi 23,8% setelah bergabung dengan kelompok usaha. Kurang dari
35% responden menyatakan bahwa pendapatan yang dihasilkan berimbang
jumlahnya antara pekerjaan utama dan penghasilan dari kelompok usaha.
Dapat dikatakan bahwa yang dulunya kebun dan ladang merupakan sumber
penghasilan sampingan, kini menjadi sumber penghasilan utama.

2.3 Dampak Lingkungan

Selain bertujuan untuk meningkatkan status ekonomi, program Perhutanan


Sosial diharapakan dampak membawa dampak baik pada lingkungan.
Hubungan yang baik antara masyarakat dengan hutan akan berdampak
baik pada kelangsungan hutan sosial. Pengelolaan oleh masyarakat akan
menumbuhkan rasa memiliki di diri masyarakat namun tidak mengurangi
tanggung jawab pada pengurus. Hal ini membuat lingkungan hutan sosial
akan terjaga dengan baik.

Hasil kajian Ditjen PSKL, Kementerian LHK mengenai “Dampak Perhutanan


Sosial, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan” pada 2018 menunjukkan
bahwa program Perhutanan Sosial telah berdampak pada aspek lingkungan
di empat lokasi penelitian, yakni Hutan Kemasyarakatan (HKm) Mandiri
dan HKm Tani Manunggal di Yogyakarta, serta HKm Sinar Mulya dan HKm
Beringin Jaya di Lampung. Aspek lingkungan tersebut tercermin dari sisi
perubahan tutupan lahan serta jenis tanaman yang semakin bervariasi.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh KIC pada 2020, dampak
terhadap perbaikan lingkungan dari program Perhutanan Sosial juga
tercermin dari perubahan tutupan lahan, perbaikan kualitas tanah,
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
18 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

perbaikan mata air, kehadiran hewan atau satwa liar, serta penambahan
jenis tanaman di kawasan lahan yang menjadi program Perhutanan Sosial.
Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas responden merasakan
kualitas tanah membaik dan hutan mulai menghijau setelah adanya status
Perhutanan Sosial.

Grafik 5. Kondisi Lingkungan

Kondisi Lingkungan sejak Kelompok Usaha terbentuk(%)

Kualitas tanah membaik 87,6

Hutan gundul mulai menghijau 86,2

Beberapa mata air muncul kembali 66,2

Ragam hewan liar muncul kembali 20,0

Udara sejuk 1,0

Sama saja 1,0

Lainnya 1,0

Kondisi Vegetasi (ragam jenis tanaman) yang dikelola

92,2%

55,3%
44,7%

7,8%

Monokultur Multikultur (beragam


(satu jenis tanaman) jenis tanaman)

Sebelum Penetapan Setelah Penetapan


Kawasan PS Kawasan PS

Adanya penambahan atau perubahan tutupan lahan tercermin pada angka


tutupan hutan mengalami peningkatan setelah ada penetapan kawasan
mengacu pada SK Perhutanan Sosial dibandingkan dengan sebelum
penetapan kawasan. Sebelum penetapan, kondisi lahan paling banyak
dikelola adalah lahan pertanian kering sekunder, namun saat ini didominasi
oleh hutan primer. Selanjutnya, kondisi vegetasi juga didominasi oleh
Multikultur (beragam jenis tanaman) pasca adanya penetapan kawasan
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 19

Perhutanan Sosial dengan jenis tanaman pokok yang paling banyak ditanam
adalah tanaman perkebunan seperti kopi, lada dan cengkeh. Sementara
untuk jenis tanaman pendamping paling banyak adalah empon-empon
seperti kunyit, jahe, sereh serta temulawak. Selanjutnya, jenis tanaman
kehutanan yang banyak ditanam adalah Mahoni.

2.4 Mengatasi Konflik

Salah satu sasaran strategis Ditjen PSKL Kementerian LHK dalam menjalankan
program Perhutanan Sosial adalah meningkatkan upaya penyelesaian konflik
tenurial di kawasan hutan. Penyebabnya, selama ini sengketa atau konflik
merupakan salah satu persoalan yang kerap mengemuka dalam pengelolaan
kawasan hutan. Bahkan, konflik yang terjadi bisa berlarut-larut hingga puluhan
tahun. Konflik yang kerap terjadi adalah konflik antarwarga, konflik antar
warga dengan korporasi swasta, serta konflik antar warga dengan BUMN
(Perhutani, PTPN), termasuk konflik di Hutan Adat.

Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar dalam acara Jakarta Food Security Summit
pada 18-19 November 2020 menyebutkan bahwa upaya mengatasi konflik
di kawasan hutan dilakukan melalui program Perhutanan Sosial yang
menerapkan model kemitraan antara korporasi dengan kelompok usaha
masyarakat, serta kebijakan pengukuhan kawasan hutan untuk Perhutanan
Sosial. Adanya perizinan pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial
merupakan wujud dari bentuk kepastian hukum bagi kelompok usaha petani
di kawasan hutan. Sedangkan, pola pendekatan mediasi menjadi prioritas
yang pemerintah dalam menangani masalah sengketa di kawasan hutan.

❝ ADANYA PERIZINAN PENGELOLAAN HUTAN MELALUI PERHUTANAN


SOSIAL MERUPAKAN WUJUD DARI BENTUK KEPASTIAN HUKUM BAGI
KELOMPOK USAHA PETANI DI KAWASAN HUTAN"
­­—SITI NURBAYA BAKAR
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
20 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Hasil survei KIC terhadap 103 kelompok usaha Perhutanan Sosial


menunjukkan bahwa jumlah konflik perebutan lahan di kawasan hutan
menurun pasca perizinan Perhutanan Sosial diterbitkan. Lebih dari
60% responden mengaku sudah tidak pernah terjadi lagi konflik dengan
penguasa/swasta maupun dengan pemerintah setelah adanya penetapan
status Perhutanan Sosial. Sebagian besar (79,5 persen) menyebutkan konflik
di kawasan hutan diselesaikan melalui mediasi, hanya sedikit konflik yang
diselesaikan melalui persidangan.

Salah satu contoh konflik berkepanjangan, sejak 1960, yang diselesaikan


melalui Perhutanan Sosial adalah kasus perebutan kawasan hutan Register
40 di Lampung antara masyarakat dengan Kelompok Pengelolaan Hutan
Produksi Gedong Wani. Kawasan ini menjadi bukti nyata konflik bisa
diselesaikan melalui penetapan skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR), salah
satu skema Perhutanan Sosial. Perizinan skema HTR yang diterbitkan pada
2018 ini memberikan jaminan kepastian bagi masyarakat untuk berkebun
dan tempat tinggal di kawasan hutan.

Grafik 6. Jumlah dan Penyelesaian Konflik

Konflik Lahan

0,0
Lebih dari 5 kasus
2,9

14,6
1 - 5 kasus
23,3

85,4
Tidak ada
73,8

Setelah Penetapan Kawasan PS Sebelum Penetapan Kawasan PS

Jalur Penyelesaian Konflik

Mediasi 79,5

Penetapan Perhutsos atau


52,3
perubahan status hutan

Persidangan 15,9
(proses hukum)
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 21

Selain upaya mengatasi konflik di kawasan hutan, hasil survei KIC juga
menunjukkan bahwa program Perhutanan Sosial berdampak pada
penurunan kasus illegal logging atau pencurian kayu, serta penurunan
peristiwa kebakaran hutan. Hasil survei menyebutkan bahwa setelah
penetapan kawasan Perhutanan Sosial, jumlah responden yang menyatakan
tidak terjadi lagi kasus illegal logging bertambah dari semula 71 persen
menjadi 89 persen. Sedangkan, responden yang menyatakan tidak ada lagi
peristiwa kebakaran hutan juga bertambah dari semula 78 persen menjadi
94 persen.

Grafik 7. Masalah Kehutanan

Sesudah Sebelum

Kasus Ilegal logging


0,0%
Lebih dari 5 kasus
1,9%
1,9%

10,7%
1-5 kasus 16,5%
27,2%

89,3%
Tidak ada 18,4%
70,9%

Kebakaran Hutan

0,0%
Lebih dari 5 kasus 1,9%
0,0%

5,8%
1-5 kasus 15,6%
21,4%

94,2%
15,6%
Tidak ada
78,6%
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
22 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

2.5. Pendukung dan Kendala

a. Pendukung
Pendukung Salah satu proses yang mendukung keberhasilan program
Perhutanan Sosial adalah pendampingan. Kegiatan ini dilakukan
bersama masyarakat secara kontinu untuk pengelolaan hutan lestari
yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan
adat. Melalui pendampingan, masyarakat diharapkan mampu mengasah
kemampuan diri dan kelompok dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
pemodalan dan sumber daya lainnya sebagai upaya meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya serta
meningkatkan kesadaran dan kemandirian dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.

Hasil studi kasus terhadap empat kelompok usaha Perhutanan Sosial


di Yogyakarta dan Lampung yang dilakukan peneliti dari sejumlah
universitas yang tertulis dalam Laporan Kajian Perhutanan Sosial pada
2018 menyebutkan proses pendampingan yang diberikan cukup variatif,
mulai dari penguatan kapasitas kelembagaan, penguatan kewirausahaan
dan akses pasar. Adanya pendampingan melahirkan munculnya lembaga-
lembaga lokal, seperti koperasi, kelompok usaha, gabungan kelompok
tani (Gapoktan), serta kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa mayoritas (93 persen) dari 186 responden
mengakui mendapatkan pendampingan secara aktif, khususnya terkait
dengan pembentukan kelembagaan. Pendampingan umumnya diberikan
oleh lembaga swadaya masyarakat, serta dinas terkait.

Sedangkan, hasil survei KIC terhadap 103 kelompok usaha Perhutanan


Sosial pada 2020 menunjukkan bahwa hampir seluruh kelompok usaha (96
persen) mengakui mendapatkan pendampingan. Adanya pendampingan
tersebut telah membantu percepatan implementasi program Perhutanan
Sosial, terutama terkait dengan pendampingan untuk mendapatkan izin
akses kelola hutan.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 23

Mayoritas kelompok usaha menyatakan bahwa kehadiran pendamping


sangat membantu kelancaran kegiatan kelompok usaha. Guru Besar
IPB sekaligus tim ahli dalam penelitian ini, Prof. Hariadi Kartodihardjo
menyebut bahwa berdasarkan dinamika perhutanan sosial di lapangan,
proses pendampingan menjadi motor penggerak utama dalam keberhasilan
kelompok usaha dalam program perhutanan sosial.

Grafik 8. Pendamping Kelompok Usaha

Proporsi Kelompok Usaha yang memiliki Pendamping

Ya
96,1%

Tidak
3,9%

Peran Pendamping dalam Kegiatan Usaha


62,6%

34,3%

2,0% 0,0% 1,0%

Sangat Cukup membantu Biasa saja Tidak membantu Tidak tahu


membantu sama sekali

❝PROSES PENDAMPINGAN MENJADI MOTOR PENGGERAK UTAMA DALAM


KEBERHASILAN KELOMPOK USAHA DALAM PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL.
—PROF. HARIADI KARTODIHARDJO
GURU BESAR KEHUTANAN IPB UNIVERSITY
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
24 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

b. Kendala
Hasil survei KIC memperlihatkan kendala yang ditengarai menghambat
percepatan dan implementasi program Perhutanan Sosial untuk mencapai
tujuan yang diharapkan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat di
sekitar hutan, serta pelestarian lingkungan dan hutan. Kendala pertama
adalah proses penerbitan izin yang memakan waktu cukup lama. Lebih dari
70% kelompok usaha mengaku membutuhkan waktu lebih dari 3 bulan
untuk mengajukan izin hingga hak pengelolaan hutan diperoleh. Sedangkan,
biaya bukan menjadi persoalan utama. Hanya 12,6 responden yang mengaku
mengeluarkan biaya saat proses pengajuan izin. Biaya tersebut mencakup
administrasi dan akomodasi, biaya anggota pengukuh dan operasional.

Grafik 9. Pengajuan Ijin Pengelolaan hutan(%)

Lebih dari 73,8


120 hari (3 bulan)

31 hari – 60 hari 8,7

61 hari – 120 hari ( 3 bulan) 13,6

< = 30 hari 3,9

Masalah lain yang kerap dipersoalkan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial


adalah masalah keterlibatan perempuan yang masih minim dalam kelompok
usaha. Hasil survei KIC menunjukkan bahwa baik jumlah pengurus maupun
anggota kelompok usaha didominasi oleh laki-laki. Berdasarkan pengakuan
Ketua/Pengurus kelompok usaha Perhutanan Sosial, proporsi perempuan
dalam keanggota cenderung lebih sedikit. Lebih dari 40% kelompok usaha
Perhutanan Sosial dalam survei ini bahkan tak memiliki anggota dan pengurus
perempuan.

Padahal, di sejumlah kelompok usaha, seperti di kelompok usaha Pemudah


Adat Desa Cirompang, Banten, menunjukkan keterlibatan perempuan
berdampak positif terhadap peningkatan kinerja kelompok usaha
Perhutanan Sosial. Peran perempuan dalam kelompok usaha tersebut
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 25

bukan hanya terlibat dalam musyawarah kelompok, namun mereka


berperan menentukan motif kaos Cirompang, mengelola ladang dan kebun,
memproduksi jenis makanan khas Cirompang, seperti sambal honje, gula
batok dan gula semut.

Grafik 10. Jumlah Pengurus dan Anggota

Jumlah Pengurus dan Anggota Laki-laki dan Perempuan


dalam Kelompok Usaha

Berimbang laki-laki dan perempuan Lebih banyak laki-laki


1% 94,2%

Lebih banyak perempuan


4,8%

Jumlah Pengurus Laki-laki dan Perempuan


dalam Kelompok Usaha

Berimbang laki-laki dan perempuan Lebih banyak laki-laki


4,9% 91,3%

Lebih banyak perempuan


3,9%
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
26 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Bab III
INDEKS
PERHUTANAN
SOSIAL
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 27

DALAM Rencana Pembangunan Jangka Penengah Nasional (RPJMN) 2015 –


2019, pemerintah telah menargetkan pemberian akses kepada masyarakat
untuk dapat mengelola dan memanfaatkan hutan seluas 12,7 juta ha melalui
skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan
Adat dan Hutan Kemitraan. Angka tersebut mengacu pada Peta Indikasi
Perhutanan Sosial (PIAPS) yang menjadi dasar pemberian izin Perhutanan
Sosial. Namun, hingga September 2020, implementasi perhutanan sosial
baru mencapai 4,2 juta hektar. Karena itu, pemerintahan Joko Widodo –
Ma’ruf Amin melanjutkan pengejaran target pemberian akses kelola kawasan
hutan kepada masyarakat tersebut dalam RPJMN 2019 – 2024.

Guna mengejar target tersebut, Kementerian LHK menyiapkan sejumlah


strategi untuk mempercepat program Perhutanan Sosial. Dalam
presentasinya di Yogyakarta pada 27 Februari 2020, Dirjen PSKL, Bambang
Supriyanto menyebutkan strategi yang diambil, yakni percepatan pemberian
akses kelola dengan memperhatikan sisi legal formal dan clean and clear,
peningkatan kapasitas kelompok penerima akses kelola, penyediaan
tenaga pendamping, mendorong sinergi antar pihak, penguatan database,
pengukuran kinerja terkait fungsi ekonomi, sosial dan perlindungan hutan.

Untuk mengejar target akses kelola tersebut, pemerintah pusat tidak bisa
bekerja sendiri sehingga perlu melibatkan pemerintah daerah. Bahkan,
peran pemerintah daerah sangat krusial dalam membantu memfasilitasi
masyarakat hutan terkait Perhutanan Sosial. Menurut Konsorsium

❝ KEMENTERIAN LHK TELAH MENYIAPKAN SEJUMLAH STRATEGI UNTUK


MEMPERCEPAT PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL. MULAI DARI PERCEPATAN
PEMBERIAN AKSES KELOLA, HINGGA PENINGKATAN KAPASITAS KELOMPOK
USAHA”
—BAMBANG SUPRIYANTO
DIREKTUR JENDERAL PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN (KLHK)
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
28 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

PETA INDIKATIF DAN AREAL PERHUTANAN SOSIAL


Luas Areal per Provinsi (Ha)

Luas Indikatif dan Definitif PIAPS:


13.625.710 Ha

ACEH SUMATERA KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN SULAWESI SULAWESI


494.765 UTARA BARAT TENGAH TIMUR SELATAN UTARA TENGAH
573.146 1.356.549 1.375.47 386.574 173.505 118.850 366.824
RIAU KEP RIAU KALIMANTAN
SULAWESI
1.190.483 197.740 UTARA
SELATAN
KEP BANGKA 235.997
331.797
BELITUNG SULAWESI
143.503 TENGGARA
306.224
GORONTALO
SUMATERA 58.513
BARAT
633.782
JAMBI
340.839
SUMATERA
SELATAN
332.196
BENGKULU
157.494
LAMPUNG
367.069
BANTEN JAKARTA JAWA JAWA BALI MALUKU PAPUA PAPUA
4.769 - BARAT TIMUR 16.383 UTARA BARAT 2.404.952
27.308 87.265 151.284 589.129

JAWA YOGYAKARTA NUSA NUSA MALUKU


TENGAH 3.383 TENGGARA TENGGARA 231.787
33.244 BARAT TIMUR
312.767 526.582

HL : 2.349.534 Ha
HP : 3.455.053 Ha
HPK : 1.266.948 Ha Ket: Tiap 6 bulan sekali ditinjau kembali
HPT : 3.896.094 Ha
Definitif : 2.658.081 Ha
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 29

Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) dalam bukunya “Strategi


Percepatan TORA dan Perhutanan Sosial” disebutkan bahwa peran
pemerintah daerah mencakup: regulasi atau pembuatan peraturan yang
positif untuk mendukung program, termasuk produk hukum yang mengakui
hukum adat; memberikan kejelasan informasi potensi lahan Perhutanan
Sosial dan kemudahan perizinan; memfasilitasi program kepada masyarakat
peserta program, mulai dari pembuatan usulan, perencanaan, pelaksanaan
hingga monitoring dan evaluasi kegiatan Perhutanan Sosial, termasuk
sinkronisasi perencanaan daerah dengan Kelompok Kerja Percepatan
Perhutanan Sosial.

Pelaksanaan Perhutanan Sosial di daerah difasilitasi oleh Kelompok Kerja


Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang bertanggung jawab kepada
gubernur. Peran Pokja PPS, sangat strategis dalam percepatan pengusulan
kegiatan (pra-izin) dan pendampingan bina usaha (pasca izin). Salah satu
kunci keberhasilannya adalah upaya sinergitas berbagai urusan terkait
dalam mendukung pemberdayaan masyarakat melalui Perhutanan Sosial
di daerah.

Secara khusus Menteri LHK telah mengirimkan surat resmi untuk mohon
dukungan kepada Menteri Dalam Negeri melalui surat No. A.1016/MENLHK/
PSKL/PSL.2/11/2019, tanggal 18 November 2019, perihal Pengembangan
Usaha Perhutanan Sosial Pasca Izin. Dalam merespon tersebut, Menteri
Dalam Negeri telah menerbitkan surat kepada seluruh Gubernur (kecuali
DKI Jakarta) No. 552/1391/SJ dan kepada 353 Bupati/Walikota No. 552/1392/
SJ tanggal 13 Februari 2020 yang mempungai izin pemanfaatan Perhutanan
Sosial di wilayahnya agar dapat memberi perhatian terhadap dukungan
pengembangan usaha pasca izin.

Dalam surat tersebut, Mendagri meminta jajaran gubernur untuk


mengkoordinasikan perangkat daerah guna mendukung program,
mengoptimalkan kelompok kerja, mengintegrasikan program yang
bisa membantu implementasi pengembangan usaha Perhutanan
Sosial, meningkatkan kolaborasi perangkat daerah, memfasilitasi akses
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
30 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

permodalan, melakukan pembinaan dan pengawasan serta sejumlah


langkah lainnya.

Menurut Dirjen Bina Pengembangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri,


Hari Nur Cahya Murni dalam pelaksanaan program Perhutanan Sosial
tersebut, hingga saat ini masih dijumpai kendala/permasalahan di daerah
dalam pencapaian target Perhutanan Sosial. Adapun kendala tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Pada tataran pra-izin:


a. Belum optimalnya sinergi antara gubernur, bupati dan pemerintah
pusat untuk menindaklanjuti PIAPS, khususnya di tataran pemerintah
kabupaten yang merasa bahwa tidak memiliki kewenangan di
kawasan hutan atau daerah belum memahami peran yang dapat
dilakukan untuk mendukung hal tersebut.
b. Proses penerbitan izin yang lama dan verifikasi teknis dilakukan oleh
Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) selaku
tim inti, terkendala dengan keterbatasan sumber daya manusia dan
wilayah kerja yang luas.
c. Kelompok Tani hutan masih kesulitan membuat proposal
pemanfaatan kawasan hutan dan melengkapi persyaratan-
persyaratan, seperti pengusulan nama anggota kelompok by name
by address dan peta lokasi untuk dimanfaatkan. Umumnya yang
berhasil adalah mereka yang mendapatkan pendampingan LSM.
2. Pada tataran pasca-izin:
a. Izin-izin yang sudah diterbitkan belum sepenuhnya dimanfaatkan
oleh pemegang izin untuk pengembangan usaha, sehingga perlu
dukungan pemerintah daerah untuk keberlanjutannya.
b. Minimnya intervensi dan pendampingan oleh instansi teknis/
perangkat daerah terkait di daerah, khususnya di tataran pemda
kabupaten/kora yang masih ada keengganan untuk melakukan
fasilitasi di kawasan hutan karena beranggapan bahwa urusan hutan
bukan kewenangan pemda kabupaten/kota, padahal semestinya
izin Perhutanan Sosial tersebut tidak direspons secara sektoral oleh
daerah, namun merupakan sarana untuk mendorong pengentasan
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 31

kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya yang


sudah mendapatkan izin.
c. Kurangnya tenaga pendamping, yang berdampak pada intensitas
pembinaan, pemantauan dan pengendalian pemegang izin
Perhutanan Sosial yang masih rendah, serta kapasitas tenaga
pendamping yang tidak merata sehingga kemampuan untuk
menyusun rencana kerja dan operasional usaha oleh kelompok tani
masih rendah.
d. Kelompok Usaha Perhutanan Sosial pada umumnya belum memiliki
jaringan/akses usaha untuk pemasaran (offtaker), penjamin (avalist)
dan akses permodalan.
e. Minimnya atau tidak ada alokasi anggaran di APBD yang mendukung
Perhutanan Sosial di tataran Pemda Provinsi, khususnya bagi daerah
yang mempunyai keuangan rendah sehingga tidak memprioritaskan
hal tersebut.

Sebagai bagian dari upaya untuk mengukur peran daerah dalam membantu
Percepatan Perhutanan Sosial, Katadata Insight Center membuat “Indeks
Perhutanan Sosial” melalui penghimpunan data sekunder, serta melakukan
wawancara pendalaman dengan sejumlah sumber terkait di lapangan.

Indeks ini mengukur kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan program


Perhutanan Sosial (PS) berdasarkan tiga aspek. Aspek input mencakup pilar
utama dalam legalitas keberadaan program PS di suatu daerah. Pertama,
aspek input mencakup sejumlah indikator, yakni: jumlah SK yang terbit/
jumlah izin yang diajukan; luas hutan sosial sesuai SK/jumlah SK; luas Hutan
Sosial sesuai SK/luas hutan; luas hutan sosial sesuai SK/luas indikatif PS di
daerah.

Kedua, aspek proses yang memperlihatkan dukungan pemerintah dalam


bentuk perencanaan dan peraturan yang mendukung program PS. Aspek
ini mencakup sejumlah indikator seperti: pengajuan program PS dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); Memasukkan
program PS dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD); serta legalitas
PS dalam Peraturan Daerah.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
32 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Ketiga, aspek output menggambarkan hasil dari implementasi program


Perhutanan Sosial. Aspek ini diukur melalui bentuk jumlah kelompok (biru,
perak, emas, platinum – lihat metodologi), jenis komoditas yang dihasilkan,
serta penambahan tutupan lahan. Semakin banyak jumlah kelompok
yang sudah beroperasi dan memasarkan produknya, maka semakin tinggi
nilainya. Sedangkan, semakin beragam komoditas yang ditanam, semakin
tinggi nilainya. Begitupun dengan tutupan lahan yang semakin luas, maka
semakin tinggi nilainya.

Skor Indeks Perhutanan Sosial bernilai dari 0-100. Berdasarkan kedua sub-
indeks tersebut secara umum nilai tengah (median) Indeks Perhutanan
Sosial berdasarkan skema hutan berkisar 24-36. Dengan skala 0-100, angka
ini memperlihatkan bahwa Indeks Perhutanan Sosial masih terbilang rendah.
Indeks ini digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah provinsi pada lima
skema Perhutanan Sosial, yakni Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Hutan Kemitraan. Berikut ini adalah hasil
penilaian berdasarkan Indeks Perhutanan Sosial tersebut.

3.1 Skema Hutan Desa

Hutan desa merupakan salah satu dari 5 skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang ditawarkan oleh pemerintah. Hutan desa adalah hutan
negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa,
untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Model pengelolaan hutan
desa dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi
dengan jangka waktu pengelolaan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang
berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap 5 tahun. Kebijakan
mengenai hutan desa diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia P.89/Menhut-II/2014. Hutan Desa (HD) dengan tenurial HPHD atau
Hak Pengelolaan Hutan Desa. Berdasarkan data capaian izin Perhutanan
Sosial tahun 2007-2020 untuk hutan desa mencapai 1.803.368 Ha, terbesar
diantara skema pengelolaan hutan lainnya.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 33

Grafik 11. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Desa

KALIMANTAN BARAT 81,95


SUMATERA BARAT 58,59
BALI 52,73
SULAWESI BARAT 50,08
ACEH 47,05
KALIMANTAN TIMUR 43,10
SUMATERA UTARA 41,30
KEP BANGKA BELITUNG 40,48
SULAWESI TENGGARA 38,90
SUMATERA SELATAN 37,89
RIAU 37,62
SULAWESI SELATAN 36,25
KALIMANTAN SELATAN 35,99 Median:
MALUKU 35,68 35,99
SULAWESI TENGAH 35,45
KALIMANTAN UTARA 34,83
KALIMANTAN TENGAH 34,37
JAMBI 31,51
PAPUA 30,06
LAMPUNG 26,88
KEP RIAU 25,42
BENGKULU 18,55
MALUKU UTARA 12,17
PAPUA BARAT 10,42
GORONTALO 8,32

81-100 61-80 41-60 21-40 0-20


SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
34 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Indeks Perhutanan Sosial untuk skema hutan desa memiliki nilai tengah
(median) yang paling tinggi dibandingkan skema Perhutanan Sosial lainnya.
Nilai tengah Indeks Perhutanan Sosial hutan desa dari 25 provinsi adalah
sebesar 35,99. Indeks Perhutanan Sosial yang tertinggi pada skema hutan
desa adalah Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Barat dan
Aceh.

Kalimantan Barat unggul pada sub indeks proses dan output dengan
menempati posisi pertama, sedangkan untuk sub indeks input menempati
posisi ketiga. Provinsi ini memenuhi seluruh penilaian di aspek proses
dengan pengakuan Perhutanan Sosial pada RKPD, RPJMD, juga memiliki
kebijakan Perhutanan Sosial yang dituangkan pada peraturan daerah. Pada
sisi output, provinsi ini memiliki kelompok usaha platinum, emas, dan perak
terbanyak dibandingkan provinsi lain dengan jumlah potensi komoditas
mencapai 105 komoditas.

Beragam upaya dilakukan pemerintah Kalimantan Barat untuk mendukung


program Perhutanan Sosial seperti dukungan regulasi melalui SK Gubernur,
meningkatkan jumlah pendampingan pasca izin, mempercepat proses
sertifikasi produk usaha hasil Perhutanan Sosial dan mengembangakan
kerja sama dengan BUMDes, dan terakhir, pemerintah mendorong bantuan
perbankan daerah dan pelaku usaha terkait akses modal usaha Perhutanan
Sosial.

Jika dibandingkan dengan nilai tengah dari Indeks Perhutanan Sosial hutan
desa masih terdapat 12 provinsi yang skor indeksnya dibawah nilai tengah,
dan Gorontalo sebagai provinsi dengan skor indeks terendah.

3.2 Skema Hutan Kemasyarakatan

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan


utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat sebagaimana diatur
oleh Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor: P.88/Menhut-
II/2014 tentang Hutan Kemasyarkatan. Pengelolaan hutan kemasyarakatan
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 35

diberikan kepada kelompok masyarakat dalam suatu desa. Hutan


Kemasyarakatan (HKm), izin yang diberikan adalah IUP HKm atau Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan. Capaian izin hutan kemasyarakatan
menempati peringkat ke 3 dengan capaian 799.618 Ha pada tahun 2007-2020.

Grafik 12. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Kemasyarakatan

KEP BANGKA BELITUNG 54,16


ACEH 49,23
SULAWESI BARAT 46,92
LAMPUNG 46,40
SUMATERA UTARA 43,93
SULAWESI SELATAN 41,68
NUSA TENGGARA BARAT 41,55
KALIMANTAN BARAT 41,12
SUMATERA SELATAN 40,96
NUSA TENGGARA TIMUR 40,12
SUMATERA BARAT 39,36
SULAWESI UTARA 37,98
KALIMANTAN TENGAH 37,38 Median:
RIAU 34,25 35,81
KALIMANTAN SELATAN 33,82
SULAWESI TENGGARA 32,23
KEP RIAU 31,38
JAMBI 28,84
KALIMANTAN UTARA 28,14
SULAWESI TENGAH 27,16
MALUKU 24,79
BENGKULU 21,64
KALIMANTAN TIMUR 21,53
GORONTALO 15,00
MALUKU UTARA 8,27
PAPUA BARAT 3,01

81-100 61-80 41-60 21-40 0-20


SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
36 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Indeks Perhutanan Sosial untuk skema hutan kemasyarakatan memiliki nilai


tengah (median) di posisi kedua dibawah Indeks Perhutanan Sosial hutan
desa. Nilai tengah Indeks Perhutanan Sosial hutan kemasyarakatan dari 26
provinsi adalah sebesar 35,81 selisih sedikit dibandingkan Indeks Perhutanan
Sosial hutan desa. Dilihat berdasarkan skema hutan kemasyarakatan 5
provinsi dengan nilai indeks tertinggi adalah Kep Bangka Belitung, Aceh,
Sulawesi Barat, Lampung dan Sumatera Utara. Jika dibandingkan dengan
nilai tengah dari Indeks Perhutanan Sosial hutan kemasyarakatan masih
terdapat 13 provinsi yang skor indeksnya dibawah nilai tengah, dan Papua
Barat sebagai provinsi dengan skor indeks paling kecil yakni 3,01.

Menempati peringkat pertama, provinsi Kep. Bangka Belitung memiliki


nilai sub-indeks input tertinggi diantara provinsi lainnya. Sementara untuk
sub-indeks proses berada di posisi tertinggi ketiga. Provinsi ini memiliki
Rasio Luas Hutan PS/Luas PS Indikatif sebesar 15,4% atau yang tertinggi
dan Rasio Luas Hutan PS/Luas Hutan Total sebesar 3,44%, terbesar kedua
setelah provinsi Lampung.

Pemerintah daerah Kep. Bangka Belitung juga melakukan beberapa


dukungan yakni pembinaan dan pendampingan secara intensif, penguatan
kelola izin Perhutanan Sosial termasuk kelembagaan, kawasan, dan kelola
usaha. Selanjutnya, pemberian bantuan ekonomi produktif serta fasilitas
bagi kelompok di program Perhutanan Sosial.

3.3 Skema Hutan Tanaman Rakyat

Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan


tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan
produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian
sumber daya hutan. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), izin yang diberikan adalah
IUPHHK-HTR atau izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Capaian
izin hutan tanaman rakyat menempati posisi 2 terendah yakni dengan
pencapaian 350.606 Ha pada tahun 2007-2020.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 37

Grafik 13. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Tanaman Rakyat

SUMATERA SELATAN 53,98


KEP BANGKA BELITUNG 49,32
KALIMANTAN TENGAH 47,49
SULAWESI BARAT 47,41
JAMBI 42,33
KALIMANTAN BARAT 39,86
SUMATERA UTARA 34,94
KEP RIAU 34,18 Median :
BALI 33,75 33,35
KALIMANTAN TIMUR 32,96
SULAWESI TENGGARA 30,33
LAMPUNG 27,41
KALIMANTAN SELATAN 26,08
KALIMANTAN UTARA 24,47
NUSA TENGGARA TIMUR 20,73
PAPUA 19,92
SULAWESI SELATAN 12,30
GORONTALO 4,61

81-100 61-80 41-60 21-40 0-20


SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
38 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Indeks Perhutanan Sosial untuk skema hutan tanaman rakyat memiliki


nilai tengah (median) di posisi ketiga dibawah Indeks Perhutanan Sosial
hutan kemasyarakatan. Nilai tengah Indeks Perhutanan Sosial hutan
kemasyarakatan dari 18 provinsi adalah sebesar 33,35. Dilihat berdasarkan
skema hutan tanaman rakyat 5 provinsi dengan nilai indeks tertinggi adalah
Sumatera Selatan (53,98), Kep Bangka Belitung (49,32), Kalimantan Tengah
(47,49), Sulawesi Barat (47,41), dan Jambi (42,33).

Jika dibandingkan dengan nilai tengah dari Indeks Perhutanan Sosial hutan
kemasyarakatan masih terdapat 9 provinsi yang skor indeksnya dibawah
nilai tengah, dan Gorontalo sebagai provinsi dengan skor indeks paling kecil
yakni 4,61.

Berdasarkan sub-indeks input provinsi Jambi (72,05) menempati peringkat


pertama sementara Sumatera Selatan (44,53) berada di posisi keempat dan
sub-indeks proses provinsi Sumatera Selatan menempati posisi kedelapan.
Namun, berdasarkan sub-indeks output Sumatera Selatan (34,06) berada
di peringkat pertama.

Sumatera Selatan unggul pada sub-indeks output dengan memiliki


Kelompok Usaha kategori emas sebanyak 7 kelompok atau yang tertinggi
disbanding provinsi lainnya, dan memiliki kelompok usaha kategori perak
sebanyak 10 kelompok dan merupakan yang tertinggi kedua setelah
Sulawesi Barat.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga memberikan beberapa


dukungan untuk program Perhutanan Sosial baik dari aspek legislasi seperti
mengeluarkan Perda dan Pergub mengenai penyelenggaraan Perhutanan
Sosial. Selanjutnya, pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Pehutanan
Sosial Provinsi Sumatera Selatan tahun 2020-2024 yang tertuang melalui
Keputusan Gubernur. Selain itu juga dukungan melalui peningkatan porsi
APBD untuk Perhutanan Sosial secara bertahap.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 39

3.4 Skema Hutan Adat

Hutan adat merupakan pengelolaan kawasan hutan yang ada di wilayah adat
yang dilakukan oleh masyarakat adat, berdasarkan nilai-nilai kearifan adat.
Luasan hutan adat saat ini adalah 64% dari 7,4 juta hektar wilayah adat. Hutan
Adat (HA), tenurialnya adalah Penetapan Pencantuman Hutan Adat. Capaian izin
hutan adat pada tahun 2007-2020 sebesar 578.420 Ha. Bagi masyarakat adat,
Hutan adat menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari,
dan juga titipan bagi generasi yang akan datang. Hutan adat menjadi salah
satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan
hidupnya.

Grafik 14. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Adat

JAMBI 52,54
KALIMANTAN BARAT 43,67
BANTEN 36,31
SULAWESI TENGAH 34,33 Median :
SUMATERA SELATAN 31,23 33,35

SULAWESI SELATAN 29,19


KALIMANTAN TIMUR 25,79
JAWA BARAT 8,69

81-100 61-80 41-60 21-40 0-20


SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
40 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Indeks Perhutanan Sosial untuk skema hutan adat memiliki nilai tengah
(median) di posisi kedua terbawah dibandingkan skema Perhutanan Sosial
lainnya. Nilai tengah Indeks Perhutanan Sosial hutan adat dari 8 provinsi
adalah sebesar 32,78. Dilihat berdasarkan skema hutan adat provinsi dengan
nilai indeks tertinggi adalah Jambi (52,54) disusul kemudian oleh Kalimantan
Barat (43,67) di posisi kedua dan Banten (36,31) di posisi ketiga. Berdasarkan
sub-indeks input dan output provinsi Jambi menempati peringkat pertama.
Namun provinsi Jambi berada di peringkat 10 provinsi terbawah berdasarkan
sub-indeks proses.

Keunggulan Jambi berada pada indikator rasio luas hutan adat terhadap
Luas hutan total tertinggi dan provinsi memiliki rasio izin yang dikeluarkan
terhadap izin yang diajukan paling tinggi. Pada sisi output, Jambi memiliki
Kelompok Usaha Emas dan Perak tertinggi dibandingkan provinsi lainnya
di skema Hutan Adat.

Pemerintah Jambi juga berperan aktif dalam mendukung program


Perhutanan Sosial khususnya Hutan Adat. Dukungan regulasi dilakukan
melalui peraturan gubernur dan peraturan daerah untuk pengakuan Hukum
Adat. Selain itu, adanya anggaran daerah untuk implementasi Hutan Adat
di provinsi Jambi.

Jika dibandingkan dengan nilai tengah dari Indeks Perhutanan Sosial hutan
adat masih terdapat 4 provinsi atau setengah dari jumlah provinsi hutan adat
yang skor indeksnya dibawah nilai tengah, dan Jawa Barat sebagai provinsi
dengan skor indeks terendah.

3.5 Skema Hutan Kemitraan

Hutan kemitraan dilakukan di kawasan hutan negara yang telah rusak


dijarah, atau di bekas lahan kebun sawit ilegal yang telah dimusnahkan
beberapa waktu lalu. Program hutan kemitraan adalah cara untuk
merestorasi lahan-lahan hutan yang telah kritis, warga diizinkan untuk
menanami lahan dengan tanaman produktif, dengan perkecualian sawit,
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 41

coklat (kakao) dan karet. Tanaman keras yang dapat ditanam di lahan hutan
kemitraan diantaranya jenis tanaman buah dan tanaman kayu keras hutan.
Diantaranya durian, jengkol, petai, duku, damar, gaharu, meranti, cengal,
kruing, dan jenis tanaman lainnya.

Skema Kemitraan hadir untuk menjadi solusi permasalahan antara


masyarakat dengan kelompok Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) atau
perusahaan pemegang izin pemanfaatan hutan. Kemitraan Kehutanan
(KK) dalam bentuk KULIN KK atau Pengakuan Perlindungan Kemitraan
Kehutanan dan IPHPS atau Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial di
Pulau Jawa. Capaian izin Kemitraan NKK pada tahun 2007-2020 sebesar
820.060 Ha, sementara Kemitraan IPHPS hanya 26.148 Ha.

Grafik 15. Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Kemitraan

JAWA TIMUR 59,68


KALIMANTAN BARAT 47,67
BALI 40,98
JAWA BARAT 37,83
SUMATERA UTARA 36,07
JAWA TENGAH 34,81
SUMATERA SELATAN 33,88
NUSA TENGGARA BARAT 31,35
RIAU 27,90 Median :
KALIMANTAN SELATAN 24,65 24,65
SULAWESI TENGGARA 23,56
KALIMANTAN TIMUR 23,34
KALIMANTAN UTARA 19,95
LAMPUNG 18,29
JAMBI 18,05
NUSA TENGGARA TIMUR 17,02
BANTEN 15,23
BENGKULU 13,15
GORONTALO 9,10

81-100 61-80 41-60 21-40 0-20


SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
42 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Indeks Perhutanan Sosial untuk skema hutan kemitraan memiliki nilai


tengah (median) yang paling rendah dibandingkan skema Perhutanan
Sosial lainnya. Nilai tengah Indeks Perhutanan Sosial hutan kemitraan
dari 19 provinsi adalah sebesar 24,65. Dilihat berdasarkan skema hutan
kemitraan provinsi dengan nilai indeks tertinggi adalah Jawa Timur (59,68)
disusul kemudian oleh Kalimantan Barat (47,67) di posisi kedua dan Bali
(40,98) di posisi ketiga. Jika dibandingkan dengan nilai tengah dari Indeks
Perhutanan Sosial hutan kemitraan masih terdapat 9 provinsi yang skor
indeksnya dibawah nilai tengah, dan Gorontalo (9,10) sebagai provinsi
dengan skor indeks paling kecil.

Jawa Timur menempati peringkat pertama berdasarkan sub-indeks output.


Kelompok Usaha kategori Platinum, Perak, dan Biru tertinggi, sedangkan
untuk kategori Emas menempati posisi kedua. Selain itu, jumlah potensi
komoditas di Jawa Timur juga yang tertinggi dengan 842 komoditas. Namun,
berdasarkan sub-indeks input Jawa Tengah yang berada di peringkat
pertama. Sementara berdasarkan sub-indeks proses provinsi Jawa Timur
memiliki skor indeks paling tinggi dibandingkan provinsi lain di pulau Jawa,
sedangkan yang tertinggi ditempati Kalimantan barat.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga terus memaksimalkan pendampingan


dalam kelola kawasan, kelola kelembagaan, dan juga kelola usaha di
lingkungan Perhutanan Sosial. Selain itu, pemerintah juga mendorong
pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) agar dapat
memetakan potensi usaha dan komoditas yang ada di area Perhutanan
Sosial.

3.6 Kesimpulan

Berdasarkan hasil Indeks Perhutanan Sosial seperti disebutkan di atas dapat


diketahui secara umum terkait dengan pencapaian skor input, proses dan
output. Pada sub-indeks input, berkaitan dengan aspek legalitas dalam
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 43

bentuk pemberian Surat Keputusan (SK) atau izin Perhutanan Sosial, sebaran
skor pada semua provinsi cenderung menyebar dengan ketimpangan yang
rendah. Ini menandakan bahwa setiap provinsi sudah memiliki modal input
yang cukup baik. Artinya, di setiap provinsi, sudah cukup banyak kelompok
usaha yang memiliki SK untuk mengelola Perhutanan Sosial.

Kendati demikian, jika dilihat dari sisi indikator rasio luas hutan terhadap luas
indikatif terhitung masih rendah. Ini menunjukkan bahwa masih banyak area
perhutanan yang belum diturunkan menjadi SK kepada masyarakat. Sejauh
ini, dari total target PS seluas 12,7 juta ha, pencapaian hingga September
2020 masih sekitar 4,2 juta ha. Peran pemerintah diharapkan dapat lebih
maksimal dalam mendorong pembebasan lahan pada area potensial
perhutanan sosial.

Selanjutnya, sub-indeks proses memiliki ketimpangan yang tinggi. Masih


banyak provinsi yang memiliki skor yang sangat rendah dibandingkan angka
tengah seluruh provinsi. Hal ini disebabkan masih banyaknya provinsi yang
belum memiliki dukungan kebijakan pada program Perhutanan Sosial
kendati di wilayahnya telah memiliki izin pemanfaatan PS. Pemerintah
daerah dapat memaksimalkan dukungan kebijakannya dalam bentuk
pengakuan dan dukungan program PS melalui RPJMD dan RKPD, juga
dengan membuat legalitas hukum dalam Perda maupun Pergub.

Terakhir, sub-indeks output memperlihatkan masih terpusatnya Kelompok


Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) pada kategori Biru dan sedikit yang
mencapai kategori Emas dan Platinum. Artinya, masih sedikit kelompok
usaha yang sudah beroperasi atau memiliki unit usaha, bahkan telah
memasarkan produk, baik di level nasional hingga internasional. Diperlukan
dukungan dan pendampingan dari pemerintah untuk meningkatkan
kapasitas pengurus dan anggota KUPS sehingga dapat menaikkan skala
usaha dan melakukan ekspansi pasar dan bisnisnya.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
44 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Temuan ini sejalan dengan surat Mendagri, Tito Karnavian, pada 13


Februari 2020 kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota yang memiliki
izin Perhutanan Sosial. Surat itu didasarkan pada keberadaan akses kelola
hutan yang sudah diberikan sebanyak lebih dari 4 juta ha, namun belum
sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, masih
diperlukan berbagai upaya oleh berbagai pihak terkait

Untuk itu, seperti disampaikan oleh Dirjen Bangda Kemendagri, Hari Nur
Cahya Murni, diperlukan pola kerja bersama atau kolaborasi yang dinamis
dan mata di tataran kementerian/lembaga terkait di pusat, antar tingkatan
pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota), serta antar perangkat
daerah terkait di lingkup pemerintahan daerah. Ini mencakup perangkat
dari sisi perencanaan hingga implementasi program Perhutanan Sosial
melalui sinergi program kegiatan pada lokus yang sama dalam skema
penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan
masyarakat dan ketahanan pangan. Kolaborasi menjadi salah satu
kunci keberhasilan tercapainya tujuan Perhutanan Sosial dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan fungsi kawasan hutan.

❝KOLABORASI MENJADI SALAH SATU KUNCI KEBERHASILAN TERCAPAINYA


TUJUAN PERHUTANAN SOSIAL DENGAN TETAP MEMPERHATIKAN
KEBERLANJUTAN FUNGSI KAWASAN HUTAN”
—HARI NUR CAHYA MURNI
DIREKTUR JENDERAL BINA PEMBANGUNAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 45

Daftar Pustaka
Aji, G. B, Yuliyanti, R., Suryanto, J., Desita Ekaputri, A., Saptono, T., & Muis, H. (2015). Sumbangan
Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa terhadap Pendapatan dan Pengurangan
Kemiskinan (2nd ed.). Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Bachriadi, D. (2020). Forestry Land Reform untuk Indonesia. Presentasi, Jakarta.

Bakar, S. N. (2018). Percepatan Penyediaan Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (Tora) dari
Kawasan Hutan. Presentasi, Jakarta.

BPSKL Wilayah Maluku Papua. (2019). Kajian Dampak Perhutanan Sosial Wilayah Maluku-Papua.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. (2019). Laporan Kinerja


Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Tahun 2018. Jakarta.

Djauhari, M., S. Lubis, A., & Ari Moenir, N. (2018). Bunga Rampai: Strategi Percepatan Tora dan
Perhutanan Sosial. Bogor: Konsorsium KpSHK.

Kartodihardjo, H. (2015). Indeks Tata Kelola Hutan 2014: Sebuah Potret Pekerjaan Rumah.
Presentasi, Jakarta.

Kuncoro, M. (2018). Dampak Perhutanan Sosial: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan.


Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Murni, H. N. M. (2020). Kolaborasi Pelaksanaan Perhutanan Sosial di Daerah. Jakarta: Direktorat


Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri.

Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Strategi Pengurangan


Kemiskinan di Desa-Desa Sekitar Hutan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Supriyanto, B. (2020). Peningkatan dan Percepatan Perhutanan Sosial. Presentasi, Yogyakarta.

Supriyanto, B. (2020). Strategi Pengentasan Kemiskinan melalui Perhutanan Sosial. Presentasi,


Jakarta.

Yunan Firdaus, A. (2018). Panduan Praktis Penerapan Kebijakan Perhutanan Sosial: Kerangka


Pencepatan Reformasi Tenurial Hutan. Bogor: Pusat Kehutanan Internasional (CIFOR).

Yayasan Madani Berkelanjutan. Kontribusi Perhutanan Sosial Terhadap Pencapaian NDC Indonesia,


Studi Kasus: KPH Bukit Barisan, Sumatera Barat. Jakarta: Yayasan Madani Berkelanjutan.
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
46 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

LAMPIRAN
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 47

Perkembangan Jumlah SK Perhutanan Sosial

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Hutan Desa Hutan Kemasyarakatan Hutan Tanaman Rakyat

Hutan Adat Hutan Kemitraan IPHPS Hutan Kemitraan Kulin KK

Hutan Hutan Hutan


Hutan Hutan Hutan
Tahun Tanaman Kemitraan Kemitraan
Desa Kemasyarakatan Adat
Rakyat IPHPS Kulin KK
2014 3 99 66 0 0 0
2015 35 43 7 0 0 0
2016 44 13 22 8 0 0
2017 195 187 66 9 12 33
2018 358 537 103 17 46 224
2019 48 148 15 21 3 233
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
48 JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN

Rekapitulasi Nilai Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Desa Rekapitulasi Nilai Indeks Perhutanan Sosial
Skema Hutan Kemasyarakatan
Median Nasional 35,99
Provinsi Input Proses Output Indeks Median Nasional 35,81
KALIMANTAN BARAT 54,65 100,00 91,21 81,95 Provinsi Input Proses Output Indeks
SUMATERA BARAT 73,39 75,00 27,39 58,59 KEP BANGKA BELITUNG 66,34 91,67 4,48 54,16
BALI 52,74 66,67 38,79 52,73 ACEH 53,45 91,67 2,56 49,23
SULAWESI BARAT 43,80 100,00 6,43 50,08 SULAWESI BARAT 34,68 100,00 6,07 46,92
ACEH 41,34 91,67 8,13 47,05 LAMPUNG 61,90 41,67 35,64 46,40
KALIMANTAN TIMUR 65,24 58,33 5,73 43,10 SUMATERA UTARA 34,62 91,67 5,51 43,93
SUMATERA UTARA 23,59 91,67 8,65 41,30 SULAWESI SELATAN 17,25 33,33 74,45 41,68
KEP BANGKA BELITUNG 24,77 91,67 5,02 40,48 NUSA TENGGARA BARAT 18,30 91,67 14,67 41,55
SULAWESI TENGGARA 44,06 66,67 5,99 38,90 KALIMANTAN BARAT 19,41 100,00 3,96 41,12
SUMATERA SELATAN 26,66 83,33 3,67 37,89 SUMATERA SELATAN 36,09 83,33 3,47 40,96
RIAU 41,77 66,67 4,43 37,62 NUSA TENGGARA TIMUR 33,88 41,67 44,81 40,12
SULAWESI SELATAN 27,82 33,33 47,58 36,25 SUMATERA BARAT 36,53 75,00 6,55 39,36
KALIMANTAN SELATAN 30,18 58,33 19,45 35,99 SULAWESI UTARA 16,75 91,67 5,52 37,98
MALUKU 53,17 33,33 20,52 35,68 KALIMANTAN TENGAH 38,59 66,67 6,87 37,38
SULAWESI TENGAH 33,63 41,67 31,05 35,45 RIAU 34,56 66,67 1,53 34,25
KALIMANTAN UTARA 41,80 41,67 21,01 34,83 KALIMANTAN SELATAN 32,75 58,33 10,37 33,82
KALIMANTAN TENGAH 15,23 66,67 21,21 34,37 SULAWESI TENGGARA 20,08 66,67 9,95 32,23
JAMBI 42,06 41,67 10,79 31,51 KEP RIAU 25,45 66,67 2,04 31,38
PAPUA 39,88 41,67 8,64 30,06 JAMBI 40,73 41,67 4,12 28,84
LAMPUNG 24,05 41,67 14,94 26,88 KALIMANTAN UTARA 39,54 41,67 3,22 28,14
KEP RIAU 4,52 66,67 5,07 25,42 SULAWESI TENGAH 29,07 41,67 10,73 27,16
BENGKULU 23,59 25,00 7,07 18,55 MALUKU 33,43 33,33 7,60 24,79
MALUKU UTARA 12,92 8,33 15,26 12,17 BENGKULU 29,64 25,00 10,28 21,64
PAPUA BARAT 19,95 0,00 11,32 10,42 KALIMANTAN TIMUR 3,96 58,33 2,31 21,53
GORONTALO 13,71 0,00 11,26 8,32 GORONTALO 37,67 0,00 7,33 15,00
MALUKU UTARA 12,07 8,33 4,40 8,27
PAPUA BARAT 7,50 0,00 1,54 3,01
SURVEI DAN INDEKS PERHUTANAN SOSIAL:
JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN KELESTARIAN HUTAN 49

Rekapitulasi Nilai Indeks Perhutanan Sosial


Rekapitulasi Nilai Indeks Perhutanan Sosial
Skema Hutan Kemitraan
Skema Hutan Tanaman Rakyat
Median Nasional 24,65
Median Nasional 33,35

Provinsi Input Proses Output Indeks Provinsi Input Proses Output Indeks

SUMATERA SELATAN 44,53 83,33 34,06 53,98 JAWA TIMUR 27,46 75,00 76,57 59,68

KEP BANGKA BELITUNG 48,54 91,67 7,76 49,32 KALIMANTAN BARAT 41,40 100,00 1,62 47,67

KALIMANTAN TENGAH 61,92 66,67 13,88 47,49 BALI 32,64 66,67 23,63 40,98

SULAWESI BARAT 11,94 100,00 30,29 47,41 JAWA BARAT 54,96 0,00 58,53 37,83

JAMBI 72,05 41,67 13,26 42,33 SUMATERA UTARA 12,82 91,67 3,73 36,07

KALIMANTAN BARAT 17,86 100,00 1,71 39,86 JAWA TENGAH 58,86 8,33 37,24 34,81

SUMATERA UTARA 9,94 91,67 3,21 34,94 SUMATERA SELATAN 17,80 83,33 0,50 33,88

KEP RIAU 33,54 66,67 2,32 34,18 NUSA TENGGARA BARAT 1,05 91,67 1,34 31,35

BALI 33,08 66,67 1,49 33,75 RIAU 16,37 66,67 0,66 27,90

KALIMANTAN TIMUR 39,84 58,33 0,70 32,96 KALIMANTAN SELATAN 12,16 58,33 3,45 24,65

SULAWESI TENGGARA 18,79 66,67 5,54 30,33 SULAWESI TENGGARA 2,88 66,67 1,13 23,56

LAMPUNG 36,64 41,67 3,91 27,41 KALIMANTAN TIMUR 11,54 58,33 0,15 23,34

KALIMANTAN SELATAN 17,54 58,33 2,36 26,08 KALIMANTAN UTARA 16,03 41,67 2,17 19,95

KALIMANTAN UTARA 29,54 41,67 2,20 24,47 LAMPUNG 11,12 41,67 2,09 18,29

NUSA TENGGARA TIMUR 11,59 41,67 8,93 20,73 JAMBI 10,28 41,67 2,20 18,05

PAPUA 15,08 41,67 3,02 19,92 NUSA TENGGARA TIMUR 0,45 41,67 8,94 17,02

SULAWESI SELATAN 0,09 33,33 3,47 12,30 BANTEN 25,66 16,67 3,37 15,23

GORONTALO 10,11 0,00 3,71 4,61 BENGKULU 12,32 25,00 2,13 13,15
GORONTALO 25,27 0,00 2,02 9,10

Rekapitulasi Nilai Indeks Perhutanan Sosial Skema Hutan Adat

Median Nasional 32,78

Provinsi Input Proses Output Indeks


JAMBI 56,41 41,67 59,53 52,54
KALIMANTAN BARAT 17,33 100,00 13,67 43,67
BANTEN 44,36 16,67 47,89 36,31
SULAWESI TENGAH 51,99 41,67 9,34 34,33
SUMATERA SELATAN 9,92 83,33 0,44 31,23
SULAWESI SELATAN 14,33 33,33 39,90 29,19
KALIMANTAN TIMUR 18,81 58,33 0,22 25,79
JAWA BARAT 19,20 0,00 6,87 8,69
50 50
51
52
53
54

Anda mungkin juga menyukai