Anda di halaman 1dari 19

STUDI PERADABAN DAN PEMIKIRAN ISLAM

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Abbasiyyah

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Tasawuf


Yang Diampu Oleh
Dr. Mufarrihul Hazin, S.Pd.I., M.Pd.

Oleh
Abdullah Afif (212120073)
Yunani (212120086)
Ibnu Ubaidillah (212120097)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALI AL-HIKAM


PROGRAM STUDI PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
NOVEMBER, 2021
DAFTAR ISI

A. Pendahuluan ........................................................................................................ 1
B. Materi dan Kurikulum Pendidikan Era Dinasti Abbasiyyah ..... 2
C. Pendidik dan Peserta Didik Era Abbasiyyah ...................................... 8
D. Metode dan Model Pendidikan Era Abbasiyyah ............................... 9
E. Manajemen dan Kelembagaan Pendidikan Era Abbasiyyah ...... 10
F. Penutup .................................................................................................................. 14
G. Daftar Pustaka ................................................................................................... 15
MAKALAH STUDI PERADABAN DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
(Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyyah)

A. PENDAHULUAN
Era Dinasti Abbasiyyah merupakan simbol dan identitas kejayaan umat
Islam yang berlangsung sekitar tujuh abad lamanya (750 M. hingga 1517 M.)
yang awalnya berpusat di kota Baghdad (yang menjadi ibu kota Irak) kemudian
runtuh oleh invasi pasukan Mongol, yang dipimpin Hulagu Khan dengan
membumi hanguskan kota Baghdad beserta perpustakaan yang menjadi pusat
pengetahuan, sehingga ibu kotanya berpindah ke kota Kairo, Mesir (1261 M.)
dibawah komando kesultanan Mamluk. Dinasti Abbasiyyah berkuasa setelah
tumbangnya kekuasaan Dinasti Umayyah dengan penaklukkan dan penundukan
terhadap seluruh wilayah yang dikuasai selain wilayah Spanyol yang tepatnya di
kota Andalusia. Pada abad kekuasaannya, Dinasti Abbasiyah telah menjadikan
jati diri dunia Islam berkembang kian cepatnya sehingga menjadi sentral
peradaban dan pusat pengetahuan universal tingkat internasional. Dinasti
Abbasiyyah adalah nisbat terhadap anak cucu dan dzurriyyah paman Nabi
Muhammad saw. yang dikenal dengan nama Abbās bin Abdul Muthollib, yang
terikat dalam rumpun Bani Hasyim.1
Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah dikuasai 37 Khalifah secara silir
berganti, sebagai Khalifah pertamanya dikenal dengan nama Abul Abbas Al-
Saffāh bin Muhammad bin Aly bin Abdullah bin Al-Abbas (sang pembantai), ia
berkonsentrasi membabat habis rivalnya, baik dari pihak Syiah, Khawarij, dan
bani Umayyah serta mengagendakan penertiban kelembagaan serta sistem
kenegaraan.2
Berpijak pada fenomena, pola, serta karakteristik yang bersinggungan
langsung dengan iklim sosial, politik, dan budaya, maka sebagian sejarawan
memetakan pemerintahan Dinasti Abbasiyah sesuai timeline-nya ke dalam lima
fase, di antaranya 1) Impresi Periode Persia (750-847 M.), 2) Impresi Periode Turki
(847-945 M.), 3) Impresi Periode Persia Kedua oleh Bani Buwaih (945-1055 M.),
4) Impresi Periode Turki oleh Bani Seljuk (1055-1194 M.), 5) Kekhalifahan bebas
tanpa yuridiksi dinasti-dinasti lain, berpusat dan terbatas di wilayah Baghdad.
Sedangkan fondasi-fondasi dasar pemerintahan Dinasti Abbasiyyah ditata dan
dirumuskan oleh Abul Abbas dan Abu Jakfar Al-Manshūr.3

1
Wikipedia, Kekhalifahan Abbasiyah, https://id.m.wikipedia.org/wiki/
Kekhalifahan_ Abbasiyah, diakses 02 November 2021, pukul 20.42 WIB.
2
Arief Nur Rahman Al Aziiz, Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan pada Masa
Daulah Abbasiyah, (Klaten: Cempaka Putih, 2019), ePub.
3
M. Mukhlis Fachruddin, Pusat Peradaban Abad Pertengahan: Kasus Bayt

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 1


Peradaban dan pemikiran di era ini telah meroket pada puncak
kegemilangan-nya, ditandai dengan tinggginya kesadaran akan pentingnya
ilmu pengetahuan yang direalisasikan dengan antusiasnya kaum akademis
dalam menuntut dan mengem-bangkan ilmu/sains, apresiasi yang tinggi
bagi para ilmuan, didirikannya institusi-institusi pendidikan sebagai pusat
pengembangan pendidikan agama Islam, dan pada puncaknya hadirlah Bayt Al-
Hikmah (institusi berkelanjutan yang embrionya disebut Khizanah Al-Hikmah
yang merupakan inisiatif Khalifah Harun Al-Rasyid)4 sebagai perpustakaan
yang menjadi sarana pusat literatur keislaman, baik yang berkaitan dengan
ilmu agama ataupun sains. Dengan adanya Bayt Al-Hikmah yang dimotori oleh
Khalifah Al-Ma’mun maka secara tidak langsung terciptalah suasana dan iklim
akademis yang dinamis, progresif, dan kondusif.5
Berpijak pada pendahuluan yang telah dipaparkan, pembahasan yang
akan dikaji dan dieksplorasi dalam makalah ini berpusat pada beberapa aspek
penting yang menyangkut pada empat poin, di antaranya, materi-materi
pendidikan yang mengalami dinamika ataupun perkembangan era Abbasiyyah,
civitas akademisi yang berperan dalam kemajuan pendidikan, metode dan
strategi pendidikan beserta seluruh perangkat pembelajaran, serta manajemen
dan kelembagaan yang terbentuk pada masa itu.

B. MATERI DAN KURIKULUM PENDIDIKAN ERA DINASTI ABBASIYYAH


Menengok pada kondisi pra pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, masyarakat
Arab mayoritasnya masih dalam kondisi minus dalam aspek pendidikan, transfer
dan infiltrasi pengetahuan pada masa itu masih mengandalkan metode hafalan
untuk menyampaikan atau meriwayatkan segala pengetahuan, tradisi, dan
kebudayaan. Dinasti Abbasiyyah menjadi pioner dan pemicu ledakan yang luar
biasa terhadap iklim intelektualitas ilmu pengetahuan hingga membawa masa
tersebut dalam era keemasan (golden century).6
Puncak kejayaan yang menjadi prestasi dan prestise Dinasti Abbasiyyah
sangat erat relasinya dengan keberhasilan dan kemapanan kurikulum

Al-Hikmah, dalam Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 03, (Malang, UIN Maulana Malik
Ibrahim, 2009), hlm. 182-183.
4
Nunzairina, Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan dan
Kebangkitan Kaum Intelektual, dalam Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Vol. 03, No.
02, (Medan: Universitas Islam Negeri Sumatra Utara, 2020), hlm. 97.
5
M. Mukhlis Fachruddin, Pusat Peradaban Abad Pertengahan…, hlm. 182.
6
Maryamah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah, dalam Jurnal Tadrib,
Vol. 01, No. 01, Juni, (Palembang: IAIN Raden Fatah, 2015), hlm. 10.

2 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam


pendidikan yang dirancang pada masa itu. Urgensi dari kurikulum sendiri
bukanlah hal yang bisa dipungkiri eksistensinya. Sebagai perangkat atau progam
yang dirancang sebuah institusi yang nantinya akan diterapkan kepada peserta
didik dalam tempo dan jenjang pendidikan tertentu, kurikulum memiliki target
sesuai visi dan misi untuk memberi acuan dan arahan menuju maksud dari
terselenggaranya pendidikan secara ekstensif.
Para praktisi dan konseptor dalam bidang pendidikan bersilang
pendapat terkait komponen kurikulum, namun komponen yang bahkan hampir
disepakati tercakup dalam empat kategori, yaitu komponen tujuan (objektivitas),
komponen materi/isi, komponen evaluasi, dan komponen strategi.
Berkaitan dengan pendidikan era Abbasiyah, tujuan serta kurikulum
yang dicanangkan sebagai upaya pengembangan pendidikan Islam terangkum
dalam beberapa hal, di antaranya:
1) Akhlaqul karimah dan motif religius, peserta didik digembleng dan
diajarkan membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an agar mampu dan sadar
untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam serta berperilaku yang sesuai dengan
norma-norma agama.
2) kemasyarakatan dan organisasi sosial, pembentukan generasi handal
melalui program pendidikan yang targetnya adalah membawa perubahan dan
perbaikan masyarakat yang awal mulanya stagnan menjadi masyarakat yang
gemilang, dinamis, maju, makmur, serta berbinar dalam pengetahuan/sains.
3) Kecintaan dalam menggapai ilmu pengetahuan serta pemuasan atas
rasa dahaga keilmuan, banyaknya pelajar yang mengorbankan seluruh apa yang
dimiliki untuk belajar, menekuni, dan mendalami ilmu pengetahuan dengan
melintasi negara-negara Islam secara menyeluruh.
4) Motif material, tidak jarang dan sering pula sebagian dari pemburu
ilmu yang tujuan pendidikannya berfokus pada pangkat, derajat, atau jabatan,
begitu pula kelayakan hidup serta kekuasaan dan keagungan untuk menguasai
dunia.7
Di era Abbasiyyah, kurikulum pendidikan Islam terpetakan dalam tiga
konstituen yang menyesuaikan gradnya masing-masing, di antaranya kurikulum
untuk Pendidikan Dasar/Basic Education (berpusat di Kuttab), Pendidikan
Menengah, dan Perguruan Tinggi. Kurikulum yang diaplikasikan pada Tingkat
Dasar berisikan materi-materi yang berkenaan dengan pokok dasar keagamaan
Islam seperti kajian fikih/furu’ (wudhu, sholat, dan rukun Islam lainnya), tarikh,
syair-syair (puisi) dan kalam natsar (karangan prosa), aritmetika, dan dasar-
dasar gramatikal (nahu/shorof). Di tingkat Menengah, materi yang diterapkan
bersifat umum yang mencakup (a) Al-Qur’an, (b) Semantik dan Bahasa Arab, (c)

7
Maryamah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah…, hlm. 10-11.

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 3


Nahu/Shorof, (d) Hadis, (e) Logika (Manthiq), (f) Ilmu Pengetahuan Alam, (g)
Biologi, (h) Astronomi, (i) Musik. Sedangkan di level Tinggi (perguruan tinggi),
terpecah menjadi dua program studi, pertama, studi keagamaan, sastra, bahasa
(al-‘ulum an-naqliyyah), mencakup Tafsir, Bahasa Arab, Fikih, Ushul Fikih,
Balaghah, Nahu/Shorof, Lughoh, kedua, studi ilmu umum (al-‘ulum al-‘aqliyyah)
yang meliputi Logika, Filsafat, Biologi dan Kimia, Astronomi, Botani, Musik (al-
‘Arudl wa al-Qofiyah), Aritmetika, Kedokteran, dan ilmu umum lainnya.8
Progesivitas bidang keilmuan era Abbasiyyah mencapai limit terbaik,
terutama pada beberapa disiplin ilmu yang diklasifikasikan menjadi dua
karakter, yaitu al-ulūm an-naqliyyah (disiplin ilmu terkait keagamaan) dan al-
ulūm al-‘ammah/al-aqliyyah (pengetahuan umum).
Materi-materi Al-‘Ulum An-Naqliyah mencakup beberapa disiplin
ilmu (studi), antara lain: Tafsir, Ilmu Tafisr memasuki sekuel terbaru dalam
karakteristik perpesktif metodologi, sebelumnya mayoritas penafsiran berkutat
dan lebih condong pada bentuk manqul/ma’tsur, dan berkembang pada seri
selanjutnya ke metodologi aqliyah/ra’yu.9 Gaya penafsiran juga berkembang
dengan munculnya peristilahan seperti tafsir maudlū’i (tematik), isyārī
(tafsir klan tasawuf), muqārin (perbandingan pendapat ulama’ tafsir). Tokoh
berpengaruh bidang ini antara lain, Ibn al-Jarī�r al-Thobary (839 M., Iran), karya
populernya Tafsir Jāmi’ al-Bayān’an Ta’wī�l A� yil Qur’an, Dzail al-Mudzī�l, A� dab al-
Qudhot, Tahdzib Al-A� tsār, selain itu juga ada tokoh lainnya seperti Abu Al-Hasan
Muqōtil bin Sulaimān Al-Azdy Al-Balkhy (767 M., Afghanistan), Ibn ‘Athiyyah Al-
Muhāriby Al-Andalūsy (1088 M., Granada), dan lainnya.
Bidang Hadis, kodifikasi oleh pakar hadis masa Abbasiyyah hingga
dikenal sebagai Kutub Sittah atau At-Tis’ah. Format pembukuan hadis era ini
dikenal dengan beberapa istilah seperti as-Shahih, as-Sunan, al-Musnad, al-
Jawami’, dan al-Mu’jamāt. Tokoh sentralnya antara lain, Muhammad bin ‘Ismā’il
Al-Bukhōry (810-870 M., Uzbekistan), Muslim bin Al-Hajjāj al-Naysbūry (875
M., Iran), dan para imam pemilik Kutub al-Sunan.
Tiga tokoh besar bidang fikih/furu’ lahir pada era ini, yaitu Abu Abdullah
Mālik bin Anas bin Mālik bin Abi ‘A�mir al-Ashbahī� al-Himyary al-Madany (795
M.), Abu Abdullah Muhammad bin Idrī�s al-Syafi’i al-Mutholliby al-Qurosy (820
M.), dan Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibāny al-
Dzuhaly (855 M.), dari ketiganya berkembang madzahib al-fiqhiyyah oleh para

Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral


8

Pendidikan Islam Kementerian Agama Islam Republik Indonesia, 2012), Hlm. 105-
107.
9
Muhammad Husain Al-Dzahaby, ‘Ilmu at-Tafsīr, (Mesir: Dār el-Ma’ārif, tt.),
hlm. 36-39.

4 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam


ashab-ashabnya.
Berkembang pula pengetahuan mengenai qira’āt, ‘ilm rasm mushaf dan
dhobt-nya, bidang ini dipelopori oleh Imam Abu ‘Amr al-Dāny Utsmān bin Sa’ī�d
bin ‘Umar (981 M., Cordoba) dan muridnya Imam Abu Dawud Sulaimān bin
Najjāh bin Abi Qasim (469 H.). Di antara karya Imam al-Dany adalah al-Muqni’ fī
Rasm Mashahif al-Amshar (ilmu rasm), al-Taisīr fīal-Qira’at al-Sab’ (ilmu qira’at),
sedang Imam Abu Dawud memiliki karya fenomenal yang dipakai sebagai
standar penulisan rasm uthmany hingga hari ini dengan nama Mukhtashr al-
Tabyīn li Hijā’i al-Tanzīl.10
Di sisi lain, dunia tasawuf mengalami kemajuan yang ditandai dengan
munculnya ulama-ulama sufi dengan berbagai karangannya, antara lain Abu Al-
Qosim Abd Al-Karī�m bin Hawāzin Al-Qusyairy (kitab Risalah al-Qusyairiyyah),
kitab beliau tergolong karya tertua bidang tasawuf yang ditulis secara
sistematis, tersusun dari 45 bab, beberapa istilah baru juga tasawuf dipaparkan
secara lugas dalam kitab ini. Selain itu, yang tak kalah masyhurnya Imam Abu
Hamid Muhammad al-Ghozaly al-Thusy (faqih, Ushuly, dan seorang filusuf)
dengan kitab Ihya’ Ulumiddīn, apresiasi terhadap kitab ini sebagaimana pernah
dikatakan sebagian ulama’ bahwa tidak dianggap hidup orang yang tidak pernah
membaca kitab Ihya’.11
Bidang Ilmu Kalam juga berkembang seiring kemajuan ilmu logika
(manthiq) dan ajaran-ajaran falsafi. Pegiat yang berkecimpung di bidang ini
disebut al-Mutakallimun, kajiannya berkutat pada pokok pembahasan penting
seperti penetapan wujud Allah, sifat-sifat-Nya, Mu’jizat kenabian, kebangkitan
(ba’ts), dan hal-hal yang berkenaan dengan pahala dan siksaan (tsawab wa ‘iqob).
Di antara tokoh-tokoh yang membangun fondasi ilmu Kalam ini adalah Wāshil
bin ‘Atho’, Al-‘Allāf, Al-Jāhidz, dan An-Nidhom, mereka berusaha menguatkan
bidang aqidah dengan akal (golongan ini disebut juga ahl al-adl wa al-tauhid/
qodariyah). Ajarannya berpijak pada lima dasar, yaitu al-Tauhid wa al-‘Adl, al-
Wa’du wa al-Wa’id, al-Sam’ wa al-‘Aql, dan al-Sholah wa al-Ishlāh, al-manzilah
baina manzilatain yang kemudian muncul saingannya, al-‘Asyairoh yang dikenal
madzhabnya dengan ajaran Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah.12

10
Asyraf Muhammad Fu’ad Thol’āt, Safīr al-‘Ālamin fī Idhohi wa Tahrir
wa Tahbīr Samīr al-Tholibin fī Rasm wa Dhobt al-kitab al-Mubīn, Vol. 01, (Mesir:
Maktabah Imam al-Bukhory, 2006), hlm. 64.
11
Muhammad Sholih al-Dhowy, Jawahir Al-Hikmah, (Yordania: Dar Al-
Mu’tazz li al-Thiba’ah wa An-Nasyr wa Al-Tauzī�’, 2020), hlm. 19.
12
Awwad bin Abdullah Al-Mu’tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khomsah
wa Mauqifu Ahlu As-Sunnah Fiiha, Cet. 02, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 1995), hlm.
81.

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 5


Selain disiplin ilmu yang telah dipaparkan di atas, masih banyak lagi
ilmu pengetahuan yang berkembang dengan munculnya beberapa karangan
ilmiah seperti tajwid (fonetik), ushul fiqh, dan masih banyak lagi.
Sedangkan klasifikasi al-‘ulum al-‘ammah atau pengetahuan umum
berkembang mencakup beberapa disiplin ilmu, antara lain:
Bahasa, terpecah menjadi beberapa bagian, nahu, sharaf, balaghah.
Bidang nahu muncul tokoh dan karya yang luar biasa, yaitu Imam ‘Amr bin
‘Uthman bin Qonbar Al-Haritsi (765 M.) atau familiar dikenal dengan nama
Imam Sibawaih, seorang ahli nahu pertama yang memaparkan disiplin ilmu
nahu secara sistematis, satu-satunya karya beliau berjudul Al-Kitāb li Sibawaih,
selain itu banyak tokoh lainnya seperti Abu Hasan Aly Fayruz (Al-Kisa’I, 805 M.),
Yahya al-Farra’, Kholaf bin Hisyam, Ahmad bi Suraij. Sedangkan ilmu balaghah
terdiri dari fan Ma’any, Al-Bayan, dan Badi’, tokoh bidang ini di antaranya Al-
Jahidz (Al-Bayan wa Al-Tibyan), Abu Hilāl Al-‘Askary (Shina’atan an Nadhmi wa
Asy-Syi’ri), Ibn Sinan Al-Khofājy (Sirr Al-Fashohah), Abd Al-Qohir Al-Jurjany
(1078 M., Dalā’il Al-I’jāz fi ‘Ilm Al-Ma’any wa Asror Al-balaghoh fi “ilm Al-Bayan),
ulama’ pertama yang menyusun dasar penetapan metode penulisan ilmu
balaghah.13
Filsafat, berkembang atas dukungan kegiatan penerjemahan buku-buku
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dengan beberapa penyesuaian terhadap
ajaran Islam. Tokoh yang berpengaruh antara lain, Al-Kindy (Abu Yusuf bin
Ishāq al-Shabbāh), Filusuf Islam pertama dan pakar bahasa Yunani, beliau
banyak menerjemahkan filsafat Aristoteles dan Neo Platonic (Aflathun Al-
Haditsah), salah satu karyanya berjudul Kitab Al-Hats ala Ta’allum al-Falasifah.14
Tokoh lain yang tak kalah terkenalnya juga muncul seperti Al-Faraby, Ibn
As-Sina, Ibn Ar-Rusyd. Bagian dari filsafat yang berkenaan dengan kajian
epistimologi adalah manthiq (logika) yang bersumber dari karya Aristoteles
berjudul Organon, manthiq ditulis kembali dan dikembangkan ulama Islam
seperti Abdurrahman Al-Akhdhori dalam bukunya Sullam Al-Munawwaroq
yang kemudian dikomentari oleh Ahmad bin Aly Ash-Shobban dalam Hasyiyah
Al-Malawy.
Siyasah, ilmu politik dan ketatanegaraan berkembang dengan munculnya
tokoh bernama Abu Al-Hasan Aly bin Muhammad Habib Al-Bashry atau yang
dikenal dengan Imam Al-Mawardy (1058 M.) , selain sorang faqī�h dan ahli hadis,
beliau banyak menulis tentang politik, perundang-undangan, dan hukum-

13
Muhammad bin Aly Al-Qadhy, Kasysyāf Ishthilahāt al-Ulum wa al-Funūn,
Vol. 02, (Beirut: Maktabah Libnan Nāsyirūn, 1996), hlm. 157.
14
Ibn Fadhlullah Syihabuddin Al-‘Amry, Masālik Al-Abshor fī Mamālik Al-
Amshor, Vol. 09, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2010), hlm. 40.

6 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam


hukum kenegaraan. Salah satu karyanya berjudul Al-Ahkām Al-Sulthoniyyah,
karya lainnya juga masih banyak seperti Kitab Nashihat Al-Muluk, Qowanīn
Al-Wizāroh wa Siyasat al-Muluk, Adab Al-Qadhy, Kitab Adab Ad-Dunya wa Ad-
Dīn.15
Astronomi, mengkaji, membahas, dan mempelajari tata surya, bulan,
bintang, matahari, komet, asteroid, dan planet-planet atau disebut juga ilm
al-falak. Tokoh muslim yang berpengaruh di bidang ini antara lain, Abu Ishaq
Ibrahim An-Naqqasy (Arzachel, 1087 M.), pakar astronomi pertama yang
merumuskan teori elliptical orbital sebagai pembanding teori sirkular orbital,
Abu Bakr Ibn Bajjah (1138 M.), penggagas teori adanya Galaksi Bima Sakti,
Ibn Haytam, ilmuan yang merubah gagasan konfigurasi Klaudious Ptolemeus.
Ada juga ilmu Astrologi, yaitu pengetahuan tentang perbintangan (zodiak)
yang fungsinya digunakan untuk memprediksi hal-hal di masa depan, tokoh
terkenalnya bernama Abu Ma’syar Al-Falaky, dijuluki Al-Falaky karena kehebatan
dan prestasinya yang luar biasa di bidang Astrologi.16
Matematika, Muhammad bin Musa Al-Khuwarizmy (850 M.) bisa
dikatakan sebagai ahlinya, beliau dinobatkan sebagai ilmuan pertama yang
membahas teori angka nol dan peletak dasar Aljabar (perumus istilah
koefesien, variable, konstanta, dan membagi variable dalam persamaan dan
pertidaksamaan linier), gelarnya adalah Father of Aljabar (Bapak Aljabar),
di antara karyanya berjudul Mukhtashor Al-Hisab Al-Jabr wa Al-Muqobalah.17
Ilmuan lain seperti Banu Musa juga tampil menghiasi dunia matematika dengan
merumuskan perhitungan dalam mengukur luas permukaan yang datar dan
melengkung (bola).
Seni dan Budaya, di Era Abbasiyyah berkembang dalam bidang seni,
terutama seni kaligrafi Arab oleh beberapa kaligrafer termuka, di antaranya Ibn
Al-AJlan, Ishaq bin Muhammad, dari sekian banyaknya kaligrafer, salah satu yang
fenomenal adalah Ibn Al-Muqlah, kaligrafer yang merumuskan dan menerapkan
teori geometrikal dalam kaligrafi Arab yang sekaligus juga penemu Khot Tsulust
dan Naskhi sehingga penemuan ini mampu menyingkirkan dominasi seni khat
Kufi. Beliau menambahkan unsur paten geometris pada khat arab dengan
kesatuan baku berbentuk garis, titik, huruf Alif, sudut, dan lingkaran. Beliau

15
Abu Abdullah Syamsuddin Adz-Dzahaby, Siyar A’lām Al-Nubalā’, Vol. 13,
(Mesir: Muassasah Ar-Risālah, 1982), hlm. 311.
16
Arief Nur Rahman Al Aziiz, Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan pada Masa
Daulah Abbasiyah, (Klaten: Cempaka Putih, 2019), ePub.
17
Wikipedia, Muhammad bin Musa Al-Khuwarizmi, https://id.m.wikipedia.
org/ Muhammad _bin_Musa_al-Khuwarizmi, diakses 07 November 2021, pukul
06.32 WIB.

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 7


juga pelopor kaligrafer yang menawarkan penggunaan gaya pokok penulisan
kaligrafi Arab (Al-Aqlam Al-Sittah), yaitu Khat Naskhy, Muhaqqaq, Rayhani,
Tauqi’/Farisy, Ruq’ah, dan Tsulust. Bidang musik berkembang pula seperti
pengembangan beberapa instrument musik semisal Murabba (sejenis gitar),
Syahrud (kecapi berbentuk lengkung), Mishbar (kecapi klasik), dan lain-lain.
Satu karya di bidang sastra yang tak terlupakan hingga hari ini dikenal dengan
sebutan Alfu Lail wa Lailah (Seribu Satu Malam). Perkembangan ilmu umum
juga masih banyak dalam bidang-bidang yang lain seperti sejarah, geografi,
kedokteran, farmasi, dan lainnya yang mana pada abad sebelum era Abbasiyah
mendominasi belumlah semaju masa ini.18

C. PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK ERA ABBASIYYAH


Terdapat perbedaan strata sosial di kalangan pendidik di era Abbasiyyah
yang juga berpangaruh pada penghasilan yang diperoleh oleh para pendidik
masa itu, setidaknya strata ini tergolongkan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Para guru yang mengajar di Kuttab, kelompok ini dianggap mempunyai
status sosial yag biasa saja karena keilmuannya yang kurang berbobot dan
masih dangkal.
2) Muaddibin, memiliki status sosial tinggi, karena menjadi seorang
muaddib harus memenuhi persyaratan yang ketat dan sulit, yaitu harus ‘alim,
memiliki intelegensi dan kapabilitas yang tinggi, sebagai teladan yang baik, dan
familiar di kalangan masyarakat.
3) Dosen-dosen yang mengajar di masjid atau madrasah-madrasah
yang didirikan khalifah masa itu, kelompok ini mendapatkan apresiasi dan
penghormatan yang besar dari pemerintahan dan masyarakat karena tingkat
keilmuan dan kapabilitas yang sangat tinggi dan mendalam.19
Pendidik atau guru yang mengajar di era ini disesuaikan dengan bidang
yang ditekuni, bahkan ada pendidik yang mampu mengajar banyak fan keilmuan
sehingga dijuluki ulama mutafannin (ulama’ yang menguasai banyak bidang
ilmu pengetahuan).
Peserta didik atau pelajar di masa itu benar-benar memperoleh pelayanan
yang eksklusif dengan perhatian yang penuh, baik dari pemerintah, ulama,
dan orang-orang kaya pada masanya. Setiap siswa atau pelajar mendapatkan
perlakuan yang sama salam pendidikan tanpa membedakan strata dan status
sosial. Pelajar yang menekuni ilmu pengetahuan masa Abbasiyah tidak hanya

18
Arief Nur Rahman Al Aziiz, Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan pada Masa
Daulah Abbasiyah, (Klaten: Cempaka Putih, 2019), ePub.
19
Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970),
hlm. 207-208.

8 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam


dari kalangan muslim saja, namun banyak dari golongan luar Islam baik itu
Nashrani, Yahudi, atau pelajar-pelajar dari Eropa yang jauh-jauh dating dari
negeri asalnya untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang berkembang pesat
di Baghdad sebagai pusat ibu kota Dinasti Abbasiyah.
Pelajar bebas memilih guru secara berganti-ganti sesuai dengan tingkat
yang ia lalui, dari sini biasanya siswa membuat daftar guru pengejar yang dikenal
dengan sebutan Mu’jamul Masyikhoh (ensiklopedi pengajar) sebagai bukti/
syahadah bahwa para pelajar tersebut pernah menimba ilmu kepada tokoh/
guru yang masyhur pada zaman itu. Pelajar tingkat dasar yang sudah tamat
bisa melanjutkan ke level tingkat tinggi tanpa harus menyelesaikan tingkat
menengah, bahkan ada yang belum tamat tingkat dasarnya dan langsung bisa
bergabung ke tingkat tinggi/jami’ah.20

D. METODE DAN MODEL PENDIDIKAN ERA ABBASIYYAH


Dalam menyampaikan dan proses transfer keilmuan ada beberapa
metode pembelajaran yang digunakan para ulama zaman itu yang terpetakan
dalam tiga model utama, antara lain:
1) Metode Lisan, metode ini mencakup beberapa aspek di antaranya
imla’ wa al-kitabah (dikte), qira’ah (talaqqi wa musyfahah), ceramah, dan
diskusi ilmiah. Dengan belum berkembangnya teknologi cetak kala itu maka
metod dikte ini amat besar sekali manfaatnya agar pelajar/siswa mempunyai
catatan dan dokumentasi yang ia peroleh dari guru dan sebagai sarana untuk
muroja’ah dan sumber referensi ketika siswa lupa dengan apa yang telah ia
pelajari. Metode ceramah diaplikasikan dengan uraian dan penjelasan dari
guru kepada murid, sementara siswa mendengarkan dan menyimak dengan
seksama apa yang disampaikan guru, biasanya metode ini diterapkan pada
disiplin ilmu sejarah dan beberapailmu lainnya. Metode qira’ah biasa digunakan
dalam penyampaian bacaan Al-Qur’an baik secara riwayah atau diroyah,
seorang murid yang ingin mendapatkan riwayat bacaan dari gurunya biasanya
menggunakan dua pendekatan yang hingga hari ini masih terpakai, yaitu sama’
dan ardh, yaitu siswa mendengarkan bacaan guru lalu menirukan bacaannya
tadi sambil diulang-ulang atau siswa membacakan bacaannya di hadapan guru
untuk ditashihkan sesuai riwayat atau jalur bacaan Al-Qur’an yang dipelajari,
ini juga berlaku pada pembelajaran tahammulul hadist. Metode diskusi ilmiah
gencar dipakai saat mengkaji furu’, diskusi berjalan dan lebih fokus ke ranah
epistimologi/ushul fiqh dengan memaparkan hujjah-hujjah yang menjadi dasar
landasan hukum.

20
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 82-83.

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 9


2) Metode Menghafal, tradisi ini sudah ada sejak lama dan berkembang
di era Abbasiyyah, siswa dituntut dan diharuskan menghafalkan materi-materi
dasar yang berhubungan dengan fan yang dipelajari, baik materi ini berbentuk
syair (nadhom) atau kalam natsar (bentuk prosa), penguasaan penuh terhadap
materi dengan salah satu indikasi yaitu hafal materi maka menjadi jalan dan
pintu pembuka untuk lebih menguasai dan memahami materi-materi yang
lebih kompleks dan berat pada tingkatan selanjutnya.
3) Metode Menulis, metode ini diaplikasikan dalam bentuk pengembangan
karya ulama sebelumnya melalui proses intelektualisasi seperti tahwil al-mutun
al-ilmiyyah, yaitu revitalisasi materi-materi yang sudah ada ke dalam format lain,
contohnya merubah materi yang tertulis dalam bentuk prosa dengan bentuk
syair atau nadhoman, atau model pengembangan seperti syarah (komentar),
hasyiyah (catatan pinggir), dan ta’liqot (kutipan-kutipan dari sumber lain yang
dikaitkan dengan materi yang dikomentari).21
Adapun strategi pembelajaran yang sangat khas diterapkan adalah
strategi pembelajaran tuntas atau yang dikenal dengan mastery learning. Strategi
ini dalam bidang pendidikan dikembangkan oleh J. Bloom yang sebenarnya
sudah diterapkan sejak lama. Pembelajaran tuntas inin bisa dirujuk sumbernya
dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim bahwasanya seorang pelajar seyogyanya tidak
berpindah pada sebuah disiplin ilmu lain sebelum materi dari ilmu pertama
dikuasai secara menyeluruh, selain itu haruslah ada satu materi pokok baik itu
berbentuk matan syair atau prosa yang harus dihafalkan sebagai pijakan untuk
mengembangkan pengetahuan pada tingkat atasnya.

E. MANAJEMEN DAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ERA ABBASIYYAH


Sebelum berkembang dan munculnya institusi-institusi kependidikan
seperti Madrasah atau Al-Ja’miah (perguruan tinggi), telah ada lembaga
pendidikan yang sifatnya informal yang bahkan sebelum zaman Abbasiyah
Berjaya lembaga ini seakan menjadi bentuk yang diwariskan ke generasi
selanjutnya, diantaranya:
1) Al-Kuttab, bentuk pluralnya adalah Al-Katātī�b atau Al-Makātib,
tergolong lembaga kategori dasar untuk usia anak-anak, program pendidikan
di Al-Kuttab diklasifikasikan menjadi dua bagian, Al-Kuttab yang spesialisnya
mengenai baca-tulis saja dan Al-Kuttab yang fokus materi pembelajarannya
adalah Al-Qur’an dan pokok penting ajaran agama Islam.
2) Pendidikan Standar Istana, yakni pendidikan yang dipersiapkan
untuk para peserta didik dari keluarga khalifah dan para pembesar

Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.


21

114-115. dalam Jurnal Tadrib, Vol. 01, No. 01, Juni 2015.

10 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam


pemerintahan. Misinya mempersiapkan generasi penerus pemerintahan agar
dapat mengemban tugas-tugas berat yang akan dilimpahkan di masa-masa
mendatang. Kurikulumnya pun bersifat lebih terbuka dan luas dari pada yang
ada di al-Kuttab, oleh sebab itu bahkan orang tua bisa ikut berperan serta dalam
menentukan materi/mata pelajaran yang akan diajarkan pada putra-putrinya.
3) Kedai/Toko Pedagang Buku, tidak hanya sebagai pusat perniagaan,
toko kitab juga sebagai sarana untuk melakukan diskusi ilmiah, pembahasan-
pembahasan keilmuan serta tempat sidang para cendekiawan, ahli sastra, dan
ilmuan-ilmuan lainnya, di toko ini terdapat juga kegiatan penyalinan naskah-
naskah sebagai copy-an dari kitab asal yang nantinya juga bisa dijual atau
dipelajari bagi konsumen yang berminat.
4) Rumah para Ulama, tidak semua ulama memfokuskan tempat
pembelajarannya di masjid atau maktab-maktab lainnya sehingga sarana yang
dipakai sebagai tempat pembelajaran sebagian mereka ditempatkan di rumah
mereka sendiri, di antara yang terkenal pada masa itu adalah rumah Imam Al-
Ghazaly, Ibn Muhammad, Al-Fashihy, Ya’qub bin Killis, Ibn As-Sina. Di rumah
Ibn As-Sina dikaji beberapa kitab seperti Asy-Sifa’ dan Qowanin sekaligus
mempraktikan beberapa eksperiman teori-teori pengobatan dan ruhaniyat.
5) Rumah Sakit/Mustasyfa, tidak hanya sebagai sarana untuk pelayanan
pengobatan dan kesehatan masyarakat namun juga tempat pembelajaran
untuk mempraktikkan teori-teori pengobatan dan farmasi, rumah sakit juga
menjadi tempat pengajaran fakultas kedokteran kala itu, sering dilakukannya
eksperimen peracikan obat oleh para pelajar yang kala itu dibimbing tokoh-
tokoh sekelas ibn As-Sina dan Abu Ma’syar Al-Falaky.
6) Padang Pasir/Badi’ah-badiah, beriringnya waktu yang menyebabkan
perubahan mencolok terhadap kefasihan bahasa Arab hingga tidak murni lagi,
hal ini disebabkan pertukaran budaya dan bahasa masa kemajuan Abbasiyah
di Baghdad yang menarik perhatian khusus dari orang-orang di luar daerah
kekuasan Abbasiyah. Gurun pasir menjadi tempat pendidikan bahasa yang
masih murni dari bahasa asing dan yang telah rusak bahasanya, dengan peserta
didik yang mayoritas berasal dari keluarga istana seperti Khalifah Al-Mutawakkil
yang diperintahkan ayahnya, Harun Ar-Rasyid untuk mempelajari bahasa
yang fasih dan masih murni kepada kabilah-kabilah yang tinggal di pedalaman
padang pasir.22
Selain lembaga-lembaga di atas, masa Abbasiyyah membangun institusi
yang sifatnya formal, di antara yang masyhur adalah Bayt Al-Hikmah, Madrasah
Nidhomiyah dan Al-Muntashiriyyah.

22
Armai Arif, Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan Lembaga Pendidikan
Islam Klasik, (Bandung: Angkasa, 2004), hlm. 56-59.

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 11


Bayt Al-Hikmah awalnya hanya perpustakaan pribadi milik Khalifah
Harun Ar-Rasyid yang kemudian dibuka untuk umum untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, riset, an studi. Institusi tersebut merupakan sekual dari institusi
yang didirikan Imperial Sasania Persia yang dikenal dengan nama Jundishapur
Academy. Bayt Al-Hikmah dikembangkan tidak hanya pada puisi-puisi maupun
cerita raja namun juga menjadi khazanah literatur kuno yang berasal dari
Bizantyum, Persia, Yunani, dan lain sebagainya. Di sini Al-Khuwarizmy diangkat
dan dipekerjakan untukmengurusi bidang astronomi dan aljabar. Sementara
itu, direktur yang mengepalai Bayt Al-Hikmah adalah Sahl bin Harun, seorang
ilmuan dari Pahlevi, sedangkan ketua tim terjemah buku-buku dari manuskrip
kuno dikepalai oleh Hunain bin Ishāq. Di lembaga ini banyak diterjemahkan
buku-buku filsafat Yunani, seperti Galen, Thales, Neo Platonic, Aristoteles,
Aristopanes, dalam bidang matematika diterjemahkan pula oleh ahli matematis
Islam sekelas Al-Khuwarizmy terhadap teori-teori matematis Yunani seperti
Barmendes, Phytagoras, dan masih banyak lagi.23
Madrasah Nidhomiyyah, didirikan perdana mentri Nidhom Al-Malik
masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Abdullah Qo’ī�m bi Amrillah, madrasah
ini sangat masyhur di kota Baghdad, selesai dibangun tahun 1066 M., dan
dibuka tanggal 10 Dzul Hijjah tahun itu. Misi didirikannya madrasah ini sejak
pembangunan pertamanya adalah untuk membasmi dan membendung ajaran
dan pemikiran kelompok Syi’ah yang menjamuir di kalangan Bani Fathimiyyun
dan Buwaihiyyun, dari sini maka standar pembelajaran agama disandarkan
pada ajaran Sunni, dan undang-undang perwaqofan lembaganya ditujukan
untuk ekspansi Madzhab Syafi’i. Di antara aturan waqaf yang dikukuhkan di
madrasah ini bahwasanya setiap orang yang berkecimpung dan bekerja di
lembaga ini harus bermadzhab Syafi’i. Pelajar di institusi ini terbatas, semua
kebutuhan pelajar baik tempat tinggal, makanan, dan sarana lainnya telah
disediakan. Madrasah Nidhomiyyah mencetak tokoh-tokoh besar madzhab
Syafi’I seperti Fakhruddin bin Asakir, Sulthonul Ulama’ Al-Izzu Bin Abdussalam,
Abu Manshur Al-Khothiby, dan lainnya. Salah seorang ulama’ terkemuka yang
pernah menjadi rektor di madrasah Nidhomiyyah adalah Al-Imam Syaikhul
Islam Abu Ishaq Asy-Syirozy, selain itu juga ada Imam Al-Haramain Abul Ma’aly
Al-Juwainy, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazaly (menjabat rektor selama 4 tahun)
dan banyak ulama’ lain yang menjadi pembesar di Madzhab Syafi’i.24

23
Nunzairina, Dinasti Abbasiyah; Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan
dan Kebangkitan Kaum Intelektual, dalam Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Vol. 03,
No. 02. (Medan: Universitas Islam Negeri Sumatra Utara, 2020), Hlm. 97.
24
Wikipedia, Al-Madrasah_Al-Nidhomiyyah, https://id.m.wikipedia.org/Al-
Madarsah_ Al-Nidhomiyyah, diakses 07 November 2021, pukul 11.33 WIB.

12 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam


Sementara itu Madrasah Al-Muntashiriyah berdiri tahun 1233 M. di
Baghdad pada masa pemerintahan Khlaifah Al-Muntashir Billah, madrasah
ini menjadi pusat keilmuan dan peradaban dengan luas yang tak kurang dari
4863 M2, tersusun bangunannya menjadi 2 lantai, dengan 100 kamar besar, dan
beberapa aula yang luas. Koleksi pustakanya bahkan mencapai 450.000 buku
dari beberapa macam disiplin keilmuan yang masyhur maupun yang langka
sebagai sumber referensi pelajar, 80.000 dari koleksi sudah terklasifikasikan
sesuai genrenya. Para pelajar datang dari berbagai pelosok, ada yang dari
Andalus, Mesir, Syam, Asfihan dan Khurasan. Madrasah Al-Muntashiriyah
adalah universitas pertama di dunia yang memprogramkan studi fikih kolektif
empat madzhab sekaligus (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah),
yang mana sebelumnya program studi madzhab ini sifatnya masih terpisah di
lembaga yang berbeda.
Sumber administrasi Daulah Abbasiyyah dalam pendidikan ditopang
oleh beberapa sumber pendukung, antara lain:25
1) Bantuan Sosial Pemerintah, khalifah masa itu memiliki perhatian
yang besar akan ilmu pengetahuan sehingga segala pembiayaan operasional
lembaga atau institusi pendidikan sebagian ditanggung oleh pemerintah dengan
memberikan sarana dan pra sarana memadai, beasiswa terhadap peserta didik,
serta mendirikan perpustakaan-perpustakaan untuk menunjang pembelajaran
siswa.
2) Lembaga Wakaf, menurut beberapa sumber lembaga ini didirikan
Khalifah Al-Ma’mun yang kemunculannya didukung oleh kemajuan
perekonomian Islam kala itu, selain itu kedermawanan para penguasa juga
menjadi faktor yang ikut andil dalam bidang administrasi lembaga pendidikan.
3) Orang Tua, Pembiayaan operasional yang berasal dari dana sumbangan
orang tua juga menjadi salah satu sumber finansial yang sifatnya bervariasi
sesuai dengan kemampuan ekonominya, selain itu sumber nonfinansial yang
berupa bahan pangan atau pakaian juga disumbangkan untuk mendukung
aktivitas pembelajaran.
4) Murid, dosen atau guru di lembaga pendidikan yang didirikan
pemerintahan Abbasiyyah diperkenankan untuk memungut biaya sesuai dengan
ketentuan yang disepakati kedua belah pihak, pada umumnya para pelajar yang
kondisi ekonominya rendah dan tidak ada pembiayaan dari orang tua mengikuti
aktivitas pembelajaran diiringi dengan profesi sebagai pekerja untuk mendapat
pemasukan yang nantinya akan ditasarufkan untuk kepentingan kependidikan.
5) Sumber-sumber lain, banyak ilmuan yang mendirikan kuttab

Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan


25

Pertengahan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 223-226.

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 13


dengan biaya yang ditanggung sendiri untuk memberi pendidikan gratis
terhadap siswa-siswa berpotensi dengan tingkat ekonomi rendah.

F. PENUTUP
Keberhasilan dinasti/kekhalifahan Abbasiyyah dalam pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan layak dan pantas mendapat predikat
golden century. Ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat baik
ranah pengetahuan agama (al-ulum an-Naqliyyah) maupun ilmu-ilmu
umum lainnya. Bidang pengetahuan agama mengalami kemajuan drastis
dengan banyaknya ilmuan-ilmuan dan kodifikasi terhadap berbagai ilmu
pengetahuan. Di sisi lain semangat untuk memburu dan menguasai ilmu
pengetahuan tidak hanya dari pihak orang-orang Islam namun dari pihak
non Islam dari berbagai negara juga turut berpartisipasi dalam mengisi
kemegahan perburuan ilmu /sains. Di masa itu metode-metode pembelajaran
yang digunakan tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya namun
mengalami beberapa pengembangan di antaranya metode lisan, metod
emenghafal, menulis, dan diskusi. Sedangkan lembaga yang masyhur
sebagai ikon masa itu adalah Bayt Al-Hikmah, Madrasah Nidhomiyah
(salah satu institusi yang mencetak tokoh-tokoh besar), dan Madrasah Al-
Muntashiriyah.

14 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam


DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Amry, Ibn Fadhlullah Syihabuddin. 2010. Masālik Al-Abshor fī Mamālik


Al-Amshor. Vol. 09. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah).
Al-Dhowy, Muhammad Sholih. 2020. Jawahir Al-Hikmah. (Yordania: Dar
Al-Mu’tazz li al-Thiba’ah wa An-Nasyr wa Al-Tauzī’).
Al-Dzahaby, Muhammad Husain. ‘Ilm at-Tafsīr. (Mesir; Dā el-Ma’ārif).
Adz-Dzahaby, Abu Abdullah Syamsuddin. 1982. Siyar A’lām Al-Nubalā’. Vol.
13. (Mesir: Muassasah Ar-Risālah).
Al-Mu’tiq, Awwad bin Abdullah. 1995. Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-
Khomsah wa Mauqifu Ahlu As-Sunnah Fiiha. Cet. 02. (Riyadh:
Maktabah Ar-Rusyd).
Al-Qadhy, Muhammad bin Aly. 1996. Kasysyāf Ishthilahāt al-Ulum wa al-
Funūn. Vol. 02. (Beirut: Maktabah Libnan Nāsyirūn).
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu).
Arif, Armai. 2004. Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan Lembaga
Pendidikan Islam Klasik. (Bandung: Angkasa).
Fachruddin, M. Mukhlis. 2009. Pusat Peradaban Abad Pertengahan: Kasus
Bayt Al-Hikmah. Jurnal el-Harakah. Vol. 11. No. 03. (Malang: UIN
Maulana Malik Ibrahim).
Fu’ad, Asyraf Muhammad. 2006. Safīr al-‘Ālamin fī Idhohi wa Tahrir wa
Tahbīr Samīr al-Tholibin fī Rasm wa Dhobt al-kitab al-Mubīn. Vol.
01. ((Mesir: Maktabah Imam al-Bukhory).
Maryamah. 2015. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah. Jurnal Tadrib.
Vol. 01. No. 01. Juni. (Palembang: IAIN Raden Fattah).
Nizar, Syamsul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Jurnal Tadrib. Vol. 01.
No.01. Juni. (Jakarta: Kencana).
Nunzairina. 2020. Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam,
Pendidikan dan Kebangkitan Kaum Intelektual. Jurnal Sejarah
Peradaban Islam. Vol. 03. No. 02. (Medan: Universitas Islam Negeri
Sumatra Utara).
Nur Rahman, Arief. 2019. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan pada Masa
Daulah Abbasiyah. (Klaten: Cempaka Putih).
Syalaby, Ahmad. 1970. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang).

Peradaban dan Pemikiran Pendidikan di Era Bani Abbasiyah 15


Suhartini, Andewi. 2012. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Direktorat
Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama Islam Republik
Indonesia).
Wikipedia, https://wikipedia.org

16 Makalah Studi Peradaban dan Pemikiran Pendidikan Islam

Anda mungkin juga menyukai