D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
QOHAR ARIFIN
DHEA MAHARANI
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C.Tujuan Penulisan........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan islam pada dinasti bani umayyah...........................................................2
B. Perkembangan Pendidikan islam pada dinasti bani umayyah...................................4
C. Pendidikan islam pada dinasti abbasiyah.................................................................5
D. Perkembangan Pendidikan islam pada masa abbasiyah..........................................12
E. Perbedaan Pendidikan islam pada masa umayyah dan abbasiyah...........................12
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan...............................................................................................................14
B.Saran..........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dengan berakhirnya kekuasaan khalifah Ali Ibn Abi Thalib, maka lahirlah
kekuasaan dinasti bani Umayyah. Pada periode Ali dan khalifah sebelumnya, pola
kepemimpinan masih mengikuti keteladanan Nabi. Para khalifah dipilih melalui
proses musyawarah. Ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan, maka mereka
mengambil kebijakan langsung melalui musyawarah dengan para pembesar lainnya.
Hal ini jauh berbeda dengan masa sesudah khulafaur rasyidinatau masa dinasti-dinasti
yang berkembang sesudahnya, yang dimulai pada masa dinasti bani Umayyah.
Adapun bentuk pemerintahannya adalah berbentuk kerajaan, kekuasaan bersifat
feodal, atau turun temurun. Untuk mempertahankan kekuasaan, khalifah berani
bersifat otoriter, adanya unsur kekerasan, diplomasi daya, serta hilangnya
musyawarah dalam pemilihan khalifah.
Umayyah berkuasa kurang lebih selama 91 tahun. Reformasi cukup banyak terjadi,
terkait pada bidang pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Perkembangan
ilmu tidak hanya dalam bidang agama semata, melainkan juga dalam dalam aspek
teknologinya. Sementara sistem pendidikan masih sama ketika masa Rasul dan
khulafaur rasyidin, yaitu kuttab yang pelaksanaanya berpusat dimasjid.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah?
2. Bagaimana Perkembangan Pendidikan islam Pada Masa Dinasti Umayyah?
3. Bagaimana Pendidikan islam pada masa dinasti abbasiyah?
4. Bagaimana perkembangan Pendidikan pada masa dinasti abbasiyah?
5. Bagaimana perbedaan Pendidikan pada masa umayyah dan abbasiyah?
C. TUJUAN
Tujuan penulis melakukan penulisan adalah untuk mengetahui bagaimana
perkembangan system Pendidikan pada masa bani umayyah dan abbasiyah serta untuk
mengetahui bagaimana perbedaan antara keduanya dalam membangun system
Pendidikan islam pada masa itu.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Toko-toko kitab
Pada permulaan masa daulah bani Abbasiyah, dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko kitab tersebut
berfungsi sebagai tempat jual beli kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan
yang berkembang pada masa itu. Mereka membeli dari para penulisnya kemudian
menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya. Toko kitab tersebut telah
berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat jual beli kitab saja tetapi juga merupakan
tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk
berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi berfungsi
sekaligus pula sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam
ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Pada tahun 891 terdapat 100 toko buku di
Baghdad. Ketekukan pada cendekiawan muslim juga masih mengagumkan hingga sekarang,
misalnya Al Tabari yang mampu menulis 40 halaman setiap hari dalam masa 40 tahun. Salah
satu karya utamanya berwujud tafsir al-Quran sebanyak 30 jilid.
e. Rumah sakit
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan
kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah sakit oleh khalifah dan
pembesar negara. Rumah sakit tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan
perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam
bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-
obatan atau farmasi. Rumah sakit juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran
yang didirikan diluar rumah sakit, tetapi tidak jarang juga sekolah kedokteran tersebut
didirikan tidak terpisah dari rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam
juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
f. Al-Ribath
Secara harfiah, Al-Ribath artinya ikatan. Sedangkan dalam arti yang umum, al-Ribath adalah
tempat untuk melakukan latihan, bimbingan dan pengajaran bagi calon sufi. Al-Ribath
menjadi lembaga pendidikan yang secara khusus dibangun untuk mendidik para calon sufi
atau guru spiritual. Di dalam Al-Ribath terdapat berbagai aturan yag berkaitan dengan urutan
jabatan dalam pendidik, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu mulai dari al-
mufid (fasilitator), al-muid (asisten), al-mursyid (lektor/guru), al-syaikh (mahaguru/guru
besar), urutan tingkatan pada murid mulai dari tingkat dasar (al-mubtadi), tingkat menengah
(al-mutawasith), sampai tingkat tinggi (aliyah). Bahkan Al- Ribath juga masih banyak
digunakan untuk menyebutkan sebagai sebuah pesantren tingkat menengah.
g. Az-Zawiyah
Kata Zawiyah secara harfiah berarti sayap atau samping. Sedangkan dalam arti yang umum
az-zawiyah adalah tempat yang berada di bagian pinggir masjid yang digunakan untuk
bimbingan wirid, zikir, dan untuk mendapatkan kepuasan spiritual. Dengan demikian, az
zawiyah dan al ribath fungsinya sama, namun dari organisasinya al-ribath labih khusus dari
pada az zawiyah. Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang
mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaita dengan aspek
agama serta digunakan para kaum sufi sebagai tempat untuk halaqah berzikir dan tafakur
untuk mengingat dan merenungkan keagungan Allah SWT.
3. Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi pada masa dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada pemikiran yang
lebih mendalam salah satu contohnya adalah ilmu filsafat. Pada tingkatan pendidikan tinggi
umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan, yaitu :
a. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu
Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini
meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu
Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia,
Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga
kedokteran.
Semua mata pelajaran (ilmu-ilmu) tersebut diajarkan seluruhnya para perguruan tinggi, dan
belum diadakan tahasus untuk salah satu bidang ilmu. Tahasus adalah (pendalaman salah satu
bidang ilmu).
Bait al Hikmah: Perpustakaan dan Observatorium
Berkembang pula perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul hikmah di Bagdad yang didirikan
oleh Harun Al Rasyid adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang
lengkap yang berisi ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa
Yunani, Persia, India, Qibty dan Aramy .
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi di zaman Abbasiyah, maka
didirkan pula perpustakaan, observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah lainnya.
Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti yang luas,
yaitu belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya yang
dipahami. Melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa (student centris),
seperti belajar dengan cara memecahkan masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja
(learning by doing), dan inquiry (penemuan). Kegiatan belajar yang demikian itu dilakukan
bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-lembaga pusat kajian ilmiah.
Pada masa Khalifah Harun al Rasyid (170-193 H/786-809M) Islam mengalami puncak
kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia dikenal dengan
kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuannya, sehingga Baghdad menjadi pusat ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan perniagaan di dunia. Pada masa Khalifah Harun al Rasyid
juga membangun perguruan tinggi dan sekolah sekolah. Mendirikan dewan penerjemah yaitu
dengan mengumpulkan para sastrawan, budayawan, kaum cendekiawan dan ahli ilmu.
Penerjemahan ini merupakan penerjemahan kitab-kitab asing dalam berbagai ilmu, Kitab
kedokteran dari Yunani, kitab ilmu pasti yang diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Masa Khalifah al Makmun (813-833 M) sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, ia menggaji para penerjemah dari
golongan kristen, sabi, dan penyembah binatang. Disamping itu ia juga mendirikan Bait al-
Hikmah bukan hanya sebagai pusat penerjemah melainkan juga berfungsi sebagai akademi
yang didalamnya terdapat perpustakaan. Diantara ilmu-ilmu yang diajarkan di Bait al-
Hikmah adalah kedokteran, matematika, optik, geofisika, fisika, astronomi, sejarah dan
filsafat. Pada Masa ini Peranan penguasa dalam memajukan ilmu pengetahuan sangat berarti.
Hal ini ditandai dengan dilakukannya transfer ilmu pengetahuan dari Yunani secara besar-
besaran, dimana pada masa itu ilmu Yunani sudah mati dan tidak berdaya, yang tinggal
hanyalah buku-bukunya saja Penerjemahan besar-besaran tersebut ditandai dengan
didirikannya sekolah tinggi penerjemah yang dilengkapi dengan berbagai taman pustaka pada
masa khalifah al Makmun . Bahkan khalifah al Makmun sangat menghargai para penerjemah
dengan memberikan imbalan kepada setiap penerjemah buku dengan emas seberat buku yang
diterjemahkannya.
Masyarakat muslim juga mencerminkan ciri Islam lainnya, yaitu kesadaran yang tinggi
terhadap pentingnya ilmu pengetahuan Seorang menteri khalifah menolak tawaran sebuah
jabatan penting di Persia karena perpindahannya ke tempat itu mengharuskan ia untuk
menggunakan 400 ekor unta guna mengangkut semua bukunya. Untuk pencapaian tujuan
kurikulum, metode mempunyai peranan yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan
dan kebudayaan dari seorang guru kepada muridnya. Pada masa awal dinasti Abbasiyah
metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan dapt dikelompokkan menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Metode Lisan, berupa dikte (imla), ceramah (al-sama), qiraat, dan diskusi.
2. Metode menghafal, merupakan ciri umum pendidikan masa ini. Murid-murid harus
membaca berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak
mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid harus membaca suatu
pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya, murid
akan mengeluarkan kembali dan mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya
sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau
memunculkan sesuatu yang baru.
3. Metode munulis, dianggap metode yang paling penting pada masa ini. Metode ini adalah
pengkopian karya-karya ulama, sehingga terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat
penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Disamping itu juga, sebagai alat penggandaan
buku-buku teks, karena masa ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku,
kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.
Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan dan tradisi serta
atmosfer akademik, maka pada zaman Abbasiyah ditandai pula dengan lahirnya para
ilmuwan yang sekaligus bertindak sebagai guru. Mereka tidak hanya ahli dalam ilmu agama
Islam melainkan juga ahli dalam bidang pengetahuan umum, seni dan arsitektur Diantara
para guru yang terkenal di zaman Abbasiyah adalah Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Jama’ah,
Imam-al Juwaini dan Imam al Ghazali. Ibn Sina adalah seorang mahaguru dalam bidang ilmu
kedokteran dan ilmu filsafat. Melalui karyanya al-Qonun fi al- Thibb (ensiklopedia
kedokteran).
Berikut perbedaan pendidikan Islam pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah:
Lembaga Pendidikan
Umayyah:
Abbasiyah:
Madrasah: Lembaga pendidikan formal pertama dengan kurikulum terstruktur.
Baitul Hikmah: Perpustakaan dan pusat penerjemahan ilmu pengetahuan.
Ribath: Pendidikan untuk ahli agama dan sufi.
Bimaristan: Rumah sakit dengan pendidikan kedokteran.
Kurikulum Pendidikan
Umayyah:
Fokus pada ilmu agama, seperti tafsir Al-Quran, hadits, fikih, dan bahasa Arab.
Ilmu umum seperti sejarah, matematika, dan astronomi mulai diajarkan.
Abbasiyah:
Kurikulum lebih terstruktur dan komprehensif.
Menekankan pada ilmu agama dan ilmu umum (filsafat, sains, kedokteran, dll.).
Penerjemahan karya-karya Yunani dan Persia ke bahasa Arab.
Metode Pembelajaran
Umayyah:
Ceramah, hafalan, dan diskusi.
Belajar di masjid dan halaqah (lingkaran belajar).
Abbasiyah:
Metode pembelajaran lebih beragam, seperti ceramah, diskusi, eksperimen, dan
penelitian.
Penggunaan buku teks dan alat peraga.
Peran Pemerintah
Umayyah:
Kurang terlibat dalam pendidikan.
Pendidikan lebih banyak diinisiasi oleh individu dan komunitas.
Abbasiyah:
Pemerintah berperan aktif dalam pengembangan pendidikan.
Mendirikan madrasah dan baitul hikmah.
Memberikan gaji kepada para pengajar.
Dampak
Umayyah:
Lahirnya generasi ulama dan ahli agama.
Membangun fondasi pendidikan Islam.
Abbasiyah:
Masa kejayaan ilmu pengetahuan Islam.
Lahirnya banyak ilmuwan dan filsuf Muslim.
Kontribusi besar pada peradaban dunia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan
1. Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentralisasi,tidak memiliki
tingkatan dan standar umum. Kajian keilmuan yang ada pada periode ini berpusat di
Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya.
2. pendidikan Islam pada masa Umayyah tidak semonolit di seluruh wilayah kekuasaan
yang luas. Variasi terjadi tergantung pada lokasi, pendidik, dan faktor lainnya.
Namun, gambaran besarnya adalah: Dinasti Umayyah membangun fondasi yang
penting untuk perkembangan intelektual yang akan semakin pesat di era selanjutnya.
3. Pada masa Dinasti Abbasiyah Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan tersebut ditandai dengan muncul dan tumbuhnya lembaga pendidikan
baik pada tingkat pendidikan dasar, tinggi dan menengah. Lembaga pendidikan
tersebut adalah kuttab, pendidikan rendah di istana, masjid, madrasah, toko kitab,
rumah ulama, saloos kesusasteraan, badiah, rumah sakit, al ribath, az zawiyah, baitul
hikmah (perpustakaan dan observatorium).
5. Dapat diketahui dari pembahan diatas bahwa sistem pemerintahan pada masa Daulah
Ummayah dan Abbasiyah berbeda dengan apa yang diterapkan pada saat masa
Khulafaur Rasyidin. Antara Daulah Umayyah dan Abbasiyah pun juga berbeda. Bisa
dilihat pada masa Khulafaur Rasyidin pemilihan pemimpin dilakukan dengan majelis
syuro, sedang pada masa Umayyah dilakukan secara monarki( turun-temurun)
B. SARAN
Dengan berkembang pesatnya Pendidikan islam pada masa dinasti umayyah dan
abbasiyah septutnya kita bersyukur karena dapat menikmati perkembangan ilmu
pengetahuan pada saat ini,maka dari itu Pendidikan islam sangat penting untuk
dipelajari dan dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hanung Hasbullah Hamda, Zulkifli, Lalu Sendra, Fida Busro Karim, Sumadi,
Mahsunah, Azizah, Sukron Ma’mun, Fauzin Jamil, Wahidatul Mukaromah, Abu
Haer, Ahmad Rofiq, Himmatul Aliyah, Ach. Faidi, Mozaik Sejarah Islam, Nusantara
Press, Yogyakarta, 2011.
Imam Munawir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-Tantangan yang dihadapi dari
Masa ke Masa, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.