Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI


UMAYYAH DAN ABBASIYAH
MATA KULIAH: SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU: NURUL AZIAN, M.Pd

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
QOHAR ARIFIN
DHEA MAHARANI

PROGRAM SARJANA STRATA (S1)


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM
MADINATUN NAJAH
RENGAT
1445/2024
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
nikah tepat pada waktunya. Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, saya menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang “kurikulum Pendidikan islam pada
masa dinasti bani umayyah dan abbasiyah” ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Rengat, Februari 2024

penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C.Tujuan Penulisan........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan islam pada dinasti bani umayyah...........................................................2
B. Perkembangan Pendidikan islam pada dinasti bani umayyah...................................4
C. Pendidikan islam pada dinasti abbasiyah.................................................................5
D. Perkembangan Pendidikan islam pada masa abbasiyah..........................................12
E. Perbedaan Pendidikan islam pada masa umayyah dan abbasiyah...........................12
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan...............................................................................................................14
B.Saran..........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dengan berakhirnya kekuasaan khalifah Ali Ibn Abi Thalib, maka lahirlah
kekuasaan dinasti bani Umayyah. Pada periode Ali dan khalifah sebelumnya, pola
kepemimpinan masih mengikuti keteladanan Nabi. Para khalifah dipilih melalui
proses musyawarah. Ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan, maka mereka
mengambil kebijakan langsung melalui musyawarah dengan para pembesar lainnya.
Hal ini jauh berbeda dengan masa sesudah khulafaur rasyidinatau masa dinasti-dinasti
yang berkembang sesudahnya, yang dimulai pada masa dinasti bani Umayyah.
Adapun bentuk pemerintahannya adalah berbentuk kerajaan, kekuasaan bersifat
feodal, atau turun temurun. Untuk mempertahankan kekuasaan, khalifah berani
bersifat otoriter, adanya unsur kekerasan, diplomasi daya, serta hilangnya
musyawarah dalam pemilihan khalifah.
Umayyah berkuasa kurang lebih selama 91 tahun. Reformasi cukup banyak terjadi,
terkait pada bidang pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Perkembangan
ilmu tidak hanya dalam bidang agama semata, melainkan juga dalam dalam aspek
teknologinya. Sementara sistem pendidikan masih sama ketika masa Rasul dan
khulafaur rasyidin, yaitu kuttab yang pelaksanaanya berpusat dimasjid.

Kemajuan sistem pendidikan Islam pada zaman Khalifah Abbasiyah ditandai


dengan munculnya berbagai lembaga pendidikan yang amat beragam, tradisi
ilmiah/atmosfer akademik yang amat kondusif, kurikulum pendidikan, keberadaan
para guru yang memiliki bidang keahlian, reputasi dan pengaruh yang besar dan luas,
sarana dan prasarana pendidikan yang lebih memadai, pembiayaan pendidikan yang
mencukupi, manajemen pendidikan yang lebih rapi dan tertib, serta para pelajar yang
datang dari berbagai penjuru dunia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah?
2. Bagaimana Perkembangan Pendidikan islam Pada Masa Dinasti Umayyah?
3. Bagaimana Pendidikan islam pada masa dinasti abbasiyah?
4. Bagaimana perkembangan Pendidikan pada masa dinasti abbasiyah?
5. Bagaimana perbedaan Pendidikan pada masa umayyah dan abbasiyah?

C. TUJUAN
Tujuan penulis melakukan penulisan adalah untuk mengetahui bagaimana
perkembangan system Pendidikan pada masa bani umayyah dan abbasiyah serta untuk
mengetahui bagaimana perbedaan antara keduanya dalam membangun system
Pendidikan islam pada masa itu.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH


Periode dinasti Umayyah merupakan masa inkubasi. Pada masa ini peletakan dasar-dasar dari
kemajuan pendidikan dimunculkan. Intelektual muslim berkembang pada masa ini.
1.Pola Pendidikan
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentralisasi, tidak memiliki tingkatan
dan standar umum. Kajian keilmuan yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus,
Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya. Diantara ilmu-ilmu
yang dikembangkannya, yaitu; kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti,
ilmu sastra dan seni. Sebenarnya apa yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini sudah ada
pada formatnya di masa khulafaur rasyidin dan Umayyah. Hal ini terlihat pada pola
pengajaran dengan sistem kuttab, tempat anak-anak belajar membaca dan menulis al-Qur’an
serta ilmu agama Islam lainnya. Sistem dengan pola ini bertempat di rumah guru, istana dan
masjid.
Dalam memberikan pelajaran dengan sistem kuttab pada masa khulafaur rasyidin gurunya
tidak dibayar, akan tetapi pada masa dinasti Umayyah lain lagi ceritanya. Pada periode ini
berbagai macam kemajuan telah diperoleh, termasuk dalam bidang perekonomian.
Ada di antara penguasa yang membayar atau menggaji guru untuk mengajar putranya bhkan
disediakan tempat mukim untuk guru di dalam istana. Di samping itu masih ada juga yang
melaksanakan pendidikan dengan cara lama, yaitu belajar di pekarangan sekitar masjid,
terutama ini terjadi di kalangan siswa yang berlatar belakang ekonomi lemah. Untuk model
yang seperti ini, guru tidak dibayar melainkan hanya diberi penghargaan oleh masyarakat
sekitar. Adapun materi ajar yang diberikan adalah baca tulis yang secara umum diambil dari
syair atau sastra Arab.
Adapun bentuk pendidikan pada dinasti Umayyah di antaranya:
a. Pendidikan Istana, pendidikan tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada
pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid, dan madrasah. Guru istana
dinamakan dengan Muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu
pengetahuan, bahkan Muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak
sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan sebagai berikut: “Ajarkan kepada anak-
anak itu berkata benar sebagaimana kau ajarkan al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari
pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-
anak itu dari pemalu, karena pemalu itu merusak mereka. Gunting rambut mereka supaya
tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan daging supaya lebih kuat tubuhnya. Ajarkan
syair kepada mereka supaya mereka menjadi orang yang besar dan berani. Suruh mereka
menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan dengan bersuara,
(seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan
tertutup tiada diketahui seorang pun.”
b. Nasihat pembesar kepada Muaddib. Sebagaimana pembesar Hisyam ibn Abdul Malik
kepada guru anaknya Sulaiman al-Kalby.
c. Badi’ah. Yaitu dusun badui di Padang Sahara yang masih fasih bahasa Arabnya dan murni
sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Akibat dari Arabiasi ini muncullah ilmu qawa’id dan
cabang ilmu lainnya untuk mempelajari bahasa Arab.
d. Perpustakaan. Al Hakam ibn Nasir (350 H/ 961 M) mendirikan perpustakaan yang besar di
Qurtubah (Cordova).
e. Bamaristan, adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat studi
kedokteran).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola pendidikan pada masa dinasti Umayyah ini
telah berkembang jika dilihat dari aspek pengajarannya, meskipun sistemnya masih sama
seperti pada masa Nabi dan khulafaur rasyidin. Pada masa ini peradaban Islam sudah bersifat
Internasional yang meliputi tiga benua, yaitu sebagan Eropa, sebagian Afrika dan sebagian
besar Asia yang kesemuanya itu dipersatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa Resmi
Negara.
Sedangkan pemikiran pendidikan Islam pada masa dinasti Umayyah tampak dalam bentuk
nasihat-nasihat khalifah kepada pendidik anak-anaknya, yang memenuhi buku-buku sastra,
yang menunjukan bagaimana teguhnya mereka berpegang pada tradisi Arab dan Islam.
2.Pusat Pendidikan
Pusat pendidikan pada masa dinasti Umayyah bukan hanya di Madinah saja, tetapi sudah
tersebar di kota-kota besar antara lain sebagai berikut: Di kota Mekkah dan Madinah (Hijaz),
di kota Basrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat
(Mesir).
a.Madrasah Mekkah
Guru yang mengajar di Mekkah, sesudah penduduk Mekkah takhluk, ialah Mu’az bin Jabal.
Ialah yang mengajarkan al-Qur’an dan mana yang halal dan mana yang haram dalam Islam.
Pada masa khalifah Abdul Malik bin marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah lalu
mengajar di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqih dan sastra. Abdullah bin Abbas lah
pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negara Islam.
b.Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam Ilmuannya, karena disanalah tempat
khalifah: Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Di sana banyak tinggal sahabat-sahabat Nabi saw,.
Yang selalu bekerja menjadi guru dan mengajarkan agama Islam ialah Zaid bin Sabit dan
Abdullah bin Umar.
c.Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-Asy’ari dan Anas bin Malik.
Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqihdan hadis, serta ahli qur’an. Sedangkan Anas bin
Malik lebih termasyhur dalam ilmu hadis. Kemudian madrasah Basrah melahirkan Al-Hasan
Basry dan Ibnu Sirin pada masa Umaayyah.al-Hasan Basry adalah ulama besar, berbudi
tinggi, saleh serta fasih lidahnya.
d. Madrasah Kufah
Ulama sahabat yang tinggah di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali
bin Abi Thalib mengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, sedangkan Abdullah bin
Mas’ud sebagai guru agama. Ibnu Mas’ud adalah utusan resmi khalifah Umar untuk menjadi
guru agama di kufah.
e. Madrasah Damsyik
Khalifah Umar mengirimkan tiga orang guru agama ke negeri Syam, yaitu: Mu’az bin Jabal,
Ubadah dan Abu Dardak. Madrasah ini melahirkan imam penduduk Syam, yaitu
Abdurrahman Al-Auza’i yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f. Madrasah Fistat
Sahabat yang mula-mula mendirikan madrasah dan menjadi guru di Mesir adalah Abdullah
bin Amr bin Al-As. Ia adalah seorang ahli hadis. Ia tidak hanya menghafal hadis-hadis yang
didengarnya dari Nabi melainkan juga menuliskannya dalam catatan, sehingga ia tidak lupa
atai khilaf dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya.

B.PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH


Dinasti Umayyah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang yang telah dilakukan
pada masa kekuasaan sebelumnya, yaitu masa kekuasaan khulafaur rasyidin. Dalam bidang
peradaban dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan
dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media
utamanya. Adapun faktor yang mendorong perkembangan pendidikan Islam pada masa ini
ialah; adanya dukungan dari penguasa, menyababkan pendidikan Islam maju dengan cepat,
karena penguasa sangat mencintai ilmu pengetahuan dan berwawasan jauh kedepan.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu
pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1. Pengembangan Bahasa Arab
Para Penguasa dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah (negara), kemudian
dikuatkannya dan dikembangkanlah bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya
tersebut dilakukan dengan menjadikan bhasa Arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha
negara dan pemerintahan.
2. Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga mendirikan kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Di kota Marbad inilah berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair, dan
cendekiawan lainnya, sehingga kota ini diberi gelar ukadz-nya Islam.
3. Ilmu Agama
Yang termasuk dalam ilmu agama yaitu; al-Qur’an, baik itu mengenai ilmu qira’at maupun
ilmu tafsir al-Qur’an. Hadis, ketika kaum muslimin telah berusaha memahami al-Qur’an,
ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan yaitu ucapan Nabi yang disebut
hadist. Fiqih, para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi
pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada al-Qur’an dan
hadist dan mengeluarkan syariat dari kedua sumber tersebut.
4. Ilmu Pengetahuan Bidang Bahasa
Yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf dan lainnya. Pada masa dinasti
Umayyah karena wilayah berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab maka
ilmu nahwu sangatlah dibutuhkan.
5. Ilmu Sejarah (tarikh) dan geografis (jughrafi)
Yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalana hidup, kisah dan riwayat. Adanya
pengembangan dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah
untuk mengarang ilmu sejarah dan ilmu geografi.
6. Bidang Filsafat
Yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantiq, kimia,
astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
Demikian berbagai ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa pemerintahan dinasti Bani
Umayyah. Kekuasaan dinasti Bani Umayyah mengalami kehancuran pada masa
kepemimpinan khalifah Walid bin Yazid karena terjadinya peperangan yang dilakukan oleh
Bani Abbas yang terjadi pada tahun 132 H/ 750 M.

C .PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH


Abu al Abbas adalah pendiri dinasti Bani Abbas (750-654 M). Khalifah Al Mansyur yang
memindahkan ibu kota negara dari Damaskus ke Bagdad. Zaman dinasti Abbasiyah adalah
zaman keemasan Islam (golden age) yang ditandai dengan kemajuan bidang ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang mengagumkan yang dapat dibuktikan
keberadaannya baik melalui berbagai sumber informasi dalam buku sejarah maupun melalui
pengamatan empiris di berbagai belahan dunia. Gerakan membangun ilmu secara besar-
besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al Mansur. setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/762
M) dan menjadikannya sebagai ibukota negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari
berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Bagdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu
agama.
Pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi 3 tahapan, yaitu:
1. Pendidikan Dasar
Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti
Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat Islam sudah bisa membaca dan menulis dan dapat
memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di tingkat
dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang
beberapa masalah. Dimana al-Quran merupakan buku teks wajib. Rencana belajar pada
pendidikan dasar ini, terdiri dari:
a. Membaca al-Quran dan menghafalkannya
b. Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, salat, puasa dll.
c. Menulis
d. Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam.
e. Membaca dan menghafal syair atau nasar (prosa)
f. Berhitung
g. Pokok-pokok nahwu dan saraf ala kadarnya.
Lama belajar pada pendidikan dasar tidaklah sama tergantung pada kecerdasan dan
kemampuan masing-masing anak, karena sistem pengajaran pada masa itu belum
dilaksanakan secara klasikal sebagaimana umumnya sistem pengajaran sekarang ini. Tetapi
pada umumnya, anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar ini selama kurang lebih 5 tahun.
Mata pelajaran yang terdapat pada fase pendidikan rendah ialah Al-Quran, agama, membaca,
menulis, dan syair. Dalam beberapa hal kadang ditambah dengan mata pelajaran An-Nahwu.
Ada pula diantaranya yang terbatas pada menghafal Al-Quran dan mengajarkan dasar-dasar
pokok agama.
Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di:
1. Maktab atau kuttab
yaitu tempat pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan
dan tulisan. Dan tempat para remaja mengenal dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis,
fiqh dan bahasa. Karena baca tulis semakin terasa perlu, maka kuttab sebagai tempat belajar
menulis dan membaca terutama bagi anak-anak, berkembang dengan pesat. Pada mulanya,
diawal perkembangan Islam kuttab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang
bersangkutan, dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Selanjutnya
berkembanglah tempat-tempat khusus (baik yang dihubungkan dengan masjid ataupun yang
terpisah) untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttab-kuttab yang bukan hanya
mengajarka al-Quran tetapi juga pengetahuan dasar lainnnya. Dengan demikian kuttab
tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.
Terdapat 2 bentuk kuttab yaitu :
a. Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada baca tulis.
b. Kuttab sebagai tempat pendidikan yang mengajarkan al-quran dan dasar-dasar keagamaan.

2. Pendidikan rendah di Istana untuk anak-anak para pejabat


adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik
agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Guru-guru pendidikan
anak di Istana disebut mu’adib, kata Mu’adib berasal dari kata adab yang berarti budi pekerti
atau meriwayatkan jadi disebut karena mua’adib berfungsi mendidik budi pekerti dan
mewariskan kecerdasan dan pengetahuan-pengetahuan orang-orang terdahulu kepada anak
pejabat.
3. Masjid
Pada masa Bani Abbas, masjid didirikan oleh para pengusaha pada umumnya dilengkapi
dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-
anak, tempat untuk pengajian dari ulama yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah),
tempat untuk berdiskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan yang cukup
banyak. Masjid disamping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan tuhan, juga
sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslim. Al-abdary dalam
kitabnya al-Madkhal telah menjelaskan ketentuan ini dengan mengatakan, bahwa sebaik-baik
tempat kegiatan belajar adalah masjid, karena duduk di masjid untuk keperluan pendidikan
dan pengajaran memiliki faedah untuk menumbuhkan tradisi yang baik, menghilangkan
kebiasaan yang buruk, atau mempelajari hukum allah, dan masjid dapat mendukung
pelaksanaan kewajiban belajar mengajar ini secara lebih leluasa, karena masjid adalah tempat
untuk berkumpulnya manusia baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya, baik
yang pandai maupun yang jahil.
4. Madrasah
Secara harfiah madrasah berarti tempat belajar. Dalam sejarah madrasah muncul pada zaman
Khalifah Bani Abbas, sebagai kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan
tempat lainnya. Ahmad Salabi berpendapat bahwa ketika minat masyarakat untuk
mempelajari ilmu di halaqah yang ada di masjid makin meningkat dari tahun ke tahun, dan
menimbulkan kegaduhan akibat dari suara para pengajar dan siswa yang saling berdiskusi
dan lainnya yang mengganggu kekhusukan sholat, maka dirancang adanya tempat
mempelajari ilmu yang dirancang secara khusus serta dilengkapi dengan berbagai sarana dan
prasarana lain yang diperlukan. Selain itu berdirinya madrasah ini juga karena ilmu
pengetahuan dan berbagai keterampilan semakin berkembang, dan untuk mempelajarinya
diperlukan guru yang lebih banyak, peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta
peraturan administrasi yang lebih tertib.
2. Pendidikan Menengah
. Pada umumnya rencana pelajaran tersebut meliputi mata pelajaran yang bersifat umum yaitu
:
• Al-Qur’an
• Bahasa Arab dan kesusastraan
• Fiqh
• Tafsir
• Hadis
• Nahwu/saraf/balagah
• Ilmu-ilmu pasti
• Mantiq
• Ilmu falak
• Tariq (sejarah)
• Ilmu alam
• Kedokteran
• Musik
Disamping itu ada mata pelajaran yang bersifat kejuruan, misalnya untuk menjadi juru tulis di
kantor-kantor, Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar surat-menyurat, pidato,
diskusi, berdebat, serta tulisan indah. Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di:

a. Toko-toko kitab
Pada permulaan masa daulah bani Abbasiyah, dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko kitab tersebut
berfungsi sebagai tempat jual beli kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan
yang berkembang pada masa itu. Mereka membeli dari para penulisnya kemudian
menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya. Toko kitab tersebut telah
berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat jual beli kitab saja tetapi juga merupakan
tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk
berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi berfungsi
sekaligus pula sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam
ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Pada tahun 891 terdapat 100 toko buku di
Baghdad. Ketekukan pada cendekiawan muslim juga masih mengagumkan hingga sekarang,
misalnya Al Tabari yang mampu menulis 40 halaman setiap hari dalam masa 40 tahun. Salah
satu karya utamanya berwujud tafsir al-Quran sebanyak 30 jilid.

b. Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)


Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah sebernarnya pernah terjadi pada awal permulaan
Islam, yaitu pada masa sebelum tumbuhnya masjid dan pada masa kekuasaan dinasti
abbasiyah masih tetap rumah ulama masih menjadi salah satu tempat untuk mencari ilmu.
Dipergunakan rumah ulama dan para ahli adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat,
misalnya rumah Al-Gazali setelah tidak mengajar lagi di Madrasah Nidamiyah dan menjalani
kehidupan sufi. Para pelajar terpaksa datang kerumahnya karena kehausan akan ilmu
pengetahuan dan karena pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka. Sama halnya
dengan Al-Gazali, adalah Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang
Syiah kemudian di pecat dari mengajar di Madrasah Nidamiyah, lalu mengajar dirumahnya
sendiri. Beliau-beliau, karena dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan maka
kelompok-kelompok pelajar tetap mengunjungi di rumahnya untuk meneruskan pelajaran.

c. Majlis atau saloon kesusasteraan


Pada masa khalifah Abbasiyah, majlis sastra ini sangat menjadi kebanggaan yang pada
umumnya khalifah-khalifah Bani Abbas sangat menarik perhatian pada perkembangan ilmu
pengetahuan. Dalam majlis sastra tersebut, bukan hanya dibahas dan didiskusikan masalah
kesusastraaan saja, melainkan juga berbagai macam ilmu pengatahuan (majelis ilmu
pengetahuan dan majelis kesenian). Pada masa ini majelis sastra juga mengalami kemajuan
yang luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai
kecerdasan sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya. Disamping itu pada masa Khalifah
Harun Al Rasyid dunia Islam diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan
negara berada dalam kondisi yang aman, tenang dan dalam zaman pembangunan. Saloon-
saloon pada masa Daulah Umayah dan Dauah Abbasiyah memiiki persamaan dengan masa
Khulafaur Rasyidin, yaitu sebagai sarana untuk mencerdaskan manusia dan penyiaran ilmu
pengetahuan.

d. Badiah (Padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)


Sejak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab digunakan sebagai bahasa pengantar oleh
bangsa-bangsa diluar bangsa Arab yang beragama Islam, tetapi bahasa Arab cenderung
kehilangan keaslian dan kemurniannya. Di kota-kota, bahasa Arab sudah rusak dan menjadi
bahasa pasaran dan campur dengan bahasa lain, ternyata tidak demikian dengan di badiah-
badiah atau di dusun-dusun tempat tinggal orang Arab yang dipandang mereka dapat
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Oleh karena itu khalifah biasanya
mengirimkan anaknnya ke badiah untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni.
Banyak ulama dan ahli ilmu pengetahuan lain yang pergi ke badiah dengan tujuan untuk
mempelajari bahasa dan kesusastraan Arab yang asli dan murni. Badiah-badiah tersebut
kemudian menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastra Arab dan berfungsi
sebagai lembaga pendidikan Islam.

e. Rumah sakit
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan
kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah sakit oleh khalifah dan
pembesar negara. Rumah sakit tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan
perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam
bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-
obatan atau farmasi. Rumah sakit juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran
yang didirikan diluar rumah sakit, tetapi tidak jarang juga sekolah kedokteran tersebut
didirikan tidak terpisah dari rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam
juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.

f. Al-Ribath
Secara harfiah, Al-Ribath artinya ikatan. Sedangkan dalam arti yang umum, al-Ribath adalah
tempat untuk melakukan latihan, bimbingan dan pengajaran bagi calon sufi. Al-Ribath
menjadi lembaga pendidikan yang secara khusus dibangun untuk mendidik para calon sufi
atau guru spiritual. Di dalam Al-Ribath terdapat berbagai aturan yag berkaitan dengan urutan
jabatan dalam pendidik, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu mulai dari al-
mufid (fasilitator), al-muid (asisten), al-mursyid (lektor/guru), al-syaikh (mahaguru/guru
besar), urutan tingkatan pada murid mulai dari tingkat dasar (al-mubtadi), tingkat menengah
(al-mutawasith), sampai tingkat tinggi (aliyah). Bahkan Al- Ribath juga masih banyak
digunakan untuk menyebutkan sebagai sebuah pesantren tingkat menengah.

g. Az-Zawiyah
Kata Zawiyah secara harfiah berarti sayap atau samping. Sedangkan dalam arti yang umum
az-zawiyah adalah tempat yang berada di bagian pinggir masjid yang digunakan untuk
bimbingan wirid, zikir, dan untuk mendapatkan kepuasan spiritual. Dengan demikian, az
zawiyah dan al ribath fungsinya sama, namun dari organisasinya al-ribath labih khusus dari
pada az zawiyah. Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang
mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaita dengan aspek
agama serta digunakan para kaum sufi sebagai tempat untuk halaqah berzikir dan tafakur
untuk mengingat dan merenungkan keagungan Allah SWT.
3. Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi pada masa dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada pemikiran yang
lebih mendalam salah satu contohnya adalah ilmu filsafat. Pada tingkatan pendidikan tinggi
umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan, yaitu :
a. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu
Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini
meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu
Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia,
Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga
kedokteran.
Semua mata pelajaran (ilmu-ilmu) tersebut diajarkan seluruhnya para perguruan tinggi, dan
belum diadakan tahasus untuk salah satu bidang ilmu. Tahasus adalah (pendalaman salah satu
bidang ilmu).
Bait al Hikmah: Perpustakaan dan Observatorium
Berkembang pula perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul hikmah di Bagdad yang didirikan
oleh Harun Al Rasyid adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang
lengkap yang berisi ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa
Yunani, Persia, India, Qibty dan Aramy .
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi di zaman Abbasiyah, maka
didirkan pula perpustakaan, observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah lainnya.
Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti yang luas,
yaitu belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya yang
dipahami. Melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa (student centris),
seperti belajar dengan cara memecahkan masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja
(learning by doing), dan inquiry (penemuan). Kegiatan belajar yang demikian itu dilakukan
bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-lembaga pusat kajian ilmiah.
Pada masa Khalifah Harun al Rasyid (170-193 H/786-809M) Islam mengalami puncak
kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia dikenal dengan
kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuannya, sehingga Baghdad menjadi pusat ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan perniagaan di dunia. Pada masa Khalifah Harun al Rasyid
juga membangun perguruan tinggi dan sekolah sekolah. Mendirikan dewan penerjemah yaitu
dengan mengumpulkan para sastrawan, budayawan, kaum cendekiawan dan ahli ilmu.
Penerjemahan ini merupakan penerjemahan kitab-kitab asing dalam berbagai ilmu, Kitab
kedokteran dari Yunani, kitab ilmu pasti yang diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Masa Khalifah al Makmun (813-833 M) sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, ia menggaji para penerjemah dari
golongan kristen, sabi, dan penyembah binatang. Disamping itu ia juga mendirikan Bait al-
Hikmah bukan hanya sebagai pusat penerjemah melainkan juga berfungsi sebagai akademi
yang didalamnya terdapat perpustakaan. Diantara ilmu-ilmu yang diajarkan di Bait al-
Hikmah adalah kedokteran, matematika, optik, geofisika, fisika, astronomi, sejarah dan
filsafat. Pada Masa ini Peranan penguasa dalam memajukan ilmu pengetahuan sangat berarti.
Hal ini ditandai dengan dilakukannya transfer ilmu pengetahuan dari Yunani secara besar-
besaran, dimana pada masa itu ilmu Yunani sudah mati dan tidak berdaya, yang tinggal
hanyalah buku-bukunya saja Penerjemahan besar-besaran tersebut ditandai dengan
didirikannya sekolah tinggi penerjemah yang dilengkapi dengan berbagai taman pustaka pada
masa khalifah al Makmun . Bahkan khalifah al Makmun sangat menghargai para penerjemah
dengan memberikan imbalan kepada setiap penerjemah buku dengan emas seberat buku yang
diterjemahkannya.
Masyarakat muslim juga mencerminkan ciri Islam lainnya, yaitu kesadaran yang tinggi
terhadap pentingnya ilmu pengetahuan Seorang menteri khalifah menolak tawaran sebuah
jabatan penting di Persia karena perpindahannya ke tempat itu mengharuskan ia untuk
menggunakan 400 ekor unta guna mengangkut semua bukunya. Untuk pencapaian tujuan
kurikulum, metode mempunyai peranan yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan
dan kebudayaan dari seorang guru kepada muridnya. Pada masa awal dinasti Abbasiyah
metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan dapt dikelompokkan menjadi 3 macam,
yaitu:

1. Metode Lisan, berupa dikte (imla), ceramah (al-sama), qiraat, dan diskusi.
2. Metode menghafal, merupakan ciri umum pendidikan masa ini. Murid-murid harus
membaca berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak
mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid harus membaca suatu
pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya, murid
akan mengeluarkan kembali dan mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya
sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau
memunculkan sesuatu yang baru.
3. Metode munulis, dianggap metode yang paling penting pada masa ini. Metode ini adalah
pengkopian karya-karya ulama, sehingga terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat
penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Disamping itu juga, sebagai alat penggandaan
buku-buku teks, karena masa ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku,
kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.
Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan dan tradisi serta
atmosfer akademik, maka pada zaman Abbasiyah ditandai pula dengan lahirnya para
ilmuwan yang sekaligus bertindak sebagai guru. Mereka tidak hanya ahli dalam ilmu agama
Islam melainkan juga ahli dalam bidang pengetahuan umum, seni dan arsitektur Diantara
para guru yang terkenal di zaman Abbasiyah adalah Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Jama’ah,
Imam-al Juwaini dan Imam al Ghazali. Ibn Sina adalah seorang mahaguru dalam bidang ilmu
kedokteran dan ilmu filsafat. Melalui karyanya al-Qonun fi al- Thibb (ensiklopedia
kedokteran).

D. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM PADA DINASTI ABBASIYAH


Pada masa dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat
pesat sehingga anak-anak bahkan orang dewasa berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan,
melawat ke pusat-pusat pendidikan meninggalkan kampung halaman mereka, demi untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan. Pendidikan tinggi. pada masa dinasti Abbasiyah merupakan
pengembangan dari pendidikan dasar dan menengah dimana dibutuhkan pemikiran yang
mendalam seperti filsafat yang oleh Ibnu Khaldun dinamai dengan Ilmu Aqliyah. Didirikan
perguruan tinggi untuk mendukung penelitian yang lebih mendalam sehingga muncullah
ilmuwan yang tidak hanya ahli dalam ilmu agama tetapi juga ahli dalam pengetahuan umum.
Berdirinya perguruan tinggi dan sekolah-sekolah juga sangat didukung oleh khalifah atau
pemimpin pada masa dinasti Abbasiyah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Periode
Abbasiyah menjadi saksi perkembangan pendidikan Islam yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Kontribusi Dinasti Abbasiyah sangat penting bagi peradaban Islam dan bagi
perkembangan pengetahuan manusia secara keseluruhan.

E. PERBEDAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA DINASTI UMAYYAH DAN


ABBASIYAH

Berikut perbedaan pendidikan Islam pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah:

Lembaga Pendidikan

Umayyah:

Kuttab: Fokus pada baca tulis Al-Quran dan dasar-dasar agama.


Masjid: Pusat pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum.
Istana: Pendidikan bagi para pangeran dan pemuka agama.

Abbasiyah:
Madrasah: Lembaga pendidikan formal pertama dengan kurikulum terstruktur.
Baitul Hikmah: Perpustakaan dan pusat penerjemahan ilmu pengetahuan.
Ribath: Pendidikan untuk ahli agama dan sufi.
Bimaristan: Rumah sakit dengan pendidikan kedokteran.
Kurikulum Pendidikan

Umayyah:
Fokus pada ilmu agama, seperti tafsir Al-Quran, hadits, fikih, dan bahasa Arab.
Ilmu umum seperti sejarah, matematika, dan astronomi mulai diajarkan.
Abbasiyah:
Kurikulum lebih terstruktur dan komprehensif.
Menekankan pada ilmu agama dan ilmu umum (filsafat, sains, kedokteran, dll.).
Penerjemahan karya-karya Yunani dan Persia ke bahasa Arab.

Metode Pembelajaran

Umayyah:
Ceramah, hafalan, dan diskusi.
Belajar di masjid dan halaqah (lingkaran belajar).
Abbasiyah:
Metode pembelajaran lebih beragam, seperti ceramah, diskusi, eksperimen, dan
penelitian.
Penggunaan buku teks dan alat peraga.

Peran Pemerintah
Umayyah:
Kurang terlibat dalam pendidikan.
Pendidikan lebih banyak diinisiasi oleh individu dan komunitas.
Abbasiyah:
Pemerintah berperan aktif dalam pengembangan pendidikan.
Mendirikan madrasah dan baitul hikmah.
Memberikan gaji kepada para pengajar.
Dampak

Umayyah:
Lahirnya generasi ulama dan ahli agama.
Membangun fondasi pendidikan Islam.
Abbasiyah:
Masa kejayaan ilmu pengetahuan Islam.
Lahirnya banyak ilmuwan dan filsuf Muslim.
Kontribusi besar pada peradaban dunia.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan
1. Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentralisasi,tidak memiliki
tingkatan dan standar umum. Kajian keilmuan yang ada pada periode ini berpusat di
Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya.

2. pendidikan Islam pada masa Umayyah tidak semonolit di seluruh wilayah kekuasaan
yang luas. Variasi terjadi tergantung pada lokasi, pendidik, dan faktor lainnya.
Namun, gambaran besarnya adalah: Dinasti Umayyah membangun fondasi yang
penting untuk perkembangan intelektual yang akan semakin pesat di era selanjutnya.

3. Pada masa Dinasti Abbasiyah Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan tersebut ditandai dengan muncul dan tumbuhnya lembaga pendidikan
baik pada tingkat pendidikan dasar, tinggi dan menengah. Lembaga pendidikan
tersebut adalah kuttab, pendidikan rendah di istana, masjid, madrasah, toko kitab,
rumah ulama, saloos kesusasteraan, badiah, rumah sakit, al ribath, az zawiyah, baitul
hikmah (perpustakaan dan observatorium).

4. Pendidikan tinggi pada masa dinasti Abbasiyah merupakan pengembangan dari


pendidikan dasar dan menengah dimana dibutuhkan pemikiran yang mendalam
seperti filsafat yang oleh Ibnu Khaldun dinamai dengan Ilmu Aqliyah. Didirikan
perguruan tinggi untuk mendukung penelitian yang lebih mendalam sehingga
muncullah ilmuwan yang tidak hanya ahli dalam ilmu agama tetapi juga ahli dalam
pengetahuan umum. Berdirinya perguruan tinggi dan sekolah-sekolah juga sangat
didukung oleh khalifah atau pemimpin pada masa dinasti Abbasiyah yang sangat
mencintai ilmu pengetahuan.

5. Dapat diketahui dari pembahan diatas bahwa sistem pemerintahan pada masa Daulah
Ummayah dan Abbasiyah berbeda dengan apa yang diterapkan pada saat masa
Khulafaur Rasyidin. Antara Daulah Umayyah dan Abbasiyah pun juga berbeda. Bisa
dilihat pada masa Khulafaur Rasyidin pemilihan pemimpin dilakukan dengan majelis
syuro, sedang pada masa Umayyah dilakukan secara monarki( turun-temurun)

B. SARAN
Dengan berkembang pesatnya Pendidikan islam pada masa dinasti umayyah dan
abbasiyah septutnya kita bersyukur karena dapat menikmati perkembangan ilmu
pengetahuan pada saat ini,maka dari itu Pendidikan islam sangat penting untuk
dipelajari dan dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah

Nizar, Samsul. 2009. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Shafwan, Muhammad Hambal. 2014. Intisari Sejarah Pendidikan Islam. Solo:pustaka


Arafah

Susanto, A. 2010. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah

Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung

Zuhairini, dkk. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara


A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya)Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Akbar S.Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga,
1992.
Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.

Hanung Hasbullah Hamda, Zulkifli, Lalu Sendra, Fida Busro Karim, Sumadi,
Mahsunah, Azizah, Sukron Ma’mun, Fauzin Jamil, Wahidatul Mukaromah, Abu
Haer, Ahmad Rofiq, Himmatul Aliyah, Ach. Faidi, Mozaik Sejarah Islam, Nusantara
Press, Yogyakarta, 2011.
Imam Munawir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-Tantangan yang dihadapi dari
Masa ke Masa, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.

Anda mungkin juga menyukai