Anda di halaman 1dari 26

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Perpajakan II


Dosen Pengampu: Drs. Agus Bandang, M.Si., Ak., CA.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
NUR QALBI. S (A031191137)
.
.

KELAS: PERPAJAKAN II C

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2021
1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................2
A. ISTILAH-ISTILAH DALAM PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN).................3
B. PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK (BKP) DAN JASA KENA PAJAK
(JKP) 5
C. YANG TIDAK TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN
BARANG KENA PAJAK.........................................................................................................7
D. PENGUSAHA KENA PAJAK: KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN
KEWAJIBAN MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK YANG
TERUTANG..............................................................................................................................9
E. PENGUSAHA KECIL YANG DIBEBASKAN KEWAJIBAN MENJADI PKP......9
F. OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI................................................................9
G. BUKAN OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)....................................11
H. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM)...............................15
I. PAJAK MASUKAN DAN PAJAK KELUARAN...................................................16
J. TARIF PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)....................................................17
K. TARIF PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM)...................17
L. DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP)....................................................................17
M. NILAI LAIN UNTUK MENGHITUNG DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP)
18
N. CARA MENGHITUNG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI...................................19
O. PENGEMBALIAN PENDAHULUAN ATAS PPN LEBIH BAYAR.....................20
P. PERHITUNGAN ATAS PAJAK MASUKAN YANG DAPAT DIKREDITKAN
ATAS PENYERAHAN YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN YANG
TIDAK TERUTANG PAJAK.................................................................................................21
Q. PEDOMAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI MASUKAN BAGI PENGUSAHA
TERTENTU.............................................................................................................................23
R. PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN.............................23
S. SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN
PAJAK 24
T. TEMPAT TERUTANGNYA PAJAK......................................................................25
U. PENYERAHAN YANG DIBEBASKAN DARI PPN..............................................25
V. Bibliography..............................................................................................................26

2
A. ISTILAH-ISTILAH DALAM PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Beberapa istilah yang digunakan dalam PPN sebagaimana terdapat dalam UU NO 42
Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah [ CITATION Dir19 \l 1033 ]:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai
kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena
Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar
menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
3
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang
ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat
suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru,
atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan
lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima
manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut menurut Undang-Undang ini.
4
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga
Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian
atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan,
atau instansi Pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan penyerahan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.
B. PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK (BKP) DAN JASA KENA PAJAK (JKP)
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;
Perjanjian terdiri dari jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau
perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
2. Pengalihan dan Penyerahan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjajian
5
sewa guna usaha (leasing)
Yang dimaksud dengan “pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa guna usaha
(leasing)” adalah penyerahan BKP yang disebabkan oleh perjanjian leasing dengan hak
opsi. Dalam hal penyerahan BKP oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
leasing dengan hak opsi, BKP dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak
pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
Yang dimaksud dengan “pedagang perantara” adalah orang pribadi atau badan yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau
perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau bals jasa
tertentu, misalnya komisioner. Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang
Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan
pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri. Yang dimaksud dengan “pemberian Cuma-Cuma” adalah pemberian
yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi
sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
BKP ini disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan
BKP. Dikecualikan aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sehingga pada masa
pembubaran tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP.
6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar
cabang;
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik
sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan BKP antar tempat
tersebut merupakan penyerahan BKP. Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat
tinggal atau tempat kedudukan. Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi
usaha, perwakilah, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi;
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayarkan pada waktu
BKP yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak
6
Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan BKP yang dititipkan tersebut.
Sevaliknya, jika BKP titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk
dikembalikan kedapa pemilik BKP, pengusaha yang menerima titipan tersebit dapat
menggunakan ketentuan mengenai pengembalian BKP (retur).
8. Penyerahan BKP oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP
kepada pihak yang membutuhkan BKP.
Contoh: Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana
untuk membeli sebuah kendaraan bermotor (taxi Pengusaha Ken Pajak A atas pesanan
nasabah bank syariah (Tuan B)). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bak syariah harus
membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B,
berdasarkan Undang-Uundang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap
dilakukan langsung oleh PKP A kepada Tuan B.
C. YANG TIDAK TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG
KENA PAJAK
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah
1. Penyerahan BKP kepada makelar; yang dimaksud dengan “makelar” adalah pedagang
perantara yang menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan
dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nma orang lain yang
dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
2. Penyerahan BKP untuk jaminan utang-piutang;
3. Penyerahan BKP dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang; Dalam hal
PKP mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun
cabang perusahaan, dan PKP tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan BKP dari satu tempat kegiaan usaha ke
tempat kegiaan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang)
dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, kecuali pemindahan BKP
antar tempat pajak terutang.
4. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang
menerima pengalihan adalah PKP; Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah
pemisahan usaha seperti yang diatur dalam Undang-Undang tentang perseroan terbatas.
5. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya
7
tidak dapat dikreditkan.
Karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan/atau aktiva
berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan sehingga tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan BKP.
Dalam hal harga jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga
Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan BKP atau
JKP itu dilakukan.
Pengaruh hubungan istimewa adalah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih
rendah dari harga pasar. Oleh sebab itu, Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan
melakukan penyesuaian Harga Jual atau Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak
dengan harga pasar yang wajar yang berlaku di pasaran bebas.
Hubungan istimewa dapat terjadi karena
1. Faktur kepemilikan atau penyertaan;
2. Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di
bawah penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. Penguasaan yang
sama baik langusng maupun tidak langsung.
3. Di antara orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena
perkawinan;
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat. Yang dimaksud dengan hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak,
sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat
adalah kakak dan adik. Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat aladah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda
dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar. Apabila antara suami isteri
mempunyai perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan antara suami
isteri tersebut termasuk dalam pengertian hubungan istimewa.
4. Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih
pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% atau lebih
pada dua pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih
yang disebut terakhir.
Contoh: Jika PT A mempunyai 50% saham PT B, pemilikan saham oleh PT A
8
merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50%
saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung
mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Dalam hal demikian, antara PT A, PT B,
dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% saham
PT D maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas juga dapat terjadi antara orang pribadi dan badan.
D. PENGUSAHA KENA PAJAK: KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN
KEWAJIBAN MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK YANG
TERUTANG
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP di dalam Daerah
Pabean dan/atau melakukan ekspor BKP Berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP Tidak
Berwujud diwajibkan:
1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP;
2. Memungut pajak yang terutang;
3. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan PPNBM yang
terutang; dan
4. Melaporkan penghitungan pajak.
E. PENGUSAHA KECIL YANG DIBEBASKAN KEWAJIBAN MENJADI PKP
Kewajiban untuk melaporkan usaha dan kewajiban memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang selama satu tahun
buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari RP4.800.000.000, sesuai dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013.
Pengusaha kecil yang dikecualikan di atas dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP,
sehingga dia akan memungut pajak yang terutang, menyetorkan PPN yang masih harus
dibayar serta menyetorkan PPNBM yang terutang, dan melaporkan penghitungan pajak.
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
dan/atau yang memanfaatkan JKP dan luar Daerah Pabean wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN yang terutang.
F. OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas:
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP meliputi baik pengusaha yang
9
telah dikukuhkan menjadi PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi
PKP, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;
b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud;
c. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Siapapun yang memasukkan BKP ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan
apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap
dikenakan pajak.
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan JKP meliputi baik pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai
PKP, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenhui syarat-syarat berikut:
a. Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
c. Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjannya. Termasuk dalam
pengertiak penyerahan JKP adalah JKP yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri
dan/atau yang diberikan secara Cuma-Cuma
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Untuk dapat memberikan perlakukan pengenaan pajak yang sama dengan impor BKP,
atas BKP Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh
siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenakan PPN.
Contoh: Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan
merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan
merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang PPN.
5. Pemanfaatan JKP dan luar Daerah Pabean di dalam Daeran Pabean.
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan JKP dari Pengusaha B
yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan JKP tersebut terutang PPN.
6. Ekspor BKP Berwujud oleh PKP
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP.
Yang dimaksud dengan “BKP Tidak Berwujud” adalah:
10
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau
karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah;
c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial;
d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau
hak menggunakan hak-hak, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan, atau pemberian pengetahuan atau informasi, berupa:
1) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
serupa;
2) Pengguanaan hak atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
3) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi.
e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film
atau pita video untuk siaran telivisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya.
8. Ekspor JKP oleh PKP.
Termasuk penyerahan JKP dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh
PKP yang menghasilkan dan melakukan ekspor BKP Berwujud atas dasar pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.
G. BUKAN OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang
sbb:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
terdiri dari:
a. Minyak mentah (crude oil);
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat;
11
c. Panas bumi;
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips,
kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil,
pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospai), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome,
tanah liat, tawas (alum), tras, yasorif, zeolit, basar, dan trakkit;
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, bijih
bauksit.
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, terdiri dari:
a. Beras;
b. Gabah;
c. Jagung;
d. Sagu;
e. Kedelai;
f. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas, atau tidak dikemas, digarami,
dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direburs;
h. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau
dikemas;
i. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas/tidak dikemas;
j. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses
dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas/tidak
dikemas;
k. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan
pada suhu rendah, termausk sayuran segar yang dicacah.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering. Hal ini berfungsi untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah
merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
12
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa berikut:
1. Jasa pelayanan kesehaan medir, terdiri dari:
a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
b. Jasa dokter hewan;
c. Jasa ahli kesehatan seperti ahli akupu ntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
d. Jasa kebidanan dan dukun bayi;
e. Jasa paramedis dan perawat;
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalih, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan
sanatorium;
g. Jasa psikolog dan psikiater; dan
h. Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
2. Jasa pelayanan sosial, terdiri dari:
a. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
b. Jasa pemadam kebakaran;
c. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d. Jasa lembaga rehabilitasi;
e. Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakan, termasuk krematorium; dan
f. Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko, baik dengan menggunakan perangko tempel dan
menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
4. Jasa keuangan, meliputi:
a. Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
b. Jasa menempatkan dan, meminjamkan dana, atau meminjamkan dana kepada pihak
lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk,
cek, dll
c. Jasa pembiayaan, termasuk berdasarkan prinsip syariah, berupa: sewa guna usaha
dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit, dan/atau pembiayaan konsumen.
d. Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan
fidusia.
e. Jasa penjaminan.
5. Jasa asuransi. Berupa jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa,
dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi,
13
tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi,
dan kosultan asuransi.
6. Jasa keagamaan, terdiri dari: a) jasa pelayanan rumah ibadah; b) jasa pemberian khotbah
atau dakwah; c) jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan d) jada lainnya di bidang
keagamaan.
7. Jasa pendidikan, terdiri dari:
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan
umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan,
pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah
8. Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan
hiburan.
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang
dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersil.
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan jasa angkutan udara luar negeri;
11. Jasa tenaga kerja terdiri dari:
a. Jasa tenaga kerja
b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dan tenaga kerja tersebut;
c. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja
12. Jasa perhotelan, meliputi:
a. Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel,
losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu
yang menginap
b. Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, lsomen, dan hostel
13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain
Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
14. Jasa penyediaan tempat parkir, yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau
pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
14
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam terdiri dari jasa telepon umum
dengan menggunakan uang logam atau koinm yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
17. Jasa boga atau katering
H. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM)
Atas penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor BKP yang
tergolong mewah, di samping dikenai PPN, dikenai juga PPNBM dengan pertimbangan
bahwa:
1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan
konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah;
3. Perlu adanya perlingdungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara
Yang dimaksud dengan “BKP yang tergolong mewah” adalah:
1. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
2. Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
3. Barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
4. Barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Pengenaan PPNBM atas impor BKP yang tergolong mewah tidak memperhatikan:
1. Siapa yang mengimpor BKP tersebut;
2. Apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja;
3. Apakah suatu bagian dari BKP tersebut telah dikenai atai tidak dikenai PPNBM pada
transaksi sebelumnya.
Sehingga pengertian dari Pajak Masukan hanya berlaku pada PPN dan tidak dikenal pada
PPNBM. Oleh karena itu, PPNBM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan
PPNBM yang terutang.
Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu: 1)
Penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang tergolong mewah; atau 2) Impor BKP
yang tergolong mewah. Sehingga penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai
PPNBM.
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah kegiatan:
1. Merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang
setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot
15
rumah;
2. Memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain
atau tidak;
3. Mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu
atau lebih barang lain;
4. Mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya
dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan
5. Membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup
menurut cara tertentu; serta
6. Kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau
badan lain melakukan kegiatan tersebut
I. PAJAK MASUKAN DAN PAJAK KELUARAN
Pajak Masukan adalah PPN yang diterma oleh perusahaan karena telah melakukan
pembelian atau pembayaran BKP atau JKP dengan menerima Faktur Pajak atau dokumen
tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Sedangkan Pajak Keluaran
adalah PPN yang dipungut oleh perusahaan karena telah melakukan penjualan atau
penerimaan uang muka dengan menerbitkan Faktur Pajak kepada pelanggan.
PPN atau PPNBM atas penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN
atau PPNBM yang terutang oleh PKP penjual dan mengurangi:
1. Pajak masukan dari PKP pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas BKP yang telah
dikembalikan telah dikreditkan;
2. Biaya atau harta bagi PKP pembeli, dalam hal pajak atas BKP yang dikembalikan tersebit
tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
3. Biaya atau harta bagi pembeli yang bukan PKP dalam hal pajak atas BKP yang
dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya dari
penerima JKP, mengurangi Pajak Keluaran yang terutang olej PKP pemberi JKP (dalam
Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut) serta mengurangi:
1. Pajak Masukan dari PKP penerima JKP, dalam hal Pajak Masukan atas JKP yang
dibatalkan telah dikreditkan.
2. Biaya atau harta bagi PKP penerima JKP, dalam hal PPN atas JKP yang dibatalkan
tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
16
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
3. Biaya atau harta bagi penerima HKP yang bukan PKP dalam hal PPN atas JKP yang
dibatalkan tersbeut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi)
dalam harga perolehan harta tersebut.
J. TARIF PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Tarif PPN adalah 10%. Tarif PPn sebesar 0% diterapkan atas:
1. Ekspor BKP Berwujud;
2. Ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
3. Ekspor JKP.
Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian,
Pajak Masukan yang telah dibayarkan untuk perolehan yang BKP dan/atau JKP yang
berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif PPn menjadi paling rendah 5% dan paling
tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal, berdasarkan perkembangan ekonomi
dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan.
K. TARIF PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM)
Tarif PPNBM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%. Perbedaan
kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan BKP yang tergolong mewah yang
dikenai PPNBM.
Ekspor BKP yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%. PPNBM adalah pajak
yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh
karena itu, BKP yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean
dikenai PPNBM dengan tarif 0%. PPNBM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang
tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Tarif PPNBM yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh
masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh
masyarakat banyak perlu dikenai PPNBM, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah.
L. DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP)
Pajak Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif di atas dengan DPP yang
meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
 PPN = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak
Contoh:
1. PKP A menjual tunai BKP dengan Harga Jual RP25.000.000.
 PPN yang terutang = 10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000 (merupakan Pajak
17
Keluaran yang dipungut oleh PKP A)
2. PKP B melakukan penyerahan JKP dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000.
 PPN yang terutang = 10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000 (merupakan Pajak
Keluaran yang dipungut oleh PKP B).
3. Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000/
 PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x
Rp15.000.000 = Rp1.500.000.
4. PKP D melakukan ekspor BKP dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000.
 PPN yang terutang = 0% x Rp10.000.000 = NIHIL.
M. NILAI LAIN UNTUK MENGHITUNG DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP)
Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai DPP, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Pokok Penjualan.
 Harga Pokok Penjualan = Harga Jual atau Penggantian – Laba Kotor
2. Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Pokok Penjualan.
 Harga Pokok Penjualan = Harga Jual atau Penggantian – Laba Kotor
3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah Perkiraan Harga Jual Rata-
Rata.
4. Untuk penyerahan film cerita adalah Perkiraan Hasil Rata-Rata per judul film.
5. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar Harga Jual Eceran.
6. Untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah Harga
Pasar Wajar.
7. Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP
antar cabang adalah Harga Pokok Penjualan atau Harga Perolehan.
8. Untuk penyerakan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara
pedagang perantara dengan pembeli.
9. Untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang.
10. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya ditagih. Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan
jasa pengiriman paket ini tidak dapat dikreditkan.
11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% dari jumlah
tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Pajak Masukan yang beruhubungan dengan
penyerahan jasa biro perjalanan/pariwisata ini tidak dapat dikreditkan.
12. Untuk kegiatan membangun sendiri, DPP adalah 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan
18
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan
tanah.
Dalam hal penyerahan BKP juga terutang PPNBM dan telah menjadi bagian harga atau
pembayaran atas penyerahan BKP, perhitungan PPN dan PPNBM menggunakan rumus
berikut:
 PPN = 10/(110 + t) x harga atau pembayaran atas penyerahan BKP
 PPNBM = t/(110 + t) x harga atau pembayaran atas penyerahan BKP
Contoh:
Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis bahwa dalam nilai kontrak
sebesar Rp130.000.000 secara tegas dinyatakan sudah termasuk PPN (sebesar 10%) dan
PPNBM (sebesar 20%), penghitungan PPN dan PPNBM adalah sbb:
 PPN yang terutang = 10/(110 + 20) x Rp130.000.000 = Rp10.000.000
 PPNBM = 20/(110 + 20) x Rp130.000.000 = Rp20.000.000
N. CARA MENGHITUNG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Pembelian BKP, penerima JKP, pengimpor BKP, pihak yang memanfaatkan BKP Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah
Pabean wajib membayar PPN dan berhak menerima bukti pungutan pajak. PPN yang
seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan. Pajak Masukan yang wajib
dibayar terbut oleh PKP dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut dalam Masa
Pajak yang sama.
Namun, bagi PKP yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau
impor modal diperkenankan untuk dikreditkan, kecuali Pajak Masukan yang diperoleh
sebelum dikukuhkan sebagai PKP, yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha
atau pembelian mobil sedan. Untuk keperluan mengkreditkan Pajak masukan, PKP
menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan dan persyaratan kebenaran formal dan
material.
Apabila dalam suau Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan,
selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP. Apabila Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak
dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa
Pajak berikutnya. Kelebihan Pajak Masukan tersebut baru dapat diminta kembali pada akhir
tahun buku atau Masa Pajak saat wajib pajak melakukan pembubaran usaha.
Contoh:
 Masa Pajak Mei 2017
19
Pajak Keluaran = Rp 2.000.000
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp 4.500.000 (-)
Pajak yang lebih dibayar = Rp 2.500.000
Pajak yang lebih dibayar Rp2.500.000 dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2017.
 Masa Pajak Juni 2017
Pajak Keluaran = Rp 3.000.000
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp 2.000.000 (-)
Pajak yang kurang dibayar = Rp 1.000.000
Pajak yang lebih dibayar (MP Mei 2017) = Rp 2.500.000 (-)
Pajak yang lebih dibayar (MP Juni 2017) = Rp 1.500.000
Pajak yang lebih dibayar Rp1.500.000 dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2017.
O. PENGEMBALIAN PENDAHULUAN ATAS PPN LEBIH BAYAR
Kembalian pembayaran Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada
setiap Masa Pajak oleh:
1. PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;
2. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN;
3. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
4. PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
5. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
6. PKP dalam tahap belum berproduksi.
Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada PKP, yang mempunyai kriteria sebagai
PKP berisiko rendah, sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) UU
No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Kriteria sebagai PKP berisiko rendah adalah:
1. Melakukan kegiatan:
a. Ekspor BKP Berwujud;
b. Penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN;
c. Penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
d. Ekspor BKP Tidak Berwujud;
e. Ekspor JKP
2. Telah ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah.
Untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah harus memenuhi kriteria sbb:
1. PKP merupakan Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% dari keseluruhan saham
disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
20
2. PKP merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
3. Produsen yang tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN selam 12
bulan terakhir, nilai BKP yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% adalah
produksi sendiri; laporan keuangan untuk 2 tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan
Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian;
dan tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam
jangka waktu 24 bulan terakhir.
PKP harus menyampaikan permohonan penetapan sebagai PKP berisiko rendah kepada
Direktur Jenderal Pajak (DJP). Atas permohonan PKP maka DJP dalam jangka waktu 15 hari
kerja sejak permohonan diterima secara lengkap harus menerbitkan keputusan penetapan
sebagai PKP berisiko rendah atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat
diproses.
P. PERHITUNGAN ATAS PAJAK MASUKAN YANG DAPAT DIKREDITKAN
ATAS PENYERAHAN YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN YANG
TIDAK TERUTANG PAJAK
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang terutang pajak” adalah penyerahan barang atau
jasa yang dikenai PPN. Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak”
adalah penyerahan barang atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
PKP yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan yang
tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuan PKP.
Contoh:
PKP melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
 Penyerahan yang terutang PPN = Rp25.000.000  Pajak Keluaran = Rp2.500.000
 Penyerahan yang tidak terutang PPN = Rp5.000.000  Pajak Keluaran = Nihil
 Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN = Rp500.000 Pajak Keluaran=
Nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
1. BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000
2. BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai PPN = Rp300.000
3. BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN =
Rp500.000.
21
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran
sebesar Rp2.500.000 hanya sebesar RP1.500.000.

Jika, Pajak masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan
pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh:
1. Pajak Masukan untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung
maupun untuk pabrik minyak jagung.
2. Pajak Masukan untuk perolehan komputer yang digunakan baik untuk kegiatan
penyerahan jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.
PKP melakukan dua macam penyerahan, yaitu:
 Penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000  Pajak Keluaran = Rp3.500.000
 Penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000  Pajak Keluaran = Nihil
Pajak Masukan yang dibayarkan atas perolehan BKP dan JKP yang berkaitan dengan
keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan
dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut
ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000 tidak seluruhnya dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000.
Rumus pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah:
 P = PM x Z, dimana
 P = jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
 PM = jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP
 Z = persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak
terhadap penyerahan seluruhnya.
Atau dengan rumus untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya lebih dari 1 tahun:
 P’ = (PM x Z’)/T, dimana
 P’ = jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 tahun buku
 PM = jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP
 T = masa manfaat BKP dan/atau JKP yang ditentukan sbb: a) untuk BKP berupa
tanah dan bangunan adalah 10 tahun; b) unruk BKP selain tanah dan bangunan serta
JKP adalah 4 tahun.
 Z’ = persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak
terhadap penyerahan seluruhnya dalam 1 tahun buku.
22
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil perhitungan kembali diperhitungkan
dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada
bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.
Contoh:
PKP A yang bergerak di bidang usaha real estate yang menghasilkan rumah yang atas
penyerahannya terutang PPN dan rumah sederhana yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN. Pada bulan Februari 2017 PKP A membeli barang modal berupa truk
dengan nilai perolehan Rp200.000.000 dan PPN Rp20.000.000. Pada saat perolehan truk
tersebut, PKP A belum dapat menentukan berapa penyerahan rumah yang terutang PPN dan
rumah sederhana yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Berdasarkan
perkiraan PKP A, jumlah rumah sederhana yang akan dibangun pada tahun 2017 adlaha
sebanyak 30% dari total rumah yang dibangun.
Berdasarkan data-data di atas PKP dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan
truk dengan perhitungan sbb:
 Pajak Masukan yang diperkenankan = Rp20.000.000 x 70.5 = Rp14.000.000.*
Q. PEDOMAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI MASUKAN BAGI PENGUSAHA
TERTENTU
Bgi PKP yang melakukan Kegiatan Usaha tertentu, menghitung besarnya Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan wajib menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan, yaitu
sbb:
1. 90% dari Pajak Keluaran untuk PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor
bekas secara eceran. Atau dengan kata lain, PPN yang wajib disetor oleh PKP adalah
sebesar 1% dari DPP.
2. 80% dari Pajak Keluaran untuk PKP yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara
eceran. Atau dengan kata lain, PPN yang wajib disetor oleh PKP adalah sebesar 2% dari
DPP.
3. 60% dari Pajak Keluaran untuk PKP yang selama 2 tahun berturut-turut penyerahannya
tidak melebihi Rp1.800.000.000 atau Wajib Pajak yang baru dikukuhkan untuk
penyerahan JKP (Peraturan Menteri Keuangan No.47/PMK.03/2010). Atau dengan kata
lain, PPN yang wajib disetor oleh PKP adalah sebesar 4% dari DPP.
4. 70% dari Pajak Keluaran untuk PKP yang selama 2 tahun berturut-turut penyerahannya
tidak melebihi Rp1.800.000.000 atau Wajib Pajak yang baru dikukuhkan untuk
penyerahan JKP (Peraturan Menteri Keuangan No.47/PMK.03/2010). Atau dengan kata
lain, PPN yang wajib disetor oleh PKP adalah sebesar 3% dari DPP.
23
R. PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah:
1. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP:
Contoh: Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP pada tanggal
19 April 2016. Pengukuhan sebagai PKP diberikan pada tanggal 20 April 2016 dan
berlaku surut sejak tanggal 19 April 2016. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum
tanggal 19 April 2016 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
2. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai gubungan langsung dengan kegiatan
usaha
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan yang disewakan
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
5. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak mencantumkan nama, alamat, dan
NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
6. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagai dokumen lain yang berfungsi sebagai
Faktur Pajak
7. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak.
8. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
9. Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi.*
S. SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN
PAJAK
PPN dan PPNBM terutang pada saat:
1. Penyerahan BKP
2. Impor BKP
3. Penyerahan JKP
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean. Dalam hal orang pribadi
atau badan memanfaatkannya, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau
badan tersebut mulai memanfaatkan. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang
menyerahkan BKP Tidak Berwujud atau JKP tersebut diluar Daerah Pabean sehingga
tidak dapat dikukuhkan sebagaiPKP. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi
24
dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
6. Ekspor BKP Berwujud
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud
8. Ekspor JKP
Pemungutan PPN dan PPNBM menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi
pada saat penyerahan BKP atau JKP meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum
diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor BKP. Saat terutangnya pajak
untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce sama seperti di atas.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP atau dalam hal
pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari
luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
T. TEMPAT TERUTANGNYA PAJAK
PKP orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha,
sedangkan bagi PKP badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal
atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan
PKP dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Apabila PKP mempunyai lebih dari 1 tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja
1 Kantor DJP, untuk seuruh tempat terutang tersebut, PKP memilih salah satu tempat kegitan
usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan
usahanya, kecuali apabila PKP tersebur menghendaki lebih dari 1 tempat pajak terutang, PKP
wajib memberitahukan kepada DJP.
Dalam hal-hal tertentu, DJP dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau
tempat keduudkan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh
U. PENYERAHAN YANG DIBEBASKAN DARI PPN
Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan PPN
adalah rumah yang perolehannya sevara tunai ataupun dibiayai melalui fasililtas kredit
bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
yang memenuhi ketentuan:
1. Luas bangunan tidak melebihi 36m2
2. Harga jual tidak melebihi batasan harga jual yang didasarkan pada kombinasi zona dan
tahun yang berkesesuaian.
25
3. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan
tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.
4. Luas tangah tidak kurang dari 60m2
5. Perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun
tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. [ CITATION
Sum17 \l 1033 ]

V. BIBLIOGRAPHY
Direktorat Jendral Pajak. (2019, Oktober 15). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Retrieved November, 2021 from pajak.go.id: https://www.pajak.go.id/id/undang-
undang-nomor-42-tahun-2009
Sumarsan, T. (2017). Perpajakan Indonesia (5 ed.). Jakarta: Indeks.

26

Anda mungkin juga menyukai