Anda di halaman 1dari 19

PERPAJAKAN BEA METERAI & BPHTB

DISUSUN OLEH :

- PARDOMUAN SIREGAR ( 183304010189 )


- DODI HERICHO SINAGA ( 183304010195 )
- JUNIANTO SIHOTANG ( 183304010175 )
- NADUS SOFYAN SIPAYUNG ( 183304010181 )
- NURLINA SITORUS ( 173304010652 )
- EISEN SIMATUPANG ( 173304010593 )

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA

TAHUN AJARAN 2019/2020


DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………………….. 1
Latar Belakang……………………………………………………………………… 1
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………………….2
I. BEA MATERAI………………………………………………………………..2
1. Pengertian Bea Meterai………………………………………………………..2
2. Dasar Hukum…………………………………………………………………..2
3. Karakteristik……………………………………………………………………3
4. Istilah istilah……………………………………………………………………..3
5. Objek bea materai……………………………………………………………….4
6. Tidak dikenakan biaya materai…………………………………………………4
7. Tata cara pelunasan bea materai……………………………………………….4
7.1. Saat Terutang………………………………………………………………..4
7.2. Cara Pelunasan Bea Meterai……………………………………………….5
8. Tarif Bea Meterai………………………………………………………………..8
9. Ketentuan Khusus dan Sanksi………………………………………………….9
II. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN……………..10
1. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan…………….10
2.   Dasar Hukum……………………………………………………………..10
3. Istilah Penting dalam UU BPHTB………………………………………..10
4.  Objek Pajak………………………………………………………………11
4.1. Pemindahan Hak……………………………………………………...11
4.2.  Pemberian hak baru…………………………………………………12
4.3. Hak atas tanah……………………………………………………….12
5. Tarif Pajak………………………………………………………………..13
6. Dasar pengenaan pajak…………………………………………………...13
6.1. Nilai Pasar…………………………………………………………….14
7. Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Ke Tata Cara ………………..14
8. menentukan besarnya NPOPTKP na Pajak (NPOPTKP)………………14
9. perhitungan pajak ………………………………………………………….15
BAB II…………………………………………………………………………………………….16
PENUTUP………………………………………………………………………………………..16
KESIMPULAN…………………………………………………………………………………..
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah pada mata kuliah Perpajakan dengan
judul Bea Meterai dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Makalah ini disusun
sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas semester pada Mata Kuliah Perpajakan.

Makalah ini dapat diselesaikan, atas dorongan dan bimbingan serta petunjuk dari berbagai pihak, baik
materi maupun teknik penyusunannya. Terimakasih yang tak terhingga kepada , sebagai pemangkuMata
Kuliah Perpajakan.

Penulis menyadari bahwa didalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, segala kritik maupun saran dari semua pihak akan penulis terima dengan senang
hati.

Akhir kata, semoga apa yang telah diberikan kepada penulis dan segala bantuan serta jasa, akan
mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa dansemoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen (kertas yang berisikan tulisan
yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang
dan atau pihak yang berkepentingan) yang menurut Undang-Undang Bea Meterai (UU No 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai), menjadi obyek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang
menjadi objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai
dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
Benda Meterai yang dimaksud diatas adalah Meterai tempel dan kertas Meterai yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Sedangkan tanda tangan yang dimaksud yaitu tanda tangan
sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap
paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Dokumen yang harus dikenakan Bea Meterai adalah dokumen yang menyatakan nilai
nominal sampai jumlah tertentu (Meterai Rp 6.000,- digunakan untuk dokumen yang memuat
jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- dan Meterai Rp 3.000,- digunakan untuk dokumen yang
memuat jumlah uang Rp 250.000 – Rp 1.000.000,-), dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen yang digunakan dimuka pengadilan. Secara Umum dokumen yang tidak dikenakan Bea
Meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan
dengan pembayaran pajak dan dokumen negara.
Tanah dan bangunan merupakan hak yang diperoleh oleh setiap orang, tetapi selain hak
kita juga mempunyai kewajiban atas tanah dan bangunan tersebut. Kewajiban tersebut berupa
pajak. Pajak yang dikenakan terhadap tanah dan bangunan ini dinamakan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan ini atau BPHTB ini bersifat wajib bagi
wajib pajak yang mempunyai tanah dan bangunan. Mengenai ini  sudah ditetapkan dlam UU No.
20 Tahun 2002 dan juga terdapaat pada Keputusan Mentri Keuangan No.516/KMK04/2004

1
BAB II
PEMBAHASAN

       I.            BEA MATERAI
1.     Pengertian Bea Meterai
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang
Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai
harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain
sebelum dokumen itu digunakan.
2.     Dasar Hukum
1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya
Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai
Tempel Tahun 2005
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan
Menggunakan Cara Lain.
5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
7.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan
Cara Pemeteraian Kemudian.
9.Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.
10.Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea Meterai.

3.     Karakteristik
      Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun obyek pajak.
      Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang.Waktu pembayaran
dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat waktu
2
4.     Istialah – Istilah
      Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
      Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
      Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf,
teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai
pengganti tanda tangan.
      Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat
Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana
mestinya.
      Pejabat  pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan
pemeteraian kemudian.
5.     Objek Bea Meterai
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan
nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang
digunakan di muka pengadilan, antara lain :
1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2) Akta-akta notaris termasuk salinannya.
3) Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
4)     Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
  yang menyebutkan penerimaan uang
  yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank
  yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
  yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
5)     Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
6)     Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai
alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan,
dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.

3
6. Tidak Dikenakan Bea  Meterai
Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang
berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan
dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
1)     Dokumen yang berupa:
  surat penyimpanan barang;
  konosemen;
  surat angkutan penumpang dan barang;
  keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen,
dan surat angkutan penumpang dan barang;
  bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
  surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
  surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
2)     Segala bentuk ijazah
3)     Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu.
4)     Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5)     Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan
itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6)     Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7)     Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut
8)     Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
9)     Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.

7.     Tata Cara Pelunasan Bea Meterai


7.1. Saat Terutang.
Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai tersebut
digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya Bea
Meterai adalah:
  Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
  Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat;
  Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia, 

4
7.2. Cara Pelunasan Bea Meterai
7.2.1.   Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel.
Cara mempergunakan meterai tempel :

1)  Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang

dikenakan Bea Meterai.

2) Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

3) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan

dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan

sebagian lagi di atas Meterai Tempel.

4)Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas

semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.

5) Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak memenuhi

ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.


7.2.2.   Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai.
Cara mempergunakan kertas meterai :

1)  Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.

2)  Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

3) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas

Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan

kertas tidak bermeterai.

4)  Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum

ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah terlanjur ditulis

dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian

tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru,

maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.

5)  Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang

bersangkutan dianggap tidak bermeterai.


5

7.2.3.   Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:

1)  Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit

dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50

dokumen.

2)  Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai

harus melakukan prosedur sebagai berikut:

a.  Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak

setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang

akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang

harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.

b.Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas

juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.

c.  Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor

Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

d.  Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal

ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

7.2.4.   Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan


Sistem Komputerisasi.

1)  Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen

yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP No. 24 Tahun 2000

dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.

a. Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan

mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea

Meterai setiap hari.


6

b.  Pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang

harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas

Negara melalui Bank Pensepsi).

c. Menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai

kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan

2)     Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem

komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin

masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.


7.2.5.   Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan.
Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan untuk dokumen
yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.

1)  Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan

harus melakukan prosedur sebagai berikut:

a.  Pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea

Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.

b.  Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan

mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang

telah dibayar.

2)  Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas

pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan

laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

3)     Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri

4)     Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak

digunakan di Indonesia.

7
8.     Tarif Bea Meterai.
1)     Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:
  Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata
  Akta-akta Notaris termasuk salinannya
  Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan Rp1.000.000,00.;
  Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
  surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
  surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula.
2)     Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:
  Nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
  Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
  Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
3)     Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas
pengenaan besarnya harga nominal.
4)     Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan
Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal
lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
5)     Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif
yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai
Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.
9.     Ketentuan Khusus dan Sanksi.
1.1. Ketentuan Khusus

1)  Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi

Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.

2)  Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-

masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:

a. Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau

kurang dibayar;

b.  Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan

tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;

c.  Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea Meterainya

tidak atau kurang dibayar;


8

d. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai

dengan tarif Bea Meterainya.


Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
1.2. Sanksi administrasi
Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang
harus dilunasi kurang bayar.

1. Dokumen mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea

Meterai yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai

tidak atau kurang dilunasi sebagaimana.

  2.  Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) harus

melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.
1.3. Daluwarsa
Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut Undang-
Undang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung sejak tanggal dokumen
dibuat.
1.4. Ketentuan Pidana
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:

1)  Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau meniru dan

memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;

2)   Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan

ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;

3)  Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan,

menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya,

capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan

seolah-olah meterai itu belum dipakai dana atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan

melawan haknya;

4)  Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan

untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai;

9
5)  Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea Meterai

dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah bentuk kejahatan).
  II.BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1.     Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya
sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai perolehan objek
pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak. Pada awalnya, BPHTB
dipungut oleh pemerintah pusat, tetapi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mulai 1 Januari 2011, BPHTB
dialihkan menjadi pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
2.     Dasar Hukum
1.      UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.      KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional
Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
3.     Istilah Penting dalam UU BPHTB
( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)
1.      Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2.      Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.      Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta
bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
4.      Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan
tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5.      Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat
ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
6.      Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.  
10
7.      Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah
dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
8.      Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan
yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.

9.      Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas
negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha
Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk
melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
10.  Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
11.  Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak.
12.  Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
4.     Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
4.1. Pemindahan Hak
1.       Jual beli
2.       Tukar Menukar
3.       Hibah
4.      Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah
dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah
pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5.       Waris
6.      Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum
lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.

11
7.      Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak bersama atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak
bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;

8.      Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang
sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
9.      Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai pelaksanaan dari
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari
orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam
putusan hakim tersebut.
10.  Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang
menggabung.
11.  Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
12.  Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada
badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
13.  Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.

4.2. Pemberian hak baru


1.      Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan
pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara
atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2.      Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak
adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau
dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
4.3. Hak atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
1.      Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi
atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2.      Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
3.      Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang 
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

12
4.      Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang  dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5.      Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan
terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan satuan yang bersangkutan.
6.      Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan
penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan
bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.
5.     Tarif Pajak
(  Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
      Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB  adalah sebesar 5 % (lima persen).
6.     Dasar Pengenaan Pajak
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
dalam hal :
a. Jual beli adalah harga transaksi;
b.Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. Hibah adalah nilai pasar;
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. Waris adalah nilai pasar;
f.  Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
nilai pasar;
i.Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.  Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai
dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan
dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan
pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
13
6.1. Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar
yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

7.     Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)


( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo.KMK-
516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing
Kabupaten/Kota.
8.     Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo.
KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah
sebagai berikut :
1.      Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.
2.      Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat
diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak dimulai.
3.      Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan
usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
4.      Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2,
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan
perkembangan perekonomian regional.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:  
1.      untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);       
2.      untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan
dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi,
14
dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp
49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah);       
3.      untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau
mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan
Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah);       
4.      untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan
huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);       
5.      dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d;       
6.      dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d."    
9.     Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)                                         xxxx


Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)   xxxx  (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                xxxx

Besarnya BPHTB terutang = 5% x NPOPKP

15
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-
undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Bea materai digunakan untuk dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan penerimaan uang, ataupun untuk surat-surat berharga yang
penggunaannya telah diatur oleh menteri keuangan, adapun jenisnya berupa materai tempel
dengan nominal Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 maupun materai kertas yang biasanya digunakan
untuk surat berharga seperti surat tanda tamat belajar maupun akta tanah.Penggunaan bea
materai dalam dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai alat pengesahan dokumen tersebut.
Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang
harus dilunasi kurang bayar.

1.Dokumen mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea

Meterai yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai

tidak atau kurang dilunasi sebagaimana.

2.Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) harus melunasi

Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.


Menurut Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000, Bea perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, dan inilah yang dinamakan dengan pajak.
Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Yang menjadi subjek dari BPHTB ini adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai
tanah dan bangunan dan ini juga sesuai dengan yang terdapat dalam UU BPHTB. Sedangkan
yang menjadi objek dari BPHTB ini yaitu tanah dan bangunan.\
Dasar dari pengenaan BPHTB ini yaitu nilai perolehan Objek pajak (NPOP), dan kemudian yang
dikurangi dengan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP). Dan tarif yang
diberlakukan dalam perhitungan BPHTB ini adalah tarif final sebesar 5% sebagaiman terdapat
dalam UU No. 20 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan tahun 2004

16

Anda mungkin juga menyukai