Anda di halaman 1dari 256

Kisah Kino

Suatu siang di kantin kampus yang ramai oleh celoteh mahasiswa, Ridwan mengajak
Kino duduk berdua di sebuah pojok.Heran juga Kino dibuatnya, persoalan penting apa
yang hendak disampaikan karib sekaligus "saingan"-nya ini?

"Kalau mau ngomong soal ujian jangan di sini, lah!" protes Kino tetapi membiarkan
tangannya diseret Ridwan.

"Bukan soal ujian, tetapi soal yang lebih penting lagi," kata Ridwan dengan muka
serius.

Pemuda ini jarang serius, dan kalaupun serius pasti ada maunya. Misalnya, pemuda
ini sering meminta pendapat tentang gadis yang ditemuinya di jurusan lain, atau di
kampus lain. Ridwan terkenal sebagaiplay boy kampus yang berganti pacar hampir sama
seringnya dengan ia berganti baju. Maklum, wajahnya ganteng dan mobil VW kodok
mulus berwarna merah darahnya sangat memikat mata. Tetapi Ridwan selalu bertanya
kepada Kino, bukan hanya untuk meminta pendapat, tetapi juga untuk menyampaikan
semacamclaim agar Kino tak berpikir untuk bersaing dengannya. Maklum, Kino termasuk
urutan kedua dalam soal kegantengan, walau nomor terakhir dalam soal mobil.

"Soal si Anggi dari fakultas ekonomi di Universitas P itu, kan?" tebak Kino,
karena seingatnya Ridwan terakhir kali tampak berjalan dengan dara tinggi berambut
sebahu itu kira-kira 5 hari yang lalu. Dalam hemat Kino, pastilah Ridwan sudah
menemukan penggantinya. Jarang ada gadis berada di samping Ridwan lebih dari 5
hari!

"Bukan!" sergah Ridwan sambil terus menarik Kino ke pojok yang agak sepi.

"Permisi!" kata Ridwan lagi kepada dua mahasiswa yang dari tampang dan tingkahnya
jelas beberapa tingkat di bawah mereka. Dan kalau Ridwan bilang "permisi" seperti
itu (suaranya keras dan lantang), maka artinya "minggir kalian". Kedua mahasiswa
yang tadinya duduk itu pun tampaknya mengerti bahasa sang senior. Merekangeloyor
pergi tanpa basa-basi.

Kino duduk menghadap tembok. Ridwan duduk di sisi kiri, meletakkan kedua tangannya
di meja dengan posisi sangat serius.

"Ada apa, Rid. Kamu tidak mau mengajak bertanding panco, kan?" tanya Kino tak
sabar.

"Aku mau bicara soal Tris!" ucap Ridwan.

Suaranya tenang, pelan, tetapi juga tegas. Kino langsung terperangah. Mulutnya
terbuka tetapi kerongkongannya tersekat. Dari mana pemuda ini tahu tentang Tris? Ia
bahkan belum pernah menyebut nama bidadari itu di kampus atau di manapun. Nama Indi
sering ia sebut; tetapi Tris? .. belum pernah sekali pun. Bahkan Rima yang sering
melihat Kino turun dari mobil Tris pun tidak pernah tahu nama bidadari itu.
"Dengan mulut terbuka seperti itu, kau persis keledai bego!" sergah Ridwan, dan
Kino buru-buru menutup mulutnya.

Tetapi sesungguhnyalah ia merasa amat bego. Jadi, pikir Kino, kini Ridwan adalah
sainganku!

"Aku kenal Tris, walaupun ia tidak begitu mengenalku, dan tidak tahu aku satu
kelas dengan mu," ucap Ridwan.

Kino terdiam. Pantas, belum sekali pun Tris menyebut nama seseorang yang
dikenalnya di kampus, walau bidadari itu telah tahu di mana Kino kuliah. Kalau ia
kenal Ridwan, pastilah namanya sudah disebut sejak awal. Hal ini sedikit melegakan
Kino. Ternyata Ridwan, bukan saingannya. Lalu...

"Aku kenal suaminya, karena lelaki itu masih ada hubungan keluarga denganku," kata
Ridwan lagi. Pemuda ini tahu, Kino sedang terkejut dan tak bisa berkata apa-apa.
Pemuda ini juga sebetulnya iba karena sahabatnya terlibat dengan sesuatu yang tak
ia pahami sepenuhnya.

"Darimana kau tahu aku kenal Tris?" akhirnya Kino bisa bertanya.

"Aku melihat kalian berdua minum dan bercengkrama," jawab Ridwan sambil menatap
Kino tajam, lalu ia melanjutkan, "Dari tingkahmu, aku tahu kau tertarik kepadanya.
Jangan coba membantah."

Kino menunduk. Percuma menyembunyikan yang sebenarnya di hadapan Ridwan atau


Tigor. Kedua sahabatnya ini menganggap Kino adalahan open book : sebuah buku yang
terbuka lebar dan mudah dibaca!

"Seberapa jauh kau tahu tentang dia, Kino?" tanya Ridwan sambil mengeluarkan
sebungkus rokok dan korek api, lalu menyalakan sebatang tanpa menawarkan temannya.

"Dia punya anak bernama Ria,.. dia punya Honda Civic,... dia tinggal di sekitar
tempat kost-ku, atau setidaknya searah dengan tempat kostku," jawab Kino terus
terang. Memang sedikit sekali yang ia ketahui. Buru-buru pula ia menyambung, "Dan
dia cantik sekali!"

Ridwan tersenyum mendengar kalimat yang terakhir. Sambil menghembuskan asap


rokoknya, ia berucap pelan, "Tris memang cantik. Tetapi Ria itu bukan anaknya..."

Kembali Kino terperangah. Tetapi, anak itu memanggilnya "mama". Bukankah "mama"
itu berarti ibu, atau apakah sudah ada arti baru dari mama?

"Ria adalah anak dari kakak Tris yang meninggal karena kecelakaan dua tahun yang
lalu," kata Ridwan, membuat Kino semakin terperangah. Ah, pantas saja Tris terlihat
begitu muda untuk punya anak sebesar Ria. Ternyata ia adalah ibu angkat. Bagaimana
bisa begitu?

"Tris terpaksa menerima usul keluarganya dan keluarga suami kakaknya agar menerima
iparnya itu sebagai suami. Istilahnya, Tris menerima proses "turun ranjang" karena
kedua keluarga tak ingin memutus hubungan," Ridwan menjelaskan dengan suara pelan.

"Pasti Tris sangat mencintai kakaknya ...," ucap Kino.

"Mereka berdua seperti kembar walau usianya berbeda cukup jauh. Lima tahun, kalau
aku tidak salah," kata Ridwan sambil kembali membuat lingkaran-lingkaran dengan
asap rokoknya.
Sejenak keheningan menyelimuti kedua pemuda itu. Kantin yang sangat ramai pun
seakan-akan sirna menjadi latarbelakang yang samar-samar saja terdengar di kuping
Kino.

"Aku tidak begitu dekat dengan suaminya," kata Ridwan, "Tetapi menurutku,
sebaiknya kau tak usah lah berpikir mendekati Tris. Nanti akan menimbulkan
persoalan."

Kino menunduk, memainkan pinggiran meja. Apa yang diucapkan Ridwan tentunya benar
belaka. Kalau pun Ridwan tak punya hubungan apa-apa dengan suami Tris, tetap saja
tidak baik untuk mendekati istri orang. Kalau pun Tris seorang bidadari yang cantik
dan memukau, tetaplah tidak wajar bagi seorang mahasiswa untuk bermimpi
memacarinya; kecuali mahasiswa itu juga dari kahyangan. Bukankah begitu?

Ridwan menepuk bahu Kino secara bersahabat. Mereka berdua segera bangkit karena
sebentar lagi harus masuk kelas kembali. Kino berjalan gontai di samping Ridwan
yang juga terdiam, bersimpati kepada perasaan gundah sahabatnya.

Sebagai teman, bagi Ridwan tentu lebih baik jika Kino tetap bisa mendekati Tris.
Tetapi karena ia punya hubungan keluarga dengan suaminya, Ridwan merasa perlu
memperingatkan sahabatnya ini agar menjauh. Walau diam-diam ia pun tak yakin,
apakah Kino benar-benar bisa menjauhinya. Atau, tiba-tiba Ridwan berpikir,
bagaimana kalau Tris yang mendekati Kino?

*******

Sejak penjelasan Ridwan di kantin itu, Kino memang belum pernah berjumpa lagi
dengan Tris. Sebenarnya, sejak minum bersama di kantin pun, yakni dua minggu yang
silam, Kino belum pernah bertemu lagi dengannya. Kecuali, tentu saja, dalam mimpi!
Kino sering sekali mengimpikan bidadari itu. Tidak saja bermimpi berjumpa
dengannya, tetapi juga bermimpi bercumbu dengannya. Sungguh memalukan rasanya bagi
Kino kalau pagi-pagi ia harus segera berganti celana dalam karena mimpi yang erotik
itu. Tetapi apalah daya pemuda ini, bayangan bidadari itu selalu muncul setiap kali
ia mulai memejamkan matanya di tempat tidur.

Kini, setelah Ridwan menjelaskan siapa Tris, Kino tetap saja mengimpikannya. Tetap
saja berharap berjumpa dengan perempuan yang senyumnya seperti menyebarkan
keindahan di hari terburuk sekali pun. Tetap saja Kino susah membuang bayangan
keindahan matanya yang selalu membuat tulang di tubuhnya bagai terbuat dari agar-
agar.

Kata orang, kalau kau berharap sangat kuat, maka mungkin harapan itu akan
terwujud.

Kino berharap dan berharap terus. Setiap hari, saat menunggu angkot, ia sengaja
berdiri sangat dekat dengan jalan. Ia sengaja pula menunda naik angkot sampai
sering hampir terlambat dibuatnya. Ia selalu melihat ke kejauhan, kalau-kalau mobil
yang kini sangat dikenalnya itu muncul. Demikianlah ia terus berharap, sampai suatu
hari di awal musim hujan, bidadari itu muncul lagi dalam kehidupannya. Ini adalah
hari ke 30 dari bulan yang sama dengan saat mereka minum di kantin dan saat Ridwan
memberinya peringatan.

Mobil Honda Civic itu menepi dekat emperan toko tempat Kino berteduh menunggu
angkot menuju kampus. Tidak ada suara Ria yang menegurnya. Kino mendekat dengan
ragu-ragu, kaca mobil terlalu gelap untuk melihat siapa yang ada di dalam. Ketika
akhirnya jendela depan sebelah kiri terbuka, Kino mendengar sebuah suara yang
selalu dirindukannya, "Ayo ikut.."

Kino ragu-ragu lagi. Tetapi pintu depan kiri telah terbuka, dan dengan jantung
berdegup keras akhirnya Kino masuk.

"Hai!...Apa kabar?" sapa Tris ringan sambil melemparkan senyumnya yang mempesona
itu. Ia ternyata sendirian. Kemana Ria?

"Kabar baik," jawab Kino agak canggung, "Terimakasih atas tawaran tumpangannya."

"Aku harus ke sebuah tempat dekat kampusmu. Ria sedang ada di rumah neneknya,
tidak sekolah hari ini," jelas Tris sambil mulai menjalankan mobilnya.

Kino duduk canggung tak tahu harus berkata apa untuk membuka percakapan. Tris
tampaknya juga tidak punya sesuatu yang akan dibicarakan, karena ia juga diam saja,
serius memandang ke depan. Mungkin juga hujan yang mulai melebat menyebabkan ia
harus berkonsentrasi. Mobil meluncur menembus tirai air rintik-rintik. Di luar,
suara desir angin bercampur derum mesin bercampur berisiknya air yang tercercah
oleh ban mobil. Tetapi di dalam mobil, suasana hening mencekam seperti kuburan di
malam Jumat kliwon. Kino sungguh tersiksa oleh keadaan seperti ini.

Setelah hampir 10 menit membisu, Kino pun tak tahan lagi. Ia berucap pelan,
menyembunyikan getar suaranya, "Maaf aku membuat kamu tersinggung waktu itu."

Terdengar Tris menghela nafas, lalu menjawab dengan suara pelan pula, "Aku juga
minta maaf karena bertanya yang tidak-tidak."

"Jadi, kita sama-sama bersalah," ucap Kino lagi.

Tris tersenyum mendengar pernyataan yang polos ini. Sebenarnya, tadi ia ingin
lebih dulu membuka percakapan, tetapi entah kenapa ia ingin pemuda di sampingya itu
yang memulai.

"Sudah lama aku berharap kita bertemu lagi," ucap Kino terus terang. Getar di
tubuhnya kini sudah agak berkurang.

"Untuk minta maaf?" tanya Tris.

"Ya. Untuk minta maaf, dan ...," Kino tidak meneruskan kata-katanya. Patutkah ia
melanjutkannya?

"...dan untuk bertemu Ria?" sambung Tris.

Kino tertawa pelan, "Ya.. untuk bertemu Ria," katanya, lalu disambung dengan suara
lebih perlahan, ".. dan ibunya."

Tris tertawa riang mendengar kalimat terakhir. Sebetulnya ia sudah bisa menebak
kalimat itu, tetapi sekali lagi ia ingin mendengar langsung dari pemuda yang
perlahan-lahan mulai kelihatan menarik baginya.

"Tetapi sekarang musim hujan, tak baik minum es terlalu banyak," kata Tris sambil
tersenyum. Lagi-lagi timbul keinginannya untuk menggoda Kino.

"Tetapi aku masih bisa mengangkat tas-tas belanjaanmu," jawab Kino, meladeni
permainan kecil yang dimulai oleh bidadari ini. Sesungguhnyalah, Kino ingin
melayani permainan apa pun yang ditawari perempuan cantik di sebelahnya ini.
Permainan yang berbahaya sekalipun!

Tris tertawa lebih keras. Ia benar-benar terhibur dengan jawaban itu. Ternyata
pemuda ini cukup berani mengutarakan pendapatnya, pikir Tris. Sebuah permulaan yang
bagus. Tetapi untuk sebuah akhir yang bagaimana?
"Aku belanja ke sana setiap Rabu," kata Tris sambil membelokkan mobilnya menuju
arah kampus Kino.

"Aku pulang kuliah pukul empat setiap Rabu," kata Kino sambil tersenyum.

Ia merasa seperti seorang pemancing yang sedang berspekulasi dengan umpannya:


apakah ikan akan mencaplok umpan itu, ataukah ia harus terjun ke empang
menangkapnya dengan tangan?

Tris tertawa lagi. Kino senang sekali mendengar tawa itu, serba lepas tetapi juga
merdu. Tidak terlalu keras, tidak terlalu nyaring, tidak terlalu terbahak.
Pokoknya, serba pas di telinga Kino.

"Kamu bisa bolos, karena pukul empat aku sudah harus pulang," ucap Tris sambil
menginjak rem.

Mereka sudah tiba di depan kampus. Kino mengeluh dalam hati, kenapa cepat sekali
ia menjalankan mobilnya?

"Atau kamu bisa menunda belanjamu sampai pukul empat," ucap Kino tak mau kalah. Ia
memberanikan diri menatap wajah Tris sebelum beranjak untuk turun.

Tris tersenyum manis sekali. Mungkin yang paling manis di antara senyum-senyum
manisnya selama ini. Kino seperti disiram air sejuk surgawi rasanya melihat senyum
itu. Duh, teruslah tersenyum bidadariku, bisik Kino dalam hati.

"Kenapa aku yang harus menunda?" tanya Tris dengan mata tajam memandang tepat ke
mata Kino. Sejenak degup jantung pemuda ini kembali bertambah cepat.

"Karena hari Rabu itu ada dua dosenkiller ..," Kino menjawab sekenanya. Tetapi
memang begitulah kenyataannya. Ia tak mungkin membolos hari Rabu.

Senyum Tris berkembang lagi. Kino terpesona lagi. Satu kakinya sudah berada di
luar, tetapi rasanya enggan sekali ia turun dari mobil itu. Hujan yang kini mereda
menjadi gerimis membuat sepatunya basah, tetapi Kino tak peduli.

"Kamu benar-benar ingin bertemu lagi rupanya," ucap Tris, kali ini dengan nada
serius.

Suaranya berubah formal dan lebih perlahan. Kino sejenak kuatir menyinggung
perasaannya lagi. Tetapi ia hendak berspekulasi hari ini. Ia hendak berterus terang
saja. Apapun yang terjadi, terjadilah!

"Ya," jawab Kino mantap, "Aku ingin bertemu lagi, tetapi tak mungkin di rumahmu,
bukan?"

Tiba-tiba air muka Tris berubah. Kino terkesiap dan berpikir, tamatlah sudah
riwayatku. Hancurlah sudah spekulasiku. Bidadari ini pasti marah besar karena aku
menyinggung sesuatu yang sensitif. Kino bersiap-siap keluar dari mobil secepat
mungkin. Tetapi...

"Memang tidak mungkin, Kino," ucap Tris dengan suara pelan. Baru kali ini ia
menyebut nama Kino!

"Itu sebabnya hari Rabu adalah yang paling tepat," kata Kino cepat-cepat. Ia tak
jadi turun.

Tris tersenyum, tetapi kali ini ada kesenduan di senyum itu. Mungkin kesedihan,
mungkin keterenyuhan. Entah apalah, .. tetapi Kino bisa merasakannya. Seandainya
saja aku bisa mengusap wajah itu, keluh Kino dalam hati, aku mau menghapus
kesenduan itu dari sana!

"Baiklah.., kita lihat saja nanti," kata Tris setelah menghela nafas panjang untuk
kesekian kalinya, "Sekarang, turun dari mobilku kalau tidak ingin terlambat."

Kino tersenyum lega mendengar jawaban itu. Ia segera keluar dari mobil, lalu
berdiri di bawah hujan rintik (ia tak peduli!) memandang Honda Civic itu lenyap
dari pandangannya. Di dalam mobil, Tris melirik ke kaca spion, melihat pemuda itu
masih berdiri diterpa gerimis pagi. Sebersit perasaan aneh memenuhi dadanya, dan
tiba-tiba saja ia sudah menyusun alasan untuk tidak mengajak Ria jalan-jalan Rabu
depan, dan datang ke swalayan setelah pukul empat.

Apa yang terjadi pada diriku? Keluh Tris dalam hati.

*******

Rabu berikutnya, Kino tak mempedulikan teriakan Tigor yang mengajaknya jalan-jalan
keliling naik motor. Tak menghiraukan pula bujukan Ridwan dan Rima yang mengajaknya
makan bakso di seberang kampus. Ia mengarang alasan yang kurang akurat. Teman-
temannya tentu saja heran, sejak kapan si Kino punya tugas berbelanja keperluan
dapur untuk ibu kost?

Tentu saja teman-temannya tidak tahu, bahwa Kino sedang berusaha secepatnya tiba
di pasar swalayan tempat Tris biasa berbelanja. Ia sebenarnya juga tidak berbohong
kepada teman-temannya, sebab ibu kost memang kebetulan memintanya membeli selusin
mieinstant dan sebotol kecap asin. Ia juga dengan seksama telah menyembunyikan
semua hal yang berhubungan dengan Tris dari telinga Ridwan maupun Tigor dan Rima.
Untung pula, Ridwan bukan seorang teman yang nyinyir, sehingga kedua sahabat
lainnya tidak pernah tahu persoalan Tris.

Dengan menumpang angkot, Kino tiba di swalayan itu sepuluh menit kemudian.
Sebetulnya ia bisa berjalan dari kampus, tetapi tentu akan memakan waktu lebih
lama. Setibanya dimall tempat swalayan itu berlokasi, Kino terlebih dulu masuk ke
tempat parkir di lantai dasar. Dengan sekilas ia mencoba melihat kalau-kalau Honda
Civic putih yang sudah sangat dikenalinya itu ada di pelataran parkir. Ternyata
ada! Itu berarti, Tris memang ada dan ia tidak datang dengan taksi. Itu pula
artinya, Kino bisa memohon untuk ikut menumpang!

Dengan langkah panjang setengah berlari, dan dengan melompati dua anak tangga
sekaligus, Kino akhirnya tiba di swalayan yang tidak begitu ramai itu. Sore-sore
seperti ini, belum banyak yang berbelanja. Kino bersyukur dalam hati, dan segera
mencari-cari ke seluruh pelosok swalayan. Satu kali ia memutari seluruh swalayan,
belum juga Tris tampak. Dua kali, Kino belum juga menemukannya. Tiga kali, Kino
sudah mulai kuatir ia berpapasan di tengah jalan. Mungkin Tris turun lewat
lift..... Empat kali, Kino menyerah ... menghembuskan nafasnya kuat-kuat, lalu
mulai menuju rak tempat mie.

Baru saja ia berjongkok untuk mengambil beberapa bungkus mie di barisan bawah,
suara yang dirindukannya itu terngiang jelas di telinganya. Cepat-cepat Kino
bangkit dan berbalik ke arah suara. Wow! Bidadari itu berdiri dengan tangan
bersidekap, berbaju kuning terang dan bercelana panjang coklat gelap, menambah kuat
keputih-mulusannya yang cemerlang. Untuk sejenak, Kino yakin kembali bahwa di
depannya ini adalah bidadari yang sedang menyamar dan sedang menyimpan sayap-
sayapnya.

"Mau membeli tigapuluh bungkus mie?" tanya Tris dengan senyum menggoda dan dengan
sinar mata yang cerlang cemerlang itu.
"Aku mencarimu sejak tadi," kata Kino tak mempedulikan godaan Tris.

Ia ingin sekali menegaskan bahwa pertemuan ini memang betul-betul diinginkannya.


Mengertikah bidadari ini? keluh Kino dalam hati.

"Aku tahu...," jawab Tris sambil tetap tersenyum, berdiri santai di hadapan Kino
yang tegak canggung dan kini melongo mendengar jawabannya itu.

Tris tertawa kecil, "Kamu selalu begitu, Kino. Melongo setiap aku mengatakan
sesuatu," ucapnya.

"Dari mana kamu tahu aku sudah lama mencarimu?" sergah Kino penasaran.

"Aku duduk di sana sejak tadi," kata Tris sambil menunjuk dengan dagunya ke arah
sebuah kantin di seberang swalayan.

"Dan kamu diam saja melihat aku berputar-putar?" sergah Kino lagi. Bidadari ini
pandai sekali mempermainkan orang, keluhnya dalam hati.

"Aku pikir kamu sedang mengukur luas lantai swalayan," kata Tris sambil tertawa.

Gila! sergah Kino dalam hati (tentu saja). Bidadari ini betul-betul sedang
mempermainkan aku. Mempermainkan seorang mahasiswa jurusan arsitektur dari sebuah
institut teknologi yang terkenal, dan yang oleh banyak orang diakui sebagai paling
pandai dalam matematika. Sungguh beraninya dia!

"Mana belanjaanmu?" cepat-cepat Kino mengalihkan pembicaraan. Dia merasa tidak


akan sanggup meladeni godaan Tris, tetapi tak pula hendak segera berpisah.

"Di mobil," kata Tris pendek.

"Oh!.. Jadi kamu sudah selesai berbelanja, tetapi....," Kino tidak meneruskan
kata-katanya.

Hatinya tiba-tiba berbunga. Bidadari ini sudah selesai berbelanja, tetapi kembali
lagi ke sini untuk bertemu dengan aku. Betapa indahnya dunia!

"Tetapi aku haus," kata Tris cepat-cepat mengisi kalimat Kino yang terputus.

Pemuda itu pun langsung kecewa.... bidadari itu tidak sedang menunggunya. Betapa
GR-nya dia! Bahu Kino langsung terhenyak lunglai, seperti mendengar kabar bahwa ia
tak lulus ujian. Bunga-bunga di hatinya seperti layu tersiram air panas mendidih.
Hampir saja ia terhuyung karena kecewa, tetapi...

"Sambil menunggu kamu...," sambung Tris.

Senyumnya tipis mengembang. Kino pun terperangah. Apalagi kedua mata bidadari di
hadapannya penuh dengan sinar gemilang yang membuat Kino seperti hidup di alam maya
yang serba indah belaka. Bunga yang layu di hatinya mekar kembali. Semangatnya
muncul kembali. Bidadari ini benar-benar membuat Kino seperti sedang menaikiroller
coaster emosi!

"Sambil menunggu aku..," Kino mengulangi kalimat Tris, seperti sedang memastikan
bahwa kalimat itu nyata dan benar adanya.

"Cepatlah berbelanja!" sergah Tris menahan senyum, "Aku mau mencari ulekan batu di
daerah selatan."

"Oh,... ya..ya!" jawab Kino gelagapan.


Kalimat terakhir itu bagai titah sang maharatu kepada hambanya. Kino
menerjemahkannya sebagai berikut: aku mau kau ikut ke selatan mencari ulekan batu.
Kino pun menjerit dalam hati: cihui!.. aku mau ikut kau ke ujung dunia sekalipun.

Tak sampai 10 menit kemudian, keduanya telah melesat ke arah selatan. Hujan mulai
turun lagi. Bumi kota B kembali basah. Pohon-pohon kembali mandi air segar dingin;
dedaunannya pun semakin tampak hijau segar. Angin sejuk melanda kota. Kino
bernyanyi-nyanyi dalam hati.

*******

Pertemuan dan belanja bersama itu segera diikuti pertemuan-pertemuan berikutnya.


Segalanya lancar sekali berlangsung, selancar air jernih di selokan besar di depan
rumah kost Kino di kala hujan lebat. Pemuda ini menikmati kelancaran itu, seperti
seorang nelayan menikmat angin kencang yang membawa perahunya meluncur cepat,
meniti ombak membelah lautan. Tak sedikit pun terpikir oleh Kino apa yang akan
terjadi akibat pertemuan-pertemuannya dengan Tris. Tak sekalipun ia pernah mau
berpikir bahwa perempuan cantik itu adalah seorang ibu bersuami resmi. Seluruh akal
sehatnya tertutup kabut tebal setiap kali ia bertemu Tris.

Pada pertemuan kelima, Kino sudah menggandeng tangan Tris ketika mereka menuruni
tangga swalayan (mereka selalu menghindari tangga berjalan atau lift, agar bisa
lebih lama berdua!). Mereka pun sudah duduk berdampingan ketika minum di kantin
(mereka selalu haus sehabis berbelanja!). Pandangan mereka lebih lama berkait erat
seakan-akan tak mau lepas (mereka selalu punya alasan untuk bercakap-cakap sambil
saling menatap!).

Pada pertemuan ke tujuh, Kino mencium pipi Tris di mobil.

Sejenak Tris terperangah, dan Kino mempersiapkan pipinya untuk ditampar melihat
bidadarinya mengangkat tangan. Tetapi tangan Tris terangkat bukan untuk menampar,
melainkan memegang pipinya sendiri yang tadi dicium Kino sekilas. Muka Tris
semburat merah, bagai langit sore yang kebetulan saat itu tak tertutup awan.

"Kenapa kau cium aku?" bisik Tris dengan suara bergetar. Pandangannya tajam
menembus kalbu Kino.

"Karena aku ingin menciummu," kata Kino dengan kekuatan yang entah datang dari
mana.Ia sudah bertekad untuk menunjukkan segala perasaannya.Whatever will be, will
be.Que sera sera!.

"Tetapi aku tidak ingin...," ucapan Tris terputus, masih bergetar walau agak
samar.

Kino tersenyum lembut, "Tidak ingin dicium?" tanyanya pelan sambil melawan
pandangan Tris dengan sekuat hati.

Tris mengalihkan pandangannya ke depan. Air mukanya tiba-tiba mengeruh, seperti


sungai besar yang penuh lumpur akibat hujan berkepanjangan. Kino diam, menguatkan
hati, merasa tidak punya pilihan lain.

"Aku sudah bersuami, Kino," bisik Tris sambil tetap memandang ke depan.

Hujan telah reda. Langit senja mulai menggelap.

"Itu suami almarhum kakakmu," kata Kino pelan tetapi jelas.

"Tetapi ia suamiku kini," desis Tris.


Wajahnya semakin keruh dan pertahanan hati Kino perlahan-lahan runtuh.

"Maaf..," bisik Kino.

Ia bersiap turun, membuka pintu mobil dan melangkahkan satu kakinya untuk turun.

Tiba-tiba tangan Tris telah tiba di atas tangan Kino yang sedang bersiap turun.
Pemuda ini menghentikan gerakannya, memandangi tangan Tris yang menumpang ringan di
buku-buku jarinya.

"Kamu tidak perlu minta maaf," kata Tris pelan tanpa mengalihkan pandangan, "Aku
yang bersalah. Tetapi kamu membuat aku terkejut. Aku belum siap untuk itu."

"Siap untuk apa?" tanya Kino dengan keberanian baru.

"Kamu tahu jawabnya," sergah Tris, dan sebelum Kino sempat berkata apa-apa,
perempuan cantik itu berucap, "Turunlah. Kita jumpa lagi Rabu depan."

Dan Kino pun turun. Dan mobil Tris pun bergerak, lalu semakin cepat meluncur, dan
akhirnya hilang dari pandangan. Dan Kino termangu di pinggir jalan dengan rambut
tergerai ditiup angin sejuk. Di telinganya, terngiang ucapan terakhir Tris tadi, ..
kamu tahu jawabnya. Betulkah aku tahu jawabnya? keluh Kino dalam hati sambil
melangkah gontai ke rumah kostnya.

Sementara itu, sambil menyetir Tris menghapus air mata yang merebak di matanya
dengan tisu. Sampai sebelum dicium Kino tadi, hatinya selalu berbunga-bunga setiap
kali ia berjumpa pemuda itu. Ia sendiri heran, dalam kehidupan yang serba nyaman
dengan seorang suami dan anak yang lucu, pemuda itu tiba-tiba mempunya tempat
khusus. Pemuda itu seperti tiba-tiba muncul entah dari mana dalam kehidupannya.
Padahal, sebagai seorang cantik, Tris dikerumuni banyak pria. Sebelum maupun
sesudah pernikahannya dengan iparnya. Tak satupun yang menimbulkan kesan, karena
ketika kakaknya meninggal ia bertekad menutup pintu hatinya, dan mengabdi total
kepada iparnya.

Kini pemuda itu menciumku, bisik Tris dalam hati, dan aku gundah karena ia
menggugah sesuatu yang selama ini aku hindari. Pemuda itu membawa kelembutan pada
keriangan dan keteraturan hidupku. Pemuda itu melengkapi kebahagiaan perkawinan dan
pengorbananku untuk kakak. Apa yang harus kulakukan?

"Maafkan aku, Kak..," bisik Tris tak sadar.

Air mata menggenang kembali, dan kali ini tak bisa dicegah meluncur deras di
pipinya.

*******

Ridwan kembali mengingatkannya pada suatu sore sepulang kuliah. Kino menahan
amarahnya, walaupun ingin sekali ia menjerit mengingatkan Ridwan bahwa itu bukan
urusannya. Biar bagaimana pun, Ridwan berada dalam posisi yang benar. Sahabatnya
itu semata-mata kuatir Kino terlibat dalam urusan yang tidak gampang.

"Kamu bermain api, Kino," desis Ridwan sambil mengiringi langkah Kino.

Mereka berjalan terpisah dari yang lain, sengaja mempertahankan rahasia ini di
antara mereka berdua. Kino sungguh menghargai sikap Ridwan itu.

"Tetapi aku sendiri tidak berdaya, Rid. Dia juga suka padaku!" sergah Kino menahan
diri agar suaranya tak terlalu keras.
"Risikonya terlalu besar, Kino!" jawab Ridwan sambil menahan geram.

"Entahlah. Aku sangat menyukainya. Mungkin juga mencintainya!" ucap Kino.

"Bullshit, Kino! Kau mencintai istri orang. Itu tidak bagus!" sergah Ridwan.

Kino berhenti melangkah, "Apa yang kamu tahu tentang cinta, Rid!? Kau tak tahu
apa-apa. Kau hanya tahu "menyukai" dan "disukai"...," ucapnya agak keras.

Ridwan sampai kuatir pertengkaran mereka terdengar orang lain. Untunglah mereka
terpisah agak jauh dari Rima dan Tigor. Ridwan menghela nafas panjang, ucapan Kino
memang benar. Tetapi ia merasa Kino sudah terlalu jauh melangkah, tak melihat
jurang besar di hadapannya. Ia berucap pelan tetapi tegas,

"Aku sudah memperingatkanmu, Kino. Jangan salahkan aku kalau nanti terjadi apa-
apa!"

Kino terdiam, dan mereka menghentikan percakapan, lalu berpisah. Sepanjang malam
itu Kino pun risau mengenang peringatan-peringatan Ridwan. Ia tidak bisa tidur, dan
baru terlelap setelah lewat tengah malam.

Tetapi risau dan gundahnya segera hilang, karena pagi keesokan harinya ia
menumpang mobil Tris lagi. Hari menjadi indah lagi. Kemurungan sirna secepat embun
yang menguap disinari mentari pagi. Pertemuan demi pertemuan berlangsung lancar dan
seperti telah menjadi kewajaran. Baik Kino dan Tris luruh dalam ketidaksadaran yang
sebetulnya adalah ketidakwajaran, terhanyut dalam musik asmara yang memang selalu
membuai itu.

Apalagi kemudian Tris menjemput Kino sepulang kuliah di satu sore yang cerah,
mengajaknya pergi ke sebuah tempat peristirahatan di daerah utara yang berlembah.
Ini adalah ide Tris, walau adalah Kino yang membujuknya secara halus. Mereka minum
kopi susu di sebuah restoran yang menghadap kebun teh luas menghijau. Percakapan
mereka berlangsung lancar dan ceria selalu adanya. Tiada sedikit pun kata-kata
risau terucapkan. Segalanya cuma berisi kerinduan, kegemasan, impian, kenangan
manis, keindahan .... ketakjuban ...

Terlebih lagi, ketika malam tiba mereka tidak langsung pulang karena menurut Tris
ia sudah minta ijin pulang terlambat. Kino tak peduli mendengar alasannya ("ada
kursus tambahan malam hari"). Segalanya terjadi begitu saja.

Tris setuju memarkir mobil sebentar di pinggir jalan kecil menuju kebun teh. Tris
diam saja ketika Kino dengan penuh kerinduan melumat bibir Tris di dalam mobil.
Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan lamanya Kino menunggu saat yang
mendebarkan ini. Dengan segala perasaan, ia kecup bibir yang merah ranum dan basah
itu. Ia hisap lembut dan sayang, ia tumpahkan seluruh kerinduannya di rongga mulut
yang harum semerbak mempesona itu.

Tris memejamkan matanya, mendesah dan mengerang, membiarkan dirinya hanyut dibawa
larut oleh gejolak perasaan pemuda itu. Ia menyerah. Tak ada lagi yang mampu
menahan dirinya malam itu, karena sejak seminggu ini hatinya gundah jika tak
bertemu Kino. Sejak dicium di pipi beberapa waktu yang lalu, hidupnya berubah total
bagai sebuah desa kecil yang lenyap terhapus badai taifun. Tanpa sepenuhnya sadar,
Tris merangkul leher Kino, menariknya lebih dekat lagi ke dadanya.

Kondisi mobil menyebabkan posisi keduanya agak kikuk. Tetapi lalu Tris meraih
tombol di samping kursinya, dan tak berapa lama kemudian ia sudah terbaring di
sandaran yang tertidur. Kino dengan leluasa bisa melumat bibir yang menggemaskan
itu. Nafas keduanya pun dengan cepat berubah memburu menderu.
"Oooh.. Kino," desah Tris ketika pemuda itu mengangkat mukanya untuk mengambil
nafas, "Aku rindu sekali..."

Kino tak membalas ucapan itu.Ia langsung menciumi lagi bibir yang selalu ada dalam
mimpinya itu. Tidak hanya bibir itu yang diciuminya. Juga ujung hidung Tris ia
ciumi, kelopak matanya ia ciumi, dahinya ia ciumi, kedua pipinya ia ciumi...
seluruh muka bidadari yang mempesona itu tak hentinya ia ciumi. Tris pun tertawa
manja diperlakukan seperti itu. Belum pernah ia diperlakukan seperti itu oleh
suaminya!

Bahkan Tris kemudian membiarkan tangan Kino meraba dadanya yang membusung indah.
Ia bahkan membantu pemuda itu membuka kancing-kancing bajunya, menggeliat kegelian
ketika jemari pemuda itu meremas lembut buah dadanya. Tris mengerang sambil
memejamkan mata, seakan ingin tidur dengan mimpi sensual yang melenakan, yang juga
sudah sering diimpikannya di ranjang di samping suaminya. Betapa nikmat rasanya
diraba dan diremas oleh pemuda ini ... betapa melenakannya ... betapa
membirahikannya.

Tetapi tiba-tiba semuanya buyar. Tak sengaja, akibat gairah yang menggebu, siku
Kino menyentuh tuter mobil. Suara klakson yang nyaring di tengah malam yang sepi
membuat keduanya tersentak kaget.

Tris tertawa tertahan. Kino juga ikut tersadar dan melepaskan pelukannya. Tris pun
menegakkan tubuhnya, cepat-cepat mengancingkan baju dan menegakkan sandaran kursi.
Kino menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat, mengusir nafsu birahi yang tadi
telah memenuhi seluruh kepalanya.

"Kita harus pulang, Kino," ucap Tris menahan senyum dan mulai menstarter mobilnya.

"Ya,... harus segera pulang," sahut Kino bagai baru bangun dari mimpi.

Mereka meninggalkan tempat sepi itu, beberapa saat saja sebelum sebuah mobil milik
perkebunan lewat berpatroli. Sepanjang jalan menuju kota, mereka tenggelam dalam
lamunan. Sesekali mereka berpandangan dan tertawa berdua. Indah sekali malam itu!

Sama sekali mereka tidak menduga, bahwa malam-malam seperti itu akan terus
berulang. Lagi dan lagi. Semakin lama semakin panas membara .......

Malam itu Tris tidur berdua Ria di kamar utama. Tetapi Tris tidak bisa tidur sama
sekali. Bayangan percumbuan yang serba singkat di dalam mobil di lembah kebun teh
beberapa hari yang lalu kembali muncul di matanya yang mencoba tertutup.

Suaminya -mungkin lebih tepat: bekas iparnya- sedang keluar kota untuk urusan
bisnis. Ah, betapa kini Tris sering ingat bahwa pria itu dinikahinya hanya karena
ia mencintai almarhum kakaknya. Juga karena kasihan kepada Ria, yang saat ini sudah
terpulas di sisinya. Rumah besar itu terasa sepi sekali

Sudah seminggu ini Tris tidak berjumpa Kino. Siang tadi ia berniat mengontak Kino
di kampusnya, berniat masuk kampus dan mencarinya saat istirahat siang. Tetapi niat
tersebut diurungkan. Bukan saja karena Ria perlu dijemput, tetapi juga karena ia
sendiri merasa sungkan untuk masuk kampus mencari pemuda itu. Apa kata orang nanti?

Kini, ketika matanya tak juga mampu terpejam tidur, ia menyesal kenapa tak
memberanikan diri masuk kampus. Menyesal karena tadi pagi terburu-buru mengantar
Ria sekolah lewat jalan lain, sehingga tidak bisa bertemu Kino. Menyesal karena
merasa dirinya terlalu ragu-ragu bertindak.

Tris menggeletakkan tubuhnya setelah bosan tidur miring. Kamar tidur sudah gelap,
karena Ria tak mau kalau terlalu terang. Ah, tiba-tiba darah Tris berdesir karena
rasanya ia masih bisa mencium bau tubuh pemuda itu. Bau yang kini mulai
diakrabinya: segar dan penuh aroma kejantanan. Tidak seperti tubuh suaminya yang
terlalu penuh minyak wangi sehingga berkesan sintetis.

Ah, kini aku mulai membanding-bandingkan pemuda itu dengan suamiku, keluh Tris
dalam hati.

Tris masih ingat betapa pemuda itu mengulum bibirnya dengan luapan perasaan yang
apa adanya. Betapa menggairahkannya ciuman itu! Kino melakukannya dengan sepenuh
hati, sehingga rasanya tidak setengah-setengah. Ketika pemuda itu mengulum
bibirnya, ia melakukannya dengan penuh perasaan, membuat dirinya terbuai-buai bagai
tidur di atas awan di angkasa sana. Tak sadar Tris meraba bibirnya dengan ujung
jari. Ia dengan mudah bisa merasakan kembali ciuman itu. Tak mungkin ia bisa
melupakannya.

Tak pula ia bisa melupakan betapa dadanya yang kenyal diremas oleh tangan pemuda
itu. Oh, itulah remasan yang tak kalah menggairahkan dari ciumannya. Jemari pemuda
itu seperti penuh oleh energi pembakar sukma yang mengirimkan jutaan bulir
kenikmatan ke seluruh tubuhnya. Tak sadar, Tris mengerang kecil, meremas seprai
dengan kedua tangannya. Ia seperti merasakan lagi remasan jemari itu di dadanya.
Gesekan nilon tipis pakaian tidurnya tiba-tiba seperti mewakili remasan itu. Ia
tidur tanpa beha. Oh, kedua putingnya ternyata sudah mengeras. Kenapa jadi begini?
Keluh Tris sambil mengerang lagi, lalu memiringkan badannya, meraih bantal guling.

"Kino," bisiknya perlahan sambil menelungkupkan muka ke bantal, "Apa yang telah
kau lakukan kepadaku?"

Tak lebih 5 kilometer jauhnya dari kamar tidur Tris, pemuda itu juga sedang
terlentang di dipan di kamar kostnya dengan mata nanar memandang langit-langit.
Kino juga tidak bisa tidur malam ini, walau separuh buku pelajaran paling sulit
telah habis dibacanya. Entah kenapa, malam ini ia begitu merindukan Tris. Mungkin
karena telah seminggu ini mereka tidak berjumpa sehabis malam yang menegangkan di
lembah kebun teh itu.

Di depan mata Kino seakan-akan ada sebuah film yang diputar berulang-ulang, berisi
gambar indah percumbuan mereka yang sangat singkat tetapi sangat menggairahkan itu.
Bibir basah yang merekah pasrah itu, tergambar jelas di mata Kino. Harum nafasnya
yang menggairahkan itu, tercium jelas di hidung Kino. Kelembutan lidah dan bagian
dalam mulut itu ... hmm, semuanya terasa seperti nyata malam ini. Amat sangat
nyata, sampai-sampai Kino menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang,
seperti ketika waktu itu ia melumat bibir bidadari yang amat didambakannya. Sedang
apa dia sekarang? Apakah sedang dicumbu oleh suaminya? Pikiran terakhir ini sangat
mengganggu Kino, membuatnya terbakar cemburu selain birahi. Sungguh menggelisahkan!

Udara dingin menyebabkan Kino menyelimuti badannya, tetapi sentuhan selimut di


atas kejantanannya yang hanya tersaput celana dalam dan sarung tipis ternyata
berdampak lain. Kenangan erotis tentang Tris membuat dirinya terbakar birahi.
Perlahan tapi pasti, kejantanan Kino menegang. Semakin lama, semakin tegang,
berdenyut penuh gairah.

"Tris," bisik Kino, "Sedang apa kamu di sana?"

Angin dingin menimbulkan suara berkesiut di luar jendela kamar tidur Tris. Ia
menelentang kembali, kini dengan mata terbelalak sepenuhnya. Kamar tidur yang
senyap itu sebenarnya dingin sekali. Tetapi tubuh Tris seperti dibakar api, dan ia
terkejut sendiri ketika tak sengaja tangannya menyentuh selangkangannya. Celana
dalamnya agak basah, dan sebuah rasa geli yang telah lama ia tak rasakan ternyata
muncul di sana. Oh, aku begitu terangsang malam ini, desah Tris panik di dalam
hati.

Cepat-cepat ia memindahkan tangannya, tetapi tangan itu jatuh di atas dadanya.


Untuk sejenak, ia mencoba mengatur nafasnya yang mulai terengah, tetapi tanpa
diperintah tangan itu ternyata mulai meraba-raba. Tris menggelinjang. Tris mendesah
gelisah. Rasa geli menyelimuti puncak-puncak dadanya. Rasa geli yang minta digaruk.
Maka menggaruklah jemari-jemarinya, mengusap dan membelai pula. Dua tangan kini ada
di dadanya, dua-duanya meremas, mengusap, menggaruk, membelai...

Tris mendesahkan nama pemuda itu berkali-kali dengan bisikan tertahan; kuatir Ria
terbangun.

Kino meraba-raba kejantanannya. Mengerang pelan karena merasakan tubuhnya mulai


bereaksi seperti biasanya, menyebabkan semua ototnya terasa menegang, bagai seorang
pelari yang sedang bersiap-siap melesat dari garis start. Kejantanannya sudah
menegang setegang-tegangnya. Bergetar seirama degup jantungnya yang tak teratur.
Naik turun seirama nafasnya yang mulai memburu.

Mula-mula, Kino hanya mengusap-usap di atas sarungnya. Mengelus-elus perlahan,


menimbulkan rasa geli yang samar-sama, seakan-akan untuk memastikan bahwa segalanya
berjalan perlahan menuju tempat tujuan. Tetapi, sebentar kemudian gerakan tangannya
semakin cepat, bukan lagi mengusap tetapi menguyak-uyak. Nafasnya semakin memburu.
Rasa geli yang nikmat tersebar sepanjang kejantanannya yang terasa bagai batang
besi panas membara.

Tris tak tahan lagi. Dengan satu tangan tetap meremas-remas dadanya sendiri, ia
mengusap-usap kewanitaanya dengan tangan yang lain. Celana nilon tipis masih ada di
sana, tetapi tentu saja tak mampu mencegah rasa nikmat yang datang dari telapak
tangannya. Apalagi kemudian Tris menelusupkan tangan itu ke balik celana, menemukan
lembah sempit di bawah sana telah basah oleh cairan cinta. Menemukan pula tonjolan
kecil di bagian atas telah menyeruak keluar dari persembunyiannya, menonjol diam-
diam menanti sentuhan jarinya.

Tris menggigir bibir bawahnya, tersentak bagai tersengat listrik, ketika ujung
telunjuknya tak sengaja menyentuh tonjolan kenikmatan itu. Sebuah desah cukup keras
menghambur keluar dari mulutnya. Untung Ria sudah terlelap sehingga mungkin tak
akan terbangun walau Tris berteriak sekali pun.

Kino tak tahan lagi. Tangannya menyerbu masuk ke balik sarung, meremas batang
tegang yang membara di bawah sana, yang masih terbungkus celana dalam katun. Segera
ia merasakan pinggulnya bagai berubah menjadi kaldera gunung berapi yang penuh
lahar menggelegak. Setiap kali ia meremas, setiap kali pula gelegak itu bagai
hendak meluap keluar. Setiap kali pula ia mengerang dengan otot leher menegang
seperti seorang yang sedang menahan sesuatu dengan susah payah.

Remasan tangan Kino semakin lama semakin teratur, diikuti gerakan naik turun
seperti memeras. Setiap kali gerakan itu sampai ke ujung yang membengkak-membola
itu, Kino merasakan tubuhnya seperti disedot ke dalam pusaran air birahi. Ia
menggeliat-geliat keenakan. Kedua kakinya merentang tegang, dengan tumit tenggelam
dalam-dalam di kasur. Kino mengerang.

Tris mengerang tanpa berusaha menahan suaranya. Ia sudah tak peduli lagi. Kedua
pahanya terpentang lebar dan jari tengahnya melesak menerobos di antara lembah
bibir-bibir kewanitaannya. Jari itu meluncur teratur, ....turun sampai melesak
sedikit memasuki liang surgawi yang berdenyut-denyut, .... lalu naik menyusuri
lembah licin yang hangat dan basah itu, ... lalu terus naik ke atas lepitan
kewanitaannya, tiba di tonjolan yang kini memerah itu,... berputar-putar di sana
dua-tiga kali .....
"Aaaah," erangan Tris semakin jelas. Kalau ada orang berdiri di balik pintu dan
menempelkan kupingnya, niscaya ia akan mendengar erangan itu.

Tangan Tris bergerak semakin cepat, sementara tangan yang satunya juga terus
meremas-remas payudaranya dengan gemas. Tubuh Tris berguncang-guncang oleh
gerakannya sendiri. Ria menggumam pelan, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh. Tris
sudah tak lagi mempedulikannya. Ia sedang dalam perjalanan yang tak mungkin
dihentikannya lagi. Ia harus sampai ke tujuan!

Kino merasakan tujuan asmara telah tampak di pelupuk mata. Ia kini memasukkan
tangannya ke balik celana dalam, mencekal-meremas langsung kejantanannya. Ada
sedikit cairan licin membasahi bagian ujung kejantanannya. Akibat gerakan turun
naik, cairan itu terbawa telapak tangan membasahi batang kenyal-keras yang panas
membara...

Gerakan tangan Kino semakin cepat dan teratur. Naik turun, naik turun, naik
turun... Terkadang agak lama di bagian ujung, meremas-remas dan mengepal.
Menimbulkan rasa geli yang berkepanjangan, menyebar ke seluruh tubuh, menggetarkan
semua otot, bahkan sampai menyebabkan dipan berderik-derik pelan.

Ranjang Tris bergoyang keras ketika ia mulai merasakan dirinya mendaki puncak
asmara. Kini dua jari yang melesak, mengurut, menelusur lembah sempit di bawah
sana. Kini kedua pahanya terentang maksimum, membuat kewanitaanya terbuka lebar,
memberikan keleluasaan gerak kepada tangannya.

Tangan yang satu lagi kini beralih ke bawah. Tris memerlukan kedua tangannya untuk
mendaki puncak gemilang birahinya. Satu tangan untuk melesakkan kedua jarinya cukup
dalam ke liang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain
mengusap-menekan-memilin tonjolan merah yang kini berdenyut-denyut itu.

Tris bahkan sampai merasa perlu mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra
ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosok keras dengan kedua tangannya...

Kino menggosok-gosok dengan cepat. Mengurut dengan keras. Naik turun tangannya
semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Kakinya
terasa bagai melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya
yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-
langit. Kino tak tahan lagi, ia menggerendeng merasakan tubuhnya seperti hendak
meledak... Lalu ia benar-benar meledak. Menumpahkan cairan-cairan hangat di telapak
tangannya.

Tris merasakan tubuhnya mengejang, ia mencoba terus menggosok-menggesek, tetapi


rasa geli-gatal begitu intens memenuhi tubuhnya. Ia tak tahan lagi. Ia mengerang
parau ketika sebuah ledakan besar memenuhi dirinya ... Kedua kakinya terentang
kejang. Kedua tangannya meninggalkan daerah kewanitaannya, mencengkram seprai di
kedua sisi tubuhnya. Klimaksnya datang bagai guntur bergulung-gulung...

******

Malam bagai tak peduli. Tetap dengan kelam dan dingin dan desir angin bersiut.
Langit sesekali berkerejap oleh kilat di kejauhan. Awan hitam berarak menutupi
cahaya bulan, mencegah Raja Malam itu menerangi muka bumi. Pohon-pohon bagai tidur
sambil berdiri, terayun-ayun oleh angin yang meraja lela.

Sebentar kemudian hujan mulai turun. Mula-mula hanya berupa rintik kecil. Tetapi
lalu dengan cepat semakin lebat. Bahkan kemudian sangat lebat seperti dicurahkan
dari langit.

Kino tergeletak lunglai.


Tris terkulai lemas.

Keduanya terpisah oleh tembok, halaman, batu, sungai kecil, pohon, jalan raya, dan
sebagainya .... Tetapi mereka bersatu dalam fantasi erotik, mereka bertemu dalam
imajinasi asmara yang menggelegak membara.

Siapa bilang tidak ada kekuatan telepati di dunia ini?

Keesokan paginya, ketika Kino tiba di tempat biasanya ia menunggu angkot, mobil
Honda Civic itu telah lebih dulu berada di sana. Di bawah pohon, agak lebih ke
utara dari tempat pemberhentian angkot, mobil itu tidak bergerak tetapi mesinnya
masih menyala. Hati Kino berbunga-bunga, dan dengan setengah berlari dia menuju
mobil itu.

Kali ini tanpa ditawari, pemuda itu langsung membuka pintu depan. Suara musik
segera terdengar ketika pintu dibuka dan harum interior menyerbu keluar. Kino
menundukkan badan sebelum masuk. Tris tersenyum di belakan stir. Ia sendirian saja,
memakai setelan putih seperti ketika Kino pertama berjumpa dengannya di taman.
Jantung Kino berdegup kencang lagi, seperti biasanya jika ia bertemu bidadari ini.

"Cuma mau lihat-lihat, atau mau ikut?" goda Tris melihat pemuda itu belum juga
masuk.

"Aku ingin memastikan..," ucap Kino pelan.

Tris tertawa kecil dengan tawanya yang mempesona itu.

Kino cepat-cepat masuk, menutup pintu, dan dengan keberanian luar biasa ia mencium
pipi bidadarinya. Tris tidak menghindar. Tidak bergeming sama sekali, bahkan. Kino
mencium harum lembut melati di pipi Tris. Cepat-cepat ia kecup permukaan kulit yang
halus bagai pualam itu. Cepat-cepat pula ia mengalihkan ciumannya, ke sudut bibir
yang ranum itu. Tris diam saja. Tetap tidak bergeming.

"Selamat pagi, bidadariku...," bisik Kino dekat sekali di muka Tris.

Dari jarak seperti ini, pemuda itu bisa memandang lekat ke mata perempuan yang
selalu memenuhi mimpi-mimpinya itu. Mata yang baginya adalah sumber pancaran
kehangatan dan keceriaan, sekaligus jendela bagi sebuah hati yang lembut walau
tersaput sendu.

"Nakal..," jawab Tris dengan berbisik pula.

Dibalasnya tatapan pemuda itu, dan sejenak keduanya membiarkan jiwa mereka tertaut
di jembatan pelangi yang tercipta dari dua pasang mata itu.

"Kangen..," bisik Kino lagi sambil menghela nafas dalam-dalam menikmati harum
segar nafas Tris. Ia seperti sedang menghirup aroma mistis yang membuat dadanya
seperti dipenuhi perasaan bahagia semata.

"Sama-sama..," jawab Tris pelan sekali, nyaris tak terdengar.

Lalu bibirnya menempel sekilas di bibir Kino, sebelum ia memalingkan muka, menarik
nafas panjang dan mulai memasukkan persneling ke gigi satu. Mobil pun bergerak,
lalu dengan cepat melaju menuju arah kampus.

"Aku tidak ingin kuliah hari ini," ucap Kino.

"Betul-betul nakal!" sergah Tris sambil menahan senyum yang entah kenapa terus
mengembang di bibirnya. Sulit sekali tidak tersenyum di dekat pemuda ini, keluh
Tris dalam hati.

"Kamu harus kursus?" tanya Kino.

Tris menggeleng. Ia bahkan tidak mengantarkan Ria ke sekolah hari ini, karena
Neneknya bersedia mengantar dan menunggu. Ketika ibu mertuanya menawarkan jasa
seperti itu, tidak seperti biasanya Tris tidak menolak. Adik suaminya yang kemudian
mengantar mereka sambil pergi ke kantor, dan lagi-lagi Tris tidak menolak. Lalu
Tris mengatakan kepada orang-orang di rumah, bahwa ia perlu belanja dan mungkin
akan pulang sore. Nah, siapa yang nakal, sebetulnya?

"Bawa aku ke mana saja, Tris ... asal jangan ke kampus," kata Kino.

"Aku tak tahu musti ke mana," jawab Tris walau hatinya mengatakan bahwa ia ingin
sekali ke sebuah tempat di mana mereka bisa berdua saja. Dan sebetulnya ia sudah
punya rencana ... Tetapi ... Ah, akankah aku mengajaknya ke sana? desah Tris dalam
hati. Gelisah dan tak pasti.

"Berapa jauh mobilmu bisa pergi?" tanya Kino.

"Ke ujung dunia pun bisa, asal jalannya beraspal," jawab Tris sambil tertawa.

"Kalau begitu, aku tahu musti ke mana," kata Kino sambil tersenyum.

"Kemana?"

"Nanti aku beri tahu. Sekarang, ambil saja jalan ke arah selatan."

Tris tersenyum sambil tetap menatap ke jalan di depannya. Kino memandangnya terus
sejak mereka meninggalkan tempat pemberhentian angkot tadi. Cantik sekali ia pagi
ini, ucapnya dalam hati. Ah, tetapi kapan ia tidak cantik? sergah suara lain di
benaknya. Bahkan ketika sedang bersedih pun ia tampak cantik. Bagaimana kalau
sedang marah? Tetapi kapan ia marah?

"Jangan pandangi aku seperti itu, Kino," kata Tris sambil membelokkan mobil ke
arah selatan. Di depan mereka kini terbentang jalan raya ke luar kota.

"Kenapa?"

"Nanti matamu sakit"

"Justru saat ini mataku terasa letih karena kurang tidur," jawab Kino, teringat
akan peristiwa semalam.

Mendengar ucapan ini, jantung Tris tiba-tiba berdegup lebih kencang. Tidak itu
saja. Sebuah aliran hangat tiba-tiba merayapi leher dan mukanya. Oh, apakah ia juga
mengalami hal yang sama semalam? ucapnya dalam hati. Apakah ia juga melakukannya?

"Kenapa?" tanyanya asal-asalan, walau akhirnya ia menyesal harus bertanya.


Bagaimana kalau pemuda ini memberikan jawaban seperti yang diharapkannya?

"Banyak nyamuk," kata Kino berbohong. Ia belum pasti apakah harus berterus terang
dalam soal yang satu ini.

Tris tertawa lega, sekaligus juga kecewa. Tadinya ia berharap pemuda itu akan
mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur karena memikirkan dirinya. Tetapi ia
sebenarnya juga takut, kalau-kalau pembicaraan mereka harus membuat dirinya sendiri
mengakui apa yang dilakukannya tadi malam.
"Tidur mu nyenyak?" tanya Kino, juga dengan jantung berdegup. Bagaimana kalau
ternyata dia juga tidak bisa tidur dan melakukan apa yang kulakukan malam itu?
gumamnya dalam hati.

Tris menggeleng. Jantungnya berdegup kencang lagi. Kalau pemuda ini mendesak
terus, apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya?

"Kenapa?" tanya Kino.

"Terlalu banyak minum kopi," kata Tris sambil berharap cemas menunggu pertanyaan
selanjutnya. Tetapi rupanya Kino tak ingin melanjutkan percakapan. Sejenak
keheningan melingkupi keduanya. Mobil meluncur cepat meninggalkan kota B. Matahari
mulai meninggi. Beberapa kali mereka berpapasan dengan gerobak-gerobak yang ditarik
kerbau, membawa hasil bumi yang menggunung. Sawah luas mulai sering tampak di
pinggir jalan. Di kejauhan, sebuah gunung tampak kelabu-biru. Puncaknya tertutup
awan tipis berarak.

******

Kino mengajak Tris ke sebuah tempat yang ia sangat kenal, di pinggir sebuah danau
kecil di kaki gunung. Tempat ini biasanya digunakan untuk perkemahan pramuka, atau
untuk piknik keluarga di hari libur. Saat ini, tidak ada yang berkemah dan
berpiknik. Hanya ada beberapa pemancing yang sedang bersiap-siap dengan perahu
mereka hendak ke tengah danau mencari ikan.

Mobil diparkir di depan sebuah warung yang tutup. Kalau musim libur, warung ini
buka 24 jam, menyediakan segala macam keperluan orang-orang kota yang tidak selalu
bisaback to nature walaupun maunya begitu. Kino mengenal baik pemilik warung itu
karena seringhiking (berjalan lintas alam) ke daerah ini, membawa anggota junior
dari kelompok pencinta alam di kampusnya. Bagi Kino, daerah yang masih asri ini
mengingatkannya pada kampung halaman, tempat ia bersekolah dan bercengkrama dulu
(Bagi pembaca yang belum tahu awal cerita, bisa lihat Babak I serial Kino).

Dari tempat parkir itu, Kino mengandeng tangan Tris menuju danau, melintasi tanah
lapang kecil yang biasa dipakai sebagai arena perkemahan. Di pinggir danau ada
sebuah dangau (gubuk sederhana tanpa dinding) yang biasa dipakai berteduh kalau
hari terik. Pelataran depan dangau ini berupa sebuah dermaga kayu yang sangat
rendah sehingga hampir menyentuh permukaan air. Di dermaga itulah, tanpa alas kaki,
Kino dan Tris duduk menghadap kaki gunung di seberang danau, mencelupkan kaki dan
menendang-nendang air sejuk segar.

"Suasananya seperti di kampung halamanku," kata Kino dengan mata menerawang ke


kejauhan.

"Ceritakan tentang kampungmu, Kino..," ujar Tris sambil merangkul lengan pemuda
itu.

"Mungkin tak ada yang menarik buatmu," jawab Kino karena menduga pastilah "anak
kota" seperti Tris (yang seperti kata Ridwan, "dibesarkan dan bersekolah di ibu
kota") tidak akan tertarik kepada "kampung".

"Ayolah!" sergah Tris merajuk, "Kalau kamu yang menceritakan, pasti menarik!"

"Ceritanya panjang. Dari mana aku harus mulai?"

"Ceritakan tentang rumahmu, orangtuamu, saudara-saudaramu..," kata Tris,


mempererat pelukannya di lengan Kino. Pemuda itu menunduk, memandang riak air dan
seekor capung yang dengan gagah berani terbang mengapung di dekat dua pasang kaki
manusia. Sebuah perasaan rindu yang amat kuat tiba-tiba menyergap dadanya. Ah! Lama
sekali aku tak pulang dan tak berkabar! desahnya dalam hati.

"Ayooo, dong!" sergah Tris lagi, kali ini sambil menyandarkan kepalanya di lengan
pemuda itu. Entah kenapa, bagi perempuan ini dunia sekarang jadi luas sekali, dan
ia merasa sendirian sehingga perlu memeluk erat pemuda di sebelahnya. Entah kenapa,
tiba-tiba ia merasa hanya pemuda ini yang ada di tengah jagat semesta tak berbatas.
Kalau ia tak memeluk erat lengan itu, kemana angin akan membawanya terbang?

Kino pun bercerita dengan suara pelan, tentang sebuah rumah tua yang turun temurun
ditempati keluarganya, dengan langit-langit kusam yang sudah berusia puluhan tahun,
dan dengan beranda yang berlantai ubin kuning; lantai yang selalu mengkilap, karena
setiap akhir pekan Ibu menggosoknya dengan sekaleng ampas kelapa. Rumah yang selalu
teduh, dengan tembok yang agak lembab sehingga sebulan sekali perlu diamplas agar
lumut tidak merajalela. Rumah yang menyimpan teriakan-teriakan ceria gadis kecil
kepada kakaknya, juga ucapan lembut Ibunya, dan suara berwibawa Ayahnya. Betapa
jauhnya rumah itu saat ini, .... beratus-ratus kilometer di seberang tanah, lembah,
sungai, dan lautan.

"Berapa usia adikmu?" tanya Tris ketika Kino sejenak terdiam di tengah ceritanya.

"Sekarang sudah 11 tahun," jawab Kino, lalu ia melanjutkan dengan suara lirih,
"Aku rindu sekali kepadanya."

Tris mengangkat kepalanya dari lengan Kino, menoleh memandang muka pemuda itu.
Kasihan, gumamnya dalam hati, pemuda ini punya perasaan begitu halus. Pastilah ia
sangat mencintai adiknya. Pantas ia mudah sekali dekat dengan Ria.

"Kapan terakhir kau pulang, Kino?" tanya Tris lembut sambil mengusap anak-anak
rambut dari kening pemuda itu. Angin berhembus agak kencang, membawa sedikit embun
yang membuat muka mereka lembab seperti habis bercuci muka.

Kino menunduk lagi. Ia katakan bahwa sejak tiba di kota B, belum sekali pun ia
sempat pulang ke kampung halamannya. Tris terenyuh merasakan nada getir dalam
ucapan Kino. Betapa berbedanya nasib pemuda ini denganku, bisiknya dalam hati. Aku
hidup dikelilingi orang-orang terdekat. Tris memanjangkan lehernya, meraih leher
Kino agar mendekat, lalu mencium pipi pemuda itu dengan sepenuh perasaan. Ingin
rasanya ia menjadi bidadari yang sesungguhnya, agar bisa terbang membawa Kino ke
kampung halamannya. Sayang sekali, aku cuma bidadari baginya, desah Tris dalam
hati.

Lalu Kino bercerita tentang sekolahnya. Tentang teman-temannya. Juga tentang Alma,
walau tanpa menyatakan terus-terang bahwa gadis itu adalah pacar pertamanya. Kino
bercerita pula tentang Mba Rien, tetapi tidak tentang pengalaman-pengalaman
mendebarkan yang diberikan wanita lajang itu. Lancar sekali Kino bercerita, seperti
sedang mengulang kembali tahun-tahun yang sampai sekarang masih seperti terang
terpampang di benaknya. Baru kali ini ia bisa bercerita begitu terbuka kepada
seseorang yang praktis bukan siapa-siapa; bukan kakaknya, bukan saudaranya. Tetapi
barangkali itulah sebabnya perempuan ini adalah bidadariku, ucap Kino dalam hati.

"Alma itu pacarmu?" Tris memotong sambil menendang air danau, menimbulkan riak-
riak besar. Kino tersenyum, mendeteksi ada sedikit nada lain di suara Tris. Apakah
perempuan ini cemburu?

"Ya," jawab Kino, "Pacar pertamaku."

"Sampai sekarang?"

"Entahlah," jawab Kino sambil menghempaskan nafas kuat-kuat, "Aku tak pernah
berjumpa atau mendengar kabarnya lagi."

"Kamu mencintainya?"

Kino menoleh, memandang Tris yang kali ini menunduk memandang air danau, seperti
sedang mencoba menembus tirai air untuk melihat dasar danau yang gelap.

"Aku tidak tahu," katanya terus terang. Kino memang tidak pernah tahu, apakah ia
mencintai gadis itu. Kalaupun "ya", ia tak pernah bisa menjawab apakah perasaan itu
masih ada sampai sekarang.

Tris tersenyum dalam hati mendengar jawaban Kino. Dasar nakal! sergahnya dalam
hati, tentu saja ia tak mau mengakui di depanku. Tris tahu persis, pemuda di
sampingnya ini tertarik padanya. Mungkin juga jatuh cinta kepadanya. Mana mungkin
ia mau mengatakan bahwa ia masih mencintai gadis itu. "Aku sungguh-sungguh tidak
tahu, Tris..," ucap Kino ketika melihat Tris diam saja. Tadinya ia berharap Tris
mendesak terus dengan pertanyaan-pertanyaan, sehingga ia bisa mengetahui lebih jauh
apakah perempuan ini memang berminat mengetahui keadaan sesungguhnya.

Tris menoleh, membalas tatapan Kino, dan tersenyum sambil berkata, "Lalu, siapa
pacarmu sekarang?"

Kino terdiam sejenak. Bagi pemuda itu, kedua mata Tris tampak bagai pedang baja
tajam berkilauan, siap menembus jantungnya yang berdegup kencang. Dihelanya nafas
panjang-panjang, dikumpulkannya semua kekuatan yang ada padanya. Lalu ia berucap
pelan dan tegas, "Kamu."

Tris tertawa keras, membuat capung-capung yang mulai berkumpul di dekat kaki
mereka terbang berhamburan. Kino pun ikut terkejut, dan sempat kecut hatinya
mendengar Tris tertawa. Apakah ia menertawaiku? pikirnya dengan panik.

"Kamu seperti botol bening, Kino. Gampang ditebak isinya!" ucap Tris sambil
menahan tawa melihat Kino terkejut. Sesungguhnyalah pemuda ini begitu polos bagi
Tris.

Kino ikut tertawa, tetapi dengan canggung, "Kamu benar," katanya, "Teman-temanku
juga bilang, aku seperti buku yang terbuka. Mudah dibaca isinya."

Tris meraih pinggang Kino, memeluk pemuda itu dengan sayang, menengadahkan mukanya
menawarkan bibir yang merekah basah. Ayo, ciumlah aku kalau kamu memang
mencintaiku, bisiknya dalam hati. Mungkin dengan begitu aku bisa memutuskan sikapku
sendiri.

Kino membiarkan tubuhnya sedikit terhuyung dipeluk oleh Tris. Muka bidadarinya itu
dekat sekali dengan mukanya. Nafasnya yang harum menerpa bersama aroma alam segar
yang amat disukainya. Tanpa ragu, Kino mencium bibirnya yang mempesona, mengulumnya
dengan sepenuh hati, menumpahkan segala perasaannya ke mulut perempuan yang sudah
menyita hidupnya belakangan ini.

Tris memejamkan matanya erat-erat, menutup pandangannya dari dunia nyata,


membiarkan jiwanya terbang ke alam maya yang penuh ketakjuban. Bibir pemuda itu
terasa hangat di bibirnya, membiaskan citra kasih yang merayapi leher, turun ke
dadanya, membuatnya melayang seakan berenang-renang di lautan perasaan yang amat
dalam. Tris membiarkan dirinya terlena karena ia ingin pula segera menemukan, ada
apa di dasar perasaannya. Apakah ia telah jatuh cinta, ataukah ini semacam episode
saja dalam hidup yang tak pernah bisa diduga sepenuhnya itu?

Perlahan tapi pasti, keduanya saling mengulum dan saling melumat. Perlahan tapi
pasti pula, kemesraan mereka berkembang berbuah menjadi kehangatan birahi badani.
Tris semakin jauh terlena, merasakan desir darahnya bertambah cepat, dan daerah-
daerah sensitif di tubuhnya seperti terbangkit oleh sebuah kekuatan gaib. Kedua
tangannya merangkul leher Kino, merengkuh tubuh pemuda itu agar lebih erat
terhenyak ketubuhnya. Nafasnya mulai memburu, dan desah gelisahnya mulai terdengar
nyata.

Kino pun merasakan kelembutan kehangatan tubuh dalam pelukannya bagai segumpal
awan yang dapat membawanya terbang. Nikmat sekali rasanya memeluk orang yang kau
rindukan setiap hari, bisik hatinya. Harum tubuh perempuan ini pun sangat
memabukkan, membuat Kino terasa berada di salah satu sudut di kahyangan, di mana
segalanya cuma keindahan dan kenikmatan belaka. Ingin sekali rasanya ia merebahkan
tubuh itu di lantai dermaga, menindihnya dengan sepenuh nafsu, memberikannya
kenikmatan yang kini dirasakan sudah penuh terkumpul di dalam tubuhnya.

"Jangan di sini, Kino..," desah Tris sambil melepaskan pelukannya. Ia sempat


merasakan tangan Kino meremas pinggulnya, dan merayap turun ke pahanya. Pemuda itu
tersentak tersadar. "Maaf, Tris, aku terburu nafsu..," ucapnya dengan gugup.

"Ssst.. jangan minta maaf terus!" sergah Tris sambil menempelkan telunjukknya di
bibir Kino, "Aku tahu tempatnya..."

Kino mengernyitkan keningnya, keheranan mendengar kalimat terakhir itu. Apa


maksudnya dengan "tempat"? Ke mana bidadari ini akan mengajakku; pasti bukan
kekahyangan! bisik Kino dalam hati. Ia membiarkan dirinya ditarik bangun. Lalu ia
melihat Tris menjinjing kedua sepatunya, dan tahu-tahu sudah berlari ke arah mobil
sambil berteriak riang, "Ayo, Kino. Kalau terlambat, aku tinggal kamu di sini!"

Terburu-buru Kino meraih sepatunya lalu mengikuti jejak Tris, berlari tanpa alas
kaki. Hampir saja ia tersandung batu besar di pintu keluar dangau.

******

Rumah kecil dan asri itu terletak jauh di tengah kebun karet yang tampaknya sudah
tak berfungsi lagi. Jalan menuju rumah itu berliku-liku, tidak beraspal tetapi
berbatu-batu kerikil dan tampaknya terawat baik karena mobil Tris bisa melaju cukup
cepat. Di depan rumah itu ada sebuah taman yang luasnya dua kali lipat dari
bangunan rumah, tampaknya juga terawat baik dengan bunga-bunga aneka warna. Sebuah
pintu gerbang besar terbuat dari kayu kokoh tampak tertutup ketika mereka tiba,
tetapi lalu Tris menekan sebuah alat di mobilnya, dan pintu itu terbuka sendiri.
Kino takjub memandang teknologi yang sering didengarnya, tetapi yang baru kali ini
dilihatnya itu.

Tris tertawa kecil melihat Kino terpana, lalu berucap, "Belum pernah ke villa?"

Kino menggeleng. Ia sering mendengar orang-orang kota yang punya villa di tempat-
tempat peristirahatan seperti ini. Tetapi baru kali ini ia masuk ke dalam salah
satunya. Dulu Rima pernah bilang ayahnya punya villa di daerah P, tetapi mereka
belum pernah ke sana. Ridwan juga katanya punya dua villa entah di mana, tetapi
pemuda itu tak pernah mengajaknya ke sana. Kini, bidadari yang mempesonanya itu
membawanya ke sebuah villa!

Dengan cekatan Tris memasukkan mobilnya ke sebuah garasi yang juga terbuka dengan
sentuhan tombolremote control . Tak ada sebatang hidung manusia pun yang tampak di
villa itu. Mungkinkah mereka cuma berdua di sini? Kino bertanya-tanya dalam hati.
Seandainya "ya", mungkinkah .....?

Lamunan Kino buyar karena Tris mencubit tangannya, "Kita sudah sampai. Ayo
turun..," ucap Tris lembut sambil memandangnya dengan tatapan yang membuat Kino
gelisah.
"Katakan dulu, di mana kita," jawab Kino membalas tatapan Tris dengan tak kalah
tajam.

"Ini tempatku bertapa," kata Tris sambil tersenyum; ada sekilas sinar nakal di
matanya, membuat Kino ingin menggigit gemas bidadari ini.

"Kenapa kita ke sini?" desak Kino.

"Karena aku mau ke sini," jawab Tris sambil mulai melangkah keluar. Kino menelan
ludah, merasa tiba-tiba gugup dan canggung. Dengan ragu ia ikut melangkah keluar,
menyusul Tris yang cepat sekali menghilang ke balik sebuah pintu di belakang
garasi.

Pintu itu menghubungkan garasi dengan ruang tengah yang luas, berisi dua buah sofa
panjang di atas hamparan karpet tebal bermotif modern. Di depan sofa tampak sebuah
perapian yang tampaknya memakai energi listrik. Juga ada sebuah televisi ukuran
besar dan sebuah stereo-set dengan empatspeaker yang menjulang tinggi.

Tris bediri dekat sofa ketika Kino masuk dengan langkah ragu-ragu. Pemuda ini
betul-betul terpana melihat isi villa. Apalagi ada sebuah jendela besar yang
menghadap ke sebuah sungai di bawah sana. Airnya tampak berkilauan, menyelinap
berliku di batu-batu besar berwarna hitam legam.

"Kesini..," Tris berbisik sambil mengembangkan kedua tangannya, mengundang Kino ke


pelukannya.

Kino melangkah mendekat, lalu membiarkan pinggangnya dipeluk Trista, membiarkan


tubuh bagian bawah mereka menyatu. Jantungnya berdegup sangat kencang, menimbulkan
suara ramai di telinganya.

"Kamu takut?" bisik Tris dekat sekali di mukanya. Kino memandang lekat kedua mata
bidadarinya. Ia menemukan kehangatan yang membara di sana. Menemukan percik-percik
yang membakar jiwanya, menimbulkan gairah yang perlahan-lahan menghapus
keraguannya.

"Sekarang tidak lagi," ucap Kino sambil menahan getar di bibirnya.

Tris tersenyum lembut sekali, lalu mendekatkan mukanya ke muka pemuda itu, membuka
bibirnya bagai sekuntum bunga yang merekah menyambut matahari pagi. Kedua kelopak
matanya menutup perlahan, sebelum bibir mereka beradu lembut. Kino merasakan betapa
sebuah aliran hangat seperti merayap keluar dari bibir yang menggairahkan itu,
menelusup ke bibirnya sendiri lalu memenuhi dadanya. Tiba-tiba keragu-raguannya
sirna. Rasa takutnya lenyap, seperti embun diterpa panas mentari. Dan kini panas
mentari terbit di tubuhnya, membuat darahnya menggelegak seperti mendidih.

Tris berjingkat, memeluk leher pemuda itu, mengulum bibirnya, membuka mulutnya
mengundang lidah Kino untuk mulai menjelajah. Ayolah, desahnya dalam hati, lakukan
lagi apa yang selama ini kau lakukan. Lakukan pula apa yang selama ini aku impikan.
Lakukan dan lakukan lagi. Ayolah...

Kino menghisap kedua bibir yang menggairahkan itu, membuka mulutnya sendiri untuk
menyambut sergapan nafas hangat yang menghabus keluar dari mulut Tris. Lalu ia
menjilati lidah Tris yang muncul di permukaan mulutnya. Lalu ia mendesak lidah itu
kembali ke mulutnya, dan menjelajahi rongga yang menggairahkan dan penuh kehangatan
itu. Tris mendesah perlahan. Tris mengerang perlahan.

Cukup lama keduanya saling memagut dan melumat sambil tetap berdiri. Tris
merasakan tubuhnya melayang-layang lagi. Kali ini disertai rasa geli gatal yang
sangat dikenalnya; yang perlahan-lahan mulai memenuhi tubuhnya. Payudaranya yang
kenyal terhenyak di dada bidang pemuda itu, menimbulkan rasa nyaman sekaligus
nikmat. Apalagi Tris kemudian menggerak-gerakkan dadanya perlahan, menggesek kekiri
dan kekanan, menambah tekanan di puncak-puncaknya.

Perlahan-lahan tangan Kino merayap turun dari punggung Tris, menyusuri lekuk-liku
tubuh yang seksi itu. Setiap mili perjalanan tangan itu menimbulkan gairah kelaki-
lakiannya. Apalagi kemudian ia menemukan resleting di punggung Tris begitu mudah
terbuka,... perlahan-lahan menguakkan gaun putih yang dikenakannya. Tangan Kino
menelusup masuk, menemukan kulit halus mulus menggairahkan yang seperti bergetar
lembut setiap kali tersentuh telapaknya.

"Hmmmmm...," Tris mendesah manja sambil melangkah mundur perlahan-lahan ke arah


sofa. Kino mengikutinya sambil terus mengusap-usap punggung Tris yang telanjang.

Sebelum sampai di sofa, Tris menggerak-gerakan bahunya, dan gaun tipis yang
resletingnya sudah terbuka itu kini meluncur turun. Sekejap kemudian, Tris tinggal
berpakaian dalam..... Kino melepaskan ciumannya, memandang takjub tubuh molek di
hadapannya. Tubuh inilah yang selalu ada di mimpinya, dan ... memang, tak ada yang
berbeda dari selama ini dirindukannya! Semuanya tampak indah belaka!

"Buka bajumu, Kino..," bisik Tris dengan suara bergetar sambil mulai membuka
sendiri behanya. Dalam sekejap kedua payudaranya yang membulat menjulang itu
terpampang seksi di hadapan Kino. Pemuda ini menelan ludah berkali-kali sambil
dengan gugup membuka bajunya.

Tris tersenyum melihat Kino baru bisa membuka satu kancing dan sedang repot
membuka yang kedua. "Sini aku bantu," bisiknya sambil mendekat dan dengan cepat
membuka kancing baju pemuda itu. Kino meraih tubuh Tris lebih dekat lagi, memegang
mukanya dengan dua tangan, dan memagut bibirnya yang menggemaskan itu. Tris
mengerang pelan sambil memejamkan kedua matanya lagi.

Sambil mengulum bibir Tris, tangan Kino dengan cepat meluncur ke dadanya, meremas
dua bukit indah yang menggairahkan itu, membuat Tris mengerang lebih keras lagi.
Sebuah sergapan kenikmatan memenuhi tubuh wanita ini, yang kini sibuk membuka
celana jeans Kino. Dengan satu tangan lain, Kino membuka celana dalam nilon Tris,
memerosotkannya sampai ke paha, lalu meremas bagian belakang yang membukit mulus
itu. Tris mengaduh manja.

Sebentar kemudian pakaian keduanya telah berserakan tak beraturan di kaki sofa,
dan keduanya telah terhenyak di badan sofa dengan tubuh Kino menindih tubuh Tris
yang putih mulus. Kedua kaki Tris yang indah itu melingkar memeluk pinggang Kino
yang kini sibuk menciumi dada bidadari pujaannya. Kedua tangan Tris mencengkram
sandaran sofa karena sebuah rasa geli yang amat sangat menyerbu tubuhnya, datang
dari mulut Kino yang tahu-tahu sudah mengulum salah satu putingnya.

"Oooh!" Tris menjerit sambil mendesis ketika merasakan ujung kejantanan Kino yang
sudah tegang keras itu menyentuh permukaan kewanitaannya. Ia menurunkan kakinya
dari pinggang pemuda itu agar bisa mengangkat bagian bawah tubuhnya ... agar bisa
segera dimasuki oleh bagian yang kini sering diimpakannya itu.

Kino menggeliat kegelian merasakan kejantanannya tergesek-gesek di sebuah lepitan


yang agak basah dan hangat. Terus terang, ia belum pernah melakukan percumbuan
dengan tubuh sepenuhnya telanjang seperti ini. Ada semacam rasa aneh yang memenuhi
dirinya; semacam perasaan tidak berada di dunia yang sesungguhnya. Seperti dalam
dunia hayal yang sewaktu-waktu bisa berubah atau lenyap. Seperti menjadi bagian
dari sebuah mimpi erotik yang sewaktu-waktu bisa membuatnya terjaga.

Lalu Kino merasakan dirinya pelan-pelan tenggelam ... Masuk ke sebuah liang sempit
yang licin dan berdenyut ... Ini belum pernah dialaminya ... Sesuatu yang berbeda
dengan sebelumnya .. Sesuatu yang menakjubkan mempesona melenakan.

"Kino...," Tris mendesah sambil merangkul leher pemuda itu.

Ia merasakan sentuhan kejantanan Kino berubah menjadi desakan lembut yang


menyebabkan sesuatu di bawah sana terkuak perlahan... Lalu ia merasakan sebuah
kehangatan menyerbu masuk .. Mula-mula perlahan, tetapi kemudian cepat melesak ...
Tris mendesis merasakan tusukan kenikmatan menikam ke pusat kewanitaannya.

Kino terhenyak dalam sekali di tubuh bidadari pujaannya. Ia mengerang ketika


merasakan dirinya seperti diselimuti oleh gumpalan daging lembut hangat dan licin.
Rasanya seperti terhenyak di kelembutan alami yang tak berujung tak berpangkal.
Rasanya juga seperti diremas-remas dengan perlahan di sepanjang tubuhnya.

Lalu entah bagaimana keduanya mulai bergerak-gerak. Mula-mula gerakan itu tak
beraturan. Tetapi kemudian mereka menemukan irama sendiri. Kino bergerak turun naik
makin lama makin cepat. Tris bergerak berputar-putar, juga semain cepat. Kino kini
bertelektekan di kedua sikunya sambil membenamkan mukanya di pangkal leher Tris
yang sudah mulai berkeringat. Tris merangkulkan kedua kakinya yang indah di
pinggang pemuda itu, sementara kedua tangannya merangkul erat leher Kino. Suara
desah dan erangan bercamput derit sofa dan kecipak-kecipuk seksi yang keluar dari
tempat berpadunya tubuh mereka. Ramai sekali. Bergairah sekali.

Entah kebetulan atau tidak, alam seperti sedang menyaksikan pecumbuan dua anak
manusia ini. Sebuah guntur menggelegar di kejauhan, gemanya dipantulkan dinding-
dinding gunung, menimbulkan geluduk berkepanjangan seperti ada kereta api raksasa
melintas di langit. Lalu rintik hujan mulai turun diiringi angin yang berkesiut di
puncak-puncak pohon. Suasana cepat sekali berubah menjadi seperti senja hari,
padahal ini belum pukul 12.00.

Kino bergerak makin cepat dengan nafas semakin berburu. Tris berkali-kali
mengerang mendesah dengan kaki yang semakin tinggi terangkat, hampir mencapai
punggung Kino. Ia kini tak lagi bergerak, melainkan terkangkang lebar dan pasrah
menunggu datangnya badai klimaks yang sudah di ambang pintu. Ketika Kino untuk
kesekian kalinya menghujam dengan kuat dan bergairah, Tris mengerang panjang sambil
menyebut nama Kino. Tangannya mencengkram sofa kuat-kuat, kepalanya tersentak ke
belakang menekan sandaran, seluruh tubuhnya menggeliat menggelinjang. Klimaksnya
datang bagai hendak menyita seluruh jiwanya.

Kino merasakan pula sebuah desakan yang tak mampu dikendalikannya, membuat
tubuhnya bergetar hebat. Air bah birahi mengambur keluar deras sekali, membuatnya
meregangkan seluruh otot di tubuhnya. Tubuh bagian bawahnya terhenyak dalam-dalam,
menekan tubuh Tris ke sofa di bawahnya. Lalu ......

"Oooh..," Tris menjerit pelan merasakan cairan panas menyeruak tumpah ruah di
dalam tubuhnya.

"Aaah!" Kino menjerit pula, tidak hanya sekali, tetapi setiap kali ia merasakan
muncratan cairan cintanya berhamburan keluar tak tertahankan.

Air hujan bagai ditumpahkan dari langit. Suaranya ramai sekali mencercah bumi,
menghantam genteng villa menimbulkan suara gemuruh, menenggelamkan jeritan-jeritan
Kino dan Tris yang sedang menikmati klimaks mereka yang panjang.

Hari itu, di suatu siang yang basah oleh hujan, Kino menyerahkan keperjakaannya
kepada seorang wanita yang dianggapnya bidadari. Ia tak menyadari hal ini, karena
berkali-kali kemudian mereka bercumbu dan bercumbu lagi. Tak pula sempat menimbang,
betapa semakin lama mereka melangkah semakin jauh. Bahkan mungkin terlalu jauh.....

Tris dan Kino bagai dua burung yang lepas dari kukungan sangkarnya, terbang lincah
dan liar di angkasa terbuka. Juga bagai dua pengelana dahaga yang menemukan oasis
sejuk berlimpah air di tengah padang pasir gersang. Mereka reguk segala kebebasan
bagai tiada lagi hari esok. Hampir setiap waktu luang mereka gunakan untuk
bercengkrama atau bercumbu, tak peduli pagi, atau siang, atau malam. Badai gairah
cinta-birahi menerbangkan mereka tinggi sekali, menebus mega kesadaran menuju
puncak-puncak kenikmatan yang seringkali beriringan dengan kealpaan.

Ridwan menahan geram ketika ia mengetahui hubungan dua anak manusia itu sudah
sangat jauh. Selain dia, Rima juga mulai mengenali keganjilan Kino. Sudah tiga kali
dalam seminggu yang lalu Kino membolos kuliah. Belum pernah sepanjang
persahabatannya dengan pemuda itu, Rima melihat Kino begitu mudah meninggalkan
studi.

Di bawah pohon asam dekat gerbang utama kampus, Rima mendesak Ridwan agar
menceritakan apa yang terjadi dengan sahabat mereka. Geram sekali gadis ini
menyadari bahwa sahabat yang diam-diam dipujanya itu ternyata terpikat oleh wanita
lain. Lebih geram lagi ketika ia kemudian tahu bahwa wanita itu sudah bersuami!

"Kamu selama ini rupanya sudah tahu banyak tentang mereka!" sergah Rima gemas,
karena merasa disingkirkan dari jaringan persahabatan mereka.

"Siapa yang kau maksud dengan 'mereka'?" jawab Ridwan pura-pura tidak tahu.

"Jangan pura-pura <i>bloon</i>!" sergah Rima lagi sambil menatap tajam. Ridwan
menghindari tatapan itu, mendongak menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi.

"Mengapa Kino sampai begitu, Rid?" desak Rima. Ridwan menunduk, memainkan kerikil
dengan ujung sepatunya. Itu pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Ia sendiri tidak
tahu jawabnya. Kata orang, begitulah kalau cinta telah melanda kalbu. Tetapi, apa
itu cinta, Ridwan tak pernah bisa memahaminya lebih jauh. Terlebih lagi, mengapa
orang bisa begitu mencintai seseorang, sampai berani mengambil risiko besar? Ah,
itulah justru misteri yang selama ini tak pernah ia bisa pecahkan.

Terdengar langkah orang mendekat. Mereka berdua menengok; rupanya Tigor yang
datang dengan dahi berkernyit serius.

"Gila betul si Kino itu!" ucap pemuda itu dengan logat daerahnya yang kental.

"Ada apa?" tanya Rima dan Ridwan berbarengan.

"Aku lihat tadi dia bersama perempuan itu lagi, naik mobil ke arah selatan," kata
Tigor sambil menghenyakkan pantatnya, duduk di sebelah Ridwan.

"Kenapa kau bisa bertemu mereka?" tanya Rima, sementara Ridwan membisu. Pikiran
pemuda ini berkecamuk hebat, karena sebetulnya ia sudah mendengar selentingan kabar
bahwa salah seorang penjaga dan perawat villa milik Tris sudah tahu tingkah tuan
putrinya itu.

"Aku iseng ingin ke tempat kostnya, pagi-pagi sekali," kata Tigor, "Tapi, baru aku
sampai di tikungan menjelang jalan ke sana, aku lihat di kejauhan si Kino naik ke
mobil putih itu. Aku kebut lah, motorku. Kukejar mereka, tapi tak aku salip.."

"Apakah Kino melihatmu?" Ridwan membuka mulut juga akhirnya. Tigor menggeleng.
Rima menghembuskan nafas kuat-kuat. Lalu ketiganya terdiam, sibuk dengan pikiran
masing-masing.
"Baiklah aku ceritakan saja siapa perempuan itu..," kata Ridwan akhirnya sambil
memperbaiki letak duduk. Segera saja Rima dan Tigor menengok dan menatap pemuda itu
dengan seksama. Rima duduk di sebelah kiri, sehingga kini Ridwan terapit oleh dua
sahabatnya. Kalau ada orang melihat dari kejauhan, niscaya mereka melihat
pemandangan indah: tiga sahabat muda bercakap-cakap serius seksama, di bawah
teduhnya pohon asam yang rindang, di tengah siang yang terik.

Tentu orang lain tak tahu, bahwa yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang sangat
menggelisahkan. Berkali-kali terlihat Rima menghela dan menghembuskan nafas
panjang. Tigor juga kelihatan gelisah, mengusap-usap rambutnya yang keriting
berkali-kali; seakan-akan dirambutnya itu ada sesuatu yang harus disingkirkan jauh-
jauh. Apa yang diceritakan oleh Ridwan membuat Rima dan Tigor terkesima. Terutama
ketika akhirnya Ridwan menceritakan pula gosip yang kini sudah tersebar di keluarga
Tris, akibat cerita mulut ke mulut di kalangan penjaga dan perawat villa.

*******

Sementara itu, di saat yang sama, tetapi puluhan kilometer jauhnya dari tempat
ketiga sahabat itu berbincang-bincang, Kino sedang tenggelam dalam lautan birahi.
Tubuhnya yang penuh vitalitas muda itu berkeringat, bergerak naik turun dengan
ganas di atas tubuh putih mulus yang menggelinjang-gelinjang penuh gairah. Suara
desah bercampur erangan dan rintihan memenuhi kamar yang luas di villa asmara itu.
Derit dan derik ranjang ikut meningkahi, menambah semarak dan seronok suasana. Dua
buah bantal tampak berserakan di lantai, di atas beberapa helai pakaian yang
tampaknya dibuka tergesa-gesa dan dilemparkan begitu saja oleh pemiliknya.

"Oooh, Kino... lebih cepat lagi... ooooh...," Trista terdengar mendesah merintih,
sambil melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu, menarik kepala Kino lebih
tenggelam lagi di lekuk-liku pangkal lehernya.

Wanita yang bertubuh padat dan seksi ini terlihat memejamkan matanya menikmati
persetubuhan yang menggelora itu. Keringat telah tampak pula di tubuhnya yang
mulus, terutama di lehernya yang jenjang itu,.. di dadanya yang terhenyak oleh dada
Kino.., di bahunya yang melengkung indah itu,.. di punggungnya yang melenting
menggeliat tinggi di atas kasur,.. di bokongnya yang padat dan tak hentinya
bergerak-bergetar gelisah ..

"Mmmh... yaaa...mmmh..," Kino cuma bisa mengerang sambil terus menciumi leher Tris
yang sudah basah oleh keringat.

Otot-otot di tubuh pemuda ini sedang berjuang keras memenuhi tuntutan birahi
pemiliknya dan perempuan yang sedang disetubuhinya. Ia seperti berenang-renang di
lautan liat kenyal yang hangat dan berdegup-berdenyut. Seperti tenggelam dalam
sponge dan jelly raksasa yang selalu bergerak-gerak liar. Seperti terperangkap oleh
otot halus tapi kuat yang erat mencekal sepanjang batang tegang tegak kelaki-
lakiannya.

"Aaaah... ," Trista mengerang, mengangkat tinggi-tinggi kedua kakinya, memeluk


tubuh pemuda itu.

Wanita itu merasakan hujaman tikaman kejantanan Kino semakin lama semakin terasa
nikmat, memenuhi seluruh rongga kewanitaannya yang berdenyut-denyut liar di bawah
sana. Hujaman itu juga semakin dalam, mendesak jauh sampai ke langit-langit paling
belakang dari liang licin yang bagai berdecap-decap ikut menikmati perjalanan
asmara yang membara Ini adalah untuk kesekian kalinya ia mendaki puncak asmara.
Sudah tiga kali tadi ia menggelepar-gelepar menikmati orgasmenya.... betul-betul
hebat percumbuan mereka.
Belum pernah sepanjang masa perkawinannya Trista mengalami kenikmatan hubungan
badan yang begini memabukkan. Kino tadi menyetubuhinya di lantai, memberikan dua
orgasme yang datang cepat bagai angin taifun. Lalu pemuda itu mengangkatnya ke
ranjang, dan memberikan satu lagi orgasme susulan yang bagai merupakan penjumlahan
dari dua orgasme sebelumnya.

Kino menghujam-hujamkan kejantanannya dengan bergairah. Oh, sudah beberapa kali


ini mereka bercumbu, dan Kino benar-benar ketagihan dibuatnya. Tidak saja ia
menikmati birahi badani, tetapi ia juga merasa sangat berbahagia bisa membuat
bidadari pujaannya mengerang-erang nikmat. Bagi Kino, baru kali inilah hubungan
seksual mempunyai makna yang lebih daripada sekedar ejakulasi. Setiap kali mereka
berhubungan, Kino merasa mempunyai kesempatan untuk memberikan kebahagian sebesar-
besarnya kepada wanita yang telah menyita seluruh perhatiannya ini. Sebagai pemuda
desa yang tak berpenghasilan, hanya itulah yang bisa ia berikan kepada Trista.

Kino juga tiba-tiba menjadi semakin ahli dalam bercumbu, padahal tidak ada yang
mengajarinya, kecuali dulu Mba Rien yang memperkenalkannya pada misteri seksual
wanita. Dengan hanya mengikuti instingnya, Kino melayani gairah birahi Tris yang
ternyata juga sangat berkobar-kobar itu. Setiap permintaan Tris dipenuhinya, bahkan
kalaupun ia tidak mengerti apa permintaan itu pada mulanya.

Seperti tadi, ketika mereka baru memulai percumbuan di sofa di kamar tengah, Tris
meminta Kino menciumi perutnya. Sambil tertawa manja, perempuan itu menuntun kepala
Kino ke tempat-tempat yang disukainya. Mula-mula Kino menciumi belahan atas perut
itu, sedikit di bawah dua bukit payudaranya yang menjulang indah. Hmmm... harum dan
halus mulus kulit perut Trista, membuat pemuda ini bersenang hati berlama-lama
menciumnya. Entah kenapa ia sejenak berhayal bisa masuk ke dalam perut yang tampak
lembut bergetar itu.., mungkinkah ia bisa mencelup kedalam rahim wanita yang selalu
menggugah kalbunya itu.., bisakah ia bernafas di dalam rongga hangat di sana?

Lalu Trista mengerang pelan, berbisik, "..agak ke bawah lagi, Kino...", dan pemuda
itu pun menurutinya, menciumi pusar-nya yang bagai sebuah noktah malu-malu
bersembunyi di cekungan perut Trista. Secara instingtif, Kino mengeluarkan
lidahnya, menjilati liang pusar itu ..... membuat pemiliknya menggelinjang sambil
menjerit kecil, " aww.. geli, Kino..".

Tentu saja Kino tak peduli pada protes tak bermakna itu. Ia terus menjilat. Trista
terus mengerang dan memprotes. Permukaan perutnya naik dan turun semakin kuat,
seperti lautan yang bergelombang oleh gempa tektonis di dasarnya. Dan Kino seperti
perahu nelayan yang sukarela diayun-ayun gelombang itu. Naik, turun.., naik,
turun,.. naik, turun.. Lama sekali rasanya, membuai-buai, berulang-ulang.

Lalu Kino semakin turun lagi, bagai ditarik sebuah kekuatan magnit.

Mulut dan hidungnya menyusur ke bawah, bagai dituntun sebuah tali ajaib yang tak
terlihat mata. Trista mendesah, memejamkan matanya kuat-kuat bagai sedang menunggu
sebuah kejadian yang tak terduga. Bagai seorang pesakitan yang sedang menanti
keputusan hukuman. Bagai seorang mahasiswa yang berdebar menunggu ganjaran. Kedua
tangannya tak lagi berada di kepala Kino, melainkan mencengkram kain sofa kuat-
kuat. Oh,... akankah ia melakukannya? Hatinya bertanya, sekaligus berharap. Seperti
apakah nanti rasanya.., Trista belum pernah merasa setegang dan seberdebar ini
sepanjang hidupnya.

Lalu Kino sampai di daerah itu .... sebuah segitiga kehitaman yang memagari sebuah
wilayah hangat yang merekah bagai bunga di musim semi.

Aroma birahi memenuhi penciumannya, dan Kino bagai takjub memandang milik paling
pribadi dari bidadari pujaannya. Dekat sekali ia bisa memandang lembah basah yang
terlihat membuka bagai mengundangnya untuk datang lebih dekat. Ada lepitan dan
bukit-bukit kecil yang tampak empuk menyembunyikan sebuah tonjolan memerah-muda
yang bagai mengintip dari tempat persemaiannya. Segalanya yang terlihat Kino dari
dekat itu seperti memiliki kekuatan magis, menarik mukanya untuk lebih mendekat
lagi .... Lebih dekat lagi.... Dan lagi.

"Aaah!" terdengar Tris mendesah pendek dan keras.

Sebuah serbuan kenikmatan yang tiada tara menyengat kesadarannya, membuatnya


seperti dilemparkan tinggi-tinggi ke angkasa kenikmatan. Lidah Kino menyentuh titik
tersembunyi yang selama ini menjadi sumber birahinya!

Lalu Kino semakin bergairah, menggunakan lidah, bibir, hidung, mulut dan seluruh
mukanya untuk menjelajahi lembah asmara yang kini terbuka lebar itu. Tris
mengangkangkan pahanya, memberikan keleluasaan kepada pemuda itu. Tubuhnya
menggeletar hebat, tetapi ia berusaha keras agar tetap berada di atas sofa,
mencengkram pinggiran sofa kuat-kuat dengan kedua tangannya. Selama tak kurang dari
15 menit Kino memberinya kenikmatan luar biasa dengan permainan yang sangat pribadi
dan sangat alami itu. Betapa panjangnya tali kenikmatan yang teruntai darinya!

Lalu Tris tak tahan lagi. Ia menarik tubuh Kino sekuat tenaga agar pemuda itu
menindihnya di atas sofa. Tetapi lalu mereka malah jatuh berdua ke lantai yang
tertutup karpet tebal. Dan tanpa basa-basi, keduanya langsung memulai hubungan
badan dan berderap bersama menuju puncak asmara. Trista langsung memperoleh hadiah
orgasmenya yang pertama dari percumbuan itu.

Kini, perempuan itu kembali menuju puncak asmara di atas ranjang yang sudah tak
karuan bentuknya. Kino menegakkan tubuhnya, bertelektekan dengan kedua tangannya
yang kokoh bagai sedang bersiap untuk push-up. Trista mengangkat kedua kakinya
lebih tinggi lagi, menyangkutkannya di bahu pemuda itu, sehingga pantatnya
terangkat dari permukaan kasur dan kewanitaannya semakin terkuak siap menerima
serbuan batang keras pejal kenyal yang terus-menerus keluar-masuk tak kenal lelah.

"Kino... ooooh... aku.... ooooh," Trista mengerang tidak karuan, " tak tahan...
oooh.. lagi... ooooh..."

Pemuda itu tak menjawab. Ia sendiri sedang sibuk mengendalikan dirinya, berusaha
agar serbuan kenikmatan yang kini memenuhi tubuhnya tidak tumpah ruah tak
terkendali. Ia mengatupkan kedua rahangnya erat-erat, berkonsentrasi penuh
menggenjot tubuh bagian bawahnya. Sesekali ia mendesis merasakan kegelian-
kenikmatan meluncur menuju ujung kejantanannya, dan ia pun berhenti sejenak kalau
sudah demikian, agar tak terlanjur lepas dalam pancuran ejakulasi. Tetapi, tentu
saja ia tak bisa terus menerus bertahan. Apalagi kemudian Trista mengalami orgasme
ketiganya yang sangat intens. Ia menggeliat dan mengerang panjang, sementara liang
kewanitaannya berkontraksi dalam denyut yang kuat dan liar.

Kino merasakan kejantanannya bagai diremas-remas sebuah otot halus liat dan
hangat. Ia tak tahan lagi. Cepat-cepat ia mengeluar-masukkan batang pejal kenyal
itu sekuat tenaga. Menghujam-menikam sedalam mungkin. Mendorong-mendesak sekeras
mungkin. Semakin lama semakin cepat... semakin cepat.... semakin cepat... semakin
cepat ....

"Oooooh... ohhhh.... ohhhh', jeritan-jeritan Trista semakin lama semakin keras


dalam interval yang semakin pendek.

"Aaaaah!" Kino mengerang keras tak sanggup lagi menahan jebolnya tanggul
pertahanan, .... membiarkan cairan cintanya yang hangat dan kental menyerbu keluar,
.... meluncur pesat di sepanjang buluh daging yang sudah menegang maksimal
itu, .... memuncrat dengan kuat memenuhi kewanitaan Tris.
"Oooooooooh!' Tris menjerit panjang dan lepas, melentingkan tubuhnya bagai sedang
menerima tikaman panjang yang mematikan.

Seluruh tubuhnya bergetar berguncang hebat, membuat tubuh Kino yang berada di
atasnya ikut terlonjak-lonjak.

******

"Kita harus memberinya peringatan!" sergah Tigor sambil mengepalkan tinju.

"Aku sudah melakukannya berkali-kali!" sergah Ridwan sambil menahan geram.

"Kita coba lagi!" seru Rima sambil bangkit dan mengguncang lengan Ridwan.

"Kita cari dia sekarang!" seru Tigor sambil bangkit pula dan ikut-ikutan
mengguncang lengan Ridwan. Pemuda itu bagai sebuah pohon lunglai diguncang kekiri
dan kekanan oleh dua sahabatnya. Rambutnya yang agak gondrong jadi terurai-urai
menutupi sebagian mukanya.

"Sudah... sudah... kenapa aku yang kalian guncang-guncang!" sergah pemuda itu
sambil menepis tangan Rima dan Tigor.

"Ayo kita ke villa itu. Mereka pasti di sana!" seru Tigor sambil melepaskan
cengkramannya dari lengan Ridwan.

"Untuk apa kita ke sana?" tanya Ridwan sengit. Ia masih merasa tidak wajar jika
harus ikut campur sejauh itu. Walau bagaimana pun, diam-diam Ridwan mengakui bahwa
Kino punya segala hak untuk jatuh cinta, terlepas dari kenyataan bahwa wanita yang
dicintainya adalah istri orang lain.

"Kita bisa mengajaknya bercakap-cakap. Menyadarkan risikonya, Rid!" ucap Rima


dengan suara tinggi. Gadis ini sungguh kuatir mendengar cerita Ridwan tentang gosip
hubungan Kino ke telinga keluarga Tris. Bagaimana kalau suaminya marah dan kalap?

"Dia sudah tahu risiko itu!" sahut Ridwan dengan suara yang juga meninggi.

"Goblok sekali dia!" sergah Tigor sambil menendang sebuah batu kecil. Batu itu
terlontar cukup tinggi, jatuh bergelindingan di trotoar dan membentur kaki seorang
mahasiswa. Sesaat mahasiswa itu mengangkat kepalanya, mencari sumber gangguan.
Tetapi ketika pandangannya bertumbuk dengan sepasang mata Tigor yang garang,
mahasiswa itu cepat-cepat berlalu tanpa basa-basi.

"Memang!" sahut Ridwan dengan tak kalah geram, "Goblok dan nekad!"

"Ayolah kita ke sana," Rima merajuk sambil menarik tangan Ridwan.

"Ayolah!" ucap Tigor memberi dukungan.

Ridwan menatap kedua sahabatnya. Ia melihat bayang-bayang kesungguhan di muka


mereka. Terlebih lagi di muka Rima, yang juga dipenuhi warna kekuatiran. Ridwan
menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Ia tidak punya alasan
lagi untuk menolak ajakan mereka.

"Ayolah...," ucapnya lemah, lalu mulai melangkah gontai menuju tempat parkir.

Tak lama kemudian, VW merah berisi tiga sahabat itu terlihat meluncur meninggalkan
kampus menuju selatan.

******
Suara burung berkicau terdengar jelas dari dalam kamar tempat Kino dan Tris
tergeletak lunglai. Hari sudah menjelang sore, dan burung-burung tampaknya baru
tiba kembali setelah seharian tadi berkelana mencari makan. Alam tampak ramah,
menyembunyikan sinar terik mentari di balik awan tebal, tetapi tidak memberikan
hujan. Angin berhembus sejuk sepoi-sepoi membelai dedaunan yang tampak bergerak
pelan seperti orang-orang yang sedang bermalasan.

Tris merebahkan kepalanya dengan manja di dada Kino yang masih lembab oleh
keringat. Ia memejamkan mata, menikmati sisa-sisa amukan badai birahi yang
berputar-berkecamuk di seluruh tubuhnya. Sendi-sendinya terasa pegal tetapi juga
nikmat. Pinggangnya terasa sakit tetapi juga nikmat. Kewanitaannya terasa sedikit
perih tetapi juga nikmat. Ah, betapa banyak ironi di tubuhnya, betapa banyak
ketidak-setaraan di badannya.

Kino sejenak terlena, membiarkan kantuk memenuhi kepalanya. Tubuhnya terasa letih
seperti seorang petani yang mencangkul seharian.Badannya terasa ringan melayang-
layang. Seluruh isi tubuhnya seakan keluar tumpah ruah bersama puncak asmaranya.
Kini ia bagai wadah kosong yang terapung dalam lautan luas tak berbatas. Sebagai
ganti isi tubuhnya, sebuah perasaan hangat dan indah kini bermunculan. Mungkin
inilah pengejawantahan kebahagian badaniah yang berjalinan dengan ketulusan cinta.

"Capek?" bisik Tris melihat kedua kelopak mata pemuda itu perlahan membuka.

"Hmm..," Kino menggumam, meraih rambut bidadarinya yang tergerai menutupi sebagian
mukanya. Rasa sayang memenuhi dada pemuda ini. Perlahan dan lembut ia membelai
kepala yang tergeletak lunglai di dadanya itu.

Trista memejamkan matanya, membiarkan usapan pemuda itu membiaskan kelembutan


keseluruh tubuhnya. Semakin lama semakin jelas bagi wanita ini, betapa berbedanya
sebuah persetubuhan yang disertai rasa sayang. Betapa dingin dan hambarnya
persebadanan yang selama ini ia alami bersama suaminya. Tak ada pembukaan yang
bergelora, karena lelaki itu serba tergesa. Tak ada penutup yang penuh kemanjaan
seperti ini, karena lelaki itu segera meringkuk tidur meninggalkan dirinya
terlentang dengan tubuh bagai sehabis dirajam. Dengan Kino, segalanya serba nikmat
dan berkepanjangan. Pemuda ini benar-benar maestro cinta baginya.

Tiba-tiba mereka tertawa berdua, karena perut Kino berkeriuk keras tanda lapar.
Sejak tiba siang tadi, mereka tak ingat makan. Sejak dalam perjalanan mereka sudah
dipenuhi hasrat untuk bersebadan. Tak sempat lagi mereka memikirkan makanan atau
minuman.

"Aku bikin spaghetti, ya!?" ucap Tris sambil bangkit dalam keadaan tetap
telanjang.

Kino tetap berbaring, memandang kagum ke tubuh bidadari di hadapannya. Sempurna


dan tanpa cela. Cantik molek dan mengagumkan sekali wanita ini, pikir Kino sambil
menjelajahi seluruh lekuk liku tubuh Tris yang sengaja berlambat-lambat mengenakan
rok dan bajunya. Wanita ini tahu Kino sedang memandanginya. Ia suka sekali
dipandangi seperti itu, seperti dipuja-puji lewat sorot matanya yang hangat
bergairah dan tulus terbuka itu. Ia suka sekali!

"Perlu bantuan?" tanya Kino sambil mulai bangkit.

"Nggak!" sergah Tris, "Kamu nanti malah bikin kacau.."

Kino tersenyum. Pasti ia akan membikin kacau. Ia tak pernah bisa menahan diri
untuk tidak menciumi wanita pujaannya itu kalau mereka sedang berduaan. Maka ia
kembali berbaring, memandang bidadarinya menghilang dari pandangan.
Baru saja Tris lenyap di balik pintu, sebuah tuter mobil yang sangat dikenal Kino
membuat pemuda ini terlonjak bagai tersengat kala jengking. Astaga, apakah itu
temanku? Ujarnya gelisah sambil bangkit menuju jendela yang menghadap halaman
depan. Posisi rumah yang agak tinggi dari halaman menyebabkan Kino leluasa melihat
siapa saja yang mendekati villa ini dari jalan raya. Dan apa yang dilihat Kino
membuat pemuda ini terkesiap.

"Siapa itu, Kino?" seru Tris dari arah dapur karena ia juga mendengar suara tuter
mobil berkali-kali.

Kino tidak menjawab. Ia bergegas mengenakan celana dalam dan jeans-nya. Terburu-
buru memakai t-shirt dan berlari keluar tanpa alas kaki. Jantungnya berdegup
kencang. Benaknya dipenuhi pertanyaan.

"Kino?" teriak Tris lagi dari dapur, kini dengan nada heran karena ia dengar
pemuda itu tergesa-gesa menuju ruang tamu.

Setelah dua kali memanggil tanpa mendapat jawaban, wanita itu pun keluar dari
dapur setelah memastikan oven menyala memanasi spaghetti yang sudah siap sejak pagi
tadi.

Tris mengintip dari balik gorden ruang tamu. Di halaman villa ia melihat Kino
bertolak pinggang. Di depan pemuda ini ada tiga remaja yang tak dikenalnya. Siapa
mereka? Tanya Tris dalam hati. Dan mengapa suasananya begitu tegang.

Salah seorang dari remaja pria itu tampak menunjuk-nunjuk muka Kino dan berbicara
seperti orang marah, tetapi dengan suara tertahan. Dari tempatnya berdiri, Trista
tidak bisa mendengar percakapan mereka. Tetapi dari wajah-wajah mereka, wanita ini
bisa menduga bahwa ada ketidak-beresan di luar sana. Maka setelah merapikan rambut
dan bajunya, Trista membuka pintu dan melangkah keluar.

Tigor yang pertama kali melihat wanita itu melangkah keluar seperti seekor burung
merak keluar dari sarangnya. Ia menyikut Rima yang berdiri di sebelahnya, dan gadis
itu menoleh ke arah pintu ruang tamu. Mulut Rima segera membuka, sedikit menganga
melihat seorang wanita dengan muka seperti bersinar cerah dan senyum ramah yang
seakan-akan diciptakan oleh mentari pagi. Gadis itu tidak sanggup berkata apa-apa.

Ridwan mengalihkan pandangannya dari Kino, seperti Rima ia juga terdiam melihat
Trista melangkah mendekat. Dalam hati ia mengutuk-ngutuk, kenapa mau dibujuk datang
kemari. Sekarang, dekat sekali di hadapannya wanita kontroversial itu menunjukkan
kecemerlangan dan keindahan sejati. Bagaimana tiga cecunguk ingusan yang tak punya
alasan jelas bisa berhadapan dengan dewi khayangan yang turun ke bumi lengkap
dengan segala asesorisnya ini? Ridwan mengeluh dalam hati berkali-kali, mengapa
tiba-tiba hidupnya jadi rumit begini.

Tigor hendak membuka mulutnya, tetapi tidak jadi. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Beberapa kali pemuda yang lebih menggemari motor daripada wanita ini melihat Trista
dari kejauhan. Belum pernah ia melihat dari sedekat ini, dan ... wah-wah-wah, belum
pernah ia melihat wanita sedemikian menggairahkannya. Senyumnya memikat, dengan
lesung pipit samar-samar di pipi kanannya. Tetapi yang lebih mematikan kalbu adalah
sorot matanya yang mungkin terbuat dari intan 24 karat: bening dan tajam. Lalu,
sinar mukanya begitu kentara memancar dari wajah yang sebetulnya terlihat agak
memerah seperti seseorang yang habis berolahraga pagi. Olahraga apa gerangan di
sore ini? Tanya Tigor dalam hati, dan segera menemukan sebuah jawaban sendiri yang
membuatnya gelisah sendiri pula!

Kino menunduk, membiarkan Tris memeluk lengannya. Kini dua pasang manusia
berhadapan dengan tiga remaja yang diam terpaku. Aneh sekali pemandangan di sore
yang cerah itu, sementara langit mulai menata diri untuk menyambut lembayung senja.
Halaman villa tampak seperti sebuah panggung berwarna hijau berpagar tanaman bunga
yang semarak. Lima aktor dan artis berdiri di tengah panggung itu, seperti sedang
canggung memulai sebuah babak sandiwara kehidupan.

"Halo..," akhirnya Tris membuka suara, perlahan tetapi jelas terdengar oleh semua
yang hadir.

Tigor pertama kali bereaksi dengan bergumam lalu tersenyum kaku sambil melipat
kedua tangan di depan dadanya. Ridwan tidak menyahut, tetapi berdehem karena tiba-
tiba merasa ada segumpal dahak menyedak di tenggorokannya.

"Selamat sore..," Rima berucap pelan, merasa tidak enak kalau tidak berkata apa-
apa dan mengutuk-ngutuk di dalam hati mengapa dua remaja pria di sampingnya tiba-
tiba berubah menjadi kerupuk gosong!

"Teman-teman mu?" tanya Tris sambil menggoyang pelan lengan Kino dan menatap muka
pemuda itu. Rima menelan ludah. Duh, mesra sekali cara wanita itu memeluk lengan
Kino dan memandangnya.

Kino menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya keras-keras sambil berkata


pendek, "Ya! Teman-temanku..,"

"Kenapa tidak diajak masuk?" ucap Tris ramah sambil mengalihkan pandangan kepada
ketiga tamu yang tak diundang itu satu persatu.

Tigor melengos, pura-pura memandang kupu-kupu yang banyak sekali berkeliaran di


halaman villa. Ridwan tersenyum kikuk dan mengubah-ubah letak berdirinya dengan
gelisah.

"Uh.., eh..kami cuma kebetulan lewat..," ucap Rima, lagi-lagi merasa sial ditemani
bujangan-bujangan yang seperti anak ayam berhadapan dengan elang.

"Oh, ya?!" ucap Tris sambil membelalakan matanya, mengungkapkan keterkejutan yang
sesungguhnya (kalau teman-teman Kino punya villa di dekat sini..., wah!).

"Umm.. ya, kami... umm.. sedang berjalan-jalan," kata Rima sambil menyikut Tigor,
sementara yang disikut malah berdiri menjauh.

Trista tersenyum. Dalam hati wanita ini sebenarnya gelisah. Ia tidak tahu apa yang
terjadi di antara empat remaja ini. Tetapi nalurinya mengatakan bahwa teman-teman
Kino ini datang kemari untuk berurusan dengan pemuda kesayangannya itu. Dan
instingnya tidak pernah salah, kalau sudah tentang Kino ia pasti benar!

"Ayolah mampir sebentar..," bujuk Trista, lalu kepada Kino, "Ayo, Kino.. ajak
teman-temanmu masuk. Ada cukup banyak spaghetti untuk kita semua!"

"Tidak!" akhirnya Ridwan berucap. Semua orang menengok kepadanya, seakan-akan baru
sadar bahwa pemuda itu bukan patung melainkan mahluk hidup.

Kino menghembuskan nafas lega. Ia tidak ingin teman-temannya tinggal lebih lama.
Ia masih diam saja, tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak Trista hadir di antara
mereka. Ia juga marah sekali, mengapa teman-temannya datang kemari dan ikut campur
urusan pribadinya. Terlebih-lebih lagi, Kino juga malu karena dalam hati kecilnya
ia tahu bahwa ketiga sahabat di depannya ini bermaksud baik. Tetapi kenapa musti ke
sini? Kenapa seperti sedang mengintai dan berusaha memergokinya?

"Kami segera pulang..," ucap Rima kikuk, melangkah mundur perlahan menjauhi Kino
dan Trista.
"Ya. Selamat sore..," kata Tigor sambil langsung berbalik mengikuti langkah Rima.

"Sampai jumpa..," kata Ridwan sambil melambai dan berbalik mengikuti langkah
Tigor.

Kino diam saja, memandang tiga temannya beriringan seperti serdadu pulang dari
medan perang. Trista ikut diam, memeluk erat lengan pemuda itu, merasakan
ketegangan menyelimuti mereka berdua. Langit sudah mulai menampakkan semburat
merah. Sebentar lagi senja tiba. Angin berhembus semakin dingin. Trista bergidik,
merasakan tiba-tiba kulitnya meremang.

Peristiwa kunjungan pendadakan para sahabat ke villa tempat Kino memadu kasih
dengan Tris ternyata berbuntut panjang. Pertengkaran pun meruncing, karena ini
adalah pertengkaran antar hati: antara tiga orang yang peduli dan seorang yang
sedang mabuk cinta. Sebenarnya pula, ini adalah perbenturan antara dua bentuk
cinta; antara kesetiaan teman dengan ketotal-kepenyerahan kasih dua sejoli.

Manakah yang menang ... manakah yangpatut menang?

"Kamu benar-benar telah buta! Telah tuli!" jerit Rima di depan Kino yang berdiri
tegak dengan kedua tangan terkepal dan muka merah padam.

Mereka saling berhadapan bagai dua banteng yang siap beradu tanduk. Suara Rima
melengking mengalahkan gemerisik daun pepohonan yang sedang dilanda badai siang
itu. Alam memang seperti menjadi musik latarbelakang, menambah drama ke tengah
pertengkaran mereka di pinggir lapangan basket yang sedang sepi. Mahasiswa lain
masih berada di kelas. Mereka berdua sengaja meninggalkan kelas untuk urusan
genting ini. Sudah hampir 10 menit keduanya bersitegang.

"Kamu tak berhak ikut campur!" sentak Kino tak kalah keras.

Rambutnya yang gondrong sebagian menutupi mukanya, sedikit menyembunyikan kedua


matanya yang bersinar galak. Rima sebenarnya sempat bergidik melihat sinar itu,
yang bagai sorot seekor naga yang luka. Begitu galak!

"Aku tak ikut campur!" sergah Rima yang rambutnya juga berkibaran, "Aku hanya
ingin mengingatkanmu, Kino... kamu bermain api dengan istri orang!"

"Ia tidak pernah benar-benar menjadi istri!" sahut Kino dengan nafas terengah-
engah menahan amarah yang meledak-ledak.

"Itu cuma interpretasimu. Cuma pembelaan, ... Cuma pembenaran atas kesalahan! Kamu
sudah terlalu jauh melangkah!" jerit Rima sambil menyibak rambut dari depan
matanya.

Tetapi angin kembali menerpa dan membuat separuh matanya tertutup lagi. Repot
sekali gadis itu merapikan rambut sambil beradu argumentasi dengan seorang yang
hatinya sedang mengeras seperti batu....

"Tidak!... Itu kenyataan!" sahut Kino sengit membela diri, "Dan adalah kenyataan
pula bahwa aku mencintainya. Kamu tidak berhak mengatakan apa-apa tentang yang satu
ini!"

"Tetapi cinta mu itu membuat aku muak!" jerit Rima, dan sesungguhnyalah gadis itu
merasakan sedikit mual sejak pertengkaran dengan Kino ini dimulai.
Kino menahan nafas karena sangat marah. Bukan main marahnya ia mendengar kata
"memuakkan" itu. Tidak pernah ia merasa begitu terhina karena seorang mengatakan
cintanya sebagai yang memuakkan. Begitu rendahkah nilai cintaku sehingga gadis di
depanku ini merasa muak? teriak hatinya dengan geram ... dan entah bagaimana
mulainya, tangan kanan Kino tahu-tahu sudah melayang.

Plak!... kepala Rima bagai disentak ke kanan oleh sebuah tali yang tak kasat mata.
Pipinya langsung memerah, dan gadis tomboy yang pernah menaklukkan dua puncak
gunung ini pun terluka di hatinya.

Dengan mata basah oleh air mata, Rima mendesis, "Jahat!.... Kamu jahat!"

Kino terdiam dengan badan bergetar keras. Gerahamnya beradu kuat menimbulkan suara
berkeriut. Otot-otot di seluruh tubuhnya menegang dan berguncang. Jantungnya
berpacu keras. Kepalanya terasa hendak meledak.

"Teganya kamu...!" jerit Rima langsung disusul tangisnya.

Lalu gadis itu berbalik dan lari menjauhi Kino yang cuma bisa berdiri mematung dan
menunduk memandang bumi. Rasanya bumi berputar lebih cepat, dan bukan dengan arah
yang teratur. Rasanya bumi melonjak-lonjak, berpusing-pusing ke segala arah. Kino
limbung, lalu jatuh berlutut sambil menjambak rambutnya sendiri. Apa yang telah
kulakukan? jeritnya dalam hati dengan kegalauan yang memuncak.

Suara motor meraung mendekat dengan cepat. Tigor tiba sangat terlambat. Pemuda itu
kebingungan melihat Rima lari ke arah kampus dan Kino berlutut di tanah sambil
menjambak rambutnya sendiri seperti seorang pesakitan yang menunggu hukuman
pancung. Sejenak Tigor bimbang, ke mana harus menuju. Tetapi lalu ia mengambil
keputusan, memacu motornya menyebrangi lapangan basket mengejar Rima.

Rima mendengar suara motor yang mengejarnya, dan ia tahu siapa yang di atas sadel.
Gadis itu berhenti berlari, mendekap mukanya, dan melanjutkan tangisnya. Tigor
menghentikan motornya. Mematikan mesin dan melepaskannya begitu saja sehingga
barang besi itu tergeletak di rumput dengan suara berdebum.

"Ada apa Rima?" tanya Tigor sambil mendekap bahu sahabatnya.

"Dia .... dia ...," Rima tak sanggup berkata-kata di tengah sedu sedan yang
membuat seluruh tubuhnya berguncang.

"Apa yang dilakukannya?" sergah Tigor, mempererat pelukan di bahu sahabatnya.


Gadis di pelukannya terus menangis tersedu.

"Dia menamparku," ucap Rima akhirnya sambil balas memeluk sahabatnya dan
meneruskan tangis di dada pemuda itu.

"Kurang ajar!" desis Tigor dengan geram.

Ia menoleh ke arah Kino, melihat pemuda itu masih dalam posisi semula. Hatinya
mendidih, dan sambil melepaskan pelukan Rima, ia mengepalkan tinjunya. Kalau Kino
mau bertinju, seharusnya ia memilih lawan yang sesuai, sergah hati Tigor. Dengan
cepat ia melangkah ke arah Kino, tetapi tangan Rima lebih cepat lagi meraih
lengannya ... menahan langkahnya.

"Jangan..," desah Rima dengan suara lirih. Gadis itu tak ingin ada pertengkaran
lebih lanjut.

"Tetapi dia menamparmu, Rima..," ucap Tigor keras.


Gerahamnya bergemeletuk menahan marah. Pemuda ini paling tidak suka melihat
seorang wanita ditampar. Itu perbuatan sangat pengecut baginya.

"Dia sudah gila..," desah Rima lagi sambil sekuat tenaga menahan Tigor.

Pemuda itu akhirnya mengalah. Ia berhenti melangkah setelah sempat menyeret Rima
dua langkah. Benar-benar gila! ucapnya dalam hati. Kino sudah gila!

*****

Brak! ... meja kantin terjungkal ditendang oleh Ridwan. Mangkok bakso yang ada di
atasnya bergelimpangan, ... untung tidak pecah karena sempat membentur kursi
sehingga laju jatuhnya agak berkurang. Kuah dan baksonya tumpah ruah, sebagian
membasahi celana seorang pemuda yang tadinya sedang menikmati bakso itu.

Mahasiswa yang lain tersentak kaget. Ibu gemuk penjual bakso menjerit kaget dan
mengeluarkan kata-kata aneh akibat latahnya. Beberapa mahasiswa bangkit karena
merasa terganggu, tetapi ketika mereka tahu bahwa yang sedang berang itu adalah
seorang pelatih karate bersabuk hitam, mereka pun duduk kembali. Urusan si Ridwan
adalahbukan urusan mereka...

"Bangun!" teriak Ridwan sambil menunjuk ke seorang pemuda yang duduk terdiam.

Semua orang di kantin tahu, pemuda itu bernama Kino. Mereka juga tahu, walau tidak
melatih karate, berurusan dengan pemuda itu juga bukanlah sesuatu yang dianjurkan.

Semua orang di kantin menunggu dengan tegang, apa yang akan terjadi. Ibu gemuk
tergopoh-gopoh ke luar kantin hendak mengadu ke Pak Kholil, kepala satpam kampus.
Suasana tegang memenuhi udara, seperti dalam film-film koboy, ketika dua jagoan
berhadapan dengan pistol terhunus.

Kino mengangkat mukanya, menemukan sorot tajam dua mata Ridwan yang agak memerah.
Sejenak pemuda ini terkesima dengan hati bergetar. Sorot itu penuh amarah. Tetapi
keterkesimaan itu cuma sebentar. Tak lebih dari 5 detik. Perasaan lain segera
menggantikan; perasaan marah dan tersinggung karena makan siang yang terganggu.
Terlebih-lebih lagi, harga dirinya ikut terluka...

Kino bangkit perlahan. Ridwan memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mengepal di


depan dada. Kaki kanannya kokoh di depan. Kaki kirinya sigap menyangga. Kino
melangkah meninggalkan tempat duduknya. Ridwan berputar mengikuti langkah itu.
Matanya seperti mata elang mengawasi buruannya. Keduanya berhadapan di tengah
kantin yang agak lapang. Seorang mahasiswa buru-buru menarik sebuah kursi panjang
untuk menambah lapang ruangan laga. Beberapa mahasiswa berdatangan dan menonton
dari luar. Ada bisik-bisik bertanya apa gerangan yang terjadi. Lalu pertarungan pun
di mulai....

Kino secepat kilat menendang ke arah pinggang Ridwan dengan gerakan tiba-tiba yang
membuat beberapa mahasiswa terkesiap. Tetapi Ridwan tidak ikut terkesiap. Ia tidak
mendapat sabuk hitam dengan membaca buku; ia sambut tendangan itu dengan kibasan
tangan kirinya yang kokoh. Suara dua tulang beradu membuat beberapa penonton
meringis.

Belum sempat kaki Kino turun, Ridwan menyodokkan lututnya ke arah perut pemuda
itu. Cepat-cepat Kino menggeser posisi, tetapi tidak cukup cepat sehingga
pinggangnya terserempet lutut yang meluncur seperti peluru itu. Kekuatan tendangan
Ridwan menyebabkan Kino terhuyung, walau cuma terserempet. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh lawannya, dan ...plak ! .. tinju Ridwan mendarat di rahang kiri
Kino. Untung bagi Kino ia sempat mengantisipasi pukulan itu dengan memiringkan
kepalanya, sehingga walau pukulan itu tepat di sasaran, dampaknya tidak terlalu
kuat.

Cepat-cepat Kino mundur mengatur posisinya yang terdesak. Ridwan mengejar,


berusaha memanfaatkan kelemahan lawannya. Tangan kirinya melayang ke arah dada
musuh. Kino menepis dengan tangan kanan, tetapi ia lupa bahwa dalam karate sebuah
pukulan belum tentu bermaksud mendarat di tubuh lawan. Tepisan tangan Kino membuat
pertahanannya agak terbuka, sehingga .... duk! ... tendangan kanan lawannya
mendarat telak di perut. Kino pun terjengkang menerjang kursi-kursi yang sudah
ditinggalkan penghuninya. Kalau bukan Kino yang kena tendang, mungkin berakhir
sudah perkelahian ini. Perut pemuda itu cukup keras karena pemiliknya berlatihsit
up 100 kali setiap pagi.

Ridwan menyerbu ke depan, menyergap Kino yang masih bergelimpangan di lantai.


Tetapi Kino sangat gesit, berguling ke kiri. Sergapan Ridwan agak luput, namun tak
urung bahu Kino dapat diraih oleh tangan lawannya yang kokoh. Segera keduanya
bergumul dan sekali lagi Ridwan lebih gesit, melayangkan tinjunya ke arah muka Kino
....plak ! ... kena tepat di hidung pemuda itu, membuat pemiliknya meringis
kesakitan.

Terdengar langkah sepasang mahasiswa tergopoh-gopoh.

Tigor dan Rima datang karena mendengar kabar tentang perkelahian itu. Segera Tigor
memegangi kaki Ridwan, menariknya agar melepaskan pergumulan. Sementara itu Rima
berhasil meraih tangan Kino. Dengan sekuat tenaga gadis tomboy itu menarik-narik.

Beberapa mahasiswa timbul keberaniannya melihat pasangan itu berjibaku memisahkan


pertarungan dua banteng ketaton. Beramai-ramai akhirnya mereka memisahkan Ridwan
dan Kino yang masih meronta-ronta minta dilepaskan. Dua orang satpam tiba di tempat
huru-hara.

Pak Kholil, seorang tua yang berwibawa, membentak kedua pemuda yang masih ingin
melanjutkan pertengkaran itu. Suaranya yang mengguntur menyebabkan Ridwan dan Kino
tersadar, dan berhenti meronta.

Tigor memeluk Ridwan, mendorong sahabatnya menjauhi medan pertarungan. Kino


meronta dari pelukan Rima, dan gadis itu pun tak hendak mempertahankannya. Ia
menjauhi Kino yang segera dicekal oleh Pak Kholil. Ia beralih ke kubu Ridwan dan
bersama Tigor menarik pemuda itu keluar dari kantin.

"Tak perlu begitu, Rid..," bisik Rima sambil memeluk lengan sahabatnya.

Ridwan diam saja dengan nafas yang masih memburu. Tigor menengok ke arah kantin,
melihat Kino termangu diapit dua satpam. Hidung pemuda itu berdarah, dan seseorang
tampak bersimpati memberikan tisu.

Sejenak Tigor mengeluh dalam hati, ... mengapa jadi begini. Luluh rasa jiwanya
melihat Kino terluka dan sendirian di dalam sana. Tetapi ia juga sedang marah
kepada pemuda itu. Hatinya bimbang, tetapi langkahnya terus menjauhi kantin,
mengiringi langkah Ridwan dan Rima menuju lapangan parkir mobil.

Kino berdiri dengan tubuh masih bergetar, memandang ke tiga sahabatnya berjalan
menjauh. Hidungnya terasa sakit sekali. Pukulan Ridwan memang tidak bisa dianggap
main-main.

Tetapi selain sakit dan marah, sebuah perasaan lain datang menyelinap. Sebuah rasa
sepi yang menyengat melanda Kino, walau kantin masih hiruk pikuk dan Pak Kholil
masih sibuk bertanya-tanya. Tercenung pemuda ini memandang ketiga sahabatnya bagai
pergi untuk selamanya, menjauhi dirinya yang sendirian. Disekanya darah dari
hidungnya. Tiga lembar tisu sudah habis, tetapi darah masih keluar. Ibu gemuk
datang membawa es yang dibungkus lap meja; Kino menggumamkan terimakasih dan
merogoh kantong untuk membayar kerugian. Tetapi ibu gemuk mengatakan tidak ada yang
pecah, jadi cukup membayar harga bakso saja.

Lalu Kino pulang. Sendirian. Langkahnya lunglai. Hatinya gundah. Beberapa sapaan
dari mahasiswa tidak disahutinya. Kakinya bagai digantungi berkilo-kilo batu.
Hidungnya masih terasa sakit. Di kepalanya berkecamuk berbagai pikiran. Semuanya
berpangkal di satu kegelisahan: haruskah aku kehilangan sahabat-sahabat itu?

*****

Tris segera tahu apa yang terjadi. Mereka bertemu sehari setelah peristiwa di
kantin itu, karena memang ini adalah hari pertemuan mereka. Seperti biasanya Tris
menjemput Kino di depan kampus dan memarkir mobilnya agak jauh. Dari kaca spion
wanita ini telah melihat pemuda pujaannya berjalan menunduk dengan wajah muram.
Tidak biasa. Pasti ada yang tidak beres.

Begitu Kino menghenyakkan tubuhnya di kursi penumpang, Tris langsung mencengkram


tangannya yang terasa dingin bagai es. Sentuhan ini bagi Kino bagai sebuah siraman
air hangat di tubuhnya yang entah kenapa terasa sangat letih. Sedangkan bagi Tris,
sentuhan ini adalah penghubung batin yang terampuh untuk segera membuka hati dan
pikiran pemuda pujaannya.

"Ada apa?" bisik Tris lembut.

"Ceritanya panjang...," sahut Kino lemah sambil menyandarkan tubuhnya dan


menerawangkan pandangannya ke depan. Mobil belum lagi distarter.

Tris mengusap lembut pipi pemuda itu. Kino meraih tangan bidadarinya, menambah
tekanan usapannya, lalu mencium telapak tangan yang selalu bisa memberikan
keindahan dunia itu.

"Mau ke villa?" tanya Tris pelan.

Hari ini sebenarnya tidak ada rencana kemana-mana karena Ria harus dijemput
sebelum senja. Tetapi hari ini juga hari yang tak terduga, dan Tris tahu pemuda di
sampingnya ini membutuhkan suasana tenang. Masih ada waktu sebelum menjemput Ria.

"Aku mau pulang saja ke pondokan," sahut Kino seperti orang kekurangan daya.

Tris mengernyitkan keningnya. Tumben ia menolak ajakan seperti ini... bisiknya


dalam hati. Ia menghela nafas panjang. Ia tahu kekerasan hati pemuda ini. Maka ia
pun menstarter mobil, memasukkan gigi satu, dan mengarahkan mobil ke tempat kost
Kino. Sepanjang perjalanan mereka membisu, tetapi Kino terus memegangi tangan kiri
bidadarinya, seakan-akan ia takut Tris tiba-tiba hilang dari sisinya. Takut kalau
tiba-tiba bidadari itu harus segera kembali ke kahyangan karena masa tugasnya telah
habis...

Tak berapa lama mereka tiba. Tris meminggirkan mobil. Belum pernah ia berkunjung
ke tempat kost Kino, karena mereka berdua tidak ingin menimbulkan kecurigaan ibu
pemilik kost. Tetapi kali ini Tris merasa harus turun dan ikut masuk. Apa pun
risikonya.

"Jangan...," ucap Kino pelan dan lemah ketika melihat Tris bersiap turun.

Gerak Tris berhenti sejenak, tetapi lalu ia tersenyum manis dan berucap tenang,
"Aku mau numpangpipis , apakah tidak boleh?"

Melihat senyum itu,.. melihat binar sepasang mata itu,.. mendengar suaranya yang
merdu itu.., Kino langsung tak berdaya. Bagaimana mungkin ia bisa mencegah si
pembawa sejuta bahagia yang mampu memindahkan gunung dengan senyumnya ini? Sambil
bergumam tak jelas, Kino akhirnya membiarkan Tris ikut turun. Berdua mereka
berjalan beriringan, berusaha sekuat tenaga untuk tidak saling bergandengan,
bergegas melewati gang agar tidak terlalu banyak bertemu orang lain. Untunglah
siang itu suasana sepi.

Mereka masuk dari pintu depan, dan Kino sudah menyiapkan seribu alasan untuk ibu
kost. Tetapi ternyata rumah kosong melompong. Setelah dua kali mengetuk pintu tanpa
sahutan, Kino menuju sebuah pot tempat pemilik rumah biasanya meninggalkan kunci.
Benar saja, di bawah pot rahasia itu ada kunci dan secarik kertas menyatakan bahwa
ibu kost sedang ke dokter untuk memeriksa kesehatannya. Kino bernafas lega, membuka
pintu dan menyilahkan bidadarinya masuk.

"Toilet ada di sebelah sana..," ucap Kino sambil menunjuk dengan dagunya.

"Takut..," bisik Tris manja sambil merapat ke tubuh Kino.

Rumah itu memang agak gelap karena banyak pepohonan dan karena siang itu agak
mendung, selain karena semua lampu memang dimatikan.

"Mana ada bidadari takut..," goda Kino sambil mengunci kembali pintu depan.

Ah... cepat sekali datang keceriaan kalau dia ada di sisiku, bisik hati kecil
pemuda itu.

"Antar aku ke sana," sergah Tris.

"Kamu betul-betul maupipis atau ...," Kino membiarkan ucapannya mengambang.

Tris tersenyum nakal, mencubit pinggang Kino, lalu melanjutkannya dengan pelukan
sepenuh hati. Kino menjerit kegelian, menerima tubuh kekasihnya, agak terhuyung
sejenak. Mereka berpelukan di ruang tamu dan tidak pernah sampai ke toilet
karena ...

"Itu bisa ditunda...," bisik Tris sambil menengadahkan muka dan memejamkan
matanya.

Kino mencium lembut bibir kekasihnya. Betapa indahnya ketersediaan yang diserahkan
bidadari itu kepadanya. Betapa cantik... betapasemakin cantik .... wajah yang dekat
sekali di depannya itu, kalau sedang menyerahkan jiwa raganya dengan mata terpejam
dan bulu mata lentik berkerejap. Betapa harum sergapan nafasnya yang hangat menerpa
wajah, bagai memberikan semilyar liter bius ampuh yang mampu menghapus kemarau
terpanjang sekalipun. Betapa lembut-basah bibirnya yang ranum dan merekah
menampakkan keindahan mulut yang selalu bisa menghasilkan kata-kata berbunga-
bermanik-beruntai itu. Ah, betapa indahnya cinta.

Tris menjinjitkan kedua kakinya, merengkuh leher Kino, memiringkan sedikit


kepalanya agar pemuda pujaannya bisa leluasa melumat bibirnya. Ia selalu menikmati
ciuman pemuda ini, yang selalu bisa memberikannya rasa aman-nyaman, menghilangkan
segala keraguaan dan kekuatiran. Rasanya cuma Kino yang bisa mencium begitu penuh
perasaan, dan lumatan bibirnya bukan cuma curahan birahi. Ada kehangatan kasih di
sana, di antara gairahnya mengulum bibir. Ada semburat cinta di sana, di antara
gigitan-gigitannya yang nakal. Ada penegasan pula di sana, di antara keliaran
permainan lidahnya yang mempesona...... Maka itu Tris mengerang manja, mempererat
pelukannya, merapatkan tubuhnya ke tubuh kokoh pemuda pujaannya.

"Aduh!" tiba-tiba Kino mengeluh, dan Tris tersentak kaget, terburu-buru melepaskan
pelukannya.
"Ada apa?" sergah Tris penuh kekuatiran sambil merenggangkan jarak di antara
mereka.

"Hidungku...," desis Kino sambil memegangi hidungnya.

"Kenapa hidungmu?" tanya Tris sambil memaksa Kino membuka tutupan tangannya, dan
ketika akhirnya wanita itu melihat hidung itu agak lebam, barulah ia teringat
tentang kemurungan yang tadi dilihatnya di depan kampus.

"Kamu berkelahi, ya!" sergah Tris sambil lebih seksama memeriksa muka Kino.

Duh, mengapa bidadari ini serba tahu? keluh Kino dalam hati sambil mengangguk
mengiyakan.

Sejenak Tris diliputi kekuatiran terbesar dalam hidupnya. Sejenak ia membayangkan


yang terburuk: suaminya datang dan berkelahi dengan Kino!

"Kamu harus cerita!" sentak Tris sambil meraih sapu tangan dari tas yang masih
tergantung di bahunya.

Dengan cekatan dibasahinya sapu tangan itu dengancologne yang tahu-tahu sudah
keluar pula dari dalam tas. Lalu diusapnya bagian yang lebam. Kino meringis
merasakan sedikit pedih bercampur segar dan harum.

"Cerita sambil berdiri?" tanya Kino berusaha melucu.

"Nggalucu!" sergah Tris sambil menyerahkan sapu tangan ke Kino dan memasukkan
botolcologne kembali ke tasnya.

"Ayo ke kamar," ajak Kino sambil mendahului melangkah dan memegangi sapu tangan di
hidungnya.

Tris segera mengikuti, memegang erat pergelangan kekasihnya seperti orang yang
takut tersesat di rimba belantara.

Di kamar, Kino duduk di dipan dan bercerita panjang lebar tentang para sahabatnya.
Tris duduk di sebelahnya, sambil terus memegangi pergelangan tangan Kino. Sebagian
dari cerita pemuda itu pernah disampaikan sewaktu para sahabatnya tiba-tiba muncul
di villa beberapa waktu yang lalu. Tetapi cerita itu cuma generalisasi sepintas.
Tris tetap menyangka, para sahabatnya itu memang kebetulan lewat di villa mereka.
Sekarang, semuanya mulai terbuka. Peristiwa terakhir, termasuk penamparan Rima dan
perkelahiannya dengan Ridwan, diceritakan secara terinci. Tris terdiam, tidak
memotong atau berkomentar sedikit pun. Tetapi matanya tak lepas dari muka Kino,
bagai hendak menemukan makna yang lebih dalam di balik kata-kata yang berhamburan
lancar keluar dari mulut pemuda pujaannya itu.

"Aku menyesal sekali...," ucap Kino pelan di ujung cerita. Dihelanya nafas dalam-
dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.

"Kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya Tris setelah sejenak terdiam.

"Aku tak mau membuatmu risau," jawab Kino sambil memandang kekasihnya. Ia selalu
senang memandang wajah di sampingnya itu, karena dari situ ia selalu mendapat
kekuatan.

"Tetapi sekarang kamu membuatku benar-benar risau..," bisik Tris sambil membalas
tatapan Kino.
Kedua pandangan mereka terjalin-jalin bagai benang-benang sutra tak kasat mata,
membentuk berlembar-lembar hamparan rasa sayang yang membuat keduanya merasa
sangat-sangat dekat lahir dan batin, luar dan dalam, berujud maupun abstrak.

"Maafkan aku..," ucap Kino pelan dan penuh permohonan.

Air mata tahu-tahu sudah merebak di mata Tris. Dengan kedua tangan dipegangnya
wajah Kino, lalu diciuminya dengan penuh perasaan sambil berbisik berulang-ulang,
"Aku yang harus minta maaf..."

Kino diam, membiarkan bidadarinya menciumi pipi, mata, dahi, dagu, bibir.. bahkah
juga hidungnya yang entah kenapa kini tidak sakit sama sekali!

"Seharusnya aku sudah mengusirmu di pasar swalayan itu...," bisik Tris sambil
tersenyum, tetapi air mata sudah jatuh berderai di pipinya yang licin bak pualam
walau tanpa pupur.

Kino tetap diam, memandangi wajah yang tersenyum sekaligus menangis itu. Air mata
itu bagai sepasang jeram bening di tengah hutan asri yang sering ia kunjungi
sebagai pencinta alam. Kedua mata Tris yang indah itu bagai telaga luas di mana air
berlimpah-ruah menjadi sungai-sungai besar maupun kecil, membawa berliter-liter
kehidupan untuk disebarkan di seantero bumi. Sesungguhnyalah wajah cantik yang
selalu menghiasi mimpinya itu adalah salah satu wujud pertiwi. Sesungguhnyalah
wajah teduh yang selalu menghibur gundahnya itu adalah pelabuhan tempat ia bisa
melabuhkan semua cintanya.

"Seharusnya tak kubiarkan kamu menciumku di kebun teh itu...," bisik Tris lagi
sambil mencium sudut mulut kekasihnya, sambil terus menangis pula walau tanpa sedu
sedan.

Kino merebahkan tubuhnya di dipan, membawa serta tubuh kekasihnya yang terasa
ringan sekali bagai segumpal kapas halus. Mereka berpelukan mesra dan Tris
menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, membiarkan air mata membasahi t-shirt
biru tua berisi lambang kampus kebanggaan.

"Seharusnya tak kubiarkan kamu datang ke villa itu...," desah Tris.

Kino menggulingkan tubuhnya ke kanan. Tris rebah di sampingnya, terlentang dengan


kedua tangan terentang di atas kepala, dengan rambut terurai indah beralas seprai
putih bersih, dengan mata masih basah oleh airmata, tetapi dengan senyum sangat
manis yang tak pernah lekang dari bibirnya. Kino menelusuri bibir itu dengan ujung
jarinya, berhenti di lesung pipit yang muncul setiap kali Tris tersenyum.
Melingkar-lingkar di sana dengan lembut�

"Kenapa kamu cantik sekali?" tanya Kino memotong kata-kata Tris, dan wanita itu
tertawa kecil mendengar pertanyaan yang tidak kontekstual sama sekali!

"Karena kamu buta, Kino...," jawab Tris sambil menggigit jari Kino yang melintas
di depan bibirnya.

"... dan tuli...," sambung Kino, teringat ucapan sahabatnya.

"Dan nakal..," ujar Tris lagi sambil mengusap rambut pemuda pujaannya,
menjambaknya dengan bercanda.

"Nakal seperti ini...," kata Kino sambil menunduk dan menciumi leher Tris yang
jenjang, membuat wanita itu menjerit kaget dan tertawa kecil kegelian.

"Lebih nakal dari itu!" sergah Tris sambil berusaha menghindar tetapi tidak
sungguh-sungguh.

"Nakal seperti ini...," kata Kino sambil menunduk lebih kebawah, menelusupkan
mukanya di antara belahan bukit kenyal indah yang terpampang menggairahkan di balik
baju tipis Tris, membuat wanita itu menggelinjang dan tertawa lebih keras.

Air mata telah berhenti mengalir. Secepat datangnya, secepat itu pula perginya.
Betapa menakjubkannya cinta itu, bukan?

Kino membuka kancing-kancing di depan payudara kekasihnya. Tidaklah sulit


melakukan yang satu ini, karena kancing itu tampaknya sengaja dibuat untuk mudah
dibuka. Sebentar saja telah terpampang pemandangan indah menakjubkan, putih mulus
tanpa cela, tersangga be-ha yang seperti kewalahan menampung gelembung daging
menggairahkan itu.

"Kino!" jerit Tris seperti orang yang kaget melihat rumahnya kebakaran, tetapi
wanita itu diam saja, bahkan membiarkan Kino dengan cekatan melepas kait di depan
beha, membebaskan sepasang bukit indah yang menantang itu.

"Ohhh..!" Tris mengerang keras, campuran antara kaget dan senang, ketika salah
satu puting susunya tahu-tahu sudah terasa hangat dikulum di mulut kekasihnya.

Kino memainkan lidahnya di puting yang tegak kenyal menggairahkan itu. Setiap
gerakan lidahnya membuat Tris menggelinjang gelisah. Tangan wanita itu mencengkram
rambut pemuda pujaannya yang mulai gondrong itu. Tidak ada penolakan dari tangan
itu, melainkan sebaliknya ada ajakan untuk lebih bergairah lagi.

"Mmmmh...," Tris mendesah, memiringkan tubuh bagian atasnya agar Kino bisa lebih
leluasa memainkan mulutnya di seluruh permukaan payudaranya.

Serbuan kenikmatan segera menyebar di seluruh tubuhnya. Kali ini kenikmatan itu
bahkan terasa lebih indah, karena baru saja hati wanita ini terasa remuk-redam
mendengar cerita pemuda pujaannya. Dari rasa sedih yang sangat dalam, kini muncul
rasa nikmat yang tak kalah dalamnya, menelusup ke sela-sela setiap bagian paling
rahasia di tubuhnya. Inilah sebentuk kekontrasan yang menakjubkan, bagai api dan es
...fire and ice ... Kekontrasan yang memberikan nuansa lebih tegas pada setiap
noktah kenikmatan di tubuh Tris. Kekontrasan yang menyediakan ruang-relung
kontemplasi untuk lebih menghargai setiap getar birahi. Sehingga percumbuan tidak
cuma bertemunya dua permukaan kulit. Percumbuan adalah pertemuan dua hati.

Kino menjelajahi seluruh bukit indah di dada kekasihnya, bagai seorang pengembara
yang tersesat tetapi menyukai ketersesatan itu. Bagai seorang yang dahaga tetapi
tak ingin melepas dahaga itu. Harum semerbak bukit dan lembah cinta di dada itu,
dan Kino selalu senang berlama-lama bermain di sana, sambil menyimak degup jantung
sang kekasih yang semakin lama semakin jelas terdengar. Berdentam-dentam seperti
tabuhan drum sebuahmarching band . Betapa asyik rasanya mendengar irama jantung
kehidupan kekasih, sambil memagut-magut bagian yang sensitif, membangkitkan gairah
menjadi kobaran api. Terlebih-lebih lagi, betapa asyik rasanya memberikan begitu
banyak kenikmatan kepada seseorang yang menyerahkan dirinya secara sukarela.

Tris mengerang manja, mendesah-desah gelisah. Sekujur tubuhnya terasa penuh dengan
keinginan yang mendesak-desak. Tidak hanya dadanya,... Tris ingin lebih dari
sekedar itu. Ia memang ingin bercinta, sekarang juga, di tempat ini juga. Apa pun
risikonya, ia ingin sekali bercinta siang ini. Maka diraihnya tangan Kino yang
masih bebas, dibawanya ke atas perutnya, dan memohonlah ia lewat erangan dan
desahan ...please my love... touch me there....

Kino tentu paham semua gerakan birahi kekasihnya. Paham semua petunjuk paling
samar sekalipun. Ia sudahsangat paham apa yang disukai Tris kala bercinta: yakni
sebuah usapan lembut di perut yang perlahan-lahan menuju ke bawah, menyelinap di
antara dua pahanya yang bagai pualam pahatanmaestro Italia, dilanjutkan dengan
penjelajahan nakal di kanal cinta di bawah sana yang mulai terkuak mengundang
sentuhan penuh pengertian.

Maka itulah yang kini dilakukan Kino dengan ketrampilan yang terbina lewat
percumbuan demi percumbuan. Pertama-tama Kino mengusap-usap lembut permukaan perut
kekasihnya, seperti hendak ikut merasakan gerak gejolak gairah di dalam tubuh Tris.
Lalu, perlahan-lahan tangan Kino turun, menelusup ke balik celana dalam nilon tipis
berwarna putih bersih itu..... dan Tris pun mengerang nikmat ... membuka dirinya
sebisa mungkin, membiarkan gerakannya menjadi liar dan penuh keterusterangan. Ayo,
kekasih... telusuri liang cintaku, telusupi dan gerayangi dengan jari-jarimu yang
kukuh sekaligus penuh perasaan itu. Oooh... getarkan segera senar kecapi birahiku,
sentuh dengan ujung jarimu yang piawai. Mainkan segera musik cinta kita.

"Oooooh...," Tris mengerang sambil memejamkan mata erat-erat dan mencengkram


seprai kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Dua kenikmatan sekaligus meletup di tubuhnya, karena secara berbarengan Kino


mengisap-menyedot puting payudaranya sambil menggelitik-mengutik tonjolan kecil di
celah atas kewanitaannya. Serasa ada berjuta-juta kembang api meledak menimbulkan
percikan birahi yang dengan cepat membakar seluruh tubuhnya.

Apalagi Kino tidak berhenti, melainkan makin cepat mengurut-menelusup di bawah


sana, dan mengisap-menyedot di puncak payudara. Sesekali jari Kino menelusup
kebawah, menyelinap lembut di antara bibir-bibir di bawah sana, mengambil basah di
sana untuk dibawa keatas menjadi pelicin-pelumas. Berkali-kali Kino melakukan ini
dengan penuh perasaan, mengirimkan kenikmatan demi kenikmatan kepada kekasihnya.
Membuat Tris mengerang-erang berkepanjangan, merasakan sebentuk orgasme awal
tercipta di dasar pinggulnya. Ia menggelinjang dan membuka kedua pahanya lebih
lebar lagi, mengundang Kino untuk menjelajah lebih dalam lagi.

Tetapi, sebelum Kino sempat bergerak masuk lebih jauh, Tris tak bisa menahan
ledakan puncak kenikmatan..., menggelepar kuat, dan mengerang panjang ..
"aaaaaaaaaaaah.." ... sambil mencengkram seprai kuat-kuat dan melentingkan
tubuhnya.

Kino membiarkan bidadarinya menikmati orgasmenya, melepaskan isapan di puting


payudaranya, dan mengalihkan tangannya ke pinggul Tris. Diciuminya wajah kekasihnya
yang tampak semburat memerah-jambu dan tegang berkonsentrasi menikmati puncak
birahi. Wajah itu semakin cantik dan semakin bersinar tatkala orgasme; merupakan
pemandangan paling indah dalam sebuah percumbuan. Merupakan episode paling
menegangkan sekaligus paling dramatis dan indah. Tanpa keindahan seperti ini,
pastilah percumbuan itu akan terasa hambar. Bagai sebuah kebun yang cuma berisi
rumput tanpa bunga.

Tris membuka matanya setelah segalanya mereda. Ditemukannya sepasang mata Kino
memandang lembut dan dekat sekali. Susah payah Tris mengatur nafasnya yang masih
memburu.

"Huuh...," desah Tris sambil tersenyum manja di sela nafasnya yang mulai teratur
tetapi masih agak tersengal, "Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini.."

"Apakah cuma karena itu?" tanya Kino sambil mengusap-usap pinggul Tris.

Mata Tris berbinar nakal, "Bukan karena itu...," katanya.

"Karena apa?" sergah Kino.


"Buka dulu baju dan celanamu, nanti aku jawab...," kata Tris sambil tertawa kecil.

Kino terbahak, lalu dengan bergairah menciumi leher, pipi, bibir, mata, hidung...
semua permukaan wajah Tris. Percintaan mereka semakin lama semakin menggairahkan,
tidak cuma berisi birahi dan kasih, tetapi juga penuh canda dan permainan-permainan
kecil. Seperti kali ini, Tris meminta Kino tidur terlentang setelah keduanya
telanjang bulat.

"Jangan bergerak...," bisik Tris sambil bergerak mengangkangi pinggul Kino.

Gerakannya gemulai, seperti seorang penari yang sedang menyiapkan gerakan


pembukaan. Dengan takjub Kino memandang tubuh telanjang yang serba indah
menggairahkan itu terpampang bebas di mukanya.

Lalu Tris melakukan beberapa gerakan yang tak terlalu kentara karena mata Kino
terpaku menatap tubuh indah kekasihnya. Tahu-tahu Kino merasakan kejantanannya
seperti menyelinap diam-diam ke liang lembab licin yang bagai memiliki indera
tersendiri .... Tahu-tahu kegairahan terbangkit membuat batang-kenyal-liat itu
perlahan-lahan menjadi kokoh di dalam sana.

"Jangan bergerak...," bisik Tris lagi ketika Kino menggelinjang merasakan nikmat
yang mulai terbangkit di bawah sana.

Lalu bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai tarian kahyangannya, dan
Kino menikmati semua itu dengan diam, berbaring terlentang memandang Tris yang
sudah agak berkeringat itu bergerak naik turun perlahan dan teratur... Wajahnya
tampak kembali memerah-muda, matanya penuh sinar gairah sekaligus kelembutan,
terbuka menatap mata Kino tanpa berkejap... Bibirnya yang basah kini agak terbuka,
dan nafasnya mulai memburu... Kedua bukit kenyal tegak menjulang di dadanya,
berguncang-guncang sedikit seirama gerakan tubuh pemiliknya...

"Ohhhh..," Tris mendesah, dan tangannya bertelektekan keras di dada Kino yang
bidang, bertopang mencari penguatan di sana.

Gerakannya semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti manakala ia memutar


pinggulnya selagi kejantanan Kino terbenam dalam-dalam. Pada saat seperti itu, Tris
memejamkan mata erat-erat, dan merintih-rintih nikmat .... dan Kino merasakan
denyut-denyut halus di bawah sana, di sepanjang batang-kenyal-pejal yang semakin
lama semakin tegang saja.

Lalu ia bergerak turun-naik lagi. Membuka matanya lagi, yang kini mulai meredup
seperti hendak menutup, tetapi dengan sinar birahi yang semakin tajam. Kino menatap
mata itu, dan seketika terjalin lagi sebuah rasa kasih sayang di antara mereka,
menjadi bumbu penyedap utama dari percumbuan ini.

Gerakan Tris kini semakin erotis, diselingi gelinjang gemulai. Tubuh bagian bawah
wanita ini melakukan manuver-manuver menakjubkan... terkadang maju-mundur dalam
gerakan lembut penuh perasaan... terkadang naik-turun dengan gairah yang liar.
Terkadang berputar-putar perlahan, sehingga Kino merasakan kejantanannya mengusap-
mengurut dinding-dinding kenyal yang hangat dan basah dan berdenyut itu.

Suara-suara seksi mulai terdengar dari tempat kedua tubuh mereka bertaut-
berpilin... berdecap ramai menyelingi derit-derak dipan, di antara rintihan dan
desah. Tris seperti sedangtrance , dengan wajah sumringah berkonsentrasi pada
pencapaian tujuan yang mulai tampak di ufuk percumbuan mereka. Ia seperti sedang
menunggu dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan kenikmatan maksimal yang tak
bisa tertahankan oleh tembok baja sekalipun.

Kino mengangkat kedua tangannya, tak tahan berdiam diri melihat kekasihnya
menarikan tarian erotis yang menggairahkan itu. Dijamahnya lembut kedua payudara
Tris yang bergerak-gerak seirama tubuhnya. Perlahan diputar-putarkannya kedua
telapak tangan di atas kedua puting yang telah tampak membesar dan tegak-kenyal
itu. Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap usapan bagai tambahan
pasok kenikmatan yang memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang tubuhnya. Akibat
usapan-usapan itu, puncak birahi Tris kini tinggal beberapa langkah lagi.

"Aaah.. aku ...," Tris berucap terputus-putus oleh erangannya sendiri,"..ah,.. aku
tidak...aaah, tahan... Kino..."

Kino mengerti. Cepat diraihnya pinggul Tris dengan kedua tangannya. Lalu dengan
energik pemuda itu membantu gerakan wanita pujaannya. Naik turun dengan cepat.
Berputar-putar kekiri kekanan...

"Oooooh..." Tris mengerang...

Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar .....

"Aaaaah..." Tris mendesah sambil menengadah dan memejamkan mata....

Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ....

"Mmmmmmmmmm..." Tris mengerang panjang.

Naik turun lagi... lagi.... lagi... dan lagi. Kedua payudaranya berguncang-guncang
indah sekaligus menggairahkan. Ingin rasanya Kino meremas kedua bukit menggemaskan
itu, kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu gerakan Tris.

Lalu Tris benar-benar tak tahan lagi, ... ia menjerit-jerit kecil..,


"aah...aaah...aaah..." dalam interval pendek, dengan tubuh berguncang-guncang dan
gerakan turun-naik yang tidak lagi teratur.

Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali. Lalu setelah beberapa saat,
gerakan itu ditutup dengan erangan panjang "Aaaaaaaaaaaaah..."... wanita ini
mencapai orgasmenya yang kedua di atas tubuh kekasihnya. Menggelepar-gelepar ia
dalam posisi terduduk-terhenyak dipegangi oleh Kino agar tidak terlempar ke luar
ranjang. Pemuda itu merasakan kejantanannya seperti disedot kuat-kuat oleh sebuah
liang sempit kenyal yang berdenyut-denyut liar.

Cukup lama Tris menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya, sebelum akhirnya


terengah-engah dan membuka matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi
menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh kepuasan dan kebahagian. Belum
pernah rasanya Kino melihat mata yang begitu ekspresif.

"Ohhhh...," akhirnya Tris bisa mendesahkan ucapannya sambil masih agak terengah,
"Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini..."

Kino tertawa mendengar pengakuan polos itu. Dia tahu, Tris cuma mendramatisir
cintanya, seakan-akan gairah-gairah seksual ini sematalah yang mengikat cinta
mereka. Dia tahu, wanita ini menghadapi berbagai penghalang untuk bisa bercinta
seperti ini. Entah apa saja yang sudah dikorbankan wanita ini untuk bisa bertemu
dan bercinta dengannya. Percumbuan ini hanyalah pelampiasan paling mendesak untuk
melepaskan diri dari berbagai ketegangan dan tekanan risiko yang dihadapinya.
Betapa mulianya wanita ini bagi Kino.

Kino meraih tubuh kekasihnya, merebahkannya di atas tubuhnya. Trista mengerang


manja, meluruskan kakinya dan membiarkan dirinya melintang di atas tubuh pemuda
pujaannya. Rasanya damai sekali dunia ini sehabis percintaan menggebu-gebu. Pelukan
Kino bagai sebuah pelindung raksasa yang mampu mengusir segala nestapa dan gundah
dan gulana dan risau.

Setelah beberapa menit, Trista mengangkat mukanya dan berkata, "Sekarang giliran
kamu...," bisiknya. Kino tersenyum lembut. Ia ternyata tak terlalu memusingkan
gilirannya. Siang ini ia merasa hanya ingin kelembutan dan kasih.

"Tidak mau?" tanya Tris melihat Kino tak bereaksi dan cuma tersenyum-senyum.

Kino menggeleng.

"Betul-betul tidak mau?"

Kino menggeleng lagi.

"Coba. Apa betul kamu tidak mau...," kata Tris sambil tersenyum nakal.

Dan sebelum Kino bisa bilang apa-apa, bidadarinya sudah meluncur turun.... lalu
ada gerakan-gerakan di bawah sana dan... Hei! ... Kino terlonjak ketika merasakan
kejantanannya masuk ke rongga basah dan hangat .... ia menengok ke bawah, tetapi
pandangannya terhalang oleh kepala Trista. Ia berusaha lagi,... tetapi akhirnya tak
berdaya... tergeletak membiarkan kekasihnya melakukan sesuatu yang selama ini tak
terbayangkan.

Betapa sungguh tak berdayanya Kino yang tadi mengatakan "tidak mau" tetapi kini
tergeletak diam dengan nafas semakin lama semakin memburu. Ia merasakan sedotan,
isapan, jilatan... susul-menyusul silih berganti. Kejantanannya serasa semakin
menegang, semakin geli-menggelisahkan.. semakin tegak dan mengeras. Lalu lagi:
merasakan sedotan, isapan, jilatan... susul-menyusul silih berganti... semakin lama
semakin membuat dirinya melambung-lambung di angkasa kenikmatan. Tinggi dan
tinggi.... semakin tinggi.... sampai akhirnya ia merasa harus melepaskan semua
desakan yang terkumpul. Dengan erangan panjang, Kino memulai pendakian ke puncak
asmara.

Sesaat sebelum ledakan pamungkas itu... aaah... tiba-tiba Trista menghentikan


kegiatannya, lalu cepat-cepat kembali ke posisi mengangkangi tubuh Kino. Cepat
sekali kejantanan Kino tenggelam sampai ke pangkalnya di liang kewanitaan Tris.
Cepat sekali pula wanita itu menaik-turunkan lagi badannya dan ........... tanpa
dapat ditahan lagi, Kino meregang kejang lalu melepaskan semburan-semburan
kenikmatan puncaknya!

Rasanya lama sekali Kino memuncrat-muncratkan seluruh cairan cintanya kedalam


tubuh kekasihnya. Rasanya banyak sekali yang tumpah ruah melimpah-limpah sampai tak
tertampung dan mengalir keluar kembali bagai lahar panas turun dari puncak gunung
yang mengamuk.

Tris tersenyum ketika Kino akhirnya berhasil membuka matanya.

"Jangan sekali-kali bilang 'tidak mau' lagi...," bisik Tris sambil mencubit hidung
Kino.

Kino mengeluh dalam hati. Mengapa aku selalu kalah olehnya? Sungguh permainan yang
tidak adil!

Dan di luar terdengar hujan mulai turun. Bahkan tak lama kemudian, badai datang
seperti sepasukan tentara menyerbu dengan suara yang gemuruh. Musim badai telah
tiba�


Sony termangu di meja kerjanya yang besar dan penuh dokumen. Di tangannya ada
sebuah foto dalam bingkai kayu indah berukuranpostcard . Mata lelaki ini tampak
sendu memandang wajah di foto itu. Sebuah wajah yang tersenyum dengan posisi agak
miring. Cantik sekali berlatar belakang dedaunan yang tampak kabur karena berada di
luar fokus kamera. Fokusnya adalah pada wajah itu, yang tampak sangat bahagia
dengan mata memancarkan keriangan. Di bagian bawah foto, di sudut kanan dekat
bagian lengan, ada sebuah tulisan tangan memakai tinta berwarna keemasan: ..untuk
Sony, .. with love, Pristi . Lalu ada sebuah tandatangan berhias gambar hati.

Foto ini sengaja disimpan Sony di laci meja kerjanya. Di kamar tidurnya yang luas
tidak ada foto itu. Bahkan di seantero rumah, foto-foto Pristi telah diturunkan,
disimpan di sebuah lemari yang jarang dibuka. Sony sengaja menghilangkan citra
mendiang istrinya, agar kenangan manis yang menyakitkan hatinya tak selalu datang.
Tetapi ia tak bisa menghapus bayangan Pristi secara tuntas. Ia tetap perlu
memandang wajah terkasih itu, terutama di saat-saat penuh galau. Misalnya, ketika
bisnis sedang bergejolak, atau ketika dunia terasa memusuhinya. Seperti saat ini...

Lelaki bergelar MBA lulusan Princeton, Amerika Serikat ini menghela nafas panjang
dan kembali merenung. Tadi malam ia bertengkar dengan Trista, adik Pristi yang
dinikahinya beberapa saat setelah kecelakaan fatal yang memporak-porandakan
mahligai perkawinan mereka. Pertengkaran itu tidaklah hebat, tidak disertai
teriakan-teriakan sebagaimana layaknya suami-istri bertengkar. Tidak ada piring-
piring yang dibanting atau barang-barang yang dilempar. Tetapi tetap saja bagi Sony
itu adalah sebuah pertengkaran, yang berisi pertukaran kalimat-kalimat tak wajar.

"Kamu marah?" tanyanya malam itu ketikaTris seperti menepis sentuhan di pundaknya.

"Tanganmu berkeringat, aku tidak suka..," jawab Tris ketus.

"Kemarin kenapa terlambat menjemput Ria?" tanya Sony seperti menganggap topik
sebelumnya tak pernah ada. Memang ia sebetulnya tidak ingin mempersoalkan tepisan
atau basah-tidaknya tangan.

"Cuma terlambat 10 menit," ucap Tris sambil menuju meja rias, "Lagipula Ria masih
asyik bermain dengan teman-temannya ketika aku datang."

"Dengan siapa dia bermain?"

"Kalaupun kusebut nama mereka, mas Sony tidak kenal."

Sony menghela nafas, "Aku sibuk di kantor, tak pernah bisa menjemput Tris.."

Tris diam, menyisir rambut dan mengurus wajahnya seperti tak peduli pada ucapan
Sony. Lelaki itu kesal, merasa diremehkan, dan terlebih lagi merasa Tris
menghindari percakapan yang baginya wajar: ia ingin tahu keadaan anaknya. Ia
ayahnya.

"Kamu sudah beli kembang untuk tambahan koleksi taman di villa?" Sony mencoba
topik lain.

"Sudah sebulan yang lalu. Kenapa baru tanya sekarang..." jawab Tris sambil terus
mengurus wajahnya.

"Aku sibuk, Tris...,"

Tris diam lagi, tak bereaksi atas pengakuan Sony tentang kesibukan itu. Lelaki itu
tambah kesal. Kenapa Tris tidak pernah ramah kepadanya belakangan ini? Apakah betul
cerita-cerita angin yang sudah didengarnya tentang seorang pemuda yang sering
terlihat bersamanya?
"Bagaimana gigi Ria, apakah sudah diperiksa ke dokter?" Sony masih mencoba topik
lain.

Tetapi itulah kesalahannya, ia seperti sedang menginterograsi Trista. Sehingga


wanita ini bereaksi keras, membalikkan tubuhnya dan berkata pelan tetapi ketus,

"Sudah kami lakukan tiga bulan yang lalu. Sudah kulaporkan ke mas Sony dua dua
minggu yang lalu karena mas Sony ada di Singapur ketika kami ke dokter. Sudah beres
semuanya. Gigi Ria sudah rapi dan sehat terawat..... Puas?"

"Kenapa marah?" sergah Sony sambil bangkit mencari-cari sendal jepitnya. Sial,
kemana benda-benda itu sewaktu diperlukan?

"Aku tidak marah." jawab Tris, lalu berbalik kembali menghadap cermin dan mengurus
wajahnya. "Tetapi tolonglah, mas. Sesekali tanyakanlah hal-hal itu ke Ria sendiri."

"Dia selalu sudah tidur sewaktu aku pulang," gumam Sony sambil terus mencari-cari
sandalnya.

"Kalau begitu, pulanglah lebih cepat," kata Tris.

"Kemana sandalku, Tris?" tanya Sony mengalihkan topik. Percakapan mereka sudah
tidak karuan ujung pangkalnya.

"Mungkin di kamar mandi..," ucap Tris sambil bangkit dan menuju tempat tidur.

Sony menuju kamar mandi sambil berucap, "Malam ini ada film bagus di televisi..."

"Aku mengantuk," jawab Tris pendek sambil mulai merebahkan diri di ranjang, miring
menghandap tembok dan segera memejamkan mata.

Sony terus mencari-cari sandalnya di kamar mandi. Tidak ada di sana, ia pindah ke
luar kamar dan berteriak ke pembantu yang terdengar tergopoh-gopoh datang dari arah
belakang. Lalu terdengar lelaki itu marah karena sandal tetap tidak ditemukan di
luar kamar. Di mana benda-benda keparat itu? sergah Sony dalam hati.

Akhirnya ia melupakan sendalnya dan duduk di depan televisi sendirian menonton


sebuah film laga. Baru setengah bermain, lelaki itu merasa mengantuk dan masuk ke
kamar tidur. Ia merebahkan tubuhnya setelah mencium pipi Trista yang tampak sudah
terlelap. Ia berusaha mencium dengan penuh perasaan, tetapi ia sendiri akhirnya
merasa gagal. Ciuman itu terasa hambar. Seperti sebuah gerakan otomatis yang tidak
dimotori oleh rasa. Seperti sayur tanpa bumbu. Apalagi yang dicium juga sudah
tertidur. Tidak ada rasa apapun yang timbul di dada Sony setiap ia mencium wanita
itu. Tidak seperti ketika ia mencium mendiang Pristi ....

*****

Suara sekretaris di interkom menyentak lamunan Sony.

"Tamunya sudah datang, Pak!"

"Oh ya. Suruh masuk saja Endah, dan tolong buatkan kopi untuk dia dan saya," kata
Sony sambil bergegas bangkit.

Tidak lama kemudian tamu itu masuk. Sony menyalaminya di pintu, dan mempersilahkan
tamunya duduk. Nama tamu itu adalah Douglas McCoy, seorang warganegara Inggris
pemilik perusahaan yang kini patungan dengan perusahaan Sony. Maksud kedatangannya
adalah untuk membicarakan tahap akhir rencana mereka, yaitu mengembangkan pabrik di
dekat ibukota agar bisa menjadi pemasok ke seantero ASEAN. Setelah sejenak berbasa-
basi, percakapan bisnis pun dimulai.

"Saya sudahcontact London, and mereka setuju seluruhiteniary kita," ucap Douglas
yang sudah fasih berbahasa Indonesia tetapi masih sering bicara gado-gado itu.

Sony menangguk-angguk, "Apakah Pak Douglas juga bilang bahwamy daughter will also
go.. dan karena itushe needs to go to school there.. "

"Oh, ya..Ya.Dont worry about that Pak Sonny," ucap Douglas bersemangat sambil
mengibas-ngibaskan tangannya untuk menambah eskpresi.

"Bagus, kalau begitu.And I think one year will be enough for me to get to know the
business.. Lalu,we'll see... apakah saya perlu terus di sanafor some more years
atau tidak," kata Sony, sambil mempersilakan tamunya minum.

Douglas menghirup kopinya, "And while you're there,..mungkin juga istri bapak
bisagoing to school and get a master degree or what.., " katanya.

"Aahh, ya.. ya..," jawab Sony, "That'll be a great idea.."

"Saya belum pernah bertemu istri bapak,..how is she doing ?"

Sony tertawa kecil, menyembunyikan kerisauannya, karena sebetulnya ia sendiri


tidak yakin apakah Trista akan setuju dengan rencana ini. Ia belum pernah
membicarakannya!

"She's fine, thank you... but, y'know..dia memang kurang suka business.. Tetapi,my
fault.. I should've brought her in more often.. ," kata Sony.

Lalu Douglas membicarakan lagi rincian rencana mereka. Sony akan bekerja di
London, di kantor pusat perusahaan GlobeTel yang bergerak di bidang telekomunikasi.
Di sana ia akan memantau langsung proses pembuatan alat-alat elektronik
telekomunikasi yang nantinya akan dibuat di Indonesia. Dengan bekerja di kantor
pusat itu, diharapkan Sony bisa menguasai sepenuhnya proses produksi, sehingga
perusahaannya di Indonesia bisa lebih mantap bermitra dengan GlobeTel.

Sebetulnya, sudah berkali-kali Sony bermaksud membicarakan rencana ini dengan


Trista, tetapi selalu ditunda. Ia pernah menyebut-nyebut soal ini secara singkat,
tetapi tidak pernah bisa berkembang menjadi diskusi. Bukan saja karena Trista
tampaknya kurang memperhatikan kehidupan bisnis suaminya, tetapi juga karena Sony
selalu kekurangan waktu untuk berbincang-bincang serius. Ia selalu pulang malam,
dan seringkali tiba di rumah pada saat Trista atau Ria sudah tertidur.

Setelah Douglas pulang, Sony memanggil sekretarisnya, memintanya untuk menunda


semua agenda direktur hari ini.

Endah terpana, "Semuanya, Pak?"

"Ya.. semua. Termasuk makan siang dengan beberapaclients .. Bilang saja saya tiba-
tiba harus keluar kota," kata Sony sambil menekan tombol telepon untuk mengontak
rumah. Ia perlu bicara dengan Trista.

"Rapat kita siang ini bagaimana, Pak?" Endah masih belum yakin..

"Semuanya. Kamu ngga ngerti arti 'semua', ya!?" ujar Sony gusar, membuat Endah
terburu-buru mengangguk dan keluar kamar untuk segera membatalkan semua rencanabig
boss .
"Halo, Tris..," Sony bicara di telepon, "Bagaimana kalau kita makan siang bertiga
hari ini?" Terdengar suara Trista pendek, 'boleh' katanya.

"Aku jemput kamu, dan nanti kita bersama ke sekolah. Okay?" ucap Sony, dan setelah
mendapat jawaban setuju dari seberang sana, ia segera meletakkan gagang telepon.

*****

Trista tampak cantik dan segar ketika Sony tiba di rumah. Ah,.. dia memang selalu
cantik mempesona, gumam lelaki itu sambil mencium pipi istrinya. Wangi segar dari
tubuhnya yang masih dibalut gaun mandi menyerbu hidung Sony, membuat sejenak lelaki
itu punya pikiran untuk menunda makan siang dan mengajak Trista bercumbu. Tetapi
mungkinkah?

"Kamu harum sekali...," Sony mencoba ramah untuk mencairkan suasana yang beberapa
hari ini agak membeku. Trista tersenyum, merasa tersentuh oleh upaya lelaki itu,
yang biar bagaimanapun adalah suaminya. Diraihnya tas kerja Sony, diletakkannya di
meja, lalu ia menawarkan kopi.

Sony lega melihat senyum dan mendengar tawaran kopi. Trista ternyata masih ramah.
Itu sudah cukup. Ia tidak perlu mencintaiku, gumam Sony dalam hati. Aku tak berhak
meminta cintanya. Ia bukan Pristi, walau sedarah-sedaging. Bukankah cinta tidak
bersumber di darah dan di daging, melainkan di hati? Tetapi, terbuat dari apakah
hati manusia?

"Tak usahlah,.. nanti kita terlambat menjemput Ria" jawab Sony menolak tawaran
kopi.

"Sebetulnya Ria baru pulang jam tiga, mas...," kata Trista sambil menerima dasi
suaminya, melipat dan memasukkannya ke laci khusus untuk dasi.

"Tidak bisakah kita minta dia pulang lebih cepat,.. lalu kita ajak makan siang?"

Trista tersenyum dalam hati... dasar pengusaha, selalu merasa segala sesuatunya
bisa diatur. Tetapi Trista tidak berkeinginan mendebat Sony siang ini, sehingga ia
bilang hal itu bisa dilakukan dan ia siap berangkat setelah berganti pakaian.

Sony duduk diranjang, mengganti baju kerja dengan kaos dan membuka sepatu untuk
memakai sandal kulit. Trista membuka gaun mandinya, berdiri di depan lemari
mencari-cari pakaiannya.

Sony menelan ludahnya sendiri, melihat tubuh Trista yang mulus dan molek
terpampang indah di depannya. Segera terbayang tubuh mendiang istrinya, dan sebuah
kerinduan hewani diam-diam menyelinap di dirinya. Betapa ia sangat merindukan
Pristi kalau melihat Trista telanjang bulat begitu. Betapa ia teringat masa-masa
bergairah dulu, yang tiba-tiba terputus oleh kecelakaan keparat itu. Betapa sejak
itu hidupnya hancur, termasuk kehidupan seksualnya. Sony kini menjadi lelaki yang
sangat berbeda.... yang tidak lagi bisa berfungsi sempurna, walaupun tetap punya
gairah.

Diam-diam Trista merasakan pandangan suaminya melekat ke tubuhnya. Ah,.. kasihan


sekali lelaki itu, desahnya dalam hati. Terkadang ia merasa sangat bersalah karena
tidak melayaninya dengan tulus. Tetapi, bagaimana aku bisa tulus melayaninya, kalau
aku tidak mencintainya? gumam Trista dalam hati. Bagaimana aku bisa memberi apa
yang dimintanya, kalau setiap sentuhannya terasa ganjil? Setiap percumbuan terasa
hambar bagi Trista, dan ia lebih sering tergeletak pasrah membiarkan suaminya
tergesa-gesa melepas birahinya.

Sony bangkit mendekati istrinya, berucap dengan suara agak bergetar, "Kamu cantik
sekali..."

Trista tersenyum, "Jangan terlalu sering memuji, mas.."

Sony berdiri dekat sekali, membuat bulu kuduk Trista agak meremang, apalagi
mendengar ucapannya, "Betul-betul cantik. Membuatku ingin....."

Trista menghela nafas dalam-dalam, menguatkan hatinya. Biar bagaimana pun, lelaki
yang nafasnya terasa hangat menyerbu tengkuknya ini adalah suaminya. Aku tak
mungkin terus menerus menyiksanya, gumam Trista dalam hati. Dibiarkannya Sony
memeluk dirinya dari belakang, menciumi kuduknya dengan bergairah. Ia memutuskan
untuk melayani kemauan lelaki itu. Toh masih ada waktu sebelum menjemput Ria.

Sony merasa mendapat keleluasaan, dan gairahnya dengan cepat bangkit seperti
kereta-api ekspres yang siap meninggalkan peron stasiun. Tangannya yang sejak tadi
sudah gemas melihat kesintalan Trista segera beraksi, menjelajah dan meremas penuh
dahaga seksual. Trista memejamkan matanya, membiarkan Sony bergerak sesuka hati.
Tetapi, bersamaan dengan tertutupnya kelopak mata, tertutup pula seluruh pintu
perasaannya. Apa boleh buat, itulah satu-satunya cara wanita ini bisa menerima
Sony!

Lelaki itu dengan penuh birahi meremas-remas payudara Trista, membuat pemiliknya
meringis. Lelaki itu senang sekali dengan bagian tubuh yang sangat menggairahkan
dan sangat kenyal ini. Berlama-lama ia menjelajahi dan menggerayangi dada Trista,
sambil terus mencium tengkuknya yang jenjang dan harum semerbak. Tidak peduli ia,
walaupun tahu bahwa wanita yang sedang dicumbunya ini hanya diam saja seperti tak
bernyawa. Tidak peduli ia, karena toh di dalam hayalnya Sony juga membayangkan
almarhum Pristi. Bagi lelaki itu, percumbuan dengan Trista hanyalah mediator bagi
hubungannya dengan wanita yang ia sangat kasihi itu,... yang kini nun jauh di dunia
sana!

Trista membiarkan dirinya dibopong Sony ke tempat tidur. Membiarkan suaminya


menelentangkan dirinya dan menciumi dada serta lehernya. Mata wanita itu tetap
terkatup, dan nafasnya teratur seperti orang tidur. Sony tetap tidak peduli. Cepat-
cepat ia membuka resleting celananya, mengeluarkan kejantanannya yang sudah tegak-
tegang sejak tadi. Dengan sekali gerakan, diangkatnya kedua paha Trista,
dikuakkannya dengan lebar. Tanpa basa-basi, Sony mendorong masuk kelaki-
lakiannya...

"Ah!" Trista menjerit kecil sambil meringis kesakitan. Ia belum siap sama sekali.

"Maaf!" desah Sony, tetapi ia tetap mendorong masuk, dan terpaksa ikut meringis
karena ikut kesakitan. Tetapi lelaki itu bertekad untuk menyelesaikan permainan ini
secepat mungkin. Maka ia terus mendorong, dan segera menggenjot sepenuh hati.

Setelah beberapa saat, cumbuan mulai lancar, dan Trista membuka dirinya selebar
mungkin, memberikan keleluasaan bagi mereka berdua. Wanita ini sudah hapal dengan
perilaku seksual Sony yang serba cepat dan serba ringkas. Tidak lama kemudian, pada
dorongan yang belum mencapai hitungan selusin, Sony sudah menggeram dan menumpahkan
cairan cintanya di rahim Trista. Sejenak lelaki itu menyandarkan tubuhnya yang kini
terasa lunglai di tubuh Trista. Lalu pelan-pelan ia bangkit, dan akhirnya terguling
ke samping disertai desah menyatakan terimakasih. Trista pun bangkit, menjaga
dengan tangan tertakup di kewanitaannya agar cairan cinta Sony tidak tumpah ke
mana-mana, sambil berjalan ke kamar mandi untuk berbasuh.

Percumbuan mereka berlangsung tidak lebih dari 10 menit!

******
Ria memesan hamburger kesukaannya, lengkap dengan es krim yang disediakan di gelas
tinggi yang melebihi tinggi kepalanya ketika duduk. Bahagia sekali Sony melihat
putrinya makan dengan lahap dan berceloteh tentang sekolahnya. Trista ikut bahagia
melihat ayah-anak itu rukun dalam peristiwa yang sangat langka ini. Belum pernah
Sony sempat makan siang dengan anaknya. Bahkan akhir pekan pun sering digunakan
Sony untuk meninjau pabrik atau main golf dengan rekan-rekannya. Trista sebenarnya
tidak peduli, tetapi ia kasihan melihat anak perempuan mendiang kakaknya tumbuh
tanpa kasih sayang ayah. Untung kakeknya (ayah Pristi dan Trista) sangat dekat dan
menyayangi cucunya yang cantik ini.

Lalu mereka pun bersantap dengan lahap, dan Sony menyatakan maksud sesungguhnya
dari makan siang bersama ini. Trista sebenarnya sudah siap sejak Sony menelpon
tadi. Ia sebenarnya terkejut ketika Sony mengajak makan siang, dan kemudian
menguatkan hati untuk menerima apa saja yang akan dipersoalkan lelaki itu. Bahkan
ia sudah bersiap untuk yang terburuk, yaitu membicarakan hubungannya dengan Kino.

"Sebentar lagi kita harus pindah ke London, Tris...," ucap Sony setelah berdehem.

"Kita?" tanya Trista dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang.

Sony tidak mengangkat mukanya dari makanan yang sedang dinikmati. Ia agak gentar
juga.

"Ya. Saya, Ria dan kamu...," katanya.

Trista menghentikan suapannya. Nasi uduk kegemarannya terasa seperti pasir.

"Saya tidak pernah tahu rencana itu," ucapnya dengan suara agak bergetar.

"Saya pernah mengutarakannya,"

"Tidak. Tidak pernah," kata Tris sambil meletakkan sendok-garpu dan melap
mulutnya. Ia tidak ingin melanjutkan makan.

"Memang tidak mendetil. Tetapi saya pernah bilang akan ke London," ucap Sony
sambil mencoba menahan gejolak di hatinya. Ia menduga sebentar lagi wanita di
depannya ini akan meledak marah.

"Betul...... Mas Sony ke London. Saya dan Ria tidak," ucap Tris sambil menahan
suaranya yang tiba-tiba meninggi tanpa disadari.

"Tetapi saya akan di London agak lama. Mungkin dua tahun," kata Sony, "..dan saya
ingin Ria sekolah di sana."

Trista menahan marahnya. Lelaki ini sungguh egois! jeritnya dalam hati. Mengapa ia
cuma berpikir tentang Ria dan dirinya sendiri? Dengan muka merona merah, wanita ini
berkata pelan tetapi ketus, "Baiklah. Selamat jalan. Saya tidak ikut."

"Tetapi dia butuh kamu....," kata Sony sambil menghentikan suapannya. Bakmi goreng
di depannya seperti berubah menjadi sampah.

"Kalau begitu dia tinggal di Indonesia!" sergah Trista sambil membereskan diri dan
mendorong kursi.

"Mau kemana kamu?" Sony mengangkat muka dan mengernyitkan dahinya.

"Mama!" Ria merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Kepada Ria, Trista berucap lembut, "Habiskan makananmu sayang.... Mama harus ke
dokter. Kamu pulang dengan ayah, ya!?"

Ria mengangguk patuh. Sony bangkit dengan kikuk. Ia tidak menyangka akan begini
sulit perkembangannya. Ia ingin marah. Tetapi kepada siapa ia harus marah, selain
kepada dirinya sendiri? Lelaki itu cuma diam memandang Trista bersiap pergi.

Trista tidak berkata apa-apa lagi, membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkan
restoran. Pikirannya gundah. Hatinya menjerit, memaki keegoisan Sony dan ketidak-
peduliannya pada istrinya. Tetapi pada saat yang bersamaan hati kecilnya juga
menuduh dirinya tidak adil. Mengapa kau tak pernah peduli pada bisnis suami mu?
Mengapa tak pernah kau tanyakan rencananya? Terlebih lagi, hati kecil Trista juga
menuduh wanita itu tidak ingin meninggalkan Indonesia karena ia telah terlibat
asmara dengan Kino. Untuk hal yang satu ini, Trista memang tidak bisa membela
diri....

*****

Kino tercenung mendengar penuturan Trista. Mereka berdua duduk diam di sebuah
kedai minum kopi di dekat kampus. Trista memutuskan untuk bertemu pemuda
kesayangannya itu setelah meninggalkan Ria dan ayahnya di restoran. Ia naik taksi
dan menunggu waktu pergantian antarkuliah, sebelum masuk ke halaman kampus dan
melambaikan tangan ke Kino yang kebetulan sedang berjalan menuju perpustakaan.
Mereka bergegas meninggalkan kampus, menghindari tatapan beberapa pasang mata yang
mengikuti langkah keduanya sampai menghilang ke luar gerbang.

Setelah bercerita, Trista menunduk, menyimpan diam-diam airmatanya. Kino ingin


sekali memeluk bidadarinya, tetapi tidak mungkin di tempat umum seperti ini. Hujan
tiba-tiba turun, seperti dicurahkan dari langit. Sebagian air tampias ke dekat meja
mereka, namun keduanya tak ingin bergeming. Butir-butir air tipis tampak menghiasi
rambut Trista, seperti kristal-kristal kecil di atas hamparan beludru hitam pekat.
Kino meremas lembut punggung tangan kekasihnya, mengajak dengan suara pelan untuk
pindah tempat.

"Bawa aku pergi jauh, Kino," bisik Trista nyaris tak terdengar, tertutup gemuruh
air yang menerpa atap kedai kopi.

"Ke mana?" tanya Kino lemah.

Ia seperti kehilangan semua sendi-sendi di tubuhnya. Seperti boneka kapuk yang


kehilangan kapuknya. Lemas dan sungguh tak berdaya. Mengapa sulit sekali menerima
kenyataan-kenyataan yang tak sesuai dengan keinginan? Mengapa tiba-tiba dunia ini
terasa luas sekali, sehingga tak tahu musti kemana?

"Aku tak tahu," jawab Trista pendek sambil memainkan jemarinya di taplak meja,
memilin-milin tisu yang sudah hancur lebur menyerupai bubur kertas, "Ke mana saja,
asal bersama kamu."

Kino menghela nafas dalam-dalam. Pada berbagai kesempatan, Trista selalu terlihat
tegar menghadapi persoalan. Kino teringat betapa tenang bidadarinya itu menghadapi
kawan-kawannya yang datang ke villa memergoki mereka. Betapa sejuk kata-katanya
setiap kali Kino gundah menghadapi prahara-prahara kecil di sepanjang pergaulan-
kasih mereka. Bahkan ia sanggup tersenyum sambil menangis.... sambil bercinta....
sambil bergairah-bersensasi terakhir kali mereka bercumbu di pondok indekosan Kino.
Kini, bidadari di hadapannya menunduk seperti sebuah bunga yang layu di terik
mentari. Sanggupkah aku menjadi energi penggairahan untuk membuatnya segar kembali,
pikir Kino gelisah. Sanggupkah aku menjadi air penyejuk yang menegakkan kembali
bunga harum yang tertunduk lesu ini?

"Kalau kita pergi, bukankah kita akan terus dikejar kerisauan?" ucap Kino dengan
suara yang dibuat setenang mungkin, walau agaknya tidak terlalu berhasil.

Trista mengangkat mukanya. Duh.., keluh Kino dalam hati... mata yang indah itu
merebak basah oleh air bening, dan memandang dengan sinar kemilau yang memilukan.
Haruskah aku ikut lemah? Tidak! Tidak! jerit hati Kino.

"Tetapi aku tidak ingin ke London," sergah Trista dengan tatapan yang berisi
permohonan sekaligus penyerahan. Tuntutan sekaligus himbauan. Api sekaligus
es......fire and ice .

"Bagaimana dengan Ria?" kata Kino.

Bayangan gadis kecil manis manja itu sejak tadi berkelebat di matanya, seperti
menuntut untuk segera dibawa ke meja percakapan.

Trista langsung tersedu mendengar nama itu disebut, dan Kino menyesal setengah
mati. Ia melihat sekeliling. Beberapa pengunjung menoleh sebentar ke arah mereka,
tetapi segera kembali ke urusannya masing-masing. Hujan masih deras, dan bahkan
semakin deras. Beberapa pegawai kedai tampak sibuk menutup tirai-tirai plastik
untuk melindungi para tamu.

"Maaf, Tris. Tetapi bukankah kita harus bicarakan segala sesuatunya dengan
tenang?" ucap Kino.

Ia sendiri heran, mengapa tiba-tiba ada kekuatan samar-samar di dalam dirinya.


Sekonyong-konyong ia merasa tegar. Merasa harus menghindari keruntuhan-keremukan
hati agar bisa membantu bidadarinya keluar dari kemelut. Aku harus tegar! sergahnya
dalam hati.

"Betul. Aku bingung, Kino. Tolonglah..," ucap Trista lirih, dan Kino merasa
seperti disengat oleh sebuah kenyataan baru. Ia seperti mendapat cambukan yang
memerihkan, tetapi sekaligus membuatnya terbangun dari kesenduan.

"Kita harus bicara dengan suamimu," ucap Kino pelan tetapi tegas.

Ia sendiri sempat terkejut, dari mana datangnya ketenangan itu. Trista mengangkat
muka lagi, memandang kekasihnya dengan takjub.

"Kamu ..... dan aku..., bertemu Sony?" ucap Trista terbata.

"Ya," jawab Kino mantap, "Kita tidak boleh terus begini, Tris. Juga tidak boleh
melarikan diri dari kenyataan, karena kenyataan selalu lebih cepat bisa mengejar."

Trista terdiam. Air matanya tiba-tiba berhenti mengalir dan sebentuk perasaan
ganjil memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba merasa seperti burung kecil yang belum bisa
terbang, di hadapan seekor elang perkasa yang dengan kepak sayapnya bisa melindungi
dirinya dari sergapan binatang pemburu. Diraihnya tangan pemuda terkasihnya.
Dikatupkannya kedua telapak tangannya di telapak tangan pemuda itu. Hatinya
berbisik, entah apa jadinya aku tanpa kamu.

"Kalau perlu, sore ini aku datang menemuinya," ucap Kino semakin tegas.

Ia merasa seperti seorang prajurit yang tiba-tiba diberi pangkat jenderal.


Tubuhnya tegak. Dadanya terasa lapang.

Trista cepat-cepat menggeleng, "Jangan," katanya, "Aku belum siap, Kino. Beri aku
waktu..."

"Besok?" tanya Kino.


Rasanya, di belakang tempat ia duduk ada barisan tank yang siap dipimpin maju ke
medan perang. Rasanya, ia adalah George Patton, jenderal Sekutu yang meludaskan
tentara Jerman di Perang Dunia II.

"Mungkin...," bisik Trista lirih, "Sekarang aku cuma mau berdua denganmu..."

Kino tersenyum untuk pertamakalinya siang ini. Diraihnya bahu Trista yang seperti
terpuruk lesu. Diusapnya lembut bagian yang tak tertutup gaun, seakan dengan usapan
itu Kino ingin mengirimkan jutaan watt energi listrik yang bisa membangkitkan
semangat kekasihnya. Trista ikut tersenyum lemah, memiringkan kepalanya,
menyentuhkan pipinya ke punggung tangan pemuda pujaannya.

"Bawa aku pergi dari kedai ini, Kino...," bisik wanita itu sambil memandang penuh
permohonan dan kerinduan.

******

Mereka pergi naik angkutan umum ke bumi perkemahan tempat Kino biasa menyepi.
Trista tak bertanya sedikit pun kemana pemuda pujaannya membawa pergi. Ia hanya
memeluk erat lengan kekasihnya, mengikuti saja langkahnya ke segala arah. Ia juga
tidak ragu menerobos tirai hujan yang tak bisa dicegah oleh payung sewaan. Ia juga
rela duduk berdesakan di angkutan yang sebagian berisi paman-paman petani dengan
baju lusuh, tetapi dengan senyum tulus itu. Trista menyerahkan hidupnya total ke
tangan pemuda yang kini tampak jauh lebih tegap dari selama ini. Betapa gagahnya
ia, bisik Trista dalam hati, sambil terus mendekapkan tubuhnya erat-erat ke lengan
Kino.

Dengan tubuh hampir basah kuyup mereka masuk ke pondok di tepi danau setelah
meminta kuncinya dari pemilik warung yang sudah sangat dikenal Kino. Suami-istri
pemilik warung itu tersenyum penuh pengertian, dan bahkan menggoda Kino dengan
canda-canda yang terasa asing di telinga Trista. Bagi wanita yang lahir dan besar
di lingkungan berada, maka dunia Kino yang satu ini sungguh mempesona karena penuh
dengan kesepakatan-kesepakatan tersamar, dan ketulusan-ketulusan yang tak
disembunyikan. Begitu sederhana, sekaligus begitu mempesona.

Lalu mereka bercinta di pondok yang terpencil itu, selagi hujan terus menerus
mendera bumi. Selagi tubuh mereka masih basah oleh air langit. Selagi gairah mereka
sedang membakar jiwa raga seperti api di tungku lokomotif uap yang siap berjalan
sejauh-jauhnya. Trista membiarkan pemuda pujaannya membawanya menelusupi lembah-
lembah birahi yang dikelilingi alam asri hijau segar. Membiarkan tubuhnya tergolek
di tikar yang bersih walau telah kehilangan warna aslinya. Membiarkan Kino dengan
sabar membuka seluruh gaunnya yang kuyup oleh air hujan. Membiarkan pemuda itu
melap tubuhnya yang berkilau telanjang, perlahan-lahan seperti seorang perawat
benda seni membersihkan sebuahmaster piece .

Lalu Kino membangkitkan semua gairahnya. Semua, tak ada yang tersisa...
dibangkitkan oleh bibirnya yang hangat, oleh hidungnya yang nakal, oleh lidahnya
yang liar, oleh jemari-jemarinya yang cekatan. Lalu Kino membawanya terbang tinggi
sekali ke puncak-puncak asmara lewat jalan berliku-liku yang melelahkan, yang
membuat tubuh wanita ini bergelinjang-bergeliat-bergejolak. Lalu Trista mendesah,
mengerang, menjerit bahkan. Berkali-kali ia menikmati rasa segeli-gelinya, segatal-
gatalnya, segelisah-gelisahnya. Berkali-kali ia terjebak di antara keinginan untuk
terus menerus digenjot-dihujam, dan kesangat-nikmatan yang tak tertahankan. Hanya
ketika Kino telah mencapai puncak sensasi birahinya, barulah segala keributan-
kesemarakan-keriuhan cinta mereka berhenti.

Lalu hujan ikut berhenti seperti ikut kehabisan tenaga. Langit ternyata sudah
menggelap. Mereka terburu-buru pulang, dan Kino terpaksa menjatuhkan kunci lewat
lubang angin di warung yang sudah tutup.

Dan Trista tiba di rumah ketika semua lampu sudah menyala. Kino mengantar sampai
di gerbang, sebelum dengan halus tetapi tegas diusir oleh kekasihnya agar segera
pulang. Dengan langkah tenang, Trista menaiki tangga teras, masuk ke ruang tamu
yang terang berderang dan sudah penuh berisi keluarga intinya: Ayah-Ibunya,
suaminya, Ayah-Ibu mertuanya, dan si kecil Ria.

Trista tersenyum. Semua yang ada di ruang tamu tidak membalas senyum itu. Trista
berdiri tegak di depan semua orang. Si kecil Ria langsung memeluk kakinya. Hujan
turun lagi. Kali ini disertai badai.

Sebuah pengadilan kecil terjadi malam itu dengan Tristantiani sebagai terdakwa
utama.

Wanita semampai yang sebenarnya masih letih setelah seharian pergi bersama
kekasihnya itu, duduk dengan tubuh tegak. Wajahnya tampak pias, tetapi juga
luarbiasa tenang. Matanya menerawang, berpindah-pindah memandangi wajah-wajah di
depannya. Bibirnya yang ranum membentuk garis tipis nyaris tak berlekuk, menandakan
ketegaran yang getir. Tidak ada senyum. Juga tidak ada tangis.

Hujan di luar bagai ditumpahkan dari langit, dan Tris sejenak memikirkan seorang
pemuda yang saat itu berlari-lari kecil menembus tirai air. Larilah sejauh
langkahmu, bisik wanita itu dalam hati. Tinggalkan tempat yang berderang tetapi
pekat oleh kerancuan dan kecurangan dan kebimbangan ini. Larilah sampai tempatmu
berteduh, jauh dari jangkauan amarah dan keputusasaan. Larilah!

Kino terengah-engah menembus hujan yang kini sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Bajunya tak kuasa membungkus tubuh yang kuyup. Angin bergemuruh di pepohonan di
pinggir jalan yang satu demi satu dilewatinya. Cahaya lampu neon tak kuasa menembus
gelap yang semakin pekat oleh kabut dan air curahan langit yang murka. Muka pemuda
itu terasa peris terhantam butir-butir besar air yang bagai tak mau berkompromi.
Berkali-kali matanya berkerejap menahan perih.

"Hentikan semua permainanmu, Trista," suara bariton sang ayah menyudahi pidato
pendek tentang kemurnian perkawinan dan tentang hargadiri keluarga.

Semua orang memandang ke wanita yang duduk diam bagai patung. Semua orang diam-
diam merasakan perih di hati, melihat mahluk cantik halus mempesona itu harus
berhadapan dengan barisan penjaga keharuman nama dan moralitas. Tetapi tak seorang
pun tahu apa isi benaknya. Tak tahu bahwa sebuah kegelisahan menggeliat di
kepalanya. Sudah sampai mana pemuda itu berlari? bisiknya dalam hati. Sudah cukup
jauhkah untuk tidak merasakan perih-pedih yang menggelisahkan ini?

Kino merasakan kakinya pegal, tetapi ia terus belari. Suara langkahnya adalah
satu-satunya suara yang berani melawan gemuruh badai dan curahan air di bumi.
Cipratan-ciptratan lumpur memenuhi kakijeans -nya. Kino merasakan dadanya sesak,
tidak saja oleh olahtubuh yang menyita tenaga ini, tetapi juga oleh kesadaran
tentang apa yang dihadapi Trista di rumahnya. Ia tadi tidak bisa masuk, tetapi ia
sempat melihat ruang tamu yang berderang dan penuh bayang-bayang orang. Ia tahu,
ada sesuatu yang terjadi di sana. Sesuatu yang sama sekali tak remeh.

"Apakah kau mencintai mendiang kakakmu?" suara bening sang Ibu memecah hening.

Trista mengalihkan pandangan kepada wanita yang melahirkannya. Oh, Ibu... mengapa
bicara cinta di saat seperti ini? bisiknya dalam hati. Mengapa tidak bicara
belenggu dan racun dan dusta?

"Mendiang tahu aku mencintainya," ucap Tris pelan, hampir tak terdengar
"Lalu mengapa kau langgar janjimu?" kejar Ibu.

"Saya tidak berjanji apa-apa," ucap Tris, masih pelan, namun kali ini cukup
terdengar. Terutama di telinga Sony.

Pria itu menunduk, mencoba mencari makna di atas lantai marmer yang bersih. Tentu
saja, ia tak menemukan apa-apa di sana.

"Kamu berjanji akan menjadi ibu dari anaknya," suara bariton Ayah kembali muncul.

Trista menoleh ke lelaki yang rambutnya sudah putih semua itu. Ingin sekali ia
mengusap rambut itu dan menenggelamkan muka di lehernya seperti 10 atau 20 tahun
yang lalu. Mengapa tak bisa lagi kulakukan itu padamu, Ayah? keluhnya dalam hati.

"Saya sudah menjadi ibunya," kata Trista sambil mengusap rambut Ria di
pangkuannya.

Anak itu sejak tadi dengan tenang tidur, memakai pangkuan Trista sebagai
bantalnya. Ia tak mengerti mengapa semua kakek dan neneknya berkumpul di sini. Ia
hanya tahu bahwa ibunya telah pulang, dan bahwa tidur di pangkuannya adalah sebuah
aktifitas yang paling nyaman.

"Kau berjanji menjadi istri dari suami mendiang" suara bariton itu lagi, tidak
marah tetapi tegas dan getir.

"Saya memang istri Sony..."kata Tris sambil memandang Sony yang mengangkat mukanya
mendengar namanya disebut.

Pasangan ini saling bertatapan,... dan sebentuk garis maya terbentang di antara
mereka. Sebentuk garis yang terbuat dari es batu. Dingin sekali.

"Tetapi, pemuda itu...," suara Ibu menyela, terhenti di tengah-tengah.

"Kino. Pemuda itu bernama Kino, Ibu," kata Trista. Dan aku mencintainya, sambung
Trista dalam hati.

"Siapa dia?" untuk pertamakalinya Ibu mertua angkat bicara.

Trista menoleh ke arah seorang Ibu aristokrat yang rambutnya selalu rapi dan
perhiasannya selalu lengkap. Seorang yang dari jarak 20 meter pun sudah tercium
wangi parfumnya. Seorang yang bertanya "siapa dia" seperti bertanya "berapa
harganya".

"Seorang yang baik hati," kata Trista sambil menyunggingkan bibir. Maksudnya ingin
tersenyum, tetapi yang tampak adalah sebuah keterpaksaan-ketakrelaan.

"Seorang yang memacari istri orang?" kata Ibu mertua sambil mengalihkan pandangan,
seperti seorang pembelanja yang tak suka melihat barang di etalase.

Trista menunduk, menyembunyikan api di matanya. Dadanya bergemuruh dan terasa


ingin meledak. Kino, bisiknya dalam hati, sudah berapa jauhkah larimu?

"Istri anakmu!" sergah Ayah mertua kepada Ibu mertua.

Lalu keduanya saling tatap dengan galak. Lalu ucapan-ucapan dalam bahasa Belanda
berhamburan keluar dari mulut mereka, yang sebagian dimengerti oleh Trista: mereka
bertengkar soal anak mereka. Betapa bahagianya pasangan itu! sergah Trista sinis di
dalam hati.
Sony mencoba menengahi, tetapi malah dibentak oleh Ayahnya. Pertengkaran mulut
berlanjut, walau tidak sampai berteriak-teriak. Ayah dan Ibu Trista tampak kikuk
melihat besan mereka bertengkar. Sony kewalahan menyembunyikan rasa malunya. Trista
menutup kuping Ria dengan tangannya, kuatir anak itu terbangun. Pertengkaran
merembet ke Ayah dan Ibu Trista. Ramai sekali suasananya.

Trista menunduk mengusapi rambut Ria dan berbisik dalam hati, tidurlah yang
nyenyak anak manis. Dunia sudah jadi tak elok dipandang mata, tak merdu didengar
telinga. Lalu kepada angin yang berderu-deru di luar, Trista berbisik, sampaikan
salamku pada seorang pemuda yang berlari-lari di tengah hujan, Wahai Sang Bayu.

Dan angin seperti mengerti. Suaranya menggemuruh. Sejenak Trista menengok ke luar
jendela, tak mempedulikan orang-orang di depannya, yang kini sibuk bertengkar di
antara mereka. Air hujan masih seperti berlomba menyentuh tanah paling dulu.
Sejenak pikiran Trista terganggu,... apakah dia baik-baik saja?

*****

Kino sudah sampai di ujung jalan yang memotong jalan besar. Cukup jauh ia berlari
menembus hujan, dan telah terasa pegal mencengkram di kedua pahanya. Tetapi ia
terus berlari. Ia merasa dikejar oleh sesuatu. Oleh sebuah kegundahan dan
kegalauan, yang seperti menempel erat dekat sekali di punggungnya. Ia pun berlari
semakin cepat, walau kedua kakinya memprotes keras. Langkahnya tak lagi teratur,
tetapi terhuyung. Namun terus dan terus ia berlari menembus tirai air, memasuki
kegelapan jalan raya yang sebagian lampunya mati karena konslet.

Dari arah berlawanan, sebuah patroli polisi melaju. Supirnya berkali-kali mengomel
karena hujan yang amat lebat menutupi sebagian pandangannya. Teman patrolinya sibuk
mengusap-usap kaca untuk menciptakan kejernihan. Tetapi hujan di luar yang
menyebabkan pandangan kabur, bukan kaca yang kotor. Si supir mengomel lagi,
menyuruh rekannya berhenti mengusap-usap kaca.

Kino berlari terhuyung dengan nafas terengah. Pandangannya mengabur, tidak saja
oleh curah hujan yang lebat, tetapi juga oleh kurangnya oksigen yang dapat dikirim
jantung ke ke kepala. Maka semakin terhuyunglah pemuda itu. Semakin ke tengah jalan
pula larinya. Semakin tak sadar pula bahwa yang dijejaknya adalah jalan lurus di
mana mobil bisa berlari sampai 80 km per jam jika hari terang.

Mobil patroli terus melaju, walau kini dengan kecepatan minimum. Sang sopir
kembali mengomel, dan temannya ikut mengomel atas omelan itu. Keduanya saling
mengomel dan mengumpat. Keduanya memandang ke depan dengan konsentrasi penuh.
Keduanya melihat seseorang terhuyung tepat di depan. Dekat sekali!....... Terlalu
dekat!

"Awas!" jerit yang tidak memegang setir.

"Celaka!" jerit yang memegang setir sambil menekan pedal rem sedalam-dalamnya, dan
membanting stir menghindari Kino.

Mobil itu terbanting ke kiri, tetapi terus meluncur ke arah Kino yang tak tahu apa
yang terjadi di depannya. Tabrakan tak dapat dihindarkan. Tubuh Kino membentur
tepian mobil yang sedang berputar melintir di atas aspal yang licin. Terdengar
suara "brak!".. dan tubuh pemuda itu sejenak terangkat sebelum terpelanting ke
aspal.

Kino sempat melihat langit yang menumpahkan air, tetapi lalu tahu-tahu ia mencium
bau aspal basah dan bau amis darah. Lalu dunia berputar-berpusing tak karuan ....
Lalu kegelapan datang menyergap....
Cepat sekali salah satu polisi keluar dari mobil dan merengkuh Kino yang
tergeletak di aspal. Di pangkunya kepala pemuda itu. Darah mengalir dari keningnya
yang sobek. Pemuda itu masih bernafas, dan bahkan berucap sesuatu yang tak jelas.
Si polisi menempelkan kupingnya ke mulut Kino, mengingat-ingat apa yang dibisikkan
pemuda itu. Beberapa saat kemudian kepala Kini terkulai, darah mengalir membuat
mukanya merah pekat.

Sopir mobil patroli juga sudah keluar. Berlari menuju rekannya yang sedang
memangku Kino.

"Tewaskah ia?" ujarnya kuatir.

Temannya menggeleng, "Tidak. Tetapi ia baru saja pingsan. Ayo bawa ke rumah
sakit!"

Dengan sigap kedua polisi muda itu mengangkat tubuh Kino ke mobil patroli mereka.
Si sopir mengomel-omel lagi menyatakan kekesalannya dan merasa malam itu ia sial
sekali.

"Ia sempat menyebut nama jalan dan nomornya" kata rekannya ketika mereka sudah
bersiap menuju rumah sakit

"Rumahnya?" tanya si sopir sambil menyalakan sirene dan mengarahkan mobil ke rumah
sakit yang kebetulan tak jauh dari tempat kejadian.

"Bukan," kata rekannya yang sudah mengeluarkan dompet Kino dan memeriksa KTP-nya.
"Nanti kita kontak saja kedua alamat itu setelah sampai di rumah sakit."

*****

Ibu Kost tergopoh-gopoh keluar dibimbing seorang polisi. Mulutnya komat-kamit


menyatakan kekuatiran, dan sang polisi dengan sabar menuntunnya menembus hujan
dengan payung besar.

"Apakah lukanya parah?" tanya Ibu Kost sambil menahan tangis. Polisi itu
mengatakan ia tidak tahu, dan menganjurkan agar nanti bertanya di rumah sakit.

"Boleh saya mengajak seseorang ke sana. Ia tidak punya saudara di sini," kata Ibu
Kost. Pak polisi bilang "boleh", asalkan orang itu tidak jauh. Ibu Kost bilang, ia
ingin mengajak tetangganya. Maka malam itu Pak Rokah (ayah Indi), Ibu Kost dan Indi
sendiri, tergopoh-gopoh menuju rumah sakit. Indi bahkan teringat tentang sahabat-
sahabat Kino yang pernah diberitahu pemuda itu ketika mereka masih sangat dekat
berhubungan. Sebelum berangkat, gadis itu sempat menelpon Ridwan.

*****

Pertengkaran di ruang tamu rumah Trista masih berlangsung walau sudah agak mereda.

Terdengar ketukan di pintu dan Trista yang paling dulu bangkit setelah meletakkan
kepala Ria di bantal kursi dengan hati-hati. Entah kenapa, wanita itu merasa tidak
enak, dan merasa harus cepat-cepat ke pintu. Ia sempat menduga, itu adalah Kino
yang nekad kembali menembus hujan.

Ketika yang dilihatnya adalah seorang polisi berjas hujan panjang, sejenak Trista
merasakan lututnya lemas. Apalagi kemudian polisi itu menyodorkan sebuah KTP dan
Trista melihat fotonya. Sejenak dunia terasa hilang, dan kaki Trista tak menjejak
lantai. Tetapi wanita ini menguatkan hati, dan mengiyakan semua pertanyaan Pak
Polisi. Ia bahkan mengangguk cepat ketika polisi itu menawarkan mengantar ke rumah
sakit. Tanpa menengok dan berkata apa-apa lagi, Trista melangkah mengikuti sang
polisi ke mobilnya

Sony bangkit karena heran melihat Trista keluar bersama seorang berseragam polisi.
Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat pintu ruang tamu. Tetapi orang lainnya tidak,
sehingga ketika Trista sudah pergi dengan mobil polisi, cuma Sony yang terbengong
di pintu. Baru kemudian ia panik dan mengabarkan apa yang dilihatnya. Pertengkaran
segera usai, diganti kegemparan.

*****

Ruangemergency tampak lenggang dan terang berderang malam itu. Beberapa orang
tampak tidur di bangku panjang. Seorang suster tampak bosan duduk di meja
informasi, membaca sebuah majalah bekas. Ibu Kost, Pak Rokah dan Indi duduk di
dekat sebuah pintu yang bertulisan "dilarang masuk".

Trista datang tergopoh-gopoh dan tampak bingung. Ia tidak mengenal satu pun orang-
orang itu, dan mereka pun tak mengenal Trista. Tetapi Indi mempunyai firasat jitu.
Ia mendekati wanita yang baginya amat mempesona itu.

"Teman Mas Kino?" tanya Indi ramah

Polisi yang mengantar Trista tampaknya sangat sibuk, atau sangat bosan berurusan
dengan hal-hal begini. Maka begitu ia melihat wanita yang diantarnya disambut oleh
salah seorang "keluarga" korban, ia segera menghilang untuk mengurus identitas
Kino.

"Saya pacarnya...," desah Trista, bingung harus berkata apa, dan menatap nanar ke
arah pintu yang tertutup.

Ia ingin menyerbu masuk, menanyakan keadaan pemuda itu. Di mobil polisi tadi,
tidak ada informasi sedikitpun kecuali bahwa Kino tertabrak mobil.

Indi tertegun sejenak. Sebuah rasa iri menyelinap, tetapi gadis itu segera
mengusirnya. Ia iba sekaligus kagum melihat "pilihan selera" Kino; pria yang diam-
diam juga dipujanya.

"Mbak tidak boleh masuk ke sana," ucap Indi ramah.

"Apakah lukanya parah?" tanya Trista dengan risau; ia lupa sopan-santun dan tidak
memperkenalkan diri lebih jauh. Seluruh pikirannya tertuju ke Kino.

"Dokter bilang, cukup parah. Tetapi belum ada kepastian," ucap Indi tenang.

Gadis itu yang paling tenang di antara "keluarga" Kino. Ketika tiba di rumah
sakit, ayahnya dan Ibu Kost terus menerus bingung dan panik. Hanya gadis itu yang
bisa bertanya tenang ke suster, lalu ke dokter jaga, sehingga ia tahu bahwa luka di
kepala Kino cukup parah, tetapi juga belum tentu fatal. Semuanya tergantung
pemeriksaan yang saat ini sedang berlangsung.

Ridwan tiba bersama Rima dan Tigor. Mereka tentunya mengenal Trista, dan Ridwan
pernah melihat Indi. Maka anak-anak muda itu langsung bergabung. Sebuah "keluarga"
aneh terbentuk malam itu di ruangemergency . Sebuah keluarga yang baru berjumpa
dalam situasi menegangkan. Sebuah keluarga yang tercipta oleh bencana, serta oleh
tali batin ke seorang pemuda yang sekarang tergeletak tak sadarkan diri di meja
operasi.


Rien

Dengan rambut yang kini meriap menyentuh bahu, hidung bangir yang tegak di antar
dua mata bak telaga bening, dan bibir basah yang selalu siap menyungging senyum,
Rien adalah Dang Hyang Tari: seorangqueen of the dance terkenal di ibukota. Apalagi
ia adalah juga pencipta, seorang koreografer ulung yang mencampurkan tradisi dan
modernisasi. Satu tariannya,The Cocoon mengundang pujian setinggi langit dari para
kritikus dalam dan luarnegeri. Itulah tarian sepenuh jiwa tentang kempompong yang
berubah menjadi kupu-kupu.

Di bawah sorot tunggal lampu panggung yang kosong (kecuali oleh sebuah pohon hidup
setinggi satu setengah meter di tengahnya), Rien meliukkan tubuhnya yang terbungkus
kain putih sekujur badan, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Gerakannya aneh,
sekaligus magis karena ada warna tarian wilayah Indonesia Timur, sedikit Bali,
ditambah sedikit gerakan Serampang Duabelas, juga penuh lentingan-lentingan yang
sulit ditiru. Seperti tari-tari balet modern. Kadang-kadang ia meliuk ke belakang
sampai punggungnya hampir menyentuh lantai panggung; lalu memutar sambil menjulur
ke atas dalam gerakan lembut; lalu tangannya terentang menerobos keluar dari
balutan kain; lalu kelima jarinya merentang dan bergerak cepat seperti digetarkan
oleh motor listrik. Satu cincin yang dipakai di jari tengahnya, berkerejap-berkilau
bagai pemantik laser.

Penonton kerap bertepuk tangan. Kritikus tari duduk terpana di baris depan. Media
massa segera meliput kemana pun ia pergi. Namanya pun melejit: Rienduwati, Ratu
Baru Dunia Tari. Sebuah stasiun televisi mewawancarainya di belakang panggung.
Wajahnyasumringah masih berpeluh. Tubuhnya yang agak kurus tetapi padat-berisi,
terbungkus ketat oleh baju kaos dan celana panjang hitam. Matanya itu..... Ya,
matanya terus berbinar sepanjang wawancara. Dan ia bercerita tentang kegairahan
mencipta tarian-tarian modern yang tak sepenuhnya melupakan tradisi lokal.
Bercerita tentang karya monumentalnya,The Cocoon itu. Konon itulah pula ekspresi
jiwanya.

"Mengapa harus kepompong, Mbak Rien?" tanya si pewawancara, seorang gadis muda
yang tampak sekali mengagumi tokoh yang diwawancarainya.

"Ya, dia itu,kan , menjelma dari tidur panjang penuh penantian, ke kemerdekaan
yang bisa membuatnya terbang. Aku menyimpulkan metamorfosa itu sebagai suatu yang
megah, sekaligus rumit. Bayangkan saja, betapa bedanya antara ulat yanguget-uget ,
lalu kepompong yang patuh dan diam, lalu kupu-kupu yang indah!" kata Rien
bersemangat, dalam satu tarikan nafas yang panjang.

Si pewawancara agak menganga, dan sempat dua atau tiga detik lupa mengajukan
pertanyaan berikutnya. Untunglah Rien sangat santai, dan malah bercanda menepuk
lengan pewawancaranya sambil berucap, "Begitulah kira-kira,jeng !"

Demikianlah nama Rien semakin mencuat. Apalagi kemudian ia sering menari di pusat-
pusat kebudayaan asing di ibukota. Tak lama setelahdebut -nya di Gedung Kesenian,
Rien pun berkeliling Eropah selama satu bulan penuh; menari di beberapa festival di
Jerman, Perancis, Inggris dan Italia. Usianya masih sangat muda untuk ukuran
koreografer sekaliber itu. Ia sedang menapak angka 30. Tetapi kalau melihat
penampilannya yang ceria, segar, dan enerjik, orang pasti menyangka ia baru berusia
20-an. Dan ia masih melajang walau sudah tinggal di apartemen mewah dan punya
sebuah BMW hadiah sepasang suami-istri pengusaha Jerman yang terkagum kepadanya.
Beberapa kali pria mencoba mendekatinya, tetapi ditampik dengan halus. Alasan
terkuat yang diajukan Rien adalah: ia terlalu sibuk dengan sanggar dan tariannya.
Dan memang ia sangat sibuk di tahun-tahun pertama karirnya. SetelahThe Cocoon , ia
menciptakan dua karya cemerlang lagi. Satu diberi judul Padi - Kapas, ditarikan
berpasangan dengan seorang penari pria asal Riau. Satu lagi bernama Serambi Para
Gadis yang dinarikannya bersama 6 penari pengiring wanita. KalauThe Cocoon
mengesankan kecanggihan Rien sebagai penari tunggal, maka dua karya lainnya ini
memastikan Rien sebagai koreografer yang telah matang.

Tetapi setelah beberapa saat menjadi lajang paling populer seantero ibukota, Rien
akhirnya luluh juga. Ada seorang pria yang mendekat kepadanya, dan koran atau
majalah mulai bergosip tentang mereka. Namanya Tiyar, seorang gitaris kelompok jazz
yang berjumpa-pandang dengan ratu tari itu pada sebuah acara kesenian yang diadakan
Pusat Kebudayaan Jepang. Tiyar adalah pemuda berdarah campuran. Ibunya orang
Jepang. Ayahnya seorang Indo-Belanda. Oleh sebab itu ia bertampang unik, dengan
mata Eropa yang kebiruan tetapi rambut Asia yang hitam legam. Semua orang bilang
iacute . Maka ia pun punya rasa percaya-diri yang cukup melimpah. Maka ia pun
dengan gagah menegur lebih dahulu sambil memandang takjum sekaligus takjim.

"Halo, tarian Anda sungguh mengagumkan...," katanya sambil mengacungkan tangan


untuk bersalaman.

Rien memandang pemuda bercelana jeans dan berkaos putih di depannya, dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Lalu ia tersenyum, tetapi tidak menyambut tangan yang
telah tersodor.

"Saya Tiyar, gitaris yang sebentar lagi manggung..," kata Tiyar tetap gagah
berani, walau tangannya terpaksa ditarik kembali.

"Saya Rien, penari yang baru turun dari panggung," jawab Rien ringan sambil melap
lehernya dengan sapu tangan. Harum semerbak menyebar dari setangan tipis itu.

"Riendu. Saya sudah tahu nama Anda. Semua orang sudah tahu," kata Tiyar masih
dengan gaya penuh percaya diri.

"Apakah orang juga tahu nama Tiyar?" ucap Rien yang tiba-tiba ingin mencandai
pemuda cakep yang ... ah, kenapa ia tiba-tiba ingat seorang pemuda secakep ini di
masa lampaunya, di kampung sana?

Tiyar tersipu, "Wah, pasti belum banyak yang tahu saya," katanya sambil melangkah
merendengi Rien yang menuju kamar ganti pakaian.

"Ini jalan menuju kamar ganti, lho..," kata Rien santai, "Kalau panggung, ke arah
yang berlawanan."

Tiyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Saya mau menanyakan sesuatu kepada
Anda," katanya sambil terus merendengi Rien. Beberapa kru band melihat ke arah
mereka, dan salah seorang bersuit-suit menggoda.

"Oh! .. saya kira mau minta tandatangan," kata Rien lagi sambil tertawa kecil.
Boleh,dong , sekali-kali menggoda pemain band, ucapnya dalam hati.

"Berapa nomor telepon rumah Anda?" tanya Tiyar sebelum keberaniannya hilang.

Mereka sudah sampai di depan kamar ganti khusus untuk Rien, dan wanita itu
membalikkan badan menghadapi Tiyar yang kini terdiam menunggu jawaban bagai seorang
terdakwa menunggu keputusan hakim.
"Mau mengajak makan malam?" tanya Rien dengan ringan, seakan-akan bertanya kepada
seorang yang sudah dikenalnya lama. Tetapi justru pertanyaan seperti ini yang tidak
diduga oleh Tiyar.

"Eh.. ah, bukan begitu," ucap pemuda itu gugup, "Saya cuma ingin tahu nomor
telepon..."

Rien tersenyum manis dan penuh godaan. Rasain! sergahnya dalam hati sambil
berbalik dan masuk ke ruang ganti. Lalu sambil tetap tersenyum ia melirik sekali
lagi ke Tiyar yang terpaku di depan pintu. Lalu ia tutup pintu kamar gantinya.
Tiyar pun hilang dari pandangan mata. Kalau memang ia memerlukan nomor teleponku,
pikir Rien, biarlah ia berusaha sedikit lebih keras.

*****

Dan berusahalah Tiyar lebih keras. Agak sulit mulanya, karena Rien memang tidak
mengumbar nomor telepon pribadi. Dia biasa dihubungi di sanggarnya. Karena itulah
Tiyar ke sana. Berkali-kali ke sana, hanya untuk menunggu Rien berhenti melatih
atau berlatih. Sudah dua kali ia datang, tetapi Rien masih harus melatih anak
buahnya. Tiyar pulang dengan tangan hampa.

Pada suatu hari ia menunggu tak kurang dari 1 jam, hanya untuk kecewa karena
sebuah stasiun televisi Jerman ternyata punya janji wawancara.

"Tetapi saya sudah di sini sejak 1 jam yang lalu, Rien!" protes Tiyar ketika Rien
dengan ringannya melambaikan tangan sebelum menuju kolam ikan di bawah pohon perdu,
tempat ia menerima kru televisi Jerman itu.

"Aku tahu," ujar Rien sambil menembakkan lirik matanya yang bisa menumbangkan
beringin itu.

"Lalu, musti menunggu berapa lama lagi?" kejar Tiyar.

"Dua, ..... mungkin tiga, mungkin empat jam," jawab Rien ringan. Langkahnya
gemulai tetapi cukup cepat untuk membuat Tiyar tergopoh-gopoh di belakangnya.

Tiyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sial, umpatnya dalam hati, dua jam
lagi aku janji latihan band.

Kru televisi kemudian mengatur berdiri Rien, dekat sebuah patung batu di pinggir
kolam. Suara gemercik air terdengar lamat-lamat. Sinar mentari tak terlalu banyak,
tetapi ada beberapa lampu sorot danreflector yang dibawa khusus untuk memberi efek
cahaya sempurna. Seorang juru rias dengan sigap memupuri muka Rien yang berdiri
patuh. Sementara Tiyar berdiri di kejauhan, masih bimbang apakah akan menunggu atau
mengulang usahanya besok.

Rien memandang pemuda itu berdiri di bawah sebuah pohon. Ketika itulah, ketika
melihat pohon itu, .... melihat seorang pemuda berdiri di bawahnya dengan wajah
penuh harap.... Rien tiba-tiba teringat lagi seseorang dari masa lalunya.
Suasananya mirip: latihan menari, dan seseorang yang menunggu! Ingatan itu seperti
menyelinap dan muncul tiba-tiba di depan mata-hatinya. Ingatan itu juga seperti
sebuah cubitan; tidak sakit, tetapi cukup menyengat. Sebuah perasaan hangat yang
sulit dicerna tiba-tiba memenuhi dadanya. Di manakah dia sekarang? bisik Rien dalam
hati.

Tiyar melihat Rien memandang ke arahnya. Pemuda itu menoleh ke belakang. Ia ragu-
ragu, benarkah wanita mempesona itu sedang memandangnya, atau pohon di belakangnya?
Ketika pasti bahwa tidak ada siapa-siapa di belakangnya, kecuali sebuah pohon yang
tak begitu menarik, Tiyar menoleh kembali ke Rien. Dan Rien tersenyum. Jantung
Tiyar berdegup setengah kali lebih cepat dari sebelumnya. Cepat-cepat ia membalas
senyum itu. Dan Rien tersenyum lebih lebar lagi, memperlihatkan sederet giginya
yang bak mutiara itu. Wahai, Tiyar seperti disiram air sejuk di tengah siang yang
kerontang ini. Lalu bibir Rien bergerak, mengucapkan sesuatu tetapi tak terdengar.

"Apa?" tanya Tiyar dengan suara keras, membuat semua orang menengok ke arahnya.

"Besok!" teriak Rien membalas, dan semua orang menengok ke arah wanita itu.

"Apanya yang besok?" teriak Tiyar. Semua orang menengok ke pemuda itu lagi.

"Besok jam 4 sore. Aku tunggu di sini!" sahut Rien. Semua orang tidak menengok ke
wanita itu lagi, melainkan memandang pemuda itu. Menunggu reaksinya.

Tiyar berpikir cepat. Besok ada janji dengan salah satu majalah musik. Bisa
ditunda! Maka cepat-cepat ia mengepalkan tinju, lalu membuat gerakan membetot
dengan tangannya sambil berteriak "Yes!"

Rien tertawa renyai melihat tingkah pemuda itu. Semua orang ikut tertawa. Pemimpin
kru televisi bahkan bertepuk tangan. Juru rias sejenak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kameraman yang bertolak-pinggang dan berwajah angker itu pun ikut
tersenyum. Tiyarwas terribly happy!

*****

Begitulah akhirnya Tiyar menjadi pacar Rien setelah delapan makan malam, satu
kencan di disko, dan satu kali pergibareng ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu.

Sekarang, kemana pun Rien manggung, pasti ada Tiyar. Kemana pun band Tiyar
menggelarjazz-rock -nya, ke sanalah Rien pergi. Pasangan itu tampak serasi. Yang
satu tampak gagah dengan tubuh selalu terbungkus t-shirt putih bersih. Yang satu
tampak cantik walau juga cuma dibungkus t-shirt ungu atau hitam. Keduanya selalu
memakai celana jeans. Konon, setiap membeli jeans, pasti sepasang. Media massa
sibuk membuat spekulasi. Pertanyaannya satu: kapan mereka menikah?

Padahal usia mereka terpaut hampir 3 tahun. Seorang jurnalis iseng mengangkat
topik ini, tetapi ia didamprat redakturnya. Kata redakturnya yang berkaca-mata
tebal dan berusia hampir 60 tahun itu, jangan memancing kemarahan pembaca yang
tidak peduli pada usia, dan yang ingin terus membaca kisah dewa-dewi. Maka sang
jurnalis yang baru berusia 25 tahun itu dengan cemberut menghapus alinea-alinea
yang menyoal usia Rien dan Tiyar.

Tetapi sesungguhnyalah soal usia ini jadi topik cukup hangat di antara mereka
berdua. Misalnya, pada sebuah malam penuh bintang, ketika dengan manja Rien duduk
di pangkuan Tiyar di tepi pantai, pemuda itu berbisik di telinganya, "Kapan aku
bisa menyusul usia kamu?"

"Kalau kamu sudah bisa beli mesin waktu!" sergah Rien sambil mengucek-ucek rambut
kekasihnya.

"Berapa harga mesin waktu?" bisik Tiyar sambil mencium leher Rien yang selalu
semerbak itu.

"Tanya saja di tokonya," kata Rien sambil mendorong tubuhnya ke belakang,


menyandar sepenuhnya ke dada Tiyar yang kokoh dan bidang itu.

"Bagaimana kalau kamu saja yang mengurangi usiamu?" kata Tiyar sambil melingkarkan
tangannya di pinggang Rien. Hmm.., nyaman sekali mendekap tubuh kekasih di depan
debur ombak dan di bawah sejuta bintang.
"No way!" sergah Rien sambil mencubit lengan kekasihnya gemas.

"Aduh! Kenapa harus mencubit, sih?!"

"Gemes! Kamu suka tanya-tanya yang tidak bisa dijawab!" sergah Rien mencubit lagi.

Tiyar mengaduh lagi. Juga mengaduh dalam hati, karena sesungguhnya ia agak risau
dengan perbedaan usia. Seorang rekan satu band pernah bertanya menyindir, apakah
enak menjadi daun muda. Kalau itu bukan si Gatot yang ototnya diperlukan untuk
menabuh drum, pasti Tiyar sudah meninjunya!

Rien juga tahu apa yang di-aduh-kan Tiyar. Maka ia membalikkan tubuhnya, duduk di
pangkuan Tiyar sambil menghadapnya. Kedua tangannya dikaitkan ke leher pemuda itu.
Pandangan mereka beradu. Rien tersenyum, lalu mengecup bibir pemuda itu sekilas.

"Kamu risau soal usia lagi, ya!?" ucap Rien setengah berbisik.

Tiyar mengangguk sambil memandang dua telaga bening di depannya. Oh, sejuk sekali
telaga itu. Bisakah ia berenang di sana?

"Kenapa musti risau?" tanya Rien lagi sambil mengecup ujung hidung pemuda itu
dengan lembut.

"Karena aku ingin menikahimu," kata Tiyar tegas. Ini adalah kali ketiga ia
mengatakan kalimat yang persis sama, kata demi kata.

Rien tertawa renyai. Ia sudah bisa menduga jawabnya. Dan ia juga sudah selalu
menjawabnya dengan tak kalah tegas, "No way, Hosey!".

"Apakah karena aku lebih muda?" desak Tiyar.

"Bukan-bukan-bukan," kata Rien sambil berdendang. Ada lagu dang-dut yang berisi
lirik itu. Rien suka menggoda Tiyar dengan mengatakan bahwa dang-dut lebih mudah
dicerna daripada lengkingan gitar jazz.

"Ayolah kita menikah, Rien!" ujar Tiyar sambil merengkuh tubuh kekasihnya, lalu
mencium bibirnya yang ranum itu. Rien sejenak gelagapan. Ia melepaskan diri dengan
mendorong sekuat tenaga.

"Kamu mengajak menikah seperti mau memperkosa!" sergah Rien sambil tertawa.

"Sekarang aku yanggemes . Ayo kita kawin!" kata Tiyar mencoba mencium lagi, tetapi
gagal.

"Jangan di sini," kata Rien sambil tertawa nakal. Tiyar semakin gemas.
Direngkuhnya kuat-kuat tubuh mungil yang sintal-padat itu. Diciumnya bibir merekah-
basah yang menggairahkan itu. Dilumatnya sepenuh hati. Dibuatnya Rien mengerang-
mendesah. Tiyar tidak peduli dan terus mencium. Panjang dan lama sekali ciuman itu.
Kira-kira 12 menit 32 detik.

"Pulang,yuk ?" bisik Rien dengan nafas memburu ketika ciuman mereka usai.

"Your place or mine?" bisik Tiyar juga dengan nafas memburu.

"Ke sanggar saja!" desah Rien. Itu adalah permintaan yang tak mengherankan Tiyar.
Wanita pujaannya ini punya sebuah kamar yang mirip gua pertapaan di sanggarnya. Di
sana cuma ada kasur berlaskan tikar rotan Kalimantan. Seluruh lantainya ditutupi
tikar pandan dengan corak tradisional, berwarna hijau-kuning-merah yang agak kusam.
Dindingnya dihiasi berbagai kain tenun Sumbawa. Ada pula sebuah kain tenun Sumatera
Barat terselampir seenaknya. Di pojok ruangan ada dudukan lampu setinggi satu
meter, terbuat dari padas. Kalau lampu dinyalakan, cahayanya hanya temaram saja,
seperti lampu sentir minyak tanah di desa-desa. Di salah satu dinding ada cermin
besar yang bisa memantulkan seluruh isi ruang. Di kamar itulah Rien mencipta banyak
tarian, termasuk tigamasterpieces -nya.

*****

Di "gua pertapaan" Rien itulah mereka juga sering bercinta dan bercinta lagi.

Rien menumpahkan segala kegairahan badaniahnya di atas tubuh kokoh kekasihnya. Ia


seperti tak letih-letihnya menggumuli tubuh yang dengan sukahati melayani segala
permintaannya itu. Bagi Rien, pemuda ini adalahlover boy yang mengagumkan. Dengan
pemuda inilah ia bisa mengarungi samudera sensual yang penuh dengan puncak-puncak
ombak kenikmatan itu. Ia bisa leluasa duduk di pinggul pemuda itu, merasakan
dirinya bagai dipancang-tegak oleh kekuatan yang nyaris tak pernah sirna. Ia bisa
bebas bergerak, bahkan menarikan tarian erotik, di atas tubuh yang berpeluh itu.
Lagi dan lagi ia merengut puncak demi puncak kenikmatan, yang makin lama makin
tinggi menggapai langit birahi.

Sejak berpacaran dengan Tiyar, ada sesuatu yang terbangkit di diri Rien. Entah
betul, entah tidak. Gairah sensual Rien selalu menggebu pada percumbuan mereka.
Anehnya, setiap kali sehabis bercinta dengan pemuda itu, selalu datang inspirasi
indah untuk sebuah tari. Seringkali setelah pemuda itu pulang, setelah Rien puas
tergeletak di kasur percintaan mereka, datang ide untuk gerakan-gerakan tari. Lalu,
malam-malam, atau pagi-pagi sekali, Rien bangun untuk mematangkan ide itu.
Bertelanjang dada ia menari sendirian di depan cermin, mencoba gerakan-gerakan baru
dan mencatat setiap gerak yang telah ia rasakan sempurna.

Apakah semua seniman begitu? Apakah semua seniman memakai sumberdaya seksual untuk
pemicu daya cipta? Mungkinkah ada hubungan antara orgasme dan ide yang cemerlang?
Ah, pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab oleh Rien. Ia juga akhirnya tak
peduli, dan tak pernah mau mencoba membuktikan benar-tidaknya. Ia terus saja
berkarya, dan terus pula bercinta.

Tiyar pada mulanya terkejut ketika mereka pertama-kali bercinta, kira-kira empat
bulan yang silam, atau tiga bulan setelah perkenalan mereka. Tidaklah ia menyangka
bahwa wanita cantik yang cerdas dan kreatif itu ternyata adalah seorang petualang
sensual di atas ranjang. Tiyar pada awalnya berlaku sopan dalam bercinta, berusaha
menunjukkan bahwa ia tidak mengejar badan melainkan hati wanita itu. Tetapi setelah
dua kali bercinta, Tiyar tak peduli lagi. Ia pun melayani saja segala permintaan
Rien, betapa pun liar dan sensualnya permintaan itu.

Seperti malam ini, di awal percumbuan, Rien berbisik serak, "Eat me, please...".
Dan Tiyar pun dengan senang hati memenuhi permintaan itu. Dan wanita itu mengerang-
erang menikmati tiga kali puncak kenikmatan. Tubuh bagian atasnya masih terbungkus
lengkap. Hanya dari pinggang ke bawah yang terbuka-bebas. Sebuah kursi rotan dibawa
masuk kamar, khusus untuk itu. Dan di atas kursi itu Rien menggelepar-geleparkan
orgasmenya sambil merintih-memohon agar Tiyar melakukannya lagi dan lagi. Ia minta
dikulum. Ia minta digigit-gigit kecil. Ia minta ditelusupi-ditelusuri. Ia minta
ini, ia minta itu. Semua diberikan oleh Tiyar.

Lalu, lama setelah itu, Rien minta digendong ke kasur yang tergeletak dingin di
lantai. Di situ ia minta Tiyar melumat-luluh-lantakkan tubuhnya yang telah
telanjang sepenuhnya. Di situ mereka bergumul kekiri-kekanan, depan-belakang, atas-
bawah. Lalu Rien minta di atas. Tiyar pun sukarela menggeletakkan tubuhnya yang
memang sudah cukup letih. Lalu Rien mendominasi permainan yang seperti tak pernah
bisa dihentikan ini. Berkali-kali wanita itu menjerit-jerit kecil, menggigit
bibirnya sendiri, meremas bahu Tiyar di bawahnya, menjepitkan kedua pahanya yang
sudah basah kuyup oleh peluh mereka berdua. Berkali-kali!

Barulah 95 menit kemudian, ... mungkin lebih...., mungkin dua jam kemudian....
keduanya terhempas di pantai pencapaian bersama. Tergeletaklah keduanya dengan
nafas terengah-engah dan wajah letih tetapi penuh kepuasan. Kasur dan seprainya
sudah awut-awutan centang-perentang basah dan lengket pula di sana-sini. Rien
menelungkup di dadalover boy -nya. Ia pejamkan mata dengan nikmat. Dan saat itulah
ia berpikir tentang sebuah gerakan kaki untuk proyek tarian berikutnya, yang diberi
judul Untuk Langit Untuk Laut (For the Sky, For the Sea). Ia berpikir tentang
sebuah gerakan menendang sambil meregang, seperti ketika tadi ia menikmati
orgasmenya, entah yang keberapa!

*****

Nama Riendu terus mencuat di dunia panggung. Setelah tariannya, orang mulai
melirik kemampuan aktingnya. Sebuah sinetron segera dibuat untuknya dan Rien
mendapat banyak sekali uang untuk 12 episode. Baginya, sinetron ini juga tidak
terlalu baru karena kisahnya adalah tentang seorang penari ronggeng di sebuah dukuh
terpencil. Rien sangat menyukai peran ini karena ia juga bisa "memaksa"
sutradaranya memakai beberapa gerakan ciptaannya sendiri.

Hidup Rien mulai gemerlap dan sibuk. Tiyar dengan setia berada di sampingnya, dan
Rien bersyukur memiliki pacar yang bisa disandarinya kalau sedang capai, bisa
diajak bercanda kalau sedang gundah, dan bisa diajak bercinta kapan saja!

Sinetronnya belum lagi ditayangkan, ketika pada suatu malam di selashooting


seorang asistennya datang membawa sebuah foto seorang anak dara yang minta
ditandatangani. Sambil menghirup minuman dingin, dengan acuh tak acuh Rien menerima
foto itu dan bersiap-siap membubuhkan tandatangan. Ia sudah siap untuk ini: menjadi
populer dan dikejar-kejar pemburu tandatangan. Ia telah buat sebuah tandatangan
sederhana yang bisa digoreskan dalam satu gerakan. Ia hampir tak pernah mengamati
benda yang ditandatangani. Kali ini pun ia siap menggores, tetapi... sebentar dulu!

"Eh?!" Rien menjerit, tidak jadi menggoreskan tandatangannya, matanya terpaku pada
foto gadis di tangannya. Ia kenal gadis itu. Nun di sebuah kota kecil, ia pernah
lihat gadis ini. Ia tak pernah lupa matanya yang lembut dan wajahnya yang manis-
polos itu.

"Kenapa?" Tiyar menjulurkan kepala dari sebelahnya, ikut memandangi foto itu.

"Aku rasanya kenal anak ini," kata Rien sambil mengernyitkan dahi.

"Itu foto anak SMA, ada sejuta yang seperti dia," kata Tiyar seenaknya.

"Justru itu. Aku kenal sewaktu anak ini masih SMA. Sekarang pasti bukan SMA lagi,"
kata Rien sambil terus mengamati foto di tangannya.

"Orangnya ada di luar, Mbak," kata sang asisten yang berdiri patut di sebelah
Rien, memberanikan diri menyela.

"Kamu tahu namanya?" tanya Rien.

"Alma," kata asistennya.

Tentu saja! sergah Rien dalam hati sambil bangkit menarik tangan asistennya dan
berkata, "Antar saya ke anak itu!"

Di luar, Alma berdiri gelisah. Ia tidak yakin tindakannya itu bijaksana. Ia memang
bermaksud meminta tandatangan sambil mencoba mengadu untung, siapa tahu Mbak Rien
masih ingat. Ketika Alma melihat Mbak Rien keluar dari sebuah tenda tempat para
artis beristirahat, gadis itu hampir tak mengenalinya lagi. Maklumlah, wanita
penari yang cantik itu kini semakin jelita dengan pakaian yang "wah" dan dengan
aura yang penuh kharisma. Baru setelah dekat, Alma sadar ia berhadapan dengan Dang
Hyang itu, dan lututnya lemas. Lidahnya kelu.

"Hai!" seru Rien riang melihat Alma berdiri terpaku. Ia tidak bisa lupa gadis ini,
walau sekarang tampak agak kurus.

"Mbak Rien?" ucap Alma ragu-ragu.

"Ya! Apa kabar kamu, Alma!" seru Rien dengan riang. Tiyar yang melongok dari tenda
sempat terheran, tetapi lalu masuk lagi.

Mereka berpelukan, walau Alma sempat kikuk menyambut rentangan tangan seorang
bintang. Sedangkan Rien sendiri tanpa canggung menempelkan pipinya ke pipi gadis
itu. Kurus sekali dia, pikir Rien sambil membayangkan seorang anak SMA dengan
seragam putih abu-abu.

"Mbak tidak lupa kepada saya...," bisik Alma seperti mau menangis. Sesungguhnya ia
terharu diterima seperti ini oleh seseorang yang fotonya menghiasi sampul majalah
wanita di seluruh Indonesia.

Rien tertawa sambil mencengkram erat bahu Alma, "Tidak! Mana mungkin Mbak lupa
samacah ayu seperti ini."

Pipi Alma merona merah, dan sambil tersipu berkata, "Ah, bisaaja , Mbak!"

Hmm..., logatnya sudah seperti anak metropolitan, pikir Rien. Ia lalu menarik Alma
untuk ikut masuk ke tenda para artis. Dengan canggung gadis itu mengikutinya. Ia
seperti sedang bermimpi, melihat dari dekat para artis yang sedangshooting !

Lalu mereka bercakap-cakap panjang lebar. Terutama Rien yang memberondong dengan
pertanyaan-pertanyaan, dan Alma menjawab polos betapa ia kini sudah berpraktek
dengan mayat-mayat di rumah sakit, sudah pandai membersihkan nanah dari borok-borok
di kaki pasien miskin dan para gembel, sudah pernah melihat darah tumpah ruah dari
seorang ibu yang mengalami perdarahan...

"Astaga!... Anak sehalus ini akan menjadi tukang bedah perut orang?" seru Rien
sambil tertawa riang. Tiyar ikut tertawa, dan berkomentar, "Asal jangan
meninggalkan guntingnya di dalam!"

Alma ikut tertawa, agak lega karena ternyata para bintang itu manusia juga. Bisa
bercanda dan tertawa seenaknya. Pastilah mereka makan nasi, dan sekali-kali pasti
juga makan tempe, pikir Alma sambil melanjutkan tawanya dalam hati.

Lalu mereka bernostalgia tentang kota kecil nun di sana. Tentang pasar yang satu-
satunya, dan tentang stasiun bis kota yang hanya ramai di akhir pekan. Kemudian
juga tentang anak-anak peserta sanggar yang kata Alma sekarang sudah berpencaran.
Ada yang jadi pegawai bank, ada yang jadi pramugari, ada yang kawin dengan juragan
perahu. Tak satu pun yang jadi penari! ... Rien tertawa gelak mendengar yang
terakhir ini.

"Bagaimana kabar Kino?" tiba-tiba saja keluar pertanyaan itu dari mulut Rien yang
sedang tertawa. Dan begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, begitu pula Rien
tersadar. Tawanya berhenti. Eh, mengapa aku bertanya tentang dia? sergah hati
kecilnya.
Alma ikut terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak siap menjawabnya, karena ia
pun tidak tahu kabar pemuda yang sempat mengisi relung-relung terdalam hatinya.
Sekarang ia sulit sekali masuk ke relung-relung itu; sulit menemukan apakah nama
pemuda bermata lembut yang selalu gundah itu tetap tergores di dinding hatinya.

"Maaf," kata Rien melihat gadis di depannya terpana tak bisa menjawab. Ah, tetapi
apa perlunya minta maaf? sergah hati kecilnya lagi.

"Saya juga tidak tahu, Mbak. Maaf juga," ucap Alma memelas, tetapi justru tampak
lucu. Rien pun segera tergelak untuk mencairkan suasana. Sudahlah, kata hati
kecilnya, hentikan pertanyaan tentang pemuda itu.

"Ya, sudah! Kita ngomong yang lain saja," kata Rien ringan di antara tawanya.

Lalu celoteh mereka berdua berlanjut. Tiyar pun merasa tersingkirkan, dan sambil
bersungut pemuda itu meraih sebuah minuman dingin dan berlalu ke arah beberapa kru
film yang sedang duduk-duduk main kartu remi.

Kalau sajashooting tidak segera dimulai, mungkin mereka akan bicara sampai berjam-
jam lagi. Namun sutradara akhirnya berteriak, orang-orang segera berkemas, Rien pun
siap dibedaki dan di-briefuntuk adegan berikutnya. Alma tahu diri. Dia segera pamit
sambil memohon untuk boleh menemui Rien lagi di lain waktu. Rien tersenyum manis
sambil mengangguk, lalu memberikan nomor telepon pribadinya. Alma segera
mencatatnya, lalu segera meninggalkan wilayahshooting . Tak sedikit pun ia ingat
bahwa fotonya belum lagi ditandatangani!

Alma

Gadis kota kecil bermata lembut dan berwajahinnocent itu tetap saja bermata lembut
dan berwajahinnocent . Kecuali kini ia adalah mahasiswi ibukota yang terkadang
terlihat sangat letih akibat kuliah yang ekstra berat di fakultas kedokteran.
Tubuhnya menjangkung sedikit. Juga menjadi agak kurus, walau justru membuatnya
lebih semampai. Kalau ia memakai baju terusan (yang belum pernah dilakukannya di
kota kelahiran dulu), Alma tampak matang dan dewasa. Rambutnya dipotong agak
pendek, sehingga lehernya yang jenjang itu makin tampil indah.

Gadis itu kini juga adalah gadis ibukota. Penampilannya berubah, walau
kesederhanaan masih membekas kuat. Ia kini memakai lipstik dan minyak wangi merek
terkenal, yang dulu hanya pernah ia lihat di meja rias Ibu. Ia juga memakai
berbagai asesori, walau tak mewah. Secara keseluruhan ia tetap Alma yang dulu,
dengan senyum manis yang terkesan terlalu sopan, walau kalau tertawa bisa berderai
lepas renyai. Bicaranya tetap polos dan tanpa prejudis, walau kini logat ibukotanya
semakin kental. Ia tetap Alma yang dulu suka bersepeda ke pantai, walau kini ia
lebih suka naik mobil ke mana-mana. Hobi pecinta-alamnya agak terbengkalai, diganti
hobi mengoleksi kaset penyanyi pop.

Dua tahun pertamanya di ibukota adalah masa yang tak enak: sebuah kemarau yang
teramat panjang di hatinya. Sebuah kegersangan yang berujung di sepucuk surat yang
tak jadi dikirimkan ke seseorang nun di sana. Ironisnya, surat itu pula yang
memegat-putus dirinya dengan masa lampau. Sejak surat itu selesai, maka usai sudah
sebuah babak hidup belianya. Namun, lebih ironis lagi, sampai saat ini surat itu
sebenarnya masih ada, tetapi Alma lupa di mana ia meletakkannya. Mungkin di antara
puluhan buku dan diktat yang tergeletak begitu saja di kamarnya yang agak semrawut.
Mungkin di bawah baju-bajunya. Mungkin terselip di salah satu diari usang di pojok
meja. Mungkin...
Alma kini agak lupa isi surat itu, tetapi ia masih bisa mengira-ngira. Paling
tidak ia ingat salah satu kalimat yang ia tulis dengan agak gemetar itu: ...lupakan
Alma, dan belajarlah lebih giat lagi... . Ia juga ingat, surat itu akhirnya selesai
setelah hampir selusin lembar kertas merahmuda tersobek-tercabik. Tetapi, setelah
jadi, surat itu tidak dikirim. Surat itu menggeletak selama seminggu di mejanya.
Lalu ia membawanya ke kantor pos, tetapi di pintu masuk ia menghentikan langkah.
Tidak jadi membeli perangko dan mengirimnya. Lalu surat itu diselipkan di diarinya
dan dua minggu kemudian diari itu habis terisi. Lalu diari itu diganti.... Surat
itu tak pernah terkirim.

Alma tak pernah lupa mengapa ia menulis surat terakhir itu. Mengapa dengan
berlinang air mata ia mengambil keputusan pedih itu. Alma ingat, surat itu ia tulis
dua malam setelah Devan menciumnya di beranda.....

******

Devan.... Alma menggigit bibirnya ketika nama pemuda ini melintas di hatinya.
Kuliah anatomi lanjutan sedang berlangsung di siang yang terik. Dosen di depan
kelas sebetulnya selalu menarik untuk didengar, tetapi ini bukan jam yang terbaik
untuk duduk-diam. Hampir semua mahasiswa, 99,9%-nya lah (kecuali si Alex yang
sepertinya tidak pernah mengantuk itu!) terlihat berjuang keras melawan kantuk.
Alma pun sudah 7 kali menguap, dan sudah 11 kali melirik ke arlojinya. Lambat
sekali jalannya jarum-jarum jam itu!

Devan... Alma tersenyum sendiri mengenang pemuda jangkung yang mengendarai jip CJ-
7 dan selalu berkacamata pilot itu. Dia pasti sudah menunggu dengan sabar di
pelataran parkir. Enak betul dia!.. kuliahnya selalu selesai sebelum pukul 12
siang. Apakah anak-anak ekonomi memang tidak banyak perlu mendengarkan dosen
mengoceh di depan kelas? Apakah persoalan ekonomi selalu lebih ringan daripada
persoalan badan manusia yang sakit?

Sore nanti pemuda itu kembali harus memimpin regu basketnya bertanding lawan anak-
anak teknik. Alma tentu saja harus ada di pinggir lapangan, dan harus ikut
berteriak-teriak sambil mengepalkan tinjunya yang kecil. Setiap kali bola masuk
oleh Devan, maka Alma berteriak paling keras sehingga sering dicubit oleh Pasya,
temannya sesama anak kedokteran yang sama-sama berpacaran dengan anak ekonomi.
Bedanya, pacar Pasya tidak bisa main basket sepandai Devan, sehingga lebih sering
duduk di bangku cadangan. Lebih menyebalkan lagi bagi Pasya, pacarnya selalu main
di penghujung pertandingan, saat kesempatan menjaringkan bola sudah semakin kecil.

Alma tiba-tiba teringat sesuatu. Diambilnya tas dari kolong meja, dan dengan hati-
hati ia mengintip ke dalamnya. Hmm,.. ternyata ia tidak lupa membawa tempat minum
berwarna biru tua itu. Di dalamnya ia telah membuat air jeruk dingin yang manis dan
segar untuk Devan. Tadi pagi ia sempat ribut karena jeruk yang telah disiapkannya
ternyata dipindahkan oleh Mbok Iyem. Dengan panik ia mengaduk-aduk lemari es ketika
tidak menemukan jeruk-jeruk itu. Baru setelah menjerit sana-sini, Mbok Iyem dengan
tenangnya menyodorkan tas plastik penuh berisi jeruk. Huh!... hampir saja!

Alma baru saja meletakkan kembali tasnya, ketika Profesor Tasrif akhirnya
kehabisan bahan pembicaraan. Dosen tua yang selalu berkemeja putih itu akhirnya
menghentikan kuliahnya lebih cepat 2 menit dari jadwal yang seharusnya. Semua
mahasiswa bernafas lega; terburu-buru Alma memasukkan buku dan alat tulisnya. Pasya
di sebelahnya juga sudah bangun (dari tadi ia tertidur dengan dagu tertumpang di
tangannya!), dan sudah berberes pula. Hebat sekali gerakan kedua gadis ini, serba
cepat dan akurat. Pada saat mahasiswa lain masih merenggangkan otot-otot mereka
setelah duduk 2 jam lebih, pada saat mereka masih dengan lesu memasukkan alat-alat
tulis mereka, Alma dan Pasya sudah melesat keluar kelas. Hampir saja mereka
menabrak Profesor Tasrif yang segera berseru, "Duh-duh-duh... tak kan lari gunung
dikejar!"

Pasya cekikikan sambil berseru, "SorryProf!... Gunung yang ini bisa lari!"

Profesor Tasrif pun geleng-geleng saja sambil menghela nafas, teringat masa
mudanya. Mana mungkin ia bisa berteriak begitu kepada profesornya yang orang
Belanda itu!

*****

Devan melihat kedua gadis itu berlari kecil keluar dari gedung kuliah. Alma menuju
tempat parkir, Pasya berbelok ke arah kantin. Senang sekali Devan melihat
kekasihnya tampak riang. Baginya, Alma adalah burung lincah yang selalu ceria.
Walau kadang-kadang ia terlihat ringkih dan letih, tetapi gadis itu selalu
membinarkan cahaya kasih di matanya setiap kali mereka berjumpa. Dengan sigap Devan
melompat turun dari jipnya, bersiap menyambut kekasihnya dengan wajah penuh senyum.
Cepat sekali Alma sudah berada di depannya, dengan nafas terengah-engah dan butir-
butir kecil keringat di ujung hidungnya.

"Sudah lama?" tanya Alma sambil membiarkan Devan meraih tas dari bahunya.

"Baru dua jam," kata Devan kalem sambil membuka pintu dan meletakkan tas di kursi
belakang.

Alma tertawa mendengar jawaban itu. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam.

"Sudahma-em ?" tanya Alma lagi sambil naik ke atas jip, dan sambil dengan manja
membiarkan pinggangnya di rengkuh Devan yang membantunya naik.

"Sudah," kata Devan pendek, lalu disambung, "... tadi pagi."

Alma tertawa lagi. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam dengan perut kosong!

Devan berjalan memutar untuk menuju sisi pengemudi. Alma mengikuti langkah
kekasihnya dengan pandangan. Betapa kalemnya pemuda itu, tidak pernah mengeluh
walau harus menunggu berjam-jam.He is sooooo cool! bisik hatinya. Sejak berpacaran,
belum pernah sekalipun Alma mendengar Devan mengeluh atau mengomel. Bahkan ketika
rombongan mahasiswa luarkota mengalahkan regunya dengan telak, Devan tetap saja
kalem. Bahkan ketika Alma sedang tidakin the mood dan sedang uring-uringan, Devan
tetap saja tenang. Seperti gunung, ia tegak-diam dalam teduh.

Ketika akhirnya Devan telah duduk di sisinya, Alma mengeluarkan bungkusan roti
yang sudah ia siapkan dari rumah. Ia tahu Devan suka telur dadar, maka dibuatnya
duasandwiches berisi telur dan keju. Setelah membuka bungkusnya dengan hati-hati,
Alma mengerat salah satu roti itu dengan tangannya. Lalu, ketika akhirnya mobil
mulai bergerak, gadis itu menyuapi kekasihnya dengan sabar. Alma pernah melihat
ibunya menyuapi ayah seperti ini, mesra sekali. Ia ingin seperti ibunya!

*****

Bulan September ini, genap dua tahun mereka berpacaran.

Sepulang dari bertanding basket yang berakhir dengan kemenangan anak-anak ekonomi,
Devan mengantar Alma. Sebelum berpisah, Devan berjanji akan menjemput pukul 8
malam. Mereka akan pergi menonton malam ini, merayakan pertautan cinta mereka.

Dua tahun yang lalu, pada malam seperti ini pula, Devan mencium Alma di beranda
yang temaram. Waktu itu bukan malam minggu, dan mereka baru saja pulang menghadiri
sebuah rapat mahasiswa. Alma sebetulnya agak risih karena belum mandi. Tetapi sejak
berteman dengan Devan yang ia kenal pada masa perploncoan itu, Alma merasa semakin
dekat kepadanya. Devan lebih tinggi setingkat darinya, dan semasa penggojlokan yang
meletihkan, Alma beruntung mendapat "dewa pelindung" yang kalem dan tidak banyak
cing-cong itu. Mulanya Alma menyangka Devan akan mencari keuntungan dari kepolosan
seorang gadis kota kecil. Tetapi dugaan itu segera sirna, karena justru akhirnya
Alma yang mengambil keberuntungan darinya. Setelah perpeloncoan selesai, hubungan
mereka berlanjut, dan semakin lama semakin dekat.

Nah,.. malam itu mereka berjalan diam-diam dari pintu pagar ke beranda. Rasanya
jauh sekali beranda itu.... karena mereka berjalan bergandengan dan sama-sama
sedang gundah menimbang-nimbang: sekarang atau nanti? Sudah berkali-kali mereka
berjalan bergandengan seperti ini, dan sudah berkali-kali mereka merasa hanya
berdua saja di dunia yang luas di bawah langit yang tak berbatas. Berkali-kali
muncul pertanyaan itu di hati mereka: sekarang atau nanti?

Rupanya Devan lebih cepat mengambil keputusan. Ketika mereka tinggal dua langkah
saja dari beranda, Devan menghentikan langkahnya dan menahan langkah Alma. Gadis
itu sejenak merasakan tubuhnya lemas tak berdaya. Jantungnya berdegup keras dan
hatinya masih penuh dengan pertanyaan: sekarang atau nanti? Tetapi lalu semuanya
seperti sirna -keraguan menguap, kegelisahan melenyap- ketika Devan merengkuh dan
memeluknya. Lalu pemuda yang penuh ketenangan itu mengangkat dagu Alma. Lalu pemuda
itu mencium Alma. Lalu bintang-bintang seperti hilang dari langit, dan langit itu
sendiri berubah menjadi bentangan beludru hitam yang maha luas.

Alma menyambut ciuman itu dengan sepenuh hati. Lembut sekali Devan menciumnya,
mula-mula seperti memberi salam dengan menempelkan kedua pasang bibir mereka.
Tetapi lalu berubah menjadi gairah, karena Alma membuka bibirnya yang ranum, dan
Devan mengulum bibir itu. Dan mereka saling mengulum. Dan Alma merasa tubuhnya
seringan embun di pagi hari yang melayang-layang di antara dedaunan. Indah sekali
ciuman itu, memberikan getar-getar kecil di sekujur tubuh mereka, membuat keduanya
seperti dua serangga yang bertukar madu.

"Mmmmh...," Alma mengerang dan melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda


jangkung itu. Kedua kakinya juga terpaksa menjinjit untuk bisa dengan leluasa
menikmati ciumannya.

Devan merengkuh gadis itu lebih erat lagi, memeluk pinggangnya dan mengangkatnya
sedikit. Ringan sekali tubuh gadis ini, pikir Devan. Mungkin aku bisa mengangkatnya
dengan sekali gendong, dan lalu melompat ke bubungan atap rumah.

Cukup lama mereka berciuman, sampai akhirnya Alma melepaskan diri untuk mengambil
nafas. Devan merenggangkan pelukannya dan mereka berpandangan dengan jarak yang
sangat dekat. Alma bisa melihat dua bola mata yang lembut memandangnya. Dari
kelembutan itu datang pula kehangatan yang mampu menembus kalbu. Hidungnya yang
mancung -karena Devan memiliki darah asing- terlihat jelas dan memberi ketegasan
pada wajahnya yang gagah. Alma terpukau memandang wajah yang sejak lama dipujanya
itu.

"Aku rasa kita sekarang sudah resmi pacaran," bisik Devan sambil tersenyum.

Alma menahan tawanya, "Kenapa baru sekarang kamu menciumku?" bisiknya.

"Lho.. seharusnya kapan?" kata Devan sambil membelalakkan matanya dengan lucu.

"Seminggu yang lalu," kata Alma sambil merapatkan pelukannya.

Devan mengernyitkan keningnya, "Seminggu lalu aku bertanding lawan anak-anak


sosial-politik."
"Ya, memang. Kenapa tidak menciumku di belakang ruang ganti, sewaktu kita tinggal
berdua saja?"

"Eh, tapi aku belum mandi,kan ?" tanya Devan ragu-ragu.

"Sudah. Kamu sudah mandi. Sudah wangi. Sudah segar," kata Alma yakin.

"Oh, ya?. Tapi kamu,kan , belum mandi," kata Devan merasa terdesak.

"Sekarang malah kita berdua belum mandi!" sergah Alma sambil tertawa dan
mempererat pelukannya.

Devan ikut tertawa. Lalu mereka berdua berpelukan saja, tidak melanjutkan ciuman.
Mereka merapatkan saja kedua tubuh mereka, dan Alma memejamkan matanya menikmati
degup jantung Devan yang dekat sekali di telinganya. Lalu dengan enggan mereka
memisahkan diri dan akhirnya Devan pulang setelah mengucapkan selamat malam.

Tanggal delapan bulan kesembilan itulah Alma mengukir prasasti cinta keduanya di
tengah galau-semarak kampus, di belantara beton ibukota yang hiruk-pikuk. Inilah
prasasti yang jauh berbeda dari gita cinta yang ia nyanyikan di tengah keasrian-
keteduhan kota kecil di lingkung bukit tempat cinta pertamanya dulu bersemi.

*****

Film yang mereka tonton tidak terlalu bagus. Bahkan semakin menyebalkan di tengah-
tengahnya, sehingga Alma memaksa Devan keluar dari bioskop sebelum film usai.
Sebagian penonton juga tampaknya memiliki pikiran yang sama. Sepasang kekasih itu
pun akhirnya keluar.

"Film-nyanggak seru!" sergah Alma dengan sebal sambil menggamit lengan Devan.

"Ceritanya terlalu bertele-tele, sutradaranya mungkin baru belajar" kata Devan


kalem. Heran! pikir Alma, kekasihku ini selalu berkomentar dengan tenang, walaupun
isi komentarnya bisa juga pedas.

"Sutradaranyabego !" sergah Alma memancing emosi Devan. Ia ingin tahu, seberapa
tegar kekasihnya ini.

"Mungkin baru lulus akademi sinematografi," jawab Devan kalem.

"Yuk, kita minta lagi duit karcis kita.Sebel betul,deh rasanya harus membayar
mahal untuk film kampungan!" ucap Alma senyinyir mungkin.

"Bukan salah bioskopnya,dong ," kata Devan dengan nada yang sama. Tidak sedikit
pun menampakkan emosi.

"Habis, salah siapa? Salah kita?" sergah Alma sambil mengguncang-guncang lengan
kekasihnya.

"Ya," jawab Devan membiarkan tangannya diguncang-guncang. Apalah artinya guncangan


Alma dibandingkan tabrakan-tabrakanfull body contact di pertandingan basket!

"Nggamau!" kata Alma seperti anak kecil kehilangan permennya, "Kamuaja yang salah.
Akungga !"

"Ya, sudah. Maaf," kata Devan sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Mereka
sudah memasuki pelataran parkir.

"Ih, sebel!" sergah Alma, lebih kepada dirinya yang gagal membangkitkan emosi
Devan daripada kepada siapa-siapa.

Devan tertawa kecil mendengar dan melihat tingkah Alma. Dia tahu, gadis itu
memancing emosinya. Tentu saja dia bisa menahan emosi, karena dia tahu dirinya
sedang dipancing!

"Nanti kita beli permen coklat, supaya kamungga sebel lagi," kata Devan kalem.
Alma tertawa kecil, tahu bahwa permainannya berakhir dengan kekalahan di pihaknya.
Dengan gemas dicubitnya pinggang Devan yang cuma bergeming sedikit.

"Akungga mau coklat," sergah Alma manja sambil memeluk pinggang kekasihnya, "Aku
mau dicium yang lamaaaaaaaaaaaa... sekali!"

Devan cuma tersenyum mendengar permintaan itu.

*****

Mereka pergi ke pinggir pantai dan Devan memarkir mobilnya menghadap laut yang
berdebur-debur dalam gelap. Bulan sedang mati dan mendung menutupi sebagian besar
bintang di langit. Suasana sepi memicu romantisme pada siapa pun.

Devan mencium Alma lama sekali, sesuai permintaan gadis itu. Mereka pindah duduk
ke kursi belakang, dan dengan manja Alma menyandarkan tubuhnya di dada kekasihnya.
Satu tangannya memeluk pinggang Devan, dan satu tangan lainnya merengkuh leher
pemuda itu. Devan menopang kepala gadis itu dengan tangannya yang kukuh, sementara
tangan yang lain bisa bergerak leluasa.

Mereka sering ke tempat ini untuk bercumbu, dan sering terlibat dalamheavy petting
yang mengasyikkan. Alma selalu suka dibawa ke sini, direngkuh oleh pemuda atletis
ini, dicium dan dikulum selama-lama mungkin. Terlebih-lebih lagi, Alma selalu
menikmati tangan Devan yang mengelus-meraba sekujur tubuhnya. Pemuda itu dengan
perlahan dan penuh ketenangan selalu berhasil membangkitkan gairah asmaranya,
membawanya ke puncak kegairahan.

"Hmmmmm...," Alma mengerang sambil menggeliatkan badannya ke kiri ketika tangan


Devan menelusupi dadanya, masuk ke bawah behanya yang telah longgar karena kaitnya
telah terlepas. Sebuah serbuan kenikmatan memenuhi dada gadis itu, membuat kedua
payudaranya langsung membusung-menggembung penuh antisipasi. Apalagi dengan satu
jarinya pemuda itu mengelus-elus daerah di sekitar puncak payudaranya....... Oh,
Alma mengerang dan mengerang lagi dengan mulut yang masih dipenuhi ciuman
kekasihnya.

Semakin lama elusan dan rabaan tangan Devan semakin menimbulkan nikmat luarbiasa
di diri Alma. Gadis itu bergerak-gerak gelisah dalam pelukan kekasihnya,
mengucapkan kata-kata yang tak jelas karena bibirnya sedang dilumat oleh pemuda
itu. Tetapi, walau tak jelas, Devan bisa menangkap permintaan kekasihnya. Ia
meremas dada Alma, karena ia tahu gadis itu ingin diremas. Ia mengurut-urut puncak
payudara Alma, karena ia mengerti apa yang dimau gadis itu.

"Oooh, ...Dev.." akhirnya Alma bisa mengerang dengan cukup jelas karena mereka
harus melepaskan ciuman untuk mengambil nafas.

"Kamu senang?" bisik Devan dengan nafas memburu. Ia sendiri sangat senang meraba-
meremas dada Alma yang menggairahkan itu. Tetapi ia merasa perlu bertanya,
memastikan apakah kekasihnya juga menikmati permainan ini. Bukankah ia berkewajiban
memberinya kenikmatan terlebih dahulu...ladies first ?

Alma tidak menjawab. Ia terlalu bergairah untuk bisa menjawab. Tetapi ia


mengangkat tubuhnya, membawa dadanya ke muka pemuda itu lebih dekat lagi. Ia lalu
mengerang dan menarik kepala Devan ke dadanya. Ia meminta sesuatu yang lebih dari
sekedar remasan dan rabaan. Devan pun mengerti sepenuhnya, karena ini bukanlah yang
pertama. Dengan ujung lidahnya, ia memenuhi permintaan kekasihnya dan Alma pun
mengerang keras sambil memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang panas memercik
di puncak payudaranya. Ia meremas gemas rambut pemuda itu, meminta lagi dan lagi.
Ia terus mendaki semakin tinggi di bukit birahi yang kini tampak menerjal itu.
Devan pun memberikan dukungan bagi pendakian ini dengan mengulum dan menggigit
kecil.

"Aaah!" Alma mengerang keras ketika merasakan payudaranya seperti hendak meletup
oleh rasa geli-gatal yang tak terperi. Sebentuk energi yang mendesak-desak kini
terkumpul di tubuhnya, meriak-riak dari dadanya ke perutnya, ke pinggulnya, ke
pahanya, ke kakinya.

Lalu secara instingtif Alma meraih tangan kekasihnya yang masih bebas, mendorong
tangan itu ke bawah sambil membuka kedua pahanya. Devan pun mengerti permintaan
yang satu ini. Ia pun menyingkap rok kekasihnya, menelusupkan tangannya untuk
meraba paha yang mulus dan halus itu. Telapak tangannya bagai meluncur di atas
pentas sutra yang licin, lancar sekali merayap dari lutut ke pangkal paha, lalu ke
celah yang terbalut oleh kain tipis menerawang itu.

"Mmmmhhh ....," Alma mendesah gelisah, "Akupengin Dev.......,"

Devan mengangkat mukanya dari dada Alma. Gadis itu memandangnya dengan mata
berbinar penuh birahi dan permohonan. Devan mengecup pipinya sambil berbisik,
"Buka?"

Alma mengangguk dan mendesahkan "ya" yang nyaris tak terdengar. Gadis itu membuka
pahanya lebih lebar, membiarkan kekasihnya menarik celana dalamnya dan
meloloskannya dari kedua kakinya. Kini tubuhnya di bagian bawah terbebas sudah dari
segala kukungan. Kini ia membuka dirinya untuk sebuah kenikmatan yang sudah
beberapa kali ini diberikan oleh Devan pada malam-malam seperti ini.

"Kamu juga mau,kan ?" desah Alma sambil merapatkan pelukannya.

"Kamu saja dulu," bisik Devan sambil mulai mengusap-usap lembut di bawah sana.
Alma bagai tersentak ketika telapak tangan yang hangat itu menekan-mengusap bagian
paling pribadinya.

Lalu mulailah permainan-permainan kecil yang mengasikkan itu. Alma membiarkan


tubuhnya rileks tersandar di tangan Devan yang kokoh, menelentang bebas di
sepanjang jok belakang itu, membiarkan kekasihnya membangkitkan sebuahcrescendo
musik sensual di tubuhnya. Matanya setengah terpejam. Mulutnya setengah terbuka
karena hidungnya tak cukup leluasa menampung nafasnya yang memburu. Wajahnya tampak
bersinar indah ketika ia mulai mendaki puncak asmara. Dadanya yang telanjang tampak
turun-naik dengan bergairah.

Dengan sabar Devan menggunakan jemarinya untuk membawa Alma ke lautan birahi yang
bergelora-bergelombang. Pertama ia hanya mengusap-usap saja di bagian atas dan
permukaan, menyebarkan kehangatan sambil mengendurkan otot-otot Alma yang tegang.
Setelah gadis itu benar-benar rileks terbuai usapannya, barulah Devan menelusup-
menelusur dengan jari-jarinya. Mudah sekali melakukan hal itu, karena lembah sempit
di bawah sana telah basah-licin oleh cairan-cairan cinta yang mengalir lamat-lamat
dari sumbernya.

Alma mengerang lagi, semakin lama semakin keras. Devan menciumnya, mengulum
bibirnya yang basah dan menghirup nafasnya yang hangat itu. Seakan-akan, dengan
mencium Devan ingin memberi bantuan pernafasan agar kekasihnya bisa mencapai puncak
kenikmatan. Sementara tangannya kini tak lagi cuma mengusap atau menelusup-
menelusur. Melainkan, tangan itu kini bergerak menggosok-mengurut dengan cepat.
Semakin lama semakin cepat. Semakin bergelinjang-bergeletar pula lah tubuh Alma.
Suara erangannya memang terbungkam oleh ciuman Devan, tetapi tetap keluar dalam
bentuk jeritan-jeritan terputus.

Lalu Alma tiba di puncak asmara yang tinggi itu. Ia mengerang panjang sebelum
sejenak berhenti bergerak karena ia meregang dan tangannya mencengkram jok mobil.
Devan mengurut-menggosok lebih kuat. Alma mengejang dan melentingkan tubuhnya,
lalu...

"Dev!" gadis itu menjerit kecil, "Aaaaaaaaaaah!"

Tubuhnya bergetar hebat, menggelepar kuat di bawah pelukan kekasihnya yang dengan
sekuat tenaga menjaga keseimbangan. Lama sekali Alma menggelepar dan meregang
menikmati orgasme yang panjang bertalu-talu itu. Puas sekali Alma menjejak puncak
tinggi yang kini menjanjikan puncak-puncak berikutnya. Dikepitkannya kedua kakinya,
seakan dengan begitu ia bisa mencegah tangan kekasihnya meninggalkan lembah
kewanitaannya. Karena ia ingin mendaki lagi, kali ini bersama-sama Devan. Ia ingin
juga ikut meremas dan mengurut, memberikan kenikmatan setelah menerimanya.

Dan malam pun semakin pekat dengan gelora asmara, mendung semakin menebal, lalu
hujan mulai turun. Mobil mereka terkurung air yang bagai dicurahkan dari langit.
Tentu saja mereka tak peduli, karena kini mereka bersama-sama mendaki. Bersama-sama
memberikan dan menerima. Erangan mereka lenyap ditelan gemuruh hujan dan debur
ombak.

******

Hubungan keduanya semakin mengarah ke penyatuan yang sepenuhnya setelah Devan


membawa Alma menemui kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Seperti yang telah pemuda
itu duga sebelumnya, Alma pasti dengan mudah bisa diterima di keluarganya. Gadis
itu punya kharisma khusus yang membuat keluarga Devan langsung menyukainya. Salah
seorang kakak perempuan Devan -yang minta dipanggil Kak Nana- bahkan mengusulkan
sebuah pertunangan sebagai langkah menuju perkawinan. Alma tersipu saja dengan pipi
merah. Devan duduk tenang seperti tak mendengar apa-apa. Orang tua Devan
mengusulkan agar mereka berdua belajar dulu yang rajin sampai merasa cukup untuk
melanjutkan hubungan.

Justru pada saat seperti itulah, ketika pertungangan dibicarakan dan pernikahan
dicanangkan, Alma menemukan sekeping masa lalunya di diri Mba Rien. Ia membaca
sebuah majalah yang sampulnya berhiaskan wajah wanita itu. Cantik sekali ia, sergah
Alma dalam hati. Sejenak ia ragu, apakah bijaksana jika ia mencoba menemui wanita
yang kini sangat terkenal itu. Tetapi entah kenapa ia merasa harus menemui wanita
itu. Entah kenapa ia tiba-tiba dipenuhi nostalgia tentang kota kelahirannya. Maka
dengan nekad ia datang ke tempatshooting tanpa diantar Devan. Dengan nekad pula ia
membujuk seorang asisten Mba Rien untuk membawa fotonya sewaktu di SMA untuk
ditandatangani. Ia berharap, foto itu bisa mengingatkannya pada sebuah kota kecil
nun di sana. Dan ia berhasil.... (lihat cerita Rien: Tarian Sepenuh Jiwa).

Tetapi keberhasilan itu musti dibayar mahal.

Di kamarnya, sepulang dari bertemu dengan Mba Rien, Alma tercenung. Nama Kino
muncul kembali di hatinya, dan dengan gelisah ia mulai membongkar buku-bukunya. Ia
ingin menemukan surat yang tak pernah sempat ia kirimkan dulu. Lama sekali ia
membongkar dan mencari, sampai akhirnya, menjelang tengah malam, ia menemukan surat
itu masih tersampul rapi. Dengan agak gemetar, Alma merobek sampul itu dan membaca
isinya...

Kino sayang...,
Lama sekali Alma tidak berkirim surat, dan lama pula suratmu tidak datang. Sudah
hampir empat bulan ini kita tak saling berkabar. Alma sendiri tak tahu, mengapa
jarak yang memisahkan kita kini semakin jauh rasanya. Kita semakin jauh melangkah
ke tujuan yang tak berpapasan. Suratmu yang terakhir pun sangat pendek, seakan ada
keengganan di dalamnya. Alma pun tak bergairah membacanya, dan tak punya keinginan
menjawabnya. Berbeda sekali dengan dulu.

Sebentuk pedih tiba-tiba menyekat di kerongkongan Alma. Ia berhenti membaca untuk


menghela nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengisi dadanya dengan keteduhan, tetapi
gagal. Setitik air menggeliat keluar dari sudut matanya. Dengan segala daya, Alma
mencoba terus membaca...

Alma harus mengakui, Alma kini sudah berbeda, walaupun tidak bisa menjelaskan
mengapa orang bisa berubah setelah terpisah. Mungkin alam memang penuh kuasa, dan
ibukota telah mengubah Alma, membuat Alma tak lagi gundah memikirkan kamu. Tak lagi
bersemangat mencari tahu tentang keadaanmu. Alma sudah bukan yang dulu lagi, Kino
sayang.

Pandangan Alma mengabur oleh air yang menggenang di kedua matanya. Ia berhenti
membaca, meraih tisu dari meja, dan menghapus airmatanya. Tak urung, setetes air
sempat jatuh di atas kertas surat, tepat di atas kata "sayang", membuat kata itu
tak terbaca lagi. Dengan gundah, Alma lalu melanjutkan membaca...

Alma juga merasa ada yang berubah pada dirimu, walaupun tidak tertulis di surat.
Alma merasakan hubungan kita semakin dingin. Kata-katamu tidak lagi mesra dan
ceritamu tidak lagi menarik untuk dibaca. Terakhir kamu berkirim surat, malah ada
nama-nama gadis yang tidak Alma kenal. Ada Rima, ada Indi. Siapa mereka? Betulkah
mereka cuma teman-teman biasa?

Alma menarik nafas panjang dan melepaskannya dalam hempasan. Ia ingat, surat Kino
yang terakhir itu membuatnya marah, tetapi tak tahu kenapa musti marah. Saat itu ia
sudah mulai erat berhubungan dengan Devan dan sudah mulai tertarik oleh pemuda itu.
Justru ia sendiri yang tidak pernah menyebut nama teman-temannya, karena toh
tampaknya Kino tidak begitu peduli.

Alma juga punya sahabat-sahabat baru di sini. Ada Devan, ada Pasya, Abimanyu,
Ollie, Tami, dan Kris. Salah seorang di antara mereka, Devan, sangat baik dan Alma
menyukainya. Alma minta maaf karena baru menyatakannya sekarang. Tetapi entah
kenapa, sulit sekali Alma menulis surat akhir-akhir ini. Alma selalu harus memaksa
diri untuk menulis. Kali ini Alma merasa harus menyampaikannya.

Alma tersenyum kecut membaca baris ini. Surat tak pernah sampai, bagaimana mungkin
Kino mengetahui segalanya yang kini sudah berlangsung dua tahun? Tetapi, apa pula
reaksinya? Ia bahkan berhenti menulis surat sama sekali. Tidak ada selembar pun
kabar darinya, atau permintaan kepada aku untuk menulis. Ia tidak peduli, bukan?

Kino sayang,... agaknya kita memang harus berpisah. Lupakan Alma, dan belajarlah
lebih giat lagi supaya semua cita-citamu tercapai. Alma yakin, kamu pasti akan
menjadi arsitek terkenal di masa depan. Alma berdoa semoga kamu selalu berhasil
dalam hidup. Maafkan Alma, dan maafkan pula semua yang pernah Alma lakukan
terhadapmu.

Alma tercenung kelu setelah membaca surat itu. Betapa tragisnya akhir cinta
pertamanya yang berujung pada kebimbangan. Semua pesan yang telah ditulisnya dengan
berderai airmata (ia ingat sekali saat itu hatinya hancur berkeping-keping!) tak
pernah sampai ke tujuan. Semua keputusan dan permintaan maafnya tak pernah tiba di
tangan Kino. Apa yang ada di benak pemuda itu pun ia tak pernah tahu. Apakah ia
sudah tahu? Apakah ia punya mata-mata di sini yang memberinya informasi rahasia?
Terlebih-lebih lagi, Alma kini bertanya dalam hati: apakah Kino masih mencintaiku?
Atau apakah benar selama ini ia mencintaiku? Apakah aku sendiri mencintainya?

Pada pertanyaan yang terakhir ini, Alma tak sanggup menahan tangisnya. Karena ia
tahu persis jawaban dari pertanyaan itu. Ia tahu persis bahwa cinta pertamanya
adalah kepada seorang pemuda bermata lembut yang selalu gundah dan penuh
kebimbangan itu. Ia tahu setahu-tahunya, mengerti semengerti-mengertinya bahwa
cinta pertama itu sangat indah dan menawan. Ia mengenang dengan pedih lambaian
tangan pemuda itu dan senyumnya yang manis tetapi penuh kepasrahan. Ia mengenang
perlakuan pemuda itu kepadanya, cara pemuda itu melindunginya, menggandeng
tangannya meniti tepian sungai....

"He's my hero...," bisik Alma sambil menahan sedu.

Tetapi, sebagaimana layaknya semua pahlawan, Kino akan menjadi monumen di bentang
kehidupan Alma. Ia akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan, namun ia adalah
semata kenangan. Sebuah noktah yang berbinar paling terang di antara noktah yang
lain, tetapi ia tetaplah noktah.

Sampai menjelang pukul dua pagi, Alma masih tersedu. Lamat-lamat ia mendengar
sebuah nyanyian di hatinya. Sebuah lagu yang dulu sering mereka senandungkan
bersama di tengah suasana perkemahan...

Mem'ries.... light the corners of my mind.... Misty water color memories, of the
way we were
Scattered pictures..., of the smiles we left behind... Smiles we gave to one
another, for the way we were
Can it be that it was so simple then.... Or has time rewritten ev'ry line.... If we
had the chance to dot it all again... Tell me would we... Could we......
Mem'ries....... may be beautiful and yet.... what's too painful too remember, we
simply choose to forget... So it's the laughter we will remember... Whenever we
remember... The way we were

Lalu kantuk datang menyergapnya, memberi kedamaian yang meletihkan. Memberikan


pengampunan kepada kepedihan dan ketakberdayaan. Bagai payung raksasa, ufuk memerah
di langit di luar kamar. Alma tertidur di atas bantalnya yang basah....

Indi

"Indi Tantina!" suara mengguntur dari Pak Robertus menyentak seluruh kelas.

Semua orang menengok ke arah tempat duduk Indi, ke arah seorang gadis berambut
pendek yang tersenyum-senyum sambil sesekali menggigit bibirnya. Wajahnya yang
manis tetapi galak itu kini berubah penuh penyesalan, tetapi tetap saja nakal!. Apa
lagi yang diperbuatnya kali ini?

"Maju ke depan!" sentak Pak Robertus, guru matematika nomor wahid dalam soal
teriak-teriak di depan kelas.

Dengan tenang Indi bangkit dari duduknya, berjalan cepat ke depan kelas, masih
dengan senyumnya yang ditahan. Seluruh kelas sudah tahu kebiasaan guru matematika
yang galak ini, yaitu kalau ada murid yang bersalah, maka dia harus melakukan
semacam "pengakuan dosa" di depan kelas.
"Hayo. Mulailah mengaku di depan kelas!" ujar Pak Robertus sambil duduk di
kursinya, menghadap seluruh kelas dengan matanya yang galak itu. Di tangannya ada
sebuah buku bersampul coklat, dan bertuliskan nama Indi. Apa yang terjadi dengan
buku itu?

Indi mendehem sejenak, sebelum mulai bicara dengan suaranya yang lantang. Gayanya
berdiri tegak seperti orang membaca Sumpah Pemuda. Matanya masih berbinar nakal dan
wajahnya masih menahan senyum.

"Saya,.... Indi Tantina,... dengan ini mengaku belum menyelesaikan PR dan telah
mengisi buku PR Matematika dengan lukisan..."

Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan gadis yang terkenal


paling nakal di kelas ini. Bebarapa waktu yang lalu, dia juga membuat ulah dengan
menempelkan poster Pak Dodo -guru olahraga- dalam bentuk karikatur di dinding
kantin. Kali ini Indi menggambarkan seseorang dalam bentuk yang berlebihan, dan
Indi sungguh menyesal lupa menyobek halaman itu ketika menyerahkan buku PR
Matematika-nya.

Pak Robertus memukul meja, meminta kelas berhenti tertawa, lalu berseru kembali ke
Indi, "Hayo, mengaku yang lengkap!"

"Saya mengisinya dengan lukisan ...... nggg,... Lukisan wajah seorang cowok!" kata
Indi sambil menggigit bibirnya. Lukisan itu sebenarnya lucu, gabungan dari lukisan
wajah gorila dan wajah cowok itu. Makanya dari tadi Indi menahan senyum.

Kelas tertawa lagi. Beberapa orang bersuit-suit dan bertepuk tangan. Pak Robertus
memukul meja lagi, dan berseru, "Siapa namanya!"

Indi menoleh dan membelalakkan matanya yang indah tetapi nakal itu, "Lho, Pak...
Apa perlu disebut namanya?"

"Ya! Kamu harus mengaku dengan lengkap!" ujar Pak Robertus, tetapi ia melengos
tidak mau menatap balik ke muridnya. Sebetulnya dalam hati ia juga ragu, apakah
perlu menyebut nama?

"Tapi....," Indi mengalihkan lagi pandangan ke depan kelas, menatap nanar ke


teman-temannya. Ada yang mengedipkan mata memberi dukungan moril, ada yang mencibir
menyatakan ketaksetujuan, ada yang meniupkan ciuman menggoda.

"Tapi apa?" sergah sang guru, sebetulnya tidak lagi segalak tadi karena ia pun
mulai ragu, apakah perlu membongkar sesuatu yang tampaknya urusan pribadi. Diam-
diam ia kagum pada gambar hitam putih yang dibuat dengan pensil itu. Bagus dan
sangat detil. Tetapi ia guru matematik, dan wibawanya dipertaruhkan di depan kelas.

"Nggakenaksama orangnya, Pak...," kata Indi memelas, memohon ampunan dan memandang
gurunya dengan gaya merayu. Kelas tertawa lagi, dan beberapa anak laki-laki
bersuit-suit lagi.

"Saya tidak melihat wajahnya di sini!" kata sang guru sambil mengedarkan pandangan
ke seluruh kelas. Anak itu memang tidak ada di kelas ini.

"Tetapitemen-temen -nya banyak di sini..," kata Indi kembali memelas. Seluruh


kelas tertawa lagi terbahak-bahak.

Pak Robertus bangkit dan menuju samping Indi yang meringkuk takut dijewer. Tetapi
sang guru tidak menjewer, melainkan berkata tegas sambil menuding-nuding Indi
dengan bukunya sendiri, "Kamu meremehkan pelajaran saya. Kamu harus minta maaf
dengan menyelesaikan PR khusus yang sudah saya siapkan. Mengerti!?"

Indi mengangguk-anguk cepat sambil menggigit bibirnya.Matik aku! , siapa yang bisa
membantu membuatkan PR yang pasti banyak itu? Cepat-cepat pikirannya melayang ke
Mas Kino-nya. Tetapi cepat-cepat pula pikiran itu dibuang.

"Satu lagi!" kata Pak Robertus sambil kali ini beralih memandang seluruh kelas,
"Kamu harus menyatakan nama cowok itu, supayatemen-temen -nya tahu dan kamu kapok.
Mengerti!?"

Indi mengangguk-angguk lagi, tetapi masih mencoba menawar, "Bolehnggak menyebut


inisialnya saja, Pak!"

"Tidak! Harus lengkap, atau perlu saya beberkan halaman buku ini di depan kelas?"
ancam Pak Robertus sambil berpura-pura akan membuka buku Indi.

"Jangan, Pak!" jerit Indi penuh permohonan, "Saya akan sebut namanya lengkap!"

Pak Robertus bertolak pinggang dengan wajah penuh kemenangan, "Hayo sebut
namanya!"

Kelas tiba-tiba menjadi hening, menunggu dengan tegang nama yang akan keluar dari
mulut Indi. Gadis itu mengedarkan lagi pandangannya ke seluruh kelas sambil
menggigit bibirnya. Rika dan Mutia, dua sahabat Indi, tampak ikut gelisah karena
mereka tahu siapa yang digambar gadis itu.

Indi menghela nafas dalam-dalam, menguatkan hatinya, lalu cepat-cepat berkata,


"Namanya Dicky!"

Kelas bagai meledak oleh tawa dan teriakan-teriakan. Semua orang tahu, Dicky
adalah jagoan sekolah yang punya pengikut banyak sekali, termasuk hampir semua
cowok di kelas Indi. Semua orang juga tahu, jagoan itu "naksir berat" kepada Indi.
Dengan cepat muncul diskusi-diskusi informal tentang apa yang akan terjadi
berikutnya jika Dicky tahu bahwa gadis pujaannya melukis wajahnya. Spekulasi
bermunculan: apakah gambar itu berupa pujian, atau sebaliknya penghinaan? Beberapa
anak meminta Pak Robertus menunjukkan gambar ke semua orang.

"Diam!" bentak sang guru, dan kegaduhan segera mereda. "Kita lanjutkan pelajaran,
dan Indi boleh kembali ke bangkunya. Gambar ini saya simpan untuk barang bukti!"
katanya sambil menyobek satu halaman dan melipat-lipatnya menjadi seperempat. Indi
menghempaskan nafas lega sambil bergegas menuju bangkunya.

*****

Dicky tentu saja tidak seperti gorila, walau memang tidak bisa dikatakan ganteng
sama sekali. Ia jagoan berkelahi, dan wajah bukan sesuatu yang penting baginya.
Otot dan keberanian menantang musuh jauh lebih penting. Tetapi belakangan ini ia
terpikat gadis dari kelas lain yang lincah dan manis, si Indi itu. Belakangan ini
ia sering melihat ke cermin, dan baru tahu bahwa wajahnya memerlukan sedikit
perhatian!

Siang ini ia mendapat kabar tentang kelakuan Indi di pelajaran matematika, dan
hati Dicky agak berbunga. Ternyata gadis itu menaruh perhatian pula kepadaku!
sergahnya dalam hati. Tetapi ia kecewa karena ada suara-suara yang menasehatinya
agar jangan terlalu optimis. Gambar itu mungkin saja bermaksud mengejek. Dicky pun
bimbang. Tetapi, bukan Dicky namanya kalau kebimbangan itu dibiarkan berlanjut. Ia
mencegat Indi yang baru keluar dari gerbang bersama Mutia.

"Aduh, kita dicegat, nDi!" kata Mutia sambil memegang lengan sahabatnya.
Indi tenang-tenang saja, meneruskan langkah seakan-akan tidak ada apa-apa.

"Halo, Indi..," sapa Dicky se-galantmungkin. Ia berusaha tampakcool dengan


kacamata hitamnya. Tetapi tetap saja ia sepertijawara petantang-petenteng .
Tingkahnya lebih cocok untuk menghadapi musuh berkelahi daripada memikat cewek.

"Halo, Dick. Sakit mata, ya?" balas Indi sambil tersenyum.

Grr! Dicky menggeram dalam hati. Cewek ini seperti caberawit. Untung senyumnya
manisbuaaaa...nget !

Sambil melepaskan kacamata hitamnya, dengan tenang Dicky berkata, "Aku antar
pulang, ya?"

Mutia bergidik membayangkan Indi naik motor berwarna merah darah milik Dicky yang
konon tidak ada rem-nya. Belum lagi suara motor itu, bisa membuat seluruh kota
gempar.

Indi kelihatan tenang saja dan berkata, "Nggamau. Nanti masuk angin!"

Dicky merendengi jalan kedua gadis itu sambil menunjuk ke seberang jalan, "Mana
mungkin ada angin kalau naik yang itu!"

Serentak Indi dan Mutia menengok ke seberang jalan, ke sebuah sedan putih yang
diparkir di bawah pohon dan "dikawal" beberapa jagoan lain anak buah Dicky. Itu
pasti mobil salah satu dari anak di sekolah ini. Mudah-mudahan pemiliknya masih
sehat!

Indi menghentikan langkah. Mutia berdoa semoga temannya tidak berubah jadi konyol.
Dicky ikut berhenti melangkah, merasa agak heran juga atas keberanian si caberawit
ini.

"Apa,sih , maksud kamu sebenarnya?" kata Indi sambil menatap Dicky lekat-lekat.

Sangjawara tiba-tiba merasa kepalanya gatal sekali. Sial, bagaimana caranya


menghadapi cewek? gerutunya dalam hati. Kalau cowok seperti ini, aku tinggal
menonjok hidungnya saja keras-keras. Tetapi kalau cewek,gimana ya?

"Akupengin ngomongsama kamu," kata Dicky menguat-nguatkan hati.

"Ya ngomong,dong !" sergah Indi.

"Jangan di sini, dan tidak dengan dia..," kata Dicky sambil menoleh ke Mutia.
Siapa,sih cewekcantelan ini? gerutu pemuda itu dalam hati.

"Ini Mutia, temanku. Dia boleh dengar apa saja," sergah Indi membuat Mutia semakin
yakin bahwa ia tidak salah memilih teman.

"Oke...si Mumut boleh ikut...," kata Dicky.

"Namanya Mutia!" potong Indi galak sambil menghentakkan kakinya di tanah.

"Oke... Oke... marmut... eh, Mutia,... boleh ikut!" kata Dicky sambil mengangkat
tangan seperti sedang bersiap menangkis serangan lawan.

"Tapi aku tidak mau diantar," kata Indi sambil mulai melangkah lagi. Dicky
bergegas merendengi kedua gadis itu lagi.Busyet! si caberawit ini bandelbanget ,
gerutunya dalam hati.
"Ayolah, Indi.... sekali-kali pulang naik mobil," rayu Dicky.

Tetapi itulah kesalahan Dicky. Pemuda ini salah strategi, karena menyangka Indi
akan terpikat oleh fasilitas kenyamanan pulang di siang terik. Ia lupa, banyak
cewek lebih suka cowok yang mengandalkan dirinya sendiri daripada mobilnya. Apalagi
mobil pinjaman. Dicky sudah melakukan kesalahan terbesar. Indi berhenti melangkah
lagi, lalu dari mulutnya yang menggemaskan itu keluar serentetan mitraliur yang
pada intinya berisi satu pernyataan, ...get the hell out of my sight! ...
menyingkir dari depanku!

Dicky menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong. Menyerah setelah diserang bertubi-


tubi. Ia melangkah mundur, menjauhi Indi yang dengan galak memelototkan matanya
yang bulat indah itu. Sambil menjauh, ia cuma sempat berkata, "Oke... Oke..."
berkali-kali. Lalu cepat-cepat ia meninggalkan arena yang sangat asing baginya itu,
menyebrang jalan menujugang -nya yang sejak tadi mengamati diam-diam.

"Jangan ada yang buka mulut!" bentak Dicky ketika tiba di seberang jalan. Anak
buahnya segera mengunci mulut mereka dan membuang kuncinya jauh-jauh. Sungguh tidak
bijaksana berbicara di siang terik dengan seorang jagoan yang diusir oleh sang
putri pujaan!

******

Dicky bukan satu-satunya cowok di ensiklopedia kehidupan Indi. Ada Wandi, seorang
jagoan lain dari sekolah lain yang punya kebiasaan lain pula!

Kalau Dicky cenderung "tembak langsung", maka Wandi bisa juga bergaya sedikit
puitis. Suatu hari Indi pernah kaget setengah-mati menerima sekuntum mawar
dibungkus plastik bening dari seorang bocah ingusan. Kata bocah itu, seseorang
menugaskannya mengantar bunga itu ke Indi. Cepat-cepat Indi mengedarkan pandangan
ke seberang jalan, mencari siapa gerangan pemberi bunga misterius itu. Si bocah
tertawa serak sambil bilang, "Orangnyaudah pergi, Non!".

Di lain waktu Indi pernah makan bakso bersama Rika dan Mutia, tetapi ketika hendak
membayar, si Abang Bakso menolak mati-matian. Katanya, semua bakso yang dimakan
Indi hari itu, dan seminggu setelah itu, sudah dibayar oleh seseorang! Bayangkan,
ada orang membayar bakso seminggu dimuka! "Siapa,sih orangnya, Bang?" desak Rika
dan Mutia berbarengan. Indi diam saja, karena sejak menerima mawar itu dia tahu
siapa yang suka berulah demikian.

Indi bertemu secara tidak sengaja dengan jagoan itu beberapa bulan yang lalu.
Waktu itu Indi terseok dari angkot yang dinaikinya, dan hampir saja jatuh
terpelanting kalau tidak ditahan oleh tubuh Wandi yang walaupun kerempeng ternyata
kokoh juga. Indi mengucapkan terimakasih, dan Wandi membantu membereskan buku-
bukunya yang berantakan. Dari buku-buku itulah si jagoan tahu nama Indi dan
sekolahnya. Sebenarnya Indi kemudian sudah lupa peristiwa yang mirip kejadian
sinetron itu, sampai kemudian ia menerima mawar yang bertulisan..."dari seseorang
yang membantu membereskan buku-bukumu di Jl. Dg.." .

Si Abang Baksomesem-mesem tidak mau menjawab desakan-desakan Rika dan Mutia. Bukan
saja dia tidak mau mengungkapkan nama sang dermawan, tetapi ia juga takut setengah
mati pada Wandi yang punya anak buah sama banyaknya dengan butiran-butiran bakso
yang dibuatnya setiap pagi!

"Siapa dia Indi... Kamukayaknya tahu,deh !" sergah Rika melihat temannya yang satu
ini tenang-tenang saja menikmati minuman dinginnya.

"Someone special, lah!" kata Indi dengan kenes, membuat teman-temannyagemes .


"Alaaaah!.. paling-paling si gorila itu,kan ?" kata Mutia sambil mencibir.

"Eh, jangan menghina, ya!" kata Indi kalem, "Gini-gini, banyakfans -nya, lho!"

Mereka bertiga tertawa-tawa bersama menikmati minuman dingin yang juga gratis!

******

Lalu juga ada Hara, yang tidak bisa dikategorikan jagoan sama sekali, tetapi tak
kalah populernya karena memimpin sebuah grup band musikhard-rock anak-anak SMA.
Grupnya pernah manggung di sebuah acara untuk merayakan "perdamaian" antara tiga
SMA yang selama ini berperang-batu. Penampilan gitaris kidal ini cukup memukau, dan
Indi terus terang sempat tertarik ketika pertama kali melihatnya. Apalagi kemudian
ada yang membisikinya, mengatakan bahwa penggemar Sting [dulu pemainThe Police
...penulis ] itu ternyata juga ingin kenalan.

Tetapi setelah berkenalan, Indi kecewa berat. Ternyata Hara pemalu sekali dan
tidak bisa buka mulut sama sekali ketika mereka berkenalan. Apalagi setelah teman-
temannya meninggalkan mereka berdua, Hara pun berubah menjadi orang bisu. Dengan
kesal, Indi meninggalkannya di belakang panggung sendirian.Ngapain kenalansama
orang bisu! sergahnya dalam hati.

Hara mencoba menghubunginya berkali-kali, lewat kurir segala!, .. tetapi Indi


menolak dengan halus. Hara bahkan membuat sebuah lagu khusus, sebuah lagusoft-rock
yang diberinya judul "Indah Sekali Dia" dan Indicekikikan membaca liriknya yang
sangat gombal itu. Rika dan Mutia bahkan menjadikan lagu yang sebetulnya enak
didengar itu menjadi lagu dang-dut. Sungguh kurangajar mereka, bukan?!

*****

Ada seorang lagi, dan kali ini sempat menjadi pacar "resmi" Indi. Nama kecilnya
Eming, dan nama panjangnya Indi lupa karena memang sangat panjang! Dia bukan anak
SMA, tetapi anak STM. Di jaman Indi sekolah, anak STM dianggap "kelas dua"
dibandingkan anak SMA. Tetapi Eming adalah anak STM yang berkategori istimewa
karena dia sangat trampil dengan mesin dan punya mobil yang konon dirakitnya berdua
dengan Ayah-nya, seorang pemilik bengkel besar. Nama Eming populer, bahkan di
kalangan anak-anak SMA yang tentu sajadoyan mobil. Maka dari itu, ketika akhirnya
terdengar kabar bahwa Indi menjadi pacar Eming, bahkan Dicky-pun "merestui"-nya.
Jagoan itu bilang, "Kalausama si Mi-ing itu,biarin . Pokoknya asal jangan dengan
Wandi!"

Sementara Wandi berpikiran sama, dia punya jargon ABD... Asal Bukan Dicky!

Sedangkan Hara tentu saja patah hati, lalu menciptakan lagu romantis berjudul
"Jahat Sekali Dia"...!!

Eming dan Indi berpacaran selayaknya anak-anak seumur mereka berpacaran:


seringpergi bareng , jalan-jalan sore dan yang semacamnya. Eming jelas sekali
sangat sayang kepada pacarnya yang bagai kuntum segar kalau dibawa jalan-jalan
bersama gerombolan anak STM yang "suram" itu.

Indi suka kepada Eming, karena cowok inigalant serta punya harga diri sehingga
bisa bergaul dengan semua orang walau pada mulanya dipandang remeh. Indi juga suka
pada keterbukaannya, dan pada kelembutan hatinya. Eming mengingatkan Indi pada
seseorang yang sangat disukainya, seseorang yang menolaknya dengan halus ketika ia
telah menyerahkan diri. [Bagi Pembaca yang belum tahu, silakan baca serial Kino,
terutama "Interlude Indi"...penulis ].
Maka Eming juga menjadi tumpahan kekecewaan dan pelarian Indi. Dengan Eming, gadis
centil ini bisa bermanja-manja secara terbuka. Bisa percaya bahwa cowok itu tidak
akan memanfaatkan keterbukaannya, sebab Indi adalah gadis yang lumayanliberal dalam
pacaran. Indi mengijinkan Eming mencium bibirnya sepuas hati, karena Indi juga
menyukainya. Indi mengijinkan Eming meraba dadanya yang ranum, karena memang enak
diberlakukan begitu. Indi bahkan menikmati remasan-remasan Eming di sekujur
tubuhnya, atau usapan bergairah di bawah sana. Indi merasa bahwa dengan Eming
hubungan mereka bisa aman, karena selama ini Eming tampak bisa menjaga diri.

Tetapi lalu terjadilah peristiwa itu....

Peristiwa itu terjadi pada suatu siang yang terik....

Indi malas ke sekolah, dan gagal membujuk Mutia dan Rika ikut membolos. Akhirnya
ia nekad sendirian ke rumah Eming, padahal belum tahu apakah cowok-nya itu ada di
rumah atau tidak. Sudah beberapa kali Indi bertandang ke sana, dan kedua orangtua
Eming sudah biasa menyuruh gadis manis itu langsung saja ke kamar Eming. Entah
kenapa, Ayah dan Ibu Eming sangat percaya bahwa kedua remaja itu tidak akan macam-
macam. Indi pun menghargai kepercayaan itu, walaupun kadang-kadang ia tersenyum
sendiri kalau ingatkelakuan cowok-nya!

Rumah Eming bersebelahan dengan bengkel milik Ayahnya, dan kamar Eming terletak di
antara bengkel dan rumah utama. Di depan kamar itu ada lagi bengkel kecil tempat
Eming biasanya mengutak-atik mesin mobil kesayangannya. Juga ada sebuahgo-kart dan
sebuah motortrail di sana. Dari pagi sampai siang bengkel Ayah Eming sangat bising.
Maklum, di seantero kota, bengkel itu termasuk yang paling populer.

"Misi, Oom... Eming ada?" teriak Indi, melawan bising, kepada seoranggaek
berpakaian montir yang sedang bertolak pinggang memberi instruksi kepada
pegawainya. Ia menoleh mendengar suara Indi.

"Eh, si nDi...," sahutnya dengan berteriak juga, "Ada upacara apa lagi di
sekolah?"

"Ah, si Babe bisaaja !" sergah Indi mendengar godaan orang tua yang sangat ramah
itu.

"Eming sedang asyik dengango-kart -nya. Besok katanya mau balapan," kata orang tua
itu.

Indi mengernyitkan dahi, "Lho, besok 'kanjanjian sama Indi?" sergahnya seakan-akan
sedang menyampaikan keluhan kepada pihak yang berwenang.

Ayah Eming tertawa sambil kembali mengamati pekerjaan para pegawainya, "Kalau
sudah dengar ada balapango-kart , Eming mana ingat apa-apa lagi!"

Sambil mencemberutkan muka, Indi melangkah masuk ke bengkel, menuju pintu samping
yang menghubungkan bengkel dengan rumah. Hatinya tiba-tiba kesal. Betulkah aku
kalah penting dibandingkango-kart ? gerutunya.

Eming sedang asyik berjongkok mengutak-atik mesingo-kart -nya. Ia tidak mendengar


ada orang datang dari belakang. Indi berdehem keras-keras, tetapi kalah oleh suara
bising dari bengkel. Dengan kesal, Indi menendang pantat Eming. Tidak terlalu
keras, sih...

"Hey!" si empunya pantat ternyata jongkok dengan gamang, sehingga tendangan lemah-
lembut itu pun sudah membuatnya tersungkur ke depan. Hampir saja hidungnya mencium
mesingo-kart yang belepotan oli.
Indi menahan tawanya, tetapi tidak berkata apa-apa dan berdiri menunggu Eming yang
bangkit sambil menggerutu, "Dateng-datengmain tendangaja !"

"Mau aku tendang lagi?" kata Indi dengan galak, sambil mengambil ancang-ancang
menendang.

Eming memasang muka sedih, "Kurus begini mau kamutendangin ?" katanya memelas
sambil menyelampirkan lap kuning dekil ke bahunya. Gaya merayunya boleh juga!

Indi benar-benar menendang lagi dengan kakinya yang terbungkus sepatu basket itu.
Tetapi tentu saja Eming sudah siap. Sekali tangkap, kaki mulus itu tercekal erat di
tangannya.Nah-lo! .

"Lepaskan!" jerit Indi.

"Enak,aja !" sergah Eming sambil menarik kaki gadis itu. Terpaksalah Indi
tertatih-tatih mendekat sambil menjaga keseimbangan dengan merentangkan kedua
tangannya.

"Awas, ya.. Eming!" ancam Indi tetapi tak berdaya terus ditarik mendekat.

"Awas apa?" tantang cowok itu sambil melap bibirnya dengan punggung tangan yang
masih bebas, dan sambil terus menarik Indi mendekat.

"Awas nanti aku gigit!" ancam Indi kehilangan akal.

Eming menarik Indi sampai tubuh gadis itu menubruk tubuhnya. Lalu cepat-cepat
dilepaskannya kaki Indi, dan dengan dua tangan yang di sana-sini hitam kena oli,
pemuda itu memeluk kekasihnya. Secepat kilat pula ia mencium gadis itu tepat di
bibirnya yang ranum.

"Eming! Bajuku kena oli!" Indi menjerit, tetapi terlambat. Dalam dua detik
bibirnya sudah dilumat gemas oleh Eming.

Sial bagi Indi, ciuman itu ternyata bagai air segar di panas terik. Niat hati
ingin berontak dan menggigit, apa daya tubuh lemas dan ingin terus didekap-dipeluk.
Selama setengah menit Eming menikmati kemenangannya, lalu melepaskan pelukannya
sambilcengar-cengir .

"Jelek!" sergah Indi sambil menahan senyum.

"Aku cuci tangan dulu, ya!" kata Eming tidak peduli, lalu meninggalkan Indi menuju
kamar mandi.

"Mandisekalian . Badan kamu bau oli!" teriak Indi sambil melangkah ke kamar Eming.

Gadis itu biasa bebas masuk ke kamar pemuda yang berantakan tetapi, entah kenapa,
selalu terasa nyaman itu. Apalagi ada seperangkat stereo dan berlusin-lusin kaset
(waktu itu belum jaman CD, lho!) yang tersebar di mana-mana. Sambil membuka sepatu
dan melemparkannya sembarangan, Indi memilih kaset kelompok Chicago. Sejenak
kemudian, lagu-lagu jazz-rock memenuhi udara. Ini merebahkan tubuhnya di kasus yang
masih berantakan, menelungkup sambil mengikuti syairJust You and Me . Kakinya
ditekuk sehingga kedua tumitnya yang terbungkus kaos kaki menyentuh bokongnya.

Tidak lama kemudian Eming muncul dengan badan segar. Ia benar-benar mandi, walau
dengan gayacowboy , tidak lebih dari 5 menit. Di tangannya ada sebotol air es dan
dua gelas.

"Beresindulu, dong... baru tidur-tiduran!" celoteh pemuda itu sambil ikut duduk di
kasur.

Iseng, ditepuknya pantat Indi yangbahenol , membuat pemiliknya menjerit kaget.

"Sekali lagi kamu begitu, ... aku sirampake air es!" ancam Indi sambil cemberut.
Eming senang sekali melihat si cantik-manis itu cemberut, karena makin cantik saja.
Aneh, ya... ada orang yang semakin cantik kalau cemberut.

"Kamu, kok, galakbanget hari ini. Semua-semua, marah. Apa-apa, marah," gerutu
Eming sambil ikut telungkup di sebelah kekasihnya.

"Besok kamu ke mana!" sergah Indi tak mempedulikan ucapan Eming.

"Ngga ke mana-mana," jawab Eming kalem .... syair lagu Chicago melantun
merdu..."You are my love and my life...., you are my ins - pi - ra - tion.... Just
you 'n me.... Simple 'n free.... Life is so easy, when you are beside me.... .

Indi mengernyitkan dahi, "Betul-betul ngga kemana-mana?"

"Paling-palingmengantar Tuan Puteri, pulang sekolah ke.....mana, tuh ?" Eming


malah balik bertanya.

"Ke pasar bunga, beli bonsai," sambung Indi, karena tahu siapa yang dimaksud "Tuan
Puteri" itu adalah dirinya, "Jadi, kamu ngga balapan?"

"Ya, balapan, dong!" sahut Eming sambil meneruskan syair Chicago...give me your
own special smile....promise you'll never leave me... .

Oh, begitu, pikir Indi. Jadi aku akan diantar ke pasar bunga, lalu dia akan
mengajakku menontonnya balapan. Ah, pintar juga si ceking ini mengatur waktu.
Sambil meraih kepala cowok itu dengan gemas, Indi mencium pipinya yang kini sudah
segar bau sabun mandi. Sambil berkata pula dengan lemah-lembut, "Kamu kokbaek
banget , sih!"

Hati Eming berbunga-bunga mendengar ucapan lembut yang jauh berbeda dari hentakan
dan makian sebelumnya. Ia sebenarnya sudah tahu, pasti Indi datang menuntut
janjinya. Makanya, ia sudah siap dengan jawaban. Berhadapan dengan si caberawit
ini, harus selalu siap-siaga.

*****

Jika Indi bertandang ke Eming, atau sebaliknya pemuda itu bertandang ke kekasihnya
di malam Minggu, pastilah ada saat-saat bergairah. Saat-saat berciuman yang
berlama-lama, karena Indi tidak mau cuma dicium sekilas seperti angkot menurunkan
penumpang. Terburu-buru,gitu ... Indi tidak mau dianggap penumpang yang harus
ditinggalkan sebelum kakinya menjejak bumi. Indi akan membiarkan Eming menciumnya,
asalkan pemuda itu mau menciumnya lama dan lembut dan sayang dan manja dan .....

"Jangan digigit, dong!... Sakit!" sergah Indi setelah ciuman semakin bergelora. Ia
meronta melepaskan diri.

Eming sibuk mengatur nafasnya yang memburu, "Habis... kamu duluan yang gigit!"
sahutnya tak mau kalah.

"Kalau cewek boleh, kalau cowok ngga!" kata Indi tertawa kecil, lalu menarik lagi
leher pemuda itu dan membiarkan lagi bibirnya dilumat-habis. Mmmm... sambil sekali-
sekali bermain dengan lidah.

Eming termasuk ahli berciuman. Indi suka dicium pemuda ini, maka ia sering
memejamkan mata membiarkan dirinya terhanyut-terlena dalam dekapan hangat yang
bergelora itu. Dalam soal ciuman, jangan kira Indi tidak punya pengalaman, karena
ia punya "koleksi" cowok lumayan banyak sebelum resmi jadi pacar Eming. Indi tahu,
mana cowok yang bisa ciuman, mana yang bego. Indi juga punya satu referensi khusus,
yakni seorang mahasiswa indekosan sebelah rumah.... yang kalau mencium pasti
membuat dirinya meminta lebih banyak!... Sedangkan Eming, bagi Indi, termasuk
pandai berciuman, walau ah.... tentu saja..... masih kalah juga kalau dibandingkan
mahasiswa indekosan itu!

Di tengah ciuman yang hangat-bergelora itu, Indi membiarkan pula Eming bermain
dengan dadanya yang tak sanggup membungkus debar jantungnya. Membiarkan puting
payudaranya dielus-elus dari atas baju seragamnya... Mmmm... nikmat sekali. Ada
getar-getar halus yang timbul dari elusan-rabaan itu, yang naik ke atas lehernya
untuk bergabung dengan rasa lembut-manja akibat bibirnya yang dihisap-kulum penuh
gairah. Juga, getar-getar itu, turun ke bawah berpusar di perutnya membuat nafasnya
bersusulan tak karuan.

"Bukaaja ...," desah Indi tak tahan dirangsang lewat baju. Lebih enak diremas-
remas langsung!

Eming dengan sigap membuka kancing baju Indi satu per satu. Tidak butuh waktu lama
untuk itu. Sekejap pula beha gadis itu dilepas kaitnya, dan dua payudara yang ranum
itu pun bebas-lepas merdeka-terbuka. Pemiliknya mengerang ketika tangan Eming mulai
mengelus, ....lalu memijat, ....lalu meremas.

Indi juga bukan gadis egois. Ia tahu pemuda yang mencium dan meraba-meremas-gemas
ini juga perlu mendapat perhatian. Maka dengan telaten gadis itu mengusap-menelusur
tubuh kekasihnya, semakin lama semakin ke bawah. Tidak lama kemudian, telapak
tangan yang halus itu sudah tiba di atas celana jeans yang tak sanggup
menyembunyikan tonjolan keras-tegang di bawah sana. Telapak tangan halus itu pun
mulai mengelus, naik-turun perlahan dan penuh perasaan. Eming pun mengerang di
tengah kesibukannya memainkan lidah Indi yang basah dan hangat itu.

Indi ikut mendesah-mengerang pula. Matanya terpejam nikmat karena sebuah rasa
geli-gatal yang sangat dikenalnya itu kini menyebar-merata di sekujur tubuhnya yang
mulai berkeringat tipis. Mereka berciuman dalam posisi berbaring miring berhadapan.
Dengan manja Indi menaikkan kakinya, memeluk pinggul pemuda itu. Tubuh mereka pun
semakin rapat. Dan karena tangan Indi terselip di antara keduanya, maka sambil
mengelus-elus pemuda itu, tak sengaja pula punggung tangannya bergesekan dengan
tubuhnya sendiri. Tepat di antara dua pahanya. Gesekan yang membawa panas!

"Buka, dong, nDi...," Eming mengerang . Ia juga ingin diremas-remas langsung. Dan
Indi pun cepat-cepat menarik turun resleting celana Eming... ternyata pemuda itu
tidak memakai celana dalam... sehingga cepat sekali tangan Indi bisa bertemu dengan
daging keras-tegang-kenyal yang berdenyut-denyut liar itu!.. Besar dan panjang dan
panas.

"Cupang, dong, Ming," Indi mendesah gelisah, melepaskan diri dari pagutan
kekasihnya. Nafasnya memburu keras dan ia ingin Eming segera melakukan apa yang
digemarinya: mengulum putingnya dan membuat cupangan di seluruh permukaan dadanya
yang putih mulus itu!

Eming menurunkan sedikit posisi tubuhnya, dan seperti bayi dahaga segera
menelusupkan kepalanya ke dada Indi, menangkap salah satu puting susunya yang tegak
menantang, lalu langsung menyedot dan mengulum dengan bergairah. Indi menjerit
kecil, antara kaget dan terpesona. Dengan cepat tubuhnya seperti dilecut oleh
tegangan birahi maha tinggi, mungkin 10.000 volt besarnya!

Bukan itu saja, Indi juga memanfaatkan punggung tangannya untuk menggosok-gosok
celah sempit di antara kedua pahanya. Buku-buku jarinya mengelus-melesak celah yang
mulai basah itu. Semakin ia bergairah mengelus-elus kejantanan Eming, semakin pula
ia terangsang oleh gesekan-gesekan di bawah sana. Maka semakin bergairahlah
percumbuan itu, dipenuhi erangan-erangan tertahan, sementara kaset Chicago sudah
berputar-balik untuk yang kedua kalinya.

Eming merasakan gejolak di tubuhnya juga semakin lama semakin tak terkendali. Ia
menikmati remasan dan elusan tangan yang halus mulus itu sepanjang kejantanannya.
Apalagi jika telapak mulus itu tiba di ujung atas, dan di sana meremas-remas.
Ahhhh... bukan main rasanya. Seluruh tubuh pemuda itu bergetar-bergelora, dari
ujung rambut sampai ujung jempol. Ia menikmati pula puting kenyal yang semakin lama
semakin mengeras dan semakin basah oleh ludahnya sendiri. Ia menyedot dan mengulum
sepuas-puasnya, merasakan betapa bukit lembut yang membusung di dada Indi itu
berdegup-degup sesuai irama jantungnya yang bekerja keras.

Dan Indi juga semakin terlena. Ia semakin mengangkat kakinya tinggi-tinggi di


pinggang Eming. Rok seragamnya tersibak sampai pinggul, menampakkan celana nilon
coklat muda yang sudah agak basah di bagian di antara dua paha mulus itu. Tak tahan
hanya dengan elusan tangannya sendiri, Indi menarik tubuh Eming lebih mendekat
lagi, lalu menggunakan kejantanan pemuda itu untuk merangsang dirinya sendiri.
Digosok-gosokkannya batang tegak-tegang itu di atas kain nilon tipis yang tak
sanggup menyembunyikan radiasi panas di bawahnya. Eming menggelinjang kegelian
merasakan ujung kejantanannya menelusuri permukaan halus-licin yang basah di sana-
sini.

Tepat pada intro lagu ke empat diside B kaset Chicago, Indi mulai merasakan
kedatangan orgasme pertamanya. Seperti kereta api di kejauhan yang sudah memberi
tanda, Indi merasakan segumpal rasa nikmat muncul jauh di dalam pinggulnya. Lalu
gumpalan kenikmatan itu membesar dan menyebar ke mana-mana. Mula-mula hanya di
sekitar pinggang dan paha. Tetapi lalu cepat sekali memenuhi seluruh tubuhnya,
sehingga kini seluruh tubuhnya seperti sebuah gumpalan gas padat yang hendak
meledak setiap saat.

"Aaah!" gadis itu mengerang keras dan melepaskan cengkramannya pada kejantanan
Eming. Ia tak sanggup melakukannya sendiri, karena geli sekali. Ia ingin Eming yang
melakukannya untuknya.

Maka ia tarik tubuh pemuda itu sambil berguling menelentang. Ia bawa tubuh pemuda
itu ke atas tubuhnya, sambil merentangkan kedua kakinya lebar-lebar, lalu mengepit
pinggangnya erat-erat. Eming sigap memposisikan tubuhnya di antara kedua paha Indi,
sambil cepat-cepat meloloskan celana jeansnya sampai lutut. Sehingga kini tubuh
bagian bawahnya yang telanjang itu melesak-melekat di selangkangan Indi yang hanya
tersaput celana nilon tipis. Kejantanannya tepat berada di permukaan kewanitaan
gadis itu, yang kini sudah terkuak-terpampang siap menerima gesekan-gesekan final
menuju puncak kenikmatan.

Dan mulailah Eming bergerak, maju-mundur, naik-turun..... Dan Indi mengerang


semakin keras, meraih leher pemuda itu untuk mengulum bibirnya. Ciuman mereka
bergairah sekali, sejalan dengan semakin dekatnya Indi ke puncak asmara. ... Dan
setelah beberapa kali gesekan-gosokan, Indi menjerit tertahan di dalam ciuman
kekasihnya... Dan tubuhnya bergeletar-bergejolak hebat ketika orgasme meledak-ledak
tak terkendali.

Selagi Indi meregang menikmati orgasme itulah, Eming terlanda nafsu yang membuta.
Dengan tanpa pikir panjang ia menarik celana dalam Indi untuk membukanya. Gadis itu
masih terpejam dan mengerang menikmati rasa geli-gatal merebak di sekujur tubuh,
sehingga tak bereaksi ketika akhirnya celana dalam itu lepas terbuang. Sekejap
tubuh Indi bagian bawah terpampang-telanjang, menampakkan kewanitaannya yang agak
membasah-berkilauan, agak merona-merah pula.
Lalu Eming bersiap menelusupkan-menusukkan kejantanannya dengan penuh determinasi.
Ia tak ingat apa-apa lagi kecuali perasaan ingin segera masuk tenggelam dalam-dalam
di tubuh gadis yang masih meronta-meregang menikmati orgasmenya itu. Tetapi tanpa
pengalaman yang cukup, ternyata tidaklah mudah melakukan hal itu. Upaya pertamanya
tidak berhasil karena kejantanannya melejit naik ketika ia mencoba mendorongnya
masuk.

Indi tiba-tiba tersadar dari alunan orgasmenya, dan merasakan sebuah tusukan kecil
di selangkangannya. Sejenak ia mendesah, karena tusukan itu terasa nikmat, tetapi
meleset ke atas dan menyentuh bagian sensitif yang tersembunyi. Tetapi lalu gadis
itu terkaget, kenapa tubuh bagian bawahnya terasa begitu terbebas? Cepat-cepat ia
membuka mata dan melirik ke bawah.

"Eming!Apa-apaan ....," belum habis ia menjerit, Eming sudah mencium


membungkamnya.

Indi meronta kuat-kuat, menyadari bahwa kekasihnya sedang berupaya menyempurna-


tuntaskan percumbuan mereka dengan sebuah persetubuhan. Seperti disiram air dingin,
gairah Indi tiba-tiba sirna berganti panik karena ternyata Eming bersikeras
melanjutkan percumbuan. Indi berusaha mendorong tubuh pemuda itu kuat-kuat, tetapi
Eming bereaksi sama kuat. Mereka saling dorong, dan hampir saja Indi kalah kalau ia
tidak segera mengangkat kedua lututnya, dan menggunakan lutut itu untuk mendorong
perut Eming.

"Stop! Eming!" jerit Indi sambil mendorong sekuat-kuatnya. Eming terkejut dan
merasa ulu hatinya sesak. Tenaganya langsung melemah, dan ia terguling ke sisi
ranjang, hampir saja jatuh ke lantai.

Cepat-cepat Indi bangkit dari kasur, mencari dan menemukan celana dalam tergeletak
dekat kakinya. Ia pun lalu melompat turun dan bergegas menuju sudut kamar yang
paling jauh dari ranjang. Di situ ia cepat-cepat pula memakai celananya.

Eming tertegun di pinggir ranjang sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti orang


yang berusaha mengusir pikirannya. Ia memang baru sadar apa yang terjadi, dan
cepat-cepat pula menaikkan celana jeansnya yang tadi sudah melorot sampai lutut. Ia
malu sekali, dan menundukkan kepala.

"Gila kamu!" jerit Indi sambil mengancingkan baju dan merapikan rambutnya.

"Sorry!" cuma itu yang bisa dikatakan Eming sambil tetap menunduk.

"Aku mau pulang!" jerit Indi lagi sambil memasang sepatunya. Eming bangkit dan
mencoba memeluk kekasihnya, tetapi dengan kasar gadis itu meronta.

"Sorry,... aku sudah bilang sorry!" sergah Eming penuh penyesalan.

"Masa bodo!" sahut Indi sambil memasukkan kakinya ke sepatu yang kedua, lalu
melangkah keluar.

"Indi!" seru Eming sambil mencoba menahan tangan gadis itu. Tetapi Indi meronta
lagi dan berhasil melepaskan tangannya lalu melangkah cepat keluar.

"Akuanterin pulang. Tunggu!" teriak Eming sambil mencari-cari sandal atau


sepatunya. Sialan, jika diperlukan, barang-barang itu sembunyi di mana?

Indi tidak menengok lagi, melangkah cepat menuju pintu keluar, menerobos bengkel
yang masih bising dan sibuk.
"Lho, kok sudah pulang nDi?" teriak Ayah Eming dari balik sebuah mobil sedang yang
sedang dibetulkan. Lelaki tua itu heran, biasanya Indi bertandang sampai sore dan
pulang diantar Eming dengan wajah ceria. Kali ini gadis itu keluar dengan cemberut
dan tidak tengok kiri-kanan. Sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya,
lelaki tua itu kembali mengalihkan perhatiannya ke pekerjaannya. Urusan anak-muda
adalah urusan anak-muda!

Eming berlari mengejar Indi, tetapi gadis itu sudah naik angkot yang pertama
dijumpainya. Pemuda itu lalu balik ke dalam, dan sebentar kemudian terdengar
raungan motornya keluar. Kembali Ayah Eming menggeleng-gelengkan kepalanya. Urusan
anak-muda selalu dramatis!

******

Sejak itulah hubungan Indi dan Eming memburuk. Berkali-kali Eming mencoba minta
maaf, tetapi Indi diam seribu basa. Lewat Mutia dan Rika, pemuda itu juga mencoba
untuk membujuk Indi, tetapi bahkan kedua sahabat itu pun dibentak oleh Indi agar
tidak ikut campur.

Sekali waktu, Eming mencegat Indi pulang sekolah sendirian, karena kebetulan Mutia
atau Rika tidak masuk. Terpaksa Indi bersedia berjalan berendengan menuju tempat
menunggu angkot.

"Jangan begitu, dong, nDi. Aku, kan, sudah minta maaf!" ucap Eming berulang-ulang.

"Kali ini kamu sudahkelewatan !" sergah Indi sambil mendekap bukunya erat-erat di
dada. Wajahnya tampak dingin dan tak-acuh.

"Habiskamu juga sih...," sahut Eming membela diri. Ia lama-lama kesal juga
diperlakukan sebagai pesakitan terus menerus.

Indi menghentikan langkahnya. Eming ikut berhenti. Wah, panjang, nih, urusannya!
pikir pemuda itu gelisah.

"Indi maubilangin kamu sekali ini saja. Tidak akan Indi ulang," kata gadis itu
tegas dan getas. Eming diam menunggu.

"Indi menghargai cowok yang tahu diri. Indi suka cowok yang tidak memanfaatkan
kelemahan ceweknya. Kamu tidak memenuhi kedua syarat itu!" kata Indi sambil mulai
melangkah lagi.

Eming terdiam, tidak mengikuti langkah Indi. Ia kehabisan kata-kata dan pikirannya
sedang sibuk mencerna ucapan Indi yang terasa benar belaka. Apalagi kalimat
terakhir itu..... Kalimat ultimatum itu.

Di kejauhan terlihat sebuah motor merah darah meraung-raung mendekat: Dicky.

Eming minggir teratur, berdiri di tepian jalan. Dicky melintas cepat sambil
menengok sekilas kepadanya. Dalam hitungan detik, Dicky sudah tiba di samping Indi
yang sudah meninggalkan Eming.

"Ada apa, nDi? Si Mi-ingngaco , ya!?" tegur jagoan itu dengan nada bersahabat,
tanpa turun dari motornya.

Indi tersentuh juga oleh teguran yang penuhconcern itu. Kalau gadis itu mau, dia
tinggal menganggukkan kepala satu kali, dan tamatlah riwayat Eming. Tetapi ia tidak
ingin ada keributan, dan terlebih-lebih lagi ia merasa sudah cukup menghukum Eming.

Sambil tersenyum manis, gadis itu berkata lembut kepada Dicky, "Ah, biasa, lah,
Dick. Ngga ada apa-apa."

"Betul, nih,.... beres-beresaja ?" desak Dicky sambil mengendalikan motornya agar
bisa berjalan seperlahan langkah Indi.

"Betul!" kata Indi meyakinkan, lalu sambil tetap tersenyum gadis itu merajuk,
"Tetapi kakiku pegal, nih, jalan kaki. Bisa boncengan sampai rumah?"

Wow! Dicky merasa jantungnya melompat keluar dan menggelepar jatuh di tanah.
Permintaan Indi ini bagai durian runtuh... Mungkin lebih itu... Bagai emas Monumen
Nasional yang runtuh menimpa kepalanya!

Cepat-cepat Dicky menghentikan dan meminggirkan motornya, lalu memposisikan


duduknya lebih maju lagi. Sejenak kemudian ia merasakan gadis pujaannya meraih
pinggangnya, lalu duduk di jok belakang. Dunia saat itu terasa berisi kecoa-kecoa
saja di mata Dicky, dan dia sanggup mengalahkan negara Amerika Serikat sekalipun
kalau diberikan cukup tank atau kapal selam. Dengan Indi diboncengannya, Dicky
melarikan motornya, melesat menuju utara.This world is mine! jeritnya dalam hati.

Sebaliknya bagi Eming, dunia sudah runtuh. Pemuda ini menunduk dan menghela nafas
dalam-dalam. Selesailah sudah salah satu babak paling indah dalam hidupnya. Kini ia
mungkin harus berkonsentrasi kego-kart saja, dan teringat akan hal itu ia pun
bergegas menuju mobilnya.Forget that girl! sergah hatinya. Tetapi bisakah?

Rima

Lembayung mulai melingkupi ufuk langit. Ratusan perdu kini tinggal bayang-bayang
hitam, seperti serdadu bergerombol dalam diam. Angin tak terlalu kencang, tetapi
tentu saja dingin. Puncak gunung ini cukup tinggi untuk ukuran para pendaki pemula.
Dalam remang yang menemaram, Rima duduk di tanah memeluk lututnya, memandang ke
depan sana: kabut tipis di mana-mana. Jaket besar-tebal membungkus tubuhnya,
memberi hangat yang lumayan.

Tubuhnya letih, tetapi hatinya lapang. Setelah mendaki empat jam penuh, Rima
merasa nikmat-hikmat duduk memandang Sang Teja yang bersiap menggelap. Sebentar
lagi langit akan berubah menjadi hamparan hitam maha luas. Lalu akan ada satu dua
bintang, sebelum akhirnya jutaan-milyaran kerlap-kerlip akan memenuhi semesta maha
tinggi itu. Pada saat seperti itulah Rima dan selusin pendaki lainnya akan merasa
sekecil butir debu. Merasa seperti kutu tak berdaya di bawah naungan alam yang amat
perkasa. Merasa akan dengan mudah terhembus lenyap dari muka bumi jika alam berniat
begitu.

Seorang pendaki lamat-lamat menyanyikan puja-puji kepada alam, diiringi harmonika


temannya. Rima ikut berbisik mengucap syairnya. Hatinya terasa dipenuhi rasa lega
karena ternyata bumi begini luas. Ternyata kepada kita disediakan begitu banyak
kelapangan-keleluasaan. Tidak ada tembok di sini. Tidak ada atap. Semuanya terbuka-
terhampar.

Betapa bedanya di bawah sana, di tempat yang hiruk-pikuk dan sempit oleh rumah,
gedung, jembatan, pagar-tembok, tangsi militer, toko, rumahsakit... entah apa lagi!
Betapa terhimpitnya di bawah sana, dan betapa banyaknya masalah. Setiap hari di
bawah sana ada masalah menyerbu bagai banjir bandang. Kadang-kadang itulah yang
menyebabkan kita tenggelam, atau hanyut, atau terlindas-tandas. Kita tidak bisa
lari, karena kesana-kesini terbentur tembok. Ada banyak tembok kasat mata. Tak
kurang banyak pula tembok maya-nestapa. Semuanya siap mencegah sembari ikut
merajah-rajam.

Rima menarik nafas dalam-dalam, memenuhi dadanya dengan udara segar yang bisa
mengusir keluh di hatinya. Seandainya hidup ini selalu luas-lapang seperti di
puncak gunung, tentu tak akan ada gundah. Tentu semuanya akan nyaman belaka.
Tetapi,.... Rima menghempaskan nafasnya kuat-kuat, tetapi hidup ini bisa menjadi
bajingan.Life is a bitch! . Hidup ini sungguh tak mau kompromi. Bahkan kepada
seorang gadis kecil yang kehilangan Ibunya sewaktu masih berusia 5 tahun...

******

Rima menggigit bibirnya sendiri setiap kali ingat Ibu. Ia tak pernah ingat wajah
Ibu yang sesungguhnya, karena itulah ia hanya bergantung kepada sebuah foto yang
kini hampir lusuh di dompetnya. Dari foto itu Rima bisa selalu mengenang matanya
yang teduh tetapi agak sipit. Terlahir dari keluarga campuran, ibunya termasuk
cantik sekali. Rambutnya yang ikal datang dari Kakek yang berasal dari Indonesia
Timur. Bibirnya yang tipis dan matanya yang sedikit sipit datang dari Nenek yang
masih punya kerabat di Hong Kong. Foto hitam-putih itu dibuat di sebuah studio,
memperlihatkan Ibu ketika berusia 20-an, sebelum menikah dengan Ayah. Cantik
sekali, Ibu mengerling tajam, dengan tubuh putih-mulus dibalut kebaya modern.

Di setiap puncak gunung di mana pun Rima mendaki, selalu ia sempatkan berbisik ke
langit, "Ibu, Rima rindu padamu. Peluklah Rima dari atas sana.".. Dan seperti
nyata, Ibu pun datang memeluknya dalam bentuk kabut tipis yang merayap pelan-pelan
di sekujur tubuh. Atau dalam bentuk kelam-malam yang membungkus semua isi alam.
Atau dalam bentuk wangi edelweis yang merebak di pagi hari.

Ketika Rima masih kecil, ia tak pernah tahu apa arti Ibu yang tiada. Baru setelah
berusia belasan, setelah Ayah semakin sering pulang malam atau tidak pulang selama
3 hari berturut-turut, Rima tahu mengapa Ibu sebaiknya hadir di setiap rumahtangga.
Juga ketika salah seorang kakak pria-nya (Rima adalah satu-satunya wanita)
meninggal akibatover-dosis , Rima pun sadar bahwa Ayah adalah pria yang tak
berdaya. Kakaknya yang tertua menghilang dari rumah ketika Rima berusia 12 dan baru
muncul lagi ketika Rima lulus SMA. Ia ingat, kakaknya datang dengan sebuah motor
Harley Davidson, dengan tubuh penuh tatoo. Lalu ia mendengar kakaknya bertengkar
riuh dengan Ayah di ruang tamu. Lalu Ayah terjengkang ditinju kakaknya, dan Rima
berdiri saja di bingkai pintu seperti menonton film Kung Fu.

Mengapa ia tidak menjerit melihat hidung Ayahnya berdarah? Mengapa ia sering ikut
merasa ingin meninju hidung itu? Mengapa ia tidak bisa melupakan perempuan yang
dibawa Ayah dan disetubuhinya di kamar Ibu? Mengapa ia tetap geram kalau ingat
gelas yang dilemparkan kepadanya ketika Ayah mabuk di ruang tamu? Mengapa ia sering
tak mau menuruti perintah Ayah? Mengapa ia sering berharap agar Ayah masuk penjara
atau tewas di jalan raya? Mengapa....?

Rima menunduk, menyembunyikan mukanya di antara kedua lututnya. Malam di puncak


gunung sudah semakin gelap. Salah seorang pendaki berteriak mengatakan bahwa api
unggun sudah menyala. Seorang lainnya menegur Rima dan menawarkan rokok. Ada juga
suara-suara lain di sekelilingnya. Ada tawa. Ada nyanyi. Ada teriakan-lepas.
Adacekakak-cekikik . Rima diam saja membiarkan dirinya terbungkus oleh aneka suara
itu.

******

"Aku tidak percaya ungkapan 'alam yang kejam'...," ucapan Kino terngiang di
telinga Rima, "Alam selalu bersahabat. Lihatlah!" kata pemuda itu sambil
membentangkan tangannya.

Dan Rima ingat, itulah pertama kali ia berdiri di puncak sebuah gunung yang tidak
terlalu tinggi. Itulah saat ia resmi menjadi anggota Pencinta Alam bersama-sama
Kino. Itulah pula saat ia melirik ke pemuda jangkung di sebelahnya dan berbisik
dalam hati,.. siapa pacarnya?

Bagi Rima, pemuda atau lelaki atau cowok bukan mahluk asing. Ayahnya adalah salah
satu contoh mahluk itu. Seluruh kakaknya adalah mahluk itu pula. Pacar-pacarnya,
dari sejak SMP sampai detik ini, adalah mahluk itu pula. Maka bagi Rima tidak ada
yang asing dari pemuda di sebelahnya ini. Kecuali satu... pemuda ini mengajaknya
naik gunung, sementara yang lain biasanya ingin menaiki "gunung"-nya yang tak
terlalu besar itu!

"Banyak yang mati waktu naik gunung," kata Rima waktu itu, mencoba mengundang
perdebatan.

"Lebih banyak yang mati di jalan raya," jawab Kino kalem.

"Kalau orang yang naik gunung sama banyaknya dengan yang di jalan raya, mungkin
yang mati di gunung akan lebih banyak," sergah Rima tak mau kalah.

"Kalau orang yang naik gunungsegitu banyak, gunungnya meledak dan semuanya mati!"
kata Kino, dan Rima tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban telak itu.

Kino selalu bisa membuatnya tertawa. Pemuda itu mempesonanya sejak awal, karena
Rima lahir dan besar di tengah kakak-kakaknya yang brengsek. Salah satu kakaknya
-yang nomor dua- sering menampar. Kakak yang lain pernah memperlihatkan buku porno
kepadanya, dan meraba dada dan pantatnya ketika ia masih SMP. Kakak itulah yang
kemudian tewas OD. Kakak tertuanya -yang meninju Ayah itu- adalah pemimpin salah
satu kelompok gangster ibukota. Kakak tertua ini yang sering memberinya uang dan
mengajarinya minum bir, selain membekalinya dengan pil anti hamil dan sekotak
kondom. Bagi Rima, Kino adalah kebalikannya dari semua itu!

Rima "menemukan" Kino dalam suasana perploncoan yang seru. Pemuda itu sedang duduk
di bawah gerbang kampus, membaca Proklamasi keras-keras dan berulang-ulang.
Sementara ia sendiri harus berdiri di seberang jalan sambil memberi hormat ke
setiap angkot yang lewat. Ketika hukuman bagi keduanya usai, mereka berjalan
beriringan tak sengaja, dan saling tukar senyum untuk sekedar merasa senasib.

Lalu mereka sering bersama-sama, dan akhirnya Kino berhasil membujuknya ikut
mendaki. Rima ingat sekali, sebelum mendaki ia sedang gundah karena Ayahnya memberi
kabar bahwa ia akan menikah. Gila, sudah setua itu mau menikah. Mengapa tidak
segera setelah Ibu meninggal saja ia menikah? Mengapa harus menunggu, dan menyiksa
diri sekaligus anak-anaknya, sebelum memutuskan menikah? Rima marah sekali waktu
itu. Begitu marahnya sampai ia merasa putus asa dan berpikir tentang bagaimana
caranya menemui Ibu secepatnya!

"Ayolah, di gunung kita bisa berpikir lebih jernih!" desak Kino ketika mendengar
alasan Rima bahwa ia sedangsuntuk .

"Nggak, ah! Capek jalan jauh..," Rima menolak.

"Nanti aku gendong!" sergah Kino sambil membungkuk memperagakan kesiapan untuk
menggendong. Rima tertawa sambil mencubit lengan pemuda itu.

"Tinggi, nggak, gunungnya?" tanya Rima mulai ragu atas penolakannya sendiri.

"Ah, tidak. Kelihatan dari sini, kok!" kata Kino bersemangat.

"Dasar bego,... bulan juga kelihatan dari sini!" sergah Rima sambil mencubit lagi.
Ia senang sekali mencubiti Kino karena pemuda ini rupanya tahan cubitan.
Akhirnya ia berangkat, dan ternyata memang gunungnya tak terlalu tinggi selain
juga landai. Betapa benarnya Kino, puncak gunung ternyata memberinya udara segar
yang dengan cepat menjernihkan keruh di benaknya. Puncak gunung ternyata mampu
menghapus Ayah dari pikirannya. Baru kali ini Rima merasa bisa lepas dari bayang-
bayang lelaki tua itu!

Sejak itulah ia terpikat pada Kino, selalu ingin didekatnya, dan berharap pemuda
itu juga menyukainya. Tetapi Kino ternyata cuma senang berdekatan. Kino ternyata
tak menyukainya sebagaimana ia berharap pemuda itu menyukainya. Kino ternyata hanya
mau jadi sahabatnya. Rima sempat terluka, dan berdiri lama di depan cermin: apakah
aku kurang cantik?

Tetapi lama kelamaan bisa Rima menerima penolakan pemuda itu, dan mereka kemudian
menjadi sahabat-karib saja. Itu pun sudah cukup bagi Rima.

*****

"Hei, melamun lagi!" hentak seseorang.

Rima mengangkat muka, menemukan wajah tegar Yardin, sang pemimpin pendakian.
Tersenyum, Rima menarik tangan pemuda itu, mengajaknya duduk dekat-dekat.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya mahasiswa jurusan sipil yang lebih tinggi dua
tingkat dari Rima itu. Ia duduk dekat sekali di sisi gadis itu. Bahu mereka
bersinggungan akrab.

"Macam-macam.... Ujian semester, perang di Timur Tengah, nasib Tim Bulutangkis,


pengaruh gerhana matahari terhadap kesehatan...," kata Rima sambil menelusupkan
tangannya di bawah lengan Yardin.

"Tidak satu pun ada yang relevan untukku," sela Yardin dengan nada mengeluh.

Rima tertawa. Ia tahu, pemuda ini memancing percakapan lebih intim. Pasti pemuda
ini ingin Rima menjawab dengan "memikirkan kamu" atau yang semacamnya. Sayang
sekali, Rima memang tidak memikirkannya.

"Kenapa, sih, kamu tidak pernah memikirkan sesama mahasiswa?" desak Yardin.

"Lho, kok bisa menyimpulkan begitu. Aku sering memikirkan sesama mahasiswa," sahut
Rima menahan senyum.

"Misalnya, memikirkan aku, ...begitu?" ucap Yardin nekad.

"Ya. Aku sering memikirkan kamu," jawab Rima sambil mempererat pelukannya di
lengan pemuda itu. Ia memang sayang kepada pemuda yang maha-penolong kepadanya ini.
Ia tahu pemuda ini berminat kepadanya. Sangat berminat, bahkan!

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Yardin menoleh, memandang dari jarak dekat wajah
Rima yang tomboy tetapi manis itu. Ia suka pada mukanya yang halus tak berjerawat
itu, pada hidungnya yang mungil dan lucu itu, pada matanya yang membola-mempesona
itu.

"Banyak!" sergah Rima sambil menyandarkan kepalanya di bahu Yardin.

"Tolonglah, ungkapkan satu saja di antaranya," kata pemuda itu penuh permohonan.

"Perbuatan kamu seminggu yang lalu, misalnya," kata Rima.


Segera Yardin menegakkan duduknya. Sekujur tubuhnya menegang, dan Rima tersenyum
sambil tetap menyandar di bahu pemuda itu. Aku menyentuh sebuah titik sensitif,
bisik Rima dalam hati.

"Aku, kan, sudah minta maaf, Rima...," kata Yardin dengan suara pelan.

Rima tertawa kecil, "Dan aku, kan, sudah memaafkan."

"Tetapi kenapa diungkit lagi?" tanya Yardin masih dengan suara pelan.

Rima tertawa lagi, "Lho, katanya ingin tahu apa yang aku pikirkan!"

"Berarti kamu belum memaafkan," sergah Yardin cepat.

"Memikirkan dengan memaafkan, kan, bisa sejalan. Bagaimana, sih, kamu!?" sergah
Rima tak kalah cepat.

"Malam itu aku tidak bermaksud begitu...," kata Yardin, tetapi segera dipotong
Rima,

"Alaaah!... ngga usah diulang. Aku tahu kamu tidak bermaksud meraba-raba dan
mengajak bercumbu begitu jauh."

"Ssst!" Yardin menempelkan telunjuk di bibirnya sambil melihat berkeliling. Ia


takut ucapan Rima terdengar yang lain, walaupun sebenarnya mustahil karena angin
mulai mengencang mengeluarkan suara berkesiut.

Rima tertawa kecil dan dengan suara pelan berkata, "Aku tahu kamu suka, walaupun
kamu tidak bermaksud. Aku tahu kamu ingin kita berbuat lebih jauh, walaupun kamu
tidak bermaksud. Kenapa, sih, musti minta maaf terus?"

"Jadi, apa yang kamu 'pikirkan' itu?" desak Yardin.

Rima menarik lengan pemuda itu, merapatkannya lebih dekat ke tubuhnya, lalu
mencium sekilas pipinya, sambil berbisik, "Aku tidak keberatan, tetapi tidak harus
begitu jauh, dan tidak harus menuntut aku jadi pacarmu."

Terdengar Yardin menghela nafas lega dan menundukkan kepalanya. Diambilnya sebutir
batu kecil, dilemparkannya ke depan, ke tempat gelap.

"Satu lagi...," kata Rima masih dengan berbisik.

"Apa?" kata Yardin sambil menengok, menemukan sepasang mata bening menatapnya
tajam.

"Kalau aku bilang tidak, artinya tidak. Kalau aku bilang mau, bukan berarti
seterusnya mau," ucap Rima tanpa berkedip.

Yardin menunduk lagi, lalu berucap pelan, "Padahal aku berharap kamu mau jadi
pacarku, Rim. Aku bukan cuma ingin bercumbu."

"I know..," ucap Rima, "Tetapi aku tidak mau jadi pacarmu. Aku tidak mencintaimu,
walau aku suka padamu"

"Apakah karena ada yang lain?" desak Yardin.

"Ada," jawab Rima, tetapi buru-buru ia melanjutkan, "Jangan tanya namanya, karena
tidak akan kujawab."
Yardin terdiam. Ia mendengar selentingan, salah satu sahabat Rima (semua isi
kampus tahu empat sahabat itu: Rima - Ridwan - Tigor - Kino, R2TK) adalah kekasih
Rima. Tetapi mana mungkin, karena Rima tetap mau diajak naik gunung terpisah dari
sahabatnya, dan tetap mau dicium bahkan diraba-raba seperti minggu lalu. Tetapi
Rima juga bukangampangan , dan Yardin sebetulnya merasa bangga terpilih sebagai
orang yang boleh mencumbunya, walau "serba tanggung". Ah, rumit sekali gadis ini,
keluh Yardin dalam hati.

"Hei,gantian kamu yang melamun!" sentak Rima.

Yardin menghela nafas dalam-dalam, "Makan malam, yuk!" ujarnya mengalihkan topik.

"Oke," sahut Rima riang, "Tetapi cium dulu, dong!"

Yardin mencium pipi Rima yang dingin karena angin gunung itu, lalu bangkit dan
menarik gadis itu ikut bersamanya. Malam itu mereka menyantap lontong yang dibawa
dari rumah, dengan lauk dua kerat dendeng manis. Sedap sekali!

******

Jadi kini ada dua hal penting dalam kehidupan Rima: gunung dan lelaki....

Ia menyukai yang pertama. Sedangkan yang kedua... hmmm... ia sering terlibat


kontradiksi dan ironi. Ia kehilangan figur Ayah sepanjang hidupnya, sehingga ia
berkembang menjadi tomboy. Tetapi pada saat yang sama ia merindukan pelukan-
rengkuhan, sehingga ia juga sering berganti pacar, dan sering membiarkan pacar-
pacarnya berlaku sebagaimana layaknya lelaki kepada lawan jenisnya.

Bagaimana jika keduanya -gunung dan lelaki- bergabung? Macam-macam pun bisa
terjadi. Ada peristiwa yang paling berkesan ketika Kino mencium tetapi menolak
ajakan bercumbu (baca Serial Kino, episode...cari ndili, deh! ). Ada peristiwa lucu
ketika para lelaki berebut membantunya untuk menarik perhatiannya. Ada peristiwa
sedih ketika seorang lelaki jatuh dan patah kakinya, sementara Rima adalah satu-
satunya wanita saat itu. Ada pula peristiwa bergairah, seperti malam itu ketika
Yardin kembali menciumnya di balik batu di seberang api unggun.

"Bibir kamu manis sekali," bisik pemuda itu disela-sela pagutan-kulumannya.

"Itu, kan, rasa dendeng," bisik Rima sambil membiarkan bibir bawahnya digigit
perlahan.

Yardin tertawa pelan, "Mmmm...," ia mengulum bibir Rima, "Boleh aku kunyah bibir
ini?" bisiknya.

"Jangan," desah Rima, "Nanti aku berubah jadikuntilanak , lho!"

"Mmmm.. bikingemes saja kamu," Yardin kembali mengulum bibir Rima dengan Semangat
Empat Lima.

"Mmmm...," Rima mengerang. Tangannya merangkul leher pemuda itu. Tubuhnya


tersembunyi jaket besar dan bayang-bayang batu yang bergerak-gerak sesuai gerak api
unggun.

"Tanganku kedinginan, Rim..," bisik Yardin sambil menelusupkan tangannya ke bawah


jaket gadis itu.

"Alaah!.. bilang sajapengin memegang-megang," sergah Rima sambil menggigit bibir


Yardin. Pemuda itu mengaduh, tetapi dengan cepat pula menelusupkan tangan ke bawah
kaos wol gadis itu.
"Hiiiy... dingin!" Rima bergidik merasakan telapak tangan pemuda itu melintas di
atas behanya.

"Nanti juga hangat," bisik Yardin sambil menciumi leher Rima, membuat gadis itu
menggelinjang kegelian.

"Aku hitung sampai tiga, kalau tidak segera hangat, kamu harus keluarkan lagi
tangan itu!" ancam Rima lalu memulai hitungan, "Satu...."

Yardin tertawa tertahan, menggigit dagu Rima, dan cepat-cepat memasukkan tangannya
ke balik beha gadis itu. Hmm.. hangat sekali, dan halus sekali. Tidak terlalu
besar, dada yang selalu terbungkus kaos tebal itu. Tetapi tetap saja menggairahkan
untuk dielus-elus dan diremas.

"Dua....," Rima melanjutkan hitungan, lalu mengerang, "Oooh...".

Yardin membawa tangannya ke puncak salah satu payudara Rima. Dengan jari-jarinya
ia meraba-raba puting yang segera tegak-mengeras.

"Ngg..," Rima mengerang dan mencoba mengatur nafasnya yang tiba-tiba memburu, "Dua
setengah....,"

Yardin tersenyum dalam hati, sambil terus mempermainkan puting Rima yang kini
sudah sepenuhnya berdiri. Sambil diselingi meremas-remas. Sambil menciumi terus
leher yang harum. Rima menggelinjang gelisah.

"Aaah,.. Yardin," Rima mendesah gelisah,"Ngga usah dihitung lagi, ya?"

"Terserah..," jawab Yardin sambil menahan senyum dan menciumi bahu Rima di balik
jaketnya.

"Cium, dong ..," desah Rima.

Yardin mengangkat mukanya dari bahu gadis itu dan mulai mencium bibirnya, tetapi..

"Bukan cium bibir..," sergah Rima setelah membiarkan pemuda itu sejenak
mengulumnya.

"Oh!.. cium yang itu.Sorry !" kata Yardin sambil melepaskan ciumannya, lalu
menelusupkan kepalanya ke bawah, ke balik jaket Rima.

Gadis itu melihat ke sekeliling. Beberapa pendaki tampak asyik bernyanyi-nyanyi di


sekitar api unggun. Ada juga yang sudah bersiap tidur meringkuk disleeping bag .
Tidak ada yang melihat ke arah batu tempat mereka bercumbu. Maka dengan hati-hati
Rima mengangkat kaosnya dan melebarkan jaketnya untuk menyembunyikan kepala Yardin.
Kalau ada orang menengok ke arah mereka, dan kalau pemandangan tak terhalang
bayang-bayang, maka akan terlihat Rima seperti sedang memeluk sesuatu yang
terbungkus jaket!

Begitu Yardin mulai mencium dan menjilat dan mengulum puncak payudaranya, Rima
terpejam nikmat sambil menggeliat dan memeluk erat-erat pemuda itu ke dadanya. Ia
bersandar ke batu di belakangnya, membiarkan tubuhnya seperti tersiram air hangat
dari ujung rambut sampai ujung jempol kakinya. Nafasnya mulai memburu, apalagi
Yardin kadang-kadang menyedot dan menggigit-gigit kecil. Setiap kali pula Yardin
melingkar-lingkarkan lidahnya di pangkal puting susunya yang sudah basah itu.
Sebuah getaran halus mulai terbentuk di selangkangannya, dan Rima pun merenggangkan
kakinya.
Yardin merasakan Rima bergerak-gerak gelisah. Ia menelusupkan satu tangannya ke
bawah, menerobos celana jeans yang membungkus ketat pinggang gadis itu. Rima
menarik nafas dalam-dalam agar perutnya mengempis dan agar tangan pemuda itu bisa
menelusup. Yardin pun tak menunda lagi, merasakan telapak tangannya meluncur deras
di atas kulit mulus, lalu tiba di balik celana dalam yang hangat.

Rima mengerang ketika jari tengah Yardin mulai dengan nakal dan cekatan melakukan
gerakan-gerakan mengelus sambil menelusup sambil mengitik. Cepat sekali ia
merasakan tubuhnya dipenuhi tanda-tanda orgasme. Seluruh otot tubuhnya menegang.
Jantungnya berdegup lima kali lebih cepat. Nafasnya semakin memburu. Pinggulnya
terasa penuh. Kewanitaannya terasa geli-gatal-nikmat. Tubuhnya bergetar seperti
mobil yang dilarikan kencang tetapi dengan persneling rendah.

Sejenak sebelum dirinya terlena dalam perjalanan menuju orgasme, Rima teringat
bahwa pemuda itu belum mendapat imbalan atas gairah yang dibangkitkan di tubuhnya.
Betapa egoisnya aku, desah gadis itu dalam hati, lalu mulai menelusupkan tangannya
ke bawah perut Yardin. Ia menemukan kejantanan pemuda itu telah menegang-menegak
meminta perhatian. Dengan konsentrasi yang terbagi antara menikmati dan memberikan
kenikmatan, Rima pun mulai mengelus, meremas, mengurut. Yardin mengerang tanpa
melepaskan ciuman dan kulumannya di dada Rima.

Sejalan dengan malam yang bertambah kelam, percumbuan mereka pun semakin
bergairah. Gerakan-gerakan mereka semakin cepat, berpadu serasi dan tetap dalam
kurungan jaket besar dan terlindung bayang-bayang batu besar.

Rima menjepit tangan Yardin ketika orgasmenya datang tanpa bisa ditahan lagi. Pada
saat yang sama, ia mempercepat gosokan tangannya di balik jeans pemuda itu. Yardin
mengerang-erang, dan menyedot payudara gadis itu seperti seorang bayi yang
kehausan. Rima menahan erangannya dengan susah payah, melentingkan tubuhnya,
meregang dan meregang....

"Oooh!" sebuah jeritan kecil tak bisa tertahan keluar dari mulut Rima.

"Uuuh!" Yardin juga mengerang keras ketika ejakulasi yang amat kuat menyentak
tubuhnya seperti orang kena setrum 1000 volt.

Salah seorang pendaki samar-samar mendengar jeritan itu di antara nyanyian teman-
temannya. Ia menengok ke arah sumber suara, tetapi cuma melihat sebuah batu besar
dan kegelapan di sekitarnya. Ia mengernyit, mencoba menembus gelap, tetapi gagal
melihat apa-apa.

"Paling-palingsi Rima dan si Yardin...," ujar salah seorang pendaki yang sedang
meringkuk di dalamsleeping bag ketika melihat temannyacelingukan

"Ngapainmereka?" kata pendaki yang masih mencoba-coba mengintip dalam gelap itu.

"Mainpetak umpet " sahut yang di dalamsleeping bag sambil tertawa.

Pendaki yang tadi mendengar erangan Rima dan Yardin menggeleng-gelengkan kepala
sambil berucap pelan, "Asal jangangituan . Nanti kita semua kuwalat."

Dari dalamsleeping bag , temannya menyahuti sambil menahan tawa, "Jangan


kuatir.Paling-paling cumasenggol-senggolan ."

Temannya ikut menahan tawa sambil mengeluh, "Kapan aku dapat pasangan
untuksenggol-senggolan ?"

"Kamu harus lebih sering mandi pagi, barudapet !" sergah temannya sambil tertawa
tergelak.
******

Satu hal yang membuat Rima sendiri heran adalah kenyataan bahwa walaupun pacarnya
berganti-ganti setiap tahun, ia tetap bisa mempertahankan kegadisannya. Ia selalu
bisa menolak -kadang-kadang dengan kasar- kalau ada lelaki yang mengajak bercumbu
lebih jauh. Ia menikmati rabaan dan kelitikan di mana saja di tubuhnya, tetapi ia
menolak setiap kali pacarnya mencobaall in . Setiap kali pacarnya sudah siap
melanjutkan percumbuan secara maksimal, Rima teringat Ayah dan sebentuk rasa benci
segera menyelinap. Maka, setiap kali pula gairah gadis itu seperti api disiram air
es. Langsung padam.

Percuma ia dibekali pil anti hamil atau sekotak kondom oleh kakaknya yang tertua.
Ia tidak pernah memakainya, karena merasa tidak memerlukannya. Ia menikmati seks,
tetapi tidak punya cukup alasan untuk bersetubuh. Baginya, bersetubuh akan
menimbulkan persoalan besar. Kenapa? Karena setiap kali gairahnya sedang memuncak,
dan setiap kali ia juga sebenarnya ingin melanjutkan percumbuan ke jenjang
tertinggi, selalu terbayang peristiwa itu...

Waktu itu ia baru berusia 15 tahun. Sepulang sekolah yang lebih awal dari
biasanya, Rima menemukan rumah dalam keadaan kosong, tetapi pintu tak terkunci. Ia
heran, tetapi tanpa wasyangka langsung masuk dan menuju dapur untuk minum. Ia
memang haus. Bibi Iyem tidak ada, mungkin sedang mengambil jemuran. Mobil BMW Ayah
ada di halaman, tetapi Pak Ujang supirnya tidak kelihatan, mungkin sedang tidur-
tiduran di gardu jaga.

Setelah minum, Rima melangkah ringan ke tangga menuju lantai dua. Rumah mereka
besar sekali dengan 7 kamar dan sebuah ruang keluarga yang luas. Dari ruang
keluarga ini ada tangga melingkar ke atas. Kamar tidur Rima ada di lantai dua itu,
di sebelah kamar tidur Ibu, yakni sebuah kamar besar yang dibiarkan kosong sejak
Ibu meninggal. Menurut Ayah, kamar itu dulunya kamar tidur utama. Kini kamar itu
terlalu banyak meninggalkan kenangan tentang Ibu, sehingga Ayah pindah tidur di
kamar di bawah. Rima merawat kamar itu, seakan-akan Ibu masih ada.

Sambil menggumamkan lagu kesayangannya, gadis itu melangkah ringan ke kamarnya.


Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar erangan dan rintihan dari kamar
sebelah. Sambil mengernyitkan dahi karena keheranan, Rima bersijingkat menuju pintu
yang tampaknya tidak tertutup dengan baik. Dengan satu tangan ia mendorong pintu
itu, dan apa yang terlihat membuatnya terkesiap.

Di situ, di ranjang besar yang jarang ditiduri itu, terlihat Ayah sedang
menggumuli seorang wanita muda yang telanjang bulat. Erangan dan rintihan datang
dari wanita itu. Tubuh Ayah juga telanjang dan berpeluh bergerak naik turun penuh
energi. Mereka berdua rupanya sedang dalam puncak birahi, sehingga sama sekali tak
tahu ada Rima yang berdiri tertegun di pintu. Segalanya terlihat jelas oleh Rima.

Pemandangan itu sangat memukul perasaan si gadis remaja. Hatinya hancur luluh
menyadari bahwa Ibu ternyata telah tersingkir jauh dari kehidupan Ayah. Sulit
baginya untuk mengerti, mengapa Ayah harus melakukan kegiatan menjijikkan itu di
ranjang Ibu. Mengapa ia sanggup melakukannya di bawah foto besar Ibu, di atas
seprai putih yang digantinya setiap minggu?

Sejak saat itu, persetubuhan sepasang manusia punya konotasi buruk di benak Rima.
Tetapi, akibat pergaulannya, Rima juga tahu bahwa seks itu memberikan kenikmatan.
Apalagi kakak-kakaknya sangat liberal, dan membiarkan Rima menonton koleksi video
porno mereka. Rima menonton berbagai adegan di layar kaca sejak SMP, tetapi melihat
Ayah melakukannya di ranjang Ibu, gadis ini jadi benci pada persetubuhan.
Kontradiksi inilah yang terbawa sampai sekarang, membuat hidup Rima juga penuh
ironi dan paradoks.
Rima adalah gadis tegar dan cerdas walaupun tidak menolak minum bir sampai mabuk,
atau dibawa ke tempat gelap untuk dicumbu. Ia bisa punya kharisma, dan tidak
sembarangan pria bisa menjadi pacarnya. Ia sekaligus seorang pemilih, seorang
yangchoosy , tetapi juga seorang yang setia kepada sahabat-sahabat prianya. Ia bisa
terpesona sampai ke tulang sum-sum pada seorang pria (salah satunya Kino), tetapi
juga bisa berang dan menghujat pria (salah satunya adalah Ayahnya).

Kekontrasan pun berlanjut di segala aspek: Ia anak orang kaya karena Ayah adalah
seorang pengusaha sukses, tetapi pakaiannya sederhana dan hidupnya sama sederhana
dengan mahasiswa semacam Kino yang datang dari kota kecil. Ia bisa bergaul
denganyuppies di berbagainight club di ibukota, tetapi tak juga malu makan di
warung kecil di seberang kampus.

******

Lalu tentang Kino. Kalau kini ia marah besar kepadanya, itu adalah karena ia tak
sanggup melihat pemuda itu terlibat dalam penghianatan seorang istri. Bagi Rima,
penghianatan dalam perkawinan adalah sebuah kesalahan besar. Rima tak mau menerima
apa pun alasan seseorang berhianat kepada perkawinan. Kehilangan Ibu dan punya Ayah
yangamburadul membuat gadis ini mendamba keutuhan keluarga. Ia tak rela ketika tahu
Kino memacari istri orang, karena ia ingin pemuda itu tetap menjadi panutannya.

Dengan getir, Rima menyadari, harapan itu semakin pupus. Dengan getir, Rima sadar
bahwa ia mungkin harus terus mendaki untuk mencari ketinggian yang paling
melegakan. Maka ia pun terus mendaki dan mendaki lagi. Gunung demi gunung
ditaklukkannya. Puncak demi puncak didudukinya. Setiap kali hatinya gundah, ia akan
mencari gunung untuk didaki. Setiap kali mencapai puncak gunung, ia mendapatkan
kelegaan di sana, tetapi setiap kali pula ia harus turun ke dunia yang hiruk-pikuk.

Malam itu, ketika Rima mendengar kabar kecelakaan yang dialami Kino, ia terkesiap
dan mengeluh dalam hati, "Mampukah aku mendaki gunung yang satu ini?"

Kisah Kino

Ada sebuah tanah lapang yang amat luas berwarna abu-abu pekat, begitu luasnya
sehingga tak nampak di mana tepian. Tak terkira di mana awal di mana akhir. Tanah
lapang yang begitu halus lurus-datar sejauh-jauh mata memandang, begitu lembut
dipijak kaki dan begitu tipis sehingga tertembus pandang. Ah, ini sebuah tanah
lapang yang mengapung-apung dalam ruang kehampaan yang legam-pekat. Kino melihat ke
sekelilingnya, mengira-ngira apakah ia di tengah, atau di atas, atau di tepi, atau
di mana-mana?

Kemudian ada suara-suara keheningan dan dengung-dengung kebisuan. Kino tersenyum


merasakan sekelilingnya seperti merengkuh gemulai, apalagi kemudian sebuah sinar
mulai membersit di kejauhan sana. Sebuah sinar yang amat terang sesilau-silaunya
mata memandang. Ah, .. Kino tersenyum lagi karena dari titik membersit itulah
datangnya rasa selaksa damai yang mendatangkan teduh. Aneh memang, kebenderangan
yang terik itu justru membawa sejuk. Sama anehnya dengan keheningan yang
bersenandung ramah. Atau kegulitaan yang menerangkan.

Dan Kino melangkah ke arah sinar itu. Ringan dan santai dan nyaman sekali
langkahnya. Riang sekali rasa hatinya, walau sempat ia bertanya: Siapa gerangan di
balik sinar itu yang bernyanyi kepadanya begitu menina-bobokkan?
**********

"Dammit!" dokter Rudy memisuh pelan, "Jangan menyerah sekarang,buddy !"

Suster kepala di ruangemergency cepat-cepat mengambil lap untuk menghapus keringat


di sekitar mata dokter yang sedang berjuang memperkecil tumpahan darah dari luka di
kepala Kino. Sesekali ia melirik ke monitor yang memperlihatkan denyut jantung
pasien muda itu.... Hmmm... tidak begitu menggembirakan, batinnya.

Tiga suster lainnya dengan cekatan memberikan apa saja yang diminta dokter Rudy.
Gunting, berkilauan karena bersih dan tajamnya. Tang, panjang atau pendek...
mencapit buntalan-buntalan kapas yang cepat sekali memerah oleh darah yang mengalir
deras dari luka. Dokter berjuang keras menyetop perdarahan, sambil berharap
persediaan darah tidak habis. Tadi, ia telah meminta "keluarga" di luar
ruangemergency untuk menyiapkan darah cadangan sesegera mungkin...

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy lagi sambil mempercepat kerjanya.

**********

Ridwan serius mengkoordinasikan teman-temannya. Indi serius mendengarkan perintah-


perintahnya.

"Kita harus sebanyak mungkin mendapat darah, siapa yang mau menyumbangkan?," ujar
Ridwan sambil memandangi satu per satu Tigor, Rima, dan Indi. Ia menengok pula ke
bangku dekat pintu ke ruang operasi, melihat Trista tersedu dipeluk Ibu Kost dan
diapit Ayah Indi.

Semua mengatakan mau menyumbangkan darahnya. Indi bahkan sudah menyingsingkan


lengan bajunya. Trista mengangkat kepala, dan berkata lemah, "Saya juga."

"Kata dokter Kino bisa menerima golongan apa saja," kata Ridwan lagi, lalu melihat
ke sekeliling, "Di mana tempat transfusi?"

Seorang suster datang mendekat, memberi penjelasan ringkas tentang prosedur


transfusi atau penyiapan darah dengan membeli di bank darah. Ridwan mengatakan
mereka semua bisa menyediakan darah, kalau memang dianggap sehat untuk itu. Suster
lalu mengajak mereka ke sebuah ruang lain. Di sana mereka diperiksa, apakah bisa
menyumbangkan darah atau tidak

**********

"Lho, ada sebuah jendela?" ujar Kino ketika ia baru melangkah sepuluh kali

Jendela itu mengawang-awang, tiada temboknya, tetapi Kino tak peduli. Ia mendekat
dan melongok ke luar. Hamparan hijau alam asri lengkap dengan danau, sungai dan
gunung.... Terpampang megah mempesona bagai sebuah lukisan tiga dimensi. Kino
mengernyitkan dahi, .. mengapa ia merasa kenal sekali dengan pemandangan itu?

Kino tertawa riang, sendirian. Tawanya bergema ke mana-mana, terpantul-pantul


padahal tidak ada tembok atau apa-apa di sekelilingnya. Kino tak peduli, ia ingin
tertawa karena dilihatnya seorang anak kecil berenang di sungai bersama teman-
temannya. Tentu saja Kino kenal anak kecil itu, yang sudah gemar menyilam sejak 7
tahun. Tentu saja! Itu Kino kecil, sewaktu sekolah dasar....

Baru saja Kino hendak memanggil bocah itu, hendak meneriakkan namanya, tiba-tiba
gambar di depannya berubah. Hujan deras sekali. Awan hitam bergumpal-gumpal. Angin
menderu-deru.... Kino terheran, dari mana datangnya badai?... Sebuah kilat
berkerejap, dan sejenak Kino melihat seorang pemuda tergeletak di aspal dengan
kepala berlumuran darah.

Kino memegang kepalanya. Tersenyum, ia merasa lega karena kepalanya tidak penuh
darah seperti pemuda yang tergeletak itu. Apalagi kemudian gambar cepat berganti
lagi. Laut biru terpampang luas di hadapannya. Pasir hitam pekat. Perahu-perahu
nelayan di kejauhan. Seorang gadis di bawah pohon kelapa tersenyum dan melambai
kepadanya. Kino membalas lambaian itu sambil menyebut namanya, "Alma!"

**********

"Stabilkan jantungnya. Cepat!" sergah dokter Rudy, dan para suster bergerak tiga
kali lebih cepat. Sigap sekali gerak mereka, hasil pengalaman beratus kali
menangani berbagai kasus darurat.

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy sambil melirik monitor di atas kepala
pasiennya, "Jangan menyerah sekarang,please !"

Dentang-denting gunting dan berbagai peralatan memenuhi ruang operasi yang terang
berderang tetapi mencekam itu. Walau sudah berkali-kali ikut dalam operasi seperti
ini, suster kepala terkadang ikut tegang juga. Apalagi kalau pasiennya muda belia
seperti yang sekarang tergeletak di meja di depannya. Betapa sayangnya kalau tubuh
tegap penuh vitalitas itu harus kehilangan roh semuda ini. Padahal, pasti banyak
yang masih bisa dikerjakannya dalam hidup.

**********

Indi menyuap supermi pelan-pelan. Tadi, seorang suster menyedot banyak darah dari
lengannya. Setelah Indi, giliran Rima yang meringis melihat botol plastik di
sebelahnya cepat sekali penuh oleh darahnya. Kini dua gadis itu kini duduk
berdampingan menikmati supermi yang katanya untuk mengganti darah yang tersedot
tadi.

"Kamu sempat lihat luka Kino?" tanya Rima sambil mengunyah.

Indi menggeleng, "Tapi, saya lihat celana pak polisi yang memangkunya dari tempat
kejadian sampai di sini... Penuh darah"

Rima bergidik, tak mau bertanya lagi. Ia tak suka darah. Apalagi darah Kino. Ia
sudah pernah melihatnya sekali, ketika pemuda itu berkelahi dengan Ridwan, darah
mengalir dari hidungnya. Merah sekali warnanya.

"Sempat bertanya ke dokter?" tanya Rima.

"Dokter hanya bilang, lukanya cukup parah," kata Indi menghentikan suapannya dan
menyeka mulutnya dengan tisu.

Rima terdiam. Berapa "cukup"-kah "cukup parah" itu? Atau mungkin lebih tepat:
berapa "parah"-kah "cukup" itu? Gadis tomboy itu menggeleng-gelengkan kepalanya
perlahan. Kadang-kadang ia ingin jadi ahli bahasa agar bisa memahami segala sesuatu
yang serba samar di dunia ini. Mengapakah selalu ada kesamaran ketidakjelasan
kekurangartian di dunia ini? keluhnya dalam hati.

"Tetapi Mas Kino akan tetap sehat...," terdengar Indi berbisik.

Rima menengok. Tadinya ia ingin mengatakan "ya", tetapi tidak jadi karena
dilihatnya kedua mata gadis manis di sebelahnya berkaca-kaca. Wajahnya keruh,
menunduk menekuni supermi di depannya.

Lalu Indi tersedu pelan. Rima merengkuh bahunya. Keduanya berpelukan. Supermi pun
akhirnya terlupakan. Lamat-lamat terdengar sedu keduanya. Malam semakin pekat.
Ruangemergency semakin mencekam. Sebuah ambulans meraung-raung masuk ke halaman.
Satu lagi pasien masuk ruang operasi.

**********

Lapangan luas yang menjadi tempat Kino berpijak ternyata adalah sebuah medan yang
bergerak. Pemuda itu melihat ke bawah, ke kakinya, dan baru tahu bahwa telapak
kakinya terbenam dalam asap pekat. Jadi, pikirnya, aku berdiri di atas awan. Pantas
kini aku merasa melayang dan bergerak terbuai-buai.

Kino menengok ke luar jendela, dan baru sadar bahwa jendela itu adalah jendela
pesawat terbang yang sedang bergerak cepat. Di bawah, ia melihat sebuah kota kecil
yang tak terlalu hiruk-pikuk. Ia terbang di atas sebuah pasar. Ia mengenali kios-
kios kecil dan kumuh para pedagang sayur dan bumbu dapur. Ia mengenali gedung
bioskop satu-satunya di kota itu, yang dinding sebelah selatannya selalu dihindari
banyak orang, karena baunya yang pesing. Banyak orang kencing di sana kalau tidak
tahan lagi, karena toilet di bioskop sering terkunci. Kino tertawa sendiri
mengenang semua itu.

Hei, stop! Kino hendak berteriak tetapi mulutnya tak bisa dibuka. Ia ingin
berteriak kepada sang pilot agar berlama-lama di atas sebuah rumah batu tua dengan
halaman yang tak terlalu luas.... Itu rumahnya, dan ia lihat seorang anak perempuan
sedang main lompat tali sendirian. Susi! Itu adikku yang paling cantik di dunia....
Kino melambaikan tangannya, tetapi Susi tak membalas. Mungkin aku terbang terlalu
tinggi, pikir pemuda itu.

Kino mengalihkan pandangan dari jendela. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, kalau-
kalau ada petunjuk di mana gerangan pintu. Di ujung sana, sinar gemerlap yang teduh
itu masih berbinar-binar. Rasanya makin dekat saja. Di ujung lain, ia lihat sebuah
tangga. Aha!... Mungkin tangga itu berakhir pada sebuah pintu ke kamar sang pilot.
Aku ingin bicara dengannya, pikir Kino.

Kino meninggalkan jendela, melangkah menuju tangga. Tetapi.... ia ragu-ragu.


Mengapa tangga itu gelap sekali? Pikirnya risau. Dan tampak seram pula. Ah.., untuk
pertamakalinya ia merasakan takut di tempat aneh ini. Sebelumnya, ia cuma merasa
senang-riang, selalu ingin tersenyum. Kini... Ia berhenti melangkah. Menengok ke
ujung yang satunya: Terang berderang dan tampak ramah pula. Menengok ke ujung yang
lain: Gelap gulita dan penuh misteri... Kino gundah: ke mana ia harus melangkah?

**********

"Perdarahannya berhenti, Dok!" lapor suster kepala; ada nada harapan di suaranya.
Dokter Rudy cuma bergumam, tetap tekun menjahit luka yang menganga di dahi Kino.

"Jantungnya tetap tidak stabil, Dok!" lapor suster yang lain. Suster kepala
menengok ke monitor, dan wajahnya langsung tersaput risau.

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy sambil melirik monitor di atas kepala
pasiennya, "Hang in there, buddy !"

Dokter itu berharap agar kemauan hidup pasiennya muncul di saat kritis ini. Jika
tidak, ia kuatir pemuda ini akan tergelincir ke alamcoma . Ia belum tahu status
kerusakan pada otak pasiennya; ia masih berkonsentrasi menstabilkan tubuhnya yang
banyak kehilangan darah. Kalau benturan ke aspal itu sampai menimbulkan luka di
jaringan otaknya, dan kalaufighting spirit pemuda ini lemah...... Dokter Rudy
menggeleng-gelengkan kepalanya.

"C'mon.. C'mon!", desis dokter Rudy untuk kesekian kalinya, "Jangan menyerah
sekarang,please !"

**********

Ridwan duduk di sebelah Tigor. Keduanya diam menekur lantai sambil memegangi kapas
yang tertempel di lipatan siku masing-masing. Keduanya sudah selesai diambil
darahnya, dan sedang menunggu supermi menjadi cukup dingin untuk disantap.

Trista datang dan duduk dekat Ridwan. Pemuda itu menggeser, memberi tempat sambil
tersenyum kikuk. Tigor ikut bergeser, sehingga kini ia duduk di ujung bangku,
nyaris terlempar ke luar.

"Hai," sapa Trista dengan suara sengau karena banyak menangis. Senyumnya
terkembang lemah, tetapi sudah cukup membiaskan kecantikannya yang mempesona. Tigor
menunduk menghindari tatapannya, tetapi sempat tersenyum menjawab teguran wanita
itu.

"Ada yang tahu cara mengontak orang tua Kino?" tanya Trista sambil menatap dua
pemuda di sampingnya satu per satu.

"Saya sudah menelpon mereka," sahut Ridwan cepat. Tigor diam saja.

Trista tersenyum lega, "Kalian bersahabat seperti bersaudara, ya?!" ucapnya


perlahan nyaris berbisik, dan Ridwan menangkap dua macam nada di suara wanita itu:
perasaan terimakasih, dan permintaan maaf. Tetapi kenapa minta maaf? Ridwan ingin
bertanya, tetapi kenapa pula harus bertanya tentang interpretasinya sendiri...
Jangan-jangan itu cuma interpretasinya.

Selagi Ridwan sibuk dengan interpretasinya, justru Trista berucap pelan, "Saya
minta maaf..."

Ridwan menoleh. Tigor juga mengangkat mukanya. Kedua pemuda itu menemukan sebuah
wajah cantik dengan sepasang mata yang sangat indah. Pantas Kino jatuh cinta kepada
bidadari ini, bisik Ridwan dalam hati. Gila betul matanya seperti berlian, bisik
Tigor dalam hati.

"Kenapa minta maaf?" tanya Ridwan cepat-cepat, sebelum ia lupa pertanyaannya.

Tristantiani menatap kedua pemuda di depannya. Bibirnya bergerak, tetapi tak ada
suara keluar dari sana. Ridwan dan Tigor menunggu dengan tegang. Pandangan mereka
terpaku pada bibir yang indah itu... Apa yang hendak disabdakan bidadari ini? pikir
Tigor sambil membandingkan mana yang lebih merah: bibir Tris atau tomat yang tadi
pagi dimakannya...

"Saya belum bisa menjelaskannya sekarang...," akhirnya Tris mendesahkan sepotong


kalimat yang bisa tertangkap telinga Ridwan dan Tigor. Lalu wanita itu menunduk.
Ridwan segera ikut menunduk. Tigor juga kemudian menunduk, setelah sempat mengambil
kesimpulan: bibir Trista lebih merah daripada tomat.

Seorang suster mengingatkan bahwa supermi di depan mereka sudah dingin.

**********

Malam itu juga, di sebuah rumah di sebuah kota kecil, ada kesibukan ekstra...

"Aku ingin ikut menengok Mas Kino...," Susi memohon sambil sesenggukan. Ibu
memeluknya, merengkuh kepala gadis kecil itu. Susi menangis makin keras di pelukan
ibunya.
"Tidak usah. Biar Ayah yang pergi dahulu. Nanti kalau sudah tahu perkembangannya,
kamu dan Ibu boleh menyusul." jawab Ayah tegas. Lelaki ini risau sekali sejak
mendengar telepon yang mengabarkan putranya terkena musibah. Ia memutuskan untuk
berangkat sendirian, selain untuk menghemat uang, juga untuk memastikan apa yang
sesungguhnya terjadi. Kalau berangkat sendirian, ia bisa bergerak lebih cepat.
Malam ini juga ia bisa menumpang truk barang sampai di kota kabupaten. Lalu dari
sana naik kereta-api tengah malam ke kota propinsi.

Ibu sejak tadi diam saja. Ia tidak panik, tetapi kerisauannya tentu melebihi siapa
pun juga. Ia melahirkan Kino, dan ia lah yang tahu persis apa arti kehilangan
seorang anak. Maka ia juga tahu persis, bagaimana bersiap jika kehilangan itu harus
terjadi. Ia sesungguhnya yang paling siap di antara siapa pun di dunia ini: siap
menerima yang terburuk, siap memberikan yang terbaik. Begitulah kemuliaan wanita
yang kita panggil Ibu itu!

Malam seperti lebih pekat dari biasanya, ketika akhirnya Ayah selesai berkemas,
memanggul ranselnya, lalu bergegas keluar rumah. Susi dan Ibu berdiri sejenak
termangu di pintu, mengantar Ayah dengan pandangan penuh harapan.

Lalu Ayah menghilang ditelan gelap. Susi tak lagi menangis. Ibu mengajaknya masuk
dan berdoa untuk Kino.

**********

Apakah kesedihan bisa dinyanyikan dengan nada riang?

Kino menebar pandangan ke sekelilingnya. Ia mendengar suara-suara nyanyian. Ia


tidak bisa memastikan darimana datangnya, tetapi suara itu jelas sekali di
telinganya. Ia juga tidak bisa memastikan apakah itu betul sebuah nyanyian, atau
kidung, atau gumaman .... Dan apakah itu sebuah kesedihan yang diartikulasikan
lewat keriangan... atau sebuah rasa gembira yang dinyanyikan dengan sedih.

Kino duduk di sebuah batu besar berwarna hijau pekat yang tiba-tiba sudah ada di
sebelahnya. Ia kembali memperhatikan kedua ujung lapangan abu-abu pekat tempat kini
ia berada. Ia kembali bertanya-tanya: kemana sebaiknya aku melangkah. Ke sinar yang
lembut ramah itu, atau ke tangga yang gelap misterius itu?

Rien terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya yang telanjang. Ia biasa
tidur bebas terbuka seperti ini. Sejenak ia mengejap-ngejapkan matanya yang terasa
agak pedih. Jam berapa ini? bisiknya dalam hati sambil meraih beker di meja kecil.
Warna digital hijau di jam itu menunjukkan pukul 2 pagi. Huh.., mengapa tiba-tiba
aku terbangun? sergah hatinya lagi. Ia bangkit dengan malas. Ditengoknya Tiyar
masih terpulas di sampingnya. Malam ini kekasihnya ...no! , bukan kekasihnya lagi,
melainkan tunangannya... tidur di sini. Dua hari yang lalu mereka bertukar cincin,
tepat setelah episode terakhir dari sinetron Rien selesai.

Dengan gerakan letih Rien bangkit dan turun dari ranjang. Ia tiba-tiba merasa
haus. Diraihnya sebuah kain yang biasa ia pakai sebagai selimut. Dibungkusnya
tubuhnya, lalu ia melangkah ke luar kamar. Di luar, malam masih pekat. Sejenak Rien
menyibak tirai jendela, mengintip ke halaman yang lengang. Ada sedikit kabut tipis,
karena rumah ini memang dekat sebuah sungai besar di pinggiran ibukota. Samar-samar
terdengar suara air mengalir deras.

Tanpa menyalakan lampu, Rien masuk ke dapur dan duduk dengan segelas air putih di
tangannya. Ia senang duduk dalam gelap seperti ini. Rasanya seperti duduk dalam
sebuah gua pertapaan yang hening. Pelan-pelan dihirupnya air yang terasa segar
menggelontor kerongkongannya. Mengapa tumben aku terbangun sepagi ini? pikirnya.

********
Kino memutuskan untuk menuruni tangga yang gelap itu. Jiwa petualangannya tiba-
tiba muncul, dan pemuda itu ingin sekali tahu ada apa di ujung koridor gelap itu.
Pada langkahnya menuruni tangga yang ketiga, Kino bergidik karena diserbu rasa
dingin yang mendadak menyelimuti tubuhnya. Sejenak ia menghentikan langkah dan
berniat kembali naik ke atas. Tetapi lalu Kino mencium bau yang sangat dikenalnya:
bau lautan!.... Bau angin yang membawa garam, bau pasir hitam yang dijilati ombak
tak henti, bau ikan dan ganggang yang mengapung!

Cepat-cepat Kino menuruni anak tangga yang tersisa. Lalu dengan tak sabar
dibukanya pintu di ujung koridor. Begitu terbuka, angin pantai menyerbu masuk.
Rambut Kino berkibar bebas, dan pemuda itu tersenyum. Tentu saja!... di hadapannya
terhampar pasir hitam dan setelah itu lautan luas membiru. Tidak ada apa-apa selain
itu, ... selain sebuah perahu berisi rumah-rumahan kecil di tengahnya. Perahu yang
biasa dipakai nelayan untuk berlayar jauh ke tengah samudera mencari ikan. Perahu
yang mengapung-apung agak ke tengah, terikat ke pantai oleh seutas tali yang kokoh.

Kino senang sekali melihat kembali pantai yang dulu menjadi tempatnya bermain-
main. Pemuda itu berlari menjejak pasir, merasa senang bisa merasakan butir-butir
kasar hitam itu menyentuh kembali telapak kakinya yang telanjang. Dengan gembira,
diterjangnya pula lidah-lidah ombak, ia berlari menuju perahu. Belum lagi setengah
dari jarak yang harus ditempunya, Kino menghentikan larinya. Ia tertawa melihat
siapa yang ada di perahu itu.

"Mba Rien!" jerit Kino dengan kegembiraan yang meluap. Sudah lama sekali ia tidak
berjumpa dengan "kakak"-nya itu!

********

Rien meneguk habis air di gelas. Selepas dahaganya, kini ia merasakan sebuah
aliran lain menyelinap di dadanya. Wahai..., bisiknya dalam hati,... kenapa tiba-
tiba aku teringat Kino?

Rien menyandarkan tubuhnya yang terasa letih, walau kini segar setelah minum satu
gelas penuh. Ia memejamkan matanya, dan entah kenapa wajah pemuda itu muncul jelas
sekali di pelupuk. Rien tersenyum. Pemuda itu selalu mempesonanya sejak dulu.
Dengan anak rambut yang menutupi sebagian alisnya... yang memayungi sepasang
matanya. Rien tersenyum lagi, mengenang betapa bening dan lembutnya mata itu kalau
sedang memandang dirinya.

"Kamu suka tarianku?" Rien ingat pernah bertanya begitu.... dan Kino tersipu
karena ia lebih suka melihat tubuh yang berlenggak-lenggok indah... dan Rien
tersenyum maklum menangkap rona merah di muka pemuda itu.

"Suka?" Rien juga ingat pernah bertanya begitu setelah Kino meletakkan tangannya
di dadanya yang membusung telanjang.... Tanpa sadar Rien mendekap dadanya...
tersenyum ingat betapa gugupnya Kino waktu itu!

Di manakah dia sekarang? tanya sebuah suara di hati wanita itu. Apakah ia masih
ingat pada buah-buah kenari yang dikumpulkan sepanjang sore itu? Apakah ia masih
ingat pada laut yang mereka renangi sambil berlomba dan berteriak-teriak riang itu?

Ya... laut itu. Pantai itu. Perahu itu. Rien ingat mereka pernah membujuk seorang
nelayan untuk mengajak dia dan Kino ikut ke tengah laut. Lalu ketika sampai di
tengah laut ada hujan cukup deras, sehingga mereka berempat: dia, Kino, dan dua
nelayan, basah kuyup, tetapi tertawa-tawa riang. Masih ingatkah Kino tentang hujan
di tengah laut itu?

Seperti film tanpa warna, berbagai kejadian melintas di pelupuk mata Rien.
Sesekali ia menghentikan aliran "film" itu; mem-freezesalah satu adegan dalam
bingkai rasa kangen yang entah kenapa mengental malam ini. Rien teringat bibir
pemuda itu, yang pernah ia cium dan kulum sepenuh hati. Rien teringat getar bibir
itu bahna gugup yang tak tertahankan selain juga mengejawantahkan birahi yang
diselipkan dalam rasa ingin tahu. Ah, betapa Rien juga ingat bahwa ciuman-ciuman
bergelora itu adalah bagian dari eksperimen perasaannya sendiri. Betapa pemuda itu
adalah perahu kecil yang ia naiki untuk meniti gelombang samudera kehidupan
belianya.

Betapa berharganya masa itu; ketika segalanya masih bening-murni tanpa pembungkus
yang berlebihan. Ketika alam masih dekat sekali di mata-kepala dan di mata-hati.
Lewat kedekatan pada alam dan pergaulan-batin dengan pemuda yang pemalu itu, Rien
menimba banyak sekali makna hidup. Kini, setelah tuntutan semakin menjulang dan
mendera, keemasan aneka makna itu berbinar bagai pelita di malam kelam. Tanpa itu,
Rien merasa pasti ia akan tersesat entah di mana.

Mba Rien kangen sekali, bisik wanita itu dalam hati. Di manakah kamu?

********

Kino mendayung sambil menghadap Mba Rien di atas perahu yang terombang-ambing
pelan. Dengan penuh antusias pemuda itu bercerita tentang kota yang kini ia
tinggali. Mba Rien diam dalam senyum manisnya, patuh mendengar setiap tutur Kino.
Tetapi, tentu saja, tak ada ucapan-perkataan yang dipertukarkan. Tidak ada kalimat
beruntai-berjuntai dari tenggorokan Kino ke gendang telinga Rien. Mereka bercakap-
cakap dalam diam sediam-diamnya. Hanya hati mereka yang bertaut-tautan seperti
rajutan tikar pandan; membentangkan rasa yang amat luas seakan ingin menyaingi luas
samudera.

Kino berkisah tentang betapa cerianya kehidupan kampus. Bercerita tentang dosen-
dosen yang galak dan yang tidak; yang tegas dan yang plin-plan; yang memukau dan
yang membosankan. Terutama juga: dosen-dosen yang tak mengajar tetapi mengajak.
Tidak banyak jumlahnya, tetapi Kino sangat menyukai dosen-dosen yang seperti itu.
Mereka, kata Kino kepada Rien, mengingatkannya pada seorang guru tari yang
mengajarkan gemuruh kehidupan. Tersenyum lebar, Mba Rien mendengar perumpamaan yang
terlalu dekat dengan fakta itu.

Apakah Mba Rien masih mengajarkan kehidupan lewat tari? tanya Kino, yang dijawab
Rien dengan anggukan perlahan dan senyum tak lekang. Apakah kehidupan itu bisa
segemulai tarian Mba Rien? tanya Kino lagi, yang dijawab Rien dengan gelengan tiga
kali. Mengapa begitu? tanya Kino penuh desakan, dan Rien mengatakan bahwa gemulai
tariannya adalah penghalusan yang perlu. Bukan peniruan yang persis.

Lalu Kino meraih tangan Mba Rien-nya, mencium ujung jari-jarinya. Dan Rien
membiarkan aliran hangat menyerbu dari bibir pemuda itu, menerobos cepat sepanjang
lengan untuk berlabuh di dadanya. Dan Rien bertanya mengapa Kino sendirian datang
ke pantai menyongsong samudera yang agaknya sebentar lagi bergelora. Mengapa Kino
bertelanjang kaki dan bermuka pucat walau penuh binar senyum kelegaan-kebahagiaan.
Terlebih-lebih lagi, mengapa mengajak Mba Rien seperahu-sependayungan?

Dan Kino menjawab bahwa ia sedang dalam sebuah pengembaraan aneh-mengasyikkan.


Bahwa ia sedang menikmati berbagaiflash-back dari sebagian episode hidupnya. Bahwa
sebuah cinta membara lah yang membawanya ke tempat ini.

Mba Rien lalu bertanya dalam tawa renyai, apatah gerangan "cinta membara" itu,cah
bagus ?

Kino tak bisa menjawabnya, melainkan malah ikut tertawa renyai. Bersamaan pula
dengan itu, ombak mengangkat tinggi perahu yang mereka tumpangi, lalu
menghempaskannya kembali ke bawah dengan cepat. Berdua mereka menjerit kaget,
tetapi lalu tertawa lagi karena ombak juga tertawa-tawa seperti mengajak bercanda.

********

Sebuah kerejap kilat di langit menyentak lamunan Rien. Ia membuka matanya, tetapi
dapur telah kembali gelap karena kilat itu cuma sepersekian-detik saja memberikan
terang. Perlahan-lahan Rien bangkit menuju jendela. Disibaknya gorden, dalam
temaram di lihatnya semak-semak yang bergerombol di halaman belakang. Daun-daun
pisang berjuntaian dari pohonnya, melambai-lambai pelan disepoi angin.

Betapa mesranya hubungan daun dengan angin, pikir Rien. Teringat kembali pada
kemesraannya pada Kino. Dia lah angin yang membelai pemuda itu, membuatnya
bergetar-getar halus. Teringat kembali pada remasan tangan pemuda itu dalam
ketidaktahuan dan keterpanaannya. Ah, siapa yang sebenarnya menjadi daun dan siapa
yang menjadi angin? Atau mungkin mereka berdua telah menjadi badai yang mengamuk di
masing-masing batin, yang kemudian menghempaskan mereka dalam kepuasan yang
meragukan. Keraguan yang memuaskan.

Rien menempelkan wajahnya pada kaca jendela. Hembusan nafasnya menciptakan buram
memutih, sehingga terlihatlah pantulan wajahnya sendiri. Mata itu, bisik Rien dalam
hati, ... mataku itu pernah terpejam dalam buaian nikmat badani yang tercipta lewat
ujung-ujung jari Kino. Mata itu, yang kini tersenyum dalam diam, pernah menjadi
telaga bagi gelisah-gundah Kino. Kapan kah terakhir kali pemuda itu berenang di
sana? Atau kapankah aku terakhir kali membiarkan deru nafasnya memenuhi leher dan
wajahku, membuataku berenang-renang dalam remang birahi?

Rien meninggalkan jendela. Duduk lagi dalam gelap. Memejamkan lagi matanya dan
membiarkan episode-episode lama terpampang bergantian di pelupuk.

********

Kino menghentikan kayuhan dayung lalu memajukan tubuhnya, sehingga wajahnya dekat
sekali dengan wajah Mba Rien. Sejenak mereka berpandangan dan Kino pun menemukan
lagi telaga sejuk yang luas-linggah itu. Apalagi kemudian Mba Rien tersenyum
lembut, membiarkan pemuda itu berenang-renang di sana. Membiarkan pemuda itu
mengecup bibirnya. Membiarkan nafas pemuda itu menyaput seluruh permukaan wajahnya.
Tercipta lah hangat. Tercipta lah rasa yang berakar-berujung jauh di relung tubuh.

Laut bergelombang pelan dan panjang. Kino mencium lama dan lembut. Mba Rien
perlahan memejamkan matanya. Datanglah padaku sesukamu, Kino, bisiknya.

********

Sebulir air mata turun dari ujung pelupuk Rien, perlahan sekali mengalir turun.
Datanglah padaku sesukamu, Kino, bisiknya. Entah darimana, entah hendak ke mana.
Datanglah. Janganlah pernah pergi sejauh-langkah.

Rien tak tahu apa yang terjadi dengan hatinya. Tiba-tiba saja perasaan luluh dalam
sedih memenuhi dadanya. Ia tiba-tiba merasa betapa jauhnya sudah pemuda itu
berjalan meninggalkannya. Betapa tingginya ia sudah terbang dari sangkar kecil yang
dulu mereka bangun di tengah hutan kenari dan pasir asin tepian pantai.

Datanglah padaku. Cium aku. Peluk aku. Tumpahkan segala rasa di tubuhku.

Rien menahan sedu dalam gelap

********
Kino memeluk Mba Rien, membawa kepala wanita itu ke dadanya. Mencium rambutnya
yang selalu menerpakan harum segar kembang setaman. Betapa senangnya bisa merengkuh
tubuh wanita yang dulu menyediakan lapangan penjelajahan tanpa batas itu. Kino
mencium dan mencium lagi. Mengusap dan menelusupkan jemarinya di rambut lebat-
legam. Menyentuh tengkuk Mba Rien yang mulus belaka itu.

Ombak bergelora. Perahu terombang-ambing. Kino tak melepaskan pelukannya. Badai


datang tiba-tiba. Laut murka dan langit menumpahkan kegelapan. Tak ada yang bisa
terlihat kasat mata. Kino tak melepaskan pelukannya. Kino tak berhenti mencium.

********

"Siapkan oksigen ekstra!" perintah dokter Rudy sambil menyodorkan wajahnya ke


suster kepala yang dengan sigap melap keringat dari wajah dokter muda itu. Perawat
yang lain segera sibuk menjalani perintah.

"Perdarahan sudah berhenti. Balut lukanya dengan baik!" perintah dokter Rudy
lagi.Phew! desahnya dalam hati. Luka itu begitu mengerikan dan begitu cepat
menumpahkan darah. Untung pasiennya termasuk kategori sangat sehat, sehingga masih
bisa bertahan. Sekarang tinggal menstabilkan terus jantungnya. Baru kemudian
memeriksa sejauh mana kerusakan di jaringan otak.

"Persediaan darah cukup?" tanya dokter Rudy yang dijawab dengan anggukan suster
kepala.

"Good!" kata dokter itu, "Bawa dia keluar dari ruang operasi. Awasi terus!"

Dokter muda ini harus menangani pasien berikutnya. Ia kini tinggal berharap pasien
yang barusan keluar itu tidak terlalu mengalami kerusakan di kepala. Dengan
begitu,recovery bisa lebih cepat.

********

Indi dan Rima yang paling dulu bangkit melihat Kino didorong keluar di atas tempat
tidur beroda. Berbagai selang berseliweran di tubuhnya. Ada selang darah, ada
selang infus, ada selang oksigen. Seluruh kepala Kino terbalut perban. Cuma bagian
hidung dan mata yang agak terbuka. Itu pun dipenuhi darah yang telah mengering
menghitam.

Trista berlarian menuju pintu ruangemergency , dan segera berjalan mengiringi


suster yang dengan tegas melarang wanita itu berjalan terlalu dekat. Trista tak
kuasa melihat apa yang dilihatnya. Tangisnya meledak. Indi buru-buru memeluknya.
Rima ikut memeluk. Bertiga mereka berdiri membiarkan Kino dibawa masuk ke ruang
khusus.

Tigor dan Ridwan mencoba ikut masuk, tetapi dilarang. Pintu ruangan khusus menutup
dengan cepat. Tigor melongok lewat jendela, memandang sahabatnya yang terbujur diam
dibawa menjauh. Pemuda itu menarik lengan Ridwan untuk bersama-sama melongok.
Dengan hanya pandangan mata, berdua mereka mengantar seorang sahabat. Masing-masing
berbisik dalam hati, "Jangan menyerah!"

********

Nun di sebuah rumah asri yang indah di pinggir ibukota, Rien berhenti menangis.
Dihapusnya air mata. Bangkit dengan gontai, wanita itu menuju kamar tidur. Tubuhnya
letih sekali, tetapi entah kenapa dadanya terasa lapang

Alma menggeliat dua kali, menguap dan bersungut-sungut. Siapa, sih, menelpon
sepagi ini? gerutunya dalam hati sambil turun dari tempat tidur. Hampir saja ia
langsung keluar kamar, tetapi segera teringat belum memakai rok. Ia tidur dengan
baju kaos panjang yang cuma sanggup menutupi setengah dari bokongnya yang seksi
itu. Cepat-cepat diraihnya rok dan dipakainya.

Tidak mungkin Devan yang menelpon. Pemuda itu jarang mau mengganggu tidur
kekasihnya yang lelap, pikir Alma. Sambil terhuyung-huyung, gadis itu membuka pintu
kamar dan menerima telponwireless yang disodorkan kepadanya.

Sambil menguap untuk menghilangkan kabut kantuk dari matanya, Alma mengucap salam.
Sengaja ia membuat suaranya tidak jelas dan bernada malas. Biar yang menelponngerti
ini, kan, masih pagibanget ! gerutunya dalam hati

"Alma, ini Ibu," suara lembut di seberang sana.

Seketika kabut kantuk hilang. Alma tergagap, "Eh, Ibu... pagi-pagi...tumben ...".

Ibu tertawa lembut dan menghardik sayang, "Duh, anak metropolitan..., jam 6 masih
dikatakan pagi. Biasanya di sini kamu bangun jam 5."

"Almabegadang semalam,ngerjain tugas kuliah.... Bener, lho!" sergah Alma manja.

"Ibu percaya," kata ibunya masih dengan lembut. Enak sekali mendengar suaranya
sepagi ini, pikir Alma yang kini sudah tak mengantuk sama sekali. Dengan seenaknya,
dara ini duduk di lantai. Sejenak mereka bertukar berita-berita kecil. Alma membuat
laporan singkat tentang kuliah dan kehidupannya, tak lupa menyebut nama Devan di
sana-sini.

"Ibu ingin memberi kabar yang tidak enak," kata Ibu setelah beberapa saat, masih
tetap dengan kelembutan yang menakjubkan itu. Bahkan sebuah kabar yang tidak enak
pun disampaikan dengan enak!

"Ada apa Ibu?!" sentak Alma, kaget mendengar kata-kata "tidak enak" itu. Segera
pikirannya meloncat-loncat ke mana-mana. Apakah musibah menimpa Ayah? Atau saudara?
Atau siapa?

"Ibu baru saja menerima telpon dari keluarga Kino," kata Ibu, pelan tetapi jelas.

Jantung Alma berdegup tiga kali lebih kencang. Tangan yang memegang telepon
langsung berkeringat. "Ada apa dengan Kino?" bisik Alma serak. Tenggorokannya tiba-
tiba seperti tersekat.

"Ibu tahu, kalian tidak berhubungan lagi," kata Ibu tidak langsung menjawab
pertanyaan Alma, "Tetapi Ibu pikir kamu harus tahu kabar itu."

"Ada apa dengan dia, Ibu! Janganmuter-muter , dong...," sergah Alma yang kini
sedang berjuang menahan tangis yang tiba-tiba menggumpal di dadanya. Perasaannya
sangat tidak enak. Ada apa dengan dia?

"Tenangkan dirimu," ucap Ibu menyiramkan keteduhan, tetapi airmata Alma sudah
terlanjur merayap turun, "Kino ada di rumah sakit, tertabrak mobil. Lukanya cukup
parah, dan sekarang belum sadar."

Tangis Alma tersekat, tetapi terdengar jelas di telepon. Ibu membujuk dengan kata-
kata teduh dan sejuk. Alma hanya bisa menahan sedu-sedan, tapi tak kuasa mencegah
air mata membanjir keluar.

"Mintalah ijin untuk tidak kuliah sehari ini. Tengoklah dia, Alma," kata Ibu.

"Ya, bu...," jawab Alma serak dan sengau.


"Ayah Kino mungkin sekarang sudah sampai di sana. Berlaku lah hormat padanya,"
kata Ibu lagi.

"Ya, bu..," sahut Alma sambil meraih tisu di meja dan membersihkan hidungnya

"Ibu tahu ini bukan waktu yang tepat, tetapi Ibu ingin kamu melupakan sejenak
pertentangan kalian. Ibu tahu kamu masih sayang kepadanya," kata Ibu dengan
kelembutan yang tak ada duanya.

"Ya, bu..," jawab Alma, kehilangan kata-kata. Apa lagi yang hendak diucapkannya?
Semua yang dikatakan Ibu benar belaka!

"Berani ke kota B sendirian? Atau haruskah mengajak Devan?" ada nada kurang setuju
di ucapan Ibu kali ini.

"Berani, Ibu. Saya akan berangkat sendirian," jawab Alma sambil menyeka matanya
dengan lengan baju kaos.

"Hati-hati di jalan. Sampaikan salam Ayah dan Ibu untuk Ayah Kino," kata Ibu
menutup pembicaraan.

Alma menekan tomboloff lalu membiarkan gagang telepon tergeletak di lantai.


Menunduk, meletakkan kepalanya di tangan yang tersandar di kedua lututnya, Alma
melanjutkan tangis yang tadi tertunda. Sebuah kecelakaan..... Kino terluka
parah..... Hanya ini kah yang bisa mengundangku datang kepadanya? keluh Alma dalam
hati. Mengapa harus dalam nestapa ia datang menjenguk? Mengapa yang datang bukan
undangan di amplop warna-warni berisi inisial K dan .. entah siapa? Mengapa aku
hanya bisa datang kepadanya untuk berbagi duka?

Alma membiarkan airmata mengalir deras tumpah di punggung tangannya dan menetes ke
lantai. Ia menangis sepuasnya. Sampai ia letih sendiri.

********

Ibukota masih tidak terlalu ramai ketika akhirnya Alma sampai di stasiun. Sebelum
berangkat, ia sempat mencoba mengontak Mba Rien, tetapi tidak ada yang mengangkat
gagang telepon di ujung sana. Alma tak tahu, ke mana harus menghubungi wanita yang
kini sudah jadicelebrity itu. Ia juga tidak bisa meninggalkan pesan. (waktu itu
belum ada ponsel dan answering machine, lho!-pen. )

Kemudian Alma menelpon Pasya, sahabatnya itu. Selain menyatakan akan absen hari
ini, Alma juga perlu menelpon sahabatnya, karena ayah gadis itu adalah seorang
dokter senior yang bekerja di rumahsakit tempat Kino dirawat.

"Kino yang pernah kamu ceritakan dulu itu?" tanya Pasya mendengar berita dari
Alma.

"Ya. Aku harus ke sana, Sya.. Perasaankungga enak...", jawab Alma.

"Perlu ditemani?.. Kasihan kamu sendirian di keretaapi," kata Pasya. Gadis itu
tahu, tidaklah bijak kalau mengajak Devan pergi ke sana. Pemuda itu belum tentu
bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa kekasihnya masih memendam rasa khusus
untuk seorang pemuda lain.

Alma menolak tawaran Pasya dengan halus. Tetapi ia minta bantuan Pasya untuk
mengontak ayahnya, dan memberitahu bahwa ia akan datang menemuinya. Kebetulan Alma
cukup dekat dengan keluarga Pasya dan Oom Adnan, ayah Pasya, dikenalnya dengan
baik. Bagi Alma dan Pasya, Prof. dr. Adnan Ramadi adalah acuan terdekat untuk
segala sesuatu yang berhubungan dengan kedokteran.

"Satu lagi, Sya... Tolong telpon Devan dan buatkan alasan untukku. Apa saja lah,
terserah kamu!" kata Alma lagi sebelum mereka memutuskan hubungan telepon.

Pukul 09.14 Alma sudah duduk di keretaapi. Kursi di sebelahnya diduduki seorang
ibu muda yang acuh-tak-acuh. Alma langsung tenggelam dalam lamunan. Majalah yang
dibelinya di peron, tergeletak belum terbuka di pangkuannya. Ketika keretaapi mulai
bergerak, Alma menatap ke luar jendela. Sebuahdeja vu segera terlintas. Di mana kah
aku pernah melihat pemandangan ini: orang-orang melambai,...... aku bergerak
menjauh,....... jendela kaca besar membingkai perpisahan? Di mana kah aku pernah
terlanda perasaan ini: kehilangan yang dalam di lubuk hati,..... kerinduan yang
langsung tercipta,...... kebimbangan yang langsung menerpa-nerpa?

Lalu Alma melihat seorang pemuda berdiri sendirian di kejauhan. Tangannya melambai
sebentar, tetapi lalu turun lagi masuk ke kantong celana jeans-nya. Tidak! sergah
Alma dalam hati. Itu bukan dia. Itu bukan Kino.... tetapi mata pemuda itu sedih-
gundah, menatap kereta berjalan menjauh. Siapa gerangan yang meninggalkannya?
Apakah ada seorang gadis di gerbong ini yang berlaku seperti aku dulu: pergi
meninggalkan sebuah tatapan yang diam-beku dalam ketakpastian yang dibalut rindu?
Apakah ada seorang gadis di gerbong ini yang telah mengikat-erat kalbu pemuda itu,
dan lalu pergi sambil mengulurkan untaian kerinduannya?

Kereta bergerak semakin cepat. Pemandangan semakin melesat berlarian ke belakang


lalu menghilang. Mata Alma tak bisa lagi mengikuti semua gerakan itu. Segalanya
mengabur. Apalagi ada sedikit genangan menyaput tipis di kedua bola matanya.
Berkali-kali Alma mengerejapkan kelopak matanya, agar air tak merebak dan tumpah
keluar. Dipandangnya awan putih berarak perlahan. Ditatapnya langit biru bersih.
Diterbangkannya lamunan setinggi-tinggi mungkin. Ia tidak ingin menangis. Ia sudah
letih menangis untuk pemuda itu.

********

Kino duduk di sebuah batang pohon kelapa yang tergeletak di pasir. Sebuah ombak
besar tadi membuatnya terdampar di sini. Perahu sudah hilang entah kemana, bersama
Mba Rien yang juga lenyap tak berbekas. Tercenung, pemuda itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kini ia mulai bertanya-tanya: di mana gerangan aku? Mengapa semua serba
aneh? Tempat apakah ini?

Belum semua pertanyaan itu terjawab, Kino tiba-tiba melihat Alma duduk di
kejauhan. Di sebuah batu di tengah laut yang bergelora. Perlahan pemuda itu bangkit
untuk memastikan apa yang dilihatnya. Dengan satu tangan, ia memayungi matanya,
mencoba melihat lebih tegas.... Ya, itu memang Alma. Mengapa ia duduk di situ
sendirian?

********

Sebetulnya bagaimanakah kita bisa mengguratkan kerinduan dalam kata-kata yang


tegas? Alma bertanya dalam hati. Apakah cuma perpisahan yang bisa menjadi batas
awal dari kerinduan itu, dan di mana -atau kapan- pula batas akhirnya?

Sekarang aku begitu merindukannya, bisik sebuah suara di hati Alma. Sekarang aku
begitu ingin memeluk dan menenggelamkan mukaku di dadanya, merengkuh pinggangnya
dan memejamkan mata dalam sebuah kenyamanan mendengarkan detak-debur jantungnya.
Sekarang aku bisa mencium kembali aroma segar yang selalu hadir bersamanya. Betapa
senangnya memeluk tubuh kokoh itu, menghenyakkan seluruh kerinduan di lapang
dadanya, menghimpitkan seluruh gelora hati di sekujur badannya. Atau juga
membiarkan wajahku ditengadahkannya agar ia bisa leluasa mengulum kelembutan yang
selalu bisa merekah leluasa di bibirku. Sekarang aku begitu merindukannya.
Sebuah senyum tipis terkembang di bibir Alma ketika ia ingat ciuman pertama
mereka. Betapa jauh dalam ruang dan waktu adegan yang mempesona itu, tetapi betapa
dekat kini di kalbunya. Ia ingat betapa tak kuasa dirinya berpikir jernih dan
bertindak leluasa waktu itu. Ciuman Kino!... Ah, itu ciuman yang mengurung seluruh
roh dan wadah-fisik dalam jerat yang mempesona. Itu ciuman yang menjadi inti-bumi,
memaku dan membuat Alma tak bisa bergerak kemana-mana, tetapi sekaligus membuatnya
berenang-renang dalam ketakberbatasan yang mengasyikkan. Mengapa kah aku tak kuasa
menolaknya waktu itu, dan mengapa pula aku tak pernah mempersoalkan ketakkuasaan
itu dulu? Kubiarkan saja ciuman itu menggelar sebuah hamparan kasih yang lapang dan
lega.

Lalu kini aku tersesat dalam kelapang-legaan itu. Kini aku menyongsong sebuah
rindu yang perlahan-lahan membalut rasa. Siapa kah yang akan kutemui tergeletak di
ranjang rumahsakit dengan luka parah itu? Ingin sekali aku menciumi wajahnya untuk
menghilangkan sakit-perih di badannya. Tetapi bagaimana pula aku bisa menemukan
keperihan-kepedihan di hatinya. Karena aku tak pernah ingin membiarkan luka ada di
hatinya, padahal sembilu telah tergoreskan. Karena aku juga membiarkan luka demi
luka menjadi warna dari setiap kerinduanku padanya. Mungkinkah luka bertemu luka
akan menimbulkan riang-bahagia? Betapa janggalnya!

Dan apa pula itu kejanggalan ketakmasuk-akalan? Sebentuk cinta. Sekerat rindu.
Itulah kejanggalan. Itulah ketakmasuk-akalan.

Keretaapi melaju dengan kecepatan maksium. Derak-derap roda besi di atas rel
semakin jelas terdengar, bertalu-talu teratur menciptakan ritme yang membuai. Tubuh
Alma bergoyang-goyang mengikuti irama gerakan gerbong ke kiri dan ke kanan. Suara-
suara di hatinya masih saling bersahutan, seperti sebuah forum diskusi yang hangat
dan aktual. Tetapi semakin lama semakin menipis-menyepi pula... menjadi gaung-gaung
yang tak jelas, lalu akhirnya lenyap seperti suara guntur yang menghilang di balik
kaki langit. Alma tertidur di kursinya.

********

"Alma!" teriak Kino penuh kekuatiran, "Sedang apa kamu di sana?"

Gadis itu diam saja, duduk bersimpuh dengan salah ujung kakinya terjuntai lebih ke
bawah, dijilati ombak laut biru. Gadis itu menunduk, membiarkan sebagian rambutnya
tergerai menutupi salah satu matanya. Kino berteriak lagi, tetapi pastilah suaranya
tak sampai, karena Alma tetap diam. Seperti ikan duyung,the little mermaid ,
menunggu pangeran datang menjemputnya.

Kino memutuskan untuk berjalan menembus ombak, mencapai batu dan menggapai Alma.
Pemuda itu kuatir melihat di kejauhan ombak mulai meninggi. Kaki langit juga sudah
terlihat hitam, tanda badai sedang datang menghampiri. Segera saja ia mencercah
pantai, menerobos buih-buih putih lidah ombak, menuju gadis yang dulu sering
dituntunnya meniti tepian sawah.

Itu gadisku! sergah hati Kino, walau telah terpegat waktu dan ruang dan ragu dan
gundah. Tak mungkin kubiarkan ombak menelannya, membawanya pergi untuk yang
keduakali. Dulu bis malam yang panjang dan kekar itu melarikan gadisku ke kota yang
jauh tak terperi. Dulu aku terpaku membiarkan mesin-besar dengan delapan roda itu
berderum membawanya menembus malam. Apakah sekarang harus kubiarkan ombak biru-
pekat itu menelannya, membawanya ke dasar laut?

"Jangan bergerak Alma!" teriak Kino sambil susah payah menggerakkan kakinya di
dalam air yang telah mencapai lutut, "Tunggu aku datang!"

Tetapi laut jauh lebih perkasa daripada Kino. Sebuah ombak setinggi pundak pemuda
itu tiba-tiba muncul dan menyergapnya. Sejenak Kino mencoba bertahan, tetapi lalu
memutuskan untuk tidak melawan, melainkan mengikuti saja desakan ombak. Ia bersiap
berenang, menyambut dinding air yang cepat sekali datang mendekat. Byur!... dalam
sekejap seluruh tubuh Kino sudah ada di bawah air.

Kino dibesarkan oleh Alam, dan air-asin-pekat bukan sesuatu yang menakutkan
baginya. Dengan cekatan ia berenang menembus ombak, berusaha tak terlalu jauh
hanyut kembali ke pantai. Sambil mengatur nafas agar bisa lebih lama di bawah air,
Kino mengatur strategi untuk melawan dorongan ombak. Perlahan tapi pasti, ia
mendekat ke batu tempat Alma duduk.

Ketika berkesempatan mengangkat kepalanya di atas air, Kino melihat Alma masih
duduk diam menunduk. Kino juga kini bisa melihat betapa murung wajah gadis itu.
Mengapakah?

Kino masih ingin lebih lama melihat ke arah Alma, tetapi ombak yang lebih besar
telah datang lagi menyergap. Buru-buru Kino mengantisipasinya, sehingga ketika
dinding air yang dua kali lebih tinggi dari yang pertama itu menyergap, ia sudah
siap menyelam dan menggerakkan kaki-tangannya sekuat tenaga. Aliran air begitu
kuat, sehingga gerak maju Kino sangat lambat. Segenap tenaga dikerahkannya. Hatinya
menjerit: aku harus sampai ke batu itu!

Alam ternyata tak sedikit pun memperlihatkan iba. Ombak demi ombak datang
menggempur. Susah sekali Kino maju, dan tenaganya semakin terkuras. Kakinya terasa
pegal, dan tangannya pun mulai lemah. Walaupun ia bisa maju satu meter, tetapi
ombak memukulnya mundur dua meter.

Semakin jarang Kino bisa mengangkat kepalanya dari muka air. Semakin lemas pula
ia. Apalagi kemudian ada arus bawah yang seperti menjerat kedua kakinya. Ada
pusaran yang seperti seorang pejudo ulung membanting Kino menghujam pasir. Tidak
itu saja, sebuah batu karang di dasar laut tiba-tiba muncul. Kino tak sempat
menghindar. Kepalanya membentur batu itu, keras sekali

Kino merasakan sakit yang menyengat. Ia menjerit tetapi suaranya cuma menjadi
gelembung-gelembung udara di dalam air. Paru-parunya terasa sesak. Kali ini Kino
merasakan segalanya nyata. Sakit itu nyata. Rasa sesak nafas itu nyata.
Pandangannya gelap. Segalanya gelap. Rasa sakit yang luar biasa tiba-tiba menyergap
kepalanya.

********

Seorang suster jaga melihat Kino menggeliat kecil di ranjangnya. Segera ia


mengontak dokter piket, melaporkan bahwa pasiennya mungkin siuman dan kini
merasakan sakit luar biasa. Sebuah kesibukan kecil segera terbentuk. Dokter Rudy
kemudian muncul dan memberikan beberapa instruksi. Ia menaruh harapan besar,
pasiennya akan segera siuman, dan berarti tidak jatuh ke alamcoma lagi. Tetapi dari
keadaan tubuhnya, dan dari monitor beberapa waktu setelah operasi, pasiennya itu
masih dalam keadaan mengkuatirkan.

Keadaan pasien itu pula yang menyebabkan dokter Rudy melarang tegas semua
"keluarga" di luar untuk tidak masuk. Tadi salah satu dari mereka, yang dipanggil
Tris itu, mendesak untuk masuk. Tetapi dengan halus dokter Rudy menolaknya. Wanita
itu kelihatan histeris, dan justru akan merepotkan jika dibiarkan masuk.

********

Pemeriksaan karcis membuat Alma terjaga dari tidurnya. Dalam hati ia


berterimakasih karena terbangun dari sebuah mimpi yang aneh dan menakutkan. Di
dalam mimpi itu ia melihat Kino berada di sebuah jembatan yang tinggi dan panjang
sekali. Tetapi pemuda itu tidak berada di tengah jembatan, melainkan di pinggir
sekali. Bahkan terlalu ke pinggir, sehingga Alma berteriak-teriak memperingatkannya
agar tidak salah langkah. Sampai habis suara Alma berteriak, tetapi Kino tak
mendengar juga. Lalu Kino melangkah terlalu ke kanan, dan ......... Alma terbangun
oleh sentuhan halus di bahunya.

Setelah pemeriksaan berlalu, Alma tercenung. Mimpi itu mengusik lagi kerinduan,
yang kini disertai ketakutan. Bagaimana jika aku terlambat tiba di rumahsakit, dan
Kino sudah.....

Alma bergidik sendiri. Ibu muda di sebelahnya menengok dan bertanya, "Mabuk, ya?"
dengan suara yang jauh dari kuatir, melainkan penuh kesiagaan. Pasti dia tidak suka
lihat orang muntah!

Alma tersenyum dan menggeleng kuat-kuat. Ibu itu pun lalu kembali acuh-tak-acuh,
meneruskan makan kuaci dari sebuah bungkus besar yang kini cuma berisi separuh.

Lambat sekali jalannya kereta ini! sergah Alma dalam hati. Ia tidak tahu berapa
cepat seharusnya sebuah kereta berjalan menembus sawah-sawah yang sebagian sudah
menguning itu. Ia hanya merasa, kenapa jauh sekali kota B itu. Kenapa tidak bisa
kutarik saja kota itu lebih dekat lagi ke metropolitan! Seandainya adaSuperman , ia
tentu bisa dengan mudah membetot rel kereta untuk menarik kota itu mendekat!

********

Ayah Kino tiba menjelang tengah hari. Ia menuju meja informasi dan bertanya di
mana bangsal gawat-darurat. Setelah mendapat petunjuk, bergegas lelaki setengah
baya itu menuju ke sana. Tak ada seorang pun yang ia kenal di antara kerumunan
orang-orang yang ada di depan bangsal. Sesungguhnya memang Ridwan dan kawan-kawan
sudah pulang untuk mandi dan beristirahat setelah mendapat penjelasan yang
menenangkan dari dokter Rudy. Ibu Kost dan Ayah Indi juga sudah pulang. Tinggal
Indi dan Trista yang ada. Mereka bertahan walau tubuh dan jiwa sungguh letih
rasanya. Indi bahkan tertidur di bahu Tris yang duduk diam dengan mata bengkak oleh
tangis berkepanjangan.

Keduanya tak mengenal Ayah Kino, dan sebaliknya. Maka ketika Ayah Kino diijinkan
masuk oleh seorang suster, Tris tak mengacuhkannya. Ia pikir lelaki itu salah
seorang anggota keluarga dari pasien yang barusan dikabarkan meninggal.

Lelaki itu menguatkan hatinya, tetapi tetap saja langkahnya menjadi tersendat.
Seorang perawat pria bersimpati membimbingnya mendekat ke ranjang Kino. Segera saja
airmata memenuhi pandangan lelaki itu. Tak tahan ia melihat putranya tergeletak
dengan perban membalut hampir seluruh kepalanya. Apalagi perban itu tak lagi
berwarna putih, melainkan penuh warna pekat, merah atau coklat dan hitam.

********

Keretaapi yang membawa Alma memasuki peron pada saat yang sama. Gadis itu
berlarian keluar dari gerbong dan berteriak memanggil taksi di pelataran parkir.
Untung tidak banyak orang yang mencari taksi hari itu, dan dengan segera Alma pun
melaju menuju rumahsakit.

"Tolong lebih cepat lagi, Pak!" sergah Alma.

"Ini jugaudah paling cepat,Neng ...," jawab Pak Sopir kalem, "Kalau lebih cepat
lagi, nanti malahnyungsep "

Alma tersenyum mendengar jawaban sopir yang tampaknya sudah terbiasa menghadapi
penumpangnya yang cerewet.
"Maaf,Neng ..., boleh saya tanya siapa yang sakit?" tanya Pak Sopir sambil melirik
kaca spion. Penumpangku ini kelihatan gelisah sekali, pikirnya, mudah-mudahan tidak
ada kabar buruk di rumah sakit.

Sejenak Alma berpikir: siapa kah Kino bagiku?... Tetapi lalu cepat-cepat ia
menjawab, "Pacar saya!"

"Maaf,Neng ..., mudah-mudahan tidak gawat...." kata Pak Sopir dengan rasa kuatir
yang orisinal. Begitulah orang-kecil semacam dia, bahkan untuk menyatakan simpati
saja harus didahului dengan minta maaf!

"Terimakasih, Pak...," sahut Alma, "Saya juga berharap begitu...."

Aku bahkan berharap lebih dari itu! sergah Alma dalam hati. Aku berharap kita
berdua tak pernah tumbuh dewasa,.... tak pernah lulus dari SMA,..... tak pernah
harus pergi sekolah di kota berbeda, tak pernah harus berpisah!

Taksi ternyata memang bergerak cukup cepat. Selain itu, Pak Sopir juga sangat
cekatan, mencari celah-celah di antara angkot, becak, sepeda, gerobak,.....
pedagang kaki lima.... kucing yang melintas santai... seorang bapak yang
melemparkan kulit pisang ke jalan... semuanya ia lewati dengan cekatan.

Kurang dari 20 menit, Alma sudah tiba di halaman rumahsakit. Setelah membayar dan
tak menunggu kembaliannya, gadis itu melesat masuk ke kantor utama, tak lupa
memakai baju putih panjang yang biasa ia pakai untuk praktek di rumahsakit. Seorang
satpam mengantarnya ke ruang Prof. Adnan. Lalu dokter tua yang rambutnya sudah
putih semua itu, bahkan sebagian berwarna perak, mengantar Alma ke dokter Rudy yang
menangangi Kino. Dari penuturan dokter inilah Alma mendapat gambaran awal tentang
betapa parahnya luka yang diderita Kino. Sambil menggigit bibir, Alma menahan
tangis mendengar semua penjelasan. Prof. Adnan memeluk bahu Alma dan mengucapkan
kata-kata menghibur.

Ketika Alma masuk ke bangsal, kedua lututnya langsung lemas. Sebagai mahasiswa
kedokteran, ia sudah sering melihat hal yang jauh lebih buruk. Ia sering melihat
kematian menjemput pasien, atau luka besar menganga di perut seseorang. Tetapi
melihat Kino terbaring dengan kepala terbebat perban....

"Kuatkan hatimu," bisik Prof. Adnan yang membimbingnya masuk.

Ayah Kino bangkit dari terpekurnya di sebelah ranjang. Lelaki yang tampak letih
itu menyambut pelukan Alma, membiarkan gadis itu menangis dan mengucapkan "maaf"
berkali-kali. Lelaki itu tak tahu mengapa harus memberi maaf, tetapi ia diam saja
dengan kebapakannya. Ia membelai anak wanita yang dulu dikiranya akan jadi menantu
kelak di kemudian hari. Ia tak pernah tahu rincian kisah anaknya dengan gadis calon
dokter ini, tetapi naluri kebapakannya menangkap masih ada benang halus yang
menghubungkan keduanya. Entah sehalus apa, atau setipis apa. Tetapi ada.

Dokter Rudy mendekat dan mengatakan dengan suara pelan, "Di luar ada dua wanita
yang ingin ikut masuk. Mereka bukan keluarga, bukan?"

Ayah Kino baru tersadar dari kealpaannya. Ia lupa mencari tahu, siapa teman Kino
yang mengabarkan kecelakaan itu lewat telpon. Tergagap, lelaki itu memohon dokter
Rudy mengijinkan kedua wanita itu masuk. Sambil tersenyum maklum, dokter Rudy
mengangguk dan segera menuju keluar.

********

Trista tak bisa menangis lagi ketika dengan tertatih ia masuk menggandeng Indi.
Ayah Kino berdiri menyambut mereka. Alma sudah duduk di dekat kepala Kino,
memandang ke arah dua wanita yang berjalan mendekat, sambil bertanya-tanya dalam
hati: yang manakah kekasih Kino?

"Maafkan saya, Pak....," desah Tris ketika menyalami Ayah Kino, membuat lelaki itu
merasa semakin tua saja. Wanita yang menyalaminya itu cantik-cemerlang belaka.
Siapakah dia? Dan mengapa minta maaf?

"Saya teman Kino, Pak...," kata Indi yang lebih tenang. Ia sempat melirik ke Alma
yang duduk di dekat kepala ranjang. Nalurinya langsung berkata: itu kekasih Kino.
Di sebelahku, yang sedang sibuk minta maaf, juga kekasih Kino. Aku...., tidak...
aku bukan kekasihnya. Siapakah aku?

"Saya kekasih Kino...," bisik Tris sambil menunduk, "Ia pulang dari rumah saya
ketika kecelakaan terjadi..."

Ayah Kino terperangah. Alma membelalakkan mata, tetapi cepat-cepat menunduk ketika
Indi melirik ke arahnya. Baik Ayah Kino maupun Alma betul-betul kaget. Bukan saja
oleh "berita" yang dibawa wanita itu, tetapi juga oleh kenyataan bahwa kekasih Kino
itu cantik sekali! Sebentuk rasa aneh menyergap Alma; hmmm... inikah sebabnya Kino
tak berkirim surat?... Begitu cantiknya sang penyebab itu. Bahkan lebih cantik dari
Mba Rien....

Lalu hening menyergap, menyertai kebekuan. Trista duduk bersama Indi di satu sisi.
Alma dan Ayah Kino duduk di sisi lain. Para dokter dan suster sudah menyingkir,
membiarkan "keluarga" itu menemani pasien. Tadi Alma sempat menyalami Tris dan
Indi. Ketiganya langsung membentuk persekutuan yang aneh.

Tris dan Indi menyentuh tangan Kino yang terkulai di kiri. Tris bahkan membelai-
belai tangan itu sambil tak hentinya membisikkan sesuatu yang tidak jelas. Indi
sesekali melirik memperhatikan Alma, yang ternyata melakukan perbuatan sama di
tangan sebelah kanan! Wahai..., betapa rumitnya hidup ini, pikir Indi. Bagaimana
nanti kalau Kino sembuh, dan ada dua wanita yang hadir dalam bentang cintanya?....
Indi segera mengutuk dirinya sendiri, mengapa berpikir yang tidak-tidak di depan
pasien yang sedang berjuang untuk terus hidup! Tetapi sesungguhnya ia betul-betul
ingin tahu.... apa yang nanti akan terjadi!

Ayah Kino tercenung sambil terus berdoa. Ia tak tahu apa yang ada di benak tiga
wanita, semuanya cantik dan cemerlang belaka. Ia belum bisa mengerti, mengapa
anaknya bisa menghimpun tiga bidadari ini di sekelilingnya. Tetapi ia juga
berharap, agar Kino mendengar semua doa di sekitarnya. Agar anak itu memiliki lagi
semangat untuk hidup, karena kata dokter Rudy, hanya itulah yang bisa menyelamatkan
nyawanya. Sambil menunduk dalam-dalam, Ayah Kino berdoa lagi.

********

Kino merasa dirinya berpusar-berputar bagai gasing di dalam air yang semakin lama
semakin pekat. Nafasnya semakin sesak, dan sakit di kepalanya semakin nyeri.
Pandangannya menggelap, tetapi samar-sama ia bisa mencium bau obat bercampur bau
darah dan bau-bau lainnya yang tidak begitu jelas. Ia juga kini merasa tak berdaya,
terbaring di sebuah dasar yang empuk dan jelas bukan dasar lautan berpasir. Ia
mencoba bergerak, tetapi seluruh sendi di tubuhnya seakan terkunci

Kino juga mulai berpikir keras: di mana aku? Ia heran kenapa sudah terbaring
seperti ini dengan kepala nyeri. Apa yang terjadi sebelumnya, ia tidak tahu. Samar-
samar ia seperti bermimpi, tetapi isi mimpi itu begitu campur-aduk sehingga ia tak
ingat lagi detil-rinciannya. Seberkas ingatan yang muncul adalah bayangan tak jelas
tentang hujan lebat dan ia berlari-lari.... Ya, kini ia ingat sedang berlari-lari
di jalan raya menembus tirai air. Lalu,.... ya... ia ingat ada sesuatu yang
menghantam tubuhnya, membuatnya terpelanting. Lalu.. hitam. Ia tidak tahu lagi apa
yang terjadi setelah itu.

Suara-suara.... Kino mendengar suara-suara merdu di sekelilingnya. Sambil menahan


nyeri, Kino ingin tersenyum. Lega karena ia kini yakin bahwa suara-suara itu nyata
dan dekat sekali di sekitarnya. Ah, rupanya aku cuma pingsan setelah sebuah
peristiwa tabrakan. Pastilah Tris yang tadi berbisik mengatakan, "Ayo bangun...".
Ya... itu pasti suaranya. Dan memang aku harus bangun, bukan? Buat apa aku
terlentang di sini seharian? pikir Kino dalam sebuah rasa riang yang tiba-tiba
muncul di tengah nyeri.

Kino mencoba membuka mata, tetapi kelopak matanya seperti digayuti pemberat baja.
Lagipula, rasa kantuk terus menerus datang. Susah payah Kino melawan kantuk itu. Ia
ingin sekali memastikan, di mana ia, dan apa yang sebetulnya-sesungguhnya terjadi.
Ia ingin berucap satu dua patah kalimat, tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia bisa
merasakan tangannya menyentuh tangan orang lain. Tangan siapa kah? Rasanya ia ingin
berteriak, tetapi benar-benar tidak bisa!

********

Kesibukan kecil terbentuk lagi di sekeliling ranjang Kino. Dua suster membantu
dokter Rudy mencek kondisi pemuda itu. Alma dengan serius memperhatikan semua
gerak-gerik dokter itu, mendengarkan penjelasan-penjelasan yang diberikannya kepada
suster. Trista berdiri di kaki ranjang bersama Ayah Kino dan Indi, memandang
bingung tetapi penuh harap. Tadi mereka semua mendengar Kino mengerang dan bergerak
lemah. Lalu Alma dengan cekatan bangkit dan memanggil suster. Lalu gadis itu juga
tampak masuk ke ruang dokter tanpa ragu-ragu. Indi memandang gerak-gerik Alma
dengan takjub.

Di dalam hati, dokter Rudy merasa lega, pasiennya berhasil melewati masa kritis.
Ia nyatakan perasaan ini kepada Alma, tetapi dengan peringatan agar jangan terlalu
gembira karena bisa saja Kino kembali tergelincir ke alam koma. Dokter muda ini
tahu, hanya Alma yang bisa diajak bicara soal teknis kedokteran. Sebab itulah,
sambil memeriksa Kino, dia membisikkan pesan-pesan itu kepada gadis di sebelahnya.

"Tampaknya dia akan tertidur, karena ada sedikit bius untuk membantunya melawan
sakit," kata dokter Rudy, "Tetapi biarkan juga ia merasakan sakit, karena itu akan
membantunya tetap sadar. Asalkan jantungnya stabil dan semangat hidupnya tetap
tinggi, saya yakin....no! .. saya harap .... dia segera melewati masa kritis..."

Alma mengangguk-angguk. Di dalam hati, gadis ini bersikeras untuk membentuk


keyakinan bahwa Kino akan sembuh. Alma tahu segalanya akan ditentukan olehNya...,
tetapi ia juga tahu bahwa upaya Kino sendiri akan sangat menentukan. Ia ingin terus
di sisi pemuda ini, membantunya membangkitkan semangat hidupnya. Kalau perlu ia
akan memperpanjang masa tinggalnya, menemani Ayah Kino. Tadi ia sempat memandang
lelaki yang tampak letih dan sedih itu. Bagi Alma, gambaran Ayah Kino itu jauh
sekali dari dulu, ketika mereka masih sama-sama tinggal di kota kelahirannya. Iba
sekali rasanya ia memandang lelaki itu, yang tampak tak berdaya menghadapi musibah
tiba-tiba ini. Aku akan menemaninya! kata Alma dalam hati.

Sementara itu, Tris mengamati segala gerak-gerik dokter Rudy, Alma dan para
suster. Ia tak tahu apa yang mereka diskusikan, tetapi nalurinya mengatakan bahwa
ada kabar-kabar baik di antara percakapan teknis mereka. Sambil menggenggam tangan
Indi erat-erat, Tris berbisik, "Dia akan sembuh...."

Indi membiarkan tangannya diremas. Sejak malam musibah, ia merasa semakin dekat
dengan wanita cantik yang ternyata adalah kekasih Kino ini. Bagi Indi, wanita itu
memang mempesona dan penuh dengan cinta. Sepanjang malam wanita itu tak henti-
hentinya berdoa. Wajahnya yang cantik itu tampak letih, tetapi matanya yang sedih
itu tampak penuh keteguhan pula. Berkali-kali pula Tris mengatakan bahwa semua ini
adalah kesalahannya. Indi tak terlalu mengerti, mengapa bidadari di sampingnya ini
selalu membisikkan kata "maaf". Tetapi Indi sangat bersimpati, dan berjanji dalam
hati untuk menemaninya.

Ayah Kino berdiri terpaku memandang semua kejadian di sekelilingnya. Ia tak bisa
menangkap seluruh makna dari adegan-adegan di depannya. Ia hanya bisa pasrah dan
menyerahkan segalanya kepada Dia dan kepada para ahli yang tahu soal-soal luka itu.
Tetapi ia juga yakin, anaknya akan segera sembuh. Ia menguatkan hati, dan diam-diam
berterimakasih karena putranya dikelilingi oleh orang-orang yang tampaknya
mencintainya. Ia bersyukur... Kino adalah orang yang dicintai...in amore esse ....

Ada sebuah taman kecil asri penuh bunga warna-warni dikelilingi satu-dua pasang
kupu-kupu putih kuning. Letaknya tak jauh dari kamar tempat Kino berbaring menunggu
kesembuhannya. Dari jendela kamar itu, sebenarnya Kino bisa melongok ke taman,
tetapi dengan tubuh lemah dan kepala dibalut perban, ia tidak bisa banyak bergerak.
Hanya saja, Kino bisa mencium kesegaran datang setiap kali angin berhembus dari
arah taman.

Di taman itu pula kini duduk Alma dan Trista, pada sebuah bangku kayu bercat
putih, di bawah satu-satunya pohon di taman kecil itu: sebuah pohon sengon yang
tampaknya sudah berusia panjang, dengan daun amat lebat menciptakan keteduhan. Ini
hari ke-9 sejak Kino lolos dari maut, dan kali kedua Alma datang ke kota B untuk
menjenguknya. Ini pula perjumpaan kedua Alma dengan wanita cantik mempesona yang
ternyata kekasih Kino itu. Pada pertemuan pertama, keduanya tak banyak bercakap,
selain karena masih tegang menunggu nasib Kino, juga karena memang tak banyak waktu
untuk bercakap-cakap.

Tadinya, Alma hendak memanggilnya "mbak", walau dari raut dan penampilan Alma
yakin wanita cantik ini seusia dengannya. Tetapi ia tidak jadi menggunakan sebutan
itu. Ternyata Alma benar, usia mereka tak jauh berpaut, karena Trista cuma lebih
dahulu lahir 5 bulan dari Alma. Menurut Trista, "Aku hanya lebih dahulu menikah;
itu pun karena desakan keluarga...."

Terus terang, pertamakali mereka berjumpa, Alma terusik oleh rasa cemburu. Hatinya
sempat bergelora dan menyergah-marah, "Pantas Kino melupakanku!". Tetapi kemudian,
setelah mendengar cerita perjumpaan Kino dan Trista, gadis itu seperti diguyur air
sejuk yang memadamkan kecemburuannya. Dari cerita itu, Alma justru menyimpulkan:
Kino berjumpa Trista pada saat yang bersamaan dengan dirinya sendiri membina
hubungan kasih dengan Devan.So... who's sorry now?

"Aku terpikat oleh senyum dan sinar matanya yang tulus, Alma...," kata Trista
ketika mereka mulai duduk berdua, setelah makan siang dua mangkok bakso di kantin
rumah sakit.

Alma menunduk, memandangi rumput yang rebah diinjaknya... Hmm, "senyum dan sinar
mata"... gumamnya dalam hati. Aku sendiri tak pernah bisa membayangkan Kino tanpa
senyumnya yang tulus itu. Atau Kino tanpa sinar matanya yang tajam sekaligus
membelai kalbu itu.... Pemuda itu memikat wanita dengan keduanya. Aku tak bisa
berbantahan tentang yang satu ini!

"Aku juga yang menjeratnya dengan kenikmatan...," bisik Trista nyaris tak
terdengar.

Alma mengangkat mukanya, menengok memandang wanita di sampingnya yang kini


menunduk memainkan saputangan di pangkuannya. "Maksudmu?" tanya Alma, lalu segera
menyesal karena terlalu cepat bertanya! Kenapa, sih, tidak berpikir dulu sebelum
bertanya! sergah hati kecilnya.
Tris mengangkat mukanya, dan kedua wanita cantik belia itu saling berpandangan,
bertukar sapa lewat rasa-jiwa yang tak kasat mata. Lalu Tris berucap pelan, "Aku
berhubungan badan dengannya, ... memberikan sesuatu yang terlalu berlebihan
kepadanya."

Alma terperangah. Tris sendiri heran kenapa ia begitu ingin berterusterang kepada
gadis yang -secara tak langsung- ia ketahui adalah bekas pacar Kino. Apakah karena
mereka "senasib", mencintai seseorang yang sedang sial terbaring di ranjang
rumahsakit itu?

"Kami terlalu banyak melakukannya dalam emosi yang berlebihan..," ucap Tris lagi,
kini tak terbendung, seperti ingin menumpah-ruahkan semua kisah hidupnya ke hadapan
Alma. Baru kali ini ia memiliki keberanian-keyakinan untuk mengisahkan kasih-
masyuknya kepada orang lain. Bahkan Ibunya sendiri tidak pernah tahu sejauh ini!

"Itu mungkin semua salahku..., aku biarkan dia melakukannya tanpa banyak
penolakan," kata Tris sambil memainkan saputangan, "Tetapi, bagaimana aku bisa
menolaknya?... Aku tak pernah punya daya untuk itu, Alma.... Dia begitu memikatku
lahir-batin, sehingga aku tak pernah bisa memisahkan yang mana kenikmatan yang mana
kecintaan!"

Alma terdiam, terpesona mendengar kata-kata lancar mengalir dari bibir Trista yang
agak bergetar itu, "Aku tak bisa tak ingin bercinta setiap kali bertemu dengannya.
Bahkan dalam mimpi pun aku ingin bercinta dengannya... Aku tak tahu apa yang
melanda diriku, tidak pagi tidak pula siang, kami melakukannya berkali-kali... Aku
seperti tak punya apa-apa lagi selain keinginan berdua dan bercinta dengannya."

Sepasang kupu-kupu terbang dekat sekali di kepala Trista yang menggeleng-gelengkan


pelan sambil berdesah, "Pernah aku mencoba tidak bertemu dengannya..., cuma dua
hari, Alma... Aku tidak tahan lagi; aku cari dia di kampus atau di tempatnya kost.
Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?"

Alma tidak tahu harus berkata apa, tetapi mulutnya sudah berucap, "Aku
mengerti..." dan setelah mengucapkannya, lagi-lagi Alma mengumpat dalam hati: apa
yang kau mengerti!?

Tris tersenyum lembut. Alma terpesona oleh senyum itu, karena seluruh wajah Tris
ikut tersenyum, terutama matanya yang indah itu memberi guratan semakin tegas pada
senyumnya. Lalu Alma mendengar ucapan Tris seperti memantulkan ucapan hatinya, "Apa
yang kamu mengerti?"

Alma tersenyum kikuk dan mengakui kecerobohannya, "Tidak... aku hanya pura-pura
mengerti. Aku hanya mencoba untuk mengerti..." katanya sambil menunduk.

"Aku sendiri masih terus mencoba untuk mengerti..," kata Trista, ikut menunduk
memandangi rumput. Kedua wanita belia itu kini sama-sama mengayun-ayunkan kaki
mereka, seperti sepasang bandul jam dinding yang sedang menata waktu.

"Kamu tidak hamil...," tiba-tiba Alma sudah berkata begitu, dan tidak ada nada
jelas di sana: apakah ini pertanyaan atau pernyataan. Alma sendiri memang ingin
mengucapkan kalimat itu, tetapi tak begitu yakin, untuk apa ia mengucapkannya.

"Aku hampir hamil," ucap Trista.

"Kamu tidak menggugurkannya!" sergah Alma sambil memandang Tris lekat-lekat. Ini
juga kalimat yang tidak jelas: mengucapkan tuduhan atau menyampaikan kelegaan?

Trista menggeleng sambil tetap menunduk, sambil berucap pelan, "Dua hari yang lalu
aku mens... padahal sudah terlambat hampir tiga minggu."
"Uhhh...," Alma menghempaskan nafasnya kuat-kuat, setelah tadi menahannya,
menunggu jawaban Trista.

"Aku juga kalut, ketika mendengar Kino kecelakaan, sementara juga tiba-tiba sadar
sudah terlambat datang-bulan. Aku pikir, aku akan mengandung dan Kino akan menjadi
ayah di liang kubur," bisik Trista.

Alma menghela nafas dalam-dalam. Betapa hebatnya segala yang terjadi dengan Kino,
pikirnya. Pemuda itu hampir tewas dan hampir jadi Ayah!

"Kami terlalu ceroboh...," desah Trista, "Terlalu naif."

"Kalian saling mencintai...," sahut Alma. Wahai, banyak sekali kalimat Alma yang
bernada tak jelas seperti ini, karena kalimat terbaru ini pun tak terlalu jelas,
apakah bermaksud memuji atau justru menyalahkan. Apakah "saling mencintai" itu
baik, jika disandingkan dengan kecerobohan dan kenaifan? Atau apakah kecerobohan
-dan terutama kenaifan- adalah bagian tak terelakkan dari cinta?

Trista tertawa kecil dengan tawanya yang mempesona itu. "Kami mungkin terlalu muda
untuk itu.... Maksudku, untuk "cinta" itu..."

"Tetapi kalian memang saling mencintai, bukan?" desak Alma, dan untuk kesekian-
kalinya ia merasa tolol. Pertanyaan macam apa ini?Bloon bener gua! sergah hati
kecilnya.

Trista mengangkat mukanya, memandang Alma lekat-lekat. Alma pun menatap wanita di
sampingnya. Keduanya tahu-tahu sudah tertawa dengan lepas!... Keduanya secara
bersamaan melihat ada keriangan di pertanyaan yang maha-bloonitu!

Lalu, setelah selesai tertawa, Trista berkata serius, "Setelah kejadian ini...
Setelah melihat tubuhnya penuh darah dan tergeletak tak berdaya.. Aku jadi takut
sekali mengakui cinta itu, Alma. Aku bahkan berpikir, cintaku yang sangat tulus dan
sangat indah itulah yang memicu bencana ini. ... Aku sampai berkesimpulan, cinta
itu benar-benar pedang dengan dua mata yang tajam. Cintaku itu begitu mempesona,
tetapi...." Trista terdiam.

Alma menunggu akhir kalimat itu. Rasanya lama sekali.

"Begitu mempesona, tetapi begitu mengerikan...," desah Trista. Ada sedikit airmata
terselaput di kedua bola matanya....

Alma seperti tertusuk iba, merasakan bulu romanya berdiri mendengar kalimat
terakhir ini. Diraihnya tangan Trista, lalu dicakupkannya kedua telapaktangannya di
telapak tangan wanita itu. Setelah bertaut lewat sinar mata dan kata-kata, kini
Alma menautkan pula wadah-fisiknya ke wanita yang mempesona ini. Kini ia bisa
merasakan segalanya: cintan wanita itu pada Kino, dan ketakutannya pada maut.
Wahai, itulah dua perasaan yang bisa meluluh-lantakkan apa pun!

"Aku sangat mencintainya, Alma.." bisik Trista. Kali ini sebulir airmata sudah
terbentuk di satu sudut matanya. Cepat-cepat Alma mengeluarkan tissu, padahal
tangan Trista sudah menggenggam saputangan. Berebutan, keduanya menghapus airmata
sebelum turun.... Keduanya tertawa lagi. Aneh, memang, sambil bersedih dan sambil
tertawa. Tetapi, adakah yang tidak aneh sepanjang percakapan ini?

"Aku tidak bisa membantah itu, Tris. Kamu memang mencintainya, dan dia
mencintaimu," ucap Alma.

Trista menggeleng kuat-kuat, "Tetapi aku tidak ingin mencintainya lagi..."


bisiknya.

Alma tersenyum, "Tidak. Kamu sedang bingung, Trista. Kamu masih mencintainya, dan
masih ingin mencintainya...." katanya. Dalam hati ia berbisik pula... hmmm..look
who's talking.. ..

Trista menggeleng lagi, "Aku sungguh-sungguh, Alma..," ucapnya sambil menatap


sahabat barunya lekat-lekat, "Aku tak bisa menghadapi bencana lagi... Cintaku
kepadanya terlalu besar. Ia terlalu muda untuk sebuah cinta yang begitu mencekam
kalbu. Ia masih punya jalan panjang..."

Alma terdiam, kini menyadari betapa seriusnya wanita di hadapannya.

"Aku cuma tidak tahu," desah Trista, "...tidak tahu, bagaimana menyampaikan ini
kepada Kino. Bukan saja aku tak tahu apa reaksinya.. tetapi aku sendiri tak tahu
apakah aku bisa menyampaikannya..."

"Kamu masih bingung, Tris..," ucap Alma mencoba menghibur.

"Tidak, Alma. Kamu belum mengerti seluruh persoalanku," potong Trista, lalu ia
bercerita panjanglebar tentang pernikahannya, tentang Sony dan Ria, dan tentang
rencana mereka pergi ke London. Semuanya ia ceritakan, termasuk kecelakaan maut
yang merengut nyawa kakaknya, dan yang akhirnya mengurungnya dalam sangkar
pernikahan.

Alma tertegun. Memang, baru kali ini ia mendapatkan gambaran utuh tentang hubungan
Kino dengan Trista. Ia sempat tahu sepintas, bahwa Kino menciptakan semacam skandal
di kalangan sahabatnya ketika berpacaran dengan seorang yang sudah berkeluarga,
tetapi ia belum pernah mendengarnya langsung dari Trista. Kini ia seperti membaca
sebuah buku lengkap, dari Kata Pengantar sampai Daftar Bacaan... lengkap dan jelas!

"Lalu, apa rencanamu?" tanya Alma setelah Trista selesai bercerita dan setelah
sejenak mereka berdua terdiam.

"Aku akan pergi diam-diam setelah dia agak sembuh," kata Trista, "Aku tak kan
sanggup berpamitan kepadanya. Begitu aku melihatnya, begitu aku ingin memeluk dan
membawanya pulang!"

"Dia akan sangat kecewa, Tris..," desah Alma. Dalam hati ia berkata pula, dua kali
pemuda itu kecewa. Salah satunya olehku jua!

"Dia harus kecewa," sahut Trista, "Dia harus marah kepadaku, harus mengutukku dan
melupakan semua cintanya."

"Itu bukan pekerjaan yang mudah," kata Alma.

"Ia bisa menghadapi maut," sergah Trista, tiba-tiba penuh determinasi dan
ketegasan, "Ia pasti bisa menghadapi sekadar kehilangan kekasih..."

"Tetapi ia bisa menghadapi itu semua karena cintanya, bukan? Kalau ia kehilangan
kamu, ia mungkin akan kehilangan segalanya!" kata Alma, kini juga penuh determinasi
untuk membela Kino. Ia tidak ingin Kino kecewa lagi... dan bukankah ini adalah rasa
bersalah juga!

"Aku pasti bukan satu-satunya yang ia cintai!" sahut Trista sengit.

"Itu cuma dugaanmu, Tris!" sergah Alma tak kalah sengit.

"Dia masih punya kamu!" tiba-tiba Trista berkata begitu. Alma terperanjat. Lalu
Trista juga terperanjat.

"Kamu betul-betul sedang bingung!" kata Alma ketus. Tersinggung juga ia mendengar
nada sengit di ucapan Trista yang terakhir. Ucapan itu seperti hendak menghakimi
perasaannya sendiri. Alma tak terlalu suka dihakimi, walau ia sering bertanya-tanya
tentang sejauhmana Kino masih mencintainya.

"Maaf...," bisik Trista setelah sadar apa yang diucapkannya.

Alma menghela nafas panjang dan menghempaskannya dalam hembusan kuat. "Tak apa...,
kamu memang sedang bingung," katanya.

Trista ikut menghela nafas, lalu berkata, "Maaf kalau aku melibatkan kamu, Alma.
Tetapi kepada siapa lagi aku harus bertukar-pikiran.."

Alma tersenyum lembut, merasa bersalah kalau menambah kalut pikiran Trista.
"Sudahlah... lupakan yang barusan itu. Aku mau dilibatkan,kok !" katanya.

"Tahukah kamu, kenapa aku langsung merasa dekat kepadamu?" tanya Trista sambil
memandang dengan matanya yang jernih itu.

Alma menggeleng. Ia sendiri merasa dekat dengan Trista karena terpesona oleh cinta
wanita itu kepada Kino. Ia melihat seorang bidadari yang dengan luarbiasa
mengorbankan segalanya demi cinta kepada seorang pemuda yang sebetulnya tak punya
apa-apa. Sekarang, apakah Trista merasa dekat kepadaku karena.....

Belum sempat Alma menyelesaikan dialog di hatinya, terdengar Trista berkata pelan
namun tegas, "Karena kamu masih mencintainya..."

"Ah!... Kamu mulai lagi!" sergah Alma sengit, tetapi kali ini dengan senyum
merebak di kedua matanya!

Trista tertawa dan membiarkan Alma mencubit lengannya. Tidak sakit, dicubit oleh
seseorang yang tiba-tiba ada dekat di hatimu! sergah hati kecilnya.

"Percakapan ini sudahkelewatan !" sergah Alma sambil mencubit keduakalinya. "Kita
tengok Kino, yuk?!"

Trista membiarkan Alma menarik tangannya, bangkit dan terseret mengikuti langkah
calon dokter yang rupanya sudah membiasakan diri untuk tergesa-gesa itu. Berdua
mereka melintasi taman dengan cepat, menuju bangsal Melati, tempat Kino
beristirahat.

Sewaktu mereka masuk, Ayah Kino sedang bersiap keluar. Trista mengangguk sopan,
dan lelaki yang masih tegar tetapi selalu tampak letih itu menjawab dengan senyum
ramah. Lelaki itu dalam berbagai kesempatan telah akrab berbincang dengan pacar
anaknya -si bidadari itu. Tetapi ia belum tahu cerita keseluruhan, karena terlalu
risau memikirkan keselamatan Kino. Bahkan sampai kini ia belum begitu yakin,
betulkah yang dimaksud dengan "pacar" itu adalah sebagaimana yang ia pahami dulu
waktu berpacaran dengan Ibu Kino? Ataukah sudah ada definisi baru tentang "pacar"?
Dan bagaimana pula dengan Alma, gadis manis sekota-kelahiran itu? Apakah dia juga
"pacar"?

Untuk lelaki yang lahir di "Jaman Belanda" itu, sudah tentu segala sesuatunya
kabur belaka. Ia tak bisa menangkap nuansa lain, selain sebagaimana yang ia ketahui
dulu-dulu itu. Tigapuluh atau empatpuluh tahun yang lalu, "pacar" atau "cinta"
tidaklah terlalu sulit dimengerti!

*******
Ketika Kino membuka matanya, wajah itu sudah ada di depannya. Senyumnya yang indah
itu sudah pula ada di sana. Matanya yang bening bagai telaga itu berkerejap
mempesona.

"Hai..," sapa Trista lembut sambil menggenggam jemari Kino yang terasa dingin.
Sesekali ia itu mengusap punggung tangan pemuda kesayangannya itu, menebarkan
kehangatan.

"Selamat pagi, bidadari..," bisik Kino sambil tersenyum, "Atau selamat siang?"

"Sudah hampir sore," ucap Trista pelan, mengangkat tangan dalam genggamannya,
menciumi jari-jari Kino dengan penuh kasih. Bau obat memenuhi hidungnya, tetapi ia
terus mencium.

"Sendiri?" tanya Kino lemah. Susah sekali rasanya berbicara, tetapi ia ingin
banyak berbicara dengan orang yang tak pernah berhenti mempesonanya ini.

Trista menggeleng, lalu menunjuk dengan dagunya ke arah ujung bangsal, "Ada Alma
di sana, sedang ngobrol dengan dokter Rudy" katanya.

Kino mencoba bangkit dan menengok, tetapi lehernya terasa kaku. Ia meringis
kesakitan. Trista segera menyuruhnya tidur kembali. "Nanti dia ke sini. Ngga
sabaramat , sih!" goda Trista sambil membantu Kino meletakkan kembali kepalanya di
bantal.

Kino tertawa kecil, itu pun dengan meringis lagi, "Aku belum sempat melihat dan
berbicara dengan jelas kepadanya," kata Kino, karena memang sejak kondisinya
membaik, Alma pulang ke Ibukota dan sekarang kembali lagi untuk menjenguk.

"Tuh... dia datang," kata Trista melihat Alma sudah selesai berbicara dan sedang
melangkah menuju ke arah mereka.

Tak lama kemudian Alma tiba di sisi ranjang, berdiri di sebelah Trista. Ah, Kino
melihat wajah itu lagi. Masih seperti dulu. Manis daninnocent , walau kini tampak
jauh lebih dewasa.

"Halo, Kino...," sapa Alma dengan jantung berdegup agak lebih kencang dari
biasanya. Baru sekarang ia bisa melihat Kino dalam kondisi "normal", setelah
sebelumnya wajah dan kepala itu penuh darah. Baru sekarang ia bisa melihat kembali
matanya yang .... Ah! masih seperti dulu.... memandangnya dengan pandangan yang
bisa membuat lemas kedua lututnya!

Kino tersenyum riang melihat gadis yang dulu selalu menggamit lengannya kalau
memintas di pematang sawah itu. "Sudah periksa jantung dan paru-paru saya, Dok?"
tanya Kino menggoda.

Alma dan Trista tertawa. "Persoalannya bukan di jantungmu, Kino!" sergah Alma
sambil menahan senyum, "Tetapi di kepala kamu!"

Kino meringis, merasakan memang kepalanya berdenyut-denyut. "Bisa dicopot


sebentar, untuk diperbaiki?" tanyanya.

"Bisa!" sahut Alma cepat, "Nanti aku panggil tukang tambal ban di depan
rumahsakit!"

Trista tertawa terbahak. Kino cuma bisa meringis. Alma tersenyum, memandang lekat-
lekat wajah orang yang dulu pernah dikasihinya sepenuh hati. Ah,... betulkah
penggunaan kata "pernah" itu? bisiknya dalam hati.
"Kenal Trista di mana?" tanya Kino kepada Alma ketika lelucon telah reda. Ini
memang pertanyaan yang tadinya ingin ia ucapkan pertamakali.

"Kamu yang mengundang kami datang berdua, Kino!" kata Trista sambil memberi tempat
kepada Alma untuk duduk di sebelahnya, di kasur tempat Kino berbaring.

Kino tersenyum, memahami sepenuhnya gurauan kekasihnya. "Trista..., ini Alma pacar
saya di SMA," katanya, "Alma...., ini Trista pacar saya sekarang."

Alma mencibirkan bibirnya yang menggemaskan itu, "Di SMA jugangga penuh... Cuma di
kelas tiga, kan!?." katanya.

Kino tersenyum sambil meringis, "Tetapi kamunaksir -nya sejak kelas satu, kan?!"

"Enakaja !" sergah Alma merajuk, "Akukecantol -nya juga karena kamu
tukangcamping . Lumayan, kan, punya pacar yang bisabantuin pasang tenda!"

Trista tertawa riang mendengar perdebatan "anak-anak" itu. Dia sendiri tidak
mengalami masa SMA seindah Kino dan Alma. Sekolahnya dulu di sekolah khusus anak-
anak wanita. Sungguh senang rasanya mendengar sekelumit kisah riang dari masa penuh
keindahan itu!

Lalu Kino dan Alma terlibat pembicaraan tentang teman-teman mereka. Dengan
bersemangat keduanya saling menceritakan alumnus yang sempat mereka temui di
masing-masing kota tempat menuntut ilmu. Kino bercerita tentang si Wati, gadis
paling kurus di SMA dulu yang sekarang jadi gemuk karena tinggal dengan Pamannya
yang punya restoran... Alma bercerita tentang si Dodi yang sekarang sibuk main band
sehingga kuliahnya terkatung-katung... Sesekali mereka merujuk pula ke peristiwa-
peristiwa lucu ketika masih di SMA.

Trista mendengarkan dengan takjub, lalu diam-diam mencari alasan untuk


meninggalkan mereka berdua. Ketika Kino sedang asyik bercerita, Trista menyela,
"Sebentar, ya... aku maupipis ".

Trista menghilang cukup lama. Terlalu lama, bahkan. Sehingga ketika cerita-cerita
sudah habis, Kino dan Alma terjerat sepi yang tiba-tiba tercipta.

"Siapa sekarang..." Kino berkata pada saat yang sama dengan Alma berucap, "Aku
ingin .."

"Ya sudah,.. kamuduluan ," kata Alma setelah tertawa.

"Tidak. Kamu saja," kata Kino.

"Aku sudah lupa, mau bilang apa," kata Alma berbohong. Ia sedang menyusun kekuatan
hati untuk mengatakan sesuatu tentang surat yang tak pernah terkirim itu!

"Baik. Kalau begitu, aku yang tanya dulu, ya!" kata Kino, lalu segera menyambung,
"Siapa pacarmu sekarang?"

"Aku sudah menulis surat tentang itu...," kata Alma tak langsung menjawab
pertanyaan Kino, sehingga pemuda itu mengernyitkan dahinya tak paham. Rasanya ia
tak pernah menerima surat "tentang itu". Tentang apa?

Alma memandang kedua mata Kino yang terheran itu. Lalu berucap pelan, "Aku sudah
akan bertunangan dengannya, Kino... Aku pernah menulis surat tentang dia, tetapi
surat itu tak pernah aku kirim."
"Kenapa tidak dikirim?" tanya Kino membalas tatapan Alma.

Sejenak keduanya hanya bertatapan, saling mempertukarkan kata-kata bisu yang


diambil dari memori 5 atau 6 tahun silam. Lalu Alma menunduk dan berucap pelan,
"Aku tak tahu, kenapa surat itu tak pernah terkirimkan. Sungguh-sungguh tak
tahu..."

Terdengar langkah-langkah mendekat. Trista sudah selesai dengan urusannya.


Ternyata ia tidak cuma ke toilet, tetapi juga ke toko mini di sebelah rumahsakit.
Di kedua tangannya kini ada bungkusan buah-buahan. Kalau sudah begitu, Trista
memperlihatkan sekali tingkah ke-ibu-annya!

Percakapan Alma dan Kino tentang surat itu pun terhenti. Kino masih punya banyak
pertanyaan, tetapi ia tak ingin mengulas hal ini di depan Trista. Sedangkan Alma
memutuskan bahwa ia sudah cukup mengatakan yang sesungguhnya. Ia tak akan
mengungkit hal itu lagi. Ia sendiri tak pernah tahu kenapa surat itu tidak jadi
dikirim!

Lalu percakapan-percakapan ringan melanda mereka bertiga. Sambil memaksa Kino


makan buah, Trista "bersekutu" dengan Alma menggoda Kino yang dengan sabar meladeni
celoteh dua wanita penuh pesona itu. Baginya, tak apalah digoda sehari penuh,
sebulan atau setahun bahkan, oleh dua orang yang memberikan padanya apa arti kasih
itu!

Kalau tidak diperingatkan oleh dokter Rudy, mungkin Alma dan Trista betul-betul
menggoda Kino sampai pagi. Dokter Rudy mengingatkan, Kino perlu banyak istirahat.
Trista buru-buru minta maaf, dan Alma tersipu malu ditegur oleh "senior"-nya.
Akhirnya, keduanya pulang. Alma berjanji menerima tawaran Trista untuk menginap di
rumahnya yang luas itu.

Kino pun beristirahat sendirian. Malam itu, entah kenapa, ia menemukan makna
kesepian yang baru. Begini kah rasanya ditinggal sekaligus -secara bersama- oleh
dua orang yang engkau kasihi? tanyanya dalam hati. Sampai ia tertidur, belum ada
jawaban untuk tanya itu.

Tujuh hari tujuh malam Kino dirawat intensif di paviliun khusus, sebelum akhirnya
dokter memperbolehkannya pindah ke ruang lain untuk pasien yang berada dalam proses
penyembuhan. Dari tujuh hari itu, hanya dua kali ia bertemu dengan bidadari
pujaannya. Satu kali saat Trista dan Alma berdua menjenguknya (cerita sebelumnya),
dan sekali lagi menjelang kepindahannya ke bangsal umum.

Kunjungan teman dan sahabatnya jauh lebih gencar. Begitupula Ibu dan Susi telah
datang menjenguk, dan bahkan telah pulang kembali karena Susi harus sekolah. Ayah
sudah sempat pulang, dan kini kembali lagi untuk bergantian menunggui Kino.
Demikian pula Indi menengok hampir tiap hari sepulang sekolah, masih berseragam,
dan masih penuh dengan gosip seru tentang teman-teman sebayanya. Rima juga datang,
terkadang bersama Tigor, terkadang bersama Ridwan.

Semua kunjungan ini membuat Kino riang dan mempercepat kebugarannya. Tetapi, tak
ada yang lebih dirindukannya daripada kunjungan Trista. Setiap kali jambezoek ,
Kino berharap bidadarinya akan muncul. Tetapi ia seringkali kecewa. Perlahan-lahan
datang sebuah kesadaran yang memerihkan di hatinya: Trista sedang membuat sebuah
jarak. Setiap menjelang tidur, kesadaran ini mencuat perlahan tetapi pasti. Mimpi
Kino pun dipenuhi gundah.

Pada kunjungan kedua, Trista berwajah sangat murung. Kino langsung bisa menduga
bahwa sesuatu yang dramatis akan terjadi lagi dalam kisah kasih mereka berdua. Ia
bahkan sudah merasakannya begitu wajah wanita kesayangannya itu muncul di pintu
kamar. Walaupun Trista tersenyum dengan seluruh kesempurnaan senyumannya, Kino
tetap bisa melihat kabut menyaput kedua matanya yang bening mempesona itu.

"Jangan bicara dulu....," bisik Kino lirih ketika Trista telah duduk di bangku
dekat kepala ranjang, dan ketika bidadarinya itu sedang bersiap membuka mulutnya.

Trista menutup mulutnya lagi, memandang diam dan lekat ke mata kekasihnya. Mereka
berpandangan. Lalu Kino mengangkat tangannya yang kini jauh terasa lebih kuat
daripada seminggu lalu. Trista membiarkan telapak kekasihnya membelai pipinya
dengan lembut. Inilah pertama kalinya pemuda itu menyentuhkan lagi kerinduannya
setelah terbaring tak berdaya. Dan betapa saratnya sentuhan itu oleh rasa, oleh
kangen. Seperti selimut hangat membalut tubuh di pagi dingin. Seperti embun dingin
turun membasuh siang terik. Ah... Trista memejamkan matanya yang tiba-tiba terasa
perih.

"Jangan menangis...," bisik Kino, sambil membelai pipi yang halus mulus bak pualam
itu.

Trista memaksakan sebuah senyuman sambil membuka matanya. Senyuman itu manis
sekali. Tetapi tak urung, kedua bola matanya telah tersaput air bening tipis,
membuat pandangannya berkilauan seperti air laut disinari mentari. Kino membalas
senyuman itu sambil terus membelai pipi Trista, sambil berbisik dalam hati: dikau
tak luput dari duka hanya karena cinta yang tak seyogyanya. Patutkah itu, atau
tidak?

Trista menahan dorongan duka yang menggumpal di dadanya sekuat tenaga. Dicarinya
sumber-sumber kedamaian di seluruh wajah Kino, terutama di kedua matanya yang
memandang penuh sayang. Hatinya menjerit ramai walau bibirnya terkatup rapat:
mengapa aku biarkan kamu datang ke oasis di tengah kerontangnya kehidupanku;
membiarkan kamu mereguk air-air cintaku untuk dahaga mu; membiarkan kecambah kasih
bersemai jadi pohon cinta berdaun-lebat berakar-dalam berbatang-kokoh! Mengapa?!

Kalau ia pergi, bisik Kino dalam hati, maka terbenamlah sudah semua matahari di
semua hari. Hidup ini akan seperti malam yang teramat panjang dengan mimpi yang
teramat buruk. Entah kenapa, aku yakin ia akan pergi, dan aku akan terus bertanya
'mengapa'. Terus bertanya sampai datangnya kembali pagi. Mungkin juga tak akan ada
pagi itu. Mungkin juga 'mengapa' itu akan berubah menjadi 'mengapa 2' lalu menjadi
'mengapa 3' dan seterusnya, sampai 'mengapa sewindu'.

Trista merasakan tangan Kino meraih tengkuknya. Tanpa peduli pada kemungkinan
terpergok, wanita itu membungkukkan tubuhnya dan membiarkan kekasihnya mengulum
bibirnya. Betapa nikmat mencium bibir orang terkasih yang hampir terenggut maut,
bisik hatinya. Betapa perih pula jika diingat bahwa mungkin inilah ciuman terakhir.
Maka Trista menikmati sekali ciuman itu, yang tidak sama sekali berisi apa-apa,
selain selaksa rindu belaka. Keduanya memejamkan mata, menikmati pertautan lembut
yang hangat dan dalam merasuk ke sendi, sumsum, jaringan saraf dan sel-sel
tubuh. ... Inilah pula pertautan jiwa yang seperti duapython saling membelit-
merangkul, meluluh lantakkan wadah fisik. Inilah angin puyuh yang menerbangkan dua
manusia lebih tinggi dari terbangnya camar.

Ciuman mereka terlepas setelah keduanya kehabisan nafas. Trista terengah. Kino
merasa dadanya sesak.

"Aku rindu sekali....," bisik Trista di tengah nafasnya yang memburu.

Kino tersenyum sambil mengatur debur jantungnya, "Aku rindu seribu kali!"

"Gombal!" desah Trista sambil merebakkan senyumnya.

"Kamu cantik sekali...," bisik Kino.


"Seribu gombal!" bisik Trista sambil membungkuk kembali dan mencium lagi
kekasihnya. Tidak baik menunda kerinduan! sergahnya dalam hati.

Kino melumat habis-habisan bibir merah basah yang mungkin memang diciptakan untuk
dilumat olehnya itu. Trista membuka mulutnya mengundang kekasihnya untuk menjelajah
lebih dalam, memberikan semua kerinduannya. Desah nafas mereka saling bersusulan,
terdengar jelas di kamar yang sepi karena memang sedang tidak ada penjenguknya
selain Trista. Kalau saja tidak terdengar langkah sepatu suster yang membawa obat
untuk Kino, mereka mungkin tak akan berhenti berciuman sampai waktu bezoek usai!

"Kenapa harus murung?" bisik Kino begitu suster pergi setelah membantu pasiennya
meminum obat.

"Kamu sudah tahu jawabnya," bisik Trista sambil menyorongkan duduknya sehingga
kedua muka mereka kini sangat dekat, nyaris tak berjarak.

"Masih dengan rencana semula? Ke London?" tanya Kino sambil menelusuri dagu Trista
dengan telunjuknya.

Trista mengangguk pelan, menunggu sampai jari Kino dekat ke bibirnya, lalu
menangkap jari itu dan menghisapnya seperti seorang yang mendapatkan sedotan untuk
minuman dingin kegemarannya.

"Jauh sekali...," kata Kino, membiarkan lidah Trista yang hangat dan basah
bermain-main dengan jarinya.

Trista melepaskan jari Kino yang kini basah itu. Lalu dengan tangannya, ia membawa
jari itu turun ke dadanya, sambil berucap pelan, "Tidak Kino. Kamu ada di sini....
dekaaaaaaat sekali."

Trista memakai kemeja berkancing di depan. Jari Kino dibawa masuk lewat salah satu
celah sehingga kini jari itu menyentuh lembah di antara kedua payudaranya.

Kino menghela nafas dalam-dalam dan menghempaskannya dalam hembusan kuat, "Kita
selalu berusaha lari dari kenyataan. Kita akan terpisah jauh, Tris. Betapa pun
cinta kita kuat perkasa, mana mungkin bisa mengalahkan samudra dan benua."

Trista mendekapkan seluruh lengan Kino di dadanya, "Biar bukan kenyataan. Aku
tidak peduli. Kamu ada di sini dan tak akan pernah jauh dariku!"

"Seluruh kisah kita seperti tak ada yang nyata," keluh Kino sambil merasakan debur
jantung kekasihnya di punggung tangan.

"Tak mengapa. Nyata atau maya, cinta kita tetap indah!" sergah Trista bersemangat,
tetapi kini matanya mulai berlinang.

"Apa gunanya keindahan kalau aku tak bisa lagi melihat senyummu."

"Kamu tak memerlukan senyumku, Kino. Kamu memerlukan masa depan yang lebih
cemerlang daripada bercinta dengan seseorang yang telah bersuami!"

"Itu tidak adil."

"Siapa bilang hidup ini harus selalu adil."

"Seharusnya cinta melahirkan keadilan."

"Tetapi hidup tidak cuma berisi keharusan."


"Aku akan kehilangan kamu. Itu, kan, sebuah keharusan .... " bisik Kino sambil
memalingkan muka memandang ke luar jendela. Langit tampak biru bersih. Beberapa
burung terbang melintas berpasangan.

Trista menelungkupkan mukanya di telapak tangan Kino, menangis tanpa bisa ditahan
lagi. Kino membiarkan air mata membasahi telapaknya, membanjir turun sepanjang
lengannya, tumpah perlahan di seprai putih rumahsakit.

"Marah, lah, padaku Kino...," bisik Trista di tengah sedu-sedannya.

"Tidak mungkin bisa...," sahut Kino.

"Aku tidak mencintaimu lagi!" sergah Trista. Sebuah upaya sia-sia .....

Kino melepaskan tangannya dari dekapan kekasihnya. Dengan tangan itu pula Kino
meraih kepala kekasihnya, mendekatkan mukanya yang basah, lalu mencium pipinya yang
terasa asin oleh air mata. Trista semakin tersedu. Bahunya berguncang hebat.

"Pulanglah, Tris. Aku letih sekali...," bisik Kino.

Trista mengangguk pelan sambil menarik mukanya. Susah payah ia melawan sedu-sedan
yang melanda tubuhnya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Berkali-kali ia melakukannya
sambil memejamkan mata. Kino meraih tissu dan menghapus air mata dari muka
kekasihnya. Ingin sekali ia menciumi wajah itu hingga kering, tetapi ia menahan
diri sekuat tenaga. Kalau ia mencium lagi, kesedihan akan tambah teruntai.

Secepat mungkin Trista bangkit. Tubuhnya agak terhuyung. Sekali lagi ia memandang
Kino yang berbaring lesu di ranjangnya. Lalu, sambil menarik nafas dalam-dalam
untuk yang kesekian kalinya, wanita cantik itu memutar tubuhnya. Kino cepat-cepat
memalingkan mukanya ke arah jendela lagi, mencoba menikmati birunya langit.
Terdengar langkah Trista menjauh dengan cepat, lalu bahkan terdengar wanita itu
berlari-lari. Semakin lama suara langkahnya semakin sayup. Lalu hilang sama sekali.

Langit biru seperti pemandangan dari puncak gunung. Kino menerawangkan


pandangannya sejauh mungkin. Ia ingin menembus langit itu untuk bertanya kepada
siapa pun yang ada di sana. Tetapi tubuhnya terasa letih dan pikirannya terasa
kosong. Ia bahkan tidak bisa lagi menyusun pertanyaan yang akan diajukan.

Tiga jam kemudian, Kino tertidur tanpa menyentuh nasi yang tersedia untuk makan
siangnya.

*******

Kekasih menggamit lenganku meniti hari-hari satu


meninggalkan jembatan kalbu jauh di relung-relung rindu
mengapa begitu
mengapa menggandakan duka setiapkali kita bercinta
Kekasih melepas genggaman meniti hari-hari satu
melayari lautan cinta yang tak pernah berhenti berombak
lalu angin tiba-tiba mati
siapakah kita yang selalu mengoyak-oyak mesra
merenda-renda rasa tanpa pernah bisa menata
Kekasih pergi
sendiri mendera hari-hari yang tak berujung
Kekasih pulang
sendiri menggurat malam-malam yang tak berpangkal
Lalu segalanya seperti tak pernah ada
Mengapa begitu?

*******

Itulah terakhir kali Kino melihat Trista.

Seminggu setelah itu, dokter Rudy memperbolehkan pasiennya pulang, tetapi dengan
anjuran untuk beristirahat satu atau dua bulan. Luka di kepala Kino memang sudah
sembuh, tetapi gegar otak yang ditimbulkan akibat benturan dengan aspal ternyata
tidak tergolong ringan. Pemuda itu harus mengurangi aktifitasnya dan beristirahat
total. Bahkan berpikir keras pun tidak dianjurkan oleh dokter Rudy.

"Saya rasa Kino harus meninggalkan kuliah, setidaknya satu semester ini," kata
dokter Rudy sambil menulis secarik resep. Ayah Kino patuh mendengarkan, dan setuju
pada anjuran dokter anaknya itu. Ia memang telah memutuskan untuk membawa Kino
pulang, merawatnya di kota kelahirannya yang kecil dan asri. Kino pun setuju untuk
menghabiskan satu semester di kota kelahirannya, dan baru akan melanjutkan kuliah
di semester berikutnya.

Rima datang menjenguk beberapa kali bersama Ridwan dan Tigor. Lalu mereka juga
ikut mengantar Kino dan Ayahnya ke stasiun kereta-api.

"Selamat jalan, Kino. Cepat sembuh, yaa..," bisik Rima sambil mencium pipi
sahabatnya.

"Thanks..," bisik Kino sambil merangkul gadis tomboy yang tampak cantik dalam
kesenduan perpisahan ini, "Jangan lupa naik gunung sebulan sekali..."

Rima tertawa kecil, lalu menyingkir memberikan tempat kepada Ridwan yang
mengucapkan perpisahan dengan memeluk sahabatnya.

"Sehabis ujian kami akan menjengukmu!" kata Ridwan.

"Aku tunggu!" jawab Kino sambil balas memeluk.

"Nanti kau ajaklah aku naik gunung di daerahmu!" kata Tigor sambil menepuk-nepuk
pundak sahabatnya. Suara baritonnya terdengar gagah, walau tak juga bisa
menyembunyikan kesedihannya harus berpisah dari Kino.

Indi berdiri agak jauh dari kumpulan sahabat yang saling berangkulan mengucapkan
salam perpisahan itu. Kino memanggilnya mendekat. Gadis centil itu langsung memeluk
pinggang "kakak"-nya, membuat Rima, Ridwan dan Tigor tertawa.

"Kamu sepertinyapengin ikut, deh!" sergah Rima sambil mencubit pipi Indi. Rima
tahu bahwa si centil ini "naksir berat" pada Kino, tetapi tidak tahu seberapa jauh
keduanya berhubungan. Hanya Tigor yang tahu "rahasia" Kino tentang Indi, dan pemuda
itu adalah seorang yang taat menyimpan rahasia!

"Boleh, ngga?" kerling Indi dengan genit sambil lebih menyandarkan tubuhnya ke
Kino.

"Wah! Repot kalau bawa kamu, nDi... susahngurusin -nya!" kata Kino sambil menahan
berat tubuh si centil.

"Ah, ngga repot, dong....," sela Ridwan, "Lepasinsaja di lapangan. Dia, kan, bisa
cari makan sendiri..."

"Emang-nya kambing dilepas di lapangan!" jerit Indi sambil mencubit Ridwan. Yang
lainnya tertawa terbahak.
Kino ikut tertawa bahagia. Sejenak ia bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang
penuh perhatian. Sejenak ia lupa Trista yang kini mungkin sudah sibuk mencari baju
dingin untuk persiapanwinter di London. Tetapi segalanya cuma sejenak. Setelah
selesai tertawa, tiba-tiba bayangan wajah Trista muncul lagi. Tiba-tiba pula
dadanya dipenuhi rasa sedih.

Pengeras suara mengumandangkan panggilan untuk para penumpang. Kino menghela nafas
panjang, lalu mengucapkan selamat tinggal sekali lagi. Indi masih merangkul
pinggangnya dengan mata agak basah.

"Kalau kamunangis , aku ngga mau kirim surat, lho!" ancam Kino sambil mulai
melangkah menuju gerbong menyusul Ayah.

Indi melepaskan rangkulannya. Cepat-cepat pula ia menghapus matanya dengan


punggung tangan dan berseru, "Ngga! Indi ngga nangis kok!"

Kino mengusap rambut si centil sekilas. Lalu sambil melambai-lambai ke seluruh


pengantarnya, ia berkata kepada Indi, "Okay. Nanti surat pertamanya dua lembar,
ya!?"

"Lima lembar!" sergah Indi, "Kak Kino janji lima lembar."

Kino tertawa tetapi tak menjawab tuntutan Indi. Ia melangkah setegar mungkin ke
gerbong, walaupun hatinya penuh galau. Entah kenapa, ia merasa akan sulit bertemu
lagi dengan orang-orang yang bersahabat ini. Entah kenapa, ia merasa ini adalah
perjalanan pulang yang panjang.

Suara hiruk pikuk para penumpang memenuhi peron. Ada yang bersiap naik dan ada
yang masih mengucap salam perpisahan dengan sanak saudara. Ayah merangkul bahu
Kino, mengajak naik ke gerbong nomor 3. Menunduk lesu, Kino melangkah naik. Suara-
suara memenuhi kepalanya, ramai sekali, tetapi juga sepi sekali. Lalu, ketika sudah
di dalam gerbong yang ber-AC, suara-suara dari luar mulai tak terdengar. Sepi tiba-
tiba menyerbu, tidak saja ke telinga, tetapi juga ke hati.

Dari jendela, Kino masih bisa melihat para sahabatnya melambai di pelataran peron.
Aneh sekali, pemandangan itu seperti tidak nyata. Seperti sedang melihat sebuah
acara televisi, sebuah sinetron. Berkali-kali Kino merasa perlu meyakinkan dirinya,
bahwa semua ini nyata. Semua ini adalah sebentuk perpisahan yang benar-benar
terjadi. Sebentar lagi kereta akan berangkat, dan semua pemandangan itu akan sirna,
diganti pemandangan sawah-sawah dan kota-kota kecil yang berlarian ke belakang.

Ketika akhirnya kereta bergerak semakin cepat, Kino semakin terhenyak di kursinya,
tenggelam dalam lamunan. Suara derak-deru kereta bagai mengungkupi dirinya.
Pemandangan berkelebat semakin cepat, dan akhirnya menjadi baur aneka abstrak.
Langit tampak luas sekali, awan putih berarak pelan. Berkali-kali Kino menghela
nafas dalam-dalam.

Tiba saatnya untuk menjelang kesendirian. Selamat datang di lubuk sepi, bisiknya
dalam hati.

Kino berdiri diam di pinggir sungai besar yang membelah kota kelahirannya. Air di
sungai itu tidak sederas dulu lagi, tetapi masih bening menggoda orang untuk
berenang. Ia memasukkan kedua tangan ke kantongjeans dan menghela nafas panjang.
Betapa berbedanya kota-kelahiran dari kota B yang kini dia tinggalkan. Kota kecil
ini terkesan damai tetapi statis, desahnya dalam hati. Sementara kota B tentu saja
meninggalkan kesan khusus bagi Kino. Kisah cintanya berakhir dramatis di sana.
Tidak itu saja, seluruh hidupnya seakan-akan berakhir di sana, lalu berawal baru.
Tak salah kiranya, jika kehidupan 'baru' itu dimulai di tempat yang sama ia
dilahirkan.

Kino memang seperti lahir kembali. Ia merenung: akankah semua yang dulu terjadi
berulang lagi? Atau, akankah ada varian baru? Simpangan baru? Ramifikasi?

Ia ingat Mbak Rien yang membukakan gerbang ke dunia misterius-mengasyikkan. Ia


tersenyum menerawang ke kejauhan, ke tempat yang dulu penuh pohon kenari di kaki
bukit nun di sana. Kini pohon kenari sudah berkurang karena penduduk kota kini
mengubah area itu menjadi perkebunan cengkeh. Komoditi baru itu konon membawa
kekayaan mendadak bagi sebagian petani yang cepat tanggap terhadap perkembangan
pasar di kota ini.

Sudah dua minggu Kino berada di kota kelahirannya. Secara fisik, ia sudah
segarbugar. Badannya yang sempat kehilangan berat, kini sudah seperti semula. Ia
sudah bisa berenang di pantai bersama adiknya, Susi. Adiknya itulah yang terbanyak
menyita waktunya selama dua minggu ini. Bagi Susi, kakaknya adalah satu-satunya
pria selain Ayah yang bisa diminta menggendong dari pantai ke tempat penitipan
sepeda!

Susi pula yang menjadi teman Kino berkeliling kota, ke tempat-tempat yang dulu
belum ada ketika pemuda itu merantau sekolah ke B. Susi dengan bangga mengajak
kakaknya ke bioskop baru di tengah kota, yang kinifully airconditioned (dulu cuma
kipas angin) dan berkursi empuk (dulu cuma kursi plastik). Setelah itu, mereka
berdua berjalan-jalan di satu-satunyamall di kota itu, dan Kino tak habis pikir
kenapa ada orang nekad membuka pertokoan modern padahal pembelinya tidak ada. Ia
melihat lebih banyak penjaga toko daripada pembeli. Tetapi, menurut Susi, jika hari
rayamall ini penuh sesak oleh pengunjung dari desa-desa sekitar sini.

Susi juga membawa kakaknya ke tempat favorit remaja kota itu; sebuah taman yang
antara lain memiliki kolam renang dan 8 meja bilyar. Astaga, sergah Kino dalam
hati, telah lama rupanya anak-anak muda di kota ini mengabaikan alun-alun sebagai
tempat bersantai. Apakah mereka juga tidak lagi naik gunung dan berenang di sungai?
Dengan risau Kino mendengar penjelasan Susi bahwa wilayah perkemahan di pinggir
kota kini jarang dikunjungi. Ironis memang. Anak-anak kota besar kini gandrung alam
pedesaan, sementara anak-anak di sini justru mengejar hiburan kota besar!

Lalu Susi mengajak kakaknya ke sekolah SMA-nya dulu. Selama tak kurang dari 10
menit Kino tercenung di gerbang sekolah itu. Masih seperti dulu; setidaknya gerbang
besi itu masih seperti dulu. Gedung sekolahnya sendiri kini bertingkat, tetapi
warna cat temboknya sama, putih-abuabu. Kino sebetulnya benci warna itu, tetapi
ketika melihat tembok yang sama dengan 6 atau 7 tahun silam itu .... ah, itu
barangkali warna terindah dalam hidupnya. Terbayang wajah teman-temannya. Terbayang
wajah guru-gurunya. Terbayang masa-masa ceria tanpa beban. Terbayang pulang sekolah
sambil berlari dan berteriak-teriak. Terbayang ....

"Bagaimana kabarnya Kak Alma?" Susi membuyarkan lamunan Kino.

Kino tak langsung menjawab, melainkan merangkul pundak adiknya yang kini sudah
setinggi dagunya. Anak ini tumbuh seperti roket!

"Pasti Kak Kino tidak mau menjawab," kata Susi sambil merangkul pinggang kakaknya.

Ia tahu cerita tentang Kino dan Alma, dan tahu bahwa harapan kedua orangtua mereka
untuk saling berbesan telah punah ditelan waktu.

Kino tertawa. Susi memang adik yang penuh rasa ingin tahu. Kino pun tahu, kalau ia
tidak menjawab, maka pertanyaan yang sama akan muncul tiga kali sehari, tujuh hari
seminggu!

"Bukan tidak mau menjawab," kata Kino sambil mengajak Susi melangkah masuk ke
halaman sekolah yang sedang kosong karena masih masa liburan, "Kakak memang tidak
pernah sering berjumpa dengannya. Terakhir yang Kakak tahu ia sedang puntang-
panting mempersiapkan diri untuk ujian. Tidak mudah, lho, menjadi mahasiswa
kedokteran."

"Kenapa putus dengannya?" tanya Susi tak kenal menyerah.

Pertanyaan yang satu ini sudah dijawab berkali-kali, tetapi Susi seperti orang
pikun kalau sudah menyangkut Alma.

Kino tersenyum dan mengajak adiknya duduk di batu besar yang sejak dulu ada di
depan pintu masuk ke kantor Kepala Sekolah, di halaman utama tempat upacara. Di
batu itu biasanya Kepala Sekolah berdiri memimpin upacara bendera, tetapi sekarang
kata Susi sudah ada podium kayu beroda yang bisa didorong keluar masuk.

"Kami memang memilih jalan masing-masing. Dia dengan jalannya, Kakak dengan jalan
kakak," kata Kino penuh kesabaran.

Lalu ia bercerita ringkas tentang hubungan mereka, tentu saja tidak dengan sangat
terinci mengingat umur Susi yang masih belia.

"Apakah karena tante Trista?" potong Susi, dan Kino mengeluh dalam hati, kenapa
Ibu dan Ayah harus cerita tentang Trista di depan Susi ... atau mungkin anak itu
pura-pura tidur ketika orangtua mereka membicarakan Kino dan Trista.

"Bukan karena dia," kata Kino sambil tertawa, "Lagipula dia bukan 'tante', umurnya
hampir sama dengan Kak Alma."

"Apakah tante ... eh, kakak ... Trista lebih cantik dari Kak Alma?" desak Susi.

Kino tertawa tergelak, "Kenapa keduanya harus diperbandingkan, Sus?!"

"Susi cuma ingin tahu saja ...," jawab adiknya. Sebuah jawaban klasik dan standar:
cuma ingin tahu!

"Tidak, Sus," kata Kino sambil menghela nafas panjang, "Keduanya sama-sama cantik,
dan Kak Kino tidak pernah memilih di antara keduanya."

Susi terdiam, dan Kino berkata lagi, "Mereka tak ada bandingannya, Sus .... "

Lalu kakak-beradik itu terdiam. Membiarkan angin dan gemersik alang-alang


mendominasi suasana. Keduanya mendengar jerit suara bangau di kejauhan. Hari
tampaknya akan hujan.

******

Pada minggu ketiga Kino di kota kelahirannya, liburan Susi berakhir. Ayah dan Ibu
kembali sibuk di pekerjaan mereka masing-masing. Kino sendirian meniti hari demi
hari, dan segera merasa bosan menghabiskan waktu membaca tiga novel yang dibawanya
dari B. Selain itu, atas anjuran kedua orangtuanya, Kino mengurangi frekuensi
membaca karena kepalanya sering berdenyut jika ia terlalu lama membaca.

Kino memutuskan untuk kembali ke alam, menyesuaikan kekuatan fisiknya setahap demi
setahap sebelum nanti mencoba lagi mendaki gunung. Ia memutuskan untuk mengunjungi
hutan kenari .... ah,bekas hutan kenari , yang kini sudah menjadi kebun cengkeh
itu. Ia menahan nalurinya untuk berenang di sungai, karena air di musim hujan ini
berwarna kecoklatan dan cukup deras mengalir. Tetapi, yang lebih penting lagi, Kino
ingin melihat apakah gua peninggalan tentara Jepang itu masih ada. Entah kenapa, ia
ingin melihat tempat yang dulu membuat hubungannya dengan Mba Rien berubah total!

Tetapi perubahan dari hutan kenari ke kebun cengkeh membuat situasi wilayah itu
berubah pula. Kino tidak bisa menemukan gua itu karena kehilangan orientasi. Dulu
rasanya ada pohon besar dekat gua itu, kini pohon itu telah tiada. Dulu ada jalan
setapak berliku, kini jalannya lurus dan diperkeras dengan batu-batu kali. Kino
kebingungan.

"Mencari apa, nak?" sebuah suara parau membuat Kino tersentak.

Seorang lelaki tua dengan seragam hijau pekat telah berdiri di dekatnya.

"Oh, Pak Penjaga!" ujar Kino setelah melihat lambang perusahaan perkebunan dan
jabatan di dada Pak Tua itu, "Saya sedang mencari gua Jepang yang dulu ada di
sini."

Pak Tua itu (dari tulisan di dadanya, bernama Rustandi) memandang Kino dari ujung
rambut sampai ujung kaki sebelum berkata, "Kamu anak sini atau pendatang?"

Kino tersenyum, "Keduanya, Pak Rustandi. Saya lahir di sini, tetapi baru datang
lagi setelah lama tak pulang."

Pak Rustandi terkekeh pendek, "Seperti biasanya. Lahir di sini, tetapi nyaris
melupakan kampung halaman."

Kino tersipu, tetapi membela diri, "Bukan lupa, Pak! Memang belum sempat pulang
saja."

Pak Rustandi mengangguk-angguk, lalu menunjuk ke arah timur, "Di sana. Gua itu
masih di sana, bahkan sekarang sudah bersih karena dipakai sebagai tempat berteduh.
Lihatlah sendiri."

Setelah mengucapkan terimakasih, Kino melangkah ke arah yang ditunjuk. Benar saja,
gua itu masih ada di sana. Permukaannya masih ditutupi lumut tebal, tetapi bagian
dalamnya kini disemen. Ada sebuah bangku beton di bagian belakang gua, dan Kino pun
duduk di sana, merasakan senyap melingkupinya dengan cepat. Gua ini tidak terlalu
dalam, tetapi sanggup menyumbat suara-suara ramai dari luar karena terletak
menjorok ke dalam gundukan tanah yang berbatuan keras.

Kino tersenyum sendiri mengingat ciuman hangat Mba Rien di gua ini bertahun-tahun
yang silam. Ah, apa yang kini dikerjakan wanita mempesona itu? Ia telah mendengar
semua kabar tentang bintang baru itu, sudah pula menonton sinetron-nya di televisi
(tetapi terus terang Kino tidak suka cerita di sinteron itu!). Ia membayangkan,
pastilah Mba Rien sudah lupa pada semua yang terjadi di kota kecil terpencil ini.
Apalagi tentang gua ini, pastilah ia tidak ingat bahwa gara-gara ciumannya Kino
melangkah lebih pasti ke dunia pria dewasa.

"Ahoooy!" terdengar suara Pak Rustandi di kejauhan, meyentak lamunan Kino.


Sebetulnya penjaga tua itu tidak jauh, cuma beberapa langkah di samping pintu gua.

Kino bangkit mendengar suaranya memanggil-manggil, "Apakah kamu di dalam sana,


Anak Muda?"

"Ya, saya di dalam sini!" sahut Kino sambil melangkah keluar, "Ada apa, Pak?!"

Di luar gua tentu saja jauh lebih terang daripada di dalam, dan Kino memayungi
matanya dari serbuan sinar mentari. Untuk sejenak ia tidak bisa melihat dengan
jelas, tetapi ia tahu Pak Rustandi tidak sendirian. Di sebelahnya berdiri seseorang
bercelana panjang khaki dan berkaos t-shirt coklat.

"Ada orang lain yang ingin lihat gua ini juga," kata penjaga itu sambil menoleh ke
seseorang di sebelahnya.

Kino mengernyitkan dahi, mencoba memandang lebih jelas. 'Seseorang' itu ternyata
seorang gadis berambut pendek, dengan tustel tergantung di bahunya, dan sebuah
notes kecil di tangan kirinya.

Sebuah tangan mengacung kepadanya, dan Kino menerimanya dengan ragu-ragu. Mereka
bersalaman cepat, saling menukarkan nama. Gadis itu bernama Karin dan "saya
mahasiswa sejarah, sedang mengadakan penelitian ringkas..." ucapnya nyaring,
mengingatkan Kino pada suara burung di alam bebas. Pak Ruslandi menuturkan maksud
kedatangan si burung berkicau itu, yang konon sedang menulis makalah tentang
sejarah pendudukan Jepang di sekitar sini.

Kino berdiri menyingkir dan bergumam menyilahkan Karin masuk ke gua bersama Pak
Ruslandi.

"Sedang apa di sini?" tanya gadis itu ketika melintas dekat Kino.

"Ah, tidak. Hanya melihat-lihat saja," sahut Kino sambil menimbang-nimbang apakah
akan ikut masuk, atau pulang saja.

"Sering kemari?" tanya Karin lagi di pintu gua, sementara Pak Ruslandi sudah di
dalam.

"Mmm ... tidak juga. Dulu sering, tetapi sekarang tidak," jawab Kino sambil ikut
melangkah ke arah gua. Ia belum memutuskan untuk tinggal lebih lama, walaupun ia
memang bermaksud duduk-duduk di gua ini sebelum terganggu oleh dua mahluk itu.

"Oh, kamu tinggal di sini," suara Karin berubah riang dengan logat ibukotanya,
"Bisa bantu memberi informasi, dong!"

"Tetapi saya belum lahir ketika Jepang membangun gua ini," kata Kino, dibalas tawa
renyai Karin yang memantulkan gema di dalam gua.

"Aku tidak bermaksud menanyakan keadaan di jaman Jepang," sergah Karin membuat
Kino tersipu malu karena salah menginterpretasi ucapan si burung berkicau itu.

"Aku ingin tahu, apa yang terakhir ada di gua ini sebelum berubah menjadi ....,"
Karin menunjukkan muka tak setujunya, " ... sebelum menjadi tempat seperti ini."
(tadinya, Karin ingin mengatakan 'sebelum menjadi kampungan seperti ini' .. tetapi
ia takut Pak Rustlandi tersinggung).

Kino tersenyum. Ia juga tak setuju gua ini berubah menjadi tempat berteduh yang
tidak berselera ini. Katanya, "Ya, memang gua ini sudah berubah total, walau masih
berupa gua."

Pak Rustandi berdehem keras, berusaha menyatakan kehadirannya di antara dua orang
muda yang kini tampak sudah lupa bahwa ada orang ketiga.

Karin cepat menengok ke arah orang tua itu, menyadari ketidak-sopanannya melupakan
penunjuk jalannya. Gadis itu lalu bercakap-cakap dengan Pak Rustandi tentang
perkebunan cengkeh dan motivasi perusahaan perkebunan untuk me-'renovasi' (begitu
lah istilah sopan dari 'merusak bangunan bersejarah!') gua Jepang itu.

Kino tersenyum sambil melangkah keluar mendengar cara Karin menggali informasi
tanpa menyinggung perasaan pegawai perkebunan itu. Entah kenapa Kino yakin, Karin
bermaksud memprotes upaya mengubah bangunan bersejarah itu, tetapi mungkin lewat
tulisan ilmiah. Bukan secara langsung kepada seorang pegawai semacam Pak Ruslandi
yang pasti tak pernah mengerti kenapa sejarah harus dikenang, apalagi kalau di
dalam sejarah itu ada kekejaman tentara. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Karin
maupun Pak Ruslandi, Kino meninggalkan mereka, berjalan menjauhi gua.

Udara segar membuatnya melamunkan masa-masa lalu kembali. Membaca sejarah kembali.
Ah, ... sejarah adalah sesuatu yang harus ada dalam kehidupan. Kadang sejarah
terasa menyakitkan, kadang terasa indah. Apa pun juga, tak ada hidup tanpa sejarah.
Kino lalu ingat guru sejarahnya, dan tersenyum sendiri mengenang betapa
membosankannya cara Ibu Suwarti menerangkan Jaman Jepang, dan betapa nakal ia dan
teman-temanya menggambar wajah ibu guru malang itu di secarik kertas. Lalu kertas
itu diam-diam beredar ke seluruh kelas, dan ketika kembali ke bangku Kino, ibu guru
itu sudah punya kumis dan jenggot di wajahnya!

Sekarang semua kenangan indah itu lewat sudah. Kino sebenarnya tidah terlalu
yakin, apakah patut mengatakan segala sesuatu yang telah dialaminya sebagai
'indah'. Sebagian dari yang 'indah' itu sebenarnya menyakitkan. Sebagian lainnya
justru membingungkan. Lalu sebagian lagi benar-benar memalukan. Demikian pula
'sejarah', bukan!? Banyak sekali bagian-bagian dari sejarah yang justru jauh dari
indah. Tetapi, tetap saja ada yang mempelajari sejarah. Seperti si burung berkicau
itu, mempelajari gua Jepang untuk mengetahui apa yang dulu terjadi. Bagaimana kalau
ia kemudian menemukan kenyataan bahwa tentara yang dulu bersembunyi di gua itu
adalah pembunuh-pembunuh kejam? Bagaimana kalau ternyata ada ratusan, mungkin
ribuan, orang muda di daerah ini mati dalam perang. Kino tahu, ada banyak orang
dari kota ini yang dikirim ke Burma untuk membela Asia Raya dan jadi tumbal ambisi
Nippon untuk menguasai dunia. Mungkin sebagian besar dari orang itu menolak pergi,
dan mungkin tentara Dai Nippon menyeret mereka ke atas truk setelah menyiksa dengan
bayonet.

Tak terasa, langkah Kino telah membawa pemuda itu ke pagar gudang cengkeh dan
kantor perkebunan. Beberapa pekerja tampak sibuk mengangkat bakul-bakul berisi
bunga-bunga cengkeh. Seorang laki-laki kekar tampaknya bertindak menjadi mandor,
bertolak pinggang mengawasi para pekerja dari kejauhan. Kino tak bisa melihat muka
lelaki itu, karena lelaki itu berdiri membelakangi pagar tempat Kino kini berdiri.

Kesibukan para pekerja mengusik pikiran Kino yang masih penuh diliputi sejarah
Jepang, dan entah kenapa kini pemuda itu menghubungkan keduanya. Apakah para
pekerja yang sering disebut sebagai 'kuli' itu benar-benar mau melakukan
pekerjaannya? Tidakkah mereka seperti para pemuda yang menjadi Romusha, cuma
mungkin sekarang lebih baik nasibnya karena mendapat upah?

Kino tersenyum kecut. Ia merasa tolol karena membiarkan angan dan pikirannya
bergerak serampangan, seperti daun kering yang dibawa angin ke sana ke mari. Tetapi
begitulah kalau orang tidak ada kerjaan, dan kalau orang melamun di tengah kebun!

Tiba-tiba mandor di depannya memutar badan, seperti merasa ada orang memandanginya
dari belakang. Wajahnya agak tersembunyi di balik topi pet abu-abu berisi logo
perkebunan. Sejenak Kino dan lelaki kekar itu bertukar pandang, lalu Kino
mengangguk sopan dan bergerak ingin melanjutkan pengembaraannya. Tetapi langkahnya
segera berhenti, karena tiba-tiba ia seperti mengenal wajah itu. Demikian pula sang
mandor, tampak mengernyitkan dahi dan melangkah mendekati tempat Kino berdiri.

"Kino?" tanya lelaki itu ragu-ragu.

Kino mengangguk, dan segera menyeringai lebar. Tentu saja ia ingat siapa si kekar
yang suaranya menggelegar ini. "Hai, Iwan!"
"Astaga!" seru Iwan, "Sedang apa kau di sini?"

"Melihat-lihat kebun," sahut Kino sekenanya sambil menyambut uluran tangan Iwan,
teman sekelasnya di SMA dulu.

Mereka berjabat tangan erat-erat, saling mengguncangkan tubuh masing-masing. Kino


langsung teringat masa lalu, ketika mereka berdua berlatih karate di satu-satunya
perguruan di kota ini.

"Aku kerja di sini!" kata Iwan bersemangat, "Kudengar kamu kuliah di B."

Ah, temanku sudah bekerja sementara aku masih kuliah, bisik Kino dalam hati. Ada
sedikit sesal di hatinya, walaupun ia mempertahankan senyum dan berucap, "Ya, aku
sedang beristirahat di sini."

Iwan mengajak Kino masuk ke kantornya di dalam gudang. Mereka langsung terlibat
pembicaraan seru dan Kino diam-diam memuji temannya. Masih begini muda, sudah punya
kantor sendiri walau cuma berisi meja kayu tua dan sebuah brankas yang berkarat di
sana-sini. Terlebih-lebih lagi, Iwan tampak bangga dengan pekerjaannya dan tak ragu
mengatakan bahwa ia tidak melanjutkan kuliah karena orang tuanya tak mampu.

"Hebat kamu, Wan!" kata Kino sungguh-sungguh, "Punya kantor sendiri dan sudah bisa
menerima gaji!"

Iwan tergelak sampai tubuhnya yang kekar berkeringat itu berguncang, "Kalau bukan
kamu yang mengatakannya, pujian itu pasti sudah kuanggap ledekan!" katanya dengan
suara keras. Dari dulu Iwan memang bersuara lantang.

"Lama sekali kita tidak berjumpa; apa saja kerjamu di B selain kuliah?" tanya Iwan
setelah selesai tertawa.

"Pacaran," kata Kino, "Apa lagi yang bisa kukerjakan selain itu!"

Iwan tergelak lagi, lalu keduanya terlibat pembicaraan tentang masa-masa pacaran
mereka di SMA dulu. Tentu saja nama Alma segera disebut-sebut dan Iwan tak henti-
hentinya mencecar Kino dengan pertanyaan tentang gadis itu. Untung saja Kino ahli
mengalihkan pembicaraan, sehingga sebentar kemudian pembicaraan beralih ke
perkebunan cengkeh, lalu ke persoalan-persoalan lain yang lebih umum. Terutama,
Kino lalu banyak mendengar cerita-cerita tentang perubahan yang terjadi di kota
kelahiran mereka berdua. Iwan seperti seorang sejarahwan khusus tentang kota kecil
ini, dan Kino bersukur dalam hati karena bertemu dengan salah seorang yang bisa
membawanya begitu jauh ke masa lalu.

Masa lalu, ternyata memang jauh di lubuk hati manusia-manusia yang mengalaminya.

Percakapan hangat dua sahabat lama itu akhirnya membawa Kino dan Iwan ke waktu
makan siang. Seorang pekerja yang tubuhnya penuh peluh mengetuk pintu kantor Iwan,
mengingatkan sang mandor bahwa telah waktunya istirahat. Iwan terburu-buru bangkit
dan meminta Kino untuk tetap tinggal selama ia keluar mengurus para pekerja. Kino
meng-iyakan, menghirup sirup dingin yang tadi disediakan Iwan untuknya. Hebat betul
sobat lamanya ini, walaupun ruang kantornya sederhana tetapi ia punya selera
tinggi. Ada lemari kayu yang agak reyot tetapi bersih, dan di dalamnya ada sebotol
sirup, sebuah termos es, setoples kopi, sekaleng gula, dan sebungkus biskuit. Pikir
Kino, pastilah temannya ini sering menerima tamu, dan bersikap profesional
menyediakan minuman selagi bercakap-cakap. Darimana dia belajarpublic relation
seperti ini?

Di dinding kantor Kino melihat ada sebuah kalendar bergambar gadis-gadis cantik
dengan bikini minim, menunjukkan selera pemilik kantor yang membangkitkan senyum
Kino. Sejak dulu Iwan terkenal suka mengejar-ngejar gadis di seantero kota yang tak
terlalu besar ini. Ia bahkan senang berkelana ke desa-desa sekitar dengan motor
bebek pinjaman berwarna hijau tua itu. Apakah ia masih sering meminjam motor milik
kantor ayahnya itu?

Ada juga sebuah sertifikat sederhana yang diberi bingkai tergantung dekat
kalendar. Kino membaca tulisannya, menyatakan bahwa Iwandi Putranto telah lulus
latihan kepemimpinan yang diselenggarakan Ikatan Pekerja Perkebunan Cengkeh. Tambah
kagum saja Kino kepada sobat lamanya yang tidak menyerah walau tidak bisa
meneruskan pendidikan formal. Sejak dulu Iwan memang suka berorganisasi di Pramuka
Sekolah, dan selalu ingin jadi pemimpin regu. Dengan sertifikat dari ikatan
pekerja, tampaknya ia ingin aktif di dunia buruh. Sebuah pilihan yang barangkali
memang cocok untuk latarbelakang keluarga di mana ia dibesarkan.

Kedua orangtua Iwan bukan tergolong orang mampu; cuma punya sepetak sawah yang tak
terlalu menghasilkan banyak padi. Ayahnya seorang pegawai rendahan di perusahaan
bis yang tak terlalu besar. Ibunya membuka warung sederhana di depan rumah di
sebuah jalan yang tak terlalu banyak dilalui orang. Terlebih lagi, Iwan adalah anak
tertua dari tujuh bersaudara. Pastilah sulit sekali mengatur keuangan untuk sekolah
tinggi-tinggi.

Tetapi Kino punya keyakinan khusus tentang Iwan. Sobatnya itu pasti punya bakat
untuk berhasil dalam hidup ini, karena punya motivasi kuat untuk berjuang melawan
nasib. Iwan juga tipe pemuda yang tidak rendah diri dalam kesederhanaannya. Ia
bahkan terlihat punya percaya diri yang berlebihan, selain sangat enteng memandang
hidup ini. Tampaknya, bagi Iwan tak ada yang sulit di dunia ini. Dalam hati Kino
berdoa agar sobatnya ini punya karir yang bagus, dan siapa tahu nanti jadi salah
satu manajer perkebunan.

"Ayo kita ke kantin perkebunan!" seru Iwan membuyarkan lamunan Kino. Sobatnya itu
melongok di pintu setelah selesai dengan urusannya. Kino tak menolak, ia memang
lapar dan segera mengiringi langkah Iwan menuju kantin yang sudah ramai oleh para
pegawai perkebunan.

Mereka duduk dekat sebuah jendela tak berdaun. Udara segar berhembus masuk,
menyejukkan muka kedua pria muda yang agak berkeringat karena menyantap masakan ala
Padang yang pedas. Ini makanan khas kantin. Beras yang dipakai untuk nasi memang
tidak begitu baik, tetapi suasana dan bumbu pedas membuat makanan mereka sedap.
Kino senang berada di tengah pekerja-pekerja keras menyantap hidangan penuh
semangat. Orang-orang sederhana dengan selera yang tak macam-macam. Orang-orang
yang menikmati apa yang mereka bisa nikmati tanpa banyak mengeluh.

"Jangan langsung menengok," bisik Iwan tiba-tiba, "Di sebelah kanan ada seorang
gadis yang nanti akan kuperkenalkan kepadamu."

"Siapa?" tanya Kino tanpa mengangkat mukanya dari hidangan di depannya.

Iwan biasa bicara tentang gadis-gadis seperti ia membicarakan bunga-bunga cengkeh.


Untuk ukuran kota kecil, Iwan termasukplay boy dengan koleksi gadis yang tak boleh
dipandang sebelah mata.

"Anak salah seorang pemilik perkebunan ini," kata Iwan sambil sesekali melirik ke
arah gadis itu, "Ayahnya di ibukota berkongsi dengan pemilik tanah di sini. Gadis
itu anak kampus seperti kamu, datang ke sini untuk sebuah penelitian ... "

Mendengar keterangan Iwan yang terakhir, Kino mengangkat muka tetapi tidak juga
menengok ke arah gadis yang sedang mereka bicarakan, bertanya, "Penelitian
sejarah?"
"Dari mana kamu tahu?" sergah Iwan.

Sialan, gerutunya dalam hati, si Kino ternyata termasuk 'pasukan gerak cepat'
dalam soal gadis. Dulu waktu di SMA dia tidak begitu!

Kino tertawa kecil, "Jangan takut, Wan..," katanya, "Aku tidak bermaksud menyaingi
reputasimu. Aku kebetulan bertemu dengannya tadi, sebelum bertemu kamu."

"Ya, dia tadi diantar Pak Rustandi," kata Iwan dengan nada lega, "Kamu pasti
bertemu di tengah kebun."

"Lumayan," ucap Kino bermaksud mengomentari Karin sambil mengunyah rendang yang
agak liat, "Tinggi dan lincah seperti burung kenari."

Iwan tertawa mendengar istilah yang dipakai Kino, "Ya.... Burung kenari itu sudah
dua minggu di sini, tetapi baru sekarang ke perkebunan karena katanya mau melihat
gua Jepang. Menurutku dia tidak cuma tinggi dan lincah. Dia seksi dan
menggairahkan!"

Kino ikut tertawa memaklumi cara Iwan berkomentar. Kalau Iwan sudah menyebut-
nyebut seorang gadis dalam percakapannya, pastilah ada kata-kata 'seksi' atau
'sensual' atau 'menggairahkan'. Kadang Kino heran, apakah cuma itu perbendaharaan
katanya kalau sudah menyangkut wanita?

Lalu Iwan berbisik, "Aku pernah lihat dia telanjang..."

Kino tersedak. Iwan tertawa melihat sobatnya kaget, "Lebih dari dua kali aku
melihatnya mandi di sungai di belakang kantor perkebunan, dan sepertinya gadis itu
sengaja membiarkan aku menontonnya!" katanya.

Kino menghentikan suapannya, "Gila kau, Wan!" sergahnya, "Suka mengintip orang
mandi!"

"Aku tidak suka mengintip," bantah Iwan, "Dia secara tidak langsung mengundangku
menonton. Dia selalu mengatakan akan mandi ke sungai dan lewat di depan kantorku,
sambil tersenyum genit!"

"Kamu yang mata keranjang!" sergah Kino sambil tertawa, "Gadis itu cuma tersenyum,
kamu bilang genit."

Iwan mengibaskan tangannya, "Ah, dari dulu kamu begitu Kino. Kamu anggap semua
gadisinnocent seperti Alma!"

"Tetapi darimana kamu tahu bahwa dia mengundangmu menontonnya mandi di sungai,"
sahut Kino tak mau kalah, "Jangan-jangan itu cuma hayalanmu ... untuk alasan
mengintip!"

"Sinar matanya, Kino .... sinar matanya!" kata Iwan sambil menunjuk ke matanya
sendiri seakan ingin memastikan bahwa lawan bicaranya tahu apa yang dimaksud dengan
'mata'.

"Tadi kau bilang senyumnya, sekarang sinar matanya," kata Kino sambil tertawa,
"Sebentar lagi kau akan bilang goyang pinggulnya!"

Iwan kembali mengibaskan tangannya tak sabar, "Kamu harus bisa membedakan sinar
mata seorang gadis kalau memandang kita, Kino!"

Kino baru saja hendak membuka mulut menyahuti ajakan Iwan berdebat tentang gadis-
gadis, ketika suara nyaring terdengar dari ujung sana. Karin memanggil Iwan dengan
suaranya yang berkicau itu.

Iwan mengedipkan sebelah matanya ke Kino sambil berkata lirih, "Apa kataku ... dia
suka padaku!", lalu pemuda itu bangkit menuju meja Karin yang sedang makan bersama
Pak Rustandi. Kino menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. Bagi Iwan,
semua gadis suka padanya.

Kino menengok ke arah mereka, melihat Iwan bercakap-cakap sambil memegang ringan
bahu Karin. Dari tingkahnya itu, Kino tahu Iwan sudah memasang jeratplay boy -nya.
Cuma, melihat cara Karin meladeni sobatnya itu, Kino juga punya kesan justru gadis
itu yang sedang memasang jerat. Ah, siapa yang jadi apa dalam permainanthe spider
and the fly ini? terawang Kino sambil tersenyum dalam hati.

Lalu tampak Karin sejenak melihat ke arahnya, dan Kino membalas lambaian tangan
gadis itu. Perlu diakui, wajah gadis itu menarik walau tak cantik. Sedangkan
tentang tubuhnya, terus terang Kino tidak bisa memberi penilaian. Siang itu Karin
memakai celanabaggy dan kaos longgar. Lagipula ia duduk agak jauh, dan Kino tidak
pernah melihatnya mandi di sungai!

Tak berapa lama, Iwan kembali ke kursinya, melanjutkan santapan. Ia bercerita


dengan bangga bahwa Karin mengajaknya berenang hari Sabtu.

"Aku akan mengajaknya ke tempat rahasia kita," kata Iwan, "Kau masih ingat?"

Tentu saja Kino masih ingat sebuah wilayah agak terpencil di belokan sungai yang
tertutup pohon-pohon perdu. Anak-anak muda sering berenang di sana sambil pacaran.
Kino sendiri tak terlalu suka wilayah itu karena tidak ada cukup ruang untuk
balapan berenang. Dia lebih suka bagian sungai yang lurus dekat jembatan desa. Di
sana, mereka bisa menggunakan jembatan sebagai tempat melompat danstarting point .
Lalu tugu pembatas kecamatan di ujung yang lain bisa menjadi garisfinish . Tetapi
Iwan tampaknya tidak bermaksud mengajak Karin balapan berenang, dan Kino sudah bisa
menebak apa yang akan dikerjakannya dengan gadis kota itu.

"Dia akan mengajak sepupunya," kata Iwan dengan sinar muka berbinar sambil
mengacungkan jempol, "Sama cantiknya dengan si Karin."

"Aku janji mengajak Susi berenang di pantai," potong Kino sebelum Iwan mengatakan
bahwa kedua gadis itu juga mengundangnya berenang bersama.

Iwan terlihat kecewa, "Ah, Kino .... jangan begitu, lah!" sergahnya sambil
memasang muka serius, "Kita berenang bersama dengan mereka, pasti kamu suka."

Kino tertawa, "Kalau mau berenang, ajaklah mereka ke jembatan desa. Di sana kita
bisa balapan renang. Sudah lama juga aku tak mengalahkan kamu, Wan!"

Iwan tambah kecewa, "Ayolah, Kino. Sekali-sekali main air tanpa balapan ...,"
katanya penuh harap, walaupun ia tahu Kino keras hati dan tak terlalu suka diatur.

"Bawa mereka ke pantai, kita berenang di sana," kata Kino tegas karena ia jelas
berada di atas angin. Ia tahu, Iwan harus memilih: bersenang-senang bersama Karin
dan sepupunya, atau berkumpul bersama sobat lamanya. Ia tahu pula, Iwan pasti akan
memilih yang terakhir karena jelas baginya Karin adalah salah satu saja dari gadis-
gadis di kamus kehidupannya. Cuma kembang semusim.

Iwan menghela nafas panjang, menyerah pada keteguhan Kino, dan akhirnya berkata,
"Baiklah, jam delapan pagi di pantai."

Lalu sambil menggerutu, pemuda itu berkata, "Untung saja belum aku katakan kepada
Karin kemana aku akan mengajaknya!"
Kino tertawa tergelak. Sejak awal ia tahu, Iwan belum punya rencana apa-apa. Sejak
dulu Kino lah yang selalu banyak ide, dan sobatnya itu cuma tahu tempat tersembunyi
untuk pacaran. Kalau soal bersenang-senang di air dan di laut, Kino tak ada
pesaingnya.

******

Pagi itu mereka jadi berenang berempat. Susi menolak ikut karena ingin naik sepeda
bersama Ayah ke kebun rambutan milik paman di desa sebelah.

Iwan tidak berkata salah tentang Karin dan sepupunya, Dani.

"Lihat dada dan pantat mereka ... menggemaskan!," bisik Iwan kepada Kino ketika
kedua gadis itu sedang jauh dari mereka di pantai yang ramai oleh orang-orang
berlibur.

Karin dan Dani tampak berbeda sendiri dengan bikini yang cuma menutup tubuh mereka
seadanya. Tentu saja banyak orang yang melihat ke arah mereka, ada yang sembunyi-
sembunyi tetapi tak jarang yang sambil bersuit-suit menggoda.

Kino tergelak sambil mendorong pundak Iwan, "Pikiranmu cuma berisi itu, Wan. Hati-
hati nanti otakmu menjadi terlalu encer dan mengalir keluar dari telinga!"
sergahnya.

Iwan tidak meladeni ledekan sobatnya. Ia berseru sambil berlari menyongsong ombak,
"Ayo main air bersama mereka!"

Kino segera mengejar. Bukannya ingin main air, tetapi ia memang sudah sangat ingin
berenang di air biru sejuk yang belum terlalu kotor itu. Bagai si Manusia Ikan,
pemuda itu menerjang ombak lalu menggerakkan seluruh kaki-tangannya dengan cergas
dan gesit. Tubuhnya bagaiharpoon mencari ikan paus, melesat cepat menyusul Iwan
yang juga sedang bergegas menuju ke arah Karin dan Dani.

Tak berapa lama terdengar jerit kedua gadis itu karena Iwan menangkap betis mereka
di bawah air laut. Lalu ketiganya saling menghambur-hamburkan air, tertawa-tawa
riang, lepas-bebas di bawah langit tak bermendung pagi itu. Matahari memancar
berderang bagai menambah guratan keceriaan. Angin tak terlalu keras dan laut lepas
bagai hamparan permadani sutra yang bergelombang pelan-damai.

Bagi Karin, gadis ibukota yang lahir dan besar di alam metropolitan, laut seperti
ini adalah selingan yang tak ada duanya. Jauh dari keriuhan metropolitan, jauh dari
kehidupanjet-set yang terkadang meletihkan. Di kota kecil yang berpantai indah dan
berhawa sejuk ini, Karin menemukan oasis murni yang memuaskan dahaganya pada
kehidupan alamiah; yang menjadi alternatif terbaik bagi kehidupan kosmopolit penuh
gincu dan topeng kemunafikan. Di sini ia bisa benar-benar mengerti apa sebetulnya
arti 'bebas di alam lepas'.

Apalagi ada Iwan, yang dari ukuran ibukota tentu tidak ada apa-apanya, tetapi di
tengah kemurnian alam justru tampak memikat. Mandor itu punya tubuh tegap yang
menawan! bisik hati Karin ketika pertama berjumpa Iwan di perkebunan milik Ayahnya.
Sejak perjumpaan pertama, Karin sudah terpikat, seperti Jane terpikat Tarzan!

Tetapi tentu saja, bagi Karin ketertarikan itu sama wajarnya dengan kalau ia
tertarik pada barang di pajangan toko. Bagi Karin yang biasa hidup bebas, Iwan
adalah sebuah objek petualangan yang menjanjikan! Sudah beberapa kali ia berhasil
menjerat pemuda itu, mengundangnya menonton (atau mengintip?) ia mandi di sungai.
Karin ingin tahu, sejauh mana kenakalan metropolitannya bisa disebandingi oleh anak
muda kota kecil ini!
Hanya saja, ia tak pernah memperhitungkan sebelumnya, bahwa Dani -sepupunya yang
juga tinggal di ibukota- punya pikiran sama. Terlebih-lebih lagi, Karin juga tidak
memperhitungkan adanya kemungkinan Iwan punya sahabat yang tak kalah menariknya!

"Siapa itu, Yin (nama kecil Karin adalah 'kayin' atau kemudian menjadi 'Yin'
saja)?" tanya Dani ketika mereka tadi tiba di pantai dan sedang melepas pakaian.
Karin memang tidak mengatakan sebelumnya kepada Dani bahwa ada seorang pemuda lain
yang akan ikut berenang.

"Kino," jawab Karin sambil membenarkan tali beha bikininya yang merosot, "Teman si
Iwan. Aku belum tahu banyak tentang dia."

"Boleh juga ...," bisik Dani sambil tertawa genit.

"Dibandingkan Iwan?" goda Karin, walau dalam hati ia juga sedang sibuk membuat
perbandingan.

"Mmmm ...," Dani memicingkan mata menimbang-nimbang, membuat Karin tertawa geli,
"Keduanya sama ganteng ... tetapi Iwan lebih ..... apa, ya .... lebih ....," Dani
berpikir keras mencari kata-kata yang tepat.

"Lebih liar!" potong Karin, menahan suaranya agar tak terdengar kedua pemuda yang
berdiri tak jauh dari mereka.

Dani tertawa gelak. Dadanya yang subur berguncang seksi. Betul, pikir Dani dalam
hati, pemuda yang satu lagi itu tampak terlalu kalem dan dingin bagai gunung es.
Beda sekali dibanding Iwan yang matanya selalu nakal. Ah, Dani suka mata yang nakal

Setelah berenang di pantai pada hari Sabtu, pertemuan antar "anak kota" dan "anak
desa" berlanjut terus dengan berenang di sungai pada hari Minggu.

Bagi Karin dan Dani, berenang di alam yang asri -apalagi di sungai yang masih
bening ini!!- merupakan sensasi luar biasa. Bukan saja karena airnya yang dingin
menyegarkan, tetapi juga suasananya yang lepas bebas. Berenang di metropolitan
seringkali berkesan bebas, tetapi itu cumakesan . Cuma ilusi tentang kebebasan,
padahal kenyataannya mereka dikurung oleh berbagai peraturan, berbagai "jangan ini
jangan itu", termasuk peraturan-peraturan semu tentang sopan-santun dan cara
menampilkan diri dengan sempurna. Pada akhirnya, berenang di metropolitan seperti
kehidupan di atas panggung dibandingkan berenang di alam bebas kota kecil yang jauh
dari keramaian ini.

"Aku minum air sungai sewaktu menyelam tadi!" jerit Karin seperti anak kecil,
antara senang dan khawatir. Apakah ia tidak akan kena disentri dan kolera jika
minum air mentah?

"Sehat!" sahut Iwan sambil terus berenang dekat-dekat gadis seksi itu.

"Betulkah?" tanya Karin sambil membuka matanya yang indah itu lebar-lebar, dan
sambil pura-pura berenang menjauh. Tapi tak urung berkali-kali betisnya
bersinggungan dengan ujung kaki Iwan.

"Asal kamu tidak menyelam dekat aku atau Kino sewaktu minum tadi," kata Iwan
dengan senyum nakal.

Karin tertawa terbahak, sudah tahu kemana arah pembicaraan. Dani yang berada tidak
jauh dari Karin juga ikut tertawa mendengar percakapan mereka. Cuma Kino saja yang
tidak berkomentar karena berada jauh di depan, berenang dengan kecepatan penuh.
"Teman kamu itu pendiam sekali," kata Dani kepada Iwan setelah selesai tertawa.

"Si Kino?" tanya Iwan, lalu melanjutkan tanpa menunggu jawaban, "Dia bisa banyak
omong juga, kalau sudah kenal baik."

"Kenapa dia ada di sini, padahal kata kamu dia kuliah di B," kata Karin menyela.

"Entahlah," jawab Iwan, "Aku baru bertemu dengannya satu kali, dan kami belum
sempat bicara banyak. Dia cuma bilang sedang beristirahat di sini."

"Istirahat?" giliran Dani yang kini menyela, "Sekarang, kan, musim kuliah. Kalau
tidak sedang penelitian, kami berdua harus ada di kelas saat ini."

Iwan mengangkat bahunya di bawah air, lalu mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Ia tidak begitu suka kalau kedua gadis mempesona ini mengajaknya bicara tentang
Kino; satu-satunya pria yang bisa menyaingi kepopulerannya di mata mereka!

"Ayo kita balapan sampai ke batas desa di sana!" seru Iwan sambil menunjuk ke arah
utara. Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu sudah meluncur di air. Karin dan Dani
segera menyusul, berenang mengapit Iwan, mengejar Kino yang kini tampak menepi
dekat tugu batas desa.

Beberapa saat setelah itu, mereka semua bersama-sama berenang kembali ke arah
jembatan, melawan arus sungai. Karin dan Dani mengerahkan seluruh tenaga mereka
untuk mengejar Iwan dan Kino, tetapi tentu saja kedua pemuda itu jauh lebih cepat
meluncur di atas air. Sampai habis rasanya seluruh tenaga kedua gadis itu, tetapi
tetap saja mereka tiba di bawah jembatan 5 menit lebih lambat.

"Lihat mereka megap-megap kehabisan nafas!" ujar Iwan kepada Kino ketika keduanya
sudah menepi menunggu Karin dan Dani tiba.

"Tenaga mereka boleh juga, ya!?" komentar Kino sambil mengusap mukanya, membuang
sisa-sisa air.

"Menurutku,body mereka yang 'boleh juga' ... bahkan sangat 'boleh juga'!" kata
Iwan sambil tertawa.

Kino bersungut sambil menahan senyum. Mandor ini punya perbendaharaan kata asing
juga rupanya! sergahnya dalam hati.

"Lihat, dada si Karin! ... Kencang dan padat ...," desis Iwan sambil menatap lekat
ke gadis yang sedang berjuang melawan arus untuk menepi.

"Ah, kamu seperti tidak pernah lihat dada gadis saja!" sergah Kino sambil menaiki
tebing menuju tempat mereka meletakkan baju dan sepatu, dekat pilar besar di bawah
naungan jembatan.

Iwan berdecak sambil menyusul sahabatnya. Kenapa si Kino ini tidak mau diajak
diskusi soalbody Karin atau Dani yang seksi itu, keluhnya dalam hati. Padahal
banyak sekali yang bisa dibicarakan dalam soal itu!

Tak lama kemudian mereka berempat sudah duduk diam-diam melepas lelah bersama.
Karin dan Dani memeluk lutut mereka, agak menggigil karena angin berhembus cukup
keras dan karena tempat mereka duduk agak teduh terlindung oleh badan jembatan di
atas. Iwan dan Kino duduk bersila di hadapan kedua gadis itu sambil melap rambut
dengan handuk masing-masing.

"Sejak kapan kalian bersahabat?" tanya Karin memecah keheningan.


"Kami tidak pernah bersahabat," jawab Iwan sambil tertawa dan meninju bahu Kino
yang diam saja seperti tak peduli.

"Kalian saling bermusuhan?" tanya Dani sambil memandang ke arah Kino yang sedang
asyik mengeringkan rambutnya.

"Dia saingan beratku!" jawab Iwan karena Kino tidak mengucapkan sepatah kata. Cuma
tersenyum-senyum saja.

"Saingan dalam berenang!" seru Karin riang karena berharap bisa menonton sebuah
pertandingan renang, "Siapa yang lebih cepat di antara kalian?"

Iwan tersipu. Dia tidak bisa berbohong. Kino lebih cepat dan lebih cekatan dalam
berenang. Tetapi dia lebih pintar dalam hal lain ...

"Ah, dia lebih pintar berenang. Dia lahir di air!," kata Iwan, lalu cepat
mengalihkan topik, "Tetapi kalau balapan motor, dia selalu kalah!"

"Betul begitu, Kino?" tanya Karin, berharap mendengar suara Kino yang cuma keluar
sekali-sekali itu.

"Aku tidak pernah balapan motor dengannya," sahut Kino kalem.

"Hei, kamu selalu menolaknya. Itu berarti kamu kalah sebelum bertanding!" sergah
Iwan sambil meninju lagi bahu sahabatnya. Kino tidak bergeming, cuma tersenyum
saja.

Karin dan Dani saling memandang. Lalu Dani memberikan usul mengagetkan, "Bagaimana
kalau kita berempat naik motor ke bukit siang ini!"

"Aku tidak punya motor," sahut Iwan sejujurnya. Pemuda ini biasa jujur, kadang-
kadang terlalu jujur.

"Lho, tadi kamu bilang lebih pandai naik motor!" sergah Karin heran. Jangan-jangan
Iwan cuma membual.

"Motor pinjaman. Milik kantor ayahku," jawab Iwan kalem, "Tetapi kalau perlu, aku
bisa pinjam sekarang."

"Tidak usah," sela Dani, "Kita pakai motortrail milik perkebunan. Kamu bisa naik
motor, Kino?"

Kino mengangguk. Dia suka naik motor, tetapi tidak suka balapan. Dan naik motor ke
puncak bukit adalah sesuatu yang dia sukai, walaupun bukan favorit. Lagipula,
menurut dokter dia boleh saja naik motor asal tidak terlalu lama. Jarak ke bukit
bisa dicapai dengan berkendaraan santai kurang dari setengah jam.

"Good!" seru Dani dengan gayaboss . Dia suka jadiboss . Setidaknyaboss pura-pura,
"Aku naik Yamaha dibonceng Kino, dan Karin naik Honda dengan Iwan."

Mendengar ucapan gadisbossy itu, Iwan berseru dalam hati: Impianku terwujud! ....
Karin akan memeluk erat pinggangku dan kedua bukit suburnya menempel erat di
punggung. Wow!

"Hei, kenapa harus seperti itu?" protes Karin, "Sebaiknya kita undi, siapa yang
naik apa dengan siapa!"

Nahlo! seru Kino dalam hati. Kini dua gadis itu akan bertengkar tentang siapa yang
naik apa dengan siapa. Dan benar saja ... Dani segera menyahuti protes Karin dengan
protes pula. Lalu cepat sekali keduanya terlibat perdebatan tentang "siapa naik apa
dengan siapa". Iwan dan Kino tersenyum geli melihat tingkah mereka. Iwan tersenyum
karena merasa bangga menjadi rebutan kedua gadis itu, walau dalam hati ia curiga
bahwa keduanya justru sedang memperebutkan Kino! Sedangkan Kino tersenyum karena
kedua gadis itu mengingatkannya pada tingkah teman-temannya di kampus. Selalu
berdebat tentang segala hal, sepertinya mereka lahir untuk berdebat!

Ketika akhirnya perdebatan tak berakhir walau sudah berlangsung 10 menit, Iwan dan
Kino diam-diam bersepakat untuk bangkit dan mengenakan pakaian mereka. Sebuah
ultimatum. Kedua gadis itu panik melihat mereka sudah siap pergi, dan entah
bagaimana akhirnya muncul kesepakatan yang tak berubah dari keputusan Dani
sebelumnya: Iwan membonceng Karin, Kino membonceng Dani. Keputusan itu membuat Iwan
berbinar riang, sementara Kino tak menunjukkan reaksi apa-apa.

Setengah jam setelah itu tampak dua motor meraung menuju bukit di arah timur.

******

Mereka tiba di puncak bukit yang ramai oleh anak-anak muda lain menjelang tengah
hari. Perut yang lapar memaksa mereka mampir di sebuah warung kecil yang ternyata
menyajikan makanan sedap, walau hanya didominasi tempe dan tahu. Karin makan lahap
sekali, dan Dani menyantap tak kurang dari 5 potong tempe! Sekali lagi keduanya
menemukan keindahan dan kenikmatan di balik kesederhanaan. Mengapa tempe dan tahu
di ibukota tidak sesedap ini!? sergah Dani dalam hati sambil meraih tempat sambal.

Warung itu terletak di dekat sebuah tebing, dan dari tempat mereka duduk pada
sebuah bangku kayu panjang, Karin dan Dani bisa melihat puncak bukit yang dihiasi
sebuah batu. Tepatnya, sebuah tugu peringatan. Menurut catatan mereka, tugu itu
ditegakkan oleh para gerilyawan perjuangan untuk mengenang gugurnya salah seorang
dari mereka.

"Kalian sering kemari?" tanya Karin di antara suapan.

"Sering," jawab Iwan karena Kino memang tidak pernah mendahului menjawab,
"Terutama malam minggu."

"Pacaran?" sela Dani sambil tersenyum dan sambil menggigit sepotong cabe rawit.
Bibirnya memerah karena kepedasan.

"Ya, pacaran ... atau mencari pacar, atau memutuskan pacar, atau memacari pacar
orang!" sahut Iwan tak acuh.

Karin tertawa gelak mendengarnya.

"Kamu pastiplayboy , Wan!" sergah Dani.

"Mungkin," kata Iwan masih tak acuh, mulutnya sibuk mengunyah tempe, "Tetapi yang
terang aku mandor perkebunan."

Karin tertawa lagi. Pikirnya: kadang-kadang pemuda di kota kecil ini bicara jauh
lebih lugas. Untuk kesekian kalinya gadis itu membuat perbandingan dan menyimpulkan
bahwa teman-temannya di ibukota kalah jauh dalam soal kelugasan. Si mandor muda ini
tidak pernah ragu mengungkapkan pikirannya, bisik Karin dalam hati, sementara
teman-temannya di metropolitan sering berputar-putar jauh sebelum tiba di titik
persoalan. Atau menghambur-hamburkan uang dulu sebelum menyatakan keinginan yang
sebenarnya, .... mengajak dan mentraktir nonton sebelum mencium, ... membelikan
segala macam hadiah sebelum mengajak bercinta.

"Apakah kamu jugaplayboy , Kino?" Dani mengalihkan 'serangan'-nya ke si pendiam.


Kino menggeleng sambil meneguk teh pait. Tanpa ekspresi dia berkata, "Aku tidak
ada bakat menjadiplayboy. "

"Tapi kamu ingin jadiplayboy ?" desak Dani, senang karena akhirnya si pendiam mau
buka mulut.

Kino tertawa kecil, "Aku senang kalau banyak gadis menyenangiku," katanya.

"Apakah banyak gadis yang senang padamu?" Dani terus mencecar, seperti polisi
menginterogasi pencuri.

"Banyak," kata Iwan sebelum Kino sempat menjawab, "Tetapi dia terlalu pemilih ...
"

"Aku tidak pemilih," bantah Kino sambil menelungkupkan sendok-garpu di piringnya,


"Aku tidak tahu berapa banyak yang suka, bagaimana aku bisa memilih?"

"Dia selalu bilang begitu," kata Iwan kepada Dani, "Sebab dia tidak pernah
memperhatikan gadis-gadis itu. Tentu saja gadis-gadis itu tidak memasang pengumuman
bahwa mereka menyukai Kino, bukan?"

Kino tertawa kecil, "Mungkin sebaiknya mereka melakukan itu, kalau benar-benar
suka!"

Karin dan Dani tertawa, senang mendengar perdebatan pendek dan polos antara kedua
pemuda di hadapan mereka. Lalu, entah bagaimana, Dani sudah berkata, "Kami berdua
suka pada kalian!"

"Hei, jangan seenaknya mewakili pikiranku!" sergah Karin sambil menyikut pinggang
temannya. Dani meringis.

"Tetapi kamu suka padaku?" tanya Iwan cepat-cepat kepada Karin, sambil menatap
terus-terang.

"Mungkin ... mungkin ya, mungkin tidak!" sahut Karin tak kalah cepat. Biar
bagaimana pun ia lahir dan besar di ibukota, dengan salah satu adagium: keraguan
menunjukkan kemajuan berpikir!

"Aku juga," sela Dani tak mau kalah, sekaligus menyesal telah membuka kedok
mereka, "Aku mungkin suka kamu, mungkin suka Kino..."

"Ah, kalian cuma gengsi saja!" sergah Iwan sambil bangkit untuk mengambil segelas
teh lagi.

"Bukan gengsi!" sahut Karin sengit, hampir saja tempe yang digigitnya terpental
keluar, "Aku memang belum tahu apakah suka atau tidak kepadamu!"

Iwan tertawa sambil menuangkan isi teko ke gelasnya, "Bagaimana dengan Kino?
Apakah kamu suka pada Kino?"

Karin menoleh ke arah Kino, tetapi pemuda itu sedang asyik memandang ke luar
seakan-akan tidak ada apa-apa. Dani menatap Karin sambil tersenyum geli melihat
sepupunya terjebak.

"Aku tidak tahu!" jawab Karin sambil berhenti mengunyah. Tempe di mulutnya tiba-
tiba terasa pahit.

Iwan tergelak, "Kalau begitu sebaiknya kamu tetap ragu-ragu saja!"


Dani ikut tertawa, dan Karin melototkan matanya kesal ke arah sepupunya itu.
Sialan anak ini! sergahnya dalam hati. Dia membuka perdebatan, tetapi dia
menghindar secepat kilat.

"Tetapi jangan ragu-ragu siang ini," sambung Iwan sambil kembali ke tempat
duduknya dengan gelas penuh berisi teh, "Kita duduk-duduk di puncak bukit, melihat
pemandangan. Pasti semua keraguan kalian akan hilang.Relax sajalah!"

"Aku tidak ragu!" sergah Karin tambah sengit, "Aku memang ingin melihat
pemandangan indah. Tetapi aku tidak tahu apakah suka atau tidak kepadamu .... atau
kepada Kino!"

"Hei,relax ...," sela Dani sambil menepuk punggung sepupunya, "Iwan bilang, kita
mustienjoy ..."

"Sialan kamu!" sergah Karin membuat Iwan dan Dani tertawa tergelak.

Kino tersenyum kecil mendengar perdebatan mereka. Apa gerangan yang membuat kita
tertawa senang? Apakah keraguan adalah semacam lelucon pula? Seberapa banyakkah
batas keraguan dalam hidup ini, dan seberapa bolehkah kita merasa pasti tentang
segala sesuatunya?

******

Puncak bukit memang tempat yang indah untuk memandang hamparan hutan dan sawah dan
jalan antarkota di bawah sana. Pohon-pohon tampak indah dalam miniaturnya, sawah
tampak rapi berjajar dari kejauhan, mobil-mobil seperti kotak korekapi bergerak
perlahan menyusuri jalan berliku. Ada sedikit awan berarak mengurangi kegarangan
mentari.

Mereka duduk berempat di bawah sebuah pohon besar yang meneduhkan. Perut yang
kenyang dan badan yang letih sehabis berenang menyebabkan Karin dan Dani mengantuk.
Setelah agak kikuk duduk berdekatan, akhirnya kedua gadis itu menyerah ketika Iwan
menawarkan diri untuk menjadi sandaran, dan Kino tak menolak usul temannya agar
menjadi sandaran juga.

Seperempat jam kemudian Karin sudah terlelap bersandar di dada Iwan, sementara
Dani mendengkur halus di bahu Kino. Kedua pemuda itu tenang-tenang bersandar di
batang pohon, bercakap-cakap pelan agar tidak membangunkan para putri ibukota yang
sedang beristirahat di peraduan alamiah mereka.

"Kamu belum menceritakan kenapa ada di sini pada musim kuliah, Kino ...," kata
Iwan pada suatu saat.

"Ceritanya panjang," jawab Kino sambil menghela nafas panjang dan menghembuskannya
dalam hempasan pendek..

"Masalah dengan kuliahmu?" tanya Iwan sambil mengusir seekor semut yang merayap
naik di tangan Karin.

"Tidak," jawab Kino sambil memandang jauh ke depan, "Aku sedang dalam proses
penyembuhan."

Iwan menengok, menatap tajam ke arah sahabatnya, "Kau sedang sakit?"

"Aku sedang sembuh, bukan sedang sakit!" jawab Kino meluruskan persoalan. Iwan
tersenyum mendengar gaya sahabatnya yang selalu inginperfect .
"Aku mendapat kecelakaan, gegar otak, lalu dirawat di rumah sakit, lalu sekarang
beristirahat agar pulih seperti sedia kala," sambung Kino.

"Astaga!" sergah Iwan, "Kenapa tidak kau katakan sebelumnya. Kami mengajakmu
berenang dan naik motor. Bagaimana kalau ...... " ucapannya menggantung.

Kino tersenyum, "Jangan kuatir. Aku sudah sehat. Cuma mungkin belum pulih sekali.
Itu pun sudah bisa mengalahkan kamu berenang!"

"Ya, tetapi setidaknya kamu harus mengatakan sebelumnya!" sahut Iwan tak
mempedulikan ejekan di akhir kalimat Kino.

"Sudahlah. Aku tahu keadaanku sendiri," sela Kino, "Aku cukup sehat untuk semua
kegiatan ini, asal tidak setiap hari!"

"Kenapa bisa kecelakaan?" tanya Iwan sambil kembali mengusir seekor semut nekad
yang mungkin penasaran ingin naik ke leher jenjang Karin.

Lalu Kino bercerita ringkas tentang semua kejadian yang dialaminya. Ia juga
berterus-terang tentang Trista, walau tentunya tidak menggambarkan detil hubungan
mereka. Iwan melongo mendengar cerita dramatis itu.

"Wah, kamu memang sebaiknya menghindari janda!" begitu komentar Iwan ketika
sahabatnya selesai bercerita.

Kino tertawa pelan, tidak tersinggung oleh kelugasan bicara si mandor belia di
sebelahnya, "Dia bukan janda, Wan ... kamu tidak pernah menyimak ucapanku dengan
baik. Pantas di sekolah dulu kamu tidak pernah mendapat nilai baik!"

Iwan tertawa juga, "Ya, memang bakatku menjadi mandor. Dan sekarang orang lain
yang harus menyimak ucapanku!"

Keduanya tertawa, tetapi berusaha tidak keras-keras. Karin tampak semakin


terlelap. Iwan memeluk pingang gadis itu dari belakang. Dani bergeming sedikit,
lalu kembali terlelap setelah Kino merangkul bahunya. Angin segar berhembus membawa
keharuman bunga-bunga rumput, bercampur wangi sabun mandi kedua gadis.

"Harum sekali mereka," bisik Iwan disambut senyum Kino.

"Jangan mengambil keuntungan di tengah kesempitan!" desis Kino memberi peringatan.

"Tidak akan," jawab Iwan tegas, "Aku akan tunggu sampai Karin bangun,
sebelum ..... "

"Sebelum apa?" kata Kino mendengar sahabatnya tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Sebelum mencium bibirnya," bisik Iwan, "Menggemaskan sekali, bukan?"

"Asal kamu tidak keburu ditampar ...," jawab Kino sambil menahan tawa.

Iwan juga menahan tawanya, membuat tubuhnya berguncang. Karin menggeliat kecil,
tetapi justru tampak tambah lelap karena guncangan itu bagai buaian lembut!

Karin menggeliat bangun dan sejenak tersentak karena sadar bahwa tubuhnya terlelap
di dada Iwan yang bidang itu. Walau bagaimana, ia malu juga membiarkan dirinya
tertidur dipelukan pemuda yang tampan dalam kesederhanaannya ini. Malu sekaligus
senang. Sekaliguspenasaran , kenapa dirinya begitu mudah tertarik pada seorang
mandor perkebunan milik Ayahnya. Bukankah hubungan mereka adalah hubungan majikan
dan buruh?
"Selamat sore," kata Iwan sambil membiarkan Karin melepaskan diri dari pelukannya.

"Hmmm...," gadis itu menggumam sambil menguap dan menggeliat, membuat gerakan
sensual dengan tangan terentang di atas kepala.

Sejenak darah Iwan berdesir melihat dada gadis itu membusung penuh. Memang
begitulah rumusan alam: wanita tampak sangat cantik dan menawan sesaat setelah
bangun dari tidurnya. Karin menjadi bukti nyata dari rumus itu. Dengan latar
belakang langit yang mulai menyejuk, dan pohon-pohon di kejauhan mulai menyamar,
Karin adalah pemandangan indah bagai lukisan-lukisan Basuki Abdullah!

"Enak tidurnya?" tanya Iwan sambil bangkit untuk meluruskan pinggangnya yang mulai
terasa kaku akibat duduk diam tak kurang dari setengah jam.

Karin tidak menjawab, melihat sekeliling dan mengernyitkan dahinya, "Kemana Kino
dan Dani?"

"Dani minta diantar ke toilet," sahut Iwan sambil menawarkan tangannya untuk
menarik Karin berdiri. Gadis itu membiarkan tubuhnya ditarik ke atas. Kedua matanya
masih mengantuk, dan berdirinya pun masih terhuyung. Dia membiarkan Iwan merangkul
pundaknya, mengajaknya menjauh dari pohon tempat mereka tadi beristirahat.

Langit menyemburatkan warna lembayung yang indah. Angin semakin sejuk membelai
rambut Karin yang pendek, membuat gadis itu merasakan kesegaran baru yang luar
biasa. Berdua, bergandengan tangan, mereka menuruni puncak bukit menuju sebuah
lembah lapang yang di sana-sini dihiasi semak dan perdu. Bunga-bunga bermekaran
dengan warna yang menuju keseragaman akibat cahaya langit yang mendominasi alam.

"Kamu ingin lihat matahari terbenam dari atas sana?" tanya Iwan sambil menunjuk ke
sebuah gundukan yang agak menjulang di seberang lembah.

Karin merasa tidak punya pilihan. Dipandangnya Iwan yang juga sedang memandangnya.
Tangan keduanya masih bergandengan. Kedua mata pemuda itu menatap polos, dan Karin
tak menemukan apa-apa di sana selain sebuah ajakan tak berprasangka. Lalu juga ada
senyum yang mengembang samar mengungkapkan keramahan. Sebetulnya Karin ingin
melihat kenakalan di wajah pemuda itu, sebagaimana biasanya kalau Iwan memandang
dirinya .... sebagaimana jika pemuda itu memandang dari seberang sungai ketika ia
sedang mandi. Tetapi, kemana kenakalan itu?

"Baik," kata Karin pelan, "Tetapi janji ... "

Iwan mengernyitkan dahinya, "Janji apa?"

"Janji tidak akan macam-macam di sana," kata Karin. Sekali lagi tabiat
metropolitannya menampakkan wujud secara otomatis. Ia terbiasa menjaga jarak, walau
dalam hati sudah ingin merapat. Ia terbiasa berkata A walau sebenarnya bisa
langsung ke T atau Z sekalipun.

Iwan tersenyum lebar, "Aku tidak mengerti ..., apa yang kamu maksud dengan 'macam-
macam'?"

Mereka mulai melangkah berjalan berdampingan, bergandengan menuju lokasi menonton


matahari terbenam.

"Jangan pura-pura tidak mengerti, lah!" sergah Karin sambil menyentak tangan Iwan.

"Aku memang mau memperlihatkan keindahan matahari terbenam," kata Iwan sambil
mengiringi langkah Karin yang masil lunglai karena baru bangun tidur, "Setelah itu
soal lain."

"Setelah itu apa?" desak Karin, membiarkan tangannya diayun-ayun seperti anak
kecil digandeng orangtuanya.

"Kamu cantik kalau baru bangun," sahut Iwan seperti tak peduli pertanyaan Karin.

"Setelah itu apa?" desak Karin, sama tak pedulinya.

"Aku senang menjadi sandaran tidurmu," kata Iwan.

"Setelah matahari terbenam, apa yang akan kamu lakukan?" suara Karin meninggi.

"Apakah kamu mimpi indah?" tanya Iwan. Langkah mereka berdua tak terganggu oleh
percakapan yang simpang siur ini.

"Kamu mengajak saya melihat matahari terbenam," kata Karin berubah normal lagi,
"Setelah itu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Biasanya mimpi di hari terang selalu indah," kata Iwan sambil memetik bunga
semak-semak yang mereka lintasi.

"Iwan!" sergah Karin sambil berhenti melangkah. Terpaksa Iwan ikut berhenti
melangkah, memutar tubuhnya menghadap gadis itu yang sedang menatap tajam
kepadanya. Pemuda itu tersenyum. Nah, seru Karin dalam hati, sekarang terlihat
sinar nakal di matanya!

"Apa yang akan kamu lakukan setelah kita melihat matahari terbenam?" tanya Karin
sambil terus menatap tajam. Tangannya masih terayun-ayun perlahan dalam genggaman
tangan pemuda itu.

"Aku akan menciummu," sahut Iwan tenang, dengan senyum samar, dan dengan mata yang
tidak menyembunyikan kenakalannya. Juga sedikit keliaran yang berkerejap cepat,
berganti-ganti dengan semburat kecil birahi. Semua terbuka terpampang di kedua mata
yang tak berkedip itu.

Karin membuka mulutnya. Tetapi ia menutupnya lagi, karena tak ada yang bisa ia
ucapkan.

Lalu Iwan melangkah mendekat. Karin mundur selangkah, lalu berhenti karena
punggungnya membentur batang besar sebuah pohon. Mereka berada di sebuah jalan
setapak yang menikung. Lenggang, tak ada orang di sekeliling. Tak juga ada langkah-
langkah terdengar mendekat. Sepi, kecuali oleh suara burung yang pulang kandang
dari mencari nafkah sepanjang hari.

Lalu Iwan melangkah lebih dekat lagi. Karin sejenak ragu, tetapi lalu tersenyum.
Berani sekali mandor muda yang tegap ini! ucapnya dalam hati. Biar sajalah, aku
ingin tahu seberapa pandai ia merayu gadis.

Lalu Iwan mendekatkan wajahnya. Mulutnya membuka sebentar, lalu segera menempel
lembut di mulut Karin yang kini memincingkan matanya. Dengan sepenuh hati pemuda
itu mengulum bibir Karin yang memang menggairahkan, merah merona seperti langit
senja, basah mengundang seperti semangka matang di musim kemarau. Iwan menikmati
bibir itu, seperti seorang petualang menikmati temuan barunya. Bibir gadis kota!
Bukan main! sergahnya dalam hati. Berbeda sekali dengan bibir-bibir gadis desa yang
ia cium. Bibir gadis ini seperti punya jiwa sendiri, memberi jawaban pasti kepada
setiap penjelajahannya. Tidak pasif seperti bibir-bibir gadis yang ia cium, kecuali
mungkin mirip si Ratih yang sering dibawa anak-anak kota M itu.
Ciuman mereka berlangsung cukup lama, dan baru berhenti setelah dikejauhan
terdengar langkah kaki mendekat.

"Kamu belum menunjukkan matahari terbenam," kata Karin sambil menyeka bibirnya
yang basah dengan punggung tangan. Suaranya tenang, seperti tak ada apa-apa.

Iwan masih sibuk mengatur nafasnya yang tiba-tiba menderu.

"Janjimu palsu," kata Karin sambil tersenyum penuh kemenangan, karena ia merasa
jauh lebih berpengalaman dalam hal-hal tak terduga seperti ini. Dalam hati ia
berkata: ternyata pemuda ini juga sama saja dengan pemuda lainnya: tak bisa menjaga
janji, selalu tergesa-gesa ingin menaklukkan buruannya.

"Ada sedikit perubahan dalam rencana," kata Iwan sambil tersenyum dan sambil terus
mengatur nafasnya.

Mereka berdua mulai melangkah lagi. Tetapi kini sudah tidak bergandengan. Langkah-
langkah orang terdengar mendekat. Serombongan anak-anak muda muncul dari balik
tikungan; salah satu di antara mereka mengenal Iwan dan menyapanya. Setelah itu ada
gurauan. Ada canda sedikit menyelidik: siapa gadis baru bersama mu itu, Wan! .. dan
Iwan cuma tersenyum. Karin juga acuh tak acuh. Langit pun acuh tak acuh. Angin
terus bertiup tak terganggu. Segalanya berjalan seperti biasa.

Rombongan itu berjalan cepat menyusul, meninggalkan Karin dan Iwan kembali berdua.

"Aku suka mencium kamu," kata Iwan setelah mereka tinggal sendirian lagi,
melangkah pelan seperti sengaja membuat jarak dengan rombongan di depan.

Karin tertawa, mengeluarkan taktik 'apa-peduliku?' dengan muka yang sengaja


memiaskan ketenangan. Ia ingin menyampaikan, bahwa ciuman tadi itu biasa-biasa
saja. Seperti ia biasa minum air dingin jika haus, atau seperti menoleh ke luar
jendela dari mobil yang berjalan, atau seperti menguap dan menggeliat sehabis tidur
panjang. Biasa saja. Tidak istimewa.

"Kamu tidak menikmatinya," kata Iwan menyimpulkan sendiri makna tawa yang
terdengar remeh itu. Tadinya Karin menyangka akan mendengar nada kecewa. Ternyata
tidak. Iwan mengucapkan kalimat itu seperti menyampaikan warta berita di radio.
Walaupun yang diberitakan sebetulnya mengerikan, warta berita radio selalu bernada
datar. Seperti itulah nada suara Iwan.

"Nanti, lah, kita bisa ulangi lagi," ucap Karin dengan nada datar pula.

Iwan tersenyum sambil meraih tangan Karin, mengajaknya bergandengan. Tetapi Karin
menolak dengan halus. Lalu ia tiba-tiba berlari ke depan dan berseru, "Ayo! Kita
kejar matahari terbenam itu!"

Terpaksalah Iwan ikut berlari mengejar si burung centil yang ternyata kuat berlari
juga!

*****

Dani dan Kino sudah ada di lokasi menonton matahari terbenam terlebih dahulu.
Karin curiga, kedua pemuda itu, dibantu Dani, sengaja mengatur rencana untuk
berpisah jalan sebelum bertemu di sana. Tetapi Dani kelihatan tenang-tenang saja,
dan dalam hati Karin bertanya: apakah dia juga dicium Kino? Betapa beruntungnya!

Ketika mereka duduk-duduk menunggu bola merah besar itu merosot turun ke garis
langit, Iwan berbisik menyampaikan 'insiden' ciuman itu kepada Kino. Tentu saja ada
sedikit bumbu-bumbu tambahan dalam bisikan itu. Tetapi Kino cuma tersenyum samar,
tidak mengalihkan pandangannya dari semburat merah jingga di langit di depannya.
Percuma Iwan mencoba mengusiknya, Kino tampaknya bersungguh-sungguh untuk tidak
peduli.

Lalu bola raksasa yang maha merah dan bulat sempurna itu menampakkan dirinya dari
balik awan. Atau lebih tepat dikatakan, awan-awan yang tampak tak berdaya itu
menyingkir patuh, memberikan panggung besar alam semesta kepada sang mentari.
Betapa berwibawanya, bola merah itu bergerak perlahan ke bawah menuju kaki langit.
Seperti seorang maharaja melangkah tegap namun setapak demi setapak, memastikan
agar semua kawulanya memperhatikan dengan seksama.

Lalu langit menggelap. Semua jadi kelabu. Kemudian hitam sama sekali.

Sepasang anak muda itu sudah sampai di batas kota ketika hari telah benar-benar
gelap.

******

Setelah mengembalikan motor ke garasinya, Iwan dan Kino mengantar kedua teman
wanita mereka pulang. Di gerbang rumah besar milik Pimpinan Perkebunan yang juga
adalah tempat menginap Karin dan Dani, kedua pemuda mengucap salam perpisahan. Lalu
Karin menyuruh Dani berjalan masuk lebih dulu, dan Iwan menyikut pinggang Kino
untuk segera menyingkir.

Ketika mereka tinggal berdua, Karin menengadahkan mukanya dan berbisik, "Ayo, cium
lagi."

"Baik, Tuan Puteri!" sahut Iwan sambil menahan senyum. Tak peduli apakah
'perintah' itu patut atau tidak, Iwan menarik leher Karin lebih dekat lagi. Dengan
gerakan perlahan tetapi penuh kepastian, pemuda itu mengulum bibir gadis kota yang
tinggi hati tetapi penuh sensasi ini. Ciumannya kali ini agak lebih bernafsu
dibanding sebelumnya. Iwan tidak hanya mengulum, tetapi juga menjelajahi ruang
dalam yang penuh harum nafas Karin itu dengan lidahnya. Dan Karin juga meladeninya
dengan tak kalah bernafsu. Ia bahkan membiarkan dirinya terbawa arus kencang yang
membuat jantungnya berdegup lebih keras. Ia membuka mulutnya lebih lebar, ikut
menerima lidah Iwan yang meronta-ronta liar di dalam. Seperti tuan rumah yang
ramah, menyambut tamu yang memang diundang.

Karin bahkan memeluk leher pemuda itu, menempelkan dadanya yang busung ke dada
Iwan yang bidang dan kekar. Ia membiarkan puting-puting payudaranya bergeletar
samar ketika bergesekan dengan tubuh tegap itu di bawah behanya yang ketat. Seratus
atau seribu desir-berdesir rasa geli serentak menyebar dari puncak-puncak sensitif
itu ke seluruh tubuhnya. Karin pun terpaksa mendesahkan apa yang dirasakannya. Ia
merasa lebih baik menyerah.

Dan Iwan menjadi lebih berani. Ia meraih tubuh gadis yang semampai hampir menyamai
tingginya itu lebih dekat lagi. Ia menelusuri punggung gadis itu, membawa kedua
tangannya yang nakal ke bagian belakang yang sintal padat terbalut celana panjang
katun itu. Ia juga meremas-remas, menyampaikan dimensi kegemasan dari kenakalannya.

Dan Karin mendesah lagi, karena kini ia seperti ingin melumatkan saja seluruh
tubuhnya ke tubuh tegap itu; tubuh mandor perkebunan yang bekerja dengan gaji yang
ditetapkan di ibukota oleh ayahnya!

Di kejauhan, Kino berhenti melangkah dan menengok ke arah mereka berdua. Hanya ada
silhuet tidak jelas, tetapi Kino tahu apa yang Iwan dan Karin lakukan. Ia menghela
nafas panjang, karena tiba-tiba pikirannya terusik: tidakkah pasangan itu menyadari
keanehan di antara mereka? Yang satu datang dari metropolitan dengan tingkahlaku
serba tertata. Yang lain lahir dan besar di kota kecil, dan tak pernah pergi lebih
jauh dari 50 kilometer. Tidakkah pula mereka pernah mempertanyakan hubungan
majikan-buruh yang secara tak sengaja ada di antara mereka?

Kino meneruskan langkah dengan menunduk. Ataukah aku yang terlalu banyak berpikir,
setelah semua kejadian yang kualami di kota B bersama Trista? Tidakkah pengalamanku
dengan Trista itu juga aneh dan tak wajar?! sergahnya dalam hati. Tiba-tiba Kino
melihat persamaan itu. Ya, ia kini berspekulasi tentang sahabatnya, yang mungkin
akan menjalani lika-liku hubungan tak wajar antar dua manusia. Ia kini mulai
membuat perbandingan, dan setelah itu membuat kesimpulan yang merisaukan. Bagaimana
kalau Iwan terluka dalam pacuan gairah di gelanggang berliku dan terjal itu?
Bagaimana kalau ia terjatuh seperti aku dulu terpuruk?

Tetapi bagaimana aku bisa tahu bahwa Iwan akan menjalaninya seperti aku menjalani
keberlikuan dan keterjalan itu? Kino menggeleng-gelengkan kepalanya dalam sepi. Ia
jadi pusing sendiri.

Sementara itu, di ujung lain Dani berteriak memanggil, "Yiiiiin! Ka-yiiiiin!...


Paman bilang kita sudah ditunggu makan malam!"

Karin mencoba melepaskan diri. Iwan menahannya ..... dan Karin membiarkan lagi
Iwan memagut bibirnya. Rasanya tubuh Iwan adalah magnit raksasa yang terus menarik
tubuhnya menempel erat. Gerakan meronta yang ia coba lakukan tadi, justru menambah
gesekan-gesekan tak sengaja yang penuh sensasi. Karin justru merasa ingin lebih
kuat dipeluk dan diremas.

Dani berteriak lagi memanggil.Gadis itu tidak bisa melihat dengan jelas apa yang
Iwan dan Karin lakukan di kegelapan. Sinar terang dari ruang tamu melingkupi
seluruh beranda di mana ia berdiri sambil memicingkan mata mencoba mengintip.
Tetapi sinar itu tak cukup kuat untuk menjangkau wilayah gelap di dekat pagar,
tempat sepupunya mereguk gairah yang sejak tadi menggelegak itu.

"Hmmmmm...," Karin menggumam, mencoba mendorong dada Iwan tetapi dengan setengah
hati. Setelah memagut bibir gadis itu dan meremas pinggulnya sekali lagi, akhirnya
Iwan melepaskan ciumannya.

"Besok aku tunggu di sungai, jam makan siang ...," desah Karin sambil melangkah
mundur. Nafasnya terdengar jelas terengah-engah. Wajahnya tak nampak dengan jelas,
tetapi Iwan bisa melihat sinar matanya yang berbinar menggairahkan.

"Aku akan ada di sana ...," jawab Iwan sambil melangkah mundur pula.

Sejenak kemudian, kegelapan melengkapi perpisahan mereka. Iwan berbalik cepat,


lalu setengah berlari mengejar Kino yang sudah jauh di depan. Dalam hati pemuda ini
berteriak: akhirnya aku bisa menikmati seorang gadis kota!

Sementara Karin juga cepat berlari ke dalam rumah, tak mempedulikan ledekan Dani
yang bersungut-sungut. Dalam hati Karin juga ada teriakan: akhirnya aku bisa
menjerat macan liar itu!

*****

Keesokan harinya, ketika jam makan siang hampir tiba, Iwan memerintahkan anak
buahnya untuk tidak usah menunggu dia. Kepada salah seorang pegawainya yang paling
senior, Iwan mengatakan agar para pekerja segera beristirahat begitu jam
menunjukkan pukul 12. Tak perlu menunggu persetujuannya.

"Saya ada urusan penting," kata Iwan menambahkan. Suaranya berwibawa dan
menegaskan bahwa 'urusan' itu memang benar-benar penting. Pegawainya mengangguk
patuh, dan segera pergi untuk menyampaikan perintahboss .
Dua menit sebelum waktu makan siang, Iwan sudah meninggalkan ruang kantornya.
Langkahnya cepat tetapi tenang, seperti layaknya seseorang yang akan menjalankan
suatu tugas penting dan menentukan. Ia mengambil jalan memutar, keluar dari gerbang
wilayah perkebunan di depan, lalu membelok ke kiri menyusuri sebuah jalan setapak
yang tak pernah ramai. Hatinya berbunga, dan mulutnya bersiul menyanyikan sebuah
lagu yang tak pernah ia ingat syairnya.

Jalan setepak itu menembus segerombolan kecil pohon kenari yang masih tersisa,
lalu tiba di pinggir sungai yang biasa dipakai untuk mencuci pakaian-pakaian para
buruh perkebunan. Iwan melangkah terus menuju ke arah hulu dengan melewati beberapa
jalan sempit berbatu. Ia menuju tempat mandi yang agak tersembunyi; tempat yang
sebetulnya bukan rahasia, tetapi jarang dikunjungi di siang hari. Penduduk di
sekitar perkebunan pada umumnya mandi di sore hari. Sedangkan para 'pegawai tinggi'
mandi di kamar mandi moderen yang ada di kompleks perkebunan. Siang hari, tempat
mandi ini selalu sepi.

Sementara itu, Karin berhasil membujuk Dani untuk meninggalkannya sendirian. Paman
menyuruh mereka berdua pergi ke kota M untuk membeli makanan, tetapi Karin
bersikeras agar Dani saja yang pergi karena ia harus melengkapi data tentang
penelitiannya. Dani sempat memprotes, tetapi Paman tampaknya lebih percaya kepada
Karin. Maka pagi itu Dani pergi ke kota M, dan Karin ke kebun untuk menyelidiki dua
gua lain bekas peninggalan Jepang. Ia memang sedang meneliti, tetapi tidak pernah
mengatakan kepada pamannya, atau kepada Pak Rustandi yang menemaninya, bahwa ia
juga punya 'urusan lain'.

Pak Rustandi mengangguk patuh ketika pada pukul 11.30 anak "tuan besar"
membebaskannya dari tugas mengawal. Lelaki tua itu segera menuju kantin karena
perutnya keroncongan. Tak ada dugaannya sama sekali, bahwa siang itu Karin menuju
tempat mandi di sungai. Lagipula, ia tak pernah tahu tempat itu. Ia biasa mandi di
kamar mandi perkebunan, karena ia merasa sudah tergolong 'pegawai tinggi'. Bukan
buruh!

*****

Karin melipat pakaiannya dengan rapi di dekat sebuah batu besar, di sebuah lekukan
yang menjorok agak ke dalam. Sepi sekali sekelilingnya, dan gadis itu menyukai
lingkungan asri yang tenang ini. Hanya dengan celana dalam nilon, ia melangkah
masuk ke air dingin segar yang menyambutnya bagai serombongan dayang-dayang
menyambut tuan puteri. Brrrr ... sejenak tubuh Karin bergetar kedinginan, tetapi
setelah itu ia segera menyelam membiarkan seluruh badannya dipeluk sang air yang
ramah.

Bening dan transparan sekali sungai di bagian ini, pikir Karin sambil meraih batu-
batu kecil di bawah. Beberapa ikan mungil coklat kehitaman tampak terkejut,
berenang menjauh dengan cepat, tetapi lalu kembali lagi setelah tahu bahwa mahluk
yang barusan menyelam itu ternyata tidak berbahaya.

Iwan tiba di seberang tempat Karin menyelam sesaat setelah gadis itu memunculkan
tubuhnya untuk yang ketiga kali. Langkah pemuda itu terhenti ... amboi ... apa yang
dilihatnya sungguh menakjubkan. Karin seperti ikan duyung, agak tersembunyi di
balik keteduhan pohon di seberang sana. Sebersit sinar mentari lolos dari kepungan
dedaunan, dan biasnya jatuh di tubuh telanjang berwarna kuning langsat
menggairahkan itu. Iwan menelan ludah. Payudara Karin yang tegak membusung tampak
semakin indah dalam cahaya alami yang agak remang.

Karin menoleh, merasakan kehadiran pemuda itu. Iwan masih berdiri terpaku dengan
mata takjub. Karin tersenyum sambil berdiri di dasar sungai, membiarkan permukaan
air hanya menyentuh bagian bawah kedua payudaranya. Mata gadis itu bersinar nakal,
karena ia tahu Iwan sedang terperangkap oleh pemandangan indah di dadanya. Kedua
puting payudaranya mengkilat oleh air sungai. Kedua bukit putih mulus di dadanya
menggelembung seperti mengajukan tantangan.

Lalu Iwan berjalan mendekat tanpa berkata apa-apa. Sambil melangkah meniti batuan-
batuan, pemuda itu mulai melepaskan kancing bajunya satu per satu. Karin menyelam
lagi, membiarkan Iwan menikmati pemandangan indah yang kedua, ketika pantatnya yang
kenyal-seksi terbungkus nilon basah itu sejenak menyembul ke permukaan, sebelum
akhirnya hilang ditelan air.

Ketika akhirnya Iwan tiba di pinggir sungai dekat tempat Karin berenang, pemuda
itu tinggal bercelana dalam juga. Dengan tergesa dilemparkannya celana panjang,
sepatu bot, kaos kaki, dan baju dinasnya dekat pakaian Karin. Lalu ia melompat ke
air, menimbulkan suara ramai yang mengagetkan beberapa burung di atas pohon.
Berterbangan, mahluk-mahluk berbulu hijau dan kuning itu ribut mencicit seperti
segerombolan wanita marah-marah karena kegiatan gosip mereka terganggu.

Karin berenang menjauh sambil tertawa kecil. Iwan menyusul dengan cepat. Keduanya
semakin menuju tempat yang penuh pepohonan dan tersembunyi. Karin pernah berenang
sendirian di sini, dan tahu bahwa tempat ini adalah lokasi yang tepat untuk
rencananya!

Iwan berhasil mengejar ikan duyung seksi itu dalam sekejap. Tanpa kata-kata,
dipeluknya tubuh yang menggairahkan itu dari belakang. Karin menjerit tertahan,
lalu tertawa senang ketika pemuda itu memagut tengkuknya. Ia membiarkan pula tangan
pemuda yang kokoh itu merangkul seluruh tubuhnya. Ia tertawa lagi ketika Iwan
mendorongnya ke arah pinggiran yang gelap karena ada di sebuah relung yang
terbentuk oleh akar-akar pohon besar.

Tetapi tawanya segera hilang ketika kedua telapak tangan Iwan tiba di dadanya, di
bawah permukaan air. Tawanya berganti jerit kecil ketika Iwan mulai meremas. Lalu
berganti desah panjang ketika remasan itu berubah menjadi gerakan memutar-memilin.
Keduanya pun sudah berhenti berenang, berdiri di dasar sungai yang menenggelamkan
kedua tubuh mereka setinggi leher.

"Hmmmmm...," Karin bergumam seksi sambil memejamkan matanya dan meraih pinggang
Iwan yang memeluknya dari belakang. Gadis itu bisa merasakan sebuah tonjolan keras
menempel erat di bokongnya di bawah air. Pasti itu bukan ular sungai!

"Kamu menggemaskan!" bisik Iwan sambil menciumi bagian belakang telinga Karin,
membuat gadis itu menggeliat kegelian.

Dengan penuh perasaan Iwan meremas dan menjelajahi dada Karin yang terbuai-buai di
dalam air, bergoyang-goyang pelan seirama riak sungai. Gadis itu merasakan
kenikmatan ganda dari buaian air dan remasan gemas, membuat kedua putingnya
langsung menegang, dan kedua kakinya seperti tak bisa berdiri lagi. Untung saja air
dengan segera menyokong berat tubuh mereka, membuat keduanya setengah mengambang.

"Ooooh...," Karin mengerang ketika Iwan mencubit pelan tetapi gemas salah satu
putingnya. Ia menyorongkan tubuhnya lebih ke belakang, menempel erat ke tubuh
pemuda itu.

Tak kurang dari 5 menit mereka berdiri dalam posisi yang demikian, Karin
menggeliat-geliat manja dan Iwan meremas-remas gemas. Tidak ada suara lain, selain
riak air yang agak ramai karena mengalir deras di antara bebatuan, dan sesekali
desah samar dari mulut Karin meningkahi.

Lalu gadis itu membalikkan tubuhnya, dan Iwan mengangkat pinggangnya dengan ringan
di bawah air. Segera saja posisi payudara yang sensual itu ada di depan muka pemuda
itu. Karin pun menjerit tertahan, ketika mulut Iwan yang panas membara menangkap
salah satu putingnya. Rasa dingin air yang tadi melingkupi tubuhnya segera berganti
dengan desir panas yang membakar cepat. Tubuh gadis itu seperti padang rumput
kering yang terbakar di musim kemarau.

Sambil mengulum puting kenyal yang tak bisa sepenuhnya ia hisap ke dalam mulut
itu, Iwan mendorong Karin ke sebuah batu besar di tempat gelap. Kini tubuh gadis
itu terjepit tak bisa bergerak, dan selangkangannya terperangkap oleh bagian depan
tubuh pemuda yang menonjol keras itu. Karin mengerang merasakan kenikmatan kecil
terbersit di antara kedua pahanya. Ia bergerak lemah, tetapi itu pun sudah cukup
melipat-gandakan kenikmatan kecil itu menjadi kenikmatan sedang, lalu segera
menjadi kenikmatan besar, dan akhirnya kenikmatan maha besar!

Iwan punya pengalaman segudang dalam menciumi payudara gadis. Ia sebetulnya agak
kecewa karena payudara Karin tak beda rasanya dengan payudara gadis-gadis desa.
Padahal tadinya ia berharap ada perbedaan, mungkin dalam rasa, mungkin dalam
bentuk, mungkin dalam warna. Ternyata tidak. Puting Karin tidak manis, atau asin,
atau asam .... Memang rasanya lebih kenyal, tetapi tak terlalu istimewa. Warnanya?
Mmmm ... tak jauh berbeda, walau lebih halus mulus!

Karin punya pengalaman segudang pula dalam percumbuan, walau belum pernah bercumbu
di sungai. Berbeda dengan Iwan, gadis ini terpesona oleh situasi yang kini
melingkupinya. Bercumbu di sungai, terjepit di batu besar, dan digigit-gigit kecil
oleh mulut yang liar itu! .... ini pengalaman baru yang menakjubkan. Tanpa dapat
ditahan, Karin tahu-tahu sudah ada di pinggir kaldera birahi. Ia tinggal melangkah
sedikit lagi sebelum tercebur ke gelegak orgasme pertamanya!

Maka gadis itu mengerang dan mendesah meminta Iwan melakukan sesuatu yang belum
ada dalam rencananya ketika tadi masuk ke air.

"Apa?" bisik Iwan sambil menciumi leher Karin yang basah kuyup.

"Aku ingin dicium di situ ...," bisik Karin sambil membuka celananya di bawah air.
Cepat sekali celana itu lolos, dan untung saja tidak segera hanyut karena dengan
cekatan gadis itu melemparkannya ke atas batu.

"Dicium di mana?" tanya Iwan, benar-benar kurang paham.

"Ikuti perintahku, okay?" bisik Karin sambil tersenyum nakal. Iwan mengangguk
sambil mengernyitkan dahinya.

"Angkat aku lebih ke atas ...," kata Karin, dan Iwan mematuhinya. Tubuh gadis itu
kini hanya tenggelam sebatas pinggang.

"Sekarang kamu menyelam ...," kata Karin lagi sambil pelan-pelan membuka pahanya
di bawah air.

Iwan menyelam, dan dalam sekejap ia tahu maksud gadis kota ini!

"Sekarang lakukan ...," Karin menarik kepala Iwan di bawah air, lalu gadis itu
menjerit pelan "Ooooooh..."

Dan Iwan melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Tidak pernah di
atas air, apalagi di bawah permukaan air! Dan Karin mengerang sambil berpengangan
erat di kepala pemuda itu di bawah air. Kedua pahanya terkuak melebar ketika lidah
pemuda itu melakukan apa yang biasa ia lakukan di mulutnya ketika berciuman. Lidah
itu menjelajah nakal. Nakal sekali ... dan Karin suka sekali!

Iwan tahan berenang di dalam air cukup lama. Tetapi dengan kegiatan baru ini, ia
butuh oksigen lebih banyak. Cepat-cepat ia mengangkat kepalanya ke permukaan air,
lalu cepat-cepat pula kembali ke dalam air. Karin juga yang mendorongnya lebih
cepat!

Sesaat Iwan melakukan sesuatu dengan kedua bibirnya di bawah sana. Karin mengerang
dan merenggangkan lagi kedua pahanya. Ia ingin membuka diri selebar mungkin, karena
rasanya ada sesuatu di dalam sana yang memerlukan sentuhan lembut tetapi cepat.
Karin menggeliat sambil bertahan agar tidak merosot di batu yang kini semakin licin
oleh peluh di bokongnya!

Iwan melakukannya berkali-kali. Mengambil nafas berkali-kali sebelum tenggelam


lagi didorong lembut tetapi setengah memaksa oleh ikan duyung yang sedang bertahta
di atas batu itu. Gerakannya semakin cepat dan semakin tangkas. Dan Karin merasakan
orgasmenya datang secepat kilat. Tubuhnya menegang-meregang, lalu bergeletar kecil
dan berkali-kali.

"Oooh!" jeritnya sambil memejamkan mata erat-erat. Ia tidak mau terbangun dari
mimpi indah ini!

Tujuh, delapan, atau mungkin sembilan kali sentakan-sentakan nikmat memenuhi


sekujur tubuh gadis ini. Dunia seakan sirna.... Langit pecah berantakan......
Pohon-pohon membaur dalam hijau yang pekat...... Air bergelegak tapi tak
menenggelamkan...... Batu-batu tertawa riang riuh........ Ikan-ikan berlompatan
menyajikan tarian alam....... Udang-udang keluar dari persembunyiannya di balik
batu........ Burung-burung terbang berputar-putar sambil berkicau ramai.

Karin menggeliat untuk yang kesekian kalinya, sebelum membiarkan tubuhnya merosot
masuk ke air lagi. Iwan memeluknya erat. Gila! pikir pemuda ini dalam hati, gadis
ini cepat sekali mencapai puncak asmara. Dan apa yang barusan dia lakukan benar-
benar gila. Benar-benar tak ternyana. Kegilaan yang tak ternyana. Betapa gilanya!
Betapa tak ternyana!

Mereka berdua tak tahu, sepasang mata sempat melihat adegan itu. Cuma sebentar
saja, karena pemilik mata itu kemudian memutar tubuh sambil menghela nafas panjang,
meninggalkan tempat dengan kepala tertunduk lesu.

Kino tadinya ingin berenang juga. Ia tidak tahu Iwan dan Karin ada di sana. Tadi
malam Iwan tak berkata apa-apa, cuma tersenyum-senyum seperti orang gila. Kino tak
menyangka keduanya punya rahasia yang begitu mencekam. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya, dan dalam hati berucap: semoga tak ada hantu air yang merasuki kedua
temannya itu.

Ada saat-saat di mana Karin seperti sedang meluncur di arung jeram yang bergelora,
terbawa arus entah ke mana, cepat sekali menggelandang di antara lika-liku
kenikmatan yang ditimbulkan oleh mulut-tangan-jari Iwan. Ada saat-saat lain di mana
gadis itu bagai melambung-lambung di atas gelembung raksasa, jauh melayang di atas
batas angannya tentang bercinta di sungai dengan pria yang makan dan hidup dari
kebun besar milik ayahnya.

Tetapi yang lebih sering adalah saat-saat nyata ketika seluruh pori-pori tubuhnya
bagai berkembang-kempis karena kegatalan-kegelian yang muncul bertubi-tubi ketika
kulitnya tersentuh, tertelusur, terjilat, tergigit, tersedot .... Oh! ... Karin
sungguh tak pernah menyangka bahwa kendali dirinya bisa begitu cepat lepas. Semua
rencananya tentang sais yang akan mengekang tali kuda liar, sirna sudah. Ia
membiarkan saja Iwan menciumi belahan sensual di antara dua bukit seksi di dadanya,
membiarkan tangannya meremas di sana-sini, terkadang tanpa sungkan menelusup masuk
dan berputar mengaduk-aduk.

Dan Iwan pun tambah tak tertahankan. Ia mendorong tubuh mereka berdua semakin ke
pinggir, ke sebuah lokasi yang agak lapang. Di situ, beralas pasir hitam halus yang
di ibukota jadi bahan baku pencakar-pencakar langit ... ditemani batu-batu diam
yang terkadang menjadi tempat bersembunyi rajungan kecil ... di situ Iwan mencoba
melanjutkan dan menyempurnakan persebadanan mereka.

Karin mendesah gelisah, menggeliat resah. Terlentang pasrah, ia biarkan pria yang
kini juga sudah telanjang bulat itu mengangkat kedua lututnya, merentang-bukakan
kedua pahanya. Ia biarkan dirinya terkuak sempurna dalam denyut basah memerah-muda,
ketika ujung keras membola yang panas membara itu mendekat, menggelincir sebentar,
lalu mulai menelusup cepat .... Oh! ... Karin hanya bisa merasakan dirinya terbelah
dua dari ujung ke ujung.

"Teruskan ....," bisiknya parau ketika terasa Iwan berhenti sejenak di tengah
jalan.

Iwan mendorong masuk lebih dalam. Karin menjerit kecil dan menggigit pundak pria
yang menindihinya. Terasa lah sudah seluruh panjang lantang batang kenyal itu di
dalam sana, bergetar menimbulkan lecutan-lecutan nikmat di sepanjang dinding-
dinding lembut kewanitaannya. Sebentar lagi .... bisik hatinya tidak karuan ...
sebentar lagi sempurna sudah .... Ahhhhh!

"Teruskan ....," desah Karin karena Iwan cuma bergerak satu-dua kali. Karin
mendambakan gerakan-gerakan cepat mengagetkan. Hujaman dalam sampai membentur-
bentur apa saja yang ada di dalam sana. Ia ingin kekuatan mentah-mentah, tikaman
tak kenal ampun. Kesempurnaan puncak ....

"Iwan ...," nama itu terlompat dari mulutnya yang terbuka terengah-engah. Karin
sampailah sudah pada awal untaian kematian-kecil yang nikmat itu. Ia pejamkan mata
erat-erat, berkonsentrasi pada rasa-hulu-rasa-hilir yang terpancar kuat dari
episentrum kewanitaannya.

Iwan mempercepat gerakannya. Menambah akselerasi. Meningkatkan kekasaran. Semuanya


demi gadis kota yang sedang menggelepar-gelepar mencari pelepasan itu. Demi sebuah
penundukan dan juga penyerahan. Iwan menggenjot sekuat tenaga.

Karin menjerit. Karin mengeluh. Karin menggeliat. Ia seperti ikan kecil yang
menemui ajal di pasir kering tak berair. Amboi, betapa terkadang mengerikannya
kenyataan tentang kenikmatan!

******

Sore menjelang malam.

Kino duduk di beranda menikmati teh dan sepotong ubi goreng. Ayah baru saja tiba
dari kantor dan sedang membaca ulang berita-berita di koran daerah. Ibu dan Susi
ada di dapur. Rumah terasa sepi. Terlalu sepi bagi Kino.

"Aku ingin kembali ke kampus, Ayah," ucap Kino seusai menghirup seteguk teh hangat
yang terasa membelai kerongkongannya.

Ayah menurunkan koran yang dibacanya, memandang sejenak ke Kino, lalu sambil
melanjutkan bacaannya ia berkata, "Boleh. Tetapi kita kunjungi dulu dokter Hastini
di rumahsakit kabupaten. Mungkin dia bisa memberi penjelasan tentang kondisi
tubuhmu."

"Aku sudah merasa sehat, Ayah," kata Kino sambil menegakkan duduknya, seakan ingin
membuktikan sendiri bahwa tubuhnya telah sebugar sediakala.

Ayah tersenyum bijak, "Bagus, nak! ...Untuk benar-benar sehat, yang pertama adalah
berpikir sehat. Kalau kamu sudah merasa sehat, itu artinya 80 persen sehat. Nanti,
dokter akan membantu kita memastikan apakah secara fisik kamu 100 persen sehat."

"Aku juga sudah bosan di sini," ucap Kino sejujurnya.

Ayah meletakkan koran di pangkuannya, melepas kacamata bacanya, dan berkata,


"Nah ... sekarang kamu mengatakan yang sesungguhnya .. "

Kino tersipu, mencoba menyembunyikannya dengan menggigit sepotong ubi goreng yang
gurih.

"Sekarang Ayah tahu kenapa kamu ingin segera ke B," lanjut Ayah.

"Aku harus kuliah, Ayah," kata Kino membela diri, tetapi ia sendiri tahu
pembelaannya itu tidak terlalu ampuh di depan lelaki tua yang telah membesarkannya
ini.

Ayah tersenyum sambil meraih cangkir kopinya, "Kamu ingin bertemu teman-temanmu.
Juga pacar mu."

Kino tersipu lagi, "Ayah tahu siapa pacar saya?"

"Kadang-kadang aku terlalu tua untuk itu, Kino," kata Ayah sambil menghirup
kopinya, "Aku hanya tahu kamu tidak lagi pacaran dengan Alma, dan aku tahu Trista
pergi jauh, entah kenapa."

Kino menunduk, memainkan ujung taplak meja. Haruskah aku berdiskusi terus terang
dengan Ayah? bisiknya dalam hati. Ia belum pernah membicarakan kisah kasihnya
dengan orangtua. Tidak dengan Ayah, tidak pula dengan Ibu. Ia tidak pernah berani
menguraikan cerita hidupnya di hadapan orang-orang yang melahirkan dan
membesarkannya ini.

Betapa ironisnya itu: kau dilahirkan dan dibesarkan oleh mereka, tetapi tak pernah
bisa berterus-terang tentang segalanya.

Ayah terdengar menghela nafas dalam-dalam. Pria tua ini juga tahu apa yang
menggayut di pikiran anak laki-lakinya yang kini sudah pemuda gagah itu. Terkadang
pria ini juga mengeluh dalam hati, mengapa ia tak pernah berani mendesak putranya
untuk berterus-terang. Ia dulu memutuskan untuk membiarkan Kino menemukan sendiri
hidupnya, tak perlu dituntun seperti anak cengeng yang kemana-mana memerlukan
petunjuk-pengarahan. Tetapi kini ia sendiri tidak begitu yakin, apakah keputusannya
dulu sudah benar.

Ia teringat dirinya sendiri. Teringat masa mudanya, nun jauh di "jaman Republik".
Ketika itu semua pemuda sibuk dengan pergulatan tentang makna kemerdekaan, dan
negeri ini masih sangat belia untuk sebuah proses yang begitu tiba-tiba. Energi
para pemuda habis untuk membangun segalanya dari puing-puing sisa perang. Setiap
harinya habis untuk ikut pertemuan antar pemuda yang kerap diisi wejangan dari para
tokoh lokal. Terkadang mereka pergi berjalan kaki sampai ke kota M untuk mendengar
pidato Bung Karno. Pernah juga mereka naik truk berjam-jam hanya untuk melihat dari
dekat, seperti apa wajah intelek Bung Hatta itu.

Namun di tengah galau riuh rendah itu pun ia sempat berpetualang asmara. Ia sempat
bercinta-kasih dengan seorang gadis, sebelum bertemu wanita yang kini menjadi ibu
dari dua anaknya. Ia sempat terlibat cukup jauh untuk ukuran jaman itu. Bahkan,
keterlibatan yang terlampau jauh itu pula yang menyebabkan hubungan mereka tak
berlanjut. Seseorang memergoki mereka berduaan di tempat sunyi, dan melaporkannya
ke orangtua wanita itu. Lalu dengan getir ia ingat betapa ayah wanita itu mengancam
akan melaporkan perbuatannya ke polisi, kalau ia tidak berhenti berhubungan dengan
putrinya.

Apakah anakku kini mengalami cerita serupa? Seberapa jauh kah perbedaan antar
generasi dalam soal cinta-mencintai ini?

"Lho, sedang apa kalian!" suara Ibu yang cemerlang membuat Kino dan Ayahnya
tersentak kaget.

"Sedang berpikir, Bu ..," sahut Ayah disambung tawa Ibu dan Susi yang muncul
dengan sepiring kue.

Kino tersenyum simpul, bangkit untuk menyilahkan Ibu duduk. Katanya, "Saya
mengatakan kepada Ayah, bahwa saya ingin kembali kuliah."

"Dan Ayahmu bilang, kamu harus ke dokter dulu, bukan?" tebak Ibu dengan jitu.

Ayah tertawa, lalu menambahkan, "Ya, ... dan ternyata putra kita ini juga sudah
merindukan teman-temanya."

"Mungkin juga merindukan pacarnya," sela Susi membuat semua orang tertawa.

"Kenapa kamu selalu mempersoalkan pacar, Sus!" sergah Kino setelah selesai
tertawa.

"Mungkin dia juga sudah punya pacar!" goda Ibu sambil menghindari cubitan
putrinya.

"Aha!" seru Kino, "Siapa dia Susi? Apakah teman sekolahmu?"

"Ibu ini, .... mengarang saja!" sahut Susi sambil mencubit gemas lengan Ibu.

Lalu mereka tertawa-tawa lagi. Riang dan jenaka sekali keluarga kecil ini. Dengan
demikian, tersembunyi sudah lah lagi, cerita-cerita yang lain tentang hidup ini.
Selalu begitu. Kita menyembunyikan kenyataan-kenyataan lain, demi hidup yang riang
dan jenaka.

******

Sementara itu, di sebuah rumah lain yang jauh lebih besar dan mewah ...

"Dari mana kamu seharian, Yin!?" sergah Dani kepada Karin yang tergeletak di
dipan, tampak letih seperti seorang olahragawan usai latihan untuk ikut olimpiade.

Karin cuma menggumam, dan tersenyum samar-samar.

Dani duduk di sebelahnya, mengguncang-guncang bahu sepupunya dengan gemas dan


penasaran, "Kenapa rambutmu basah, padahal kemarin kamu baru keramas!"

Karin menggulingkan tubuhnya, menelungkup menyembunyikan mukanya di bantal. Dani


mengejarnya, naik ke atas ranjang dan berbaring di sebelah Karin.

"Kamu berenang di sungai lagi, ya!" sergah Dani sambil mengusap rambut sepupunya
yang masih agak basah.

Karin menggumam meng-iya-kan.

"Dengan Kino?" desak Dani dengan suara penuh kecemburuan. Ia kesal sekali karena
hari ini harus belanja ke kota M.
Karin tertawa. Ia senang mempermainkan Dani.

"Dengan Kino?" ulang Dani sambil menarik bahu Karin, memaksa sepupunya itu
menghadap kepadanya. Tetapi Karin menolak dan mereka bergulat seperti anak-anak.

"Tidak dengan dia!" sergah Karin sambil terus bergulingan menjauh.

"Dengan Iwan?" kejar Dani sambil menggelitiki pinggang sepupunya yang tertawa
kegelian.

"Stop, Dani!" teriak Karin, "Aku tidak mau cerita kalau kamu tidak berhenti!"

Dani menghentikan serangannya. "Okay!" katanya, "Sekarang ceritakan sampai tamat,


semuanya ... sedetil mungkin!"

Karin tertawa tergelak, "Tapi kamu janji tidak akan menyela sedikit pun!"

"Okay. Aku berjanji!" kata Dani.

Lalu Karin menceritakan semuanya dengan lancar. Tentu saja tidak dengan sangat
terinci, tetapi cukup jelas dan gamblang buat Dani.

"Astaga!" seru Dani di akhir cerita, "Kamu gila, Yin! Bagaimana kalau kamu hamil!"

Karin tertawa ringan, tak kuatir sama sekali. "Dia mengeluarkannya di atas
perutku. Bukan di dalam," katanya tenang.

Dani melongo. Ia tidak berkata apa-apa, walau dalam hati tetap bersikeras bahwa
Karin berisiko hamil.

"Jangan pura-pura bego, Dani!" sergah Karin, "Kamu sendiri pernah melakukannya,
dan tidak hamil."

"Ya," sahut Dani menurunkan volume suaranya, "Tetapi aku ketakutan setengah mati!"

Karin tertawa lagi, "Okay ... lain kali aku akan minta dia pakai kondom!"

"Yin!" sergah Dani dalam bisik. Ia takut terdengar Pamannya. "Kamu merencanakan
yang kedua?"

"Mengapa tidak?" sahut Karin sambil tertawa terbahak-bahak.

Dani menggeleng-gelengkan kepalanya. Segila-gilanya dia, tak akan berani


berhubungan dengan pria yang baru dikenal seminggu. Tetapi Karin memang gila. Dani
cuma heran, kenapa sepupunya ini bisa segila itu. Apa, sih, kehebatan Iwan?

Setelah peristiwa sensasional di sungai itu, pertemuan menggebu antara dua tubuh
yang terdahaga birahi itu terjadi lagi di tempat-tempat lain. Selalu terjadi di
kala Iwan istirahat makan siang, dan selalu berlangsung di tempat-tempat terpencil
di sekitar perkebunan. Ada banyak tempat seperti ini, tidak saja di dekat sungai,
tetapi juga di ujung selatan perkebunan yang berbatasan dengan sebuah tebing
terjal. Juga di hutan kenari yang tersisa di sisi timur, di sebuah rumah jaga yang
telah lama ditinggal orang.

Karin menjalani pertautan-pertautan badani yang liar ini dengan antusiasme


seseorang yang menemukan berlian tersembunyi di belantara. Iwan menggauli gadis
seksi ibukota ini dengan semangat pemburu yang tak kenal menyerah. Berdua mereka
mendaki dan mencapai puncak-puncak tertinggi birahi mereka disaksikan serangga
hutan, burung liar, dan pohon-pohon yang seakan bersekutu melindungi keduanya dari
pandangan dunia.

Adalah Kino yang memberi peringatan awal tentang sepak-terjang kedua jiwa muda
ini, di satu sore ketika Iwan dengan wajah berbinar menceritakan petualangannya.
Mereka duduk mengangkat kaki di sebuah warung kopi yang sepi. Pemilik warung bahkan
meninggalkan mereka berdua karena hendak pulang sejenak mengambil beberapa kue
tambahan untuk jualan malam hari.

"Kalian benar-benar nekad!" desis Kino sambil berkali-kali menggelengkan


kepalanya, dan kadang-kadang menggaruk rambutnya yang kian terasa gatal.

"Aku menyukai spontanitasnya, Kino. Aku menyukai keliaran dan kebebasannya!"


sergah Iwan tak peduli pada kekuatiran yang terpancar dari ucapan Kino.

"Tetapi kalian belum saling mengenal," sela Kino geram, "Bagaimana kalau terjadi
apa-apa ... kalau dia hamil!"

Iwan tertawa, membuat Kino semakin jengkel. "Aku memakai kondom sekarang. Dia
memberikan satu bungkus berisi selusin!" katanya riang. Seakan-akan segala yang
disampaikan Kino bertolak-belakang dengan kenyataan. Kekuatiran Kino adalah
keriangan Iwan.

"Kalian benar-benar gila!" sergah Kino kehilangan kata-kata. Ia tidak bisa lagi
membantah ucapan Iwan, karena sahabatnya itu memang tidak peduli pada semua
tanggapan Kino.

"Hei ...relax man !" sergah Iwan. Wah, gerutu Kino dalam hati, kini dia pakai
bahasa asing segala. Pasti meniru gaya si Karin juga!

"Dia bukan gadis pertama yang aku tiduri," lanjut Iwan kalem sambil mengeluarkan
sebungkus rokok filter. Bahkan rokoknya pun kini berganti! gerutu Kino dalam hati
sambil menolak tawaran Iwan.

"Tapi harus kuakui, Karin termasuk istimewa dalam bercumbu," kata Iwan sambil
menyalakan sigaretnya.

Kino diam saja sambil bersungut-sungut. Tetapi ia juga tidak beranjak ketika Iwan
menceritakan dengan penuh semangat pengalaman-pengalaman seksualnya. Tak ada yang
disembunyikan pemuda itu, semuanya ia ceritakan, sehingga Kino seperti sedang
mendengar sahabatnya itu membacakan cerita porno.

"Kalian melakukannya tanpa perasaan?" akhirnya Kino menyela di antara cerita-


cerita rinci tentang percumbuan Iwan.

"Tentu saja kami memakai perasaan! Perasaan nikmat! Nikmat luarbiasa!" sahut Iwan
sambil tertawa berderai.

"Maksudku tanpa rasa cinta, dungu!" sergah Kino kesal, tetapi justru membuat Iwan
tambah terbahak.

"Cinta?" sahut Iwan di antara tawanya, "Aku baru kenal dia seminggu, mana mungkin
jatuh cinta!"

"Itulah maksudku!" sergah Kino, "Kalian melakukan itu semua tanpa cinta, tanpa
perasaan sayang!"

"Kami tidak memerlukannya!" sahut Iwan tak kalah sengit, tetapi dengan wajah riang
tidak seperti Kino yang berwajah geram. "Kami tidak perlu sayang-sayangan. Kami
menikmati sensasinya. Kenikmatannya, kawan! Itu yang kami kejar ..... "
"Apa yang kalian kejar?" potong Kino setengah berteriak.

"Kenikmatan! Orgasme! Ejakulasi!" sahut Iwan cepat sambil mengambil sebatang rokok
lagi dan langsung menyulutnya. Padahal rokok pertama masih ada seperempat batang.

"Kenikmatan seperti itu cuma sebentar, setelah itu apa?!" desak Kino tak mau
menyerah.

"Setelah itu?" tanya Iwan sambil menghisap asap rokoknya dalam-dalam, lalu ia
menjawab sendiri, "Setelah itu ulangi lagi! Ha ... ha ... ha ... ha!"

"Gila!" desis Kino sambil meraih cangkir kopi di depannya. Sekali teguk, isinya
pun tandas.

"Mau tambah kopi lagi?" Iwan langsung bertanya, seakan-akan pembicaraan mereka
remeh belaka. Tak penting. Tak perlu dikuatirkan.

Kino menggeleng, "Kalian benar-benar gila. Aku tak menyangka kamu cuma mengejar
kenikmatan seperti itu, tak mempedulikan risiko."

"Ah ... kamu selalu sok suci!" sergah Iwan sambil mengibaskan tangannya, "Katakan
padaku, apakah kamu belum pernah meniduri seorang wanita. Hayo, katakan
sejujurnya!"

Kino terdiam. Ucapan sahabatnya ini datang tak terduga.

"Selama kuliah di B, tidakkah pernah kamu meniduri seorang wanita?" kejar Iwan
melihat sahabatnya terdiam. Sebetulnya, pemuda ini tak bermaksud berdebat dengan
Kino, tetapi kini tampaknya perlu juga sesekali mendebat!

Kino menghela nafas. Ia merasa terpojok, tetapi juga sekaligus melihat peluang
untuk membicarakan persoalannya dengan seseorang yang bersahabat.

"Berapa wanita, eh?" desak Iwan sambil tertawa dan sambil meninju lengan Kino.

"Cuma satu!" sahut Kino cepat. Iwan tertawa lagi lebih keras.

"Aku tidak percaya!" katanya di tengah derai tawa. Kino sampai kuatir kalau-kalau
pembicaraan mereka terdengar orang lain.

"Aku bukan seperti kamu, Wan!" sahut Kino, "Aku tak bisa meniduri wanita kalau
tidak sayang kepadanya."

"Tetapi kamu menidurinya, bukan!?" kata Iwan dengan semangat berlipat ganda karena
kini merasa tidak lagi menjadi obyek pembicaraan. Kini obyeknya ada dua. Kini
kasusnya bisa diperbandingkan!

"Kami saling mencintai!" sergah Kino, mencoba membuat garis yang jelas antara
perbuatannya dengan perbuatan Iwan.

"Aku tidak peduli," sahut Iwan, "Yang penting kamu meniduri-nya. Kamu bercinta
dengannya!"

"Tetapi aku tidak mengejar ejakulasi semata!" Kino membela diri mati-matian.

"Jangan katakan bahwa kamu tidak ejakulasi, kawan!" sahut Iwan cepat sambil
tersenyum lebar.
"Ya, aku menikmatinya," kata Kino, "Tetapi itu bukan satu-satunya yang aku cari!"

"Lalu apa bedanya dengan aku?" balas Iwan, "Aku juga menikmatinya. Kamu juga
menikmatinya. Cuma kamu mencari yang lain selain kenikmatan. Yah ..., itu cuma soal
pilihan saja, bukan?"

"Aku mencintainya," sergah Kino, "Mencintai bukan 'cuma soal' saja, Wan. Mencintai
berarti lebih dari 'cuma soal'. Jauh lebih dari itu!"

"Wah ... wah," seru Iwan sambil mengangkat kedua tangannya seakan-akan seorang
penjahat menyerah kepada polisi, "Jangan terlalu rumit, Kino. Aku cuma tahu bahwa
kita berdua sama-sama menikmati percumbuan dengan wanita!"

"Tidak, tidak rumit!" sergah Kino, walau sedetik kemudian ia sendiri ragu:
betulkah cinta itu tidak rumit?

"Rumit buat aku," sahut Iwan enteng, "Dengan Karin atau yang lainnya, aku
menikmati saja percumbuan itu. Aku tidak usah pusing memikirkan tetek-bengek
perasaan."

"Kamu belum pernah jatuh cinta?" tanya Kino, kini jengkelnya berganti dengan
perasaan ingin tahu. Betulkah orang bisa tidak jatuh cinta?

Iwan menggeleng, "Aku tidak tahu apa itu cinta, Kino. Yang kutahu dadanya sintal,
pinggulnya padat .... goyangnya .... "

"Ah, sudahlah!" potong Kino disambut tawa Iwan yang berderai, "Susah juga berdebat
dengan kamu, Wan. Kita berdua hidup di dunia yang berbeda!"

Iwan menepuk-nepuk pundak sahabatnya, "Hei ...relax man ... tidak usah terlalu
dipusingkan. Aku cuma mau berbagi cerita denganmu. Kebetulan, cerita itu tentang
hubungan seks. Kenapa musti risau?"

Kino menghela nafas panjang dan menghempaskannya sekaligus. Iwan tertawa melihat
tingkahnya. Dalam hati ia merasa kasihan melihat Kino penuh kerisauan. Ia juga
heran, mengapa pemuda ini tidak berubah dari dulu, padahal sudah sekolah di kota
besar. Dirinya tetap tinggal di kota kecil, dan tetap tenang-tenang saja tanpa
kerisauan. Mungkinkah karena aku tidak sekolah maka aku tidak risau? tanya hati
kecil Iwan.

******

Sementara itu, di tempat lain, dua orang gadis berbicara setengah berbisik sambil
tertawa-tawa kecil.

"Berapa kali kamu orgasme, Yin?" bisik Dani dengan mata berbinar.

"Wah, tak pernah aku menghitungnya!" sahut Karin sambil tertawa.

"Hati-hati, kamu bisa ketagihan, dan akhirnya tak ingin pulang ke ibukota!" sergah
Dani sambil mencubit gemas pinggang sepupunya.

Karin mencibirkan bibirnya, "Ketagihan?" tanyanya enteng, "Dia bukan lelaki satu-
satunya buat aku. Walaupun memang dia agak lain ..... " ucapannya mengambang.

"Lain bagaimana, Yin?" desak Dani tidak sabar, bergeser mendekatkan duduknya ke
Karin seakan ingin memastikan agar tak satu pun kata yang terlewatkan.

Karin tertawa melihat kepenasaran Dani, "Dia betul-betul liar ....you know what I
mean ?" katanya sambil mencuil hidung sepupunya.

Dani menggeleng, menopang dagu di tangannya, bertekad untuk mendengarkan kata-


demi-kata dari Karin. .... Liar, ya liar. Betul-betul liar itu seperti apa?
tanyanya dalam hati.

"Tanpa basa-basi .... tanpa sopan-santun!" jelas Karin sambil mengibaskan anak
rambut yang menutupi dahinya, "Dia menyukai tubuhku, dia ingin bercumbu, dan dia
melakukannya dengan bersemangat, tanpa ragu-ragu!"

Dani tersenyum samar. Sepengetahuan gadis ini, ada beberapa pemuda di ibukota yang
bisa digolongkan "betul-betul liar" seperti kategori si Karin. Tetapi pada umumnya
mereka menghiasi keliaran itu dengan gincu sopan-santun. Setidaknya, setahu
Dani,cowok ibukota siap berdandan habis-habisan sebelum mengajak bercumbu. Ada
semacam kesantunan, atau mungkin juga ketertiban.

"Aku suka lelaki seperti itu!" kata Karin lagi, "Aku suka kebebasannya dalam
melakukan apa yang dia suka ... tanpa berpikir panjang .... nekad .... berani
mati!"

Dani membayangkan Andi, bekas pacarnya setahun silam. Dia juga nekad dan
berpikiran pendek .... sayangnya juga bernafsu pendek, bisik hatinya sambil
tersenyum.

"Kadang-kadang aku ingin diperlakukan seperti itu, Dani," ucap Karin sambil
memeluk lututnya, "Aku bosan pada kepura-puraancowok-cowok di sekelilingku ....
pura-pura tidak berminat pada seks, padahal kalau kita tidak melihat, mata mereka
jelalatan."

Dani tertawa kecil. Memang Karin benar .... 100 persen benar .... tetapi apakah
dia juga menganggap Mardi (pacar "resmi" Karin di ibukota) seperticowok lainnya?
Apakah Karin cuma bersedia menjadi pacar Mardi karena Mercedessport warna merahnya?
Mengapa gadis ini bersedia ditiduri mandor perkebunan, padahal pacarnya itu punya
segala yang tidak dimiliki Iwan?

"Aku tak peduli dia cuma mandor!" sergah Karin seperti bisa membaca pikiran Dani,
"Lagipula, aku memang tak berminat pada pekerjaannya .... aku berminat pada
energinya yang menggebu."

Dani tertawa lagi. Pilihan-pilihan kata Karin terkadang menakjubkan. Dia


membandingkan 'pekerjaan' dengan 'energi', dan mengatakan lebih suka pada yang
kedua. Dalam percumbuan persebedanan, profesi seseorang tampaknya kehilangan makna.
Apalagi Karin memang mengejar kenikmatan yang selama ini tak pernah bisa dimonopoli
oleh profesi manapun. Boleh saja para penerbang punya mottopilots do it better ,
tetapi siapa yang bisa menjamin seorang pilot lebih jago dalam bercumbu katimbang
seorang kondektur bis kota? Siapa yang bisa menjamin seorang tukang sayur kalah
kemampuan bersebedannya dibanding seorang manajer bank?

"Iwan memangdon yuan asli, khas pria liar di tempat yang juga liar!" kata Karin
menyimpulkan deskripsinya tentang pria kekar yang telah memberikannya selusin lebih
orgasme itu.

"Kamu sedang tergila-gila, Yin!" sergah Dani, akhirnya bersuara juga setelah sejak
tadi jadi pendengar yang baik.

"Memang," jawab Karin enteng sambil turun dari sofa untuk meraih gelas minumannya,
"Aku masih mau lagi bercumbu dengannya .... sekali lagi!"

"Satu kali?" tanya Dani memastikan.


"Ya! Satu kali!" tegas Karin sambil meneguk minumannya, "Setelah itu
....goodbye !"

Dani mengernyitkan dahi. Entah kenapa, sekali ini dia meragukan ketegasan
sepupunya. Entah kenapa, sekali ini dia menduga akan ada kelanjutan yang tak
terencana dari semua petualangan gila-gilaan ini. Sesuatu yang mungkin agak
mengejutkan ..... Tetapi apa?

Pada suatu pagi di Kantor Administrasi Perkebunan ...

Ferry duduk terhenyak di kursi empuk kantornya; senyum tipis mengembang


tersembunyi di wajahnya. Pak Rustandi berdiri tegak dan sopan di depannya.
Tenggorokan lelaki tua yang telah bekerja sejak awal pembukaan perkebunan ini
terasa kering setelah berbicara 10 menit. Mungkin kalau yang disampaikannya tidak
terlalu penting, tenggorokannya tidak akan terasa terlalu kering. Tetapi apa yang
dilaporkannya kepada Ferry, manajer muda perkebunan ini, memang penting.

Tak hanya itu, tidak hanya penting, tetapi juga kontroversial. Sangat
kontroversial.

"Apakah Pak Rustandi pernah memergoki mereka?" tanya Ferry sambil mencakupkan
tangan di depan mulutnya, berpikir cepat tentang kemungkinan-kemungkinan. Juga
tentang kesempatan-kesempatan. Bahkan juga tentang ambisi-ambisi pribadi!

"Tidak secara langsung, Tuan Ferry," jawab Pak Rustandi setelah berdehem, "Tetapi
saya melihat mereka berjalan bersama dari arah sungai."

"Banyak orang jalan bersama dari arah sungai," kata Ferry, menguji seberapa jauh
kebenaran cerita kontroversial kepala penjaga di depannya ini.

"Mereka ... mereka .... bergandengan .... eeee .... bergandengan tangan ...," kata
Pak Rustandi terbata-bata.

"Banyak orang bergandengan tangan dan berjalan dari arah sungai ...," sela Ferry.

"Tapi, Tuan .... saya .... saya rasa ada sesuatu di antara mereka," kata Pak
Rustandi bersikeras.

"Kenapa bapak memiliki perasaan seperti itu? Apakah ada tanda-tanda tertentu?"
desak Ferry.

"Saya tidak .... saya belum ... punya bukti kuat.... Tetapi perasaan saya
mengatakan bahwa ada sesuatu di antara mereka. Lagipula, saya sering melihat cara
mereka berpandangan, dan saya menemukan sesuatu di pinggir sungai," kata Pak
Rustandi sambil menyeka peluh di mukanya.

Ferry mengernyitkan dahi. "Menemukan apa?"

Pak Rustandi mengambil sesuatu dari kantongnya dan menyerahkan kepada Ferry.

Ferry memeriksa apa yang kini ada di telapak tangannya: sebuah kotak kosong dari
karton, berwarna-warni mewah, dan bergambar sepasang manusia bercinta. Sebuah
tulisan kecil menyatakan apa yang terbungkus oleh karton itu. Ferry membaca
pelan ....lubricated condoms .

Ferry menghela nafas, "Ini mungkin saja ditinggalkan oleh orang lain, bukan
mereka."
"Seumur hidup di kota ini, saya belum pernah menemukan yang seperti itu, Tuan
Ferry," kata Pak Rustandi sambil menyeka lagi mukanya.

Ferry bergumam sambil membolak-balik benda di tangannya. Pikirannya dengan cepat


menyimpulkan, jika memang "ada apa-apa" di antara kedua orang itu, maka Ferry punya
sebuah rencana yang akan membawanya setingkat lebih tinggi daripada sekedar manajer
perkebunan. Ia telah lama mengimpikan kedudukan di kantor pusat, di metropolitan!

"Pak Rustandi mau menolong saya?" ucap Ferry sambil menatap tajam.

"Ya, Tuan, saya mau membantu," jawab Pak Rustandi cepat. Terbayang di kepala
lelaki tua ini, imbalan besar atas jasanya.

"Jangan katakan kepada siapa-siapa tentang yang kita bicarakan sekarang," ucap
Ferry pelan dan tegas, "Awasi mereka diam-diam, dan beritahu saya jika ada tanda-
tanda mereka akan berjumpa kembali."

"Mereka biasanya berjumpa pada jam makan siang, Tuan," kata Pak Rustandi
bersemangat. Pegawai ini juga membayangkan kenaikan pangkat!

"Setiap hari?" tanya Ferry.

"Ya."

"Mungkin besok juga?"

"Mungkin sekali, Tuan."

"Pak Rustandi awasi yang pria, saya akan mengawasi yang wanita."

"Baik, Tuan."

"Bagus! Nah, sekarang bapak boleh keluar."

"Terimakasih, Tuan. Permisi ...," pak Rustandi membungkuk dalam-dalam dan


membalikkan diri meninggalkan kantor.

*****

Siang keesokan harinya ....

Karin mendaki bukit kecil di sebelah selatan perkebunan itu dengan langkah santai.
Bahkan sambil bersiul-siul kecil, dan sesekali memetik dedaunan yang menjulur di
pinggir jalan setapak yang sedang dilaluinya. Jam baru menunjukkan 11.45 ... masih
ada sekitar 10 menit sebelumrendevouz -nya dengan Iwan di puncak bukit.

Wajah gadis kota yang kali ini memakai celana pendek khaki dan kaos ketat hijau
tua itu tampak cerah. Sebuah senyum terkadang terkembang tipis ... membayangkan apa
yang akan ia lakukan hari ini dengan lelaki yang sudah berhasil memikat tubuhnya
itu. Kadang Karin heran juga, mengapa keisengan yang dulu ia rencanakan cuma
berlangsung sekali itu kini berkepanjangan. Hati kecilnya mengatakan bahwa apa yang
ia lakukan kali ini agak berlebihan. Suara di kepalanya juga memberikan peringatan
tentang bahaya main api yang seperti ini ... Tetapi tubuhnya tidak bisa diajak
kompromi. Tubuhnya merindukan sentuhan-sentuhan liar yang terkadang kasar dari
lelaki kekar itu!

Karin tersenyum untuk kesekian kalinya. Ah, kali ini yang terakhir saja! sergah
hatinya. Aku harus kembali ke ibukota dan menulis laporan penelitian. Lagipula,
Iwan bukan tipe idealnya. Pegawai rendahan itu tidak mungkin bisa menjadi pacarnya
karena tidak punya sedan atau punya cukup uang saku untuk mengajak nontonmidnight
dan makan di restoran. Kali ini aku akan menikmati Iwan sepuasnya, bisik hatinya,
lalu mengatakan selamat tinggal. Kalau dia patah hati, itu urusannya sendiri!

Terakhir mereka bercumbu tiga hari yang lalu, di sebuah gubuk di pinggir sungai
tempat mereka biasa bertemu. Karin jadi ingin tertawa mengingat betapa gairah
mereka berdua telah membuat bangku kayu di gubuk itu patah. Waktu itu Karin minta
Iwan duduk di sana sementara ia mengangkangi lelaki yang menggairahkan itu, dan
mengendalikan persetubuhan mereka dari atas. Ia suka sekali dipangku seperti itu,
dengan kejantanan Iwan yang melesak tegak dalam-dalam di antara kedua pahanya yang
mulus dan penuh keringat. Ia suka sekali mencengkram bahu pemuda itu dan menaik-
turunkan tubuhnya yang di bagian atas masih lengkap berpakaian. Ia bahkan masih
memakai sepatu, dan Iwan masih berpakaian lengkap. Cuma resleting celana pria itu
saja yang terbuka untuk meloloskan kejantanannya.

Ah ..., Karin merasa mukanya menjadi hangat kalau ingat betapa ia mengerang-erang
keenakan karena setiap kali ia menurunkan tubuhnya, bagian paling sensitif dari
kewanitaannya membentur-bentur celana jean Iwan ... memberikan sentuhan-sentuhan
mantap yang membuat orgasmenya seperti berlipat ganda. Entah sudah berapa kali ia
menikmati orgasme, ketika pada suatu saat ia sedang menurunkan tubuhnya keras-keras
untuk mencapai puncak kenikmatan, kursi itu patah berderak dan mereka berdua
terhempas ke lantai tanah gubuk itu!

Karin tertawa kecil sambil memetik sebuah bunga liar di sebelah kanannya.
Langkahnya masih ringan dan perlahan.

Tawa kecil itu juga terdengar oleh seseorang yang diam-diam mengikutinya sekitar
10 langkah di belakang. Orang itu adalah Ferry, yang tadi telah diberitahu oleh Pak
Rustandi bahwa Karin sudah meninggalkan gua Jepang yang sedang ia teliti. Diam-
diam, Ferry sejak tadi mengikuti gadis itu dari kejauhan. Sebuah konspirasi telah
terjadi antara manajer muda ini dengan penjaga senior yang sama-sama membutuhkan
alasan untuk naik pangkat!

Ferry menghentikan langkahnya sejenak, memastikan agar gadis itu tidak tahu bahwa
ia sedang diikuti. Sementara Pak Rustandi bertugas menunda-nunda keberangkatan
Iwan, agar Ferry punya waktu untuk mencari tempat persembunyian. Di bahu manajer
itu tergantung sebuah tustel dilengkapi lensa panjang. Ia bermaksud mengambil
beberapa foto untuk dijadikan bukti. Lalu ia berencana mengirim foto itu .... ah,
mungkin membawanya sendiri ... ke ibukota untuk diadukan ke orang tua Karin yang
adalah pemilik perkebunan! Terbayang di benak manajer muda ini kedudukan empuk yang
akan ia tawarkan demi nama baik orang tua itu!

Setiap konspirasi memiliki risiko gagal, walaupun bervariasi dari satu konspirasi
ke konspirasi lainnya. Ada konspirasi yang begitu kecil risikonya sehingga
memberikan hasil maksimal bagi para konspirator. Ada konspirasi yang begitu besar
risikonya sehingga belum apa-apa sudah gagal terlaksana. Tergantung pula dari para
konspirator, terutama pada kesungguhan dan motivasi yang mendasari konspirasi
mereka. Seringkali sebuah konspirasi gagal karena salah satu atau kedua pihak yang
berkonspirasi menganggap bahwa segalanya berjalan lancar, sehingga cenderung kurang
hati-hati.

Konspirasi antara Ferry dan Pak Rustandi memiliki satu titik kelemahan.

Pada suatu sore yang diselingi gerimis, Pak Rustandi bercerita ke Bu Rustandi
sambil menyeruput kopi tubruk dan mengunyah singkong goreng di rumah mereka yang
sederhana. Mengapa lelaki itu harus "bernyanyi" tentang konspirasinya?

Sebab Pak Rustandi adalah tipe suami yang rajin memberi laporan kepada istri yang
telah menemaninya lebih dari 30 tahun itu. Sebab Pak Rustandi juga ingin segera
berbagi mimpi tentang kedudukan dan gaji yang lebih baik daripada sekadar anggota
satpam penjaga kebun. Ia tak sabar menahan rahasia yang ia janjikan ke Ferry, sang
manajer muda itu. Maka terbukalah peluang kegagalan konspirasi mereka.

"Apa betul begitu, Pakne!?" sergah Bu Rustandi sambil membetulkan kutang di balik
kebaya lusuh yang dikenakannya. Kedua matanya yang sudah mulai rabun itu
membelalak, seakan-akan ingin melihat muka suaminya sejelas mungkin.

"Betul, Bune!" sahut Pak Rustandi sambil mengangkat kakinya ke kursi sehingga
sarungnya merosot hingga pangkal paha, "Aku yakin kedua anak muda itu bercinta-
cintaan di kali!"

"Edan betul," kata Bu Rustandi, segera bersemangat karena mendapatkan gosip baru
yang menghebohkan, "Anak muda jaman sekarang memang edan-edan. Apalagi yang
perempuan itu, kan, anak ibukota. Pasti lebih edan lagi!"

"Wah, yaaa ... kalau yang laki tidak edan, yang perempuan juga tidak edantho,
Bune!" sela Pak Rustandi, merasa agak perlu membela "yang perempuan" karena
notabene gadis itu adalah anak juragan besarnya.

"Ah, jaman sekarang laki perempuan sama saja, Pakne!" ujar Bu Rustandi tak mau
kalah.

"Iya, ya ....," sahut Pak Rustandi setengah merenung, "Jaman kita dulu, mana ada
cinta-cintaan di kali!"

Bu Rustandi tertawa terkekeh, "Lha, aku saja masih perawan sampai dua bulan
setelah kawinsama Pakne!"

"Lhaa... itu karena Bune yang sempit kepripit,tho !??" sergah Pak Rustandi acuh
tak acuh.

Bu Rustandi tertawa gelak, "Apatho 'ke-pri-pit' itu, Pakne?"

"Ah, pura-pura tidak tahu!" sahut Pak Rustandi sambil mengibaskan tangannya dan
melanjutkan menyeruput kopinya.

Dan begitulah akhirnya Bu Rustandi tahu tentang kehebohan antara Iwan dan Karin.
Lalu, keesokan harinya ibu tua itu mencuci baju bersama selusin ibu-ibu lain di
pinggir sungai. Lalu, seperti tak sengaja, ibu itu menceritakan sepenggal cerita
yang diterimanya dari sang suami kepada salah seorang ibu peserta cuci-bersama
tersebut. Lalu, ibu yang menjadi penerima cerita sekunder itu bercerita lagi kepada
ibu yang lain ketika sedang berjalan pulang membawa cucian.

Sampai akhirnya, setelah matarantai demi matarantai gosip itu memanjang, seorang
ibu menerima cerita yang sudah berkali-kali diberi bumbu tambahan itu. Kebetulan
ibu ini bersuamikan salah seorang buruh yang aktif di serikat pekerja perkebunan.
Suaminya inilah yang membawa berita menghebohkan ke lingkungan serikat pekerja, dan
kepada sang ketua yang tak lain tak bukan adalah Iwan.

Tetapi berhubung Iwan adalah tokoh yang disegani di kalangan buruh perkebunan,
maka berita itu pun disampaikan secara pribadi serta dengan penuh hormat. Selain
itu, sebagai wujud solidaritas, para pekerja ikut melacak dari mana gerangan sumber
gosip yang menghebohkan itu.

Dalam waktu dua hari, Iwan dan para buruh perkebunan sudah tahu bahwa Pak Rustandi
lah awal dari segalanya.

******
Ferry memarkir motornya setelah tadi mengirim satu rol film ke ibukota, ke salah
seorang sahabatnya yang memiliki studio foto. Ia telah menginterlokal temannya itu
dari kantor telpon di M, dan mengabarkan maksud-tujuannya secara hati-hati. Ia
mengingatkan sahabatnya pula, bahwa kalau film itu gagal dicuci, maka segala
tujuannya akan gagal. Tentu saja ia belum tahu bahwa Pak Rustandi telah membuka
peluang kegagalan itu, dan ia sama sekali tak punya prasangka ketika melihat satpam
senior itu berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.

Ferry baru saja menaruh kunci motor di sakunya, ketika Pak Rustandi sampai di
depannya. Manajer muda itu membuka kacamata hitamnya dan segera terkejut melihat
wajah rekan konspirasinya. Sebuah lingkaran biru-hitam kemerahan terlihat jelas di
mata kiri Pak Rustandi. Sebuah lebam karena tinju!

"Mereka memukuli saya, Tuan Ferry!" seru Pak Rustandi terengah-engah sambil
memegangi pipi kanannya yang terlihat membengkak pula.

Ferry terkejut, "Siapa mereka?"

"Tiga orang buruh muda berbadan kekar!" sahut satpam itu sambil meringis.

Insting Ferry segera menyatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Cepat-cepat ia
menarik lengan Pak Rustandi untuk masuk ke kantornya sambil bertanya, "Kenapa
mereka memukuli bapak?"

"Tidak tahu, mereka tiba-tiba mengamuk!" sahut Pak Rustandi berbohong. Ketiga
buruh itu sempat bertanya-tanya tentang gosip Iwan-Karin sebelum memukulinya.

"Tidak mungkin mereka tiba-tiba mengamuk tanpa alasan!" sergah Ferry sambil
membuka lemari es kecil untuk mengambil es sebagai kompres sementara yang bisa
mengurangi rasa sakit di muka satpam malang itu.

"Mereka memang sering mengamuk, terutama buruh-buruh muda sering marah tanpa
alasan!" kata Pak Rustandi mempertahankan cerita bohongnya. Ia ingin membangun
simpati di manajer muda yang memang sering bertentangan dengan para buruh dalam
segala soal, mulai dari jam kerja sampai upah harian.

"Ya, mereka memang banyak menuntut!" sahut Ferry menyetujui, "Tetapi kenapa mereka
memukuli Pak Rustandi? Apa salah bapak?!"

"Tidak tahu, Tuan!" sahut Pak Rustandi sambil menerima sepotong es yang sudah
dibungkus saputangan, dan segera menempelkannya ke lebam di sekitar mata.

"Apakah bukan karena soal yang lain?" sergah Ferry, kali ini dengan nada
menyelidik.

"Tidak tahu, Tuan!" kata satpam itu mempertahankan diri. Ia kini sadar bahwa
kedudukannya agak terjepit. Kalau Ferry tahu bahwa mereka mengamuk karena gosip
tentang Iwan-Karin, maka tamatlah sudah hubungan konspirasi mereka.

"Apakah bukan karena persoalan pribadi?" desak Ferry sambil memutar telpon. Ini
urusan serius yang perlu dilaporkan ke kantor serikat buruh di kota kabupaten.

Pak Rustandi melihat Ferry memutar telpon, dan lelaki itu menjerit mencegah,
"Jangan telpon polisi atau yang lain, Tuan!"

Ferry menghentikan gerakan jarinya. Kedua matanya menatap tajam dan instingnya
semakin keras mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Pak Rustandi darinya.
"Kita selesaikan saja dulu persoalan ini secara baik-baik, Tuan," rengek Pak
Rustandi sambil meringis merasakan pedih di pipi dan mata kirinya.

"Baik-baik bagaimana?" umpat Ferry, tak sabar melihat tingkah satpam yangmencla-
mencle itu, "Bapak dipukuli sampai babak belur begitu, dan sekarang mengajak saya
menyelesaikan persoalan ini baik-baik. Bagaimana kalau buruh-buruh keparat itu
tidak mau diajak bicara baik-baik?"

Pak Rustandi meringis lagi. Selain sakit di mukanya, ia juga meringis mendengar
istilah "buruh keparat" yang digunakan Ferry. Biar bagaimana pun, buruh-buruh itu
adalah penduduk sekitar yang sebagian besarnya ia kenal sejak mereka masih anak-
anak.

"Kalau perlu kita selesaikan di pengadilan. Buruh-buruh itu perlu diberi


pelajaran!" hentak Ferry sambil melanjutkan memutar nomor telpon.

"Mohon dengarkan saya dulu, Tuan Ferry!" sergah Pak Rustandi dan dengan tangannya
yang legam terbakar matahari ia menahan gerakan tangan Ferry.

Ferry terkejut campur geram. Berani betul satpam ini menahan keputusanku? jeritnya
dalam hati.

Pak Rustandi tidak mempedulikan sinar mata marah Ferry yang terpancar tajam. Ia
memohon sekali lagi, "Ijinkan saya menceritakan kejadiannya, Tuan Ferry!"

Ferry menggebrak meja. Kemarahannya kini memuncak. Ia tidak suka kekuasaannya


diganggu gugat. Apalagi oleh buruh atau petugas rendahan semacam satpam di depannya
ini. Ia sudah bosan menghadapi orang-orang yang banyak menuntut dan menurutnya
pemalas serta bodoh itu.

"Bapak membuat saya muak!" jerit Ferry membuat Pak Rustandi terperangah.

"Sejak saya bekerja di sini, tujuan saya adalah menertibkan kalian!" sambung Ferry
dengan nada tinggi, "Kalian adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Kami memberi
pekerjaan yang baik dan gaji yang cukup. Tetapi kalian tetap malas dan kini bahkan
buruh-buruh itu bertindak ugal-ugalan. Saya tidak mau melihat ada yang ugal-ugalan
di daerah kekuasaan saya!"

Pak Rustandi terdiam dan membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara. Kata-kata
terakhir Ferry, terutama tentang "daerah kekuasaan" membuat lelaki tua ini merasa
sekaligus sedih bercampur geram. Bagiamana mungkin orang kota yang tidak lahir di
sini bisa mengakui bahwa tanah tempatnya bekerja adalah "daerah kekuasaan"-nya?

"Sekarang bapak diam saja di sini, sementara saya menelpon polisi dan serikat
buruh. Persoalan ini harus diselesaikan secara hukum!" lanjut Ferry sambil langsung
memutar nomor telepon.

Pak Rustandi menundukkan kepalanya, menekuri lantai kantor yang licin dan tampak
dingin. Menyesal sekali ia menceritakan gosip Iwan-Karin kepada istrinya. Tetapi
lebih menyesal lagi ketika ia kini tahu bahwa orang yang diajaknya berkonspirasi
untuk kedudukan dan gaji yang lebih baik ternyata seorang keparat pula. Seorang
yang dengan pongah mengklaim tanah leluhurnya sebagai daerah kekuasaan. Layaknya
seorang raja kecil saja dia! Seorang raja kecil yang berbakat zalim! sergah hati
lelaki tua ini dengan getir.

******

Sementara itu, di tengah kesibukan buruh yang mengangkati karung-karung cengkeh ke


atas truk, tiga orang buruh muda mendekati Iwan yang sedang berdiri mengawasi kerja
mereka.

"Kami sudah memberesi dia, Mas Iwan," ucap Gatot, seorang buruh muda yang jarang
memakai baju dan yang ototnya memang seperti Gatotkaca.

Iwan mengernyitkan dahi, "Memberesi siapa? Apa yang diberesi?"

Suadi, buruh muda yang lain dan yang bertubuh kerempeng tetapi liat, menyela
dengan suara bangga, "Satpam tua itu, Mas Iwan, kami sudah pukuli biar kapok!"

"Hah!?" Iwan membelalakkan mata ketika menyadari bahwa mereka sedang membicarakan
sang sumber gosip, "Kenapa kalian pukuli Pak Rustandi?"

"Biar kapok dia, Mas!" sergah Rodin, buruh lain yang tadi ikut meninju pipi Pak
Rustandi.

"Kalian sudah gila!" bentak Iwan, kini sepenuhnya sadar bahwa anak buahnya telah
melakukan langkah ilegal. Ia memang sudah memikirkan persoalan gosip yang
menyangkut dirinya, tetapi ia punya rencana lain yang tidak melibatkan tinju sama
sekali.

"Lho... kami cuma mau membela Mas Iwan!" sahut Gatot terkejut karena dibentak,
padahal tadinya berharap menerima pujian.

Iwan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, "Bukan begitu caranya! Kalian


memukuli orang yang tak bersalah!"

"Tetapi dia merusak nama baik Mas Iwan!" sahut Suadi membela diri. Seperti halnya
Gatot, buruh ceking ini juga berharap mendapat pujian dari pimpinannya.

"Kita harus menjaga martabat pekerja, Mas!" sambung Rodin bersemangat. Buruh muda
ini memang selalu bersemangat kalau sudah berkaitan dengan serikat pekerja
tempatnya bergabung bersama buruh lain.

"Ya ... ya... ya!" sahut Iwan jengkel, "Tetapi memukuli Pak Rustandi yang tua itu
sama dengan memukuli diri kalian sendiri. Dia juga anggota serikat pekerja, dungu!"

Gatot terbengong. Otaknya belum bisa menangkap logika Iwan. Baginya, seorang
semacam Pak Rustandi musti dihajar agar kapok. Suadi juga melongo, sadar bahwa
ucapan sang ketua yang cerdik ini memang benar. Rodin menggaruk kepalanya yang
terasa gatal.

"Sekarang urusannya jadi pelik!" kata Iwan dengan suara tinggi, membuat beberapa
buruh wanita menengok kearah mereka. Segera ia menurunkan nada suaranya dan
berkata, "Kalian tutup mulut, dan bekerja lagi. Biar saya urus persoalan ini dengan
Pak Rustandi!"

Gatot, Suadi dan Rodin membungkamkan protes yang sudah ada ditenggorokan mereka.
Kalau Iwan sudah berkata tegas begitu, tak ada yang perlu diprotes. Sambil menunduk
lesu, ketiga buruh muda itu kembali bekerja.

Iwan bergegas melangkah menuju markas satuan pengaman di sebelah kantornya. Ia


tidak melihat sebuah jip berisi tiga orang polisi memasuki halaman perkebunan dan
menuju kantor pusat.

******

Kino sedang asik membaca sebuah buku tentang misteri piramida di Mesir ketika di
pintu rumah muncul Karin dan Dani.
"Hei, apa kabar!" sapanya riang sambil bangkit dari kursi menuju pintu.

Dani melambaikan tangan dan tersenyum manis. Karin mengucap "halo" samar-samar
sambil berdiri kikuk. Ia dan Dani belum pernah datang ke rumah Kino.

"Ayo masuk!" seru Kino melangkah mendekat. Dani dan Karin saling pandang sejenak,
lalu melangkah masuk dengan ragu-ragu.

Kino menarik mundur dua kursi tamu dan melemparkan buku yang dibacanya secara
sembarangan.

"Ayo jangan malu-malu. Kaliantumbenmuncul!" kata Kino dengan riang untuk


mencairkan suasana. Sudah lama juga ia tidak bersua keduanya. Mungkin sudah dua
minggu lebih.

"Maaf, kami tidak bilang-bilang mau datang," kata Karin sambil mengambil tempat
duduk. Dani bergumam tidak jelas.

"Tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak punya teman!" sahut Kino terus terang
menyatakan kegembiraannya mendapat teman di siang yang sepi menjemukan ini. Ia
segera ikut duduk dan berbasa-basi menanyakan kabar kedua gadis cantik di depannya.

"Kami ingin menyampaikan kabar tentang Iwan," kata Karin dengan suara pelan. Kino
mengernyitkan dahinya. Mengapa harus berkata-kata dengan pelan dan serius begitu?
Biasanya gadis ini periang dan blak-blakan saja. Apalagi Dani juga terlihat
menunduk.

"Ada apa?" tanya Kino ketika Karin tidak melanjutkan ucapannya.

"Kamu belum mendengarnya?" Karin balik bertanya. Kino menggeleng.

"Iwan ditahan di kantor polisi," kata Dani karena Karin tidak terlihat hendak
berkata-kata.

Kino melongo, memandang kedua gadis di depannya secara bergantian. Ia memang telah
lama tidak bersua dengan Iwan, sejak terakhir berdebat tentang petualangan
cintanya. Kini salah satu gadis pasangan kencannya itu datang dengan berita
mengagetkan. Amboi, hidup ini penuh variasi, bukan!?

"Gara-gara saya ...," bisik Karin menunduk, seperti burung kecil yang basah kuyup
tersiram air hujan. Beda sekali dengan saat ia berteriak-teriak riang di sungai!

Kino masih melongo, mencoba mencerna segala berita singkat yang barusan
diterimanya. Segala sesuatunya masih membingungkan, walaupun ia sudah membuat
sebuah dugaan samar-samar. Apa yang ia dulu kuatirkan, tampaknya kini menjadi
kenyataan. Iwan dan Karin berbuat terlalu jauh, ... terlalu jauh untuk kota sekecil
ini. Lalu, kini polisi ikut campur.

Ketika akhirnya Karin dan Dani menceritakan secara ringkas duduk perkaranya,
barulah Kino bisa menghela nafas panjang. Ia tercenung sekian menit, lalu meminta
kedua gadis itu menunggu sejenak sementara ia berganti pakaian. Mereka bertiga akan
pergi ke kantor polisi menjenguk Iwan.

Tidak sembarangan orang bisa bertemu dengan seorang tahanan polisi. Bahkan
keluarga Iwan sendiri pun tak mudah bisa minta ijin bertemu pemuda itu. Apalagi
tiga anak muda yang tak punya hubungan apa-apa. Kantor polisi menjadi sebuah rumah
angker yang menyeramkan, dan para penjaga di sana semuanya bermuka dingin serta
berucap dengan suara tegas. Walau di depan mereka ada dua gadis cantik, pikiran
mereka terpaku pada satu rumus saja: polisi harus tampak tegas dan tidak
bolehmencla-mencle.

Ketika anak muda itu berdiri gontai di depan pos jaga. Kino sudah berkali-kali
membujuk salah satu petugas jaga, tetapi dia tak bergeming. Malah dia lalu
membentak keras sekali, mengancam akan mengurung mereka bertiga sekalian kalau
masih bersikeras ingin bertemu Iwan.

Iwan kini adalah properti -hak milik polisi, sama halnya dengan mesin tik tua di
kantor polisi itu. Sama dengan borgol yang tergantung di tembok itu. Sama dengan
pistol dan senapan laras panjang yang mereka minyaki dengan rajin setiap hari itu.
Iwan adalah barang yang perlu disimpan baik-baik, dijaga siang malam, tak boleh
tersentuh oleh tangan-tangan luar yang tak mengerti apa-apa. Apalagi anak-
anakingusan berpakaian rapi yang tampak kurang pengalaman ini.

Kantor polisi kini adalah wakil negara. Dan negara adalah sesuatu yang besar dan
sakral. Sesuatu yang melebihi manusia-manusia kecil itu, melebihi siapa pun di kota
kecil ini. Negara adalah raksasa perkasa yang boleh bertindak apa saja demi
ketertiban dan kemajuan semua orang. Tidak ada yang boleh melawan negara, karena
itu artinya melawan hukum yang telah tertulis lewat proses panjang di ibukota.
Melawan negara, seperti halnya Iwan, adalah perbuatan tercela sehingga perlu diberi
ganjaran tegas. Salah satunya adalah dengan mengurung Iwan, mengurung fisiknya
sekaligus bathinnya. Memisahkannya dari dunianya, dari orang-orang di sekitarnya.

Kino, Karin dan Dani akhirnya menyerah setelah tahu bahwa mereka tidak punya
pilihan lain selain pulang tanpa bertemu Iwan. Mereka melangkah lesu keluar dari
halaman kantor polisi. Karin menunduk sambil menggigit bibir bawahnya yang sudah
berkali-kali ia gigit sejak tadi. Dani merangkul lengan sepupunya, mencoba
memberikan penguatan. Kino melangkah agak lebih ke depan dengan pikiran bimbang.

Pada saat itulah masuk sebuah mobil milik perkebunan tempat Iwan bekerja. Di
dalamnya duduk Ferry dan seorang manajer lain, kalau tidak salah dari bagian
Hubungan Masyarakat.

Ferry melihat Karin dan Dani. Ia segera menghentikan mobil dan melompat turun.

"Nona Karin, .... sedang apa di sini?" sapanya dengan kaget.

Karin, Dani dan Kino menghentikan langkah. Mereka belum tahu persoalan konspirasi
antara Ferry dan Pak Rustandi, sebab itu mereka menyangka Ferry datang untuk
mengurus pembebasan Iwan. Atau setidaknya hendak menjenguk pemuda itu.

"Pak Ferry ingin menjenguk Iwan?" Karin balik bertanya dengan mata berbinar penuh
harapan.

"Eh ... saya ... saya ..," Ferry menjawab gugup sambil menengok ke dalam mobil, ke
arah manajer Humas yang diam saja.

"Boleh kami ikut menengok?" Dani menyerobot tanpa menunggu jawaban Ferry.

"Kami mengkuatirkan keadaaannya," Kino ikut menyela, "Kami cuma ingin bertemu
sebentar."

Ferry menggaruk kepalanya. Ia tidak menyangka persoalannya akan jadi rumit begini.
Ia belum bilang kepada siapa-siapa bahwa justru konspirasinya dengan Pak Rustandi
lah yang membuat Iwan masuk tahanan polisi. Justru dia lah yang mengadukan Iwan ke
polisi dengan tuduhan mendalangi gerakan buruh memberontak melawan perusahaan. Dia
juga bingung harus bersikap bagaimana kepada Karin yang notabene adalah anak
daribig boss -nya. Bingung karena foto-foto bukti skandal Karin dan Iwan masih
dalam perjalanan ke ibukota. Bingung karena sebetulnya ia tidak siap dengan
perkembangan cepat yang kini di luar kendalinya itu.

"Saya .... saya memang .... memang akan menjenguk ....," sahut Ferry gugup, dan
berkali-kali menengok ke arah manajer Humas yang masih diam saja.

Tentu saja manajer Humas diam saja, karena ia juga tidak tahu banyak tentang
konspirasi Ferry dengan Pak Rustandi. Ia tahu tentang skandal Iwan dan Karin yang
memicu pemukulan Pak Rustandi, dan justru itu pula lah yang membuatnya sungkan
berbicara. Buat apa ikut campur urusan anakbig boss , lebih baik bersikap aman
kalau memang ingin terus punya pekerjaan!

"Kalau begitu, tolong ajak kami masuk," rengek Karin sambil mencengkram lengan
Ferry dan mulai menggoyang-goyangkannya.

"Sebentar saja, Pak Ferry!" desak Dani sambil ikut mencengkram lengan yang satu
lagi. Bahkan Dani langsung menggoyang-goyang dengan keras.

Ferry tersenyum kikuk, menggaruk lagi kepalanya, lalu berkata lemah, "Baikllah,
mari ikut saya!"

Mereka lalu masuk kembali ke pos jaga, sementara manajer Humas memarkir mobil
kantor di bawah pohon.

Petugas jaga kini berubah sikap. Berhadapan dengan Ferry, para polisi itu kini
menjadi ramah. Sebab Ferry mewakili sebuah perusahaan besar. Sebuah sumber keuangan
bagi negara dan birokrasi dan juga polisi. Kalau saja para polisi tahu bahwa Karin
adalah anak pemilik perusahaan itu, pastilah tadi ketiga anak muda itu bisa masuk
dengan leluasa. Para polisi hanya tahu bahwa Ferry lah yang mewakili perusahaan
besar itu. Ferry lah yang harus dihormati, karena manajer muda itu punya hubungan
baik dengan kepala polisi. Hubungan baik yang mewakili hubungan negara dengan
perusahaan besar.

Ferry pula lah yang secara tidak langsung membawa Iwan ke dalam tahanan, karena
Ferry memberi cap "pemberontak" kepada Iwan sang pemimpin buruh. Kata "pemberontak"
itu adalah sesuatu yang sangat berarti, baik bagi negara maupun bagi perusahaan.
"Pemberontak" adalah sesautu yang berbahaya, yang mengancam keutuhan perusahaan,
dan dengan demikian mengancam sumber keuangan negara pula!

Ferry tidak banyak omong karena masih sibuk memikirkan strategi selanjutnya. Ia
cuma bilang ingin menengok Iwan dan menjamin bahwa ketika anak muda yang dibawanya
ada di bawah tanggungjawabnya. Ia tidak bilang bahwa Karin adalah anak pemilik
perkebunan, karena ia sudah mencium gelagat tidak baik jika polisi tahu tentang
fakta itu. Polisi bisa kalang kabut jika tahu bahwa urusan Iwan ternyata bukan
urusan perburuhan, melainkan urusan keluarga kaya itu!

Berlima mereka digiring masuk ke sebuah ruanganbezoek di dekat sederetan kamar


tahanan sementara. Ruangan itu tidak terlalu luas, dan hanya ada satu kursi panjang
serta satu kursi biasa. Karin dan Dani duduk di kursi panjang, sementara Kino,
Ferry dan manajer Humas berdiri saja menyandar ke tembok.

Tak berapa lama Iwan muncul dengan tangan diborgol, diiringi seorang polisi yang
kemudian membuka borgol itu dan menutup pintu ruanganbezoek .

Karin bangkit dari duduknya dan langsung memeluk Iwan.

Ferry berdiri kikuk. Manajer Humas membuang muka, memandang ke luar lewat jendela.
Dani menyusul Karin dan ikut memeluk Iwan, sementara Kino diam saja menyaksikan
adegan itu.
Iwan memandang Ferry dengan sorot mata tajam. Ferry membalas pandangan itu, tetapi
segera membuang muka setelah melihat sinar marah di mata pemuda itu. Tentu saja,
bagi Iwan manajer muda itu adalah musuh. Adalah lawan dari gerakan buruh yang
dipimpinnya. Adalah lawan yang kini sedang di atas angin, karena bisa
menjerumuskannya ke tahanan polisi lewat laporan yang didramatisir.

Kino melihat kedua lelaki itu berpandangan, dan ia mencium sesuatu yang tidak
beres.

"Saya akan melawan ...," desis Iwan, membuat Karin dan Dani terkejut.

"Saya akan menjelaskan ...," sahut Ferry, dan semua orang memandang ke arahnya,
kecuali manajer Humas.

Manajer Humas pelan-pelan berjalan menjauh, mendekati jendela. Ia tidak suka


urusan seperti ini. Ia tidak suka polisi, tidak suka Ferry, tidak suka Iwan, tidak
suka kepada semua yang bisa membuat kedudukannya tidak aman!

"Ada apa?" sergah Karin kebingungan melihat Iwan dan Ferry berhadapan seperti dua
koboi yang akan berduel.

"Saya akan menjelaskan," terdengar Ferry berkata lagi dengan nada yang jelas
terlihat berusaha ditenang-tenangkan.

"Tidak perlu penjelasan!" desis Iwan menahan geram, "Bapak sudah membuka
konfrontasi dengan kami!"

Karin mempererat pelukan ke lengan Iwan, pandangannya berpindah-pindah dari wajah


pemuda itu ke wajah Ferry. Kebingungan menyelimuti mukanya yang cantik. Dani pun
demikian.

Kino berjalan mendekat, berdiri di tengah-tengah antara Ferry dan Iwan. Ia kini
merasakan dengan jelas ketegangan telah terbangun di kamarbezoek ini. Ia kini
merasa harus ikut campur, tetapi terlebih dahulu ia harus tahu duduk persoalannya.
Tampak jelas bagi Kino, ini bukan urusan polisi. Ini urusan dua pribadi yang
membawa serta urusan kelompok. Urusan buruh melawan urusan majikan.

"Saya hanya menjalankan peraturan!" sergah Ferry, berdiri dengan kaki terpisah.
Persis seperti koboi yang siap menarik pistol dan menembak musuhnya.

"Peraturan yang cuma menguntungkan kalian!" bentak Iwan keras, membuat semua orang
terperanjat, termasuk manajer Humas yang sudah jauh berdiri di pojok ruangan.

"Tetapi tetap saja bernama peraturan!" balas Ferry, walau tidak sekeras lawan
bicaranya.

"Omong kosong!" bentak Iwan, tetap dengan suara keras, "Peraturan itu selalu
merugikan buat buruh. Peraturan itu selalu menjerumuskan kami ke polisi!"

"Kalau kalian tidak melanggar peraturan, mana mungkin kami mengadu ke polisi!"
sergah Ferry tak mau kalah.

"Tidak ada yang kami langgar. Semua itu cuma karangan kalian belaka!" teriak Iwan,
membuat Karin meringis dan Dani mengkerut.

Kino melangkah semakin mendekat, tetap berada di tengah kedua pihak yang
berseteru.
"Kalian memukuli Pak Rustandi, itu perbuatan kriminal!" sahut Ferry dengan muka
merah menahan geram. Ia memang sejak dulu geram jika harus berurusan dengan ketua
buruh ini.

Iwan bergerak sangat cepat. Satu tangannya merengkuh lepas pelukan Karin dan Dani
sekaligus, sementara tangan lainnya sudah melayangkan tinju ke muka Ferry. Tetapi
Kino lebih cepat lagi, dan satu sentimeter dari hidung Ferry, tinju Iwan berhenti
tertangkap oleh tangan Kino.

Kegemparan segera terjadi, Ferry cepat-cepat mundur ke arah pintu dan sebentar
kemudian ia sudah membuka pintu itu hendak memanggil petugas jaga.

"Tidak perlu!" hentak Kino, membuat Ferry menghentikan langkah. Siapa pemuda ini?

"Tidak perlu memangil petugas jaga," lanjut Kino dengan tenang sambil merangkul
bahu Iwan dan mengajak pemuda itu duduk di bangku panjang.

Ferry masuk kembali ke dalam ruangan, menutup pintu pelan-pelan. Manajer Humas
tidak bergeming di pojok ruangan, wajahnya risau dan kedua tangannya bersidekap
gelisah.

"Apa-apaan ini!?" jerit Karin tidak tahan melihat kekacauan yang terjadi. Mata
gadis itu membelalak marah, walau tak bisa menghapus keindahannya.

Ferry menggaruk-garuk kepalanya, dan bergumam tidak jelas.

"Pak Ferry tolong jelaskan!" seru Karin lagi, kini sambil bertolak pinggang
memperlihatkan ke-"asli"-annya. Bukankah ia adalah anak pemilik perkebunan tempat
Ferry bekerja.

Ferry duduk di kursi satu-satunya di ruangan itu, menekur dan menyandarkan kedua
sikunya di lutut. Ia lalu berkata pelan, "Saya yang melaporkan Iwan ke polisi."

"Saya tahu itu!" sergah Karin tidak sabar, masih bertolak pinggang di tengah
ruangan, dan kini menjadi penguasa baru di panggung drama kecil di kantor polisi
itu.

"Dia ditahan dengan tuduhan menggerakkan buruh memukuli Pak Rustandi," sambung
Ferry, masih dengan suara pelan.

Iwan menggeram, tetapi cengkraman tangan Kino di bahunya membuat pemuda itu tidak
jadi mengeluarkan pendapatnya.

"Saya tahu ada buruh memukuli Pak Rustandi!" sahut Karin dengan lantang, "Saya
tahu Pak Rustandi menyebar gosip tentang hubungan saya dengan Iwan. Tetapi apa
hubungannya ini dengan perusahaan?!"

"Nona Karin adalah pemilik perusahaan, jadi ....," Ferry tidak meneruskan kata-
katanya.

"So what!?" potong Karin dengan logat asing yang sangat bagus, "Saya bercinta
dengannya .... orang-orang mendengarnya dari pak tua itu .... lalu teman-temannya
Iwan marah ... lalu mereka memukuli si tua itu ....so what !?"

"Itu perbuatan kriminal, Nona Karin," kata Ferry, terkejut melihat mulut Karin
yang seksi itu berubah menjadi mitraliyur.

"Apa yang kriminal?" bentak Karin, "Apakah saya bercumbu dengan Iwan di sungai itu
perbuatan kriminal!?"
Ferry terperangah, dan menyahut gugup, "Bukan .... bukan itu !"

"Apakah teman-teman Iwan yang marah itu berbuat kriminal karena memukul pak tua
yang suka bergosip?!" bentak Karin tak memberi kesempatan.

Ferry kini terdesak. Tetapi ia perlu membela diri. Ia bangkit dari duduknya dan
berkata setenang mungkin, "Memukul seorang petugas keamanan adalah perbuatan
kriminal!"

"Petugas keamanan itu menyebar gosip!" bentak Karin.

Semua orang lainnya terbengong-bengong saja menyaksikan Ferry dan Karin saling
membentak. Cepat sekali Ferry bertukar lawan. Tadi ia berkelahi melawan Iwan, kini
melawan Karin. Manajer muda itu rupanya berbakat menjadisparring partner !

Iwan mengangkat kedua tangannya, "Saya cuma menjalankan tugas, Nona Karin ....
saya hanya menjalankan tugas!"

"Omong kosong!" desis Iwan, tidak cukup kuat untuk melibatkan dirinya dalam
perdebatan Karin versus Ferry.

"Saya minta Pak Ferry mengurus pembebasan Iwan!" hentak Karin.

Manajer Humas meringis diam-diam. Sejak tadi ia sudah tidak bisa lagi mengerti apa
yang terjadi di hadapannya. Kini ia ingin cepat-cepat keluar dari kantor keparat
ini. Usul Karin sangat masuk akal baginya! Lebih baik cepat-cepat mengeluarkan Iwan
dengan menarik tuntutan dan tuduhan, daripada berurusan dengan anakbig boss yang
suaranya lantang itu!

"Tetapi ...," Ferry menengok ke manajer Humas, meminta dukungannya. Tetapi yang
dipandang cuma angkat bahu.

"Kalau tidak, saya akan menelpon Papa sore ini juga!" ancam Karin, "Saya akan
bilang bahwa pacar saya ditahan di kantor polsisi, dan Pak Ferry yang
menjerumuskannya!"

Ferry menelan ludahnya yang terasa pahit. Kalau sampai Karin menelpon hari ini ke
ibukota, sementara foto-fotonya belum lagi dicetak, maka buyarlah sudah konspirasi
yang ia susun. Foto-foto itu bisa jadi bumerang, kalaubig boss menganggap bahwa
Ferry adalah manajer muda yang suka mengintip anaknya bercumbu dengan pacarnya.

Iwan terperangah mendengar ucapan Karin. Sejak kapan ia menjadi pacar gadis itu?

Dani menahan senyumnya dan di dalam hati memuji kecepatan berpikir sepupunya.

Kino juga menahan senyum. Semua kejadian di hadapannya ini terasa menggelikan
belaka. Bagaimana tidak? Sebuah urusan anak muda yang tidak bisa mengekang birahi
berkembang menjadi gosip. ..... Lalu gosip itu berkembang menjadi picu bagi sebuah
solidaritas antar buruh. ...... Lalu solidaritas itu menyinggung otoritas
perusahaan dan negara. ....... Lalu Iwan dan Karin masuk ke dalam lingkaran kusut
yang melibatkan perasaan sekaligus birahi.

Sekarang akan ada persoalan baru: betulkah Iwan adalah kekasih Karin? Seandainya
"ya" ... betulkah itu karena Karin tiba-tiba jatuh cinta. Seandainya "ya" ....
betapa anehnya cinta yang terucap di sebuah kantor polisi!

Kino tertawa dalam hati: Sebuah cinta yang terbentuk setelah polisi ikut campur!
Betapa anehnya!
*******

Iwan segera keluar dari tahanan polisi. Sebuah amplop dari perusahaan perkebunan
memperlancar segala urusan. Para polisi menepuk-nepuk bahu pemuda itu ketika ia
melangkah keluar dari tahanan. Segalanya lalu berjalan seperti biasa, seperti tidak
ada apa-apa. Pertentangan telah berubah menjadi musyawarah. Sekian tangan sudah
saling berjabatan. Kata-kata sopan sudah saling dipertukarkan. Segalanya kembali
seperti biasanya.

Walau tentu saja tidak begitu halnya bagi Iwan. Pemuda ini kini menyandang gelar
tidak enak: "bekas tahanan polisi".

Itu gelar yang tidak senonoh untuk seorang pemimpin buruh. Barangkali mudah
melupakan pengalaman buruk itu sebagai pribadi. Bahkan kedua orang tua Iwan pun
dengan mudah bisa menganggap pengalaman Iwan sebagai sebuah kenakalan biasa. Sebuah
kenakalan yang timbul karena anak-anak muda tidak bisa mengekang birahi dan gairah
mereka. Gampang saja menganggap bahwa kejadian yang menimpa Iwan adalah pelajaran
berharga baginya agar tidak mengulang kesalahan di kemudian hari.

Tetapi, "bekas tahanan" adalah seperti karat bagi besi. Seperti luntur di baju.
Seperti codet luka di dahi. Ia tidak mudah hilang, terutama bagi seorang pemimpin
dari sebuah kelompok yang juga sudah lama dikenai berbagai stigma. Sebuah kelompok
yang sejak lama dipandang penuh curiga. Sebab kelompok itu, para buruh itu, bisa
mengganggu jalannya roda industri penghasil uang dan devisa. Sebab kelompok itu,
para buruh itu, bisa menjadi penantang utama kekuasaan perusahaan yang mendatangkan
uang bagi negara.

Kalau sumber keuangan negara terancam oleh kelompok itu, maka kelompok itu adalah
ancaman bagi negara. Begitulah logikanya. Sangat sederhana dan masuk akal, bukan?

Maka Iwan kini ada dalam pengawasan negara. Mungkin tidak secara langsung, tetapi
lewat tangan-tangan negara yang panjang dan menjangkau diam-diam ke segala penjuru.
Lewat catatan-catatan di kantor polisi yang dilanjutkan ke kantor camat, lalu
diteruskan ke kantor lurah, ke para ketua RW dan akhirnya ke para ketua RT.

Diam-diam Iwan telah terpatri dalam memori raksasa perkasa yang bernama negara
itu.

******

"Terimakasih atas segala bantuanmu," bisik Iwan sambil merangkul pinggang Karin.

Kino dan Dani berdiri di kejauhan, berdampingan menyaksikan pasangan itu


berpelukan. Mereka menjemput Iwan di kantor polisi dan bermaksud mengantarkan
pemuda itu kembali ke rumah. Kedua orangtua Iwan tidak tahu proses pelepasan ini,
karena dua orang sederhana itu memang tidak pernah mengerti soal-soal hukum. Mereka
menyerahkan segala urusan Iwan ke Iwan sendiri, atau ke teman-temannya, atau ke
rekan-rekan buruhnya.

Rekan-rekan buruhnya tidak bisa ikut menjemput Iwan karena mereka harus bekerja.
Terlebih lagi, karena mereka tidak mau kehilangan upah, karena Ferry mengancam
barangsiapa yang menjemput Iwan ke kantor polisi akan dicatat namanya. Begitulah,
bagi Ferry perjuangan melawan solidaritas buruh harus terus berlanjut.

Maka hanya Karin, Dani dan Kino yang menjemput Iwan di halaman kantor polisi. Lalu
mereka pergi ke pinggir sungai merayakan pembebasan itu.

Kini Karin dan Iwan bisa melepas rindu. Sementara Kino dan Dani menyaksikan dari
kejauhan.

Lalu Dani berbisik, "Sebaiknya kita tinggalkan mereka ..."

Kino tersenyum maklum. Tanpa menjawab, ia membalikkan badan dan berjalan menjauh
mengiringi langkah Dani.

Langit cerah. Awan berarak. Angin sepoi basah.

"Tidak mungkin Karin jatuh cinta," kata Dani pelan ketika mereka sudah jauh.

"Kenapa kamu begitu yakin?" tanya Kino.

"Iwan bukan tipe pria kesukaannya," jawab Dani.

"Lalu pria apa yang disukainya?"

"Kaya ..., berkuasa ..., bermasa depan gemilang ...," kata Dani sambil tertawa
kecil.

"Tetapi ia membela Iwan mati-matian," sergah Kino.

"Itu cuma menyenangkannya sesaat. Ia suka petualangan yang menegangkan," sahut


Dani.

"Dia gadis yang hebat!" kata Kino sambil tertawa, diikuti tawa Dani yang tergelak.

******

Seminggu kemudian Karin dan Dani kembali ke ibukota.

Ferry dan Pak Rustandi tak lagi berbicara satu sama lain. Konspirasi mereka tak
lagi berlanjut, dan Ferry membatalkan pesan mencetak foto-foto percintaan Karin dan
Iwan. Tetapi ia tetap menyimpan filmnya, berharap bahwa suatu saat ia bisa
menggunakannya untuk keuntungan pribadi.

Kino bertemu Iwan di suatu senja. Segalanya tampak biasa. Mereka mengobrol ke sana
ke mari. Iwan tampak normal, seperti biasanya berbicara dengan penuh keyakinan.
Segalanya tampak kembali ke keadaan sebelumnya, ke saat-saat sebelum Karin mengusik
hidupnya. Seperti musim kembang, segalanya kini kembali ke masa sebelum putik
merekah. Ke masa saat daun-daun masih merajai pepohonan, karena produksi makanan di
tumbuh-tumbuhan itu sedang diarahkan untuk upaya pembuahan. Tidak ada lagi kembang
dan bunga. Mereka akan muncul lagi di musim yang berikut.

Mereka adalah kembang-kembang semusim.

"Dia gadis yang hebat ...," bisik Iwan di suatu saat.

Kino tersenyum. Menepuk bahu sahabatnya, ia berucap pelan, "Relax man !"

"Aku tidak jatuh cinta!" umpat Iwan, "Tetapi dia gadis yang hebat!"

"Siapa bilang kamu jatuh cinta?!" sahut Kino sambil tertawa.

"Jangan tertawa!" bentak Iwan.

Kino tertawa lebih keras lagi. Terbahak-bahak sampai air mata memenuhi kedua
matanya.

Ketika berlari menjauh dari kesunyian hati untuk menghampiri keramaian-keriuhan


dunia di antara julang-menjulang bukit dan gunung itulah, ketika bersua sesama
pendaki dan sesama mereka yang lari itulah, Kino berkenalan dengan Sang Troubadour.
Seorang pemuda gondrong yang belum pernah ia temui sebelumnya, dan yang tampaknya
cukup populer di kalangan pendaki lain. Ia sedang turun dari puncak, dan mampir
sebentar di perkemahan tempat Kino beristirahat. Gayanya sembarangan, tetapi
termasuk ramah untuk ukuran para pendaki yang biasanya acuh-tak-acuh..

"Suaramu boleh juga, cuma nyanyian mu tak punya ideologi!" ujar Obenk, begitu si
gondrong itu biasa dipanggil.

Kino terperangah. Baru berkenalan sudah mencecar dengan kritik setajam samurai.
Sial-dangkalan juga orang ini! gerutunya dalam hati.

"Memangnya kau ketua partai, ngomong soal ideologi segala!" sahut Kino tak kalah
acuh plus ketus, menimpali gaya si gondrong yang dekil tetapi sekaligus penuh gaya
itu.

Obenk tertawa, "He .. he .. he, aku memang ketua partai pengamen!"

"Mana pengikutmu?" cecar Kino sambil mengunyah ubi rebus yang kulitnya agak asin.

Obenk mengedarkan pandangan, "Tidak banyak, tetapi yang kurus ompong itu adalah
wakil ketua!"

Ganti Kino yang tertawa, "Ha ... pantas pengikutmu tak banyak. Mana ada anak buah
yang suka pimpinannya ompong!"

"Wah, kau belum kenal si Wempi rupanya!" sahut Obenk membela wakilnya, "Biar
ompong dia sangat populer di kalangan pengamen dan pendaki."

"Okay ... aku percaya," ujar Kino sambil menahan senyum, "Tetapi,ngomong-ngomong
kenapa kau tiba-tiba mengkritik nyanyianku?"

Obenk menghela nafas membawa masuk asap rokoknya, lalu terbatuk sebelum menjawab
serak, "Pilihan lagu-lagu mu tidak karuan. Terkadang cengeng, terkadang riang.
Tidak konsisten, dan tidak menyuarakan pendapat mu tentang dunia."

Kino terbelalak, "Ngomongapa kamu?"

Obenk terkekeh, "He ... he ... he ... begitulah kalau kau kurang bergaul dengan
kami dari Partai Pengamen."

Kino jadi penasaran, "Aku sering mendaki, tapi tak pernah mendengar partaibikin-
bikinan itu!"

Obenk mencibir dengan gayanya yang acuh tak acuh, "Salah mu sendiri, bergaul cuma
dengan kaum elit."

"Sialan kau!" sergah Kino, "Sekarang kau bilang teman-temanku orang elit. Salah
besar, bung!"

"Cuma pendaki elit yang tidak mengerti apa gunanya ideologi dalam lagu-lagu yang
dinyanyikan di sekitar api unggun," sahut Obenk kalem.

"Ah, kaungarang saja!" sergah Kino, tetapi hatinya penasaran.


"Sekarang aku tanya kau," kata Obenk serius sambil memperbaiki duduknya, "Untuk
apa kau menyanyi di atas gunung ini, padahal 99% isi dunia ada di bawah sana,
sebagian besarnya bahkan sedang tidur nyenyak. Untuk apa?"

Kino diam saja, sibuk mengunyah ubi, tetapi terutama sibuk mencari jawaban.

"Nah ..., kau sendiri tidak tahu, kan?" kata Obenk sambil menyeringai penuh
kemenangan, "Karena kau menyanyi tanpa ideologi."

"Ah, aku menyanyi apa yang kusukai. Terutama yang enak didengar," sahut Kino
berusaha memperlihatkan ketidakpedulian, padahal hatinya penasaran juga.

"Tetapi setiap lagu punya waktu dan tempatnya sendiri, bung!" sergah Obenk, "Tidak
semuanya cocok untuk semua orang."

"Ah, orang-orang suka mendengar aku bernyanyi!" sergah balik Kino.

Obenk tertawa keras sampai ludahnya muncrat ke mana-mana, "Mereka tidak mendengar
lagumu, bung. Mereka menonton keluguan dan ke-sukarela-an .... mumpung kau tidak
meminta bayaran untuk setiap nyanyian!"

Kino terperangah, "Maksudmu, ... aku harus meminta bayaran untuk setiap lagu.
Seperti kalian ... pengamen?!"

Obenk tertawa lagi, mengangguk-angguk sehingga rambutnya yang berantakan itu


tambah berantakan saja, "Ya .. ya .., kau harus mulai meminta imbalan bagi setiap
lagu-lagumu!"

"Mata duitan, begitu?!" sergah Kino.

"Duit?" Obenk balas bertanya, "Siapa yang bicara tentang duit?"

"Kau bilang ... 'minta bayaran' ... berarti duit, bukan!?"

"Kalau begitu, kau yang mata duitan!"

"Lalu, kalau bukan duit ... apa?!" desak Kino sambil membuang kulit ubi ke sebuah
pojok perkemahan yang memang disediakan untuk tempat sampah.

Obenk menopangkan belakang kepalanya di kedua tangan, lalu menyender santai ke


batu di belakangnya, sambil berkata kalem, "Kau bisa minta bayaran berupa dukungan
moral .... atau loyalitas ... atau persetujuan .... atau sekedar tepukan di bahu!"

Kino mengernyitkan keningnya. Biar dekil dan bertingkah-laku sembarangan, ternyata


si Obenk ini bisangoceh juga rupanya! sergahnya dalam hati.

Lalu Obenk menawarkan sesuatu yang membuat Kino langsung tertarik, "Mau ikut kami
mengamen ke kampung-kampung di kaki gunung?"

"Mengamen?" tanya Kino sambil melongo.

Obenk tertawa, "Ya ... mengamen .... keliling kampung sambil menyanyi ke orang-
orang sederhana yang pada umumnya miskin. Maunggak ?!"

"Aku .... belum pernah ...," jawab Kino ragu-ragu, tetapi itu sudah menunjukkan
minatnya.

"Ayolah ... suara mu bagus, dan kau mengerti cara menyanyi dengan gitar yang
baik!" desak Obenk.
"Sekarang?" tanya Kino, teringat bahwa ia berniat mendaki, bukan mengamen.

"Kami tunggu kau di kedai Pak Ujang di bawah," jawab Obenk sambil lebih merebahkan
tubuhnya, bersiap tidur.

Kino terdiam sejenak. Menimbang-nimbang. Besok dan lusa ia tidak punya jadwal
mengajar di tempat kursus. Mungkin ada baiknya aku telpon ibu semang untuk
memberitahu bahwa ia mungkin tidak pulang segera.

"Oke ... tunggu aku," jawab Kino, tetapi Obenk tampak sudah memejamkan mata dan
bersiap berangkat ke alam mimpi.

Kino bangkit dan menuju kemahnya untuk menyiapkan diri. Hari sudah mendekati
tengah malam, dan ia harus berkemas untuk mulai mendaki. Beberapa pendaki lain juga
tampak sudah sibuk menggendong ransel-ransel mereka. Serombongan anak-anak SMA yang
tampaknya baru sekali mendaki, tampak ekstra sibuk dan jelas sekali terlalu
antusias sehingga seakan lupa bahwa perjalanan mendaki bukanlah sesuatu yang
enteng.

Kino menitipkan tendanya ke "lurah" perkemahan, seorang senior pendaki yang ia


kenal sejak dulu pertamakali mendaki Salak empat tahun silam. Lalu, sendirian, Kino
mulai melangkahkan kakinya dengan mantap menuju puncak. Entah kenapa, hatinya
merasa lega sekali .... lapang dan penuh gairah .... membuat langkah-langkahnya
serba menjejak kokoh ke bumi basah. Setelah mengatur nafas dengan berjalan lambat
selama 10 menit, Kino mulai mempercepat jalannya, menggunakan seluruh kekuatannya
untuk mendaki. Terkadang, ia memotong jalan, tidak mengikuti jalur umum yang sudah
tersedia. Tentu saja, tidak semua pendaki bisa dan boleh melakukan ini. Salah-
salah, seorang pendaki bisa tersesat, seperti yang dulu pernah dialami dua anak
tanggung. Mereka hilang tertelan rimba selama seminggu, tetapi beruntung bisa
diselamatkan tim SAR sebelum jadi bangkai. Namun, setahun lalu ada seorang pendaki
yang tidak begitu beruntung. Mayatnya ditemukan tergeletak di dasar jurang sempit.

Kino menggunakan pengetahuan dan pengalamannya yang cukup lama sebagai pendaki
untuk mempercepat perjalanannya ke puncak. Ia juga sedang mengukur, seberapa
sehatkah dirinya sekarang. Sebab, sejak di B sebelum berangkat ia sudah punya
rencana untuk lebih sering mendaki. Apalagi sekarang ia dapat teman baru yang cukup
menarik, ... si Obenk itu ... Sang Troubadour.

Mungkin ia memang harus lari sejenak dari kesibukan kota B yang ternyata sunyi
itu. Mungkin ia memang sejenak harus merenung sendirian .... walau pun sebenarnya
ia baru saja tiba kembali di kota yang penuh kenangan itu.

Dengan perasaan agak getir, Kino menyadari bahwa ia memang sedang tidak ada di
mana-mana. Tidak di kota kelahirannya, tidak di B, tidak di gunung yang sedang
didakinya ini. Ia sedang melalang-buana sendirian. Tetapi, selain getir, Kino juga
lega karena kini ia setidaknya punya kesempatan untuk mengenali dirinya sendiri.
Sudah lama ia tidak melakukan itu. Sudah lama ia tidak berupaya memahami dirinya
sendiri, karena memperhatikan orang lain.

Sambil berharap hari akan cerah di puncak sana, Kino menguatkan hati, meneruskan
langkah-langkahnya yang bergegas.

******

Kino tiba di puncak jauh sebelum fajar. Belum banyak orang di puncak yang penuh
semak eidelweis memutih suci lembut mengalun. Kabut tipis melingkupi sebagian
puncak, karena ini memang musim kabut. Tetapi melihat langit yang mulai terang,
Kino menduga pagi akan datang membawa fajar cerah. Pemuda itu mengucapkan syukur,
karena ia mungkin akan segera berhadapan lagi dengan bola besar merah-kuning yang
hangat itu, memandangnya naik ke tahta dengan segala kemegahan dan keindahannya.

Ia meneruskan langkah menuju sebuah pojok yang ia tahu adalah tempat terbaik untuk
memandang matahari terbit. Berhati-hati karena wilayah puncak adalah dataran
berpasir yang licin, Kino akhirnya tiba di tempat itu dengan nafas terengah-engah.
Ia meletakkan ranselnya dan duduk melipat kaki seperti orang yang akan bersemadi.
Lalu pemuda itu mengatur nafas dan menikmati kesegaran yang perlahan-lahan
menghapus penatnya.

Dengan ransel sebagai sandaran, Kino akhirnya benar-benar beristirahat sambil


memejamkan mata.

Ia baru membuka matanya lagi setelah sinar merah mulai membersit di kaki langit di
bawah sana. Juga setelah suara para pendaki lain mulai bermunculan. Sambil menguap
dan merentangkan tangannya lebar-lebar, Kino bersiap menyaksikan sang mentari.

Bersama selusin pendaki dan serombongan anak SMA yang ributnya bukan main, Kino
menikmati tontonan sajian Sang Kuasa. Berkali-kali pemuda itu memuji keindahan dan
kemegahan di hadapannya. Beruntung sekali ia masih diijinkan hidup untuk
menyaksikan dan mengakui keagungan seperti ini. Kino merasa hidupnya penuh berkah.
Belum pernah ia merasa seperti ini sebelumnya, walau ia tahu bahwa pendakian dan
pertemuan dengan alam lepas biasanya memang religius.

******

Kino berada di puncak sepanjang hari, lebih banyak tidur disleeping bag di sebuah
pojok yang cukup tersembunyi dari keriuh-rendahan puncak gunung yang kini
menyerupai pasar minggu itu. Untuk sekedar sopan-santun, ia sudah bercakap-cakap
dengan beberapa pendaki dan beberapa anggota rombongan SMA yang cerewet. Tetapi
setelah itu ia diam-diam menghilang, dan meringkuk tidur sendirian.

Setelah menyantap makan siangnya yang cuma terdiri dari dendeng dan singkong rebus
yang sudah dingin, Kino kembali meringkuk di kantong tidurnya. Tetapi ia tidak lagi
mengantuk. Maka dikeluarkannya buku yang sengaja ia bawa untuk saat-saat seperti
ini. Tanpa terganggu oleh keadaan sekeliling yang semakin lama semakin ramai, Kino
mulai membacaThe Animal Farm karya Orwell itu dalam bahasa Inggris yang sudah
disederhanakan. Kino sengaja membawa buku ini untuk sekedar menambah perbendaharaan
katanya.

Sepanjang hari ia menikmati buku itu tanpa gangguan. Kecuali oleh beberapa tegur
sapa basa basi dari beberapa pendaki yang ia kenal. Juga ada dua anak SMA, laki dan
perempuan, yang menghampiri dan mencoba mengajak bercakap-cakap. Tetapi Kino
terlalu enggan meladeni mereka, dan setelah beberapa saat pasangan itu pamit entah
ke mana.

Menjelang sore, akhirnya Kino merasa sudah cukup lama berada di puncak. Ia segera
bersiap dan tak lama kemudian mulai melangkah turun gunung. Setelah mampir sebentar
dibase camp untuk membongkar dan merapikan tenda, Kino langsung pulang.

******

Sebelum menuju kedai Pak Ujang di kaki gunung, Kino menyempatkan diri menuju
kantor kepala desa yang sudah ia kenal baik. Di situ ia meminjam telepon untuk
mengontak ibu semangnya.

"Bu, saya masih di Salak," kata Kino di telepon, "Mungkin baru pulang lusa."

"Duh .. nak Kino," sahut ibu semangnya penuh nada kuatir, "Apakah kamu sudah
benar-benar sembuh?"

Kino tertawa kecil, "Sudah,Bu ...... Saya sudah ke dokter untuk memeriksakan
kesehatan. Katanya, saya sudah cukup sehat untuk mendaki."

"Tetapi,mbok ya jangan diforsir," ucap ibu semang itu masih kuatir.

"Terimakasih atas peringatannya,Bu. Tetapi, percayalah, ..... saya akan sangat


hati-hati dan tahu diri," jawab Kino untuk menenangkan perempuan tua itu. Penting
baginya untuk membuat ibu itu tenang, karena kalau tidak ia akan menelpon ke
orangtua Kino menyampaikan kekuatirannya. Kino tak ingin itu terjadi.

Setelah menelpon dan meninggalkan dua lembar uang sekedar pengganti biaya telepon
yang diterima pak kepala desa sambil pura-pura menolak, Kino menuju kedai Pak Ujang
di seberang jalan.

Kedai itu adalah tempat paling populer untuk para pendaki yang inginrendevouz
sebelum maupun sesudah pendakian. Selain makanan dan minumannya murah, kedai itu
juga menyediakan beberapa perlengkapan pendakian sederhana. Putri-putri pak Ujang
juga menjadi daya tarik tersendiri. Mereka cantik, ramah, dan punya pengetahuan
cukup luas tentang pendakian.

Kino segera menuju ruang belakang kedai dan menemui Obenk dan Wempi di sana.

"Mau istirahat dulu, atau langsung berangkat?" tanya Obenk tanpa basa-basi.

"Makan malam dan minum kopi dulu," sahut Kino sambil meletakkan ranselnya di
lantai.

"Oke," kata Obenk sambil melanjutkan menonton televisi hitam-putih.

Nunik, putri tertua pak Ujang, muncul di pintu menyapa Kino dan menawarkan makan
malam. Kino membalas sapanya sambil menggoda "makincakep saja kamu, Nik!" ... lalu
meminta nasi goreng dan kopi tubruk ... yang disahuti Ninuk dengan senyum kenes
sambil balas menggoda "kamu juga makincakep ".

Wempi menimpali dengan, "Jangan coba-coba menyentuh Nunik, kecuali kalau mau
disabet golok pak Ujang."

Nunik mencibir, "Wempi mengada-ada saja. Bapakngga pernah bawa golok!"

"Kalau begitu, mungkin ia menyembunyikan pistol di balik sarungnya?" goda Wempi.

Kino dan Nunik tertawa lebar, mengerti apa yang dimaksud Wempi.

******

Pukul 8 malam, Kino sudah ada di boncengan motor butut milik Obenk, sementara
Wempi membonceng Ganda, seorang anggota pengamen lain yang bertugas
menabuhtambourin . Berempat mereka menembus malam, menuju sebuah desa yang sedang
mengadakan hajatan kecil.

Setelah kurang lebih setengah jam naik motor menembus malam dingin, mereka
berempat tiba di balai desa kecil. Sudah banyak orang berkumpul di sana, dan sebuah
panggung sederhana diterangi empat lampu neon berdiri di tengah kerumunan. Di atas
panggung sedang ada tari-tarian tradisional yang disajikan oleh murid-murid sekolah
dasar. Janur dan dedaunan menjadi penghias panggung, selain beberapa bendera merah-
putih yang sudah agak lusuh.
Obenk memarkir motornya agak jauh dari panggung, dekat sebuah warung yang tutup.
Kino belum sempat bertanya, pemimpin Partai Pengamen itu sudah berucap, "Itu
panggung tempat kita manggung."

"Kita?" sergah Kino terperanjat, "Termasuk aku?"

"Ya," jawab Obenk acuh-tak acuh sambil memanggul gitar yang tadi dipegangi Kino di
boncengan.

"Hei!" sergah Kino tambah terperanjat, "Aku tak tahu akan main di panggung.
Lagipula, apa lagunya?"

Obenk seperti tak peduli, mulai melangkah menuju panggung. Katanya, "Nanti aku
berikan catatan lagunya, lengkap denganchord gitar. Kau pasti bisa mengiringi
kami."

Kino mengejar langkah Obenk, mengomel, "Sialan kau! Bagaimana aku bisa main tanpa
latihan!"

Wempi dan Ganda tertawa melihat kerisauan Kino dan pemuda itu jadi tambah risau.

"Kalian mau menjebakku atau apa,nih ?!" sergah Kino sambil mengiringi langkah
ketiga 'penculik'-nya.

Wempi yang menyahut, "Tenang sajalah, ... lagu-lagu kami sederhana dan masuk
akal."

"Gila kalian!" sergah Kino merasa heran melihat ketenangan dan ketidakpedulian
para penculiknya.

Obenk tertawa terkekeh. Pemuda itu sudah jauh di depan. Biar pun kerempeng,
langkahnya ternyata lebar dan cepat pula. Tiba-tiba Kino menyesal melayani kegilaan
pemuda yang baru dikenalnya itu. Jantungnya berdegup kencang, dan selain menyesal
ternyata diam-diam Kino juga merasa tertantang untuk mencoba sesuatu yang baru!

Tantangan yang datang tanpa terduga seperti ini terkadang mengasyikkan juga!!

Kelompok Obenk, Wempi dan Ganda menyanyikan lagu-lagucountry karangan mereka


sendiri. Kino yang "terjebak" dalam konspirasi mereka, tidak bisa menolak ketika
akhirnya ia harus tampil di panggung memegang gitar. Di depannya, lirik danchord
lagu terpampang. Sebelumnya, di belakang panggung, Obenk menyanyikan lagu-lagunya
agar Kino bisa mengikuti. Memang, lagu-lagu itu sederhana dan pada umumnya hanya
memakai empat kunci nada saja.Rythm and beat - nya pun cukup akrab bagi Kino yang
memang suka lagu-lagu John Denver atau the Eagle. Melodinya cukup bervariasi,
tetapi karena tidak memegang melodi, ia tak perlu terlalu risau.

Yang menakjubkan Kino adalah lirik-lirik lagu itu. Setelah mendengar Obenk
bernyanyi, barulah Kino paham apa yang pemuda ceking gondrong itu maksudkan dengan
"ideologi" dalam lagu-lagu mereka. Misalnya, lirik ini:

Tanah subur, coklat basah / Kita tanam, sayuran tumbuh / Buah-buahan segar, ternak
sehat / Tetapi siapa punya?
Peluh petani, cangkul tua / Nasi putih, hanya bergaram / Letih kerja, untuk tanah
coklat / Tetapi siapa punya?
Mari, mari, mari bertanya / Tanah ini siapa yang punya / Mengapa bukan punya kita?

Terus terang, Kino bukan tipe pemuda yang mengikuti perkembangan politik secara
sungguh-sungguh, tetapi sekali baca ia sudah bisa mengetahui arah "ideologi" Obenk
dan kawan-kawannya. Lirik-lirik mereka bicara tentang tanah, buruh, kemiskinan, dan
ketidak-adilan. Ini ideologi kiri! sergah Kino dalam hati. Ia pernah membaca
sepintas bahwa kelompok beraliran kiri, atau marxisme, mengedepankan masalah-
masalah tersebut dalam propaganda mereka. Konon, kalangan buruh dan tani adalah
kalangan yang akan mendapatkan keadilan dari tegaknya ideologi kiri ini. Celaka,
pikir Kino, aku masuk ke kalangan yang sampai saat ini tergolong "terlarang"!

Setelah empat lagu yang disambut gempita para penonton, kelompok Obenk mendapat
kesempatan beristirahat di belakang panggung. Segera Kino mengajak Obenk menepi
dari kerumunan pemain lainnya.

"Kelompok apa ini, Obenk?!" hardik Kino sambil mencekal pergelangan si gondrong.

Dengan tersenyum kalem, Obenk menjawab, "Sudah aku katakan, ini Partai Pengamen.
Pembela petani dan buruh."

"Kelompok komunis!" sergah Kino setengah berbisik, "Kalian kelompok komunis,


bukan!?"

Masih tersenyum, Obenk balas berbisik, "Kelompok komunis tidak boleh ada di negeri
ini, bung!"

"Lalu kenapa lagu-lagu kalian berisi lirik tentang buruh, tanah, petani miskin dan
yang semacamnya!" desak Kino.

"Lho, ... tidak ada salahnya, bukan?!" sahut Obenk sambil menarik tangannya dari
cekalan Kino.

"Tetapi itu artinya kalian komunis!" sergah Kino, melepaskan cekalannya.

"Ah ..., kau terlalu banyak baca buku!" balas Obenk menghardik, lalu duduk di
bangku kayu sambil mengeluarkan sebungkus rokok.

Kino ikut duduk, penasaran dengan tingkah Obenk yang acuh-tak-acuh. "Aku tidak mau
ikut-ikutan kelompok terlarang!" katanya sambil menerima tawaran sebatang rokok.

"Siapa bilang kelompok ini adalah kelompok terlarang!" hardik Obenk sambil
menyalakan korek gas dan menawarkan apinya ke Kino, "Lihat itu di depan panggung,
ada Pak Lurah dan para pejabat desa lainnya. Mana mungkin kami bisa main di sini,
kalau terlarang."

Kino terperangah, mengakui bahwa apa yang dikatakan Obenk adalah benar belaka.
Mereka main di atas panggung "resmi", dalam sebuah acara yang juga formal, karena
tadi dibuka oleh Pak Lurah dengan sambutan segala.

"Dengar, Kino ....," kata Obenk sambil menghisap rokoknya dengan nikmat, "Aku
tidak akan memaksamu ikut bersama kami. Ini cuma tawaran pertama. Kau boleh pulang
setelah acara ini usai, dan tidak usah bertemu kami lagi. Tetapi, terus terang,
kami memerlukan pemain gitar. Kalau kau suka, silakan tetap bergabung. Kalau tidak
suka ....."

Obenk tidak melanjutkan kalimatnya, dan Kino tidak begitu menyukai nada ultimatum
di ucapan teman barunya itu. Ia mencoba membantah, walau hatinya ragu, "Tetapi
kalian seperti menjebakku. Aku tidak tahu bahwa kalian akan bernyanyi di panggung.
Tidak tahu bahwa kalian punya tujuan-tujuan khusus tentang buruh atau petani
miskin!"

Obenk tertawa pelan, "Lalu, setelah kini kau tahu maksud kami ... kau menyesal
atau senang?!"
Kino menggerutu, tetapi tidak bisa menjawab pertanyaan Obenk. Dalam hati, ia
memarahi dirinya sendiri, karena ternyata ia cukup terpikat oleh apa yang dilakukan
Obenk dan kawan-kawannya. Ia tidak terlalu terpikat oleh "ideologi" mereka, tetapi
tertarik oleh semangat mereka bermain di atas panggung. Terlebih-lebih lagi, tanpa
terduga sebelumnya, Kino juga menyadari bahwa bermain untuk orang-orang sederhana
di desa kecil seperti ini justru mengingatkan dirinya kembali ke asal muasal.
Bukankah ia adalah orang desa juga. Bukankah kedatangannya ke kota besar semacam B
hanyalah satu bagian kecil saja dari kehidupannya. Sebagian besar hidupnya ada di
desa nun jauh di sana!

Obenk menepuk bahu Kino, mengetahui bahwa pemuda di sebelahnya ini sudah masuk
dalam jerat yang sengaja ia pasang sejak pertama bertemu di gunung. Obenk tahu,
pemuda ini punya bakat tampil di depan umum, dan punya perilaku yang tidak jauh
berbeda dengan dirinya. Suka berkelana, dan suka pada alam bebas.

"Tenang saja, lah, No!" ucap Obenk seperti orangtua menenangkan anaknya yang risau
menghadapi ujian sekolah, "Mari kita mainkan lima atau enam lagu tambahan, lalu
kita minum-minum menghabiskan malam!"

Kino menggerutu lagi, tetapi tak pernah bisa membantah ajakan itu. Ia pun ikut
naik panggung lagi pada babak kedua, dan dengan bersemangat mengiringi Obenk
menyanyi. Dua di antara enam lagu yang mereka nyanyikan menyelipkan nada-nada
dangdut, sehingga para penonton di bagian depan ikut berjoget bersuka-ria. Sejenak,
Kino lupa mempersoalkan lirik-lirik lagu yang dilantunkan Obenk dan kawan-kawan. Ia
terhanyut dalam keriangan dan keceriaan yang terbangkit oleh setiap lagu mereka.
Tak sedikit pun ia ingin mempertanyakan lagi, apa maksud kalimat seperti
....ganyang mereka yang menghisap madu / dari tanah subur tercinta ini ....
atau .....kemana kita kan mengadu / tenang perilaku tamak itu ..... atau .....mari
bersatu padu / mengalahkan raksasa gendut / tuan tanah bukan teman kita.

******

Lepas tengah malam, ketika jarum jam menunjukkan hampir pukul satu pagi, barulah
seluruh acara usai. Kelompok Obenk beserta Kino mendapat ucapan terimakasih dari
Pak Lurah yang kelihatannya masih sangat muda itu (padahal katanya usianya sudah
43). Kemudian terlihat seseorang memberikan sebuah amplop ke Obenk yang segera
dikantongi oleh pemuda itu.

Penonton pun sudah bubar satu per satu. Panitia sudah berkemas-kemas pula. Kino
sedang menimbang-nimbang, ke mana akan pulang setelah ini, ketika dua orang gadis
datang mendekat.

"Kerenbetul lagu-lagunya!" kata salah seorang di antara mereka yang bercelana


ketat dan memakai jaket parasut warna merah menyala.

Obenk menengok dan segera berseru, "Halo, Andang! ... aduuh, sampai lupa mampir
karena kami tadi terlambat!"

Gadis yang dipanggil Andang itu mencibir, "Ah, ... kamu selalu lupa mampir,
padahal janjinya akan datang satu jam sebelum acara!"

Obenk menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong, "Bukan begitu! ... Kami harus
menunggu teman baru kami," katanya, lalu menengok ke arah Kino, "Ini, pemain gitar
kami yang baru!"

Kino agak terkejut mendengar namanya disebut, dan segera menyambut tangan Andang
yang sudah terulur.

"Kino, ini Andang .... Andang, ini Kino," kata Obenk yang berdiri di tengah-
tengah, "Andang adalah pemilik rumah tempat kita akan menginap malam ini. Kino
adalah pemain baru di kelompok kami!"

Andang tersenyum, dan Kino melihat sebuah lesung pipit terbit di pipi kanannya,
"Bagus sekali main gitarnya!" katanya.

"Ah ... biasa saja!" sahut Kino tersipu, "Terimakasih."

Obenk menarik lengan gadis yang satu lagi, "Sini ... Onie! Perkenalkan teman baru
kami."

Gadis yang dipanggil Onie, yang memakai celana ketat pula dan kaospullover warna
hijau tentara, mengulurkan tangannya. Kino menyambut tergesa-gesa, dan menggumamkan
namanya.

"Sudah sering, ya ..., mainsama Obenk?" tanya Onik sambil tersenyum.

"Ah ... tidak," sahut Kino cepat, "Baru berjumpa tadi sore!"

"Ck ... ck ... ck!" Onie dan Andang berdecak berbarengan.

"Dia adalah permata yang tersembunyi!" ucap Obenk dengan gaya puitisnya.

"Sialan kau!" sergah Kino sambil meninju punggung Obenk.

"Ikut menginap di rumahku?" tanya Andang sambil tersenyum lagi.

Belum sempat Kino menjawab, Obenk sudah mengangguk dan berseru, "Ya ... dia ikut
kami. Ayo kita berangkat!"

Kino melongo, hendak memprotes, tetapi seseorang terasa sudah mendorong


punggungnya untuk berjalan mengikuti Obenk, Andang, dan Onie. Ternyata Ganda dan
Wempi sudah ada di belakangnya, dan tadi mereka lah yang mendorong.

"Tetapi ...," Kino mencoba memprotes.

"Kamu suka mie rebus dengan ayam, bukan?!" sergah Ganda sambil merangkul pundak
Kino.

"Hah .. apa?" tanya Kino gelagapan.

"Kopi susu hangat, dan wedang jahe .... sedap!" kata Wempi sambil mendorong
punggung Kino.

"Apa maksudmu?" Kino terhuyung-huyung mengikuti langkah rombongan.

Ganda berbisik dekat ke telinga, "Pilih salah satu ... Andang atau Onie?"

"Hah!?" sergah Kino dengan suara keras.

Wempi dan Ganda tertawa berderai-derai, senang melihat Kino seperti orang bego.
Kedua gadis yang sudah lima langkah di depan bersama Obenk menengok.

"Jangan mempermainkan teman baru, dong!" seru Andang sambil tersenyum, "Nanti
diangambek !"

Onie tertawa merdu, "Tetapi, dia tidak bisa ke mana-mana, tidak ada angkot dari
desa ini ke luar!"
Sialan, gerutu Kino dalam hati, mengapa aku biarkan diriku terjebak semakin dalam?

"Tenang saja, lah, Kino!" seru Obenk di depan, "Kamu tidak akan menyesal ikut
kami!"

Kino menggerutu lagi, tetapi langkahnya semakin pasti mengikuti rombongan barunya
itu, menuju sebuah rumah yang tampak agak terpencil dari rumah-rumah lainnya.

******

Mie rebus yang berisi serpihan ayam goreng kering memang sedap dinikmati di malam
menjelang pagi. Apalagi ada kopi susu dan wedang jahe sebagai penutupnya. Sehabis
main di atas panggung, Kino memang merasa sangat lapar walau tadi sudah sempat
makan malam. Ketegangan ketika pertama naik panggung, dan energi yang habis untuk
memainkan gitar dalam ritme yang cepat, membuat pemuda itu lapar lagi.

Sepanjang makan, terlihat Obenk, Wempi dan Ganda bercengkrama akrab dengan kedua
gadis yang bertindak sebagai tuan rumah itu. Kino tak sempat bertanya, rumah siapa
gerangan yang mereka huni ini. Tetapi sepintas tadi ia mendengar tentang orangtua
Andang yang ada ibukota, dan tentang "markas" kelompok Obenk. Kesimpulannya, rumah
ini milik orangtua Andang, tetapi mereka tidak tinggal di sini sepanjang tahun.
Kalau Obenk sedang main di desa ini, maka kelompoknya menjadikan rumah gadis itu
sebagai markas sementara.

Lalu Onie, gadis centil yang tampaknya sangat dekat dengan Obenk adalah "teman
dekat" pemuda gondrong itu. Seberapa dekat hubungan mereka, pada awalnya Kino tak
terlalu peduli. Namun menjelang selesai menikmati makanan dan minuman, keduanya
tampak semakin sering berduaan, bahkan semakin sering menyendiri. Apakah mereka
pacaran? pikir Kino.

Belum sempat tanya itu terjawab, seusai makan Andang mengeluarkan sebungkus amplop
dan menyerahkannya ke Wempi. Pemuda itu, bersama Ganda, lalu menuju meja kecil di
ruang makan dan mengeluarkan isi amplop.

"Sudah pernah coba yang ini, Kino?" teriak Ganda kepada Kino yang masih duduk
menghadap mie rebusnya.

Kino mengangkat kepala, "Apa itu?"

"Gele... ganja!" sahut Wempi yang terlihat sedang mengeluarkan kertas untuk
membuat rokok.

Kino terpana. Kejutan demi kejutan datang dari kelompok barunya ini. Tadi mereka
menyanyikan lagu-lagu berideologi kiri. Sekarang mereka menawarkan ganja kepadanya!

Ganda tertawa melihat Kino melongo, "Kau terlalu banyakbengong , Kino!"

Andang datang mendekat, duduk di sebelah Kino, dan berucap ramah, "Jangan
pedulikan mereka. Kerjanya cuma mengganggu orang!"

Kino tersipu, merasakan mukanya merah padam karena malu dan tidak tahu musti
bereaksi apa.

"Mereka memang begitu," kata Andang sambil menopang dagu, memandang Kino yang
kikuk menyuap mie rebusnya, "Selalu menganggap semua orang bisa diajak bercanda."

"Aku cuma kaget saja ...," ucap Kino lirih, membela diri dari kejengahan karena
menjadi orang asing di tengah kelompok yang serba mengejutkan baginya ini.
Andang tersenyum, dan Kino melihat lagi lesung pipit terbit di pipi gadis itu.

"Kuliah di mana?" tanya Andang pelan.

Kino menyebut tempat kuliahnya, merasa agak tenang berbicara dengan gadis yang
tampaknya tak suka menggoda ini.

"Wow!" seru Andang, "Itu sekolahnya orang-orang pintar!"

Kino tersenyum, "Tidak juga. Banyak yang goblok juga."

Andang tertawa renyai, "Masakada yang goblok,sih ? Seleksinya saja sudah sulit,
pasti yang lulus cuma orang pintar."

"Yah, mungkin yang menyeleksi yang goblok," sahut Kino sekenanya, kini sudah
merasa tenang sepenuhnya.

Andang tertawa lebih keras lagi, "Kamu termasuk yang goblok atau yang pintar?"

"Yang goblok," kata Kino, "Kalau tidak, mana mungkin aku bisa terjebak oleh
Obenk!"

Wempi dan Ganda mendengar ucapan Kino, tertawa terbahak-bahak, tidak tersinggung
sama sekali oleh ucapan rekan baru mereka, walau jelas itu mengarah ke penghinaan
terhadap ketua mereka.

"Obenk memang pintarngomong !" sergah Andang, "Tetapi dia orang paling baik yang
pernah ku kenal."

Kino tersenyum mendengar pujian gadis itu, "Eh ... kemana dia?" tanyanya sambil
melihat berkeliling.

Andang tersenyum dan memainkan taplak meja, "Dia bersama Onie .... di kamar."

Kino menghentikan suapannya. Mulutnya kembali melongo. Ia hendak bertanya lebih


lanjut, tetapi lidahnya terasa kelu.

Andang tertawa pelan, "Sudahlah ... habiskan mie rebus kamu!"

Kino merasakan lagi mukanya merah padam. Ia merasa jengah lagi, mempertanyakan
keberadaan Obenk, yang memang sejak tadi sudah menghilang dari ruang makan.

Bau ganja memenuhi ruangan karena Wempi dan Ganda sudah masing-masing menyalakan
lintingan mereka, duduk santai di lantai menyender ke sofa dan tampak asyik
menikmati asap yang memabukkan itu.

Andang bangkit dari duduknya di sebelah Kino, bergabung bersama dua pemuda di
lantai, dan segera menyalakan salah satu lintingan yang telah dipersiapkan. Gadis
itu dengan rileks menghisap asapnya dalam-dalam dan menuju rak yang berisistereo
set . Terlihat ia memilih di antara beberapa kaset yang terpajang di sana. Sejenak
kemudian, terdengar lagu milik Pink Floyd mengalun pelan, menambahkan suasana di
awang-awang ke dalam ruangan yang sudah penuh asap itu.

Kino menyelesaikan makannya, menuju ke dapur untuk meletakkan piring kotor. Ketika
melewati salah satu kamar, ia mendengar derit ranjang dan erangan seseorang. Ia
mengenali suara itu, suara Onie dan Obenk. Bergegas, ia kembali ke ruang makan.
Jantungnya berdegup kencang.

Di ruang makan Andang tersenyum kepadanya, mengajaknya ikut duduk di lantai. Wempi
dan Ganda masih tetap tampak menyandarkan kepala mereka di sofa, memejamkan mata
seperti orang sedang kemasukan.

"Tak usah mencoba, kalau kau tidak mau," ucap Andang lembut sambil menarik tangan
Kino.

Pemuda itu duduk dengan kikuk di sebelah Andang.

"Kamu sudah mengantuk?" tanya gadis itu.

Kino menggeleng. Kopi yang tadi diminumnya cukup kuat untuk menahan kantuk.

"Mau merokok?" tanya Andang lagi, matanya meredup seperti lampu 10 watt, tetapi
sinar mukanya berbinar seperti neon di tepi jalan.

Kino mengiyakan, dan menerima sebungkus kretek. Sebenarnya, ia bukan perokok.


Tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa, dan tidak mau mencoba ganja yang sudah
tersedia dalam lintingan-lintingan rapih di depannya.

Andang memeluk lututnya, meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya, memandang ke


arah Kino sambil tersenyum dengan lesung pipit yang kini semakin kentara itu.

"Sudah sering menghisap ganja?" tanya Kino penuh rasa ingin tahu. Ia belum pernah
punya teman yang menghisap ganja, walau sering mendengar tentang candu itu. Ia
tahu, beberapa mahasiswa juga menggemarinya, tetapi belum pernah langsung melihat
mereka menghisapnya.

Andang mengangguk pelan, "Sudah sejak SMA."

"Apa,sih , enaknya?" tanya Kino sambil mengamati Wempi dan Ganda yang tampaknya
sedang terbang bersama lagu-lagu Pink Floyd.

Andang tertawa kecil, "Itu pertanyaan klasik dari orang yang belum pernah mencoba
ganja. Tetapi sebaiknya aku tidak usah menjawab."

"Kenapa?"

"Karena nanti kamu penasaran, lalu ingin mencoba."

Kino mengernyitkan dahinya. Kenapa Andang peduli tentang kepenasarannya.

Andang tersenyum lagi, melihat Kino mengernyitkan kening, "Sudahlah ... kalau
tidak mau mencoba, tidak usah tanya seperti apa rasanya. Nikmati saja rokok
kretekmu. Atau kalau mau bir, ambil sendiri di lemari es."

Kino menggeleng. Ia juga tidak suka alkohol, walau pernah mencoba minum bir
beberapa kali bersama Ridwan. Ia tidak bisa menikmati rasanya yang pahit dan baunya
yang tengik.

Suasana sepi cuma dihuni oleh musik Pink Floyd. Lalu terdengar erangan Onie agak
keras dari arah kamar.

Wempi tertawa kecil. Ganda membuka matanya dan bergumam, "Asyik betul mereka!"

"Sabar ...., ada gilirannya," bisik Andang.

Kino terperangah. Giliran apa lagi ini?

Erangan Onie semakin jelas terdengar, di antara derit ranjang yang juga semakin
ramai. Lalu terdengar suara Obenk menggeram. Derit ranjang terhenti. Lalu sepi
lagi. Musik Pink Floyd terus mengalun, mengisi relung-relung sunyi.

Tak berapa lama, terlihat Obenk muncul sendirian dengan rambut kusut masai dan
sedikit peluh di muka dan lehernya. Pemuda itu tersenyum ke arah Kino yang sedang
menimbang-nimbang dengan risau, apa yang hendak dikerjakannya di lingkungan serba
mengejutkan ini?

Obenk seperti bisa membaca pikirannya, "Tak usah terlalu rikuh,lah ! Santai saja!"
katanya sambil duduk dan meraih salah satu lintingan di depannya.

Ganda tampak bangkit, dan tanpa banyak bicara menghilang menuju kamar dari mana
tadi Obenk muncul.

Wempi tetap menyandarkan kepalanya di sofa, seperti tak pernah peduli pada apa pun
yang terjadi di sekelilingnya. Mulutnya tersenyum, dan ia tampak seperti sedang
menonton sebuah kejadian lucu yang menggembirakan di kepalanya.

Andang mengangkat muka sebentar ketika Obenk muncul, bergumam setengah berbisik,
"Tumbencuma sebentar ..."

Obenk melirik ke arah gadis itu, balas menggumam, "Ngiri, ya!?"

Andang mendengus sambil menahan senyum, "Bosensamakamu...," sergahnya.

Obenk tertawa sambil menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Kino melongo lagi
mendengar percakapan di antara mereka. Apalagi kemudian juga terdengar derit
ranjang lagi dari arah kamar. Onie mengerang-erang lagi walau lebih pelan dari
sebelumnya. Wempi tetap tersenyum-senyum dalam buaian asap candunya. Obenk
menyalakan lintingan yang terselip di bibirnya, lalu ikut menyandarkan kepalanya ke
sofa. Andang kembali memeluk lutut dan merebahkan kepalanya.

Kino merasa sendirian di tengah belantara yang aneh ini.

Betul-betul sendirian!

Menjelang pagi, Kino yang tetap belum bisa tidur, memutuskan untuk meninggalkan
kawan-kawan barunya. Tidak ada satu pun di antara mereka yang masih terjaga ketika
pemuda itu bangkit dari duduknya yang tidak nyaman di ruang tamu. Ia memutuskan
untuk pergi saja, tanpa pamit. Nanti saja ia akan menelpon, karena toh ia sudah
tahu nomor telepon rumah Andang ini. Sambil melurus-luruskan pinggangnya yang
terasa pegal, Kino melihat sekelilingnya.

Onie tertidur di sofa dengan rambut awut-awutan dan wajah yang letih walau penuh
kepuasan. Gadis itu membalut tubuhnya hanya dengan sebuah kain, tersingkap di sana-
sini memperlihatkan tubuhnya yang mulus agak berpeluh. Terakhir kali, Kino melihat
gadis itu terhuyung keluar dari kamar bersama Ganda. Lalu, seenaknya saja gadis
berwajah manis tetapi pucat itu merebahkan tubuhnya di sofa.

Gadis lainnya, Andang, terpuruk di dekat televisi, kakinya menopang di atas meja,
wajahnya tampak damai. Entah sudah berapa linting ganja yang dihisapnya. Kino
sempat menemaninya berbincang, tetapi lalu melihat gadis manis berlesung pipit itu
terlanda kantuk berat. Tahu-tahu, ia sudah tertidur.

Obenk mendengkur di bawah sofa, di dekat Onie, dengan rambut gondrongnya terurai
bebas. Pemimpin rombongan yang eksentrik ini tidak banyak bicara sejak keluar dari
kamar seusai meniduri Onie. Sambil mengisap ganja, ia tadi menenggak sebotol bir
tanpa menuang isinya ke gelas.
Wempi tertidur di dekat meja tamu, kepalanya tersembunyi di balik tumpukan
majalah. Pemuda itulah yang pertama kali "melayang" ke alam mimpi dan menolak
"giliran"-nya meniduri Onie. Sewaktu Ganda keluar bersama Onie, gadis itu sempat
menanyakan apakah Wempi mau "ngamar" atau tidak, yang dijawab pemuda itu dengan
gumam tak jelas.

Ganda menggeletak, terlentang dengan jeans yang bagian depannya belum terkancing
sempurna.

Kino menggeleng-gelengkan kepalanya, memandang sekali lagi ke ruangan yang


menyerupai tempat penampungan pengungsi perang. Sambil menghela nafas, pemuda itu
membuka pintu ruang tamu dan melangkah keluar menyambut kabut dingin pagi yang
memeluknya bagai seorang yang telah lama tak berjumpa. Bau tanah basah ... bau yang
amat disukainya .... menerobos masuk ke penciumannya. Segar sekali alam di luar,
sangat berbeda dengan suasana ruang tamu yang penuh bau ganja, alkohol dan seks!

Di luar, Kino berdiri sejenak, membetulkan jaketnya. Ia tidak tahu hendak ke mana.
Ia tidak begitu mengenal desa atau kota kecil ini. Tetapi, sebagai pendaki dan
pencinta alam, Kino terbiasa mengelana dari desa ke desa. Pasti ada pasar, atau
terminal kecil, atau pos ronda, yang berpenghuni sepagi ini. Biasanya, rakyat di
kota kecil bangun jauh lebih pagi dari orang-orang di kota besar.

Ia melihat ke sekeliling. Di kejauhan tampak lampu samar-samar menerobos kabut


yang sedang bergerak perlahan seperti barisan roh. Juga ada suara kendaraan yang
sayup sampai. Dari muncul-hilangnya suara itu, pastilah kendaraannya sedang mendaki
jalan berliku menuju desa ini. Suara serangga masih meraja. Unggas belum lagi
bergeming dari tidur mereka.

Sebelum mulai melangkah, Kino memeriksa kantong belakang celananya dan menggerutu
kesal. Dompetnya tidak ada! Pasti terjatuh ketika ia duduk di lantai bersama kawan-
kawan barunya tadi. Sambil mengumpat pelan, pemuda itu membalik kembali ke dalam
rumah.

Bersijingkat untuk mengurangi berisik, Kino membuka pintu ruang tamu. Pintu itu
terkuak mudah, karena memang tidak terkunci. Tetapi suaranya sedikit berderit
karena engselnya tidak pernah diberi pelumas.

Kino melihat dompetnya tergeletak di lantai dekat kaki kiri Andang. Gadis itu
menggeliat mendengar suara pintu, lalu membuka matanya yang masih mengantuk.

Kino menunduk meraih dompetnya, tersenyum dan berbisik kepada Andang yang kini
memandangnya dengan wajah bertanya-tanya, "Aku pulang, ya!"

"Uuuh... ?? Pulang?" gumam Andang sambil mengusap-usap matanya.

Kino mengangguk, memasukkan dompet ke kantong celananya, dan bersiap melangkah


keluar.

"Tunggu ...," suara Andang parau masih penuh kantuk, "Bagaimana kau bisa pulang?
Naik apa?"

Kino tersenyum, dan berbisik, "Jangan kuatir, aku bisa mencari informasi. Kembali
lah tidur."

Tetapi Andang sudah bangkit, membetulkan kaosnya yang agak tersingkap, melangkah
terhuyung mendekati Kino.

"Jam berapa ini?" tanya Andang sambil menguap dan langsung menyambung, "Mana ada
orang sepagi ini. Tunggu lah sampai agak siang."
"Tidak, aku harus kembali ke B." kata Kino sambil mulai melangkah keluar.

"Kino, tunggu ...," sergah Andang sambil mencekal pergelangan pemuda itu. Langkah
Kino terhenti.

"Tadi kamu bilang kamu tidak kuliah karena sedang cuti," kata Andang sambil
melangkah mendekat.

"Ya, tapi aku ingin kembali ke B," jawab Kino bersikeras.

"Kamu tidakbetah , ya!?" sergah gadis itu, semakin mendekatkan tubuhnya ke Kino.

Kino menggeleng, "Bukan begitu ... aku belum mengenal kalian. Aku merasa tidak
sesuai berada di sini."

Andang tersenyum, "Apa bedanya? Kamu memang tidakbetah !"

Kino ikut tersenyum, "Ya, sudah ... aku memang tidakbetah ."

"Kenapa?" gadis itu melepaskan pegangan tangannya, tetapi kini sudah berada dekat
sekali ke tubuh Kino. Dadanya menyerempet lembut punggung tangan pemuda itu.

Kino menghela nafas, "Aku merasa asing. Kalian terlalu mengejutkan buatku."

Andang meletakkan tangannya di punggung Kino, "Terlalu bebas, maksudmu?"

Kino merasakan kedua payudara Andang menempel erat, gadis itu tidak memakai beha!

Sambil menyingkir secara sopan, Kino berucap, "Mungkin aku yang terlalu kuno."

Andang tak membiarkan Kino menyingkir, ia memeluk pinggang pemuda itu.

"Kembali lah tidur, aku bisa mencari jalan sendiri," ucap Kino sambil berusaha
melepaskan pelukan Andang.

"Tinggallah lebih lama, supaya kami bisa lebih mengenalmu," kata Andang yang kini
bahkan merebahkan kepalanya di dada Kino. Harum rambutnya membiaskan wangi cempaka.

Kalau dalam keadaan normal, pastilah insting sensual Kino akan terusik oleh
pelukan seorang gadis yang tidak berpakain sempurna itu. Tetapi saat ini bukanlah
keadaan normal. Pelukan dan bujukan Andang justru melahirkan rasa ganjil dan rikuh
bagi pemuda itu.

"Kalau tidak bisa tidur di kamar tamu, ayo ke kamarku," kata Andang, mempererat
pelukannya, membawa nafasnya yang hangat menerobos sela-sela kancing jaket Kino.

Kino menghela nafas panjang, "Kenapa kau begitu memaksa?"

Andang tertawa kecil, "Aku suka kamu. Aku suka pemuda kalemkayak kamu."

Kino teringat cerita gadis itu ketika mengobrol sebelum ia tertidur tadi. Konon,
Andang pernah punya seorang kekasih yang kemudian menghilang entah kemana setelah
mereka sempat berhubungan seperti suami-istri. Pemuda itu, kata Andang, sangat
pendiam. Apakah ia memproyeksikan kenangannya padaku? pikir Kino gelisah.

"Ayo ke kamarku," kata Andang sambil mulai melangkah membawa pemuda dalam
pelukannya.
Ketika Kino bertahan, gadis itu mengangkat mukanya dari dada pemuda yang
dipeluknya, memandang lekat-lekat dengan matanya yang masih mengantuk, dan berucap
pelan, "Aku tidak menawarkan apa-apa ... aku cuma ingin kau istirahat."

Kino jadi tersipu sendiri, "Aku memang tidak ingin apa-apa dari kamu ... "

Andang tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya lagi, "Kalau begitu, ayo tidur di
kamarku."

Dengan ragu, Kino mengikuti langkah Andang menuju sebuah kamar yang berbeda dari
kamar tempat tadi Onie, Obenk, dan Ganda melampiaskan birahi mereka.

Kamar pribadi Andang tertata rapi dengan dominasi warna merah muda. Kamar gadis
remaja, memang. Lengkap dengan poster penyanyi-penyanyi pria dan jejeran kaset.
Ranjangnya cukup besar untuk dua orang, berkelambu ... mengingatkan Kino pada
ranjang adiknya di kampung halaman.

"Ayo, lepaskan jaketmu dan tidur di sini," kata Andang sambil menepuk kasur yang
memang menggiurkan.

Kino sebetulnya memang sudah mulai mengantuk, walau tadi tidak bisa tidur karena
merasa terlalu rikuh. Kini, tawaran untuk tidur di tempat yang nyaman mengundang
kantuknya lagi.

Andang sendiri dengan santai memelorotkan celana panjangnya, lalu masuk ke dalam
selimut hanya dengan kaos dan celana dalam nilon tipis. Kino sempat terkesima,
lebih karena terkejut daripada terangsang. Dalam hati ia mengumpat sendiri, kenapa
membiarkan gadis itu mengajaknya tidur bersama, walau tadi sudah ditegaskan bahwa
mereka memang cuma akan tidur.

Setelah menggantung jaket dan melepas sepatu serta kaos kakinya, Kino naik ke
tempat tidur dan merebahkan badannya yang kini terasa penat di sebelah gadis itu.

"Aku tidak punya guling, tetapi kamu bisa memelukku," kata Andang yang sudah
memejamkan matanya dan meringkuk menghadap pemuda itu.

Kino tertawa kecil, "Aku biasa tidur terlentang tanpa guling."

"Terserah lah," kata Andang dengan suara mengantuk.

Kino tersenyum mendengar jawaban pendek itu. Ia mengatur nafas untuk bersiap
tidur, dan tak lama kemudian merasakan matanya tak bisa lagi dibuka.

Keduanya terlelap dalam sekejap.

******

Ketika pagi datang lewat binar merah di ufuk, tak ada seorang pun dari penghuni
rumah Andang yang terbangun. Keramaian subuh oleh unggas, manusia penghuni desa,
maupun alam semesta, tak mampu mengusik lelap yang membungkus tubuh-tubuh muda itu.

Kino hanya sempat menggeliat sebentar, membalikkan tubuhnya memungguni Andang,


lalu terlelap lagi.

Wempi sempat bangun untuk menuju toilet, lalu kembali tidur tetapi tidak di kamar
tamu, melainkan menuju kamar yang tadi dipakai Onie, Obenk dan Ganda. Tanpa peduli
pada bekas-bekas percintaan yang mengering di sana sini di atas seprai, pemuda itu
menghempaskan tubuhnya melanjutkan tidur.
Obenk pindah ke atas sofa, seenaknya memeluk Onie yang masih terlelap.

Ganda tak berkutik, mendengkur dengan suara halus, tidak mempedulikan dingin yang
menyelinap masuk dari celah sempit di bawah pintu.

******

Pagi yang sama di kota B ...

Indi sudah lama bangun, sudah mandi, sudah rapi karena harus ke sekolah. Ia baru
saja menyelesaikan sarapan pagi ketika hati kecilnya meminta kakinya melangkah ke
rumah sebelah. Ke tempat kost Kino.

Dengan ragu, gadis itu membuka gerbang halaman dan menengok ke arah kamar Kino.
Gelap dan tertutup, tentu saja. Indi tidak tahu bahwa pemuda itu tidak pulang sejak
kemarin.

"Cari Kino, nak?" suara ibu semang membuat Indi kaget setengah mati.

"Eh ... ibu ... eh ... iya!" sahut Indi tergagap.

Ibu semang yang ternyata sedang bersiap menyapu halaman tersenyum melihat Indi
kikuk terpergok seperti pencuri tertangkap basah. Diam-diam ibu ini tahu tindak-
tanduk gadis remaja yang sering menjenguk Kino. Sebagai ibu semang dari puluhan
pemuda kost-kost-an, ibu ini hapal betul tingkah laku pengunjungnya.

"Dia naik gunung dan belum pulang sejak kemarin," kata ibu itu sambil mulai
menyapu.

Indi mengernyitkan kening, sambil melangkah mendekat. Mendaki? Kenapa tidak


bilang-bilang kepadaku? sergahnya dalam hati. Tetapi, kenapa musti bilang-bilang
segala!?

"Nak Indi tidak tahu dia naik gunung?" tanya ibu semang memancing.

Indi tersipu, merasa bahwa ibu di depannya itu bisa membaca pikirannya. Ia
memutuskan untuk terus terang, "Tidak, bu. Sudah lama Indi tidak berbincang-bincang
dengannya."

"Iya, ya ..," ucap ibu semang mengulur pancingannya, "Sudah lama Indi tidak main
ke mari."

"Sibuk, bu," jawab Indi setengah berbohong, karena toh ia memang sibuk belajar.
Dan juga sibuk pacaran, tentunya.

"Nak Kino juga sibuk, dia sekarang mengajar di tempat kursus untuk anak SMA," ucap
ibu semang sambil pura-pura sibuk dengan kegiatan menyapunya. Padahal, ia juga
yakin Indi tidak tahu bahwa Kino sekarang sibuk mengajar.

Indi memang tidak tahu, dan kesal sekali mendapat informasi dari tangan kedua
seperti ini. Kenapa dia tidak bilang-bilang bahwa sekarang mengajar kursus?
umpatnya dalam hati. Tetapi kenapa musti bilang-bilang juga?!

"Indi juga sekarang harus siap-siap ujian akhir dan ujian seleksi perguruan
tinggi," ucap Indi sedatar mungkin, menetralisasi gundahnya sendiri.

"Nak Indi bisa ikut kursusnya nak Kino ... pasti lebih menyenangkan," ucap ibu
semang seakan-akan tanpa maksud apa-apa. Padahal jelas ucapan itu adalah sebuah
pancingan yang sangat sulit untuk dihindari.
Tetapi bukanlah Indi namanya kalau ia tidak pandai menghindari pancingan seperti
itu. Dengan sambil lalu, gadis centil itu berucap, "Indi lebih suka belajar
kelompok dengan teman-teman .... Permisi dulu, ya bu ... Indi mau sekolah."

Ibu menyilahkan Indi pergi, dalam hati tersenyum melihat tingkah gadis itu. Ia
tiba-tiba begitu merindukan seorang anak gadis, dan teringat kepada semua anak-anak
lakinya yang kini sudah bekerja di mana-mana. Teringat pula pada almarhum suaminya
yang dulu menggembleng anak mereka secara cukup keras. Ia menghela nafas panjang,
mencegah bulir airmata merebak keluar dari matanya yang renta.

Indi melangkah cepat kembali ke rumahnya. Pikirannya sibuk menimbang-nimbang usul


yang tadi diajukan ibu semang. Mungkin memang ada baiknya aku ikut kursus, terutama
kursus matematika. Mungkin aku bisa membujuk ayah untuk membiayai kursus matematik
itu. Tetapi, .... ah, kursus matematika di kota ini bukan cuma satu. Kenapa musti
kursus di tempat kak Kino mengajar. Nanti ayah malahbilang , kenapa tidak belajar
privat saja di rumah? ...Nah, lo ... bagaimana kalau ayah mengusulkan seperti itu.
Ah ...GR kamu Indi ... sergah hati kecilnya. Lagipula, apa kamu beraningomong ke
dia untuk meminta dia mengajar kamu secara privat. Bagaimana dengan marah dan
bencimu?

Pagi itu, dengan pikiran masih berkecamuk oleh pertimbangan-pertimbangan rasional


maupun irasional, Indi berangkat ke sekolah. Setibanya di sekolah, ia segera
mencurahkan isi kalbunya ke Mutia sang sahabat.

"Kamu,sih ...pakengambek segala!" sergah Mutia yang memang tidak selalu bisa
menjadi penasihat yang baik.

"Lho.. kamu sendiri yang dulunyuruh aku ngambek!" tukas Indi kesal.

"Iyaaaa ... tapi jangan lama-lama,dong !" balas Mutia tak kalah kesal.

"Aku tidakngambek lama-lama. Aku cuma ingin dia tahu bahwa aku marah. Tetapi dia
memang begitu ....ngga peduli sama aku.Sebel betul,deh !!" ucap Indi sambil
melemparkan kerikil yang tadi dipungutnya.

"Apakah dia benar-benar tahu bahwa kamu marah?" tanya Mutia, lebih kepada dirinya
sendiri daripada kepada mereka berdua. Dia sudah pernah menyatakan kepada pemuda
itu, di atas angkot, bahwa Indi marah. Sesuai permintaan Indi waktu itu. Tetapi
kini ia ragu, apakah pemuda itu mengerti artinya "marah".

"Ngga tau, ah!" sergah Indi kesal, meremas-remas saputangannya, "Diangga pernah
jelas ... marah atau tidak marah sama saja buat dia.Bener-bener keras kepala
danngga peduli kepadaku."

"Tetapi kamu pernahbilang , dia seperti masih inginketemu, " kata Mutia sambil
melambaikan tangan membalas salam seorang rekan yang lewat.

"Siapa yangbilang begitu!" sergah Indi, "Aku bilang dia melihatku makansama
Randi ... sepertinya kaget, atau mungkin juga kecewa ... atau ....Ngga tau , ah!!"

Bel yang terbuat dari potongan rel kereta api terdengar dipukul bertalu-talu.
Percakapan seru antara kedua sahabat itu terhenti. Dengan gontai mereka melangkah
masuk ke kelas. Pelajaran pertama kali ini adalah pelajaran paling menyebalkan bagi
Indi.

******

Sinar mentari siang menerobos masuk lewat lubang angin, menerangi ranjang yang
tertutup kelambu setengahnya. Kino menggeliat dan memicingkan matanya. Sejenak ia
kaget, bertanya-tanya di mana dirinya berada. Tetapi lalu ia sadar, ketika
tangannya menyentuh tubuh lunak di sebelahnya.

Dengan hati-hati Kino membalikkan tubuh, takut membangunkan Andang.

"Selamat pagi ...eh ... siang," suara Andang cukup pelan, tetapi tetap saja
membuat Kino tersentak. Gadis itu ternyata sudah bangun lebih dulu.

Gadis itu tertawa pelan, masih terbalut kantuk, "Kaget, ya ... tidur di
sebelahcewek yang baru kamu kenal!"

Kino mencoba ikut tertawa, walau kikuk, "Ya ... kamu memang sering membuat kaget."

"Belum pernah tidur dengan seorang wanita?" tanya Andang menembak langsung.

"Kenapa tidak tanya yang lain ..., misalnya 'mau sarapan atau tidak'?" sahut Kino
menghindar.

"Okay ..," jawab Andang tertawa, "Aku ganti pertanyaannya: belum pernah sarapan
setelah tidur dengan seorang wanita?"

Kino tertawa, "Belum. Kalau pertanyaannya seperti itu, memang jawabnya belum!"

Andang meraih leher Kino, membawa tubuhnya mendekat, memeluk pemuda itu tanpa aba-
aba.

"Hei ..," seru Kino, "Aku sudah menjawab pertanyaan mu dengan benar!"

"Aku sudah mendengar jawabannya!" sahut Andang menenggelamkan kepalanya di leher


Kino, "Sekarang aku ingin memelukmu. Aku punya kebiasaan begitu setiap bangun
tidur."

Sebetulnya nyaman jika seorang gadis yang cuma memakai kaos dan celana dalam
memeluk seperti ini. Tetapi Kino benar-benar tidak siap menerima perlakuan Andang
yang serba lepas. Lagipula, ia tidak tahu musti membalas dengan reaksi apa. Dia
tidak menolak tubuh itu, tidak juga menerimanya sepenuh hati.

"Aku juga punya kebiasaan buruk lainnya ...," bisik Andang karena Kino diam saja.

"Aku tidak ingin tahu ...," jawab Kino, kini merasa gelisah karena tidak tahu
harus bereaksi seperti apa.

Andang tertawa, menebarkan nafasnya yang hangat di sekujur leher dan dada Kino,
"Kamu pasti menyukainya ... semua pemuda menyukainya ..." bisiknya.

"Andang ... aku ...," Kino terbata, berusaha mendorong tubuh gadis itu dengan
sopan.

Tetapi kesopanan juga seringkali berarti keraguan. Dorongan itu tidak cukup keras
bagi Andang yang kini mengangkat tubuhnya, lalu seperti sambil lalu menyingkap
kaosnya sendiri. Kedua bukit putih-coklat di dadanya terpampang dalam keindahan
remang sinar yang tersaring kelambu.

Kino terpana ketika dengan sebuah gerakan sensual, Andang membawa salah satu
puting susunya ke muka pemuda itu.

Entah apa yang bisa dilakukan oleh seseorang dalam keadaan seperti ini. Entah
apakah ada rumus-rumus matematika atau mungkin biologi yang bisa menjelaskan
keadaan seperti itu. Entahlah. Yang jelas, puting itu tahu-tahu sudah menerima
perlakuan yang memang sepatutnya. Andang mendesah. Kino tergagap, tetapi melakukan
apa yang menurutnya diinginkan oleh seorang wanita normal yang menyodorkan diri
seperti itu.

"Mmmmm ...," terdengar erangan Andang; kedua matanya terpejam.

Salah satu tangannya memegangi pangkal payudara yang puncaknya sedang tenggelam
dalam kuluman pemuda itu. Tangan lainnya bertelektekan di kasur, menjaga posisi
seperti seorang ibu sedang menyusui bayinya di tempat tidur.

Satu demi satu tirai pembatas antara sepasang manusia itu tertanggalkan oleh
gerakan-gerakan yang seperti tak sengaja. Nafas Kino pun seperti tak lagi ingin
diatur oleh norma atau nilai yang biasanya mengekang setiap gerak tubuh. Desah
gelisah bersusulan keluar dari mulut Andang. Puncak payudaranya basah sudah. Bahkan
payudara yang lain kini berada dalam remasan tangan pemuda itu. Pemiliknya
menggeliat-geliat keenakan menerima perlakuan yang sebenarnya tak senonoh jika
dilakukan dalam situasi normal itu.

Pemiliknya juga menjepitkan kedua kakinya di kaki Kino, memberikan tekanan-tekanan


khusus kepada tempat yang memerlukan tekanan pada saat seperti ini. Sebuah rasa
indah belaka telah terbit di sela-sela di bawah sana, bersama dengan awal
mengalirnya cairan-cairan cinta. Segalanya, tampaknya, akan lancar-lancar belaka.
Mulus dan langsung semata. Tetapi ...

Terdengar teriakan seseorang di luar kamar yang menyentak perhatian Kino.

"Andang! Di mana kamu simpan kopi?" itu suara Obenk yang memang terbiasa berteriak
kepada anak buahnya.

Andang mengerang penuh protes karena Kino menghentikan perlakuan sensualnya.

"Biar saja ... nanti dia bisa menemukannya sendiri!" bisik gadis itu sambil
membawa lagi payudaranya ke muka Kino.

Tetapi Kino tidak bisa melakukan kegilaan-kegilaan sebagaimana Andang dan kawan-
kawannya. Baginya, semua orang di rumah ini adalah mahluk-mahluk asing yang masih
penuh misteri. Ia tidak terbiasa. Ia tidak merasa nyaman. Mungkin kalau tidak di
rumah ini, kalau dilakukan di tempat yang cukup terasing, mungkin saja Kino akan
melanjutkan permainan yang bergairah dan tanpa tedeng aling-aling itu. Tetapi rumah
ini, lingkungan ini, kamar ini, terlalu menakutkan baginya.

Kali ini dorongan tangan Kino cukup kuat untuk melepaskan pelukan Andang. Tidak
ada kesopanan dalam gerakan pemuda itu.

Andang menghela nafas panjang, dan menghempaskannya dengan kesal. Rona mukanya
yang memerah muda menandakan betapa gadis itu sedang berada dalam awal pendakian
panjang menuju puncak birahi. Tidaklah enak diperlakukan seperti ini, ditolak pada
saat mengasyikkan seperti ini .... Tetapi, yah sudahlah ... ia masih baru! sergah
gadis itu dalam hati.

Kino bangkit dengan tergesa, berdiri dan melangkah menuju pintu tanpa berkata apa-
apa.

Andang ikut bangkit dengan lesu, mengenakan celana panjangnya dengan enggan, dan
menyusul pemuda itu dengan gontai.

Di luar terdengar Obenk menyapa Kino dengan santai, "Halo, bung! ... enak tidur di
kamar tuan rumah?"
Terdengar pula Kino menggerutu tidak jelas. Obenk tertawa dan berkata, "Take it
easy!"

Lalu kesibukan mulai bangkit di rumah itu. Onie terdengar berteriak menyuruh Wempi
cepat-cepat keluar dari toilet. Ganda bahkan sudah menyeteltape recorder yang
segera mengumandangkan lagu-lagurock kelompok Aerosmith.

Kino masih tinggal bersama kelompok Obenk untuk sekali lagi main di atas sebuah
panggung di desa yang lain. Ia meminjam telpon Andang untuk memberi tahu ibu
semangnya di B, bahwa ia belum akan pulang hari itu.

"Iya, Bu .. saya dalam keadaan baik-baik," kata Kino di telepon mendengar ibu
semangnya kuatir.

"Betul, Bu ... saya memang masih mengajar kursus," kata Kino lagi dengan sabar,
"Tetapi giliran saya bukan besok, melainkan lusa. Jadi masih ada waktu."

Lalu ibu semang yang agak ceriwis itu mengatakan bahwa Indi tempo hari mampir
mencari Kino. Sejenak, pemuda itu merasakan jantungnya berdegup agak kencang.
Kenapa si centil itu mencariku?

"Dia bilang ingin bertemu nak Kino, tetapi ibu bilang kamu sedang pergi,"
terdengar suara ibu semang di antarakresek-kresek telepon jarak jauh ini.

Kino ingin bertanya, kenapa gadis itu mencarinya padahal katanya sedang marah.
Tetapi yang keluar dari mulutnya justru, "Mungkin dia perlu bertanya soal
matematika, Bu ... biasalah, dia memang sering tanya soal PR-nya."

Lalu ibu semang mencoba memancing gosip, tetapi Kino dengan sopan mengatakan bahwa
ia meminjam telpon seseorang. Tidak enak rasanya terlalu lama ngobrol, apalagi itu
telpon interlokal. Untunglah ibu semangnya mau mengerti, dan setelah sekali lagi
mengingatkan agar menjaga diri baik-baik, hubungan telepon itu pun usai.

"Laporansama mama, yaaa..!?" goda Andang yang sedang membantu Wempi memasukkan
gitar ke sarungnya.

"Itu ibu semangku. Tempat kost," jawab Kino pendek sambil melangkah menuju Obenk
yang sedang menyanyi pelan-pelan di ruang tengah. Lagu baru, berjudul "Senandung
Cangkul".

Ada-ada saja cara Obenk membuat judul lagu dan liriknya. Diam-diam Kino kagum juga
kepada si gondrong kerempeng yang eksentrik ini. Tetapi terus terang ia juga
kurangsreg dengan beberapa ide dalam lagu-lagu itu. Apalagi setelah mengetahui gaya
hidup kelompok ini yang sangat bebas dan semaunya. Bagaimana mereka bisa lantang
bernyanyi tentang kemiskinan, buruh dan sebagainya, padahal hidup mereka seenaknya
dan cenderung mewah. Mereka menghabiskan banyak uang untuk ganja dan minuman keras,
padahal di panggung bernyanyi tentang orang-orang miskin yang tertindas.

"Kalian benar-benar aneh!" sergah Kino terus terang setelah Obenk berhenti
bernyanyi.

Seniman gondrong itu tertawa terkekeh, "Apa lagi,nih ! Datang-datang langsung


protes!"

"Katanya membela si miskin, tetapi hidup kalian begini ....," Kino tak melanjutkan
ucapannya.

Obenk menyalakan rokoknya, "Begini, bagaimana? Apakah maksudmu begini bebas dan
seenaknya?"

Kino mengangguk, "Dari mana kalian membiayai gaya hidup seperti ini?"

"Kenapa, sih, kau selalungomong biaya?" Obenk balik bertanya.

"Ganja, minuman keras, gadis semacam Onie ... itu,kan , perlu biaya!?" sergah Kino
sambil meraih gitar dan memetik-metik dawainya perlahan.

Obenk terkekeh, "Dasar kapitalis! Kau selalu menyangka bahwa materi di dunia ini
harus punya nilai rupiah!"

Kino tak tahu, apakah harus tersinggung atau tidak oleh cap "kapitalis" itu.
Tetapi ia memang ingin berdebat dengan si kerempeng ini. Maka ia menyahut, "Kau
menghindari pertanyaanku. Dari mana kalian dapat uang untuk membeli semua itu?"

"Ganja kami dapatkan gratis dari yang menanamnya," kata Obenk kalem, "Satu peti
bir di dapur itu datang dari seorang pemilik toko yang bersimpati. Sedangkan
Onie .... hmmmmm .... kenapa dia musti dibayar?"

Kino melongo. "Maksudmu, semua itu kalian dapatkan tanpa mengeluarkan uang sepeser
pun?"

"Persis!" sahut Obenk sambil terkekeh lagi, "Kami tidak punya uang. Kami tidak
suka uang, dan tidak mau bergantung kepadanya. Uang adalah alat kapitalis yang
paling keji!"

"Apa yang mereka dapatkan dari kalian, sampai mau menyumbang segala macam!?" cecar
Kino penasaran.

Obenk mengangkat bahunya acuh-tak-acuh, "Mungkin mereka mendapatkan kebenaran dari


lagu-lagu kami."

Kino mencibir, "Kebenaran macam apa? Lagu kalian cuma berisi protes dan maki-
maki."

"Justru itu!" jawab Obenk cepat, "Justru karena mereka sendiri tidak bisa protes
dan memaki-maki! Mereka senang ada orang protes dan memaki-maki mewakili mereka."

"Tetapi mereka itu bukan kelompok yang kalian bela. Pemilik toko yang memberi
kalian bir itu justru kapitalis. Petani ganja itu mungkin juga residivis!" ucap
Kino sengit.

"Mereka mungkin memang bagian dari mesin kapitalis, tetapi belum tentu mereka
kapitalis," jawab Obenk tenang, tak peduli pada kerasnya protes yang terkandung
dalam ucapan-ucapan Kino.

"Aku tak mengerti!" ucap Kino sejujurnya.

Obenk mengebulkan asap rokoknya dengan nikmat sebelum menjawab, "Begini, Kino ....
Mereka sudahkadung ada dalam sistem kapitalis. Barangkali sejak lahir sudah ada
dalam lingkungan kapitalis. Akibatnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain
ikut menjadi kapitalis. Tetapi mereka juga kemudian sadar bahwa apa yang mereka
kerjakan cenderung menindas kaum miskin. Makanya ..... "

Ucapan Obenk terhenti karena Onie tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya,


menggelendoti bahu si gondrong kerempeng itu, dan mencium pipinya.

"Ngomongapa,nih ? Serubanget !" sergah gadis manis yang sebetulnya sangat seksi
kalau saja tidak terlalu blak-blakan itu.

"Si Kino, penasaran!" jawab Obenk sambil merangkul pinggang Onie dan membalas
ciuman gadis itu.

Kino, yang duduk berhadapan dengan pasangan ini, agak tersipu melihat pameran
keterbukaan yang diperlihatkan keduanya. Apalagi gadis itu rupanya baru selesai
mandi, hanya memakai daster tanpa beha. Ketika dengan santai ia menaikkan kakinya
ke atas lutut Obenk, dasternya tersingkap sedikit dan sebentar. Kino terkesiap
mengetahui bahwa Onie juga tidak memakai celana dalam!

Kino merasa mukanya merah padam, karena Onie memergoki pandangannya.

"Sorry!" kata gadis itu tanpa penyesalan sama sekali, "Aku malaspake celana
dalam."

Obenk terkekeh, "Kamubikin si Kino malu. Jangangitu ,dong ... dia, kan, belum
kenal kita secara baik!"

Kino bangkit, merasa terlalu kikuk untuk melanjutkan percakapan. Tetapi gerakannya
tertahan oleh tangan Onie yang meraih pergelangannya.

"Maaf, Kino!" kata Onie, kali ini dengan sedikit ketulusan, "Aku tidak bermaksud
menganggu pembicaraan kalian!"

Kino memandang pergelangan tangannya yang tercekal, lalu mengangkat muka untuk
memandang wajah Onie. Gadis itu tersenyum manis dan menampilkan wajah polos.

"Tidak apa-apa," kata Kino sambil mencoba tersenyum, "Aku memang belum kenal
kalian, makanya sering kaget."

"Ya, Kino," sela Obenk, "Kami minta maaf jika kau terganggu oleh gaya hidup
seperti ini. Tetapi ... kami memang begini. Tentu tidak adil kalau kami harus
berpura-pura di depanmu."

Onie melepaskan cekalannya, Kino menghela nafas panjang lalu memutuskan untuk
duduk kembali.

"Gitu dong!" kata Onie sambil menyandarkan kepalanya dengan manja ke bahu Obenk,
"Janganngambek !"

Kino tersenyum, "Tidak, aku bukan tipe orang yang sukangambek ."

"Kau tipe orang yang bagaimana?" tanya Obenk sambil meng-genjrenggitarnya


sembarangan.

"Tak tahu," jawab Kino sambil tertawa kecil, "Mungkin aku terlalu naif buat
kalian."

"Kamu anakbaek-baek ," sambar Onie sambil meremas-remas pinggang Obenk.

"Tidak," sahut Kino cepat-cepat, "Aku tidak bisa dikatakan anak baik."

"Oh, ya?!" kata Obenk, "Kejahatan apa yang pernah kau lakukan?"

"Bukan kejahatan," jawab Kino sambil meraih lagi gitar yang satunya, dan ikut-
ikutan meng-genjrengsembarangan, "Tetapi juga bukan kebaikan."

"Ooo ... kalau begitu kamu anak biasa-biasaaja !" sergah Onie sambil tertawa.
"Menurutmu, kami tergolong 'penjahat', ya?!" kata Obenk yang menggelinjang-
gelinjang kecil karena digelitiki oleh gadis di sebelahnya.

"Tergantung dari cara melihatnya," jawab Kino cepat, mencoba tak memperhatikan
kemana tangan Onie menggerayang, "Masyarakat luas mungkin menganggap kalian
penjahat karena menghisap ganja. Petani miskin mungkin menganggap kalian pahlawan
pembawa suara mereka."

"Kalau aku lebih suka jadi penjahat," sela Onie yang kini meremas-remas pangkal
paha Obenk.

"Ya," sambung Obenk sambil tertawa, "Onie sudah berbuat banyak kejahatan!"

"Aku tidur dengan 100 laki-laki," kata Onie santai, seperti bangga dengan
'prestasi'-nya, "Pasti itu kejahatan besar buat para orangtua yang punya anak
gadis!"

Kino terperangah, tak bisa bereaksi atas ucapan itu.

"Aku juga sudah membuat lebih dari 50 laki-laki patah hati," lanjut Onie sambil
tertawa kecil, seperti menceritakan kejadian menggelikan, "Mereka semua ingin
menikahiku, padahal aku cuma mau tidur dengan mereka."

"Tetaplah jadi penjahat, sayangku ...," ucap Obenk sambil lalu mencium leher Onie.

Gadis itu tertawa tambah keras, "Yaa .. jadi penjahat dan bergaul dengan bergajul-
bergajulkayak kamu ini!"

"Aku rasa itu bukan kejahatan," akhirnya Kino memberanikan diri mengajukan
pendapat.

Onie mengangkat alisnya dengan kocak, "Kau anggap aku apa, Kino?"

Kino mengangkat bahu, "Aku tak terlalu pasti. Tetapi aku pernah kenal gadis yang
juga seperti kamu, walaupun dia tidak tidur dengan 100 laki-laki."

Onie dan Obenk tertawa mendengar kalimat Kino yang terakhir.

"Aku tidak bisa memutuskan apakah dia atau kamu jahat," sambung Kino cepat-cepat,
"Tetapi pasti banyak orangtua yang menganggap kamu penjahat."

"Aku tak peduli," kata Onie sambil terus meremas pangkal paha Obenk, malah semakin
ke atas, "Aku tak peduli, karena orangtua ku sendiri menganggap aku penjahat."

Kino mendeteksi sedikit kegetiran di ucapan gadis itu, dan ia tiba-tiba teringat
Rima yang juga tergolong gadisbrokenhome . Ah, kenapa banyak sekali ia menjumpai
rekan-rekan sebaya yang datang dari keluarga berantakan? Apakah justru keluarga ku
yang 'terlalu normal'?

"Kami semua datang dari keluarga berantakan," kata Obenk seperti bisa membaca
pikiran Kino.

"Kecuali Andang, mungkin ...," sela Onie, "Keluarganya tidak sungguh-sungguh


berantakan, tetapi juga tidak sungguh-sungguh peduli pada apa yang ia lakukan."

"Keluarga Andang seperti apa?" tanya Kino.

"Liberal kapitalis ...," terdengar suara Andang, membuat Kino tersentak. Ternyata
gadis itu sudah sejak tadi berada di ambang pintu, tetapi Kino tak melihat karena
posisi duduknya. Sebaliknya, Onie dan Obenk sudah melihat kehadiran gadis itu, maka
mereka tertawa melihat Kino kaget.

"Oh, maaf!" seru Kino cepat-cepat, merasa jengah karena membicarakan seseorang
tanpa kehadirannya.

"Tidak apa-apa," sahut Andang yang kini sudah duduk di sebelah Kino, "Kenapa musti
minta maaf. Aku justru senang kamu menaruh perhatian pada kami."

Kino tersipu, "Kalian memang baru ku kenal. Jadi ..... "

"Ya," sela Andang sambil merangkul bahu pemuda itu, "Jadi, kamu ingin tahu lebih
banyak,kan ?"

Kino sebenarnya tak merasa enak dipeluk gadis itu, tetapi ia juga tidak ingin
menyinggung perasaannya.

"Aku memang tertarik ingin tahu banyak tentang kalian," kata Kino sambil mencoba
berlaku normal.

"Bagus, kalau begitu," ucap Andang lembut, "Walaupun kamu tidak harus bergabung
dengan kami."

"Aku memang tidak memikirkan soal bergabung atau tidak," sahut Kino cepat-cepat.

Obenk tertawa, "Selain naif, ternyata kau adalah sejenis mahluk keras kepala
juga!"

Kino ikut tertawa, "Yaa ... banyak orang yang mengatakan itu!"

Wempi tiba-tiba muncul di ambang pintu dan berseru, "Hoi! Kalian mau terusngobrol
atau mau makan siang. Kita harus siap-siap untuk pertunjukan nanti sore,lho !"

"Hei, sejak kapan kamu jadiboss di sini!" balas Onie yang masih asik memeluk dan
meremas-remas Obenk.

Wempi mendekat dan mencubit pipi Onie, "Aku memang bukanboss , tetapi aku lapar
dan aku mau latihan sebentar dengan si kerempeng yang kau peluk-peluk itu!"

Andang bangkit sambil menarik tangan Kino, "Jangan berkelahi. Makan siang dulu,yok
!"

Onie dan Obenk bangkit seperti anak-anak yang penurut kepada ibunya. Kino
tersenyum dalam hati. Obenk mungkin adalahboss di kelompok ini. Tetapi, Andang
adalah ibu rumah tangga. Bahkanboss pun harus tunduk kepada ibu rumah tangga,
bukan?

Siang itu Kino makan nikmat sekali. Nasi hangat mengepul dengan lauk ikan asin,
lalapan dan sambal terasi. Lalu mereka berangkat naik motor. Andang memboncengi
Wempi dengan motor bebeknya. Onie membonceng Obenk, sementara Kino ikut dengan
Ganda.

Mereka berlatih sebentar di sebuah balai desa yang letaknya sekitar setengah jam
perjalanan. Seperti yang sebelumnya, pertunjukan sore itu juga bersifat "resmi"
karena dihadiri Pak Lurah dan beberapa petinggi desa. Seperti yang sebelumnya pula,
kelompok Obenk menyanyikan lagu-lagu "perjuangan" mereka dengan penuh semangat.
Para penonton menyambut antusias, terutama kalau kelompok itu membawakan lagu-lagu
yang berirama dangdut.
Secara keseluruhan, pertunjukkan mereka sore dan malam itu tak kalah suksesnya
dengan pertunjukan sebelumnya. Hanya ada sedikit kesalahan teknis, ketika di tengah
babak kedua tiba-tiba aliran listrik terputus dan mereka terpaksa menyanyi
tanpamicrophone . Untung cuma satu lagu, karena kemudian listrik menyala lagi.

Mereka kembali ke "markas" di rumah Andang selepas tengah malam.

******

"Aku tidak bisa ikut kalian besok," kata Kino ketika mereka sedang bersantap
malam, "Aku harus kembali ke B."

"Tetapi kau tidur di sini malam ini,kan ?" tanya Obenk tanpa menghentikan
suapannya.

"Apakah aku punya pilihan lain?" Kino balas bertanya.

"Ada," jawab Ganda cepat, "Kamu boleh pilih, mau tidur di kamar tamu, di kamar
tengah, di kamar Andang ...."

Semua orang tertawa. Kino memisuh, "Sialan kau!"

"Kino tidur di kamarku," kata Andang selesai tertawa.

"Lho, kapan aku tidur di kamarmu?" protes Wempi.

"Tidak akan pernah. Kamu sukangompol !" sahut Andang cepat.

Semua orang tertawa lagi.

"Kino adalah tamu kehormatan, dan Andang adalah tuan rumah," kata Obenk
selayaknyaboss yang menyelesaikan semua persoalan, "Jadi, jangan ada yang membantah
kalau tuan rumah memberikan tempat terbaik!"

"Okay boss!" sahut Wempi cepat, "Tetapi akungga sepenuhnya setuju."

"Masa bodo, setuju atau tidak," balas Obenk sambil terus menyuap, "Besok, kalau
Kino sudah pulang, kamu boleh protes lagi."

Kino tertawa melihat tingkat teman-teman barunya. Terbuka dan demokratis. Masuk
akal dan tak mengabaikan ikatan emosi. Aneh tetapi juga menarik!

******

Berbeda dengan malam sebelumnya, kali ini Kino lebih rileks tidur di kamar Andang
bersama gadis itu. Walaupun demikian, ia tetap berupaya menjaga jarak, dan
tampaknya gadis itu pun menghormati keputusannya.

"Aku tadi dengar komentar mu tentang kami," kata Andang sambil menelentang di
kamar yang kini remang-remang.

"Tentang apa?" tanya Kino dengan suara yang sedikit mengantuk.

"Tentang Onie, tentang jahat-tidaknya dia," kata Andang.

Kino tersenyum, "Aku memang tidak tahu apakah dia jahat atau tidak. Apakah yang
dia kerjakan baik atau tidak."
"Kau bilang bahwa ada teman mu yang juga seperti dia," kata Andang sambil membalik
menghadap Kino. Lututnya menyentuh ringan paha pemuda itu.

"Ya," jawab Kino, "Aku juga punya teman yang datang dari keluarga berantakan, dan
seorang lainnya yang berlaku bebas dengan laki-laki."

"Kenapa kau tidak membenci mereka?" bisik Andang sambil mengelus-elus bahu Kino.

"Aku tidak punya alasan untuk membenci mereka," sahut Kino merasakan kantuknya
mulai menipis, "Lagipula, mereka tidak pernah menyakitiku. Bahkan mereka selalu
baik kepadaku."

"Tetapi teman-teman mu itu,kan , tergolong anakbrengsek ...," kata Andang lalu


menyambung cepat, "Setidaknya begitu lah kata sebagian besar orang."

"Memang," jawab Kino, "Itu sebabnya kadang-kadang aku juga bingung, kenapa aku
berbeda dari kebanyakan orang."

Andang tertawa kecil, "Itu namanya 'naif', Kino .... kau anggap semua orang baik
belaka, selama tidak menyakitimu."

"Apakah itu salah?" tanya Kino sambil menengok. Wajah Andang dekat sekali di
sebelahnya.

"Tidak, menurutku," ucap Andang lembut, dengan satu tangannya ia membelai rambut
Kino, "Tetapi buat sebagian orang lainnya .... sebagian besar, bahkan .....
kenaifan itu adalah kesalahan."

Kino membiarkan rambutnya dibelai. Rasanya nyaman dan ramah.

"Kadang-kadang aku ingin seperti kamu," kata Andang setengah berbisik.

"Maksudmu?" tanya Kino sambil kembali memandang langit-langit.

"Aku ingin naif memandang dunia ini. Tetapi tidak bisa, karena aku selalu marah
kepada masyarakat. Aku selalu memaki-maki dan memberontak terhadap aturan-aturan
mereka." bisik Andang.

Kino diam.

"Aku ingin bersikap netral, tetapi tidak bisa. Aku merasa harus memilih, menjadi
seperti mereka atau mengelompok dengan orang-orang yang disingkirkan mereka."
lanjut Andang sambil terus membelai rambut pemuda di sebelahnya.

Kino tetap diam, membiarkan gadis itu mengeluarkan isi hatinya.

"Kelompok Obenk ini sebenarnya sebuah pelarian bagiku," kata Andang kali ini
dengan agak tersekat, "Aku tak punya tempat di masyarakat, bahkan tidak juga di
lingkaran keluargaku sendiri."

"Tetapi kedua orangtua mu menyayangi mu, bukan?" tanya Kino, merasa perlu
menimpali.

Andang menarik muka pemuda itu, memaksa dengan lembut agar Kino memandangnya.

"Mereka bukan orangtua ku," bisik Andang.

"Maksudmu?" tanya Kino penuh keheranan, memandang kedua mata gadis di sebelahnya.
"Aku .....," Andang menggigit bibirnya, "Aku anak angkat mereka."

Kino terperangah. Apalagi kemudian ia samar-samar melihat sedikit air tergenang di


kedua mata Andang.

Tetapi gadis itu lalu tersenyum, menghentikan belaiannya di muka Kino, dan
mendesah, "Ah! Kenapa aku harus menceritakan ini kepadamu!"

Kino mengangkat badannya dan bersandar di satu tangan, menghadap ke Andang yang
kini terlentang memandang langit-langit dengan mata nanar.

"Tidak apa-apa," kata Kino, "Kalau kau ingin bercerita, aku bersedia
mendengarnya!"

Andang mengusap kedua matanya dengan punggung tangan, "Ceritanya membosankan. Aku
tak mau membuat orang lain bosan."

Kino menyentuh bahu Andang yang tak tersaput daster, "Aku janji tidak akan bosan.
Ceritakan lah!"

Andang tersenyum getir, "Untuk apa? Untuk mengundang simpati dan mengubah
pandangan mu tentang diriku?"

"Tidak," sahut Kino, "Tidak untuk mengubah apa-apa. Aku cuma ingin tahu, dan cuma
ingin memberikan kesempatan kalau kamu ingin menumpahkan perasaanmu."

Andang membawa tangannya ke muka Kino, membelainya sambil terus tersenyum,


"Baiklah. Kamu memang keras kepala!"

Lalu Andang bercerita tentang kedua orangtuanya yang sudah punya dua putra. Tetapi
satu dari mereka meninggal karena kecelakaan lalulintas. Lalu yang kedua tumbuh
tidak normal karena gangguan saraf, menjadi seorang pemuda terkebelakang dan harus
mendapat perawatan khusus. Setelah bertahun-tahun menderita karena dua musibah itu,
dan setelah mengetahui bahwa mereka tak mungkin punya anak lagi setelah rahim ibu
diangkat karena gejala kangker, akhirnya kedua orangtuanya memutuskan untuk
mengangkat seorang Andang sebagai anak.

"Sampai remaja, aku tidak pernah tahu siapa orangtua ku sebenarnya," bisik Andang,
"Mereka tak pernah mau menceritakannya. Tetapi beberapa tahun yang lalu, selagi
masih di SMA, seorang paman ku membocorkan sedikit rahasiaku. Ia bilang bahwa aku
dipungut dari sebuah panti asuhan anak-anak yang dibuang ..."

Kino terperangah. Ia pernah mendengar atau membaca berita, banyak bayi yang
ditinggalkan ibunya di rumah sakit, atau bahkan dibiarkan menggeletak di pinggir
jalan. Banyak di antara bayi-bayi yang dibuang itu akhirnya mati terlantar, atau
hidup selamanya di panti-panti asuhan. Kini di depannya menggeletak sebuah contoh
nyata. Sangat nyata dan sangat hidup!

"Aku sedih sekali, Kino ...," bisik Andang. Airmatanya mulai menggenang lagi, "Aku
tersadar bahwa aku mungkin seorang anak yang tak diinginkan lahir di dunia ini!"

Kino mengusap muka gadis di sebelahnya, menghapus airmata yang sebagian mengalir
keluar dari sudut-sudut mata.

"Lalu aku mulai frustrasi dan marah kepada kedua orangtua angkatku. Sementara
mereka juga seperti tidak tahu harus berbuat apa. Lama-lama kami jadi saling tidak
peduli. Mereka seperti ingin membuangku tetapi juga tidak tega. Sehingga akhirnya
mereka memberikan segala fasilitas material, tetapi tidak terlalu mengacuhkan apa
yang aku lakukan. Aku pun lalu ingin bebas sesukanya. Toh, tak ada yang akan merasa
kehilangan!" kata Andang dengan getir.

"Bukan salah mereka, tentunya ...," bisik Kino lalu buru-buru meralat, "Aku tidak
bermaksud membela mereka, tetapi pastilah mereka bermaksud baik ketika mengangkat
mu menjadi anak."

"Memang bukan salah mereka," kata Andang, "Aku tak pernah menyalahkan mereka
secara sungguh-sungguh. Tetapi aku juga tidak bisa mencintai mereka sepenuhnya!"

Lalu Andang bercerita lagi panjang lebar, kali ini tanpa berusaha menahan
tangisnya, mengisahkan betapa pedihnya hati ketika ia akhirnya samar-samar tahu
darimana dirinya berasal. Gadis itu nekad menyelidiki panti asuhan tempat ia
dipungut. Ternyata, menurut penyelidikan amatiran itu, ia berasal dari seorang
gadis muda yang terjerumus dalam kehidupan malam dan lalu bunuh diri. Kematian
tragis itu memutuskan semua sejarah dan pengetahuan, siapa sebenarnya ayahnya!

Kino membiarkan Andang memeluknya, menangis di dadanya dengan suara tertahan takut
membangunkan penghuni rumah yang lain. Malam sudah sangat sepi, dan kegiatan Onie
dengan Obenk (atau entah Wempi atau Ganda) sudah lama reda.

Pelan-pelan Kino menempatkan tangannya sebagai bantal untuk gadis yang menuangkan
kegetirannya tanpa aling-aling. Bagi pemuda itu, kisah Andang bukan lah sama sekali
baru. Ia juga pernah menjadi tumpahan perasaan Rima yang punya kehidupan mirip.
Walau begitu, tetap saja perasaannya tersentuh oleh kisah-kisah getir seperti ini.
Sekaligus ia pun menerima ini sebagai perbandingan, bahwa hidup nya sendiri jauh
lebih baik dari orang lain. Ia merasa mendapat pembenaran untuk tidak selalu
mengeluh menerima apa yang ia alami dalam hidup maha lapang ini.

Entah berapa lama gadis itu menangis, Kino tidak tahu, karena akhirnya mereka
berdua tertidur berpelukan.

*******

Dalam mimpi, Kino merasa berada pada sebuah taman luas yang berderang oleh mentari
berwarna-warni. Heran juga pemuda itu, mengapa matahari bisa berubah-ubah warna
seperti lampu disko. Taman pun menjadi berkilauan oleh aneka pelangi. Bunga-bunga
tampak berubah-ubah warna dan tampilan, seperti kelap-kelip jutaan lampu.

Andang berlari-lari riang, mengejar kupu-kupu dan dedaunan yang terbang oleh angin
sepoi sejuk. Kino menggandeng tangannya, menelusuri jalan setapak yang berpagar
pohon-pohon kopi. Ah, ... pohon kopi ini tentu saja adalah cermin dari masa lalunya
di desa.

Lalu mereka tiba di pinggir sungai dan memutuskan untuk mandi. Ah, ... ini juga
sungai dari masa lampaunya. Bercebur riang dan menjerit-jerit manja, Andang
berenang-renang ke tengah. Kino mengingatkannya agar jangan berenang terlalu jauh
karena air agak kencang. Gadis itu membandel, malah menjauh menuju ke tengah.

Lalu ada banjir bandang yang selalu datang tiba-tiba!

Kino menjerit melihat Andang terhanyut. Tanpa berpikir panjang, pemuda itu
mengejar ke tengah, membiarkan arus kencang menariknya ke dalam. Sekuat tenaga ia
berenang, mengerahkan segara keahliannya untuk mencapai gadis yang terlihat
menggapai-gapai minta tolong.

Pegal rasanya tangan Kino, tetapi akhirnya ia berhasil meraih gadis itu. Cepat-
cepat ia memeluk badannya yang basah kuyup dan telanjang, berusaha menariknya ke
tepian. Susah sekali berenang dengan tangan pegal dan dengan beban seperti itu.
Terengah-engah, Kino berusaha menepi. Susah sekali bernafas di dalam air ....
tersengal-sengal .... perlu banyak oksigen .... jangan sampai tenggelam ..... terus
berusaha ..... sekuat tenaga ....... terengah-engah ......

******

Masih terengah-engah, Kino membuka matanya.

Bibirnya dan bibir Andang sedang bergelut ramai, saling memagut. Nafas gadis itu
hangat menerpa seluruh wajahnya. Ini bukan mimpi!

Terengah-engah, Kino membalas kegairahan yang ditawarkan gadis dalam pelukannya.


Mata gadis itu terpejam seperti orang tidur, tetapi gerakan-gerakannya mengatakan
sebaliknya. Kedua tanggannya memeluk leher pemuda itu, sementara satu kakinya
terselip di antara kaki Kino, menjepit erat.

Daster tipis Andang tak lagi beraturan, tersingkap sampai ke pinggangnya. Tangan
Kino telah tiba di pinggul yang mulus, entah sejak kapan. Gadis itu mengerang pelan
ketika telapak tangan hangat pemuda itu menelusur ke bawah, ke belakang, menyelinap
dan menjelajah bukit mulus dan kenyal.

"Kino ...," desah Andang di sela-sela ciuman yang bergelora.

Pemuda itu memainkan lidahnya, membalas ajakan untuk saling beradu-padu di dalam
rongga hangat yang harum. Tangannya menjalar, menyelinap ke bawah karet celana
dalam yang tak terlalu ketat. Jari-jarinya menemukan kombinasi kehangatan tungku
dan kehalusan sutra. Juga sedikit saputan tipis keringat yang mulai terbetik di
bukit-bukit belakang itu.

"Hmmmmm ..," Andang mengerang membiarkan ciuman terlepas dan menyerahkan lehernya
yang jenjang menjadi ladang penjelajahan bibir Kino.

Dengan satu tangan, gadis itu memulai penjelajahannya pula. Ia menelusup ke balik
kaos Kino, bermain-main nakal di puting-puting kecil dada pemuda itu, merasakan
tonjolan kecil itu mengeras seketika. Lalu ia turun bermain-main di perut pemuda
yang kencang dan bergolak ramai. Terus ke bawah melewati batas ikat pinggang yang
masih terpasang karena Kino tidak membawa pakaian tidur. Dengan cekatan, jemarinya
menarik turun resleting yang lancar meluncur tanpa perlawanan. Lalu cepat pula ia
menelusup ke balik celana dalam, menemukan apa yang ia ingin temukan, sudah dalam
ketegaran yang menyatakan persiapan.

Kino mengerang merasakan sentuhan wanita yang tahu ke mana harus menyentuh dan
bagaimana harus menyentuh. Ia merasakan betapa dengan cepat tubuhnya berubah
menjadi letupan-letupan gairah. Tak mungkin ia bisa menahan letupan itu, karena
telapak tangan halus dan jemari lentik di bawah itu sangat ampuh. Tak mungkin ia
bisa memerintahkan bagian tubuh di bawah itu untuk menolak bujukan-bujukan lembut
yang mendatangkan geli-nikmat itu. Tak mungkin!

Kino mendorong tubuh Andang sehingga menelentang terbuka. Tangannya tahu kemana
harus mengarah, beralih dari belakang ke depan, masih berada di balik celana dalam
nilon yang percuma saja berada di bawah sana. Jari tengahnya menjadi biduk kecil
yang meluncur lancar ke antara lembah lembut yang kini agak basah oleh kegairahan
gadis itu.

Andang mengerang, membusungkan dadanya yang kini menerima telusuran tanpa malu-
malu dari seorang pemuda yang tahu ke mana harus membawa mulutnya. Andang tersentak
dan menggeliat ketika mulut itu mulai menangkap dan menghisap dan menggigit bagian-
bagian yang memerlukan perlakuan semacam itu. Sementara kedua pahanya yang sudah
tak terlindungi itu juga telah membuka bagai sebuah gerbang istana yang bersiap
menerima tamu agung.
Cepat dan nyaris otomatis, gerakan-gerakan sensual mereka segera mempertemukan dua
badan yang terdahaga. Cekatan dan lancar pula, Andang meraih kondom di laci sebelah
kiri, dan membantu Kino memasangnya. Tanpa terlalu banyak upaya, bagian bawah tubuh
mereka yang telanjang sudah terpaut-terkait seperti kunci dengan gemboknya. Kedua
kaki Andang yang panjang dan mulus itu memeluk erat pinggang Kino, seperti catut
raksasa terbuat dari kekenyalan yang halus harum.

Ranjang sedikit berderit, tetapi Kino kini tak lagi peduli. Ia merasakan jepitan
lembut dan licin dan basah, seperti penjara yang mustahil melepaskan penghuninya.
Gerakan-gerakan Andang di bawah tubuh pemuda itu semakin mengundang rasa nikmat
yang tak bisa terhindarkan. Kino menimpalinya dengan gerakan-gerakan berlawanan,
menciptakan sinergi birahi yang semakin lama semakin kuat.

Andang meraih tengkuk pemuda yang menindihnya, melumat bibirnya dan menyedot
nafasnya seperti seorang yang kehabisan oksigen. Kino merengkuh bahu gadis itu
sambil menekan dan mendorong. Erangan Andang keluar seperti orang yang tertikam
belati.

Kegulitaan langit yang sudah meninggalkan malam menuju pagi, keramaian jangkerik
dan serangga, dingin yang terbawa oleh embun ..... semua itu menjadi tidak relevan
ketika keduanya bergerak-gerak cepat dan kuat. Andang mengerang-erang semakin
panjang dan keras. Kino merasakan seluruh ototnya bekerja keras menghasilkan energi
mentah yang membawa nikmat.

Ranjang berderit ramai. Andang menjerit kecil, meregang kejang dalam kenikmatan
panjang yang datang dari hentakan hujaman pemuda tegar di atasnya. Kedua kakinya
tak lagi sanggup memeluk pinggang Kino, melainkan menjejak kasur yang sudah
berantakan, membuat pinggulnya naik sedikit, tapi lalu terhenyak karena terdorong
keras dan dalam. Gadis itu seperti memberontak ingin melepaskan diri, walaupun
tentu saja itu adalah gerakan-gerakan penyerahan belaka.

Kino tidak berhenti, melainkan tambah menggebu.

"Oooh ...," Andang mengerang panjang, merasakan untaian geli-gatal di seluruh


tubuhnya berlanjut menjadi gelombang pasang kedua.

"Aaah ..," gadis itu mendesah gelisah karena sibuk melayani kegairahan pemuda yang
kini sedang mendaki puncak.

Lalu disertai ledakan dinamit tak kasat mata, Kino menghenyakkan tubuhnya berkali-
kali, membuat Andang tersentak-sentak dalam nikmat luar biasa, sebelum akhirnya
mereka berdua terhempas di pantai birahi yang adalah kasur lembut tetapi kini basah
di sana-sini oleh keringat keduanya.

Suasana di luar tetap sepi. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

*******

"Maafkan aku, Kino," bisik Andang menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu.
Nafasnya masih agak kurang teratur.

Kino tidak menjawab, sibuk mengatur nafasnya sendiri dan sibuk mengembalikan
kesadarannya dari ketinggian maya yang barusan ia terbangi. Ia masih belum yakin
sepenuhnya, apakah apa yang ia kerjakan tadi itu bagian dari mimpi atau kehidupan
nyata.

Ciuman lembut Andang di lehernya membawa Kino ke alam sadar yang sepenuhnya.
Pemuda itu tersentak kaget, dan sempat berusaha mendorong tubuh gadis itu lepas
dari pelukannya. Tetapi segera pula ia meralatnya dengan rengkuhan erat.

"Maaf ...," desah Andang membiarkan tubuhnya sejenak terdorong lalu tertarik lagi
ke dalam pelukan hangat.

Kino menghela nafas panjang dan menghempaskannya kencang-kencang, "Aku juga yang
bersalah!"

"Tetapi aku membiarkannya terjadi," sergah Andang, airmatanya tahu-tahu terbit


kembali. Mengapa ia begitu cengeng di hadapan pemuda yang baru dikenalnya ini!?

Kino mengusap rambut gadis dalam pelukannya, "Aku juga tidak tahu diri, mengikuti
nafsu."

"Aku memang menginginkannya," bisik Andang, "Tetapi sebenarnya aku tak ingin
memaksa .... "

"Sudahlah!" sela Kino, "Tidak ada yang memaksa dan dipaksa."

"Aku menyesal ...," bisik Andang membiarkan airmata mengalir turun ke dada Kino,
membasahi kaosnya.

"Sudahlah!" sergah Kino lagi, walau ia juga menyesal sekali. Mengapa ia tidak bisa
menahan diri lebih lama? Mengapa harus menyerah oleh dorongan-dorongan di dalam
dirinya. Kau tak mampu mengendalikan diri mu sendiri, Kino! sentak suara kecil di
hatinya. Kau biarkan dirimu hanyut, padahal kau bisa berenang menepi!

Pemuda itu diam. Andang juga diam. Kesunyian memenuhi kamar. Juga keletihan
selakayaknya tubuh yang terdera oleh kegiatan yang menghabiskan banyak energi. Tak
hanya energi nyata, tetapi juga menyedot habis perasaan dan pikiran. Menciptakan
kekosongan yang meletihkan. Menghadirkan rasa sepi yang getir ....

Hanya kantuk yang kemudian bisa menghapus kegundahan mereka berdua. Masih
berpelukan, keduanya terlena dalam tidur panjang ....

*****

Ketika terbangun, Kino sendirian terbaring di bawah selimut. Celana panjang dan
celana dalamnya tergantung rapi di kaki ranjang. Jendela kamar masih tertutup.
Lampu masih mati, tetapi sinar mentari sudah menerobos masuk. Sambil menggeliat,
pemuda itu bangkit dan mengenakan celananya tergesa-gesa. Ia harus segera pergi
karena nanti sore harus mengajar di tempat kursus. Harus segera mencari angkot
keluar dari desa ini, lalu mencari bis ke B.

Di luar, Obenk sudah mandi dan sedang membaca koran.

"Aku antar ke tempat angkot setelah kau sarapan," katanya tanpa mengangkat muka.

"Kemana yang lain?" tanya Kino melihat ke sekeliling. Rumah terasa sepi.

"Sedang keluar," jawab Obenk pendek, melanjutkan membaca.

Kino melangkah ke ruang makan, merasakan perutnya berkeroncongan. Ia melihat


tinggal satu piring tertelungkup di meja, dan merasa sedikit malu karena bangun
paling siang. Dengan agak enggan ia duduk dan menyendok nasi goreng lalu
menyantapnya diam-diam.

Rumah benar-benar sepi, dan tetap begitu sampai Kino selesai sarapan. Ia bangkit
mengambil ransel di pojok kamar tamu, lalu mendekati Obenk yang masih asyik
membaca.

"Ke mana Andang?" tanya Kino, tiba-tiba merasa kesepian setelah apa yang terjadi
tadi malam.

"Pergi ke ibukota," jawab Obenk pendek.

Kino tersenyum, menyangka si kerempeng gondrong itu bercanda. Mana mungkin gadis
itu pergi begitu saja setelah kejadian semalam.

"Aku mau pamit kepadanya. Aku harus bicara sedikit ....," ucapan Kino terpotong
oleh pandangan Obenk yang mengangkat muka dari bacaannya.

"Dia meninggalkan surat. Bacalah di perjalanan," kata Obenk sambil meraih sesuatu
dari kantong bajunya dan menyerahkannya ke Kino.

"Maksudmu?" tanya Kino, menyadari bahwa kawan barunya ini tidak bercanda.

"Ayo kita berangkat," kata Obenk tak mempedulikan pertanyaan Kino.

"Hei!" sergah Kino mencekal pergelangan tangan Obenk, menghentikan langkahnya,


"Aku belum pamitan!"

Obenk melepaskan diri dari cekalan Kino, lalu menepuk bahu pemuda itu dan berucap
pelan, "Aku tahu. Aku juga tahu apa yang kalian lakukan tadi malam. Sebab itu pula,
pulanglah segera dan baca surat itu di perjalanan!"

Kino terperangah, lalu perlahan mengikuti langkah Obenk keluar rumah menuju motor
di halaman. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya melesat meninggalkan rumah yang
telah memberikan pengalaman-pengalaman menakjubkan bagi Kino itu. Sejenak, pemuda
itu menengok, memandang sekali lagi ..... bertanya dalam hati, apakah ia akan
kembali ke sini, atau ....

Dalam perjalanan menuju terminal angkot, Obenk tidak banyak berkata-kata, seakan
sedang merenungkan sesuatu yang sangat serius. Sebelum berpisah,troubadour
berideologi kekiri-kirian itu menjabat tangan Kino erat-erat.

"Aku tak terlalu berharap berjumpa lagi. Tetapi kau tahu nomor telpon Andang, dan
aku tak tahu begitu peduli apa yang terjadi antara kalian. Jadi, terserah ........
" ucapan Obenk tak selesai.

Kino mengangguk, "Aku tak bisa memutuskan sekarang, tetapi tentang Andang ......"

"Jangan terlalu kuatir," sela Obenk sambil tersenyum, "Jangan terlalu dipikirkan."

"Tetapi .... "

"Itu angkotmu, segeralah naik!" potong Obenk sambil mendorong punggung Kino.

"Sampaikan salamku untuk semuanya," akhirnya Kino berkata dari atas angkot.

Obenk tersenyum lagi, menggumamkan sesuatu tak jelas, melambaikan tangan, lalu
berbalik dan tidak menengok lagi. Bersamaan dengan berangkatnya angkot, Kino
mendengar motor pemuda itu meraung menjauh.

Di atas bis yang menuju B, Kino membuka amplop merah muda yang diberikan Obenk
kepadanya. Di dalam ada selembar kertas surat tipis berwarna sama dengan tulisan
yang tergores tergesa-gesa ...
Maafkan Andang, dan tolong lupakan semua yang terjadi tadi malam. Andang tak ingin
kamu berubah dan bergaul dengan kami, atau menjadi bagian dari kami. Kembali lah ke
B, dan lupakan kami. Kalau pun ingin mengenang Andang, kenanglah seorang gadis yang
tak sesuai untuk hidup mu. Andang akan mengenangmu sebagai mimpi indah.

Kino menghela nafas panjang, merasakan kerongokongannya tersekat oleh sedikit


getir. Apalagi kemudian ia membaca baris terakhir surat itu ....

Kalau kamu menelpon, mungkin aku tak akan mau menerimanya. Selamat jalan dan
selamat tinggal!

Kino menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tidak tahu, apakah surat ini adalah
tumpahan kemarahan atau justru sebuah keputusan terbaik. Pemuda itu tak sepenuhnya
paham, apa yang terjadi dengannya dan Andang tadi malam. Apakah bisa sebuah
kegairahan badaniah berlangsung begitu saja, lalu hanyut menghilang tertelan masa.
Apakah tidak ada sedikit pun perasaan yang tertinggal di dalam diri gadis yang
tubuhnya ia jelajahi, ia masuki, ia selami secara bergairah itu. Apakah karena
memakai pencegah kehamilan maka tidak ada bekas apa pun setelah cairan cinta
tertumpah?

Bis meraung-raung mendaki tanjakan terjal. Kino tercenung memandang ke luar


jendela. Tak mungkin aku tidak berubah setelah kejadian tadi malam, desahnya dalam
hati. Walaupun gadis itu bersikeras memintanya tetap seperti sedia kala, kini ia
bukan seperti sebelum bertemu dengan Andang. Biar bagaimana pun, Obenk dan
kelompoknya telah menggoreskan pena hitam yang tidak bisa hapus. Andang bahkan
telah menorehkan kegetirannya, kekecewaannya kepada hidup, di benak ku yang terlalu
naif ini!

Dan hidup ini menjadi makin lapang bagiku .... keluh Kino sambil menyandarkan
tubuhnya, mencoba melepas gundah.

Dua jam kemudian, bis tiba di B dan pemuda itu bergegas menuju tempat kost untuk
mandi dan berganti pakaian. Ibu semang tidak terlihat, dan dengan lega Kino bisa
segera menuju tempat kursus untuk mengajar. Ia merasa beruntung, kesibukan sore itu
agak mengurangi kegundahannya.

Hari demi hari berlalu dengan cepat bagai sepotong kayu kering yang melaju di atas
sungai deras. Bagai burung elang yang melesat menembus langit biru ...

Hidup Kino menjadi rutin dan terpola: bangun pagi, olahraga sedikit, membantu ibu
semang di halaman, mandi, berangkat ke kursus atau ke kampus untuk belajar, pulang
sore, membantu ibu semang mengerjakan ini atau itu .... Begitu selalu. Nyaris Kino
terlanda bosan, kalau saja ia tidak bertemu beragam corak perilaku orang di tempat
kursus di mana ia mengajar. Tingkah laku anak-anak SMA yang bersemangat mengasah
keampuhan matematik mereka dalam rangka menembus ujian masuk perguruan tinggi ...
ah, mengingatkannya pada masa-masa lalu .... anak-anak yang penuh semangat, walau
tak punya bayangan sepicing pun tentang seperti apa nantinya kehidupan di perguruan
tinggi!

Sudah lebih dari 6 minggu berlalu sejak rangkaian kejadian yang ia alami bersama
kelompok Obenk, dan sudah selama itu pula Kino tidak bersua-jumpa dengan satu pun
sahabatnya. Ia cuma pernah melambai ke Tigor yang sedang membocengi Lia keluar dari
kampus. Ia bahkan tidak sempat mengucap salam ketika Ridwan dan rombongannya lewat
di depan perpustakaan. Ia pernah berjumpa Rima, tetapi gadis itu cuma tersenyum dan
melangkah cepat entah ke mana.

Semua orang tampak sibuk, atau berusaha terlihat sibuk. Seluruh kampus tampak
sibuk, walau Kino yakin tak semua kesibukan itu apa-adanya. Banyak di antara
kesibukan itu yang menyembunyikan kebosanan, atau kerutinan yang menjebak mengikat.
Percuma Kino berusaha menjenguk kampus untuk menjumpai teman-temannya. Mereka semua
seperti kabut tipis di pagi hari: bisa dilihat dengan jelas, tetapi tak bisa
dipegang tangan.

Indi ... Ya, cuma gadis itu yang tersisa dari masa lampaunya. Itu pun karena
tempat tinggal mereka berdekatan; cuma berbatas tembok.

Tetapi kalau pun mereka bersua-jumpa dan bertemu-muka, yang muncul adalah rasa
kikuk dan rikuh. Setidaknya, itulah yang terjadi pada awal-awal perjumpaan.

"Hai, apa kabar ..," ucap Kino dan Indi berbarengan pada suatu siang terik di
suatu Sabtu yang menjemukan.

"Baik-baik ..," ucap Indi terburu-buru.

"Biasa saja ..," kata Kino berberengan.

Ucapan-ucapan mereka saling bersusulan berbenturan, sekaligus tak bermakna banyak


selain sapa basa-basi. Indi tampak risau, dan Kino tampak rikuh. Kalau Indi
berusaha memperpanjang perjumpaan, maka yang terjadi adalah kesimpang-siuran
perasaan. Kino tak tahu harus bersikap bagaimana, sehingga menambah galau suasana
di setiap perjumpaan.

Pada perjumpaan ke tiga, di suatu sore yang juga kering dan menjemukan, Indi
mencoba ramah.

"Kursus-nya lancar-lancar saja?" tanya gadis itu sambil mencoba menahan ayunan tas
sekolahnya, yang sebetulnya adalah cermin dari kerisauan. Ia selalu menggoyang-
goyangkan tasnya, atau apa saja yang ada di tangannya, kalau sedangnervous .

"Ya ... lancar-lancar saja," sahut Kino, "Sekolah mu bagaimana?"

"Lancar-lancar juga ... Biasa saja," jawab Indi. Lalu diam.

Kino berupaya melanjutkan pembicaraan, "Sudah dekat ujian akhir ... Sudah siap?"

Indi menunduk, "Ya ... begitulah ... "

Kino memang merencanakan yang satu ini: ia ingin bertanya, apakah Indi perlu
bantuan dalam matematika. Tetapi, entah kenapa, sulit sekali menyusun kalimat yang
bisa dengan jelas mengungkapkan rencana itu.

"Bagus," kata Kino, tanpa sepenuhnya tahu apa yang ia maksud dengan sepotong kata
kering itu. Apanya yang "bagus"?

"Yaa ... begitulah," jawab Indi tetap menunduk, tetap menggoyang-goyangkan tasnya.

Angin kering berhembus, membuat keduanya gerah. Kino berusaha mengusir panas
dengan mengibas-ngibaskan kerah bajunya. Indi berkali-kali membetulkan rambutnya
yang, walaupun pendek, terasa masih terlalu panjang untuk suasana kering dan gerah
seperti ini.

"Gimananaik gunungnya?" tanya Indi memecah kesunyian.

Kino sejenak terperangah, tetapi lalu menyahut cepat, "Biasa-biasa saja ... Tidak
ada yang istimewa."

"Gunungnya masih sama?" tanya Indi, tak tahu harus bertanya apa.
"Masih," jawab Kino, tak tahu harus menjawab apa. Tak kan lari gunung di
kejar .... Bukankah, begitu?

Indi tertawa kecil, menyadari kekonyolan pertanyaannya. Kino tertawa juga,


menyadari bahwa Indi menyadari kekonyolannya sendiri dan mungkin juga kekonyolan
dunia ini seluruhnya.

Seonggok daun kering bergemerisik terbawa angin, melewati ruang di antara Kino dan
Indi yang berdiri berhadapan di bawah pohon yang tak bisa menyediakan rindang. Debu
ikut terbang, lengket di mana-mana. Juga di seragam putih Indi dan di muka Kino
yang berkeringat. Sangat tidak nyaman, berdiri diam dalam kering - kerontang
seperti ini.

"Kamu masih marah?" akhirnya Kino berhasil mengeluarkan pertanyaan penting ini.

Indi mengangkat muka. Kedua matanya yang bening sejenak menyiratkan sinar, tetapi
lalu segera meredup menghilang kembali.

"Masih marah?" desak Kino karena Indi tak menjawab.

"Masih," jawab Indi pendek, kedua matanya masih menatap langsung ke Kino.

"Maaf," kata Kino pendek, menantang pandangan gadis di depannya, mencoba


menyampaikan pesan bahwa ucapannya itu adalah ungkapan langsung dari lubuk hatinya.
Ia memang merasa perlu minta maaf, walaupun tak sepenuhnya pasti apa yang perlu
dimaafkan itu.

"Kanapa minta maaf?" kata Indi, jernih bening seperti mata pedang yang barusan
terasah.

Kino mengernyitkan dahinya. "Kamu marah kepadaku,kan ?"

Indi menggeleng pelan, "Tidak lagi."

"Lalu, kenapa masih marah?" tanya Kino semakin heran.

"Kenapa Kak Kino peduli, aku marah atau tidak?" Indi balik bertanya.

"Karena aku pikir kamu marah kepadaku," sahut Kino cepat.Apa-apaan ini? sergah
hatinya.

Indi mendengus pelan, nyaris tak jelas, "Egois!" sergahnya.

Kino terpana. "Lho... siapa yang egois?" sergahnya membalas.

"Kak Kino," sahut Indi ketus, "Cuma peduli pada apa yang terjadi pada diri Kak
Kino!"

"Aku tidak mengerti ...," kata Kino terputus.

"Kak Kino cuma peduli, karena menyangka aku marah kepada Kak Kino!" potong Indi
cepat.

"Tapi ...," ucapan Kino terputus lagi.

"Kak Kino tidak peduli kalau aku marah kepada yang lain ... kepada orang lain ...
kepada semua orang!" kata Indi, menerobos kuat di antara relung-relung kerikuhan.

"Lho... apa maksudmu?" ucap Kino sungguh tak mengerti.


"Ah ...ngga usah peduli, lah! Buat apa Kak Kino peduli kalau memang tidak
mengerti!" sergah Indi.

Kino menghela nafas panjang dan menghempaskannya kuat-kuat. Gadis di depannya ini
selalu menawarkan teka-teki yang merisaukan.

"Bahkan Kak Kino tidak perlu peduli pada perasaan apa pun yang Indi rasakan!"
lanjut Indi seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan cara terbaik untuk
mengungkapkan pendapat dengan baik dan benar.

"Aku tak mengerti, Indi!" sergah Kino.

"Tidak pernah mengerti!" sela Indi cepat dan lebih keras dari sebelumnya, "Kak
Kino tidak pernah mengerti perasaan Indi. Tidak mau mengerti. Tidak mau tahu. Tidak
peduli!"

Kino terpana. Sialan! sergahnya dalam hati. Kenapa gadis ini jadiblingsatan di
depanku, padahal sebelumnya ia seperti kucing terguyur seember air dingin?

"Kenapa,sih , Kak Kino tidak sekali-kali berusaha mengerti?" tuntut Indi seperti
seorang demonstran menuntut seorang politisi yang sudah terpojok-terdesak. Seperti
seorang jaksa menuntut seorang terdakwa yang menghadapi risiko hukuman mati.

"Aku sudah berusaha, tapi ....," ucapan Kino terhenti sendiri.

Indi menunggu sejenak, lalu karena tak ada kelanjutannya gadis itu menyambung,
"Tapi Kak Kino tidak betul-betul berusaha. Kak Kino membiarkan Indi menjelaskan
sendiri kepada Kak Kino, apa yang Indi rasakan. Kak Kino tidak pernah sungguh-
sungguh ingin mengetahui perasaan Indi!"

Kino terdiam. Angin ikut diam. Pohon-pohon ikut diam. Nafas Indi terdengar agak
memburu. Gadis itu seperti mengeluarkan energi berlipat ganda untuk mengungkapkan
semua yang barusan ia ungkapkan. Sesungguhnyalah Indi merasakan jantungnya berdebur
sangat kuat dan emosinya seperti air sungai yang banjir bandang hendak meluap
menerjang ke tepian.

"Aku mau pulang," bisik Indi tiba-tiba.

Tanpa menunggu reaksi Kino, gadis itu membalik dan melangkah ke rumahnya yang
memang cuma terletak beberapa meter saja dari tempat mereka berdiri.

"Aku ikut!" tahu-tahu Kino sudah berkata begitu sambil menyusul Indi.

"Akucapek ... mau tidur!" sergah Indi ketus sambil terus melangkah.

"Indi ...," bujuk Kino, "Aku masih ingin bicara dengan kamu."

"Capek... bicara dengan Kak Kino, aku selalucapek !" sahut gadis yang memang bisa
sekeras cadas dan setajam belati itu.

"Kak Kino janji, kali ini akan berusaha mengerti," bujuk Kino, berusaha mengiringi
langkah Indi.

Indi menghentikan langkahnya, membalik menghadap Kino yang berada dekat sekali di
belakangnya. "Jangan berjanji yang tidak bisa Kak Kino penuhi!" katanya pendek,
lalu melangkah pergi.

Kino terdiam. Dengan lesu ia membiarkan Indi pergi, memandangnya menghilang di


balik gerbang halaman rumah.

Setelah sekitar dua menit terdiam, pemuda itu berbalik menuju tempat kost-nya yang
memang juga cuma beberapa langkah dari situ. Namun, walaupun secara fisik jarak itu
dekat, terasa seperti berkilo-kilo meter dalam pikiran Kino. Letih sekali ia
menjalaninya.

Dengan kepenatan yang entah datang dari mana, Kino menghempaskan tubuhnya di dipan
di kamar kost-nya dan mengeluh dalam-dalam kepada kesunyian di sekelilingnya.

******

Indi tak pernah berhenti membuat Kino terperangah-terpana.

Pada suatu Minggu siang, ibu semang meminta Kino naik ke atas pohon mangga untuk
membersihkan benalu yang telah meranggas. Pemuda itu menyanggupi, karena ia memang
tidak punya rencana apa-apa, dan karena memanjat pohon adalah kegemarannya sejak
kecil. Apalagi memanjat pohon mangga!

"Kalau tidak dibersihkan, Ibu kuatir pohon itu mati sebelum berbuah, nak Kino,"
kata ibu semang memberi penjelasan yang tak perlu.

Anak desa seperti Kino tentu saja tahu seluk-beluk benalu dan pohon mangga. Tetapi
penjelasan ibu semang itu tak urung membuatnya jengah. Kalau memang sudah tahu,
kenapa dia tidak berinisiatif membersihkannya sebelum diminta?

Berbekal arit yang dengan santai ia sangkutkan ke belakang celana, Kino naik
dengan cepat ke atas pohon. Secara cekatan ia memilih dahan yang cukup kokoh untuk
dipijak, lalu mulai menebas benalu yang membelit di sana-sini. Ia juga harus hati-
hati dengan semut-semut merah yang mampu menebar rasa panas kalau menggigit. Tetapi
Kino tak asing dengan semua ini, maka ibu semang yang tadinya menunggu kuatir di
bawah akhirnya pergi untuk urusan lain.

Posisi pohon mangga itu sedemikian rupa sehingga Kino bisa melihat ke seberang
tembok, ke lokasi rumah Indi.

Baru sepuluh menit di atas pohon, Kino mendengar suara gadis itu berseru,
"Ngapaindi sana?"

Kino menghentikan tebasan aritnya, menengok ke bawah dan menemukan si centil


berdiri bertolak-pinggang, bercelana pendek dan berkaos kedodoran. Sebuah handuk
melingkar di lehernya.

"Kak Kino sepertiabang-abang tukang kebun!" seru Indi sambil tertawa kecil.

Kino ikut tertawa. Hmmm ... tiga hari yang lalu si centil itu marah-marah!
sergahnya dalam hati.

"Habis itu, bersihkan juga pohon jambu di rumahku, yaaa!?" seru si centil sambil
tetap bertolak pinggang.

"Ongkosnya mahal!" sahut Kino sambil mengusap keringat di dahinya dengan punggung
tangan.

Indi mencibir, "Mana ada tukang kebun yangnawar !"

"Yang ini tukang kebun profesional!" sahut Kino, lalu mulai menebas lagi.

Ia harus menyelesaikan pekerjaannya, dan tidak ingin menimpali si centil di bawah


sana.

Indi tertawa lalu sambil berjalan ia berkata, "Aku mau mandi dulu, ah!"

Kino tersenyum dan melanjutkan kegiatannya. Untunglah dia harus mandi, sergahnya
dalam hati. Kalau tidak pekerjaanku tak kan selesai karena harus melayani
celotehnya.

Namun Kino salah besar. Justru peristiwa mandi itulah yang nyaris menghentikan
pekerjaannya sama sekali.

Ketika baru sekitar lima tebasan, Kino mendengar suara Indi lagi, "Dari
sinikeliatan juga, Kak Kino!"

Kino menengok ke arah suara, dan sejenak ia melongo. Indi berada di kamar mandi
yang jendelanya menghadap ke pohon mangga tempat kini pemuda itu berada. Gadis itu
membuka jendela lebar-lebar, sehingga Kino bisa melihat seluruh isi kamar mandi dan
penghuninya, yakni si centil itu!

"Aku maunonton Kak Kino sambil mandi!" seru Indi sambil meletakkan handuk yang
tadinya melingkar di leher ke gantungan baju.

Kino terkesiap. "Hei! Jangan nakal begitu, Indi!" serunya cepat-cepat karena sudah
menduga apa yang akan gadis itu lakukan.

Tetapi Indi tak peduli. Gadis itu dengan santai membuka kaosnya. Ia tidak memakai
apa-apa di balik kaos itu, dan Kino melihat apa yang pernah dilihatnya pada diri
gadis ranum yang sedang beranjak dewasa itu. Walaupun ia pernah melihatnya, tetapi
apa yang dilihatnya kali ini tetap saja membuat pemuda itu tersentak. Dua bukit
kenyal itu, ranum dan mulus dan menantang .... Siapa pun pasti terkejut kalau
melihatnya, dan kalau orang itu sakit jantung mungkin ia segera jatuh terkapar dan
mati detik itu juga! Apalagi kalau orang itu ada di atas pohon!

"Indi!" jerit Kino tertahan. Hampir saja arit di tangannya jatuh ke tanah.

Indi kini sudah membuka celananya, dan sekali lagi ia tak memakai apa-apa di balik
celana pendeknya. Semuanya kini terpampang jelas dan merupakan pemandangan unik
dari atas pohon mangga! Seekor semut merayapi kaki Kino dan pemuda itu bahkan tak
merasakan gigitannya!

Indi lalu mulai mengguyur, dan seperti tidak ada apa-apa sekali-sekali menengok ke
atas, tersenyum melihat Kino salah tingkah. Ia bahkan berseru, "Ayoterusin kerjanya
Kak Kino! Janganliat ke sini!"

Kino menggerutu dengan keras. Mengumpat dengan kuat sambil memijat semut sial yang
tadi menggigit kakinya. Ia memalingkan muka untuk mulai bekerja lagi. Tetapi tentu
saja ia juga sekali-sekali menengok ke bawah!

Indi menyabuni tubuhnya dengan seksama, melakukannya pelan-pelan seperti sengaja


memberi sebanyak mungkin kesempatan untuk Kino.

Kino menggerutu dan mengumpat lagi. Tebasannya jadi tambah kuat, tetapi juga
sering salah sasaran. Ia bahkan hampir saja menebas dahan tempatnya berdiri!

"Siksaan" yang dilakukan oleh Indi berlangsung cukup lama, dan sangat beruntunglah
Kino karena pemuda itu tidak tergelincir dan jatuh dari ketinggian sekitar 3 meter.
Sepanjang mandi, sesekali gadis itu memberi komentar, membuat Kino salah tingkah
karena ia harus menahan niatnya untuk menengok ke arah si centil yang sedang
berbalut busa sabun itu. Sambil menahan geram, pemuda itu memutuskan untuk tidak
melayani godaan Indi, dan melanjutkan kegiatannya menebas benalu.

Terdengar suara air diguyurkan ke badan, berkali-kali dan seakan-akan bertalu-talu


di gendang telinga Kino. Muka pemuda itu sudah merah, baik oleh letih akibat
menebas dengan kekuatan penuh, maupun oleh jengah dan geram akibat perbuatan Indi.
Tetapi, apa yang bisa ia lakukan di saat seperti ini? Ia tidak bisa menyalahkan
Indi, karena gadis itu memang tidak pernah memintanya menengok. Kenakalan-
kebandelan yang seperti ini tak pernah bisa ditimpali dengan kemarahan. Bahkan
mungkin tak ada reaksi normal apa pun yang bisa diberikan terhadap tingkah seperti
itu!

Untunglah akhirnya gadis itu selesai mandi. Terdengar ia menggumamkan lagu sambil
melap tubuhnya yang mulus dengan handuk. Semuanya ia lakukan dengan santai dan
perlahan. Kino bersikeras untuk tidak menengok, dan itu adalah upaya yang paling
sulit-pelik yang pernah ia jumpai seumur hidupnya!

"Yang bersih yaaaa ...!" akhirnya pula Indi berteriak begitu, lalu Kino
mendengarnya keluar dari kamar mandi.

Lalu sepi. Nafas pemuda itu kini jelas terdengar. Tersengal dan memburu.

Sepuluh menit kemudian, pemuda itu turun. Keringat memenuhi tubuhnya. Beberapa
bercak merah terlihat di betisnya, bekas gigitan semut yang tak sempat ia usir.
Goresan-goresan getah memenuhi lengannya. Potongan-potongan daun hinggap di
rambutnya. Ia seperti seorang gerilyawan yang barusan turun dari tempat
persembunyian. Atau lebih tepatnya, ia bagai seorang gerilyawan yang kecewa karena
tak berhasil menembak musuhnya dari atas pohon.

******

Sehabis peristiwa "pohon mangga" itu, Kino dan Indi tak pernah bersua lagi selama
seminggu.

Sepucuk surat dari kampung halaman muncul di kamar kost pemuda itu, ibu semang
yang membawanya.

Dalam keremangan senja, sambil duduk di dipan, Kino membaca kabar dari kampung.
Surat itu dibuka dengan kabar tentang ayah yang sempat ke dokter untuk memeriksakan
kesehatannya. Ah, ayah kini sudah tua ... desah Kino ... ada saja penyakit yang
menjenguknya. Untung ibu adalah seorang yang terdidik dalam perawatan kesehatan.
Kata ibu di surat itu, ayah terlalu banyak gula dan harus mengurangi konsumsi
makanan atau minuman yang manis-manis. Susi, adiknya, kini punya tugas baru, yaitu
mengawasi ayah agar tidak "lupa" mengurangi gula untuk kopinya.

Ibu juga menulis di surat, mengingatkan Kino agar datang ke pesta perkawinan Alma
dan Devan yang akan berlangsung sebentar lagi. Oh, yaa ... bisik Kino sendirian,
aku musti segera membeli kado perkawinan untuknya. Apa yang musti aku beli? Mungkin
sebuahsouvenir buatan lokal .... atau sebuah pigura dari kayu .... atau satu set
piring-cangkir ... Ah, yang terakhir ininorak !

Tercenung, Kino kini juga sadar bahwa ia belum pernah pergi ke ibukota. Ayah dan
ibu memang pernah menuliskan alamat seorang famili di sana, tetapi bagaimana harus
mencari alamat itu? Kino pernah mendengar dari Tigor, bahwa mencari alamat di
ibukota tidaklah semudah mencari alamat di B. Katanya, ia harus tahu persis wilayah
mana tempat alamat itu berada, lengkap dengan RT dan RW.

Tanpa menyelesaikan membaca surat, Kino bangkit menuju meja belajarnya. Setelah
mengobrak-abrik laci demi laci, pemuda itu mengeluarkan sebuah brosur yang sudah
agak lusuh termakan usia.
Hmmm ..., Kino tersenyum sambil membuka-buka brosur itu. Mungkin lebih mudah
mencari alamat yang ditinggalkan Mba Rien sebelum ia meninggalkan kota kelahirannya
dulu! Tercantum di brosur itu, nama dan alamat sebuah sanggar tari, lengkap dengan
peta sederhana yang menunjukkan lokasi secara jelas.

Kino kembali ke tempat tidurnya, melanjutkan membaca surat. Dalam hati ia


memutuskan untuk mulai besok mencari tahu cara terbaik pergi ke ibukota,
menghitung-hitung ongkos keretaapi atau bis antarkota. Ia juga harus mulai
menghitung berapa uang yang bisa ia belanjakan untuk kado.

Kalau Kino bertanya-tanya tentang bagaimana seharusnya ia bersikap jika menghadapi


Indi, maka gadis itu pun punya pertanyaan yang sama. Tentu saja, kini ia berhadapan
dengan dirinya sendiri. Itu bukanlah sesuatu yang mudah, bagi seseorang yang sedang
menanjak dewasa dan punya kecenderungan untuk menentang segala yang bisa dia
tentang.

Ketika pikiran nakal mendorongnya untuk menggoda Kino yang sedang ada di atas
pohon, sesungguhnya Indi sedang dalam kegelisahan yang memuncak. Persoalannya cuma
satu: ia tidak bisa menghindar dari pemuda itu, sekali pun secara fisik ia betah
berpisah sepanjang-panjang waktu. Ia tak terlalu gundah mempersoalkandi mana Kino
berada, tetapi selalu gelisah mengenaibagaimana Kino bisa ada di mana-mana
sementara bayangannya terus menempel di benak!

Indi sudah mencoba berpacaran dengan beberapacowok yang sudah jelas bertekuk-lutut
di hadapannya. Tetapi, justru itu lah persoalannya: para pecundang itu tidak
menarik buatnya. Cepat sekali Indi bosan pada permainan-permainan satu arah yang
ditawarkan oleh para pecundang itu. Tidak ada yang baru dalam diri Hara, Eming,
atau Randi ....semuanya adalah para pemuja dan pemanja yang sangat penurut. Indi
mungkin bisa menyuruh mereka berenang di kubangan kerbau sebelum mengijinkan mereka
mencium atau memeluknya.

Terkadang Indi berpikir, betapa gobloknyacowok-cowok itu, mau melakukan apa saja
demi sebuah ciuman atau pelukan. Sering pula Indi bergidik sendiri membayangkan
betapa ia punya kekuasaan begitu besar atas para pemujanya. Bagaimana kalau aku
berubah menjadi maniak dan menyuruh mereka menembak seseorang sebelum bisa mendapat
ciumanku? Pikirnya pada suatu hari.

Dengan Kino,segalanya berubah total. Indi benci sekali pada kenyataan ini. Ia
tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mengajarkan kemandirian dan ketegaran.
Ayahnya seorang yang pernah hidup sangat miskin tetapi lalu berhasil bangkit dan
kini bahkan menjadi salah seorang tokoh di bidangnya. Ibunya seorang pekerja keras
yang menolak bergantung kepada keluarga besar, dan memilih membanting tulang untuk
mendukung suami tercinta. Kedua orang tuanya mengajarkan kepada Indi secara tidak
langsung, bahwa menjadi diri sendiri jauh lebih penting daripada menjadi kaya raya.

Kini kehadiran Kino membantah semua aksioma itu. Dengan gundah Indi menemukan
kenyataan, bahwa jika berhadapan dengan Kino, ia kehilangan dirinya sendiri!

Ketika ia melihat Kino ada di atas pohon mangga, menebas benalu dengan cekatan,
tiba-tiba saja pikiran nakal itu muncul. Tiba-tiba saja ia ingin menyampaikan
kepada pemuda keras kepala itu, betapa ia bisa sangat ekstrim dalam merayu dan
menggoda. Itu lah sebabnya ia menelanjangi dirinya di depan pemuda itu.

Ada perasaan aneh ketika Indi melakukan semua kenakalan itu .... perasaan yang
sekaligus menakjubkan dan mengerikan!

Aku suka bertelanjang di depannya! seru Indi takjub dalam hati, ketika dengan
tenang ia menyabuni tubuhnya dan tahu bahwa sepasang mata Kino terpaku padanya. Ia
menyaputkan busa-busa mewah sabun mandinya dengan lambat dan penuh perasaan,
membayangkan betapa pemuda yang di atas pohon itu sedang menikmati pemandangan
gratis yang disajikannya. Ia bahkan menggelinjang kecil sendirian, ketika salah
satu jarinya secara nyaris tak sengaja menyentuh putingnya yang segera melenting
memberikan reaksi alamiah. Sepanjang gerakan menyabun itu, Indi menikmati getar-
getar indah yang selalu ia rasakan ketika dulu Kino pernah menjamahnya!

Kalau saja Indi lebih gila dari dirinya saat itu, ia mau melakukan sesuatu yang
lebih. Ketika menyabuni wilayah-wilayah di bawah pusarnya, Indi tergoda untuk
menelusuri lepit-lekuk di bawah sana yang sedang bergejolak ramai. Tetapi, segila
apa pun, Indi masih punya rasa malu dan barangkali juga sedikit sisa dari harga
dirinya. Ia menolak sekuat tenaga, dorongan untuk mengelus-elus selangkangannya
sendiri. Ia menyanyi-nyanyi untuk menghilangkan pikiran gila itu!

Kino tentu tidak tahu, bahwa perilaku Indi di kamar mandi waktu itu sebetulnya
tidak berlaku satu arah. Sebetulnya, "siksaan" yang gadis itu lakukan terhadap
Kino, berlaku juga padanya. Sepanjang mandi yang kontroversial itu, getar jantung
Indi sama cepatnya dengan degup jantung Kino. Tentu saja, Kino menghadapi risiko
lebih besar, yakni jatuh dari pohon. Tetapi sebenarnya Indi juga menghadapi risiko
besar, misalnya kepergok oleh ayah atau ibunya, atau adik dan kakaknya.

Indi bernyanyi-nyanyi sepanjang mandi untuk mengusir kegalauan, sekaligus


mempertahankan perbuatan yang membuat dirinya ikut terangsang itu!

Setelah selesai mandi, Indi menenangkan diri, menghanduki tubuhnya yang telanjang
sambil mengatur nafasnya yang memburu. Ia sebenarnya keluar dari kamar mandi dengan
langkah goyah, merasakan dirinya seperti astronot yang melangkah di bulan,
melayang-layang.

Indi sengaja berteriak menggoda untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kamar
mandi, semata-mata untuk menyatakan semacam kemenangan atas segala peristiwa itu.
Tetapi Indi tak pernah yakin, apakah betul ia "menang" dalam permainan gila ini,
ataukah itu semata-mata menghibur diri sendiri. Indi lebih yakin bahwa dalam
permainan kali ini, dirinya maupun Kino ada di pihak yang kalah.

Setelah mandi, Indi pergi ke luar untuk memenuhi permintaan tolong ibunya
berbelanja bulanan. Gadis itu merasa beruntung punya kegiatan fisik yang bisa
membantunya melepaskan diri dari galau perasaan sejak keluar dari kamar mandi.
Bersama Mutia, sahabatnya, Indi menghabiskan tak kurang dari 3 jam berbelanja.
Sebenarnya, kegiatan belanja itu sendiri cuma setengah jam. Dua setengah jam
sisanya adalah untukngoceh danwindow shopping .

*******

Sepulang belanja, dengan tubuh penat Indi merebahkan diri dan segera tertidur.

Tetapi tidurnya tak sempurna, karena sebuah mimpi menyeruak dan kemudian
membangunkannya. Di mimpi itu, Indi merasa sedang berenang di sebuah danau yang
jernih, begitu jernihnya sehingga ia benar-benar bisa merasakan bagaimana berenang
bersebelahan dengan ikan-ikan aneka warna. Penuh semangat, gadis itu menyelam dan
tinggal di dalam air selama mungkin bersama ikan dan bebatuan dan ganggang dan
lumut. Aneh juga, ia bisa berlama-lama di dalam air. Tetapi, tentu saja ini adalah
mimpi.

Tentu saja pula, hanya dalam mimpi lah Indi bisa berenang telanjang bulat di
sebuah danau. Tanpa sehelai benang pun di tubuhnya yang mulus, gadis itu bagai
seekor ikan duyung yang sedang bercanda bersama alam sekitar. Air bening tak mampu
menyembunyikan kesegaran yang indah dari tubuh seorang belia penuh jiwa muda
bergetar-bergejolak. Gerakan tangan dan kaki yang gemulai bagai seorang penari
khayangan, menambah keindahan menjadi nyata belaka. Bahkan ikan-ikan pun tampak
senang berenang dekat-dekat kulit langsat mulus yang berkilauan terterpa cahaya
mentari.

Lalu Indi menyeruak keluar dari air, rambutnya yang pendek telah kuyup sempurna,
membentuk sebuah topi legam di sekujur kepalanya. Air memenuhi mukanya, mengalir
turun ke lehernya yang jenjang, meluncur cepat di atas bukit-bukit kenyal dadanya.
Beberapa butiran sisanya bertahan di mana-mana; di kelopak matanya yang berkerejap,
di ujung hidungnya yang bangir, di sudut-sudut bibirnya yang memerah-muda ...

Indi tersenyum manis kepada seorang pemuda yang duduk menjuntai kaki di sebuah
batu di pinggir danau. Pemuda itu membalas senyum Indi tanpa melepaskan
pandangannya ke tubuh indah yang kini muncul perlahan-lahan dari dalam air. Mula-
mula hanya senyum dan wajah manis itu lah yang tampak. Lalu leher jenjangnya keluar
dari permukaan air, membawa serta pemandangan menakjubkan dari dada ranum yang
basah di sana-sini. Lalu perut berhias pusar yang menyerupai noktah manikam di
lapangan lembut. Lalu kedua paha sintal membulat, menjadi pilar-pilar bagi sebuah
segitiga gelap yang menyembunyikan lebih banyak lagi rahasia keindahan ....

Indi mengangkat tangannya untuk mengibaskan air dari dahi, dan itulah gerakan
gemulai yang menyebabkan dadanya menantang berani, mengajukan diri untuk lahapan
mata pemuda yang terus tersenyum sepanjang kejadian-keindahan ini.

Lalu pemuda itu menjulurkan tangannya, menawarkan sehelai kain batik sutra
bermotif bunga merah muda. Tetapi Indi menggeleng, karena ia ingin tetap telanjang
di hadapan sepasang mata yang tak hentinya menyemburatkan panah-panah gairah ke
sekujur badannya yang basah.

Indi kini berdiri cuma sejangkauan tangan saja di hadapan pemuda itu. Ia bertolak
pinggang sambil tetap menyungging senyum manis-madu. Ia seakan berucap syahdu ..
mari rengkuh kalau kau mau ...come and get me ..

Tetapi lalu Indi terbangun ....

*******

Terbangun dengan senyum masih melekat di wajahnya yang mengantuk. Mimpi aneh!
sergahnya dalam hati. Tetapi begitu indah, lanjut kata hatinya. Aku bertelanjang di
depannya, dan aku menyukainya .... Bukankah itu sebuah keanehan yang menakjubkan,
dan sebuah ketidakwajaran yang menggairahkan!

Aku merindukan rengkuhan tangannya, keluh Indi dalam hati sambil menguap lebar-
lebar, merentangkan kedua tangannya di atas kepala, membuat dadanya yang ranum
tambah kuat mendesak kaos tipis yang tak berdaya. Nikmat sekali meregangkan tubuh
setelah mimpi yang begitu indah, membuat kedua puncak di dadanya berubah menjadi
pucuk gairah yang sangat sensitif. Bahkan gesekan kaos akibat gerakan meregang itu
saja telah mampu menebarkan rasa hangat ke sekujur tubuhnya, meningkatkan getar
jantungnya satu-setengah kali lebih cepat.

Indi meregang lagi, lalu berguling ke kiri untuk memeluk bantal.

Entah dari mana, gairah tahu-tahu telah ada di sekujur tubuhnya. Indi ingin
memelihara gairah itu, bahkan ingin terus membangkitkannya. Seantero rumah
terdengar senyap, dan pintu kamar selalu ia kunci. Ini lah saat yang nikmat untuk
bergulingan sendirian di tempat tidur, ditemani sepasang tangan yang tahu ke mana
harus meremas dan meraba. Juga sebuah bantal yang rela direngkuh dilumat dijepit
sesuka hati.

Telapak tangan kiri Indi merayap pelan di atas dadanya, seakan ingin menyama-
ratakan kehangatan yang tertebar di sana. Dengan mata terpejam, gadis itu menikmati
perjalanan tangannya sendiri. Kaos tipis yang ia kenakan tak mampu menghalangi
jemari lentik yang meremas pelan. Indi mengerang ...sesekali memperkuat remasan ...
sesekali lainnya mengusap lemah. Sesekali lainnya, dengan ujung jari tengah ia
membuat lingkaran-lingkaran di sekitar puting kirinya. Setiap putaran membuatnya
gemetar. Setiap gemetar membuatnya menggelinjang. Setiap gelinjang memaksanya
mendesah. Oh ....

Adalah ujung-ujung syaraf di puncak payudara ranum itu yang kini menebarkan
sensasi luar biasa ke segala penjuru. Indi menggeliat, memaksa jarinya melanjutkan
gerakan memutar walau pada saat yang sama ia ingin merentangkan kedua tangannya di
atas kepala agar dadanya membusung sempurna. Pertentangan antara melanjutkan
gelitikan atau meregangkan otot yang terasa nyaman, membuat gerakan gadis itu
tersendat-sendat. Sejalan dengan nafasnya yang kini tersengal, dan gerakan kakinya
yang tak karuan membuat seprai berantakan.

Semakin menggeliat, semakin kuat rasa geli-nikmat menyeruak di dadanya. Bahkan


kegelian itu lalu merayap turun ke perutnya yang bergetar dan naik-turun dengan
ramai untuk memompa udara ke dalam paru-paru.

Tangan kanan Indi ikut merayap turun, seakan mencoba menelusuri ke mana gerangan
kenikmatan itu mengalir. Dari muaranya di puncak-puncak payudara, tangan kanan Indi
merayap pelan ke bawah .... Mengusap-usap perutnya yang seperti kaldera penuh magma
panas .... Turun sedikit, mengusap lembut dan penuh perasaan bagian bawah
perutnya ... pada sebuah daerah yang adalah perbatasan terakhir sebelum wilayah
sensual yang berikutnya.

Sejenak Indi ragu-ragu, apakah akan membiarkan telapak tangannya yang hangat itu
terus meluncur ke bawah, atau menghentikan saja permainansolitair ini ....

Tetapi keputusan dalam saat seperti ini seakan-akan bukan ditetapkan di kepala.
Lagipula, kepala gadis itu sedang penuh oleh buaian lembut yang memudarkan segala
logikanya; seperti kabut yang menghalangi pandangan. Bibir merah mudahnya merekah
melepaskan desah .....

Indi menyerah pada keputusan yang diambil oleh tangan kanannya, yang kini merayap
turun, menyelinap di balik rok bagian atasnya, menuju lembah indah kewanitaannya.
Pelan tapi pasti, kedua paha gadis yang ranum dan mulus itu meregangkan diri,
seakan sedang malu-malu memberikan kesempatan lebih luas kepada sang tangan.

Adalah sang jari tengah yang mengambil inisiatif pertama .... menelusuri dengan
seksama sebuah lepitan khusus yang adalah muara dari kenikmatan kewanitaan. Indi
tak bisa menahan erangan pelan keluar dari lehernya yang kini agak basah oleh
keringat tipis ... Ahhh ... ujung jari itu melakukan gerakan menelusur yang amat
perlahan, semili-demi-semili ... membuat seluruh tubuh gadis itu gemetar bahna
terlanda geli-nikmat yang bukan-main.

Kedua pahanya semakin membuka ...

Tangan kirinya semakin kuat meremas-remas salah satu bukit sintal di dadanya ...

Indi berada dalam pendakian yang menggetarkan kalbu maupun tubuh, membinarkan
fantasi liar maupun indah, mengundang erangan basah maupun kering ... Ahhhh ..

Jari itu semakin nakal. Menelusup lebih ke bawah seperti ingin menduga ada apa di
sana, dan Indi menemukan kebasahan yang samar-samar terbit di sana, di liang liat
yang berdenyut pelan. Jari itu melakukan gerakan memutar, memutari pinggiran yang
kini ramai berkecamuk seperti mulut kecil yang mendecap-decap.
Indi tak bisa menahannya lagi. Tak bisa mengendalikannya lagi. Jari, telapak
tangan, liang kewanitaan, puting payudara, perut, paha ..... semuanya kini tak bisa
ia kendalikan lagi. Semua gerakannya adalah pengejawantahan insting birahi belaka,
yang meledak-ledak tak kenal pembatas. Ia menggeliat-geliat, menggosok-gosok,
mengusap-meremas, mengerang dan mendesah, meregangkan kakinya dan menggelengkan
kepalanya ... melakukan semua itu dalamchaos ....

Kalau lah adegan ini ditempatkan pada konteks yang berbeda, Indi pasti terlihat
seperti seseorang yang sedang mengalami siksaan luar biasa. Tetapi, memang sulit
memisahkan antara siksaan dan orgasme. Keduanya memiliki intensitas yang sama ....

*******

Keesokan paginya, tak sengaja Indi berpapasan dengan Kino. Sejenak rona merah muda
menyeruak di wajah gadis itu. Untung mentari pagi itu masih terhalang beberapa
dedaunan, dan Indi berhasil menyembunyikan perasaannya, menutupinya sekuat tenaga.

Kino tersenyum kepadanya, tetapi tak bisa memutuskan sapa apa yang perlu
disampaikan. Masih terbayang di benaknya kejadian kemarin. Terbayang tubuh gadis
itu bermandi busa ....

Indi pun tersenyum tanpa berkata apa-apa. Ia tak menyangka akan berjumpa segera
setelah kejadian kamar mandi dan mimpinya yang basah itu!

Kedua mahluk yang sama-sama bingung itu berjalan berendengan menuju jalan raya,
tak berkata apa-apa sampai di tempat menunggu angkot.

Angin pagi bertiup basah. Kendaraan sudah ramai sepagi ini. Anak-anak sekolah
tampak segar. Tukang sayur memasuki gang perkampungan untuk memulai dagangannya.
Angkot berkeliaran dengan penumpang berjejal.

Kino berdehem. Indi juga.

Seseorang melambai dari sebuah angkot. Kino membalas lambaiannya setelah tahu itu
adalah salah seorang teman kuliahnya. Indi menggoyang-goyangkan tasnya, memandang
ke sekeliling tetapi tak melihat apa-apa.

Sebuah angkot berhenti, tetapi itu bukan angkot yang diperlukan Kino. Juga bukan
angkot yang diperlukan Indi. Kondekturnya bertanya kepada keduanya, hendak kemana.
Kino menyebut suatu tempat, Indi menyebut tempat yang lain. Kondektur tak lagi
bertanya, dan berteriak parau, "Tariiiiik!"

Sejenak sepi.

Kino tak bisa berlama-lama diam, maka ia menyapa, "Kapan ujian akhir?"

Indi menoleh, seakan kaget mendengar seseorang berada di sebelahnya. "Dua bulan
lagi," jawabnya cepat.

"Sudah siap?" tanya Kino, lebih untuk basa-basi daripada untuk mengetahui keadaan
sesungguhnya.

"Belum," jawab Indi jujur.

"Sudah belajar?" kejar Kino.

Indi tertawa kecil, "Mancing, nih?"

Kino tertawa, merasa konyol karena terjebak oleh pertanyaannya sendiri.


"Kenapangga langsung menawarkan bantuan?" kata Indi pelan.

"Aku tidak yakin kamu perlu bantuan," jawab Kino jujur.

"Indi perlu bantuan," sahut Indi masih pelan, "Terutama untuk matematika."

"Boleh," kata Kino pendek.

"Apanya yang boleh?" sergah Indi tertawa renyai.

Kino tersipu, "Boleh, nanti Kak Kino bantu."

"Nggaminta bayaran kursus, kan?" goda Indi.

"Kalau ada kopi dan pisang goreng, boleh juga," sahut Kino cepat.

Indi tertawa. Sebuah angkot mendekat, dan itu adalah angkot yang ditunggunya.

"Indiduluan, yaaa ..," kata gadis itu sambil mendekat ke angkot, "Nanti Indi
panggil Kak Kino kalau mau belajar."

Kino mengangguk, lalu melambaikan tangan ke angkot yang membawa Indi pergi. Pemuda
itu menghela nafas dalam-dalam dan menghempaskannya dalam sekali dorongan. Dadanya
terasa lega sekali, entah kenapa.

Di atas angkot, Indi berusaha sekuat tenaga menahan keinginan untuk tersenyum
lebar atau tertawa kuat-kuat. Seorang pemuda di seberang tempat Indi duduk
memandang muka gadis itu, dan terkagum melihat kesegaran-kecantikan menyemburat
dari wajah Indi. Kondektur yang berdiri menggelantung di pintu pun sempat melirik,
dan berkata dalam hati, "Cakepbetul anak ini!".

Kecantikan memang bisa diperkuat oleh rasa gemilang di dada .....

Surat dari kampung halaman yang mengingatkan Kino pada acara pernikahan Alma di
ibukota ternyata hanya satu saja dari serangkaian kejadian yang seakan melemparkan
pemuda itu ke masa lalunya ...

Dua hari kemudian, pemuda itu menerima sepucuk kartu pos bergambar langit biru dan
seekor burung camar yang terbang sendirian. Dengan penuh tanya, Kino membulak-balik
kartu pos misterius itu, mencari pesan apa yang tertulis di sana. Tidak ada tulisan
apa pun di bagian yang biasanya berisi kabar dari si pengirim. Juga tidak ada
tulisan apa pun di bagian alamat pengirimnya, kecuali sebuah peringatan yang di-
stempel-kan, berbunyi: SENDER NOT KNOWN berwarna merah.

Kino mengamati gambar di kartu pos itu. Kini ia mendapatkan kesan kuat dari sana.
Langit biru dan burung yang sendirian ... Kosong dan sepi. Biru dan sendu. Sendiri
dan gundah.

Dengan berdebar, Kino mengamati perangko-perangko yang tertempel di pojok kanan


atas. Jantungnya berdegup keras ketika menyadari dari mana perangko-perangko
bergambar Ratu Elizabeth dan jam raksasa Big Ben itu berasal. Apalagi stempel cap
pos menegaskan darimana kartu pos itu dikirim.

London!

Terduduk di dipan di kamarnya, Kino mendekap kartu pos itu di dadanya, seakan
dengan demikian ia bisa meredakan debur jantungnya. Sebuah rasa sakit samar-samar
menyeruak dari uluhati, naik ke dadanya, dan menyekat di tenggorokannya.
"Trista!", desis Kino sambil memejamkan matanya yang tiba-tiba terasa perih.

Tidak ada orang lain di London yang tahu alamatnya, selain bidadari itu! Tidak ada
orang lain yang bisa mengirim rasa sunyi dan rindunya, selain wanita mempesona yang
tercerabut dari kisah indah yang mereka jalani bersama dulu!

Kino menghempaskan tubuhnya di ranjang. Kartu pos terlepas dari genggamannya,


melayang cepat sebelum terhempas di lantai dingin.

Terlentang, pemuda itu memandang nyalang langit-langit kamar yang berwarna putih
buram. Langit-langit itu kini berubah menjadi sebuah layar lebar. Dan sebuah film
bermain di layar itu ....

Trista menyibakkan anak rambut yang tergerai di keningnya, tersenyum manis dan
memandang penuh kehangatan. Cantik sekali ia, sekaligus menggairahkan dan
mengundang rengkuhan sepenuh badan. Kedua matanya, pusat dari segala perasaannya,
berbinar lembut sekaligus tegas. Hanya ada kerinduan dan sayang dan kemesraan di
sana. Bening memberikan gambaran dasar-dasar jiwanya yang terdalam. Indah bagai
sengaja tercipta untuk menampilkan diri secara mempesona!

Trista tertawa renyai, membiarkan seluruh tubuhnya berguncang lembut, melepaskan


keriangannya. Angin meniup rambutnya berkibar ramai. Bahunya bergerak-gerak seperti
orang menari. Seluruh wajahnya menyemburatkan keriangan yang tersebar ke segala
penjuru. Setiap kali ia tertawa seperti itu, Kino selalu ingin menarik tubuhnya,
merengkuh bahu yang mulus itu, mendekapnya sekuat tenaga!

Trista tergeletak di hamparan rumput biru, membiarkan rambutnya tergerai lepas


menjadi bingkai dari wajahnya yang jelita. Kedua tangannya tergolek leluasa di atas
kepalanya, membuat dadanya membusung menantang. Bahkan gaya grafitasi pun tak mampu
menyembunyikan bukit indah yang mencuat kenyal di balik baju tipis putih. Salah
satu kakinya tertekuk, membuat rok panjangnya tersingkap sebatas paha, menampilkan
keindahan pualam mulus. Senyum tetap tersungging di bibirnya yang merekah basah.
Betapa kuatnya undangan di balik kepasrahan itu!

Kino memejamkan matanya kuat-kuat. Bayangan-bayangan di langit-langit itu hanya


membangkitkan kesenduan yang menusuk. Tidak ada yang sensual atau erotik di sana,
walau pemuda itu masih bisa dengan jelas membayangkan tubuh telanjang yang bermandi
peluh, yang ia ciumi penuh nafsu, yang ia peluk penuh birahi, yang ia selami
berkali-kali. Tidak ada erotisme di bayangan-bayangan itu!

Yang datang justru perasaan sakit tertusuk sembilu!

Sesungguhnyalah, sejak kecelakaan dan sejak bidadari itu menghilang ikut suaminya
ke London, Kino berusaha sekuat tenaga membuang bayang-bayang Trista dari
kehidupannya. Tetapi sungguh gegabah lah ia, kalau menyangka bahwa usaha itu mudah.
Sama sekali tidak! Sama sekali tak mungkin! Bayangan-bayangan itu datang seperti
kabut di pagi hari, seperti rembulan di malam hari, seperti debu di siang hari.

Apalagi kalau Trista mengirimkan pesan sunyi-sepi-biru lewat kartu pos seperti
ini!

Kino bangkit, meraih kartu pos yang tergeletak di lantai, memandang gambarnya
lekat-lekat, seakan-akan ingin memastikan bahwa semua ini bukan mimpi buruknya.
Kino bertanya-menduga dalam hati: apa yang bidadari itu rasakan ketika memilih-
milih kartu pos? Apa yang mendorongnya mengirim pesan yang penuh kesunyian ini?

Ia merindukan ku! jerit Kino dalam hati. Ia juga merentangkan tali rindu itu
melewati batas lautan. Betapa jauhnya kini ia berada, dan betapa kuatnya rindu itu
menyeruak, tak mampu tercegah oleh batas-batas benua. Sekaligus pula, betapa
terikatnya kita berdua! jerit Kino lagi. Terikat oleh keindahan masa lalu!

Kino menggeleng-gelengkan kepalanya seperti hendak membantah sendiri kata hatinya.


Mana mungkin. Sekuat apa pun ia menggeleng-geleng, kata hatinya tak terbantahkan:
ia terikat-kuat kepada sekeping masa lalu yang indah dan mempesona itu. Selamanya
terikat. Sampai mati!

Kalau pun Trista tak mengirimkan rindunya, tak mencoba mengontaknya, tak membangun
jembatan perasaan .... Kalau pun Trista tak melakukan apa-apa di London sana, Kino
tetap tak akan bisa melepaskan diri dari ikatan mahakuat yang terlanjur telah
tercipta.

Betapa menakutkannya!

Kino menunduk dan tak sengaja meremas-remas kartu pos itu menjadi gumpalan.
Telapak tangannya basah oleh keringat, sehingga gumpalan itu menjadi lembek. Dengan
tangan masih mengepal dan masih menggenggam gumpalan kartu pos, pemuda itu memukul-
mukul dahinya. Dentuman-dentuman terdengar di telinganya setiap kali kepalan itu
membentur dahi.

Setidaknya, dentuman-dentuman itu mampu meredam suara-suara lain di kepalanya.

******

Pada saat yang bersamaan, di rumah sebelah, Indi untuk yang kesembilan kalinya
kembali ke depan cermin. Wajahnya serius, kedua matanya memandang seksama bayangan
diri di cermin itu.

Hmmm ... lipstik ku terlalu tebal, bisiknya dalam hati sambil menggunakan tissu
untuk menghapus bibirnya. Hmmm ... sebaiknya rambutku dibiarkan terlepas, karena
toh terlalu pendek untuk diikat. Hmmm ... kancing nomor dua sebaiknya kulepas
supaya ada yang bisa kupamerkan. Hmmmm ... rok ku agak terlalu ketat sehingga
garis-garis celana dalamku terlihat. Tetapi, ah ..... biar saja! sergah gadis itu
dalam hati sambil tersenyum nakal.

Sejam yang lalu, Indi menyelinap ke kamar orangtuanya, mencuri-pakai parfum


ibunya. Ia memutuskan untuk tidak memakai parfumnya sendiri, karena terlalu "ramai"
dan lebih cocok untuk ke pesta atau ke disko. Parfum mama jauh lebih lembut dan
jauh lebih "dewasa"! begitu pikir Indi.

Ketika ia lewat di dapur, ibu menegurnya dengan lembut, membuat Indi merasakan
mukanya terbakar, "Mau ketemu siapa, sih, sore-sore sudah rapi?"

"Mau belajar!" sahut Indi cepat sambil buru-buru berlalu.

Ibunya tercengang, tetapi tak bertanya lagi, melanjutkan menggoreng pisang. Sejak
kapan anak gadisku mencuri-pakai parfumku untuk belajar? tanyanya dalam hati.

Indi memang mau belajar matematika, dan sudah menguatkan hati untuk mengundang
Kino mengajarinya! Kini ia harus mengatur jantungnya yang berdegup kencang sebelum
pergi ke sebelah dan berteriak memanggil Kino. Sekali lagi ia mematut-matutkan diri
di depan cermin. Kalau cermin itu bisa berbicara, pastilah ia akan mengeluh panjang
lebar!

Sebelum ke rumah sebelah, Indi kembali ke dapur, dan dengan singkat mengatakan
bahwa ia akan meminta Kino membantunya menjawab beberapa persoalan matematika. Indi
bilang ia akan memakai ruang tengah untuk belajar.
Ibunya agak tercengang, tetapi dengan bijak menyimpan komentarnya.

"Oh, yaa ...," seru Indi sebelum pergi, "Boleh minta pisang gorengnya untuk Kak
Kino, ya, Ma!"

Lalu gadis itu melesat pergi, meninggalkan ibunya yang menggeleng-geleng pelan.

******

Kino masih memukul-mukul dahinya sendiri ketika ia mendengar suara Indi memanggil-
manggil.

Dengan lunglai, pemuda itu bangkit dan keluar dari kamarnya. Sekali lagi ia
menggeleng kuat-kuat, menghela nafas dalam-dalam dan berharap agar kerisauan tak
terpancar dari mukanya. Sambil memicingkan matanya karena harus menghadapi sinar
terang di luar kamar, Kino menemui si empunya suara yang memanggil-manggil itu.

"Mengganggu?" teriak Indi dari balik tembok yang memisahkan rumahnya dengan rumah
kost Kino.

Kino tersenyum dan terus berharap agar kerisauannya tak terlalu kentara, "Tidak.
Tidak mengganggu!"

Indi sejenak mengernyitkan keningnya, melihat ada sepercik gundah di wajah pemuda
di depannya.

"Betul tidak mengganggu?" desak gadis itu.

Kino menggeleng lagi, "Tidak. Aku cuma agak sedikit capai."

Indi sejenak merasa kecewa. Ah, bagaimana kalau ia terlalu letih untuk mengajarkan
matematika?

"Ada apa Indi?" tanya Kino sambil berjalan mendekat.

Indi menggigit bibirnya, "Hmmm ... ada perludikit . Tapi, kalau Kak Kino capai,
yaaa ...ngga jadi,deh !"

Kino tersenyum, mengetahui bahwa si centil ini pasti akan memintanya membantu
menyelesaikan tugas-tugas matematika. Cantik sekali ia sore ini. Eh .. tetapi apa
hubungannya cantik itu dengan tugas matematika? gerutu Kino dalam hati.

"Mau belajar matematika?" tanya Kino sambil berjalan lebih dekat. Kini hanya
tembok yang memisahkan mereka berdua.

Indi mengangguk pelan, dan berucap samar, "Kalau Kak Kino tidak keberatan ..."

Timbul keingingan Kino untuk menggoda, "Bagaimana kalau aku keberatan?"

Sayang sekali, Indi tahu bahwa ucapan itu cuma godaan. Maka gadis itu menyahut
dengan mata berbinar, "Harus ada alasan,dong ... kenapa Kak Kino keberatan."

"Terserah aku, kan, mau keberatan atau tidak?" kata Kino sambil mengutuk dalam
hati, mengakui bahwa tidak mudah menggoda si centil yang banyak akal ini.

"Iya .. terserah Kak Kino, tapiiiiii....," kata Indi sambil mengerahkan semua
kemampuan kekenesannya, "Harus ada penjelasan, kenapa keberatan."

"Aku harus tahu dulu," kata Kino pura-pura serius, "Kenapa aku harus membantu
kamu?"

"Ada pisang goreng dan secangkir kopi?" jawab Indi sambil mengangkat kedua
alisnya, menambah cemerlang kedua matanya yang bening.

Kino tertawa tergelak, "Ha ha ha ...masak cuma dengan pisang goreng dan kopi sudah
cukup alasan untuk membantu kamu!"

Indi senang melihat pemuda di depannya tertawa tergelak. Setidaknya, Kak Kino
tidak serisau yang aku duga sebelumnya, bisik gadis itu dalam hati.

"Selain itu, ada anugrah,lho , untuk orang yang mau membantu orang lain dalam
kesulitan!" ucap Indi sungguh-sungguh.

Kino menahan tawanya, "Aku tahu itu. Tetapi apakah kamu termasuk orang yang dalam
kesulitan?"

Indi tersenyum manis sekali, "Sungguh-sungguh dalam kesulitan!"

"Kesulitan apa,sih !?" sergah Kino tak mau kalah.

"Macem-macem... selain matematika!" sahut Indi cepat-cepat, "Nanti


Indiceritain ... kalau Kak Kino mau datang ke rumah sore ini!"

Kino menyerah. Percuma menggoda Indi, karena gadis itu punya indera keenam yang
bisa mengetahui perasaanku! keluh pemuda itu dalam hati. Ia lalu mengangguk dan
mengatakan akan mengganti baju.

"Cihui!" jerit Indi sambil berlari kembali ke rumahnya.

*****

"Selamat sore tante," ucap Kino sopan ketika ia tiba di rumah Indi dan menemui
ibunya di ruang tamu.

"Selamat sore Kino," sahut ibu yang penuh senyum itu, "Ayo masuk."

Bagi orangtua Indi, mahasiswa yang indekos di sebelah rumah itu bukanlah orang
asing. Apalagi ayah Indi pernah ikut mengurus Kino ketika kecelakaan dulu. Sebatas
pengetahuan kedua orangtua Indi, pemuda itu adalah "anak baik-baik" yang tidak
pernah terdengar membuat ulah. Samar-samar mereka menduga, terutama sang ibu, bahwa
anak gadis mereka punya perasaan istimewa terhadap Kino. Tetapi tak terlalu banyak
yang mereka ketahui, dan pada umumnya mereka membebaskan Indi menentukan sendiri
pacar atau temannya.

"Kami mau belajar di ruang tengah," kata Indi yang berdiri di sebelah ibunya,
"Jangan diganggu!"

"Lho... memangnya ibu mau mengganggu?" protes sang ibu.

"Pokoknya Indingga mau diganggu!" sergah si centil.

"Mama, kan, juga perlu belajar matematika," goda sang ibu.

Sambil menarik tangan Kino yang masih terpana memandang "pertengkaran" di


depannya, Indi mencibir dan menyergah, "Ahh .. mama sukangarang !"

"Mama tidak perlu mengantar kopi ke sana?" goda sang ibu lagi.
"Eh .. tidak usah tante!" kali ini Kino yang menyahut karena merasa tidak enak
merepotkan tuan rumah.

Indi terus menarik tangan Kino sambil berkata, "Kak Kino mauaja diganggu mama!"

"Tapingga enakdong .. kalau sampai merepotkan mama kamu!" protes Kino sambil
terhuyung-huyung mengikuti langkah Indi.

"Biaraja , kalau mama mau mengantar kopi, dan jangan protes lagi!" sergah Indi.

Kino pun diam, setelah menggerutu sebentar. Lalu mereka belajar. Sungguh-sungguh
belajar, karena Indi memang punya beberapa pertanyaan pelik menyangkut beberapa
rumus matematika. Dengan sabar Kino mengajari gadis yang biasanya centil dan manja
itu. Kali ini, Kino juga merasa heran sendiri, mengapa Indi terlalu serius. Baru
kali ini ia mengajari gadis itu dengan keseriusan yang sama seperti kalau ia
mengajar di tempat kursus. Tetapi tentu saja Kino tak mempersoalkan "kejanggalan"
ini, dan malah berterimakasih dalam hati karena tidak membuang-buang waktu untuk
meladeni si centil.

Selain serius, Indi juga tampak "lain" sore itu. Berkali-kali Kino mencoba
menerka, apa yang lain di diri gadis itu. Selagi Indi serius mengerjakan soal
matematikanya, pemuda itu diam-diam memandangnya dengan seksama. Indi tampak cantik
sekali dengan pupur tipis dan lipstik yang tak terlalu kentara. Hmmm ... pikir
Kino, mungkin itu yang menyebabkannya cantik!

Dari posisi agak di samping, Kino bisa memandang profil wajah gadis itu. Hidungnya
yang agak mancung, bulu matanya yang lentik, dan pipinya yang mulus. Kombinasi ini
tampak indah di bawah seonggok rambut pendek yang lepas tergerai. Beberapa anak
rambut tampak menyeruak di sana-sini, seperti serabutan semak di taman. Bibir
bawahnya tergigit-gigit oleh pemiliknya yang sedang serius; basah memerah-muda
seperti jambu air yang berangkat matang.

Kalau memakai nilai 1 sampai 10, Indi boleh dimasukkan kategori 9,5. Tidak bisa
sempurna, pikir Kino, karena anak centil ini sering terlalu mengandalkan
kecantikannya untuk merajuk-merayu. Seandainya saja ia bisa lebih kalem dan dewasa,
mungkin aku harus memberinya nilai 11! Atau barangkali justru kemampuan merajuk-
merayu itu yang membuatnya cantik? Ah, sebaiknya memang tidak usah terlampau repot
memberi nilai. Indi memang cantik, apa pun alasan yang dipakai!

Tiba-tiba Indi melirik, memergoki Kino yang sedang memandang dirinya.

"Kenapa?" tanya gadis itu pelan.

"Kamu selalu memakaimake up walau di rumah?" tanya Kino terus terang,kadung sudah
terpergok!

Indi tersenyum, tidak menjawab pertanyaan itu, dan kembali menekuni persoalan
matematika di bukunya. Gadis itu membiarkan Kino menjawab sendiri pertanyaannya.
Membiarkan pula pemuda itu melanjutkan "peninjauan"-nya atas wajah atau bagian mana
pun dari tubuhnya! Terserah dia, lah! sergah Indi dalam hati.

Kino menginterpretasi diam Indi itu sebagai "ya". Hmmm ... tetapi biasanya ia
tidak memakai pupur kalau di rumah. Atau mungkin tidak terlalu kelihatan oleh ku!
katanya dalam hati. Apa lagi yang "lain" hari ini? Rambutnya tergerai lepas,
seperti biasanya. Lagipula terlalu pendek untuk diikat, pikir Kino. Bagaimana kalau
ia memanjangkan rambutnya, sampai sebahu. Seperti rambut Trista, tergerai lepas.

Ah, ... tanpa sadar bayangan bidadari itu bermain kembali di pelupuk mata Kino.
Terbayang Trista duduk di depannya, serius menekuni semangkuk es buah di kedai yang
selalu mereka kunjungi untukrendesvouz . Terbayang sinar mentari sore menerpa
rambutnya yang legam, menimbulkan kilauan samar lembayung aneka warna, menambahkan
guratan keindahan ke wajahnya yang sudah cantik mempesona. Terbayang betapa hangat
rasanya membelai rambut itu dengan jemarinya!

"Hei!"sergah Indi membuat Kino tersentak, "Koqmelamun,sih ?"

"Eh ... ada apa?" sahut Kino tergagap.

"Kak Kino melamun, ya!" sergah Indi agak kesal karena tahu pemuda di sebelahnya
tidak sungguh-sungguh sedang memperhatikannya.

Kino tersenyum kecut, "Maaf. Kamu sedang serius, dan aku tidak punya kegiatan.
Memangnyangga boleh melamun?"

Indi mencibir, "Boleh. Apasih yang Kak Kino lamunkan?"

"Ah, tidak ada!" sahut Kino cepat.

Indi meletakkan pensilnya, menghadapkan tubuhnya ke Kino, "Bohong. Mana mungkin


ada orang melamunkan sesuatu yang tidak ada."

Kino menghela nafas, "Kalaupun aku melamun sesuatu, tidak ada hubungannya dengan
matematika."

Indi tertawa kecil, "Habisnya, ada hubungan dengan apa,dong ?"

"Apakah aku harus mengatakan semua yang aku lamunkan?" sahut Kino pura-pura kesal.

"Kalau boleh Indi tahu ...," kata Indi sambil mengerling genit.

"Soal matematikanya sudah selesai belum?" sergah Kino mencoba mengalihkan


pembicaraan.

"Sudah!" jawab Indi cepat, "Sekarang Indi ingin tahu apa yang Kak Kino lamunkan!"

Kino terdesak, tetapi tak ingin menyerah begitu saja, "Aku mau minum kopi, boleh?"

Indi menyorong secangkir kopi yang sudah mulai dingin, lebih dekat ke tempat Kino
duduk. "Silakan, jangan malu-malu. Pisang gorengnya sekalian!" kata gadis itu.

Dengan lega Kino mengangkat cangkir itu ke bibirnya, menikmati kopi yang memang
sedap. Dua hirup ia teguk cairan hangat yang mempesona itu masuk menebarkan
kenikmatan di dadanya. Sangat tepat campurannya: tidak terlalu pahit, tidak terlalu
manis. Siapa pun yang membuatnya, harus diberi acungan jempol.

Kino baru saja mau mengambil sepotong pisang goreng ketika Indi menyela, "Ayo ...
cerita dulu,dong , sebelum makan pisang goreng!"

Pemuda itu menghentikan gerakan tangannya, "Wah, ..masak musti cerita dulu. Aku
lapar!"

Indi justru menarik piring pisang goreng menjauh, "Cerita dulu ... Tidak baik
cerita dengan mulut penuh pisang!"

"Indi ..," Kino memprotes, "Kamu tidak menghormati tamu .... dan gurumu!"

Indi makin menjauhkan piring pisang goreng, tetapi dengan demikian ia makin
mendekatkan tubuhnya ke Kino. Pemuda itu tak bisa meraih piring tanpa harus
menyentuh badan Indi. Ketika Kino mencoba melakukannya, tubuh Indi justru jatuh ke
pelukannya.

Cepat-cepat Kino menegakkan tubuhnya, takut kepergok ibu Indi, dan juga sadar akan
jebakan yang dipasang si centil.

"Cerita dulu!" sergah Indi bersikeras.

Kino menarik nafas panjang, memutuskan untuk menyerah saja daripada tidak kebagian
pisang goreng!

"Aku teringat Trista," ujar Kino pendek.

Indi terdiam. Ucapan pendek itu seperti sebuah kalimat panjang lebar yang perlu
disimak sehari penuh sebelum bisa dimengerti maknanya.

"Aku teringat dia, karena tadi siang aku menerima kartu pos dari London," kata
Kino lagi sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

Indi tetap diam. Menunduk memandang tangannya sendiri yang kini bermain-main
dengan pinggiran piring.

Kino menghela nafas panjang, berkata dalam hati: apakah aku harus ceritakan
semuanya? Lalu, tanpa berpikir lagi, langsung berkata, "Entah kenapa aku tiba-tiba
sangat merindukannya. Bukan cuma karena kartu pos itu. Sejak lama aku tidak bisa
melupakan dia. Hampir setiap hari bayangan wajahnya datang. Tidak siang, tidak
malam, tidak pagi, tidak sore ... Setiap saat."

Indi merasakan dadanya sesak. Cara Kino mengucapkan pengakuannya terdengar sangat
getir di telinga Indi. Terbayang saat ia pertama kali melihat kegundahan di wajah
pemuda itu sewaktu ia memanggil-manggil dari balik tembok. Jadi, itulah yang ia
risaukan. Betapa keruhnya kedua matanya waktu itu! Seperti sungai yang penuh lumpur
akibat hujan lebat di hulunya. Betapa tersiksanya ia! kata Indi dalam hati.

Kino tak bisa menebak apa arti diam Indi, maka ia melanjutkan ceritanya karena
merasa sudah terlanjur.

"Aku tak tahu, Indi, apakah hal ini baik atau tidak," katanya, "Tetapi aku sungguh
risau setiap kali menyadari bahwa aku tidak bisa lepas dari masa lalu yang getir
itu. Sampai kapan aku harus terus terikat kepadanya? Aku seakan-akan terpenjara
oleh kenangan yang manis sekaligus menyakitkan itu. Sampai kapan aku harus merasa
sakit hati?"

Indi mengangkat mukanya. Kino berbicara setengah menunduk. Gadis itu merasakan
kembali dadanya menjadi sesak oleh sebuah perasaan yang berisi campuran antara iba
dan iri. Ia iba melihat pemuda yang ia senangi itu mengalami kegetiran. Ia juga iri
kepada Trista, perempuan yang ia jumpai di rumah sakit dan yang ia akui sendiri
sebagai perwujudan dari kecantikan wanita yang alamiah.

Kino mengangkat mukanya, menemukan kedua mata Indi memandang lekat. Sejenak mereka
hanya saling pandang dalam sepi. Walau begitu, kedua hati mereka bercakap-cakap
ramai, masing-masing dengan kegundahan dan kerisauannya sendiri.

Indi memaksakan sebuah senyum, yang tentu saja terlihat janggal dalam situasi
seperti ini.

"Kenapa kamu tersenyum?" tanya Kino karena ia mengenali kejanggalan itu.

"Habis ... harus bagaimana?" Indi balik bertanya, tangannya seperti tak sengaja
menumpang di punggung telapak Kino.

"Cerita ku tadi lucu, ya?" tanya Kino, membiarkan gadis itu mengirimkan simpatinya
lewat telapak tangan yang halus.

"Ceritanya sedih," jawab Indi terus terang, "Tetapimendingan Indi anggap lucu.
Daripada Indi ikutnangis !"

Kino tertawa. "Betul juga!" katanya, "Sebaiknya kita menertawai kesedihan,


daripada menangisinya!"

Indi tersenyum lembut, mengelus-elus punggung tangan Kino seperti hendak meredakan
gundah-nestapa di dada pemuda itu. Ia berucap pelan, "Indi sebetulnyangiri sama Kak
Trista ... kenapa harus selalu dia yang diingat. Tapi, lalu Indi pikir itu adalah
hak Kak Kino. Jadi ....."

Kino menunggu lanjutan kalimat itu. Tetapi, sampai lama tidak ada yang diucapkan
lagi oleh Indi.

"Jadi ....?" tanya Kino sambil memandang lekat-lekat wajah manis yang kini
berbinar lembut itu.

"Jadi ...," kata Indi sambil menghela nafas panjang, "Jadi, sekarang Kak Kino
boleh makan pisang goreng!"

Kino tertawa lagi. Betul-betul menikmati tawanya, karena gadis kenes centil di
depannya ini memang pandai mencairkan suasana yang beberapa saat tadi penuh
kegundahan. Sejenak Kino seperti mendengar syair lagu populer itu ...buat apa
susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya ...

"Husy!" sergah Indi sambil menyorongkan piring pisang goreng, "Jangan tertawa
terlalu keras, nanti mama sangka Kak Kino gila sehabis mengajar matematika!"

Kino langsung menghentikan tawanya, "Benar juga,sih ... Aku bisa gila kalau setiap
hari mengajar matematika seperti ini!" katanya.

"Seperti ini ... seperti apa?" sergah Indi sambil ikut mengambil pisang goreng.

Kino mengambil sepotong pisang yang tampak lezat menantang, "Seperti ini ...
seperti kamu yang bisabecanda di depan orang yang sedang kesusahan!" katanya.

"Indi senangbecanda ," kata Indi dengan mulut penuh, "Apalagi kalaubecanda- nya
membuat Kak Kino gembira."

"Merayu,nih !" sergah Kino juga dengan mulut penuh.

Indi menelan pisang gorengnya, lalu berkata sungguh-sungguh, "Tidak. Indi memang
senang kalau Kak Kino gembira!"

"Kenapa harus membuat aku gembira. Biar saja aku sedih," kata Kino bersikeras.

"Jangan di depan Indi, kalau mau bersedih," sahut Indi ikut bersikeras.

"Jadi, aku harus pura-pura gembira, begitu?"

"Terserah. Yang penting jangan sedih. Kalau Kak Kino sedih, Indi akan terusbecanda
."

"Kamu anggap hidup inibecanda , ya!"


"Memang. Apasih susahnyabecanda . Lagipula, Indi suka jika hidup ini gembira
terus.Ngapain hidup kalau cuma untuk bersedih."

"Kamu tidak pernah bersedih?"

"Pernah. Sering."

"Jadi, apa yang kamu lakukan kalau kamu yang sedih?"

"Ya, anggap saja selingan. Indi akan berusaha gembira lagi!"

"Tetapi itu tidak gampang,kan ?"

"Memang tidak gampang. Tetapi juga tidak sesulit matematika yangbarusan Kak
Kinoajarin !"

Kino tertawa. Senang sekali ia berkutat dalam percakapan ringan dengan Indi hari
ini. Bahkan dengan takjub ia menyadari bahwa kegundahan yang tadi menelikungnya,
kini hilang seperti kabut sirna oleh mentari. Indi bagai mentari itu ... menyinari
hari kelabunya.

Tanpa maksud apa-apa, Kino menangkat tangannya, menyentuh ringan pipi Indi sambil
berucap pelan, "Terimakasih Indi. Kamu membuat aku gembira."

Indi menyandarkan pipinya lebih kuat ke telapak tangan Kino, tersenyum lembut dan
menyemburatkan sinar matanya yang hangat. Sejenak mereka hanya berpandang-
pandangan, dan Kino mengelus-elus pipi mulus yang terasa hangat itu.

"Kalau sudah selesai, aku mau pamit." ujar Kino akhirnya.

Indi mengangguk, lalu bangkit terlebih dulu. Kino meneguk sekali lagi kopinya,
lalu bangkit menyusul Indi yang sudah mulai melangkah ke ruang tamu.

Di luar, senja telah datang dengan segala kemegahanNya. Indi bersandar di bingkai
pintu depan, memandang Kino meninggalkan halaman sambil sesekali menengok dan
melambaikan tangan.

Lalu pemuda itu hilang di balik tembok. Indi masih berdiri beberapa saat,
memandang ke langit yang memerah, dan merasakan betapa indahnya senja kali ini.
Sekali lagi ia menengok memastikan bahwa Kino sudah pulang, sebelum akhirnya masuk
ke rumah.

Setelah membantu Indi dengan PR-nya, hubungan Kino dengan gadis itu mencair
kembali. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, hubungan mereka tak pernah membeku secara
total. Tetapi masing-masing pihak memang bersikeras bahwa "tidak ada apa-apa",
sehingga jadinya malah kisruh dan kaku. Masing-masing pihak terlibat oleh
kesungkanan dan keraguan yang mereka ciptakan sendiri, seperti seorang nelayan yang
terjerat jaring buatan sendiri.

Kino merasa lega, ia bisa berbicara lepas kembali di hadapan Indi. Sesungguhnya
pemuda itu menyukai si centil karena mengingatkannya pada sikap lepas-terbuka yang
selama ini ia tak bisa lakukan. Indi seperti semacam rujukan bagi Kino tentang
betapa mudahnya untuk tidak membohongi diri sendiri. Gadis itu biasa terus terang,
bahkan untuk hal-hal yang sangat pribadi. Jika ia suka pada sesuatu, ia
mengatakannyablak-blakan . Jika ia marah, ia menyampaikannya dengan lugas.

Sebaliknya bagi Indi, pemuda yang memikat hatinya itu juga adalah semacam suar
yang mengingatkannya kepada kedewasaan. Kino bagi Indi adalah pemuda yang bisa
keras-kepala secara baik dan benar! Pemuda yang tak terus-terang dan penuh bimbang,
tetapi sekaligus bisa punya prinsip yang sekeras batukarang. Setiap kali Indi
membandingkan Kino dengan berbagai pemuda yang pernah dikenalnya, selalu datang
kesimpulan bahwa Kino lebih "aman" untuk diajak mengarungi hidup belia yang penuh
godaan sekaligus peluang ini.

Tahu sendiri lah, Indi ! Gadis itu menganggap hidup ini seperti lautan luas yang
penuh gelombang, atau dataran pegunungan yang bergunduk-gunduk. Baginya, ombak
adalah ayunan yang musti dinikmati walau bisa juga menenggelamkan mu sampai mati.
Pegunungan adalah keteduhan yang nyaman walau kalau meletus bisa juga membawa
bencana. Hidup ini, buat Indi, harus diarungi dengan semangat yang membebas-
lepaskan, tanpa harus lupa akan risiko dan bahaya di sana-sini.

Sementara bagi Kino, hidup ini bukan lagi cuma mengandung risiko atau kemungkinan
bahaya. Ia sudah mengalami sebentuk bahaya dalam hidup ini, yang langsung menjelma
tanpa peringatan. Ia sudah pernah terjerembab sangat dalam di jurang hitam asmara
yang memabukkan itu. Bahkan sampai kini pun ia belum sepenuhnya bisa keluar dari
jurang tersebut. Itu sebabnya, Kino kini memandang hidup dengan penuh kegundahan
dan sekelumit ketak-percayaan. Kini pemuda itu selalu mempertanyakan keabsahan
setiap perasaannya, atau ketepat-gunaan tindakannya. Akibatnya, ia terlihat lebih
perenung dari biasanya. Wajahnya makin mengguratkan wajah seorang perenung yang
prihatin.

Campuran antara Indi yang bebas-lepas dengan Kino yang gundah-waspada bisa
semarak, tetapi juga bisa meruyak. Tergantung bagaimana mereka berdua memainkan
peranannya masing-masing. Kita tahu, ada kalanya hidup ini bagai sebuah cerita
panggung yang ditetapkan secara jelas oleh seorang sutradara. Tetapi lebih sering,
cerita itu sengaja dibuat oleh Sang Sutradara dalam bentuk lepas terbuka. Para
aktor di dalam cerita itu punya peluang untuk menjalankan perannya secara bebas,
selama masih dalam kerangka cerita.

Perjumpaan Kino dan Indi yang berikutnya adalah pada suatu kesempatan di Minggu
sore, yang seakan-akan tercipta untuk mereka berdua. Tidak ada hujan, langit
bersih, tetapi juga tidak terlalu panas karena angin basah bertiup agak kencang.
Suasana sejuk mendominasi sejak siang, dan ketika sore tiba dengan kemegahanNya,
udara semakin terasa nyaman.

Kino memutuskan untuk berjalan-jalan ke pertokoan di pusat kota, mencoba memulai


perburuan kado untuk perkawinan Alma dengan Devin. Memakaijeans kesayangan dan kaos
t-shirt merah tua, pemuda itu melangkah sambil bersiul-siul riang. Pada saat yang
sama, Indi menuju keluar karena ibunya minta gadis itu membelikan beberapa gulung
benang. Rok selutut bercorak kembang biru-hijau dan kemeja ketat warna khaki
membuat si centil tampak ceria sekaligus menggoda.

Keduanya bertemu di gang menuju jalan raya. Sama-sama tersenyum, mereka segera
beriringan, melangkah ringan seperti di atas bantalan berkwintal-kwintal kapuk.

"Mau kemana?" adalah pembukaan yang terlontar dari mulut Kino.

"Kak Kino mau kemana?" balas Indi sambil tetap menjaga kemanisan senyum yang
berhias lesung pipit samar-samar itu.

"Tidak baik menjawab pertanyaan dengan pertanyaan," kata Kino sambil mengira-ngira
berapa sendok gula pasir diperlukan untuk membuat senyum semanis senyum Indi.

"Tak baik menanyakan ke mana seorang gadis pergi sendirian," sahut Indi sambil
tertawa kecil karena ia memang suka tertawa kalau ada di sebelah pemuda itu.

"Jadi, aku harus menawarkan diri untuk mengawal. Bukan malah bertanya. Begitu?"
kata Kino sambil menahan keinginannya untuk men-cowelpipi bersemburat merah muda
yang menggemaskan di sebelahnya itu.

"Indingga berkata begitu,lho !" sergah Indi cepat, "Kak Kino yang mau mengawal,kan
?!"

"Mana mungkin aku bisa mengawal kalau tidak tahu kemana kamu mau pergi," sahut
Kino.

"Tidak jauh-jauh,kok !" ujar Indi sambil mendekatkan diri, sehingga kini mereka
berjalan nyaris bersentuhan lengan.

"Jauh-dekat ongkosnya sama," goda Kino menikmati rasa dekat yang menyeruak di
antara mereka.

"Ongkosnya es krim, cukupngga ?" tanya Indi sambil berpikir keras mencari alasan
untuk mama kalau nanti ia pulang agak terlambat.

Kino tertawa, tentu saja ia suka es krim, apalagi kalau sambil ngobrol dengan si
centil yang punya segudang kekenesan. Lagipula, sore ini ia tidak ada acara apa-apa
selain mencari kado. Maka ia menyatakan persetujuannya dengan perjanjian bahwa yang
mentraktir adalah dirinya. Biar bagaimana pun ia adalah pihak yang lebih "mampu",
karena punya penghasilan dari mengajar kursus. Sementara Indi toh cuma mengandalkan
uang saku. Setelah agak membantah (karena bukan Indi namanya, kalau tidak
membantah), akhirnya Indi setuju.

Mereka sudah tiba di tepi jalan raya, dan langsung naik ke angkot pertama yang
muncul. Indi mengatakan kepada Kino ke mana ia harus pergi membeli benang, dan
keduanya sepakat untuk mencari pesanan itu dulu sebelum mampir di kedai es krim
favorit anak-anak tanggung kota B.

******

Benang pesanan ibu tidaklah susah dicari, karena Indi sudah tahu nama dan lokasi
toko langganannya. Segera setelah keluar dari toko itu, Indi langsung menggamit
lengan Kino dan menyeret pemuda itu ke kedai es krim yang kira-kira 10 menit
jauhnya berjalan kaki.

Walau Kino membiarkan Indi menggandengnya, namun pemuda itu punya perasaan kurang
nyaman berada di tempat umum dengan seorang gadis yang bukan pacarnya. Tetapi Indi
seperti menganggap bergandengan tangan adalah kelumrahan yang tak perlu
dipersoalkan. Maka tanpa berusaha menolak, Kino membiarkan lengannya terpeluk dan
terhenyak nyaman di dada si centil yang lembut itu.

Indi selalu bisa menerka perasaan Kino, maka ia berkata setengah berbisik,
"Anggapaja menggandeng adik!"

Kino menggerutu, "Adikku tidak secentil kamu, dan juga tidak nakal!"

Indi malah mempererat pelukannya di lengan Kino, menekan keras-keras dada sebelah
kirinya. "Biarin! Indi memang suka nakal kalau di dekat Kak Kino!"

"Bagaimana kalau pacar mu memergoki kita!" sergah Kino dengan kekuatiran yang
sesungguhnya.

"Siapa? ... Si Randi yang Indikenalin dulu itu?" sentak Indi dengan nada tak suka.

"Bukankah itu pacarmu?" desak Kino.


Indi mencibirkan bibirnya, "Akungga sukasama dia!"

"Sudah putus?" tanya Kino, tiba-tiba ingin tahu lebih banyak.

"Resminya,sih , belum putus!" kata Indi dengan ketus, "Tapi sudah lama Indingga
mau jalansama dia lagi!"

"Jangan terlalu galak,dong . Kasihan ...," kata Kino sekenanya.

"Ah, apa peduli Kak Kino.Biarin saja dia marahsama Indi. Memang Indipengin dia
begitu!" sergah Indi.

"Kenapa kamu tidak suka lagi kepadanya?" tanya Kino.

Indi tidak segera menjawab karena kedai yang mereka tuju sudah tampak. Gadis itu
hanya menggumam tak jelas lalu mempercepat langkahnya menyeret Kino.

******

Mereka duduk di sebuah meja yang cuma punya dua kursi, agak ke dalam kedai yang
belum begitu ramai.

"Boleh Indi terus terangsama Kak Kino?" ucap Indi di antara suapan es krim.

Kino menggumam meng-iyakan, sibuk menikmati coklat moka yang disukainya.

"Indi sudah terlalu banyak kenalcowok ," kata Indi, "Kadang-kadang Indi merasa
terlalu pemilih, dan terlalugampangan. "

"Berapa,sih , pacar kamu?" tanya Kino sekenanya, ia masih sibuk menikmati es


krimnya, belum terlalu serius menanggapi Indi.

"Mungkin sudah lebih dari selusin!" kata gadis itu sambil tertawa kecil, "Indingga
pernahbikin daftarnya! Tetapi pokoknya sudah banyak!"

"Kenapa kamu terlalu pemilih?" tanya Kino sekadar menimpali.

"Sebetulnya Indingga mau asal pacaran, tetapi soalnya banyakbanget yang mausama
Indi," celoteh gadis itu sambil terus menyuap, "Jadi Indi asal terima saja kalau
ada yangngajak jalan-jalan atau nonton. Lagipula, Indi senang bergaul. Indi senang
punya banyak teman."

"Ya, kalau begitu tidak ada salahnya," ujar Kino mencoba serius, "Malah bagus,
punya teman banyak, punya pacar banyak."

"Kak Kino ini serius atau asal bunyi,sih !?" sentak Indi.

"Eh ... serius,dong !" sahut Kino mencoba sekali lagi untuk terlihat serius,
tetapi tentu saja tampangnya tak mendukung.

"Kenapa malahbilang banyak pacar adalah bagus?" cecar Indi sambil membelalakan
matanya yang indah itu.

"Lho... katanya kamu suka banyak teman. Bukankah pacar juga teman?" ucap Kino
membela diri.

"Lain,dong !" sergah Indi kesal, "Teman tidak mungkin mencium Indi,megang-megang
Indi, atau yang lain-lain itu!"
Kino melongo, "Yang lain-lain itu?"

"Iya! Yang lain-lain itu. Kak Kino pura-pura bego!" sergah Indi dan tahu-tahu
tangannya sudah mencubit.

Kino menahan tawanya, melihat Indi cemberut tanpa kehilangan kekenesan, kecentilan
dan kemanisannya.

"Si Randi itu, misalnya, terlaludoyan!" sergah Indi sambil mengaduk-aduk es


krimnya dengan gemas, "Lama-lama Indisebel dan muak!"

"Orang doyan, kok,dipermasalahkan, sih!?" kata Kino.

"Bukan doyan bakso!" hentak Indi kesal, "Dia doyanmegang-megang Indi danngajakin
yang aneh-aneh!"

Kino tak bisa menahan tawanya. Cepat-cepat ia menutup mulutnya dengan punggung
tangan, kuatir es krim muncrat ke mana-mana. Juga kuatir Indi tersinggung.

Tentu saja Indi tersinggung, dan menghentak sambil mencubit lengan Kino,
"Brengsek! ... Kak Kino malahngeledek . Bukannyabantuin !"

Kino membiarkan tangannya dicubit, toh tidak terlalu sakit. Ia membela diri,
"Lho... aku bukan meledek kamu. Aku tertawa karena cara kamu menjelaskan sikap
pacar kamu!"

"Tapi dia memangkelewat doyan!" sergah Indi.

"Kamu juga, sih .., yang membuat dia doyan!" balas Kino.

Indi sekali lagi mendelikkan matanya yang mempesona, "Eh ... Kak Kino sekarang
malahbelain dia, yaaa!!"

"Bukan membela, tapi kamu sendiri yang bilang bahwa kamu terlalu mudah,
terlalu ..... apa itu? .... terlalugampangan ," sahut Kino tak mau kalah.

Indi menggerutu, mencibirkan bibirnya yang basah oleh es krim sampai berkilat-
kilat, "Kalau sekali-sekali,sih , Indingga keberatan. Tetapi dia selalu mengajak
yang aneh-aneh,bikin Indisebel !"

"Apa,sih , yang aneh-aneh itu?" tanya Kino karena ia memang tidak terlalu
mengerti.

Indi menatap pemuda di depannya dengan tajam, sampai Kino merasa agak rikuh juga
dan menyesal telah bertanya.

"Kalau Indi cerita, Kak Kino janjinggangetawain yaaa!" tuntut gadis itu dengan
kedua matanya tajam berderang.

"Kenapa musti tertawa?" tanya Kino.

"Pokoknya... tidak boleh tertawa. ..... Janji???" sentak Indi.

Kino mengangguk.

Indi menghela nafas, lalu berucap agak pelan, "Dia suka mengajak Indioral sex .. "

Kino melongo. Bukan cuma karena kaget mendengar pengakuan Indi, tetapi juga karena
perlu sejenak mencerna apa yang dimaksud dengan "oral sex" itu. Setelah otaknya
berhasil menghubungkan kata "oral" dengan "mulut", barulah Kino mengucapkan,
"Oooo ... begitu."

Indi mendelik, mengancam dengan pandangannya yang sekaligus menakjubkan tetapi


juga menakutkan. Setidaknya, menakutkan dalam ukuran seorang gadis centil yang
ceria seperti dia.

"Kenapa musti mendelik begitu,sih ?" sergah Kino.

"Awas kalau Kak Kino tertawa!" ancam Indi sambil bersiap mencubit.

"Apakah kamu penuhi permintaannya?" tanya Kino mencoba kembali ke persoalan yang
mengagetkan itu.

Indi menggeleng cepat. "Nggamau danngga akan mau!"

Kino melepas nafas lega. Tadinya ia kuatir akan ada cerita-cerita lebih seram
keluar dari mulut gadis yang mudah "berkicau" seperti burung parkit ini.

"Untuk Indi, itu sudahkelewatan, " ujar Indi dengan muka serius, "Pasti dia
terlalu banyak nontonbe-ef ... menyangka semuacewek mau diajak yangbegituan !"

"Apa itube-ef ?" sela Kino, sungguh-sungguh tidak tahu.

Indi mendelik lagi, kali ini bukan untuk marah tetapi untuk menunjukkan
keheranannya. "Kak Kinongga tahu apa itube-ef ?"

Kino menggeleng jujur.

"Ya ampun!" desis Indi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Itu,lho .. video-


video porno yang berisi adegan orangbegituan !"

"Oooooh ..," Kino menepuk dahinya sendiri mengakui kebodohan dan kenaifannya,
"Maksud kamublue film!"

"Ck .. ck .. ck!" Indi menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambutnya tergerai-


gerai ramai, "Kak Kino lama-lama semakinbloon !"

Kino tertawa, mengakui ke-bloon-an itu tanpa tersinggung.

"Jangan bilangsama Indi bahwa Kak Kinongga pernah nontonbe-ef !" sergah Indi.

"Pernah. Tapi aku tidak suka," jawab Kino cepat, teringat kenakalan-kenakalan di
masa awal kuliah di rumah Ridwan yang punya selusin film biru.

"Indi jugangga suka!" kata Indi sambil menyingkirkan gelas es-krim yang tinggal
berisi sendoknya.

Kino tertawa sebentar, lalu cepat-cepat melanjutkan makan es-krim yang tertunda.
Dalam tiga suap, kosong sudah gelasnya.

"Kak Kino," Indi berkata pelan,"Boleh Inditanya hal yang pribadi?"

"Hmmm ..," gumam Kino sambil mengangguk. Ia tiba-tiba merasa dekat sekali dengan
gadis manis di depannya; apalagi setelah Indi berterus terang tentang pacarnya
tadi.

"Seberapa jauh hubungan Kak Kino dengan Kak Trista ..," tanya Indi hati-hati,
sambil memandang lekat-lekat pemuda di depannya, memantau dengan seksama reaksinya.
Kino sejenak ragu-ragu, mengangkat mukanya dan membalas menatap Indi. Apakah ia
akan berterus terang?

"OK ...," Indi menghela nafas panjang, "Tidak perlu dijawab, kalau Kak Kinongga
mau cerita ... "

"Bukan begitu ...," ucap Kino cepat, "Bukan aku tidak mau cerita."

Indi diam, menunggu kelanjutan penjelasan pemuda yang entah kenapa semakin lama
semakin ia sukai ini. Bukan wajahnya (walaupun wajah itu tergolongcakep ). Bukan
juga penampilannya (terkadang ia berpakaian sembrono, pikir Indi). Bukan juga latar
belakangnya (dia,kan , anak desa!). Bukan semua itu yang menarik perhatian Indi,
melainkan kepolosan dan sekelumit misteri yang menyelimutinya. Indi seperti
berhadapan dengan sebuah buku cerita yang menarik dan perlu dibaca sampai tamat
berkali-kali!

Kino menghela nafas panjang sebelum berkata, "Sebetulnya aku justru mencari orang
yang bisa aku ajak bercerita ... "

Indi tetap diam. Menunggu penuh harap, memainkan tissu dengan jemarinya yang
lentik.

"Aku punya banyak cerita tentang dia," lanjut Kino dengan suara pelan, "Sering
sekali cerita itu berulang-ulang di kepalaku, aku ceritakan kepada diriku sendiri.
Sebenarnya, aku akan senang kalau ada orang lain yang mau mendengar."

Kino terdiam, sehingga Indi merasa perlu menyela, "Kenapangga ceritasama Indi?"

Kino memandang gadis di depannya, "Aku tidak tahu bahwa kamu tertarik mendengar
cerita tentang dia."

Indi balas menatap, menyiratkan pengakuan sejujurnya bahwa ia tertarik kepada


cerita pemuda itu. Tertarik kepada si empunya cerita itu juga!

"Tidak seorang pun yang pernah mendengar cerita itu," ucap Kino pelan sambil
mengalihkan pandangan ke luar. Malam sudah menjelang, walau masih belia.

"Pasti ceritanyaserem ..," goda Indi.

Kino tertawa, "Betul .... Memang terkadang menakutkan. Terutama kalau aku ingat
bahwa aku hampir tewas."

Indi menggigit bibirnya, merasa tidak enak menyinggung peristiwa yang nyaris
berakhir tragis itu. Tetapi dia juga masih ingin tahu lebih banyak. Maka ia diam
saja, memandang seksama pemuda yang kini menunduk dan menggurat-guratkan jarinnya
menggambarkan sesuatu yang abstrak di taplak meja.

"Kami sering berhubungan," ucap Kino pelan, nyaris tidak terdengar.

Indi menahan rasa kagetnya sekuat tenaga. Ia tidak pernah menyangka begitu jauh.
Kini ia mendengar dari pemuda yang ia sukai itu, ternyata tidak se-"suci" yang ia
duga. Indi tak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap pengakuan terbuka ini!

Kino mengangkat mukanya, menatap sepasang bola bening yang sedang menembus raganya
menelusup ke relung-relung dadanya mencari-cari kebenaran.

"Kamu kaget?" tanya Kino hati-hati, karena sebetulnya dirinyalah yang terkejut.
Mengapa begitu mudah ia "buka kartu" di depan Indi?
Indi mengangguk pelan. Tak sanggup berkata-kata. Keceriwisan dan kekenesannya
sirna begitu saja.

Kino menatap tajam gadis di depannya, "Kamu minta aku cerita. Maaf kalau
mengagetkan dan membuat kamu kecewa."

Indi cepat-cepat menggeleng, balas menatap tak kalah tajam. Keduanya saling
pandang bertukar-tukar pesan rahasia yang tak seluruhnya bisa dimengerti bahkan
oleh si empunya pesan.

"Sampai begitu jauh, Kak Kino berhubungan ..," akhirnya Indi berbisik, seperti
takut terdengar orang lain padahal kedai es-krim cuma berisi mereka dan sepasang
muda-mudi lain di pojok sebelah sana.

"Ya ..," sahut Kino sambil menghela dan menghempaskan nafas panjang, "Kami
berhubungan hampir setiap kali berjumpa. Aku seperti orang mabuk, Indi ... tidak
bisa menolak ajakannya, dan juga tak berhenti membujuknya untuk melakukan berulang-
ulang."

"Tidak takut hamil?" bisik Indi lagi.

Kino menunduk, mengenang rasa kuatirnya yang sempat muncul ketika ia tersadar dari
pingsan setelah kecelakaan. Ia memang tidak mengatakan kekuatirannya kepada Trista
waktu itu, dan ia merasa itulah salah satu bentuk ke-pengecut-annya. Kepada Indi
kini ia mengakuinya, "Aku sempat takut .... Tetapi kami memang tidak pernah
membicarakan risiko itu."

"Kak Kino menyesal?" tanya Indi pelan, perasaan iba muncul menggantikan rasa
kaget. Padahal Indi bisa marah, atau jijik mendengar pengakuan seorang yang ia puja
tetapi ternyata sudah ternoda. Tetapi gadis itu terlalu sulit memutuskan, apakah ia
patut membuat penilaian tentang baik-buruknya Kino.

Kino menghela nafas panjang lagi sebelum berkata, "Ya, aku menyesal sekali dan
sekaligus bertanya-tanya mengapa kami sampai melakukannya dengan begitu bernafsu
dan tak pikir panjang."

"Itu kah yang namanya cinta?" tanya Indi pelan.

Kino mengangkat muka dan menatap wajah Indi yang kini menunduk. Ada perasaan
janggal pada diri pemuda itu mendengar pertanyaan yang datang dari seorang gadis
centil-kenes dan nakal di depannya. Pertanyaan itu sederhana sekali, tetapi Kino
tahu jawabannya tidak mudah.

"Barangkali ..., ya. Barangkali memang itu namanya cinta," jawab Kino.

Indi diam, memainkan telapak tangan dan menggigit-gigit kecil bibirnya yang masih
basah oleh air putih penyerta es-krim.

"Barangkali juga bukan ...," bisik Kino.

Indi mengangkat mukanya, memandang pemuda yang kini bermuka keruh seperti air
sungai yang kebanyakan lumpur.

"Kak Kino tidak mencintainya?" tanya Indi pelan, entah kenapa dia menaruh harapan
besar pada jawaban "tidak".

Sejenak Kino diam saja, mengalihkan pandangan kembali ke luar. Malam beringsut
menuju kelam. Lampu-lampu jalanan sudah menguasai suasana menggantikan Sang Surya
yang telah lama beristirahat. Keramaian tak lagi seperti siang hari, tetapi juga
belum sama sekali reda.

"Aku tidak tahu, Indi ...," akhirnya Kino menjawab, "Aku sekarang selalu meragukan
perasaanku sendiri. Aku tidak berani lagi mengatakan apa-apa tentang cinta."

"Tetapi Kak Kino masih terus merindukannya," desak Indi.

Kino menatap Indi, "Aku memang merindukannya. Aku selalu teringat masa-masa
bersamanya. Tetapi aku juga tersiksa oleh perasaan menyesal dan bersalah. Itu
sebabnya, aku tak merasa bahagia kalau merindukan dia."

Indi tak bisa menahan tangannya mengusap lembut lengan Kino; ia ingin bersimpati
sepenuhnya pada apa yang Kino hadapi, walaupun sekelumit cemburu dan iri tak henti-
hentinya mendera minta perhatian. Indi berkuat-hati memendam kedua perasaan itu,
dan menggantikannya dengan simpati.

"Indi tidak setuju kalau Kak Kino menyalahkan diri sendiri," kata gadis itu dengan
sungguh-sungguh.

Kino tersenyum kecut mendengar ucapan simpatik yang datang dari gadis centil yang
menggemaskan itu. Sudah sering ia menemukan banyak kedewasaan di balik penampilan
Indi yang serampangan, nakal, dan berani itu. Sudah sering ia bersyukur berteman
dengan Indi; kali ini ia bahkan semakin bersyukur.

"Menurut Indi, orang yang saling mencintai memang wajar kalau ingin berhubungan
seks," kata Indi lagi, kini kembali dengan gaya "sok-tahu"-nya.

"Kamu,kok , tiba-tiba menjadi ahli,sih ?" goda Kino.

Indi tertawa kecil, "Bukan ahli ... tapi Indi pernah baca seperti itu di majalah."

"Lalu, apa lagi kata majalah itu?" tanya Kino, senang karena persoalannya bisa
dibicarakan secara lebih ringan.

"Katanya, memang wajar kalau dua orang yang saling menyukai ingin melakukan
hubungan-hubungan yang lebih jauh. Makanya, keduanya harus bisa mengendalikan
diri," kata Indi serius, mengalahkan keseriusan seorang penasihat psikologi.

"Bagaimana cara mengendalikan diri?" tanya Kino, lebih untuk menggoda katimbang
mencari jawaban sesungguhnya.

"Katanya, harus menghindari peluang berduaan dan jangan terlalu sering bertemu,"
jawab Indi, lalu buru-buru menambahkan, "Itu kata majalahnya,lho !"

"Kalau menurut kamu sendiri bagaimana?" desak Kino.

"Menurut Indi?" tanya Indi sambil mengangkat alisnya menambah lebar kedua matanya,
"Menurut Indi .... itu cuma teori. Pada kenyataannya, susah!"

Lalu gadis itu tertawa lepas dan riang. Kino pun ikut tertawa, sungguh-sungguh
senang mendapatkan teman bicara yang bisa menetralisir kegundahan.

"Menurut Indi, orang yangnulis di majalah itungga pernah jatuh cinta!" sergah
gadis itu di antara tawanya.

"Kenapa?" tanya Kino.

"Karena ... kalau dia pernah jatuh cinta, pasti dia tahu bagaimana susahnya
menghindari pertemuan dengan orang tersayang. Iya,kan ?" kata Indi.

"Ah, kamusok tahu saja!" goda Kino.

Indi tertawa renyai, tak mau terpancing oleh godaan Kino. "Kak Kino pura-pura
membantah, padahal dalam hatibilang ya!"

"Memangnyakamu pernah jatuh cinta?" tanya Kino tiba-tiba.

Indi terdiam, dan sejenak tidak bisa menjawab. Kino tertawa senang melihat gadis
itu kehilangan kata-kata.

Indi memberengutkan mukanya, walau tentu saja malah membuatnya semakin


menggemaskan.

"Pernah atau tidak?" desak Kino.

"Mau tambah es-krim?" Indi malah balik bertanya mengalihkan pembicaraan.

Kino tergelak. Indi semakin merengut dan semakin manis. Ia juga semakin rajin
mencubit lengan Kino.

Lalu pembicaraan mereka tak lagi teratur, melainkan penuh canda ringan yang tak
banyak makna. Humor dan gosip menggantikan topik-topik sendu tentang rindu dan
cinta. Kino senang sekali bisa lepas dari topik itu, sekaligus lega karena ternyata
ceritanya tidaklah terlalu sulit untuk disampaikan kepada orang lain.

Tentu saja Kino juga sadar bahwa Indi kini menjadi salah satu teman teristimewa
dalam hidupnya. Belum ada orang lain yang tahu tentang Trista sampai sejauh itu.
Sebaliknya, Indi pun merasa mendapat kehormatan tersendiri dari pemuda yang memang
ia kagumi ini. Menjelang pulang, Indi sempat bertanya dalam hati: apakah aku akan
mendapat tempat istimewa di hatinya?

Pertanyaan itu tetap ia simpan sampai mereka berpisah di gang tempat mereka
tinggal.

Dan Kino menepuk dahinya sendiri di kamar, ketika menyadari bahwa ia sama sekali
belum membeli kado untuk Alma dan Devan!

Kesempatan membeli kado akhirnya datang pada suatu pagi yang agak basah oleh hujan
semalam. Kino tidak punya jadwal mengajar kursus, dan tidak punya kegiatan lain.
Seusai mandi dan sarapan, ia memutuskan untuk pergi membeli kado. Berbekal uang
secukupnya, ia memutuskan untuk pergi ke pertokoan yang sudah ia kunjungi bersama
Indi beberapa waktu yang lalu.

Setelah mengunjungi setengah lusin toko dan kebingungan musti membeli apa, Kino
memutuskan untuk kembali ke sebuah toko keramik. Ia berpikir, sebuah vas modern
berwarna biru dan ungu mungkin tepat untuk kado perkawinan. Apalagi ada hiasan
sepasang burung kecil di bagian dasar vas itu; mudah-mudahan bisa menggambarkan
keserasian suami-istri. Begitulah pikir Kino sambil berbelok.

"Kino!" suara Rima menyentak pemuda itu, membuatnya menghentikan langkah.

"Hei, apa kabar!" seru Kino riang setelah tahu siapa yang berjalan mendekat dengan
langkah panjang dan senyum lebar.

"Ngapainkamu di sini?!" sergah Rima sambil tahu-tahu sudah merangkul bahu Kino dan
mendaratkan ciuman sekilas di pipi.
Kino tak bisa menghindar, tetapi dia juga memang ingin sekali memeluk sobat
lamanya ini. Sudah lama sekali rasanya ia tidak berjumpa Rima ...

"Kamu semakin gemuk!" sergah Kino sambil mengamati Rima dari ujung kaki sampai
ujung rambut.

Rima tertawa, "Menghina, ya!!"

"Tidak!" sahut Kino sungguh-sungguh, "Kamu memang semakin .... semakin ...
montok!"

Tawa Rima tambah keras, "Sialan kamu!"

Mereka berdiri berhadapan, sejenak saling pandang melemparkan segudang rindu.


Sekelebatan, hari-hari indah ketika mereka masih melewati hari bersama seperti
muncul kembali. Terbayang mereka, bersama Ridwan dan Tigor, duduk di rumput di
kampus, bercanda dan saling meledek. Terbayang mereka kedinginan di puncak gunung,
memeluk lutut dan duduk berdempetan memandang senja memerah. Terbayang tawa riang
yang memenuhi hari-hari bersama yang penuh kenakalan mahasiswa ...

"Kemana saja kamu?" tanya Kino sambil menatap wajah sahabatnya dalam-dalam.

"Sibuk belajar," ucap Rima pendek, tetapi jelas ia berbohong, karena senyumnya
mengembangkan godaan.

Kino mencibir, "Sibuk dengan sang dosen!"

"Masih cemburu juga, nih!" kerling Rima sambil merangkul pinggang sahabatnya.

Kino mulai melangkah lagi, setengah menyeret Rima bersamanya.

"Kamu jarang ke kampus lagi," kata Rima.

Kino menghela nafas, "Ya .. aku menunggu semester berikutnya tahun depan, karena
sudah ketinggalan jauh."

"Aku sudah jarang ke kelas, karena sekarang banyak tugas akhir," kata Rima
merendengi langkah Kino.

"Untung ada bantuan dari seorang dosen ..," ucap Kino tanpa menyembunyikan
kesinisannya.

Rima tertawa, "Kamukoq cemburubanget kepadanya!"

Kino mendengus, "Dia mencuri sahabatku!"

Rima mengeratkan pelukan di pinggang pemuda itu, agak tertatih mengikuti langkah
Kino yang lebar.

"Jangan begitu, Kino!" katanya sungguh-sungguh, "Kami waktu itu sedang jatuh
cinta, menggebu-gebu. Tidak punya waktu untuk orang lain ... hahahaha."

Kino tak ikut tertawa, "Apa maksudmu ... 'waktu itu' ... ?"

"Ya, ... waktu itu kami memang sedanggetol pacaran!" sahut Rima ringan.

"Sekarang tidak lagi?" tanya Kino.

"Sekarang masih pacaran,dong !" sahut Rima cepat, "Tetapingga seperti dulu. Dia
sekarang tidak pencemburu lagi."

"Bagus!" kata Kino, masih sinis.

Rima mencubit pinggang pemuda itu pelan, "Eh .. janganngambek terusdong !"

Kino tak bergeming. Langkah keduanya kini mulai serasi.

"Kami akan segera menikah!" kata Rima tiba-tiba.

Kino menghentikan langkah. Mereka berdiri di depan sebuah kedai kopi.

Kino menatap Rima lekat-lekat. Tidak salahkah yang aku dengar? tanyanya dalam
hati. Rima balas menatap dengan mata berbinar. Senyum merebak di seluruh wajahnya
yang memang tampak semakinsumringah saja.

"Menikah?" tanya Kino pelan dan penuh ketakpercayaan.

Rima mengangguk kuat-kuat. Rambutnya yang kini sebahu tampak begerai ramai.

"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya Kino lagi, masih tak percaya.

"Aku,kan , sudah mendekati tahun-tahun terakhir," jawab Rima, "Gini-giniaku


termasuk cermerlang di kelas,lho !"

Tentu saja Kino tahu itu. Rima memang tomboy dan urakan. Tetapi ia juga punya otak
encer dan bisa belajar penuh konsentrasi.

"Aku mau cerita banyak!" kata Rima lagi, sambil tahu-tahu sudah menyeret Kino
masuk ke kedai kopi.

Tertatih-tatih dan masih dengan kening berkerut, pemuda itu membiarkan dirinya
diajak masuk.

******

"Mas Danu berpendapat, sebaiknya kami segera menikah saja," kata Rima memulai
cerita panjangnya, "Aku sudah diajak bertemu keluarganya kira-kira sebulan yang
lalu. Mereka pada dasarnya setuju, dan tinggal mencari waktu untuk berkunjung ke
keluargaku."

Kino diam menyimak sambil mengaduk-aduk kopi susu di hadapannya dengan sendok
kecil.

"Sebetulnya aku agak gentar," lanjut Rima sambil mengangkat muka, menatap
sahabatnya sebelum meneruskan, "Kamu tahu sendiri,kan , keluargaku ..."

Kino tak menyahut. Tentu saja ia tahu keluarga Rima yang berantakan, tentang
kakaknya yang tewas akibat obat bius, dan ayahnya yangplay boy (catatan redaksi:
bagi yang belum tahu kisah Rima, silakan menjengukdi sini ). Seperti halnya Andang
yang ia kenal saat berkelana sekilas dengan Obenk Sang Troubador, Rima adalah
sebuah bukti hidup dari keluarga yang hancur lebur. Keduanya menjadi gadis bebas,
bagai burung liar di belantara kehidupan. Bedanya, Andang menjalani nasibnya dengan
kegetiran yang nyaris fatalistis, sementara Rima melawannya dengan ketegaran dan
tekad untuk lebih baik. Bedanya lagi, Andang sudah lama kehilangan keperawanannya,
sementara Rima -sampai sejauh yang Kino tahu- masih menjaga kegadisannya.

"Aku sudah menguatkan hati," kata Rima dengan suara pelan, "Aku tahu, pasti ayah
akan acuh-tak-acuh menanggapi keinginan ku. Paling-paling ia akan
berkata ..'terserah'!"

"Lalu, kenapa kamu gentar, kalau memang tahu ayahmu akan setuju saja?" tanya Kino.

"Bukan ayah yang aku kuatirkan, tetapi abangku yang paling tua," sahut Rima sambil
menghirup tehnya.

Kino mengernyitkan kening, "Ada apa dengan abangmu?"

"Diangga pernah setuju pada apa pun yang aku hendak kerjakan," jawab Rima dengan
kegetiran yang tiba-tiba menyelimutinya, "Dia selalu bersuaraminor setiap kali aku
hendak melakukan sesuatu yang positif. Bahkan dia sebetulnya menentangku mati-
matian ketika aku memutuskan melanjutkan sekolah."

"Dia ingin kamu juga hancur seperti dia," kata Kino menyimpulkan sendiri.

Rima mengangguk, "Ya .. sepertinya dia tak rela kalau cuma dia sendiri yang hancur
tak berguna. Dia bahkan ingin menghancurkan adiknya sendiri. Dia selalu ingin
menjerumuskan aku. Mendorongku berbuat yang tidak-tidak."

Kino menghela nafas, teringat cerita Rima tentang abangnya yang selalu menyediakan
kondom dan membawakan film-film biru untuk Rima. Ia tidak bisa menerima dengan akal
sehat, mengapa seorang kakak bisa begitu tega ingin menjerumuskan adiknya sendiri.
Semakin lama ia memikirkan hal itu, semakin menjijikkan rasanya. Apalagi jika ia
ingat Susi, adiknya sendiri, yang sangat ia sayangi.

"Kini aku akan berontak, kalau memang ia ingin menentang," lanjut Rima kembali
dengan ketegasannya, walau wajahnya agak berubah keruh, "Kalau perlu, aku akan lari
saja bersama Mas Danu, daripada melibatkan dia dalam urusan keluarga ku yang
brengsek!"

"Tidak ada keluarga lain?" sela Kino, "Misalnya paman atau .... entah siapa ....
dari pihak almarhum ibumu?"

Rima menggeleng pelan, menunduk dan memainkan sendok di cangkir teh. "Ayah
memutuskan hubungan dengan keluarga ibuku setelah beliau meninggal," katanya pelan,
"Aku bahkan tak pernah tahu, siapa sebenarnya ibu. Pernah ayahkeceplosan mengatakan
bahwa orangtua ibuku, ... kakek dan nenekku ... tinggal di Singapura. Tetapi, di
mana mereka tepatnya, aku tak pernah tahu."

"Apakah pacarmu .... Mas Danu ... telah tahu semua ini?" tanya Kino hati-hati.

Rima mengangkat mukanya, dan Kino melihat kesedihan di kedua mata sahabatnya yang
berucap agak serak, "Sudah ... tetapi belum sepenuhnya. Aku justru kuatir kepada
keluarga Mas Danu ... apakah nanti mereka bisa menerima kenyataan tentang
keluargaku."

Kino mengangkat tangannya dari meja, mengelus pundak Rima untuk menyatakan
simpati.

Rima tersenyum kecut, "Tidak ada jalan lain bagiku untuk keluar dari kemelut
keluarga. Aku harus menempuh risiko ini, Kino ... Kalau Mas Danu memang
mencintaiku, dia pasti akan menerimaku apa adanya. Tetapi kalau dia tidak mencintai
... ya, memang barangkali begitulah nasibku"

Kino mengernyitkan kening, "Mengapa kamu katakan 'tidak ada jalan lain'?"

Rima menunduk dan menggigit bibirnya. Ia juga menarik nafas berkali-kali, seperti
sedang berusaha mengeluarkan gumpalan-gumpalan yang menyumbat dadanya. Kino
meremas-remas perlahan bahu sahabatnya, berusa sebisanya memberikan bantuan apa pun
yang bisa ia kerjakan.

Ketika Rima mengangkat mukanya, Kino melihat airmata menggenang. Pemuda itu tiba-
tiba menyadari, apa yang ingin diucapkan dan diceritakan oleh Rima ternyata bukan
hanya kebahagian tentang pernikahan mendatang, tetapi juga kegetiran yang amat
sangat.

"Kalau kamu belum mau bercerita, tak apa-apa .." bisik Kino, "Kita bicara tentang
yang lain saja .."

Rima menggeleng kuat-kuat. Sebutir air matanya sempat terlempar, menetes keras di
lengan Kino.

"Aku memang ingin bercerita. Aku tak tahu harus bercerita kepada siapa, dan entah
memang sudah diatur olehNya .. aku bertemu kamu. Aku ingin bercerita panjang lebar,
Kino!" sergah Rima sambil menghapus air matanya dengan saputangan hijau muda.

Kino melihat ke sekeliling. Kedai kopi sudah agak ramai oleh orang-orang yang
tampaknya enggan sarapan di rumah. Sebagian besar tampaknya adalah para pegawai
dari kantor-kantor yang ada di dekat pertokaan.

"Kamu mau cerita di sini, atau ....," Kino tak sempat melanjutkan ucapannya.

"Tidak," sela Rima, "Mau kah kamu menemaniku jalan-jalan sambil ngobrol?"

Kino mengangguk, tetapi lalu ingat bahwa ia harus membeli kado. Sejenak ia
menimbang-nimbang, apakah akan membeli kado dulu baru berjalan-jalan dengan Rima.
Lalu ia memutuskan, sebaiknya menemani Rima dulu karena itu jauh lebih penting. Toh
aku bisa membeli kado sepulang dari jalan-jalan! katanya dalam hati.

Maka mereka pun keluar dari kedai, berjalan berendengan menuju entah kemana saja
kaki mereka melangkah.

Rima menunduk seperti sedang mengukur jalan dengan langkahnya yang agak gontai.

Di tengah keramaian yang mulai terbentuk pagi itu, Rima berucap pelan .. "Aku
hamil, Kino!"

Kino mendengarnya seperti sebuah gelegar meriam. Langkahnya langsung terhenti, dan
tangannya secara reflek mencekal pergelangan sahabat di sebelahnya. Rima ikut
berhenti melangkah, membuang pandangannya dari tatapan Kino. Melihat ke seberang
jalan, tetapi tak memandang apa-apa. Wajahnya menampilkan bias kepasrahan sekaligus
ketegaran.

"Hamil?" bisik Kino seperti tak pernah mendengar kata itu sebelumnya.

Rima tak menjawab dan tetap mengalihkan pandangannya dari tatapan Kino. Ia tahu,
pemuda di sebelahnya ini pasti kaget setengah mati. Itulah sebabnya, ia
menyampaikan kabar gembira terlebih dahulu, tentang rencana pernikahan mereka.
Kabar buruknya ia sampaikan belakangan agar tak terlalu mengejutkan. Tetapi ....
ah, Kino pasti kecewa! sergah Rima dalam hati.

"Itu kah sebabnya kamu ingin menikah?" tanya Kino pelan, dan ia pun segera
menyadari betapa bodoh dan konyolnya pertanyaan itu.

Rima menengok dan memandang pemuda di sebelahnya. Ia tersenyum kecut dengan wajah
yang tetap keruh, "Apakah aku punya pilihan lain?" ia balik bertanya.
Kino menatap mata sahabatnya yang kini bagai sumur tak berdasar. Pemuda itu
menggeleng dan tidak bisa berkata apa-apa.

"Mas Danu tahu aku hamil, dan ia ingin bertanggungjawab. Itu sudah cukup bagiku,"
kata Rima sambil mulai melangkah lagi diikuti Kino yang belum melepas pegangannya
di pergelangan gadis itu.

"Dia memang sempat terpukul," lanjut Rima dengan nada kecut, "Semua pria rupanya
memang begitu ... terkejut jika tahu diri mereka harus bertanggungjawab."

Kino tak bisa menolak kebenaran yang menggetirkan di dalam kalimat Rima. Pemuda
itu membisu saja.

"Aku sendiri bingung ketika tahu bahwa aku hamil ... Aku terlalu terpikat
kepadanya, sehingga selama berpacaran tak sempat berpikir normal," kata Rima, kali
ini sudah dengan agak tenang. Ia memang ingin bercerita sepuasnya, melepaskan semua
yang selama ini ia simpan.

"Aku bisa mempertahankan keperawananku dengan pacar-pacarku," lanjut Rima, "Tetapi


dengan Mas Danu .... aku mabuk kepayang, Kino. Aku serahkan kegadisanku pada sebuah
percumbuan yang tergesa-gesa. Aku bahkan tidak memintanya memakai kondom ....,
padahal aku punya kondom di tasku!"

Kino menelan ludah, menghilangkan rasa kering yang tiba-tiba melanda


kerongkongannya.

"Kamu ingin tahu di mana aku kehilangan kegadisanku?" tanya Rima.

Kino terperangah. Apakah tempat itu kini relevan, setelah sebuah kegadisan sirna
dalam percumbuan?

"Di kampus ... di kantor Mas Danu, ketika ia kerja lembur!" kata Rima dengan
kejelasan yang terasa janggal.

Kino semakin terperangah. Betapa ironisnya. Rima yang ia kenal adalah Rima yang
hidup bebas di alam lepas, keluar-masuk disko, naik gunung, berenang setengah
telanjang di pantai, biasa tidur di kamar kost pacar-pacarnya ... tetapi justru
kehilangan keperawanannya di kantor seorang dosen! Betapa kontrasnya hidup ini.
Betapa tipisnya ambang benar-salah dan teori-praktek di dunia nyata ini.

"Kamu pasti kecewa sekali ...," kata Rima pelan.

"Tidak!" jawab Kino cepat, dan agak mengejutkan bahkan bagi dirinya sendiri.

Rima tertawa getir, "Kamu cuma bersikap sopan di depanku,"

"Tidak, Rima!" sergah Kino sambil mempererat cekalan tangannya, "Aku memang
kaget ... tetapi tidak kecewa!"

Rima meringis, dan Kino tersadar telah mencekal terlalu erat. Buru-buru ia
melepaskan cekalan tangannya. Tetapi secepat itu pula Rima balik merangkul lengan
pemuda itu.

"Tidak kecewa ...," kata Rima mengulang kalimat Kino, "Apakah itu artinya kamu
rela aku menyerahkan kegadisanku kepada Mas Danu?"

"Tidak," sahut Kino cepat, tetapi ia lalu buru-buru meralat, "Maksudku ... ya ...
eh, bukan begitu. Maksudku, aku tidak mempersoalkan kegadisanmu!"
Rima tertawa kecil dan getir, "Kamu anggap gadis-tidaknya aku bukan persoalan?"

"Eh .. bukan begitu!" sahut Kino tergagap, "Kegadisan tentu saja penting ...
tetapi, maksudku .... bagaimana, begitu ... Aku rasa kamu ... Bagaimana pun ...
maksudku ...."

Rima tertawa, kali ini lebih lepas, mendengar Kino gelagapan menjawab dalam
kalimat yang tak beraturan.

Menyadari Rima menertawai kegelagapannya, pemuda itu bersungut-sungut, "Kenapa


pertanyaannya susah-susah,sih !"

Rima meraih kepala pemuda yang 10 cm lebih tinggi darinya itu. Sambil tertawa
kecil, ia mengacak-acak rambut Kino seperti seorang kakak mempermainkan adiknya.
"Dari dulu kamungga pernah tegas kalau menjawab pertanyaan tentang aku!" sergahnya.

Kino membiarkan rambutnya diacak-acak, merasakan kehangatan persahabatan di antara


dirinya dengan Rima meruyak memenuhi suasana jiwa yang terusik oleh kabar-kabar tak
terduga ini.

"Tetapi aku mengerti maksudmu, Kino!" kata Rima akhirnya.

"Mengerti apa? Aku belum bilang apa-apa!" sahut Kino masih bersungut-sungut.

Rima tertawa lagi, tiba-tiba merasakan dadanya sangat lapang setelah mengeluarkan
kegundahan. "Aku mengerti bahwa kamu kecewa .... kecewaaaaaaaa sekali. Mungkin juga
kamu marah kepada Mas Danu yang telah begitu ceroboh. Tetapi, berhubung kamu
sayangsama aku ... maka .... "

Rima tak melanjutkan ucapannya, mempererat rangkulannya ke lengan pemuda sahabat


yang ia sangat sayangi itu.

Kino membiarkan Rima mengambil kesimpulan seperti itu. Dalam hatinya Kino
berucap ... biar saja ia mengambil kesimpulan apa pun yang ia sukai. Saat seperti
ini adalah saat yang membingungkan, bukan saja buat Rima atau Danu, tetapi juga
buat diriku. Apa bedannya aku dengan Danu? tanya hati kecilnya. Aku juga tidak
memakai kondom ketika berhubungan dengan Trista ... aku tak banyak menggunakan akal
sehat ketika bergumul dengannya ... aku menikmati setiap senti tubuhnya tanpa mau
ada bungkus apa pun ... Apa bedanya aku dengan Danu???

"Kamu sayangsama aku, kan?" desak Rima melihat Kino diam saja.

"Ya," jawab Kino pendek.

"Mau dengar cerita lagi,ngga ?" tanya Rima, tetapi Kino sudah tahu jawabannya
karena nada pertanyaan itu penuh rajukan dan permohonan yang tak mungkin bisa
ditolak.

Maka Rima pun melanjutkan cerita. Tentang hubungan mereka yang semakin lama
semakin jauh dan semakin mendalam. Tentang perubahan sikap Danu, dari orang yang
sangatposessive dan pencemburu menjadi kekasih yang penuh pengertian dan perhatian.
Rima mengatakan, setelah ia menyerahkan kegadisannya, Danu semakin sayang dan
semakin lemah lembut. Selain itu, mereka juga semakin tak terkendali, berhubungan
badan setiap kali ada kesempatan. Lebih sering mereka melakukannya di rumah
kontrakan Danu, tetapi terkadang juga mereka mengambil risiko dengan masuk ke motel
atau berhubungan di mobil yang diparkir di tempat-tempat gelap.

Sepanjang cerita Rima yang serba terbuka itu, dengan getir Kino melihat banyak
sekali persamaan kisah itu dengan kisah cintanya bersama Trista. Begitu banyak
kisah-kisah memabukkan yang bagai cermin jernih dari kehidupan cintanya sendiri.
Bedanya, kini Rima punya kesempatan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang
lebih formal. Tentu saja, ada risiko ... misalnya, kalau tiba-tiba keluarga Danu
menolak. Tetapi setidaknya Rima masih punya kekasih di sampingnya pada saat yang
menggalaukan seperti ini. Setidaknya Danu sudah berani bertanggungjawab.

Sedangkan aku? bisik Kino dalam hati. Aku sendirian menghadapi kegalauan yang kita
ciptakan bersama. Kau jauh di sana, di negeri orang bersama suami mu yang sah ..
sementara aku di sini menghadapi hari-hari yang menguntai masa lampau dalam seribu
pertanyaan tak terjawab.

Dengan diam yang menggundahkan, Kino mendengarkan semua cerita Rima secara
seksama. Sambil mendengarkan, ia membiarkan pula percakapan di hatinya berkecamuk,
mencoba mencari makna yang lebih tegas tentang "cinta". Apakah sesungguhnya ada
makna yang jernih, tegas, terang, jelas, tak berwasangka ... Apakah ada????

**********

Tanpa sadar, Kino dan Rima telah berjalan jauh meninggalkan pertokoan. Mereka
akhirnya duduk di sebuah bangku dekat sebuah lapangan bola untuk umum. Rima tampak
berkeringat, tetapi wajahnya kini jauh lebih cerah daripada ketika ia memulai
ceritanya. Kino lebih banyak termangu-mangu, melupakan gerah yang membungkus
tubuhnya seperti kepompong membungkus calon kupu-kupu.

"Kamu pastibosen , yaaa!" sergah Rima sambil mencubit pelan pinggang pemuda di
sebelahnya.

Kino menggeliat kecil, "Tidak ... tidak bosan. Tetapi bingung ...," jawabnya terus
terang.

Rima menghela nafas panjang dan melepaskannya dalam sekali hempasan, "Yaa ..
memang membingungkan. Hidup ini seluruhnya ... semuanya ... sepenuhnya ...
membingungkan!"

"Mungkin seharusnya memang begitu," kata Kino asal-asalan.

Rima mencibir, "Jawaban kamu juga membingungkan!"

Kino tertawa, "Lho.. aku,kan , memang bingung. Aku sudah mengaku sejak awal!"
katanya membela diri.

"Boleh aku bertanya terus terang, Kino?" tanya Rima tiba-tiba.

"Boleh!" jawab Kino, lalu buru-buru menyambung, "Asal jangan terlalu susah
jawabannya!"

"Tetapi kamu harus terus terang," kata Rima lagi.

"OK .. aku akan terus terang," jawab Kino sambil berpikir, apa gerangan pertanyaan
Rima itu.

"Kalau dulu aku menyerahkan kegadisan ku kepada kamu, apakah kamu mau?" tanya Rima
sambil memandang lekat-lekat pemuda di sebelahnya, seakan takut kalau tiba-tiba
pemuda itu lenyap tak berbekas.

Kino terperangah, dan menengok tak percaya kepada sahabatnya.

Rima terus menatapnya dengan matanya yang tajam dan penuh tantangan dan
keterusterangan dan juga kehangatan seorang yang telah lama sekali dikenalnya.
"Pertanyaan apa itu?" sergah Kino.

"Lho.. kenapa malah balik bertanya,sih !?" sergah Rima sambil memelotokan matanya
yang sama sekali tak menakutkan itu.

"Pertanyaan mu terlalu susah!" sergah Kino membela diri.

"Pokoknya jawab!" desak Rima sambil mencubit lengan Kino dan mengancam akan
mencubit lebih keras lagi.

"Tetapi kamu,kan , tidak menyerahkan kegadisanmu kepadaku!" sahut Kino bersikeras.

"Memang tidak!" kata Rima cepat, "Aku bertanya ' k a l a u ' .. seandainya dulu
aku menawarkan kegadisanku."

"Aku tak tahu, karena itu semua cuma ' k a l a u ' .. bagaimana aku bisa
menjawab?"

"Kamu tidak pernah tertarik bercumbu denganku?"

"Ah! .. Kamu sudah tahu jawabanku. Pura-pura tidak tahu saja!"

"Kenapa dengan Trista kamu mau?"

Kino tersentak. Darimana Rima tahu bahwa dia dan Trista sudah berhubungan begitu
jauh?

"Darimana kamu tahu bahwa aku berhubungan begitu jauh dengan Trista!?" sergah Kino
tanpa pikir panjang.

Rima tertawa tergelak, dan Kino merasakan mukanya merah padam setelah tahu bahwa
si tomboy yang sedang hamil itu ternyata memancingnya untuk mengaku! Ternyata
kalimat terakhir itu adalah sebuah tebakan yang tersembunyi!

"Sialan kamu!" sergah Kino sambil meraih leher Rima dan memitingnya secara main-
main.

Rima membiarkan dirinya diraih ke pelukan pemuda itu, sambil terus tertawa riang
karena berhasil mengorek pengakuan tak langsung tentang hubungan sahabatnya itu
dengan Trista.

"Jawabanku atas pertanyaanmu adalah: tidak mau. Biar dibayar 1 milyar, aku tidak
mau tidur dengan kamu!" kata Kino sambil mengacak-acak rambut Rima.

"Apa,sih, kelebihan Trista dari yang lain?" goda Rima sambil melepaskan diri dari
pelukan Kino.

"Dia tidak centil seperti kamu!" sahut Kino cepat sambil melepaskan pelukannya dan
merapikan duduknya.

"Maksudku ... dalam soal hubungan seks .. apa,sih , kelebihan Trista?" desak Rima
yang kini telah kembali dengan kenakalan dan godaan-godaannya.

"No comment!" sergah Kino seperti seorang pejabat menghindari desakan wartawan.

Rima tertawa senang, "Apa, sih, bedanya dengan .... misalnya ... dengan Alma!"

"Aku tidak tahu ... Aku tidak pernah berhubungan seks dengan Alma!" jawab Kino
terus terang.

"Bohong!"

"Terserah ... mau percaya atau tidak!"

"Dengan Indi?"

Kino menoleh dan menemukan kedua mata Rima mengerling nakal, penuh dengan sinar
kemenangan, selain sinar lembut yang memang sering terlihat di mata orang hamil.

"Ada apa dengan Indi?" Kino balik bertanya.

Rima tersenyum manis, "Kamu tidak sayang kepadanya?"

"Hei!" sergah Kino, "Apa hubungannya semua ini dengan cerita kamu dan rencana
pernikahan kamu?"

"Aku,kan , perlu mengirim undangan!" sahut Rima cepat.

"Ya, tentu ... Tetapi apa hubungannya dengan Indi?"

"Aku cuma ingin tahu,lho .. apakah di undangan nanti harus ditulisuntuk Kino dan
Indi ... begitu!"

Tahu bahwa Rima hanya bermaksud menggoda, Kino meraih lagi leher gadis itu dan
memitingnya lebih keras, membuatnya menjerit-jerit minta ampun. Untung saja
lapangan bola tidak sedang berpenghuni, dan tempat mereka duduk agak tersembunyi.
Kalau tidak, mungkin sebentar lagi Kino akan ditangkap hansip dengan tuduhan
mencoba mencelakai seorang wanita!

Di tengah canda-canda seperti ini, seringkali datang kenyataan-kenyataan yang


mengundang tanya. Betapa benarnya persoalan yang diangkat oleh Rima, walau dengan
godaan dan ke-tidak-serius-an. Rima memang perlu bertanya: kepada siapa kah
sebetulnya Kino jauh cinta ... Kepada Alma yang datang dari masa SMA-nya ... Kepada
Trista yang membangkitkan kenyataan-bergairah ... Kepada Indi yang muncul seusai
galau ...

Atau tidak kepada siapa-siapa?

*******

Setelah melepas lelah cukup lama, Kino teringat tujuan utamanya pagi ini: membeli
kado untuk pernikahan Alma dan Devan. Ia mengajak Rima ikut serta, dan sahabatnya
itu mengiyakan. Maka berendengan lah mereka, berjalan santai kembali ke pertokoaan
yang telah mereka tinggalkan dua jam silam. Percakapan pun bertukar-tukar topik,
tidak lagi sepenuhnya membicarakan kisah cinta.

"Bagaimana dengan kuliahmu, Kino? Apa rencana mu?" tanya Rima sambil mengayun-
ayunkan tangan pemuda yang ia gamit di sebelahnya.

"Tahun ajaran baru nanti aku akan kuliah lagi. Praktis aku harus mengulang, dan
tertinggal dua semester dari yang lain," jawab Kino, "Tetapi aku sudah siapkan
semua. Orangtua ku juga sudah membelikan meja gambar dan peralatan lainnya. Mudah-
mudahan segalanya berjalan lancar."

"Aku dengan kamu sekarang bekerjapart time ?" tanya Rima.

"Ya," kata Kino tertawa kecil, "Enak juga rasanya ... punya penghasilan sendiri
walaupun cuma sedikit!"

"Kalau nanti sudah kuliah lagi, apakah mau kerja terus?"

"Barangkali 'ya' .. kalau memang ada waktu, aku ingin terus mengajar kursus.
Lumayan untuk nonton atau membeli kaset."

"Aku juga ingin segera lulus dan bekerja," ujar Rima sambil mengibaskan rambut
dari mukanya.

"Kamu harus menunggu sampai bayi mu lahir," kata Kino.

Rima tertawa kecil, "Ya! .. aku juga sudah tidak sabar menunggu dia lahir!"

"Laki-laki atau perempuan?" tanya Kino.

Rima tertawa lebih keras, "Ah, kamungaco ! .. Aku belum tahu, karena baru hamil
sebulan!"

Kino menatap sahabatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kamu tidak kelihatan
sedang hamil ..," ucapnya.

Rima merajuk, "Kelihatan seperti apa,sih , aku ini?"

"Seperti .....," Kino menghentikan ucapannya, berpikir keras mencari kata-kata


yang tepat.

"Seperti apa?" desak Rima.

"Seperti seseorang yang baru pulang dari berlibur!" sahut Kino sekenanya.

Rima mencubit lengan pemuda di sebelahnya, "Kamu menjawab asal-asalan! Apa


hubungannya aku dengan liburan!"

"Maksudku, kamu tampak cerah!" jawab Kino membela diri sambil meringis, "Kamu
seperti seseorang yang baru kembali dari istirahat panjang."

Rima tertawa senang. Sesungguhnya lah ia senang mendengar ucapan sahabatnya itu.
Ia memang merasa sedang lepas dari sebuah peristirahatan panjang. Ia telah cukup
lama beristirahat melenakan diri bersama Danu, dan kini sedang menerima hasil dari
kelenaan itu dalam sebentuk jabang bayi yang tumbuh perlahan namun pasti.

Mereka tiba di toko yang tadi hendak dikunjungi Kino. Setelah berdiskusi sejenak
dengan Rima, pemuda itu menetapkan keputusannya membeli vas biru-ungu dengan gambar
sepasang burung kecil di dasarnya. Menurut Rima, pilihan Kino itu menunjukkan cita-
rasa artistik. Sambil tertawa, Kino mengatakan tak percuma ia memilih jurusan
arsitektur. Penjaga toko tersenyum mendengar percakapan kedua sahabat itu. Ia juga
tersenyum dengan alasan lain: .. vas itu berhasil dijualnya dengan harga 5% lebih
mahal dari seharusnya!

Setelah membayar dan meminta penjaga toko membungkus vas itu dengan kertas kado,
Kino memutuskan untuk melanjutkan obrolan di tempat kost Rima. Mereka naik angkot
meninggalkan pertokoan yang kini sudah hiruk pikuk itu.

******

Rima menyewa sebuah paviliun di bilangan kota B yang cukup elit. Berbeda dengan
tempat kost Kino yang cuma sebuah kamar plus kamar mandi, tempat tinggal Rima
dilengkapi ruang tamu sekaligus ruang belajar dan sebuah dapur kecil. Letaknya agak
terpisah dari rumah induk, tetapi masih dalam satu halaman berlingkungan tembok.
Sebuah taman yang asri tampak terawat di sebelah paviliun itu, tepat di bawah
jendela kamar tidur Rima.

Bukan baru kali ini Kino berkunjung ke tempat kost Rima. Tetapi inilah pertama
kali ia kembali menjenguk setelah hampir setahun ia tidak mampir. Dengan agak
kikuk, pemuda itu masuk mengikuti Rima.

"Kamu,koq , seperti orang kebingungan,sih !?" sergah Rima sambil menyeret tangan
pemuda itu.

"Berbeda dengan yang dulu ...," kata Kino pelan seperti kepada dirinya sendiri.

"Ah,apaan nya yang beda!" ujar Rima, "Dari dulu memang sudah begini."

"Dulu cat temboknya kuning ..," kata Kino lagi.

Rima tertawa sambil meninggalkan Kino termangu di ruang tamu yang apik.

"Kamu betul-betulngaco !" terdengar suara Rima dari dalam, "Dari dulu tembok
paviliun ini berwarna putih! Belum pernah berganti warna.Emangnya bunglon!"

Kino menghempaskan tubuhnya di sofa, meregangkan otot yang lumayan letih setelah
berjalan lumayan panjang. Ia juga menghela nafas dalam-dalam menikmati udara segar
setelah terpanggang matahari terik di luar sana. Tanpa kesungkanan lagi, Kino
membuka sepatunya dan merebahkan tubuhnya di sofa yang terasa sejuk.

Sepuluh menit kemudian, Rima muncul dengan sebuah baki berisi dua botol minuman
ringan. Ia juga sudah berganti baju, tidak lagi bercelana jeans dan berkaos. Sebuah
daster longgar kini membalut tubuhnya, tanpa sepenuhnya menyembunyikan apa yang
seharusnya disembunyikan.

Kino tetap merebahkan tubuhnya. Rima duduk di lantai dekat kepalanya, menyerahkan
botol minuman lengkap dengan sedotannya. Dengan segera keduanya meneguk lebih dari
setengah isi botol masing-masing. Dahaga segera hilang, berganti kesegaran yang
menyejukkan dada.

"Mau gado-gado?" tanya Rima sambil mengacak-acak rambut Kino.

"Kamu saja ... Kamu yang sedang ngidam,kan ?" sahut Kino.

Rima mencubit hidung Kino, "Sialan kamu! Aku belum merasakan apa-apa, bego!"

Kino tertawa, "Aku pikir kamu sudah mulai ngidam ... Mungkin perlu durian atau
rujak cingur!"

Rima bangkit menuju dapur sambil berteriak ke arah rumah utama, "Bi Inem ...
tolong belikan gado-gado dua bungkus!"

Kino menggerutu sendirian dengan suara pelan, "Aku belum lapar, dipaksa makan
gado-gado.Dasar orang hamil!"

Rima muncul kembali dan tanpa aba-aba langsung merebahkan tubuhnya terlentang di
sebelah Kino. Sudah tentu tak ada tempat cukup untuk dua orang di sofa panjang itu.
Maka tubuh Rima lebih banyak ada di atas tubuh Kino katimbang di atas sofa.

"Apakah orang hamil selalu aneh-aneh begini?" keluh Kino sambil menggeliat
menggeserkan tubuhnya lebih ke tengah.
Rima tertawa. Bahu dan bagian atas tubuhnya berguncang-guncang. "Sekali-sekali
kamu mau,dong , ditimpa orang hamil!" katanya.

"Untung baru hamil sebulan ...," gerutu Kino.

Rima tertawa lebih keras lagi, "Akukangen kepada mu Kino. Dulu kamu yang sering
menggendong kalau aku capek naik gunung!"

Kino tertawa kecil, teringat kisah manis ketika dulu mereka masih sering naik
gunung.

"Ingat waktu akunangis di lereng Burangrang?" tanya Rima sambil menatap langit-
langit, menikmati tidur di atas tubuh atletis sahabatnya.

"Ingat," jawab Kino sambil mengenang saat itu, "Kamu tersesat karenangotot mau
pipis sendirian tanpa mau diantar siapa-siapa."

Rima tergelak, "Iya! .. Aku masih keras kepala dan bandel sekali waktu itu. Aku
masuk ke hutan karena mendengar ada suara gemercik air. Aku pikir di dekat-dekat
situ ada kali kecil untuk cebok!"

"Padahal kali itu jauh di dasar jurang. Suaranya terdengar nyaring karena itu
bukan kali kecil!" sambung Kino.

Rima sejenak bergidik, "Ihh ..ngeri juga kalau ingat waktu itu aku hampir jatuh!"

"Sebenarnya itu salah kami juga," kata Kino, teringat bahwa waktu itu rombongannya
terdiri dari tiga orang veteran pendaki termasuk dirinya dan selusin pendaki pemula
termasuk Rima.

"Aku menangis karena setelah setengah jam berputar-putar, aku tak menemukan kali
itu. Lalu aku pipis di bawah pohon besar dan .....," Rima menghentikan ceritanya,
bergidik lagi.

Kino tertawa, "Aku ingat kamu berteriak-teriak karena pantat kamu diserbu lintah!"

Rima tergelak, sekaligus juga bergidik bila ingat peristiwa mengerikan dan
menjijikkan itu. Sejak peristiwa itu lah, ia tak pernah lagi sembarangan buang air
di gunung, dan selalu minta diantar Kino atau yang lainnya.

Riang dan penuh warna ... satu demi satu kepingan masa lalu datang bergantian
dalam percakapan Rima dan Kino. Keduanya seperti sedang memutar sebuah koleksi film
tentang tahun-tahun silam. Betapa indahnya masa itu, ketika tak seorang pun di
antara mereka memikirkan apa-apa selain diri mereka sendiri. Ketika semua canda dan
tawa hanya berpusat pada kehidupan belia dan seputar kampus. Mana ada kegundahan
waktu itu ... semuanya berjalan lancar seperti lancarnya air sungai bening di
gunung. Tak ada pikiran tentang cinta yang rumit, atau tentang kehidupan yang tak
selalu memenuhi janji, atau tentang politik yang membingungkan ... semuanya indah
belaka.

Betapa bedanya saat ini. Kini ada saja hal-hal yang memerlukan pemikiran mendalam.
Ada saja keputusan yang harus diambil dengan lidah yang terasa pahit. Ada saja
peristiwa pelik yang terbawa sampai ke mimpi.

Setelah tertawa-tawa hampir setengah jam, keduanya terdiam kehabisan nafas.


Keduanya menerawangkan pandangan ke langit-langit. Suasana tiba-tiba sepi, kecuali
oleh teriakan beberapa penjual makanan atau alat-alat dapur di luar.

Lalu terdengar Rima menghela nafas panjang, dan dengan perlahan ia membalikkan
tubuhnya, menelungkup di atas tubuh Kino, menghenyakkan dadanya yang kini mulai
subur.

"Aku selalu ingin kembali ke masa-masa itu, Kino ...," bisik Rima sambil
merebahkan kepala di dada sahabatnya

Kino tersenyum, mengusap rambut gadis yang dulu selalu minta dipeluk sebelum tidur
di dalamsleeping bag di puncak gunung.

"Mustahil ...," kata Kino, tetap menerawangkan mata ke langit-langit, "Tidak


mungkin bisa, kecuali kalau filmBack to The Future bisa jadi kenyataan."

Rima tertawa, mempererat pelukannya, "Mungkin sudah ada orang yang berhasil
membuat mesin waktu, entah di negara mana ..," katanya.

"Kalau pun ada, aku tak mau memakainya," kata Kino.

Rima mengangkat mukanya dari dada pemuda itu, "Kenapa? Tidak ingin kah kamu
kembali ke masa lalu?"

Kino menunduk, menatap wajah sahabatnya dekat sekali di mukanya, "Aku tidak bisa
memastikan, ke bagian mana dari masa lampau itu aku ingin kembali."

Rima melipat kedua tangannya di atas dada Kino, menyandarkan dagunya di kepalan
tangan, "Kembali ke saat pertama-tama kita membentuk persahabatan," usulnya.

Kino tersenyum, memainkan anak rambut di dahi Rima, "Ke masa perploncoan?"

Sinar mata Rima langsung berbinar riang, "Ya! .. ke saat-saat perploncoan. Kamu
mau kembali ke sana?"

"Boleh juga!" sahut Kino.

"Ayo kita kembali ke masa itu, lalu kita perbaiki hal-hal yang selama ini salah!"
ujar Rima bersemangat.

Kino tertawa, "Kamu boleh berhayal seenaknya ... tetapi tetap sebagai hayalan!"

Rima ikut tertawa dan Kino senang sekali melihat wajah sahabatnya telah berubah
menjadi wajah riang yang dulu ia kenal. Ah .. tanpa harus sungguh-sungguh kembali
ke masa lalu, mereka toh bisa melihat masa lalu itu di wajah masing-masing. Kalau
kita sungguh-sungguh mengenang masa lalu, kita toh akan bisa melihat semuanya di
mata kita masing-masing. Kino melihat di sepasang mata sahabatnya, betapa indah
masa itu. Bening dan transparan, kedua mata Rima menyiratkan gambar-gambar seperti
sebuah proyektor memproyeksikan film di layar putih.

Lalu Rima menaikkan tubuhnya lebih tinggi, dan tanpa dapat dicegah ia mencium Kino
di bibirnya.

Sejenak suasana berubah hening. Keduanya menikmati ciuman lembut yang berbalut
rindu kepada masa lampau. Rima memejamkan matanya. Kino memandang takjub wajah yang
dekat-lekat.

Nafas keduanya beralun teratur. Tidak ada ketergesaan. Tidak ada perburuan. Ciuman
itu benar-benar selembut kapas sehalus sutra.

Lalu Rima membuka matanya. Sepasang sahabat itu bertatapan dalam jarak yang tak
punya makna.
Sebentuk air bening merebak di kelopak mata Rima ketika ia berbisik, "Terimakasih
untuk persahabatan ini, Kino ..."

Kino tak menjawab. Dengan rasa sayang yang kini penuh merebak di dadanya, pemuda
itu merengkuh Rima dan memeluknya erat-erat. Perlahan ia merasakan airmata gadis
itu mulai membasahi kaosnya.

Untuk beberapa jenak, keduanya berpelukan seperti layaknya sepasang sahabat yang
sudah lama tak berjumpa. Ketika terdengar suara Bi Inem membuka gerbang luar,
barulah keduanya memisahkan diri.

Tanpa sepatah kata, Rima bangkit menghapus air mata dan merapikan dasternya, lalu
menuju dapur untuk menyiapkan piring dan sendok-garpu.

Mereka makan dalam sepi yang menggigit.

Lalu Kino berpamitan. Rima melepaskannya dengan ciuman ringan di pipi. Pemuda itu
pun melangkah keluar, menyambut terik dan gersang yang datang menyerbu. Tetapi
tentu saja ia tak peduli pada semua rasa fisik ini. Ia tak bisa lagi peduli kepada
panas atau debu, manakala rasa jiwanya telah begitu luluh dalam kenangan-kenangan
masa lampau.

Di atas angkot, Kino memandang kado di tangannya. Minggu depan ia harus ke ibukota
untuk menghadiri pernikahan Alma dan Devan. Ia sudah bisa menduga, pertemuan dengan
Alma nanti pastilah akan menguntai kembali masa lalunya.Apalagi di ibukota juga ada
Mba Rien ......

Akhir

Anda mungkin juga menyukai