Adoc - Pub - VII Lobi Dan Tekanan Politik Di Industri Gula Akti
Adoc - Pub - VII Lobi Dan Tekanan Politik Di Industri Gula Akti
informasi satu arah dari kelompok produsen (terutama petani tebu, buruh,
(eksekutif dan legislatif). Sementara itu, dari perspektif ekonomi politik program
pendek untuk tetap bertahan diposisinya selama mungkin. Jika politisi berusaha
pusat atau pun daerah, para birokrat berusaha meningkatkan anggaran dan
jaminan pendapatan (job security) agar memiliki kesempatan yang lebih besar
tambahan (ADB, 2004). Oleh karena itu analisis swasembada gula dalam
tingginya potensi dan kemampuan lobi sekelompok kecil individu produsen gula
dan kemampuan lobi yang rendah dari masyarakat konsumen yang besar namun
bersifat heterogen serta menghadapi persoalan free riding dalam melakukan aksi
kolektif. Aktivitas lobi dan tekanan politik produsen gula paling tidak memiliki
dan menjaga segmentasi pasar GKP dengan GKR. Aktivitas lobi dan tekanan
penawaran gula (ε = 1.35) yang dihasilkan dari struktur pasar yang oligopolistik.
kepentingan adalah satu. Jika nilai bobot politik sama dengan satu maka pembuat
menunjukkan bobot politik produsen lebih besar dari satu sementara bobot politik
konsumen lebih kecil dari satu. Hal ini mengindikasikan pembuat kebijakan lebih
rendah karena menghasilkan gula melalui proses produksi yang tidak efisien.
Akibatnya gula yang dihasilkan tidak kompetitif, namun sebagian besar petani
dan pabrik gula tidak ingin meninggalkan bisnisnya dalam produksi tebu dan gula
(denied easy exit). Mereka kemudian menjalin kontak dengan para pembuat
Agar aktivitas lobi dan tekanan politik lebih efektif maka petani membentuk
organisasi petani tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dan
melibatkan politisi daerah dan pusat dalam struktur dan jaringan organisasinya
Rendahnya kinerja petani dan pabrik gula tidak lepas dari adanya
ketidaksempurnaan pasar, dan dalam arti yang lebih luas ketidaksempurnaan pasar
telah menimbulkan persoalan stabilisasi, alokasi, dan pendapatan petani tebu dan
gula dan juga permintaannya (lihat Malian dan Saptana, 2003; Siagian, 2004;
Indraningsih dan Malian, 2006; Sriati, et al., 2008). Penawaran gula domestik
ditandai oleh rendahnya kualitas dan kuantitas pasokan tebu sebagai bahan baku
pembuatan gula serta rendahnya produktivitas pabrik gula dalam mengolah tebu
aktivitas yang terjadi pada tingkat usahatani tebu pada satu sisi (on-farm) dan juga
aktivitas pada tingkat penggilingan tebu di pabrik gula pada sisi yang lain (off-
farm).
Kegiatan usahatani tebu sebagian besar dikerjakan oleh petani pada lahan
tebu ini untuk sebagian dikarenakan harga relatif tebu cenderung menurun
dibanding harga tanaman pangan lainnya. Oleh karena itu areal tanaman tebu
bukan saja semakin menyusut tetapi kualitas irigasinya pun semakin berkurang
karena lahan yang subur digunakan untuk mengusahakan tanaman padi dan
tembakau yang harganya relatif tinggi (lihat Lampiran 3). Akibatnya biaya sewa
lahan beririgasi semakin mahal sehingga areal tanaman tebu bergeser ke lahan
juga menyebabkan semakin jauhnya jarak antara kebun dengan lokasi pabrik gula
yang semula dibangun dekat dengan persawahan teknis sehingga biaya angkut
Saptana, 2003). Selain itu ketergantungan yang tinggi terhadap sinar matahari
menyebabkan kualitas tebu yang dihasilkan sangat tergantung pada keadaan iklim.
Curah hujan yang tinggi ketika tanaman berada pada fase pembentukan gula
maksimal. Hasil panen tebu ini kemudian diproses di pabrik gula milik negara
yang masih menggunakan mesin lama dengan teknologi yang umumnya sudah
usang sehingga rendemen yang diperoleh relatif rendah. Selain itu dalam
memproses tebu menjadi gula, petani menghadapi tingginya biaya transaksi (high
trasaction cost) yang mengindikasikan kompetisi pada pasar gula di tingkat on-
farm tidak sempurna. Penelitian Yustika (2008) menunjukkan biaya transaksi
usahatani, baik untuk petani tebu mandiri maupun petani tebu pola kemitraan.
produsen gula untuk meminta dilakukan intervensi pada sistim politik. Intervensi
penawaran kebijakan oleh birokrat dan politisi di satu pihak dengan kekuatan
permintaan kebijakan dari produsen dan konsumen gula di lain pihak (Gambar
melalui penetapan harga patokan petani (HPP), hambatan impor (kuota dan tarif),
berbagai faktor.
risiko pasar. Hal ini mencerminkan minimnya informasi mengenai harga yang
akan terjadi, nilai tukar, dan informasi agroklimat lainya. Oleh karena itu seperti
sifat alami industri pertanian pada umumnya, industri gula menghadapi fluktuasi
yang tidak sepenuhnya dapat dikenali karena nature dari usaha ditingkat on farm
yang sangat tergantung pada iklim dan kondisi alam. Akibatnya penawaran gula
berfluktuasi dari musim ke musim dan sangat tergantung pada ketepatan waktu
tebang, muat, angkut, dan giling. Hal ini kemudian dipersulit dengan tidak adanya
sinkronisasi yang kuat antara kegiatan di tingkat usahatani tebu dengan aktivitas
giling yang terjadi di pabrik gula terutama di Pulau Jawa dimana sekitar 70 persen
gula diproduksi. Di Pulau Jawa pengusahaan tebu sebagai bahan baku gula
dilakukan di lahan yang dikuasai oleh petani sementara pabrik gula hanya
memiliki kebun tebu yang relatif sempit. Tidak adanya integrasi ini menyebabkan
produktivitas hablur relatif rendah yaitu rata-rata 6 ton per hektar. Rendahnya
efisiensi dan produktivitas gula termasuk gula milik petani tidak memberikan
penghasilan yang mencukupi meskipun sistim bagi hasil gula antara petani dengan
pabrik gula semakin menguntungkan petani dari semula 65:35 menjadi 68:32.
Akibat tingginya risiko pasar tersebut maka penawaran gula domestik sangat
tidak stabil. Kondisi penuh risiko ini jika disertai dengan karakteristik petani tebu
yang memiliki lahan sempit dan permodalan rendah merupakan legitimasi politik
Oleh karena itu dari aspek produksi, ketidaksempurnaan pasar telah menciptakan
kondisi ketidakamanan pangan, dan jika terjadi pada industri gula dimana petani
tebu hanya memiliki lahan sempit (<0.5 ha) maka kegagalan pasar tersebut akan
memberikan pendapatan yang relatif rendah tidak peduli seberapa keras petani
lain. Dari sudut pandang teori pilihan rasional, ketika petani tebu gagal
untuk mencapai tujuan dan itu belum cukup. Agar menjadi sebuah pilihan rasional
maka manfaat marjinal memasuki organisasi harus lebih besar dari biaya marjinal
dan koordinasi guna melakukan aksi kolektif untuk memperkuat pengaruh politik
murah sehingga setiap petani dapat bergabung dalam berbagai organisasi petani
tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), BK-APTRI (Badan
Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), KPTR (koperasi petani tebu
rakyat), atau PPTR (paguyuban petani tebu rakyat). Biaya yang relatif rendah ini
manfaat yang didapat relatif besar dengan tingginya potensi rente ekonomi yang
diterima.
gula bukan semata-mata karena alasan bahwa setiap individu bebas berserikat,
tetapi pabrik gula mendapatkan manfaat dari organisasi dan tekanan politik yang
dilakukan asosiasi petani tebu terhadap pembuat kebijakan. Itulah sebabnya pada
setiap wilayah pabrik gula terdapat banyak asosiasi baik asosiasi petani tebu
perkebunan ini pada satu sisi dapat merugikan pabrik gula terutama dalam
mendapatkan posisi tawar penentuan rendemen dan bagi hasil gula petani namun
simbiosis mutualisme. Lobi dan tekanan politik yang dilakukan petani melalui
berbagai aksi demontrasi mendapat liputan luas dari berbagai media yang
pada sisi lain memberikan publikasi yang positif bagi eksistensi asosiasi petani.
dengan jumlah anggota banyak, para petani tebu yang tergabung sebagai anggota
manfaat yang dihasilkan oleh organisasi petani kepada mereka yang tidak
mengatasi persoalan free riding ini dengan memanfaatkan besarnya potensi rente
persoalan free riding namun aksi kolektif yang dilakukan tetap dapat merubah
arah kebijakan menjadi lebih spesifik sesuai dengan preferensi mereka dan
median voter model aktivitas mencari rente secara umum akan berkurang. Namun
balances oleh legislatif dan media. Hal ini menegaskan kebijakan pergulaan
Meskipun dalam sistim demokrasi para politisi dan birokrat akan membuat
seluruh konsumen maka manfaat yang diperoleh konsumen secara individu relatif
kecil untuk menolak keputusan politik yang protektif tersebut. Sementara itu
konsumen gula yang jumlahnya besar namun tidak terorganisir --sehingga akan
kelompok kecil produsen gula (petani tebu dan pabrik gula serta berbagai
asosiasinya) yang terorganisir. Oleh karena itu resistensi atau upaya penolakan
terhadap kebijakan yang melindungi industri gula oleh konsumen tidak akan
keputusan politik yang pro proteksi dan subsidi terhadap industri gula. Namun itu
belum cukup. Syarat cukupnya adalah para pembuat keputusan (politisi dan
birokrat) bersedia memenuhi tuntutan dari petani dan pabrik gula untuk sebagian
karyawan pabrik gula untuk memaksimumkan perolehan suara agar tetap duduk
sebagai anggota DPRD kabupaten dan propinsi bahkan DPR pusat dan mereka
tergabung dalam Panitia Kerja yang mengawasi produksi dan distribusi gula
(misalnya Panja Gula Komisi VI DPR). Sementara itu kalangan birokrat terutama
job security. Jika pada tahun 2010 Kementrian Pertanian memerlukan anggaran
peningkatan produksi gula sebesar Rp. 15.2 milyar, maka pada tahun 2011
anggaran tersebut naik 7 kali lipat menjadi Rp. 103 milyar.1 Sementara itu
persen atau Rp. 1.24 triliun menjadi Rp. 2.1 triliun pada tahun 2011.2
itu penggunaan kata swasembada bukannya tanpa maksud. Pemerintah dengan jeli
1
Media Indonesia.com, 29/12/2010. Anggaran Gula Naik 7 Kali Lipat di 2011.
2
Tempo Interaktif, 20/11/2010. Anggaran untuk Revitalisasi Industri Gula Diusulkan Naik
mengandung makna kemandirian, kebanggaan dan nasionalisme memberikan
dengan tingginya harga gula. Ketiga aktor yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan
langkah berikutnya adalah membuka kotak hitam politik kebijakan gula dengan
regresi antara variabel bobot politik produsen, sebagai proksi terhadap aktivitas
lobi dan tekanan politik produsen, dengan variabel tingkat swasembada setelah
menunjukkan bahwa data ekonomi politik bersifat tidak stasioner pada level dan
terintegrasi pada ordo satu, I(1), sebagaimana tersaji pada tabel 23.
Oleh karena data time series sudah stasioner pada beda pertama dan analisis
ditujukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam jangka pendek maka
nasional seperti ditunjukkan oleh tanda parameter aY < 0 dan perluasan areal
swasembada. Namun demikian semakin banyak lahan dan sumberdaya lain yang
ditunjukkan oleh gambar 11. Hasil estimasi lengkap disajikan pada tabel berikut.
Tabel 24. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada
Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009
swasembada sebagaimana terlihat dari nilai parameter aP < 0. Hal ini sesuai
permintaan terhadap gula impor bukan oleh perilaku produksi, terutama pada
periode pengaturan impor setelah keluarnya SK Menperindag 527/2004.
pada saat bersamaan impor gula yang dilakukan pemegang IP dan IT juga
Hasil yang diluar perkiraan adalah hubungan antara bobot politik pemerintah
dengan pencapaian swasembada juga bertanda negatif (aG < 0) . Dari penelusuran
menerima manfaat dari kebijakan pembatasan impor terutama berupa pajak impor
dan rente yang diterima oleh pabrik gula serta IP dan IT gula BUMN. Namun
demikian hasil estimasi yang diperoleh kurang memuaskan secara statistik karena
menghasilkan koefisien determinasi relatif kecil (R2 = 22.3 %) dan sebagian besar
Tabel 25. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada
Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009
Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan yaitu aY < 0 dan aA > 0. Akan tetapi aktivitas lobi kelompok produsen
Namun demikian hasil yang diperoleh ini memuaskan secara statistik karena
dilakukan regresi antara variabel bobot politik dengan besarnya rente ekonomi
bahwa aktivitas lobi berhubungan positif dengan rente ekonomi dan signifikan
pada α = 5 %.
Tabel 26. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi
Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009
Hasil regresi ditampilkan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa parameter
Tabel 27. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi
Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009
rente ekonomi baik menggunakan data beda pertama ataupun data level (bP > 0)
dan signifikan secara statistik, serta parameter bY > 0. Hal ini sejalan dengan
temuan Lopez dan Pagoulatos (1994) bahwa aktivitas lobi yang dilakukan melalui
transfer bagi kelompok produsen (producers’ economic rent). Sementara itu luas
areal tebu berpengaruh negatif terhadap rente ekonomi, (bA < 0). Hal ini
ia juga diciptakan melalui aktivitas impor. Ketika areal tebu meningkat maka
ini memiliki keterbatasan dalam menelusuri jalur transmisi hubungan antara luas
Untuk menguji konsistensi teori lobi dan tekanan politik seperti diuraikan
teori lobi yaitu terdapat hubungan negatif antara swasembada dengan besarnya
rente ekonomi (cP < 0). Sementara jika menggunakan data level hasil yang
positif antara besarnya rente dengan tingkat swasembada. Oleh karena itu
penggunaan data level pada analisis ini memberikan hasil yang keliru karena tidak
aktivitas lobi, rente ekonomi dan tingkat swasembada seperti disajikan pada
produsen yang menghasilkan kebijakan protektif berupa tarif dan kuota telah
faktor. Namun tidak seperti pada pasar kompetitif, pada struktur pasar
harga paritas impor. Sementara itu importir menerima rente ekonomi sebagai
akibat pembatasan kuota impor karena importir membeli dengan harga dunia dan
menjualnya di pasar domestik dengan harga lebih tinggi. Hal ini tidak sulit
dilakukan karena importir umumnya adalah prosesor dan produsen gula yang
mendapat lisensi impor melalui fasilitas importir produsen dan importir terdaftar.
7.5. Ikhtisar
Pada Bab 7 ini disajikan hasil penentuan bobot politik sebagai proksi
terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik berbagai kelompok kepentingan. Hasil
2009 bias ke arah produsen yang ditunjukkan dengan nilai bobot politik produsen
lebih besar dari satu, sementara bobot politik konsumen lebih kecil dari satu.
politik kelompok produsen tersebut diuji secara empirik dengan melihat hubungan
antara aktivitas lobi produsen gula dengan pencapaian swasembada dan besarnya
teori yaitu terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi produsen dengan
pengujian juga dilakukan dengan menggunakan data level yang tidak stasioner.
Hasilnya adalah penggunaan data level pada penelitian ini tidak memadai karena