Anda di halaman 1dari 4

REVIEW JOURNAL

Pabrik Gula merupakan salah satu jenis pabrik yang berada di Indonesia. Asal muasal
pabrik gula, terutama di Pulau Jawa tidak lepas dari pengaruh kebijakan pada masa jajahan
Belanda yaitu sistem tanam paksa. Dimana tebu merupakan salah satu komoditas yang
harus di tanam, baik di wilayah Surabaya, Pasuruan dan Besuki. Hal tersebut
mengakibatkan berdirilah salah satu pabrik gula, Pabrik Gula Tjoekir tahun 1884. Pabrik ini
terletak di daerah Sungai Berantas yang notabene banyak tanaman tebu juga yang ditanam
disana.

Pabrik Gula Tjoekir dan Pesantren Tebu Ireng pun menjadi saksi dari sejarah bahwa
hubungan antara pabrik gula dengan perkebunan tebu sangatlah erat. Terutama yang sudah
ada sejak abad ke sembilan belas, yang menyebabkan hal ini memiliki keterlibatan sosial
ekonomi yang sangat erat bagi masyarakat pedesaan. Ada pun prasarana kereta api, jalan,
jaringan irigasi hingga pemandangan kota yang menyesuaikan keberadaan pabrik gula saat
era Belanda. Pabrik gula yang umumnya dilewati oleh lajur kereta api saat itu seperti Kediri
Stroomtram Maatschappij (KSM) yang mendominasi Jombang dan Kediri, Modjokerto
Stroomtram Maatschappij (MSM) yang beroperasi di Mojoketor dan sekitarnya, termasuk
juga Babat-Djombang Stroomtram Maatschappij (BDSM), Probolinggo Stroomtram
Maatschappij (PbSM), Pasoeroean Stroomtram Maatschappij (PsSM). Perusahaan
Staatsspoorwegen (SS) dan OoST Jawa Stroomtram Maatschappij (OJS) juga memiliki
jaringan kereta api di Mojokerto.

Terbukti, dari nama-nama pabrik yang telah disebutkan ternyata pada era kini keberadaan
pabrik gula sangatlah penting. Apalagi dalam pembangunan suatu wilayah, seperti Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pabrik-pabrik ini tak hanya menciptakan
kesejahteraan dari sisi ekonomi, tetapi juga menjangkau keseluruhan aspek kehidupan
manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Hal tersbut terjadi karena tebu menjadi komoditas
wajib dalam budidaya terpenting, sejak tahun 1830 hingga 1870 pernah mencapai tiga juta
ton per tahun, kini target pemerintah sebesar 3,1 juta ton gula konsumsi dan tak pernah
tercapai. Bahkan produksi gula pada tahun 2005 hanya mencapai 2,4 juta ton dan 2015
hanya 2,70 ton, jika disimpulkan meningkat rata-rata 0,2% dalam 10 tahun.

Hal tersebut disebabkan karena adanya penurunan kualitas panen dan rendemen, tingginya
biaya pokok produksi gula kristal putih (GKP) sehingga menyebabkan lemahnya daya
saing. Bahkan waktu dalam penanaman dan panen pun mejadi salah satu faktor penyebab
hal ini terjadi. Dinilainya kurang tepat dalam pembagian waktunya serta besarnya campur
tangan pemerintah dalam penggeseran lahan.

Dan permasalahan mendasar saat ini hingga ke depan adalah kesulitan pabrik gula di
Indonesia untuk mendapatkan laba marjin, bahkan sebagian sudah mengalami rugi karena
biaya operasional yang tinggi, inefisiensi pada tingkat on maupun off farm serta rendahnya
produktivitas. Selain itu harga gula juga tidak mengikuti mekanisme pasar namun wajib
mengikuti penetapan pemerintah karena gula merupakan salah satu barang kebutuhan
pokok. Selain itu, gula impor pun lebih murah dan menarik setelah berada di pasar. Kondisi
tersebut menyebabkan kebanyakan pabrik gula gundah, karena biaya produksi yang
meningkat dan keterbatasan dalam mencari tebu, membuat nilai marjin semakin tidak
memadai, baik dari sisi perhitungan daya beli konsumen dan besarnya campur tangan
pemerintah pada saat harga gula naik di pasar.

Sementara permasalahan tersebut jika ditinjau dari teori, bahwa produktivitas dan efisiensi
merupakan aspek penting dalam kinerja. Sehingga bisa dikatakan bahwa pabrik gula di
Indonesia memerlukan perubahan dalam kinerja pabriknya, agar dapat mendapatkan laba.
Dimana hal tersebut harus didukung juga oleh kemampuan sumber daya dan aktivitas rutin
dalam pabrik. Konsep tahapan produksi yang tak logis juga dapat ditinjau dari analasis
isoquant, Q = f (Capital,Labor).

Bahkan sebenarnya dari sisi limbah dari tebu, yaitu ampas tebu juga dapat dimanfaatkan.
Yaitu menjadi sumber energi yang terbarukan serta tersedia cukup besar sehingga dapat
dimaksimalkan dengan cara mengurangi kadar air ampas melalui penerapan teknologi
pengeringan serta memanfaatkan program perawatan rutin supaya waktu giling di pabrik
dapat ditekan kurang dari lima persen. Kualitas ampas sebagai bahan bakar ternyata
dipengaruhi oleh tingkat kelembutan dan kandungan tanah atau pasir yang terkandung.
Ampas yang berkualitas adalah memiliki kadar abu kurang dari 2,5% dan keberadaan tanah
atau pasir dalam ampas akan menambah kadar abu serta menurunkan efisiensi ketel,
bahkan bisa menimbulkan abrasi pada perpipaan dan blower IDFan.

Hasil dari penelitian terhadap pabrik gula di Indonesia, baik melalui survey maupun
menganalisis data, jurnal serta seminar ditemukan bahwa gula merupakan salah satu
komoditas yang mempengaruhi keputusan pelaku usaha, termasuk konsumen agar tercapai
tujuan nasional swasembada gula. Namun kebijakan pergulaan nasional antara kementerian
atau lembaga tak bersinergi sehingga tak ada yang mengiringi pada tujuan nasional.
Konflik antara kementerian atau lembaga serta konflik antara petani tebu dengan produsen
gula kristal putih dengan produsen gula kristal rafinasi dan importir gula kristal mentah
juga sering terjadi. Hal tersebut tambah runyam ketika ada mafia bisnis gula yang
legitimate dan memiliki modal yang kuat juga hadir. Mengakibatkan terjadinya pasar
monolistik terhadap gula. Sehingga marjin pabrik gula di Indonesia tak akan pernah
memiliki kemampuan untuk ekspansi bagi perluasan lahan dan membangun pabrik baru.
Pendapatan yang diperoleh pun hanya sebatas untuk gaji karyawan, operasional perusahaan
dan dividen kepada pemegang saham.

Bahkan daya saing industri gula nasional sejak 2005 hingga sekarang apabila ditinjau dari
sisi harga, kalah jauh dibandingkan rata-rata dunia dimana harga impor gula masih lebih
rendah dibandingkan harga impor GKP. Penyebab utama yaitu kesulitan mewujudkan
efisiensi, optimalisasi giling dan diversifikasi produk turunan tebu.

Jika disimpulkan dari hal-hal yang dialami pabrik gula di Indonesia, maka dapat dilakukan
beberapa cara untuk merubah sistem kerja pabriknya sehingga dapat mendapatkan laba
marjin yang maksimal.

1. Melakukan perubahan energi yang digunakan, yaitu dengan ampas tebu dalam
produksi (co generation plant)
2. Menggunakan Integrated Precision Farming atau sistem pertanian terpadu, yang
melihat dari keseimbangan input maupun output pabrik gula
3. Karyawan pabrik harus termasuk dalam Entreprice Resources Planning yang
berorientasi pada sistem, aplikasi dan produk.
4. Merubah mindset dalam memandang perkembangan industri gula agar dapat
diimplementasikan secara penuh di semua unit dan kantor pusat, bahwa yang
digunakan adalah real time data processing
5. Lebih memfokuskan lagi pada produksi produk-produk turunan tebu, seperti tetes,
blotong, energi, serat pucuk tebu, fermentasi dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai