Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS KEBIJAKAN SERTA FUNGSI SISTEM RANTAI PASOK

PUBLIK GULA
ABSTRAK
Gula yang biasanya dihasilkan adalah gula pasir putih (GKP) dari petani Permen batu lokal dan
olahan yang dib. Kemenpernd (2019) melaporkan 655 orang bekerja di sektor perkebunan, dan
investasi pabrik tebu sebesar 30 triliun. Perdagangan gula masuk Negara menjadi kegiatan yang
penting dan oleh karena itu perlu diawasi.Gula digolongkan sebagai Nilai strategis untuk
ketahanan dan peningkatan pangan. Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia. Lahan tebu
harus sesuai dengan kondisi agroklimat dan lahan seperti curah hujan antara 1,000–2,000
milimeter per tahun. Ketinggian tebu yang ideal sampai 500 mdpl, kemiringan lahan tidak lebih
dari 3% dengan bentuk lahan.Ada beberpa fungsi system rantai pasok public yang mengatur
kebijakan gula yaitu fungsi perencanaa, fungsi penganggaran, fungsi pengadaan, fungsi
penyimpanan dan penyaluran, fungsi pemeliharaan, fungsi penghapusan. Diantara semua fungsi
tersebut terdapat fungsi pengendalian yang mengatur kebijakan gula. Analisis pembahasan
kebijakan dan fungsi system rantai pasok gula menghasilkan rekomendasi untuk menyatukan
SNI tunggal gula serta evaluasi kebijakan terkait harga gula di Indonesia.

Kata kunci ; gula, perdagangan, sistem rantai pasok, kebijakan publik, SNI

PENDAHULUAN
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 menentukan barang mana yang dianggap esensial, di
antaranya gula. Gula juga merupakan komoditas utama, dan dimakan sebagai makanan. Gula
melibatkan banyak orang di industri, membutuhkan investasi besar, dan menarik pekerja dari bidang
pekerjaan lain dalam perekonomian. Gula memiliki banyak pengaruh terhadap perekonomian
nasional. Kemenpernd (2019) melaporkan 655.998 orang bekerja di sektor perkebunan, dan investasi
pabrik tebu sebesar 30 triliun.
Saat ini konsumsi gula domestik terbagi menjadi konsumsi masyarakat Langsung (rumah tangga) dan
konsumsi bahan baku industri, khususnya Makanan & Minuman dan Farmasi. Rata-rata kebutuhan
gula nasional adalah 2,7 juta ton - 2,8 juta ton. Sedangkan produksi gula nasional sekitar 2,3-2,6 juta
ton ton (APTRI, 2020), gula yang biasanya dihasilkan adalah gula pasir putih (GKP).
Permintaan gula masih jauh lebih besar dari produksi Indonesia Pasokan dalam negeri, sehingga
pemenuhan pasokan dipenuhi oleh pasokan eksternal atau gula Impor terutama bahan baku industri.
Kualitas gula membuat perbedaan Penggunaan dalam negeri untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga
dan kebutuhan bahan baku Industri tersebut mengarah pada sumber bahan baku yang berbeda, yaitu
gula batu putih (KGP) dari petani Permen batu lokal dan olahan yang dibutuhkan industri dipenuhi
dari impor. Perbedaan Standar kualitas ini menyulitkan produk gula dalam negeri Hal ini berdampak
pada harga gula domestik yang terus meningkat.
Selama tahun 2017-2020, harga gula di tingkat konsumen cenderung meningkat dari Rp13.000/kg –
Rp17.000/kg di atas harga acuan yang ditetapkan pemerintah Yakni Rp12.500/kg. Sebagai acuan
perbandingan harga gula impor dalam dan luar negeri 27%, yang berarti konsumen domestik
membayar 27% lebih banyak dibandingkan dengan harga gula internasional. Faktor penyebab harga
gula naik Negara masih tinggi, pabrik gula tidak efisien, produktivitas tebu rendah, Hasil panen
rendah dan kualitas gula bervariasi. Hasil penelitian Faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula
domestik juga telah dijelaskan sebelumnya Yaitu biaya distribusi, harga internasional dan HPP
(Rahayuningrum et al., 2006 dan 2009). Susilla dan Munadi, 2008). Biaya distribusi merupakan
variabel yang cukup penting Pengendalian harga gula dalam negeri.
Oleh karena itu, tujuan makalah ini adalah untuk: (i) menganalisis fungsi sistem rantai pasok publik
terkait komoditas gula dan (ii) menganalisis kebijakan pemerintah terkait komoditas gula di
Indonesia.
KEBIJAKAN GULA DI INDONESIA
Kebijakan produksi
Beberapa undang-undang dan peraturan yang mengatur kebijakan Produksi gula sampai saat ini
Keputusan Presiden Republik Indonesia No 572004 Peraturan tentang Gula sebagai Komoditas yang
Diatur (Communiqué Republik Indonesia No. 69 Tahun 2004) dan masih berlaku. Latar Belakang
Dengan berlakunya Perpres tersebut gula digolongkan sebagai Nilai strategis untuk ketahanan dan
peningkatan pangan Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia membuat perdagangan gula masuk
Negara menjadi kegiatan yang penting dan oleh karena itu perlu diawasi.
Penyediaan kebutuhan pokok dan kebutuhan diatur, Dilindungi oleh hukum dan peraturan Indonesia
saat ini, mengingat gula diklasifikasikan sebagai komoditas yang bernilai strategis, gula
diklasifikasikan sebagai Sebagai bahan utama berdasarkan Pasal 25 Tahun 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5512). Ketersediaan gula Kontrol bahan dasar yang memadai
untuk mendorong produksi Dilindungi oleh pemerintah pusat dan daerah. Pasal 3 Permen, Industri
Gula Bagus Perusahaan industri baru dan hasil ekspansi juga perlu diintegrasikan Perkebunan tebu,
wajib dimiliki dan/atau berpola Bekerja dengan petani.
Budidaya tebu giling yang baik sebagaimana dirumuskan oleh Kementerian Pertanian di dalam
Pedoman Budidaya Tebu Giling Yang Baik (Good Agricultural Practices/Gap for Sugar Cane),
disahkan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53/Permentan/KB.110/10/2015 tentang
Pedoman Budidaya Tebu Giling Yang Baik (Good Agricultural Practices/Gap for Sugar Cane) (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1602) adalah sebagai berikut:
1. Penataan varietas: dilakukan melalui penentuan varietas unggul yang akan ditanam sesuai
dengan tipologi lahan, penetapan komposisi kemasakan, kesesuaian varietas unggul dengan
rencana tebang dan masa tanam, serta ketersediaan bahan tanam yang sehat, murni dan tepat
waktu saat dibutuhkan;
2. . Penetapan masa tanam: direncanakan berdasarkan rancangan pola giling pabrik gula, dengan
ketentuan umur tebu layak giling minimal 11 (sebelas) bulan dengan memperhatikan tingkat
kemasakan tebu. Pola tanam dibedakan menjadi dua pola yaitu:
a. Pola A/I Dilaksanakan di lahan berpengairan dan waktu penanaman April (awal musim
kemarau) sampai dengan Agustus. Varietas yang ditanam kategori masak awal, awal tengah
dan tengah;
b. Pola B/II Dilaksanakan di lahan tadah hujan dan waktu penanaman pada September (awal
musim hujan) sampai akhir bulan November. Varietas yang ditanam kategori masak tengah
dan tengah lambat;
3. 3. Penetapan lahan: lahan tebu harus sesuai dengan kondisi agroklimat dan lahan seperti curah
hujan antara 1.000–2.000 milimeter per tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering,
suhu udara antara 24c - 30c dengan beda suhu musiman (musim hujan dan kemarau) tidak
lebih dari 6°c dan beda suhu antara siang dan malam sekitar ±10oc, . penyinaran antara 10-12
jam per hari, kecepatan angin kurang dari 10 km/jam disiang hari, kelembaban udara kurang
dari 85%, ketinggian tebu yang ideal sampai 500 mdpl, kemiringan lahan tidak lebih dari 3%
dengan bentuk lahan yang relatif datar sampai berombak lemah, tanah tidak terkontaminasi
logam berat, residu pestisida, dan bahan lain yang berbahaya, dan lahan yang digunakan
bukan lahan endemik organisme pengganggu tumbuhan (OPT);
4. Pengolahan tanah: dilakukan untuk menciptakan lingkungan tumbuh yang sesuai bagi
tanaman tebu mulai dari awal pertumbuhan sampai panen, sehingga diperoleh lahan yang
optimal untuk pertumbuhan tebu;
5. Persiapan benih: benih tebu yang digunakan dari varietas tebu unggul yang berasal dari kebun
sumber benih yang telah disertifikasi;
6. Penanaman: sebelum melakukan penanaman perlu adanya persiapan bahan tanam/benih yang
baik, dan untuk mendapatkan pertumbuhan batang yang baik (berat tebu/ha) dan kadar gula
dalam batang tebu yang tinggi diperlukan teknik penanaman yang baik;
7. Pemeliharaan: terdiri dari beberapa tahapan antara lain pengairan, penyulaman, pemupukan,
turun tanah dan gulud, klentek, pengaturan 19 drainase, dan pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan;
8. Panen (Tebang, Muat dan Angkut/TMA) Tebang, Muat dan Angkut (TMA) tebu giling yang
baik dilakukan untuk memaksimalkan pencapaian potensi bobot tebu dan rendemen yang
telah terbentuk di kebun menjadi bahan baku produksi gula dan memenuhi pasokan bahan
baku yang berkualitas yang telah direncanakan harian sesuai dengan pola giling yang
dikoordinir oleh pabrik gula. Untuk keberhasilan kegiatan TMA, perlu ditetapkan manajemen
yang tepat mulai perencanaan hingga pelaksanaannya; dan
9. Pesehatan pekerja/tenaga: perawatan kesehatan yang tepat dan memadai harus disediakan
untuk pekerja, para pekerja yang mengaplikasikan pestisida sebaiknya memiliki pemeriksaan
kesehatan, kesejahteraan pekerja seperti makan, air, pertolongan pertama harus selalu
disediakan.

Tingkat rendemen tebu di Indonesia saat ini jika dibandingkan dengan negaranegara lain akan
menghasilkan angka yang tidak begitu tinggi. Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian melalui Asosiasi Gula Indonesia (AGI, 2020), rendemen tebu
berkisar di angka 8,07%, hal ini selaras dengan data yang dirilis oleh PG Rajawali I. Untuk data
rendemen di Pulau Jawa sendiri tingkat rendemen berkisar di 8,12%, dan di luar Pulau Jawa 8% (PG
Rajawali, 2020).
Kebijakan Impor Gula
Berdasarkan Permendag nomor 14 tahun 2020 tentang ketentuan impor gula. Selain untuk pemenuhan
bahan baku industri, gula impor juga bisa digunakan untuk pemenuhan stok gula nasional dan
stabilisasi harga dula di dalam negeri. Gula impor untuk pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi
harga ini hanya dapat diimpor oleh BUMN. Gula untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga ini
terdiri atas Gula kristal mentah untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Putih.
Aturan lain terkait impor gula adalah Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 3
tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam rangka pemenuhan
kebutuhan gula nasional. Impor gula kristal mentah (Raw Sugar) dilakukan dengan rekomendasi dari
Direktur Jenderak dengan mempertimbangkan neraca komoditas gula yang ditetapkan melalui rapat
koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang koordinasi perekonomian.
Kebijakan Harga Gula
Gula sebagai salah satu bahan pokok bagi masyarakat Indonesia maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk menjamin ketersesediaan, stabilitas dan kepastian harga Gula di pasaran. Kebijakan
harga terkait gula yaitu Permendag nomor 7 tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat
Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.Harga Acuan Pembelian di Tingkat petani
sebesar Rp9.100/kg dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen sebesar Rp12.500/kg. Dalam
hal harga di tingkat petani berada di bawah Harga Acuan Pembelian di tingkat petani, Menteri dapat
menugaskan badan usaha milik negara untuk melakukan pembelian sesuai dengan Harga Acuan
Pembelian di Tingkat Petani setelah mendapatkan persetujuan Menteri yang menyelenggarakan
urusan di bidang usaha milik negara. Dalam hal harga di tingkat konsumen berada di atas Harga
Acuan Penjualan di tingkat konsumen, Menteri dapat menugaskan badan usaha milik negara untuk
melakukan penjualan sesuai dengan Harga Acuan Penjualan di tingkat konsumen setelah
mendapatkan persetujuan Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang usaha milik negara.
Metode penelitian
Data bersumber dari BPS, Asosiasi, Kemendag, Kemenperind, BSN, BPOM, Kementan, Kementerian
BUMN, Pelaku usaha serta Stakeholder lainnya yang terkait dengan komoditi gula. Metode analisis
data yang digunakan adalah deskriftif kualittaif. Data dan informasi yang diperoleh melalui diskusi
dan dianalisis secara deskriptif dengan melihat dampak. Penelitian dengan metode deskriptif kualitatif
adalah metode penelitian yang memanfaatkan data kualitatif yang dijabarkan secra deskriptif. Metode
ini digunakan untuk menganalisis kejadian, fenomena maupun keadaan sosial. Metode deskriptif
kualitatif ini dapat memberikan gambaran maupun deskripsi yang lengkap dan akurat mengenai suatu
sistem atau proses sehingga dapat menyajikan informasi maupun klarifikasi terhadap subjek yang
diteliti (Sendari, A.A., 2019)

FUNGSI SISTEM RANTAI PASOK PUBLIK GULA


A. FUNGSI PERENCANAAN

Gula
Di Indonesia secara umum dibedakan menjadi 2, yaitu gula untuk konsumsi dan gula untuk kebutuhan
industri. Gula untuk konsumsi dikenal dengan gula kristal putih (GKP), sedangkan gula untuk
kebutuhan industri dikenal dengan gula rafinasi. Gula rafinasi diolah dari gula mentah (raw sugar)
yang melalui tahapan proses penyulingan, penyaringan, dan pembersihan lebih ketat dibanding GKP.
Tingkat kualitas gula rafinasi lebih baik dari GKP atas pertimbangan kualitas tersebut ,industri
makanan dan minuman maupun farmasi menggunakan gula rafinasi dibandingkan dengan GKP
sebagai bahan bakunya.
Dari data Kementerian Perindustrian saat ini, total terdapat 62 Pabrik gula untuk
memproduksi GKP dengan kapasitas total 316.950 tones cane/day (TCD). Dengan rincian 43 Pabrik
Gula BUMN dengan kapasitas 163.950 TCD dan 19 Pabrik Gula Swasta dengan kapasitas 153.000
TCD . Dari neraca gula yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, Produksi GKP dalam negeri
sebesar 2,18 juta ton, sementara itu kebutuhan konsumsi dalam negeri sebesar 2,8 juta ton. Dari data
produksi dan konsumsi tersebut diketahui bahwa terdapat deficit sebesar 620 ribu ton, yang dipenuhi
dari impor. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi impor juga dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan industri yaitu sebesar 3 juta ton sehingga impor gula yang diperlukan adalah 3,62 juta ton.
Persediaan gula nasional yang disuplai melalui impor dan produksi bukan hanya untuk
memenuhi konsumsi langsung, tetapi juga untuk kepentingan industri makanan dan minuman, serta
kebutuhan lainnya . Rantai pasok ini diatur dengan ‘rapi’ secara regulasi. Untuk konsumsi langsung,
yang diolah adalah Gula Kristal Putih (GKP) yang mengutamakan produksi nasional, meskipun tetap
ada impor untuk menutupi kekurangan pasokan. Sementara, untuk kepentingan industri, terdapat Gula
Kristal Rafinasi (GKR) yang diolah dari gula mentah. Peraturan Menteri Perdagangan No. 01 Tahun
2019 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi, janis gula ini tidak boleh diperdagangkan untuk
kebutuhan konsumsi.
Adanya perbedaan penyediaan gula rafinasi dan gula konsumsi kemudian berimplikasi
kepada rantai pasok yang berbeda dan pemangku kepentingan yang berbeda pula (bisa dilihat pada
diagram diatas). Pada bagian hulu saja, terdapat tiga jenis agroindustri gula: (1) perusahaan milik
negara yang bergerak dalam industri gula kristal putih atau gula konsumsi, (2) perusahaan swasta
yang bergerak dalam industri gula kristal putih atau gula konsumsi, dan (3) perusahaan swasta yang
bergerak dalam industri gula rafinasi. Dalam industri gula rafinasi, seluruh pelakunya merupakan
perusahaan swasta yang mengandalkan impor.

B. FUNGSI PENGANGGARAN
Menurut Mardiasmo (2002:61) Anggaran adalah “Pernyataan mengenai estimasi kinerja yang
hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan
penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran”.
Gula sebagai salah satu bahan pokok bagi masyarakat Indonesia maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk menjamin ketersesediaan, stabilitas dan kepastian harga Gula di pasaran. Berdasarkan
Permendag No: 63/M-DAG/PER/9/2016 tersebut istilah HPP (Harga Pembelian Petani) tidak
digunakan tetapi menggunakan istilah Harga Acuan Pembelian Gula di tingkat Petani (yang
pengertiannya dapat disamakan dengan HPP) dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen
(yang pengertiannya dapat disamakan dengan Harga Eceran Tertinggi/HET) untuk beberapa komoditi
kebutuhan pokok penting termasuk gula. Bila pada pengaturan sebelumnya hanya menetapkan HPP
(atau pengertiannya harga minimal yang diterima petani), maka pada pengaturan “baru” ada ketentuan
tentang batasan harga konsumen atau batasan atas atau ceiling price. Permendag No:
63/M-DAG/PER/9/2016 tentang Peraturan Menteri ini telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Permendag No: 07 Tahun 2020 tanggal 10 Februari 2020.
1. Struktur Harga Gula
Pada masa tataniaga ditangani Bulog (1975-1998), penjualan gula petani/produsen langsung
dibeli Bulog dengan harga provenue yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan diperbaharui setiap
tahun. Harga yang ditetapkan tersebut ekuivalen dengan 2,4 kali harga gabah kering giling, kemudian
ditambah komponen seperti cukai, PPN, asuransi, biaya bank, fee KUD, manajemen BULOG, dan
dana penelitian/dana pembangunan menjadi harga jual gula Bulog af pabrik. Harga ini ditambah
keuntungan distributor dan pengecer serta biaya-biaya gudang, transportasi, bunga bank dll menjadi
harga eceran untuk kosumen. Gula yang dibeli Bulog juga harus memenuhi kriteria mutu yang
ditetapkan. Komponen Harga Gula. Komponen–komponen pembentukan harga gula dimaksud dapat
diikuti pada sajian tabel berikut. Selama tataniaga gula dipegang Bulog, harga gula diatur oleh
pemerintah sehingga harga gula dari petani/produsen harus ditambah dengan beberapa 9 komponen
untuk menjadi harga gula yang dilepas Bulog. Sedangkan untuk harga retail masih harus ditambah
dengan biaya distribusi termasuk margin pedagang.
2. Prosedur Penetapan Harga Acuan
Sesuai dengan Permendag No: 63 tahun 2016 dan pembaharuannya terakhir Permendag No: 07
Tahun 2020, disebutkan bahwa penetapan Harga Acuan gula petani masih sama yaitu oleh Menteri
Perdagangan dan dapat diubah dan ditetapkan lain oleh Menteri setelah mempertimbangkan hasil
rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. Seperti pelaksanaan penetapan HPP
sebelumnya, sebagai bahan rapat koordinasi perhitungan HPP tersebut, dilakukan dengan survey dan
kemudian hasil survey diusulkan ke Menteri Perdagangan untuk mendapatkan persetujuan dan
penetapan.
Kebijakan harga terkait gula yaitu Permendag nomor 7 tahun 2020 tentang Harga Acuan
Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Harga Acuan
Pembelian di Tingkat petani sebesar Rp9.100/kg dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen
sebesar Rp12.500/kg. Dalam hal harga di tingkat petani berada di bawah Harga Acuan Pembelian di
tingkat petani, Menteri dapat menugaskan badan usaha milik negara untuk melakukan pembelian
sesuai dengan Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani setelah mendapatkan persetujuan Menteri
yang menyelenggarakan urusan di bidang usaha milik negara. Begitu juga dalam hal harga di tingkat
konsumen berada di atas Harga Acuan Penjualan di tingkat konsumen, Menteri dapat menugaskan
badan usaha milik negara untuk melakukan penjualan sesuai dengan Harga Acuan Penjualan di
tingkat konsumen setelah mendapatkan persetujuan Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang
usaha milik negara.
Dalam Permendag No: 63/M-DAG/PER/9/2016 tentang penetapan harga tidak menggunakan
istilah BPP dan HPP, tetapi menggunakan istilah Harga Acuan Pembelian di Petani dan dan Harga
Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Harga Acuan Pembelian di Petani yang dimaksud adalah harga pembelian di tingkat petani yang
ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara lain
biaya produksi, biaya ditribusi, keuntungan, dan /atau biaya lain. Dari definisi ini nampaknya dilihat
dari komponennya hampir sama dengan istilah HPP pada pengertian diatas yaitu:
HPP = BPP (sudah termasuk biaya tidak langsung/lain-lain) + Keuntungan pada tingkat yang
wajar.
Karena sistem penjualan gula petani dilakukan secara lelang dan kemungkinan harga yang terjadi
bisa diatas atau dibawah harga acuan, maka agar petani tidak rugi (memperoleh pendapatan yang
wajar) harga acuan tersebut dapat diartikan sebagai harga minimal.
Harga Acuan Penjualan di Konsumen yang dimaksud adalah harga penjualan di tingkat konsumen
yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara
lain biaya produksi, biaya ditribusi, keuntungan, dan /atau biaya lain. Karena acuan harga penjualan
untuk melindungi konsumen maka yang dimaksudkan adalah harga tertinggi yang dibayar konsumen
(HET). Karena HET ini didasarkan atas kewajaran, sementara penjualannya kepada konsumen ini
tempatnya menyebar, sementara itu disamping komponen biaya produksi yang relatif dianggap sama,
ada komponen yang besarannya berbeda yaitu biaya distribusi dan margin pedagang, karena adanya
perbedaan penggunaan jalur distribusi.
Sebagai contoh, terdapat 2 jenis jalur distribusi, tergantung panjang pendeknya. Jalur distribusi
yang pendek (misalnya dari D1 ==>Grosir ==> Retail) dan jalur distribusi yang panjang (dari D1 ==>
D2 ==>Grosir ==> Retail), ada yang jaraknya dekat ada yang jauh dan ada yang dalam satu pulau dan
ada yang lain pulau. Harga Acuan ini bisa dimaksudkan sebagai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang
ditolelir sesuai kewajaran di-masing-masing wilayah, sehingga meskipun komponennya sama tetapi
ada komponen yang besarannya berbeda (misalnya biaya angkutan dari Jakarta ke Bandung akan
berbeda dengan ke Makasar), sehingga HET nya juga berbeda agar tingkat kewajrannya tercapai.
Karena wilayah Indonesia beragam kondisinya,d maka perbedaan nilai komponen tadi bisa di
kelompokan yang saling mendekati.

C. FUNGSI PENGADAAN
Pasokan gula kristal putih berasal dari Jawa Timur (49,44% pasokan nasional) kemudian disusul
Lampung (31,57% pasokan nasional), Jawa Tengah (6,58% pasokan nasional) dan Jawa Barat (5,63%
pasokan nasional). Jika terdapat kekurangan pasokan maka akan diimpor, jenis gula yang diimport
adalah gula kristal putih, raw sugar dan gula rafinasi. Negara asal impor gula adalah Thailand (40%),
Australia (30%), Brasil (20%) dan Afrika (10%). Enam perusahaan yang ditunjuk untuk mengimport
gula adalah PTPN IX , PTPN X , PTPN XI, RNI, PPI dan Bulog.
Sentra utama produksi gula nasional adalah Jawa Timur (1,1 juta ton), Lampung (966,1 ribu ton),
Jawa Tengah (236,8 ribu ton) dan Jawa Barat (82,2 ribu ton). Sentra produksi lainnya adalah DIY
(16,3 ribu ton), Sumatera Selatan (100,8 ribu), Sumatera Utara (37,5 ribu ton), Sulawesi Selatan (24,3
ribu ton) dan Gorontalo (38,4 ribu ton).
Pola produksi pabrik gula dalam 365 hari kalender, pabrik gula pada umumnya beroperasi atau
memproduksi gula selama 150 – 180 hari saja, sebelum berproduksi didahului oleh tes uap yang
membutuhkan waktu 30 hari. Biasanya operasi pabrik gula dimulai pada awal musim kemarau yaitu
pada pertengahan bulan Mei dan akan berakhir masa produksinya pada pertengahan bulan Oktober/
November. Setelah masa produksi berakhir dilanjutkan dengan masa pemeliharaan selama 4 bulan
kemudian masa persiapan untuk produksi berikutnya. Kadang-kadang pada awal atau akhir masa
produksi jumlah tebu yang tersedia masih sedikit sehingga kapasitas produksi pabrik masih belum
optimum. Masa ini yang disebut sebagai masa idle capasity. Untuk mengoptimalkan kapasitas agar
dicapai kondisi ekonomis, maka pabrik gula mengimpor raw sugar yang selanjutnya diproses menjadi
gula kristal putih.

D. FUNGSI PENYIMPANAN DAN PENYALURAN


Pola distribusi merupakan sistem penyaluran gula dari produsen sampai konsumen dengan
menggunakan penyalur secara bertingkat dari D1, D2, GR, RT ke konsumen, ada yang menggunakan
pola panjang dengan melibatkan seluruh tingkatan dari saluran distribusi, tetapi ada yang
menggunakan pola distribusi pendek, artinya tidak melibatkan seluruh tingkatan penyalur. Pola
Distribusi gula secara umum terdapat 3 bentuk, yang dapat digambarkan sebagi berikut:

 Produsen ==> D1 ==> D2 ==> GR ==> RT ==> Konsumen Akhir.


 Produsen ==> D1 ==> GR ==> RT ==> Konsumen Akhir.
 Produsen ==> GR ==> RT ==> Konsumen Akhir.
D1, D2, GR dan RT merupakan pelaku distribusi gula dari produsen ke konsumen. D1 adalah
distributor tingkat I, D2 adalah distributor tingkat 2 atau sub distributor, GR = Pedagang Grosir dan
RT adalah Pedagang Retail.
Pola Distribusi nomor (1) adalah Sistem Distribusi yang rantai distribusinya paling lengkap yang
melibatkan D1, D2, GR dan RT. Pola distribusi ini biasanya digunakan untuk menyalurkan gula
diwilayah yang hubungan transportasinya relatif sulit seperti wilayah terpencil, atau antar wilayah
propinsi atau kabupaten atau, antar pulau.
Pola Distribusi nomor (2) adalah pola distribusi yang labih pendek yang melibatkan D1, GR, RT. Pola
ini umumnya dilakukan untuk penyaluran gula didalam dalam satu wilayah Propinsi atau antar
Propinsi/kabupaten dengan hubungan transportasi yang baik/lancar.
Pola Distribusi nomor (3) adalah pola distribusi yang paling pendek, yang hanya melibatkan GR dan
Retail. Pola semacam ini secara khusus hanya dilakukan oleh petani pemilik gula (yang menguasai
gula 2 % bagian dari bagi hasilnya) yang dijual sendiri dalam jumlah relatif kecil yang langsung ke
grosir dan grosir ke konsumen akhir (seperti pola 2).
Jumlah dan sebaran Pabrik Gula berbasis tebu saat ini di Indonesia.

E. FUNGSI PEMELIHARAAN
Pemeliharaan kualitas gula dilakukan dengan menerapkan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia
baik untuk gula kristal mentah, gula kristal rafinasi, maupun gula kristal putih. SNI merupakan
standar yang ditetapkan oleh pemerintah untuk berbagai hasil produksi yang dibuat oleh masyarakat
Indonesia, baik itu yang diproduksi secara perseorangan maupun yang diproduksi oleh sebuah badan
atau perusahaan. Adanya SNI akan membantu konsumen untuk memilih produk yang berkualitas.
Adanya SNI akan membantu konsumen terbebas dari produk yang berbahaya bagi keselamatan hidup,
kesehatan, ataupun lingkungan. SNI juga membuat konsumen dapat menikmati barang yang sesuai
antara harga dan kualitasnya.
Standar Nasional Indonesia (SNI) diatur kebijakannya oleh lembaga Badan Standarisasi Nasional
(BSN), salah satunya SNI gula baik gula kristal mentah, gula kristal rafinasi, maupun gula kristal
putih. Atas kebijakan yang dikeluarkan oleh BSN tersebut Kementerian/Lembaga terkait
mengeluarkan aturan terkait untuk mengatur kebijakan mengenai hal yang akan diatur.
Saat ini gula kristal mentah ditetapkan standarnya dengan SNI 3140-1:2020 Gula kristal – Bagian 1 :
Mentah (raw sugar), melalui Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor
102/KEP/BSN/5/2020. Sebelumnya standar gula kristal mentah ditetapkan dengan SNI 01-3140.1-
2001 Gula kristal mentah. Kebijakan yang dikeluarkan dengan adanya SNI gula kristal mentah
tersebut adalah Keputusan Menteri Pertanian Nomor 03/Kpts/KB.410/1/2003 tentang Penerapan
Secara Wajib SNI Gula Kristal Mentah (SNI 01- 3140.1-2001) sebagai respons SNI gula kristal
mentah yang dirilis tahun 2001.
Untuk gula kristal rafinasi, standarnya ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Standarisasi
Nasional Nomor 355/KEP/BSN/11/2018 dengan SNI (SNI) 3140- 2:2018 Gula kristal - Bagian 2:
Rafinasi sebagai revisi dari SNI 3140.2:2011 Gula kristal - Bagian 2: Rafinasi (Refined sugar).
Namun sebelum rilis SNI gula kristal rafinasi tahun 2011, BSN mengeluarkan SNI 01-3140.2-2006
Gula Kristal Rafinasi yang menjadi dasar dirumuskannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
83/M-IND/PER/11/2008 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Gula Kristal
Rafinasi Secara Wajib (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 75). Peraturan Menteri
tersebut merumuskan keterbukaan yakni memberlakukan SNI gula kristal rafinasi tahun 2006 secara
wajib atau revisinya, dengan adanya klausula sebagaimana dimaksud walaupun adanya revisi SNI
gula kristal rafinasi Peraturan Menteri tersebut tidak perlu diubah.
Selanjutnya SNI gula kristal putih ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional
Nomor 96/KEP/BSN/5/2020 tentang Penetapan Standar Nasional Indonesia 3140-3:2020 Gula kristal
– Bagian 3: Putih Sebagai Revisi Dari SNI 3140.3:2010 Gula Kristal - Bagian 3: Putih dan SNI
3140.3:2010/Amd1:2011 Gula Kristal - Bagian 3: Putih. Menteri Pertanian mengeluarkan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 68/Permentan/OT.140/6/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional
Indonesia Gula Kristal Putih Secara Wajib yang mewajibkan pemberlakuan SNI
3140.3:2010/Amd1:2011 Gula Kristal - Bagian 3: Putih.
Namun di masa pandemi COVID-19 yang sedang melanda Indonesia, Menteri Pertanian kembali
mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 15 13 Tahun 2020 tentang
Penghentian Sementara Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Gula Kristal Mentah dan Gula
Kristal Putih Secara Wajib (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 325). Dengan kata
lain, pada masa pandemi ini penerapan SNI untuk gula kristal putih dan gula kristal rafinasi tidak
diberlakukan sampai pandemi COVID-19 selesai.
Untuk standar ICUMSA gula kristal mentah, gula kristal rafinasi, dan gula kristal putih dirumuskan
standarnya dalam ketentuan SNI yang dikeluarkan oleh BSN sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya. Standar ICUMSA untuk gula kristal mentah di Indonesia saat ini sesuai SNI 3140-
1:2020 adalah ≥ 600 IU, untuk gula kristal rafiasi standar ICUMSA yang berlaku seuai SNI
3140.2:2018 adalah ≤ 75 IU, dan untuk gula kristal putih memiliki standar ICUMSA sesuai SNI 3140-
3:2020 adalah 76-300 IU. Khusus gula kristal putih pengujian dilakukan saat proses produksi.
F. FUNGSI PENGHAPUSAN
Di fungsi penghapusan ini akan membahas kebijakan kebijakan apa saja yang perlu dihapus/ diganti
dengan kebijakan yang lebih baik. Dalam penerapan kebijakan gula di Indonesia, ada beberapa yang
perlu dihapus serta diganti dengan kebijakan yang lebih baik. Berikut kebijakan kebijakan yang perlu
di evaluasi serta diganti dengan kebijakan yang baik.
Penggunaan SNI Yang Berbeda Pada Tiap Jenis Gula
Di Indonesia pasar gula terdiri dari gula mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR) dan gula kristal
putih (GKP) dimana masing-masing jenis gula ini mempunyai standar kualitas (SNI) yang berbeda
dan diatur melalui kebijakan yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perindustrian.
Standar ICUMSA untuk gula kristal mentah di Indonesia saat ini sesuai SNI 3140-1:2020 adalah ≥
600 IU, untuk gula kristal rafiasi standar ICUMSA yang berlaku seuai SNI 3140.2:2018 adalah ≤ 75
IU, dan untuk gula kristal putih memiliki standar ICUMSA sesuai SNI 3140-3:2020 adalah 76-300
IU.
Pasar gula dengan 3 (tiga) SNI masing-masing digunakan sesuai dengan peruntukkannya, yaitu
industry dan konsumsi langsung (Rumah Tangga).
Adanya perbedaan kualitas gula di dalam negeri untuk kebutuhan kosumsi rumah tangga dan
kebutuhan bahan baku industri menyebabkan sumber bahan baku berbeda yaitu gula kristal putih
(KGP) dari petani lokal dan gula kristal rafinasi untuk kebutuhan industri dipenuhi dari impor.
Perbedaan standar mutu kualitas ni menjadikan komoditi gula di dalam negeri menjadi kompleks dan
berdampak pada harga gula di dalam negeri yang terus naik.
Selama tahun 2017-2020 harga gula di tingkat konsumen cenderung meningkat dari Rp 13.000/kg –
Rp 17.000/kg lebih tinggi dari harga acuan yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 12.500/kg. sebagai
referensi, paritas impor gula domestik dengan internasional sebesar 27% yang berarti bahwa
konsumen di dalam negeri membayar lebih mahal 27% dibandingkan harga gula internasional. Faktor
yang menyebabkan harga gula di dalam negeri masih tinggi yaitu pabrik gula yang belum efisien,
produktivitas tebu yang rendah, rendemen yang rendah, serta kualitas produksi gula yang berbeda.
Hasil penelitian sebelumnya menjelaskan juga bahwa faktor yang mempengauhi harga gula di dalam
negeri yaitu biaya distribusi, harga internasional, serta HPP (Rahayuningrum et.al, 2006 dan Susila &
Munadi, 2008). Biaya distribusi merupakan variabel yang cukup penting dalam pengendalian harga
gula di dalam negeri.
Sejak tahun 2017, pemerintah menetapkan harga acuan pembelian di konsumen sebesar Rp 12.500/kg
namun harga gula terus mengalami peningkatan yang mana setiap tahun rata-rata harga gula di dalam
negeri terus naik. Penatapan harga gula oleh pemerintah tidak membedakan sumber bahan baku dan
standar mutu. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa standar mutu gula berbeda-beda baik itu gula
kristal mental (GKM), gula kristal putih (GKP) maupun gula kristal rafinasi (GKR) dalam SNInya.
Sementara standar mutu gula di luar negeri hanya satu yaitu white sugar dan row sugar (gula mentah).
Kondisi ini menjadikan pelaku usaha mempertimbangkan kembali dalam memproduksi jenis gula
dengan standar mutu tertentu yang sesuai dengan harga ekonominya. Sementara gula ini merupakan
komoditi yang sangat strategis dengan stakeholder yang cukup banyak dan investasi yang cukup besar
dan juga pangan pokok masyarakat. Melihat urgensinya gula sebagai komoditas strategis dan bahan
pangan pokok yang tentunya selain harga yang terjangkau juga aspek keamanan pangan bagi
masyarakat sangat penting maka dari itu muncul isu untuk menyatukan standar mutu gula nasional.
Beberapa hal perlunya penyatuan SNI gula ini antara lain (1) melindungi masyarakat (perlindungan
konsumen), (ii) kepastian berusaha dan investasi pelaku usaha, (iii) saat ini standar mutu gula di
Indonesia berbeda-beda, baik GKP maupun GKR, (iv) Kepastian pembinaan/pengawasan dan
kepastian penegakan hukum, karena gula masuk barang kebutuhan pokok dan barang penting maka
harga maupun peredarannya dikendalikan.
Kondisi ini mempengaruhi terhadap keberlanjutan pasokan dan stabilitas harga gula. Dalam rangka
menjaga pasokan dan stabilitas harga gula, pemerintah mengusulkan penetapan SNI tunggal untuk
gula konsumsi untuk memudahkan dalam pengawasan. Standar kualitas yang membedakan GKM,
GKR dan GKP salah satunya yaitu warna yang dapat diukur dengan nilai ICUMSA. Oleh karena itu
penetapan SNI tunggal gula konsumsi ini disepakati pada satu nilai ICUMSA, misalnya ICUMSA 200
IU.
Kondisi SNI Gula Saat ini dan Pentingnya SNI Tunggal Gula Konsumsi
BPOM sudah menyatakan bahwa GKR dan GKP telah memenuhi standar keamanan untuk
dikonsumsi secara langsung. Saat ini, terdapat 11 PG Rafinasi dan PG swasta berbasis tebu sudah siap
jika diterapkan SNI tunggal, namun PG BUMN masih memerlukan waktu untuk satu SNI. BUMN
memiliki pabrik gula sebanyak 43 pabrik, dari 43 baru ada 13 PG yang dapat memproduksi ICUMSA
< 200 IU dan 23 PG memproduksi gula > 200 IU. PG BUMN masih perlu waktu untuk mengejar dan
restrukturisasi teknologi untuk merubah pengolahan gula dari sulfitasi ke karbonatasi (DRK).
Sementara untuk PG milik RNI terdapat 3 PG sudah mampu mencapai ICUMSA < 200 IU.
Penerapan SNI Tunggal
SNI tunggal untuk gula konsumsi dinilai penting karena beberapa alasana diantaranya
(a) kepastian berusaha kepada pelaku usaha. Saat ini gula rafinasi ada 2 kelas (SNI 40 dan 80), tetapi
industri memerlukan kadar gula dengan kualitas yang lebih baik dari kelas SNI, misalnya ICUMSA
10 atau yang lebih rendah;
(b) melindungi kepentingan masyarakat, perlindungan konsumen. Masyarakat bisa lebih jelas
mengetahui mutu gula yang dikonsumsi dan sesuai dengan harga yang dibayarkan;
(c) kejelasan arah investasi bagi pelaku usaha, misalnya terkait kemampuan perusahaan agar dapat
mendorong peningkatan investasi untuk meningkatkan kualitas produk sesuai SNI yang telah
ditentukan serta
(d) kemudahan dalam pengawasan serta Kepastian pembinaan dan penegakan hukum, karena gula
masuk bapokting sehingga dikendalikan peredarannya, terutama saat menghadapi HBKN (Ramadhan
dan hari raya) terkait isu perembesan, fluktuasi harga dan kelangkaan stok.
EVALUASI KEBIJAKAN HPP DAN HET
Kebijakan gula saat ini terkait HPP dan HET
Kebijakan harga yang diterapkan pada komoditas gula diantaranya adalah kebijakan harga dasar atau
Harga Pokok Penjualan (HPP) petani dan juga Harga Eceran Tertinggi atau Harga Acuan untuk
melindungi konsumen dan mengendalikan harga gula agar tetap stabil. Namun demikian, penerapan
kedua instrumen pengendali harga tersebut perlu di evaluasi karena dinilai sudah tidak sesuai dengan
kondisi perkembangan usahatani maupun pasar.
Salah satu isu yang kini perlu dianalisis adalah sejak diterbitkan tahun 2017 hingga saat ini,
pemerintah belum pernah mengubah besaran HPP dan HET. Sejak Mei 2017, Pemerintah menetapkan
HPP sebesar Rp 9.100/kg, sementara HET sebesar Rp 12.500/kg. Dalam implementasinya, terdapat
beberapa isu yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, selama tiga tahun tidak ada penyesuaian HPP, padahal harga input seperti upah tenaga kerja
dan harga sarana produksi pertanian termasuk biaya transportasi terus meningkat. Hal ini
menimbulkan masalah karena HPP tersebut lambat laun sudah tidak sesuai dengan biaya produksi
gula petani sehingga berpotensi merugikan petani dan industri gula secara umum. Hal ini
dikhawatirkan mengurangi minat petani menanam tebu sehingga akan membuat produksi gula
menurun dan pada akhirnya impor gula meningkat. Kekuatiran ini didukung oleh data yang
menunjukkan bahwa luas areal, rendemen, dan produksi cenderung stagnan yang memberi indikasi
bahwa harga tingkat petani belum cukup memberi insentif.
Luas areal pada satu dekade terakhir cenderung menurun dari kisaran 475.000 ha menjadi 412.000 ha,
rendemen cenderung stagnan sekitar 7,50%, serta produksi gula antara 2,2-2,6 juta ton per tahun.
Kedua, HET dinilai tidak sepenuhnya efektif karena adanya tekanan pada harga eceran yang mau
tidak mau harus meningkat sejalan dengan peningkatan biaya produksi dan harga lelang gula. Sebagai
contoh, walaupun harga stabil, harga rata-rata eceran pada bulan Mei-Juli adalah Rp 15.179 per
kilogram atau sekitar 21% lebih tinggi dari HET (BPS, 2017). Pedagang menilai sulit mencapai harga
HET sebesar Rp 12.500/kg jika harga lelang sudah diatas Rp 10.500 per kilogram. Sebagai akibatnya
harga gula memang stabil, namun di tingkat yang tinggi sehingga konsumen tetap belum terlindungi
oleh kebijakan harga tersebut.
Masalah lain yang juga terkait adalah belum ada mekanisme yang baku dan disepakati dalam
penentuan HPP dan HET, terutama HPP. Pemegang kebijakan terkait belum sepakat dan konsisten
menerapkan penentuan HPP. Hasil survei besaran HPP yang dikoordinasikan oleh Kementerian
Pertanian, tidak punya fungsi yang jelas dalam penentuan HPP yang ditetapkan Kementerian
Perdagangan.
Ada kalanya, usulan HPP usulan Kementerian Pertanian sangat dipertimbangkan, namun sering juga
tidak terlalu menentukan dalam penentuan HPP oleh Kementerian Perdagangan. Ada pula dugaan
bahwa penentuan HPP yang dikoordinasikan Kementerian Pertanian masih terdapat keraguan dalam
metodologinya, misalnya dalam pemilihan responden petani untuk diwawancarai dalam penentuan
HPP sehingga mempengaruhi hasil survey yang didapatkan. Ada juga menilai bahwa survei HPP
tidak perlu dilakukan setiap tahun karena secara fisik, jumlah input hampir sama. Dengan demikian,
biaya produksi akan berubah hanya mengikuti perubahan harga input.
HPP
HPP antara tahun 2016-2017 dinilai sudah tidak memadai untuk melindungi petani tebu atau untuk
mendorong petani untuk menanam tebu. Besaran HPP seyogyanya BPP ditambah keuntungan petani
antara 5%-10%. Pada periode tersebut, HPP bahkan beberapa kali dibawah BPP dan kalau diatasnya
hanya sedikit (1%-3%). BPP mengalami kenaikan dengan laju 3,0% per tahun untuk periode 2016-
2019, sementara HPP tetap sebesar Rp 9.100/kg pada periode tersebut.
Besaran HPP yang dinilai memadai untuk tahun 2020 adalah sebesar Rp 10.870/kg. Jika harus
memperhitungkan kenormalan baru/mengikuti protokol kesehatan, maka HPP yang dinilai wajar dan
efektif mencapai tujuan adalah Rp 11.200/kg.
Masalah utama dalam penentuan BPP dan HPP adalah belum adanya prosedur yang baku, efisien, dan
dapat diterima oleh stakeholder utama. BPP sebagai landasan penentuan HPP dikoordinasikan oleh
Kementerian Pertanian. Walapun sudah melibatkan ahli dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi,
ada dugaan bahwa hasilnya kurang obyektif dan tidak representatif sehingga nilai input dimungkinkan
terlalu tinggi atau sebaliknya. Kementerian Perdagangan sering kurang yakin akan nilai BPP sehingga
dalam menentukan HPP, Kementerian Perdagangan tidak sepenuhnya memanfaatkan nilai BPP.
Melakukan survei setiap tahun dalam menetukan HPP juga dinilai tidak efektif dan efisien. Dengan
asumsi teknologi produksi tidak berubah dalam jangka pendek (3-5 tahun), maka input secara fisik
(jumlah bibit, pupuk, tenaga kerja, saprodi) secara umum sama dalam periode tersebut. Faktor yang
berubah adalah harga- harga input tersebut sehingga perubahan yang dilakukan hanyalah harga input
untuk jangka pendek.
Mekanisme Pembaharuan Perumusan BPP dan HPP (Saran)
Untuk mewujudkan tujuan penetapan HPP khususnya dalam melindungi petani, Pemerintah perlu
meninjau kembali HPP yang telah ditetapkan setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survey BPP tahun
2020, Kementerian Perdagangan perlu menyesuaikan HPP untuk tahun 2020 menjadi pada kisaran Rp
10.800/kg - Rp 11.200/kg.
Untuk ke depan, pemerintah perlu merumuskan mekanisme penentuan HPP dan BPP yang baku, lebih
efesien, tetap valid secara ilmiah, dan dapat diterima oleh semua stakeholder utama, khususnya
Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perindustrian, dan APTR. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka mekanisme penentuan BPP dan HPP yang direkomendasikan adalah:
a. Merumuskan input usahatani tebu secara fisik melalui suatu kajian ilmiah yang dilakukan oleh
lembaga/tenaga ahli independen yang kompeten dibawah pengawasan stakeholder utama tersebut.
Kajan dilakukan secara periodik, misalnya 3-5 tahun sekali untuk menyesuaikan penggunaan input
akibat terjadinya perubahan teknologi usahatani.
b. Melakukan revisi BPP dan HPP setiap tahun berdasarkan input teknis yang disepakati dengan harga
input disesuaikan dengan perkembangan harga yang dimonitor setiap tahun musim tanam.

HET
HET pada tahun 2020 sebesar Rp 12.500/kg dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dinilai tidak
berjalan dengan efektif. Harga eceran yang terjadi rata-rata secara nasional adalah Rp 15.727/kg atau
sekitar 26% lebih tinggi dari HET.
Ada dua permasalahan utama terkait HET. Pertama, HET tersebut sudah tidak sesuai dengan HPP
yang wajar sekitar Rp 11.200/kg. Jika ditambahkan dengan biaya distribusi sekitar 25.7%, maka HET
yang wajar adalah Rp 14.000/kg. Kedua, karena biaya distribusi antar wilayah sangat beragam, maka
HET yang sama untuk semua wilayah tidak efektif/tidakdapat diterapkan. Daerah dengan biaya
distribusi tinggi seperti Kawasan Timur Indonesia dengan infrastruktur yang kurang memadai,
membuat harga yang terjadi di wilayah tersebut umumnya jaub diatas HET.
Penyesuaian HET(saran)
Dengan memperhatikan perkembangan BPP dan HPP tahun 2020, Kementerian Perdagangan perlu
menyesuaikan HET tahun 2020 menjadi sekitar Rp 13.500/kg – Rp 14.000/kg.
Selain itu, mengingat biaya distribusi di berbagai wilayah di Indonesia sangat bervariasi, maka jika
Pemerintah hendak tetap menerapkan HET/Harga Acuan untuk komoditas gula, perlu
dipertimbangkan untuk menerapkan HET berdasarkan wilayah (HET regional) dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. HET regional disesuaikan biaya distribusi dari pemasok ke masing-masing wilayah.
b. Biaya distribusi tersebut perlu ditetapkan berdasarkan kajian ilmiah dan mendapatkan masukan dari
dinas perdagangan di masing-masing daerah. Evaluasi dilakukan setiap tahun dengan
mempertimbangkan perubahan HPP dan perubahan biaya distribusi.
Usulan Pembaharuan Mekanisme Perumusan HPP dan HET
Mekanisme pembentukan nilai HPP dimulai dari menentukan nilai BPP yang representatif dan valid.
Dari hasil BPP tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan produsen (petani), konsumen, dan
kepentingan nasional maka ditetapkan nilai HPP. Idealnya nilai HPP adalah BPP ditambah
keuntungan usaha tani petani tebu yang besarnya sementara ini disepakati 10%. Penetapan HPP
merupakan bagian perlindungan pemerintah kepada usaha tani petani tebu. Namun akan menjadi
masalah apabila tidak diimbangi peningkatan produktivitas dan implementasi teknologi yang dapat
mengendalikan biaya produksi, karena dengan produktivitas dan teknologi budidaya yang tetap akan
berakibat peningkatan BPP pada setiap tahunnya. Survei BPP tidak harus dilakukan setiap tahun,
sebaiknya 3 tahun sekali saja karena perubahan setiap 57 tahun relatif tidak signifikan.
Adapun alur mekanisme penentuan BPP, HPP, dan HET dapat dilihat pada gambar berikut.

Perhitungan untuk penetapan HET mengacu pada nilai BPP dengan mempertimbangkan harga lelang
yang berlangsung dan antisipasi dinamika harga. Perhitungan yang sederhana nilai HET adalah
125.7% dari harga lelang atau idealnya harga lelang sama dengan HPP. Seperti yang dijelaskan
diawal, penetapan HET seyogyanya bersifat regional. Artinya setiap daerah/wilayah tidak sama, yang
besarnya dipengaruhi oleh jumlah rantai produksi, jarak angkut, alat angkut, gudang, dan biaya
modal/bunga. Untuk menentukan variasi biaya distribusi perlu kajian khusus agar dapat
mencerminkan kondisi di lapang, namun pada tahap awal dapat juga ditetapkan satu ketetapan HET
dengan pengecualian untuk daerah/wilayah tertentu agar distribusi gula lancar dan lebih terjamin
ketersediaannya. Dari uraian diatas, survei BPP, penetapan HPP dan HET sebaiknya dikelola oleh
satu lembaga saja, yaitu Kementerian Perdagangan. Sedangkan lembaga lain sebagai pendukung yang
dilibatkan dalam proses survei sampai penetapan HPP dan HET.

KESIMPULAN
Gula yang biasanya dihasilkan adalah gula pasir putih (GKP) dari petani Permen batu lokal dan
olahan yang dib. Kemenpernd (2019) melaporkan 655 orang bekerja di sektor perkebunan, dan
investasi pabrik tebu sebesar 30 triliun. Perdagangan gula masuk Negara menjadi kegiatan yang
penting dan oleh karena itu perlu diawasi. Gula digolongkan sebagai Nilai strategis untuk ketahanan
dan peningkatan pangan. Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia. Lahan tebu harus sesuai
dengan kondisi agroklimat dan lahan seperti curah hujan antara 1,000–2,000 milimeter per tahun.
Ketinggian tebu yang ideal sampai 500 mdpl, kemiringan lahan tidak lebih dari 3% dengan bentuk
lahan. Ada beberpa fungsi system rantai pasok public yang mengatur kebijakan gula yaitu fungsi
perencanaa, fungsi penganggaran, fungsi pengadaan, fungsi penyimpanan dan penyaluran, fungsi
pemeliharaan, fungsi penghapusan. Diantara semua fungsi tersebut terdapat fungsi pengendalian yang
mengatur kebijakan gula. Analisis pembahasan kebijakan dan fungsi system rantai pasok gula
menghasilkan rekomendasi untuk menyatukan SNI tunggal gula serta evaluasi kebijakan terkait harga
gula di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai