Anda di halaman 1dari 201

MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU

SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PEREKONOMIAN


WILAYAH DI JAWA TIMUR

DUWI YUNITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Pengembangan


Agroindustri Gula Tebu sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah di
Jawa Timur,” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Duwi Yunitasari
NRP H-162100021
RINGKASAN

DUWI YUNITASARI. Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu


sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah di Jawa Timur.
Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM, BAMBANG JUANDA dan RITA
NURMALINA.

Jawa Timur (Jatim) merupakan daerah penghasil tebu dan gula terbanyak
di Indonesia. Pada tahun 2013, produksi tebu Jawa timur menyumbang 50,75%
dan produksi gula menyumbang sebesar 51,32% terhadap produksi Nasional.
Potensi tebu sebagai bahan baku gula dan produk derivasi tebu (PDT) memiliki
potensi yang besar. Hal ini mendorong pemerintah pusat menetapkan target
produksi gula untuk Jatim sebesar 1,65 juta ton dalam rangka mendukung
program swasembada gula nasional. Produksi gula Jatim tidak bisa dipisahkan
dari peran pabrik gula (PG) sebagai tempat mengolah tebu menjadi gula. Dari 62
PG di Indonesia, terdapat 31 PG yang ada di Jawa Timur. Fakta yang ada,
sebagian besar (53%) PG di Jawa didominasi oleh pabrik dengan kapasitas giling
kecil (lebih besar dari 3.000 Ton Cane per Day), berumur lebih dari 75 tahun, dan
kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat
efisiensi rendah dan biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil lebih
tinggi. Jika hal ini terus berlangsung, PG yang ada di Jatim akan mengalami
kerugian dan tutup. Pada masa yang akan datang, diharapkan PG bisa mengolah
PDT untuk menambah keuntungan PG.
Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisis dampak agroindustri gula
tebu terhadap produksi Gula Kristal Putih (GKP), produksi PDT, Pendapatan Asli
Daerah (PAD), keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah;
(ii) menganalisis dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN)
terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP, produksi PDT, keuntungan
PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (iii) merumuskan kebijakan
alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan PG,
pendapatan petani dan perekonomian wilayah Jawa Timur. Untuk menjawab
tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak
kebijakan RIGN dianalisis dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: (i) skenario 1,
peningkatan luas areal tebu sebesar 3,2%/tahun; (ii) skenario 2, peningkatan
produktivitas tebu sebesar 1,6%/tahun; (iii) skenario 3, peningkatan rendemen
sebesar 2,41% /tahun. Sedangkan untuk menyusun alternatif kebijakan digunakan
2 skenario, yaitu: (i) skenario 4, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan
luas areal tanam (3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 2,41%,
dan (ii) skenario 5, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal
tanam (3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 6%.
Hasil analisis menunjukkan pengembangan agroindustri gula tebu
mempunyai dampak positif terhadap perekonomian wilayah Jawa Timur,
produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan PAD. Hasil
simulasi model dengan menggunakan kebijakan/program RIGN mampu
meningkatkan perekonomian wilayah, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan
PG, penerimaan petani dan PAD. Bioethanol dari ampas merupakan
pengembangan PDT yang memberikan penerimaan terbesar bagi perekonomian
wilayah. Sehingga jika ingin mengembangkan jenis PDT, maka perlu
memfokuskan pada pengembangan bioethanol dari ampas. Sumbangan tambahan
peningkatan terhadap perekonomian wilayah rata-rata sebesar 1,65%, produksi
GKP 1,82%, PDT 79,98%, keuntungan PG 9,17%, penerimaan petani 26,96% dan
PAD 1,68%. Peningkatan rendemen (skenario 3) menyumbang tambahan
penerimaan tertinggi bagi perekonomian wilayah Jawa Timur. Namun jika hanya
mengandalkan kebijakan peningkatan rendemen saja (skenario 3), maka target
produksi GKP tidak tercapai.
Kebijakan alternatif dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal,
peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen) memiliki kinerja yang
lebih baik dibandingkan dengan skenario 4. Perekonomian wilayah Jawa Timur,
produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan PAD pada
skenario 5 mencapai kinerja tertinggi dibanding skenario 1, 2, 3, dan 4. Pada
skenario 5, target produksi GKP Jatim dapat terpenuhi pada tahun 2016 sebesar
1.738.437 ton. Sumbangan tambahan peningkatan PDRB terhadap perekonomian
wilayah rata-rata sebesar 2,63%, produksi GKP 6,92%, PDT 80,39%, keuntungan
PG 13,69%, pendapatan petani 33,70% dan PAD 6,40%.
Kebijakan RIGN secara simultan mampu meningkatkan produksi GKP
sehingga mencapai target sesuai program pusat untuk mendukung program
swasembada gula nasional, meningkatkan produksi PDT, PAD, keuntungan PG,
pendapatan petani dan perekonomian wilayah Jatim. Sehingga alternatif kebijakan
dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal, peningkatan produktivitas
dan peningkatan rendemen) mampu mendorong perkembangan sistem
agroindustri gula tebu secara keseluruhan lebih baik dibanding skenario lainnya.
Kebijakan yang sebaiknya tetap diterapkan oleh pemerintah dalam upaya
mendukung program swasembada gula nasional dan pengembangan PDT, yaitu:
1) tetap melaksanakan program RIGN, 2) memfokuskan pada peningkatan
rendemen, karena rendemen memiliki pengaruh yang sangat besar dalam upaya
meningkatkan produksi gula, 3) memfokuskan pada petani TR memiliki peran
yang sangat besar dalam pengusahaan gula tebu, 4) mempermudah pemberian
kredit sebagai upaya meningkatkan kualitas tanaman tebu, 5) merubah sistem bagi
hasil berdasarkan rendemen, dan 6) diharapkan dapat memberikan insentif pada
petani TR dalam bentuk kepastian harga.

Kata kunci: Gula tebu, dinamika sistem, model, RIGN, perekonomian wilayah,
harga.
SUMMARY

DUWI YUNITASARI. Development Models of Sugarcane Agroindustry to


Improve the Regional Economy of East Java. Supervised by DEDI
BUDIMAN HAKIM, BAMBANG JUANDA and RITA NURMALINA.

East Java is an area producing sugar cane and most in Indonesia. In 2013,
sugarcane production in East Java contributed 50.75% and sugar production
accounted for 51.32% of the Nasional.Potensi production of sugar cane as raw
material and product derivation cane (PDC) has great potential. This encourages
the central government set a target for sugar production amounted to 1.65 million
tons in East Java in order to support the national sugar self-sufficiency program.
East Java sugar production cannot be separated from the role of sugar factories
(SFs) as buildings where sugarcane is processed into sugar. Out of 62 SFs in
Indonesia, 31 SFs are located in East Java. Most SFs (53%) in Java are dominated
by over 75-year-old factories with small-milling capacity (greater than 3,000 ton
cane/day) and in adequate maintenance. These conditions have resulted in low
efficiency levels and high production costs. If there are no improvements in the
near future, the SFs in East Java will undoubtedly suffer losses and even worst
close down. To avoid these unfavorable things, the SFs are expected to be able to
increase their profits with PDCs.
This study aimed to (i) analyze the impact of the sugarcane agroindustry
on the production of plantation white sugar (PWS), PDC production, Real
Regional Revenues, SFs profit, farmer revenue and regional economy; (ii) analyze
the impact of the policy of the Revitalization of National Sugar Industry (RNSI)
on the development of PDC in terms of PWS production, PDC production, SFs
profit, farmer revenue and regional economy; (iii) formulate an alternative policy
on PWS production, PDC production, real regional revenue, SFs profit, farmer
revenue and the regional economy of East Java.
To achieve the above objectives, a system dynamics approach was
specifically employed. RNSI policy impacts were analyzed using three scenarios:
(i) scenario 1 was to increase sugarcane planting areas by 3.2% / year; (ii)
scenario 2 was to increase sugarcane productivity by 1.6% / year; and (iii)
scenario was to increase yield by 2.41% / year. In the meantime, to formulate an
alternative policy, two scenarios were used: (i) scenario 4 was to combine
scenarios 1,2, and 3, to increase planting areas (3.5%), productivity (1.6%) and
yield by 2.41 %; and (ii) scenario 5 was to combine scenarios 1,2, and 3, to
increase planting areas (3.5%), to increase productivity (1.6%) and yield by 6%.
The analysis results showed that the development of sugarcane
agroindustry had a positive impact on the economy of East Java, PWS
production, PDC production, SFs profit, farmer revenue and real regional revenue.
The results of model simulations using RNSI policy / program were able to
improve the economy of the region, PWS production, PDC production, SFs
profit, farmer revenue and real revenue. Bioethanol from bagass was the
development of PDC that contributed the biggest revenue to the region.
Therefore, if PDC types are to be developed, it is necessary to focus on the
development of bioethanol from bagass. The contribution of additional increase
to the regional economy was on average by 1.65%, PWS production 1.82%, PDC
79.98%, sugar factory profit 9.17%, farmer revenue 26.96%, and real revenue
1.68%. The increased yield (scenario 3) accounted for the highest additional
revenue for the regional economy of East Java. However, relying only on the
policy of increasing the yield (scenario 3) makes PWS production target fail to
achieve.
An alternative policy with scenario 5 (a combination of the increase in
planting area, productivity and yield) had a better performance compared to
scenario 4. The economy of East Java, PWS production, PDC production, SFs
profit, farmer revenue and real revenue in scenario 5 had the highest performance
compared to scenarios 1, 2, 3, and 4. In scenario 5, the production target of East
Java PWS can be reached in 2016, amounting to 1,738,437 tons. The contribution
of additional increase to PDRB of the regional economy was
on average by 2.63%, PWS production 6,92%, PDC 80.39%, SFs profit 13.69%,
farmer revenue 33.70% and real revenue 6.40%.
RNSI policy was simultaneously able to increase PWS production,
achieving the target in accordance with the central government program to
support the national sugar self-sufficiency program, to increase PDC production,
real revenue, SFs profit, farmer revenue and the regional economy of East Java.
As a result, analternative policy with scenario 5 was able to enhance the
development of sugarcane agroindustry system as a whole, which was the best
compared to the other scenarios.
The policies which should be continuously applied by the government in
an effort to support the national sugar self-sufficiency program and PDC
development are: 1) to continue implementing RNSI program, 2) to focus on
increasing yield, because it has a significant influence on the efforts to increase
the production of PWS, 3) to focus on smallholders who have a very big role in
the cultivation of sugarcane, 4) to facilitate the provision of credit in order to
improve the quality of sugarcane, 5) to change yield-based revenue sharing and 6)
provide a system an incentive to smallholders by price.

Keywords: Sugarcane, system dynamics, model, RNSI, regional economy, price.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PEREKONOMIAN
WILAYAH DI JAWA TIMUR

DUWI YUNITASARI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan
(Peneliti di Kementerian Pertanian RI)

2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS


(Ketua P4W-IPB)

Sidang Promosi Doktor : 1.Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan


(Peneliti di Kementerian Pertanian RI)

2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS


(Ketua P4W-IPB)
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini adalah
pengembangan wilayah, dengan judul Model Pengembangan Agroindustri Gula
Tebu sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah di Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim,
MEc, Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Ibu Prof. Dr. Ir. Rita
Nurmalina, MS, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
motivasi, dukungan, dan saran sejak tahap persiapan penelitian hingga
penyelesaian disertasi ini.
Terimakasih pula penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Agus pakpahan dan
Dr. Ir. Setia Hadi, MS sebagai penguji luar komisi yang telah memberi masukan,
wawasan dan diskusi-diskusi mengenai pertebuan dan kewilayahan yang sangat
berarti bagi peningkatan kualitas disertasi ini.
Terimakasih juga penulis haturkan kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri,
MS selaku wakil dari prodi, Dr. Ir. Arya Hadi sebagai pimpinan sidang atas
masukan dan arahannya pada sidang tertutup. Ucapan terimakasih juga penulis
ucapkan pada Dr. Ir. Sri Mulatsih, Msc. Agr selaku wakil dari prodi pada sidang
promosi.
Penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada
Rektor Universitas Jember yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan
studi program doktor di PWD IPB melalui Program Hibah Kompetisi Institusi
(PHKI) Dekan FE, Kajur IE, Sekjur IE, Kaprodi Unej dan rekan-rekan sejawat
yang senantiasa memberikan dorongan moril, bantuan, diskusi-diskusi singkat
namun sangat bermakna, dan juga semangat. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman program studi PWD 2010 atas kebersamaan dan
segala warna dalam kebersamaan kita.
Di samping itu, penghargaan, ungkapan terimakasih dan rasa syukur
penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Sumadi, Mama Sunaryati, suami tercinta
Sagiyanta, anak-anakku: Salma dan Sanaz, Kakakku: Mas Eko dan Ria, Ibu
Mertua, Bu Lek, Lek Joko, serta seluruh keluarga besar Soenarwadi, atas segala
doa, semangat, dan kasih sayangnya sehingga penulis bisa menyelesaikan
program doktor. Tanpa do’a, dukungan, ketulusan, semangat, cinta kasih dari
keluarga mungkin penulis tidak mungkin sampai pada tahap ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015

Duwi Yunitasari
DAFTAR ISI

Hal
Ringkasan
Summary
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Lampiran
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 16
1.4 Manfaat Penelitian 16
1.5 Kebaruan Penelitian (Novelty) 16
2 TINJAUAN PUSTAKA 18
2.1 Kebijakan Industri pergulaan di Indonesia 18
2.1.1 Periode kolonial Belanda 18
2.1.2 Periode Kemerdekaan 20
2.1.3 Periode Liberalisasi perdagangan 20
2.1.4 Periode Industri terkelola 20
2.2 Pembangunan Sub Sektor Perkebunan Tebu 21
2.3 Produk Derivasi Tebu (PDT) 24
2.4 Teori Resource Base 29
2.5 Teori Economies of Scope 30
2.6 Konsep Pembangunan Wilayah 30
2.7 Agroindustri Tebu dan Keterkaitannya dengan Ekonomi 31
Wilayah
2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan GKP dan PDT 36
2.9 Potensi Diversifikasi Industri Tebu Nasional 36
2.9.1 Industri Berbasis Tebu yang Modern 36
2.10 Konsep Dana Talangan 37
2.11 Sistem Dinamik 38
2.12 Penelitian Terdahulu 41
2.13 Hipotesis 49
3 KERANGKA PEMIKIRAN 52
4 METODE PENELITIAN 57
4.1 Cakupan Penelitian 58
4.2Jenis dan Sumber Data 58
4.3 Metode Analisis Data 58
4.3.1 Analisis Kebutuhan 58
4.3.2 Formulasi Masalah dalam sistem 59
4.3.3 Sistem Dinamik 60
4.3.3.1 Struktur Model 60
4.3.3.2 Identifikasi Sistem 60
4.3.3.3 Pengembangan Model 63
a. Sub Model Bahan Baku 63
b. Sub model Pengolahan GKP dan Co-Product 66
c. Submodel pendapatan (profit) petani 70
c. d. Sub Model keuntungan (profit) PG dari GKP 75
dan PDT
e. Sub Model Peningkatan Ekonomi Wilayah 81
dari GKP dan PDT
4.3.4 Validasi Model 84
4.3.5 Simulasi Kebijakan 85
5 KERAGAAN SISTEM PENGEMBANGAN GKP DAN PDT 88
5.1 Perkembangan Keragaan Penyediaan Bahan Baku GKP dan PDT 88
di Jawa Timur
5.1.1 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di 88
Jawa Timur
5.1.2 Perkembangan Industri GKP di Jawa Timur 92
5.2 Perkembangan Keragaan Produk derivasi tebu (PDT) di Jawa 97
Timur
5.2.1 Tetes 97
5.2.2 Ampas 99
5.2.3 Blotong 99
5.3 Perkembangan Keragaan PDRB Wilayah Jawa Timur 101
5.3.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 101
5.3.2 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) 104
5.4 Tenaga kerja dan Pendapatan dari Sektor Tebu 106
5.4.1 Tenaga Kerja pada PG kelas 2 106
5.4.2 Tenaga Kerja pada PG kelas 3 107
5.4.3 Upah tenaga kerja Tebang Muat Angkut (TMA) 108
5.4.4 Perhitungan pembayaran upah 108
6 HASIL DAN PEMBAHASAN 109
6.1 Model dan Dinamika Pengembangan Agroindustri Gula Tebu 109
6.1.1 Validasi Model 109
6.1.2 Perilaku Sub model Bahan Baku 110
6.1.3 Perilaku sub model pengolahan 112
6.1.4 Perilaku sub model pendapatan petani 114
6.1.5 Perilaku sub model keuntungan PG 114
6.1.6 Perilaku sub model Perekonomian Wilayah 115
6.2 Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu pada kondisi 116
Aktual
6.3 Perilaku Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu dengan 119
pemanfaatan PDT
6.4 Dampak Kebijakan RIGN terhadap produksi GKP, produksi 121
PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian
wilayah
6.4.1 Skenario 1: Peningkatan Luas Areal sebesar 3,2 % 122
6.4.2 Skenario 2: Peningkatan produktivitas sebesar 1,6 % 126
6.4.3 Skenario 3: Peningkatan Rendemen sebesar 2,41% 128
6.5 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario 1, 2, dan 3 130
6.6 Skenario Kebijakan Alternatif Pengembangan Agroindustri Gula 134
Tebu
6.6.1 Skenario 4, Gabungan Skenario 1 Peningkatan Luas Areal 134
3,2% , Skenario 2 Peningkatan Produktivitas 1,6%,
dan Skenario 3 Peningkatan Rendemen 2,4%
6.6.2 Skenario 5, Gabungan Skenario 1 Peningkatan Luas 137
Areal 3,2% , Skenario 2 Peningkatan Produktivitas
1,6%, dan Skenario 3 Peningkatan Rendemen 6 %
6.7 Perbandingan Antar Skenario Alternatif 140
7 Sintesa Hasil dan Konsep Pengembangan Agroindustri Gula Tebu di 146
Jawa Timur
7.1 Dampak Agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi 146
PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan
perekonomian wilayah pada kondisi aktual
7.2 Dampak Kebijakan RIGN terhadap pengembangan PDT pada 148
produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan
petani dan perekonomian wilayah pada kondisi aktual
7.3 Kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, 150
PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian
wilayah pada kondisi aktual
7.4 Kebijakan dalam industri gula di Jawa Timur 150
8 SIMPULAN DAN SARAN 155
8.1 Simpulan 155
8.2 Saran 155

DAFTAR PUSTAKA 157


LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL

Hal
1 Produksi dan Produktivitas Tebu 2
2 Perkembangan Impor Gula Nasional Tahun 2009 sampai 2013 6
3 Rata-Rata Perkembangan Harga Gula Kristal Putih (GKP) 7
Indonesia dan Rata-Rata Dunia Tahun 2007-2013
4 Perkembangan Produksi Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011 11
5 Perkembangan Luas Areal Tebu Tahun 2007-2011 12
6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Industri Gula 14
7 Peraturan Pemerintah terkait gula 21
8 Jenis Produk Turunan Tebu di Indonesia 28
9 Potensial bagasse berdasar produk turunan di negara yang berbeda 29
10 Negara Produsen Ethanol 29
11 Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Tebu Menurut Pulau di 33
Indonesia
12 Penelitian Terdahulu 41
13 Kerangka Pengembangan Industri Gula 54
14 Analisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dalam model 58
pengembangan agroindustri gula tebu
15 Analisis Formulasi Permasalahan pelaku yang terlibat dalam model 60
dinamika sistem pengembangan agroindustri gula tebu
16 Persamaan yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku 65
17 Persamaan yang digunakan pada sub model pengolahan GKP dan 68
co product
18 Persamaan yang digunakan pada sub model Profit petani 71
19 Persamaan yang digunakan pada submodel profit PG dari PDT dan 77
GKP
20 Persamaan yang digunakan pada sub model Perekonomian 81
Wilayah
21 Target Revitalisasi Industri Gula BUMN 86
22 Kondisi sektor on-farm di Jawa Timur 87
23 Alur konversi dari tebu menjadi produk samping (co-product) 87
hingga menjadi 5 jenis PDT (co-product)
24 Kapasitas Giling Pabrik Gula Tahun 2011 (MTT 2010/2011) 94
25 Laporan DO Tetes PG X Tahun 2013 (dalam ton) 98
26 Pertumbuhan tiap sektor di Jawa Timur berdasar ADHK tahun 102
2000-2010
27 Pertumbuhan tiap sektor di Jawa Timur tahun 2000-2010 105
28 Jumlah tenaga kerja pada PG kelas 2 106
29 Jumlah tenaga kerja pada PG kelas 3 107
30 Hasil uji validasi kinerja model pengembangan agroindustri gula 109
tebu di Jawa Timur
DAFTAR GAMBAR

Hal
1 Perkembangan konsumsi gula oleh rumah tangga di Indonesia, 5
1990-2009
2 Provinsi Sentra Produksi Tebu 2009-2011 11
3 Kontribusi Sektor Perkebunan terhadap PDRB Jatim tahun 2000- 15
2010
4 Flow Chart Perumusan masalah
5 Alur proses tebu menjadi gula 26
6 Komposisi produksi tebu dan produk samping saat panen dan 27
penggilingan
7 Grafik Economies of scope 31
8 Proses Dana Talangan 37
9 Pola umum perilaku dinamika sistem 40
10 Kerangka Pemikiran Pengembangan perekonomian wilayah Jatim 56
11 Distribusi PG dan Perkebunan Tebu di Jawa Timur 57
12 Diagram sebab akibat model pengembangan agroindustri gula 61
tebu dan peningkatan perkonomian Jatim
13 Diagram Input-output rancangan model pengembangan 62
Agroindustri gula tebu
14 Diagram Alir sub model bahan baku 64
15 Diagram alir sub model pengolahan GKP dan Co-Product 67
16 Diagram alir sub model profit petani 71
17 Diagram alir sub model profit PG dari GKP dan PDT 76
18 Diagram alir sub model peningkatan ekonomi wilayah dari GKP dan 81
PDT
19 Luas Areal Tebu Jawa Timur menurut status pengusahaannya Tahun 89
2009-2013
20 Peta struktur ruang dan pola peta pemanfaatan ruang Provinsi Jawa 89
Timur tahun 2000-2015
21 Produksi Tebu Jawa Timur Tahun 2009-2013 90
22 Produktivitas Tebu Jatim menurut pengusahaan tahun 2009-2013 91
23 Proporsi Luas Areal TR dan TS Jawa Timur 92
24 Perkembangan rendemen tebu di Jawa Timur tahun 2005-2013 92
25 Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Terpakai Industri Gula di Jawa 93
Timur
26 Kelas Kapasitas giling PG di Jawa Timur 96
27 Distribusi PG dan Kapasitas Giling 96
28 Jumlah tetes dari tebu yang dihasilkan di Jawa Timur 97
tahun 2005-2013
29 Harga rata-rata penjualan tetes di PT. Karisma Pemasaran Bersama 98
(PT. KPBN)
30 Jumlah Ampas yang dihasilkan oleh PG “X” 99
31 Jumlah Blotong yang dihasilkan PG “X” di Jawa Timur 100
32 Jumlah Biokompos dan Ampas yang dihasilkan Tahun 2005-2013 di 100
Jawa Timur
33 PDRB Jawa Timur tahun 2000-2010 berdasar ADHK 101
34 Perbandingan Jumlah PDRB Sub sektor Perkebunan dan Sektor 103
Pertanian (ADHK)
35 Kontribusi Tanaman Perkebunan terhadap PDRB Jatim Sumber: 103
BPS, 2014
36 PDRB Jatim berdasar ADHB 104
37 PDRB sektor perkebunan tahun 2000-2010 105
38 Kontribusi Perkebunan terhadap PDRB Jatim 106
39 Luas Areal perkebunan tebu kondisi aktual tahun 2010-2025 110
40 Produksi Tebu Jatim kondisi aktual tahun 2010-2025 111
41 Produksi GKP pada kondisi aktual, tahun 2010-2025 112
42 Produksi produk ikutan kondisi aktual tahun 2010-2025 113
43 Kapasitas giling kondisi aktual tahun 2010-2025 113
44 Profit petani tebu kondisi aktual tahun 2010-2025 114
45 Profit PG kondisi aktual tahun 2010-2025 115
46 Perekonomian wilayah Jatim kondisi aktual pada tahun 2010-2025 116
47 Produksi GKP dan PDT Jatim kondisi aktual tahun 2010-2025 117
48 Profit Petani Tebu dan Profit PG dari gula pada kondisi aktual Jatim 118
tahun 2010-2025
49 Perekonomian Wilayah pada kondisi aktual di Jatim tahun 2010- 119
2025
50 Penerimaan seluruh petani tebu setelah ada penambahan PDT di 119
Jatim tahun 2010-2025
51 Penerimaan seluruh PG setelah ada penambahan PDT di Jatim tahun 120
2010-2025
52 Penerimaan dari pengembangan 5 jenis PDT di Jatim tahun 2010- 120
2025
53 Perekonomian Wilayah setelah ada penambahan PDT di Jatim tahun 121
2010-2025
54 Produksi GKP dan Produksi PDT Jatim skenario 1 tahun 2010-2025 123
55 PAD dan Profit PG skenario 1 tahun 2010-2025 124
56 Profit petani skenario 1 pada tahun 2010 –2025 125
57 Perekonomian Wilayah skenario 1 tahun 2010-2025 125
58 Produksi GKP dan Produksi PDT skenario 2 tahun 2010-2025 126
59 Profit PG dan PAD skenario 2 tahun 2010-2025 127
60 Profit Petani/ ha skenario 2 tahun 2010-2025 127
61 Perekonomian Wilayah pada skenario 2 tahun 2010-2025 128
62 Produksi GKP dan PDT skenario 3 tahun 2010-2025 128
63 Profit PG dan PAD skenario 3 tahun 2010-2025 129
64 Profit Petani skenario 3 tahun 2010-2025 129
65 Perekonomian Wilayah skenario 3 tahun 2010-2025 130
66 Perbandingan Produksi GKP pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 131
3
tahun 2010-2025
67 Produksi PDT kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3 tahun 2010-2025 131
68 Profit PG pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, tahun 2010- 132
2025
69 Profit Petani per ha kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, tahun 2010- 132
2025
70 PAD pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, tahun 2010-2025 133
71 Perekonomian Wilayah kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3 tahun 133
2010-2025
72 Produksi GKP Jatim skenario 4 tahun 2010-2025 135
73 Produksi PDT Jatim skenario 4 tahun 2010-2025 135
74 Profit PG Jatim skenario 4 tahun 2010-2025 135
75 Profit Petani Jatim per Ha skenario 4 tahun 2010-2025 136
76 PAD Jatim Skenario 4 tahun 2010-2025 136
77 Perekonomian Wilayah Jatim Skenario 4 tahun 2010-2025 137
78 Produksi GKP Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 137
79 Produksi PDT Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 138
80 Profit Petani per ha di Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 138
81 Profit PG Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 139
82 PAD Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 139
83 Perekonomian Wilayah Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 140
84 Produksi GKP Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 141
tahun 2010-2025
85 Produksi PDT Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 142
tahun 2010-2025
86 Profit PG Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 143
tahun 2010-2025
87 Profit Petani Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 143
tahun 2010-2025
88 PAD Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 144
tahun2010-2025
89 Perekonomian Wilayah Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 145
4, dan 5 tahun 2010-2025
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya.
Meskipun kontribusi sub sektor perkebunan terhadap pembentukan Produk
Domestik Bruto (PDB) belum terlalu besar yaitu sekitar 2,07 persen pada tahun
2011 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman
bahan makanan dan perikanan, akan tetapi sub sektor ini merupakan penyedia
bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga dan penghasil devisa (BPS,
2012).
Selama kurang lebih 500 tahun, tebu merupakan satu-satunya bahan
mentah untuk memproduksi gula (Oliverio et al, 2010). Gula merupakan salah
satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan penting. Selain sebagai
salah satu kebutuhan pokok, gula juga memberikan sumbangan terhadap
perekonomian melalui penciptaan tenaga kerja (Schmit, 2014; Tarimo &
Takamura, 1998). Indonesia pernah mengalami masa pasang-surut dalam
memproduksi gula. Indonesia pernah mempunyai peran sebagai negara
pengekspor gula terbesar hingga keterpurukan produksi gula yang mengharuskan
Indonesia menjadi negara pengimpor gula sejak awal tahun 1990. Sejarah
mencatat bahwa industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua
dan terpenting yang ada di Indonesia. Era kejayaan industri gula di Indonesia
terjadi pada tahun 1930-an, dimana 179 pabrik gula beroperasi dengan
produktivitas sekitar 14,8 persen dan rendemen mencapai 11 persen sampai 13,8
persen. Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta ton/per tahun dan
mampu mengekspor gula 2,4 juta ton/ tahun. Pada jaman kolonial integrasi sistem
agribisnis gula dapat dijamin melalui kekuatan yang memaksa dari pemerintah
(Mardianto et al, 2005). Sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan
jadwal pabrik. Pabrik gula (PG) mendapat pasokan bahan baku yang cukup dan
rendemen tinggi sehingga industri gula di Jawa sangat efisien. Faktor penunjang
lainnya adalah lahan yang subur, tenaga kerja yang murah, irigasi, dan teknologi
yang tepat merupakan faktor pendukung masa kejayaan industri gula (Rohman et
al, 2005; Wibowo dan Subiyono, 2005; Pakpahan, 2004; Simatupang, et al.,
dalam Susila dan Sinaga, 2005). Pakpahan (2004) menyatakan bahwa pada tahun
1975 diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang bertujuan
meningkatkan pendapatan petani tebu, meningkatkan produksi gula dan mencapai
swasembada gula konsumsi rumah tangga. Krisis ekonomi pada tahun 1998
menyebabkan produksi gula yang dihasilkan pada titik terendah dan strategi TRI
tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia
sekarang berjumlah 62 pabrik gula berbahan baku tebu. PG tersebut milik BUMN
maupun swasta (Dewan Gula Indonesia (DGI), 2014).
2

Tabel 1 Luas Areal, produksi dan produktivitas gula Indonesia Tahun 1930-2013
Tahun Luas Areal (ha) Produksi Gula (ton) Produktivitas Gula
(ton/ha)
1930 196.592 2.907.078 14,79
1935 28.262 492.598 17,43
1940 83.522 1.472.484 17,63
1950 27.783 259.771 9,35
1955 72.426 813.344 11,23
1960 72.726 651.810 8,96
1965 87.408 775.950 8,88
1970 81.677 715.312 8,73
1975 104.777 1.035.052 9,76
1980 188.772 1.249.946 6,55
1985 285.529 1.707.048 5,98
1990 365.926 2.083.790 5,69
1995 420.630 2.096.471 4,98
1996 403.266 2.094.195 5,19
1997 385.669 2.189.974 5,68
1998 378.293 1.491.553 3,94
1999 340.800 1.488.599 4,73
2000 340.660 1.690.667 4,96
2001 344.441 1.725.467 5,01
2002 350.723 1.755.434 5,01
2003 335.725 1.631.919 4,89
2004 345.550 2.051.651 5,94
2005 381.786 2.241.742 5,87
2006 396.441 2.307.027 5,82
2007 427.799 2.448.143 5,72
2008 436.505 2.668.428 6,11
2009 416.630 2.333.885 5,60
2010 418.266 2.288.735 5,47
2011 434.962 2.126.669 4,88
2012 465.994 2.591.687 5,74
2013* 469.228 2.551.024 5,44
Sumber: Tahun 1930-1985 Bahari dalam Mardianto et al, 2005; Tahun 1990- 1995
Anonim, 1997; Tahun 2009-2011 dari BPS, 2012; Tahun 1996-2004 dan
Tahun 2012-2013 dari DGI, 2014 (* realisasi kumulatif sampai Desember
2013), dan Tahun 2005-2008 dari Kementerian Pertanian, 2010.
3

Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi dan produktivitas gula di


Indonesia tahun 1930- tahun 2013. Pada kurun waktu 1930-1940 produksi gula
mengalami masa kejayaan, di mana produktivitas tertinggi sepanjang sejarah dan
Indonesia menjadi negara eksportir terbesar di dunia. Hal ini tidak lepas dari
dampak politik etis yang diberlakukan pada tahun 1900-1930 yakni Migrasi,
pendidikan dan Irigasi, sistem tanam yang terintegrasi yang diberlakukan pada
masa kolonial, ditemukan varietas baru POJ 2838 dan POJ 3016 yang mampu
menghasilkan 18 ton hablur gula per ton dan adanya penelitian gula (Simatupang
et al, 1999 dan Soentoro et al, 1999 dalam Sinuraya et al, 2009). Pada tahun 1950,
produksi gula mengalami penurunan. Produktivitas gula yang semula 17,63
ton/ha pada tahun 1940 menurun tajam menjadi 9,35 ton/ha pada tahun 1950.
Nasionalisasi gula yang berlangsung cepat, belum diimbangi dengan kesiapan
tenaga ahli setara manajer dan teknisi Belanda yang diusir secara tiba-tiba dan
tidak ada pengganti yang sepadan (Rohman et al, 2005 dan Sinuraya et al, 2009),
mengakibatkan turunnya produktivitas. Periode 1958-1969 merupakan masa
degradasi industri gula. Kegiatan produksi terpisah dari kegiatan pemasaran,
peningkatan harga gula dan lemahnya menejemen pemasaran menyebabkan gula
menumpuk di pabrik, gaji, upah dan sewa tidak sanggup dibayar PG karena tidak
adanya anggaran. Hal ini mengakibatkan produksi mengalami stagnasi. Untuk
menata kelembagaan produksi gula, pada tahun 1975 melalui Inpres no. 9 tahun
1975 pemerintah mengeluarkan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan
tujuan memberdayakan petani, meningkatkan pendapatan petani dan mencapai
swasembada gula nasional. Produktivitas gula setelah tahun 1975 terus mengalami
penurunan. Program TRI tidak membuat produktivitas gula meningkat lebih baik,
dibanding sebelum program TRI diberlakukan. Tercatat produktivitas gula sebesar
6,55 ton pada tahun 1980 dan terus mengalami penurunan hingga 3,94 ton pada
tahun 1998. Penurunan produktivitas merupakan dampak dari pencabutan inpres
no. 9 tahun 1975 dan disusul dikeluarkannya inpres no. 5 tahun 1997 jo no. 5
tahun 1998. Inpres tersebut memberi ruang kepada petani untuk menanam
komoditas yang dianggap menguntungkan. Petani diberi kebebasan dalam
menentukan komoditas yang akan ditanam. Berlakunya Keppres no. 19 tahun
1998 mengenai kebijakan liberalisasi tataniaga gula dengan membebaskan impor
gula tanpa tarif, sehingga pada tahun 1998 produktivitas gula mengalami
penurunan tajam. Melalui keputusan Menteri Keuangan no. 568/KMK.01/1999
ditetapkan tarif bea masuk gula tebu import sebesar 20%. Berangsur-angsur
produktivitas gula mengalami kenaikan. Produktivitas gula mengalami
peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2008, sebesar 6,11 ton.
Peningkatan produktivitas disebabkan oleh adanya sistem dana talangan yang
mulai diberlakukan pada tahun 2002. SK no. 643 tahun 2002 mengenai tata niaga
impor gula di mana importir produsen (IP) diberi kewajiban untuk menyangga
harga gula petani (dana talangan) sekaligus menetapkan bea masuk gula tebu
Rp.550/ kg dan bea masuk gula untuk industri sebesar Rp.700/ kg. Didukung
juga oleh Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/2002 tanggal 29 September 2002
mengenai tata niaga impor gula, yakni pembatasan pelaku impor gula hanya
menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar. Pembatasan mengenai
pelaku impor gula dipertegas dengan SK no.522/MPP/Kep/9/2004 dan SK
Menperindag no.507/2004 pasal 8 dan pasal 9 yang menyatakan bahwa impor
GKP hanya boleh dilakukan oleh IT (importir terdaftar) gula. SK no.522 dan
4

no.527 sekaligus sebagai pendorong bagi petani tebu dalam memproduksi gula.
Produksi gula dari tahun2009 sampai 2011 mengalami rata-rata penurunan
sebesar 4,51 persen. Penurunan terjadi disebabkan terjadinya anomali iklim dan
impor gula. Peraturan Menkeu no. 86/PMK.010/2005 tentang keringanan tarif
bea masuk atas impor gula mengakibatkan penurunan produktivitas. Pada tahun
2008 peroduktivitas mengalami peningkatan sebesar 6,11 ton/ha ini disebabkan
pada tahun 2007 diterbitkan Permentan no. 57/Permen/KU.430/7/2007 mengenai
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sebesar Rp.12.500.000,- dan
Peraturan Menteri Perdagangan RI no.18/M-DAG/PER/4/2007 mengenai
perubahan keempat atas Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan
no.527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula dimana GKP hanya bisa
diimpor jika harga GKP ditingkat petani mencapai Rp.4.900 per Kg, sehingga
mampu meningkatkan produktivitas gula nasional. Sedangkan luas areal tebu
tahun 2009 sampai 2011 mengalami peningkatan sebesar 1,44 persen.
Peningkatan luas areal tebu didominasi oleh peningkatan areal Perkebunan
Rakyat (PR), diikuti oleh Perkebunan besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar
Negara (PBN). Pada tahun 2009 lahan perkebunan tebu Indonesia tercatat seluas
422,87 ribu hektar, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi
436,57 ribu hektar atau naik sekitar 3,24 persen. Sedangkan untuk tahun 2011 luas
areal perkebunan tebu Indonesia mengalami sedikit penurunan yaitu sekitar 0,37
persen atau menjadi 434,96 ribu hektar (BPS, 2012). Sedangkan pada tahun 2012
produktivitas gula dan luas areal mengalami kenaikan sebesar 5,74 ton/ha.
Kenaikan ini disebabkan adanya Peraturan Menteri Perdagangan no. 11/M-
DAG/PER/5/2011 tentang Harga Patokan Petani (HPP) sebesar Rp.7000,-.
Agroindustri sebagai penarik pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu
berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai
produk olahannya. Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu
komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di
Indonesia. Industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan
bagi ribuan petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah
satu kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan sumber kalori yang
relatif murah dan terjangkau (BPS, 2012; Almazan et al, 1998).
Konsumsi gula tebu tidak terbatas pada rumah tangga untuk konsumsi
langsung, tetapi juga dikonsumsi oleh masyarakat melalui produk-produk industri
makanan dan minuman. Gula tebu sampai saat ini masih menjadi pilihan utama,
meskipun terus dicari bahan pemanis lainnya, hal ini karena berbagai kelebihan
baik sifat manisnya maupun kepraktisan bentuknya (butir). Produk pemanis telah
dikembangkan yang dapat mensubstitusi gula tebu, namun porsinya relatif masih
sangat kecil. Harga yang terjangkau dan kemudahan untuk mendapatkannya,
menyebabkan banyak kalangan masih memilih gula tebu meskipun saat ini telah
banyak beredar bahan pemanis buatan maupun bahan pemanis lainnya seperti
glukosa, fruktosa dan lainnya (Capricorn Indonesia Consult (1998) dalam
Januarsini (2000); Deptan, 2005).
Gula tidak hanya berperan sebagai salah satu kebutuhan pokok dan
kepraktisan akan bentuknya, tapi juga menyumbang dalam penyediaan lapangan
kerja, pendapatan rumah tangga dan nilai output yang dihasilkan bagi wilayah.
5

1.2 Perumusan Masalah

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dengan laju pertumbuhan


penduduk sebesar 1,49 persen mengakibatkan konsumsi rumah tangga terhadap
gula juga mengalami peningkatan. Dengan semakin bertambahnya jumlah
penduduk, maka jumlah kebutuhan konsumsi gula juga diperkirakan bertambah.
Hal ini bukan saja konsumsi gula secara langsung, tetapi termasuk gula yang
digunakan dalam memproduksi makanan dan minuman. Seperti terlihat pada
Gambar 1, konsumsi per tahun untuk komoditas gula pada tahun 1990 sebesar
1,41 juta ton yang menjadi 1,73 juta ton pada tahun 1996. Selanjutnya pada
tahun 1997, konsumsi gula oleh rumah tangga berkurang menjadi 1,72 juta ton
dan berturut-turut menurun menjadi 1,71 juta ton dan 1,67 juta ton pada tahun
1998 dan 1999. Penurunan tersebut disebabkan turunnya jumlah konsumsi
perkapita yang diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan harga gula di pasar
domestic pada tahun 1998. Jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga kembali naik
pada tahun 2000 sampai 2002, tetapi setelah periode tersebut jumlah konsumsi
gula oleh rumah tangga cenderung stabil pada kisaran 1,94 sampai 1,96 juta ton
per tahun sampai dengan tahun 2006. Pada tahun 2007 konsumsi gula oleh rumah
tangga juga mengalami peningkatan menjadi 2,15 juta ton dan tahun berikutnya
sampai dengan tahun 2009 masih berkisar pada jumlah tersebut. Hal ini bisa
disebabkan karena adanya peningkatan jumlah penduduk, yang membutuhkan
gula sebagai salah satu bahan makanan pokok di Indonesia.

Gambar 1 Perkembangan konsumsi gula oleh rumah tangga di Indonesia tahun


1990 sampai tahun 2009
Sumber: Kementrian Pertanian, 2010

Peningkatan jumlah penduduk, perkembangan industri makanan dan


minuman serta meningkatnya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan
akan gula (Sugiyanto, 2007). Konsumsi gula perkapita penduduk Indonesia
sebesar 14,5 kg per kapita per tahun (Koo dan Taylor, 2011). Akibat peningkatan
penduduk dalam mengkonsumsi gula, negara-negara berkembang membutuhkan
peningkatan produksi sebesar 1,5 kali untuk memenuhi kebutuhan gulanya.
6

Peningkatan dalam konsumsi gula tertinggi di Asia sebesar 6 persen per tahun
(Almazan et al, 1998 dan Dingle et al, 1997).
Sesuai dengan penelitian Cahyani (2008), menunjukkan bahwa konsumsi
gula Indonesia sampai tahun 2025 terjadi peningkatan. Sedangkan produksi gula
cenderung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi gula dalam negeri
belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dari sisi produksi,
menurunnya produktivitas terjadi karena penerapan teknologi on farm dan
efisiensi PG yang rendah. Sejalan dengan penelitian Keerthipala (2002) di
Srilangka yang menyatakan bahwa PG gagal mencapai target penyediaan
konsumsi gula, disebabkan meningkatnya konsumsi gula perkapita.
Perkembangan impor gula nasional pada Tabel 2 menunjukkan
peningkatan impor gula dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Impor gula terbesar
raw sugar untuk industri rafinasi. Impor raw sugar untuk 11 industri gula
rafinasi sebesar 2,881 juta ton pada tahun 2013. Impor gula pada tahun 2010
mengalami peningkatan dibanding tahun 2011, hal ini disebabkan keadaan iklim
yang tidak mendukung pada tahun 2010 sehingga rendemen rendah. Impor gula
seluruhnya 3,706 juta ton. Seperti di negara lain, di Indonesia iklim berkontribusi
pada tinggi/rendahnya rendemen (Samui et al, 2013), sehingga produksi gula
rendah (Ferraro et al, 2009).

Tabel 2 Perkembangan Impor Gula Tahun 2009-2013


Volume Impor (Ribu Ton)
Kwalitas Gula dan Pengguna 2009 2010 2011 2012 2013
Raw Sugar untuk:
1. Industri Rafinasi 2,237 2,277 2,267 2,58 2.881,80
2. Idle Capacity Pabrik Gula 149 110 128 533 394,6
3. MSG 203 231 187 213 341,2
Sub Total 2,589 2,618 2,582 3,326 3.617,60

Gula Putih untuk:


Konsumsi Langsung 13 447 118 61 **)

Gula Rafinasi untuk:


Industri maminfar 150 158 60 99 89,3
(Makanan minuman dan farmasi)
Total 2,752 3,223 2,760 3,486 3.706,9
Sumber: DGI, 2014. Ket (**) Tahun 2013 tidak ada impor gula putih (GKP)
untuk konsumsi langsung)

Disisi lain, Indonesia sebagai negara importir gula terbesar tidak begitu
memproteksi industri gula dalam negerinya sebagaimana yang dilakukan oleh
negara-negara lain. Sejalan penelitian Sawit et al, (2004), adanya perbedaan harga
dan kebijakan impor gula di mana Indonesia sebagai pengimpor gula terbesar
mengenakan bea masuk yang rendah dibandingkan dengan Thailand yang
menerapkan tarif 65 persen pada kuota 13.700 ton dan selebihnya 96 persen.
Philipina menerapkan tarif 65 persen, China kuota tarifnya sebanyak 1,8juta ton
dengan tariff 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk raw sugar,
selebihnya untuk tariff keduanya 76 persen. Sedang India sebagai net eksportir
7

menerapkan tariff sebesar 60 persen ditambah bea masuk tambahan sebesar 85


rupee per kuintal (Rs.1~Rp.200 tahun 2003). Kondisi ini memperburuk industri
gula di Indonesia.
Impor yang terus meningkat, sedangkan harga gula dunia yang lebih
rendah dari harga gula di dalam negeri menunjukkan daya saing harga gula
nasional lebih rendah dari gula dunia. Harga gula Kristal putih berbahan baku
tebu (plantation white sugar) di pasar global posisinya di atas USD 602/ton (IDR
9.800). Harga tender gula petani di dalam negeri berkisar antara Rp8.400 sampai
Rp8.500 per kg (Kementrian BUMN, 2012).
Daya saing industri gula nasional (Tabel 3) dari sisi harga lebih rendah
dari rata-rata dunia. Dalam kurun lima tahun terakhir, harga impor dunia masih
lebih rendah dari harga Gula Kristal Putih (GKP). Asumsi tersebut sudah
memasukkan komponen biaya sampai produk sampai dipasaran.

Tabel 3 Rata-Rata Perkembangan Harga Gula Kristal Putih (GKP) Indonesia


dan Rata-Rata Dunia Tahun 2007-2013
Tahun
Indikator
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Harga Lelang 5.105 5.262 7.056 8.478 8.191 9.707 9.357
(RP/Kg)

Harga Eceran 6.342 6.182 8.205 10.486 9.981 11.513 11.340


(Rp/Kg)

HPP 4.900 5.100 5.350 6.350 7.000 8.100 8.100

BPP Gula - - 5.100 6.250 6.891 7.900 8.070


Petani

Rata-Rata 220 253 381 518 621 483 383


Harga Dunia
FOB
(USD per
tones)

Rata-Rata 4.287* 4.901* 6.052* 7.253* 8.393* 7.276* 7.651*


Harga Impor
Dunia
(RP/Kg)
Sumber: DGI (2014); KPB PTP Nusantara (2013); Subiyono (2013)
*) Harga tersebut adalah harga dengan mengasumsikan Asuransi, Bea Masuk dan Pajak,
Biaya Surveyor LN-PSI, Landed Cost (Handling, Surveyor Dalam Negeri, Gudang,
Penyusutan, Operasional), Biaya Bank (1,5 bulan, 12% pa, provisi dll), Profit, PPN.
Konversi Kurs USD.

Komponen biaya pokok produksi gula di BUMN rata-rata tahun 2010


mencapai Rp6.860/kilogram, sedangkan rata-rata biaya produksi gula di negara-
negara yang tidak efisien mencapai US$ 260 per ton, lebih tinggi dari rerata pasar
internasional yaitu US$ 220 per ton (Subiyono, 2013). Faktor-Faktor yang
menyebabkan rendahnya efisiensi pabrik gula adalah: (1) pabrik yang sudah tua,
8

(2) hari giling yang belum optimal, (3) kapasitas giling yang kurang dari 2.000
ton tebu per hari, dan (4) jam berhenti giling yang tinggi. Sebagai contoh, PG-PG
di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling).
Bahan baku yang tersedia hanya 12,8 juta ton sehingga PG-PG mempunyai idle
capacity sekitar 46,2 persen. PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta
ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity
mencapai 39,4 persen (Departemen Pertanian, 2007; Ariesa dan Tinaprillia,
2012). Peningkatan efisiensi dapat meningkatkan produksi dan menurunkan
biaya. Sehingga harga gula bisa lebih rendah (Keerthipala, 2013).
Impor gula yang terus mengalami peningkatan (Tabel 2) menunjukkan
bahwa pemenuhan kebutuhan akan gula masih belum bisa dipenuhi oleh produksi
dalam negeri. Penelitian Nugrahapsari (2013) menyatakan bahwa swasembada
GKP yang ditargetkan oleh pemerintah tahun 2014 tidak tercapai pada kondisi
aktual. Pemerintah menerbitkan kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional
(RIGN) guna mendukung tercapainya swasembada gula nasional. Program
Revitalisasi Industri Gula Nasional secara eksplisit mengagendakan terwujudnya
Swasembada Gula Nasional (Wibowo, 2012). Swasembada gula nasional akan
sulit dicapai mengingat industri gula nasional masih menghadapi persoalan
struktural sistem produksi (Suhada, 2012). Untuk mendukung swasembada gula
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden no. 57/2004 yang menetapkan
gula dalam pengawasan dan Surat keputusan Menperindag No. 527/2004
mengenai impor gula (Zaini, 2011).
Dalam program dan rencana aksi jangka pendek, selain target utama
swasembada gula nasional, dari sisi off farm terdapat program diversifikasi
produk dengan kondisi yang diharapkan adalah meningkatnya nilai tambah dan
daya saing produk. Rencana aksi yaitu mengenai pengembangan Produk
Pendamping Gula Tebu (PPGT) yang memiliki nilai tambah dan pengembangan
energi berbasis tebu (bio ethanol) pengganti BBM (Bahan Bakar Minyak)
(Kemenperin, 2010).
Kajian Toharisman dan Kurniawan (2012) menyatakan bahwa salah satu
faktor penyebab PG harus ditutup adalah ketergantungan yang sangat besar
terhadap produk tunggal GKP. PG tidak punya produk alternatif yang dapat
mengkompensasi kerugian akibat penurunan harga gula. Kelangsungan industri
guladapat dipertahankan dengan cara meningkatkan nilai perolehan tebu melalui
diversifikasi produk yang bernilai tinggi. Diversifikasi produk dimaksud adalah
memanfaatkan bagian tanaman tebu yang bukan gula untuk dijadikan produk yang
bernilai ekonomis.
Sejalan dengan diversifikasi pada tebu, gula masih memiliki masa depan
dengan menciptakan dua hal. Pertama, peningkatan efisiensi dan produktivitas
tebu. Kedua, pemanfaatan setiap bagian dari tebu untuk menghasilkan beragam
produk yang bernilai tinggi (Pakpahan, 2004; Rohman at al, 2005; Wibowo dan
Subiyono, 2005; Toharisman dan Kurniawan, 2012). Pengembangan diversifikasi
dan pembangunan produk bisa berupa eksplorasi diversifikasi produk dan
pengembangan produk menjadi produk yang lebih jadi dan mempunyai nilai
tinggi bagi konsumen (Masyhuri, 2000). Di Jepang harga ubi jalar lebih tinggi dan
mencapai empat kali lipat dibanding padi, karena ubi jalar di Jepang
didiversifikasi dari pangan (mie, permen, roti,dll), minuman (sake, gin, es krim)
hingga kosmetik (Widodo, 1995).
9

PG Indonesia pada umumnya mengolah tebu untuk menghasilkan gula


pasir sebagai produk tunggal (single-product industry). Padahal, tebu juga dapat
digunakan untuk berbagai produk turunan seperti pupuk, makanan ternak,
molasses dan bagasses. Di banyak negara, produsen gula telah melakukan
diversifikasi produk gula guna menyiasati penurunan harga gula, menekan ongkos
produksi, memperluas pasar, serta mengurangi risiko kerugian PG (Mardianto
et al, 2005; Toharisman dan Kurniawan, 2012). Alasan utama dari pemikiran ini
adalah bahwa berdasarkan data time series yang cukup panjang (lima puluh tahun
atau lebih) dari harga riil setiap produk primer, khususnya produk primer
pertanian, menunjukkan trend harga riil yang berfluktuatif dan terus menurun,
kecuali untuk produk olahannya. Artinya adalah bahwa apabila negara kita
tujuannya hanya untuk menghasilkan gula putih (white sugar), maka daya saing
industri ini akan sangat lemah (Pakpahan, 2004). Hasil analisis SWOT oleh
Cahyani (2008) menekankan pada strategi S-O untuk meningkatkan daya saing
agribisnis gula yaitu dengan optimalisasi sumber daya yang sudah ada,
pemanfaatan hasil samping pengolahan gula, dan penerapan teknologi on farm.
Secara umum permasalahan yang dihadapi industri gula di sisi on farm
adalah rendahnya tingkat produktivitas gula yang saat ini mencapai kisaran 6
ton/ha, di samping masalah ketersediaan lahan di Jawa yang tergeser oleh
komoditi lain dan alih fungsi hutan (Kemenperin, 2010). Pentingnya produktivitas
peningkatan nilai perolehan tebu tidak hanya memperkokoh daya saing
perusahaan, tetapi juga akan meningkatkan semangat petani tebu. Berdasarkan
data perindustrian dan pengamatan yang dilakukan tahun 2000, nilai Produk
Derivat Tebu (PDT) yang dikembangkan industri gula hanya sekitar 3,4 persen
saja dari total nilai PDT di Indonesia (Deptan, 2005). Walaupun saat ini sudah ada
perkembangan di industri gula namun penambahan yang terjadi belum signifikan.
Pengembangan PDT yang sinergik telah terbukti mampu memberikan dukungan
finansial yang cukup berarti. Profit yang diperoleh dari PDT bisa mencapai 65
persen dari total profit perusahaan (Rao, 1997). Pada pengelolaan limbah pada
industri gula 4000 TTH (Ton Tebu per Hari) dapat meningkatkan perolehan
pendapatan melalui proses pemanfaatan dan efisiensi bahan proses, hingga
mendapatkan perolehan 2-3 kali lipat dari produk gulanya sendiri (Prihastuti et al,
2006). Penelitian Toharisman dan Kurniawan (2012) menyatakan bahwa nilai
produk dari koproduk tebu meningkat lebih dari 10 kali lipat dibanding bahan
yang tidak diolah.
Dukungan terhadap pengembangan produk derivasi tebu juga tertuang
dalam Roadmap industri gula yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia no:
11/M-IND/PER/1/2010, mengenai Peta Panduan (Road Map) Pengembangan
Klaster Industri Gula. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia no:
11/M-IND/PER/1/2010 merupakan penyempurnaan Rencana Aksi Revitalisasi
Industri Gula dalam Peraturan Menteri Perindustrian nomor 116/M-
IND/PER/10/2009. Peta panduan dalam Pengembangan Klaster Industri Gula
terbagi dalam program dan rencana aksi, yaitu 1. Rencana Aksi Jangka Pendek
(2010-2014), yang meliputi program dan rencana aksi revitalisasi industri gula
(on farm, off farm, peningkatan peran industri permesinan dalam negeri
untukmendukung revitalisasi industri gula, penelitian dan pengembangan,
pendukung), program, kriteria dan ukuran keberhasilan revitalisasi industri gula,
10

penelitian dan pengembangan, pendukung; 2. Rencana Aksi Jangka Menengah


(2015-2019); 3. Rencana Aksi jangka Panjang (2020-2024) (Kemenperin, 2010).
Sejak awal berdiri, industri gula di Indonesia tidak dirancang sebagai
industri gula yang terpadu dengan industri lainnya. Hal ini karena sebagian besar
pabrik gula merupakan peninggalan jaman Hindia Belanda yang telah berumur
ratusan tahun terutama milik BUMN. Kondisi ini berbeda dengan Brazil yang
memiliki industri gula yang terintegrasi dengan produk turunan tebu seperti
pabrik bioethanol dan penghasil listrik atau disebut dengan co-generation
(Gunawan, 2013). Mayoritas PG hanya menyetor bahan baku ke pabrik-pabrik
pengolahan selanjutnya, sehingga PG memperoleh nilai tambah yang relatif kecil
dari pengolahan produk turunan tebu (Toharisman dan Kurniawan, 2012).
Peluang untuk meningkatkan produksi pada Produk Derivasi Tebu (PDT)
sangat besar, sebagaimana penelitian Martini (2008) menyatakan bahwa hasil
PDT mempunyai peluang pasar yang masih terbuka, baik pasar domestik maupun
Internasional. Industri berbasis tebu memiliki potensi besar untuk dikembangkan
karena produk-produk yang dihasilkan dibutuhkan dipasaran. Kartiko (1998)
juga menyatakan bahwa agroindustri tebu mendorong tumbuhnya industri-
industri baru yang bergerak disektor produksi berbahan baku tebu seperti industri
gula, industri kertas, industri bahan makanan dan farmasi. Keterkaitan kebelakang
agroindustri tebu terhadap perkembangan wilayah ditunjukkan penggunaan
input-input produksi berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Brazil
sebagai produsen gula terbesar dunia pada tahun 2008, mampu menghasilkan
sekitar 32,96 juta ton gula dan naik menjadi 572 juta ton gula, 7 milyar gallon
ethanol, dan 16.000GWh listrik. Brazil juga menggunakan ethanol sebanyak 18-
25% sebagai campuran bahan bakar kendaraan (Phillips, 2011; Sergio et al, 2010;
dan Sawit et al, 2004). Begitu pula di India, setelah melalui beberapa tahap
pengembangan kapasitas giling pabrik menjadi 6000 TCD (Ton Cane per Day),
co-generation 30 MW (Mega Watt) dan pabrik ethanolnya menjadi 120 KLPD
(Kilo Liter per Day) (Wibowo, 2012). PG di Thailand juga menghasilkan ethanol
2.925 juta liter per hari dan listrik dari uap pengolahan 925 MW (Mega Watt)
pada tahun 2011 (Feryanto, 2012).
Indonesia sebagai negara yang menduduki peringkat 10 besar dunia
dalam hal produksi gula, tidak terlepas dari kontribusi daerah-daerah
penyumbang gula di Indonesia. Salah satunya adalah Provinsi Jawa Timur yang
dikenal sebagai sentra produksi tebu di Indonesia menguasai produksi tebu
sebesar 49,22% dari produksi nasional (BPS, 2012).
Gambar 2 menunjukkan bahwa produksi tebu terbesar berasal dari
Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2011 produksi tebu yang berasal dari Provinsi
Jawa Timur sebesar 1,05 juta ton yang berarti sekitar 49,22 persen dari total
produksi tebu Indonesia. Sementara provinsi lainnya yang juga penghasil tebu
yang cukup besar yakni Lampung sebesar 631.53 ribu ton (29,70%), Jawa Tengah
sebesar 182.29 ribu ton (8,57%) dan Jawa Barat 90.40 ribu ton (4,25%).
11

4% 8%
9%
Jawa Timur
49% Lampung
Jawa Tengah
30% Jawa Barat
Propinsi Lain

Gambar 2 Provinsi Sentra Produksi Tebu 2009-2011


Sumber: BPS (2012), data diolah

Perkembangan produksi gula di Jawa Timur dan Nasional dari tahun 2007
sampai tahun 2013 (Tabel 4) mengalami penurunan sebesar 2,05 persen per tahun,
pada tahun 2010 penurunan ini diakibatkan karena kondisi iklim yang tidak
mendukung. Sedangkan di Jawa Timur pada tahun 2007-2013 terjadi peningkatan
produksi sebesar 2,80 persen. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh
areal dan produktivitas yang meningkat. Dukungan produksi gula Jatim terhadap
produksi Nasional mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 15,41 persen
pertahun. Peningkatan produksi gula yang cukup mencolok pada tahun 2012 di
tingkat nasional sebesar 2,591 juta ton dan tahun yang sama (2012) peningkatan
terjadi di Jawa Timur sebesar 1,254 juta ton. Kontribusi produksi gula di Jawa
Timur tahun 2013 terhadap produksi gula nasional adalah sebesar 51,32 persen.
Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia setelah provinsi
Lampung dan provinsi Jawa Tengah (Dinas Perkebunan (Disbun) Jawa Timur,
2012a).

Tabel 4 Perkembangan produksi gula di Jawa Timur dan Nasional


Tahun 2007-2013
Prod Pertumbuhan (%)
Prod Jatim Kontribusi
Tahun Nasional
(ton) (%) Nas
(ton) Jatim
2007 1.048.735 2.448.143 42,84 - -
2008 1.065.523 2.703.976 39,41 1,60 10,45
2009 1.020.481 2.624.068 38,89 -4,23 -2,96
2010 1.014.272 2.388.636 42,46 -0,61 -8,97
2011 1.051.642 2.228.259 47,20 3,68 -6,71
2012 1.254.860 2.591.687 51,58 16,2 -2,05
2013 1.241.958 2.551.024 51,32 -1,04 -1,59
Rata-Rata 1.040.130 2.478.616 15,41 2,80 -1,57
Sumber: Tahun 2007- tahun 2011 Dinas Perkebunan Jatim, 2012 (Data
diolah);Tahun 2012-tahun 2013 DGI, 2014 (data diolah)

Data pada Tabel 5 menjelaskan bahwa perkembangan luas areal tebu pada
tahun 2007-2013 berfluktuasi baik di tingkat nasional maupun di Jawa Timur.
Luas areal di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen per tahun,
sedangkan di tingkat nasional juga mengalami penurunan dengan nilai lebih kecil,
12

yaitu sebesar -0,06 persen pertahun. Pertumbuhan luas areal tertinggi pada tahun
2013 yaitu sebesar 215.847 Ha. Kontribusi luasan lahan tebu Jatim terhadap
nasional dari tahun 2009-2013 sebesar 54,73 persen. Hal ini terjadi karena adanya
pengembangan luas areal tanaman perkebunan di Madura, Lamongan, Bojonegoro
dan Tuban. Menolak impor raw sugar dan menolak menutup sejumlah PG yang
mengalami kerugian (Disbun Jatim, 2014). Peningkatan luas areal perkebunan
tebu akan berpengaruh kepada penyerapan tenaga kerja di subsektor perkebunan
dan produksi gula. Sejalan penelitian Tchereni et al (2012) menyatakan bahwa
ukuran lahan merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi.
Jatim sebagai penghasil gula terbesar di Indonesia dan ditunjang dengan
luas areal yang selalu meningkat ( Tabel 4 dan Tabel 5), menyebabkan Jawa
Timur mengalami kondisi surplus gula (Disbun Jatim, 2011). Kelebihan gula
tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan provinsi lain di Indonesia. Dalam
rangka mendukung program swasembada gula nasional, pemerintah pusat pada
tahun 2011 memberikan target bagi Jatim untuk meningkatkan produksi gula
menjadi 1,65 juta ton.

Tabel 5 Perkembangan Luas Areal Tebu Tahun 2007-2013


Tahun Areal Jatim Areal Kontribusi Pertumbuhan Pertumbuhan
Giling (Ha) Nasional (ha) (%) Jatim (%) Nasional (%)
2007 174.463 - - - -
2008 206.263 - - 18,23 -
2009 186.026 422.867 43,99 -9,81 -
2010 193.396 436.570 44,30 3,96 3,24
2011 194.910 434.962 44,81 0,78 -0,37
2012 200.928 451.191 55,47 3,09 3,73
2013 215.847 469.228 54,00 6,91 -3,84
Rata-Rata 195.976 442.963 54,73 5,00 -0,06
Sumber: Tahun 2007- 2011 sumber dari Dinas Perkebunan Jatim 2012b (data
diolah); Tahun 2012-2013 sumber dari DGI 2014

Pentingnya peningkatan produktivitas PDT sebagaimana penelitian


Sundari (2000) menyatakan bahwa perhitungan secara agregat sektor industri
pengolahan selain gula adalah sektor yang paling dominan terhadap pembentukan
output domestik, yaitu sebesar 34,8 persen disusul sektor perdagangan sebesar
13,2 persen dan sektor bangunan berada pada posisi ketiga yaitu sebesar 11,8
persen, sedangkan sektor tebu hanya menyumbang 1,3 persen dari keseluruhan
output. Begitu juga dilihat dari pembentukan nilai tambah bruto, ternyata sektor
industri pengolahan selain gula memberikan kontribusi yang paling besar, disusul
sektor perdagangan dan sektor jasa. Ditegaskan pula oleh Murdiyatmo (2006)
bahwa penyerapan tenaga kerja satu pabrik ethanol berkapasitas 50 juta liter per
tahun yang membutuhkan bahan baku yang berasal dari 10.000 hektar lahan
adalah 20.000 orang tenaga kerja.
Kementerian Perindustrian (2010) menyatakan bahwa pembangunan
industri bioetanol bisa mendukung pengembangan industri berbahan baku produk
turunan dan industri berwawasan lingkungan (eco-friendly industry) yang mampu
mengurangi dampak perubahan iklim. Sejalan dengan penelitian Murdiyatmo
(2006) bahwa pemakaian ethanol dalam campuran bahan bakar karena ramah
13

lingkungan (emisi karbon monoksida kurang dari 19%-25%), nilai oktan yang
lebih tinggi, dan terbarukan (renewable). Cahyati (2012)menjelaskan mengenai
rekayasa model penilaian kinerja PG berdasar eco-maintenance,mampu
menghemat konsumsi energi per masa giling sebesar Rp.440.361.576,- sedangkan
total reduksi polutan gas CO2 yang dapat direduksi adalah sebesar 1.122.213 Kg.
Senada dengan pernyataan Subiyono (2013) bahwa diversifikasi produk bukan
hanya karena keuntungan yang menjanjikan, tetapi pengolahan produk turunan
tebu bisa menghasilkan energi dan barang yang ramah lingkungan. Penelitian
Ariesa dan Tinaprilla (2012) menyatakan bahwa penggunaan mesin tua
menyebabkan banyaknya gula yang hilang dalam proses produksi. Hal ini berarti
jam henti giling tinggi dan polusi yang ditimbulkan tinggi. Penelitian
Rahmatulloh et al (2007) menjelaskan bahwa limbah vinase hasil pengolahan
etanol dapat dijadikan pupuk cair sehingga limbah tidak mencemari lingkungan.
Pada masa yang akan datang, penggunaan ethanol sebagai campuran
bahan bakar minyak bisa menghemat penggunaan bahan bakar minyak (BBM)
dan subsidi di Indonesia yang terus mengalami kenaikan karena harga minyak
dunia juga mengalami kenaikan. Tahun 2011, harga minyak mentah Indonesia
per barel US$ 90 atau Rp792.000,- (berdasarkan kurs 1 US$ = Rp 8.800). Dalam
bulan Maret 2012 harga minyak di dunia terus meningkat naik. Awal Maret 2012
harga minyak mentah Indonesia sudah mencapai per barel US$ 112 atau Rp
1.008.000 (berdasarkankurs 1 US$ = Rp 9.000), atau Rp 6.340 per liter. Harga
minyak mentah tersebut belum diolah menjadi bensin premium. Sehingga terjadi
peningkatan subsidi dari Rp.168,55 T menjadi Rp.230,43 T (Kementrian Energi
Sumber Daya dan Mineral, 2012).
Fakta yang ada, sebagian besar (53%) pabrik gula di Jawa didominasi
oleh pabrik dengan kapasitas giling kecil ( lebih besar dari 3.000 TCD), 44%
berkapasitas giling 3.000 sampai 6.000 TCD dan hanya 3.0 persen yang
berkapasitas giling diatas 6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula
yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang
mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi
yang rendah. Biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru (Sawit et al,
2004; Rohman et al, 2005; Kudhori dalam Thoha, 2010). Parameter inefisiensi
secara luas sebagai berikut: 1. Produktivitas lahan, 2. Kandungan gula dalam
tanaman tebu, 3. Rendemen, 4. Konsumsi energi, 5. Nilai tambah produk, 6.
Produktivitas tenaga kerja, 7. Biaya maintenance, 8. Jam berhenti, dan 9.
Konsumsi air (Subiyono, 2013). Didukung oleh penelitian Mardianto (2005)
menyatakan bahwa penyebab efisiensi rendah yakni keterbatasan sumber daya PG
seperti teknologi proses sudah usang, mesin produksi kurang perawatan, dan
kapasitas giling rendah.
14

Tabel 6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Industri Gula


Indonesia
Indikator Dunia India Rata- BUMN
Rata
Produktivitas Lahan (Ton/Ha) 80-90 70-85 65-70 62
(Mak 105)
Kandungan Gula (% Tebu) 14-16 12.5-13.0 10.0-10.2 9.80-10.0

Total kehilangan (% Tebu) 2.0 <2.0 - -

Rendemen (%) 12-14 10.5-11.0 7.0-7.5 7.2

Konsumsi Uap (% tebu) <40 42-45 52-60 55-65

Daya Konsumsi (KWH/TCH) 25 30 - -

Jam Berhenti Pabrik (% usia) <2.5 <2.5 - -

Keseluruhan tingkat Efisiensi 85-87.5 85-87 70-75 72


Pabrik
Sumber: Baghat, 2011

Tabel 6 menjelaskan tingkat efisiensi di India, Indonesia dan beberapa


negara dunia seperti Australia, Brazil, India, Thailand, Colombia dan Afrika
Selatan. Target efisiensi untuk PG di Indonesia, yaitu tingkat produktivitas 75-80
ton/ha, gula yang hilang kurang dari 2%, rendemen 8,5%-9%, konsumsi uap
45%-50%, tingkat efisiensi 80-82%. Tabel6 menjelaskan bahwa tingkat efisiensi
industri gula di Indonesia lebih rendah dibandingkan denganindustri gula dunia.
Di India wilayah Maharashtra dan Karnataka memiliki kandungan gula yang
tinggi antara 15-15,5% dengan tingkat rendemen 13,0-13,5%. Tingkat efisiensi
yang rendah ini menyebabkan biaya tinggi dan daya saing rendah.
Walaupun kondisi PG yang berada di bawah naungan BUMN kurang
efisien dan kapasitas pabrik kecil, tidak bisa serta-merta menutup PG-PG yang
ada, nilai investasi untuk membangun industri gula sangat besar yang tidak
dapat dialihkan ke bidang lain atau disebut investasi terperangkap. Nilai investasi
untuk membangun satu PG berkisar antara US$130 juta sampai 170 juta
(Susmiadi, 1998 dalam Susila dan Sinaga, 2005), maka dengan melakukan
diversifikasi akan menurunkan unit cost produksi gula, dari sisi petani tebu dan
pabrik gula sama-sama akan memperoleh keuntungan.
Dari sisi pendapatan, Brazil sebagai negara produsen gula terbesar di
dunia yang mencatat pendapatan nasional pertahun dari sektor gulatebu hampir
US$ 28 milyar tahun 2011, devisa US$16.2 milyar tahun 2011, investasi langsung
lebih dari 20 M, penyerapan TK di sektor formal 1,18 juta tenaga kerja,
sumbangan terhadap sumber energi 18% dan mengurangi penggunaan emisi CO2
lebih dari 600 milyar ton sejak 1975. Produksi ethanol Brazil menyumbang 20%
produksi dunia dan menyumbang 20% ekspor dunia (Phillips, 2012).
15

3.4
3.2
3
Persen 2.8
2.6
2.4
2.2
2
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun

Kontribusi Perkebunan Thd PDRB (ADHK) Jatim

Gambar 3 Kontribusi Sektor Perkebunan terhadap PDRB Jatim tahun 2000-2010


Sumber: BPS Jatim, 2011

Pada Gambar 3 terlihat bahwa kontribusi sub sektor perkebunan terhadap


PDRB Jatim menunjukkan trend menurun. Kontribusi sub sektor perkebunan juga
menunjukkan jumlah yang relatif kecil sebesar 2%-3,3% per tahun. Sumbangan
sub sektor perkebunan pada tahun 2010 sebesar Rp. 6,66 Milyar dan mengalami
peningkatan sebesar Rp. 7,23 Milyar pada tahun 2010. Jika dilihat jumlah output
sub sektor perkebunan dari tahun 2000-2010 berfluktuasi, namun kontribusinya
jika dibandingkan dengan PDRB Jatim mengalami penurunan 4,15 persen dari
tahun 2000-2010. Diharapkan peningkatan produksi GKP dan PDT mampu
memberikan peningkatan kontribusi terhadap PDRB Jatim.
Pencapaian produksi GKP dan PDT dihadapkan pada berbagai tantangan
dari sisi on farm dan off farm serta melibatkan kepentingan stakeholder mulai dari
pemerintah, PG, dan petani tebu. Untuk itu diperlukan pendekatan sistem dengan
cara membangun model yang mampu merepresentasikan sistem industri
pergulaan nasional sehingga dinamika untuk mewujudkan peningkatan produksi
gula dan PDT dapat disimulasikan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan
yang tepat. Model PDT dibangun dengan pendekatan sistem dinamis karena
mampu menjelaskan sistem pergulaan nasional yang bersifat dinamis dari waktu
ke waktu. Setiap kebijakan didasarkan pada kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Sistem pergulaan nasional ini berkaitan erat dengan PDT. Kesuksesanprogram
swasembada gula melalui RIGN, dapat menjadi salah satu pengungkit untuk
peningkatan gula dan PDT.
Pendekatan sistem dinamis tepat karena mampu menjelaskan
kompleksitas permasalahan yang terjadi pada sistem industri gula khususnya
GKP dan PDT dan menyederhanakannya dalam bentuk model. Dari model
pengembangan agroindustri gula tebu, dapat diketahui dinamika pengembangan
gula tebu dalam kaitannya dengan perekonomian daerah, serta dapat dilakukan
simulasi dampak kebijakan RIGN terhadap pengembangan gula tebu dan
penyusunan skenario kebijakan alternatif untuk mendukung pengembangan gula
tebu.
Berdasarkan pada berbagai permasalahan yang terungkap di atas,
mengenai kondisi PG yang usianya tua, bahan baku yang kurang memadai, dan
kapasitas mesin yang rendah, untuk meningkatan masa depan industri pergulaan
16

dan keterkaitannya dengan perekonomian wilayah, maka permasalahan yang


diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Pada kondisi aktual, bagaimana dampak agroindustri gula tebu terhadap,


produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan
(profit) petani dan perekonomian wilayah?
2. Bagaimana dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN)
terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP, produksi PDT, PAD,
keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan perekonomian
wilayah?
3. Bagaimana skenario dan alternatif kebijakan untuk peningkatan GKP,
produksi PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan
perekonomian wilayah JawaTimur?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di


atas maka dapat dirumuskan tujuan penelitian yaitu:
1. Menganalisis dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi
PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan
perekonomian wilayah.
2. Menganalisis dampak kebijakan RIGN terhadap pengembangan PDT pada
produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan
(profit) petani dan perekonomian wilayah.
3. Merumuskan kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT,
keuntungan (profit), PAD, pendapatan (profit) petani dan perekonomian
wilayah Jawa Timur.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:


1. Informasi dasar bagi para penentu kebijakan perekonomian wilayah dalam
merumuskan program yang terkait tebu khususnya PDT dan GKP, sehingga
dapat memacu pengembangan produk turunan tebu dan pengembangan industri
gula.
2. Sumber informasi bagi pelaksanaan penelitian tebu dan industri gula pada masa
yang akan datang terkait dengan model pengembangan PDT.
3. Kontribusi pemikiran terhadap adanya alternatif kebijakan untuk merumuskan strategi
pengambangan industri tebu nasional ke depan.

1.5 Kebaruan Penelitian (Novelty)

Kebaharuan Penelitian (novelty) yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah:


1. Mengembangkan model agroindustri gula tebu dengan menambahkan model
PDT (Produk Derivasi Tebu). Tidak hanya membuat model pengembangan
agroindustri dari GKP saja.
2. Mengembangkan 5 jenis PDT ke dalam model, yakni bioethanol dari ampas,
bioethanol dari tetes, pupuk cair, listrik dari ampas dan kampas rem dari
17

ampas. Masing-masing melalui tahap konversi yang berbeda-beda dari produk


samping (ampas, tetes dan blotong) menjadi bioethanol, pupuk cair, listrik dan
kampas rem.
3. Penelitian yang memasukkan unsur kelembagaan yakni UU no. 643 tahun
2002 mengenai dana penyangga (dana talanagan) ke dalam model.
4. Memasukkan pelaku inti dalam industri gula nasional (IGN) yaitu petani tebu,
PG dan pemerintah daerah kedalam model dan mengetahui dampak
pengembangan agroindustri gula tebu tidak saja hanya pada petani tebu saja,
tetapi jug pada PG dan pemerintah daerah.
18

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Industri Pergulaan di Indonesia

Kebijakan industri pergulaan di Indonesia melalui beberapa tahapan atau


fase. Gula yang berasal dari tebu merupakan salah satu bahan utama pemanis di
seluruh dunia. Tebu atau yang dikenal dengan nama latin Saccharum Officinarum
merupakan tanaman perkebunan yang didalam batangnya terkandung 10-20%
cairan gula. Tebu jika diolah lebih lanjut akan menghasilkan puluhan produk
samping dan bahan baku untuk sektor industri. Terdapat beberapa periode
kebijakan dalam industri pergulaan di Indonesia.

2.1.1 Periode kolonial Belanda

Periode kolonial Belanda dimulai sejak didirikan VOC (Verenigde Ost


Indisch Compagnie), perusahaan dagang Belanda (Rohman et al, 2005). Tujuan
pendudukan penjajahan Belanda bukan mencari pemukiman baru, namun
bagaimana mengeksploitasi kekayaan negara jajahan demi kemakmuran
pemerintah Belanda.

A. Periode VOC (1602-1799)

Kondisi pergulaan pada Periode VOC memiliki dampak buruk bagi


perkembangan industri gula nasional. Harga gula ditekan serendah mungkin dan
kebijakan monopoli-monopsoni VOC telah mengakibatkan industri gula
Indonesia tidak berkembang. Perdagangan lokal dibatasi sehingga konsumsi gula
lokal rendah dan ekspor dapat ditekan serendah mungkin. Tidak terdapat
kebijakan untuk produksi sehingga produsen gula lokal tidak memiliki semangat
untuk memproduksi gula. Walaupun permintaan untuk impor gula dari negara luar
tinggi, tapi industri gula Indonesia tidak berkembang. Hal ini disebabkan VOC
hanya memikirkan bagaiman mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa
memperhatikan nasib rakyat. Kondisi tersebut akhirnya mengakibatkan
hancurnya perekonomian Indonesia dan bangkrutnya VOC.

B. Priode Tanam Paksa (1830-1870)

Periode tanam paksa (culture steelsel) mencakup: 1) Penyediaan lahan


yang ada diperdesaan sebesar seperlima lahan yang ada untuk tanaman tebu; 2)
Pemerintah Belanda berhak memilih lahan tebu yang akan ditanami; 3)
Penanaman, pemeliharaan, hingga panen dilaksanakan oleh pemilik lahan, dan
sebagai imbalan dari gula yang dihasilkan, 4) Petani wajib mengangkut dan
mengolah tebu di PG yang ditunjuk; 5) Penduduk yang tidak memiliki lahan wajib
mencurahkan tenaganya 66 hari per tahun sebagai bentuk pelayanan tanpa
msndapat imbalan; 6) Industri gula dimonopsoni oleh Belanda untuk memperoleh
laba sebesar-besarnya; 7) Gula yang dihasilkan harus diserahkan kepada
pemerintah Belanda (Sinuraya et al, 2009 dan Rohman et al, 2005).
19

Hasil dari periode tanam paksa bahwa Belanda dapat menutup lunas
hutang-hutangnya dan melakukan pembangunan infrastruktur. Sistem tanam
paksa hanya menguntungkan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda
hanya mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi negara Belanda dan
mengeksploitasi sumber daya di Indonesia.

C. Periode Liberalisasi Pasar (1870-1900)

Kebijakan liberalisasi pasar belum berhasil meningkatkan kesejahteraan


masyarakat secara umum maupun petani tebu. Kebijakan utama adalah Undang-
undang agraria (UUA 1870) memberikan jaminan dan kepastian penguasaan
lahan bagi perkembangan usaha perkebunan maupun industri gula swasta dengan
memberikan peluang untuk swasta agar bisa turut berperan. Kebijakan lainnya
yakni undang-undang gula tahun 1872 (UUG-1870) mengatur mengenai tahap
penghapusan sistem tanam paksa. Tahun 1872 terdapat kebijakan tarif yakni,
adanya undang-undang tarif (UUT-1872) tahun 1872 yang berlaku pada tahun
1874. Ketiga undang-undang tersebut merupakan awal masuknya swasta pada
industri pergulaan di Indonesia.

D. Periode Sistem Sindikat (1900-1930)

Periode dalam sistem sindikat menerapkan politik etis melalui jalur


migrasi, pendidikan dan irigasi. Melalui jalur migrasi pemerintah mencabut
pembatasan ruang gerak dan lokasi pemukiman orang-orang Cina di Jawa,
sehingga orang-orang Cina dapat mengembangkan perdagangan domestik.
Melalui pendidikan orang-orang Cina dan pribumi mendapatkan fasilitas
pendidikan yang lebih baik. Pemerintah kolonial juga membangun sarana irigasi
yang bermanfat bagi perkebunan tebu. Periode sistem sindikat yang menerapkan
politik etis dan liberalisasi perdagangan memacu industri gula, menguntungkan
imigran cina, menimbulkan persaingan pada industri gula di mana pengusaha
Belanda bersaing dengan pengusaha Cina.

E. Periode Kartel (1931-1942)

Akibat pasar gula dunia mengalami kelebihan produksi gula karena


ditemukan teknologi di Amerika dan Eropa, maka dibentuklah kesepakatan
“Charbourne Agreement”. Pulau jawa diwajibkan menurunkan produksi gula
yang dihasilkan. Guna mendukung hal itu, dibentuklah NIVAS (Nederlandsh
Indie Veerenigde Voor de Aafzet van Suiker). Kebijakan yang diambil oleh
NIVAS, yaitu: mewajibkan seluruh PG menjual gula yang dihasilkan kepada
NIVAS dan berfungsi sebagai penelitian dan pengembangan tebu. Ketika krisis
ekonomi dunia pulih, setelah tahun 1930 maka perekonomian Indonesia juga
pulih yang ditandai meningkatnya areal tebu dan produksi gula.
20

2.1.2 Periode Kemerdekaan

A. Periode Nasionalisasi Industri Gula (1945-1959)

Periode Nasionalisasi Industri Gula ditandai pada tahun 1946 pemerintah


membentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula negara (BPPGN) untuk
mengelola perusahaan gula milik negara (eks milik pemerintah kolonial Belanda),
membentuk Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI), memberlakukan
pajak pendapatan, mengeluarka Undang-Undang Darurat no. 6 tahun 1951
menetapkan sewa lahan dan nilai sewa lahan, membentuk yayasan tebu rakyat dan
mengeluarka PP no.10 tahun 1959 di mana menutup semua usaha dagang asing
khususnya Cina di luar ibu kota provinsi.

B. Periode Industri Terpimpin (1959-1965)

Periode pada industri terpimpin ditandai dengan keluarnya perpu no. 38


tahun 1960 yeng menetapkan lahan minimum untuk perkebunan tebu dengan
sistem sewa mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1963 diterapkan sistem
bagi hasil. Sistem bagi hasil pun mengalami kegagalan karena ketidak mampuan
pabrik dalam membayar sewa yang menjadi kewajiban petani.Diterbitkan UU
no.19 tahun 1960 dan PP no.141 tahun 1961 yang menyebabkan disintegrasi
organisasi industri gula secara vertikal. Kegiatan produksi dan pemasaran terpisah
sehingga mengakibatkan inefisiensi (Panglaykim, 1968 dalam Rohman et al,
2005). Tahun 1958-1969 merupakan masa degradasi industri gula dimana
konsumsi meningkat terus, sedangkan produksi gula mengalami stagnasi.

2.1.3 Periode Liberalisasi Perdagangan (1969-1971)

Periode Liberalisasi Perdagangan ditandai dengan SK Presiden tanggal 13


januari 1969 yang mengatur pembagian departemen terkait bidang pergulaan
yakni departemen pertanian dalam bidang produksi gula dan departemen
perdagangan dalam bidang perdagangan gula. Departemen perdagangan
menunjuk empat sindikat (swasta) yang membeli gula secara langsung dan tunai.
Sistem sindikat yang dibentuk tidak berjalan lancar dan dominasi beberapa
perusahaan swasta mengakibatkan gejolak harga.

2.1.4 Periode Industri Terkelola (1971-1988)

Periode industri terkelola ditandai dengan pembubaran sindikat gula dan


pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden no. 43 tahun 1971 menetapkan
BULOG memegang tata niaga gula di Indonesia. Peran tunggal BULOG sebagai
pembeli tunggal atas produksi gula di dalam negeri juga diperkuat dengan SK
Menteri perdagangan dan Koperasi no. 122/KP/III/1981. Untuk mengatur
kelembagaan gula, dikeluarkan Inpres no.9 tahun 1975 mengenai Tebu Rakyat
Intensifikasi (TRI) yang mempunyai tujuan untuk memberdayakan petani dan
meningkatkan produksi gula nasional. Program TRI dalam implementasinya
mengalami kegagalan, di mana produksi gula setelah program TRI lebih rendah
dibanding sebelum program TRI. Kegagalan program TRI disebabkan oleh
21

pengelolaan usaha tani yang dilakukan terpisah dari PG, usaha tani tebu yang
berpencar dan pengelolaan yang tidak efisien (Masyhuri, 2005). Waktu tanam dan
penyerahan lahan ternyata tidak berpengaruh pada penerimaan petani, singga
program TRI mengalami kegagalan. Pemerintah melepaskan pengendalian tata
niaga gula yang diatur melalui kekuatan pasar pada tahun 1998.

2.2 Pembangunan Sub Sektor Perkebunan Tebu

Strategi pembangunan sub sektor perkebunan tebu diimplementasikan melalui


peraturan pemerintah di mana peraturan-peraturan tersebut mengalami perubahan
sesuai dengan kondisi dan penentu kebijakan. Perubahan peraturan tersebut
diharapkan mampu mencapai target swasembada gula yang ditetapkan oleh
pemerintah, tetapi peraturan yang ada tersebut seringkali antara satu dan lainnya
mengalami kontradiksi. Kebijakan yang saling berlawanan seperti UU No.
12/1992 dan Inpres no. 5/1998, mengenai budi daya tanaman dan program
pengembangan tebu rakyat yang memberi kebebasan terhadap petani untuk
menanam komoditi yang paling menguntungkan (Tabel 7). Padahal produksi tebu
dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Harga
gula impor yang lebih rendah dibanding gula lokal dan dihapuskannya dana
talangan yang tertuang dalam Kepmenperindag RI no. 643/MPP/Kep/9/2002,
tanggal 23 september 2002. Berikut kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
regulasi pergulaan di Indonesia.

Tabel 7 Peraturan Pemerintah Terkait Gula


Nomor Perihal Tujuan
SK/Keppres/Kepmen
Keppres No.43/1971, 14 Juli Pengadaan, penyaluran, Menjaga kestabilan pasokan
1971 dan pemasaran gula gula sebagai bahan pokok

Surat Mensekneg No. Penguasaan, pengawasan, Penjelasan mengenai


B.136/ABN SEKNEG/3/74, dan penyaluran gula pasir Keppres no. 43/1971 yang
27 Maret 1974 non PNP meliputi gula PNP

Inpres No. 9/1975. Tanggal Intensifikasi Tebu Rakyat Peningkatan Produksi Gula
22 April1975 (TRI) serta peningkatan
pendapatan petani tebu

Kepmen Perdagangan dan Tata niaga gula pasir Menjamin kelancaran,


Koperasi No. 122/Kp/III/B1, dalam negeri pengadaan dan penyaluran
12 maret 1981 gula pasir serta peningkatan
pendapatan petani

Kepmenkeu no. Penetapan harga gula pasir Menjamin stabilitas harga,


342/KMK.011/1987 produksi dalam negeri dan devisa, serta kesesuaian
impor pendapatan petani dan
pabrik
22

Tabel 7 (lanjutan)
UU No. 12/1992 Budidaya Tanaman Memberikan kebebasan
kepada petani untuk
menanam komoditas
sesuai dengan prospek
pasar

Inpres No. 5/1997, 29 Program Pengembangan Pemberian peranan kepada


desember 1997 Tebu Rakyat pelaku bisnis dalam rangka
perdagangan bebas.

Inpres no. 5/1998, 21 Januari Penghentian Pelaksanaan Kebebasan kepada petani


1998 Inpres No. 5/1997 untuk memilih komoditas
sesuai dengan inpres No.
12/1992
Kepmen perindag no. Komoditas yang diatur Mendorong efisiensi dan
25/MPP/Kep/1/1998 tataniaga impornya kelancaran arus barang

Kepmenhutbun No. Penetapan harga provenue Menghindari kerugian


282/Kpts-IX/1999, 7 Mei gula pasir produksi petani petani dan mendorong
1999 peningkatan produksi

Kepmenperindag No. Tata niaga impor gula Pengurangan beban


363/MPP/Kep/B/1999, 5 anggaran pemerintah
Agustus 1999 melalui impor gula oleh
produsen

Kepmenperindag No. 230/ Mencabut Pembebanan tariff impor


MPP/Kep/6/1999, 5 juni Kepmenperindag no. gula untuk melindungi
1999 363/MPP/Kep/8/1999 industri dalam negeri

Kepmenkeu No. Perubahan Bea masuk Peningkatan efektivitas bea


324/KMK.01/2002 masuk

Kepmenperindag Tata Niaga Impor Gula Pembatasan pelaku impor


no.643/MPP/Kep/2002. 29 gula hanya menjadi importir
September 2002 gula produsen dan importir
gula terdaftar untuk
peningkatan pendapatan
petani/produsen

SK 522/MPP/Kep/9/2004 Tentang ketentuan impor Revisi dan mempertegas


gula esensi Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002, 23
September 2002

SK Menprindag Impor GKP hanya boleh


No.527/2004 Pasal 8 dan 9, dilakukan oleh IT
(Importir Terdaftar) gula
23

Tabel 7 (lanjutan)
Kepmen Perdagangan RI Perubahan atas
no.02/M/Kep/XII/2004. Tgl keputusan menteri
7 Desember 2004 perindustrian dan
perdagangan
no.527/MPP/Kep/9/2004
tentang impor gula
tanggal 21 April 2005

Peraturan Menteri Tentang perubahan atas


Perdagangan RI no.07/M- lampiran keputusan
DAG/PER/4/2005 Menperindag
no.558/MPP/Kep/12/1998
tentang ketentuan umum
dibidang ekspor yaitu
menperindag
no.385/MPP/Kep/6/2004

Kepmendag RI no.08/M- Perubahan atas keputusan Mengatur tentang harga


DAG/PER/4/2005 menteri perdagangan no. patokan gula dan jumlah
02/M/Kep/XII/2004 pasokan gula impor.
tentang perubahan atas
keputusan Menperindag
no. 527/MPP/Kep/9/2004
tentang impor gula

Peraturan menteri Perubahan keempat atas


Perdagangan RI no.18/M- Keputusan Menteri
Dag/PER/4/2007 Perindustrian dan
Perdagangan no.
527/MPP/Kep/9/2004
tentang ketentuan impor
gula

Peraturan menkeu Tentang keringanan tarif


no.86/PMK.010/2005 bea masuk atas impor gula

Kepmenkeu no. Pembebasan bea masuk


240/KMK.010/2006 atas impor raw sugar oleh
industri gula rafinasi

Permentan no. 57/ Permen/ Pedoman pelaksanaan


KU. 430/7/2007 kredit ketahanan pangan
dan energi. Kredit usaha
tani tebu Rp.12.500.000,-

Permendag RI No. 83/M- Tentang Perlakuan Standar


IND/PER/11/2008 Nasional Indonesia Gula
Kristal Rafinasi secara
wajib
24

Tabel 7 (lanjutan)
Permen No. 20/M- Penetapan Harga
DAG/PER/5/2010 Patokan Petani (HPP)
Gula Kristal Putih
Rp.6.350/Kg

Permen No. 28 Tahun Penetapan Harga


2012 Patokan petani Gula
Kristal Putih (HPP)
ditetapkan sebesar
Rp.8.100/ Kg
Sumber: Sudana et al, (2000); Susila (2002) dalam Mardianto et al,(2005);
Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2008)

Integrasi antara usaha perkebunan tebu dan pabrik gula pengolah tebu
merupakan faktor kunci efisiensi industri gula. Pada zaman kolonial, integrasi
sistem agribisnis dapat dijamin melalui kuasi organisasi yang melibatkan
kekuatan memaksa dari pemerintah. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial
untuk menanam tebu, sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan jadwal
panen yang disiapkan oleh pabrik. Menanam tebu merupakan prioritas wajib bagi
petani. Prioritas peruntukan lahan di Jawa adalah untuk perkebunan tebu, bukan
untuk padi. Dengan begitu, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku
yang cukup sepanjang musim giling. Hal ini yang membuat industri gula di Jawa
sangat efisien. Pada tahun 1930-1940, rendemen gula dapat mencapai 12 persen
lebih, sementara saat ini hanya sekitar 6-7 persen (Mardianto et al, 2005).
Dari sisi petani, adanya inpres no. 5/1998, 21 Januari 1998 dan UU
no.12/1992 yang memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas
sesuai dengan prospek pasar, menyebabkan petani tebu tidak tertarik untuk
menanam tebu. Rohman et al (2005) menyatakan juga bahwa biaya yang
diperlukan untuk menanam tebu termasuk tinggi (Rp14-16 juta), jangka waktu
panen yang lama (12-13 bulan), kebijakan pemerintah akan impor gula yang
dianggap tidak mendukung petani dan harga gula impor cenderung lebih murah
dari harga gula dalam negerimerupakan penyebab produksi gula dan pasokan tebu
rendah.

2.3 Produk Derivasi Tebu (PDT)

Pemerintah dengan berbagai kebijakan promotif dan protektifnya telah


menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pengembangan industri gula
berbasis tebu. Seperti menetapkan harga patokan petani, rencana pembangunan
PG di Glenmor Kabupaten Banyuwangi-Jawa timur, perluasan areal tebu di Pulau
Madura, dan membangun pabrik bioethanol pertama milik BUMN yang berada di
GempolKrep Kabupaten Mojokerto, Jawa timur. Di gula, beberapa produk
derivate tebu (PDT) sepertietanol, ragiroti, inactive yeast, wafer pucuk tebu,
papan partikel, papan serat, pulp, kertas, ca-sitrat dan listrik mempunyai peluang
pasar yang cukup terbuka, baik di pasar domestik maupun internasional. Guna
mewujudkan sasaran pembangunan industri gula berbasis tebu, maka diperlukan
25

investasi baik pada usaha tani, pabrik gula dan produk derivatnya, serta investasi
pemerintah (Deptan, 2005).
Berbagai produk dapat dihasilkan dari kegiatan budidaya tebu dan selama
pengolahan tebu di pabrik gula (PG), mulai dari pucuk (cane top), serasah (trash),
ampas (bagasse), tetes (molasse), blotong (filter cake), abu ketel (boiler ash) dan
gas buang (flue gas). Selama ini sebagian kecil pucuk dan serasah dimanfaatkan
untuk pakan ternak. Ampas dibakar kembali untuk menghasilkan energi untuk
keperluan proses di PG. Beberapa PG yang mengalami kekurangan ampas juga
menggunakan serasah (trash) untuk bahan bakar. Tetes menjadi bahan baku
produk proses fermentasi, seperti alkohol, spiritus, mono sodium glutamat (MSG),
ragi roti dan protein sel tunggal (PST). Blotong dan abu ketel dikembalikan ke
lahan sebagai sumber bahan organik dan pupuk (Toharisman dan Kurniawan,
2012).
Produk pengolahan hasil ikutan tebu semakin bernilai ekonomi tinggidan
bahkan bisa lebih tinggi dari pada produk utamanya (gula) (Toharisman dan
Kurniawan, 2012). Diversifikasi produk turunan ini tidak hanya terkait dengan
diversifikasi risiko dan pendapatan, melainkan juga bisa menjadi sandaran kinerja
perusahaan gula (Toasa, 2009). Ke depan, kinerja keuangan PG akan lebih banyak
ditopang oleh pengembangan pasar produk hilir tebu non gula. Pemanfaatan
produk hilir non gula bisa berkontribusi 60 persen terhadap total pendapatan PG
(Subiyono, 2013).
Selama ini tanaman tebu lebih difokuskan untuk diproses menjadi produk
gula tebu dengan skala besar dibuat pabrik-pabrik gula sebagai tempat produksi
gula tebu. Kemudian banyak manfaat untuk memenuhi kebutuhanbanyak hal
dari mulai pakan ternak. Dengan memanfaatkan tanaman tebu untuk dio lah
selain menjadi gula maka produktivitas perusahaan dalam pengolahan tebu akan
meningkat, secara tidak langsunghal ini akan meningkatkan produktivitas
perusahaansecara umum dan akan meningkatkan keuntunganperusahaan.
Ditegaskan oleh penelitian Malian (2004) untuk meningkatkan daya saing
industri gula nasional, setiap PG perlu melakukan diversifikasi produk gula dan
produk turunannya. Begitu pula penelitian Cahyani (2008), menggunakan metode
SWOT bahwa pemanfaatan hasil samping produk gula sebagai salah satu upaya
daya saing dan strategi pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Penelitian
Siagian (1999) memaparkan bahwa biaya produksi gula nasional belum efisien, di
mana biaya memproduksi gula dan tetes secara bersama-sama lebih murah
daripada biaya memproduksi gula atau tetes saja, dengan demikian untuk
meningkatkan efisiensi biaya produksi gula nasional diperlukan peningkatan skala
usaha dan diversifikasi produk dari pabrik gula yaitu gula dan tetes.
Penelitian Dibyoseputro (2012) menggambarkan bahwa pelaku usaha
agroindustri gula tebu mengharapkan pengembangan produk alternatif sebagai
upaya meningkatkan kinerja agroindustri gula tebu di masa depan dan sebagai
upaya meningkatkan daya saing baik di tingkat domestik maupun internasional.
Sedangkan mengenai pengembangan kinerja agroindustri gula tebu dilaporkan
bahwa kinerja agroindustri gula tebu dapat tercapai secara optimal apabila
pemangku penentu kebijakan memutuskan kebijakan pengembangan produk
alternatif sebagai kebijakan utama.
Kajian Toharisman dan Kurniawan (2012) tebu merupakan sumber
biomassa yang sangat besar yang tersebar ke dalam berbagai komponen tanaman.
26

Pada saat tebu dipanen, sesungguhnya kurang dari 50% komponen tebu yang
dibawa ke PG untuk digiling. Selebihnya merupakan bahan-bahan yang tertinggal
di kebun. Pada saat tebu dicacah, digiling, dan diperah akan tersisa sepah yang
disebut ampas. Ampas mengandung 45-50% air, 45-50% serat, dan 1-3% gula.
Ampas dipakai kembali oleh PG sebagai bahan bakar ketel. Abu ampas yang
tertinggal disebut abu ketel. Nira hasil perahan tebu yang telah dipisahkan dari
ampas dimurnikan lebih lanjut. Pemisahan nira kotor dan nira jernih akan
menghasilkan padatan hasil filtrasi yang disebut blotong. Nira jernih kemudian
dikristalkan menjadi gula pasir, sedangkan sisa nira yang tidak berbentuk Kristal
keluar sebagai tetes. Beberapa hasil ikutan lain (koproduk) dihasilkan dari proses
pabrikasi, seperti gas karbondioksida yang dikeluarkan dari asap cerobong ketel,
serta limbah cair yang selama ini digunakan sebagai sumber irigasi. Menjelaskan
CO2 selama ini jarang dilakukan PG-PG di Indonesia dan terbuang ke atmosfir. Di
negara-negara maju, CO2 diserap dengan menggunakan CO2 scrubber dan
dipakai sebagai dekolorisasi nira atau dry ice. Kajian Tedjowahjono (1989)
menekankan bahwa jumlah limbah industri gula mencapai sekitar 50% dari total
tebu giling.

Tebu

Penggilingan

Bagasse
Nira Kotor
(Ampas)

Pemurnian
Filter Cake
Nira Bersih (Blotong)
Pemasaka

Pemasakan
n

Nira Kental

Kristalisasi

Gula Pasir Molases


(Tetes)

Gambar 5 Alur proses tebu menjadi gula


Sumber: Toharisman dan Kurniawan, 2012

Martini (2008) menjelaskan bahwa batang tanaman tebu merupakan


sumber gula. Namun demikian rendeman (kandungan gula) yang dihasilkan hanya
berkisar 10-15 persen. Sisa pengolahan batang tebu adalah:
27

1. Tetes tebu (molase) yang diperoleh dari tahap pemisahan Kristal gula dan
masih mengandung gula 50-60 persen, asam amino dan mineral. Tetes
tebu adalah bahan baku bumbu masak MSG, gula cair dan arak.
2. Pucuk daun tebu yang diperoleh pada tahap penebangan digunakan untuk
pakan ternak dalam bentuk silase, pellet dan wafer.
3. Ampas tebu yang merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan
tebu. Dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas,
particle board dan media untuk budidaya jamur atau dikomposkan untuk
pupuk.
4. Blotong yang merupakan hasil samping proses penjernihan. Bahan organik
ini dipakai sebagai pupuk tanaman tebu.
Penelitian Almazan et al (1998) menekankan bahwa dari panen tebu dan
pengolahan, didapat 8 produk dan produk sampingan yang merupakan bahan baku
potensial untuk bahan kimia, dan industri ekstraktif biokimia. Komposisi
tanaman tebu pada Gambar 6, di perkebunan yakni komposisi dari 1000 kg
tanaman tebu, tebu mencapai pabrik 824 kg (82%), limbah tertinggal di
perkebunan 94 kg (9%), limbah dipisahkan dalam pembersihan 82 kg (8%) dan
hilang dalam pembersihan 18 kg. Di pabrik, proses penggilingan menghasilkan
limbah cair 430 kg (52%), blotong 33 kg (4%), gula 104 kg (13%), ampas 231 kg
(28%), tetes 26 kg (3%), dan abu 1kg.

Gambar 6 Komposisi produksi tebu dan produk samping saat panen dan
penggilingan
Sumber: Almazan, 1998

Manfaat yang diperoleh dari jenis PDT seperti pengalaman negara Brazil.
Santaella (2007) melakukan penelitian di Brazil menyatakan bahwa rata-rata
komposisi gula tebu terdiri dari 65-75% air, 11-18 % gula, 8-14% serat, dan 12-23
% padatan larut. Jumlah bagasse yang diperoleh dari tiap ton tebu antara 240 kg
sampai 280 kg. Energi lain yang bisa dihasilkan adalah alkohol, dimana dalam
pandangan ekologis, penggunaan alkohol dapat menghasilkan 4.8-5.7 milyar US$
dibandingkan menggunakan bahan bakar fossil.
Lutfi (2007) dan Martini (2008) telah melakukan penelitian untuk
pemilihan produk derivat tebu yang terpilih untuk dikembangkan adalah produk
bioetanol/biofuel selain ramah lingkungan, mempunyai peluang besar untuk
dikembangkan. Didukung kajian Day dan Kim (2010) bahwa dalam 1 ha di
Louisiana dapat menghasilkan 12,938 kg ethanol dari energi tebu, 5,804 kg dari
28

gandum dan 3,609 kg dari bagasse gula tebu. Penggunaan tebu sebagai biofuel
lebih ramah lingkungan dibandingkan tanaman lain. Penelitian Santos (2000)
menyatakan untuk emisi karbon pembuatan bioetanol/biofuel, tebu memiliki
tingkat emisi karbon yang lebih sedikit dibandingkan tanaman lainnya, seperti
Sweet sorghum 1,1024 t karbon/ha, Jagung 135,18 t karbon/ha, Bit gula 1,335 t
karbon/ha, Gandum 1,96 t karbon/ha, Tebu (perhitungan Macedo) 0,377 t
karbon/ha, Tebu 0,422 t karbon/ha.
Sisa pengolahan tebu ini dapat digunakan untuk berbagai macam
keperluan, hal ini dapat dilihat lebih lengkap jenis produk turunan tebu di
Indonesia pada Tabel 8. Beberapa produk telah banyak ditemui di pasaran. Begitu
pula pupuk yang merupakan produk dari blotong.

Tabel 8 Jenis Produk Turunan Tebu di Indonesia


No Kelompok Jenis Produk
1 Pucuk Tebu Wafer pucuk tebu
2 Produk ampas - Jamur
- Kertas
- Papan partikel
- Papan serat
- Kampas rem
3 Produk tetes - Alkohol
- Asam asetat
- Ethyl asetat
- Asam glutamat
- MSG
- L-Lysine
- Ragi roti
- CO2 padat/cair
Sumber: Departemen Pertanian, (2005)

Baghat (2011) dalam penelitiannya menampilkan potensial bagasse


sebagai dasar PDT di negara-negara yang berbeda seperti pada Tabel 9.Eksportir
terbesar (Tabel 9) produk turunan dari ampas adalah Brazil (509 Mega Watt
(MW)), Guatemala (289 MW), India (1400 MW) dan Mauritius (467,9 GWH).
Negara Afrika Utara, Colombia, Brazil dan India berencana meningkatkan
fasilitas pengolahan produk turunan sampai tahun 2015. Hal ini mengindikasikan
bahwa PDT sangat potensial dan memberikan peningkatan pendapatan yang
besar.
29

Tabel 9 Potensial bagasse berdasar produk turunan di negara yang berbeda


Banyaknya Pabrik
Total Terintegrasi Produk Kapasitas MW
Negara
(tahun Dengan Turunan untuk Eksport
2007/2008) jaringan listrik
Brazil 370 48 3081 509
Guatemala 14 9 497+ 289++
India 492 107 2200 1400
Mauritius 10 10 240 467,9 GWH
Australia 27 N/A 392 370 GWH
850 GWH
Colombia 12 - - -
El Savador 7 2 N/A N/A
Kenya 6 1 32 25
Nicaragua - 2 N/A 23 MWH
The Philippines 28 1 21 N/A
South Afrika 7 - - -
Thailand 50 2 N/A N/A
Uganda 2 2 20 13-14
Total 6483 26751
Sumber: ISO dalam Baghat, 2011. Ket. MWH (Mega Watt Hour), MWH (Mega Watt
Hour), N/A (Not Available).

Sumber daya lainnya yang bisa dihasilkan dari pengolahan limbah PG


yang disebut Molasses adalah ethanol. Menjadi sangat popular sebagai bahan
bakar motor. Brazil merupakan negara pertama yang memperkenalkan ethanol
sebagai campuran dengan bensin di mana banyaknya antara 20-25%. Pada
tabel10 negara-negara sebagai produsen ethanol.
Tabel 10 menunjukkan bahwa Brazil dan Amerika Serikat tercatat sebagai
penghasil ethanol terbesar. Ethanol juga digunakan sebagai campuran sebagian
kendaraan bermotor di Jamaica, Costa Rica, Tobago, Jepang, Korea, dll. Di India
sebagai campuran kendaraan bermotor sebanyak 5% dan dalam waktu dekat akan
dicampur dengan bensin sebanyak 10%.
Dengan melakukan diversifikasi produk, produktivitas perusahaan dalam
pengolahan tebu diharapkan akan meningkat pula yang pada gilirannya akan
meningkatkan keuntungan PG . Berdasarkan kondisi yang dihadapi industri gula
saat ini, diversifikasi produk olahan tebu diharapkan dapat memperkuat dan
meningkatkan pendapatan industri tebu, baik Pabrik Gula (PG) dan petani tebu.

Tabel 10 Negara Produsen Ethanol Tahun 2010


Negara Juta Liter % Total Produksi
USA 51.61 50,91
Brasil 28.68 28,29
Cina 7.00 6,91
Canada 1.50 1,48
India 2.00 1,97
Indonesia 0.25 0,25
Lainnya 10.33 10,19
Total 101.37 100.00
Sumber: FAOSTAT, 2013
30

Dengan melakukan diversifikasi produk, produktivitas perusahaan dalam


pengolahan tebu diharapkan akan meningkat pula yang pada gilirannya akan
meningkatkan keuntungan PG . Berdasarkan kondisi yang dihadapi industri gula
saat ini, diversifikasi produk olahan tebu diharapkan dapat memperkuat dan
meningkatkan pendapatan industri tebu, baik Pabrik Gula (PG) dan petani tebu.

2. 4 Teori Resourse Based

Teori Resource Base yang dikemukakan oleh Perloff dan Wingo (1961)
menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah tergantung pada sumber
daya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari
sumber daya itu. Perkembangan suatu wilayah memegang peranan penting dalam
pembangunan ekonomi karena selain menghasilkan pendapatan juga menciptakan
efek penggandaan pada keseluruhan perekonomian di wilayah tersebut.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya
dan kemampuannya untuk memproduksinya. Jawa Timur sebagai penghasil tebu
terbesar di Indonesia mempunyai sumber daya berupa tanaman tebu yang
melimpah dibanding provinsi-provinsi lain penghasil tebu di Indonesia. Sumber
daya tebu tersebut dapat dimanfaatkan menjadi beberapa produk lain
(diversifikasi) sehingga bisa menghasilkan profit bagi pabrik gula (PG) dan
peningkatan PDRB Jatim.

2.5 Teori Economic of Scope

Economies of scope are efficiencies wrought by variety, not volume


(Goldhar and Jelinek, 1983). Economies of Scope terjadi ketika perusahaan
menghasilkan beragam jenis output, maka biaya rata-rata produksinya akan
semakin kecil. Biaya rata-rata dalam menghasilkan output akan cenderung turun,
sejalan dengan terjadinya peningkatan output. Hal ini terjadi, karena:
1. Jika perusahaan beroperasi pada skala yang labih besar, pekerja dapat
berspesialisasi/mengkhususkan diri dalam kegiatan yang paling produktif.
2. Adanya variasi dari kombinasi input yang digunakan untuk memproduksi
output perusahaan.
3. Input produksi dengan biaya yang lebih rendah diperoleh karena membeli
dalam jumlah besar.
Salah satu cara meningkatkan efisiensi dalam lingkup economic of scope
dengan upaya diversifikasi. Penrose (1959) menyatakan bahwa pertimbangan
perusahaan (pabrik) melakukan diversifikasi untuk mempertahankan keunggulan
daya saing (competitive advantage) bisnis utamanya. Gula sebagai produk utama
PG mengalami inefisiensi dan penurunan dalam daya saing yaitu harga. Jika hal
ini terus terjadi, PG yang ada di Jawa Timur bisa tutup karena mengalami
kerugian. Sedangkan PG perlu dipertahankan keberadaannya, mengingat gula
termasuk salah satu bahan kebutuhan pokok.
Konsep economic of scope didefinisikan sebagai proses mengurangi biaya
sumber daya dan keterampilan menyebarkan penggunaan sumber daya dan
keterampilan lebih dari dua atau lebihperusahaan. Seperti ditunjukkan dalam
Gambar 7, biaya untuk perusahaan ke 2 menjadi setengahnya jika sumber daya
yang digunakan dalam dua perusahaan, hanya digunakan pada satu perusahaan.
31

Jika penggunaan sumber daya yang tersebar pada tiga perusahaan, biaya tiap
perusahaan berkurang untuk perusahaan ketiga. Joint output pada perusahaan
ketiga lebih besar dibanding dengan output yang akan dicapai oleh dua
perusahaan berbeda. Perusahaan ketiga bisa melakukan kombinasi input sehingga
memberikan biaya yang rendah. Dibanding masing-masing produk tersebut
dihasilkan oleh dua perusahaan yang berbeda.

Gambar 7 Economies of Scope


Sumber: Hofstrand, 2007

Economies of scope yang dilakukan sejumlah perusahaan akan mampu


meningkatkan permintaan pasar sehingga terjadi multiplier effect. Adanya
peningkatan permintaan, akan meningkatkan produksi terhadap produk yang
dihasilkan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dan peningkatan
share terhadap PDRB.

2.6 Konsep Pembangunan Wilayah

Pembangunan dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan


suatu negara/wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakatnya.
Anwar (2001) menyatakan bahwa pembangunan wilayah kepada terjadinya
pemerataan (equity), yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan
keberlanjutan (sustainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga
aspek tersebut, dalam proses pembangunannya secara evolusi dengan berjalan
melintas waktu yang ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat,
seperti perubahan keadaan sosial, ekonomi, serta realitas politik.
Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik (Rustiadi et al, 2009). Selanjutnya Todaro (2000)
menyatakan bahwa pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen
dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam
memahaminya. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan
(sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati
diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (1998) juga
mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang
melibatkan perubahan-perubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang
32

sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan


ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut.
Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson (1977)
mendefinisikan pembangunan wilayah yaitu kemampuan wilayah yang
bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan
dengan itu, Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan tujuan pembangunan
wilayah secara umum, yakni (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan
(equity), (3) dan keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya Anwar dan Rustiadi
juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan
lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial (keruangan),
serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga program-
program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan
wilayah.
Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan
sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu
berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah.
Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan
dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program
pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan
yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004).
Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan
wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan kemakmuran
antar wilayah atau antar daerah. Di samping itu, diusahakan untuk memperkecil
perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan pedesaan (Jayadinata, 1999).

2.7 Agroindustri Tebu dan keterkaitannya dengan Ekonomi Wilayah

Agroindustri tebu dalam pembangunan ekonomi wilayah berperan


dalam meningkatkan kesejahteraan/profit yang tercermin dalam peningkatan
produksi GKP, PAD, produksi PDT, pendapatan (profit) petani, peningkatan
perekonomian wilayah dan keuntungan (profit) PG. Kontribusi sektor tebu dan
industri gula tebu dalam dinamika perekonomian wilayah, dianalisis dengan
bertumpu pada output yang dihasilkan dari tebu menjadi GKP dan 5 jenis PDT
dan dampaknya terhadap peningkatan produksi GKP, PAD, produksi PDT,
pendapatan petani, keuntungan PG, dan peningkatan perekonomian wilayah.
Peran Agroindustri dalam perekonomian nasional, dari analisis I-O pada
1995-2000, menurut Supriyati et al (2006) adalah : (1) Pembentukan nilai tambah
bruto (PDB) relatif besar, ada kecenderungan meningkat meskipun tidak sebesar
industri lainnya, sementara sektor pertanian cenderung menurun; (2) Penyerapan
tenaga kerja pada agroindustri relative besar dibandingkan dengan industri
lainnya. Ada kecenderungan penurunan penyerapan tenaga kerja pada semua
sektor, kecuali sektor jasa dan lainnya; (3) Produktivitas tenaga kerja pada
agroindustri lebih kecil dibandingkan dengan industri lainnya, namun masih lebih
besar dibandingkan dengan sektor pertanian; (4) Ketergantungan impor pada
agroindustri lebih rendah dibandingkan dengan industri lainnya; (5) Agroindustri
dan sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai keterkaitan ke belakang
yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Dalam keterkaitan ke
33

depan, agroindustri dan sektor jasa dan lainnya yang mempunyai keterkaitan
yang lebih besar. Sejalan dengan penelitian Sundari (2000) di Jawa Timur
menyatakan bahwa keberadaan agroindustri tebu memberi dampak pendapatan
berupa nilai tambah produk yang dihasilkan, serta dampak kesempatan kerja dan
distribusi pendapatan melalui penyerapan kebutuhan tenaga kerja pada setiap
sektor usaha industri yang menggunakan hasil produksi tebu dan industri gula
sebagai bahan bakunya. Semakin besar nilai tambah dan semakin banyak
penyerapan tenaga kerja bagi sektor-sektor usaha industri yang menggunakan
bahan baku hasil produksi tebu dan industri gula, berarti semakin besar dampak
ke depan keberadaan agroindustri tebu dan industri gula dalam meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja. Menurut Simatupang dan Purwanto (1990)
bahwa peranan agroindustri adalah menciptakan nilai tambah, menciptakan
lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaaan devisa melalui peningkatan
ekspor dan menarik pembangunan sektor pertanian. Pendapat ini konsisten
dengan penelitian Susilowati (2007) menyatakan bahwa secara makro
agroindustri mempunyai peran lebih besar terhadap peningkatan output, PDB
dan penyerapan tenaga kerja.
Kartiko (1998) menegaskan adanya keterkaitan kebelakang agroindustri
tebu terhadap perkembangan wilayah ditunjukkan penggunaan input-input
produksi berupa sumber daya lahan dan sumber daya manusia. Keterkaitan
kedepan agroindustri tebu tercermin dari tingkat konsumsi produk yang
dihasilkan agroindustri tebu. Didukung penelitian Hanani et al (2012)
menegaskan bahwa gula merupakan salah satu komoditi strategis karena memiliki
keterkaitan kedepan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang
sangat tinggi.
Supriyati dan Suryani (2006) menyatakan bahwa penelitian mengenai
peranan agroindustri di Indonesia tahun 1985-2000, menyatakan bahwa peranan
agroindustri dalam penciptaan PDB meningkat dari 3,7 persen menjadi 12,73
persen. Sementara peran agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja meningkat
dari 0,2 persen pada tahun 1985 menjadi 8,53 persen. Lebih spesifik penelitian di
Jawa Timur oleh Ahmad (1994) menyatakan mengenai multiplier agroindustri
terhadap output, pendapatan dan tenaga kerja lebih besar dibandingkan terhadap
agregat wilayah lain. Hal ini disebabkan agroindustri memanfaatkan bahan baku
dari sektor pertanian yang cukup besar dan multiplier pendapatan akan tinggi
karena output agroindustri dapat diserap baik sebagai konsumsi langsung maupun
untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negeri. Fahriyah et al (2012)
menyatakan bahwa industri gula mempunyai keterkaitan kebelakang yang relatif
tinggi.
Penelitian Sastrotaruno (2001) diwilayah PG Cirebon dan PG Subang,
dengan tahun dasar 1989-2000 menunjukkkan bahwa produksi gula menyerap
tenaga kerja melalui buruh tebang tebu, usaha pengangkutan dan pemeliharaan
tanaman tebu. Dinyatakan pula oleh Malian et al (2004) bahwa penggunaan
tenaga kerja di Jawa Timur relatif lebih intensif daripada di luar jawa. Penelitian
Wahyuddin (1995) bahwa penyerapan tenaga kerja per sinder dengan luas yang
berbeda-beda antara 484 sampai 1.913 orang per hari atau 105 orang per sinder
pada 15 wilayah kesinderan di PG Madukismo. Diperkuat dengan kajian dari
Departemen Pertanian (2007) dengan luas areal sekitar 350 ribu hektar are pada
periode 2000-2005, tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang dan
34

merupakan salah satu pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani. Kajian Toharisman
dan Kurniawan (2012) pengembangan hasil ikutan tebu (koproduk) akan
berdampak positif dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan pembangunan
ekonomi daerah karena sebagian besar perkebunan tebu dan PG berada di wilayah
perdesaan.

Tabel 11 Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Tebu Menurut Pulau di Indonesia
Tahun 2008
Pulau Jumlah RTUT padi, RTUT tebu Persen
jagung, kedelai dan tebu
Sumatera 3.309.446 14.327 7,3
Jawa 10.442.665 178.637 91,4
Bali dan NTT 1.380.127 292 0,1
Kalimantan 1.121.772 882 0,5
Sulawesi 1.352.804 1.206 0,6
Maluku dan Papua 224.018 115 0,1
Indonesia 17.830.832 195.459 100
Sumber: BPS, 2009

BPS (2009) mempublikasikan bahwa jumlah rumah tangga petani tebu


sekitar 200 ribu rumah tangga di mana 91 persen berada di Jawa (Tabel 11). Hal
ini mengindikasikan bahwa Jawa merupakan pulau dengan rumah tangga
terbanyak yang bekerja di bidang usaha tani tebu. Pulau Sumatera sebanyak 7,3%
menduduki peringkat kedua dan Sulawesi sebanyak 0,6% menduduki peringkat
ketiga.
Produk samping dari tebu yang diolah lebih lanjut akan memberikan
tambahan 3 persen pada GDP dari sektor industri terhadap penghematan
penggunaan ethanol pada sektor transportasi. Menyerap tenaga kerja dan
tambahan penerimaan pajak dari sektor rumah tangga dan pada pemerintah
daerah (Urbanchuk, 2014). Penelitian di Uruguay mengenai share dari tebu,
yakni GDP sektor gula setara dengan 2% GDP di negara tersebut atau hampir
setara dengan seluruh kesejahteraan yang dihasilkan dalam 1 tahun (Castro,
2009). Terdapat keterkaitan kebelakang di sektor industri pertanian, tiap
tambahan pekerjaan disektor pertanian menghasilkan tambahan 0,80 pekerjaan
pada sektor non pertanian dan tiap $1 GDP menghasilkan tambahan $1.13 pada
non pertanian berkontribusi pada GDP (Schmit, 2014).
Sektor gula di Brazil pada tahun 2008 menghasilkan kesejahteraan sebesar
US$ 28.15 M. Kesejahteraan yang didapat setara hampir 2% dari GDP (Neves et
al, 2009). Aktivitas biotekhnologi di Canada berkontribuasi sebesar $15 M di
tahun 2005, setara dengan 1,19% dari GDP. Bahkan prediksi pada 20 tahun yang
akan datang meningkatkan kontribusi antara 2,6% dan 6% dari GDP Canada
pada tahun 2030 (Avillez, 2011).

2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan GKP dan PDT

Dinamika ketersediaan PDT tidak dapat lepas dari dinamika produksi Tebu
dan Gula, karena dengan semakin banyak produksi tebu dan gula maka PDT atau
koproduk tebu juga semakin banyak. Sejalan penelitian Hartono (2012)
35

menyatakan bahwaproduksi hablur dan produksi tebu dipengaruhi secara positif


oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta.
Penelitian Tchereni et al (2012) menyatakan bahwa ukuran lahan merupakan
faktor penting dalam peningkatan produksi. Penelitian mengenai peningkatan
produksi tebu di Jawa Timur oleh Kartiko (1998) menegaskan bahwa
peningkatan produksi tebu dapat dilakukan melalui peningkatan produktifitas
(intensifikasi) dan melalui perluasan areal (ekstensifikasi). Begitupula upaya
peningkatan produksi dan produktivitas tebu dengan melakukan Program
Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional (PAPPGN) sejak 2004
melalui kegiatan bongkar ratoon, melalui penggantian tanaman dengan bibit
unggul, perbaikan irigasi sederhana dan pengadaan alsintan (Kementrian
perindustrian, 2010).
Peningkatan Produksi gula dipengaruhi oleh produktivitas tebu dan
rendemen gula (Asmara dan Hanani, 2012), rendemen dalam batang tebu juga
mempengaruhi produksi gula (Trisnawati et al, 2012). Mahardika (2004) dalam
hasil penelitiannya menyatakan bahwa luas areal tanaman tebu, produktivitas
hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya memberikan pengaruh
positif terhadap produksi gula nasional. Inti sari dari penelitian Mawardi (1986)
peubah-peubah yang berpengaruh terhadap produksi gula adalah lahan, pupuk,
bibit, tenaga kerja, pestisida, saat tebang dan dummy pengalaman ketua
kelompok (D=1, berpengalaman dan D=0, tidak berpengalaman). Penelitian
Kirana (2008) menegaskan bahwa produksi gula dipengaruhi oleh budidaya
tebu. Didukung oleh penelitian Cahyono (2009) bahwa yang mempengaruhi
produksi gula adalah bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin.Hasil penelitian
Zain (2008) menyatakan bahwa peningkatan produksi gula domestik
dapatdilakukan dengan memperluas arealperkebunan tebu di luar Pulau Jawa
danmengurangi konversi (alih guna) lahanperkebunan tebu di Pulau Jawa.
Di sisi lain penelitian Purwono (2012) mengungkapkan bahwa
rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh rendahnya produktivitas
gula dan terutama disebabkan oleh rendahnya rendemen. Pergeseran areal
pertanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering menjadi faktor utama
rendahnya produktivitas.
Penelitian Malian et al (2004) menjelaskan bahwa dari aspek usaha tani
tebu, peningkatan produktivitas dan rendemen tebu sangat diperlukan untuk
meningkatkan produktivitas gula dan pendapatan petani. Senada dengan kajian
pergulaan nasional oleh Mardianto et al (2005) menegaskan bahwa salah
satufaktor utama meningkatkan produktivitas gula dalam tebu (rendemen tebu)
adalah perbaikan kinerja PG. Sejalan dengan Rahmatulloh et al (2007)yang
mengungkapkan bahwa kinerja produktivitas tebu dipengaruhi Indikator Kinerja
hasil panen tebu setiap hektar, luas lahan yang dipanen dan cara penanganan
tebang muat angkut (TMA). Penelitian yang dilakukan oleh Rahmatulloh et al
(2007) menyatakan bahwa kinerja produktivitas tebu dipengaruhi oleh indikator
kinerja hasil panen tebu setiap hektar lahan, luas lahan yang dipanen, dan cara
penanganan Tebang Muat Angkut (TMA). Hasil penelitian Suparno (2004)
mnjelaskan bahwa produktivitas tebu sangat responsive terhadap produksi tebu
dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setiap kenaikan produksi tebu 10%,
cateris paribus, akan meningkatkan produktivitas tebu 10,5% dalam jangka pendek
dan 10,6% dalam jangka panjang.
36

Penelitian Wiryastuti (2002) mengenai keefisienan PG di Jawa


menunjukkan bahwa 56 persen PG di Jawa berkapasitas dibawah 2500 TCD
dan hanya 16 persen berkapasitas diatas 4000 TCD. Sehingga faktor utama
untuk meningkatkan daya saing industri gula di Jawa Tengah adalah biaya
produksi rendah.

2.9 Potensi Diversifikasi Industri Tebu Nasional


2.9.1 Industri Berbasis Tebu yang Modern

Pada industri berbasis tebu yang modern, setiap 1 ton tebu setelah diproses
menghasilkan:
- Surplus power 100 KW
- Bioethanol sebanyak 12 liter
- Biokompos sebesar 40 kilogram
Subiyono (2012) menyatakan bahwa selain melihat potensi industri tebu
nasional, tidak kalah penting untuk melihat potensi PG-PG milik BUMN secara
kasar. Pada tahun 2010 luas tanam tebu PG BUMN mencapai sekitar 286,6 ribu
hektar dengan tebu giling 22,87 juta ton. Dengan data tersebut, maka bisa
dihasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32 persen dari total tebu giling, 1,12 juta ton
tetes (4,9 persen), dan 800.000 ton blotong (3,5 persen). Penelitian Toharisman dan
Kurniawan (2012) pada tahun 2011 luas total area tebu di Indonesia sekitar 422
ribu hektar dengan tebu giling mencapai 34,6 juta ton. Berarti dapat menghasilkan
sekitar 11,1 juta ton ampas (32 persen), 1,5 juta ton tetes (4,5 persen) dan 1,2 juta
ton blotong (3,5 persen). Selain itu, pemanenan tebu masih meninggalkan sekitar
6,2 juta ton pucuk (14,6 ton/ha).
Berdasarkan data luas areal tanam nasional sebesar 473.000 hektar dan 33
juta ton produksi tebu, berdasarkan kajian Subiyono (2013) bahwa potensi bisnis
dari diversifikasi yang bisa diperoleh:
1. Surplus power sebesar 3,5-3,8 juta MWH (3.800 GWH)
2. Bioethanol sebesar 460.000 KL=3,68 triliun
3. Biokompos sebanyak 1,5 juta ton=300 miliar
Selain tebu yang masuk/dikirim ke PG untuk diolah lebih lanjut, terdapat
pucuk tebu dan serasah yang dalam proses pemanenan tebu bisa dihasilkan 2,8 juta
ton pucuk serasah. Bahan baku yang cukup besar jumlahnya tersebut, jika diproses
lebih lanjut akan menghasilkan nilai tambah ekonomi tinggi. Potensi yang
didapatkan dari Cogeneration sebesar Rp 633,89 miliar sampai Rp 684,51 miliar
dalam satu masa giling, antara 148 sampai 186 hari (Tabel 12).
37

Tabel 12 Potensi pendapatan dari kogenerasi di sepuluh PG di bawah naungan


PTPN X.
Har Potens Pakai
Kapas
i i Uap Pemakaian Uap BH Potensi Cogen Sendir Dikirim ke Grid Nilai Jual (Rp
PG itas
Gili (Ton/ (Ton/Jam) (MW) i (MW) Miliar)
(TCD)
ng Jam) (MW)
K1 K2 K1 K2 K1 K2 K1 K2
186
MP 2970 71.25 58.16 41.46 16.28 17.29 3.47 12.81 13.82 51.48 55.54
174
NG 6570 156.04 128.66 91.71 35.57 37.81 7.67 27.91 30.14 104.89 113.28
152
MR 2970 70.54 58.16 41.46 16.08 17.09 3.47 12.62 13.63 41.42 44.73
165
PB 6570 156.04 128.66 91.71 35.57 37.81 7.67 27.91 30.14 99.47 107.42
161
TL 4000 95 78.33 55.83 21.66 23.02 4.67 16.99 18.35 59.09 63.82
148
LS 4080 96.9 79.9 56.95 22.09 23.48 4.76 17.33 18.72 55.41 59.84
161
DB 3070 72.91 60.12 42.85 16.62 17.67 3.58 13.04 14.08 45.35 48.98
172
GK 6360 151.05 124.55 88.78 34.44 36.6 7.42 27.02 29.18 100.37 108.4
171
WT 2600 61.75 50.92 36.29 14.08 14.96 3.03 11.04 11.93 40.79 44.06
159
KB 2440 57.95 47.78 34.06 13.21 14.04 2.85 10.37 11.19 35.6 38.44
Tot
al 41630 165 989.43 815.24 581.10 225.60 239.77 48.59 177.04 191.18 633.87 684.51
Sumber: Subiyono 2013

2.10 Konsep Dana Talangan

Dana talangan bagi petani tebu adalah sejumlah dana yang “dipinjamkan”
kepada petani, senyampang mereka menunggu hasil produksi tebu menjadi gula
putih yang diolah ke PG tertentu, sebelum dilelang nantinya (Wibowo, 2012).
Dana talangan merupakan salah satu jaminan harga bagi petani. Konsep dana
talangan pertama kali diterbitkan berdasarkan SK no. 643 tahun 2002, yang
intinya mewajibkan importir terdaftar menyangga harga gula petani.

Gambar 8 Proses dana talangan


Sumber: KPPU, 2010
38

Proses dana talangan seperti pada Gambar 8, mengenai pembentukan


harga awal gula adalah pada saaat lelang. Gula milik petani yang digilingkan di
PG dijual dengan sistem lelang dan terbentuklah harga sesuai dengan kesepakatan
antara petani dengan penyandang dana (investor). Jika harga lelang lebih besar
daripada harga dasar gula, maka terdapat margin positif. Selisih antara harga
lelang dan harga dasar gula talangan (HDG) merupakan sharing antara petani
dengan penyandang dana. Penyandang dana mendapatkan 40% dari selisih antara
harga lelang-harga dasar talangan. Petani mendapatkan 60% dari selisih antara
harga lelang dan harga dasar talangan. Dana talangan jika mendapat margin
negatif maka merupakan kewajiban investor untuk menanggung selisih antara
harga lelang dengan harga dasar talangan gula.
Pola kerjasama antara petani dengan investor (dana talangan) merupakan
kerjasama yang memberikan jaminan harga bagi petani, terutama disaat harga gula
jatuh (Rohman, 2004). Dana talangan merupakan alat untuk menahan turunnya
harga gula ditingkat petani pada saat panen raya sehingga petani masih mendapat
keuntungan.

2. 11 Sistem Dinamik

Sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam
batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al, 2001).
Metodologi sistem dinamik telah dan sedang berkembang sejak diperkenalkan
pertama kali oleh Jay W. Forrester pada dekade lima puluhan, dan berpusat di
MIT Amerika. Penggunaan metodologi ini lebih ditekankan kepada tujuan-tujuan
peningkatan pengertian kita tentang bagaimana tingkah laku sistem muncul dari
struktur kebijakan dalam sistem itu. Pengertian ini sangat efektif dalam
perancangan kebijaksanaan yang efektif (Tasrif, 2006). Definisi sistem dinamik
menurut Coyle (1979) dalam Coyle ( 1996) adalah metode menganalisis masalah
di mana waktu merupakan faktor penting, dan melibatkan studi tentang bagaimana
sistem dapat dipertahankan terhadap, atau dibuat untuk mendapatkan keuntungan
dari, guncangan yang berasal dunia luar. Definisi lain, merupakan cabang ilmu
manajemen yang berkaitan dengan masalah pengendalian.
Sebuah dinamika perilaku sistem sangat ditentukan oleh struktur lingkar
umpan balik (feedback loops). Pada suatu sistem tertutup terlihat adanya ciri-ciri
dinamis dari suatu sistem. Oleh karena itu dalam metode sistem dinamik arah
perhatian lebih ditujukan pada sistem yang tertutup atau sistem umpan balik.
Sistem umpan balik ini merupakan blok pembentuk model yang diungkapkan
melalui lingkaran tertutup atau sistem umpan balik. Lingkar umpan balik tersebut
menyatakan hubungan sebab akibat dari variabel-variabel yang melingkar, bukan
menyatakan hubungan karena adanya korelasi statistika.
Terdapat dua macam hubungan kausal, yaitu hubungan kausal positif dan
hubungan kausal negatif. Struktur umpan balik positif menghasilkan perilaku
pertumbuhan atau percepatan (J-Curve), sedangkan struktur umpan balik negatif
menghasilkan perilaku menuju sasaran(r- Curve) ( Coyle, 1996; dan Muhammadi
et al, 2001).
Menurut Tasrif (2006), langkah-langkah pemodelan dengan metode sistem
dinamik:
1. Identifikasi perilaku persoalan (problem behavior)
39

-Pola Referinsi
Dalam langkah ini diidentifikasi pola historis atau pola hipotesis yang
menggambarkan perilaku persoalan (problem behavior). Pola historis atau pola
hipotesis ini merupakan pola referensi yang diwakili oleh pola perilaku suatu
kumpulan variable-variabel yang mencakup beberapa aspek yang berhubungan
dengan perilaku persoalan. Pola-pola tersebut diintegrasikan ke dalam suatu
susunan (fabrikasi) sedemikian rupa sehingga dapat merepresentasikan tendensi-
tendensi internal yang ada di dalam system. Penggambaran pola referensi tersebut
sebagai tendensi internal system adalah sangat penting, karena tendensi itu
ditimbulkan oleh suatu kumpulan struktur umpan balik yang terbentuk di dalam
system dan mempunyai implikasi-implikasi terpenting untuk analisis
kebijaksanaan.
-Hipotesis Dinamik
Setelah pola referensi dapat didefinisikan, suatu hipotesis awal tentang interaksi-
interaksi perilaku yang mendasari pola referensi perlu diajukan. Pada langkah ini,
hipotesis dinamik yang diajukan mungkin belum tepat sekali. Beberapa iterasi dari
formulasi, perbandingan dengan bukti-bukti empiris, dan reformulasi akan
ditempuh untuk sampai kepada suatu hipotesis logis dan shahih secara empiris.
-Batas Model
Dalam langkah ini batas model akan didefinisikan terlebih dahulu dengan jelas
sebelum suatu model dibentuk. Batas model ini memisahkan proses-proses yang
menyebabkan adanya tendensi internal yang diungkapkan dalam pola referensi
dari proses-proses yang merepresentasikan pengaruh-pengaruh eksogenus. Batas
model ini akan menggambarkan cakupan analisis dan akan berdasarkan kepada
isu-isu yang ditujukan oleh analisis tersebut dan akan meliputi semua interaksi
sebab-akibat yang berhubungan dengan isu itu.
2. Membentuk suatu model computer
-Struktur Umpan Balik Model
Setelah batas model dapat didefinisikan, suatu struktur lingkar-lingkar umpan
balik (feedback loops) yang berinteraksi akan dibentuk. Struktur umpan balik ini
merupakan blok pembentuk model yang diungkapkan melalui lingkar-lingkar
tertutup. Lingkar umpan balik tersebut menyatakan hubungan sebab akibat
variable-variabel yang melingkar, bukan menyatakan hubungan karena adanya
korelasi statistik.
-Level dan Rate
Level menyatakan kondisi system pada setiap saat. Level merupakan hasil
akumulasi di dalam sistem, sedangkan rate menyatakan aktivitas sistem.
Persamaan suatu variable rate merupakan suatu struktur kebijaksanaan yang
menjelaskan mengapa dan bagaimana suatu keputusan dibuat berdasarkan kepada
informasi yang tersedia di dalam system. Rate inilah satu-satunya variable dalam
model yang dapat mempengaruhi level.
3. Pengujian model dan analisis kebijakan
Tahap ini dilakukan terhadap model untuk menegakkan keyakinan
terhadap kesahihan model dan sekaligus pula mendapatkan pemahaman terhadap
tendensi-tendensi internal sistem. Hal ini diperlukan untuk membandingkannya
dengan pola referensi dan secara terus menerus memodifikasi dan memperbaiki
struktur model. Sensitivitas model terhadap perubahan nilai parameter-parameter
perlu dilakukan pula dalam langkah ini. Bila suatu korespondensi antara model
40

mental sistem, model eksplisitnya, dan pengetahuan empirik tentang sistem telah
diperoleh; model yang dibuat dapat diterima sebagai suatu representasi persoalan
yang sahih dan dapat digunakan untuk analisis kebijaksanaan.
Sejalan dengan pernyataan Sterman (2000), langkah-langkah dalam proses
pemodelan; (1) mendefinisikan masalah (2) merumuskan hipotesis dinamis
(3)perumusan model simulasi (4) pengujian (5) desain kebijakan dan melakukan
evaluasi.
Menurut Coyle (1996) ada 5 (lima) pendekatan dalam menganalisis sistem
dinamik, yaitu (1) mengenali masalah dan mengetahui mengapa orang yang peduli
tentang hal itu, (2) membuat causal loop diagram (3) analisa mengacu pada ide-ide
cemerlang dan pet teory (pandangan orang yang berpengalaman dalam sistem) (4)
tahapan jika analisis kualitatif tidak menghasilkan wawasan yang cukup untuk
memecahkan masalah, maka proses bekerja hasil pada stadium 4, kontraksi pada
simulasi model (5) analisis berdasarkan analisis kuantitatif.
Sterman (2000) menyebutkan bahwa pola umum perilaku dasar dinamika
system adalah exponential growth, goal seeking dan oscillation. Masing-masing
bentuk tersebut berasal dari struktur umpan balik yang sederhana, di mana growth
diperoleh dari umpan balik yang positif, goal seeking dari umpan balik negatif,
dan oscillation dari umpan balik negatif dengan delay waktu. Bentuk umum
tersebut seperti pada Gambar 9.

Gambar 9 Pola umum perilaku dinamika sistem


Sumber: Sterman 2000

Sterman (2000) menyebutkan bahwa alam dan manusia memiliki tingkat


kompleksitas dinamis. Dinamika muncul dari interaksi antara agen dari waktu ke
waktu.Sistem yang kompleks berada dalam ketidakseimbangan dan berkembang.
Banyak tindakan yang dilakukan menghasilkan konsekuensi yang tidak dapat
diubah. Keberadaan masa lalu tidak bisa dibandingkan dengan baik untuk keadaan
sekarang. Dinamika system adalah metode untuk mendapatkan informasi yang
berguna dalam kompleksitas dinamis dan kebijakan yang resisten. Kompleksitas
dinamis timbul karena sistem adalah:
1. Dynamics: perubahan seringkali terjadi dalam skala waktu dan perbedaan
skala seringkali berinteraksi.
2. Tightly coupled: pelaku-pelaku dalam sistem berinteraksi dengan kuat satu
sama lain begitu juga dengan lingkungannya.
41

3. Governed by feed back: adanya interaksi yang kuat antar pelaku-pelakudalam


sistem, tindakan yang dilakukan memberikan umpan balik kepada mereka
sendiri.
4. Non linear: dampak jarang sebanding dengan penyebabnya, dan apa yang
terjadi secara lokal pada sistem (dekat titik operasi saat ini) sering tidak
berlaku di daerah yang jauh (negara-negara lain dari sistem).
5. History-dependent:hanya mengambil satu jalan sering menghalangi orang lain
dalam mengambil dan menentukan di mana anda berakhir (analisis jalur).
6. Self-organizing:dinamika sistem muncul secara spontan dari struktur
internalnya. Seringkali, kecil, gangguan acak diperkuat dan dibentuk oleh
struktur umpan balik, menghasilkan pola dalam ruang dan waktu dan
menciptakan analisis jalur.
7. Adaptive: kemampuan dan aturan-aturan keputusan dalam system yang
kompleks berubah dari waktu-ke waktu.
8. Counterintuitive: pada sistem yang kompleks, sebab dan akibat jauh dalam
ruang dan waktu, namun kita cenderung berusaha menjelaskannya dengan
mencari penyebab yang mungkin.
9. Policy resistant: dalam system yang kompleks kita memiliki kemampuan
untuk memahaminya, banyak solusi yang tampaknya jelas untuk memecahkan
masalah gagal atau justru memperburuk situasi.
10. Characterized by trade-offs: waktu delay dalam jalur umpan balik berarti
respon jangka panjang dari sistem untuk intervensi sering berbeda dari respon
jangka pendeknya. Kebijakan leverage yang tinggi sering menyebabkan hal
buruk-sebelum-menjadi lebih baik, sementara kebijakan leverage yang rendah
sering menimbulkan perbaikan sementara sebelum masalah menjadi semakin
buruk.

2.12 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengembangan agroindustri


gula tebu dengan menggunakan sistem dinamik dirangkum dalam Tabel 12.

Tabel 12 Penelitian terdahulu terkait dengan pengembangan agroindustri gula


tebu dengan menggunakan sistem dinamik
No Penelitian/Topik Metode Hasil penelitian
1. Sundari. 2000. 1. Analisis I-O, 1. Analisis keterkaitan ke depan dari
Analisis Dampak 2. Beda rata-rata sektor tebu adalah relatif tinggi,
Agroindustri Tebu uji t, yang berarti keterkaitan sektor
Terhadap Peningkatan 3. Analisis tersebut dengan industri hilir
Pendapatan Petani diskriminan yakni sektor-sektor yang
Dan Pengembangan menggunakan output sektor tebu
Perekonomian sebagai input antara cukup tinggi.
Wilayah di Jawa Sektor industri gula mempunyai
Timur keterkaitan ke belakang yang
tinggi. Ini berarti bahwa sektor
industri gula mempunyai
ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap sektor lain terutama
42

sektor tebu untuk digunakan


sebagai input antara.
2. Hasil dari analisis uji beda rata-
rata (uji-t) pada taraf nyata 5%,
ternyata tidak terdapat
perbedaan yang nyata antara
pendapatan petani tebu lahan
sawah dan lahan kering.
3. Hasil analisis komponen utama
menunjukkan bahwa ada 3 pola
yang dapat membedakan
usahatani tebu lahan sawah dan
lahan kering, yaitu: Pola I, lebih
dicirikan oleh keragaman dalam
hal produktivitas tebu, produksi
gula, penerimaan petani dan
pendapatan petani; Pola II,
lebih dicirikan oleh keragaman
dalam hal rendemen dan biaya
produksi dan tebang angkut;
Pola III lebih dicirikan oleh
keragaman dalam hal luas lahan
yang meliputi 13,683% dari total
keragamannya.

2. Dibyoseputro. 2012. 1. Pemodelan 1. Hasil simulasi menunjukan


Rancang Bangun sistem bahwa peningkatan
Sistem Dinamis dinamis produktifitas secara global
Pengambilan 2. Terdiri dari dapat tercapai bila
Keputusan Kompleks beberapa sub- pemangku penentu
Pengembangan model yaitu: kebijakan mengambil
Agroindustri Gula (1) submodel keputusan kebijakan
Tebu Indonesia perkebunan Pengembangan Produk
tebu, (2) sub- Alternatif, lalu diikuti
model pabrik keputusan Dukungan
gula, (3) sub- Kebijakan Moneter, dan
model terakhir kebijakan
permintaan Penentuan Tarif Bea
konsumen dan Masuk.
distribusi, dan 2. Rencana kegiatan ini
(4) sub-model merupakan peluang usaha
kebijakan yang besar karena dapat
menumbuhkan peluang
penciptaan lapangan kerja,
pertumbuhan ekonomi yang
tersebar di berbagai
kawasan dan peluang
pertumbuhan industri
43

pendukung lain seperti


industri pupuk serta sarana
produksi lain seperti
herbisida, pestisida dan
industri transportasi.
3. Dengan mengikuti pola
pemeringkatan kebijakan di
atas, maka diharapkan pada
tahun 2014 dapat dicapai
swasembada gula dengan
tingkat produksi gula
nasional yang terdiri dari
kontribusi pabrik gula
Kristal putih dibawah
naungan BUMN dan swasta
serta pabrik gula rafinasi
sebesar 5,700,000 ton.

3 Nugrahapsari. 2013. 1. Pemodelan 1. Hasil analisis menunjukkan


Model swasembada sistem bahwa pada kondisi aktual,
Gula Kristal Putih dinamik. swasembada GKP tidak akan
(GKP) Nasional 2. Tujuan terwujud hingga akhir periode
dengan Pendekatan penelitian simulasi
Sistem Dinamik. untuk (1) 2. Analisis dampak kebijakan
Thesis. Sekolah mengkaji RIGN terhadap pencapaian
Pascasarjana Institut kemungkinan swasembada GKP
Pertanian Bogor pencapaian menunjukkan bahwa skenario
swasembada peningkatan rendemen
GKP tanpa memiliki kinerja yang lebih
kebijakan baik dibandingkan dengan
RIGN, (2) skenario peningkatan luas
mengkaji areal dan skenario
dampak peningkatan produktivitas
kebijakan tebu
RIGN terhadap 3. Skenario kebijakan alternatif
pencapaian dilakukan dengan
swasembada menggabungkan antara
GKP, dan (3) kebijakan dari sisi penyediaan
menyusun dan kebutuhan. Hasil simulasi
skenario dan menunjukkan bahwa
kebijakan gabungan skenario
alternatif peningkatan rendemen dan
pencapaian pengelolaan penduduk
swasembada memiliki kinerja yang lebih
GKP baik dibandingkan dengan
skenario kebijakan alternatif
lainnya.
44

4. Siagian. 1999. 1. Pendekatan Hasil penelitian menggunakan


Analisis Efisiensi Fungsi Biaya model trans log cost function,
Biaya Produksi Gula Multi-Input dapat disimpulkan bahwa:
di Indonesia: Multi-Output
Pendekatan Fungsi 2. Tujuan dari (1) Elastisitas permintaan harga
Biaya Multi-Input penelitian sendiri dan silang ketiga input:
Multi Output adalah untuk tebu, tenaga kerja dan bahan baku
mengetahui adalah inelastik (merupakan input
kemampuan yang penting dan sukar
industri gula disubstitusikan). (2) Ketiga input
Indonesia dalam industri gula saling
dalam berhubungan komplemen
menghadapi sehingga sukar untuk
era liberalisasi disubstitusikan. (3) Skala
perdagangan ekonomi industri gula Indonesia
serta upaya dalam kondisi increasing returns
yang harus to scale, ini berarti biaya produksi
dilakukan agar gula nasional belum efisien. (4)
dapat Pabrik gula milik swasta memiliki
dipertahankan efisiensi yang lebih tinggi
eksistensinya dibandingkan dengan pabrik gula
milik BUMN.

5 Retno DL. 2010. 1. Menggunakan 1. Metode yang digunakan yaitu


analisis kelayakan ekonomi.
kelayakan 2. Hasil penelitian menunjukkan
ekonomi. bahwa bagasse tebu mampu
Limbah menghasilkan bio gas 17,2 L
biomassa 3. Semakin tinggi kandungan
padat dari metana, maka semakin besar
pertanian dan kandungan energi pada
perkebunan biogas. Secara ekologis
merupakan pemanfaatan energi
bahan baku terbarukan seperti biogas,
yang potensial selain bisa menghemat BBM
untuk diolah juga mengurangi efek rumah
menjadi salah kaca, terutama emisi gas
satu bentuk karbon dioksida (CO2).
bioenergi.
Bagasse
merupakan
limbah padat
dari pabrik
gula
6 Janda, K. Kristaufek 1. CGE, 1. Biofuels merupakan bagian
and Zilberman. 2012. 2. Untuk penting pada sektor pertanian
Biofuels: policies and mengetahui dan energy
Impacts dampak biofuel 2. Model dari penggunaan lahan
45

pada ekonomi untuk bahan baku nabati


dipengaruhi oleh konsentrasi
kebijakan dan tekhnologi
produksi dan dampak
lingkungan pada produksi dan
konsumsi.
3. Regulasi/peraturan yang
berkaitan dengan biofuel
yakni mandate, taxes dan
subsidi. Kesuksesan dan
kegagalan dari biofuels ini
tergantung pada tekhnologi,
lingkungan, produksi,
distribusi dan manajemen
biaya jika dibandingkan
dengan sistem dinamik
lainnya.
4. Untuk masa yang akan datang
perlu diperhatikan kuantitas
untuk bahan makanan, biofuels
dan bahan bakar fosil.
5. Bahan bakar nabati generasi 1
(1G) dari biofuel tidak
ekonomis karena tidak adanya
insentif kebijakan fiscal dan
tingginya harga minyak

7. Patill G, Yarnal G Sistem Dinamik 1. Menghitung profit, ampas


and Puranik V. 2008. untuk bahan bakar, biaya,
System Dynamics ekspor dan pembelian.
Modelling Approach 2. Membagi 3 sub model, yakni
for Energy penggilingan tebu, kapasitas
management in a boiler, dan biaya.
Sugar Industry 3. SD (Sistem dinamik)
merupakan rangkaian untuk
menilai perilaku dari sistem
secara terus menerus.
Pendekatan SD mengambil
pandangan sebab akibat pada
dunia nyata, menggunakan data
kuantitatif untuk mengetahui
prilaku dinamis dari sebuah
sistem sosio-tekhnis dan reaksi
pada kebijakan.
4. Manjemen energy pada ampas
menjadi co generation tidak
hanya mengubah ampas
menjadi bahan bakar untuk
46

proses menjadi gula.


Kebijakan:
1. Ketersediaan ampas secara
keberlanjutan untuk
penyediaan energi seperti
untuk ekspor pada grid
(stasiun listrik)
2. Adanya monitoring pada
harga agar bisa bersaing.

8. Chan A, Hoffman R, Sistem Dinamik 1. Bioethanol dapat mengurangi


Mc Innis B. 2004. emisi gas rumah kaca, tapi
The Role of Systems tekhnologinya belum bisa
Modeling for sesuai dengan target Kyoto.
Sustainable Bahan baku ethanol dari by-
Developmrnt Policy products (Canada).
Analisis: the case of 2. Diperlukan perubahan penting
bio ethanol ecology mengenai rencana transisi dari
and society penggunaan fossil berdasar
BBM pada alternative yang
bisa diperbaruhi.
3. Dalam upaya penggunaan
alternatif sistem dinamik
biofuels yang dapat
diperbaruhi, diperlukan
perubahan dalam perilaku
konsumen, dipengaruhi oleh
insentif atau mandate dari
regulasi/aturan. Walaupun
analisis menyimpulkan bahwa
keberlanjutan penggunaaan
bahan baku minyak (BBM)
memungkinkan, tapi juga
dibutuhkan transisi alternative
seperti hidrogrn, sebagaimana
tingkat produksi minyak pada
skala global diperkirakan akan
turun pada beberapa decade.
4. Kuantitas yang cukup dari
biomassa sebagai upaya
mengurangi emisi GHG di
Canada tidak dapat diperoleh
tanpa pengurangan dalam
jumlah besar thd produksi
tanaman pertanian untuk
makanan.
5. Canada sebagai eksportir
tanaman pertanian untuk
47

makanan, menerbitkan
alternative SD dalam upaya
perdagangan luar negeri jika
Canada mengurangi ekspor
pada tanaman makanan dalam
hal untuk memproduksi
ethanol untuk konsumsi
domestic.
6. Perlu dikembangkan analisis
mengenai sistem produksi
tanaman sehingga trade off
antara penggunaan lahan untuk
produksi ethanol dan produksi
makanan bisa dihitung, jika
tekhnologi untuk
meningkatkan effisiensi
penggunaan lahan untuk
produksi makanan harus
dianalisis.
7. Penggunaan tekhnologi baru
untuk pemupukan,
pengeprasan dan pabrikasi
ethanol merupakan signifikan
dalam hal pengurangan emisi
GHG.

9. Kibira D, Shao G, Sistem Dinamik 1. Pertumbuhan industry ethanol


Nowak S. 2010. tergantung pada keuntungan
System Dynamics produsen dan penyalur.
Modeling of Corn 2. Hal ini sangat tergantung
Ethanol as a Bio pada: permintaan, insentif
Transportation Fuel pemerintah, ketersediaan
in the United States bahan baku, harga, proses
kapasitas, efisiensi dan
tekhnologi.

Simulasi dilakukan pada tahun


2009-2030.
Model terdiri dari 4
pengembangan:
1. Produksi utama ethanol
dari Jagung
2. Produksi pada tingkat ke
dua
3. Penggunaan energy
4. Aliran capital
3. Inti dari Model:
48

Lahan, produksi, polusi, biaya


transportasi jagung, air dan
energy yang digunakan, harga,
alokasi jagung untuk produksi
ethanol, investasi, biaya,
penerimaan, dan profit.

10. Silalertruksa T, and 1. Life Cycle Istilah: TK (tenaga kerja), PG


Gheewala S. 2011. Assessment (Pabrik Gula), TJ (Tera Joule)
The Enviromental (LCA),I-O 1. Sisi Positif:
and Socio-Economic 2. Untuk Produksi bioethanol
Impacts of bio- mengetahui membutuhkan 12-20 kali
Ethanol production in dampak tenaga kerja lebih banyak dari
Thailand produksi bensin untuk jumlah yang
bioethanol sama. TK langsung di sector
pada pertanian memberikan
lingkungan kontribusi lebih dari 90% dari
dan sosial total TK.
ekonomi 2. Produksi dari 1 TJ (Tera
Joule) bioethanol (dari
ubikayu dan tetes)
menghasilkan tambahan pada
GDP berkisar 0.7-1.8 juta
THB. Peningkatan impor
barang seharga 0.7-1.8 juta
THB.
Menggunakan I-O
1. Pada 1 TJjumlah TK 5-6
orang/tahun=TK di PG=TK
langsung di sektor lain yang
mengirimkan bahan ke PG.
2. Kebijakan untuk
mengembangkan bioethanol
membantu mengembangkan
daerah perdesaan di Thailand
karena penyerapan TK

Dua alasan penyerapan TK yang


besar disektor pertanian:
1. Petani dengan skala kecil,
menggunakan
pengoperasiaan secara
manual disekitar pertanian
2. Tingkat produktivitas bahan
baku yang rendah
menyebabkan kekurangan
pengerjaan pada sektor
pengolahan makanan (food).
49

3. GDP dari suatu negara


merupakan indicator untuk
mengukur performa ekonomi
dan ukuran perekonomian
suatu negara. 1TJ ubi kayu
dan tetes ethanol
menyumbang 0.9 dan 0.7 juta
THB.
4. Produksi pada biofuels dapat
menurunkan impor (jika
disubstitusi dengan bensin)
berkisar 1.1-1.5 juta THB.

5. Sisi Negatif:
1. Biaya bahan baku pada total
GDP mempunyai dampak
antara 29-55% pada total
GDP. 1 TJ ubi kayu dan
ethanol tetes meningkatkan
impor total 1.05 dan 0.66 juta
THB. Impor pada bahan
kimia yang digunakan untuk
konversi pada bahan kimia.
2. Biaya produksi bio ethanol
lebih tinggi dari bensin.

6. Kebijakan:
Diperlukan pembebasan pajak
untuk mempromosikan bio
ethanol menjadi komersial.

11. Gunatilake, H and 1. Cost Benefit 1. Bahwa bioethanol sebesar 20%


Abeygunawardena, P. Analysis untuk transportasi tidak dapat
2014. Energy 2. Untuk dicapai tanpai mempengaruhi
security, food mengetahui produksi makanan di India.
security and biaya dan 2. Biaya bioethanol dari tebu
economics of manfaat sosial melampaui keuntungan social,
sugarcane bioethanol ekonomi dari karenanya penggunaan
in India bioethanol dari bioethanol tidak dibenarkan
tetes pada ranah ekonomi.
3. Tetes yang merupakan produk
samping dari industri gula,
dapat digunakan untuk
memproduksi bahan bakar
untuk transportasi tanpa
mengurangi produksi untuk
makanan ketika meningkatkan
kesejahteraan social
50

12 Novitasari dan 1. Pendekatan 1. Model yang dibangun terbagi


Wirjodirdjo. 2010. sistem dinamik ke dalam lima submodel yaitu
Mampukah yang submodel persediaan tebu di
Kebijakan Pergulaan komprehensif Indonesia, submodel
nasional 2. untuk persediaan gula kristal,
meningkatkan menggambarka submodel persediaan gula
Perolehan n model secara rafinasi, submodel impor gula
Pendapatan Petani keseluruhan kristal dan submodel impor
Tebu: sebuah dan melakukan gula rafinasi.
Penghampiran simulasi 2. Hasilnya menunjukkan bahwa
Dinamika Sistem skenario skenario yang memberikan
kebijakan dampak paling signifikan
pemerintah terhadap peningkatan profit
dalam upaya petani tebu Indonesia adalah
peningkatan melakukan revitalisasi pabrik
kesejahteraan gula dan penetapan bea masuk
petani tebu. gula impor sebesar 20 persen

13 Budiman, B. 2011. 1. Sistem 1. Skenario model


Analisis Rencana Dinamik pengembangan Pusat Primer
Pembangunan Pusat 2. Tujuan Gedebage yang direncanakan
Primer Gedebage menganalisis berdasarkan beberapa asumsi
Terhadap rencana kondisi yang diharapkan
Pembangunan pembangunan dalam model, yaitu dengan
Ekonomi Kota kawasan memperhitungkan investasi
bandung Melalui gedebage yang masuk ke kawasan Pusat
Pendekatan Sistem terutama pusat Primer Gedebage.
Dinamik primer 2. Adapun skenario dalam model
gedebage Pengembangan Pusat Primer
terhadap Gedebage, yaitu skenario 1,
pembangunan dimana pengembangan Pusat
ekonomi kota Primer Gedebage berjalan
Bandung sesuai dengan investasi saat
ini berjalan sebesar Rp.
500,85 Milyar yang
menghasilkan nilai PDRB Rp.
86,250 Triliun dan pendapatan
per kapita Rp. 20,75 juta.
Skenario 2, dimana
pengembangan Pusat Primer
Gedebage berjalan dengan
investasi yang direncanakan
sebesar Rp. 11,945 Triliun
dengan hasil nilai PDRB
Rp.146,875 Triliun dan
pendapatan per kapita Rp.
34,10 juta per tahun
3. Berdasarkan simulasi model
51

sistem dinamis tentang


dampak pengembangan Pusat
Primer Gedebage terhadap
pembangunan ekonomi Kota
Bandung dapat dilihat dari
perkembangan beberapa
aspek, yaitu perubahan
penduduk, PDRB kota,
penggunaa lahan kota,
pendapatan perkapita dan
Ruang Terbuka Hijau (RTH),
dan berdasarkan simulasi
model, maka adanya
perubahan jumlah penduduk
berupa kenaikan pada akhir
tahun simulasi (2034) menjadi
rata-rata 1,61 persen per
tahun. Sedangkan dalam
penggunaan lahan industri,
perumahan dan jasa
meningkat dari 69,73 persen
menjadi 80,73 persen atau
13.506 Ha pada tahun 2034.
Ini menunjukkan bahwa lahan
kosong (bisa berbentuk
sawah, tegalan ataupun ruang
kosong yang tersedia di Kota
Bandung pada tahun 2034
hanya 19,27 persen atau
3.223,87 Ha. Sedangkan
simulasi mengenai subsistem
ekonomi di Kota Bandung
dengan melihat nilai PDRB
Kota Bandung Atas Dasar
Harga Konstan tahun 2000,
maka dari hasil simulasi nilai
PDRB terlihat adanya
kenaikan PDRB kota yang
pada saat ini Rp 26,979
Triliun maka pada akhir tahun
simulasi (2034) berubah
menjadi Rp. 86,25 Triliun.
52

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi
perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di Indonesia.
Industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi ribuan
petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah satu
kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan sumber kalori yang relatif
murah (BPS, 2012; Almazan et al, 1998).
Permintaan/konsumsi gula dari tahun ke tahun terus meningkat.
Peningkatan konsumsi terjadi karena peningkatan jumlah penduduk, pendapatan
yang meningkat dan masih mahalnya gula dari bahan selain tebu. Industri gula
yang diharapkan bisa memproduksi gula sesuai dengan permintaan atau konsumsi
penduduk dan industri, ternyata tidak mampu memenuhi permintaan gula dalam
negeri. Dari sisi petani, harga lelang gula rendah, HPP dibawah biaya produksi,
meningkatnya pasokan raw sugar dan by product belum terolah.Di dukung
merembesnya gula rafinasi di pasar rumah tangga dan harga gula impor yang
lebih murah dibanding gula dalam negeri, akhirnya mengakibatkankualitas tanam
tebu (TR) semakin menurun. Nilai Tukar Petani (NTP) perkebunan rakyat yang
menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani perkebunan
menunjukkan angka di bawah 100. Data NTP perkebunan rakyat berturut-turut
sebesar: 95,66% tahun 2011, 96,62% tahun 2012, dan 94,02 tahun 2013 (Disbun
Jatim, 2015). Rendahnya NTP dibawah level 100 mencerminkan bahwa
komoditas tanaman tebu kurang menguntungkan, sehingga sulit mengharapkan
petani untuk bergairah menanam tebu (Rohman et al, 2005).
Penjelasan mengenai gula/tebu, tidak bisa dipisahkan peran PG dan petani
sebagai pemilik lahan/penggarap lahan. Untuk PG di pulau Jawa,dari 31 PG yang
ada sebanyak 30 PG merupakan milik BUMN. Sehingga persoalan gula
merupakan persoalan pulau Jawa,baik terkait produksi, PG, luas areal, maupun
impor berbagai jenis gula (Sawit, 2010). Permasalahan bukan saja terjadi pada
tanaman tebu sebagai penghasil gula, tapi juga pada sisi pabrik gula (PG) sebagai
tempat proses produksi tebu yang mengolah tebu menjadi gula.Terdapat
keterkaitan antara kondisi pabrik dengan minat petani dalam bertanam tebu. PG
yang ada sekarang merupakan PG jaman peninggalan hindia belanda yang umur
mesinnya sudah tua.Teknologi yang dipakai juga merupakan teknologi yang perlu
diperbaruhi. Karena kondisi mesin sudah tua, maka output yang dihasilkan
rendah. Inefisiensi dalam produksi gula. Didukung penelitian Sawit (2010)
menyatakan bahwa PG BUMN umumnya pabrik tua dan kapasitas TCD kecil,
sekitar 3.000 TCD. Pabrik dengan mesin tua kinerjanya rendah. Mesinnya kerap
bocor, nira tebu banyak terbuang sehingga tidak menjadi gula. Kehilangan gula
(pol) dalam proses pengolahan tinggi, hal ini juga berpengaruh negatif ke
rendemen gula. Faktor-faktor tersebut membuat biaya produksi PG BUMN
menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula milik swasta. Kartiko
(1998) dan Murdiyatmo (2000) menegaskan bahwa selain faktor-faktor yang
berkaitan dengan budidaya dan pengelolaan tebu, faktor kondisi pabrik gula juga
mempengaruhi produktivitas respon petani untuk bertanam tebu. Kondisi pabrik
yang sudah tua mengakibatkan inefisiensi pabrik sehingga rendemen yang
53

dihasilkan rendah. Rendemen yang rendah mengakibatkan bagi hasil antara petani
dan pabrik gula rendah.
Kondisi industri pergulaan di Jawa Timur masih bisa kita tingkatkan
dengan Economies of Scope. Diversifikasi beragam jenis output tanaman tebu.
Meningkatkan produksi tebu dan mengolah produk turunan tebu (PDT). Selain
menghasilkan gula sebagai produk utama, juga menghasilkan PDT dari produk
samping yang selama ini belum terolah oleh PG. Peningkatan produksi tebu
dengan cara meningkatkan ketersediaan lahan untuk tanaman tebu (Sharif et al,
2009; Toharisman et al, 2013), rendemen dan peningkatan produktivitas. Untuk
meningkatkan produksi GKP dalam rangka swasembada gula. Rendemen mampu
meningkatkan produksi gula (Jose Toasa, 2009; Ditjenbun, 2013). Sedangkan
untuk pengolahan PDT, kondisi yang ada selama ini PG hanya memanfaatkan
sedikit dari limbah tebu yang ada.Mayoritas pabrik gula hanya menyetor bahan
baku ke pabrik-pabrik. Pabrik gula sama sekali tidak mendapat nilai tambah dari
selain gula. Sehingga PG kurang mendapat profit dari hasil pengolahan gula
tersebut. Profit yang dihasilkan dari PDT bisa mencapai lebih dari dua kali lipat
dari profit produk utama, yakni gula. Profit yang diperoleh dari diversifikasi PDT
dapat digunakan kembali pada PG untuk perbaikan mesin sehingga mesin PG
lebih efisien, menutup kerugian yang ditimbulkan akibat proses produksi tebu
menjadi gula dan penjualan gula yang mengalami kerugian akibat harga gula
impor yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula lokal. Transfer cost dari
produk yang kurang menguntungkan pada produk yang menguntungkan
(Prihandana, 2005).
Sejalan dengan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) dan Road Map
Pengembangan Kluster Industri Gula tahun 2010, secara umum permasalahan
yang dihadapi oleh industri gula meliputi on farm dan off farm. Di sisi on farm
masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas gula dan
ketersediaan lahan di Jawa yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi lahan.
Di sisi off farm PG-PG secara teknis telah berumur tua sehingga terjadi penurunan
efisiensi pabrik yang memerlukan penggantian peralatan yang terkendala oleh
terbatasnya ketersediaan dana investasi. Banyak PG-PG yang tingkat
produktifitasnya tidak optimal. Struktur industri gula masih terpaku pada produksi
gula dan belum memanfaatkan produk samping untuk menurunkan biaya produksi
pengolahan tebu. Selain upaya meningkatkan produksi gula dalam rangka
mendukung swasembada gula nasional, fokus pengembangan industri gula juga
pada pemanfaatan produk samping tebu (PDT). Selain memperhatikan dari sisi
PG, dalam model juga memperhatikan kebijakan dari sisi petani tebu. Kebijakan
tersebut adalah kebijakan dana talangan sesuai dengan Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002.
Berdasarkan analisis SWOT, dari 59 unit PG mempunyai peluang
melakukan diversifikasi pengolahan tebu menjadi bioethanol dan produk lain.
Untuk mendukung peluang diversifikasi, diperlukan kerjasama operasional PG
dengan investor dalam negeri dan luar negeri. Dukungan diversifikasi produk
tersebut dituangkan ke dalam program/rencana aksi jangka pendek (2010-2015),
salah satunya mengarahkan investasi baru pada industri gula terintegrasi dengan
perkebunan tebu. Secara rinci peran dari masing-masing pemangku kepentingan
dan kerangka keterkaitan industri gula dapat dilihat pada Tabel 13.
54

Tabel 13 Kerangka Pengembangan Industri Gula Nasional


Industri Inti Industri Pendukung Industri Terkait
Industri Gula Putih, Industri Mesin, Peralatan, bibit, Industri Makanan, Minuman, dan
Gula Rafinasi dan Raw pupuk, pestisida, Fermentasi
sugar perkebunan dan kemasan

Sasaran jangka Pendek (2010-20150) Jangka Panjang (2020-2025)


1. Terpenuhinya kebutuhan gula nasional tahun 2014 1. Indonesia menjadi negara produsen
(Gula Putih, gula Kristal Rafinasi, dan Raw Sugar) gula yang mampu memasok
2. Terealisasinya program revitalisasi pabrik gula kebutuhan negara-negara lain
melalui peningkatan mutu dan volume produksi gula
putih
3. Meningkatnya produksi raw sugar dalam negeri
4. Memberikan SNI wajib Gula Putih
5. Melanjutkan revitalisasi PG 2007-2009 untuk on farm
dan off farm sehingga mutu GKP meningkat
6. Menyusun revisi GKP dan melakukan sosialisasi
intensif agar PG-PG menerapkan revisi standar mutu
GKP yang baru
7. Memberikan kuota impor raw sugar bagi industri gula
refinasi yang disesuaikan dengan kebutuhan gula
rafinasi bagi industri makanan dan minuman dalam
negeri
8. Mengarahkan investasi baru pada industri gula
terintegrasi dengan perkebunan tebu
9. Merevisi kebijakan Ketentuan Impor Gula, yang
disesuaikan dengan perkembangan pergulaan nasional
pada kurun waktu tersebut
Strategi
1. Peningkatan utilitas kapasitas PG dan PGR
2. Peningkatan rendemen tebu melalui sistem pengolahan tebu yang baik (tanam, pembibitan dan
pemeliharaan)
3. Peningkatan efisiensi bahan baku dan energi
4. Penguatan struktur industri gula pada semua tingkat dalam rantai nilai (value chain)
5. Revitalisasi PG BUMN, PG sserta pembangunan PG baru
6. Meningkatkan promosi dan investasi PG-PG di luar Pulau Jawa (Papua, Sumatera dan
Sulawesi)
Pokok-Pokok Rencana Aksi Jangka Pendek (2010- Pokok-Pokok rencana Aksi Jangka
2015) Panjang (2010-2025)
1. Melanjutkan revitalisasi PG 2007-2009 untuk on farm Indonesia menjadi negara pengekspor
dan off farm sehingga mutu dan volume produksi gula di Asia Pasifik
GKP meninfkat
2. Menyusun revisi GKP dan melakukan sosialisasi
intensif agar PG-PG menerapkan revisi standar mutu
GKP yang baru
3. Memberikan kuota impor raw sugar bagi industri gula
refinasi yang disesuaikan dengan kebutuhan gula
rafinasi bagi industri makanan dan minuman dalam
negeri
4. Mengarahkan investasi baru pada industri gula
terintegrasi dengan perkebunan tebu
5. Merevisi kebijakan Ketentuan Impor Gula, yang
disesuaikan dengan perkembangan pergulaan nasional
pada kurun waktu tersebut
Unsur Penunjang
55

Pasar: Infrastruktur:
a. Inisiasi (2004-2009): 1 Meningkatkan peran litbang untuk
Revitalisasi mesin PG, peningkatkan mutu gula (SNI
peningkatan utilitas wajib) dan diversifikasi
kapasitas, bongkar pemanfaatan hasil samping
ratoon, penggunaan bibit 2 Deregulasi dan debirokratisasi
unggul SDM: harmonisasi dan non tariff
b. Pengembangan cepat Meningkatkan 3 Pembangunan infrastruktur
(2010-2015): Modifikasi kemampuan SDM dilahan-lahan tebu agar proses
dan pengembangan dibidang manajemen tebang angkut berjalan efektif dan
teknologi yang lebih industri gula efesien
maju (otomatisasi mesin
dan peralatan)
c. Matang (2016-2025):
restrukturisasi mesin
dan peralatan dengan
teknologi mutakhir
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2010

Agroindustri memiliki peran yang sangat penting karena memberikan


dampak pengganda bagi output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja.
Agroindustri merupakan usaha meningkatkan efisiensi faktor pertanian hingga
menjadi kegiatan yang sangat produktif melalui proses modernisasi pertanian.
Melalui modernisasi di sektor agroindustri dalam skala nasional, penerimaan nilai
tambah dapat di tingkatkan sehingga pendapatan ekspor akan lebih besar lagi
(Saragih, 2004).
Agroindustri yang mengolah produk turunan tebu/ PDT diharapkan dapat
meningkatkan profit PG dan adanya keterkaitan dengan perekonomian wilayah.
Hasil penelitian dalam periode tahun 1994-1998, tentang multiplier agroindustri
terhadap output, pendapatan, dan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor
agroindustri mempunyai nilai multiplier yang tinggi baik terhadap output,
pendapatan maupun tenaga kerja dibandingkan dengan sektor non agroindustri
(Suryani dan Supriyati, 2006). Nilai multiplier di Jawa Timur lebih besar
dibandingkan terhadap agregat maupun wilayah lain. Potensi sektor pertanian
yang cukup besar dan bahan baku sektor pertanian yang besar, mengakibatkan
multiplier output yang tinggi. Multiplier pendapatan akan tinggi bila output dari
agroindustri mampu terserap dengan baik, baik sebagai konsumsi langsung
maupun memenuhi permintaan dalam dan luar negeri. Dalam periode tahun 1985-
2000, peranan agroindustri dalam peningkatan PDB meningkat dari 3,7 persen
menjadi 12,73 persen. Secara spesifik menurut Murdiyatmo (2006) menjelaskan
dampak penggunaan ethanol (PDT) pada sektor sosial atau tenaga kerja dapat
membuka lapangan pekerjaan dibidang pertanian. Satu pabrik etanol berkapasitas
50 juta liter per tahun membutuhkan bahan baku yang berasal dari 10.000 hektar
lahan. Jika tenaga kerja per hektar 2 orang, maka dapat diserap 20.000 orang
tenaga kerja, atau 100.000 jiwa termasuk keluarga. Kajian Parra (2005) dalam
Vian (2006) areal tanam tebu di Brazil sekitar 5,2 juta ha dan menyerap tenaga
kerja 1,2 juta pekerja. Kajian Vian et al (2006) pada tahun 2004 menyatakan
bahwa pasar ethanol dunia sebesar US$ 30-40 milyar. Brazil, China, India,
Malaysia dan Afrika selatan, Amerika Serikat dan EU adalah pemain penting
dalam global market. Sejalan dengan penelitian Wang, Saricks, dan Santini (1999)
yang menegaskan lebih dari setengah total produksi gula digunakan untuk
56

produksi ethanol. Penggunaan campuran ethanol 10% mengurangi emisi rumah


kaca 12-19 persen dibandingkan dengan penggunaan gasoline.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan pada bab 3, maka
penelitian ini dapat merumuskan model pengembangan gula tebu yang dapat
meningkatkan produksi GKP dan PDT dan memberikan dampak peningkatan
bagi perekonomian wilayah (Gambar 10).

Jawa Timur sebagai penghasil Tebu dan GKP terbesar

Diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi swasembada gula nasional

Permasalahan Industri Gula Jawa Timur


TEBU
Permasalahan dari sisi petani tebu Permasalahan dari sisi PG

1. Mesin PG berumur tua


1. HPP kurang memuaskan 2. Gula hilang
2. meningkatnya pasokan raw sugar u 3. Hari giling belum optimal
Economies of Scope ntuk Jatim 4. Kapasitas giling 3000 TCD (60%)
3. By product belum terolah 5. Jam henti giling yang tinggi
6. Tingginya by product yang diolah
pihak ketiga

Transfer Cost
Biaya
NTP Target Produksi GKP Penurunan
Gula + PDT produksi PG ditutup
rendah pusat tidak tercapai (UU konteribusi sektor
tinggi perkebunan thd
no.12/1992) PDRB 4,15%

Model pengembangan agroindustri gula tebu

Pendekatan analisis sistem dinamik

Dana talangan
Skenario SK no. 643
tahun 2002
Peraturan Menteri Perindustrian RI
Revitalisasi Industri
no.11/M-IND/PER/I/2010 atau Road Map
Gula Nasional (RIGN) Swasembada Gula Nasional

Pemerintah Daerah Petani Tebu Pabrik Gula (PG)

Model Kondisi Aktual Model pengembangan GKP dan PDT

Pendapatan Peningkatan Pendapatan


Perekonomian Keuntungan Produksi Perekonomian Peningkatan
(profit) Keuntungan (profit)
Wilayah Jatim (profit) PG GKP Wilayah Jatim Produksi GKP
Petani (profit) PG Petani

PAD Produksi PDT Peningkatan PAD Peningkatan Produksi PDT

Peningkatan Perekonomian Wilayah Jawa Timur

Rekomendasi Kebijakan

Gambar 10 Kerangka Pemikiran Model pengembangan agroindustri gula tebu di


Jawa Timur
57

4 METODE PENELITIAN

4.1 Cakupan Penelitian

Penelitian ini menganalisis mengenai pengembangan agroindustri gula


tebu di Jawa Timur. Mengenai produksi tebu di Jawa Timur dan GKP maupun
PDT yang dihasilkan oleh PG yang ada di Jawa Timur (Gambar 10). Analisis
yang dilakukan meliputi perhitungan mengenai produksi GKP, PDT, PAD,
pendapatan (profit) petani, keuntungan (profit) PG dan Perekonomian Wilayah
di Jawa Timur. Model menggunakan tahun 2010 sebagai tahun dasar sebagai
dimulainya program RIGN. Analisis yang dilakukan hingga tahun 2025,
merupakan tahun berakhirnya rencana aksi jangka panjang program
pengembangan industri gula nasional (RIGN).

Gambar 11 Peta lokasi PG, perkebunan tebu dan kepemilikan PG di Jawa Timur

Gambar 11 menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki PG terbanyak di


Indonesia ( 32 PG). PG di Jawa Timur dimiliki oleh BUMN dengan jumlah 31
PG, sedangkan 1 PG yakni Kebon Agung dengan kapasitas giling sebesar 6000
58

TCD dimiliki oleh swasta. Rata-rata PG di Jawa Timur masuk dalam PG kelas 2,
yakni kapasitas 3000-6000 TCD.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
4.2.1 Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung terhadap petani tebu
dan pegawai PG yang kompeten dibidangnya mengenai pertebuan, dan
penjelasan secara singkat proses produksi gula.
4.2.2 Data sekunder yang digunakandalam penelitian dikumpulkan dari berbagai
sumber meliputi data dari Dewan Gula Indonesia (DGI), Badan Pusat
Statistik (BPS), Pabrik Gula (PG) di Jawa Timur, PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) di Jawa Timur, PT. Karisma Pemasaran Bersama
(KPB), Dinas Pendapatan daerah (Dispenda) Kabupaten di Jawa Timur,
dan Dinas perkebunan (Disbun) Provinsi Jawa Timur.

4.3 Metode Analisis Data

Pengolahan data selanjutnya secara kualitatif (deskriptif) dan kuantitatif.


Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui keragaan GKP dan by- product.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan pendekatan sistem dinamik. Perhitungan
mengenai produksi GKP dan PDT, PAD, pendapatan (profit) petani, keuntungan
(profit) PG dan hubungan dengan perekonomian daerah, menggunakan sistem
dinamis. Analisis sistem dinamis digunakan untuk menyususn model dinamika
pengembangan agroindustri gula tebu di Jawa Timur.

4.3.1 Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan pada Tabel 14 diperlukan untuk mengkaji kebutuhan


para pelaku dalam suatu sistem yang dibangun. Setelah dikaji dan diidentifikasi
kebutuhan dari setiap pelaku yang terkait dalam model, maka tahap selanjutnya
adalah mengembangkan kebutuhan dari setiap pelaku terhadap kebutuhan-
kebutuhan yang telah diidentifikasi. Berdasarkan wawancara dan studi pustaka,
pelaku industri gula dikelompokkan sebagai berikut: 1) Petani, 2) Pemerintah
Daerah, 3) Pabrik Gula, 4) Pabrik Bioethanol, 5) Konsumen.

Tabel 14 Analisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dalam model


pengembangan agroindustri gula tebu
No. Pelaku Kebutuhan
1. Petani 1. Harga jual gula lokal tinggi
2. Penentuan rendemen yang transparan
3. Rendemen tinggi
4. HPP tinggi
5. Kemudahan mendapatkan pinjaman
modal usaha
59

2. Pemerintah Daerah 1. Produksi Tebu dan GKP meningkat


2. Penerimaan Pajak dan Retribusi dari
GKP meningkat
3. Pabrik Gula 1. Keuntungan meningkat
2. Kontinuitas suplai bahan baku
3. Peningkatan Produktifitas
4. Revitalisasi mesin PG
5. Produksi gula tinggi
6. Rendemen Tinggi

4 Pabrik Bioethanol 1. Bahan Baku tersedia


2. Kebijakan pemerintah yang mendukung
keberlanjutan usaha Pabrik Bioethanol
3. Harga penjualan bioethanol tinggi
4. Kemudahan prosedur dalam penjualan

5 Konsumen 1. GKP stoknya selalu tersedia


2. Harga murah
Sumber: Kementerian BUMN (2011), petani tebu, dan pihak yang kompeten di
bidang bioethanol

4.3.2 Formulasi Masalah dalam sistem

Adanya kebutuhan yang berbeda-beda antar pelaku yang terlibat akan


mengakibatkan tujuan sistem sulit mencapai tujuan. Sehingga diperlukan
pemetaan antar pelaku dalam sistem sehingga mendapatkan solusi penyelesaian
antar kepentingan pelaku dalam sistem tersebut (Tabel 15). Untuk memahami
mekanisme yang terjadi, maka dibuat analisis formulasi permasalahan antar
kepentingan pelaku sehingga dapat mencapai tujuan.

Tabel 15 Analisis Formulasi Permasalahan pelaku yang terlibat dalam model


dinamika sistem pengembangan agroindustri gula tebu
No. Pelaku Kebutuhan
1. Petani 1. Rendemen rendah
2. Produktivitas rendah
3. Keprasan pada tanaman tebu lebih dari 3 kali
4. Sistem penentuan rendemen kurang
transparan
5. Kebijakan pemerintah yang kurang memihak
petani (tidak adanya dana talangan UU
no.643 tahun 2002)
6. Adanya harga gula impor murah

2. Pemerintah Daerah 1. Penerimaan Pajak dan Retribusi dari GKP


rendah
2. Perluasan lahan yang terkendala dengan
persaingan dengan komoditas lain yang
menguntungkan dan cepat
60

Tabel 15 (lanjutan)
3. Pabrik Gula 1. Mesin tua
2. Produktifitas rendah
3. Revitalisasi mesin PG tidak menyeluruh

4 Pabrik Bioethanol 1. Kebijakan pemerintah yang kurang


mendukung keberlanjutan usaha Pabrik
Bioethanol
2. Harga bioethanol rendah
3. Prosedur dalam penjualan rumit dan
berliku

4.3.3 Sistem Dinamik


4.3.3.1 Struktur Model

Perilaku suatu sistem maupun model sangat bergantung pada


strukturnya. Struktur dalam hal ini adalah komponen-komponen yang ada
dan hubungan saling keterkaitan antara komponen-komponen tersebut.
Parameter yang melekat pada setiap komponen juga akan memegang peranan
penting. Dalam makna yang sederhana, membangun struktur model adalah
membuat causal loop yang dapat mencerminkan sistem yang sesungguhnya.
Pada bagian ini, struktur dan perilaku model yang dibuat akan
diuraikan secara bersamaan. Untuk memudahkan, maka penjelasan akan
dimulai dari struktur model global baru kemudian dengan sub-sub model.

4.3.3.2 Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan rantai hubungan antara kebutuhan-


kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem dengan permasalahan-
permasalahan yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Eriyanto, 2003
dalam Muis, 2012). Keterkaitan masing-masing pelaku sistem digambarkan
dalam hubungan sebab akibat (causal loop). Diagram sebab akibat
pengembangan agroindustri gula tebu, disajikan pada gambar 12.
61

Produkivitas + Luas lahan Tebu + Produktivitas +


Jatim Tebu TR
+ Tebu TS
+ +
Laju Pertumbuhan
Laju Pertumbuhan
+ + Produktivitas Tebu TR
Produktivitas Tebu TS
+ Produksi Tebu TS + + Produksi Tebu TR
+ + Luas Lahan TR
Luas lahan TS - Produksi tebu
Jatim +
Susut + +
Laju Pertumbuhan+ Lama Giling Laju Pertumbuhan
Biaya Produksi
Lahan TS + Bioethanol
Lahan TR -
+
Ampas -
+ Jumlah Ampas u
Laju Pertumbuhan Bioethanol + Profit Bioethanol
Kapasitas terpakai +
+
Penerimaan +
Kapasitas Jumlah Ampas u Harga Bioethanol Bioethanol +
+
Terpakai + Kampas Rem
+Penerimaan Pucuk tebu yang
+ Kampas Rem diperoleh/ha
Harga Kampas Total Profit
Kapasitas Rem + + +
+ PDT PDRB Jatim
Terpasang + +
+
Profit Kampas
+ Biaya Produksi
Laju Pertumbuhan Rem
Kapasitas Terpasang
+ - - tetes PEREKONOMIAN
Tax Ratio WILAYAH JATIM
Jumlah Ampas Biaya Produksi - -
Untuk Listrik Kampas rem + +
+ + Profit Bioethanol
Penerimaan Listrik Total Penerimaan +
tetes Retribusi
+ + +
+ + + +
Harga Listrik +
+ +
Penerimaan dari PAD
Profit listrik
- + bioethanol +
Laju pertumbuhan Tetes
+ + +
rendemen Biaya Produksi Harga Bioetnl
Jumlah Tetes u -
Listrik
Bioethanol BPP Gula Pajak
+ - +
Rendemen Produksi GKP +
-
+ Jatim Profit Gula
Harga lelang gula +
+ + +
+ Penerimaan PG
Blotong Gula bag PG dr Gula
+
Harga Patokan +
+ Petani Harga pucuk tebu
Gula bag Petani
Jumlah Blotong u
Biokompos +
+ +
Penerimaan petani Penerimaan dari
Penerimaan + + dr gula pucuk tebu
Biokompos Profit Blotong
Harga Biokompos
+ -
-
Biaya Produksi + +
Blotong
Tetes bag Petani Penerimaan Petani
Peneriman dr +
+ Tetes
+ +
- Profit
Harg Tetes -
Total biaya
TST 1 (petani)

Gambar 12 Diagram sebab akibat model pengembangan agroindustri gula


tebu dan peningkatan perkonomian Jatim

Diagram sebab akibat menggambarkan keterkaitan hubungan antar


elemen dalam sistem peningkatan produksi GKP dan PDT. Setelah
menyusun causal loop, langkah selanjutnya adalah menginterpretasikan
diagram alir ke dalam black box atau diagram input output. Hasil rancangan
diagram input output disajikan pada Gambar 13.
62

Input Lingkungan
Kebijakan Pemerintah

Input tak terkendali:


Output dikehendaki:
1. Kondisi Pasar PDT DN 1. PDRB Jatim meningkat
yang belum mendukung 2. Produksi GKP dan PDT
2. Harga gula impor rendah meningkat
3. Iklim dan cuaca 3. Keuntungan PG meningkat
mempengaruhi produksi 4. Pendapatan petani menurun
tebu

Sistem Pengembangan
Agroindustri gula tebu

Output tak dikehendaki:


Input terkendali: 1. Penurunan share GKP dan
1. Luas areal tebu PDT terhadap PDRB Jatim
2. Produktivitas tebu 2. Ketergantungan keuntungan
3. Rendemen PG terhadap produk tunggal
GKP
3. Produksi GKP turun
4. Keuntungan PG turun

Revitalisasi Industri Gula


Nasional (RIGN)

Gambar 13 Diagram Input-output rancangan model pengembangan


agroindustri gula tebu

Pada diagram input output (Gambar 13) terdapat empat faktor penting
yaitu input tak terkendali, input terkendali, output yang diinginkan dan
output yang tidak diinginkan. Input terkendali merupakan input yang secara
langsung mempengaruhi kinerja sistem. Selain empat faktor tersebut
terdapat dua faktor lain yang berpengaruh yaitu input lingkungan dan umpan
balik.
Input yang secara langsung mempengaruhi pengembangan GKP dan
PDT dan bersifat dapat dikendalikan adalah luas lahan, produktivitas tebu
dan rendemen yang merupakan input terkendali. Input yang diperlukan
untuk peningkatan produksi GKP dan PDT namun tidak dapat dikendalikan
63

yaitu harga gula impor yang rendah, kondisi pasar PDT dalam negeri (DN)
yang belum mendukung dan iklim dan cuaca yang mempengaruhi produksi
tebu, yang merupakan input tidak terkendali. Input lingkungan merupakan
faktor yang berpengaruh dalam pengembangan GKP dan PDT secara tidak
langsung dalam mencapai tujuan, yaitu kebijakan pemerintah. Ketiga input
tersebut akan menghasilkan output yang dikehendaki dan output yang tidak
dikehendaki. Output yang dikehendaki adalah PDRB Jawa Timur meningkat,
produksi GKP dan PDT meningkat dan keuntungan PG meningkat.
Sedangkan output yang tidak dikehendaki adalah share PDT terhadap PDRB
Jawa Timur kecil, ketergantungan pada produk tunggal/GKP saja sehingga
keuntungan PG menurun, produksi GKP menurun dan pendapatan petani
mengalami penurunan.

4.3.3.3 Pengembangan Model

Struktur model global terdiri atas beberapa sub-sub model diagram


causal loop untuk memudahkan pemodelan. Masing-masing sub sistem
selain berinteraksi dengan sub sistem lainnya juga memiliki interaksi secara
internal di antara komponen-komponen struktur yang dimiliki oleh sub
system bersangkutan.
Struktur model global menunjukkan batas (boundary) sistem. Model
Global dalam pengembangan GKP dan PDT dibentuk oleh 5 (lima) sub
model, yaitu: (1) submodel bahan baku, (2) sub model pengolahan GKP dan
by product, (3) Submodel pendapatan (profit) Petani dan (4) sub model
keuntungan (profit) PG dan (5) sub model keterkaitan PDT dengan ekonomi
wilayah. Pengembangan model PDT disusun dari 5 (lima) submodel yang
memiliki keterkaitan antar variabel. Pengembangan model sistem dinamis
ini ditujukan untuk mengetahui perilaku industri hilir tebu yang
diindikasikan oleh produksi GKP, PDT, pendapatan petani, keuntungan PG,
serta keterkaitan dengan perekonomian wilayah.

a. Sub Model Bahan Baku

Sub model bahan baku pada Gambar 14 merupakan sub model yang
dibangun dari adanya pola kemitraan antara PG dengan Petani tebu.
Hubungan yang khas antara PG dan petani tebu. PG hanya sebagai pabrikasi
untuk menggiling tebu menjadi gula dan petani sebagai pihak yang
menyediakan tebu sebagai bahan baku gula yang akan dihasilkan.
64

Fraksi Pertumbuhan
Fraksi Pertumbuhan
Produkstivitas TS
Produktivitas TR

Produktivtas TR
Produksi TR Produktivitas TS
Laju Peningkatan
Produkstivts TR Laju Peningkatan
Produkstvts TS
Produksi TS
Luas Lahan TR
Laju Pertumbhn
Lahan TR Luas Lahan TS
Fraksi Pertumbuhan Produksi Tebu Jatim
Lahan TR Laju Pertumbhn Fraksi Pertbhn Lahan
Lahan TS TS

Goal Lahan TR
Susut
Total Produksi Tebu Jatim
Goal Lahan TS
Luas Lahan Total Fraksi Susut

Gambar 14 Diagram alir sub model bahan baku

Bahan baku merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi,
karena tanpa adanya bahan baku maka sebuah proses produksi tidak bisa
berlangsung. Pada sub Model Bahan Baku terlihat bahwa luas lahan tebu
berpengaruh terhadap produksi tebu Jatim, semakin luas lahan tanam tebu, maka
produksi tebu akan meningkat. Sehingga semakin banyak tebu yang tersedia
sebagai bahan baku GKP dan PDT. Luas lahan tebu adalah luas lahan yang
ditanami tebu (Ha). Luas lahan tebu terbagi dua berdasarkan pengusahaan, yaitu
luas lahan yang dimiliki sendiri (TS) dan luas lahan yang dimiliki oleh rakyat
(TR). Pengusahaan tanaman tebu di Jawa Timur 90% diusahaakan oleh TR dan
sisanya oleh TS (Disbun Jatim, 2012b). Antara PG dan petani memiliki pola
kemitraan, dimana petani sebagai penyedia utama bahan baku GKP dan PDT
yakni tebu, sedangkan PG sebagai tempat untuk menggilingkan tebunya.
Luas areal tebu memiliki hubungan yang positif dengan produksi tebu,
GKP dan PDT. Semakin tinggi luas areal tebu, maka semakin banyak tebu yang
produksi. Di mana GKP yang dihasilkan merupakan gula berbahan baku dari tebu.
Selain luas areal, produktivitas tebu memiliki hubungan yang positif
dengan produksi tebu dan GKP. Produktivitas tebu adalah banyaknya tebu yang
dihasilkan per hektar (ton/ha). Semakin tinggi produktivitas tebu maka produksi
tebu juga semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya produksi tebu,
maka produksi GKP yang dihasilkan juga akan meningkat dan PDT yang
dihasilkan juga semakin banyak. Seperti halnya luas lahan tebu, produktivitas tebu
juga dibagi dua berdasarkan sifat pengusahaannya yakni TR dan TS.
65

Tabel 16 Persamaan yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku


No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber data
1. Luas_lhn_ Jumlah luas areal tebu yang ha 177670.1286 DGI (2014)
TR diusahakan oleh TR pada tahun
2010 di Jawa Timur

2 Fraksi_pertumbuhan_ Tingkat laju pertumbuhan luas %/yr 4.22 DGI (2014)


lhn_ TR areal tebu per tahun yang
diusahakan oleh TR periode
2005-2010 di Jawa Timur

3 Laju pertumbuhan Jumlah Penambahan areal yang ha/yr IF(Luas lhn Hasil
lhn TR diusahakan per tahun oleh TR di TR<Target lahan perhitungan
Jatim TR,Fraksi
pertumbuhan lhn
TR*luas lhn TR,((-
(luas lhn TR-target
lhn TR))*

4 Goal lahan TR Luas lahan TR yang ditargetkan ha/yr 230000 Disbun Jatim,
oleh Disbun Jatim Maksimum 2015

5 Produktivitas_TR Produktivitas tebu TR ton/h 74.52 DGI (2014)


merupakan rasio antara produksi a
dan luas areal pada tahun 2010
di Jawa Timur

6 Fraksi_pertumbuhan_ Tingkat laju pertumbuhan %/yr 0.98 DGI (2014)


prdktvts_TR produktivitas tebu per tahun
yang diusahakan oleh TR
periode 2005-2010 di Jawa
Timur

7 Lj_pngktn_ Jumlah peningkatan ton/h ’Produktivitas_ Hasil


prdktvts_TR produktivitas tebu TR di Jawa a/ TR’*’Fraksi_ perhitungan
Timur yr pertumbuhan_
prdktvts_TR’

8 Produksi_tebu_TR Jumlah produksi tebu yang ton ’Luas_lhn_TR’*’P Hasil


dihasilkan TR di Jawa Timur roduktivitas_TR’ perhitungan

9 Luas_lhn_TS Jumlah luas areal tebu yang ha 21139.53 DGI (2014)


diusahakan oleh TS pada tahun
2010 di Jatim

10 Fraksi_pertumbuhan_ Tingkat laju pertumbuhan luas %/yr 0.42 DGI (2014)


lhn_ TS areal tebu per tahun yang
diusahakan oleh TS periode
2005-2010 di Jawa Timur

11 Laju pertumbuhan Jumlah Penambahan areal yang Ha/yr IF(Luas lhn Hasil
lhn TS diusahakan per tahun TS<Target lahan perhitungan
TS,Fraksi
pertumbuhan lhn
TS*luas lhn TS,((-
(luas lhn TS-target
lhn TS))*
66

Tabel 16 (lanjutan)
12 Produktivi Produktivitas tebu TS ton/ 64.24 DGI (2014)
tas_TS merupakan rasio antara produksi ha
dan luas areal pada tahun 2010

13 Fraksi_per Tingkat laju pertumbuhan %/yr 0.44 DGI (2014)


tumbuhan_ produktivitas tebu per tahunyang
prdktvts_ diusahakan oleh TS periode
TS 2005-2010 di Jawa Timur

14 Lj_pngktn_prdktvts_ Jumlah peningkatan ton/ ’Produktivitas_ Hasil


TS produktivitas tebu TS ha/ TS’*’Fraksi_ perhitungan
yr pertumbuhan_
prdktvts_TS’

15 Goal Lahan TS Luas lahan TS yang ha/yr 158200 Disbun


ditargetkan oleh Disbun Jatim, 2015
Jatim maksimum

16 Produksi_ Jumlah produksi tebu yang ton ’Luas_lhn_TS’ Hasil


tebu_TS dihasilkan oleh TS *’Produktivita Perhitungan
s_
TS’

17 Fraksi_su Persentase tebu yang hilang %/yr 0.98 BKP (2002)


sut terhadap produksi tebu dalam
Supriyati
(2011)

18 Susut Jumlah tebu yang hilang ton/ ’Fraksi_susut’ Hasil


yr * perhitungan
’Produksi_tebu

19 Produksi_ Jumlah produksi tebu yang ton ’Produksi_tebu Hasil
tebu Jatim dihasilkan oleh TR dan TS _ perhitungan
TR’+’Produksi
_tebu_TS’
20 Total_pro Jumlah produksi tebu yang ton ’Produksi_tebu Hasil
duksi_tebu Jatim dihasilkan oleh TR dan TS ’-’Susut’ perhitungan
setelah memperhitungkan
susut
21 Luas_lhn_ Jumlah luas areal tebu yang ha ’Luas_lhn_TR Hasil
total diusahakan oleh TR dan TS ’+’Luas_lhn_T perhitungan
S’

b. Sub Model Pengolahan GKP dan Co-Product

Submodel pengolahan GKP dan Co-Product merupakan sub model tempat


tebu diolah menjadi GKP dan produk samping (co product). Ketika produk
samping belum diolah lebih lanjut (berupa tetes, ampas dan blotong), maka
disebut by product. GKP terutama dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain
rendemen, kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai. Gambar 15 menunjukkan
struktur sub model pengolahan GKP dan co-product.
67

Untuk menentukan tinggi rendahnya kandungan gula yang terdapat di


dalam tebu, umumnya petani menggunakan rendemen. Rendemen adalah kadar
gula yang terkandung di dalam tebu (%). Rendemen dengan produksi GKP
memiliki hubungan yang positif. Semakin tinggi kadar rendemen maka semakin
tinggi kandungan gula di dalam tebu sehingga semakin tinggi pula gula yang
dihasilkan.
Dalam industri gula, dikenal dengan kapasitas inclusive dan ekslusive.
Kapasitas inclusive merupakan kemampuan kapasitas mesin dalam menggiling
tebu menjadi GKP dengan memasukkan jam henti giling di dalamnya. Sedangkan
kapasitas ekslusive merupakan kemampuan mesin dalam menggiling tebu tanpa
memperhatikan jam henti giling di dalamnya. Kapasitas terpasang merupakan
kemampuan mesin dalam PG untuk menggiling tebu perharinya tanpa
memperhitungkan jam henti giling. Sedangkan kapasitas terpakai merupakan
kemampuan mesin PG dalam menggiling tebu menjadi gula dengan
memperhatikan jam henti giling di dalamnya. Pada PG penyebab mesin
mengalami jam henti giling bermacam-macam, bisa disebabkan karena kerusakan
mesin, kekurangan pasokan tebu dan usia mesin yang sudah tua.

Total Produksi Tebu Jatim


Fraksi laju kapasits
terpasg Jumlah PG Jatim
Kapasitas Giling PG

Kapasitas terpsg industri


Fraksi ampas
Laju Peningkatan
Ampas
kapasitas
terpasang
Fraksi Blotong Konstanta
kapasitas giling per
PG

Lama Giling Kapasitas terpakai


Blotong

Kapasitas terpakai By Product


maksimal

Init utilisasi kapasts


terpakai Tetes
fraksi tetes

Laju penambhn
kapasits terpakai

Produksi GKP Jatim

Rendemen
Laju peningkatan
rendemen

Fraksi pertumbuhan
rendemen

Gambar 15 Diagram alir sub model pengolahan GKP dan Co-Product

Semakin besar kapasitas mesin PG dalam menggiling tebu, yang disebut


TCD (Ton Cane per Day), maka semakin besar juga kemampuan mesin tersebut
dalam menghasilkan GKP per hari.
68

Tabel 17 Persamaan yang digunakan pada sub model pengolahan GKP dan co
product
No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber data
1 Kap_terpasan Jumlah kapasitas ton 22941200 DGI (2014)
g_industri terpasang industri tebu/ Hasil
pengolahan gula pada hari Perhitungan
tahun 2010 di Jawa
Timur

2 Lj_pngktn_ Rata-rata peningkatan ton ’kap_terpasan Hasil perhitu


kap_terpasang kap terpasang industri tebu/ g_industri’*’fr ngan
pengolahan gula hari/yr aksi_lj_kap_te
rpasang’
3 Fraksi_lj_kap Persentase peningkatan %/yr 3.33 DGI (2014)
_ kapasitas terpasang per
terpasang tahun industri
pengolahan gula
periode 2005-2010 di
Jawa Timur

4 Kap_terpakai_ Jumlah kapasitas ton IF (Init Hasil Perhitu


industi terpakai industri tebu/ utilisasi ngan
pengolahan gula hari kapasitas
terpakai*kapa
sitas terpasang
industry>Total
produksi tebu
Jatim, Total
Produksi Tebu
Jatim , (Init
utilisasi
kapasitas
terpakai
*kapasitas
terpasang
industry))

5 Init_utilisasi_ Tingkat utilisasi % 92.50 DGI (2014)


kap_terpakai kapasitas terpasang
industri gula pada
tahun 2010 di Jawa
Timur
6 Lj_penamba Peningkatan kapasitas ton ’Init_utilisasi_ Hasil perhitu
han_kap_terpa terpakai industri tebu/ kap_terpakai’ ngan
kai pengolahan gula akibat hari/ *’Laju_pngktn
perubahan kapasitas thn _kap_terpasan
terpasang g’
7 Produksi_ Jumlah GKP yang ton ’Rendemen’* Hasil perhitu
GKP_Jatim diproduksi ’Lama_giling’ ngan
*’Kap_terpaka
i_industri
8 Rendemen Kadar kandungan gula % 7.4 DGI (2014)
yang terkandung dalam
tebu
69

9 Fraksi_pngktn Persentase peningkatan %/yr 2.58 DGI (2014)


_rendemen rendemen per tahun
selama periode 2005-
2010 di Jawa Timur

10 Lj_pngktn_re Jumlah peningkatan %/yr ’Rendemen’* Hasil perhitu


ndemen rendemen ’Fraksi_pnkat ngan
n_
rendemen’
11 Kapasitas Jumlah Kapasitas Ton Init utilisasi Hasil
Terpakai terpakai secara kapasitas Perhitungan
Maksimal maksimal dalam terpakai*kapa
industry pengolahan sitas terpasang
gula industry

12 Lama_Giling Waktu yang diperlukan Hari/ ’Total_produk Hasil perhitu


untuk menggiling tebu yr si_Tebu’/’Kap ngan
_inclusive_ind
ustri’

13 Ampas Produk samping yang Ton Fraksi DGI, 2014


didapat dari Ampas*Kapas
perhitungan tebu yang itas terpakai Hasil
digiling di Jatim Industri Perhitungan

14 Fraksi Ampas Persentase ampas yang %/yr 39.9 Soebiyono,


dihasilkan dari total 2013
tebu giling

15 Tetes Jumlah tetes yang Ton Kapasitas Hasil


dihasilkan dari setiap Terpakai Perhitungan
tebu yang digiling. Industri*Fraks
Bagi hasil dari setiap i tetes
tebu yang digiling
mendapat 3kg/ku tebu
giling.

16 Fraksi Tetes Persentase tetes yang %/yr 5.2 DGI, 2014


dihasilkan dari total
tebu yang digiling

17 Blotong Hasil samping proses Ton Kapasitas Hasil


penjernihan dalam Terpakai Perhitungan
produksi gula industry *
Fraksi Blotong
18 Fraksi Persentase blotong %/yr 3.87 Soebiyono,
Blotong yang dihasilkan dari 2013
total tebu yang digiling
19 By Product Jumlah produk ton Ampas+Bloto Hasil
samping yang ng+Tetes perhitungan
dihasilkan
20 Kapasitas Kemampuan PG dalam Ton 'Jumlah PG Hasil
giling PG menggiling tebu per Jatim'*'Konsta perhitungan
hari nta kapasitas
giling per PG'
70

21 Jumlah PG Jumlah PG ideal di buah IF('Total Hasil


Jatim Jatim Produksi Tebu perhitungan
Jatim'<=19017
877.07*1<<to
n>>,31,IF(('To
tal Produksi
Tebu
Jatim'>190178
77.07<<ton>>
)AND('Total
Produksi Tebu
Jatim'<=19633
356.97<<ton>
>),32,33))

c. Sub Model Pendapatan (profit) Petani

Sub model pendapatan petani pada Gambar 16 dibangun untuk melihat


dinamika yang pendapatan yang dihasilkan petani dalam menanam tebu dengan
peningkatan produksi GKP dan PDT. Pendapatan petani dipengaruhi oleh
penerimaan dan pengeluaran petani tebu dalam menanam tebu rakyat (TR).
Adapun pengeluaran yang dilakukan petani tebu dalam mengusahakan lahan
tebunya antara lain: biaya garap, biaya pupuk, pembayaran PBB, pembelian bibit,
sewa lahan dan Tebang Muat Angkut (TMA). Penerimaan yang diperoleh petani
tebu merupakan pembagian dari perolehan gula yang dihasilkan berdasarkan
rendemen dan pembagian tetes.
71

Lama Giling

Rendemen Kapasitas Terpakai


Laju peningkatan Produksi GKP Jatim
rendemen Peneriman petani
dari gula
Fraksi pertumbuhan Harga tetess
rendemen Harga gula
talangan
Gula bag petani Tetes bag Ptn

Biaya garap total Total Penerimaan Profit petani tanpa


pucuk tebu
Biay garap per haPeneriman petani
dari gula Pnrman Petani dr
Tetes
Biay pupuk per ha
Profit u Petani berdsr luas Penerimaan pucuk
lhn ttl tebu Pnrman Petani dr
Tetes
Biaya pupuk ttl Total Biaya TST1

Pucuk tebu yg
Total Produksi Tebu Jatim diperoleh Total Biaya TST1
Biay herbisid per ha

Biaya bibit ttl

Biaya herbisida Biaya PBB Petani Biaya TMA ttl


Harga pucuk tebu Profit Ptni per ha
Luas Lahan Total total total tanpa pck tebu
Biaya PBB Petani

Luas Lahan Total


Biay sewa lahan_ha
Pajak Bumi Biaya TMA_TG
Bangnan per ha
Biaya bibit per ha
Biaya sewa lhn ttl Profit petani per ha

Luas Lahan Total

Gambar 16 Diagram alir sub model pendapatan (profit) petani

Semakin tinggi rendemen yang dihasilkan maka bagi hasil yang


didapatkan petani akan semakin besar. Pada rendemen >6% maka bagi hasil
antara petani tebu dan PG adalah 60%:30%.

Tabel 18 Persamaan yang digunakan pada sub model pendapatan (profit) petani
No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber data
1 Penerimaan Pendapatan yang Rp/ton Harga tetes*tetes Hasil
Petani dari tetes diperaleh petani dari bagian petani Perhitungan
tiap tetes yang
diperoleh dari tiap
tebu yang digiling
2 Penerimaan Pendapatan yang Rp/ton Harga pucuk Hasil
petani dari pucuk diperaleh petani dari tebu*pucuk tebu Perhitungan
tebu tiap tebu yang yang diperoleh
digiling periode 2010 Toharisman
di Jatim. dan Yahya
Angka diperoleh, dari Kurniawan,
setiap jumlah tebu 2012
yang dipanen akan
menghasilkan 14.6
ton/ha pucuk tebu.
72

Tabel 18 (lanjutan)
3 Penerimaan Pendapatan yang Rp/ton Harga gula Hasil
Petani dari Gula diperaleh petani dari talangan*gula Perhitungan
tiap gula yang bagian petani
dihasilkan dihitung PG
dari kadar rendemen Pradjekan,
yang dihasilkan 2013
dikali dengan jumlah
gula yang dihasilkan
pada tahun 2010 di
Jawa Timur

Rendemen >6%,
maka pembagian gula
milik petani 70:30 dr
gula yang dihasilkan.

4 Total Penerimaan petani Rp/Ha Profit untuk Hasil


Penerimaan berdasarkan luas petani Perhitungan
Petani per Ha lahan berdasarkan luas
lahan total/luas
lahan total

5 Tetes bagian Jumlah tetes bagian Ton 0.03*Total Hasil


Petani petani yang Produksi tebu perhitungan
menggilingkan Jatim
tebunga di PG
berdasarkan jumlah
tebu yang digilingkan
yaitu 3kg/ku tebu
yang digilingkan

6 Harga Tetes Harga Jual tetes yang Rp/ton 600.000 PG Pradjekan


berlaku di pasaran 2014
tahun 2010 di Jawa
Timur

7 Gula bagian Jumlah gula yang Ton Produksi GKP Hasil


petani menjadi hak dari Jatim *0.7 perhitungan
petani tebu dari setiap
tebu yang digiling. PG Pradjekan
Dimana 2014
prosentasenya
berdasarkan
rendemen yang
dihasilkan.

8 Biaya Pokok Biaya yang Rp/ton 6.250.000 DGI, 2014


Produksi dikeluarkan dalam
memproduksi tebu
tahun 2010

9 Total Penjumlahan Rp/ton Penerimaan petani Hasil


penerimaan penerimaan yang dari perhitungan
diperoleh dari tetes, tetes+gula+pucuk
gula dan pucuk tebu tebu
petani tebu Jatim
73

Tabel 18 (lanjutan)
10 Pendapatan Selisih antara rp Total Penerimaan- Hasil
(profit) Petani penerimaan dan biaya Total Biaya TST perhitungan
berdasarkan luas yang dikeluarkan 1
lahan total dalam menanam tebu

11 Biaya Garap per Besarnya biaya yang Rp/ha 6718500 MBK PG


Ha dikeluarkan untuk Pradjekan,
menghasilkan tebu 2014
per ha pada TST 1
tahun 2010 di Jawa
Timur

12 Biaya Pupuk per Besarnya biaya yang Rp/ha 3759100 MBK PG


ha dikeluarkan untuk Pradjekan,
membeli beberapa 2014
jenis pupuk yang
dibutuhkan dalam
menanam tebu tahun
2010 di Jawa Timur

13 Biaya Herbisida Besarnya biaya yang Rp/ha 194500 MBK PG


per Ha dikeluarkan untuk Pradjekan,
membeli obat 2014
pembasmi serangga
tahun 2010

14 PBB (Pajak Pajak Bumi dan Rp/ha 150000 MBK PG


Bumi dan bangunan yang Pradjekan,
Bangunan) dibayarkan atas tanah 2014
yang ditanami tebu
per ha pada tahun
2010

15 Biaya Sewa Biaya yang Rp/ha 6000000 MBK PG


Lahan dikeluarkan dalam Pradjekan,
menyewa areal tebu 2014
untuk ditanami.jenis
lahan tegalan tahun
2010

Selisih antara Rp/ha Profit petani Hasil


16 Profit Petani per penerimaan dan biaya berdasarkan luas perhitungan
. ha yang dikeluarkan lahan total-(Biaya
dalam menanam tebu PBB Petani + PPh
dari total profit
petani)
17 Biaya PBB Total Jumlah Pajak Bumi Rp PBB per ha*Luas DGI (2014)
dan Bangunan yang lahan total Hasil
dibayarkan Perhitungan
berdasarkan luas
tanah yang dimiliki

18 Biaya garap total Biaya yang Rp Biaya garap per Hasil perhitu
dikeluarkan dalam ha*luas lahan ngan
menanam tebu jenis total
TST 1
74

Tabel 18 (lanjutan)
19 Biaya pupuk Biaya yang %/yr Biaya pupuk per DGI (2014)
total dikeluarkan dalam ha*luas lahan
rangka membeli total
pupuk.

20 Gula bagian Jumlah gula yang ton 0.7* GKP Hasil Perhitu
petani didapatkan petani tebu/ ngan
tebu berdasar hari
rendemen dan gula
yang dihasilkan tahun
2010 di Jawa Timur

21 Harga pucuk Harga pucuk tebu Rp/ton 250000 DGI (2014)


tebu tahun 2010 di Jawa
Timur

22 Pucuk tebu yang Jumlah pucuk tebu ton 14.6 * luas lahan Hasil perhitu
diperoleh yang diperoleh tebu/ total ngan
berdasar jumlah tebu hari/
yang dihasilkan per yr
hektar di Jawa Timur

23 Biaya herbisida Jumlah biaya dalam Rp Luas lahan Hasil perhitu


total menggunakan total*biaya ngan
herbisida per ha di herbisida per ha
Jawa Timur

24 Biaya sewa Biaya dalam Rp Biaya sewa lahan Hasil perhitu


lahan total menyewa lahan tebu per ha*Luas lahan ngan
di Jawa Timur total

25 Biaya bibit total Jumlah biaya yang Rp Biaya bibit per Hasil
dikeluarkan dalan ha*luas lahan Perhitungan
membeli bibit total

26 Biaya bibit per Jumlah biaya yang Rp 3375000 DGI (2014)


ha dikeluarkan dalan
membeli bibit per ha
tahun 2010

27 Biaya TMA-TG Biaya yang Rp 8000000 PG


dikeluarkan dalam Pradjekan,
proses TMA tahun 2014
2010

28 Biaya TMA Jumlah biaya yang Rp Biaya TMA- Hasil


Total dikeluarkan dalam TG*Total perhitungan
rangka TMA pada produksi tebu
waktu musim giling Jatim

29 Pendapatan Jumlah profit yang Rp/ha Profit petani /luas DGI (2014)
(profit) petani didapat dalam masa lahan total Hasil
per ha tanam sampai panen Perhitungan
atau giling tebu per
ha
75

Tabel 18 (lanjutan)
30 Total Biaya Jumlah biaya yang Rp (Biaya TMA Hasil perhitu
TST1 (Tebu dikeluarkan dalam total+Biaya bibit ngan
Sistem Tegalan menanam tebu jenis total+biaya garap
pertama tanam) TST 1 total+biaya
herbisida
total+biaya PBB
total+biaya pupuk
total+biaya sewa
lahan
total)*Fraksi
harga

31 Penerimaan dari Penerimaan Gula Rp Harga Hasil


Gula bagian PG bagian PG yang gula*((0.3*produ Perhitungan
diberikan ksi GKP Jatim)
berdasarkan
rendemen yang
dihasilkan tahun
2010

32 Pajak Bumi dan Jumlah pajak yang Rp 150.000 PG Prajekan


Bangunan per ha harus dibayarkan tiap Bondowoso-
hektar tanah yang Jawa timur
dimiliki (2013)

33 Pendapatan Profit petani dari tebu Rp/ha 'Pendapatan Hasil


(profit) petani per ha yang dimiliki (profit) petani Perhitungan
per ha tanpa tanpa ampas tebu tanpa pucuk
pucuk tebu tebu'/'Luas Lahan
Total'

34 Harga gula Harga gula yang Rp/ton 8.100.000 DGI (2013)


talangan dijamin oleh investor
atas gula yang dijual
kepada investor

d. Sub Model Keuntungan (profit) PG dari GKP dan PDT

PG memperoleh keuntungan (profit) dari bagi hasil antara petani dan


pabrik gula berdasarkan tingkat rendemen yang dihasilkan dan tetes dari tebu
sendiri. Penerimaan yang diperoleh dari penjualan tetes yang dihasilkan diperoleh
dari penjualan tetes kepada perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan
penggunaan tetes sebagai bahan bakunya tanpa pengolahan lebih lanjut.
Perusahaan-perusahaan tersebut seperti perusahaan penyedap masakan yang
menggunakan tetes sebagai bahan baku penyedap masakan, PT. Molindo Raya
lawang-Malang, PT. Cheil Jedang Indonesia-Pasuruan, PT. Indo Acidatama-Solo
dan PT. Argo Mulya Jaya-Surabaya. Jika produk samping yang dihasilkan dari
proses menggiling tebu menjadi gula bisa diolah kembali, maka PG bisa
mendapatkan profit yang lebih besar dari hanya menjual dalam bentuk tetes.
Harga jual tetes Rp.1200/liter (PG Semboro, 2013).
Gambar 17 menggambarkan produk turunan (PDT) yang bisa dihasilkan
dari limbah tebu. Salah satu limbah tebu yang belum banyak dimanfaatkan adalah
76

pucuk daun tebu (cane top). Pucuk daun tebu yang masih segar bisa digunakan
sebagai pakan ternak dengan ditambah campuran pakan suplemen, pengganti
sumber hijauan makanan dan campuran pada rumput gajah yang digunakan
sebagai pakan penggemukan sapi.

GKP Bagian PG
Penerimaan dr Gula Harga lelang gula
PG new
Produksi GKP Jatim Biaya Produksi PG
Jumlah blotong
Jumlah Kampas rem
Konversi dari ton ke untuk biokompos
BPP Gula
MW listrik Profit dari Gula PG

Fraksi ampas Biaya produksi


menjadi listrik listrik per kwh
Jumlah ampas untuk Jumlah Tetes untuk
Produksi PDT bioethanol
listrik
Konversi ampas
menjadi listrik Penerimaan listrik
Profit bioethanol Biaya produksi Fraksi ampas
dari tetes bioetnl per ton menjadi bioethanol
Harga listrik Biaya produksi
Profit biokompos listrik total

profit listrik dari Jumlah ampas


ampas untuk bioethanol Penerimaan
Profit PDT Biaya produksi bioethanol dari
Ampas bioetnl dr ampas tetes
Profit bioethnl dr
ampas
Biaya per set
Biaya produksi Penerimaan PDT
kampas rem
Fraksi ampas menjadi
kampas rem
Profit PG dr GKP dan PDT
Penerimaan kampas
Jumlah Kampas rem Profit bioethnl dr ampas rem
Profit kampas rem

Jumlah ampas per Penerimaan bioethnl dr Harga bioethanl


set ampas

Penerimaan kampas Harga biokompos


Harga kampas rem rem

Profit bioethanol
dari tetes Profit biokompos
Harga bioethanol
Penerimaan Penerimaan dr
bioethanol dari biokompos
Biaya Biokompos
tetes

Tetes Jumlah blotong


untuk biokompos

Jumlah Tetes untuk Biaya produksi per Blotong


bioethanol ton Biaya prodksi
biokompos per ton
Biaya produksi
bioethanol

Gambar 17 Diagram alir sub model keuntungan (profit) PG dari GKP dan PDT

Setelah proses giling di PG yang menghasilkan produk utama yaitu gula,


bahan lain yang bisa dihasilkan yaitu tetes, ampas dan limbah padat tebu
(blotong). Selama ini produk samping yang biasanya diolah oleh pihak ketiga
adalah tetes tebu yang bisa menghasilkan MSG sebagai penyedap masakan, dan
pemanis buatan. Tetes tebu jika diolah lebih lanjut bisa manghasilkan produk
yang dinamakan bioethanol. Selama ini, bioethanol yang dihasilkan oleh PG
digunakan sebagai campuran bahan bakar kendaraan bermotor dengan dengan
persentase kadar mencapai 99%. Limbah lainnya yang bisa diolah adalah Ampas
tebu yang dihasilkan dari proses ekstraksi gula bisa menghasilkan produk lanjutan
seperti kampas rem, bioethanol dan menghasilkan listrik. Bioetanol merupakan
campuran bahan bakar pada kendaraan bermotor. Bioethanol di Brazil digunakan
sebagai campuran bahan bakar pada kendaraan bermotor sebesar 10-25%.
Limbah padat tebu yang dikenal dengan blotong yang mempunyai warna
abu-abu tua, bisa diolah menghasilkan bio kompos yang bisa digunakan sebagai
pupuk cair. Keuntungan (profit) yang dihasilkan dari produk-produk turunan
tersebut meningkatkan keuntungan (profit) PG, juga meningkatkan penyerapan
77

tenaga kerja. Pemanfaatan produk-produk yang awalnya menjadi limbah bisa


mengurangi limbah yang terserap lingkungan, ramah lingkungan (eco-friendly)
dan meningkatkan keuntungan (profit) PG. Prihandana (2005) menyatakan bahwa
pendapatan yang diperoleh dari gula dan PDT dapat digunakan sebagai transfer
cost dan transfer price. Pada akhirnya menekan biaya produksi gula menjadi
rendah.

Tabel 19 Persamaan yang digunakan pada submodel keuntungan (profit) PG dari


PDT dan GKP
No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber
data
1 Jumlah Tetes Jumlah tetes yang ton (Tetes/4)*1/1000 Hasil
untuk dibutuhkan untuk Perhitungan
Bioethanol memproduksi bioethanol Subiyono,
pada tahun 2010 di Jawa 2012
Timur

2 Biaya Jumlah biaya yang Rp/ton 1539485 Lutfhi, 2007


produksi per diperlukan dalam
ton memproduksi bioethanol
(bioethanol dari tetes tahun 2007
dari tetes)

3 Harga Harga bioethanol yang rp/ton 8000000 http://pse.ug


bioethanol berlaku di Indonesia th m.ac.id/?p=
2011 317

4 Penerimaan Penerimaan dari bioethanol rp/ton Harga Hasil


Bioethanol dalam setiap ton bioethanol bioethanol*Jumlah perhitungan
dari tetes yang dihasilkan tetes untuk
bioethanol

5 Profit Keuntungan yang diterima rp Penerimaan-Biaya Hasil


Bioethanol PG yang didapat dari produksi Perhitungan
dari tetes Penerimaan dikurangi bioethanol
Biaya yang dikeluarkan

6 Biaya Biaya yang dikeluarkan rp Biaya produksi per


Produksi dalam memproduksi ton*Jumlah tetes Hasil
Bioethanol bioethanol dari tetes untuk bioethanol perhitungan
dari tetes

7 Jumlah Jumlah ampas yang KWH (Konversi ampas Subiyono,


Ampas untuk diperlukan untuk jadi 2012
Listrik menghasilkan Listrik listrik*Konversi Hasil
dari ton ke MW perhitungan
listrik)

8 Konversi Jumlah ampas yang ton Fraksi ampas Hasil


ampas diperlukan untuk menjadi menjadi listrik perhitungan
menjadi lstrk listrik *(0.3*Ampas)

9 Jumlah Jumlah ampas untuk set (Ampas*Jumlah Hasil


Kampas rem menghasilkan kampas rem ampas per set)*Fraksi perhitungan
ampas menjadi
kampas rem
78

Tabel 19 (lanjutan)
10 Konversi ton Jumlah ton ampas yang KWH 100 KWH Hasil
ke MW listrik dibutuhkan untuk diubah Perhitungan
menjadi MW listrik
11 Fraksi ampas Pembagian jumlah ampas % 20 Hasil
untuk listrik untuk menjadi listrik Perhitungan

12 Harga listrik Harga jual listrik di rp/kwh 1365.5 Permen


Indonesia listrik th 2013 ESDM
no.09/2014

13 Penerimaan Jumlah rupiah yang rp/kwh Harga Hasil


dari listrik diperoleh dari listrik*Jumlah perhitungan
memproduksi listrik dari ampas untuk listrik
ampas
14 Biaya Biaya yang dikeluarkan rp 345.831 Pressa
produksi dalam memproduksi listrik perdana,
listrik per 2011
kwh Hasil
perhitungan
15 Profit listrik Keuntungan yang rp Penerimaan dari Hasil
dari ampas diperoleh dari listrik-(Biaya Perhitungan
memproduksi listrik produksi)
16 Jumlah Jumlah blotong dari tiap ton (0.04*blotong) Subiyono,
Blotong ton tebu yang diperlukan 2013
untuk dalam memproduksi
biokompos biokompos

17 Harga Harga jual biokompos th rp/ton 215180 Subiyono,


biokompos 2011 2012
Hasil
Perhitungan
18 Penerimaan Jumlah rupiah yang rp/ton Jumlah Hasil
dari diperoleh dari Blotong*harga Perhitungan
biokompos memproduksi biokompos biokompos

19 Jumlah Jumlah ampas yang Set/ton 0.1 Rama


ampas per set diperlukan dalam Prihandana,
untuk kampas memproduksi kampas rem 2005
rem th 2005 Hasil
perhitungan
20 Fraksi ampas Pembagian jumlah ampas % 20 Hasil
menjadi untuk menjadi kampas rem perhitungan
kampas rem

21 Harga kampas Harga jual kampas rem th rp/set 53000 www.honda


rem 2013 di Indonesia motor

22 Biaya produksi Biaya yang diperlukan rp/set Biaya per Rama


kampas rem dalam memproduksi kampas set*Jumlah Prihandana,
rem th 2004 ampas rem 2005
Hasil
perhitungan
23 Fraksi ampas Tingkat laju pertumbuhan % 60 Hasil
menjadi konversi ampas menjadi perhitungan
bioethanol bioethanol
79

Tabel 19 (lanjutan)
24 Profit kampas Keuntungan yang diperoleh rp/set Penerimaan Hasil
rem dalam memproduksi kampas kampas rem- perhitungan
rem Biaya produksi
kampas rem

25 Jumlah ampas Jumlah ampas yang ton (0.005*Ampas*F DGI, 2014


untuk diperlukan dalam raksi ampas PG
bioethanol memproduksi bioethanol th menjadi Semboro,
2013 bioethanol) 2014
Hasil
perhitungan
26 Harga Harga jual bioethanol th rp/ton 8000000 PG Gempol
bioethanol 2012 Krep, 2014

27 Penerimaan Jumlah rupiah yang rp/ton Jumlah ampas Hasil


bioethanol dari diperoleh dalam untuk bioetanol Perhitungan
ampas memproduksi bioethanol *Harga bioetanol

28 Biaya per set Jumlah Biaya yang Rp/set 11660 Rama


Kampas rem dibutuhkan untuk Prihandana,
memproduksi Kampas rem 2005

29 Penerimaan Jumlah rupiah yang Rp Harga kampas Hasil


Kampas rem diperoleh dalam rem*Jumlah Perhitungan
memproduksi Kampas rem Kampas Rem

30 Peningkatan Total keseluruhan rp Profit bioethanol Hasil


keuntungan keuntungan dalam dari tetes+Profit Perhitungan
(profit) PG memproduksi PDT dan listrik dari
dari PDT dan GKP ampas+Profit
GKP dari
biokompos+Profi
t bioethanol dari
ampas+Profit
dari kampas
rem+Profit dari
Gula bagian PG

31 Biaya produksi Biaya yang dikeluarkan Rp/ton 150000


biokompos per untuk memproduksi
ton biokompos per ton

32 Jumlah Blotong yang diperlukan Ton (0.04*Blotong) Subiyono,


blotong untuk untuk menghasilkan 2013
biokompos biokompos

33 Biaya Biaya yang dikeluarkan Rp 'Biaya prodksi Hasil


biokompos untuk memproduksi biokompos per perhitungan
biokompos ton'*'Jumlah
blotong untuk
biokompos'

34 Profit Keuntungan yang diperoleh Rp 'Penerimaan dr Hasil


biokompos dalam memproduksi biokompos'- perhitungan
biokompos per ton 'Biaya
Biokompos'
80

Tabel 19 (lanjutan)
35 Biaya produksi Biaya yang dikeluarkan Rp 'Biaya produksi Hasil
bioethanol dari untuk memproduksi bioetnl per perhitungan
ampas bioethanol per ton ton'*'Jumlah
ampas untuk
bioethanol'

36 Profit Keuntungan yang diperoleh Rp 'Penerimaan Hasil


Bioethanol dalam memproduksi bioethnl dr Perhitungan
dari ampas bioethanol dari ampas ampas'-'Biaya
produksi
bioetanol dr
ampas'

37 Biaya produksi Biaya yang dikeluarkan Rp/ton 3400000 Kementerian


bioethanol dari dalam memproduksi pertanian
ampas per ton bioethanol dari ampas badan
penyuluhan
dan
pengembang
an SDM
Pertanian,
2014

38 Jumlah ampas Jumlah ampas yang Set/ton 0.1 Rama


per set diperlukan untuk Prihandana,
menghasilkan sepasang 2005
kampas rem

39 Biaya produksi Biaya yang dibutuhkan Rp 'Biaya produksi Hasil


listrik total untuk memproduksi listrik listrik per perhitungan
per KWH yang berasal dari kwh'*'Jumlah
ampas ampas untuk
listrik'

e. Sub Model Peningkatan Ekonomi Wilayah dari GKP dan PDT

Sub model perekonomian wilayah pada Gambar 18 merupakan sub model


yang menggambarkan peningkatan perekonomian wilayah yang diperoleh dari
pengolahan GKP dan PDT. Peningkatan ekonomi wilayah merupakan cerminan
dari penerimaan GKP dan PDT yang dihasilkan.
81

Penerimaan tetes
Penerimaan Gula dari petani
dari Petani
Penerimaan pucuk
daun dari petani
Total Penerimaan
petani
Fraksi PDRB Jatim
Perekonomian Wilayah
Penerimaan dr
biokompos Penambahan PDRB
PDRB Jatim

Penerimaan listrik Jumlah PG


Tax Ratio
Total Penerimaan PG dari Gula
dan PDT Penerimaan kampas
Penerimaan dr Gula rem Retribusi dari PG Retribusi jalan lori
PG seluruh PG jatim
Penerimaan PAD
bioethanol dari Penerimaan
tetes bioethnl dr ampas Retribusi Gula dr
Profit PG dr GKP dan PDT Pajak Air Bawah GKP
Tanah slr PG Retribusi Jalan lori
per PG
Biaya PBB Petani
PPh Pegawai PG Pajak Air bawah
PPh Badan_PG
Pajak Penerangan Tanah per PG
Jalan seluruh PG
Jatim Besaran retribusi

Profit Petani
berdasar luas lahan Produksi GKP Jatim
total Pajak dari PG dan Pajak Penerangan Jumlh PG
PPh Petani Petani Jalan per PG

Gambar 18 Diagram alir sub model peningkatan ekonomi wilayah dari GKP dan
PDT

Sedangkan untuk mengetahui sumbangan terhadap PAD dari PG dan PDT,


maka penerimaan yang diperoleh merupakan profit dari GKP dan PDT. Semakin
tinggi penerimaan dari GKP dan PDT, maka sumbangan terhadap perekonomian
wilayah semakin tinggi.

Tabel 20 Persamaan yang digunakan pada sub model Perekonomian Wilayah


No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber
data
1 PDRB Jatim PDRB Jawa Timur ADHB rp PDRB tanpa Gula + Hasil
tahun 2010 PDRB dari GKP dan perhitungan
PDT

2 PDRB dari Jumlah PDRB yang Rp (Penerimaan Hasil


GKP dan PDT diperoleh dari Penambahan /yr bioethanol dari perhitungan
PDRB GKP dan PDT tetes+Penerimaan
bioethanol dari
ampas+Penerimaan
dari
biokompos+Penerima
an dari
listrik+Penerimaan
Kampas rem+
Penerimaan dari
GKP)

3 PDRB tanpa Jumlah PDRB setelah rp 767.755.772.460.000 BPS, 2014


Gula dikurangi penerimaan dari
GKP tahun 2010 di Jawa
Timur
82

Tabel 20 (lanjutan)
4 Retribusi dari Jumlah Retribusi yang rp Retribusi Jalan Lori Hasil
PG dibayarkan PG setiap seluruh PG perhitungan
tahunnya Jatim+Retribusi Gula
dari GKP
5 Retribusi Jalan Jumlah retribusi yang Rp Jumlah PG*Retribusi Hasil
Lori seluruh berasal dari jalan lori milik jalan Lori per PG perhitungan
PG Jatim PG di Jawa Timur

6 Jumlah PG Jumlah PG yang ada di P 31 DGI, 2014


Jawa Timur tahun 2010 G

8 Retribusi jalan Jumlah Retribusi Jalan Rp 1.500.0000 Dispenda


Lori Per PG Lori yang dibayar oleh PG /yr Kabupaten
Jember,
2015
9 Retribusi Gula Jumlah retribusi yang Rp Besaran retribusi + Hasil
dari GKP dibayarkan PG yang /yr Produksi GKP Jatim perhitungan
berasal dari gula yang
dihasilkan kepada
Dispenda

10 Besaran Jumlah Retribusi yang Rp/ 25.000 PG


Retribusi dibayarkan PG kepada ton Semboro,
Dispenda Kabupaten 2014

11 Pajak dari PG Jumlah Pajak yang Rp Biaya PBB Petani + Hasil


dibayarkan PG /yr Pajak Air Bawah perhitungan
Tanah + Pajak
Penerangan Jalan
Umum seluruh PG di
Jatim+ PPh Badan
PG+PPh Pegawai PG

12 PAD Jumlah Pendapatan Asli Rp Retribusi dari PG Hasil


Daerah yang diperoleh dari /yr +Pajak dari PG perhitungan
sektor Pajak dan retribusi
PG di Jawa Timur

13 Besaran Jumlah retribusi yang Rp 25.000 PG


Retribuasi harus dibayarkan ke /to Semboro,
pemerintah daerah di mana n 2014
besarannya diperoleh dari
tiap GKP yang dihasilkan

14 Retribusi Gula Jumlah retribusi dari gula rp Produksi GKP Hasil


dari GKP yang disetorkan ke Jatim*Besaran perhitungan
pemerintah daerah retribusi

15 Pajak Jumlah PPJU yang rp Pajak Penerangan Hasil


Penerangan dibayarkan seluruh PG di Jalan Umum per PG perhitungan
Jalan Umum Jawa Timur ke Dispenda * Jumlah PG
seluruh PG
Jatim
83

Tabel 20 (lanjutan)
16 Pajak Jumlah PPJU yang rp 172.544.546 Dispenda
Penerangan dibayarkann tiap PG ke Kabupaten
Jalan Umum Dispenda Jember,
per PG 2015

17 Pajak Air Jumlah PAbT yang rp Pajak air Bawah Hasil


Bawah Tanah dibayarkan seluruh PG di Tanah per perhitungan
seluruh PG Jawa Timur ke Dispenda PG*Jumlah PG

18 Pajak Air Jumlah PAbT yang Rp 26.000.000 Dispenda


Bawah Tanah dibayarkan PG ke /yr Kabupaten
per PG Dispenda Jember,
2015
19 PPh dari total Jumlah pajak penghasilan Rp 0.05*Total Hasil
penerimaan yang wajib disetorkan ke /yr Penerimaan Petani Perhitungan
petani pemerintah daerah di mana UU no.36
besarannya 5% dari total Tahun 2008
penerimaan

20 PPh Badan PG Jumlah pajak penghasilan Rp 0.25* Profit PG dari Hasil


yang berasal dari /yr GKP dan PDT perhitungan
keuntungan PG yang wajib
disetorkan ke pemerintah
daerah di mana besarannya
25% dari total penerimaan

21 Perekonomian Jumlah Total penerimaan Rp PDRB Jatim Hasil


Wilayah yang diperoleh dari PDRB /yr perhitungan
Jatim

22 Tax Ratio Perbandingan antara % PAD/PDRB Jatim Hasil


jumlah penerimaan pajak Perhitungan
dibandingkan dengan
PDRB suatu daerah

23 Penambahan PDRB yang diperoleh dari Rp ('PDRB Jawa Hasil


PDRB GKP yang diproduksi dan /yr timur'*'Fraksi PDRB perhitungan
PDT Jatim')+'PDRB dari
Gula dan
PDT'*1<<1/yr>>+'To
tal Penerimaan
Petani'*1<<1/yr>>

24 BPP (Biaya Biaya yang dikeluarkan Rp 6.250.000


Pokok dalam memproduksi gula
Produksi)Gula per ton

25 Biaya produksi Biaya yang dikeluarkan Rp 'BPP Gula'*('GKP Hasil


PG PG dalam memproduksi bagian perhitungan
GKP PG')*1<<1/ton>>

26 GKP bagian GKP yang menjadi bagian Rp 0.3*'Produksi GKP Hasil


PG PG yang merupakan bagi Jatim' perhitungan
hasil antara PG dan petani
dari tiap tebu yang digiling
(70%:30%)
84

Tabel 20 (lanjutan)
27 Harga lelang Harga yang didapat ketika Rp 10000000
gula terjadi proses lelang gula
milik petani

28 Penerimaan Penerimaan yang diperoleh Rp 'Harga lelang gula Hasil


dari gula PG PG dalam memproduksi new'*('GKP bagian perhitungan
GKP PG')*1<<1/ton>>//('
Harga Lelang
Gula'*'Produksi GKP
Jatim')*1<<rp/ton>>

29 Profit dari gula Keutungan PG dalam Rp 'Penerimaan dr Gula Hasil


PG memproduksi GKP PG'-'Biaya Produksi perhitungan
PG'

30 PPh pegawai Pajak penghasilan dari Rp 0.15*('Profit PG dr Hasil


PG pegawai PG yang besarnya GKP dan PDT') Perhitungan
yaitu 15% dari penghasilan
yang pegawai tersebut

31 Jumlah PG Jumlah PG yang ada di Bu 31 Kementerian


Jawa Timur ah Pertanian,
2013

32 Fraksi PDRB Persentase peningkatan %/ 5.95 Hasil


PDRB Jawa Timur dari yr perhitungan
tahun 2000-2010

33 Penambahan Peningkatan PDRB yang Rp ('PDRB Jawa Hasil


PDRB berasal dari GKP dan PDT /yr timur'*'Fraksi PDRB Perhitungan
Jatim')+'PDRB dari
Gula dan
PDT'*1<<1/yr>>+'To
tal Penerimaan
Petani'*1<<1/yr>>

4.3.4 Validasi Model

Validitas model dibagi dua, yaitu uji validitas struktur model dan uji
validitas output/kinerja model. Uji validitas struktur model, yaitu sejauh mana
kemiripan struktur model mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang
berorientasi proses, keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan
dengan sejauh mana interaksi variable model dapat menirukan interaksi kejadian
nyata. Validasi output/kinerja model adalah proses melihat keserupaan.
Keserupaan (tidak berarti harus sama) dunia model dengan dunia nyata
ditunjukkan dengan sejauh mana data simulasi dan pola simulasi dapat menirukan
data statistik dan informasi aktual (Muhammadi, 2011).
Uji validitas untuk mengukur keakuratan output simulasi, menggunakan
Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), Absolute Mean error (AME) dan
Absolute Variance Error (AVE). Persamaan Matematikanya:
85

∑ ( )

Dimana:
Y1i = nilai data aktual periode ke-i
Y2i = nilai simulasi model periode ke-i
n = jumlah periode
Y1i = Y1i/n
Y2i = Y2i/n
Sa = ((Y1i- Y1i)2/n)
Ss = ((Y2i- Y2i)2/n)

4.3.5 Simulasi Kebijakan

Simulasi kebijakan yang dilakukan adalah simulasi kebijakan yang


mengadopsi dari kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN). Simulasi
kebijakan diambil karena beberapa kebijakan RIGN bisa diterapkan untuk
meningkatkan produksi GKP (Gula Kristal Putih) dan PDT (Produk Derivasi
Tebu) yang dihasilkan oleh PG.
Dampak capaian kebijakan RIGN terhadap kinerja PG, produksi GKP,
pendapatan petani, PDT dan perekonomian wilayah Jawa Timur, yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Pelaksanaan RIGN diasumsikan mampu meningkatkan tambahan areal tebu
minimal 322.972 ha sampai dengan 2014 (Kementrian BUMN, 2011).
2. Peningkatan Produktivitas tebu menurut RIGN dari Kementerian BUMN
mentargetkan peningkatan produktivitas dari 82,4 ton/ha menjadi 84,9 ton/ha
pada tahun 2005-2014.
3. Jumlah tebu giling meningkat selama revitalisasi 2005-2014 sebesar 22,03 juta
ton dari tahun 2005 menjadi 27,42 juta ton.
4. Peningkatan rendemen selama revitalisasi 2010-2014 ditargetkan mengalami
peningkatan sebesar 2,41 point. Atau sebesar 40% dari kinerja tahun 2010.
Pada tahun 2010 rendemen yang dicapai 6,05% namun pada tahun 2014
ditargetkan menjadi 8,46%.
5. Diversifikasi Produk dengan adanya studi pengembangan Produk Pendamping
Gula Tebu (Industri Gula) yang memiliki nilai tambah dan Pengembangan
energy berbasis tebu (Bio Etanol) pengganti BBM. Target dari Kementerian
Perindustrian yaitu adanya hasil studi diversifikasi produk di 9 provinsi
produksen gula BUMN pada tahun 2010-2014 (Kemenperin, 2010).
6. Meningkatnya laba BUMN dengan adanya RIGN. Total laba BUMN tahun
2010 Rp.172,717 juta menjadi Rp.451,518 juta pada tahun 2014.
7. Pengembangan industri gula nasional sesuai dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional
Jangka Menengah yaitu mengembangkan diversifikasi produk dengan
memanfaatkan hasil samping industri gula (molasses, bagase, blotong, pucuk
daun, dan lain-lain).
86

8. Membangun pabrik pengolahan pabrik bio etanol di PG Gempol Krep


Mojokerto.
Simulasi kebijakan berdasarkan data tersebut diatas, menggunakan
skenario sebagai berikut (Tabel 21):
1. Skenario 1, peningkatan luas areal tebu sebesar 3,2%/tahun
2. Skenario 2, peningkatan produktivitas tebu sebesar 1,6%/tahun
3. Skenario 3, peningkatan rendemen sebesar 2,41% /tahun.
Simulasi kebijakan yang kedua merupakan upaya untuk memperoleh
kebijakan alternatif. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh kebijakan alternatif
yang lebih baik dibanding dengan kondisi aktual yang ada dan kebijakan yang ada
saat ini. Skenario alternatif kebijakan yang digunakan adalah :
1. Skenario 4, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam
(3,2%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 2,41%.
2. Skenario 5, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam
(3,2%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 6%.

Tabel 21 Target Revitalisasi Industri Gula BUMN


No Target Satuan 2010 2014 Selisih % %/tahun
(1) (2) (2-1) (2/1) 2010-2014
1 Luas Areal Ha 286.579 322.972 36.393 113 3,2
2 Produktifitas Ton/Ha 79,8 84,9 5.1 106 1,6
Tebu
3 Rendemen % 6,05 8,46 2,41 140 10,0
4 Produksi Gula Ton 1.383.976 2.320.856 936.880 168 16,9
Sumber: Target Revitalisasi Industri Gula Nasional 2010-2014, Kementerian
BUMN

Tabel 21 merupakan target revitalisasi industri gula milik BUMN yang


dijadikan acuan untuk menetapkan besaran peningkatan luas areal, produktivitas,
dan rendemen. Tabel 22 merupakan kondisi sektor on farm di Jawa Timur. Tabel
22 merupakan pembanding bahwa target RIGN BUMN dapat diterapkan juga di
Jawa Timur, dengan pertimbangan antara target yang ditetapkan oleh BUMN
dengan kondisi sektor on farm di Jawa timur tidak jauh berbeda. Selain itu, RIG
BUMN dapat diterapkan di Jawa Timur, mengingat dari 31 PG di Jawa Timur 30
PG adalah milik BUMN. Hanya terdapat satu PG yang merupakan milik swasta.

Tabel 22 Kondisi sektor on farm di Jawa Timur


No Jawa Timur Satuan 2010 2013 Selisih %/tahun
(1) (2) (2-1) 2010-2013
1 Luas areal Ha 193.572 215.032 21.459 3,72
2 Produkivitas Ton/Ha 86,27 81,37 4,91 1,15
Tebu
3 Rendemen % 5,96 6,86 0,91 0,05
4 Produksi Gula Ton 1.014.273 1.241.959 227.686 3,99
Sumber: DGI, 2014 (data diolah)

Lima jenis PDT yang dihasilkan pada model ini seluruhnya berasal dari
bahan baku tebu. Untuk mendapatkan bioethanol (dari ampas dan dari tetes),
biokompos, listrik dan kampas rem, jumlah tebu tersebut dikonversi menjadi
87

produk samping (co-products), kemudian menjadi PDT sesuai dengan besaran


konversi masing-masing jenis PDT.
Alur konversi dari tebu menjadi produk samping (co-product) hingga
menjadi PDT (co-product) ditunjukkan pada Tabel 23. Konversi tebu hingga
menjadi PDT berdasarkan penelitian di Indonesia, sehingga diharapkan sesuai
dengan kondisi PG khususnya tebu yang dihasilkan dan mesin PG yang sekarang
beroperasi.

Tabel 23 Alur konversi dari tebu menjadi produk samping (co-product) hingga
menjadi 5 jenis PDT
Tebu giling menjadi:
(Almazan, 1998; Subiyono, 2013)
Ampas Tetes Blotong
(32% dari tebu giling) (4% dari tebu giling) (3% dari tebu giling)
1. Bioethanol: 1. Bioethanol 1. Biokompos
5 Kg ampas=1 liter 4 Kg tetes=1 liter 1 ton blotong=0.04
bioethanol bioethanol ton biokompos
(Subiyono, 2013) (PTPN X Jatim; PG (Subiyono, 2013)
Gempol Krep, 2013 )
2. Kampas Rem:
227.500 ton
ampas=30.000
kampas rem
(Prihandana, 2005)
3. Listrik:
1 ton tebu=300 kg
ampas=100 MW
(Perdana, 2011)
Sumber: Perdana, 2011; Rama Prihandana, 2005; Subiyono, 2013; PTPN X
Jatim; PG Gempol Krep, 2013.
88

5 KERAGAAN SISTEM PENGEMBANGAN GKP DAN PDT

5.1 Perkembangan Keragaan Penyediaan Bahan Baku GKP dan PDT di


Jawa Timur

Keragaan jumlah GKP dan PDT yang dihasilkan dipengaruhi oleh


keragaan produksi tebu yang dihasilkan sebagai bahan baku GKP dan proses
pengolahan dari produk samping (co-product) yang lebih lanjut menjadi PDT.
Dalam pengusahaannya, lahan tebu ada yang pengusahaannya oleh rakyat atau
tebu rakyat dan sendiri (PG) atau tebu sendiri. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi GKP dan PDT pada tingkat on farm antara lain adalah produksi
tebu, luas lahan tebu yang dihasilkan, dan rendemen, karena dengan semakin
banyak tebu yang dihasilkan, maka semakin banyak pula GKP dan sebagai bahan
baku PDT yang dihasilkan juga semakin banyak. Untuk tingkat off farm, faktor-
faktor yang mempengaruhi antara lain kapasitas terpasang mesin, kapasitas
terpakai mesin dalam mengolah tebu menjadi GKP dan PDT.
Berdasarkan kepemilikannya, maka perkebunan tebu di Jawa timur
dimiliki oleh Perkebunan Tebu Rakyat (TR) yang dimiliki dan diusahakan oleh
rakyat/petani dan Perkebunan Tebu Sendiri (TS) yang dimiliki dan diusahakan
oleh Pabrik Gula (PG). Kepemilikan terbesar di Jawa Timur dimiliki oleh
perkebunan tebu rakyat. Sebesar kurang lebih 90 persen kepemilikan lahan tebu
dimiliki oleh rakyat (TR) (Disbun Jawa Timur, 2012b).

5.1.1 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di Jawa Timur

Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi dengan areal perkebunan tebu


yang terluas di Indonesia. Pada tahun 2011 luas areal perkebunan tebu yang
berada di provinsi Jawa Timur tercatat seluas 494,91 ribu ha atau merupakan
44,81 persen dari total luas areal perkebunan tebu di Indonesia (Statistik Tebu
Indonesia, 2011). Sementara provinsi lain yang juga memiliki luas areal
perkebunan tebu yang cukup besar yakni Lampung (26,10%), Jawa Tengah
(11,89%), dan Jawa Barat (5,13%). Luas areal perkebunan yang berada di
propinsi Jawa Timur tercatat mulai tahun 2012 dan tahun 2013 luas areal
perkebunan mengalami peningkatan sebesar 15.576.410 Ha menjadi 17.539.485
Ha. Peningkatan tersebut disebabkan adanya pengembangan luas areal tanaman
perkebunan, khususnya di Pulau Madura. Dalam lima tahun terakhir (tahun
2009-2013) luas areal di Jawa Timur mengalami peningkatan. Selain perluasan di
Pulau Madura juga perluasan di kawasan TULABO (Tuban, Lamongan, dan
Bojonegoro) (Disbun Jatim, 2014).
Proporsi luas areal tebu rakyat (TR) terhadap luas areal tebu di Jawa
Timur (Gambar 19) pada tahun 2009-2013 menyumbang rata-rata sebesar 81,37
persen, sedangkan tebu sendiri (TS) sumbangannya rata-rata 9,78 persen. Selama
kurun waktu tahun 2009-2013 peningkatan luas areal terbesar pada tahun 2013
seluas 215.847 ha di mana terjadi peningkatan luas areal sebesar 7,43 persen.
Selama periode lima tahun (2009-2013) tren peningkatan luas areal terjadi
peningkatan luas areal rata-rata sebesar 3,82 persen per tahun. Luas areal terbesar
89

disumbang oleh tebu rakyat, dimana terjadi peningkatan luas areal rata-rata
sebesar 22,85 persen per tahun sejak tahun 2009-2013. Sedangkan tebu sendiri
justru mengalami penurunan luas areal rata-rata sebesar 18,51 persen per tahun.

250,000
200,000
150,000
Ha

100,000
50,000
0
2009 2010 2011 2012 2013
TR TS Luas Lahan Jatim

Gambar 19 Luas Areal Tebu Jawa Timur menurut status pengusahaannya


Tahun2009-2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014

Gambar 20 Peta struktur ruang dan pola peta pemanfaatan ruang ProvinsiJawa
Timur tahun 2000-2015
Sumber: Bappeda Jawa Timur, 2011

Berdasarkan peta pemanfaatan ruang Provinsi Jawa Timur (Gambar 20),


terdapat perluasan lahan untuk pengembangan perkebunan tebu ke depan. Dinas
Pertanian Jawa Timur menetapkan areal tanaman pangan seluas 1,017 juta ha
yang didasarkan pada Perda Provinsi Jawa Timur no. 5 tahun 2012 tentang tata
ruang Jawa Timur. Sedangkan kawasan peruntukan perkebunan seluas 398.036
ha yang diperuntukkan untuk tanaman semusim yakni tebu. Kawasan peruntukan
90

tanaman tebu tersebar di 21 Kabupaten, yakni: 1) Kabupaten Bangkalan; 2)


Kabupaten Blitar ;3) Kabupaten Bojonegoro; 4) Kabupaten Bondowoso; 5)
Kabupaten Gresik; 6) Kabupaten Jember; 7) Kabupaten Jombang; 8) Kabupaten
Kediri; 9) Kabupaten Lamongan; 10) Kabupaten Lumajang; 11) Kabupaten
Madiun; 12) Kabupaten Magetan ;13) Kabupaten Malang; 14) Kabupaten
Mojokerto;15) KabupatenNgawi; 16) Kabupaten Probolinggo; 17) Kabupaten
Sampang; 18) Kabupaten Sidoarjo; 19) Kabupaten Situbondo; 20) Kabupaten
Tuban, dan 21) Kabupaten Tulungagung. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa
Timur no. 5 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi Jatim tahun
2011-2031.
Propinsi Jawa Timur jika dilihat dari produksi tebu yang dihasilkan, pada
tahun 2011 produksi tebu yang berasal dari Jawa Timur menyumbang sekitar
49,22 persen dari total produksi tebu Indonesia (Statistik Tebu Indonesia, 2011).
Produksi tebu di Jawa Timur (Gambar 21) cenderung berfluktuasi namun
memiliki tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu tahun
2009 sampai 2013 produksi tebu terbesar dihasilkan tahun 2013, yaitu 17,539
juta ton dengan tren peningkatan produksi sebesar 12,60 persen. Jika dirata-rata
peningkatan produksi tebu menunjukkan tren peningkatan sebesar 5,19 persen
per tahun dari tahun 2009-2013. Tren peningkatan produksi terbesar dihasilkan
dari tebu rakyat di mana terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 25,85
persen pertahun. Pada periode tahun 2013 peningkatan produksi tebu disumbang
dari tebu rakyat sebesar 15,858 juta ton atau terjadi peningkatan sebesar 14,59
persen. Sedangkan untuk tren produksi, tebu sendiri mengalami penurunan
produksi rata-rata sebesar 19,95 persen per tahun. Hal ini sejalan dengan data
nasional bahwa produksi dari perkebunan rakyat merupakan menyumbang
terbesar sekitar 56,01 persen dari total produksi tebu Indonesia (Statistik tebu
Indonesia, 2011).

20,000,000

15,000,000
Ton

10,000,000

5,000,000

0
2009 2010 2011 2012 2013
TR TS Produksi Tebu Jawa Timur
Gambar 21 Produksi Tebu Jawa Timur Tahun 2009-2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014

Selama kurun waktu tahun 2009-2013 terlihat bahwa pertumbuhan


produksi tebu lebih tinggi dibandingkan dengan luas areal tebu. Rata-rata
pertumbuhan luas areal Jatim sebesar 3,82 persen pertahun, sedangkan rata-rata
pertumbuhan produksi Jatim sebesar 5,19 persen per tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa pada periode tersebut terjadi peningkatan produktivitas. Peningkatan
91

produksi tebu di Jawa Timur sesuai dengan penelitian Anugrahapsari (2013) yang
menyatakan bahwa pertumbuhan produksi GKP lebih tinggi dibanding dengan
luas areal tebu pada periode 1995-2010 pada skala nasional. Dengan peningkatan
produktivitas GKP nasional sebesar 1,68 persen pertahun.
Pada periode tahun 2009-2013 pertumbuhan produktivitas tebu mengalami
peningkatan sebesar 1,11 persen pertahun (Gambar 22). Tren kenaikan tersebut
disumbang oleh kenaikan perkebunan tebu rakyat sebesar 1,23 persen per tahun.
Kenaikan produktivitas tebu per tahun dari perkebunan tebu rakyat tersebut
ternyata meningkatkan produktivitas tebu Jawa Timur. Berkebalikan dengan
produktivitas perkebunan tebu rakyat, perkebunan tebu sendiri justru mengalami
penurunan sebesar 0,55 persen pertahun. Namun dengan proporsi luas areal
perkebunan tebu sendiri yang hanya 9,78 persen dari total luas areal tebu di
Jatim, maka penurunan produktivitas tebu sendiri tersebut tidak mengakibatkan
penurunan produktivitas tebu Jatim.

94.00
89.00
84.00
Ton/ha

79.00
74.00
69.00
64.00
2009 2010 2011 2012 2013
Tahun

TR TS Produktivitas Jatim

Gambar 22 Produktivitas Tebu Jatim menurut pengusahaan tahun 2009-2013


Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014

Status pengusahaan perkebunan tebu di Jawa Timur terbagi menjadi TR


dan TS. Perkebunan tebu di Jawa Timur tidak berbeda dengan perkebunan tebu di
Indonesia.Perkebunan tebu di Jawa Timur didominasi oleh perkebunan tebu
rakyat (TR) (Gambar 23). Pada tahun 2013 proporsi tebu rakyat menguasai
89,67 persen dengan total produksi tebu 15,858juta ton. Sedangkan untuk
proporsi tebu sendiri hanya menguasai 0,10 persen dari total areal tebu di Jawa
Timur. Produksi tebu yang dihasilkan TS pada tahun 2013 sebesar 1,680 juta ton
tebu. Produktivitas tebu TRlebih tinggi dibandingkan produktivitas TS, hal ini
dikarenakan rasa memiliki terhadap lahan yang diusahakan/dikerjakan. Pada TR
petani yang tidak memiliki sendiri lahan tebu, menyewa lahan pada pemilik lahan
sehingga petani TR dalam mengusahakan tanaman tebu nya lebih baik dibanding
TS karena petani TR mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk
mengelola lahan tebu miliknya. Biaya tanam plant cane (PC) atau tanaman
pertama sekitar Rp.12-16 juta per ha.
92

100
Proporsi Luas Areal
80
60
(persen)

40
20
0
2009 2010 2011
Rata- 2012 2013
rata
TS 48.474710.1149510.1096440.1187240.1032499.784255
TR 51.5252988.50492 89.0356 88.1276489.6751181.37371
Gambar 23 Proporsi Luas Areal TR dan TS di Jawa Timur
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014

5.1.2 Perkembangan Industri GKP di Jawa Timur

GKP merupakan produk utama dalam pengolahan tanaman tebu yang


masih banyak diproduksi di Indonesia, demikian pula di Jawa Timur. Pabrik gula
(PG) yang dimiliki sekarang merupakan peninggalan jaman kolonial, di mana
mesin-mesin PG yang digunakan mengkhususkan mengolah tebu menjadi gula.
Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi gula adalah rendemen. Semakin
tinggi rendemen, maka diharapkan produksi gula juga tinggi. Gambar 24
menjelaskan bahwa rendemen tebu berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun
2013 rendemen gula di Jawa Timur sebesar 6,86 persen atau turun sebesar 0,14
persen dibanding tahun 2012.
Sejalan dengan penelitian Anugrahapsari (2013) menyatakan bahwa nilai
rendemen tersebut dipengaruhi oleh nilai pol tebu dan efisiensi pabrik. Sedangkan
efisiensi pabrik merupakan gabungan antara efisiensi stasiun gilingan dengan
efisiensi stasiun pengolahan.

8.00
7.50
7.00
Persentase

6.50
6.00
5.50
5.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Rendemen
Gambar 24 Perkembangan rendemen tebu di Jawa Timur tahun 2005-2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014

Kapasitas terpasang (exclusive) dan kapasitas terpakai (inclusive) industri


gula merupakan dua hal yang bisa digunakan untuk menilai perkembangan
93

industri gula. Pada tahun 2013, kapasitas terpasang industri 113,24 ton tebu per
hari atau meningkat sebesar 4 persen per tahun dari tahun 2005. Sementara
kapasitas terpakai industri gula pada tahun 2013 adalah sebesar 99.574 ton tebu
per hari atau meningkat sebesar 3 persen pertahun dibandingkan tahun 2005.
Sementara tingkat utilisasi kapasitas terpakai pada tahun 2013 adalah sebesar
87,93% dengan laju pertumbuhan yang menurun sebesar 0,85 persen pertahun.
Jika dilihat berdasarkan Gambar 25, laju peningkatan kapasitas terpasang
yang lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan kapasitas terpakai menunjukkan
adanya peningkatan dalam persentase jam berhenti giling terhadap jam giling.
Berdasarkan data P3GI (2007), peningkatan jam henti giling lebih banyak
disebabkan oleh hal di luar pabrik yang mengalami peningkatan sebesar 33,16
persen pertahun. Jam berhenti di luar pabrik tersebut disebabkan karena kurang
tebu (57,65%), karena hari libur (16,65%) dan sisanya karena penyebab lain. Jam
henti giling yang disebabkan oleh sebab di dalam pabrik mengalami penurunan
sebesar 2,29 persen pertahun.

200,000

100,000

-
2005 2006
2007 2008 2009 2010 2011 2012
2013
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
KES 85,352 88,773 94,990 96,647 100,291 114,706 110,347 108,330 113,247
KIS 81,084 84,334 90,241 91,815 95,276 106,101 100,677 95,049 99,574

Gambar 25 Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Terpakai Industri Gula


di Jawa Timur
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014

Total PG yang ada di Jawa Timur ada 31 PG. PG tersebut terdiri dari PG
milik pemerintah (BUMN) dan milik swasta (Gambar 25). Adapun PG milik
BUMN dan Swasta terdiri dari:
1. PTPN X (persero) yang terdiri dari 11 PG. Jika dirata-rata kapasitas giling
(exclusive) dari 11 PG tersebut 39.651 TCD yang terdiri dari kelas kapasitas
giling yang tersebar antara kelas 3, kelas 2 dan kelas 1. Kapasitas giling kelas
1 dimiliki oleh PG Ngadirejo yang berada di Kediri dengan kaasitas giling
(exclusive) sebesar 6.134 TCD dan kapasitas giling terkecil dimiliki oleh PG
Tulangan yang berada di Sidoarjo dengan kapasitas giling (exclusive) sebesar
1.425 TCD (masuk kelas 3).
2. PTPN XI (persero) yang terdiri dari 16 PG. Jika dirata-rata kapasitas giling
(excl) dari seluruh PG yang berada di bawah naungan PTPN XI sebesar
94

40.162 TCD. Kelas kapasitas giling terbesar dimiliki oleh PG Jatiroto dengan
kapasitas giling (excl) sebesar 6.548 TCD, dan kelas kapasitas terkecil
dimiliki oleh PG Olean dengan kapasitas giling (excl) sebesar 1003 TCD.
3. PT. RNI yang berada dibawah PT. Rajawali I (2 PG) dan PT. PG Candi (1
PG). PT. Rajawali I terdiri dari 2 PG, yaitu PG Krebet Baru dan PG
Rejoagung Baru yang masing-masing berada di Malang dan Madiun. Jika
dirata-rata kapasitas giling (excl) dari PT. Rajawali I sebesar 17.500 TCD.
Masing-masing PG tersebut berada pada kelas kapasitas giling (excl) kelas 1
yaitu 11.500 TCD dan 6.000 TCD. PG lainnya yang berada di bawah naungan
PT. RNI yaitu PG Candi yang berada di Sidoarjo. PG Candi memiliki
kapasitas giling (excl) sebesar 2.630 TCD.
4. PG milik swasta yang ada di Jawa Timur yakni PG Kebon Agung yang
berada di Malang dengan kapasitas giling 6.000 TCD yang termasuk kapasitas
giling kelas 1 (besar).

Tabel 24 Kapasitas Giling Pabrik Gula Tahun 2011 (MTT 2010/2011)


Kap.Gil. (TCD) Kelas
Perusahaan Gula/Pabrik
Kabupaten Kapasitas
Gula Incl Excl
Giling
1 2 3 4 5
PTP Nusantara X (Persero)

1. PG Watutulis Sidoarjo 2,357 2,419 Kelas 3

2. PG Tulangan Sidoarjo 1,352 1,425 Kelas 3

3. PG Kremboong Sidoarjo 1,495 1,587 Kelas 3

4. PG Gempolkrep Mojokerto 5,095 5,844 Kelas 2

5. PG Jombang Baru Jombang 2,609 2,745 Kelas 3

6. PG Cukir Jombang 3,616 3,741 Kelas 2

7. PG Lestari Nganjuk 3,868 3,988 Kelas 3

8. PG Merican Kediri 2,867 2,937 Kelas 3

9. PG Pesantren Baru Kediri 5,695 5,954 Kelas 2

10.PG Ngadirejo Kediri 5,903 6,134 Kelas 1

11.PG Mojopanggung Tulungagung 2,710 2,877 Kelas 3

Jumlah ; Rata2 37,567 39,651

PTP Nusantara XI (Persero)

1. PG Sudhono Ngawi 2,574 2,284 Kelas 3


2. PG Poerwodadi
Magetan 2,334 2,169 Kelas 3
3.PG Rejosari
Magetan 2,373 2,572 Kelas 3
95

Tabel 24 (lanjutan)

4. PG Pagotan Madiun 2,479 3,014 Kelas 2

5. PG Kanigoro Madiun 1,874 1,953 Kelas 3

6. PG Kedawung Pasuruan 1,853 2,115 Kelas 3

7. PG Wonolangan Probolinggo 1,692 1,742 Kelas 3

8. PG Gending Probolinggo 1,159 1,504 Kelas 3

9. PG Pajarakan Probolinggo 1,051 1,242 Kelas 3

10.PG Jatiroto Lumajang 5,726 6,548 Kelas 1

11.PG Semboro Jember 4,411 5,563 Kelas 2

12.PG Wringinanom Situbondo 931 1,092 Kelas 3

13.PG Olean Situbondo 940 1,003 Kelas 3

14.PG Panji Situbondo 1,348 1,667 Kelas 3

15.PG Asembagus Situbondo 2,319 2,750 Kelas 3

16.PG Prajekan Bondowoso 2,469 2,944 Kelas 3

Jumlah ; Rata2 35,532 40,162

PT RNI :

PT PG Rajawali I

1. PG Krebet Baru Malang 11,000 11,500 Kelas 1

2. PG Rejoagung Baru Madiun 5,500 6,000 Kelas 1

Jumlah ; Rata2 16,500 17,500

PT PG Candi

1. PG Candi Sidoarjo 2,500 2,630 Kelas 3

Jumlah ; Rata2 ; RNI ; 19.000 20.130

PT Kebon Agung :

1. PG Kebon Agung Malang 5,000 6,000 Kelas 1


Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2011

Kapasitas inclusive industri gula di Jawa Timur lebih rendah dibandingkan


kapasitas exclusive (DGI, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas terpakai
industri gula Indonesia masih rendah dibandingkan kapasitas terpasangnya.
Jika diklasifikasikan kapasitas giling menurut kelas kapasitas giling yang
ada (Tabel 24 dan Gambar 26), maka dari total 31 PG yang ada di Jawa Timur ada
96

16 persen PG yang tergolong kelas 1, ada 16 persen PG yang tergolong kelas 2


dan ada 68 persen PG yang tergolong kelas 3. Hal itu berarti ada 5 PG yang
termasuk kelas 1 dan kelas 2, dan ada 21 PG yang termasuk PG kelas 3.
Penggolongan kelas, berdasarkan kapasitas giling dari masing-masing PG.
Rohman et al ( 2005), menggolongkan kapasitas giling menjadi 3 (tiga) golongan,
yakni kelas 1, kapasitas giling besar ( >6000 TCD); kelas 2, kapasitas giling
sedang (3000-6000 TCD); kelas 3, kapasitas giling kecil (< 3000 TCD).

16%
Kelas 1 (>6000 TCD)
19%
Kelas 2 (3000-6000 TCD)
65%
Kelas 3 (<3000 TCD)

Gambar 26 Kelas Kapasitas giling PG di Jawa Timur


Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah)

Dengan semakin besarnya kapasitas giling yang dimiliki oleh PG maka


kelas (penggolongan) PG juga diharap akan semakin meningkat. Diharapkan
dengan semakin meningkatnya kapasitas giling PG, jumlah tebu yang digiling
juga akan semakin banyak sehingga produksi PDT dan gula pun meningkat.

Gambar 27 Distribusi PG dan Kapasitas Giling (Excl) masing-masing PG


di Jawa Timur
97

5.2 Perkembangan Keragaan Produk Derivasi Tebu (PDT) di Jawa Timur

Berdasarkan pohon industri tebu yang di keluarkan oleh Departemen


Pertanian (2005), menyatakan bahwa setiap bagian tebu sebelum maupun setelah
proses giling di dalam PG bisa menghasilkan beberapa produk turunan. Produk
turunan tersebut miasalnya: Pucuk tebu bisa diolah menjadi pakan ternak/wafer
pucuk tebu. Produk ampas bisa diolah menjadi kertas, papan partikel, papan serat,
kampas rem dan bio ethanol. Produk tetes bisa diolah menjadi alkohol, MSG,
bioethanol, asam asetat, ethyl asetat, asam glutamate, dan l-lysine.

5.2.1 Tetes

Data DGI (2014) menunjukkan bahwa jumlah tetes tebu yang dihasilkan
dari tebu yang digiling di Jawa Timur pada tahun 2013 sebesar 752.115 liter
atau mengalami peningkatan sebesar 2 persen pertahun dibandingkan tahun 2005
(Gambar 28). Hal ini sejalan dengan produksi tebu Jawa Timur yang mengalami
peningkatan selama kurun waktu 4 tahun terakhir.
Tetes yang dihasilkan PG di Jatim, sebagian besar dijual kepada pihak
kedua untuk diolah menjadi MSG dan etanol, ada sebagian PG yang mengolah
sendiri tetes yang dihasilkan menjadi alkohol (PG Jatiroto-Lumajang)-sebelum
akhirnya tutup, dan diolah menjadi bioethanol (PG Gempolkrep-Mojokerto).

850,000

800,000
Jumlah tetes (Ton)

750,000

700,000

650,000

600,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tetes 693,0 668,7 824,0 711,0 652,9 741,5 715,1 823,4 752,1
Gambar 28 Jumlah tetes dari tebu yang dihasilkan di Jawa Timur
tahun 2005-2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014
98

3,000
2,500
Rupiah/Kg

2,000
1,500
1,000
500
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Harga Tetes PTPN X Harga Tetes PTPN XI
Gambar 29 Harga rata-rata penjualan tetes di PT. Karisma Pemasaran Bersama
(PT. KPBN)
Sumber: PT. KPBN, 2014

Harga rata-rata penjualan tetes di PTPN XI lebih tinggi dibandingkan


dengan harga penjualan tetes di PTPN X (Gambar 29). Selama kurun waktu
2005-2013 harga penjualan tetes tertinggi di PTPN X pada tahun 2009 sebesar
Rp.1.382,56/ kg, sedangkan harga penjualan tertinggi di PTPN XI pada tahun
2009 yakni sebesar Rp.1.308,91/kg. Laju peningkatan harga tetes, baik di PTPN
X maupun di PTPN XI mengalami peningkatan sebesar 14 persen per tahun.
Penjualan tetes yang dihasilkan oleh PG-PG yang ada di Jawa Timur
ternyata tidak saja dijual di sekitar Jawa Timur saja (Tabel 25). Ada yang
penjualan tetesnya sampai Solo-Jawa Tengah. Peruntukannya pun beragam.
Tetapi sebagian besar tetes tersebut untuk bahan baku MSG (penyedap masakan)
farmasi dan kosmetika.

Tabel 25 Laporan DO Tetes PG X Tahun 2013 (dalam ton)


No. DO Nama Transportir Kwanta Diambil Sisa
36 PT. Molindo Raya Lawang Setia Kawan 500 56,58 443,42
28 PT. Argo Mulya Jaya Akar Jati 250 95,24 154,76
Surabaya
57 PT. Cheil Jedang Indonesia Agung Jaya 500 370,08 129,92
Pasuruan SBY
33 PT. Indo Acidatama Solo Sari Karya 1000 201,58 798,42
Mas
46 PT. Molindo Raya Lawang Rajawali 1250 376,02 873,98
45 PT. Indo Acidatama Solo Rajawali 1000 194,90 805,10
41 PT. Ajinex International Setia Kawan 250 0 250,00
Mojokerto
47 PT. Molindo Raya Lawang Rajawali 1250 0 1250,00
59 PT. Molindo Raya Lawang Sari Karya 1250 0 1250,00
Mas
61 PT. Molindo Raya Lawang Rajawali 1000 0 1000,00
58 PT. Indo Acidatama Solo Rajawali 1000 0 1000,00
49 PT. Indo Acidatama Solo Agung Jaya 500 488,88 11,12
SBY
Jumlah 9250 1294,4 7955,6
Sumber: PG X, 2014
99

Berhubung PG “X” tersebut (seperti PG-PG lainnya di Jatim) tidak


mengolah lebih lanjut produk samping yang dihasilkan,maka tetes yang dihasilkan
dijual kepada pihak lain. Harga jual tetes sebesar Rp.1.200/liter. Adapun
pengambilan tetes pada PG “X” tersebut diambil secara bertahap/per hari.

850,000,000
800,000,000
750,000,000
Ton

700,000,000
650,000,000
600,000,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Ampas
Gambar 30 Jumlah Ampas yang dihasilkan oleh PG “X”
Sumber: PG “X”, 2011

5.2.2 Ampas

Ampas yang dihasilkan oleh salah satu PG yang berada di Jawa Timur di
jelaskan dengan Gambar 30. PG “X” termasuk salah satu PG yang mempunyai
kapasitas giling 6.500 Ton Cane Day (TCD), yaitu kemampuan dalam menggiling
tebu per hari. Ampas dari PG “X” mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hal
ini disebabkan ampas yang dihasilkan tergantung dari jumlah tebu yang digiling.
Produksi ampas yang dihasilkan, terbesar dihasilkan pada tahun 2007 dengan
jumlah 822.316.475 ton ampas, yang mengalami kenaikan sebesar 17,29 persen
dari tahun 2005. Tren peningkatan ampas periode 2005-2013 sebesar 2,30 persen
per tahun.

5.2.3 Blotong

Blotong merupakan produk ikutan yang sebagian besar diolah menjadi


biokompos (pupuk) (Gambar 31). Warna blotong biasanya abu-abu tua atau
kehitaman. Jumlah blotong terbanyak dihasilkan pada tahun 2007 dengan jumlah
blotong 524.512 ton, dengan kenaikan sebesar 22,95 persen. Sedangkan tren
peningkatan jumlah blotong yang dihasilkan pada periode 2005-2013 sebesar 0,80
persen per tahun.
100

600,000
500,000
Ton

400,000
300,000
200,000
100,000
-
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Blotong

Gambar 31 Jumlah Blotong yang dihasilkan PG di Jawa Timur


Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2013 (Data diolah)

Beberapa PG menggunakan blotong sebagai pupuk pada kebun tebu milik


sendiri, tapi ada juga yang mengolahnya menjadi pupuk dalam cair dan dijual ke
pasaran. Sebagian besar masih belum mengolah kembali blotong yang dihasilkan.

6,000,000
5,000,000
4,000,000
Ton

3,000,000
2,000,000
1,000,000
-
2005 2006 2007 2008 2009 2011 2010 2012 2013

Biokompos ampas
Gambar 32 Jumlah Biokompos dan Ampas yang dihasilkan Tahun 2005-2013
di Jawa Timur
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014 (Data diolah)

Jumlah biokompos dan ampas (Gambar 32) yang dihasilkan dari tebu yang
diproduksi di Jawa Timur tahun 2005-2013, di mana besarannya berdasarkan
kriteria dari Subiyono (2013). Data menunjukkan bahwa jumlah ampas tertinggi
dicapai pada tahun 2013 dengan jumlah tebu sebesar 17,496 juta ton, ampas
yang dihasilkan 5, 248 juta ton dan dengan peningkatan sebesar 12 persen.
Ampas yang dihasilkan pada tahun 2005-2013 memiliki tren yang meningkat
sebesar 2,16 persen per tahun.
101

Biokompos yang dihasilkan oleh PG-PG yang ada di Jawa Timur,


kebanyakan diolah kembali dalam bentuk pupuk cair ataupun dibiarkan begitu
saja (dalam bentuk asli) dan digunakan secara langsung untuk pupuk pada areal
milik swasta/PG. Biokompos paling banyak dihasilkan pada tahun 2013 dengan
jumlah biokompos sebesar 5.248.934 ton dan terjadi peningkatan biokompos
yang dihasilkan sebesar 12 persen. Dalam kurun waktu 2005-2013 biokompos
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun sebesar 2,16 persen pertahun.
Peningkatan pada produksi ampas maupun biokompos yang sejalan
dengan tebu yang dihasilkan menunjukkan bahwa tebu mempunyai peran yang
sangat penting baik sebagai bahan baku utama gula maupun sebagai bahan baku
PDT. Semakin banyak tebu yang dihasilkan, diharapkan PDT yang dihasilkan
untuk kemudian diolah lebih lanjut, juga semakin meningkat.

5.3 Perkembangan Keragaan PDRB Wilayah Jawa Timur


5.3.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)

Berdasarkan perhitungan PDRB berdasarkan harga konstan (Gambar 33),


laju pertumbuhan PDRB Jatim berfluktuasi, laju pertumbuhan tertinggi sebesar
6,68 persen pada tahun 2010. Setelah sebelumnya PDRB tahun 2009 sebesar
Rp.320.861.168.910.000,- pada tahun 2010 PDRB meningkat sebesar
Rp.342.280.765.510.000,-. Laju pertumbuhan selama tahun 2000 sampai 2010
mengalami peningkatan sebesar 5,38 persen pertahun.

250,000,000 1. SEKTOR PERTANIAN

2. PERTAMBANGAN &
200,000,000 PENGGALIAN
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
Juta Rupiah

150,000,000
4. LISTRIK, GAS & AIR
100,000,000 BERSIH
5. KONSTRUKSI
50,000,000
6. PERDAG., HOTEL &
RESTORAN
0 7. PENGANGKUTAN &
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

KOMUNIKASI
8. KEU. REAL ESTAT, & JASA
PERUSAHAAN
9. JASA-JASA
Tahun
Gambar 33 PDRB Jawa Timur tahun 2000-2010 berdasar ADHK
Sumber: BPS, 2014 (Data diolah)

Sektor pertanian sendiri mengalami pertumbuhan yang cukup besar pada


tahun 2005 dengan nilai sebesar Rp.80.910.218.450.000,- dengan pertumbuhan
16,36 persen. Selama kurun waktu 2000-2010 pertumbuhan sektor pertanian
meningkat sebesar 11,89 persen pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya kegiatan ekonomi di Jawa Timur.
Peranan ekonomi dapat dilihat dari angka distribusi Produk Domestik
Regional Bruto atas dasar harga konstan, industri pengolahan ternyata masih
mendominasi struktur ekonomi Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,
102

tahun 2000-2010 dengan kontribusi total sebesar Rp. 1.395.297.225 juta. Sektor
Pertanian dan Sektor perdagangan, hotel dan restaurant menempati peringkat ke
dua dan ketiga dengan kontribusi total masing-masing sebesar Rp.829.664.323
juta dan Rp. 821.087.275 juta. Sektor industri pengolahan masih menjadi leading
sector, baik kelompok industri besar/sedang maupun industri kecil dan rumah
tangga.
Selama kurun waktu tahun 2000-2010, semua sektor mengalami
pertumbuhan positif. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor industri
pengolahan sebesar 13,51 persen, posisi kedua ditempati sektor pertanian sebesar
11,89% dan posisi ketiga ditempati sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar
9,06 persen. Masing-masing sektor menunjukkan peningkatan dalam
pertumbuhannya.

Tabel 26 Pertumbuhan tiap sektor di Jawa Timur tahun 2000-2010


No Sektor Persen
1 Pertanian 11,89
2 Pertambangan 6,42
3 Industri Pengolahan 13,51
4 Listrik, gas dan air bersih 6,63
5 Kontruksi 3,08
6 Perdagangan, hotel dan restauran 7,96
7 Pengangkutan dan Komunikasi 9,06
8 Keu. Real estate, & Jasa perusahaan 6,60
9 Jasa-Jasa 5,84
Sumber: BPS, 2013 (data diolah)

Pada Tabel 26 Pertumbuhan tiap sektor di Jawa Timur, maupun pada


distribusi PDRB ADHK masing-masing menunjukkan bahwa industri pengolahan
mendominasi struktur ekonomi Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan profil industri
di Jawa Timur yang mendukung pertumbuhan dan kontribusi sektor industri
pengolahan. Data Jatim dalam angka (2013), menunjukkan jumlah unit usaha dan
tenaga kerja dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 jumlah
unit usaha menunjukkan angka sebanyak 716.441 unit, tahun 2010 jumlah unit
usaha sebanyak 742.671 unit, tahun 2011 jumlah unit usaha sebanyak 783.955
unit dan tahun 2012 jumlah unit usaha sebanyak 795.410 unit usaha. Peningkatan
jumlah unit usaha ini dibarengi dengan peningkatan jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan. Tahun 2009 jumlah tenaga kerja di sektor industri sebanyak 2, 643
juta TK, tahun 2010 sebanyak 2, 785 juta TK, tahun 2011 sebanyak 3, 025 juta
TK dan tahun 2012 sebanyak 3.069.575 TK. Hal ini didukung juga dengan jumlah
produksi yang tiap tahun mengalami peningkatan. Tahun 2009 jumlah produksi
yang dihasilkan sebanyak 179.926 unit, tahun 2010 sebanyak 190.107 unit, tahun
2011 sebanyak 200.328 unit dan tahun 2012 sebanyak 203.287 unit.
103

150,000,000
Juta Rupiah
100,000,000

50,000,000

0
20002001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010

Sub Sektor Perkebunan Pertanian

Gambar 35 Perbandingan Jumlah PDRB Sub sektor Perkebunan dan


Sektor Pertanian (ADHK)
Sumber: BPS, 2014

Tebu merupakan salah satu tanaman yang masuk dalam sub sektor
perkebunan (Gambar 35) di mana sub sektor perkebunan masuk dalam sektor
pertanian. PDRB sektor pertanian menunjukkan peningkatan dalam dari tahun
2000-2010. Peningkatan terbesar ada pada tahun 2010 dengan PDRB sebesar
Rp.122.623.967 juta rupiah, dengan laju pertumbuhan 11,89 persen pertahun. Sub
sektor perkebunan menunjukkan laju pertumbuhan yang mengalami peningkatan
sebesar 1,01 persen per tahun.
Dalam kurun waktu 2000-2010 sub sektor tanaman perkebunan
memberikan kontribusi terhadap sektor pertanian mengalami penurunan sebesar
9,61 persen per tahun. Kontribusi penurunan terbesar pada tahun 2005 sebesar
27,17 persen dan kontribusi penurunan terkecil pada tahun 2009 sebesar 4,24
persen.

3.5
Persen (%)

2.5

2
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kontribusi Perkebunan Thd PDRB (ADHK) Jatim
Gambar 36 Kontribusi Tanaman Perkebunan terhadap PDRB Jatim
Sumber: BPS, 2014

Kontribusi sub sektor perkebunan terhadap PDRB Jawa Timur tahun


2000-2010 mengalami fluktuasi (Gambar 36). Kontribusi tebesar sub sektor
perkebunan terhadap PDRB Jawa Timur pada tahun 2000 sebesar 3,09 persen.
Sedangkan kontribusi terendah pada PDRB Jawa Timur sebesar 2,11persen pada
104

tahun 2010. Sedangkan rata-rata pertumbuhan kontribusi sub sektor perkebunan


sebesar 2,74 persen per tahun. Sejalan dengan Statistik Tebu Indonesia (2011)
bahwa kontribusi sub sektor tanaman perkebunan menyumbangkan sekitar 2,07
persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Walaupun
memberikan kontreibusi yang tidak terlalu besar, akan tetapi sub sektor ini
merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja dan
penghasil devisa.

5.3.2 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)

PDRB Jawa Timur berdasarkan harga yang berlaku tahun 2000-2010


menunjukkan pertumbuhan yang positif sebesar 14,42 persen pertahun.
Pertumbuhan tertinggi PDRB total pada tahun 2005 sebesar 18,27 persen.
Pertumbuhan terendah selama kurun waktu 10 tahun pada tahun 2009 yaitu
sebesar 10,53 persen. Kenaikan pertumbuhan PDRB menunjukkan meningkatnya
kegiatan perekonomian di Jawa Timur.

250,000,000 1. PERTANIAN

2. PERTAMBANGAN &
200,000,000 PENGGALIAN
Juta Rupiah

3. INDUSTRI PENGOLAHAN
150,000,000
4. LISTRIK, GAS & AIR
100,000,000 BERSIH
5. KONSTRUKSI
50,000,000
6. PERDAG., HOTEL &
0 RESTORAN
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

7. PENGANGKUTAN &
KOMUNIKASI
8. KEU. REAL ESTAT, & JASA
PERUSAHAAN
9. JASA-JASA
Tahun
Gambar 37 PDRB Jatim Atas Dasar Harga berlaku(ADHB)
Sumber: BPS, 2014

PDRB Jawa Timur berdasarkan ADHB (Gambar 37) selama kurun waktu
tahun 2000-2010 menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan menduduki
peringkat pertama dengan PDRB sebesar Rp.1.395.297.225 juta, peringkat kedua
sektor perdagangan, hotel dan restauran sebesar Rp.1.334.799.766 juta dan
selanjutnya peringkat terbesar ketiga adalah sektor pertanian dengan PDRB
sebesar Rp.829.664.323 juta. Secara keseluruhan, 9 sektor penyumbang PDRB
Jawa Timur menunjukkan bahwa pada tahun 2010 PDRB Jawa Timur
menunjukkan jumlah PDRB dengan angka terbesar. Kontribusi terbesar terhadap
PDRB pada tahun 2010 dihasilkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restaurant
sebesar 29,47 persen, posisi kedua kontribusi diberikan sektor industri pengolahan
yang memberikan kontribusi sebesar 27,49 persen dan posisi ketiga disumbang
dari sektor pertanian sebesar 15,75 persen.
Tabel 27 menunjukkan pertumbuhan pada masing-masing sektor selama
kurun waktu 2000 sampai 2010. Pertumbuhan tertinggi pada sektor perdagangan
hotel dan restaurant sebesar 16,60 persen dan laju pertumbuhan kedua pada sektor
listrik, gas dan air bersih sebesar 16,51 persen dan pertumbuhan ketiga pada
sektor kontruksi sebesar 15,91 persen.
105

Tabel 27 Pertumbuhan tiap sektor di Jawa Timur tahun 2000-2010


No Sektor Persen
1 Pertanian 11,89
2 Pertambangan 15,18
3 Industri Pengolahan 13,51
4 Listrik, gas dan air bersih 16,51
5 Kontruksi 15,91
6 Perdagangan, hotel dan restauran 16,60
7 Pengangkutan dan Komunikasi 15,06
8 Keu. Real estate, & Jasa perusahaan 14,50
9 Jasa-Jasa 14,54
Sumber: BPS, 2014 (data diolah)

20,000,000

15,000,000
Juta Rupiah

10,000,000

5,000,000

0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tanaman Perkebunan
Gambar 38 PDRB sektor perkebunan tahun 2000-2010
Sumber:BPS, 2014

Pada Gambar 38 PDRB sektor perkebunan dari tahun 200-2010


berfluktuasi, tetapi selama kurun waktu 10 tahun pertumbuhan sektor perkebunan
mengalami peningkatan sebesar 9,42 persen pertahun. Jumlah PDRB terbesar
pada sektor perkebunan pada tahun 2010 sebesar Rp.16.101.387 juta dan
terendah pada tahun 2000 sebesar Rp.6.668.048 juta. Sedangkan laju
pertumbuhan sektor perkebunan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 27,39 persen
dan terendah pada tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 0,49 persen.
Gambar 39 Menunjukkan kontribusi sub sektor perkebunan terhadap
PDRB Jatim pada tahun 2000-2010. Kontribusi terbesar pada tahun 2000 sebesar
3,29 persen. Kontribusi terendah sub sektor perkebunan pada tahun 2010 sebesar
2,07 persen. Jika di rata-rata kontribusi yang disumbang oleh sub sektor
perkebunan selama 10 tahun terakhir sebesar 2,56 persen per tahun. Angka yang
tidak jauh berbeda dengan sumbangan sub sektor perkebunan terhadap PDB pada
skala nasional
106

3.5

3
Persen (%)

2.5

2
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kontribusi Sub Sektor Perkebunan terhadap PDRB (ADHB) Jatim

Gambar 39 Kontribusi Perkebunan terhadap PDRB Jatim


Sumber: BPS, 2014

5.4 Tenaga Kerja dan Pendapatan dari Sektor Tebu


5.4.1 Tenaga Kerja pada PG dengan Kapasitas Giling 5.563 TCD
(Kategori 2)

PG “X” merupakan salah satu PG yang berada di bawah naungan PTPN


XI. PG “X” termasuk PG dengan kapasitas giling sedang (masuk dalam kategori
2), yakni 5.563 TCD. Semakin besar kapasitas giling dari suatu PG, maka jumlah
karyawan yang dibutuhkan juga semakin banyak. Pada Tabel 28 pada tahun 2012,
total jumlah karyawan yang bekerja di PG “X” sebanyak 1.866 orang, sedangkan
pada tahun 2013 total jumlah karyawan sebanyak 1.751 orang. Perbandingan
jumlah tenaga kerja antara tahun 2013 dengan 2012 adalah 93,84%. Penurunan
jumlah karyawan di PG “X” disebabkan penurunan dalam produksi gula akibat
rendemen yang turun. Rendemen pada tahun 2012 sebesar 8,03% dan rendemen
pada tahun 2013 sebesar 6,98%.
Tenaga Tebang (orang) tahun 2012 dan tahun 2013 sebanyak 3000 TK
Keterangan:
1. Karyawan tetap:
a. Full DMG LMG (Dalam Musim Giling 1 Tahun Penuh)
b. Full LMG (Luar Musim Giling/Karyawan Kampanye)
2. Karyawan Tidak tetap
a. PKWT (Perjanjian Kontrak Waktu tertentu)
b. Tenaga Borongan Terkait dengan jumlah Tenaga
c. Tenaga Out Sourching yaitu Tidak terkait dengan produk terkait
Misalnya; Cleaning Service dan petugas Pencatat Truck
d. Karyawan borongan Stapelan yaitu karyawan kuli panggul
107

Tabel 28 Jumlah Tenaga Kerja di PG kelas 2 di Kabupaten Jember, Jawa Timur


No Uraian Tahun %
2013 2012 3:4
1 2 3 4 5
1 Karyawan tetap:
a. Golongan IIIA-IVD 40 37 108.11
b. Golongan IA-IID 437 460 95.00

2 Karyawan Kampanye (L) 254 290 87.59


Karyawan Musiman (ex Kampanye) 0 0 0
3 Karyawan PKWT (12 Bln) 0 0 0
4 Karyawan PKWT. LMG/DMG 31 32
5 Karyawan PKWT LMG 0 0 0
6 Karyawan PKWT DMG 611 658 92.86
7 Karyawan Honorer LMG/DMG 2 2 100.00
8 Karyawan Honorer LMG 0 0 0
9 Karyawan Honorer DMG 0 0 0
10 Karyawan Borongan (L) 296 307 96.42
11 Karyawan Borongan Stapelan (L) 80 80 100.00
TOTAL 1.751 1.866 93,84
Sumber: PG “X”, 2014

5.4.2 Tenaga Kerja di PG dengan Kapasitas Giling 2.944 TCD (Kategori 2)

Total jumlah tenaga kerja pada PG “X” tahun 2010 berjumlah 442 orang
(Tabel 29), tahun 2011 berjumlah 400 orang, tahun 2012 berjumlah 376 orang dan
pada tahun 2013 berjumlah 1.540 orang. Tenaga kerja yang terdapat pada PG “Y”
juga seperti tenaga kerja yang terdapat pada PG “X”. Terdiri dari karyawan tetap
dan musiman.

Tabel 29 Jumlah Tenaga Kerja PG “Y” di Kabupaten Bondowoso, Jawa timur


Tahun 2013 dengan Kapasitas Giling 2.944 TCD (masuk kelas 3)
Tahun
No 2010 2011 2012 2013
Tenaga Kerja
1. Tetap (Kampanye/Waktu 285 265 236 235
Giling)
2. Musiman 157 135 140 105
3. Tebang - - - 1200
Total 442 400 376 1.540
Sumber: PG “Y” 2013

Jika dirata-rata seluruh PG di Jawa Timur memiliki kurang lebih 3000 TK


pada tiap PG, maka jumlah tenaga kerja (TMA) untuk seluruh PG di Jawa Timur
(32 PG) adalah 96.000 TK yang terserap dalam satu musim giling. Berdasarkan
data tenaga kerja yang terserap di sektor perkebunan pada tahun 2012 sebesar
4.394.068 TK (Disbun Jatim, 2014). Tenaga kerja yang terserap di sektor
108

perkebunan tebu jika dibandingkan dengan penyerapan TK di sektor perkebunan


pada tahun 2012 sebesar 4.394.068, maka menyumbang sekitar 2,18%.

5.4.3 Upah tenaga kerja Tebang Muat Angkut (TMA)

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Suharto, yakni pemilik lahan tebu


di wilayah PG Pradjekan, Bondowoso pada tahun 2014. Maka terdapat beberapa
perhitungan dalam menentukan jumlah upah dari tiap-tiap tenaga TMA dan
jumlah truk yang dibutuhkan.
Point-point khusus dalam pengupahan:
1. Model TMA yang ada adalah borongan. Di mana harus MBS
2. Satu ku upahnya berkisar Rp.3.900,- sampai Rp.5.000,- jadi 1 ton upahnya
Rp.39.000,-Rp.50.000,-
3. Satu ha ada  1000 ha, jadi upahnya Rp.3.900.000,- sampai Rp.5.000.000,-
4. TMA untuk 1 ha menghasilkan 20 ku, sehingga borongannya 8 juta. Sistem
TMA biasanya borongan. Tergantung jarak atau rayon tanaman tebu ke PG.
5. Waktu yang dihabiskan untuk menebang 1 ha  1 minggu
6. Upah TK saat ini Rp.5800/ku/ha tahun 2014.
7. Satu ha membutuhkan 2 truk untuk mengangkut tebu ke PG dalam 1 hari.
8. Kerja mulai jam 6 pagi sampai jam 4 sore. Jika tempatnya jauh, kerja mulai
subuh sampai sore dan kemudian mempersiapkan untuk hari besoknya. Tebu
yang Manis Bersih Segar (MBS). Tidak kotor dan bebas dari daun kering.

5.4.4 Perhitungan pembayaran upah:

Perhitungan dalam pembayaran upah tenaga TMA di perkebunan tebu di


Kabupaten Bondowoso Jawa Timur dalam 1 ha perkebunan tebu adalah:
a. Satu ha hitungannya menghasilkan  1000 ku/ha tebu atau sama dengan
100 ton tebu
b. Satu truk mampu mengangkut 70 ku atau sama dengan7 ton per hari
c. Dalam 1 ha membutuhkan 14 truk 1000 ku/70 ku=14.28 truk
d. 1 truk  6 orang TK
e. Jika diborongkan selesai dalam 2 minggu, maka 1 hari menggunakan 2
truk. Dua truk * 7 hari = 14 truk
f. 70 ku * upah TK Rp.5 ribu/ku=Rp. 350 ribu
g. Upah TK per hari yaitu Rp.350 ribu/6 TK= 58.000/TK/hari
Sumber: Pak Suharto, 12 januari2015.
Ket: mengenai TMA pada musim giling 2014

Jika seorang TK TMA bekerja di 1 tempat dengan luaasa 1 ha, maka


waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaannya selama 2 minggu.
Total upah yang diterima selama 2 minggu adalah Rp.812.000,- (Rp.58.000*14
hari). Jika dirata-rata tiap pekerja bekerja sedikitnya pada 2 tempat dengan luasan
1 ha maka total upah yang diterima sebesar Rp.1.624.000,-. Pendapatan petani
perkebunan per kapita tahun 2012 sebesar Rp.2.110.000,- Jadi kontribusi upah TK
sektor perkebunan tebu terhadap pendapatan perkebunan per kapita adalah
76,96%.
109

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Model dan Dinamika Pengembangan Agroindustri Gula Tebu

Pengembangan model agroindustri gula tebu di Jawa Timur bertujuan


untuk mengetahui prilaku produksi GKP dalam memenuhi target penyediaan gula
secara nasional, produksi PDT, profit petani, profit PG, PAD dan kaitannya
dengan perekonomian wilayah. Untuk menjelaskan perilaku model, disusun pula
sub model-sub model yang terdiri dari 5 (lima) sub model.
Model yang telah dibuat juga perlu dilakukan validasi. Validasi terhadap
model penting dilakukan untuk menguji apakah model yang telah disusun
merupakan perwakilan dari realitas yang ada. Berikut ini adalah validasi model
dan perilaku model yang menyusun model pengembangan agroindustri gula tebu.

6.1.1 Validasi Model

Uji terhadap validasi model meliputi uji validitas struktur dan uji validitas
kinerja atau output. Uji terhadap kestabilan struktur dilakukan langsung oleh
perangkat lunak untuk menguji konsistensi dimensi. Dari hasil pengujian yang
telah dilakukan, tidak terdapat inkonsistensi dalam penggunaan dimensi.
Sedangkan uji pada validitas kinerja model dengan menggunakan RMSPE, AME
dan AVE dengan batas maksimum 5%.

Tabel 30 Hasil uji validasi kinerja model pengembangan agroindustri gula tebu di
Jawa Timur
Variabel
Produksi Tetes Luas Perekonomian
Kriteria
GKP (%) Areal Wilayah (%)
(%) (%)
RSMPE 3,86 2,96 2,57 1,70
(Root Mean Square Percentage Error)
AME 0,77 0,88 1,70 0,65
(Absolute Mean Error)
AVE 1,56 1,79 3,52 3,29
(Absolute Variance Error)

Berdasarkan hasil pengolahan data validitas kinerja model pada Tabel 30


dengan menggunakan RMSPE, AME dan AVE, masing-masing variabel
menunjukkan angka tidak lebih dari batas maksimum yaitu 5%. Variabel yang
diuji adalah Produksi GKP, Tetes, Luas Areal dan Perekonomian Wilayah
(PDRB) Jawa Timur selama tahun 2010-2013. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa nilai RMSPE, AME dan AVE untuk produksi GKP masing-masing sebesar
3,86%, 0,77%, dan 1,56%. Tetes masing-masing 2,96%, 0,88% dan 1,76%.
Luas Areal masing-masing 2,57%, 1,70% dan 3,52 dan Perekonomian Wilayah
1,70%, 0,65% dan 3,29%.
110

6.1.2 Perilaku Sub model Bahan Baku

Ketersediaan tebu sebagai bahan baku utama, sangat diperlukan dalam sub
model bahan baku (Tabel 39). Bahan baku yang cukup sangat menentukan dalam
produksi GKP dan PDT pada nantinya. Adapun produksi tebu dipengaruhi oleh
luas areal dan produktivitas tebu. Berdasarkan pengusahaannya, luas areal dan
produktivitas tebu dibagi 2 (dua) yakni tebu rakyat (TR) dan tebu sendiri (TS).
TR adalah tebu yang diusahakan oleh rakyat dalam penanaman dan
pengelolaannya, sedangkan TS adalah tebu yang penanaman dan pengelolaannya
diusahakan oleh PG. Lahan TR menyumbang 81,37% sedangkan TS 9,78%
terhadap lahan tebu di Jatim. Baik TR dan TS juga menggilingkan tebunya ke PG
ketika musim giling/panen tiba.

320,000
270,000
220,000
Ha

170,000
120,000
70,000
20,000

Luas Areal TR Luas Areal TS Luas Areal Total


Gambar 39 Luas Areal perkebunan tebu kondisi aktual tahun 2010-2025

Gambar 39 menunjukkan pertumbuhan luas areal tebu total dengan pola


exponential growth, dimana luas areal tebu total menunjukkan peningkatan
sampai tahun 2018 dan menunjukkan pola yang menurun pada tahun berikutnya
tahun 2019 dan stabil pertumbuhan luas areal tebu sampai tahun 2025 pada luas
areal total dan luas areal TR. Sedangkan pertumbuhan luas areal TS tidak
menunjukkan peningkatan yang tajam, karena luas lahan tebu di Jatim didominasi
oleh TR dalam pengusahaannya. Peningkatan luas areal tebu disumbang oleh
lahan TR dengan pertumbuhan 4,22% per tahun. Sedangkan TS mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun lebih rendah dari TR sebesar 0,42%. Adanya
target pertumbuhan pada luas areal TR sebesar 230.000 ha dan TS sebesar
158.200 ha. Kedua target tersebut menjadi goal lahan dalam sub model bahan
baku. Pembatasan lahan dilakukan karena, pertumbuhan lahan tebu tidak dapat
terus menerus terjadi. Adanya kendala persaingan dengan penyediaan lahan bagi
tanaman lain, dan pertumbuhan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal.
Goal lahan tersebut akan menyebabkan pertumbuhan lahan akan tetap pada
periode tertentu. Pada Gambar 39 pada tahun 2019 lahan TR pertumbuhannya
tetap sampai tahun 2025. Sedangkan pada lahan TS masih terus mengalami
pertumbuhan dengan angka yang sangat kecil 0,42% per tahun. Hal ini
dikarenakan lahan TR sudah mencapai goal yang ditetapkan, sedangkan lahan TS
pertumbuhannya masih belum mencapai goal yang ditetapkan. Pada tahun 2025
total luas lahan di Jatim sebesar 252.511ha.
111

Pola peningkatan luas areal TS menunjukkan pola exponential growth


karena sampai tahun 2025 masih mengalami peningkatan sebesar 252.511 ha,
sedangkan luas areal TR peningkatannya menunjukkan pola exponential growth,
karena dari tahun 2019 sampai tahun 2025 tidak mengalami peningkatan lagi atau
tetap.
Peningkatan luas areal tebu di Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari
peran serta lembaga serta pihak-pihak yang terkait. Baik pemerintah daerah,
pemerintah pusat dan petani tebu. Kondisi yang mendukung peningkatan luas
areal tersebut:
1. Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Kementrian Kehutanan
melakukan pelepasan ex HPK (Hutan Produksi yang dapat di Konversi),
melalui tahap permohonan, persetujuan dan SK Pelepasan Menhut.
2. Mengadakan APL (Alih Fungsi Lahan). APL untuk wilayah Jawa Timur
berada di Banyuwangi 12.000ha dan Pulau Madura 70.000 ha.
3. Menjaga agar kondisi gula kondusif, sebagai contoh peningkatan areal tebu
selama 5 tahun berturut-turut (tahun 2009-tahun 2013) merupakan hasil dari
kebijakan pemangku kepentingan yang mendukung pertumbuhan industri
GKP, seperti Gubernur Jatim yang menolak impor raw sugar dan menolak
menutup sejumlah pabrik (Disbun jatim, 2014). Hal ini memotivasi petani
tebu (TR mengusahakan 90% tanaman tebu Jatim).
4. Menjaga agar harga gula petani diatas HPP. Fakta historis: Produktivitas dan
produksi gula serta perkembangan area tebu sangat dipengaruhi oleh harga
relatif gula (keuntungan petani tebu) (Tohariswan, 2013). Jika petani tebu
merasa apa yang diusahakannya mendatangkan hasil, maka pada masa yang
akan datang, petani tebu akan mengusahakan tanaman tebu (Disbun Jatim,
2014).

31,000
26,000
Ribu Ton

21,000
16,000
11,000
6,000
1,000

Produksi TR Produksi TS Produksi Tebu Jatim


Gambar 40 Produksi Tebu Jatim kondisi aktual tahun 2010-2025

Pada gambar 40 menunjukkan produksi tebu di Jatim. Total produksi


tebu pada tahun 2010 sebesar 16,62 juta ton dengan produksi TR sebesar 14,71
juta ton dan produksi TS sebesar 1,91 juta ton. Pola pertumbuhan produksi tebu
menunjukkan pola exponential growth, yaitu meningkat sampai tahun 2018
sampai 2025.
Pada tahun 2025 produksi tebu diperkirakan mencapai 24,99 juta ton,
dimana sebesar 22,81 juta ton diproduksi oleh TR dan 2,17 juta diproduksi oleh
TS. Luas areal tebu secara total tahun 2025 masih mengalami kenaikan.
112

Kenaikan ini disumbang oleh kenaikan dari luas areal TS yang masih mengalami
peningkatanan, sedangkan TR tidak mengalami peningkatan, karena telah
mencapai target lahan yang ditetapkan.

6.1.3 Perilaku sub model pengolahan

Jumlah Produksi GKPdan produk samping (sebelum diolah lebih lanjut


menjadi PDT) merupakan komponen variabel utama untuk mengetahui perilaku
sub model pengolahan, karena output dari sub model pengolahan adalah jumlah
produksi GKP dan produk samping . Sedangkan rendemen dan kapasitas giling
merupakan faktor yang mendukung dalam memproduksi GKP dan PDT.

2,400
2,200
2,000
1,800
Ribu Ton

1,600
1,400
1,200
1,000

Produksi GKP Jatim


Gambar 41 GKP pada kondisi aktual, tahun 2010-2025

Pada sub model pengolahan, pada Gambar 41 menunjukkan produksi


tebu sesuai dengan pola exponential growth. Pada tahun 2010 jumlah GKP 1,014
juta ton dan pada tahun 2025 jumlah GKP diperkirakan mencapai 2,233 juta ton.
Sedangkan pada tahun 2015 produksi GKP diperkirakan mencapai 1,454 juta ton.
Angka tersebut masih jauh dari jumlah GKP yang ditargetkan oleh pemerintah
pusat kepada Jawa Timur untuk meningkatkan produksi gula sebesar 1,65 juta ton
(Disbun Jatim, 2012).
Total produk samping menunjukkan pola exponential growth (Gambar
42) Jumlah besaran produk samping berbeda antara masing-masing produk
samping yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan jumlah produk samping
berdasar pada penelitian yang dilakukan oleh Almazan (1998) dan Subiyono
(2013). Konversi tebu menjadi ampas sebesar 32%, menjadi tetes sebesar 4% dan
dari tebu menjadi blotong sebesar 3%. Begitu pula ampas, tetes dan blotong,
secara individual menunjukkan pola pertumbuhan exponential growth. Total
produk samping pada tahun 2010 sebesar 6,421 juta ton, sedangkan pada tahun
2025 diprediksi sebesar 9,653 juta ton.
113

10,400
8,400
Ribu Ton
6,400
4,400
2,400
400

Ampas Blotong Tetes Total Produk Samping


Gambar 42 Produksi produk ikutan kondisi aktual tahun 2010-2025

Jumlah GKP dan produk samping yang dihasilkan tidak terlepas dari
kapasitas giling mesin PG dalam menggiling tebu menjadi gula dan
menghasilkan produk samping. Gambar 43 menunjukkan bahwa jarak antara
kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai tidak besar. Tetapi jika dilihat dengan
lebih cermat, maka jarak antara kapasitas terpasang dan terpakai mendekati akhir
tahun simulasi (2025) menunjukkan jarak yang lebih lebar dibanding pada awal
tahun 2010. Jika tahun simulasi ditambah, kemungkinan jarak tersebut akan
semakin lebar. Tingkat utilisasi kapasitas terpasang mengalami penurunan sebesar
0,08%. Sesuai dengan teori, bahwa tingkat kemampuan mesin pada suatu titik
tertentu akan mengalami penurunan daya giling karena umur mesin maupun
tingkat perawatan yang dilakukan.

700,000
600,000
500,000
400,000
TCD

300,000
200,000
100,000
0

Kapasitas terpsg industri Kapasitas terpakai


Gambar 43 Kapasitas giling kondisi aktual tahun 2010-2025

Mengantisipasi penurunan kapasitas giling mesin dalam menggiling tebu


menjadi GKP maupun PDT (Gambar 43) maka diperlukan tambahan kapasitas
giling mesin dan perawatan dalam meningkatkan kemampuan mesin dalam
menghasilkan GKP. Hal ini perlu dilakukan agar kapasitas giling tidak berkurang
karena pemakaian dalam waktu lama. Adapun utilisasi kapasitas terpakai mesin
PG di Jatim mencapai 92,50%.
114

6.1.4 Perilaku sub model pendapatan (profit) petani

Dinamika pendapatan petani terjadi akibat penerimaan dan biaya yang


dilakukan petani tebu dalam mengusahakan tanaman tebu miliknya. Biaya yang
dikeluarkan untuk penanaman tanaman tebu pertama (PC) pada sistem tebu
tegalan I, meliputi biaya garap, biaya pupuk biaya herbisida, biaya sewa lahan,
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan biaya Tebang Muat Angkut
(TMA). Dari sisi penerimaan berasal dari bagi hasil gula yang dihasilkan dari
penggilingan tebu berdasarkan rendemen dan tetes yang merupakan bagian petani.

16,000,004
14,000,004
12,000,004
Juta Rupiah

10,000,004
8,000,004
6,000,004
4,000,004
2,000,004
4

Total Biaya TST1 Total Penerimaan Profit Ptni per ha tanpa pck tebu (Rp/ha)
Gambar 44 Pendapatan petani tebu kondisi aktual tahun 2010-2025

Pendapatan (profit) petani pada Gambar 44 menunjukkan peningkatan


sesuai dengan pola eksponential growth. Begitu juga dengan penerimaan dan
biaya yang dikeluarkan menunjukkan pola exponential growth. Pada tahun 2010
pendapatan petani sebesar Rp.4,332 juta dan pada tahun 2025 meningkat
menjadi Rp. 23,887 juta.
Peningkatan pendapatan terjadi karena selisih antara penerimaan dengan
biaya yang dikeluarkan dalam mengusahakan tanaman tebu lebih besar dari pada
biaya yang dikeluarkan. Peningkatan pendapatan terjadi seiring meningkatnya
jumlah gula dan jumlah tebu yang dihasilkan. Jumlah gula dan peningkatan
rendemen yang dihasilkan akan meningkatkan bagi hasil antara petani dan PG.
Semakin tinggi rendemen yang dihasilkan, maka prosentase bagi hasil yang
diperoleh petani dari tebu yang dihasilkan juga meningkat. Sedangkan jumlah
tebu yang dihasilkan akan meningkatkan perolehan tetes bagi petani.

6.1.5 Perilaku sub model keuntungan PG

Keuntungan (profit) PG yang dianalisis merupakan keuntungan PG yang


berasal dari gula/hablur yang dihasilkan. keuntungan tersebut berasal dari
penerimaan dari gula yang merupakan bagi hasil dengan petani berdasarkan
rendemen yang dihasilkan dan biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi gula.
Keuntungan PG selama periode simulasi disajikan pada Gambar 45.
115

2,600
2,400
2,200
Milyar Rupiah
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000

Profit PG Aktual
Gambar 45 Keuntungan (profit) PG kondisi aktual tahun 2010-2025

Selama periode analisis terjadi peningkatan baik penerimaan, biaya produksi


dan keuntungan PG dalam memproduksi gula. Pada tahun 2010 profit PG
sebesar Rp. 1,140 milyar dan tahun 2025 meningkat menjadi 2,513 milyar.
Peningkatannya mengikuti pola exponential growthselama periode simulasi.
Walaupun terdapat peningkatan biaya dalam memproduksi gula, tapi peningkatan
penerimaan dari gula lebih tinggi. Hal ini disebabkan produksi gula yang terus
meningkat produksinya mengikuti pola exponential growth dan produktivitas
tebu yang tinggi.

6.1.6 Perilaku sub model Perekonomian Wilayah

Perekonomian wilayah yang dianalisis adalah perekonomian wilayah di


Jawa Timur yang merupakan proxy dari penambahan PDRB Jatim dan
penerimaan dari nilai output yang didapat dari gula (q) dikalikan harga gula (p).
Nilai output yang diperoleh tersebut yang digunakan sebagai pembanding pada
tahun-tahun yang akan datang. Diharapkan output dari tebu mengalami
peningkatan dari tahun ketahun. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa
perekonomian bekerja secara penuh, dimana distribusi pendapatan dapat merata
dari output yang diproduksi dan penyerapan tenaga kerja terjadi.
Perekonomian wilayah pada Gambar 46 menunjukkan pola exponential
growth, hal ini disebabkan penerimaan yang berasal dari PG dari gula yang
dihasilkan dan penerimaan dari petani juga mengalami peningkatan. Dimana
penerimaan PG dari gula pada tahun 2010 sebesar Rp. 1,140 milyar dan pada
tahun 2025 meningkat dua kali lipat menjadi Rp. 2,513 milyar. Jika dirunut lagi,
penerimaan dari gula selama periode simulasi mengalami peningkatan karena
ditunjang oleh peningkatan output yakni produksi GKP (q) selama periode
simulasi.
116

1,200
1,100
1,000
Trilyun Rupiah

900
800
700
600
500
400
300

Perekonomian Wilayah kondisi aktual


Gambar 46 Perekonomian wilayah Jatim kondisi aktual pada tahun 2010-2025

Pada tahun 2010 penerimaan dari gula pada perekonomian wilayah


sebesar Rp.3,042 trilyun dan pada tahun 2025 perimaan dari gula pada
perekonomian wilayah sebesar Rp.1,130 trilyun.

6.2 Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu pada kondisi Aktual

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa model pengembangan


agroindustri gula tebu bertujuan untuk menganalisis :
a) jumlah produksi GKP, dimana Jatim sebagai bagian penghasil gula
terbesar di Indonesia diharapkan memenuhi target pemenuhan produksi
gula dari pemerintah pusat dalam rangka pencapaian program swasembada
gula nasional,
b) produksi PDT sebagai langkah menuju zero waste dan sumber penerimaan
bagi PG, petani dan perekonomian daerah,
c) keuntungan (profit) PG, jika profit PG bertambah maka diharapkan PG
bisa mengembangkan usaha atau melakukan perbaikan pada mesin
sehingga bisa meningkatkan gula yang diproduksi,
d) pendapatan (profit) petani, diharapkan petani juga mengalami
peningkatan kesejahteraan sehingga petani semakin bersemangat dalam
mengelola dan meningkatkan kualitas perkebunan tebu miliknya,
e) perekonomian wilayah, sumbangan peningkatan penerimaan dari gula tebu
diharapkan dapat meningkatkan perekonomian wilayah.
Adapun jumlah PG yang ada di Jatim berjumlah 31 PG. Sebanyak 30 PG
adalah milih BUMN dan hanya 1 PG yakni PG Kebon Agung yang berada di
Malang merupakan milik swasta. Selama ini kinerja industri gula BUMN masih
belum optimal, baik ditinjau dari aspek produksi maupun biaya (Kementrian
BUMN, 2011). Sebagai gambaran, pada tahun 2009 dengan luas tebu sekitar
63,19%, BUMN hanya memberikan kontribusi produksi gula 54,77%.
117

11,000
10,000
9,000
Ribu Ton 8,000
7,000
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000

Produksi GKP Jatim Kondisi Aktual By Product Kondisi Aktual


Gambar 47 Produksi GKP dan PDT Jatim kondisi aktual tahun 2010-2025

Gambar 47 menunjukkan bahwa grafik produksi GKP dan PDT memiliki


kecenderungan yang terus meningkat dengan pola exponential growth. Walaupun
produksi GKP lebih kecil secara keseluruhan dibandingkan produksi PDT, hal
tersebut bukan merupakan suatu masalah karena bukan dibandingkan antara
produksi GKP dengan PDT tetapi untuk menunjukkan bahwa pola produksi GKP
dan PDT menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Sesuai dengan
penelitian Almazan (1990), bahwa GKP jumlahnya sekitar 8% dari tebu giling,
sehingga GKP yang berasal dari tebu jumlahnya lebih sedikit dibanding PDT total
yang berasal dari ampas, tetes dan blotong.
Peningkatan produksi GKP (Gambar 47) disumbang oleh peningkatan luas
areal tebu di Jatim yang secara total terus mengalami peningkatan hingga tahun
2018. Selain itu produktivitas tebu yang cukup tinggi, dimana produktivitas tebu
TS sebesar 90.63 ton/ha dan produktivitas TR sebesar 85.71 ton/ha. Begitupula
dengan produk samping yang dihasilkan, memiliki kecenderungan yang terus
meningkat. Peningkatan produk samping disumbang juga oleh jumlah tebu yang
dihasilkan. Dimana peningkatan jumlah tebu di Jatim ditopang oleh luas areal
tebu dan produktivitas tebu yang tinggi. Dari 3 (tiga) produk samping, yakni tetes
(molasses), ampas (bagases) dan blotong (filter cake) dihasilkan dari sisa
pengolahan tebu ketika menjadi gula dengan prosentase tertentu.
Hasil kinerja sistem pada kondisi aktual pada produksi GKP menunjukkan
bahwa pada tahun 2010 produksi gula sebesar 1,014 juta ton, dengan kebutuhan
sebesar 0,47 juta ton, maka Jawa Timur dalam kondisi surplus gula sebesar 0,54
juta ton dan bisa memenuhi kebutuhan provinsi lain (Disbun Jawa Timur, 2011).
Tetapi dalam rangka pencapaian swasembada gula, pemerintah pusat memberikan
target bagi Jawa Timur untuk meningkatkan produksi gula sebesar 1,65 juta ton.
Sehingga target swasembada yang dicanangkan oleh pemerintah pusat jika
dijalankan secara business as usual tidak akan tercapai. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan pendukung terhadap pencapaian kebijakan swasembada
GKP.
118

3,000,004
2,500,004
Juta Rupiah

2,000,004
1,500,004
1,000,004
500,004
4

Profit Petani Aktual Profit PG Aktual

Gambar 48 Pendapatan (profit) petani tebu dan keuntungan (profit) PG dari gula
pada kondisi aktual Jatim tahun 2010-2025

Seiring dengan kenaikan produksi GKP, keuntungan PG mengalami


kenaikan dengan pola exponential growth (Gambar 48). Diharapkan kenaikan
profit PG dapat digunakan oleh PG untuk meningkatkan kinerja PG sehingga bisa
menutup kerugian yang ditimbulkan selama proses produksi karena umur mesin
yang sudah tua dan mampu menghasilkan GKP sesuai target dari pemerintah
pusat. Keuntungan PG yang berasal dari gula pada tahun 2010 sebesar Rp.1,14
trilyun dan pada tahun 2025 mengalami peningkatan menjadi Rp.2,51trilyun.
Sampai saat ini masih terdapat beberapa PG yang memiliki kapasitas giling
kecil dan kondisi mesin yang mati. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah
produksi gula yang dihasilkan seperti penelitian Cahyati (2012) yang menyatakan
bahwa dalam setiap 145.19 jam mesin PG mati maka akan kehilangan 1.663,68
kg.
Dinamika perilaku pendapatan petani tebu seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 48 bahwa pendapatan petani tebu mengalami peningkatan selama
periode simulasi dari tahun 2010 sampai tahun 2025. Pada tahun 2010 petani
mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 4,332 juta/ha dan pada tahun 2025
pendapatan petani mengalami peningkatan sebesar Rp.23,887 juta rp/ha,
peningkatan pendapatan petani tersebut pada awal-awal tahun simulasi masih
tergolong kecil, mengingat jumlah pendapatan tersebut dalam satu tahun per ha.
Sehingga perlu peningkatan pada GKP dan pengolahan produk samping menjadi
produk turunan yang bisa memberikan nilai tambah bagi petani tebu.
Jumlah produksi GKP menjadi faktor penting dalam model pengembangan
agroindustri gula tebu yang dibanguan, dimana peningkatan dalam perekonomian
wilayah juga disumbang dari peningkatan GKP. Sumbangan sektor perkebunan
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2011 relatif kecil,
yakni 2,07% (Publikasi Statistik Tebu Indonesia, 2012). Dengan adanya kenaikan
jumlah produksi GKP diharapkan kontribusi terhadap PDRB semakin meningkat
(Gambar 49). Begitu pula produksi GKP terhadap perekonomian wilayah Jatim,
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang meningkat. PDRB Jatim tahun
2010 sebesar Rp.342 trilyun dan mengalami peningkatan menjadi Rp.1,13 trilyun
pada tahun 2025. Peningkatan tersebut telah memasukkan penerimaan dari gula.
119

1,200
1,100
Trilyun Rupiah 1,000
900
800
700
600
500
400
300

Perekonomian Wilayah kondisi aktual

Gambar 49 Perekonomian Wilayah pada kondisi aktual di Jatim tahun 2010-2025

6.3 Perilaku Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu dengan


pemanfaatan PDT

Perilaku model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu setelah ada


pemanfaatan PDT berdampak positif tehadap perekonomian wilayah.
Pemanfaatan PDT menunjukkan tren yang selalu meningkat pada perekonomian
wilayah. Peningkatan pada perekonomian wilayah berasal dari penerimaan petani
dan Penerimaan PG ( Gambar 50 dan Gambar 51). Peningkatan penerimaan
petani berasal dari tambahan penerimaan penjualan pucuk daun tebu. Pucuk
daun tebu yang dihasilkan sebesar 14,6 ton/ha dari tebu yang dipanen/giling.
Total Penerimaan seluruh petani tebu Jatim tahun 2010 Rp.6,750 trilyun,
mengalami peningkatan pada tahun 2025 sebesar Rp.14,033 trilyun.

16,000
Milyar Rupiah

14,000
12,000
10,000
8,000
6,000

Penerimaan Petani
Gambar 50 Penerimaan seluruh petani tebu setelah ada penambahan PDT di
Jatim tahun 2010-2025

Peningkatan dalam penerimaan PG (Gambar 51) berasal dari GKP dan


pemanfaatan 5 jenis PDT. PG dalam model, mengembangkan produk samping
(by-product) menjadi 5 jenis PDT, masing-masing yaitu (1) bioethanol berbahan
baku ampas, (2) listrik berbahan baku ampas, (3) kampas rem berbahan baku
120

ampas, (4) bioethanol berbahan baku tetes, dan (5) biokompos dari blotong. Pada
tahun 2025 penerimaan PG dari GKP dan PDT diperkirakan sebesar Rp.6,97
trilyun, lebih tinggi dibanding tahun 2010 yaitu Rp.3,223 trilyun.

7,500
7,000
6,500
Milyar Rupiah

6,000
5,500
5,000
4,500
4,000
3,500
3,000

Penerimaan PG
Gambar 51 Penerimaan seluruh PG setelah ada penambahan PDT di Jatim
tahun 2010-2025

Penerimaan yang berasal dari 5 jenis PDT yakni bioethanol dari ampas,
bioethanol dari tetes, listrik dari ampas, kampas rem dari ampas dan biokompos
yang berasal dari blotong (Gambar 52) menunjukkan tren yang selalu meningkat.
Peningkatan penerimaan terjadi karena peningkatan pada produksi tebu sebagai
bahan baku PDT. Peningkatan penerimaan tertinggi dihasilkan oleh Bioethanol
dari ampas. Peningkatan penerimaan tersebut terjadi selain karena harga
bioethanol cukup tinggi, yaitu Rp.8000/ liter dan jumlah ampas yang dihasilkan
untuk bioethanol cukup tinggi. Jumlah ampas untuk bioethanol yakni, 15.807 ton
pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 23.762 ton pada tahun 2025.

201

151
Milyar Rupiah

101

51

Penerimaan bioethanol dari tetes Penerimaan kampas rem


Penerimaan listrik Penerimaan dr biokompos
Penerimaan bioethnl dr ampas
Gambar 52 Penerimaan dari pengembangan 5 jenis PDT di Jatim
tahun 2010-2025
121

1,300
1,100
Trilyun Rupiah
900
700
500
300

Jan 2022
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021

Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Perekonomian Wilayah
Gambar 53 Perekonomian Wilayah setelah ada penambahan PDT di Jatim tahun
2010-2025

Dinamika perekonomian wilayah menunjukkan tren meningkat pada


periode 2010-2025 (Gambar 53). Peningkatan dalam perekonomian wilayah
disumbang dari tambahan penerimaan PG, yakni PDT yang berasal dari listrik,
kampas rem, bioethanol dan biokompos, dan penerimaan petani tebu dari pucuk
daun tebu. Peningkatan nilai perekonomian wilayah pada tahun 2025
diperkirakan sebesar Rp.1.155 trilyun lebih tinggi dibanding tahun 2010 yakni
Rp.342, 280 trilyun.
Tambahan penerimaan dari pengembangan gula tebu dengan pemanfaatan
PDT bagi petani antara Rp.703 milyar-Rp.921 milyar, sedangkan tambahan
penerimaan bagi PG antara Rp.181 milyar-Rp.272 milyar, dan bagi perekonomian
wilayah Rp.885 milyar-Rp.24,896 trilyun. PDT yang memberikan penerimaan
tertinggi adalah Bioethanol dari ampas sebesar Rp.126 milyar pada tahun 2010
dan Rp.190 milyar pada tahun 2025.

6.4 Dampak Kebijakan RIGN terhadap produksi GKP, produksi PDT,


keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah

Berdasarkan hasil simulasi model pada kondisi aktual, memperlihatkan


bahwa target produksi GKP yang diterapkan di Jawa Timur oleh pemerintah pusat
tidak tercapai. Target yang ditetapkan pada tahun 2010 mengenai produksi gula
Jatim sebesar 1,65 juta masih belum tercapai jika dijalankan secara Business as
usual (BAU). Sehingga diperlukan kebijakan pendukung agar target produksi
GKP di jatim bisa sesuai dengan target. Begitu juga dengan produksi PDT.
Selama ini produksi PDT masih belum banyak mengalami perubahan atau diolah
lebih lanjut dari kondisi awalnya sebagai produk samping. Produksi GKP sebagai
salah satu output dari tanaman perkebunan, secara nasional hanya memberikan
kontribusi sebesar 2,07% bagi PDB (Publikasi Statistik Tebu Indonesia, 2012).
Kontribusi yang relatif kecil bagi sumber penerimaan sehingga, diharapkan
produksi PDT bisa memberikan tambangan kontribusi penerimaan bagi
perekonomian wilayah.
Pendapatan (profit) petani dan PG diharapkan juga mengalami peningkatan,
mengingat efisiensi PG di Indonesia masih rendah. Dibandingkan India, efisiensi
PG di Indonesia secara keseluruhan berkisar 70-75, bahkan PG milik BUMN
122

hanya berkisar 72%, masih tertinggal dengan efisiensi dari negara India sebesar
85-87,5. (Baghat, 2011). Tingkat efisiensi yang rendah ini menyebabkan biaya
yang tinggi dan daya saing yang rendah. Maka diharapkan dengan adanya
peningkatan profit PG dari peningkatan produksi PG dan PDT akan menutupi
biaya yang ditimbulkan akibat ketidak efisienan PG.
Dari sisi penerimaan daerah, PAD yang diperoleh dari PG yang ada masih
belum menunjukkan tingkat penerimaan yang tinggi. PAD dari PG yang ada
hanya berasal dari PG saja, itupun masih belum memenuhi target penerimaaan
yang ditetapkan. Sebagai contoh penerimaan total dari Pajak Penerangan Jalan
non PLN (PPJ) di Dispenda Kabupaten Jember pada akhir tahun 2014 hanya
terealisasi sebesar 38,65%. Begitu pula dengan total penerimaan Pajak Air bawah
Tanah (PAbT) hanya tercapai 34,95% pada akhir tahun 2014. Sedangkan untuk
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) hanya tercapai
65.39%. Pajak yang bisa dikenakan terhadap PG berbeda-beda antara satu
kabupaten dengan kabupaten/kota lainnya. Untuk kabupaten Jember pajak yang
dikenakan adalah Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJ) non PLN, Pajak Air
Bawah Tanah (PAbT) dan PBB P2. Penerimaan bagi daerah dari produksi PDT
masih belum ada, karena produk samping yang ada hampir belum terolah menjadi
PDT.
Walaupun selama ini kinerja industri gula belum optimal, baik dari segi
produksi dan biaya, namun industri gula tetap memegang peran penting dalam
penyediaan kebutuhan gula nasional. Untuk membenahi kondisi yang terjadi,
agroindustri gula memerlukan intervensi kebijakan untuk meningkatkan produksi
GKP, PDT, profit PG dan petani, juga PAD dan perekonomian wilayah.
Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) pada dasarnya merupakan
rencana jangka panjang industri gula BUMN dalam rangka meningkatkan
produksi GKP dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi gula di dalam negeri
(Kementrian BUMN, 2011). Disamping dapat digunakan sebagai arah atau
pedoman dalam pengelolaan industri gula BUMN 5 (lima) tahun ke depan.
Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya-upaya untuk
meningkatkan produksi GKP baik dari sisi on farm maupun dari sisi off farm.
Diharapkan dengan adanya kebijakan RIGN dapat meningkatkan produksi
GKP dan PDT (on farm) sehingga peningkatan produksi GKP dan PDT tersebut
bisa meningkatkan profit PG dan petani sebagai pelaku penting dalam industri
pergulaan. Peningkatan profit tersebut pada akhirnya membawa dampak bagi
penerimaan PAD dan perekonomian wilayah.
Berikut adalah dampak kebijakan RIGN terhadap produksi GKP, PDT,
keuntungan PG, pendapatan petani, juga PAD dan perekonomian wilayah dalam
berbagai skenario. Terdiri dari skenario 1, 2, dan 3.

6.4.1 Skenario 1: Peningkatan Luas Areal sebesar 3,2 %

Skenario 1 yakni peningkatan luas areal tebu merupakan konsep yang


dicanangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi gula. Mengingat
permasalahan di sektor on farm yang cukup menonjol adalah kesulitan
pengembangan areal tebu akibat persaingan penggunaan lahan dengan komoditi
lain, dan terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terutama di Jawa.
123

Peningkatan mengenai luas areal tebu bisa diterapkan dengan kebijakan


pemerintah. Dalam mewujudkan pengembangan areal tebu di Jawa Timur,
pemerintah melakukan serangkaian kebijakan seperti: pelepasan ex HPK (Hutan
produksi yang bisa dikonversi) oleh Menteri kehutanan, melakukan APL (Alih
Fungsi Lahan) di Jawa Timur (Banyuwangi) seluas 12.000 ha dan pengembangan
lahan tebu di pulau Madura oleh PTPN X.
Target pengembangan areal tebu di Jatim untuk TR sebesar 230.000 ha
dan TS sebesar 158.200 ha. Untuk mendukung upaya peningkatan produksi GKP
maka pada skenario 1 pertumbuhan luas areal sebesar 3,2% sesuai dengan target
peningkatan luas areal yang diterapkan oleh pemerintah melalui Kementeian
BUMN dalam RIGN (Kementerian BUMN, 2011).
Hasil simulasi peningkatan luas areal sebesar 3,2% pada Gambar 54
menunjukkan bahwa produksi GKP Jatim mengalami kenaikan dibandingkan
pada bussines as usual (BAU), jikapada BAU pada tahun 2010 sebesar 1,014 juta
ton, maka pada skenario 1 terdapat peningkatan sebesar 1,046 juta ton pada tahun
2010. Terjadi peningkatan produksi GKP tiap tahun dan pada tahun 2015 jumlah
produksi GKP sebesar 1,500 juta ton. Jumlah produksi GKP Jatim masih belum
bisa memenuhi target pemenuhan GKP yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
sebesar 1,6 juta ton. Produksi GKP bisa memenuhi target nasional pada tahun
2017 dengan total produksi GKP sebesar 1,735 juta ton. Sehingga bisa dikatakan
bahwa kebijakan peningkatan luas areal sebesar 3,2% masih belum cukup
membuat Jatim bisa memenuhi kebutuhan target pemerintah pusat pada tahun
2015, tetapi bisa terpenuhi pada tahun 2017.
Untuk Produksi PDT pada Gambar 54, terjadi peningkatan yang cukup
tajam dibandingkan pada saat BAU. Produksi PDT pada skenario 1 tahun 2010
sebesar 32,772 juta ton dan meningkat menjadi 47,870 juta ton pada tahun 2025.
Peningkatan PDT sama polanya dengan produksi tebu Jatim. Hal ini disebabkan
PDT merupakan produk samping yang diolah lebih lanjut dari tebu.

51,000
46,000
41,000
Ribu Ton

36,000
31,000
26,000
21,000
16,000
11,000
6,000
1,000

Produksi PDT Skenario 1 Produksi GKP Skenario 1


Gambar 54 Produksi GKP dan Produksi PDT Jatim skenario 1 tahun 2010-2025

Untuk Produksi PDT pada Gambar 54, terjadi peningkatan yang cukup
tajam dibandingkan pada saat BAU. Produksi PDT pada skenario 1 tahun 2010
sebesar 32,772 juta ton dan meningkat menjadi 47,870 juta ton pada tahun 2025.
124

Peningkatan PDT sama polanya dengan produksi tebu Jatim. Hal ini disebabkan
PDT merupakan produk samping yang diolah lebih lanjut dari tebu.
Keuntungan PG (Gambar 55) pada skenario 1 mengalami peningkatan
dari Rp.1,293 trilyun pada tahun 2010 menjadi Rp.2,689 trilyun pada tahun
2025. Kebijakan RIGN dengan peningkatan areal tebu sebesar 3.2% bisa
meningkatkan profit PG yang berasal dari PDT.

3,000
Milyar Rupiah

2,500
2,000
1,500
1,000
500

PAD Skenario 1 Profit PG pada Skenario 1


Gambar 55 PAD dan keuntungan (profit) PG skenario 1 tahun 2010-2025

Kebijakan RIGN juga meningkatkan PAD Jatim pada Gambar 55. Hal ini
dapat dilihat dari peningkatan penerimaan PAD Jatim tahun 2010 pada skenario 1
sebesar Rp.579 milyar tahun 2010 meningkat menjadi Rp.1,17 trilyun pada tahun
2025. Peningkatan ini lebih besar jika dibanding pada kondisi BAU tahun 2010
sebesar Rp.562,19 milyar menjadi Rp.1,173 trilyun pada tahun 2025. Kebijakan
meningkatkan luas areal sebesar 3,2% menyebabkan peningkatan produksi tebu,
dimana produksi tebu merupakan bahan utama GKP dan PDT. Selain itu, PDT
pada skenario 1 merupakan pengolahan lebih lanjut dari ampas, tetes dan blotong
menjadi bioethanol, kampas rem, pupuk dan listrik. Dengan konversi yang
berbeda-beda pada masing-masing produk turunan (PDT).
Meningkatnya luas areal tebu sebesar 3,2% mempunyai dampak pada
pendapatan petani pada Gambar 56 Peningkatan pendapatan petani pada
skenario 1, sebesar Rp.7,982 juta pada tahun 2010 menjadi Rp.27,534 juta pada
tahun 2025. Peningkatan pendapatan petani selain karena peningkatan produksi
tebu sebagai faktor utama penerimaan dari tetes, disumbang juga dari GKP
sebagai hasil dari produksi tebu yang merupakan faktor utama bagi hasil dari
rendemen yang dihasilkan. Semakin besar angka rendemen yang dihasilkan, maka
angka bagi hasil dari rendemen semakin besar. Jika jumlah rendemen yang
dihasilkan diatas 6%, maka bagi hasil antara petani tebu dan PG adalah 70%:30%
(PG Pradjekan, 2013).
125

29,000,000

24,000,000

19,000,000
Rupiah

14,000,000

9,000,000

4,000,000

Profit Petani Skenario 1


Gambar 56 Pendapatan (profit) petani skenario 1 pada tahun 2010 –2025

Pendapatan petani juga disumbang dari pemanfaatan penjualan pucuk


daun tebu yang dijual seharga Rp.250.000,- per ton. Sebelumnya pucuk daun tebu
hanya dibuang begitu saja atau sebagai bahan pakan ternak dan diberikan gratis
kepada siapa saja yang mau mengambil. Tetapi sekarang, pucuk daun tebu dijual
tanpa diolah lebih lanjut. Padahal jika pucuk daun tebu tersebut diolah lebih
lanjut, tidak dijual dalam bentuk pucuk daun tebu saja, maka penerimaan petani
akan lebih besar. Kendala yang ada adalah pengetahuan dan informasi terhadap
cara pengolahan lebih lanjut pada pucuk daun tebu dikalangan petani.
Perekonomian Wilayah pada Gambar 57 juga mendapatkan dampak dari
simulasi skenario 1. Perekonomian wilayah mengalami peningkatan dari Rp.342
trilyun pada tahun 2010 menjadi Rp.1.160 trilyun pada tahun 2025. Peningkatan
ini disumbang dari peningkatan jumlah PDT yang dihasilkan. Dimana selama ini
masih belum dimanfaatkan dan memberikan kontribusi bagi perekonomian
wilayah. Selain penerimaan dari gula, perekonomian wilayah disumbang dari
penerimaan yang berasal 5 jenis PDT yang dihasilkan yaitu; bioethanol dari
tetes, bioethanol dari ampas, listrik dari ampas, kampas rem dari ampas dan pupuk
yang diolah dari blotong.

1,400
1,200
Trilyun Rupiah

1,000
800
600
400
200

Perekonomian Wilayah Skenario 1


Gambar 57 Perekonomian Wilayah skenario 1 tahun 2010-2025
126

6.4.2 Skenario 2: Peningkatan produktivitas sebesar 1,6 %

Skenario 2 adalah peningkatan produktivitas tebu sebesar 1.6%.


Peningkatan produktivitas ini akan dilihat dampaknya pada produksi GKP, PDT,
pendapatan petani, keuntungan PG, PAD dan perekonomian wilayah. Upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tebu melalui bongkar ratoon yakni
penggantian tanaman keprasan dangan tanaman baru (PC). Ketika panen tebu,
banyak petani yang melakukan panen (kepras) terhadap tanaman tebu miliknya
melampaui rekomendasi kepras yang dianjurkan. Maksimal tanaman kepras
adalah sebanyak 4 kali, tetapi dilapangan petani melakukan kepras lebih dari 4
kali bahkan ada yang sampai 12 kali (Hanani et al, 2012). Hal ini dilakukan
karena petani tidak ingin mengalami kerugian mengingat biaya tanam untuk
tanaman tebu baru (PC) sangat tinggi berkisar antara 19 juta-20 juta rupiah
(Asmarantaka, 2012).

51,000,000

41,000,000

31,000,000
Ton

21,000,000

11,000,000

1,000,000

Produksi GKP Skenario 2 Produksi PDT Skenario 2


Gambar 58 Produksi GKP dan Produksi PDT skenario 2 tahun 2010-2025

Hasil simulasi pada skenario 2 menunjukkan bahwa produksi GKP


(Gambar 58) mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 1,030 juta ton
sedangkan pada tahun 2025 terus mengalami peningkatan sebesar 2,269 juta ton.
Dibandingkan pada kondisi BAU dan skenario 1, produktivitas tanaman tebu
pada skenario 2 menghasilkan jumlah GKP lebih tinggi. Produksi GKP pada
tahun 2015 sebesar 1,477 juta ton masih belum bisa melampaui target produksi
GKP yang ditetapkan, dan target GKP bisa tercapai pada tahun 2017 dengan
produksi GKP sebesar 1,708 juta ton.
Produksi PDT pada Gambar 58, mengalami peningkatan pada skenario 2
sebesar 32,264 juta ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 48,501 juta ton
pada tahun 2025. Jika dibandingkan pada kondisi BAU, peningkatan produksi
PDT sangat meningkat tajam, hal ini bisa dipahami karena pada kondisi BAU
masih belum diolah lebih lanjut menjadi produk turunan tertentu, tetapi masih
dalam limbah atau produk samping yang belum terolah. Jumlah produksi PDT
pada skenario 2 mengalami peningkatan, dibandingkan pada skenario 1. Usaha
peningkatan produktivitas tanaman tebu yang sesuai prosedur tanam, seperti
jumlah keprasan, bongkar ratoon sesuai jumlah keprasa ternyata efektif dalam
meningkatkan produksi GKP dan PDT.
127

3,000

2,500
Milyar Rupiah
2,000

1,500

1,000

500

Profit PG Skenario 2 PAD Skenario 2


Gambar 59 keuntungan (profit) PG dan PAD skenario 2 tahun 2010-2025

Keuntungan PG (Gambar 59) pada skenario 2 mengalami peningkatan


sebesar Rp.1,273 trilyun pada tahun 2010 dan terus meningkat menjadi Rp.2,724
trilyun pada tahun 2025. Peningkatan Profit PG disumbang dari peningkatan
produksi GKP dan PDT. Seperti pada Gambar 58 bahwa produksi GKP dan PDT
pada skenario 2 mengalami peningkatan dibanding pada skenario 1 dan BAU.
PAD pada Gambar 59 menunjukkan angka penerimaan yang terus
meningkat pada skenario 2, hal ini bisa dilihat pada angka penerimaan yang
berasal dari pajak dan retribusi yang terus meningkat. Peningkatan PAD
disumbang dari retribusi gula, dimana peningkatan retribusi gula tergantung dari
peningkatan jumlah produksi GKP yang dihasilkan. Peningkatan GKP berdampak
pada meningkatnya jumlah retribusi yang dibayarkan pada Kabupaten/Daerah.
PAD pada tahun 2010 sebesar Rp.570 milyar dan mengalami peningkatan pada
tahun 2025 sebesar Rp.1.191 trilyun.

33,000,000
28,000,000
Rupiah

23,000,000
18,000,000
13,000,000
8,000,000

Profit Petani Skenario 2


Gambar 60 Pendapatan (profit) Petani/ ha skenario 2 tahun 2010-2025

Peningkatan produktivitas tebu sebesar 1,6% pada skenario 2 berhasil


meningkatkan profit petani dari Rp.8,374 juta pada tahun 2010 menjadi Rp.28,242
juta pada tahun 2025. Peningkatan profit petani (Gambar 60) disumbang dari
peningkatan produksi tebu yang mengakibatkan produksi tetes bagian petani
mengalami peningkatan. Begitu pula produksi GKP yang meningkat dibanding
kondisi BAU dan skenario 1, berdampak pada penerimaan petani meningkat.
128

1,300
1,100
Trilyun rupiah

900
700
500
300

Perekonomian Wilayah skenario 2


Gambar 61 Perekonomian Wilayah pada skenario 2 tahun 2010-2025

Perekonomian wilayah (Gambar 61) pada skenario 2 menunjukkan tren


meningkat. Perekonomian wilayah pada skenario 2 meningkat dari Rp. 342 trilyun
pada tahun 2010 menjadi Rp.1.160 trilyun pada tahun 2025. Peningkatan pada
perekonomian wilayah merupakan dampak peningkatan penerimaan yang berasal
dari produksi GKP dan PDT.

6.4.3 Skenario 3: Peningkatan Rendemen sebesar 2,41%

Skenario 3 merupakan skenario peningkatan rendemen tebu sebesar


2,41%. Dampak skenario 3 dilihat pada produksi GKP, PDT, profit PG, profit
petani, PAD dan perekonomian wilayah di Jawa Timur.
Hasil simulasi pada skenario 3 (Gambar 62) menunjukkan bahwa produksi
GKP mengalami peningkatan dibanding pada skenario 1 dan 2. Pada tahun 2010
produksi GKP sebesar 1,038 juta ton dan mengalami peningkatan pada tahun
2025 sebesar 2,287 juta ton. Produksi GKP pada skenario 3 masih belum bisa
mencapai target produksi GKP yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebesar
1,65 ton. Target tersebut bisa tercapai pada tahun 2017.

60,000,000
50,000,000
40,000,000
Ton

30,000,000
20,000,000
10,000,000
0
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025

Produksi GKP Skenario 3 Produksi PDT Skenario 3


Gambar 62 Produksi GKP dan PDT skenario 3 tahun 2010-2025
129

Produksi PDT Gambar 62 pada skenario 3 mengalami peningkatan


dibandingkan pada kondisi BAU. Pada tahun 2010 PDT sebesar 31,755 juta ton
dan meningkat sebesar 47,737 juta ton pada tahun 2025. Peningkatan PDT pada
skenario 3 karena ada peningkatan pengolahan produk samping tebu menjadi
bioethanol, kampas rem, listrik dan biokompos dibanding pada kondisi BAU.

3,000

2,500
Milyar Rupiah

2,000

1,500

1,000

500

Profit PG Skenario 3 PAD Skenario 3


Gambar 63 Keuntungan (profit PG) dan PAD skenario 3 tahun 2010-2025

Keuntungan PG pada skenario 3 mengalami peningkatan (Gambar 63)


disebabkan peningkatan pada rendemen. Skenario peningkatan rendemen pada
Gambar 77 berakibat pada meningkatnya produksi GKP sehingga keuntungan
PG juga meningkat. Keuntungan pabrik gula bersumber dari produksi GKP dan
PDT.
PAD pada skenario 3 pada Gambar 63 meningkat dari Rp.573 milyar pada
tahun 2010 menjadi Rp.1,198 trilyun pada tahun 2025. Peningkatan PAD pada
Gambar 63, bersumber pada retribusi dan jumlah pajak yang diperoleh dari
peningkatan produksi GKP. Peningkatan GKP yang merupakan dampak dari
peningkatan presentase rendemen menyebabkan peningkatan pada jumlah
retribusi yang dibayarkan PG kepada kabupaten atau daerah.

33,000,000

28,000,000
Rupiah

23,000,000

18,000,000

13,000,000

8,000,000

Profit Petani Skenario 3


Gambar 64 Pendapatan (profit) Petani skenario 3 tahun 2010-2025
130

Simulasi terhadap pendapatan petani pada Gambar 64 dengan skenario 3


juga berdampak pada pendapatan petani yang mengalami peningkatan. Kebijakan
dengan menggunakan skenario 3 mampu meningkatkan profit petani karena ada
peningkatan produksi GKP yang dihasilkan dari peningkatan rendemen.
Peningkatan rendemen juga menyumbang prosentase bagi hasil yang meningkat
antara petani dan pihak PG. Pada akhir periode analisis (2025) pendapatan (profit)
petani mencapai Rp.28,746 juta lebih tinggi dibanding pada awal periode analis
(2010) sebesar Rp.8,701 juta.

1,300
1,100
Trilyun Rupiah

900
700
500
300

Perekonomian Wilayah skenario 3

Gambar 65 Perekonomian Wilayah skenario 3 tahun 2010-2025

Tingginya produksi GKP pada Gambar 62, karena peningkatan rendemen


pada skenario 3 berdampak pada penerimaan PG dan penerimaan petani tebu dari
gula. Kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan pada perekonomian wilayah
Jatim (Gambar 65). Peningkatan perekonomian Jatim terjadi pada akhir simulasi
sebesar Rp.342 trilyun dibanding pada tahun 2010, awal simulasi sebesar
Rp.1.162 trilyun.

6.5 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario 1, 2, dan 3

Hasil simulasi pada skenario 1, 2, dan 3 dapat dibandingkan antara satu


skenario dengan skenario yang lain untuk mengetahui dampaknya terhadap
produksi GKP, PDT, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani, PAD
dan Perekonomian Wilayah Jatim. Hasil perbandingan antara skenario 1, 2, dan 3
dapat digunakan sebagai bahan untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah ada
menjadi kondisi sesuai tujuan dari pengambil kebijakan.
131

2,400
2,200
2,000
1,800
Ribu Ton

1,600
1,400
1,200
1,000
Jan 2011

Jan 2013
Jan 2010

Jan 2012

Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Produksi GKP Aktual Produksi GKP Skenario 1
Produksi GKP Skenario 2 Produksi GKP Skenario 3
Gambar 66 Perbandingan Produksi GKP pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3
tahun 2010-2025

Gambar 66 menunjukkan bahwa kebijakan RIGN mampu meningkatkan


produksi GKP Jatim dari tahun 2010 sampai akhir simulasi, yakni tahun 2025.
Peningkatan produksi GKP sesuai dengan pola exponential growth sejak tahun
2010. Namun kenaikan produksi GKP belum bisa memenuhi target produksi GKP
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebesar 1,65 juta ton. Target tersebut bisa
terpenuhi pada tahun 2017. Produksi tertinggi GKP diperoleh melalui skenario 3,
dimana dampak pencapaian kebijakan lebih tinggi dibandingkan dengan skenario
lainnya. Pada akhir periode analisis (2025), masing-masing produksi GKP yaitu
2,233 juta ton ( kondisi aktual), 2,240 juta ton (skenario 1); 2,269 juta ton
(skenario 2), dan sebesar 2,287 juta ton (skenario 3).

51,000,000
46,000,000
41,000,000
36,000,000
31,000,000
Ton

26,000,000
21,000,000
16,000,000
11,000,000
6,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025

Produksi PDT Aktual Produksi PDT Skenario 1


Produksi PDT Skenario 2 Produksi PDT Skenario 3
Gambar 67 Produksi PDT kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3tahun 2010-2025

Gambar 67 merupakan simulasi yang dilakukan pada produksi PDT


menunjukkan pada masing-masing skenario, produksi PDT mengalami
132

peningkatan mulai pada awal simulasi tahun 2010 sampai akhir simulasi tahun
2025. Peningkatan tertinggi pada produksi PDT pada skenario 2. Secara
keselurunan skenario menunjukkan pola exponential growth. Pada kondisi aktual
terdapat perbedaan yang tajam antara skenario 1, 2, dan 3. Perbedaan tersebut
disebabkan pada kondisi aktual, hasil olahan dari tebu masih berupa by product
(tetes, ampas dan blotong) dan belum diolah lebih lanjut menjadi produk turunan
tebu.

3,000
2,800
2,600
Milyar Rupiah

2,400
2,200
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000

Profit PG Aktual Profit PG Skenario 1


Profit PG Skenario 2 Profit PG Skenario 3
Gambar 68 Keuntungan (profit) PG pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3,
tahun 2010-2025

Gambar 68 merupakan hasil simulasi pada keuntungan PG, menunjukkan


bahwa pada skenario 3 PG mendapatkan keuntungan (profit) tertinggi dibanding
pada skenario 1, dan 2. Keuntungan PG tahun 2010 pada skenario 3 sebesar
Rp.1,280 milyar dan pada tahun 2025 sebesar Rp.2,742 milyar. Jika skenario 1,
dan 2 dibandingkan dengan kondisi aktual, maka perbedaan yang terjadi
disebabkan pada kondisi aktual, keuntungan yang diperoleh PG hanya berasal dari
produksi gula saja.

34,000,000
29,000,000
24,000,000
Rupiah

19,000,000
14,000,000
9,000,000
4,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025

Profit Petani Aktual Profit petani Skenario 1


Profit Petani Skenario 2 Profit Petani Skenario 3
Gambar 69 Pendapatan (profit) Petani /ha pada kondisi aktual, skenario 1, 2,
dan 3, tahun 2010-2025
133

Pendapatan (profit) petani (Gambar 69 ) menunjukkan pola exponential


growth pada tiap tahun simulasi. Pendapatan terbesar yang diterima oleh petani
tebu diperoleh pada skenario 3, dengan profit yang diperoleh sebesar Rp.8,701
juta pada tahun 2010 dan mengalami peningkatan pada tahun 2025 menjadi
Rp.28,746 juta. Peningkatan ini merupakan dampak dari peningkatan produksi
GKP akibat dari peningkatan rendemen yang dihasilkan dan penjualan pucuk
tebu.

1,300

1,100
Milyar Rupiah

900

700

500

300

100

PAD BAU PAD Sken 1 PAD Sken 2 PAD Sken 3

Gambar 70 PAD pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, tahun 2010-2025

Simulasi PAD pada Gambar 70 menunjukkan penerimaan terbesar pada


skenario 3. Dengan pola pertumbuhan exponential growthpada Gambar 82, PAD
yang diperoleh sebesar Rp.573 milyar pada tahun 2010 dan meningkat pada tahun
2025 sebesar Rp.1,193 trilyun. Peningkatan rendemen meningkatkan profit PG
dan meningkatkan produksi GKP. Peningkatan profit dan produksi menyumbang
peningkatan pajak dan retribusi yang dibayarkan.Sehingga PAD yang diterima
juga meningkat.

1,300
1,100
Trilyun Rupiah

900
700
500
300

Perekonomian Wilayah kondisi aktual Perekonomian Wilayah Skenario 1


Perekonomian Wilayah Skenerio 2 Perekonomian Wilayah Skenario 3
Gambar 71 Perekonomian Wilayah kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3 tahun 2010-2025
134

Hasil simulasi pada perekonomian wilayah pada Gambar 71 menunjukkan


bahwa skenario 3 menunjukkan penerimaan terbesar dari sektor pertanian
khususnya pada sub perkebunan tebu. Pada tahun 2010 penerimaan sebesar
Rp.342 trilyun dan mengalami peningkatan pada tahun 2025 sebesar 1.162
trilyun. Peningkatan pada perekonomian wilayah merupakan dampak dari adanya
peningkatan pada produksi GKP dan pengembangan pada 5 (lima) jenis PDT.
Lima jenis PDT tersebut adalah bioethanol dari tetes, bioethanol dari ampas,
kampas rem dari ampas, listrik dari ampas dan bio-kompos dari blotong.

6.6 Skenario Kebijakan Alternatif Pengembangan Agroindustri Gula Tebu

Analisis dampak kebijakan RIGN terhadap Agroindustri gula tebu telah


dilakukan pada subbab sebelumnya. Kebijakan yang disimulasikan merupakan
kebijakan yang sudah berjalan. Pada subbab ini akan dilakukan simulasi sekenario
kebijakan alternatif yang berpeluang untuk diterapkan dalam upaya
pengembangan agroindustri gula tebu.
Simulasi skenario kebijakan merupakan kebijakan alternative yang
merupakan gabungan dari skenario kebijakan yang telah disimulasikan
sebelumnya.

6.6.1 Skenario 4, Gabungan Skenario 1 Peningkatan Luas Areal 3,2% ,


Skenario 2 Peningkatan Produktivitas 1,6%, dan Skenario 3
Peningkatan Rendemen 2,4%

Asumsi yang digunakan dalam skenario 4 adalah adanya kebijakan


pemerintah untuk meningkatkan produksi GKP guna memenuhi target produksi
GKP yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Produksi GKP yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat belum tercapai pada skenario 4. Produksi GKP (Gambar 72)
menunjukkan pada tahun 2010 sebesar 1,088 juta ton dan mengalami peningkatan
sebesar 2,330 juta ton pada tahun 2025. Peningkatan terjadi karena adanya
peningkatan luas lahan, produktivitas dan rendemen pada skenario 4. Walaupun
terdapat peningkatan pada produksi GKP, tetapi pada tahun 2015 produksi GKP
menunjukkan belum dapat memenuhi target produksi GKP yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Produksi GKP pada tahun 2015 sebesar 1,561 juta ton.

2,400,000
2,200,000
2,000,000
1,800,000
Ton

1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000

Produksi GKP Skenario 4

Gambar 72 Produksi GKP Jatim skenario 4 tahun 2010-2025


135

Alternatif kebijakan pemerintah dengan skenario 4 memberikan dampak


positif terhadap produksi PDT (Gambar 73). Gabungan peningkatan luas lahan,
produktivitas dan rendemen, meningkatkan produksi tebu sehingga produksi PDT
meningkat. Produksi PDT pada tahun 2010 sebesar 33,296 juta ton dan meningkat
pada tahun 2025 sebesar 48,636 juta ton.

50,000,000
48,000,000
46,000,000
44,000,000
42,000,000
Ton

40,000,000
38,000,000
36,000,000
34,000,000
32,000,000
30,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Produksi PDT Skenario 4

Gambar 73 Produksi PDT Jatim skenario 4 tahun 2010-2025

Peningkatan produksi PDT di mana merupakan dampak dari skenario 4,


juga mengakibatkan peningkatan pada keuntungan PG. Keuntungan PG Gambar
73 pada tahun 2010 Rp.1,342 trilyun dan mengalami peningkatan sebesar
Rp.2,794 trilyun pada tahun 2025.

3,000

2,500
Milyar Rupiah

2,000

1,500

1,000

Profit PG Skenario 4

Gambar 74 Keuntungan (profit) PG Jatim skenario 4 tahun 2010-2025

Keuntungan (profit) PG dan pendapatan (profit) petani per Ha juga


mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan grafik yang memiliki trend
yang selalu meningkat (Gambar 74 dan Gambar 75). Peningkatan pendapatan
petani per Ha dan keuntungan PG disumbang dari adanya peningkatan rendemen.
Produksi gula akan mengalami peningkatan jika rendemen meningkat.
136

Peningkatan dari produksi gula akan mengakibatkan pendapatan petani maupun


keuntungan PG mengalami peningkatan.

34,000,000
29,000,000
24,000,000
Rupiah

19,000,000
14,000,000
9,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Profit petani per ha Skenario 4

Gambar 75 Pendapatan (profit) petani Jatim per Ha skenario 4 tahun 2010-2025

Dampak alternatif kebijakan pada skenario 4 menunjukkan bahwa


peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen mampu meningkatkan PAD
dan Perekonomian Wilayah yang diperoleh dari pengembangan agroindustri gula
tebu. Gambar 76 menunjukkan bahwa PAD pada tahun 2010 sebesar Rp.600
milyar dan mengalami peningkatan Rp.1,22 trilyun pada tahun 2025.
Perekonomian wilayah juga mengalami peningkatan. Perekonomian wilayah
tahun 2010 Rp.342 trilyun dan mengalami kenaikan pada tahu 2025 Rp.1.173
trilyun.
Hasil simulasi pada skenario 4, dari pengembangan industri gula tebu
memberikan sumbangan terhadap perekonomian wilayah sebesar 2,35% (Gambar
77). Peningkatan tersebut diperoleh dari pengembangan 5 jenis PDT dan GKP,
dimana peningkatan dari sisi penerimaan dibandingkan dengan penerimaan (nilai
output) yang dihasilkan pada kondisi aktual.

1,300
1,200
1,100
Milyar Rupiah

1,000
900
800
700
600

PAD Skenario 4
Gambar 76 PAD Jatim Skenario 4 tahun 2010-2025
137

1,300

1,100
Trilyun Rupiah
900

700

500

300

Perekonomian Wilayah Skenario 4


Gambar 77 Perekonomian Wilayah Jatim Skenario 4 tahun 2010-2025

6.6.2 Skenario 5, Gabungan Skenario 1 Peningkatan Luas Areal 3,2% ,


Skenario 2 Peningkatan Produktivitas 1,6%, dan Skenario 3
Peningkatan Rendemen 6 %.

Alternatif skenario kebijakan pengembangan agroindustri gula tebu


dengan skenario 5 adalah pengembangan pada skenario 4 dengan meningkatkan
rendemen. Pada skenario 5 peningkatan rendemen dari prosentase yang sudah
ada, ditujukan untuk mencapai jumlah GKP yang telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Mengingat pada skenario sebelumnya (skenario 4) target
pencapaian GKP Jatim tidak tercapai.

2,600,000
2,400,000
2,200,000
2,000,000
Ton

1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000

Produksi GKP Jatim


Gambar 78 Produksi GKP Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025

Skenario 5 disusun agar produksi GKP dapat memenuhi target.


Pemenuhan target GKP diasumsikan dapat memenuhi target produksi GKP.
Hasil simulasi terhadap skenario 5 (Gambar 78) menunjukkan bahwa selama
periode analisis, agroindustri gula tebu mampu meningkatkan produksi GKP
sesuai target. Kondisi ini menunjukkan bahwa perpaduan peningkatan luas lahan,
peningkatan produktivitas dan lebih meningkatkan jumlah rendemen yang
dihasilkan tebu terbukti mampu meningkatkan produksi GKP sesuai target.
138

Dengan skenario 5, pada tahun 2015 (Januari) produksi GKP mencapai 1,616 juta
ton. Jumlah PDT tersebut belum memenuhi target dari GKP. Tahun 2016
produksi GKP sebesar 1,738 juta ton. Memenuhi target GKP pusat. Pemenuhan
GKP banyak disumbang dari peningkatan rendemen yang dihasilkan.

51,000,000
49,000,000
47,000,000
45,000,000
43,000,000
Ton

41,000,000
39,000,000
37,000,000
35,000,000
33,000,000

Produksi PDT Skenario 5

Gambar 79 Produksi PDT Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025

Alternatif kebijakan yang disimulasikan juga mampu meningkatkan


produksi PDT. Produksi PDT pada skenario 5 (Gambar 79) menunjukkan
peningkatan lebih baik dibandingkan pada kondisi aktual. Pada skenario 5,
produksi PDT mencapai 48,636 juta ton pada tahun 2025, mengalami peningkatan
dibanding tahun 2010 sebanyak 33,296 juta ton.

35,000,000

30,000,000
Juta Rupiah

25,000,000

20,000,000

15,000,000

10,000,000

Profit petani per ha Skenario 5

Gambar 80 Pendapatan (profit) petani/ha di Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025


139

3,000
2,800
2,600
Milyar Rupiah 2,400
2,200
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000

Profit PG Skenario 5

Gambar 81 Keuntungan (profit) PG Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025

Pendapatan petani dan keuntungan PG juga mengalami peningkatan pada


skenario 5 (Gambar 80 dan Gambar 81). Peningkatan pada pendapatan petani dan
PG labih banyak disumbang dari peningkatan rendemen. Peningkatan pendapatan
petani sebesar Rp.31,309 juta pada tahun 2025, lebih tinggi dibanding tahun 2010
Rp.10,2 juta. Sebanding lurus dengan pendapatan petani, keuntungan PG juga
mengalami peningkatan. Peningkatan keuntungan sebesar Rp.2,88 trilyun pada
tahun 2025 lebih besar dibanding pada tahun 2010, yakni Rp.1,38 trilyun.

1,300
1,200
1,100
Milyar Rupiah

1,000
900
800
700
600

PAD Skenario 5
Gambar 82 PAD Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025

Skenario alternatif Gambar 82 yang disimulasikan memberikan dampak


positif bagi PAD Jatim. Kenaikan produksi GKP yang disumbang dari
peningkatan rendemen, meningkatkan pembayaran retribusi oleh PG. Baik
retribusi Gula maupun jalan lori. Peningkatan GKP juga meningkatkan profit PG,
yang pada gilirannya meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayarkan PG
berupa PPh badan. Sedangkan dari sisi petani dan PG pajak yang dibayarkan
yakni membayar PBB dengan bertambah luas lahan yang dimiliki.
140

1,400
1,200
1,000
Trilyun

800
600
400
200

Perekonomian Wilayah Skenario 5

Gambar 83 Perekonomian Wilayah Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025

Dilihat peran pengembangan agroindustri gula tebu terhadap


perekonomian wilayah, pada Gambar 83 Perekonomian wilayah menunjukkan
peningkatan dari tahun 2010 hingga tahun 2025. Perekonomian wilayah yang
didekati dari nilai output gula dan PDT dalam pengembangan gula tebu,
mengalami peningkatan dari sisi petani dan PG. Petani maupun PG merupakan
pelaku dalam industri pergulaan. Dimana tebu sebagai bahan baku utama dimiliki
oleh petani maupun PG. Dengan kepemilikan sebesar 80% dimiliki petani (TR)
dan sekitar 20% dimiliki PG (TS). Penerimaan dari sisi petani tebu diperoleh dari
bagi hasil gula, tetes dan penjualan pucuk daun tebu. Di sisi lain, penerimaan PG
didapat dari bagi hasil gula dan pengembangan 5 (lima) jenis PDT. Nilai
perekonomian wilayah pada tahun 2025 sebesar Rp.1.185 trilyun, labih tinggi
dibanding pada tahun 2010 yakni Rp.342 trilyun. Peningkatan perekonomian
wilayah yang disumbang dari pengembangan agroindustri gula tebu sebesar
2,91%.

6.7 Perbandingan Antar Skenario Alternatif

Perbandingan antar skenario alternatif bertujuan untuk membandingkan


hasil antar skenerio alternatif satu sama lain yang telah disimulasikan. Hal ini
bertujuan untuk merumuskan kebijakan yang paling baik dalam upaya
mengembangkan sistem agroindustrigula tebu. Dalam analisis ini, hasil simulasi
pada kondisi aktual dibandingkan dengan hasil simulasi pada skenario 1, 2, 3, 4,
dan 5 sehingga dapat diperoleh alternatif kebijakan yang memiliki kinerja yang
paling baik.
141

2,600,000
2,400,000
2,200,000
2,000,000
Ton

1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000

Produksi GKP Aktual Produksi GKP Skenario 1


Produksi GKP Skenario 2 Produksi GKP Skenario 3
Produksi GKP Skenario 4 Produksi GKP Skenario 5
Gambar 84 Produksi GKP Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5
tahun 2010-2025

Produksi GKP antar kondisi skenario dapat dilihat pada Gambar 84


Produksi GKP tertinggi pada akhir periode analisis bisa dilihat pada skenario 5,
sedangkan produksi GKP terendah selama periode analisis dibandingkan dengan
skenario yang lain diperoleh pada kondisi aktual. Target produksi GKP dapat
tercapai pada tahun 2016 dengan produksi GKP sebesar 1,667 juta ton. Produksi
GKP dapat memenuhi target pemerintah pusat pada skenario 5, karena tingkat
rendemen yang meningkat.
Penelitian Nugrahapsari (2013) menyatakan bahwa peningkatan luas areal
selalu menghadapi kendala keterbatasan lahan. Oleh karena itu, perluasan lahan
ditentukan juga oleh kebijakan pemerintah. Pada kondisi luas areal yang
mengalami alih fungsi lahan dengan penggunaan areal untuk pemukiman
penduduk, penggunaan lahan pertanian untuk pembangunan, dan penggunaan
lahan perkebunan tebu untuk komoditas tanaman pertanian lain, maka dinas
perkebunan Jawa Timur menetapkan goal atas perkebunan tebu.
Keterbatasan lahan di satu sisi dan target peningkatan GKP dapat
dipenuhi dengan peningkatan kualitas tanaman tebu, yakni melalui peningkatan
rendemen tebu.
142

51,000,000
46,000,000
41,000,000
36,000,000
Ton

31,000,000
26,000,000
21,000,000
16,000,000
11,000,000
6,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Produksi PDT Aktual Produksi PDT Skenario 1 Produksi PDT Skenario 2
Produksi PDT Skenario 3 Produksi PDT Skenario 4 Produksi PDT Skenario 5

Gambar 85 Produksi PDT Jatim pada kondisi Aktual gambar 98, skenario 1, 2,
3, 4, dan 5 tahun 2010-2025

Produksi PDT Jatim tertinggi pada akhir periode analisis juga diperoleh
pada alternatif kebijakan yakni pada skenario 5 dan 4 (Gambar 85). Mengingat
jumlah produksi PDT pada skenario 5 dan 4 menunjukkan jumlah yang sama pada
awal periode analisis hingga akhir periode analisis. Jumlah produksi yang sama
disebabkan peningkatan jumlah rendemen hanya berpengaruh pada produksi
GKP, tetapi tidak berpengaruh pada jumlah tebu yang diproduksi. Sehingga
jumlah PDT tidak mengalami peningkatan pada skenario 5, karena jumlah PDT
pada skenario 5 sama dengan skenario 4. Tebu sebagai bahan baku PDT tetap,
tidak mengalami perubahan poada skenario 5. Produksi tebu pada skenario 5 sama
dengan jumlah PDT pada skenario 4.
Diversifikasi industri gula berbahan baku tebu di Jawa Timur perlu terus
didorong sebagai upaya peningkatkan daya saing. Sejalan dengan penelitian
Toharisman dan Kurniawan (2012) yang menyatakan bahwa ketergantungan pada
monoproduk menjadikan industri gula nasional tidak tahan terhadap gejolak harga
gula impor (saat harga gula impor turun). Peningkatan produksi PDT memberikan
nilai positif, selain bisa memberikan nilai tambah, kebutuhan domestik akan PDT
tersebut cukup besar dan ketersediaan bahan baku yang cukup banyak.
143

3,000
2,800
Milyar Rupiah 2,600
2,400
2,200
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000

Profit PG Aktual Profit PG Skenario 1 Profit PG Skenario 2


Profit PG Skenario 3 Profit PG Skenario 4 Profit PG Skenario 5

Gambar 86 Keuntungan (profit) PG Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3,


4, dan 5 tahun 2010-2025

34,000,000
29,000,000
24,000,000
19,000,000
Rupiah

14,000,000
9,000,000
4,000,000

Profit Petani per Ha Aktual Profit Petani per Ha Skenario 1


Profit petani per Ha Skenario 2 Profit Petani per Ha Skenario 3
Profit petani per ha Skenario 4 Profit petani per ha Skenario 5

Gambar 87 Pendapatan (profit) Petani Jatim per ha pada kondisi Aktual,


skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun 2010-2025

Keuntungan PG dan pendapatan petani pada Gambar 86 dan Gambar 87


masing-masing menunjukkan profit tertinggi pada skenario 5. Peningkatan
rendemen meningkatkan produksi GKP, yang pada akhirnya meningkatkan profit
PG dan petani dari hasil penjualan GKP maupun bagi hasil antara PG dan petani
tebu. Asmarantaka et al, 2012 menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
keuntungan petani bukan hanya jumlah ton tebu yang dihasilkan, tetapi juga
tergantung pada rendemen tebu. Rendemen pada tebu merupakan faktor penting
dalam memproduksi gula. Semakin tinggi rendemen, gula yang dihasilkan
semakin banyak. Peningkatan rendemen merupakan penyumbang peningkatan
144

keuntungan PG dan petani tebu. Peningkatan pendapatan petani dan PG juga


diperoleh dari penjualan pucuk daun tebu dan pengembangn 5 jenis PDT.
Jika dilihat perbandingan hasil dari beberapa skenario, PAD tertinggi
pada akhir periode analisis diperoleh dari skenario 5 (Gambar 88). Keuntungan
yang diperoleh dari PG maupun petani dari GKP maupun PDT digunakan untuk
membayar pajak maupun retribusi yang dikenakan terhadap petani dan PG.
Semakin besar keuntungan PG yang diperoleh, maka semakin tinggi kemampuan
membayar pajak dan retribusi bagi petani dan PG sesuai dengan besaran
prosentase yang dikenakan.

1,300
1,200
1,100
Milyar Rupiah

1,000
900
800
700
600
500

PAD Aktual PAD Skenario 1 PAD Skenario 2


PAD Skenario 3 PAD Skenario 4 PAD Skenario 5

Gambar 88 PAD Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5


tahun 2010-2025

Penerimaan pada Perekonomian Wilayah tertinggi pada akhir periode


analisis juga diperoleh dari hasil skenario 5 (Gambar 89). Pereknomian wilayah
tertinggi disumbang dari nilai output (penerimaan) dari GKP dan PDT yang
dihasilkan oleh petani maupun PG. Penerimaan dari sisi petani disumbang dari
GKP, tetes yang dihasilkan dan penjualan pucuk daun tebu. Sedangkan
penerimaan dari sisi PG, disumbang dari GKP dan 5 jenis PDT yang dihasilkan.
Lima jenis PDT yang dihasilkan yaitu bioethanol dari ampas, bioethanol dari
tetes, listrik dari ampas, biokompos dari blotong dan kampas rem dari ampas.
145

1,300
1,200
1,100
1,000
Trilyun Rupiah

900
800
700
600
500
400
300

Perekonomian Wilayah kondisi aktual Perekonomian Wilayah Skenario 1


Perekonomian Wilayah Skenerio 2 Perekonomian Wilayah Skenario 3
Perekonomian Wilayah Skenario 4 Perekonomian Wilayah Skenario 5

Gambar 89 Perekonomian Wilayah Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3,


4, dan 5 tahun 2010-2025

RIGN dan pengembangan agroindustri gula tebu memberikan dampak


pada peningkatan potensi profit petani maupun PG, PAD, produksi GKP, dan
perekonomian wilayah. Perekonomian wilayah di Jawa Timur meningkat sejalan
dengan pemanfaatan co-product. Pengembangan agroindustri gula tebu
memberikan dampak meningkatkan perekomian wilayah rata-rata sebesar 2,04%
selama periode simulasi pada kondisi aktual sampai skenario 5 dari tahun 2010-
2025.
Dampak peningkatan terhadap GDP sejalan dengan penelitian Neves et al
(2001) yang menegaskan bahwa pengembangan sektor gula tebu di Brazil
meningkatkan kesejahteraan setara 2% dari GDP Brazil pada tahun 2008. Castro
et al (2009) menyatakan bahwa GDP dari sektor gula meningkatkan setara 2%
dari GDP Uruguay. Penelitian yang dilakukan oleh Urbanchuk (2014)
menyatakan bahwa kontribusi industri ethanol memberikan tambahan sebesar 3%
pada GDP negara US.
146

7 SINTESA HASIL DAN KONSEP PENGEMBANGAN


AGROINDUSTRI GULA TEBU DI JAWA TIMUR

7.1 Dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi PDT,
PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan perekonomian
wilayah pada kondisi aktual

Dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi PDT,


PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan perekonomian
wilayah menunjukkan bahwa agroindustri gula tebu mempunyai dampak positif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada model pengembangan agroindustri
gula tebu menggambarkan grafik yang selalu mengalami peningkatan. Hal ini
sesuai dengan data aktual produksi tebu yang menunjukkan mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Dampak agroindustri gula tebu pada produksi GKP juga menunjukkan
dampak positif. Produksi GKP dipengaruhi oleh luas areal dan produktivitas tebu
yang dihasilkan. Luas areal menunjukkan tren yang selalu meningkat.
Peningkatan ini karena adanya jaminan kepastian harga yang diterima oleh petani
(Pakpahan, 2004 dan Disbun Jatim, 2014). Mahardika (2004) menunjukkan bahwa
luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun
sebelumnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi gula nasional.
Dukungan kebijakan seperti Kepmenperindag no.643/MPP/Kep/2002 mengenai
dana penyangga bagi petani terbukti mampu meningkatkan produktivitas gula.
Provinsi Jawa Timur pada tahun 2011 tercatat menyumbang 44,81%
terhadap luas areal tebu di Indonesia. Posisi ke dua yang memiliki luas areal
terbesar kedua adalah Lampung (26,10%), Jawa Tengah (11,89%), dan Jawa
Barat (5,13%). Luas areal perkebunan tebu yang berada di propinsi Jawa Timur
tercatat mulai tahun 2012 dan tahun 2013 luas areal perkebunan tebu mengalami
peningkatan sebesar 15, 576 juta ha menjadi 17, 539 juta ha. Peningkatan
tersebut disebabkan adanya pengembangan luas areal tanaman perkebunan,
khususnya di Pulau Madura. Dalam lima tahun terakhir (tahun 2009-2013) luas
areal tebu di Jawa Timur mengalami peningkatan tertinggi yang cukup signifikan.
Peningkatan luas areal tersebut disumbang oleh perluasan di Pulau Madura juga
perluasan di kawasan TULABO (Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro) (Disbun
Jatim, 2014). Sejalan dengan peta pemanfaatan ruang Provinsi Jawa Timur,
terdapat perluasan lahan untuk pengembangan perkebunan tebu ke depan. Dinas
Pertanian Jawa Timur menetapkan areal tanaman pangan seluas 1,017 juta ha
yang didasarkan pada Perda Provinsi Jawa Timur no. 5 tahun 2012 tentang tata
ruang Jawa Timur. Sedangkan kawasan peruntukan perkebunan seluas 398.036
ha yang diperuntukkan untuk tanaman semusim yakni tebu. Kawasan peruntukan
tanaman tebu tersebar di 21 Kabupaten, yakni: 1) Kabupaten Bangkalan; 2)
Kabupaten Blitar; 3) Kabupaten Bojonegoro; 4) Kabupaten Bondowoso; 5)
Kabupaten Gresik; 6) Kabupaten Jember; 7) Kabupaten Jombang; 8) Kabupaten
Kediri; 9) Kabupaten Lamongan; 10) Kabupaten Lumajang; 11) Kabupaten
Madiun; 12) Kabupaten Magetan; 13) Kabupaten Malang; 14) Kabupaten
Mojokerto; 15) Kabupaten Ngawi; 16) Kabupaten Probolinggo; 17) Kabupaten
Sampang; 18) Kabupaten Sidoarjo; 19) Kabupaten Situbondo; 20) Kabupaten
147

Tuban, dan 21) Kabupaten Tulungagung. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa


Timur no. 5 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi Jatim tahun
2011-2031.
Perluasan areal tebu juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat, di
mana pemerintah pusat bekerjasama dengan kementerian atau lembaga terkait
untuk meningkatkan program perluasan areal tebu. Program tersebut tertuang
dalam roadmap Industri Gula Nasional (IGN) yakni RIGN. Bentuk perluasan
lahan yakni bekerjasama dengan Kementrian Kehutanan dengan program hutan
produksi yang bisa dikonversi dengan cara pengajuan terhadap Kementrian
kehutanan dan program alih fungsi lahan (APL). Perluasan areal tebu tersebut
menyumbang terhadap peningkatan tebu yang merupakan bahan baku GKP.
Hartono (2012) menyatakan bahwa produksi hablur dan produksi tebu dipengaruhi
secara positif oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan
swasta.
Produktivitas tebu di Jawa Timur juga menyumbang GKP yang bisa
dihasilkan. Data menunjukkan bahwa produktivitas tebu di Jawa Timur cukup
tinggi dan disumbang oleh TR, di mana TR menumbang  80% tanaman tebu di
Jawa Timur. Kondisi mesin PG dalam menggiling tebu juga memberikan
sumbangan terhadap GKP yang dihasilkan. Tercatat tren kapasitas mesin antara
exclusive dan inclusive menunjukkan selisih yang tidak begitu besar. Selisih ini
berarti antara kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai tidak menunjukkan
perbedaan yang besar. Berarti kemampuan menggiling tebu per hari tidak jauh dari
kapasitas terpasangnya. Walaupun rata-rata kapasitas mesin di Jawa Timur
merupakan kapasitas mesin masuk kategori 2 (kelas 2) yaitu, antara 3000-6000
TCD.
Peningkatan luas areal penting karena dengan semakin luasnya lahan yang
bisa ditanami tebu maka jumlah tebu yang dihasilkan juga semakin banyak. Selain
sebagai bahan baku utama gula, tebu juga digunakan sebagai bahan baku PDT.
Beberapa jenis produk samping yakni ampas (bagasse), tetes (molasse), dan
blotong. Ampas, tetes dan blotong, jika diolah lebih lanjut akan menghasilkan
beragam PDT. Selama ini produk samping yang dihasilkan dari tebu oleh PG-PG
yang ada di Jawa Timur, masih belum banyak diolah lebih lanjut. Produk samping
tersebut biasanya digunakan sendiri oleh PG yang bersangkutan sebagai bahan
bakar PG (ampas), pupuk (blotong) dan dijual kepada pihak ketiga (tetes)
misalnya pada perusahaan makanan, farmasi, rokok dan kosmetik.
Keuntungan PG menunjukkan tren yang meningkat sejalan dengan
peningkatan produksi tebu. Keuntungan PG berasal dari bagi hasil berdasarkan
rendemen antara petani tebu dengan PG sebagai tempat untuk menggiling tebu
menjadi gula. Keuntungan PG merupakan GKP yang dihasilkan (berdasar
rendemen) dikali harga gula (yang digunakan harga talangan). Keuntungan PG
merupakan sumber pembayaran PAD. Semaakin tinggi rendemen gula yang
dihasilkan, maka semakin banyak GKP yang dihasilkan. PG menyumbang
terhadap PAD dari Pajak Penerangan Jalan (PPJ) non PLN, Pajak Air Bawah
Tanah (PABt), Pajak Penghasilan (PPh) pegawai PG (80% dari total PPh
merupakan sharing dengan pusat. Daerah mendapat bagi hasil 80% dan pusat
mendapat 20%), sejumlah tertentu gula yang dihasilkan dan retribusi jalan lori.
Penerimaan PAD dari PPh orang pribadi sesuai PPh pasal 21 dan penerimaan
PAD dari PPh badan dari PG.
148

Pendapatan petani berasal dari bagi hasil berdasar rendemen yang


dihasilkan antara petani sebagai pemilik tebu dengan PG sebagai tempat
menggiling tebu menjadi GKP. Bagi hasil berdasarkan rendemen >6% yaitu
70%:30%. Petani sebagai pemilik TR mendapat bagian 70% dari GKP yang
dihasilkan dan PG mendapatkan 30% dari GKPyang dihasilkan. Profit petani tebu
didapat dari GKP bagian petani dikali dengan harga (yang digunakan harga
talangan) dan tetes yang dihasilkan ketika tebu digiling menjadi GKP. Profit PG
dari tetes diperoleh dari nilai tetes dikali harga tetes tebu.
Perekonomian wilayah menunjukkan peningkatan positif pada kondisi
aktual. Peningkatan ini disumbang dari nilai output GKP dan tetes yang
dihasilkan. Pada kondisi aktual, tebu memberikan sumbangan positif bagi
perekonomian wilayah. Walaupun sumbangan tersebut kecil, tapi peningkatan
tebu yang dihasilkan, baik dari luas areal dan produktivitas dapat meningkatkan
perekonomian wilayah.

7.2 Dampak kebijakan RIGN terhadap pengembangan PDT pada produksi


GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit)
petani dan perekonomian wilayah

Pengembangan model agroindustri gula tebu yang dilakukan dalam


penelitian ini adalah mengembangkan model aktual dan memasukkan model
agroindustri gula tebu dengan mengembangkan 5 jenis PDT yang dihasilkan dari
produk samping. Dalam pengembangan model agroindustri gula tebu,
memasukkan variabel-variabel RIGN sebagai skenario dalam membuat kebijakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan agroindustri gula tebu
dengan menggunakan kebijakan RIGN ke dalam model menunjukkan
peningkatan positif bagi perekonomian Jawa Timur.
Produksi GKP mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding pada
kondisi aktual. Peningkatan produksi GKP sebesar 1,82%. Peningkatan terjadi
karena adanya peningkatan dalam luas areal sebesar 3,2%, peningkatan
produktivitas tebu sebesar 1,6% dan peningkatan rendemen sebesar 2,41%.
Namun peningkatan GKP sebesar 1,82% dari kondisi aktual, dengan
pengembangan model dan skenario kebijakan RIGN masih belum membuat Jawa
Timur mampu memenuhi target yang ditetapkan pemerintah pusat dalam rangka
mendukung swasembada gula nasional. Peningkatan luas areal dilakukan dengan
jalan alih fungsi lahan dan hutan produksi yang bisa dikonversi, bekerjasama
dengan Kementerian Kehutanan. Sedangkan pemerintah daerah Jawa Timur
berupaya mendukung kebijakan perluasan areal dengan menjaga harga gula petani
tetap terjamin. Perluasan areal tebu yang sudah dilakukan di Jawa Timur yaitu
pembangunan PG baru (dalam proses penyelesaian) di Glenmore-Banyuwangi
dan pembukaan areal tebu di Pulau Madura oleh PTPN X. Luas areal tebu
memiliki batasan dalam pencetakan lahan baru, karena tingginya persaingan
penggunaan lahan di Jawa dengan komoditas lain maupun untuk penggunaan non
pertanian, maka peningkatan luas areal tebu melalui koordinasi dengan instansi
terkait sebagai upaya perluasan areal tebu. Upaya peningkatan produksi dan
produktivitas tebu dengan melakukan Program Akselerasi Peningkatan
Produktivitas Gula Nasional (PAPPGN) sejak 2004 melalui kegiatan bongkar
ratoon, melalui penggantian tanaman dengan bibit unggul, irigasi, dan kredit
149

KKEP (Kredit ketahanan Pangan dan Energi) sesuai dengan Permentan


no.57/Permentan/KU.430/7/2007.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDT mengalami peningkatan positif
dibanding pada kondisi aktual. Peningkatan PDT sebesar 79,98%. Peningkatan
pada PDT disebabkan adanya pengembangan model pada ogroindustri gula tebu
dengan mengembangkan produk samping (co product) menjadi 5 Jenis PDT yakni
Bioethanol dari ampas, bioethanol dari tetes, pupuk cair, listrik dan kampas rem.
Masing-masing PDT tersebut dikembangkan berdasarkan konversi pada masing-
masing produk samping yang berbeda-beda. Bahan baku utama PDT adalah tebu,
sehingga dengan adanya upaya peningkatan pada produksi tebu melalui kebijakan
RIGN, maka akan meningkatkan juga PDT yang dihasilkan. Dinamika
ketersediaan PDT tidak dapat lepas dari dinamika produksi Tebu, karena dengan
semakin banyak produksi tebu maka PDT atau koproduk tebu yang dihasilkan
juga semakin banyak. Peningkatan PDT cukup besar karena pada kondisi aktual
produk samping (by product) sama sekali belum dikembangkan menjadi PDT.
Hanya sebagai bahan baku bagi industri lain seperti tetes untuk penyedap rasa.
Keuntungan PG meningkat sebesar 9,17% dari kondisi aktual.
Keuntungan PG diperoleh dari pengembangan PDT menjadi 5 jenis produk
tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan PDT menjadi milik PG. Baik
tetes bagian PG, ampas dan blotong, ketiga produk samping tersebut yang diolah
lebih lanjut oleh PG. Keuntungan PG dari PDT diperoleh dari selisih biaya yang
dikeluarkan untuk produksi dengan penerimaan dari penjualan PDT. Peningkatan
PDT dan sumbangannya terhadap keuntungan PG sesuai dengan penelitian
Deepchand (2001) yang menyatakan bahwa energi listrik dari ampas
menunjukkan adanya keuntungan keuangan dari industri gula. Pengembangan
PDT kedepan perlu ditingkatkan mengingat bahan baku PDT adalah produk
samping yang selama ini tidak diolah lebih lanjut oleh PG. Pengembangan PDT
mampu menekan biaya (cost) per unit yang dihasilkan (Pakpahan, 2005). Bahan
baku produk samping yang diolahmenjadi PDT bukan berasal dari mengurangi
bagian tebu yang digunakan untuk menghasilkan GKP. PDT berasal dari
pengelolaan produk samping yang tidak terkelola selama ini. Jika hal tersebut
dilakukan, maka produksi GKP yang semula tidak bisa memenuhi target akan
semakin berkurang dan impor semakin tinggi. Sehingga penelitian Ensinas (2013)
yang menyatakan yang menyatakan bahwa biofuels akan meningkatkan harga
pada makanan karena tanaman pangan diubah menjadi bahan bakar atau energi
menjadi bentuk lain. Penelitian Gunantilake et al (2010) dan Rajagopal et al
(2009) di India yang menyatakan bahwa produksi bioethanol untuk transportasi
tidak dapat dicapai tanpa mempengaruhi produksi makanan tidak terjadi di Jawa
Timur.
Petani mendapatkan peningkatan profit dalam pengembangan PDT. Profit
petani pada kondisi aktual yang berasal dari GKP bagian petani dan tetes, pada
pengembangan agroindustri gula tebu ini mendapat tambahan profit yang berasal
dari penjualan pucuk daun tebu (sugar cane top). Pucuk daun tebu yang selama
ini tidak mendapatkan perhatian sama sekali atau dibuang begitu saja ketika
musim giling tiba, dijual untuk dijadikan bahan makan ternak. Peningkatan profit
petani yang berasal dari penjualan pucuk daun tebu sebesar 26,96%.
PAD dalam penelitian mengalami peningkatan sebesar 1,68% karena ada
tambahan dari Pajak Air Bawah tanah (PABt), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
150

Penerangan Jalan (PPJ) non PLN, bagian tertentu dari gula yang dihasilkan dan
retribusi jalan lori. Peningkatan profit PG karena adanya pengembangan 5 jenis
PDT dan profit petani dari pucuk tebu, turut menyumbang pajak dan retribusi
yang disetorkan kepada pemerintah daerah. Semakin tinggi profit PG dan profit
petani, maka pajak dan retribusi yang disetorkan juga semakin meningkat.
Pengembangan PDT meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah
yang dicerminkan dari PDRB Jawa Timur. PDT yang memberikan output paling
besar bagi perekonomian wilayah yaitu bioethanol yang berasal dari ampas.
Pengembangan produk samping menjadi 5 jenis PDT menyumbang
perekonomian wilayah sebesar 1,65%. Pengembangan PDT mampu
meningkatkan GDP sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jose Toasa
(2009) di Colombia, Neves (2011) di Brazil, Avilles (2011)di Canada,
Silalertruksa dan Gheewala (2011) di Thailand, Urbanchuk (2014) di Amerika
Serikat, dan Castro et al (2009) yang mengadakan penelitian di Uruguay.

7.3 Kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT,


keuntungan (profit) PG, PAD, pendapatan (profit) petani dan
perekonomian wilayah Jawa Timur

Model pengembangan agroindustri gula tebu dengan menggunakan


kebijakan RIGN yang digunakan untuk simulasi pada model kedua menunjukkan
bahwa produksi GKP masih belum bisa mencapai target seperti yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat dalam rangka mendukung swasembada gula nasional.
Sehingga dibuat kebijakan alternatif dalam rangka meningkatkan produksi GKP
Jatim.
Kebijakan alternatif dengan peningkatan luas areal, peningkatan
produktivitas dan peningkatan rendemen secara simultas memiliki kinerja yang
lebih baik dalam rangka meningkatkan produksi GKP. Peran yang paling besar
dalam peningkatan produksi GKP adalah peningkatan rendemen. Kebijakan
alternatif mampu meningkatkan produksi GKP sebesar 6,92%. Semakin tinggi
kandungan rendemen yang ditunjukkan dengan persentase, menunjukkan bahwa
kadar gula yang terdapat di dalam batang tebu semakin tinggi. Sesuai dengan
penelitian nugrahapsari (2013) yang menyatakan bahwa pencapaian swasembada
GKP melalui kebijakan alternatif peningkatan rendemen. Penelitian mengenai
rendemen juga dilakukan oleh Asmara dan Hanani (2012) yang menyatakan
bahwa peningkatan produksi gula dipengaruhi oleh produktivitas tebu dan
rendemen gula. Trisnawati et al, (2012) menunjukkan bahwa rendemen dalam
batang tebu juga mempengaruhi produksi gula. Meluncurkan roadmap panduan
bagi stakeholders dalam meningkatkan produksi, bantuan mesin dan peralatan
pabrik sehingga rendemen lebih baik (Wachid, 2015). Mengingat PG yang ada di
Jawa Timur dibangun ketika jaman kolonial. Salah satu penyebab rendahnya
rendemen tebu adalah mesin PG yang sudah tua, sehingga mengalami ketidak
efisienan dalam memproduksi gula (Rohman, 2005; Susilohadi et al, 2012).
Sistem PG yang efisien berkontribusi sebesar 30 persen terhadap peningkatan
rendemen.
Peningkatan rendemen memiliki arti bahwa GKP yang dihasilkan juga
mengalami peningkatan. Peningkatan GKP akan meningkatkan nilai output
terhadap perekonomian wilayah. Kebijakan alternatif meningkatkan perekonomian
151

wilayah Jawa Timur sebesar 2,63%. Peningkatan yang lebih besar dibandingkan
dengan simulasi model dengan menggunakan kebijakan RIGN. Peningkatan
terhadap perekonomian wilayah yang berasal dari sektor perkebunan, yakni tebu
diharapkan mampu meningkatkan sumbangan sektor perkebunan terhadap
perekonomian wilayah yang menunjukkan penurunan selama 10 tahun terakhir.
Mengingat sektor perkebunan khususnya tebu mempunyai kontribusi yang sangat
penting melalui penyerapan TK yang tidak sedikit yaitu 2,18%, pendapatan TK
sektor perkebunan tebu juga menyumbang sekitar 76,96% terhadap pendapatan di
sektor perkebunan Jawa Timur dan tidak mudah untuk exit bagi petani tebu yang
mengusahakan TR karena untuk menanam tebu (PC) dibutuhkan biaya yang tidak
sedikit.
Kebijakan alternatif melalui program kebijakan RIGN secara simultan
juga terbukti mampu meningkatkan produksi GKP, pendapatan petani,
keuntungan PG, PAD dan perekonomian wilayah. Produksi tebu mengalami
peningkatan dengan skenario kebijakan alternatif (peningkatan luas real,
produktivitas dan rendemen secara simultan). Peningkatan tersebut mampu
meningkatkan nilai output yang dihasilkan yang berasal dari bahan baku tebu
yakni gula dan PDT. Peningkatan terjadi pada GKP maupun pengembangan 5
jenis PDT. Penelitian Hartono (2012) menjelaskan bahwa produksi hablur dan
produksi tebu dipengaruhi secara positif oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan
negara dan perkebunan swasta. Didukung oleh penelitian Malian et al (2004)
yang menjelaskan bahwa dari aspek usaha tani tebu, peningkatan produktivitas dan
rendemen tebu sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas gula dan
pendapatan petani.
Program kunci yang diharapkan dapat memperkuat kelembagaan
kemitraan adalah secara konsisten meningkatkan keberlanjutan program
perkreditan dan bongkar keprasan (ratoon cane) (Suhada, 2012). Meningkatkan
peran APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dalam proses lelang.
Terbukti meningkatkan pendapatan petani tebu dan meningkatkan farmers share
menjadi 87,37 persen (Syamsiyah dan Sulistyowati, 2012).

7.4 Kebijakan dalam Industri Gula di Jawa Timur

Jawa Timur selain sebagai penghasil gula terbesar di Indonesia, juga


memiliki luas areal tebu terluas dan sebagai penghasil tebu terbanyak. Sebesar 80
persen lebih penguasaan lahan di Jawa Timur diusahakan oleh TR. Hasil dari
penelitian menunjukkan, pengembangan agroindustri gula tebu menjelaskan
bahwa peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen secara simultan
mampu meningkatkan produksi GKP. Perluasan areal lahan memiliki
keterbatasan yakni dalam penggunaannya dengan perluasan pemukiman dan
pengusahaan lahan untuk tanaman pertanian yang lain. Sehingga pemenuhan
produksi GKP dapat dicapai dengan peningkatan rendemen. Rendemen
merupakan salah satu variabel yang bisa diuapayakan untuk meningkatkan
produksi GKP. Target GKP oleh pemerintah pusat yakni pencapaian GKP sebesar
1,65 juta ton. Jumlah GKP yang dihasilkan oleh Jawa Timur tersebut digunakan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pada rumah tangga penduduk di Indonesia
bagian timur. Kebijakan pendukung yang dikeluarkan pemerintah melalui
Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) dan Roadmap industri gula yang
152

diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian yang tertuang dalam Peraturan


Menteri Perindustrian Republik Indonesia no: 11/M-IND/PER/1/2010, dan
mengenai Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Gula yang
diterbitkan untuk memenuhi target peningkatan GKP dalam rangka swasembada
gula nasional dan pengembangan produk samping (PDT/PPGT) yang berasal dari
tebu. Kebijakan dalam rangka meningkatkan rendemen yakni pemberian kredit
melalui percepatan peningkatan daya saing melalui bongkar ratoon sehingga
rendemen bisa meningkat, bantuan irigasi, bantuan peralatan mekanisasi,
penyediaan pupuk yang murah dan subsidi atas bunga kredit. Mengingat biaya
untuk bongkar ratoon membutuhkan biaya yang besar. Untuk mendukung
rendemen yang tinggi, penentuan jumlah keprasan maksimal sehingga kadar gula
atau rendemen tinggi perlu diperhatikan. Keprasannya adalah 4 kali kepras untuk
menjaga kadar gula yang terkandung dalam tebu tinggi. Selain itu untuk
meningkatkan rendemen, menerapkan pertanaman TR menggunakan sistem blok,
yaitu pengaturan tanaman tebu dalam blok-blok kebun dengan luasan tertentu
dalam kondisi umur yang sama dan varietas yang sama sehingga mudah untuk
diawasi kemasakan tebu, penebangan tebu dapat dilakukan bersamaan, begitu
pula dengan waktu keprasan. Sehingga kemasakan tebu dan jumlah keprasan
dapat dipantau sesuai dengan aturan atau jumlah hari dan jumlah keprasan yang
bisa meningkatkan kadar gula (rendemen) dalam tebu.
Kesesuaian data antara penawaran dan permintaan gula juga perlu
mendapat perhatian. Data neraca gula nasional mengenai kebutuhan gula pada
tiap-tiap daerah/wilayah antar instansi sering menunjukkan data yang berbeda.
Perbedaan data bisa digunakan oleh orang-orang tertentu untuk mengambil
keuntungan, karena harga gula impor lebih murah dibanding harga gula lokal.
Sehingga mereka mengambil selisih dari perbedaan data tersebut untuk
mengimpor gula dari luar dan mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi.
Rendahnya harga gula impor dibanding harga gula dalam negeri karena gula di
luar negeri sangat diproteksi oleh negaranya. Bahkan untuk pajak masuk gula
impor di luar negeri dikenakan berlipat sesuai dengan berapa kali mengimpor
gula. Tarif impor kedua dan ketiga dikenakan tarif masuk impor lebih tinggi
dibanding saat mengimpor pertama kali.
Kebijakan tentang impor dilakukan melalui Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang mengatur bahwa
impor GKP yang saat ini dilakukan oleh importir umum dialihkan kepada importir
produsen. Tujuannya bahwa importir wajib menyangga harga gula petani pada
level tertentu. Kuota impor secara ketat, dan diberlakukannya bea masuk agar
gula lokal mampu bersaing terhadap harga gula impor yang memiliki harga sangat
murah. Diharapkan impor GKP sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak terjadi
rembesan dan membanjiri pasar untuk konsumsi rumah tangga. Supply sama
dengan demand. Jika supply melebihi permintaan, maka akan banyak beredar gula
yang menyebabkan harga gula lokal menjadi tertekan (karena harga gula impor
lebih murah). Pada posisi seperti ini, maka petani menjadi pihak yang dirugikan.
Seperti kasus pada 2014, gula petani sampai awal tahun masih banyak menumpuk
di gudang. Sebaliknya, jika supply kurang dari permintaan yang ada hal itu
menyebabkan gula langka dan harga gula menjadi mahal. Harga gula yang mahal
akan merugikan konsumen. Untuk mengatasi permintaan gula yang tinggi (seperti
saat ini) pemerintah biasanya memenuhi kekurangan gula dengan mengimpor
153

gula. Bagi petani, gula impor yang lebih murah dan daya saing produksi gula
(GKP) petani yang lebih rendah karena biaya produksi GKP dalam negeri tinggi
jika hal ini terus berlangsung maka petani tebu dan pabrik gula (PG) akan
mengalami kerugian karena biaya produksi dan harga gula petani tidak kompetitif
dibanding harga gula impor.
Sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 2008 peroduktivitas gula
mengalami peningkatan sebesar 6,11 ton/ha ini disebabkan pada tahun 2007
diterbitkan Permentan no. 57/Permen/KU.430/7/2007 mengenai Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sebesar Rp.12.500.000,- dan Peraturan
Menteri Perdagangan RI no.18/M-DAG/PER/4/2007 mengenai perubahan
keempat atas Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan
no.527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula dimana GKP hanya bisa
diimpor jika harga GKP ditingkat petani mencapai Rp.4.900 per Kg, sehingga
mampu meningkatkan produktivitas gula nasional. Didukung dengan penelitian-
penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa petani tebu
rakyat akan meningkatkan kualitas tebu yang ditanam jika terdapat jaminan harga
(sehingga produktivitas GKP pada tahun 2008 mengalami peningkatan). Harga
talangan yang pernah berlaku dapat meningkatkan keinginan petani tebu melalui
perbaikan kualitas tanaman maupun peningkatan areal tebu. Saat ini, konsep dana
talangan sudah tidak diberlakukan lagi. Konsep mengenai dana talangan dalam
bentuk lain bisa berupa yaitu pemerintah mampu menjamin bahwa harga lelang
gula senantiasa berada diatas harga dasar gula (provenue). Konsep dana talangan
pada intinya memberikan jaminan kepada petani tebu bahwa jika harga gula
berada dibawah harga dasar, maka investor harus menalangi. Apabila harga
berada di atas harga dasar, maka kelebihan harga tersebut dibagi antara investor
dan petani tebu 60%:40%. Petani tebu mendapatkan kelebihan harga sebesar 60%
dan investor sebesar 40%. Jaminan harga ini perlu diberikan mengingat berdasar
data produktivitas tebu rakyat (TR) dari tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa
produktivitas tebu secara rata-rata TR lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan
TS. Peningkatan produktivitas menunjukkan bahwa petani tebu cukup responsif
terhadap adanya perubahan harga yang terjadi. Peningkatan produktivitas terjadi
pada tahun 2007 dan pada tahun 2012. Pada tahun 2007 peningkatan
produktivitas gula yang dihasilkan disebabkan antara lain Keputusan menteri
Perdagangan RI no. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai impor gula. Produktivitas
gula pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 6,01 ton/ha. Pada tahun
2012, produktivitas gula di Jawa Timur sebesar 6,15 ton/ha. Peningkatan ini selain
dibukanya areal tebu baru di Tuban, Lamongan dan Bangkalan, disebabkan juga
adanya HPP yang ditetapkan pada tahun 2011 sebesar Rp.7000,- oleh
Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan no. 11/M-
DAG/PER/5/2011.
Harga gula internasional yang lebih murah (karena PG di luar negeri
sangat efisien dan pemerintah negara setempat memproteksi dan mensubsidi
industri gula dan petani tebu nya) maka, turunnya harga gula internasional akan
menyebabkan daya saing industri gula Jawa Timur mengalami penurunan.
Penurunan daya saing akan mengakibatkan peningkatan harga dasar gula. Jika hal
ini berlangsung secara terus menerus, maka petani akan mengalami kerugian.
Padahal petani merupakan pelaku inti pelaku usaha tebu yang mengusahakan
lebih dari 80% tanaman tebu.
154

Pentingnya peran petani sebagai pelaku dalam pengusahaan tanaman tebu


bukan saja petani yang mengusahakan tanaman tebu hingga hampir 90% areal
tebu di Jawa Timur, keberlangsungan industri gula di Jawa timur bisa tetap
berjalan dan produktivitas hablur juga mengalami peningkatan melalui tebu yang
ditanam oleh petani sebagai pelaku mayoritas dalam pengusahaan tebu di Jawa
Timur. Penelitian Yunitasari et al (2015) menyatakan bahwa petani tebu
khususnya petani TR memiliki peran penting dalam pengusahaan tanaman tebu.
Tingkat kesejahteraan petani TR perlu mendapat perhatian mengingat pentingnya
peran petani TR dalam mengusahakan tanaman tebu sebagai bahan baku gula.
Sedangkan data NTP perkebunan rakyat berturut-turut sebesar 95,66 persen tahun
2011, 96,62 persen tahun 2012, dan 94,02 persen tahun 2013 (Disbun Jawa
Timur, 2015). Nilai Tukar Petani (NTP) perkebunan rakyat yang menjadi salah
satu indikator tingkat kesejahteraan petani perkebunan menunjukkan angka di
bawah 100. Rendahnya NTP dibawah level 100 mencerminkan bahwa komoditas
tanaman tebu kurang menguntungkan, sehingga sulit mengharapkan petani untuk
bergairah menanam tebu. Sehingga perlu meningkatkan kesejahteraan petani agar
petani mempunyai keinginan untuk menanam tebu melalui kebijakan harga.
Kebijakan yang bisa diterapkan sebagai upaya tidak ada yang merasa
dirugikan dari sisi petani maupun konsumen adalah melakukan efisiensi dari sisi
PG. Jika PG di Jawa Timur efisien, maka harga gula lokal mampu bersaing
dengan harga gula impor dari luar negeri. Efisiensi bisa dilakukan dengan
mengembangkan PDT. Ampas, blotong dan tetes yang selama ini tidak diolah
lebih lanjut, diharapkan dapat diolah lebih lanjut sehingga PG mendapatkan
keuntungan (profit) dari pengembangan PDT. Terdapat transfer pricing dari satu
produk ke produk yang lain. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan 5
jenis PDT yang bisa digunakan untuk membiayai kondisi permesinan di PG yang
ada. Sehingga PG menjadi lebih efisien.
Lima jenis pengembangan PDT yang dikembangkan dalam model untuk
keberlanjutannya perlu serangkaian kebijakan. Kebijakan yang dapat diterapkan
sebagai upaya mendukung pengembangan PDT lebih lanjut:
1. Memberikan insentif kepada industri gula atau investor agar mau
mengembangkan PDT yakni mempermudah perijinan dalam
mengembangkan PDT.
2. Pemerintah menetapkan kebijakan mengenai pajak PDT agar lebih
kompetitif, seperti: menunda pengenaan pajak daerah terhadap produk PDT
misalnya, sampai 5 tahun kedepan atau sampai PDT tersebut menunjukkan
kesinambungan, stabil dalam pemasarannya, dan menguntungkan bagi
produsen PDT.
3. Pemerintah juga perlu mengadakan pembelian atas PDT yang dihasilkan
secara berkesinambungan agar PDT produksinya konsisten bisa terus
berlanjut.
4. Mempromosikan kepada investor mengenai peluang pengembangan turunan
tebu.
5. Dalam rangka mendukung pengembangan turunan tebu (PDT) pemerintah/
pemerintah daerah mendesain kawasan pengembangan industri di mana
kawasan tersebut merupakan kawasan yang terintegrasi dengan PG dan
lahan TR sehingga dalam pengelolaan PDT dapat menghemat biaya
transportasi dan ketersediaan bahan baku.
155

8 SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

1. Pengembangan agroindustri gula tebu mempunyai dampak positif terhadap


perekonomian wilayah Jawa Timur, produksi GKP, produksi PDT,
Keuntungan PG, pendapatan Petani dan PAD.
2. Hasil simulasi model dengan menggunakan kebijakan/program RIGN mampu
meningkatkan perekonomian wilayah, produksi GKP, produksi PDT,
Keuntungan PG, pendapatan Petani dan PAD. Bioethanol dari ampas
merupakan pengembangan PDT yang memberikan penerimaan terbesar bagi
perekonomian wilayah. Sehingga jika ingin mengembangkan jenis PDT, maka
perlu memfokuskan pada pengembangan bioethanol dari ampas.Sumbangan
tambahan peningkatan terhadap perekonomian wilayah rata-rata sebesar
1,65%, produksi GKP 1,82%, PDT 79,98%, Keuntungan PG 9,17%,
pendapatan petani 26,96% dan PAD 1,68%. Peningkatan rendemen (skenario
3) menyumbang tambahan penerimaan tertinggi bagi perekonomian wilayah
Jawa Timur. Namun jika hanya mengandalkan kebijakan peningkatan
rendemen saja (skenario 3), maka target produksi GKP tidak tercapai.
3. Kebijakan alternatif dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal,
peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen) memiliki kinerja yang
lebih baik dibandingkan dengan skenario 4. Perekonomian wilayah Jawa
Timur, produksi GKP, produksi PDT, Keuntungan PG, Pendapatan Petani
dan PAD pada skenario 5 mencapai kinerja tertinggi dibanding skenario 1, 2,
3, dan 4. Pada skenario 4, target produksi GKP Jatim tidak dapat terpenuhi
dan pada skenario 5, target produksi GKP Jatim bisa terpenuhi. Sumbangan
tambahan peningkatan PDRB terhadap perekonomian wilayah rata-rata
sebesar 2,63%, produksi GKP 6,92%, PDT 80,39%, keuntungan PG 13,69%,
pendapatan petani 33,70% dan PAD 6,40%.

8.2 Saran

1. Pengaruh TR yang sangat besar terhadap produksi tanaman tebu sebagai


bahan baku dalam pengembangan agroindustri gula tebu, maka petani tebu
sebagai pemilik TR harus mendapat perhatian agar TR meningkat kualitasnya.
2. Upaya peningkatan rendemen tebu bisa dilakukan dengan perubahan sistem
bagi hasil rendemen antara petani dengan PG. Diharapkan dengan perubahan
sistem bagi hasil yang sudah ada, dapat memberikan insentif untuk petani
melalui mekanisme harga.
3. Untuk meningkatkan rendemen, pertanaman TR menggunakan sistem blok,
yaitu pengaturan tanaman tebu dalam blok-blok kebun dengan luasan tertentu
dalam kondisi umur yang sama dan varietas yang sama sehingga mudah untuk
diawasi kemasakan tebu, penebangan tebu dapat dilakukan bersamaan, begitu
pula dengan waktu keprasan.
156

4. Mengingat salah satu cara untuk meningkatkan rendemen adalah dengan


mengikuti anjuran yakni keprasan maksimal sebanyak 4 kali dan hal tersebut
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka dibutuhkan kemudahan kredit
dari segi akses dan tingkat suku bunga. Sehingga petani bisa membiayai
bongkar ratoon agar tanaman tebunya memiliki tingkat rendemen yang tinggi.
5. Kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan
PDT. Kebijakan tersebut dapat melalui penundaan pajak, pembangunan pabrik
PDT maupun kerjasama dengan pihak luar (investor). Selain pembangunan
pabrik PDT, pembelian PDT oleh pemerintah sebagai upaya menjaga
kesinambungan produksi dari PDT dan mempermudah birokrasi perijinan
dalam penjualan PDT sangat penting untuk dilakukan.
157

DAFTAR PUSTAKA

Agronews. 2013. Industri Gula Nasional Lakukan Diversifikasi Produk,


Kementerian Perindustrian Republik Indonesia,
www.agro.kemenperin.go.id, diunduh 8 april 2013.
Almazan O. Gonzales, and Galvez. 1998. The sugar Cane, It’s Products and Co-
Product. AMAS Food and Agricultural Research Council. Reduit,
Mauritius: xiii-xxv Reduit, Mauritius: xiii-xxv.
Anwar A. 2001. Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial
Melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-Kota
menengah dan Kecil. Makalah disampaikan pada Pembahasan Proyek
Perintisan Pengembangan Wilayah Perdesaan, Jakarta 15 November 2001.
Anwar A, dan Rustiadi E. 2000. Bahan Pelatihan Permodelan Wilayah Tingkat
Pemusatan Aktivasi Suatu Wilayah. Program Studi Perencanaan Wilayah
dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian bogor.
Ariesa FN, Tinaprilla N. 2012. Komparasi Industri Gula di Beberapa Negara. Di
dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT
Gramedia. Hlm 193-214.
Asmara R, Fahriyah, Hanani N. 2012 Tingkat Penerapan Teknologi Petani dalam
Usahatani Tebu. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula.
Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 77-82.
Asmarantaka & Ratna W. (Eds.). 2012. Usaha tani tebu dan daya saing industri
gula di Indonesia: ekonomi gula. Jakarta: PT. Gramedia, 31-60.
Asmarantaka RW, Baga L, Suprehatin, dan Maryono. 2012. Analisis Usahatani
Tebu rakyat di Lampung. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi
Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 61-76.
Avillez R. 2011. Measuring the Contribution of Modern technology to the
Canadian Economy, Centre for Study of Living Standards (CSLS)
Research Report 2011-18, Desember 2011.
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2011. Kontribusi Sektor Perkebunan terhadap PDRB
Jawa Timur tahun 2000-2010.
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2012. Publikasi Statistik Tebu Indonesia (Indonesia
Sugar Cane statistics) 2011, Jakarta.
Baghat JJ. 2011. National Plan in Efficiency of Indonesian Sugar Industry- field
and Factory.
http//xa.yimg.com/kq/groups/15720795/887787271/name/write-up.
Diunduh 8 Oktober 2014
Bappeda Provinsi Jatim. 2014. Mengerem laju konversi lahan pertanian. Diunduh
5 Agustus 2015, http://bappeda.jatimprov.go.id/2014/02/12/mengerem-
laju-konversi-lahan-pertanian/
Boediono. 2002. Seri Sinopsis Pengantar ilmu Ekonomi no.1: Ekonomi Mikro,
BPFE, Yogyakarta.
158

Budiman B. 2011. Analisis Rencana Pembangunan Pusat Primer Gedebage


terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan
Sistem Dinamik. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor
(IPB)
Cahyani U. 2008. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis
Gula di Indonesia, Program Studi manajemen Agribisnis, Fakultas
Pertanian, IPB.
Cahyati S. 2012. Rekayasa Model penelitian Kinerja Operasional Pabrik Gula
Berbasis Eco Mintenance, Disertasi, IPB.
Cahyono A. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gula Pada PG
Tasik Madu PTPN IX (Persero) [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas
Gadjah Mada.
Castro NJ et al. 2009. Sugar Ethanol Bioelectricity in the Electricity Matrix,
www. sugarcane.org/resource-library/books/sugar %20 ethanol %20
bioelectricity %20 matrix.pdf
Chan A, Hoffman R, McInnis B, 2004, The Role of Systems Modeling for
Sustainable Developmrnt Policy Analisis: the case of bio ethanol ecology
and Society 9(2): 6, http://www.ecologyandsociety.org/vol 9/iss2/art 6
Coyle RG. 1996. System Dynamics Modelling: Practical Approach. Chapman &
Hall. London.
Day D and Kim M. 2010. Composition of Sugar Cane, Energy Cane, and Sweet
Sorghum Suitable for Ethanol Production at Louisiana Sugar Mills. J Ind
Microbiol Biotechnol (2011) 38:803-807.
Departemen Pertanian [Deptan]. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan
Pangan 2005-2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang).
Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap Industri Gula, Direktorat Jenderal
Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, Jakarta.
Departemen Pertanian [Deptan]. 2007. Prospek Dan Arah pengembangan
Agribisnis Tebu: Edisi Kedua, Balai Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
www.litbang.deptan.go.id/special/publikasi/doc_perkebunan/tebu_bagian_
a_pdf diunduh 8 april 2003.
Dewan Gula Indonesia [DGI]. 2008. Bunga Rampai Peraturan Pergulaan
Indonesia. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta.
Dewan Gula Indonesia [DGI]. 2011. Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Terpakai
Pabrik Gula di Indonesia. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Dewan Gula Indonesia [DGI]. 2012. Jumlah Pabrik Gula di Indonesia. Sekretariat
Dewan Gula Indonesia. Jakarta.
Dewan Gula Indonesia [DGI]. 2014. Data produksi tebu Jawa Timur. Jakarta:
Dewan Gula Indonesia.
Dibyoseputro MAB. 2012. Rancang Bangun Sistem Dinamis Pengambilan
Keputusan Kompleks Pengembangan Agroindustri Gula Tebu. Disertasi.
Bogor (ID): Institit Pertanian Bogor.
Dinas Perkebunan [Disbun] Jawa Timur. 2012a. Pendapatan Petani Perkebunan.
Diperoleh tanggal 25 Februari 2015, dari http://www.disbun.Jawa
Timurprov.go.id/pendapatanpetani.php.
159

Dinas Perkebunan [Disbun] Jawa Timur. 2015. Nilai Tukar Petani Perkebunan
Rakyat. Diperoleh tanggal 2 Februari 2015, dari
http://disbun.jatimprov.go.id/ntp-pr.php.
Dinas Perkebunan Jawa Timur. 2012b. Publikasi statistik perkebunan 2011. Jawa
Timur: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. Diperoleh tanggal 25
Februari 2015, dari
http://disbun.jatimprov.go.id/dbdata/dwnlad/statistik/Angka%20Perkebuna
n2011.pdf
Dinas Perkebunan Jawa Timur. 2014. Jatim Capai Areal Tebu Tertinggi dalam
Sejarah Pertebuan. Diperoleh tanggal 29Juni 2015, dari
http://disbun.jatimprov.go.id/berita.php?id=250 .
Dinas Perkebunan. 2011. Pembangunan Pabrik Gula Baru di Jawa Timur.
Haruskah? Dinas Perkebunan Jawa Timur.
http://www.disbun.jatimprov.go.id/berita.php?id=59. Diunduh 11 Februari
2015.
Dingle, Jennifer, Ismail A, Tanzer J. 1997. Current Trends of Sugar Consumption
in Developing Societies, Community Dentistry and Oral Epidemiology;
Vol. 25; p. 438-43.
Fahriyah, Siregar H, Oktaviani R. 2012. Peranan Industri Gula dalam
Perekonomian Wilayah: Analisis Input-Output Kabupaten Pasuruan. Di
dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT
Gramedia. hlm 131-164
FAOSTAT. 2013. Top Production Sugarcane 2012, FOOD AND
AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS.
http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx. Accessed 19 Januari 2015.
Ferro, Diego, Riven, D, & Ghersa C. 2009. An analysis of the factors that
influence sugarcane yield in Northern Argentina using classification and
regression trees. Field Crops Research, 112 (2009), p 149-157.
Feryanto, Susilohadi GN, Herawati, Budiati NH. 2012. Integrasi Antara
Kebijakan Sosial Ekonomi dan Aplikasi Teknologi Proses Produksi di
Industri Gula. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula.
Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 337-360.
Goldhar J D, and Jelinek M. 1983. Plan for Economies of Scope. Harvard
Business Review. November 1983.
Gunatilake, H and Abeygunawardena, P., 2014, Energy security, food security
and economics of sugarcane bioethanol in India, Journal of sustainable
Development; vol. 7, No. 1; 2014.
Gunawan S. 2013. Industri Gula Terpadu, Tak Sekedar Mimpi, Diunduh
www.sandigunawan.com/2013/02/28/industri-gula-terpadu-tak-sekedar-
mimpi/
Hanani N, Fahriyah, Asmara R. 2012. Tingkat Penerapan Teknologi Petani dalam
Usahatani tebu. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula.
Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 77-82.
Hanani N, Sujarwo, Asmara R. 2012. Peran Koperasi Dalam Sistem Agribisnis
Tebu Rakyat. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta
(ID): PT Gramedia. Hlm 305-318.
160

Hartono S. 2012. Efisiensi Produksi Tebu dan Gula Indonesia. Di dalam: Bayu
Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 17-
30.
Haryono, Slamet,. 2009. Dinamika Lahan Pertanian dalam Perekonomian Kota
Tangerang: Suatu Pendekatan System Dynamics, Tesis, ITB, Bandung.
Hasan F, Triantarti, dan Toharisman A. (2013). Rise and fall of the Indonesian
sugar industri. Proc. Int. Soc. Sugar Cane Technol., Vol. 28.
Hofstrand D. 2007. Economies of scope, file c5-205, June 2007. IOWA State
university. https://www.extension.iastate.edu/agdm/wholefarm/pdf/c5-
205.pdf. Diunduh 5 juli 2015.
Industri Gula Nasional Lakukan Diversifikasi Produk, Merdeka .com diunduh 2
Januari 2013.
Janda K, Kristaufek L, Zilberman D., 2012, Biofuels: policies and impacts,
Agric. Econ, -CZECH, 58, 2012 (8): 372-386
Januarsini L. 2000, Analisis Usaha Tani serta Efisiensi Penggunaan Faktor
Produksi Tebu, Skripsi, IPB.
Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan
Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB Bandung.
Kartiko, Cahyo. 1998. Dinamika Produksi dan Distribusi Tebu Serta Implikasinya
Terhadap Keragaan Agroindustri dan Perkembangan Wilayah Jawa Timur,
Skripsi, IPB.
Keerthipala AP. 2002. Impact of Macro-Economic Policies on the Sugar Sector of
Sri Lanka. Sugar Tech, Vol.4 (3&4): p. 87-96 (2002).
Kementerian Badan Usaha Milik Negara [BUMN]. 2011. Revitalisasi industri
gula BUMN Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian BUMN.
Kementerian Badan Usaha Milik Negera [BUMN]. 2011. Revitalisasi Industri
Gula BUMN Tahun 2010-2014, Kementrian BUMN: Jakarta
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM]. 2012. 10 Jawaban
Tentang Kenaikan Harga BBM Bersubsidi. Diunduh 21 April 2013, www.
Prokum.esdm.go.id
Kementerian Perindustrian. 2010. Peraturan menteri perindustrian Republik
Indonesia Nomor: 11/M_IND/PER/I/2010. Jakarta (ID): kementerian
Perindustrian.
Kementerian Pertanian. 2014. Mengoptimalkan Ampas Tebu untuk Bioetanol.
Diunduh dari
http://cyber.kamarasta.web.id/materipenyuluhan/detail/8868/mengoptimalk
an-ampas-tebu-untuk-bioethanol. Diperoleh tanggal 20 Agustus 2015.
Kementrian Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian dan Perkebunan, Pusat
Data dan Informasi Pertanian.
http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/outlook_perk
ebunan_2010.pdf
Kibira D, Shao G, Nowak S, 2010, System Dynamics Modeling of Corn Ethanol
as a Bio Transportation Fuel in the United States, Publications, Agencies
and Staff of the US Department of Commerce, Paper 208,
http://digitalcommons.unl.edu/usdeptcommercepub/2008
Kirana KSM. 2008. Penentuan Dosis Pemupukan Kompos Blotong pada Tebu
Lahan Kering. Skripsi. Program Studi Agronomi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
161

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik indonesia [KPPU RI]. 2010.


Position Paper Komisi Pengawas Persaingan Usaha Terhadap Kebijakan
dalam Industri Gula. www. kppu.go.id
Koo dan Taylor R D. 201. Outlook of The US and World Sugar Markets, 2010-
2020, USAgricultural Economics Report No. 444 July 2000 (ID): North
Dakota State University.
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/23148/1/aer444.pdf, diunduh 15
maret 2014.
Kurniawan Y, dan Santoso. 2009. Listrik sebagai Ko-Produk Potensial Pabrik
Gula, Jurnal Litbang Pertanian, 28 (1), 2009.
Lutfi TR. 2007. Sistem Penunjang Keputusan Diversifikasi Produk Tebu: Studi
Kasus PT. PG. Rajawali II unit PG. Jatitujuh,Majalengka-Jawa Barat).
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mahardika PY. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Impor Gula di Indonesia [Skripsi]. [ID]: Bogor Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
Malian et al. 2004. Laporan Akhir Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis
Gula, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Mardianto et al. 2011. Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan
Industri Gula Nasional, diunduh tgl. September 2011.WWW.Google.com.
Mardianto S, P Simatupang PU, Hadi, H Malian, dan A Susmiadi. 2005. Peta
Jalan (Road Map) dan kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional,
Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1): 19-37.
Martini S. 2008. Model Investasi Fuzzy untuk Analisis Kelayakan Finansial
Usaha Diversivikasi Industri Berbasis Tebu. Thesis. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Masyhuri. 2000. Pengembangan Agroindustri Melalui Penelitian dan
Pengembangan Produk yang Intensif dan Berkesinambungan, Jurnal Agro
Ekonomi, VII (1), UGM.
Masyhuri. 2005. Analisis kebijakan Pergulaan Nasional. Fakultas Pertanian.
UGM. Yogyakarta.
Mawardi MS. 1986. Pendugaan Efisiensi Produksi Usaha Tani TRIS I dengan
Pendekatan Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Studi Kasus di Wilayah
Kerja PG Tersana baru PTPN XIV Cirebon. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Muhammadi, Aminullah E, dan Soesilo B. 2001. Analisis sistem dinamis:
lingkungan hidup sosial ekonomi dan manajemen. Jakarta: UMJ Press.
Muis A. 2012. Model Dinamika Sistem Agroindustri Kakao di Indonesia, Tesis,
IPB.
Murdiyatmo U. 2006. Pengembangan Industri Ethanol: Prospek, Kendala dan
Tantangan, Prosiding Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioethanol
di Indonesia, Jakarta, 21 November 2006.
Nasution et al. 2010. Kajian Sistem Pengukuran Kinerja Pabrik Gula (Studi
Kasus PG Subang Jawa Barat). www.jma.mb.ipb.ac.id
Neves M, et al. 2009. The sugar energy map of Brazil, www.sugarcane.org
162

Novitasari R dan Wirdjodirdjo. 2010. Mampukah Kebijakan Pergulaan Nasional


Meningkatkan Perolehan Pendapatan Petani Tebu: Sebuah Penghampiran
Dinamika Sistem. Teknik Industri. Fakultas Teknologi Industri Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS).
Nugrahapsari RA. 2013. Model swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional
dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Nugrahapsari RA. 2013. Model swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional
dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Nugroho I, dan R Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi,
Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Nurmalina R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Oliverio JL, Carmo, and Guegel MA. 2010. The DSM-Dedini Sustainable Mill: a
New Concept in Designing Complete Sugarcane Mills. Proc. Int. soc.
Sugar cane technol., Vol. 27, 2010). Diunduh
http://www.cadistil.com.br/index.php?option=com_docman&task=doc_vi
ew&gid=8&itemid=40&lang=pt (26-2-2014).
Pakpahan Agus. 2004. Petani Menggugat, Max Havelaar Indonesian Foundation,
Jakarta.
Panzar JC, and Willig RD. 1981. Economies of Scope. American Economic
Review, May, 71 (2): 268–272.
Patill G, Yarnal G, and Puranik V, 2008, System Dynamics Modelling Approach
for Energy Management in a Sugar Industry, Journal of Contemporary
Reseach in Management, Oct-Des 2008.
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian (Litbang Deptan). 2005.
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu, www.litbang diunduh
10 maret 2013.
Phillip L. 2012. Overview and Outlook: Brazilian sugar Cane Industri, Shoutheast
Bioenergy Conference, Washington, , August 1.
Prihandana R. 2005. Dari Pabrik Gula Menuju Industry Berbasis Tebu.
Proklamasi Publishing House. Jakarta.
Prihastuti et al. 2006. Pengelolaan Limbah Terpadu pada Industri Gula
Berkapasitas 4000TTH, Sains dan Sibernatika, 18 (2), April 2006.
Purwono. 2012. Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahmatulloh et al. 2007. Kajian Sistem pengukuran Kinerja Pabrik Gula (Studi
Kasus: PG Subang Jawa Barat),
Rohman A,Wazis K, Putra WN. 2005. Mendobrak Belenggu Petani Tebu:
membangun Kejayaan Petani Tebu dan Industri Gula Nasional, Hal. 349,
ICS: Institute of Civil Society, Jawa Timur,
Rustiadi E, Saefulhakim, dan D. Panuju. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
163

Samui R, Kulkarni, P. Kamble, V, and Vaidya N. 2013. A critical Evaluation of


Sugarcane Yield Variation as influenced by Climatic Parameters in Uttar
Pradesh and Maharashtra States of india. Time Journals of Agriculture and
Veterinary Sciences, Vol.2 (1): 63-69 January, 2014.
Santaella, Jose. 2007. The Sugarcane Agribusiness-An Energy Focused Vision.
TU International 60. Agustus 2007.
Santos MA. 2000. Energy Analysis of Crops Used for Producing Ethanol and CO
2
Emission. Cidade Universitaria [terhubung berkala].
http://www.ivig.coppe.ufrj.br/doc/alcofoen.pdf. [9 November 2006].
Saputra PP. 2011 Studi pemanfaatan Biomassa Ampas Tebu (dan Perbandingan
dengan Batu Bara) sebagai Bahan Bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap
1X3MW di Asembagus, Kabupaten Situbondo (Studi Kasus Pabrik Gula
Asembagus).Proceeding Seminar Tugas Akhir. ITS.
Saragih B. 2004. Membangun Pertanian Perspektif Agribisnis. dalam Pertanian
Sastrotaruno, Suwandhi,. 2001. Dampak Produksi Gula Terhadap
Perkembangan Wilayah, Pabrik Gula dan Petani, Thesis, IPB.
Sawit et al. 2004. Ekonomi Gula: 11 Negara Pemain Utama Dunia, Sekretariat
Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.
Sawit MH. 2010. Kebijakan Swasembada Gula: Apanya Yang Kurang?. Analisis
Kebijakan Pertanian [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 29]; 8 (4): 285-
602. Tersedia pada: http://isjd.pdii.lipi.go.id / index.php / Search.html?act
= tampil&id = 87460&idc = 35.
Schmit T. 2014. Agriculture-Based Economic Development in New York State:
The Contribution of Agriculture to the New York Economy, Dyson School
of Applied Economics and Management College of Agriculture and life
Sciences Cornel University.
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/186710/2/Cornell-Dyson-
eb1404.pdf.
Sharif L, Eshmawiy K, Awad K, & Banghash R. 2009. Economic potentialities
achieve self-sufficiency from egyptian sugar under international variables.
AM-Euras. J. Agric. And Environ. Sci., 5(5), 655-663.
Siagian W. 1999. Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia:
Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input Multi Output, Disertasi, Program
Pascasarjana, IPB.
Silalertruksa T, Gheewala S. 2011. The Enviromental and Socio-Economic
Impacts of bio-Ethanol production in Thailand, 9th Eco-Energy and
Materials Science and Engineering Symposium, Energy Procedis 9 (2011)
35-43, www.sciencedirect.com
Simatupang P, dan A Purwanto. 1990. Pengembangan Agroindustri Sebagai
Penggerak Pembangunan Desa. Prosiding Agroindustri Faktor Penunjang
Pembangunan Pertanian di Indonesia, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Sinuraya JF, Supriyati, dan Wahyuni S. 2009. Industri dan Perdagangan Gula di
Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 no. 2, Desember
2009:151-167.
Soemarno. 2011. Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Tebu, Bahan Kajian
PPSUB, Malang.
164

Sterman, J D. 2000. Business Dynamics: System Thinking and Modelling for a


Complex World. USA (US): Mcgraw-Hill.
Subiyono. 2013. Strategi terpadu Membangun Kembali Kejayaan Industri
Berbasis Tebu di Indonesia. Disampaikan pada Kuliah Umum “Integrasi
Industri Gula Nasional” di Institute Pertanian Bogor. 12 Juni 2013.
Sugiyanto C. 2007. Permintaan Gula di Indonesia, Jurnal Ekonomi
pembangunan, Vol. 8, no. 2 Desember 2007.

Suhada B. 2012. Strategi peningkatan produktivitas dalam mendukung kebijakan


klaster industri gula tebu di Indonesia. Disertasi, Institut Pertanian Bogor,
IPB.
Sundari S. 2000. Analisis Dampak Agroindustri Tebu Terhadap Peningkatan
Pendapatan Petani DanPengembangan Perekonomian Wilayah Di Jawa
Timur, Disertasi, IPB.
Suparno. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Tata Niaga Gula terhadap
Kesejahteraan Petani Tebu di Indonesia (Simulasi Kebijakan Pra dan
Pasca Liberalisasi Perdagangan Gula). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Supriyati dan Suryani. 2006. Peran, Peluang dan Kendala Pengembangan
Agroindustri di Indonesia, Forum penelitian Agro Ekonomi, Volume 24
No. 2, Desember 2006: 92-106.
Supriyati et al. 2006. Analisis Peningkatan Nilai Tambah Melalui Pengembangan
Agroindustri di Pedesaan, Makalah Seminar Hasil Penelitian, Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Supriyati. 2011. Kaji ulang konsep neraca gula nasional: konsep badan ketahanan
pangan vs Dewan Gula Indonesia. Jurnal Analisis kebijakan Pertanian.
9(2).
Susila, W dan Sinaga B. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia yang
Kompetitif pada Situasi Persaingan yang Adil, Jurnal Litbang Pertanian,
24 (1), 2005.
Susilohadi G, Herawati, Budiarti, N, Feryanto (Eds.). (2012). Integrasi antara
kebijakan sosial ekonomi dan aplikasi teknologi proses produksi di
industri gula: ekonomi gula. Jakarta: PT. Gramedia, Jakarta, 337-360.
Susilowati SH. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri
terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia, Disertasi
Doktor, Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.
Syamsiah N, dan Setyowati L. (Eds.). (2012). Peranan APTRI dalam
meningkatkan pendepatan petani tebu rakyat: ekonomi gula. Jakarta: PT.
Gramedia, Jakarta, 319-336.
Tarimo A, & Takamura Y. (1998). Sugarcane Production, Processing and
Marketing in Tanzania. African Study Monographs, 19(1),1-11, May
1998.
Tasrif M. 2006. Analisis kebijakan Menggunakan Model System Dynamics,
Program Magister Studi Pembangunan, ITB.
165

Tchereni, BHM, Ngalawa HPE, Sekhampu TJ. (2012). Technical Efficiency of


Smallholder Sugarcane Farmers In Malawi: The Case of Kasinthula Cane
Growing Scheme. Studia UBB Oeconomica, 57 (2), 3-13. Diperoleh
tanggal 29 Oktober 2012, dari: http://search.proquest.com
docview/1034970139/fulltextPDF/13C3205A66471CE36C2/?accountid=3
2819.
Tedjowahjono S. 1989. Pemanfaatan Tebu dan Tetes untuk Pakan Ternak.
Lokakarya penyusunan petunjuk Pelaksanaan di PG, Carming, Sulawesi
Selatan.
Thoha M. 2010. Daya saing Agro Industri Gula, diunduh 2013.
Toasa J. 2009. Colombia: A new ethanol producer on the rise?, United States
Departement of Agriculture (USDA), A report from the economic research
service, Januari 2009, www.ers.usda.gov.

Todaro M. 1998. Economic Development in the Third Word. Longman, London.


Todaro M. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa Drs. Han
Munandar, M.A. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Toharisman A, Triantarti, Hasan F. (2013). Rise and fall of the Indonesian sugar
industri. Proc. Intl. Soc. Sugar Cane Technol., Vol. 28.
Toharisman A, dan Kurniawan Y. 2012. Ekonomi Gula Indonesia: Prospek dan
Peluang Koproduk Berbasis Tebu. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor.
Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 235-248.
Trisnawati N, Febrianah L, Asrina N, Hidayat R. 2012. Pemetaan Luas Kebun
Produksi dan Penentuan Varietas Tebu untuk Optimasi Kinerja Pabrik
gula. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID):
PT Gramedia. hlm 361-376.
Urbanchuk JM. 2014. Contribution of the ethanol industry to the economy of the
united states, Agriculture and Biofuels Consulting (ABF Economics) LLP,
February 17, 2014. www.ethanolrfa.org/page/-/rfa-association-
site/studies/ABF-Ethanol-Economic-impact-US-2013.pdf?nocdn=1.
Valdes C. (2011). Brazil’s ethanol industry: looking forward. A report from the
economic research service, United States Department of Agriculture
(USDA), Bio-02, June 2011. Diperoleh tanggal 6 Juni 2015, dari
www.ers.usda.gov/media/126865/bio02.pdf.
Vian et al. 2006. Bioenergy and the rise of Sugar Cane- Based Ethanol in Brazil.
Choices: The magazine of food, farm and resource issues. @nd Quarter
2006. 21(2). http://www.cepea.asalq.usp.br/pdf/artigo_heloisa.pdf
Wachid A. (Eds.). (2015). Komitmen menyelamatkan industri gula: membumikan
paradigma agribisnis 70 tahun Profesor Bungaran Saragih. Jakarta: PPA
dan Gaung Persada Press.
Wahyuddin. 1995. Analisa kebutuhan Tenaga dan Biaya Pemanenan Tebu di PG
Madukismo Yogyakarta. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wang M, Saricks, and Santini. 1999. Effect of Fuel Ethanol se on Fuel-Cycle
Energy and GreenHouse Gas Emissions. Argonne National Laboratory.
ANL/ESD-38, pp.39. Http://www.transportation.anl.gov/pdfs/TA/58.pdf.
Wibowo R dan Subiyono. 2005. Agribisnis Tebu: Membuka Ruang Masa Depan
Industri Berbasis Tebu Jawa Timur, PERHEPI, Jakarta.
166

Wibowo R. 2012. Ekonomi Gula Indonesia: Prospek Industri Berbasis Tebu. Di


dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT
Gramedia. Hlm 1-16.
Widodo Y. 1995. Ubi-Ubian Potensi dan Prospeknya Untuk Dimanfaatkan Dalam
Program Diversifikasi, Pangan No. 22 Vol. VI. 1995.
Wijaya K. 2010. Bioetanol sebagai BBN (Bahan Bakar Nabati): Prospek dan
Strategi Penggunaan Bioetanol sebagai BBN di Indonesia, PSE-UGM.
Yunitasari D, DB Hakim, B Juanda, R Nurmalina. 2015. Menuju Swasembada
Gula Nasional: Model kebijakan untuk meningkatkan Produksi gula
dan Pendapatan Petani tebu di Jawa Timur (Achieving National
Sugar Self Sufficiency: A Policy Model to Increase Sugar production
and Boost Sugar Cane Farmer’s). JEKP No. 10/JEKP/VII/2015.
Jakarta.
Zain A. 2009. Pengaruh Harga Gula Impor, Harga Gula Domestik, dan Produksi
Gula Domestik terhadap Permintaan Gula Impor di Indonesia. EPP.Vol.5
No.2. 2008 : 1 – 9.
Zaini A. 2011. Analisis ekonomi politik swasembada gula Indonesia: kombinasi
model oligopolistik dinamik dan fungsi preferensi politik. Disertasi,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
167

LAMPIRAN
168

Lampiran 1 Model Aktual Pengembangan Gula Tebu di Jatim

Produktivtas TR
Produktivitas TS
PDRB Jawa Timur
Laju Peningkatan Produksi TR Perekonomian Wilayah
Produkstivts TR Laju Peningkatan
Produkstvts TS Fraksi Pertumbuhan
Produkstivitas TS
Fraksi Pertumbuhan
Produktivitas TR Fraksi PDRB
Penambahan PDRB

Luas Lahan TR Produksi TS


Luas Lahan TS Tax Ratio
Produksi Tebu Jatim
Laju Pertumbhn
Lahan TR Laju Pertumbhn
Lahan TS
PDRB dari Gula dan PDT
Fraksi Pertumbuhan Goal Lahan TS
Lahan TR Fraksi Susut Fraksi Pertbhn Lahan
TS Jumlah PG
Susut
Luas Lahan Total
Goal Lahan TR Retribusi jalan lori
Jumlah PG Jatim
seluruh PG jatim PAD
Fraksi ampas

Fraksi laju kapasits


Total Produksi Tebu Jatim
terpasg
Kapasitas Giling PG Retribusi Jalan lori
Biaya PBB Petani per PG

Kapasitas terpsg industri Ampas


Laju Peningkatan PPh Badan_PG
kapasitas
terpasang Fraksi Blotong Produksi GKP Jatim
Kapasitas terpakai Konstanta
kapasitas giling per Pajak dari PG dan
Laju penambhn
Lama Giling PG Petani
kapasits terpakai
Profit PG dr GKP Retribusi dari PG

Kapasitas terpakai Blotong


maksimal
By Product

Profit dari Gula PG


fraksi tetes

Init utilisasi kapasts


terpakai Harga lelang gula
new

Retribusi Gula dr GKP


Tetes
Produksi GKP Jatim Penerimaan dr Gula
Rendemen
Laju peningkatan PG
rendemen Total Profitt Petani Per Ha PPh Petani

Fraksi pertumbuhan Harga gula


rendemen Gula bag petani talangan Besaran retribusi
Pajak Air bawah
Tanah per PG
Total Penerimaan Produksi GKP Jatim Pajak Air Bawah
Petani Tanah slr PG
Biay garap per ha Pajak Penerangan
Biaya garap total
Jalan seluruh PG
Peneriman petani Tetes bag Ptn Jatim
dari gula

GKP Bagian PG
Biay pupuk per ha
Profit u Petani berdsr luas Biaya Produksi PG
lhn ttl Pajak Penerangan
Jumlh PG Jalan per PG
Biaya pupuk ttl

Total Biaya TST1 Pnrman Petani dr


Biaya TMA ttl Tetes
Pnrman Petani dr
Harga tetess Tetes
Peneriman petani
Total Produksi Tebu
dari gula
Jatim
Biaya herbisida Penerimaan pucuk
total tebu
Biay herbisid per ha Biaya PBB Petani
Biaya bibit ttl BPP Gula
Biaya sewa lhn ttl

Profit petani tanpa


pucuk tebu

Biaya TMA_TG Profit Ptni per ha


Biaya PBB Petani
Harga pucuk tebu tanpa pck tebu
total
Biaya bibit per ha

Luas Lahan Total Biay sewa lahan_ha Pajak Bumi


Pucuk tebu yg Total Biaya TST1
Luas Lahan Total Profit petani per ha Luas Lahan Total
Bangnan per ha diperoleh
169

Lampiran 2 Model pengembangan Gula tebu dan PDT

Produktivtas TR
Produksi TR Produktivitas TS
Laju Peningkatan
Produkstivts TR Jumlah PG
Laju Peningkatan
Produkstvts TS
Perekonomian Wilayah PDRB Jawa Timur
Fraksi Pertumbuhan Penambahan PDRB
Fraksi Pertumbuhan Retribusi jalan lori
Produktivitas TR Produksi TS Produkstivitas TS seluruh PG jatim

Luas Lahan TR Retribusi Jalan lori


Fraksi PDRB per PG
Laju Pertumbhn Produksi Tebu Jatim Penerimaan kampas PDRB dari Gula dan PDT
Lahan TR Fraksi Susut rem
Fraksi Pertumbuhan Luas Lahan TS
Lahan TR Retribusi dari PG
Retribusi Gula dr GKP
Laju Pertumbhn
Susut
Lahan TS Penerimaan listrik
Goal Lahan TS
Goal Lahan TR Penerimaan
Luas Lahan Total bioethnl dr ampas
Fraksi Pertbhn Lahan
TS
Produksi GKP Jatim
Fraksi laju kapasits Fraksi ampasJumlah PG Jatim Penerimaan dr
terpasg Total Produksi Tebu Jatim
biokompos

Penerimaan
PAD
bioethanol dariTax Ratio
Besaran retribusi
Kapasitas terpsg industri Ampas tetes
Kapasitas Giling PG
Laju Peningkatan
kapasitas
terpasang Penerimaan dr Gula
Fraksi Blotong Profit dari Gula PG
Harga lelang gula PG Biaya PBB Petani
Kapasitas terpakai Konstanta new
kapasitas giling per
Laju penambhn Pajak dari PG dan
Lama Giling PG
kapasits terpakai PPh Pegawai PG Petani

GKP Bagian PG Pajak Air Bawah


Kapasitas terpakai Blotong Tanah slr PG
maksimal Pajak Penerangan
By Product Biaya produksi Jalan seluruh PG
listrik per kwh Jatim
fraksi tetes Produksi GKP Jatim
Biaya Produksi PG
PPh Badan_PG Jumlh PG
Init utilisasi kapasts Konversi dari ton ke
terpakai MW listrik Pajak Penerangan
BPP Gula Jalan per PG
Pajak Air bawah
Jumlah ampas untuk
Tanah per PG
listrik
Tetes
Produksi GKP Jatim Jumlah blotong
Rendemen Fraksi ampas Biaya produksi Jumlah Kampas rem untuk biokompos
Laju peningkatan menjadi listrik listrik total
rendemen Total Profitt Petani Per Ha Penerimaan
PPh Petani Penerimaan listrik bioethanol dari
Profit bioethanol
Harga gula dari tetes Konversi ampas tetes
Fraksi pertumbuhan
menjadi listrik
rendemen Gula bag petani talangan
Tetes bag Ptn Jumlah Tetes untuk
Total Penerimaan Produksi PDT bioethanol
Biay garap per ha Petani Profit PDT
Biaya garap total Ampas Harga listrik profit listrik dari
Harga tetess ampas Fraksi ampas
Peneriman petani menjadi bioethanol
Biaya produksi
dari gula bioetnl per ton
Fraksi ampas menjadi
Pnrman Petani dr Profit biokompos kampas rem Penerimaan PDT
Tetes
Biay pupuk per ha Biaya produksi
Profit u Petani berdsr luas Biaya per set kampas rem
Profit PG dr GKP dan PDT
Profit bioethnl dr Jumlah ampas
lhn ttl
ampas untuk bioethanol
Biaya pupuk ttl
Penerimaan pucuk Jumlah ampas per
tebu set
Total Biaya TST1 Total Produksi Tebu
Jatim Jumlah Kampas rem Biaya produksi
Biaya TMA ttl Profit kampas rem bioetnl dr ampas Profit bioethnl dr ampas
Peneriman petani
dari gula Pnrman Petani dr Profit biokompos
Tetes
Biaya herbisida Penerimaan kampas
total Harga kampas rem rem
Biay herbisid per ha Biaya TMA_TG
Penerimaan kampas
Biaya bibit ttl Harga pucuk tebu rem
Biaya sewa lhn ttl
Biaya PBB Petani Biaya Biokompos Harga biokompos
Harga bioethanol Penerimaan bioethnl dr
Biaya PBB Petani Pucuk tebu yg Penerimaan dr
Profit petani tanpa ampas
total diperoleh Penerimaan biokompos
pucuk tebu
Profit Ptni per ha bioethanol dari
Biaya bibit per ha tanpa pck tebu tetes Profit bioethanol
dari tetes Biaya prodksi
Profit petani per ha biokompos per ton
Biay sewa lahan_ha Tetes

Luas Lahan Total Pajak Bumi Total Biaya TST1


Bangnan per ha Jumlah blotong Harga bioethanl
Luas Lahan Total
Luas Lahan Total Jumlah Tetes untuk Biaya produksi Biaya produksi per Blotong untuk biokompos
bioethanol bioethanol ton
170

Lampiran 3 Flow chart perumusan permasalahan pengembangan


agroindustri gula tebu di Jawa Timur

Industri Gula di
IndonesiaIndustri Gula di
Indonesia
Ekportir terbesar kedua tahun 1930Ekportir
terbesar kedua tahun 1930

Harga gula impor


Tahun 1935-sekarang pengimpor gula terbesarTahun
lbh murahHarga
1935-sekarang pengimpor gula terbesar gula impor lbh
murah
Kondisi Industri Gula di Indonesia dan Jawa TimurKondisi
Industri Gula di Indonesia dan Jawa Timur

Hari giling belum Kapasitas giling < Jam henti giling Usia pabrik Single
optimal 2000 TCDKapasitas Product
giling < 2000 TCD tua

UU no Tidak
InefisiensiI Biaya produksi 12/1992dan ada
no.5/1998UU
nefisiensi tinggiBiaya produksi no 12/1992dan dana
no.5/1998 talanga
tinggi nTidak
Harga gula DN Petani enggan ada
Produksi Daya saing
Tebu mahalHarga gula dana
industri menanam
terbanyak DN mahal talanga
rendahDaya saing
Produksi tebuPetani enggan n
industri rendah
Tebu
terbanyak menanam tebu
Sistem PG
DinamikSistem tutupPG
Dinamik tutup
Diversifikasi RIGN
TebuDiversifikasi RIGN
Pemenuhan target
Tebu pemerintah
pusatPemenuhan target
pemerintah pusat

Menekan Perluasan Mengurangi Meningkatkan Meningkatkan


ongkos pasar kerugian keuntungan Pendapatan
produksiMen PGMengurangi PGMeningkatkan petaniMeningkatka
ekan ongkos kerugian PG keuntungan PG n Pendapatan
produksi petani

Kontribusi sub sektor


perkebunan Jatim - Produksi
pendapatan petani Profit
4,15%/thnKontribusi sub GKPProduksi PDT PAD
tebupendapatan PGProf
sektor perkebunan Jatim -
petani tebu GKP it PG
4,15%/thn PDT PAD

Peningkatan kontribusi sub sektor perkebunan terhadap


Perekonomian WilayahPeningkatan kontribusi sub sektor
perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah

Gambar 4 Flow chart perumusan permasalahan pengembangan agroindustri


gula tebu di Jawa Timur
171

Pola Error
Gula Kristal Putih (GKP)
2.000000

1.500000

1.000000

0.500000

- GKP
2009 2010 2011 2012 2013
(0.500000)

(1.000000)

(1.500000)

(2.000000)

Luas Areal
2.000000

1.500000

1.000000

0.500000
Luas Areal
-
2009 2010 2011 2012 2013
(0.500000)

(1.000000)

(1.500000)

(2.000000)
172

Lampiran 4 Produksi GKP Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Ton)

Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP
Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Jan 2010 1.014.144 1.046.597 1.030.371 1.038.585 1.088.969 1.127.395
Jan 2011 1.089.587 1.124.453 1.107.020 1.115.846 1.169.977 1.211.262
Jan 2012 1.170.849 1.208.317 1.189.583 1.199.067 1.257.236 1.301.600
Jan 2013 1.258.390 1.298.658 1.278.524 1.288.717 1.351.235 1.398.916
Jan 2014 1.352.701 1.395.987 1.374.344 1.385.301 1.452.505 1.503.759
Jan 2015 1.454.315 1.500.853 1.477.584 1.489.364 1.561.616 1.616.720
Jan 2016 1.563.805 1.613.847 1.588.826 1.601.493 1.679.184 1.738.437
Jan 2017 1.681.791 1.735.609 1.708.700 1.722.322 1.805.876 1.869.599
Jan 2018 1.808.942 1.751.934 1.837.885 1.852.538 1.822.862 1.887.184
Jan 2019 1.809.474 1.814.553 1.838.425 1.853.082 1.888.017 1.954.639
Jan 2020 1.874.156 1.879.412 1.904.142 1.919.323 1.955.501 2.024.504
Jan 2021 1.941.151 1.946.589 1.972.209 1.987.932 2.025.397 2.096.867
Jan 2022 2.010.541 2.016.167 2.042.709 2.058.995 2.097.793 2.171.817
Jan 2023 2.082.411 2.088.232 2.115.730 2.132.597 2.172.776 2.249.445
Jan 2024 2.156.851 2.162.874 2.191.360 2.208.831 2.250.439 2.329.849
Jan 2025 2.233.952 2.240.183 2.269.695 2.287.790 2.330.879 2.413.128
173

Lampiran 5 Produksi PDT Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Ton)

Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT
Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Jan 2010 6.421.763 32.772.134 32.264.040 31.755.945 33.296.488 33.296.488
Jan 2011 6.725.947 34.324.478 33.792.317 33.260.155 34.873.670 34.873.670
Jan 2012 7.045.796 35.956.761 35.399.293 34.841.824 36.532.069 36.532.069
Jan 2013 7.382.128 37.673.160 37.089.082 36.505.002 38.275.931 38.275.931
Jan 2014 7.735.804 39.478.072 38.866.011 38.253.947 40.109.721 40.109.721
Jan 2015 8.107.731 41.376.124 40.734.635 40.093.145 42.038.142 42.038.142
Jan 2016 8.498.863 43.372.184 42.699.749 42.027.312 44.066.139 44.066.139
Jan 2017 8.910.204 45.471.377 44.766.396 44.061.414 46.198.919 46.198.919
Jan 2018 9.342.810 44.744.667 46.939.887 46.200.676 45.460.582 45.460.582
Jan 2019 9.110.504 45.178.387 45.772.740 45.051.909 45.901.241 45.901.241
Jan 2020 9.198.842 45.616.316 46.216.568 45.488.748 46.346.177 46.346.177
Jan 2021 9.288.039 46.058.495 46.664.705 45.929.827 46.795.431 46.795.431
Jan 2022 9.378.101 46.504.965 47.117.192 46.375.189 47.249.045 47.249.045
Jan 2023 9.469.037 46.955.769 47.574.072 46.824.874 47.707.061 47.707.061
Jan 2024 9.560.856 47.410.948 48.035.388 47.278.925 48.169.523 48.169.523
Jan 2025 9.653.567 47.870.544 48.501.182 47.737.384 48.636.473 48.636.473
174

Lampiran 6 Keuntungan (profit) PG Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)

Profit PG Skenario Profit PG Skenario


Profit PG Aktual Profit PG Skenario 1 Profit PG Skenario 2 Profit PG Skenario 3
4 5
Jan 2010 1.140.912.560.864 1.293.363.832.865 1.273.311.731.069 1.280.755.570.541 1.342.887.531.360 1.386.116.857.298
Jan 2011 1.225.784.929.027 1.386.444.038.487 1.364.948.835.139 1.372.994.994.682 1.439.601.671.899 1.486.046.822.993
Jan 2012 1.317.205.673.527 1.486.564.977.698 1.463.517.514.280 1.472.214.651.102 1.543.634.669.596 1.593.543.764.686
Jan 2013 1.415.688.735.092 1.594.271.816.912 1.569.554.482.719 1.578.955.187.806 1.655.553.400.364 1.709.194.031.571
Jan 2014 1.521.788.701.093 1.710.152.444.153 1.683.638.513.951 1.693.799.629.302 1.775.969.172.383 1.833.629.945.216
Jan 2015 1.636.104.031.133 1.834.840.838.443 1.806.393.757.875 1.817.376.719.232 1.905.541.230.896 1.967.533.426.578
Jan 2016 1.759.280.538.968 1.969.020.705.852 1.938.493.320.479 1.950.364.527.602 2.044.980.540.431 2.111.639.910.153
Jan 2017 1.892.015.151.187 2.113.429.403.401 2.080.663.126.903 2.093.494.343.591 2.195.053.866.451 2.266.742.568.044
Jan 2018 2.035.059.964.623 2.129.224.146.671 2.233.686.090.337 2.247.554.876.581 2.211.551.021.214 2.283.914.024.593
Jan 2019 2.035.657.786.036 2.201.205.939.809 2.230.164.311.551 2.244.102.966.374 2.286.409.469.132 2.361.358.964.860
Jan 2020 2.108.425.446.103 2.275.720.883.886 2.305.666.441.297 2.320.169.786.811 2.363.903.259.493 2.441.531.706.076
Jan 2021 2.183.794.535.335 2.352.859.151.255 2.383.826.866.242 2.398.915.733.973 2.444.126.211.789 2.524.529.373.118
Jan 2022 2.261.858.062.618 2.432.714.134.446 2.464.740.231.549 2.480.436.204.062 2.527.175.496.027 2.610.452.559.560
Jan 2023 2.342.712.362.467 2.515.382.561.278 2.548.504.562.664 2.564.830.000.479 2.613.151.752.496 2.699.405.451.660
Jan 2024 2.426.457.213.958 2.600.964.614.072 2.635.221.386.160 2.652.199.455.628 2.702.159.215.812 2.791.495.956.785
Jan 2025 2.513.195.963.898 2.689.564.053.139 2.724.995.854.892 2.742.650.557.073 2.794.305.843.403 2.886.835.836.426
175

Lampiran 7 Pendapatan (profit) Petani Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)

Profit Petani Profit petani Profit Petani Profit petani Profit petani
Profit Petani
per Ha per Ha per Ha per ha per ha
per Ha Aktual
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Jan 2010 4.332.294 7.982.294 8.374.764 8.701.063 9.105.034 10.200.046
Jan 2011 5.329.259 8.979.259 9.387.681 9.723.203 10.143.528 11.276.892
Jan 2012 6.363.641 10.013.641 10.438.613 10.783.677 11.220.970 12.394.085
Jan 2013 7.436.813 11.086.813 11.528.955 11.883.893 12.338.789 13.553.104
Jan 2014 8.550.197 12.200.197 12.660.154 13.025.307 13.498.465 14.755.482
Jan 2015 9.705.266 13.355.266 13.833.704 14.209.426 14.701.530 16.002.804
Jan 2016 10.903.544 14.553.544 15.051.155 15.437.813 15.949.571 17.296.714
Jan 2017 12.146.611 15.796.611 16.314.110 16.712.084 17.244.231 18.638.912
Jan 2018 13.436.101 17.088.505 17.624.232 18.033.913 18.589.721 20.033.773
Jan 2019 14.775.328 18.426.001 18.984.886 19.406.701 19.982.665 21.477.771
Jan 2020 16.161.913 19.812.117 20.393.657 20.827.995 21.426.209 22.974.173
Jan 2021 17.598.886 21.248.581 21.853.622 22.300.903 22.922.152 24.524.839
Jan 2022 19.088.037 22.737.181 23.366.599 23.827.259 24.472.355 26.131.698
Jan 2023 20.631.221 24.279.770 24.934.474 25.408.962 26.078.744 27.796.744
Jan 2024 22.230.357 25.878.265 26.559.196 27.047.977 27.743.314 29.522.042
Jan 2025 23.887.432 27.534.649 28.242.785 28.746.341 29.468.130 31.309.730
176

Lampiran 8 PAD Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)

PAD Aktual PAD Skenario 1 PAD Skenario 2 PAD Skenario 3 PAD Skenario 4 PAD Skenario 5
Jan 2010 123.246.498.259 579.976.010.594 570.624.067.117 573.806.967.166 600.844.792.761 619.097.174.824
Jan 2011 131.922.340.338 620.289.635.210 610.295.076.323 613.734.181.428 642.690.792.770 662.300.967.676
Jan 2012 141.267.571.998 663.617.109.826 652.932.474.652 656.648.426.402 687.667.972.174 708.740.701.212
Jan 2013 151.334.729.402 710.190.284.641 698.764.486.765 702.779.592.772 736.017.342.154 758.665.608.663
Jan 2014 162.180.503.704 760.259.114.942 748.037.160.404 752.375.528.510 787.998.740.973 812.344.400.614
Jan 2015 173.866.070.775 814.093.086.378 801.015.769.518 805.703.452.786 843.892.316.423 870.066.799.044
Jan 2016 186.457.447.132 871.982.752.947 857.986.328.344 863.051.481.691 904.000.125.502 932.145.192.718
Jan 2017 200.025.874.158 934.241.396.615 919.257.225.237 924.730.274.639 968.647.860.629 998.916.423.523
Jan 2018 214.648.232.865 939.991.860.337 985.160.985.734 991.074.811.026 974.695.812.216 1.005.249.080.309
Jan 2019 214.709.343.499 970.364.287.393 982.439.058.832 988.380.939.163 1.006.282.281.273 1.037.927.623.914
Jan 2020 222.147.815.416 1.001.805.995.836 1.014.296.672.650 1.020.477.527.436 1.038.981.173.945 1.071.757.629.169
Jan 2021 229.852.211.205 1.034.355.055.472 1.047.276.397.123 1.053.705.027.232 1.072.832.099.892 1.106.780.101.341
Jan 2022 237.832.038.438 1.068.050.895.707 1.081.418.190.494 1.088.103.713.950 1.107.876.083.401 1.143.037.510.226
Jan 2023 246.097.144.645 1.102.934.354.152 1.116.763.438.205 1.123.715.301.556 1.144.155.613.963 1.180.573.842.499
Jan 2024 254.657.729.464 1.139.047.726.952 1.153.355.003.921 1.160.582.994.007 1.181.714.698.639 1.219.434.655.939
Jan 2025 263.524.357.236 1.176.434.820.930 1.191.237.282.373 1.198.751.538.519 1.220.598.916.314 1.259.667.135.591
177

Lampiran 9 Perkonomian Wilayah Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)

Perekonomian Wilayah Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario
Aktual 1 2 3 4 5
Jan 2010 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000
Jan 2011 371.735.492.900.243 372.939.864.703.707 372.769.018.000.576 372.832.592.553.409 373.315.121.341.429 373.648.275.346.657
Jan 2012 403.610.898.919.927 406.149.175.180.263 405.785.632.436.711 405.921.500.137.482 406.949.718.312.632 407.660.632.278.935
Jan 2013 438.102.203.061.803 442.114.871.416.590 441.534.621.403.011 441.752.409.729.288 443.395.835.456.948 444.533.681.563.738
Jan 2014 475.420.238.930.169 481.059.594.249.508 480.236.269.357.524 480.546.599.855.446 482.881.688.380.017 484.500.626.794.659
Jan 2015 515.792.698.509.980 523.223.759.242.332 522.128.424.299.758 522.543.005.324.981 525.653.778.744.660 527.813.416.350.941
Jan 2016 559.465.475.432.192 568.866.968.812.368 567.467.891.802.921 567.999.619.464.597 571.978.351.004.571 574.744.240.236.482
Jan 2017 606.704.115.106.641 618.269.536.344.621 616.531.939.520.759 617.195.007.531.161 622.142.964.902.348 625.587.146.086.213
Jan 2018 657.795.380.219.556 671.734.131.169.181 669.619.920.922.113 670.429.940.113.468 676.458.192.923.401 680.659.783.814.645
Jan 2019 713.048.940.768.234 728.486.733.731.570 727.055.027.700.141 728.029.156.034.029 734.117.596.659.373 739.126.859.754.685
Jan 2020 771.583.973.543.912 789.165.902.952.780 787.862.357.771.791 789.010.673.645.463 795.779.606.363.942 801.664.531.393.839
Jan 2021 834.166.714.035.077 854.024.741.727.081 852.864.508.037.008 854.201.812.881.275 861.702.636.003.378 868.535.970.634.217
Jan 2022 901.058.088.778.816 923.332.107.005.687 922.331.505.667.552 923.873.642.968.936 932.161.197.708.972 940.020.756.113.650
Jan 2023 972.535.266.614.283 997.373.571.975.166 996.550.173.344.997 998.314.096.444.110 1.007.446.885.434.250 1.016.415.876.133.640
Jan 2024 1.048.892.650.732.970 1.076.452.446.372.490 1.075.825.154.639.360 1.077.828.998.770.790 1.087.869.418.062.760 1.098.036.792.216.980
Jan 2025 1.130.442.930.672.520 1.160.890.858.427.580 1.160.480.001.328.950 1.162.743.160.162.440 1.173.757.745.536.660 1.185.218.566.936.820
178
179

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bondowoso, Jawa Timur pada tanggal 16 Juni 1978 dari
bapak Drs. Sumadi dan ibu Sunaryati. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Penulis menikah dengan Sagiyanta dan dikaruniai dua orang putri,
yakni Sausan Salma Izdihar Sagita dan Sanas Esa’al Sagita.

Pendidikan formal penulis diawali di TK Pertiwi, Maesan-Bondowoso. Kemudian


melanjutkan studi di SD Negeri Dabasah 7 Bondowoso lulus tahun 1990. Pada
tahun 1993 penulis lulus dari SMP Negeri 1 Bondowoso. Pada tahun yang sama,
penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Jember dan lulus pada tahun 1996.
Penulis diterima pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan Universitas Jember tahun 1996 melalui jalur UMPTN (Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Tahun 2000 penulis lulus dari studi S1 dan
melanjutkan studi ke jenjang S2 pada tahun 2006 di Universitas Brawijaya-
Malang pada Fakultas Ekonomi. Tahun 2008 penulis mendapatkan gelar master
dari jurusan ekonomi pembangunan fakultas ekonomi Universitas Brawijaya.
Tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB.

Sejak tahun 2004, penulis diangkat sebagai staff pengajar pada jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi di Universitas Jember.

Sebagai persyaratan proses akhir program Doktor di Program Studi PWD, penulis
telah menusun jurnal Internasional dan dalam tahap review 2 pada jurnal Sugar
Tech (indeks scopus), manuscripst No. SUTE-D-15-00090, dengan judul
Development Agroindustry Sugarcane Model As the Effort to Increase the
Economic Sector in East Java, Indonesia. Sedangkan jurnal nasional terakreditasi
pada Jurnal Ekonomi dan kebijakan Publik (JEKP) dengan judul Menuju
Swasembada Gula Nasional: Model kebijakan untuk meningkatkan Produksi gula
dan Pendapatan Petani tebu di Jawa Timur (Achieving National Sugar Self
Sufficiency: A Policy Model to Increase Sugar production and Boost Sugar Cane
Farmer’s). Nomor penerbitan jurnal 10/JEKP/VII/2015. Penelitian mengenai tebu
dengan judul Nation’s Competitivness Improvement: Local Wisdom Contents,
Sugarcane Productivity And sugarcane Derived Product (Peningkatan Daya Saing
bangsa: Muatan kearifan Lokal, Produksi Tebu dan Produk Derivasi tebu (PDT))
turut serta dipresentasikan dalam Seminar Internasional yang diterbitkan dalam
buku dengan judul Dinamika Budaya Indonesia dalam Pusaran Pasar global
dengan ISBN: 978-602-258-231-1 tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai