DUWI YUNITASARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Duwi Yunitasari
NRP H-162100021
RINGKASAN
Jawa Timur (Jatim) merupakan daerah penghasil tebu dan gula terbanyak
di Indonesia. Pada tahun 2013, produksi tebu Jawa timur menyumbang 50,75%
dan produksi gula menyumbang sebesar 51,32% terhadap produksi Nasional.
Potensi tebu sebagai bahan baku gula dan produk derivasi tebu (PDT) memiliki
potensi yang besar. Hal ini mendorong pemerintah pusat menetapkan target
produksi gula untuk Jatim sebesar 1,65 juta ton dalam rangka mendukung
program swasembada gula nasional. Produksi gula Jatim tidak bisa dipisahkan
dari peran pabrik gula (PG) sebagai tempat mengolah tebu menjadi gula. Dari 62
PG di Indonesia, terdapat 31 PG yang ada di Jawa Timur. Fakta yang ada,
sebagian besar (53%) PG di Jawa didominasi oleh pabrik dengan kapasitas giling
kecil (lebih besar dari 3.000 Ton Cane per Day), berumur lebih dari 75 tahun, dan
kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat
efisiensi rendah dan biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil lebih
tinggi. Jika hal ini terus berlangsung, PG yang ada di Jatim akan mengalami
kerugian dan tutup. Pada masa yang akan datang, diharapkan PG bisa mengolah
PDT untuk menambah keuntungan PG.
Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisis dampak agroindustri gula
tebu terhadap produksi Gula Kristal Putih (GKP), produksi PDT, Pendapatan Asli
Daerah (PAD), keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah;
(ii) menganalisis dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN)
terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP, produksi PDT, keuntungan
PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (iii) merumuskan kebijakan
alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan PG,
pendapatan petani dan perekonomian wilayah Jawa Timur. Untuk menjawab
tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak
kebijakan RIGN dianalisis dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: (i) skenario 1,
peningkatan luas areal tebu sebesar 3,2%/tahun; (ii) skenario 2, peningkatan
produktivitas tebu sebesar 1,6%/tahun; (iii) skenario 3, peningkatan rendemen
sebesar 2,41% /tahun. Sedangkan untuk menyusun alternatif kebijakan digunakan
2 skenario, yaitu: (i) skenario 4, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan
luas areal tanam (3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 2,41%,
dan (ii) skenario 5, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal
tanam (3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 6%.
Hasil analisis menunjukkan pengembangan agroindustri gula tebu
mempunyai dampak positif terhadap perekonomian wilayah Jawa Timur,
produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan PAD. Hasil
simulasi model dengan menggunakan kebijakan/program RIGN mampu
meningkatkan perekonomian wilayah, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan
PG, penerimaan petani dan PAD. Bioethanol dari ampas merupakan
pengembangan PDT yang memberikan penerimaan terbesar bagi perekonomian
wilayah. Sehingga jika ingin mengembangkan jenis PDT, maka perlu
memfokuskan pada pengembangan bioethanol dari ampas. Sumbangan tambahan
peningkatan terhadap perekonomian wilayah rata-rata sebesar 1,65%, produksi
GKP 1,82%, PDT 79,98%, keuntungan PG 9,17%, penerimaan petani 26,96% dan
PAD 1,68%. Peningkatan rendemen (skenario 3) menyumbang tambahan
penerimaan tertinggi bagi perekonomian wilayah Jawa Timur. Namun jika hanya
mengandalkan kebijakan peningkatan rendemen saja (skenario 3), maka target
produksi GKP tidak tercapai.
Kebijakan alternatif dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal,
peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen) memiliki kinerja yang
lebih baik dibandingkan dengan skenario 4. Perekonomian wilayah Jawa Timur,
produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan PAD pada
skenario 5 mencapai kinerja tertinggi dibanding skenario 1, 2, 3, dan 4. Pada
skenario 5, target produksi GKP Jatim dapat terpenuhi pada tahun 2016 sebesar
1.738.437 ton. Sumbangan tambahan peningkatan PDRB terhadap perekonomian
wilayah rata-rata sebesar 2,63%, produksi GKP 6,92%, PDT 80,39%, keuntungan
PG 13,69%, pendapatan petani 33,70% dan PAD 6,40%.
Kebijakan RIGN secara simultan mampu meningkatkan produksi GKP
sehingga mencapai target sesuai program pusat untuk mendukung program
swasembada gula nasional, meningkatkan produksi PDT, PAD, keuntungan PG,
pendapatan petani dan perekonomian wilayah Jatim. Sehingga alternatif kebijakan
dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal, peningkatan produktivitas
dan peningkatan rendemen) mampu mendorong perkembangan sistem
agroindustri gula tebu secara keseluruhan lebih baik dibanding skenario lainnya.
Kebijakan yang sebaiknya tetap diterapkan oleh pemerintah dalam upaya
mendukung program swasembada gula nasional dan pengembangan PDT, yaitu:
1) tetap melaksanakan program RIGN, 2) memfokuskan pada peningkatan
rendemen, karena rendemen memiliki pengaruh yang sangat besar dalam upaya
meningkatkan produksi gula, 3) memfokuskan pada petani TR memiliki peran
yang sangat besar dalam pengusahaan gula tebu, 4) mempermudah pemberian
kredit sebagai upaya meningkatkan kualitas tanaman tebu, 5) merubah sistem bagi
hasil berdasarkan rendemen, dan 6) diharapkan dapat memberikan insentif pada
petani TR dalam bentuk kepastian harga.
Kata kunci: Gula tebu, dinamika sistem, model, RIGN, perekonomian wilayah,
harga.
SUMMARY
East Java is an area producing sugar cane and most in Indonesia. In 2013,
sugarcane production in East Java contributed 50.75% and sugar production
accounted for 51.32% of the Nasional.Potensi production of sugar cane as raw
material and product derivation cane (PDC) has great potential. This encourages
the central government set a target for sugar production amounted to 1.65 million
tons in East Java in order to support the national sugar self-sufficiency program.
East Java sugar production cannot be separated from the role of sugar factories
(SFs) as buildings where sugarcane is processed into sugar. Out of 62 SFs in
Indonesia, 31 SFs are located in East Java. Most SFs (53%) in Java are dominated
by over 75-year-old factories with small-milling capacity (greater than 3,000 ton
cane/day) and in adequate maintenance. These conditions have resulted in low
efficiency levels and high production costs. If there are no improvements in the
near future, the SFs in East Java will undoubtedly suffer losses and even worst
close down. To avoid these unfavorable things, the SFs are expected to be able to
increase their profits with PDCs.
This study aimed to (i) analyze the impact of the sugarcane agroindustry
on the production of plantation white sugar (PWS), PDC production, Real
Regional Revenues, SFs profit, farmer revenue and regional economy; (ii) analyze
the impact of the policy of the Revitalization of National Sugar Industry (RNSI)
on the development of PDC in terms of PWS production, PDC production, SFs
profit, farmer revenue and regional economy; (iii) formulate an alternative policy
on PWS production, PDC production, real regional revenue, SFs profit, farmer
revenue and the regional economy of East Java.
To achieve the above objectives, a system dynamics approach was
specifically employed. RNSI policy impacts were analyzed using three scenarios:
(i) scenario 1 was to increase sugarcane planting areas by 3.2% / year; (ii)
scenario 2 was to increase sugarcane productivity by 1.6% / year; and (iii)
scenario was to increase yield by 2.41% / year. In the meantime, to formulate an
alternative policy, two scenarios were used: (i) scenario 4 was to combine
scenarios 1,2, and 3, to increase planting areas (3.5%), productivity (1.6%) and
yield by 2.41 %; and (ii) scenario 5 was to combine scenarios 1,2, and 3, to
increase planting areas (3.5%), to increase productivity (1.6%) and yield by 6%.
The analysis results showed that the development of sugarcane
agroindustry had a positive impact on the economy of East Java, PWS
production, PDC production, SFs profit, farmer revenue and real regional revenue.
The results of model simulations using RNSI policy / program were able to
improve the economy of the region, PWS production, PDC production, SFs
profit, farmer revenue and real revenue. Bioethanol from bagass was the
development of PDC that contributed the biggest revenue to the region.
Therefore, if PDC types are to be developed, it is necessary to focus on the
development of bioethanol from bagass. The contribution of additional increase
to the regional economy was on average by 1.65%, PWS production 1.82%, PDC
79.98%, sugar factory profit 9.17%, farmer revenue 26.96%, and real revenue
1.68%. The increased yield (scenario 3) accounted for the highest additional
revenue for the regional economy of East Java. However, relying only on the
policy of increasing the yield (scenario 3) makes PWS production target fail to
achieve.
An alternative policy with scenario 5 (a combination of the increase in
planting area, productivity and yield) had a better performance compared to
scenario 4. The economy of East Java, PWS production, PDC production, SFs
profit, farmer revenue and real revenue in scenario 5 had the highest performance
compared to scenarios 1, 2, 3, and 4. In scenario 5, the production target of East
Java PWS can be reached in 2016, amounting to 1,738,437 tons. The contribution
of additional increase to PDRB of the regional economy was
on average by 2.63%, PWS production 6,92%, PDC 80.39%, SFs profit 13.69%,
farmer revenue 33.70% and real revenue 6.40%.
RNSI policy was simultaneously able to increase PWS production,
achieving the target in accordance with the central government program to
support the national sugar self-sufficiency program, to increase PDC production,
real revenue, SFs profit, farmer revenue and the regional economy of East Java.
As a result, analternative policy with scenario 5 was able to enhance the
development of sugarcane agroindustry system as a whole, which was the best
compared to the other scenarios.
The policies which should be continuously applied by the government in
an effort to support the national sugar self-sufficiency program and PDC
development are: 1) to continue implementing RNSI program, 2) to focus on
increasing yield, because it has a significant influence on the efforts to increase
the production of PWS, 3) to focus on smallholders who have a very big role in
the cultivation of sugarcane, 4) to facilitate the provision of credit in order to
improve the quality of sugarcane, 5) to change yield-based revenue sharing and 6)
provide a system an incentive to smallholders by price.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PEREKONOMIAN
WILAYAH DI JAWA TIMUR
DUWI YUNITASARI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan
(Peneliti di Kementerian Pertanian RI)
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini adalah
pengembangan wilayah, dengan judul Model Pengembangan Agroindustri Gula
Tebu sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah di Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim,
MEc, Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Ibu Prof. Dr. Ir. Rita
Nurmalina, MS, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
motivasi, dukungan, dan saran sejak tahap persiapan penelitian hingga
penyelesaian disertasi ini.
Terimakasih pula penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Agus pakpahan dan
Dr. Ir. Setia Hadi, MS sebagai penguji luar komisi yang telah memberi masukan,
wawasan dan diskusi-diskusi mengenai pertebuan dan kewilayahan yang sangat
berarti bagi peningkatan kualitas disertasi ini.
Terimakasih juga penulis haturkan kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri,
MS selaku wakil dari prodi, Dr. Ir. Arya Hadi sebagai pimpinan sidang atas
masukan dan arahannya pada sidang tertutup. Ucapan terimakasih juga penulis
ucapkan pada Dr. Ir. Sri Mulatsih, Msc. Agr selaku wakil dari prodi pada sidang
promosi.
Penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada
Rektor Universitas Jember yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan
studi program doktor di PWD IPB melalui Program Hibah Kompetisi Institusi
(PHKI) Dekan FE, Kajur IE, Sekjur IE, Kaprodi Unej dan rekan-rekan sejawat
yang senantiasa memberikan dorongan moril, bantuan, diskusi-diskusi singkat
namun sangat bermakna, dan juga semangat. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman program studi PWD 2010 atas kebersamaan dan
segala warna dalam kebersamaan kita.
Di samping itu, penghargaan, ungkapan terimakasih dan rasa syukur
penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Sumadi, Mama Sunaryati, suami tercinta
Sagiyanta, anak-anakku: Salma dan Sanaz, Kakakku: Mas Eko dan Ria, Ibu
Mertua, Bu Lek, Lek Joko, serta seluruh keluarga besar Soenarwadi, atas segala
doa, semangat, dan kasih sayangnya sehingga penulis bisa menyelesaikan
program doktor. Tanpa do’a, dukungan, ketulusan, semangat, cinta kasih dari
keluarga mungkin penulis tidak mungkin sampai pada tahap ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Duwi Yunitasari
DAFTAR ISI
Hal
Ringkasan
Summary
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Lampiran
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 16
1.4 Manfaat Penelitian 16
1.5 Kebaruan Penelitian (Novelty) 16
2 TINJAUAN PUSTAKA 18
2.1 Kebijakan Industri pergulaan di Indonesia 18
2.1.1 Periode kolonial Belanda 18
2.1.2 Periode Kemerdekaan 20
2.1.3 Periode Liberalisasi perdagangan 20
2.1.4 Periode Industri terkelola 20
2.2 Pembangunan Sub Sektor Perkebunan Tebu 21
2.3 Produk Derivasi Tebu (PDT) 24
2.4 Teori Resource Base 29
2.5 Teori Economies of Scope 30
2.6 Konsep Pembangunan Wilayah 30
2.7 Agroindustri Tebu dan Keterkaitannya dengan Ekonomi 31
Wilayah
2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan GKP dan PDT 36
2.9 Potensi Diversifikasi Industri Tebu Nasional 36
2.9.1 Industri Berbasis Tebu yang Modern 36
2.10 Konsep Dana Talangan 37
2.11 Sistem Dinamik 38
2.12 Penelitian Terdahulu 41
2.13 Hipotesis 49
3 KERANGKA PEMIKIRAN 52
4 METODE PENELITIAN 57
4.1 Cakupan Penelitian 58
4.2Jenis dan Sumber Data 58
4.3 Metode Analisis Data 58
4.3.1 Analisis Kebutuhan 58
4.3.2 Formulasi Masalah dalam sistem 59
4.3.3 Sistem Dinamik 60
4.3.3.1 Struktur Model 60
4.3.3.2 Identifikasi Sistem 60
4.3.3.3 Pengembangan Model 63
a. Sub Model Bahan Baku 63
b. Sub model Pengolahan GKP dan Co-Product 66
c. Submodel pendapatan (profit) petani 70
c. d. Sub Model keuntungan (profit) PG dari GKP 75
dan PDT
e. Sub Model Peningkatan Ekonomi Wilayah 81
dari GKP dan PDT
4.3.4 Validasi Model 84
4.3.5 Simulasi Kebijakan 85
5 KERAGAAN SISTEM PENGEMBANGAN GKP DAN PDT 88
5.1 Perkembangan Keragaan Penyediaan Bahan Baku GKP dan PDT 88
di Jawa Timur
5.1.1 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di 88
Jawa Timur
5.1.2 Perkembangan Industri GKP di Jawa Timur 92
5.2 Perkembangan Keragaan Produk derivasi tebu (PDT) di Jawa 97
Timur
5.2.1 Tetes 97
5.2.2 Ampas 99
5.2.3 Blotong 99
5.3 Perkembangan Keragaan PDRB Wilayah Jawa Timur 101
5.3.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 101
5.3.2 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) 104
5.4 Tenaga kerja dan Pendapatan dari Sektor Tebu 106
5.4.1 Tenaga Kerja pada PG kelas 2 106
5.4.2 Tenaga Kerja pada PG kelas 3 107
5.4.3 Upah tenaga kerja Tebang Muat Angkut (TMA) 108
5.4.4 Perhitungan pembayaran upah 108
6 HASIL DAN PEMBAHASAN 109
6.1 Model dan Dinamika Pengembangan Agroindustri Gula Tebu 109
6.1.1 Validasi Model 109
6.1.2 Perilaku Sub model Bahan Baku 110
6.1.3 Perilaku sub model pengolahan 112
6.1.4 Perilaku sub model pendapatan petani 114
6.1.5 Perilaku sub model keuntungan PG 114
6.1.6 Perilaku sub model Perekonomian Wilayah 115
6.2 Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu pada kondisi 116
Aktual
6.3 Perilaku Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu dengan 119
pemanfaatan PDT
6.4 Dampak Kebijakan RIGN terhadap produksi GKP, produksi 121
PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian
wilayah
6.4.1 Skenario 1: Peningkatan Luas Areal sebesar 3,2 % 122
6.4.2 Skenario 2: Peningkatan produktivitas sebesar 1,6 % 126
6.4.3 Skenario 3: Peningkatan Rendemen sebesar 2,41% 128
6.5 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario 1, 2, dan 3 130
6.6 Skenario Kebijakan Alternatif Pengembangan Agroindustri Gula 134
Tebu
6.6.1 Skenario 4, Gabungan Skenario 1 Peningkatan Luas Areal 134
3,2% , Skenario 2 Peningkatan Produktivitas 1,6%,
dan Skenario 3 Peningkatan Rendemen 2,4%
6.6.2 Skenario 5, Gabungan Skenario 1 Peningkatan Luas 137
Areal 3,2% , Skenario 2 Peningkatan Produktivitas
1,6%, dan Skenario 3 Peningkatan Rendemen 6 %
6.7 Perbandingan Antar Skenario Alternatif 140
7 Sintesa Hasil dan Konsep Pengembangan Agroindustri Gula Tebu di 146
Jawa Timur
7.1 Dampak Agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi 146
PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan
perekonomian wilayah pada kondisi aktual
7.2 Dampak Kebijakan RIGN terhadap pengembangan PDT pada 148
produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan
petani dan perekonomian wilayah pada kondisi aktual
7.3 Kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, 150
PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian
wilayah pada kondisi aktual
7.4 Kebijakan dalam industri gula di Jawa Timur 150
8 SIMPULAN DAN SARAN 155
8.1 Simpulan 155
8.2 Saran 155
Hal
1 Produksi dan Produktivitas Tebu 2
2 Perkembangan Impor Gula Nasional Tahun 2009 sampai 2013 6
3 Rata-Rata Perkembangan Harga Gula Kristal Putih (GKP) 7
Indonesia dan Rata-Rata Dunia Tahun 2007-2013
4 Perkembangan Produksi Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011 11
5 Perkembangan Luas Areal Tebu Tahun 2007-2011 12
6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Industri Gula 14
7 Peraturan Pemerintah terkait gula 21
8 Jenis Produk Turunan Tebu di Indonesia 28
9 Potensial bagasse berdasar produk turunan di negara yang berbeda 29
10 Negara Produsen Ethanol 29
11 Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Tebu Menurut Pulau di 33
Indonesia
12 Penelitian Terdahulu 41
13 Kerangka Pengembangan Industri Gula 54
14 Analisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dalam model 58
pengembangan agroindustri gula tebu
15 Analisis Formulasi Permasalahan pelaku yang terlibat dalam model 60
dinamika sistem pengembangan agroindustri gula tebu
16 Persamaan yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku 65
17 Persamaan yang digunakan pada sub model pengolahan GKP dan 68
co product
18 Persamaan yang digunakan pada sub model Profit petani 71
19 Persamaan yang digunakan pada submodel profit PG dari PDT dan 77
GKP
20 Persamaan yang digunakan pada sub model Perekonomian 81
Wilayah
21 Target Revitalisasi Industri Gula BUMN 86
22 Kondisi sektor on-farm di Jawa Timur 87
23 Alur konversi dari tebu menjadi produk samping (co-product) 87
hingga menjadi 5 jenis PDT (co-product)
24 Kapasitas Giling Pabrik Gula Tahun 2011 (MTT 2010/2011) 94
25 Laporan DO Tetes PG X Tahun 2013 (dalam ton) 98
26 Pertumbuhan tiap sektor di Jawa Timur berdasar ADHK tahun 102
2000-2010
27 Pertumbuhan tiap sektor di Jawa Timur tahun 2000-2010 105
28 Jumlah tenaga kerja pada PG kelas 2 106
29 Jumlah tenaga kerja pada PG kelas 3 107
30 Hasil uji validasi kinerja model pengembangan agroindustri gula 109
tebu di Jawa Timur
DAFTAR GAMBAR
Hal
1 Perkembangan konsumsi gula oleh rumah tangga di Indonesia, 5
1990-2009
2 Provinsi Sentra Produksi Tebu 2009-2011 11
3 Kontribusi Sektor Perkebunan terhadap PDRB Jatim tahun 2000- 15
2010
4 Flow Chart Perumusan masalah
5 Alur proses tebu menjadi gula 26
6 Komposisi produksi tebu dan produk samping saat panen dan 27
penggilingan
7 Grafik Economies of scope 31
8 Proses Dana Talangan 37
9 Pola umum perilaku dinamika sistem 40
10 Kerangka Pemikiran Pengembangan perekonomian wilayah Jatim 56
11 Distribusi PG dan Perkebunan Tebu di Jawa Timur 57
12 Diagram sebab akibat model pengembangan agroindustri gula 61
tebu dan peningkatan perkonomian Jatim
13 Diagram Input-output rancangan model pengembangan 62
Agroindustri gula tebu
14 Diagram Alir sub model bahan baku 64
15 Diagram alir sub model pengolahan GKP dan Co-Product 67
16 Diagram alir sub model profit petani 71
17 Diagram alir sub model profit PG dari GKP dan PDT 76
18 Diagram alir sub model peningkatan ekonomi wilayah dari GKP dan 81
PDT
19 Luas Areal Tebu Jawa Timur menurut status pengusahaannya Tahun 89
2009-2013
20 Peta struktur ruang dan pola peta pemanfaatan ruang Provinsi Jawa 89
Timur tahun 2000-2015
21 Produksi Tebu Jawa Timur Tahun 2009-2013 90
22 Produktivitas Tebu Jatim menurut pengusahaan tahun 2009-2013 91
23 Proporsi Luas Areal TR dan TS Jawa Timur 92
24 Perkembangan rendemen tebu di Jawa Timur tahun 2005-2013 92
25 Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Terpakai Industri Gula di Jawa 93
Timur
26 Kelas Kapasitas giling PG di Jawa Timur 96
27 Distribusi PG dan Kapasitas Giling 96
28 Jumlah tetes dari tebu yang dihasilkan di Jawa Timur 97
tahun 2005-2013
29 Harga rata-rata penjualan tetes di PT. Karisma Pemasaran Bersama 98
(PT. KPBN)
30 Jumlah Ampas yang dihasilkan oleh PG “X” 99
31 Jumlah Blotong yang dihasilkan PG “X” di Jawa Timur 100
32 Jumlah Biokompos dan Ampas yang dihasilkan Tahun 2005-2013 di 100
Jawa Timur
33 PDRB Jawa Timur tahun 2000-2010 berdasar ADHK 101
34 Perbandingan Jumlah PDRB Sub sektor Perkebunan dan Sektor 103
Pertanian (ADHK)
35 Kontribusi Tanaman Perkebunan terhadap PDRB Jatim Sumber: 103
BPS, 2014
36 PDRB Jatim berdasar ADHB 104
37 PDRB sektor perkebunan tahun 2000-2010 105
38 Kontribusi Perkebunan terhadap PDRB Jatim 106
39 Luas Areal perkebunan tebu kondisi aktual tahun 2010-2025 110
40 Produksi Tebu Jatim kondisi aktual tahun 2010-2025 111
41 Produksi GKP pada kondisi aktual, tahun 2010-2025 112
42 Produksi produk ikutan kondisi aktual tahun 2010-2025 113
43 Kapasitas giling kondisi aktual tahun 2010-2025 113
44 Profit petani tebu kondisi aktual tahun 2010-2025 114
45 Profit PG kondisi aktual tahun 2010-2025 115
46 Perekonomian wilayah Jatim kondisi aktual pada tahun 2010-2025 116
47 Produksi GKP dan PDT Jatim kondisi aktual tahun 2010-2025 117
48 Profit Petani Tebu dan Profit PG dari gula pada kondisi aktual Jatim 118
tahun 2010-2025
49 Perekonomian Wilayah pada kondisi aktual di Jatim tahun 2010- 119
2025
50 Penerimaan seluruh petani tebu setelah ada penambahan PDT di 119
Jatim tahun 2010-2025
51 Penerimaan seluruh PG setelah ada penambahan PDT di Jatim tahun 120
2010-2025
52 Penerimaan dari pengembangan 5 jenis PDT di Jatim tahun 2010- 120
2025
53 Perekonomian Wilayah setelah ada penambahan PDT di Jatim tahun 121
2010-2025
54 Produksi GKP dan Produksi PDT Jatim skenario 1 tahun 2010-2025 123
55 PAD dan Profit PG skenario 1 tahun 2010-2025 124
56 Profit petani skenario 1 pada tahun 2010 –2025 125
57 Perekonomian Wilayah skenario 1 tahun 2010-2025 125
58 Produksi GKP dan Produksi PDT skenario 2 tahun 2010-2025 126
59 Profit PG dan PAD skenario 2 tahun 2010-2025 127
60 Profit Petani/ ha skenario 2 tahun 2010-2025 127
61 Perekonomian Wilayah pada skenario 2 tahun 2010-2025 128
62 Produksi GKP dan PDT skenario 3 tahun 2010-2025 128
63 Profit PG dan PAD skenario 3 tahun 2010-2025 129
64 Profit Petani skenario 3 tahun 2010-2025 129
65 Perekonomian Wilayah skenario 3 tahun 2010-2025 130
66 Perbandingan Produksi GKP pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 131
3
tahun 2010-2025
67 Produksi PDT kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3 tahun 2010-2025 131
68 Profit PG pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, tahun 2010- 132
2025
69 Profit Petani per ha kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, tahun 2010- 132
2025
70 PAD pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3, tahun 2010-2025 133
71 Perekonomian Wilayah kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3 tahun 133
2010-2025
72 Produksi GKP Jatim skenario 4 tahun 2010-2025 135
73 Produksi PDT Jatim skenario 4 tahun 2010-2025 135
74 Profit PG Jatim skenario 4 tahun 2010-2025 135
75 Profit Petani Jatim per Ha skenario 4 tahun 2010-2025 136
76 PAD Jatim Skenario 4 tahun 2010-2025 136
77 Perekonomian Wilayah Jatim Skenario 4 tahun 2010-2025 137
78 Produksi GKP Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 137
79 Produksi PDT Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 138
80 Profit Petani per ha di Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 138
81 Profit PG Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 139
82 PAD Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 139
83 Perekonomian Wilayah Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025 140
84 Produksi GKP Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 141
tahun 2010-2025
85 Produksi PDT Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 142
tahun 2010-2025
86 Profit PG Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 143
tahun 2010-2025
87 Profit Petani Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 143
tahun 2010-2025
88 PAD Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5 144
tahun2010-2025
89 Perekonomian Wilayah Jatim pada kondisi Aktual, skenario 1, 2, 3, 145
4, dan 5 tahun 2010-2025
1
1 PENDAHULUAN
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya.
Meskipun kontribusi sub sektor perkebunan terhadap pembentukan Produk
Domestik Bruto (PDB) belum terlalu besar yaitu sekitar 2,07 persen pada tahun
2011 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman
bahan makanan dan perikanan, akan tetapi sub sektor ini merupakan penyedia
bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga dan penghasil devisa (BPS,
2012).
Selama kurang lebih 500 tahun, tebu merupakan satu-satunya bahan
mentah untuk memproduksi gula (Oliverio et al, 2010). Gula merupakan salah
satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan penting. Selain sebagai
salah satu kebutuhan pokok, gula juga memberikan sumbangan terhadap
perekonomian melalui penciptaan tenaga kerja (Schmit, 2014; Tarimo &
Takamura, 1998). Indonesia pernah mengalami masa pasang-surut dalam
memproduksi gula. Indonesia pernah mempunyai peran sebagai negara
pengekspor gula terbesar hingga keterpurukan produksi gula yang mengharuskan
Indonesia menjadi negara pengimpor gula sejak awal tahun 1990. Sejarah
mencatat bahwa industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua
dan terpenting yang ada di Indonesia. Era kejayaan industri gula di Indonesia
terjadi pada tahun 1930-an, dimana 179 pabrik gula beroperasi dengan
produktivitas sekitar 14,8 persen dan rendemen mencapai 11 persen sampai 13,8
persen. Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta ton/per tahun dan
mampu mengekspor gula 2,4 juta ton/ tahun. Pada jaman kolonial integrasi sistem
agribisnis gula dapat dijamin melalui kekuatan yang memaksa dari pemerintah
(Mardianto et al, 2005). Sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan
jadwal pabrik. Pabrik gula (PG) mendapat pasokan bahan baku yang cukup dan
rendemen tinggi sehingga industri gula di Jawa sangat efisien. Faktor penunjang
lainnya adalah lahan yang subur, tenaga kerja yang murah, irigasi, dan teknologi
yang tepat merupakan faktor pendukung masa kejayaan industri gula (Rohman et
al, 2005; Wibowo dan Subiyono, 2005; Pakpahan, 2004; Simatupang, et al.,
dalam Susila dan Sinaga, 2005). Pakpahan (2004) menyatakan bahwa pada tahun
1975 diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang bertujuan
meningkatkan pendapatan petani tebu, meningkatkan produksi gula dan mencapai
swasembada gula konsumsi rumah tangga. Krisis ekonomi pada tahun 1998
menyebabkan produksi gula yang dihasilkan pada titik terendah dan strategi TRI
tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia
sekarang berjumlah 62 pabrik gula berbahan baku tebu. PG tersebut milik BUMN
maupun swasta (Dewan Gula Indonesia (DGI), 2014).
2
Tabel 1 Luas Areal, produksi dan produktivitas gula Indonesia Tahun 1930-2013
Tahun Luas Areal (ha) Produksi Gula (ton) Produktivitas Gula
(ton/ha)
1930 196.592 2.907.078 14,79
1935 28.262 492.598 17,43
1940 83.522 1.472.484 17,63
1950 27.783 259.771 9,35
1955 72.426 813.344 11,23
1960 72.726 651.810 8,96
1965 87.408 775.950 8,88
1970 81.677 715.312 8,73
1975 104.777 1.035.052 9,76
1980 188.772 1.249.946 6,55
1985 285.529 1.707.048 5,98
1990 365.926 2.083.790 5,69
1995 420.630 2.096.471 4,98
1996 403.266 2.094.195 5,19
1997 385.669 2.189.974 5,68
1998 378.293 1.491.553 3,94
1999 340.800 1.488.599 4,73
2000 340.660 1.690.667 4,96
2001 344.441 1.725.467 5,01
2002 350.723 1.755.434 5,01
2003 335.725 1.631.919 4,89
2004 345.550 2.051.651 5,94
2005 381.786 2.241.742 5,87
2006 396.441 2.307.027 5,82
2007 427.799 2.448.143 5,72
2008 436.505 2.668.428 6,11
2009 416.630 2.333.885 5,60
2010 418.266 2.288.735 5,47
2011 434.962 2.126.669 4,88
2012 465.994 2.591.687 5,74
2013* 469.228 2.551.024 5,44
Sumber: Tahun 1930-1985 Bahari dalam Mardianto et al, 2005; Tahun 1990- 1995
Anonim, 1997; Tahun 2009-2011 dari BPS, 2012; Tahun 1996-2004 dan
Tahun 2012-2013 dari DGI, 2014 (* realisasi kumulatif sampai Desember
2013), dan Tahun 2005-2008 dari Kementerian Pertanian, 2010.
3
no.527 sekaligus sebagai pendorong bagi petani tebu dalam memproduksi gula.
Produksi gula dari tahun2009 sampai 2011 mengalami rata-rata penurunan
sebesar 4,51 persen. Penurunan terjadi disebabkan terjadinya anomali iklim dan
impor gula. Peraturan Menkeu no. 86/PMK.010/2005 tentang keringanan tarif
bea masuk atas impor gula mengakibatkan penurunan produktivitas. Pada tahun
2008 peroduktivitas mengalami peningkatan sebesar 6,11 ton/ha ini disebabkan
pada tahun 2007 diterbitkan Permentan no. 57/Permen/KU.430/7/2007 mengenai
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sebesar Rp.12.500.000,- dan
Peraturan Menteri Perdagangan RI no.18/M-DAG/PER/4/2007 mengenai
perubahan keempat atas Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan
no.527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula dimana GKP hanya bisa
diimpor jika harga GKP ditingkat petani mencapai Rp.4.900 per Kg, sehingga
mampu meningkatkan produktivitas gula nasional. Sedangkan luas areal tebu
tahun 2009 sampai 2011 mengalami peningkatan sebesar 1,44 persen.
Peningkatan luas areal tebu didominasi oleh peningkatan areal Perkebunan
Rakyat (PR), diikuti oleh Perkebunan besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar
Negara (PBN). Pada tahun 2009 lahan perkebunan tebu Indonesia tercatat seluas
422,87 ribu hektar, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi
436,57 ribu hektar atau naik sekitar 3,24 persen. Sedangkan untuk tahun 2011 luas
areal perkebunan tebu Indonesia mengalami sedikit penurunan yaitu sekitar 0,37
persen atau menjadi 434,96 ribu hektar (BPS, 2012). Sedangkan pada tahun 2012
produktivitas gula dan luas areal mengalami kenaikan sebesar 5,74 ton/ha.
Kenaikan ini disebabkan adanya Peraturan Menteri Perdagangan no. 11/M-
DAG/PER/5/2011 tentang Harga Patokan Petani (HPP) sebesar Rp.7000,-.
Agroindustri sebagai penarik pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu
berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai
produk olahannya. Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu
komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di
Indonesia. Industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan
bagi ribuan petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah
satu kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan sumber kalori yang
relatif murah dan terjangkau (BPS, 2012; Almazan et al, 1998).
Konsumsi gula tebu tidak terbatas pada rumah tangga untuk konsumsi
langsung, tetapi juga dikonsumsi oleh masyarakat melalui produk-produk industri
makanan dan minuman. Gula tebu sampai saat ini masih menjadi pilihan utama,
meskipun terus dicari bahan pemanis lainnya, hal ini karena berbagai kelebihan
baik sifat manisnya maupun kepraktisan bentuknya (butir). Produk pemanis telah
dikembangkan yang dapat mensubstitusi gula tebu, namun porsinya relatif masih
sangat kecil. Harga yang terjangkau dan kemudahan untuk mendapatkannya,
menyebabkan banyak kalangan masih memilih gula tebu meskipun saat ini telah
banyak beredar bahan pemanis buatan maupun bahan pemanis lainnya seperti
glukosa, fruktosa dan lainnya (Capricorn Indonesia Consult (1998) dalam
Januarsini (2000); Deptan, 2005).
Gula tidak hanya berperan sebagai salah satu kebutuhan pokok dan
kepraktisan akan bentuknya, tapi juga menyumbang dalam penyediaan lapangan
kerja, pendapatan rumah tangga dan nilai output yang dihasilkan bagi wilayah.
5
Peningkatan dalam konsumsi gula tertinggi di Asia sebesar 6 persen per tahun
(Almazan et al, 1998 dan Dingle et al, 1997).
Sesuai dengan penelitian Cahyani (2008), menunjukkan bahwa konsumsi
gula Indonesia sampai tahun 2025 terjadi peningkatan. Sedangkan produksi gula
cenderung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi gula dalam negeri
belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dari sisi produksi,
menurunnya produktivitas terjadi karena penerapan teknologi on farm dan
efisiensi PG yang rendah. Sejalan dengan penelitian Keerthipala (2002) di
Srilangka yang menyatakan bahwa PG gagal mencapai target penyediaan
konsumsi gula, disebabkan meningkatnya konsumsi gula perkapita.
Perkembangan impor gula nasional pada Tabel 2 menunjukkan
peningkatan impor gula dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Impor gula terbesar
raw sugar untuk industri rafinasi. Impor raw sugar untuk 11 industri gula
rafinasi sebesar 2,881 juta ton pada tahun 2013. Impor gula pada tahun 2010
mengalami peningkatan dibanding tahun 2011, hal ini disebabkan keadaan iklim
yang tidak mendukung pada tahun 2010 sehingga rendemen rendah. Impor gula
seluruhnya 3,706 juta ton. Seperti di negara lain, di Indonesia iklim berkontribusi
pada tinggi/rendahnya rendemen (Samui et al, 2013), sehingga produksi gula
rendah (Ferraro et al, 2009).
Disisi lain, Indonesia sebagai negara importir gula terbesar tidak begitu
memproteksi industri gula dalam negerinya sebagaimana yang dilakukan oleh
negara-negara lain. Sejalan penelitian Sawit et al, (2004), adanya perbedaan harga
dan kebijakan impor gula di mana Indonesia sebagai pengimpor gula terbesar
mengenakan bea masuk yang rendah dibandingkan dengan Thailand yang
menerapkan tarif 65 persen pada kuota 13.700 ton dan selebihnya 96 persen.
Philipina menerapkan tarif 65 persen, China kuota tarifnya sebanyak 1,8juta ton
dengan tariff 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk raw sugar,
selebihnya untuk tariff keduanya 76 persen. Sedang India sebagai net eksportir
7
(2) hari giling yang belum optimal, (3) kapasitas giling yang kurang dari 2.000
ton tebu per hari, dan (4) jam berhenti giling yang tinggi. Sebagai contoh, PG-PG
di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling).
Bahan baku yang tersedia hanya 12,8 juta ton sehingga PG-PG mempunyai idle
capacity sekitar 46,2 persen. PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta
ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity
mencapai 39,4 persen (Departemen Pertanian, 2007; Ariesa dan Tinaprillia,
2012). Peningkatan efisiensi dapat meningkatkan produksi dan menurunkan
biaya. Sehingga harga gula bisa lebih rendah (Keerthipala, 2013).
Impor gula yang terus mengalami peningkatan (Tabel 2) menunjukkan
bahwa pemenuhan kebutuhan akan gula masih belum bisa dipenuhi oleh produksi
dalam negeri. Penelitian Nugrahapsari (2013) menyatakan bahwa swasembada
GKP yang ditargetkan oleh pemerintah tahun 2014 tidak tercapai pada kondisi
aktual. Pemerintah menerbitkan kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional
(RIGN) guna mendukung tercapainya swasembada gula nasional. Program
Revitalisasi Industri Gula Nasional secara eksplisit mengagendakan terwujudnya
Swasembada Gula Nasional (Wibowo, 2012). Swasembada gula nasional akan
sulit dicapai mengingat industri gula nasional masih menghadapi persoalan
struktural sistem produksi (Suhada, 2012). Untuk mendukung swasembada gula
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden no. 57/2004 yang menetapkan
gula dalam pengawasan dan Surat keputusan Menperindag No. 527/2004
mengenai impor gula (Zaini, 2011).
Dalam program dan rencana aksi jangka pendek, selain target utama
swasembada gula nasional, dari sisi off farm terdapat program diversifikasi
produk dengan kondisi yang diharapkan adalah meningkatnya nilai tambah dan
daya saing produk. Rencana aksi yaitu mengenai pengembangan Produk
Pendamping Gula Tebu (PPGT) yang memiliki nilai tambah dan pengembangan
energi berbasis tebu (bio ethanol) pengganti BBM (Bahan Bakar Minyak)
(Kemenperin, 2010).
Kajian Toharisman dan Kurniawan (2012) menyatakan bahwa salah satu
faktor penyebab PG harus ditutup adalah ketergantungan yang sangat besar
terhadap produk tunggal GKP. PG tidak punya produk alternatif yang dapat
mengkompensasi kerugian akibat penurunan harga gula. Kelangsungan industri
guladapat dipertahankan dengan cara meningkatkan nilai perolehan tebu melalui
diversifikasi produk yang bernilai tinggi. Diversifikasi produk dimaksud adalah
memanfaatkan bagian tanaman tebu yang bukan gula untuk dijadikan produk yang
bernilai ekonomis.
Sejalan dengan diversifikasi pada tebu, gula masih memiliki masa depan
dengan menciptakan dua hal. Pertama, peningkatan efisiensi dan produktivitas
tebu. Kedua, pemanfaatan setiap bagian dari tebu untuk menghasilkan beragam
produk yang bernilai tinggi (Pakpahan, 2004; Rohman at al, 2005; Wibowo dan
Subiyono, 2005; Toharisman dan Kurniawan, 2012). Pengembangan diversifikasi
dan pembangunan produk bisa berupa eksplorasi diversifikasi produk dan
pengembangan produk menjadi produk yang lebih jadi dan mempunyai nilai
tinggi bagi konsumen (Masyhuri, 2000). Di Jepang harga ubi jalar lebih tinggi dan
mencapai empat kali lipat dibanding padi, karena ubi jalar di Jepang
didiversifikasi dari pangan (mie, permen, roti,dll), minuman (sake, gin, es krim)
hingga kosmetik (Widodo, 1995).
9
4% 8%
9%
Jawa Timur
49% Lampung
Jawa Tengah
30% Jawa Barat
Propinsi Lain
Perkembangan produksi gula di Jawa Timur dan Nasional dari tahun 2007
sampai tahun 2013 (Tabel 4) mengalami penurunan sebesar 2,05 persen per tahun,
pada tahun 2010 penurunan ini diakibatkan karena kondisi iklim yang tidak
mendukung. Sedangkan di Jawa Timur pada tahun 2007-2013 terjadi peningkatan
produksi sebesar 2,80 persen. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh
areal dan produktivitas yang meningkat. Dukungan produksi gula Jatim terhadap
produksi Nasional mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 15,41 persen
pertahun. Peningkatan produksi gula yang cukup mencolok pada tahun 2012 di
tingkat nasional sebesar 2,591 juta ton dan tahun yang sama (2012) peningkatan
terjadi di Jawa Timur sebesar 1,254 juta ton. Kontribusi produksi gula di Jawa
Timur tahun 2013 terhadap produksi gula nasional adalah sebesar 51,32 persen.
Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia setelah provinsi
Lampung dan provinsi Jawa Tengah (Dinas Perkebunan (Disbun) Jawa Timur,
2012a).
Data pada Tabel 5 menjelaskan bahwa perkembangan luas areal tebu pada
tahun 2007-2013 berfluktuasi baik di tingkat nasional maupun di Jawa Timur.
Luas areal di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen per tahun,
sedangkan di tingkat nasional juga mengalami penurunan dengan nilai lebih kecil,
12
yaitu sebesar -0,06 persen pertahun. Pertumbuhan luas areal tertinggi pada tahun
2013 yaitu sebesar 215.847 Ha. Kontribusi luasan lahan tebu Jatim terhadap
nasional dari tahun 2009-2013 sebesar 54,73 persen. Hal ini terjadi karena adanya
pengembangan luas areal tanaman perkebunan di Madura, Lamongan, Bojonegoro
dan Tuban. Menolak impor raw sugar dan menolak menutup sejumlah PG yang
mengalami kerugian (Disbun Jatim, 2014). Peningkatan luas areal perkebunan
tebu akan berpengaruh kepada penyerapan tenaga kerja di subsektor perkebunan
dan produksi gula. Sejalan penelitian Tchereni et al (2012) menyatakan bahwa
ukuran lahan merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi.
Jatim sebagai penghasil gula terbesar di Indonesia dan ditunjang dengan
luas areal yang selalu meningkat ( Tabel 4 dan Tabel 5), menyebabkan Jawa
Timur mengalami kondisi surplus gula (Disbun Jatim, 2011). Kelebihan gula
tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan provinsi lain di Indonesia. Dalam
rangka mendukung program swasembada gula nasional, pemerintah pusat pada
tahun 2011 memberikan target bagi Jatim untuk meningkatkan produksi gula
menjadi 1,65 juta ton.
lingkungan (emisi karbon monoksida kurang dari 19%-25%), nilai oktan yang
lebih tinggi, dan terbarukan (renewable). Cahyati (2012)menjelaskan mengenai
rekayasa model penilaian kinerja PG berdasar eco-maintenance,mampu
menghemat konsumsi energi per masa giling sebesar Rp.440.361.576,- sedangkan
total reduksi polutan gas CO2 yang dapat direduksi adalah sebesar 1.122.213 Kg.
Senada dengan pernyataan Subiyono (2013) bahwa diversifikasi produk bukan
hanya karena keuntungan yang menjanjikan, tetapi pengolahan produk turunan
tebu bisa menghasilkan energi dan barang yang ramah lingkungan. Penelitian
Ariesa dan Tinaprilla (2012) menyatakan bahwa penggunaan mesin tua
menyebabkan banyaknya gula yang hilang dalam proses produksi. Hal ini berarti
jam henti giling tinggi dan polusi yang ditimbulkan tinggi. Penelitian
Rahmatulloh et al (2007) menjelaskan bahwa limbah vinase hasil pengolahan
etanol dapat dijadikan pupuk cair sehingga limbah tidak mencemari lingkungan.
Pada masa yang akan datang, penggunaan ethanol sebagai campuran
bahan bakar minyak bisa menghemat penggunaan bahan bakar minyak (BBM)
dan subsidi di Indonesia yang terus mengalami kenaikan karena harga minyak
dunia juga mengalami kenaikan. Tahun 2011, harga minyak mentah Indonesia
per barel US$ 90 atau Rp792.000,- (berdasarkan kurs 1 US$ = Rp 8.800). Dalam
bulan Maret 2012 harga minyak di dunia terus meningkat naik. Awal Maret 2012
harga minyak mentah Indonesia sudah mencapai per barel US$ 112 atau Rp
1.008.000 (berdasarkankurs 1 US$ = Rp 9.000), atau Rp 6.340 per liter. Harga
minyak mentah tersebut belum diolah menjadi bensin premium. Sehingga terjadi
peningkatan subsidi dari Rp.168,55 T menjadi Rp.230,43 T (Kementrian Energi
Sumber Daya dan Mineral, 2012).
Fakta yang ada, sebagian besar (53%) pabrik gula di Jawa didominasi
oleh pabrik dengan kapasitas giling kecil ( lebih besar dari 3.000 TCD), 44%
berkapasitas giling 3.000 sampai 6.000 TCD dan hanya 3.0 persen yang
berkapasitas giling diatas 6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula
yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang
mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi
yang rendah. Biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru (Sawit et al,
2004; Rohman et al, 2005; Kudhori dalam Thoha, 2010). Parameter inefisiensi
secara luas sebagai berikut: 1. Produktivitas lahan, 2. Kandungan gula dalam
tanaman tebu, 3. Rendemen, 4. Konsumsi energi, 5. Nilai tambah produk, 6.
Produktivitas tenaga kerja, 7. Biaya maintenance, 8. Jam berhenti, dan 9.
Konsumsi air (Subiyono, 2013). Didukung oleh penelitian Mardianto (2005)
menyatakan bahwa penyebab efisiensi rendah yakni keterbatasan sumber daya PG
seperti teknologi proses sudah usang, mesin produksi kurang perawatan, dan
kapasitas giling rendah.
14
3.4
3.2
3
Persen 2.8
2.6
2.4
2.2
2
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
2 TINJAUAN PUSTAKA
Hasil dari periode tanam paksa bahwa Belanda dapat menutup lunas
hutang-hutangnya dan melakukan pembangunan infrastruktur. Sistem tanam
paksa hanya menguntungkan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda
hanya mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi negara Belanda dan
mengeksploitasi sumber daya di Indonesia.
pengelolaan usaha tani yang dilakukan terpisah dari PG, usaha tani tebu yang
berpencar dan pengelolaan yang tidak efisien (Masyhuri, 2005). Waktu tanam dan
penyerahan lahan ternyata tidak berpengaruh pada penerimaan petani, singga
program TRI mengalami kegagalan. Pemerintah melepaskan pengendalian tata
niaga gula yang diatur melalui kekuatan pasar pada tahun 1998.
Inpres No. 9/1975. Tanggal Intensifikasi Tebu Rakyat Peningkatan Produksi Gula
22 April1975 (TRI) serta peningkatan
pendapatan petani tebu
Tabel 7 (lanjutan)
UU No. 12/1992 Budidaya Tanaman Memberikan kebebasan
kepada petani untuk
menanam komoditas
sesuai dengan prospek
pasar
Tabel 7 (lanjutan)
Kepmen Perdagangan RI Perubahan atas
no.02/M/Kep/XII/2004. Tgl keputusan menteri
7 Desember 2004 perindustrian dan
perdagangan
no.527/MPP/Kep/9/2004
tentang impor gula
tanggal 21 April 2005
Tabel 7 (lanjutan)
Permen No. 20/M- Penetapan Harga
DAG/PER/5/2010 Patokan Petani (HPP)
Gula Kristal Putih
Rp.6.350/Kg
Integrasi antara usaha perkebunan tebu dan pabrik gula pengolah tebu
merupakan faktor kunci efisiensi industri gula. Pada zaman kolonial, integrasi
sistem agribisnis dapat dijamin melalui kuasi organisasi yang melibatkan
kekuatan memaksa dari pemerintah. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial
untuk menanam tebu, sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan jadwal
panen yang disiapkan oleh pabrik. Menanam tebu merupakan prioritas wajib bagi
petani. Prioritas peruntukan lahan di Jawa adalah untuk perkebunan tebu, bukan
untuk padi. Dengan begitu, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku
yang cukup sepanjang musim giling. Hal ini yang membuat industri gula di Jawa
sangat efisien. Pada tahun 1930-1940, rendemen gula dapat mencapai 12 persen
lebih, sementara saat ini hanya sekitar 6-7 persen (Mardianto et al, 2005).
Dari sisi petani, adanya inpres no. 5/1998, 21 Januari 1998 dan UU
no.12/1992 yang memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas
sesuai dengan prospek pasar, menyebabkan petani tebu tidak tertarik untuk
menanam tebu. Rohman et al (2005) menyatakan juga bahwa biaya yang
diperlukan untuk menanam tebu termasuk tinggi (Rp14-16 juta), jangka waktu
panen yang lama (12-13 bulan), kebijakan pemerintah akan impor gula yang
dianggap tidak mendukung petani dan harga gula impor cenderung lebih murah
dari harga gula dalam negerimerupakan penyebab produksi gula dan pasokan tebu
rendah.
investasi baik pada usaha tani, pabrik gula dan produk derivatnya, serta investasi
pemerintah (Deptan, 2005).
Berbagai produk dapat dihasilkan dari kegiatan budidaya tebu dan selama
pengolahan tebu di pabrik gula (PG), mulai dari pucuk (cane top), serasah (trash),
ampas (bagasse), tetes (molasse), blotong (filter cake), abu ketel (boiler ash) dan
gas buang (flue gas). Selama ini sebagian kecil pucuk dan serasah dimanfaatkan
untuk pakan ternak. Ampas dibakar kembali untuk menghasilkan energi untuk
keperluan proses di PG. Beberapa PG yang mengalami kekurangan ampas juga
menggunakan serasah (trash) untuk bahan bakar. Tetes menjadi bahan baku
produk proses fermentasi, seperti alkohol, spiritus, mono sodium glutamat (MSG),
ragi roti dan protein sel tunggal (PST). Blotong dan abu ketel dikembalikan ke
lahan sebagai sumber bahan organik dan pupuk (Toharisman dan Kurniawan,
2012).
Produk pengolahan hasil ikutan tebu semakin bernilai ekonomi tinggidan
bahkan bisa lebih tinggi dari pada produk utamanya (gula) (Toharisman dan
Kurniawan, 2012). Diversifikasi produk turunan ini tidak hanya terkait dengan
diversifikasi risiko dan pendapatan, melainkan juga bisa menjadi sandaran kinerja
perusahaan gula (Toasa, 2009). Ke depan, kinerja keuangan PG akan lebih banyak
ditopang oleh pengembangan pasar produk hilir tebu non gula. Pemanfaatan
produk hilir non gula bisa berkontribusi 60 persen terhadap total pendapatan PG
(Subiyono, 2013).
Selama ini tanaman tebu lebih difokuskan untuk diproses menjadi produk
gula tebu dengan skala besar dibuat pabrik-pabrik gula sebagai tempat produksi
gula tebu. Kemudian banyak manfaat untuk memenuhi kebutuhanbanyak hal
dari mulai pakan ternak. Dengan memanfaatkan tanaman tebu untuk dio lah
selain menjadi gula maka produktivitas perusahaan dalam pengolahan tebu akan
meningkat, secara tidak langsunghal ini akan meningkatkan produktivitas
perusahaansecara umum dan akan meningkatkan keuntunganperusahaan.
Ditegaskan oleh penelitian Malian (2004) untuk meningkatkan daya saing
industri gula nasional, setiap PG perlu melakukan diversifikasi produk gula dan
produk turunannya. Begitu pula penelitian Cahyani (2008), menggunakan metode
SWOT bahwa pemanfaatan hasil samping produk gula sebagai salah satu upaya
daya saing dan strategi pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Penelitian
Siagian (1999) memaparkan bahwa biaya produksi gula nasional belum efisien, di
mana biaya memproduksi gula dan tetes secara bersama-sama lebih murah
daripada biaya memproduksi gula atau tetes saja, dengan demikian untuk
meningkatkan efisiensi biaya produksi gula nasional diperlukan peningkatan skala
usaha dan diversifikasi produk dari pabrik gula yaitu gula dan tetes.
Penelitian Dibyoseputro (2012) menggambarkan bahwa pelaku usaha
agroindustri gula tebu mengharapkan pengembangan produk alternatif sebagai
upaya meningkatkan kinerja agroindustri gula tebu di masa depan dan sebagai
upaya meningkatkan daya saing baik di tingkat domestik maupun internasional.
Sedangkan mengenai pengembangan kinerja agroindustri gula tebu dilaporkan
bahwa kinerja agroindustri gula tebu dapat tercapai secara optimal apabila
pemangku penentu kebijakan memutuskan kebijakan pengembangan produk
alternatif sebagai kebijakan utama.
Kajian Toharisman dan Kurniawan (2012) tebu merupakan sumber
biomassa yang sangat besar yang tersebar ke dalam berbagai komponen tanaman.
26
Pada saat tebu dipanen, sesungguhnya kurang dari 50% komponen tebu yang
dibawa ke PG untuk digiling. Selebihnya merupakan bahan-bahan yang tertinggal
di kebun. Pada saat tebu dicacah, digiling, dan diperah akan tersisa sepah yang
disebut ampas. Ampas mengandung 45-50% air, 45-50% serat, dan 1-3% gula.
Ampas dipakai kembali oleh PG sebagai bahan bakar ketel. Abu ampas yang
tertinggal disebut abu ketel. Nira hasil perahan tebu yang telah dipisahkan dari
ampas dimurnikan lebih lanjut. Pemisahan nira kotor dan nira jernih akan
menghasilkan padatan hasil filtrasi yang disebut blotong. Nira jernih kemudian
dikristalkan menjadi gula pasir, sedangkan sisa nira yang tidak berbentuk Kristal
keluar sebagai tetes. Beberapa hasil ikutan lain (koproduk) dihasilkan dari proses
pabrikasi, seperti gas karbondioksida yang dikeluarkan dari asap cerobong ketel,
serta limbah cair yang selama ini digunakan sebagai sumber irigasi. Menjelaskan
CO2 selama ini jarang dilakukan PG-PG di Indonesia dan terbuang ke atmosfir. Di
negara-negara maju, CO2 diserap dengan menggunakan CO2 scrubber dan
dipakai sebagai dekolorisasi nira atau dry ice. Kajian Tedjowahjono (1989)
menekankan bahwa jumlah limbah industri gula mencapai sekitar 50% dari total
tebu giling.
Tebu
Penggilingan
Bagasse
Nira Kotor
(Ampas)
Pemurnian
Filter Cake
Nira Bersih (Blotong)
Pemasaka
Pemasakan
n
Nira Kental
Kristalisasi
1. Tetes tebu (molase) yang diperoleh dari tahap pemisahan Kristal gula dan
masih mengandung gula 50-60 persen, asam amino dan mineral. Tetes
tebu adalah bahan baku bumbu masak MSG, gula cair dan arak.
2. Pucuk daun tebu yang diperoleh pada tahap penebangan digunakan untuk
pakan ternak dalam bentuk silase, pellet dan wafer.
3. Ampas tebu yang merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan
tebu. Dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas,
particle board dan media untuk budidaya jamur atau dikomposkan untuk
pupuk.
4. Blotong yang merupakan hasil samping proses penjernihan. Bahan organik
ini dipakai sebagai pupuk tanaman tebu.
Penelitian Almazan et al (1998) menekankan bahwa dari panen tebu dan
pengolahan, didapat 8 produk dan produk sampingan yang merupakan bahan baku
potensial untuk bahan kimia, dan industri ekstraktif biokimia. Komposisi
tanaman tebu pada Gambar 6, di perkebunan yakni komposisi dari 1000 kg
tanaman tebu, tebu mencapai pabrik 824 kg (82%), limbah tertinggal di
perkebunan 94 kg (9%), limbah dipisahkan dalam pembersihan 82 kg (8%) dan
hilang dalam pembersihan 18 kg. Di pabrik, proses penggilingan menghasilkan
limbah cair 430 kg (52%), blotong 33 kg (4%), gula 104 kg (13%), ampas 231 kg
(28%), tetes 26 kg (3%), dan abu 1kg.
Gambar 6 Komposisi produksi tebu dan produk samping saat panen dan
penggilingan
Sumber: Almazan, 1998
Manfaat yang diperoleh dari jenis PDT seperti pengalaman negara Brazil.
Santaella (2007) melakukan penelitian di Brazil menyatakan bahwa rata-rata
komposisi gula tebu terdiri dari 65-75% air, 11-18 % gula, 8-14% serat, dan 12-23
% padatan larut. Jumlah bagasse yang diperoleh dari tiap ton tebu antara 240 kg
sampai 280 kg. Energi lain yang bisa dihasilkan adalah alkohol, dimana dalam
pandangan ekologis, penggunaan alkohol dapat menghasilkan 4.8-5.7 milyar US$
dibandingkan menggunakan bahan bakar fossil.
Lutfi (2007) dan Martini (2008) telah melakukan penelitian untuk
pemilihan produk derivat tebu yang terpilih untuk dikembangkan adalah produk
bioetanol/biofuel selain ramah lingkungan, mempunyai peluang besar untuk
dikembangkan. Didukung kajian Day dan Kim (2010) bahwa dalam 1 ha di
Louisiana dapat menghasilkan 12,938 kg ethanol dari energi tebu, 5,804 kg dari
28
gandum dan 3,609 kg dari bagasse gula tebu. Penggunaan tebu sebagai biofuel
lebih ramah lingkungan dibandingkan tanaman lain. Penelitian Santos (2000)
menyatakan untuk emisi karbon pembuatan bioetanol/biofuel, tebu memiliki
tingkat emisi karbon yang lebih sedikit dibandingkan tanaman lainnya, seperti
Sweet sorghum 1,1024 t karbon/ha, Jagung 135,18 t karbon/ha, Bit gula 1,335 t
karbon/ha, Gandum 1,96 t karbon/ha, Tebu (perhitungan Macedo) 0,377 t
karbon/ha, Tebu 0,422 t karbon/ha.
Sisa pengolahan tebu ini dapat digunakan untuk berbagai macam
keperluan, hal ini dapat dilihat lebih lengkap jenis produk turunan tebu di
Indonesia pada Tabel 8. Beberapa produk telah banyak ditemui di pasaran. Begitu
pula pupuk yang merupakan produk dari blotong.
Teori Resource Base yang dikemukakan oleh Perloff dan Wingo (1961)
menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah tergantung pada sumber
daya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari
sumber daya itu. Perkembangan suatu wilayah memegang peranan penting dalam
pembangunan ekonomi karena selain menghasilkan pendapatan juga menciptakan
efek penggandaan pada keseluruhan perekonomian di wilayah tersebut.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya
dan kemampuannya untuk memproduksinya. Jawa Timur sebagai penghasil tebu
terbesar di Indonesia mempunyai sumber daya berupa tanaman tebu yang
melimpah dibanding provinsi-provinsi lain penghasil tebu di Indonesia. Sumber
daya tebu tersebut dapat dimanfaatkan menjadi beberapa produk lain
(diversifikasi) sehingga bisa menghasilkan profit bagi pabrik gula (PG) dan
peningkatan PDRB Jatim.
Jika penggunaan sumber daya yang tersebar pada tiga perusahaan, biaya tiap
perusahaan berkurang untuk perusahaan ketiga. Joint output pada perusahaan
ketiga lebih besar dibanding dengan output yang akan dicapai oleh dua
perusahaan berbeda. Perusahaan ketiga bisa melakukan kombinasi input sehingga
memberikan biaya yang rendah. Dibanding masing-masing produk tersebut
dihasilkan oleh dua perusahaan yang berbeda.
depan, agroindustri dan sektor jasa dan lainnya yang mempunyai keterkaitan
yang lebih besar. Sejalan dengan penelitian Sundari (2000) di Jawa Timur
menyatakan bahwa keberadaan agroindustri tebu memberi dampak pendapatan
berupa nilai tambah produk yang dihasilkan, serta dampak kesempatan kerja dan
distribusi pendapatan melalui penyerapan kebutuhan tenaga kerja pada setiap
sektor usaha industri yang menggunakan hasil produksi tebu dan industri gula
sebagai bahan bakunya. Semakin besar nilai tambah dan semakin banyak
penyerapan tenaga kerja bagi sektor-sektor usaha industri yang menggunakan
bahan baku hasil produksi tebu dan industri gula, berarti semakin besar dampak
ke depan keberadaan agroindustri tebu dan industri gula dalam meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja. Menurut Simatupang dan Purwanto (1990)
bahwa peranan agroindustri adalah menciptakan nilai tambah, menciptakan
lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaaan devisa melalui peningkatan
ekspor dan menarik pembangunan sektor pertanian. Pendapat ini konsisten
dengan penelitian Susilowati (2007) menyatakan bahwa secara makro
agroindustri mempunyai peran lebih besar terhadap peningkatan output, PDB
dan penyerapan tenaga kerja.
Kartiko (1998) menegaskan adanya keterkaitan kebelakang agroindustri
tebu terhadap perkembangan wilayah ditunjukkan penggunaan input-input
produksi berupa sumber daya lahan dan sumber daya manusia. Keterkaitan
kedepan agroindustri tebu tercermin dari tingkat konsumsi produk yang
dihasilkan agroindustri tebu. Didukung penelitian Hanani et al (2012)
menegaskan bahwa gula merupakan salah satu komoditi strategis karena memiliki
keterkaitan kedepan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang
sangat tinggi.
Supriyati dan Suryani (2006) menyatakan bahwa penelitian mengenai
peranan agroindustri di Indonesia tahun 1985-2000, menyatakan bahwa peranan
agroindustri dalam penciptaan PDB meningkat dari 3,7 persen menjadi 12,73
persen. Sementara peran agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja meningkat
dari 0,2 persen pada tahun 1985 menjadi 8,53 persen. Lebih spesifik penelitian di
Jawa Timur oleh Ahmad (1994) menyatakan mengenai multiplier agroindustri
terhadap output, pendapatan dan tenaga kerja lebih besar dibandingkan terhadap
agregat wilayah lain. Hal ini disebabkan agroindustri memanfaatkan bahan baku
dari sektor pertanian yang cukup besar dan multiplier pendapatan akan tinggi
karena output agroindustri dapat diserap baik sebagai konsumsi langsung maupun
untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negeri. Fahriyah et al (2012)
menyatakan bahwa industri gula mempunyai keterkaitan kebelakang yang relatif
tinggi.
Penelitian Sastrotaruno (2001) diwilayah PG Cirebon dan PG Subang,
dengan tahun dasar 1989-2000 menunjukkkan bahwa produksi gula menyerap
tenaga kerja melalui buruh tebang tebu, usaha pengangkutan dan pemeliharaan
tanaman tebu. Dinyatakan pula oleh Malian et al (2004) bahwa penggunaan
tenaga kerja di Jawa Timur relatif lebih intensif daripada di luar jawa. Penelitian
Wahyuddin (1995) bahwa penyerapan tenaga kerja per sinder dengan luas yang
berbeda-beda antara 484 sampai 1.913 orang per hari atau 105 orang per sinder
pada 15 wilayah kesinderan di PG Madukismo. Diperkuat dengan kajian dari
Departemen Pertanian (2007) dengan luas areal sekitar 350 ribu hektar are pada
periode 2000-2005, tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang dan
34
merupakan salah satu pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani. Kajian Toharisman
dan Kurniawan (2012) pengembangan hasil ikutan tebu (koproduk) akan
berdampak positif dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan pembangunan
ekonomi daerah karena sebagian besar perkebunan tebu dan PG berada di wilayah
perdesaan.
Tabel 11 Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Tebu Menurut Pulau di Indonesia
Tahun 2008
Pulau Jumlah RTUT padi, RTUT tebu Persen
jagung, kedelai dan tebu
Sumatera 3.309.446 14.327 7,3
Jawa 10.442.665 178.637 91,4
Bali dan NTT 1.380.127 292 0,1
Kalimantan 1.121.772 882 0,5
Sulawesi 1.352.804 1.206 0,6
Maluku dan Papua 224.018 115 0,1
Indonesia 17.830.832 195.459 100
Sumber: BPS, 2009
Dinamika ketersediaan PDT tidak dapat lepas dari dinamika produksi Tebu
dan Gula, karena dengan semakin banyak produksi tebu dan gula maka PDT atau
koproduk tebu juga semakin banyak. Sejalan penelitian Hartono (2012)
35
Pada industri berbasis tebu yang modern, setiap 1 ton tebu setelah diproses
menghasilkan:
- Surplus power 100 KW
- Bioethanol sebanyak 12 liter
- Biokompos sebesar 40 kilogram
Subiyono (2012) menyatakan bahwa selain melihat potensi industri tebu
nasional, tidak kalah penting untuk melihat potensi PG-PG milik BUMN secara
kasar. Pada tahun 2010 luas tanam tebu PG BUMN mencapai sekitar 286,6 ribu
hektar dengan tebu giling 22,87 juta ton. Dengan data tersebut, maka bisa
dihasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32 persen dari total tebu giling, 1,12 juta ton
tetes (4,9 persen), dan 800.000 ton blotong (3,5 persen). Penelitian Toharisman dan
Kurniawan (2012) pada tahun 2011 luas total area tebu di Indonesia sekitar 422
ribu hektar dengan tebu giling mencapai 34,6 juta ton. Berarti dapat menghasilkan
sekitar 11,1 juta ton ampas (32 persen), 1,5 juta ton tetes (4,5 persen) dan 1,2 juta
ton blotong (3,5 persen). Selain itu, pemanenan tebu masih meninggalkan sekitar
6,2 juta ton pucuk (14,6 ton/ha).
Berdasarkan data luas areal tanam nasional sebesar 473.000 hektar dan 33
juta ton produksi tebu, berdasarkan kajian Subiyono (2013) bahwa potensi bisnis
dari diversifikasi yang bisa diperoleh:
1. Surplus power sebesar 3,5-3,8 juta MWH (3.800 GWH)
2. Bioethanol sebesar 460.000 KL=3,68 triliun
3. Biokompos sebanyak 1,5 juta ton=300 miliar
Selain tebu yang masuk/dikirim ke PG untuk diolah lebih lanjut, terdapat
pucuk tebu dan serasah yang dalam proses pemanenan tebu bisa dihasilkan 2,8 juta
ton pucuk serasah. Bahan baku yang cukup besar jumlahnya tersebut, jika diproses
lebih lanjut akan menghasilkan nilai tambah ekonomi tinggi. Potensi yang
didapatkan dari Cogeneration sebesar Rp 633,89 miliar sampai Rp 684,51 miliar
dalam satu masa giling, antara 148 sampai 186 hari (Tabel 12).
37
Dana talangan bagi petani tebu adalah sejumlah dana yang “dipinjamkan”
kepada petani, senyampang mereka menunggu hasil produksi tebu menjadi gula
putih yang diolah ke PG tertentu, sebelum dilelang nantinya (Wibowo, 2012).
Dana talangan merupakan salah satu jaminan harga bagi petani. Konsep dana
talangan pertama kali diterbitkan berdasarkan SK no. 643 tahun 2002, yang
intinya mewajibkan importir terdaftar menyangga harga gula petani.
2. 11 Sistem Dinamik
Sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam
batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al, 2001).
Metodologi sistem dinamik telah dan sedang berkembang sejak diperkenalkan
pertama kali oleh Jay W. Forrester pada dekade lima puluhan, dan berpusat di
MIT Amerika. Penggunaan metodologi ini lebih ditekankan kepada tujuan-tujuan
peningkatan pengertian kita tentang bagaimana tingkah laku sistem muncul dari
struktur kebijakan dalam sistem itu. Pengertian ini sangat efektif dalam
perancangan kebijaksanaan yang efektif (Tasrif, 2006). Definisi sistem dinamik
menurut Coyle (1979) dalam Coyle ( 1996) adalah metode menganalisis masalah
di mana waktu merupakan faktor penting, dan melibatkan studi tentang bagaimana
sistem dapat dipertahankan terhadap, atau dibuat untuk mendapatkan keuntungan
dari, guncangan yang berasal dunia luar. Definisi lain, merupakan cabang ilmu
manajemen yang berkaitan dengan masalah pengendalian.
Sebuah dinamika perilaku sistem sangat ditentukan oleh struktur lingkar
umpan balik (feedback loops). Pada suatu sistem tertutup terlihat adanya ciri-ciri
dinamis dari suatu sistem. Oleh karena itu dalam metode sistem dinamik arah
perhatian lebih ditujukan pada sistem yang tertutup atau sistem umpan balik.
Sistem umpan balik ini merupakan blok pembentuk model yang diungkapkan
melalui lingkaran tertutup atau sistem umpan balik. Lingkar umpan balik tersebut
menyatakan hubungan sebab akibat dari variabel-variabel yang melingkar, bukan
menyatakan hubungan karena adanya korelasi statistika.
Terdapat dua macam hubungan kausal, yaitu hubungan kausal positif dan
hubungan kausal negatif. Struktur umpan balik positif menghasilkan perilaku
pertumbuhan atau percepatan (J-Curve), sedangkan struktur umpan balik negatif
menghasilkan perilaku menuju sasaran(r- Curve) ( Coyle, 1996; dan Muhammadi
et al, 2001).
Menurut Tasrif (2006), langkah-langkah pemodelan dengan metode sistem
dinamik:
1. Identifikasi perilaku persoalan (problem behavior)
39
-Pola Referinsi
Dalam langkah ini diidentifikasi pola historis atau pola hipotesis yang
menggambarkan perilaku persoalan (problem behavior). Pola historis atau pola
hipotesis ini merupakan pola referensi yang diwakili oleh pola perilaku suatu
kumpulan variable-variabel yang mencakup beberapa aspek yang berhubungan
dengan perilaku persoalan. Pola-pola tersebut diintegrasikan ke dalam suatu
susunan (fabrikasi) sedemikian rupa sehingga dapat merepresentasikan tendensi-
tendensi internal yang ada di dalam system. Penggambaran pola referensi tersebut
sebagai tendensi internal system adalah sangat penting, karena tendensi itu
ditimbulkan oleh suatu kumpulan struktur umpan balik yang terbentuk di dalam
system dan mempunyai implikasi-implikasi terpenting untuk analisis
kebijaksanaan.
-Hipotesis Dinamik
Setelah pola referensi dapat didefinisikan, suatu hipotesis awal tentang interaksi-
interaksi perilaku yang mendasari pola referensi perlu diajukan. Pada langkah ini,
hipotesis dinamik yang diajukan mungkin belum tepat sekali. Beberapa iterasi dari
formulasi, perbandingan dengan bukti-bukti empiris, dan reformulasi akan
ditempuh untuk sampai kepada suatu hipotesis logis dan shahih secara empiris.
-Batas Model
Dalam langkah ini batas model akan didefinisikan terlebih dahulu dengan jelas
sebelum suatu model dibentuk. Batas model ini memisahkan proses-proses yang
menyebabkan adanya tendensi internal yang diungkapkan dalam pola referensi
dari proses-proses yang merepresentasikan pengaruh-pengaruh eksogenus. Batas
model ini akan menggambarkan cakupan analisis dan akan berdasarkan kepada
isu-isu yang ditujukan oleh analisis tersebut dan akan meliputi semua interaksi
sebab-akibat yang berhubungan dengan isu itu.
2. Membentuk suatu model computer
-Struktur Umpan Balik Model
Setelah batas model dapat didefinisikan, suatu struktur lingkar-lingkar umpan
balik (feedback loops) yang berinteraksi akan dibentuk. Struktur umpan balik ini
merupakan blok pembentuk model yang diungkapkan melalui lingkar-lingkar
tertutup. Lingkar umpan balik tersebut menyatakan hubungan sebab akibat
variable-variabel yang melingkar, bukan menyatakan hubungan karena adanya
korelasi statistik.
-Level dan Rate
Level menyatakan kondisi system pada setiap saat. Level merupakan hasil
akumulasi di dalam sistem, sedangkan rate menyatakan aktivitas sistem.
Persamaan suatu variable rate merupakan suatu struktur kebijaksanaan yang
menjelaskan mengapa dan bagaimana suatu keputusan dibuat berdasarkan kepada
informasi yang tersedia di dalam system. Rate inilah satu-satunya variable dalam
model yang dapat mempengaruhi level.
3. Pengujian model dan analisis kebijakan
Tahap ini dilakukan terhadap model untuk menegakkan keyakinan
terhadap kesahihan model dan sekaligus pula mendapatkan pemahaman terhadap
tendensi-tendensi internal sistem. Hal ini diperlukan untuk membandingkannya
dengan pola referensi dan secara terus menerus memodifikasi dan memperbaiki
struktur model. Sensitivitas model terhadap perubahan nilai parameter-parameter
perlu dilakukan pula dalam langkah ini. Bila suatu korespondensi antara model
40
mental sistem, model eksplisitnya, dan pengetahuan empirik tentang sistem telah
diperoleh; model yang dibuat dapat diterima sebagai suatu representasi persoalan
yang sahih dan dapat digunakan untuk analisis kebijaksanaan.
Sejalan dengan pernyataan Sterman (2000), langkah-langkah dalam proses
pemodelan; (1) mendefinisikan masalah (2) merumuskan hipotesis dinamis
(3)perumusan model simulasi (4) pengujian (5) desain kebijakan dan melakukan
evaluasi.
Menurut Coyle (1996) ada 5 (lima) pendekatan dalam menganalisis sistem
dinamik, yaitu (1) mengenali masalah dan mengetahui mengapa orang yang peduli
tentang hal itu, (2) membuat causal loop diagram (3) analisa mengacu pada ide-ide
cemerlang dan pet teory (pandangan orang yang berpengalaman dalam sistem) (4)
tahapan jika analisis kualitatif tidak menghasilkan wawasan yang cukup untuk
memecahkan masalah, maka proses bekerja hasil pada stadium 4, kontraksi pada
simulasi model (5) analisis berdasarkan analisis kuantitatif.
Sterman (2000) menyebutkan bahwa pola umum perilaku dasar dinamika
system adalah exponential growth, goal seeking dan oscillation. Masing-masing
bentuk tersebut berasal dari struktur umpan balik yang sederhana, di mana growth
diperoleh dari umpan balik yang positif, goal seeking dari umpan balik negatif,
dan oscillation dari umpan balik negatif dengan delay waktu. Bentuk umum
tersebut seperti pada Gambar 9.
makanan, menerbitkan
alternative SD dalam upaya
perdagangan luar negeri jika
Canada mengurangi ekspor
pada tanaman makanan dalam
hal untuk memproduksi
ethanol untuk konsumsi
domestic.
6. Perlu dikembangkan analisis
mengenai sistem produksi
tanaman sehingga trade off
antara penggunaan lahan untuk
produksi ethanol dan produksi
makanan bisa dihitung, jika
tekhnologi untuk
meningkatkan effisiensi
penggunaan lahan untuk
produksi makanan harus
dianalisis.
7. Penggunaan tekhnologi baru
untuk pemupukan,
pengeprasan dan pabrikasi
ethanol merupakan signifikan
dalam hal pengurangan emisi
GHG.
5. Sisi Negatif:
1. Biaya bahan baku pada total
GDP mempunyai dampak
antara 29-55% pada total
GDP. 1 TJ ubi kayu dan
ethanol tetes meningkatkan
impor total 1.05 dan 0.66 juta
THB. Impor pada bahan
kimia yang digunakan untuk
konversi pada bahan kimia.
2. Biaya produksi bio ethanol
lebih tinggi dari bensin.
6. Kebijakan:
Diperlukan pembebasan pajak
untuk mempromosikan bio
ethanol menjadi komersial.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi
perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di Indonesia.
Industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi ribuan
petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah satu
kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan sumber kalori yang relatif
murah (BPS, 2012; Almazan et al, 1998).
Permintaan/konsumsi gula dari tahun ke tahun terus meningkat.
Peningkatan konsumsi terjadi karena peningkatan jumlah penduduk, pendapatan
yang meningkat dan masih mahalnya gula dari bahan selain tebu. Industri gula
yang diharapkan bisa memproduksi gula sesuai dengan permintaan atau konsumsi
penduduk dan industri, ternyata tidak mampu memenuhi permintaan gula dalam
negeri. Dari sisi petani, harga lelang gula rendah, HPP dibawah biaya produksi,
meningkatnya pasokan raw sugar dan by product belum terolah.Di dukung
merembesnya gula rafinasi di pasar rumah tangga dan harga gula impor yang
lebih murah dibanding gula dalam negeri, akhirnya mengakibatkankualitas tanam
tebu (TR) semakin menurun. Nilai Tukar Petani (NTP) perkebunan rakyat yang
menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani perkebunan
menunjukkan angka di bawah 100. Data NTP perkebunan rakyat berturut-turut
sebesar: 95,66% tahun 2011, 96,62% tahun 2012, dan 94,02 tahun 2013 (Disbun
Jatim, 2015). Rendahnya NTP dibawah level 100 mencerminkan bahwa
komoditas tanaman tebu kurang menguntungkan, sehingga sulit mengharapkan
petani untuk bergairah menanam tebu (Rohman et al, 2005).
Penjelasan mengenai gula/tebu, tidak bisa dipisahkan peran PG dan petani
sebagai pemilik lahan/penggarap lahan. Untuk PG di pulau Jawa,dari 31 PG yang
ada sebanyak 30 PG merupakan milik BUMN. Sehingga persoalan gula
merupakan persoalan pulau Jawa,baik terkait produksi, PG, luas areal, maupun
impor berbagai jenis gula (Sawit, 2010). Permasalahan bukan saja terjadi pada
tanaman tebu sebagai penghasil gula, tapi juga pada sisi pabrik gula (PG) sebagai
tempat proses produksi tebu yang mengolah tebu menjadi gula.Terdapat
keterkaitan antara kondisi pabrik dengan minat petani dalam bertanam tebu. PG
yang ada sekarang merupakan PG jaman peninggalan hindia belanda yang umur
mesinnya sudah tua.Teknologi yang dipakai juga merupakan teknologi yang perlu
diperbaruhi. Karena kondisi mesin sudah tua, maka output yang dihasilkan
rendah. Inefisiensi dalam produksi gula. Didukung penelitian Sawit (2010)
menyatakan bahwa PG BUMN umumnya pabrik tua dan kapasitas TCD kecil,
sekitar 3.000 TCD. Pabrik dengan mesin tua kinerjanya rendah. Mesinnya kerap
bocor, nira tebu banyak terbuang sehingga tidak menjadi gula. Kehilangan gula
(pol) dalam proses pengolahan tinggi, hal ini juga berpengaruh negatif ke
rendemen gula. Faktor-faktor tersebut membuat biaya produksi PG BUMN
menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula milik swasta. Kartiko
(1998) dan Murdiyatmo (2000) menegaskan bahwa selain faktor-faktor yang
berkaitan dengan budidaya dan pengelolaan tebu, faktor kondisi pabrik gula juga
mempengaruhi produktivitas respon petani untuk bertanam tebu. Kondisi pabrik
yang sudah tua mengakibatkan inefisiensi pabrik sehingga rendemen yang
53
dihasilkan rendah. Rendemen yang rendah mengakibatkan bagi hasil antara petani
dan pabrik gula rendah.
Kondisi industri pergulaan di Jawa Timur masih bisa kita tingkatkan
dengan Economies of Scope. Diversifikasi beragam jenis output tanaman tebu.
Meningkatkan produksi tebu dan mengolah produk turunan tebu (PDT). Selain
menghasilkan gula sebagai produk utama, juga menghasilkan PDT dari produk
samping yang selama ini belum terolah oleh PG. Peningkatan produksi tebu
dengan cara meningkatkan ketersediaan lahan untuk tanaman tebu (Sharif et al,
2009; Toharisman et al, 2013), rendemen dan peningkatan produktivitas. Untuk
meningkatkan produksi GKP dalam rangka swasembada gula. Rendemen mampu
meningkatkan produksi gula (Jose Toasa, 2009; Ditjenbun, 2013). Sedangkan
untuk pengolahan PDT, kondisi yang ada selama ini PG hanya memanfaatkan
sedikit dari limbah tebu yang ada.Mayoritas pabrik gula hanya menyetor bahan
baku ke pabrik-pabrik. Pabrik gula sama sekali tidak mendapat nilai tambah dari
selain gula. Sehingga PG kurang mendapat profit dari hasil pengolahan gula
tersebut. Profit yang dihasilkan dari PDT bisa mencapai lebih dari dua kali lipat
dari profit produk utama, yakni gula. Profit yang diperoleh dari diversifikasi PDT
dapat digunakan kembali pada PG untuk perbaikan mesin sehingga mesin PG
lebih efisien, menutup kerugian yang ditimbulkan akibat proses produksi tebu
menjadi gula dan penjualan gula yang mengalami kerugian akibat harga gula
impor yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula lokal. Transfer cost dari
produk yang kurang menguntungkan pada produk yang menguntungkan
(Prihandana, 2005).
Sejalan dengan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) dan Road Map
Pengembangan Kluster Industri Gula tahun 2010, secara umum permasalahan
yang dihadapi oleh industri gula meliputi on farm dan off farm. Di sisi on farm
masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas gula dan
ketersediaan lahan di Jawa yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi lahan.
Di sisi off farm PG-PG secara teknis telah berumur tua sehingga terjadi penurunan
efisiensi pabrik yang memerlukan penggantian peralatan yang terkendala oleh
terbatasnya ketersediaan dana investasi. Banyak PG-PG yang tingkat
produktifitasnya tidak optimal. Struktur industri gula masih terpaku pada produksi
gula dan belum memanfaatkan produk samping untuk menurunkan biaya produksi
pengolahan tebu. Selain upaya meningkatkan produksi gula dalam rangka
mendukung swasembada gula nasional, fokus pengembangan industri gula juga
pada pemanfaatan produk samping tebu (PDT). Selain memperhatikan dari sisi
PG, dalam model juga memperhatikan kebijakan dari sisi petani tebu. Kebijakan
tersebut adalah kebijakan dana talangan sesuai dengan Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002.
Berdasarkan analisis SWOT, dari 59 unit PG mempunyai peluang
melakukan diversifikasi pengolahan tebu menjadi bioethanol dan produk lain.
Untuk mendukung peluang diversifikasi, diperlukan kerjasama operasional PG
dengan investor dalam negeri dan luar negeri. Dukungan diversifikasi produk
tersebut dituangkan ke dalam program/rencana aksi jangka pendek (2010-2015),
salah satunya mengarahkan investasi baru pada industri gula terintegrasi dengan
perkebunan tebu. Secara rinci peran dari masing-masing pemangku kepentingan
dan kerangka keterkaitan industri gula dapat dilihat pada Tabel 13.
54
Pasar: Infrastruktur:
a. Inisiasi (2004-2009): 1 Meningkatkan peran litbang untuk
Revitalisasi mesin PG, peningkatkan mutu gula (SNI
peningkatan utilitas wajib) dan diversifikasi
kapasitas, bongkar pemanfaatan hasil samping
ratoon, penggunaan bibit 2 Deregulasi dan debirokratisasi
unggul SDM: harmonisasi dan non tariff
b. Pengembangan cepat Meningkatkan 3 Pembangunan infrastruktur
(2010-2015): Modifikasi kemampuan SDM dilahan-lahan tebu agar proses
dan pengembangan dibidang manajemen tebang angkut berjalan efektif dan
teknologi yang lebih industri gula efesien
maju (otomatisasi mesin
dan peralatan)
c. Matang (2016-2025):
restrukturisasi mesin
dan peralatan dengan
teknologi mutakhir
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2010
Transfer Cost
Biaya
NTP Target Produksi GKP Penurunan
Gula + PDT produksi PG ditutup
rendah pusat tidak tercapai (UU konteribusi sektor
tinggi perkebunan thd
no.12/1992) PDRB 4,15%
Dana talangan
Skenario SK no. 643
tahun 2002
Peraturan Menteri Perindustrian RI
Revitalisasi Industri
no.11/M-IND/PER/I/2010 atau Road Map
Gula Nasional (RIGN) Swasembada Gula Nasional
Rekomendasi Kebijakan
4 METODE PENELITIAN
Gambar 11 Peta lokasi PG, perkebunan tebu dan kepemilikan PG di Jawa Timur
TCD dimiliki oleh swasta. Rata-rata PG di Jawa Timur masuk dalam PG kelas 2,
yakni kapasitas 3000-6000 TCD.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
4.2.1 Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung terhadap petani tebu
dan pegawai PG yang kompeten dibidangnya mengenai pertebuan, dan
penjelasan secara singkat proses produksi gula.
4.2.2 Data sekunder yang digunakandalam penelitian dikumpulkan dari berbagai
sumber meliputi data dari Dewan Gula Indonesia (DGI), Badan Pusat
Statistik (BPS), Pabrik Gula (PG) di Jawa Timur, PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) di Jawa Timur, PT. Karisma Pemasaran Bersama
(KPB), Dinas Pendapatan daerah (Dispenda) Kabupaten di Jawa Timur,
dan Dinas perkebunan (Disbun) Provinsi Jawa Timur.
Tabel 15 (lanjutan)
3. Pabrik Gula 1. Mesin tua
2. Produktifitas rendah
3. Revitalisasi mesin PG tidak menyeluruh
Input Lingkungan
Kebijakan Pemerintah
Sistem Pengembangan
Agroindustri gula tebu
Pada diagram input output (Gambar 13) terdapat empat faktor penting
yaitu input tak terkendali, input terkendali, output yang diinginkan dan
output yang tidak diinginkan. Input terkendali merupakan input yang secara
langsung mempengaruhi kinerja sistem. Selain empat faktor tersebut
terdapat dua faktor lain yang berpengaruh yaitu input lingkungan dan umpan
balik.
Input yang secara langsung mempengaruhi pengembangan GKP dan
PDT dan bersifat dapat dikendalikan adalah luas lahan, produktivitas tebu
dan rendemen yang merupakan input terkendali. Input yang diperlukan
untuk peningkatan produksi GKP dan PDT namun tidak dapat dikendalikan
63
yaitu harga gula impor yang rendah, kondisi pasar PDT dalam negeri (DN)
yang belum mendukung dan iklim dan cuaca yang mempengaruhi produksi
tebu, yang merupakan input tidak terkendali. Input lingkungan merupakan
faktor yang berpengaruh dalam pengembangan GKP dan PDT secara tidak
langsung dalam mencapai tujuan, yaitu kebijakan pemerintah. Ketiga input
tersebut akan menghasilkan output yang dikehendaki dan output yang tidak
dikehendaki. Output yang dikehendaki adalah PDRB Jawa Timur meningkat,
produksi GKP dan PDT meningkat dan keuntungan PG meningkat.
Sedangkan output yang tidak dikehendaki adalah share PDT terhadap PDRB
Jawa Timur kecil, ketergantungan pada produk tunggal/GKP saja sehingga
keuntungan PG menurun, produksi GKP menurun dan pendapatan petani
mengalami penurunan.
Sub model bahan baku pada Gambar 14 merupakan sub model yang
dibangun dari adanya pola kemitraan antara PG dengan Petani tebu.
Hubungan yang khas antara PG dan petani tebu. PG hanya sebagai pabrikasi
untuk menggiling tebu menjadi gula dan petani sebagai pihak yang
menyediakan tebu sebagai bahan baku gula yang akan dihasilkan.
64
Fraksi Pertumbuhan
Fraksi Pertumbuhan
Produkstivitas TS
Produktivitas TR
Produktivtas TR
Produksi TR Produktivitas TS
Laju Peningkatan
Produkstivts TR Laju Peningkatan
Produkstvts TS
Produksi TS
Luas Lahan TR
Laju Pertumbhn
Lahan TR Luas Lahan TS
Fraksi Pertumbuhan Produksi Tebu Jatim
Lahan TR Laju Pertumbhn Fraksi Pertbhn Lahan
Lahan TS TS
Goal Lahan TR
Susut
Total Produksi Tebu Jatim
Goal Lahan TS
Luas Lahan Total Fraksi Susut
Bahan baku merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi,
karena tanpa adanya bahan baku maka sebuah proses produksi tidak bisa
berlangsung. Pada sub Model Bahan Baku terlihat bahwa luas lahan tebu
berpengaruh terhadap produksi tebu Jatim, semakin luas lahan tanam tebu, maka
produksi tebu akan meningkat. Sehingga semakin banyak tebu yang tersedia
sebagai bahan baku GKP dan PDT. Luas lahan tebu adalah luas lahan yang
ditanami tebu (Ha). Luas lahan tebu terbagi dua berdasarkan pengusahaan, yaitu
luas lahan yang dimiliki sendiri (TS) dan luas lahan yang dimiliki oleh rakyat
(TR). Pengusahaan tanaman tebu di Jawa Timur 90% diusahaakan oleh TR dan
sisanya oleh TS (Disbun Jatim, 2012b). Antara PG dan petani memiliki pola
kemitraan, dimana petani sebagai penyedia utama bahan baku GKP dan PDT
yakni tebu, sedangkan PG sebagai tempat untuk menggilingkan tebunya.
Luas areal tebu memiliki hubungan yang positif dengan produksi tebu,
GKP dan PDT. Semakin tinggi luas areal tebu, maka semakin banyak tebu yang
produksi. Di mana GKP yang dihasilkan merupakan gula berbahan baku dari tebu.
Selain luas areal, produktivitas tebu memiliki hubungan yang positif
dengan produksi tebu dan GKP. Produktivitas tebu adalah banyaknya tebu yang
dihasilkan per hektar (ton/ha). Semakin tinggi produktivitas tebu maka produksi
tebu juga semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya produksi tebu,
maka produksi GKP yang dihasilkan juga akan meningkat dan PDT yang
dihasilkan juga semakin banyak. Seperti halnya luas lahan tebu, produktivitas tebu
juga dibagi dua berdasarkan sifat pengusahaannya yakni TR dan TS.
65
3 Laju pertumbuhan Jumlah Penambahan areal yang ha/yr IF(Luas lhn Hasil
lhn TR diusahakan per tahun oleh TR di TR<Target lahan perhitungan
Jatim TR,Fraksi
pertumbuhan lhn
TR*luas lhn TR,((-
(luas lhn TR-target
lhn TR))*
4 Goal lahan TR Luas lahan TR yang ditargetkan ha/yr 230000 Disbun Jatim,
oleh Disbun Jatim Maksimum 2015
11 Laju pertumbuhan Jumlah Penambahan areal yang Ha/yr IF(Luas lhn Hasil
lhn TS diusahakan per tahun TS<Target lahan perhitungan
TS,Fraksi
pertumbuhan lhn
TS*luas lhn TS,((-
(luas lhn TS-target
lhn TS))*
66
Tabel 16 (lanjutan)
12 Produktivi Produktivitas tebu TS ton/ 64.24 DGI (2014)
tas_TS merupakan rasio antara produksi ha
dan luas areal pada tahun 2010
Laju penambhn
kapasits terpakai
Rendemen
Laju peningkatan
rendemen
Fraksi pertumbuhan
rendemen
Tabel 17 Persamaan yang digunakan pada sub model pengolahan GKP dan co
product
No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber data
1 Kap_terpasan Jumlah kapasitas ton 22941200 DGI (2014)
g_industri terpasang industri tebu/ Hasil
pengolahan gula pada hari Perhitungan
tahun 2010 di Jawa
Timur
Lama Giling
Pucuk tebu yg
Total Produksi Tebu Jatim diperoleh Total Biaya TST1
Biay herbisid per ha
Tabel 18 Persamaan yang digunakan pada sub model pendapatan (profit) petani
No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber data
1 Penerimaan Pendapatan yang Rp/ton Harga tetes*tetes Hasil
Petani dari tetes diperaleh petani dari bagian petani Perhitungan
tiap tetes yang
diperoleh dari tiap
tebu yang digiling
2 Penerimaan Pendapatan yang Rp/ton Harga pucuk Hasil
petani dari pucuk diperaleh petani dari tebu*pucuk tebu Perhitungan
tebu tiap tebu yang yang diperoleh
digiling periode 2010 Toharisman
di Jatim. dan Yahya
Angka diperoleh, dari Kurniawan,
setiap jumlah tebu 2012
yang dipanen akan
menghasilkan 14.6
ton/ha pucuk tebu.
72
Tabel 18 (lanjutan)
3 Penerimaan Pendapatan yang Rp/ton Harga gula Hasil
Petani dari Gula diperaleh petani dari talangan*gula Perhitungan
tiap gula yang bagian petani
dihasilkan dihitung PG
dari kadar rendemen Pradjekan,
yang dihasilkan 2013
dikali dengan jumlah
gula yang dihasilkan
pada tahun 2010 di
Jawa Timur
Rendemen >6%,
maka pembagian gula
milik petani 70:30 dr
gula yang dihasilkan.
Tabel 18 (lanjutan)
10 Pendapatan Selisih antara rp Total Penerimaan- Hasil
(profit) Petani penerimaan dan biaya Total Biaya TST perhitungan
berdasarkan luas yang dikeluarkan 1
lahan total dalam menanam tebu
18 Biaya garap total Biaya yang Rp Biaya garap per Hasil perhitu
dikeluarkan dalam ha*luas lahan ngan
menanam tebu jenis total
TST 1
74
Tabel 18 (lanjutan)
19 Biaya pupuk Biaya yang %/yr Biaya pupuk per DGI (2014)
total dikeluarkan dalam ha*luas lahan
rangka membeli total
pupuk.
20 Gula bagian Jumlah gula yang ton 0.7* GKP Hasil Perhitu
petani didapatkan petani tebu/ ngan
tebu berdasar hari
rendemen dan gula
yang dihasilkan tahun
2010 di Jawa Timur
22 Pucuk tebu yang Jumlah pucuk tebu ton 14.6 * luas lahan Hasil perhitu
diperoleh yang diperoleh tebu/ total ngan
berdasar jumlah tebu hari/
yang dihasilkan per yr
hektar di Jawa Timur
25 Biaya bibit total Jumlah biaya yang Rp Biaya bibit per Hasil
dikeluarkan dalan ha*luas lahan Perhitungan
membeli bibit total
29 Pendapatan Jumlah profit yang Rp/ha Profit petani /luas DGI (2014)
(profit) petani didapat dalam masa lahan total Hasil
per ha tanam sampai panen Perhitungan
atau giling tebu per
ha
75
Tabel 18 (lanjutan)
30 Total Biaya Jumlah biaya yang Rp (Biaya TMA Hasil perhitu
TST1 (Tebu dikeluarkan dalam total+Biaya bibit ngan
Sistem Tegalan menanam tebu jenis total+biaya garap
pertama tanam) TST 1 total+biaya
herbisida
total+biaya PBB
total+biaya pupuk
total+biaya sewa
lahan
total)*Fraksi
harga
pucuk daun tebu (cane top). Pucuk daun tebu yang masih segar bisa digunakan
sebagai pakan ternak dengan ditambah campuran pakan suplemen, pengganti
sumber hijauan makanan dan campuran pada rumput gajah yang digunakan
sebagai pakan penggemukan sapi.
GKP Bagian PG
Penerimaan dr Gula Harga lelang gula
PG new
Produksi GKP Jatim Biaya Produksi PG
Jumlah blotong
Jumlah Kampas rem
Konversi dari ton ke untuk biokompos
BPP Gula
MW listrik Profit dari Gula PG
Profit bioethanol
dari tetes Profit biokompos
Harga bioethanol
Penerimaan Penerimaan dr
bioethanol dari biokompos
Biaya Biokompos
tetes
Gambar 17 Diagram alir sub model keuntungan (profit) PG dari GKP dan PDT
Tabel 19 (lanjutan)
10 Konversi ton Jumlah ton ampas yang KWH 100 KWH Hasil
ke MW listrik dibutuhkan untuk diubah Perhitungan
menjadi MW listrik
11 Fraksi ampas Pembagian jumlah ampas % 20 Hasil
untuk listrik untuk menjadi listrik Perhitungan
Tabel 19 (lanjutan)
24 Profit kampas Keuntungan yang diperoleh rp/set Penerimaan Hasil
rem dalam memproduksi kampas kampas rem- perhitungan
rem Biaya produksi
kampas rem
Tabel 19 (lanjutan)
35 Biaya produksi Biaya yang dikeluarkan Rp 'Biaya produksi Hasil
bioethanol dari untuk memproduksi bioetnl per perhitungan
ampas bioethanol per ton ton'*'Jumlah
ampas untuk
bioethanol'
Penerimaan tetes
Penerimaan Gula dari petani
dari Petani
Penerimaan pucuk
daun dari petani
Total Penerimaan
petani
Fraksi PDRB Jatim
Perekonomian Wilayah
Penerimaan dr
biokompos Penambahan PDRB
PDRB Jatim
Profit Petani
berdasar luas lahan Produksi GKP Jatim
total Pajak dari PG dan Pajak Penerangan Jumlh PG
PPh Petani Petani Jalan per PG
Gambar 18 Diagram alir sub model peningkatan ekonomi wilayah dari GKP dan
PDT
Tabel 20 (lanjutan)
4 Retribusi dari Jumlah Retribusi yang rp Retribusi Jalan Lori Hasil
PG dibayarkan PG setiap seluruh PG perhitungan
tahunnya Jatim+Retribusi Gula
dari GKP
5 Retribusi Jalan Jumlah retribusi yang Rp Jumlah PG*Retribusi Hasil
Lori seluruh berasal dari jalan lori milik jalan Lori per PG perhitungan
PG Jatim PG di Jawa Timur
Tabel 20 (lanjutan)
16 Pajak Jumlah PPJU yang rp 172.544.546 Dispenda
Penerangan dibayarkann tiap PG ke Kabupaten
Jalan Umum Dispenda Jember,
per PG 2015
Tabel 20 (lanjutan)
27 Harga lelang Harga yang didapat ketika Rp 10000000
gula terjadi proses lelang gula
milik petani
Validitas model dibagi dua, yaitu uji validitas struktur model dan uji
validitas output/kinerja model. Uji validitas struktur model, yaitu sejauh mana
kemiripan struktur model mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang
berorientasi proses, keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan
dengan sejauh mana interaksi variable model dapat menirukan interaksi kejadian
nyata. Validasi output/kinerja model adalah proses melihat keserupaan.
Keserupaan (tidak berarti harus sama) dunia model dengan dunia nyata
ditunjukkan dengan sejauh mana data simulasi dan pola simulasi dapat menirukan
data statistik dan informasi aktual (Muhammadi, 2011).
Uji validitas untuk mengukur keakuratan output simulasi, menggunakan
Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), Absolute Mean error (AME) dan
Absolute Variance Error (AVE). Persamaan Matematikanya:
85
∑ ( )
√
Dimana:
Y1i = nilai data aktual periode ke-i
Y2i = nilai simulasi model periode ke-i
n = jumlah periode
Y1i = Y1i/n
Y2i = Y2i/n
Sa = ((Y1i- Y1i)2/n)
Ss = ((Y2i- Y2i)2/n)
Lima jenis PDT yang dihasilkan pada model ini seluruhnya berasal dari
bahan baku tebu. Untuk mendapatkan bioethanol (dari ampas dan dari tetes),
biokompos, listrik dan kampas rem, jumlah tebu tersebut dikonversi menjadi
87
Tabel 23 Alur konversi dari tebu menjadi produk samping (co-product) hingga
menjadi 5 jenis PDT
Tebu giling menjadi:
(Almazan, 1998; Subiyono, 2013)
Ampas Tetes Blotong
(32% dari tebu giling) (4% dari tebu giling) (3% dari tebu giling)
1. Bioethanol: 1. Bioethanol 1. Biokompos
5 Kg ampas=1 liter 4 Kg tetes=1 liter 1 ton blotong=0.04
bioethanol bioethanol ton biokompos
(Subiyono, 2013) (PTPN X Jatim; PG (Subiyono, 2013)
Gempol Krep, 2013 )
2. Kampas Rem:
227.500 ton
ampas=30.000
kampas rem
(Prihandana, 2005)
3. Listrik:
1 ton tebu=300 kg
ampas=100 MW
(Perdana, 2011)
Sumber: Perdana, 2011; Rama Prihandana, 2005; Subiyono, 2013; PTPN X
Jatim; PG Gempol Krep, 2013.
88
5.1.1 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di Jawa Timur
disumbang oleh tebu rakyat, dimana terjadi peningkatan luas areal rata-rata
sebesar 22,85 persen per tahun sejak tahun 2009-2013. Sedangkan tebu sendiri
justru mengalami penurunan luas areal rata-rata sebesar 18,51 persen per tahun.
250,000
200,000
150,000
Ha
100,000
50,000
0
2009 2010 2011 2012 2013
TR TS Luas Lahan Jatim
Gambar 20 Peta struktur ruang dan pola peta pemanfaatan ruang ProvinsiJawa
Timur tahun 2000-2015
Sumber: Bappeda Jawa Timur, 2011
20,000,000
15,000,000
Ton
10,000,000
5,000,000
0
2009 2010 2011 2012 2013
TR TS Produksi Tebu Jawa Timur
Gambar 21 Produksi Tebu Jawa Timur Tahun 2009-2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014
produksi tebu di Jawa Timur sesuai dengan penelitian Anugrahapsari (2013) yang
menyatakan bahwa pertumbuhan produksi GKP lebih tinggi dibanding dengan
luas areal tebu pada periode 1995-2010 pada skala nasional. Dengan peningkatan
produktivitas GKP nasional sebesar 1,68 persen pertahun.
Pada periode tahun 2009-2013 pertumbuhan produktivitas tebu mengalami
peningkatan sebesar 1,11 persen pertahun (Gambar 22). Tren kenaikan tersebut
disumbang oleh kenaikan perkebunan tebu rakyat sebesar 1,23 persen per tahun.
Kenaikan produktivitas tebu per tahun dari perkebunan tebu rakyat tersebut
ternyata meningkatkan produktivitas tebu Jawa Timur. Berkebalikan dengan
produktivitas perkebunan tebu rakyat, perkebunan tebu sendiri justru mengalami
penurunan sebesar 0,55 persen pertahun. Namun dengan proporsi luas areal
perkebunan tebu sendiri yang hanya 9,78 persen dari total luas areal tebu di
Jatim, maka penurunan produktivitas tebu sendiri tersebut tidak mengakibatkan
penurunan produktivitas tebu Jatim.
94.00
89.00
84.00
Ton/ha
79.00
74.00
69.00
64.00
2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
TR TS Produktivitas Jatim
100
Proporsi Luas Areal
80
60
(persen)
40
20
0
2009 2010 2011
Rata- 2012 2013
rata
TS 48.474710.1149510.1096440.1187240.1032499.784255
TR 51.5252988.50492 89.0356 88.1276489.6751181.37371
Gambar 23 Proporsi Luas Areal TR dan TS di Jawa Timur
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014
8.00
7.50
7.00
Persentase
6.50
6.00
5.50
5.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Rendemen
Gambar 24 Perkembangan rendemen tebu di Jawa Timur tahun 2005-2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014
industri gula. Pada tahun 2013, kapasitas terpasang industri 113,24 ton tebu per
hari atau meningkat sebesar 4 persen per tahun dari tahun 2005. Sementara
kapasitas terpakai industri gula pada tahun 2013 adalah sebesar 99.574 ton tebu
per hari atau meningkat sebesar 3 persen pertahun dibandingkan tahun 2005.
Sementara tingkat utilisasi kapasitas terpakai pada tahun 2013 adalah sebesar
87,93% dengan laju pertumbuhan yang menurun sebesar 0,85 persen pertahun.
Jika dilihat berdasarkan Gambar 25, laju peningkatan kapasitas terpasang
yang lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan kapasitas terpakai menunjukkan
adanya peningkatan dalam persentase jam berhenti giling terhadap jam giling.
Berdasarkan data P3GI (2007), peningkatan jam henti giling lebih banyak
disebabkan oleh hal di luar pabrik yang mengalami peningkatan sebesar 33,16
persen pertahun. Jam berhenti di luar pabrik tersebut disebabkan karena kurang
tebu (57,65%), karena hari libur (16,65%) dan sisanya karena penyebab lain. Jam
henti giling yang disebabkan oleh sebab di dalam pabrik mengalami penurunan
sebesar 2,29 persen pertahun.
200,000
100,000
-
2005 2006
2007 2008 2009 2010 2011 2012
2013
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
KES 85,352 88,773 94,990 96,647 100,291 114,706 110,347 108,330 113,247
KIS 81,084 84,334 90,241 91,815 95,276 106,101 100,677 95,049 99,574
Total PG yang ada di Jawa Timur ada 31 PG. PG tersebut terdiri dari PG
milik pemerintah (BUMN) dan milik swasta (Gambar 25). Adapun PG milik
BUMN dan Swasta terdiri dari:
1. PTPN X (persero) yang terdiri dari 11 PG. Jika dirata-rata kapasitas giling
(exclusive) dari 11 PG tersebut 39.651 TCD yang terdiri dari kelas kapasitas
giling yang tersebar antara kelas 3, kelas 2 dan kelas 1. Kapasitas giling kelas
1 dimiliki oleh PG Ngadirejo yang berada di Kediri dengan kaasitas giling
(exclusive) sebesar 6.134 TCD dan kapasitas giling terkecil dimiliki oleh PG
Tulangan yang berada di Sidoarjo dengan kapasitas giling (exclusive) sebesar
1.425 TCD (masuk kelas 3).
2. PTPN XI (persero) yang terdiri dari 16 PG. Jika dirata-rata kapasitas giling
(excl) dari seluruh PG yang berada di bawah naungan PTPN XI sebesar
94
40.162 TCD. Kelas kapasitas giling terbesar dimiliki oleh PG Jatiroto dengan
kapasitas giling (excl) sebesar 6.548 TCD, dan kelas kapasitas terkecil
dimiliki oleh PG Olean dengan kapasitas giling (excl) sebesar 1003 TCD.
3. PT. RNI yang berada dibawah PT. Rajawali I (2 PG) dan PT. PG Candi (1
PG). PT. Rajawali I terdiri dari 2 PG, yaitu PG Krebet Baru dan PG
Rejoagung Baru yang masing-masing berada di Malang dan Madiun. Jika
dirata-rata kapasitas giling (excl) dari PT. Rajawali I sebesar 17.500 TCD.
Masing-masing PG tersebut berada pada kelas kapasitas giling (excl) kelas 1
yaitu 11.500 TCD dan 6.000 TCD. PG lainnya yang berada di bawah naungan
PT. RNI yaitu PG Candi yang berada di Sidoarjo. PG Candi memiliki
kapasitas giling (excl) sebesar 2.630 TCD.
4. PG milik swasta yang ada di Jawa Timur yakni PG Kebon Agung yang
berada di Malang dengan kapasitas giling 6.000 TCD yang termasuk kapasitas
giling kelas 1 (besar).
Tabel 24 (lanjutan)
PT RNI :
PT PG Rajawali I
PT PG Candi
PT Kebon Agung :
16%
Kelas 1 (>6000 TCD)
19%
Kelas 2 (3000-6000 TCD)
65%
Kelas 3 (<3000 TCD)
5.2.1 Tetes
Data DGI (2014) menunjukkan bahwa jumlah tetes tebu yang dihasilkan
dari tebu yang digiling di Jawa Timur pada tahun 2013 sebesar 752.115 liter
atau mengalami peningkatan sebesar 2 persen pertahun dibandingkan tahun 2005
(Gambar 28). Hal ini sejalan dengan produksi tebu Jawa Timur yang mengalami
peningkatan selama kurun waktu 4 tahun terakhir.
Tetes yang dihasilkan PG di Jatim, sebagian besar dijual kepada pihak
kedua untuk diolah menjadi MSG dan etanol, ada sebagian PG yang mengolah
sendiri tetes yang dihasilkan menjadi alkohol (PG Jatiroto-Lumajang)-sebelum
akhirnya tutup, dan diolah menjadi bioethanol (PG Gempolkrep-Mojokerto).
850,000
800,000
Jumlah tetes (Ton)
750,000
700,000
650,000
600,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tetes 693,0 668,7 824,0 711,0 652,9 741,5 715,1 823,4 752,1
Gambar 28 Jumlah tetes dari tebu yang dihasilkan di Jawa Timur
tahun 2005-2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014
98
3,000
2,500
Rupiah/Kg
2,000
1,500
1,000
500
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Harga Tetes PTPN X Harga Tetes PTPN XI
Gambar 29 Harga rata-rata penjualan tetes di PT. Karisma Pemasaran Bersama
(PT. KPBN)
Sumber: PT. KPBN, 2014
850,000,000
800,000,000
750,000,000
Ton
700,000,000
650,000,000
600,000,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ampas
Gambar 30 Jumlah Ampas yang dihasilkan oleh PG “X”
Sumber: PG “X”, 2011
5.2.2 Ampas
Ampas yang dihasilkan oleh salah satu PG yang berada di Jawa Timur di
jelaskan dengan Gambar 30. PG “X” termasuk salah satu PG yang mempunyai
kapasitas giling 6.500 Ton Cane Day (TCD), yaitu kemampuan dalam menggiling
tebu per hari. Ampas dari PG “X” mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hal
ini disebabkan ampas yang dihasilkan tergantung dari jumlah tebu yang digiling.
Produksi ampas yang dihasilkan, terbesar dihasilkan pada tahun 2007 dengan
jumlah 822.316.475 ton ampas, yang mengalami kenaikan sebesar 17,29 persen
dari tahun 2005. Tren peningkatan ampas periode 2005-2013 sebesar 2,30 persen
per tahun.
5.2.3 Blotong
600,000
500,000
Ton
400,000
300,000
200,000
100,000
-
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Blotong
6,000,000
5,000,000
4,000,000
Ton
3,000,000
2,000,000
1,000,000
-
2005 2006 2007 2008 2009 2011 2010 2012 2013
Biokompos ampas
Gambar 32 Jumlah Biokompos dan Ampas yang dihasilkan Tahun 2005-2013
di Jawa Timur
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2014 (Data diolah)
Jumlah biokompos dan ampas (Gambar 32) yang dihasilkan dari tebu yang
diproduksi di Jawa Timur tahun 2005-2013, di mana besarannya berdasarkan
kriteria dari Subiyono (2013). Data menunjukkan bahwa jumlah ampas tertinggi
dicapai pada tahun 2013 dengan jumlah tebu sebesar 17,496 juta ton, ampas
yang dihasilkan 5, 248 juta ton dan dengan peningkatan sebesar 12 persen.
Ampas yang dihasilkan pada tahun 2005-2013 memiliki tren yang meningkat
sebesar 2,16 persen per tahun.
101
2. PERTAMBANGAN &
200,000,000 PENGGALIAN
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
Juta Rupiah
150,000,000
4. LISTRIK, GAS & AIR
100,000,000 BERSIH
5. KONSTRUKSI
50,000,000
6. PERDAG., HOTEL &
RESTORAN
0 7. PENGANGKUTAN &
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
KOMUNIKASI
8. KEU. REAL ESTAT, & JASA
PERUSAHAAN
9. JASA-JASA
Tahun
Gambar 33 PDRB Jawa Timur tahun 2000-2010 berdasar ADHK
Sumber: BPS, 2014 (Data diolah)
tahun 2000-2010 dengan kontribusi total sebesar Rp. 1.395.297.225 juta. Sektor
Pertanian dan Sektor perdagangan, hotel dan restaurant menempati peringkat ke
dua dan ketiga dengan kontribusi total masing-masing sebesar Rp.829.664.323
juta dan Rp. 821.087.275 juta. Sektor industri pengolahan masih menjadi leading
sector, baik kelompok industri besar/sedang maupun industri kecil dan rumah
tangga.
Selama kurun waktu tahun 2000-2010, semua sektor mengalami
pertumbuhan positif. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor industri
pengolahan sebesar 13,51 persen, posisi kedua ditempati sektor pertanian sebesar
11,89% dan posisi ketiga ditempati sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar
9,06 persen. Masing-masing sektor menunjukkan peningkatan dalam
pertumbuhannya.
150,000,000
Juta Rupiah
100,000,000
50,000,000
0
20002001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
Tebu merupakan salah satu tanaman yang masuk dalam sub sektor
perkebunan (Gambar 35) di mana sub sektor perkebunan masuk dalam sektor
pertanian. PDRB sektor pertanian menunjukkan peningkatan dalam dari tahun
2000-2010. Peningkatan terbesar ada pada tahun 2010 dengan PDRB sebesar
Rp.122.623.967 juta rupiah, dengan laju pertumbuhan 11,89 persen pertahun. Sub
sektor perkebunan menunjukkan laju pertumbuhan yang mengalami peningkatan
sebesar 1,01 persen per tahun.
Dalam kurun waktu 2000-2010 sub sektor tanaman perkebunan
memberikan kontribusi terhadap sektor pertanian mengalami penurunan sebesar
9,61 persen per tahun. Kontribusi penurunan terbesar pada tahun 2005 sebesar
27,17 persen dan kontribusi penurunan terkecil pada tahun 2009 sebesar 4,24
persen.
3.5
Persen (%)
2.5
2
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kontribusi Perkebunan Thd PDRB (ADHK) Jatim
Gambar 36 Kontribusi Tanaman Perkebunan terhadap PDRB Jatim
Sumber: BPS, 2014
250,000,000 1. PERTANIAN
2. PERTAMBANGAN &
200,000,000 PENGGALIAN
Juta Rupiah
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
150,000,000
4. LISTRIK, GAS & AIR
100,000,000 BERSIH
5. KONSTRUKSI
50,000,000
6. PERDAG., HOTEL &
0 RESTORAN
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
7. PENGANGKUTAN &
KOMUNIKASI
8. KEU. REAL ESTAT, & JASA
PERUSAHAAN
9. JASA-JASA
Tahun
Gambar 37 PDRB Jatim Atas Dasar Harga berlaku(ADHB)
Sumber: BPS, 2014
PDRB Jawa Timur berdasarkan ADHB (Gambar 37) selama kurun waktu
tahun 2000-2010 menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan menduduki
peringkat pertama dengan PDRB sebesar Rp.1.395.297.225 juta, peringkat kedua
sektor perdagangan, hotel dan restauran sebesar Rp.1.334.799.766 juta dan
selanjutnya peringkat terbesar ketiga adalah sektor pertanian dengan PDRB
sebesar Rp.829.664.323 juta. Secara keseluruhan, 9 sektor penyumbang PDRB
Jawa Timur menunjukkan bahwa pada tahun 2010 PDRB Jawa Timur
menunjukkan jumlah PDRB dengan angka terbesar. Kontribusi terbesar terhadap
PDRB pada tahun 2010 dihasilkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restaurant
sebesar 29,47 persen, posisi kedua kontribusi diberikan sektor industri pengolahan
yang memberikan kontribusi sebesar 27,49 persen dan posisi ketiga disumbang
dari sektor pertanian sebesar 15,75 persen.
Tabel 27 menunjukkan pertumbuhan pada masing-masing sektor selama
kurun waktu 2000 sampai 2010. Pertumbuhan tertinggi pada sektor perdagangan
hotel dan restaurant sebesar 16,60 persen dan laju pertumbuhan kedua pada sektor
listrik, gas dan air bersih sebesar 16,51 persen dan pertumbuhan ketiga pada
sektor kontruksi sebesar 15,91 persen.
105
20,000,000
15,000,000
Juta Rupiah
10,000,000
5,000,000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tanaman Perkebunan
Gambar 38 PDRB sektor perkebunan tahun 2000-2010
Sumber:BPS, 2014
3.5
3
Persen (%)
2.5
2
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kontribusi Sub Sektor Perkebunan terhadap PDRB (ADHB) Jatim
Total jumlah tenaga kerja pada PG “X” tahun 2010 berjumlah 442 orang
(Tabel 29), tahun 2011 berjumlah 400 orang, tahun 2012 berjumlah 376 orang dan
pada tahun 2013 berjumlah 1.540 orang. Tenaga kerja yang terdapat pada PG “Y”
juga seperti tenaga kerja yang terdapat pada PG “X”. Terdiri dari karyawan tetap
dan musiman.
Uji terhadap validasi model meliputi uji validitas struktur dan uji validitas
kinerja atau output. Uji terhadap kestabilan struktur dilakukan langsung oleh
perangkat lunak untuk menguji konsistensi dimensi. Dari hasil pengujian yang
telah dilakukan, tidak terdapat inkonsistensi dalam penggunaan dimensi.
Sedangkan uji pada validitas kinerja model dengan menggunakan RMSPE, AME
dan AVE dengan batas maksimum 5%.
Tabel 30 Hasil uji validasi kinerja model pengembangan agroindustri gula tebu di
Jawa Timur
Variabel
Produksi Tetes Luas Perekonomian
Kriteria
GKP (%) Areal Wilayah (%)
(%) (%)
RSMPE 3,86 2,96 2,57 1,70
(Root Mean Square Percentage Error)
AME 0,77 0,88 1,70 0,65
(Absolute Mean Error)
AVE 1,56 1,79 3,52 3,29
(Absolute Variance Error)
Ketersediaan tebu sebagai bahan baku utama, sangat diperlukan dalam sub
model bahan baku (Tabel 39). Bahan baku yang cukup sangat menentukan dalam
produksi GKP dan PDT pada nantinya. Adapun produksi tebu dipengaruhi oleh
luas areal dan produktivitas tebu. Berdasarkan pengusahaannya, luas areal dan
produktivitas tebu dibagi 2 (dua) yakni tebu rakyat (TR) dan tebu sendiri (TS).
TR adalah tebu yang diusahakan oleh rakyat dalam penanaman dan
pengelolaannya, sedangkan TS adalah tebu yang penanaman dan pengelolaannya
diusahakan oleh PG. Lahan TR menyumbang 81,37% sedangkan TS 9,78%
terhadap lahan tebu di Jatim. Baik TR dan TS juga menggilingkan tebunya ke PG
ketika musim giling/panen tiba.
320,000
270,000
220,000
Ha
170,000
120,000
70,000
20,000
31,000
26,000
Ribu Ton
21,000
16,000
11,000
6,000
1,000
Kenaikan ini disumbang oleh kenaikan dari luas areal TS yang masih mengalami
peningkatanan, sedangkan TR tidak mengalami peningkatan, karena telah
mencapai target lahan yang ditetapkan.
2,400
2,200
2,000
1,800
Ribu Ton
1,600
1,400
1,200
1,000
10,400
8,400
Ribu Ton
6,400
4,400
2,400
400
Jumlah GKP dan produk samping yang dihasilkan tidak terlepas dari
kapasitas giling mesin PG dalam menggiling tebu menjadi gula dan
menghasilkan produk samping. Gambar 43 menunjukkan bahwa jarak antara
kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai tidak besar. Tetapi jika dilihat dengan
lebih cermat, maka jarak antara kapasitas terpasang dan terpakai mendekati akhir
tahun simulasi (2025) menunjukkan jarak yang lebih lebar dibanding pada awal
tahun 2010. Jika tahun simulasi ditambah, kemungkinan jarak tersebut akan
semakin lebar. Tingkat utilisasi kapasitas terpasang mengalami penurunan sebesar
0,08%. Sesuai dengan teori, bahwa tingkat kemampuan mesin pada suatu titik
tertentu akan mengalami penurunan daya giling karena umur mesin maupun
tingkat perawatan yang dilakukan.
700,000
600,000
500,000
400,000
TCD
300,000
200,000
100,000
0
16,000,004
14,000,004
12,000,004
Juta Rupiah
10,000,004
8,000,004
6,000,004
4,000,004
2,000,004
4
Total Biaya TST1 Total Penerimaan Profit Ptni per ha tanpa pck tebu (Rp/ha)
Gambar 44 Pendapatan petani tebu kondisi aktual tahun 2010-2025
2,600
2,400
2,200
Milyar Rupiah
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000
Profit PG Aktual
Gambar 45 Keuntungan (profit) PG kondisi aktual tahun 2010-2025
1,200
1,100
1,000
Trilyun Rupiah
900
800
700
600
500
400
300
11,000
10,000
9,000
Ribu Ton 8,000
7,000
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
3,000,004
2,500,004
Juta Rupiah
2,000,004
1,500,004
1,000,004
500,004
4
Gambar 48 Pendapatan (profit) petani tebu dan keuntungan (profit) PG dari gula
pada kondisi aktual Jatim tahun 2010-2025
1,200
1,100
Trilyun Rupiah 1,000
900
800
700
600
500
400
300
16,000
Milyar Rupiah
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
Penerimaan Petani
Gambar 50 Penerimaan seluruh petani tebu setelah ada penambahan PDT di
Jatim tahun 2010-2025
ampas, (4) bioethanol berbahan baku tetes, dan (5) biokompos dari blotong. Pada
tahun 2025 penerimaan PG dari GKP dan PDT diperkirakan sebesar Rp.6,97
trilyun, lebih tinggi dibanding tahun 2010 yaitu Rp.3,223 trilyun.
7,500
7,000
6,500
Milyar Rupiah
6,000
5,500
5,000
4,500
4,000
3,500
3,000
Penerimaan PG
Gambar 51 Penerimaan seluruh PG setelah ada penambahan PDT di Jatim
tahun 2010-2025
Penerimaan yang berasal dari 5 jenis PDT yakni bioethanol dari ampas,
bioethanol dari tetes, listrik dari ampas, kampas rem dari ampas dan biokompos
yang berasal dari blotong (Gambar 52) menunjukkan tren yang selalu meningkat.
Peningkatan penerimaan terjadi karena peningkatan pada produksi tebu sebagai
bahan baku PDT. Peningkatan penerimaan tertinggi dihasilkan oleh Bioethanol
dari ampas. Peningkatan penerimaan tersebut terjadi selain karena harga
bioethanol cukup tinggi, yaitu Rp.8000/ liter dan jumlah ampas yang dihasilkan
untuk bioethanol cukup tinggi. Jumlah ampas untuk bioethanol yakni, 15.807 ton
pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 23.762 ton pada tahun 2025.
201
151
Milyar Rupiah
101
51
1,300
1,100
Trilyun Rupiah
900
700
500
300
Jan 2022
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Perekonomian Wilayah
Gambar 53 Perekonomian Wilayah setelah ada penambahan PDT di Jatim tahun
2010-2025
hanya berkisar 72%, masih tertinggal dengan efisiensi dari negara India sebesar
85-87,5. (Baghat, 2011). Tingkat efisiensi yang rendah ini menyebabkan biaya
yang tinggi dan daya saing yang rendah. Maka diharapkan dengan adanya
peningkatan profit PG dari peningkatan produksi PG dan PDT akan menutupi
biaya yang ditimbulkan akibat ketidak efisienan PG.
Dari sisi penerimaan daerah, PAD yang diperoleh dari PG yang ada masih
belum menunjukkan tingkat penerimaan yang tinggi. PAD dari PG yang ada
hanya berasal dari PG saja, itupun masih belum memenuhi target penerimaaan
yang ditetapkan. Sebagai contoh penerimaan total dari Pajak Penerangan Jalan
non PLN (PPJ) di Dispenda Kabupaten Jember pada akhir tahun 2014 hanya
terealisasi sebesar 38,65%. Begitu pula dengan total penerimaan Pajak Air bawah
Tanah (PAbT) hanya tercapai 34,95% pada akhir tahun 2014. Sedangkan untuk
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) hanya tercapai
65.39%. Pajak yang bisa dikenakan terhadap PG berbeda-beda antara satu
kabupaten dengan kabupaten/kota lainnya. Untuk kabupaten Jember pajak yang
dikenakan adalah Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJ) non PLN, Pajak Air
Bawah Tanah (PAbT) dan PBB P2. Penerimaan bagi daerah dari produksi PDT
masih belum ada, karena produk samping yang ada hampir belum terolah menjadi
PDT.
Walaupun selama ini kinerja industri gula belum optimal, baik dari segi
produksi dan biaya, namun industri gula tetap memegang peran penting dalam
penyediaan kebutuhan gula nasional. Untuk membenahi kondisi yang terjadi,
agroindustri gula memerlukan intervensi kebijakan untuk meningkatkan produksi
GKP, PDT, profit PG dan petani, juga PAD dan perekonomian wilayah.
Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) pada dasarnya merupakan
rencana jangka panjang industri gula BUMN dalam rangka meningkatkan
produksi GKP dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi gula di dalam negeri
(Kementrian BUMN, 2011). Disamping dapat digunakan sebagai arah atau
pedoman dalam pengelolaan industri gula BUMN 5 (lima) tahun ke depan.
Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya-upaya untuk
meningkatkan produksi GKP baik dari sisi on farm maupun dari sisi off farm.
Diharapkan dengan adanya kebijakan RIGN dapat meningkatkan produksi
GKP dan PDT (on farm) sehingga peningkatan produksi GKP dan PDT tersebut
bisa meningkatkan profit PG dan petani sebagai pelaku penting dalam industri
pergulaan. Peningkatan profit tersebut pada akhirnya membawa dampak bagi
penerimaan PAD dan perekonomian wilayah.
Berikut adalah dampak kebijakan RIGN terhadap produksi GKP, PDT,
keuntungan PG, pendapatan petani, juga PAD dan perekonomian wilayah dalam
berbagai skenario. Terdiri dari skenario 1, 2, dan 3.
51,000
46,000
41,000
Ribu Ton
36,000
31,000
26,000
21,000
16,000
11,000
6,000
1,000
Untuk Produksi PDT pada Gambar 54, terjadi peningkatan yang cukup
tajam dibandingkan pada saat BAU. Produksi PDT pada skenario 1 tahun 2010
sebesar 32,772 juta ton dan meningkat menjadi 47,870 juta ton pada tahun 2025.
124
Peningkatan PDT sama polanya dengan produksi tebu Jatim. Hal ini disebabkan
PDT merupakan produk samping yang diolah lebih lanjut dari tebu.
Keuntungan PG (Gambar 55) pada skenario 1 mengalami peningkatan
dari Rp.1,293 trilyun pada tahun 2010 menjadi Rp.2,689 trilyun pada tahun
2025. Kebijakan RIGN dengan peningkatan areal tebu sebesar 3.2% bisa
meningkatkan profit PG yang berasal dari PDT.
3,000
Milyar Rupiah
2,500
2,000
1,500
1,000
500
Kebijakan RIGN juga meningkatkan PAD Jatim pada Gambar 55. Hal ini
dapat dilihat dari peningkatan penerimaan PAD Jatim tahun 2010 pada skenario 1
sebesar Rp.579 milyar tahun 2010 meningkat menjadi Rp.1,17 trilyun pada tahun
2025. Peningkatan ini lebih besar jika dibanding pada kondisi BAU tahun 2010
sebesar Rp.562,19 milyar menjadi Rp.1,173 trilyun pada tahun 2025. Kebijakan
meningkatkan luas areal sebesar 3,2% menyebabkan peningkatan produksi tebu,
dimana produksi tebu merupakan bahan utama GKP dan PDT. Selain itu, PDT
pada skenario 1 merupakan pengolahan lebih lanjut dari ampas, tetes dan blotong
menjadi bioethanol, kampas rem, pupuk dan listrik. Dengan konversi yang
berbeda-beda pada masing-masing produk turunan (PDT).
Meningkatnya luas areal tebu sebesar 3,2% mempunyai dampak pada
pendapatan petani pada Gambar 56 Peningkatan pendapatan petani pada
skenario 1, sebesar Rp.7,982 juta pada tahun 2010 menjadi Rp.27,534 juta pada
tahun 2025. Peningkatan pendapatan petani selain karena peningkatan produksi
tebu sebagai faktor utama penerimaan dari tetes, disumbang juga dari GKP
sebagai hasil dari produksi tebu yang merupakan faktor utama bagi hasil dari
rendemen yang dihasilkan. Semakin besar angka rendemen yang dihasilkan, maka
angka bagi hasil dari rendemen semakin besar. Jika jumlah rendemen yang
dihasilkan diatas 6%, maka bagi hasil antara petani tebu dan PG adalah 70%:30%
(PG Pradjekan, 2013).
125
29,000,000
24,000,000
19,000,000
Rupiah
14,000,000
9,000,000
4,000,000
1,400
1,200
Trilyun Rupiah
1,000
800
600
400
200
51,000,000
41,000,000
31,000,000
Ton
21,000,000
11,000,000
1,000,000
3,000
2,500
Milyar Rupiah
2,000
1,500
1,000
500
33,000,000
28,000,000
Rupiah
23,000,000
18,000,000
13,000,000
8,000,000
1,300
1,100
Trilyun rupiah
900
700
500
300
60,000,000
50,000,000
40,000,000
Ton
30,000,000
20,000,000
10,000,000
0
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
3,000
2,500
Milyar Rupiah
2,000
1,500
1,000
500
33,000,000
28,000,000
Rupiah
23,000,000
18,000,000
13,000,000
8,000,000
1,300
1,100
Trilyun Rupiah
900
700
500
300
2,400
2,200
2,000
1,800
Ribu Ton
1,600
1,400
1,200
1,000
Jan 2011
Jan 2013
Jan 2010
Jan 2012
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Produksi GKP Aktual Produksi GKP Skenario 1
Produksi GKP Skenario 2 Produksi GKP Skenario 3
Gambar 66 Perbandingan Produksi GKP pada kondisi aktual, skenario 1, 2, dan 3
tahun 2010-2025
51,000,000
46,000,000
41,000,000
36,000,000
31,000,000
Ton
26,000,000
21,000,000
16,000,000
11,000,000
6,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
peningkatan mulai pada awal simulasi tahun 2010 sampai akhir simulasi tahun
2025. Peningkatan tertinggi pada produksi PDT pada skenario 2. Secara
keselurunan skenario menunjukkan pola exponential growth. Pada kondisi aktual
terdapat perbedaan yang tajam antara skenario 1, 2, dan 3. Perbedaan tersebut
disebabkan pada kondisi aktual, hasil olahan dari tebu masih berupa by product
(tetes, ampas dan blotong) dan belum diolah lebih lanjut menjadi produk turunan
tebu.
3,000
2,800
2,600
Milyar Rupiah
2,400
2,200
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000
34,000,000
29,000,000
24,000,000
Rupiah
19,000,000
14,000,000
9,000,000
4,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
1,300
1,100
Milyar Rupiah
900
700
500
300
100
1,300
1,100
Trilyun Rupiah
900
700
500
300
2,400,000
2,200,000
2,000,000
1,800,000
Ton
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000
50,000,000
48,000,000
46,000,000
44,000,000
42,000,000
Ton
40,000,000
38,000,000
36,000,000
34,000,000
32,000,000
30,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Produksi PDT Skenario 4
3,000
2,500
Milyar Rupiah
2,000
1,500
1,000
Profit PG Skenario 4
34,000,000
29,000,000
24,000,000
Rupiah
19,000,000
14,000,000
9,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Profit petani per ha Skenario 4
1,300
1,200
1,100
Milyar Rupiah
1,000
900
800
700
600
PAD Skenario 4
Gambar 76 PAD Jatim Skenario 4 tahun 2010-2025
137
1,300
1,100
Trilyun Rupiah
900
700
500
300
2,600,000
2,400,000
2,200,000
2,000,000
Ton
1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000
Dengan skenario 5, pada tahun 2015 (Januari) produksi GKP mencapai 1,616 juta
ton. Jumlah PDT tersebut belum memenuhi target dari GKP. Tahun 2016
produksi GKP sebesar 1,738 juta ton. Memenuhi target GKP pusat. Pemenuhan
GKP banyak disumbang dari peningkatan rendemen yang dihasilkan.
51,000,000
49,000,000
47,000,000
45,000,000
43,000,000
Ton
41,000,000
39,000,000
37,000,000
35,000,000
33,000,000
35,000,000
30,000,000
Juta Rupiah
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
3,000
2,800
2,600
Milyar Rupiah 2,400
2,200
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000
Profit PG Skenario 5
1,300
1,200
1,100
Milyar Rupiah
1,000
900
800
700
600
PAD Skenario 5
Gambar 82 PAD Jatim Skenario 5 tahun 2010-2025
1,400
1,200
1,000
Trilyun
800
600
400
200
2,600,000
2,400,000
2,200,000
2,000,000
Ton
1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000
51,000,000
46,000,000
41,000,000
36,000,000
Ton
31,000,000
26,000,000
21,000,000
16,000,000
11,000,000
6,000,000
Jan 2010
Jan 2011
Jan 2012
Jan 2013
Jan 2014
Jan 2015
Jan 2016
Jan 2017
Jan 2018
Jan 2019
Jan 2020
Jan 2021
Jan 2022
Jan 2023
Jan 2024
Jan 2025
Produksi PDT Aktual Produksi PDT Skenario 1 Produksi PDT Skenario 2
Produksi PDT Skenario 3 Produksi PDT Skenario 4 Produksi PDT Skenario 5
Gambar 85 Produksi PDT Jatim pada kondisi Aktual gambar 98, skenario 1, 2,
3, 4, dan 5 tahun 2010-2025
Produksi PDT Jatim tertinggi pada akhir periode analisis juga diperoleh
pada alternatif kebijakan yakni pada skenario 5 dan 4 (Gambar 85). Mengingat
jumlah produksi PDT pada skenario 5 dan 4 menunjukkan jumlah yang sama pada
awal periode analisis hingga akhir periode analisis. Jumlah produksi yang sama
disebabkan peningkatan jumlah rendemen hanya berpengaruh pada produksi
GKP, tetapi tidak berpengaruh pada jumlah tebu yang diproduksi. Sehingga
jumlah PDT tidak mengalami peningkatan pada skenario 5, karena jumlah PDT
pada skenario 5 sama dengan skenario 4. Tebu sebagai bahan baku PDT tetap,
tidak mengalami perubahan poada skenario 5. Produksi tebu pada skenario 5 sama
dengan jumlah PDT pada skenario 4.
Diversifikasi industri gula berbahan baku tebu di Jawa Timur perlu terus
didorong sebagai upaya peningkatkan daya saing. Sejalan dengan penelitian
Toharisman dan Kurniawan (2012) yang menyatakan bahwa ketergantungan pada
monoproduk menjadikan industri gula nasional tidak tahan terhadap gejolak harga
gula impor (saat harga gula impor turun). Peningkatan produksi PDT memberikan
nilai positif, selain bisa memberikan nilai tambah, kebutuhan domestik akan PDT
tersebut cukup besar dan ketersediaan bahan baku yang cukup banyak.
143
3,000
2,800
Milyar Rupiah 2,600
2,400
2,200
2,000
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000
34,000,000
29,000,000
24,000,000
19,000,000
Rupiah
14,000,000
9,000,000
4,000,000
1,300
1,200
1,100
Milyar Rupiah
1,000
900
800
700
600
500
1,300
1,200
1,100
1,000
Trilyun Rupiah
900
800
700
600
500
400
300
7.1 Dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi PDT,
PAD, keuntungan (profit) PG, pendapatan (profit) petani dan perekonomian
wilayah pada kondisi aktual
Penerangan Jalan (PPJ) non PLN, bagian tertentu dari gula yang dihasilkan dan
retribusi jalan lori. Peningkatan profit PG karena adanya pengembangan 5 jenis
PDT dan profit petani dari pucuk tebu, turut menyumbang pajak dan retribusi
yang disetorkan kepada pemerintah daerah. Semakin tinggi profit PG dan profit
petani, maka pajak dan retribusi yang disetorkan juga semakin meningkat.
Pengembangan PDT meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah
yang dicerminkan dari PDRB Jawa Timur. PDT yang memberikan output paling
besar bagi perekonomian wilayah yaitu bioethanol yang berasal dari ampas.
Pengembangan produk samping menjadi 5 jenis PDT menyumbang
perekonomian wilayah sebesar 1,65%. Pengembangan PDT mampu
meningkatkan GDP sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jose Toasa
(2009) di Colombia, Neves (2011) di Brazil, Avilles (2011)di Canada,
Silalertruksa dan Gheewala (2011) di Thailand, Urbanchuk (2014) di Amerika
Serikat, dan Castro et al (2009) yang mengadakan penelitian di Uruguay.
wilayah Jawa Timur sebesar 2,63%. Peningkatan yang lebih besar dibandingkan
dengan simulasi model dengan menggunakan kebijakan RIGN. Peningkatan
terhadap perekonomian wilayah yang berasal dari sektor perkebunan, yakni tebu
diharapkan mampu meningkatkan sumbangan sektor perkebunan terhadap
perekonomian wilayah yang menunjukkan penurunan selama 10 tahun terakhir.
Mengingat sektor perkebunan khususnya tebu mempunyai kontribusi yang sangat
penting melalui penyerapan TK yang tidak sedikit yaitu 2,18%, pendapatan TK
sektor perkebunan tebu juga menyumbang sekitar 76,96% terhadap pendapatan di
sektor perkebunan Jawa Timur dan tidak mudah untuk exit bagi petani tebu yang
mengusahakan TR karena untuk menanam tebu (PC) dibutuhkan biaya yang tidak
sedikit.
Kebijakan alternatif melalui program kebijakan RIGN secara simultan
juga terbukti mampu meningkatkan produksi GKP, pendapatan petani,
keuntungan PG, PAD dan perekonomian wilayah. Produksi tebu mengalami
peningkatan dengan skenario kebijakan alternatif (peningkatan luas real,
produktivitas dan rendemen secara simultan). Peningkatan tersebut mampu
meningkatkan nilai output yang dihasilkan yang berasal dari bahan baku tebu
yakni gula dan PDT. Peningkatan terjadi pada GKP maupun pengembangan 5
jenis PDT. Penelitian Hartono (2012) menjelaskan bahwa produksi hablur dan
produksi tebu dipengaruhi secara positif oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan
negara dan perkebunan swasta. Didukung oleh penelitian Malian et al (2004)
yang menjelaskan bahwa dari aspek usaha tani tebu, peningkatan produktivitas dan
rendemen tebu sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas gula dan
pendapatan petani.
Program kunci yang diharapkan dapat memperkuat kelembagaan
kemitraan adalah secara konsisten meningkatkan keberlanjutan program
perkreditan dan bongkar keprasan (ratoon cane) (Suhada, 2012). Meningkatkan
peran APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dalam proses lelang.
Terbukti meningkatkan pendapatan petani tebu dan meningkatkan farmers share
menjadi 87,37 persen (Syamsiyah dan Sulistyowati, 2012).
gula. Bagi petani, gula impor yang lebih murah dan daya saing produksi gula
(GKP) petani yang lebih rendah karena biaya produksi GKP dalam negeri tinggi
jika hal ini terus berlangsung maka petani tebu dan pabrik gula (PG) akan
mengalami kerugian karena biaya produksi dan harga gula petani tidak kompetitif
dibanding harga gula impor.
Sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 2008 peroduktivitas gula
mengalami peningkatan sebesar 6,11 ton/ha ini disebabkan pada tahun 2007
diterbitkan Permentan no. 57/Permen/KU.430/7/2007 mengenai Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sebesar Rp.12.500.000,- dan Peraturan
Menteri Perdagangan RI no.18/M-DAG/PER/4/2007 mengenai perubahan
keempat atas Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan
no.527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula dimana GKP hanya bisa
diimpor jika harga GKP ditingkat petani mencapai Rp.4.900 per Kg, sehingga
mampu meningkatkan produktivitas gula nasional. Didukung dengan penelitian-
penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa petani tebu
rakyat akan meningkatkan kualitas tebu yang ditanam jika terdapat jaminan harga
(sehingga produktivitas GKP pada tahun 2008 mengalami peningkatan). Harga
talangan yang pernah berlaku dapat meningkatkan keinginan petani tebu melalui
perbaikan kualitas tanaman maupun peningkatan areal tebu. Saat ini, konsep dana
talangan sudah tidak diberlakukan lagi. Konsep mengenai dana talangan dalam
bentuk lain bisa berupa yaitu pemerintah mampu menjamin bahwa harga lelang
gula senantiasa berada diatas harga dasar gula (provenue). Konsep dana talangan
pada intinya memberikan jaminan kepada petani tebu bahwa jika harga gula
berada dibawah harga dasar, maka investor harus menalangi. Apabila harga
berada di atas harga dasar, maka kelebihan harga tersebut dibagi antara investor
dan petani tebu 60%:40%. Petani tebu mendapatkan kelebihan harga sebesar 60%
dan investor sebesar 40%. Jaminan harga ini perlu diberikan mengingat berdasar
data produktivitas tebu rakyat (TR) dari tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa
produktivitas tebu secara rata-rata TR lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan
TS. Peningkatan produktivitas menunjukkan bahwa petani tebu cukup responsif
terhadap adanya perubahan harga yang terjadi. Peningkatan produktivitas terjadi
pada tahun 2007 dan pada tahun 2012. Pada tahun 2007 peningkatan
produktivitas gula yang dihasilkan disebabkan antara lain Keputusan menteri
Perdagangan RI no. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai impor gula. Produktivitas
gula pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 6,01 ton/ha. Pada tahun
2012, produktivitas gula di Jawa Timur sebesar 6,15 ton/ha. Peningkatan ini selain
dibukanya areal tebu baru di Tuban, Lamongan dan Bangkalan, disebabkan juga
adanya HPP yang ditetapkan pada tahun 2011 sebesar Rp.7000,- oleh
Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan no. 11/M-
DAG/PER/5/2011.
Harga gula internasional yang lebih murah (karena PG di luar negeri
sangat efisien dan pemerintah negara setempat memproteksi dan mensubsidi
industri gula dan petani tebu nya) maka, turunnya harga gula internasional akan
menyebabkan daya saing industri gula Jawa Timur mengalami penurunan.
Penurunan daya saing akan mengakibatkan peningkatan harga dasar gula. Jika hal
ini berlangsung secara terus menerus, maka petani akan mengalami kerugian.
Padahal petani merupakan pelaku inti pelaku usaha tebu yang mengusahakan
lebih dari 80% tanaman tebu.
154
8.1 Simpulan
8.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Perkebunan [Disbun] Jawa Timur. 2015. Nilai Tukar Petani Perkebunan
Rakyat. Diperoleh tanggal 2 Februari 2015, dari
http://disbun.jatimprov.go.id/ntp-pr.php.
Dinas Perkebunan Jawa Timur. 2012b. Publikasi statistik perkebunan 2011. Jawa
Timur: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. Diperoleh tanggal 25
Februari 2015, dari
http://disbun.jatimprov.go.id/dbdata/dwnlad/statistik/Angka%20Perkebuna
n2011.pdf
Dinas Perkebunan Jawa Timur. 2014. Jatim Capai Areal Tebu Tertinggi dalam
Sejarah Pertebuan. Diperoleh tanggal 29Juni 2015, dari
http://disbun.jatimprov.go.id/berita.php?id=250 .
Dinas Perkebunan. 2011. Pembangunan Pabrik Gula Baru di Jawa Timur.
Haruskah? Dinas Perkebunan Jawa Timur.
http://www.disbun.jatimprov.go.id/berita.php?id=59. Diunduh 11 Februari
2015.
Dingle, Jennifer, Ismail A, Tanzer J. 1997. Current Trends of Sugar Consumption
in Developing Societies, Community Dentistry and Oral Epidemiology;
Vol. 25; p. 438-43.
Fahriyah, Siregar H, Oktaviani R. 2012. Peranan Industri Gula dalam
Perekonomian Wilayah: Analisis Input-Output Kabupaten Pasuruan. Di
dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT
Gramedia. hlm 131-164
FAOSTAT. 2013. Top Production Sugarcane 2012, FOOD AND
AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS.
http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx. Accessed 19 Januari 2015.
Ferro, Diego, Riven, D, & Ghersa C. 2009. An analysis of the factors that
influence sugarcane yield in Northern Argentina using classification and
regression trees. Field Crops Research, 112 (2009), p 149-157.
Feryanto, Susilohadi GN, Herawati, Budiati NH. 2012. Integrasi Antara
Kebijakan Sosial Ekonomi dan Aplikasi Teknologi Proses Produksi di
Industri Gula. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula.
Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 337-360.
Goldhar J D, and Jelinek M. 1983. Plan for Economies of Scope. Harvard
Business Review. November 1983.
Gunatilake, H and Abeygunawardena, P., 2014, Energy security, food security
and economics of sugarcane bioethanol in India, Journal of sustainable
Development; vol. 7, No. 1; 2014.
Gunawan S. 2013. Industri Gula Terpadu, Tak Sekedar Mimpi, Diunduh
www.sandigunawan.com/2013/02/28/industri-gula-terpadu-tak-sekedar-
mimpi/
Hanani N, Fahriyah, Asmara R. 2012. Tingkat Penerapan Teknologi Petani dalam
Usahatani tebu. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula.
Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 77-82.
Hanani N, Sujarwo, Asmara R. 2012. Peran Koperasi Dalam Sistem Agribisnis
Tebu Rakyat. Di dalam: Bayu Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta
(ID): PT Gramedia. Hlm 305-318.
160
Hartono S. 2012. Efisiensi Produksi Tebu dan Gula Indonesia. Di dalam: Bayu
Krisnamurthi, editor. Ekonomi Gula. Jakarta (ID): PT Gramedia. Hlm 17-
30.
Haryono, Slamet,. 2009. Dinamika Lahan Pertanian dalam Perekonomian Kota
Tangerang: Suatu Pendekatan System Dynamics, Tesis, ITB, Bandung.
Hasan F, Triantarti, dan Toharisman A. (2013). Rise and fall of the Indonesian
sugar industri. Proc. Int. Soc. Sugar Cane Technol., Vol. 28.
Hofstrand D. 2007. Economies of scope, file c5-205, June 2007. IOWA State
university. https://www.extension.iastate.edu/agdm/wholefarm/pdf/c5-
205.pdf. Diunduh 5 juli 2015.
Industri Gula Nasional Lakukan Diversifikasi Produk, Merdeka .com diunduh 2
Januari 2013.
Janda K, Kristaufek L, Zilberman D., 2012, Biofuels: policies and impacts,
Agric. Econ, -CZECH, 58, 2012 (8): 372-386
Januarsini L. 2000, Analisis Usaha Tani serta Efisiensi Penggunaan Faktor
Produksi Tebu, Skripsi, IPB.
Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan
Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB Bandung.
Kartiko, Cahyo. 1998. Dinamika Produksi dan Distribusi Tebu Serta Implikasinya
Terhadap Keragaan Agroindustri dan Perkembangan Wilayah Jawa Timur,
Skripsi, IPB.
Keerthipala AP. 2002. Impact of Macro-Economic Policies on the Sugar Sector of
Sri Lanka. Sugar Tech, Vol.4 (3&4): p. 87-96 (2002).
Kementerian Badan Usaha Milik Negara [BUMN]. 2011. Revitalisasi industri
gula BUMN Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian BUMN.
Kementerian Badan Usaha Milik Negera [BUMN]. 2011. Revitalisasi Industri
Gula BUMN Tahun 2010-2014, Kementrian BUMN: Jakarta
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM]. 2012. 10 Jawaban
Tentang Kenaikan Harga BBM Bersubsidi. Diunduh 21 April 2013, www.
Prokum.esdm.go.id
Kementerian Perindustrian. 2010. Peraturan menteri perindustrian Republik
Indonesia Nomor: 11/M_IND/PER/I/2010. Jakarta (ID): kementerian
Perindustrian.
Kementerian Pertanian. 2014. Mengoptimalkan Ampas Tebu untuk Bioetanol.
Diunduh dari
http://cyber.kamarasta.web.id/materipenyuluhan/detail/8868/mengoptimalk
an-ampas-tebu-untuk-bioethanol. Diperoleh tanggal 20 Agustus 2015.
Kementrian Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian dan Perkebunan, Pusat
Data dan Informasi Pertanian.
http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/outlook_perk
ebunan_2010.pdf
Kibira D, Shao G, Nowak S, 2010, System Dynamics Modeling of Corn Ethanol
as a Bio Transportation Fuel in the United States, Publications, Agencies
and Staff of the US Department of Commerce, Paper 208,
http://digitalcommons.unl.edu/usdeptcommercepub/2008
Kirana KSM. 2008. Penentuan Dosis Pemupukan Kompos Blotong pada Tebu
Lahan Kering. Skripsi. Program Studi Agronomi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
161
LAMPIRAN
168
Produktivtas TR
Produktivitas TS
PDRB Jawa Timur
Laju Peningkatan Produksi TR Perekonomian Wilayah
Produkstivts TR Laju Peningkatan
Produkstvts TS Fraksi Pertumbuhan
Produkstivitas TS
Fraksi Pertumbuhan
Produktivitas TR Fraksi PDRB
Penambahan PDRB
GKP Bagian PG
Biay pupuk per ha
Profit u Petani berdsr luas Biaya Produksi PG
lhn ttl Pajak Penerangan
Jumlh PG Jalan per PG
Biaya pupuk ttl
Produktivtas TR
Produksi TR Produktivitas TS
Laju Peningkatan
Produkstivts TR Jumlah PG
Laju Peningkatan
Produkstvts TS
Perekonomian Wilayah PDRB Jawa Timur
Fraksi Pertumbuhan Penambahan PDRB
Fraksi Pertumbuhan Retribusi jalan lori
Produktivitas TR Produksi TS Produkstivitas TS seluruh PG jatim
Penerimaan
PAD
bioethanol dariTax Ratio
Besaran retribusi
Kapasitas terpsg industri Ampas tetes
Kapasitas Giling PG
Laju Peningkatan
kapasitas
terpasang Penerimaan dr Gula
Fraksi Blotong Profit dari Gula PG
Harga lelang gula PG Biaya PBB Petani
Kapasitas terpakai Konstanta new
kapasitas giling per
Laju penambhn Pajak dari PG dan
Lama Giling PG
kapasits terpakai PPh Pegawai PG Petani
Industri Gula di
IndonesiaIndustri Gula di
Indonesia
Ekportir terbesar kedua tahun 1930Ekportir
terbesar kedua tahun 1930
Hari giling belum Kapasitas giling < Jam henti giling Usia pabrik Single
optimal 2000 TCDKapasitas Product
giling < 2000 TCD tua
UU no Tidak
InefisiensiI Biaya produksi 12/1992dan ada
no.5/1998UU
nefisiensi tinggiBiaya produksi no 12/1992dan dana
no.5/1998 talanga
tinggi nTidak
Harga gula DN Petani enggan ada
Produksi Daya saing
Tebu mahalHarga gula dana
industri menanam
terbanyak DN mahal talanga
rendahDaya saing
Produksi tebuPetani enggan n
industri rendah
Tebu
terbanyak menanam tebu
Sistem PG
DinamikSistem tutupPG
Dinamik tutup
Diversifikasi RIGN
TebuDiversifikasi RIGN
Pemenuhan target
Tebu pemerintah
pusatPemenuhan target
pemerintah pusat
Pola Error
Gula Kristal Putih (GKP)
2.000000
1.500000
1.000000
0.500000
- GKP
2009 2010 2011 2012 2013
(0.500000)
(1.000000)
(1.500000)
(2.000000)
Luas Areal
2.000000
1.500000
1.000000
0.500000
Luas Areal
-
2009 2010 2011 2012 2013
(0.500000)
(1.000000)
(1.500000)
(2.000000)
172
Lampiran 4 Produksi GKP Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Ton)
Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP Produksi GKP
Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Jan 2010 1.014.144 1.046.597 1.030.371 1.038.585 1.088.969 1.127.395
Jan 2011 1.089.587 1.124.453 1.107.020 1.115.846 1.169.977 1.211.262
Jan 2012 1.170.849 1.208.317 1.189.583 1.199.067 1.257.236 1.301.600
Jan 2013 1.258.390 1.298.658 1.278.524 1.288.717 1.351.235 1.398.916
Jan 2014 1.352.701 1.395.987 1.374.344 1.385.301 1.452.505 1.503.759
Jan 2015 1.454.315 1.500.853 1.477.584 1.489.364 1.561.616 1.616.720
Jan 2016 1.563.805 1.613.847 1.588.826 1.601.493 1.679.184 1.738.437
Jan 2017 1.681.791 1.735.609 1.708.700 1.722.322 1.805.876 1.869.599
Jan 2018 1.808.942 1.751.934 1.837.885 1.852.538 1.822.862 1.887.184
Jan 2019 1.809.474 1.814.553 1.838.425 1.853.082 1.888.017 1.954.639
Jan 2020 1.874.156 1.879.412 1.904.142 1.919.323 1.955.501 2.024.504
Jan 2021 1.941.151 1.946.589 1.972.209 1.987.932 2.025.397 2.096.867
Jan 2022 2.010.541 2.016.167 2.042.709 2.058.995 2.097.793 2.171.817
Jan 2023 2.082.411 2.088.232 2.115.730 2.132.597 2.172.776 2.249.445
Jan 2024 2.156.851 2.162.874 2.191.360 2.208.831 2.250.439 2.329.849
Jan 2025 2.233.952 2.240.183 2.269.695 2.287.790 2.330.879 2.413.128
173
Lampiran 5 Produksi PDT Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Ton)
Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT Produksi PDT
Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Jan 2010 6.421.763 32.772.134 32.264.040 31.755.945 33.296.488 33.296.488
Jan 2011 6.725.947 34.324.478 33.792.317 33.260.155 34.873.670 34.873.670
Jan 2012 7.045.796 35.956.761 35.399.293 34.841.824 36.532.069 36.532.069
Jan 2013 7.382.128 37.673.160 37.089.082 36.505.002 38.275.931 38.275.931
Jan 2014 7.735.804 39.478.072 38.866.011 38.253.947 40.109.721 40.109.721
Jan 2015 8.107.731 41.376.124 40.734.635 40.093.145 42.038.142 42.038.142
Jan 2016 8.498.863 43.372.184 42.699.749 42.027.312 44.066.139 44.066.139
Jan 2017 8.910.204 45.471.377 44.766.396 44.061.414 46.198.919 46.198.919
Jan 2018 9.342.810 44.744.667 46.939.887 46.200.676 45.460.582 45.460.582
Jan 2019 9.110.504 45.178.387 45.772.740 45.051.909 45.901.241 45.901.241
Jan 2020 9.198.842 45.616.316 46.216.568 45.488.748 46.346.177 46.346.177
Jan 2021 9.288.039 46.058.495 46.664.705 45.929.827 46.795.431 46.795.431
Jan 2022 9.378.101 46.504.965 47.117.192 46.375.189 47.249.045 47.249.045
Jan 2023 9.469.037 46.955.769 47.574.072 46.824.874 47.707.061 47.707.061
Jan 2024 9.560.856 47.410.948 48.035.388 47.278.925 48.169.523 48.169.523
Jan 2025 9.653.567 47.870.544 48.501.182 47.737.384 48.636.473 48.636.473
174
Lampiran 6 Keuntungan (profit) PG Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)
Lampiran 7 Pendapatan (profit) Petani Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)
Profit Petani Profit petani Profit Petani Profit petani Profit petani
Profit Petani
per Ha per Ha per Ha per ha per ha
per Ha Aktual
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Jan 2010 4.332.294 7.982.294 8.374.764 8.701.063 9.105.034 10.200.046
Jan 2011 5.329.259 8.979.259 9.387.681 9.723.203 10.143.528 11.276.892
Jan 2012 6.363.641 10.013.641 10.438.613 10.783.677 11.220.970 12.394.085
Jan 2013 7.436.813 11.086.813 11.528.955 11.883.893 12.338.789 13.553.104
Jan 2014 8.550.197 12.200.197 12.660.154 13.025.307 13.498.465 14.755.482
Jan 2015 9.705.266 13.355.266 13.833.704 14.209.426 14.701.530 16.002.804
Jan 2016 10.903.544 14.553.544 15.051.155 15.437.813 15.949.571 17.296.714
Jan 2017 12.146.611 15.796.611 16.314.110 16.712.084 17.244.231 18.638.912
Jan 2018 13.436.101 17.088.505 17.624.232 18.033.913 18.589.721 20.033.773
Jan 2019 14.775.328 18.426.001 18.984.886 19.406.701 19.982.665 21.477.771
Jan 2020 16.161.913 19.812.117 20.393.657 20.827.995 21.426.209 22.974.173
Jan 2021 17.598.886 21.248.581 21.853.622 22.300.903 22.922.152 24.524.839
Jan 2022 19.088.037 22.737.181 23.366.599 23.827.259 24.472.355 26.131.698
Jan 2023 20.631.221 24.279.770 24.934.474 25.408.962 26.078.744 27.796.744
Jan 2024 22.230.357 25.878.265 26.559.196 27.047.977 27.743.314 29.522.042
Jan 2025 23.887.432 27.534.649 28.242.785 28.746.341 29.468.130 31.309.730
176
Lampiran 8 PAD Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)
PAD Aktual PAD Skenario 1 PAD Skenario 2 PAD Skenario 3 PAD Skenario 4 PAD Skenario 5
Jan 2010 123.246.498.259 579.976.010.594 570.624.067.117 573.806.967.166 600.844.792.761 619.097.174.824
Jan 2011 131.922.340.338 620.289.635.210 610.295.076.323 613.734.181.428 642.690.792.770 662.300.967.676
Jan 2012 141.267.571.998 663.617.109.826 652.932.474.652 656.648.426.402 687.667.972.174 708.740.701.212
Jan 2013 151.334.729.402 710.190.284.641 698.764.486.765 702.779.592.772 736.017.342.154 758.665.608.663
Jan 2014 162.180.503.704 760.259.114.942 748.037.160.404 752.375.528.510 787.998.740.973 812.344.400.614
Jan 2015 173.866.070.775 814.093.086.378 801.015.769.518 805.703.452.786 843.892.316.423 870.066.799.044
Jan 2016 186.457.447.132 871.982.752.947 857.986.328.344 863.051.481.691 904.000.125.502 932.145.192.718
Jan 2017 200.025.874.158 934.241.396.615 919.257.225.237 924.730.274.639 968.647.860.629 998.916.423.523
Jan 2018 214.648.232.865 939.991.860.337 985.160.985.734 991.074.811.026 974.695.812.216 1.005.249.080.309
Jan 2019 214.709.343.499 970.364.287.393 982.439.058.832 988.380.939.163 1.006.282.281.273 1.037.927.623.914
Jan 2020 222.147.815.416 1.001.805.995.836 1.014.296.672.650 1.020.477.527.436 1.038.981.173.945 1.071.757.629.169
Jan 2021 229.852.211.205 1.034.355.055.472 1.047.276.397.123 1.053.705.027.232 1.072.832.099.892 1.106.780.101.341
Jan 2022 237.832.038.438 1.068.050.895.707 1.081.418.190.494 1.088.103.713.950 1.107.876.083.401 1.143.037.510.226
Jan 2023 246.097.144.645 1.102.934.354.152 1.116.763.438.205 1.123.715.301.556 1.144.155.613.963 1.180.573.842.499
Jan 2024 254.657.729.464 1.139.047.726.952 1.153.355.003.921 1.160.582.994.007 1.181.714.698.639 1.219.434.655.939
Jan 2025 263.524.357.236 1.176.434.820.930 1.191.237.282.373 1.198.751.538.519 1.220.598.916.314 1.259.667.135.591
177
Lampiran 9 Perkonomian Wilayah Jatim pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, dan 5, tahun 2010-2025 (Rp)
Perekonomian Wilayah Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario Produksi PDT Skenario
Aktual 1 2 3 4 5
Jan 2010 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000 342.280.765.510.000
Jan 2011 371.735.492.900.243 372.939.864.703.707 372.769.018.000.576 372.832.592.553.409 373.315.121.341.429 373.648.275.346.657
Jan 2012 403.610.898.919.927 406.149.175.180.263 405.785.632.436.711 405.921.500.137.482 406.949.718.312.632 407.660.632.278.935
Jan 2013 438.102.203.061.803 442.114.871.416.590 441.534.621.403.011 441.752.409.729.288 443.395.835.456.948 444.533.681.563.738
Jan 2014 475.420.238.930.169 481.059.594.249.508 480.236.269.357.524 480.546.599.855.446 482.881.688.380.017 484.500.626.794.659
Jan 2015 515.792.698.509.980 523.223.759.242.332 522.128.424.299.758 522.543.005.324.981 525.653.778.744.660 527.813.416.350.941
Jan 2016 559.465.475.432.192 568.866.968.812.368 567.467.891.802.921 567.999.619.464.597 571.978.351.004.571 574.744.240.236.482
Jan 2017 606.704.115.106.641 618.269.536.344.621 616.531.939.520.759 617.195.007.531.161 622.142.964.902.348 625.587.146.086.213
Jan 2018 657.795.380.219.556 671.734.131.169.181 669.619.920.922.113 670.429.940.113.468 676.458.192.923.401 680.659.783.814.645
Jan 2019 713.048.940.768.234 728.486.733.731.570 727.055.027.700.141 728.029.156.034.029 734.117.596.659.373 739.126.859.754.685
Jan 2020 771.583.973.543.912 789.165.902.952.780 787.862.357.771.791 789.010.673.645.463 795.779.606.363.942 801.664.531.393.839
Jan 2021 834.166.714.035.077 854.024.741.727.081 852.864.508.037.008 854.201.812.881.275 861.702.636.003.378 868.535.970.634.217
Jan 2022 901.058.088.778.816 923.332.107.005.687 922.331.505.667.552 923.873.642.968.936 932.161.197.708.972 940.020.756.113.650
Jan 2023 972.535.266.614.283 997.373.571.975.166 996.550.173.344.997 998.314.096.444.110 1.007.446.885.434.250 1.016.415.876.133.640
Jan 2024 1.048.892.650.732.970 1.076.452.446.372.490 1.075.825.154.639.360 1.077.828.998.770.790 1.087.869.418.062.760 1.098.036.792.216.980
Jan 2025 1.130.442.930.672.520 1.160.890.858.427.580 1.160.480.001.328.950 1.162.743.160.162.440 1.173.757.745.536.660 1.185.218.566.936.820
178
179
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bondowoso, Jawa Timur pada tanggal 16 Juni 1978 dari
bapak Drs. Sumadi dan ibu Sunaryati. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Penulis menikah dengan Sagiyanta dan dikaruniai dua orang putri,
yakni Sausan Salma Izdihar Sagita dan Sanas Esa’al Sagita.
Sejak tahun 2004, penulis diangkat sebagai staff pengajar pada jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi di Universitas Jember.
Sebagai persyaratan proses akhir program Doktor di Program Studi PWD, penulis
telah menusun jurnal Internasional dan dalam tahap review 2 pada jurnal Sugar
Tech (indeks scopus), manuscripst No. SUTE-D-15-00090, dengan judul
Development Agroindustry Sugarcane Model As the Effort to Increase the
Economic Sector in East Java, Indonesia. Sedangkan jurnal nasional terakreditasi
pada Jurnal Ekonomi dan kebijakan Publik (JEKP) dengan judul Menuju
Swasembada Gula Nasional: Model kebijakan untuk meningkatkan Produksi gula
dan Pendapatan Petani tebu di Jawa Timur (Achieving National Sugar Self
Sufficiency: A Policy Model to Increase Sugar production and Boost Sugar Cane
Farmer’s). Nomor penerbitan jurnal 10/JEKP/VII/2015. Penelitian mengenai tebu
dengan judul Nation’s Competitivness Improvement: Local Wisdom Contents,
Sugarcane Productivity And sugarcane Derived Product (Peningkatan Daya Saing
bangsa: Muatan kearifan Lokal, Produksi Tebu dan Produk Derivasi tebu (PDT))
turut serta dipresentasikan dalam Seminar Internasional yang diterbitkan dalam
buku dengan judul Dinamika Budaya Indonesia dalam Pusaran Pasar global
dengan ISBN: 978-602-258-231-1 tahun 2014.