Anda di halaman 1dari 24

ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

SEKOLAH TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Sheva Septiani 021002104004

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Trisakti

ABSTRAK

Pendidikan merupakan investasi besar bagi suatu negara. Pendidikan menyangkut pada
kepentingan semua warga negara dan institusi-institusi lainnya. Hal ini disebabkan
pendidikan berkaitan erat dengan tersedianya sumber daya manusia yang andal untuk
menyuplai berbagai kepentingan. Oleh sebab itu, titik berat pembangunan infrastruktur
pendidikan khususnya sekolah terletak pada peningkatan mutu setiap jenis dan bangunan
jenjang sekolah, serta peluasan kesempatan belajar pada banyak daerah.

Kata Kunci: Pendidikan, Sekolah, dan Infrastruktur Sekolah.

I. Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan


pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Pendidikan
mempunyai peranan vital dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberikan
sumbangsih yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, dewasa ini
permasalahan pendidikan semakin kompleks, salah satunya yaitu keterbatasan
infrastruktur pendidikan di daerah-daerah terdepan Republik Indonesia.

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang


“Sistem Pendidikan Nasional” bahwa pendidikan di Indonesia dilaksanakan melalui tiga
jalur yaitu; jalur formal, nonformal, dan informal. Dari tiga jalur tersebut yang paling
jelas tampak dan dirasakan oleh setiap orang sudah tentu jalur pendidikan formal.
Pendidikan formal sejatinya adalah pendidikan yang berlangsung di sekolah. Bukan
hanya sekolah, perguruan tinggi pun termasuk pendidikan formal. Sekolah mulai dari SD,
SMP, hingga SMA/SMK diharapkan agar dapat berfungsi dengan baik dan dapat
mengantarkan siswa-siswinya menjadi orang terdidik dan terpelajar. Mau tidak mau
sekolah harus ditata dan dikelola secara baik.

Membayangkan sekolah, tentu segera tertuju kepada bangunan sekolah tersebut.


Apakah berada di tempat strategis, bangunannya tergolong kuno atau baru, kumuh atau
tidak, masih meminjam atau sudah berdiri sendiri, dan apakah gedung sekolah itu sudah
nyaman dihuni oleh warga sekolah terutama para siswanya. Semua pertanyaan ini akan
bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan di sekolah tersebut. Bagi sekolah yang baru
berdiri tentu memerlukan persiapan dan bahan-bahan material yang perlu dipikirkan
secara matang.

II. Pembahasan
1) Definisi Pendidikan, Sekolah, dan Infrastruktur Sekolah
a. Pendidikan dan Sekolah

Pendidikan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan


kualitas sumber daya manusia sesuai amanat dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sekolah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan atau lembaga
untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran; waktu
atau pertemuan ketika murid-murid di beri pelajaran; usaha menuntut kepandaian;
belajar di sekolah.

Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa atau
murid di bawah pengawasan pendidik atau guru. Sebagian besar negara memiliki
sistem pendidikan formal yang umumnya wajib dalam upaya menciptakan anak
didik yang mengalami kemajuan setelah mengalami proses melalui pembelajaran.

Sekolah merupakan salah satu instansi terpenting, tempat proses belajar


mengajar berlangsung. Sekolah menambah pengetahuan anak didik tentang dunia,
serta membantu anak didik menyesuaikan diri dengan derap kemajuan dan
perubahan cepat yang terjadi dalam kehidupan modern. Sekolah juga membantu
manusia dalam menikmati seni dan mengembangkan minat serta bakat lain yang
membuat waktu senggang lebih berharga. (Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid
14, 1990:471). Sekolah terbagi kedalam dua jenis, yaitu sekolah formal dan
informal. Pendidikan formal adalah jenis pendidikan dengan sistem sekolah,
sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang umumnya dilakukan di luar
sekolah, seperti sekolah musik atau tari.

b. Infrastruktur Sekolah

Untuk menunjang pendidikan diperlukan infrastuktur yang memadai. Menurut


Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Pada Pasal 49 Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa pemerintah pusat


wajib mengalokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) untuk sektor pendidikan diluar gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan, sedangkan pemerintah daerah juga wajib mengalokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan
diluar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

Pemerintah pusat juga membuat standar sarana dan prasarana pendidikan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan. Pada Pasal 42 Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan
bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana berupa perabot, peralatan
pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai,
serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran
yang tentram dan berkelanjutan serta prasarana berupa lahan, ruang kelas, ruang
pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan,
ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin,
instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain,
tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Untuk memperjelas pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005,


Menteri Pendidikan Nasional mengesahkan Peraturan Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Dalam Pemendiknas tersebut dijelaskan sarana
dan prasarana minimal yang wajib dimiliki satuan pendidikan. Sebuah SD/MI
sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:

1) kelas

2) perpustakaan

3) laboratorium IPA

4) ruang pimpinan

5) ruang guru

6) tempat beribadah

7) UKS

8) kamar mandi

9) gudang

10) ruang sirkulasi, dan

11) tempat bermain/berolahraga

Sedangkan untuk sebuah SMP/MTs sekurang-kurangnya memiliki prasarana


sebagai berikut:

1) kelas

2) perpustakaan

3) laboratorium IPA

4) ruang pimpinan

5) ruang guru

6) ruang tata usaha

7) tempat beribadah
8) ruang konseling

9) UKS

10) ruang organisasi kesiswaan

11) kamar mandi

12) gudang

13) ruang sirkulasi, dan

14) tempat bermain/berolahraga

Untuk sebuah SMA/MA sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai


berikut:

1) kelas

2) perpustakaan

3) laboratorium biologi

4) laboratorium fisika

5) laboratorium kimia

6) laboratorium komputer

7) laboratorium bahasa

8) ruang pimpinan

9) ruang guru

10) ruang tata usaha

11) tempat ibadah

12) ruang konseling

13) UKS

14) ruang organisasi kesiswaan


15) kamar mandi

16) gudang

17) ruang sirkulasi

18) tempat bermain/berolah raga

Ketentuan mengenai ruang-ruang beserta sarana di dalamnya sudah diatur juga


dalam standar Permendiknas. Namun sebaliknya, hal ketentuan di atas masih
kurang bisa dilaksanakan.

2) Prinsip Pengelolaan Infrastruktur Sekolah di Indonesia

Prinsip-prinsip dalam mengelola sarana dan prasarana pendidikan agar tujuan


manajemen sarana dan parasarana dapat tercapai yaitu sebagai berikut.

1. Prinsip pencapaian tujuan, pada dasarnya manajemen sarana dan prasarana


pendidikan dilakukan dengan maksud agar semua fasilitas sekolah dalam keadaan
kondusif siap pakai. Oleh sebab itu, manajemen sarana dan prasarana pendidikan
dapat dikatakan berhasil bila fasilitas pendidikan itu selalu siap pakai setiap saat
dan pada setiap personil sekolah yang akan menggunakannya.
2. Prinsip efisiensi, dengan prinsip efisieni berarti semua kegiatan pengadaan sarana
dan prasarana pendidikan dilakukan dengan perencanaan yang hati-hati sehingga
bisa memperoleh fasilitas yang berkualitas baik dengan harga yang relatif murah.
Dengan prinsip efisiensi juga berarti bahwa pemakaian semua sarana dan
prasarana pendidikan hendaknya dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
dapat mengurangi pemborosan. Dalam rangka itu, sarana dan prasarana
pendidikan hendaknya dilengkapi dengan petunjuk teknis penggunaan dan
pemeliharaannya. Petunjuk teknis tersebut dikomunikasikan kepada personil
dilembaga pendidikan yang di perkirakan akan menggunakanya. Selanjutnya, bila
dipandang perlu, dilakukan pembinaan terhadap semua personel.
3. Prinsip Administratif, dengan prinsip ini berarti semua pelaku pengelolaan sarana
dan prasarana pendidikan hendaknya selalu memperhatikan undang-undang,
peraturan, instruksi, dan pedoman yang diperlakukan pemerintah atau institusi
pendidikannya. Sebagai upaya penerapannya, setiap penanggung jawab
pengelolaan sarana parasarana pendidikan hendaknya memahami semua
peraturan perundang-undangan tersebut dan menginformasikan kepada semua
personel institusi pendidikan yang diperkirakan akan berpartisipasi dalam
pengelolaan sarana dan prasarna pendidikan.
4. Prinsip kejelasan tanggung jawab, manajemen sarana dan prasaran pendidikan
baik dalam segi jumlah maupun pengelolaannya membutuhkan tidak sedikit
orang yang terlibat. Oleh karena itu, walaupun semua orang yang terlibat
penggelolaan perlengkapan itu telah memilih tugas dan tangung jawab masing-
masing antara yang satu dengan yang lainnya harus selalu bekerja sama dengan
baik.
5. Prinsip kekohesifan, dengan prinsip kekohesifan berarti manajemen sarana dan
prasarana pendidikan hendaknya terealisasikan dalam bentuk proses kerja yang
sangat kompak. Oleh karena itu, walaupun semua orang yang terlibat dalam
pengelolaan sarana dan prasarana itu telah memiliki tugas dan tangung jawab
masing-masing, antara yang dengan yang lainnya harus selalu bekerja sama
dengan baik.
3) Infrastruktur Sekolah di Indonesia
a. Keadaan Infrastruktur Sekolah di Indonesia dan Pemenuhan Tenaga
Pendidik Bersertifikat Pendidik Lulusan S1
Dalam konteks universal, ketimpangan akan selalu ada sebagai sebuah kondisi
negatif dari kesetaraan. Masalah pemerataan lalu menjadi jalan keluar untuk mengatasi
adanya ketimpangan, bukan hanya urusan alokasi dana dalam perekonomian, namun
juga di persoalan infrastrukturnya.
Pendidikan menjadi salah satu contoh konsep yang bisa dilihat dari dua sisi,
kebijakan kurikulum dan infrastruktur. Melampaui pemerataan pendidikan,
ketimpangan infrastruktur sekolah hendaknya diselesaikan dengan tetap menghargai
konstelasi lokal sehingga pertumbuhan masyarakat tidak selalu harus didikte oleh
ukuran dari pusat.
Bank Dunia (World Bank) menyoroti bahwa masih banyak sekolah di Indonesia
yang kekurangan elemen dasar untuk mendukung pembelajaran siswa. Para kepala
sekolah di Indonesia lebih cenderung menunjukkan kekurangan infrastruktur dan materi
di sekolah mereka. Misalnya, 29% kepala sekolah di Indonesia menunjukkan
kekurangan materi yang besar. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
Meksiko (20%), Filipina (14%), dan Brazil (10%). Padahal, belanja untuk pendidikan
telah meningkat secara drastis dengan didorong oleh aturan anggaran sebanyak 20%.
Dari hasil kajian, data administrasi Kemendikbud mengkonfirmasi hal in, bahwa hanya
25% ruang kelas di SD dan 40% ruang kelas SMA/SMK yang berada dalam kondisi
baik. Begitupun hanya 21% sekolah yang terakreditasi dengan tingkat A dan sisanya
sekolah yang dihadiri oleh siswa kurang mampu memiliki proporsi lebih rendah untuk
ruang kelas berkondisi baik walaupun mendapat akreditasi A. Ekonom Bank Dunia
mengatakan, masalahnya terletak pada distribusi transfer ke daerah yang tidak merata.
Hal ini menciptakan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan Pemda untuk
mengelola belanja pendidikan. Masalah selanjutnya, transfer dengan tujuan khusus dari
pusat ke daerah tidak selalu didistribusikan sesuai dengan kebutuhan infrastruktur
sekolah, sebab adanya perbedaan dalam kapasitas kabupaten untuk mengelola
pendidikan dan kurangnya kapasitas untuk mengelola sumber daya di tingkat sekolah.
Selain masalah distribusi transfer ke daerah yang tidak merata, keberadaan tenaga
pendidik menjadi salah satu sorotan. Jika sebelumnya, pada tahun 1989 untuk menjadi
pendidik seseorang harus mengenyam pendidikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG),
namun sekarang pemerintah menegaskan pendidik termasuk guru sekolah harus sarjana
S1. Itu sebabnya SPG ditutup.
Untuk menjadi tenaga pendidik seperti guru dan dosen, seseorang haruslah memiliki
standar kompetensi. Standar kompetensi tersebut dicapai melalui dua tahapan
pendidikan yakni pendidikan S1 dan pendidikan profesi guru yang dilakukan secara
berkelanjutan. Standar kompetensi lulusan pada pendidikan S1 adalah menguasai
kompetensi akademik, sedangkan standar kompetensi yang hendak dicapai pada
program pendidikan profesi guru adalah kompetensi profesional.
Dosen dan guru pada pendidikan S1 belum semuanya memiliki standar kualifikasi
pendidikan dan memiliki sertifikat pendidik. Kondisi demikian dapat berpengaruh
terhadap status dan kompetensi pendidik, pencapaian standar proses perkuliahan,
sekolah, dan standar kompetensi lulusan. Standar kompetensi lulusan program
pendidikan S1 adalah menguasai kompetensi akademik yang meliputi bidang keilmuan
pedagogi dan bidang studi. Pendidikan profesional guru dilalui melalui dua tahapan
pendidikan yakni pendidikan S1 dan pendidikan profesi guru. Pendidikan profesi guru
membekali dan mengembangkan kompetensi profesional melalui praktik mengajar
pada seting otentik lapangan dengan mengaplikasikan kompetensi akademik yang telah
dicapai pada pendidikan S1. Pendidikan profesional guru adalah mengembangkan dan
membekali lulusan dengan standar kompetensi guru mata pelajaran sehingga lulusan
menjadi guru profesional.
b. Kondisi Infrastruktur Sekolah Pada Masa Pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono
Pendidikan merupakan kunci pembangunan sumber daya manusia. Kualitas sumber
daya manusia merupakan kunci terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera, aman
dan damai, serta maju dan mendunia. Sejak dulu, berbagai upaya reformasi pendidikan
telah ditempuh, termasuk alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN pada era
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014) yang
pertama kali menerapkan sekolah gratis pada tahun 2005 untuk tingkat SD dan SMP.
Namun masalahnya pendidikan Indonesia masih terkendala dua persoalan mendasar,
yakni soal akses dan kualitas pendidikan.
Pada masa pemerintahan Presiden SBY, prioritas utama pemerintah di bidang
pendidikan adalah pembangunan infrastruktur untuk seluruh rakyat Indonesia.
Sederhananya, pembangunan infrastruktur yang tengah dikerjakan di masa
pemerintahan beliau adalah untuk membuat pendidikan di Indonesia makin berkualitas,
mudah, dan murah. Perbaikan dan penambahan infrastruktur sekolah mulai dilakukan
pada tahun 2012-2014 dengan jumlah sarana pendidikan yang akhirnya mencapai
24.030 bangunan untuk SD, 27.656 bangunan untuk SMP, dan 15.221 bangunan untuk
SMA sederajat. Selain itu, pemerintah juga mulai memperluas penerapan sekolah gratis
hingga SMA pada tahun ajaran 2012/2013 dengan Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) yang bisa membantu puluhan juta siswa mengenyam pendidikan secara
terjangkau, bahkan sekolah pun mampu melakukan pemeliharaan sarana dan prasarana
sekolah yang memiliki kerusakan kecil pada saat itu.
Tabel 1. Data Pokok Pendidikan Menurut Jenjang Pendidikan 2005-2012

Sumber: BPS, diolah.


c. Kondisi Infrastruktur Sekolah Pada Masa Pemerintahan Presiden Joko
Widodo

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), permasalahan pendidikan


dan infrastruktur sekolah masih menjadi prioritas. Tantangan terbesarnya adalah
kesenjangan infrastruktur di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Untungnya, Presiden
Jokowi menyebutkan akan ada 1.761 pembangunan dan renovasi sekolah di Indonesia
pada tahun 2019-2021. Presiden menyebut hal itu dilakukan sebagai langkah untuk
mencapai pengembangan sumber daya manusia yang unggul. Walaupun pandemi
covid-19 memaksa dunia pendidikan Indonesia untuk berdaptasi dengan teknologi
dikarenakan melakukan metode Pembelajaran Jarak Jauh dan bertumpu pada
infrastruktur utama penunjang Pembelajaran Jarak Jauh, pemerintah tetap berusaha
untuk memberikan prioritas kepada dunia pendidikan melalui Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemenkominfo)
agar ada prioritas khusus untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sekolah
sekaligus membantu Kementerian Pendidikan untuk membenahi kecakapan guru
dalam mendesain proses Pembelajaran Jarak Jauh.

Sebagai perbandingan dengan data tahun 2021, maka akan disajikan data pokok
pendidikan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi sebelum dan saat pandemi.

Tabel 2. Data Pokok Pendidikan Menurut Jenjang Pendidikan 2017/2018

Sumber: Kemendikbud
Jumlah sekolah di Indonesia diperkirakan mencapai 307.655 sekolah yang terdata di
badan Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017-2018, yang mana jumlah sekolah
negeri adalah 169.378 dan sekolah swasta 138.277. Jumlah sekolah di Indonesia jika
dibagi menjadi berbagai tingkat sekolah dan jenjang pendidikan pada 2017-2018 adalah
TK 91.089 bangunan, SLB 2.157 bangunan, SD 148.244 bangunan, SMP 38.960
bangunan, SMA 13.495 bangunan, dan SMK 13.710 bangunan. Dari data tersebut bisa
terlihat bahwa sekolah negeri masih tinggi bahkan terus bertambah seiring berjalannya
waktu.

Tabel 3. Jumlah Ruang Kelas Menurut Kondisi dan Jenjang Pendidikan 2017/2018

Sumber: Kemendikbud

Grafik 1. Persentase Ruang Kelas Menurut Kondisi Semua Jenjang Pendidikan

Sumber: Kemendikbud
d. Kondisi Infrastruktur Keagamaan (pesantren) di Indonesia Sebelum
Merdeka, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dan Masa Transisi.

Sistem pendidikan Pondok Pesantren telah ada sejak sebelum kemerdekaan


Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dikatakan bahwa kegiatan
pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Dapat dikatakan bahwa
Pondok Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua di negara ini. Tidak sedikit juga
para pahlawan dan pendiri bangsa pernah belajar di Pondok Pesantren seperti KH.
Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan.

Keberadaan pesantren merupakan patner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk
bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada sebagai basis bagi pelaksanaan
transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan
berakhlakul karimah. Terlebih lagi, proses transformasi sosial di era otonomi,
mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan masyarakatnya
sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan. Dengan
demikian, maka pesantren bekerja keras untuk memperbaiki segala kekurangannya dan
menambah hal-hal yang baru yang menjadi kebutuhan umat sekarang ini. Sebab, model
pendidikan pesantren yang mendasarkan diri pada sistem konvensional atau klasik tidak
akan banyak cukup membantu dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum
dan kecakapan teknologis.

Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pada tahun 1831 terdapat
1.853 Pondok Pesantren di daerah Jawa dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500
santri. Jumlah ini belum termasuk pesantren yang berada di luar tanah Jawa. Pada tahun
1885 Pondok Pesantren berkembang menjadi 14.929 Pondok Pesantren dengan jumlah
222.663 santri. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942, Kantor Urusan Agama
militer Jepang (Shumumbu) melakukan survei tentang jumlah pesantren dan madrasah
di tanah Jawa. Berikut adalah hasilnya:
Tabel 4. Jumlah Pesantren dan Madrasah Sebelum Merdeka

Sumber: Kantor Urusan Agama Militer Jepang

Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pada tahun 1831 terdapat
1.853 Pondok Pesantren di daerah Jawa dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500
santri. Jumlah ini belum termasuk pesantren yang berada di luar tanah Jawa. Pada tahun
1885 Pondok Pesantren berkembang menjadi 14.929 Pondok Pesantren dengan jumlah
222.663 santri. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942, Kantor Urusan Agama
militer Jepang (Shumumbu) melakukan survei tentang jumlah pesantren dan madrasah
di tanah Jawa. Berikut adalah hasilnya: Pendidikan agama tetap mendapat perhatian
serius dari pemerintah setelah kemerdekaan, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Dalam anjuran oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27
Desember 1945, disebutkan, “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah
satu sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang telah berurat dan berakar
dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya mendapatkan perhatian dan
bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.“

Pada tahun 1978 berdasarkan laporan Departemen Agama Republik Indonesia,


jumlah pesantren dan santri berkembang pesat berjumlah 675.364 orang. Antara tahun
1987 sampai dengan tahun 2004 pesantren bertambah rata-rata 500 setiap tahunnya.
Tahun 2004 sampai 2008 bertambah 1.000 pesantren dan dalam waktu 10 tahun
terakhir, santrinya bertambah lebih dari dua juta.

Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama bahwa data
Pondok Pesantren pada tahun 2011-2012 berjumlah 27.230 Pondok Pesantren yang
tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah santri Pondok Pesantren secara
keseluruhan adalah 3.759.198 orang santri, terdiri dari 1.886.748 orang santri laki-laki
(50,19%), dan 1.872.450 orang santri perempuan (49,81%). Data terbaru dalam website
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI bahwa
jumlah Pondok Pesantren di Indonesia sebanyak 28194.

Tabel 5. Pertumbuhan Pondok Pesantren Sebelum Merdeka, Orde Lama, Orde Baru,
Reformasi, dan Masa Transisi.

Sumber: Jurnal Penelitian Pesantren, Statistik Data Pesantren

Di antara contoh Pondok Pesantren yang masih kokoh berdiri dan terus berkembang
sejak sebelum kemerdekaan adalah Pondok Modern Darussalam Gontor. Pondok
Modern Darussalam Gontor bermula pada abad ke-18. Pondok Tegalsari sebagai cikal
bakal Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan
dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345 dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor.
Gontor berkembang dengan bekal awal 40 santri. Pada tiga tahun pertama para santri
yang belajar di Pondok Gontor mencapai jumlah 300. Pada tahun ketujuh mencapai 500
orang putra dan putri. Saat ini Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki puluhan
cabang dengan ribuan santri yang belajar di dalamnya. Pada tahun 2019-2020, Pondok
Modern Darussalam Gontor menerima 5488 pelajar dengan rincian pelajar putra
sebanyak 2824 siswa dan pelajar putri sebanyak 2664 siswi. Angka ini meningkat
dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 4398 pelajar.
Dari data di atas terlihat bahwa infrastruktur sekolah memanglah persoalan yang
tidak pernah ada habisnya untuk diatasi. Dalam kurun waktu 2020-2024, Kemendikbud
sebagai kementerian yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang pendidikan bahkan akan terus meningkatkan pembinaan dan
pengawasan atas pelaksanaan pembangunan pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Strategi yang dilakukan Kemendikbud adalah:

1. Memenuhi kebutuhan daya tampung untuk semua jenjang pendidikan melalui


pembangunan sekolah baru dan ruang kelas baru yang disesuaikan dengan kebutuhan,
termasuk di wilayah yang terkena dampak bencana.

2. Mempertahankan kapasitas terpasang dengan rehabilitasi fasilitas yang rusak,


termasuk di wilayah yang terkena dampak bencana.

3. Membina sekolah swasta agar kualitasnya sejajar atau bahkan lebih baik dari sekolah
negeri dengan tetap mempertahankan keunggulan tertentu sesuai ciri khasnya sebagai
sekolah swasta.

4. Melaksanakan program afirmasi bagi daerah khusus termasuk anak dengan kondisi
tidak sekolah atau dengan kebutuhan khusus.
Jumlah Satuan Data Infrastruktur Sekolah Per-Provinsi Saat Ini

Tabel 6. Data Pokok Pendidikan Menurut Jenjang Pendidikan Saat Ini

Sumber: Kemendikbud
Jumlah Satuan Data Infrastruktur Sekolah Khusus Per-Provinsi Saat Ini

Tabel 7. Data Pokok Pendidikan Khusus Menurut Jenjang Pendidikan Saat Ini

Sumber: Kemendikbud
Jumlah Satuan Data Infrastruktur Sekolah Keagamaan (Pesantren) Per-Provinsi Saat
Ini

Tabel 8. Data Pokok Pendidikan Keagamaan Menurut Jenjang Pendidikan Saat Ini

Sumber: Kementerian Agama


e. Pembinaan Infrastruktur Sekolah Selain dari Pemerintah (Swasta, dan
lainnya.)

Pemerintah menilai pentingnya peran pihak swasta untuk memperluas akses


pendidikan bagi para pelajar di seluruh daerah di Indonesia, karena pemerintah sendiri
masih memiliki kendala dalam besaran anggaran yang digunakan untuk pembangunan
sarana belajar mengajar. Selain pembangunan sarana belajar, peningkatan mutu
pendidikan pun juga perlu didorong oleh pihak swasta dan masyarakat. Hal ini
menyebabkan pemerintah membutuhkan bantuan pihak lain, salah satu contohnya
adalah sekolah swasta. Tanpa adanya sekolah-sekolah swasta, masih banyak anak-anak
yang tak bisa mengakses pendidikan.

Keterlibatan sektor swasta ini akan menjadi pola integrated terhadap sistem
kerjasama masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Sektor swasta memegang
peranan yang sangat penting untuk membantu program pendidikan, baik pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Peran sektor swasta harus dikolaborasikan dengan
peran masyarakat dan pemerintah. Masyarakat harus mampu menjadi motor penggerak
dalam pelaksanaan program pendidikan. Pemerataan pendidikan harus dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan dan education mapping terhadap kebutuhan anak yang belum
mendapatkan layanan pendidikan. Banyak program corporate social responsibility
merupakan program pengabdian dan sosial yang dilaksanakan secara komprehensif
terhadap kebutuhan masyarakat. Beberapa program best practice dalam bidang
pendidikan yang dilaksanakan oleh sektor swasta yaitu program pendidikan oleh PT.
Pembangunan Jaya Ancol,Tbk, PT. Telkom peduli pendidikan, Bank Mandiri peduli
pendidikan, Bank Raykat Indonesia peduli pendidikan, Indosat, Pro XL, dan lain-lain.
Oleh karena itu, sektor swasta harus menjadi bagian yang utuh dari pengembangan
program sosial kemasyarakatan.

Selanjutnya pada masa pandemi kerjasama lintas sektor juga dibutuhkan untuk
mengatasi tantangan yang ada dan mendukung lebih lanjut perkembangan sektor
pendidikan, khususnya Program Merdeka Belajar. Sepanjang 2020 hingga saat ini,
Kemendikbudristek aktif menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya
Danone Indonesia. Kerja sama dalam peningkatan kualitas belajar serta layanan
pendidikan ini merupakan salah satu contoh praktik baik kemitraan pemerintah dan
sektor usaha untuk mendukung pendidikan anak-anak Indonesia.
Kemendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa mencerdaskan
kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab pemerintah dan seluruh elemen
masyarakat. Kebijakan dan aturan yang ditetapkan pemerintah tidak akan bisa
mencapai tujuannya tanpa dukungan dari masyarakat sebagai pelaksana di lapangan.
Pada saat yang sama, masyarakat juga membutuhkan pemerintah untuk mewujudkan
aspirasi dan harapannya. Oleh karena itu, Mendikbudristek menambahkan kerja sama
yang terjalin antara Kemendikbudristek dan Danone Indonesia merupakan salah satu
praktik baik kemitraan pemerintah dan swasta di bidang pendidikan, khususnya dalam
memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan pembelajaran berkualitas di masa
pandemi Covid-19 dengan menyediakan akses pendidikan, renovasi fasilitas
pendidikan, modul pembelajaran, hingga meminimalisir risiko hilangnya minat belajar
dan learning loss pada peserta didik khususnya yang tinggal di daerah 3T (tertinggal,
terdepan, dan terluar).

f. Persentase Lulusan Sekolah yang Masuk ke Pasar Kerja langsung dan


Perguruan Tinggi

Tabel 9. Persentase Angkatan Kerja Menurut Pendidikan

Sumber: BPS, diolah.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah angkatan kerja di


Indonesia mencapai 138,2 juta jiwa pada 2020.

Mayoritas atau 32% angkatan kerja di Tanah Air merupakan lulusan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Selain lulusan SMA, para lulusan sekolah dasar (SD) menjadi
pekerja terbanyak kedua di Indonesia. Jumlahnya mencapai 26,2% dari seluruh
angkatan kerja. Kemudian, angkatan kerja yang berasal dari lulusan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) sebanyak 18,2%. Kemudian, 12,4% angkatan kerja berasal dari
perguruan tinggi. Diikuti oleh angkatan kerja yang berasal dari tidak tamat SD
sebanyak 10% dan tidak sekolah sebanyak 1,4%.

Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja di Indonesia pada 2020 didominasi oleh
laki-laki atau setara 60,8% dan pekerja perempuan sebanyak 39,2%.

Berdasarkan sektor, 60,5% angkatan kerja di tanah air pada tahun lalu dari sektor
informal dan 39,5% dari sektor formal. Sementara berdasarkan sektor ekonomi
mayoritas, pekerja Indonesia berasal dari sektor jasa sebanyak 48,7%, sektor pertanian
sebanyak 30,8%, dan industri 20,5%.

g. Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia dari 20% APBN

Kewajiban konstitusi dengan menetapkan porsi anggaran pendidikan sebesar 20%


dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memperlihatkan sifat
pendidikan yang demikian penting bagi perjalanan bangsa ke depan, dengan
mempersiapkan kualitas manusia Indonesia yang mampu secara teknis membangun
negara dan berkompetisi melalui pengembangan teknologi dengan memperhatikan sisi
akhlak mulia. 10 Anggaran pendidikan Departemen Pendidikan Nasional yang
kemudian berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara berganti menjadi Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Namun, alokasi anggaran pendidikan minimal 20% sesuai dengan yang telah
diamanatkan dalam UUD 1945 Amandemen IV Tahun 2002 dan UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional baru dapat direalisasikan pada tahun 2009.
Hal tersebut menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati disebabkan semata-
mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Sedangkan DPR beranggapan bahwa
belum tercapainya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN menunjukan
lemahnya political will pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai
prioritas utama.11 Dalam PP Nomor 25 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional periode 2004-2009 (RPJMN 2004-2009), Pendidikan
kemudian ditetapkan sebagai salah satu prioritas dalam agenda utama pembangunan
nasional, yaitu prioritas peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang
berkualitas.

Dalam merencanakan pemanfaatan anggaran 20%, pemerintah menguraikan


kebijakan pendidikan ke dalam beberapa program yang dipandang menjadi prioritas
utama yang harus segera dilakukan. Prioritas penggunaan anggaran sebanyak 20% dari
APBN bidang pendidikan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan
dosen, menuntaskan wajib belajar 9 tahun dengan kualitas yang lebih baik, murah, dan
terjangkau, akses mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang
lebih baik, serta mutu dan relevansi penelitian yang lebih baik. Selain itu juga
memperhatikan beasiswa kepada siswa/mahasiswa berprestasi serta mendapatkan
jaminan melanjutkan pendidikan dimanapun, memberikan perhatian pada pendidikan
non formal yang lebih baik dan penguatan tata kelola. Kerangka dasar dan arah
kebijakan tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2005-2009, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-
2025 dan Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009.

Adanya peningkatan prioritas anggaran pendidikan sebesar 20% saja sebagaimana


tertuang dalam Amandemen UUD 1945 dari APBN dikhawatirkan berbahaya, karena
dinilai semakin memberi peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran yang lebih
besar. APBN sebesar 20% pada sektor pendidikan yang telah berjalan selama kurang
lebih 10 tahun belum maksimal dan efektif padahal anggaran yang ada sudah lebih dari
Rp492,5 triliun. Hal tersebut terjadi karena selama ini pemerintah masih menjadikan
belanja pendidikan berdasarkan kuantitas sebagai prioritas, sedangkan untuk
kualitasnya masih belum diperhatikan padahal seharusnya kuantitas dan kualitas
seimbang. Belanja pendidikan yang mengarah pada kualitas di antara lain seperti
perbaikan pada kurikulum, proses belajar mengajar, kualitas guru, dan berbagai hal
lainnya yang bisa berdampak langsung pada peningkatan sumber daya manusia. Selain
itu, salah satu faktor yang cukup berpengaruh pada perbaikan kualitas pendidikan
adalah setiap daerah, provinsi, kabupaten, dan kota harus memenuhi 20% anggaran
APBN sehingga tidak terjadi ketimpangan sosisal yang kontras dalam dunia
pendidikan. Oleh karena itu, fungsi kontrol sangat penting dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional untuk dapat melihat apakah pengelolaan DAK Bidang Pendidikan
tersebut sumber dan penggunaan dananya telah digunakan sesuai dengan
peruntukannya, maka harus dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah kegiatan yang
dibiayai dengan keuangan negara/daerah tersebut penggunaannya telah memenuhi
unsur 3E yaitu ekonomis, efisien, dan efektif.

h. Dampak Pembangunan Infrastruktur Sekolah Terhadap


Pertumbuhan Perekonomian

Pendirian atau penambahan jumlah sekolah secara fisik sangatlah penting


dilakukan pemerintah tetapi yang juga harus dipastikan adalah bagaimana
penambahan jumlah sekolah tersebut juga diikuti dengan jaminan akses pendidikan
oleh masyarakat miskin. Melalui pendekatan literature review yang dilakukan dengan
memaparkan hasil kajian terdahulu yang terkait dengan dampak pembangunan
infrastruktur sekolah, berikut beberapa hasil kajian yang menganalisis dampak
pembangunan infrastruktur sekolah terhadap ekonomi.
Pertama, menurut Loredana dan Andrei (2015) kualitas pendidikan yang baik
dapat berpengaruh pada peningkatan mutu modal manusia yang akan mendorong
produktivitas dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kedua, menurut Fadila (2018) pendidikan menjadi faktor yang sangat penting
dalam mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi di Pulau Jawa juga di luar Pulau
Jawa.
Ketiga, menurut Victara (2018) adanya infrastruktur sekolah sangatlah penting
untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan rata-rata lama
sekolah, yang mana hubungan tingkat PDRB dan pendidikan yang sebanding akan
berpengaruh pada peningkatan produktivitas, sehingga memperoleh upah yang lebih
tinggi dan pada akhirnya akan berkontribusi juga pada peningkatan nilai PDRB.
Keempat, menurut Amalia (2019) infrastruktur pendidikan sangat penting untuk
menunjang kualitas sumber daya manusia, sebab kenyamanan masyarakat akan
menghasilkan rata-rata sekolah yang sesuai hingga mencapai pendidikan tinggi dapat
menjadi faktor penentu untuk meningkatkan kapasitas produksi, sehingga memberikan
stimulasi bagi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan dapat meningkat.
III. Simpulan
Kualitas infrastruktur sekolah merupakan hal terpenting dalam menunjang
pendidikan yang baik, sebab menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan
pendidikan jika tersedia lengkap dan bisa dimanfaatkan secara maksimal. Maka dari itu,
pemerintah Indonesia selalu berupaya melakukan pemerataan sarana dan prasarana
pendidikan dan melakukan pemeliharaan agar kualitas pendidikan tetap terjaga. Setiap
tahunnya, selain memenuhi kebutuhan daya tampung untuk semua jenjang pendidikan
melalui pembangunan sekolah baru, pemerintah Indonesia juga terus mempertahankan
keunggulan dan pemeliharaan agar pendidikan tetap bisa terlaksana.

IV. Daftar Pustaka

Dana Alokasi Khusus Dalam Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, Seksi Analisis
Keuangan Daerah, Ditama Binbangkum.

Fironika, Rida. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar: Pembiayaan Pendidikan di Indonesia.


Universitas Islam Sultan Agung.

Ningrum, Epon. Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS UPI. Membangun Sinergi


Pendidikan Akademik (S1) dan Pendidikan Profesi Guru (Ppg). Universitas Pendidikan
Indonesia.

Syafei, Imam. 2017. Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter.


Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam; Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung.

databoks.katadata.co.id

dpr.go.id

kemendikbud.go.id

kominfosanti.bulelengkab.go.id

pgsd.binus.id

repository.unej.ac.id

Anda mungkin juga menyukai