Anda di halaman 1dari 92

TUGAS BESAR

PERENCANAAN BANGUNAN PENGOLAHAN AIR MINUM


KECAMATAN KAPUAS, KABUPATEN SANGGAU,
KALIMANTAN BARAT

Disusun Oleh:
MEITY ANGGRAINI
D1051191032

Dosen Pembimbing:
DR. RIZKI PURNAINI, S.T., M.T.
NIP. 197207231998022001

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan Tugas Besar Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum
di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau ini dan dapat diselesaikan dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan Bangunan Pengolahan Air
Minum dengan harapan berguna bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada ibu Dr. Rizki
Purnaini, S.T., M.T., selaku dosen mata kuliah Perencanaan Bangunan
Pengolahan Air Minum atas tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang Teknik. Dalam penulisan Tugas Besar
ini saya sendiri sebagai penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya
miliki. Untuk itu kritik dan saran yang positif dari ibu dosen sangat saya harapkan
demi penyempurnaan pembuatan tugas ini dan pembuatan tugas berikutnya.

Pontianak, 2021

Meity Anggraini
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan salah satu kebutuhan terpenting makhluk hidup di bumi.
Kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan air, terutama air bersih. Air bersih
yang digunakan untuk kegiatan manusia harus bebas dari patogen dan bahan
kimia yang dapat mencemari air bersih. Cakupan air bersih adalah air yang
memenuhi persyaratan sistem penyediaan air minum. Persyaratan kualitas air
meliputi kualitas secara fisik, kimia, biologi dan radiologis sehingga tidak
meninggalkan efek samping pada saat dikonsumsi (Permenkes RI No.
16/Menkes/PER/IX/1990). Pemenuhan kebutuhan air minum adalah kunci utama
untuk mengembangkan suatu kegiatan dan penting untuk menjaga produktivitas
suatu perekonomian.
Kebutuhan air bersih dan air minum merupakan kebutuhan dasar manusia
yang menentukan kelangsungan dan kualitas hidup manusia saat ini dan di masa
yang akan datang. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal
pemenuhan kebutuhan air bersih dan air minum, sehingga kondisi di masing-
masing daerah mengenai ketersediaan prasarana pendukung juga akan berbeda.
Secara umum, masing-masing kecamatan di Kabupaten Sanggau memiliki
permasalahan yang berbeda dalam pemenuhan kebutuhan air minum
karena perbedaan letak geografis, batas administrasi, dan jumlah penduduk.
Kebutuhan air minum tidak dapat terpenuhi oleh sumber-sumber air di
wilayah Kabupaten Sanggau karena kuantitas air menurun dan kualitas air
memburuk, sehingga diperlukan pengadaan air bersih, sarana dan prasarana
penyediaan. Pembangunan dan penyediaan air minum bagi penduduk memerlukan
perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan pengoperasian pekerjaan yang
cermat, dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi penduduk, kondisi
fisik kawasan, dan tata guna lahan. Semakin bertambahnya jumlah penduduk,
semakin sulit memperoleh air bersih, oleh karena itu diperlukan Perencanaan
Bangunan Pengolahan Air Minum (PBPAM) untuk menyediakan air yang layak
konsumsi masyarakat.
Secara umum kebijakan pemerintah dalam bidang pembangunan
prasarana penyediaan air bersih direalisasikan dengan perencanaan pengolahan
bangunan air minum. Sasaran pembangunan prasarana air bersih meliputi kota-
kota besar maupun pedesaan dengan perencanaan dan pembangunan bangunan
pengolahan air minum. Pengolahan bangunan air minum ini untuk daerah
pelayanan Kecamatan Kapuas dan sekitarnya. Oleh karena itu perlunya
pembangunan pengolahan air bersih untuk memenuhi kebutuhan akan adanya air
bersih. Perencanaan pengolahan bangunan air minum di Kecamatan Kapuas
bertujuan agar pelayanan distribusi air bersih di Kecamatan Kapuas dapat
terlaksana secara baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih
dalam kehidupan sehari hari.

1.2 Gambaran Umum Lokasi Perencanaan


Lokasi pembangunan dan penyediaan air minum yang direncanakan
terletak di Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau. Kecamatan Kapuas memiliki
luas wilayah 1.382 Km2 atau sekitar 10,75% dari total luas wilayah Kabupaten
Sanggau. Kecamatan Kapuas berbatasan dengan Kecamatan Bonti dan Kecamatan
Jangkang yaitu pada bagian Utara, berbatasan dengan Kecamatan Mukok dan
Kabupaten Sekadau pada bagian Timur, berbatasan dengan Kecamatan Meliau
dan Kabupaten Sekadau pada bagian Selatan, dan berbatasan dengan Kecamatan
Parindu, Kecamatan Tayan Hilir serta Kecamatan Meliau pada bagian Barat.
Kecamatan Kapuas terdiri dari enam kelurahan yaitu Kelurahan Bunut dengan
luas 81,81 Km2, Kelurahan Beringin memiliki luas 52,52 Km2, Kelurahan Sungai
Sengkuang 79,6 Km2, Kelurahan Tanjung Kapuas 58,75 Km2, Kelurahan Tanjung
Sekayam 22,53 Km2, dan Kelurahan Ilir Kota dengan luas 17,55 Km2.
Gambar 1.1 Peta Kecamatan Kapua
Pada tahun 2019 jumlah penduduk Kecamatan Kapuas mencapai 89.773
jiwa, terdiri dari 44.964 laki-laki dan 44.809 perempuan dengan kepadatan per
km2 65 jiwa. Jumlah dan kepadatan penduduk Kecamatan Kapuas selama 5 tahun
terakhir, yaitu dimulai pada tahun 2015-2019 disajikan dalam tabel sebagai
berikut
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Kapuas Tahun 2015-
2019
Jenis Kelamin Jumlah Kepadatan Penduduk
Tahun
Laki-Laki Perempuan Penduduk (jiwa) (jiwa/km2)
2015 42.772 42.578 85350 62
2016 43.358 43.070 86428 62,54
2017 43.916 43.661 87577 63
2018 44.443 44.241 88684 64
2019 44.964 44.809 89773 65
Sumber: BPS Kecamatan Kapuas Dalam Angka
1.2.1 Proyeksi Jumlah Penduduk
Perhitungan proyeksi jumlah penduduk Kecamatan Kapuas tahun 2020–
2035 menggunakan metode least square dengan berdasarkan data kependudukan
Kecamatan Kapuas sebagai berikut.
Tabel 1.2 Proyeksi Jumlah Penduduk Tahun 2020-2035
Tahun Proyeksi Jumlah Penduduk
2020 90893
2021 92003
2022 93113
2023 94224
2024 95334
2025 96444
2026 97554
2027 98664
2028 99775
2029 100885
2031 103105
2032 104215
2033 105326
2034 106436
2035 107546
Sumber: Hasil Analisis, 2021

1.2.2 Fasilitas Umum


Kecamatan Kapuas dalam tata guna lahannya terdiri dari beberapa
fasilitas umum, seperti gedung sekolah, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, dan
industri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015-2019
fasilitas pendidikan di Kecamatan Kapuas meliputi TK, SD, SMP, SMA, dan
SMK. Setiap tingkat Pendidikan dikategorikan berdasarkan statusnya, yaitu
sekolah negeri, dan swasta seperti sebagai berikut.
Tabel 1.3 Fasilitas Pendidikan Kecamatan Kapuas Tahun 2015–2019
Tingkat Pendidikan
Tahun TK SD SMP SMA
N S N S N S N S
2015 1 15 71 3 14 6 3 2
2016 1 16 71 3 14 7 3 3
2017 1 15 71 3 15 8 3 3
2018 1 15 70 4 16 9 3 3
2019 1 27 69 3 15 8 3 3
Sumber: BPS Kecamatan Kapuas dalam Angka
Data sarana dan prasarana sosial ekonomi yang berada di Kecamatan
Kapuas selama 5 tahun yakni dari tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut.
Tabel 1.4 Jumlah Siswa Kecamatan Kapuas Tahun 2015-2019
Tingkat Pendidikan
Tahun
TK SD SMP SMA
2015 1251 10043 4244 3766
2016 1031 9123 4562 4081
2017 1000 9122 4562 2211
2018 1075 8996 3881 2456
2019 950 9753 3869 2495
Sumber: BPS Kecamatan Kapuas dalam Angka
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015-2019
di Kecamatan Kapuas memiliki fasilitas kesehatan seperti tabel berikut.
Tabel 1.5 Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kapuas Tahun 2015-2019
Fasilitas Kesehatan 2015 2016 2017 2018 2019
Apotek 8 8 8 8 6
Poliklinik 4 4 4 4 5
Puskesmas 3 3 3 3 3
Puskesmas Pembantu 13 13 13 13 13
Rumah Sakit 2 2 2 2 2
Sumber: BPS Kecamatan Kapuas dalam Angka
Kecamatan Kapuas juga memiliki tempat ibadah sebagai fasilitas untuk
umat beragama. Jumlah tempat peribadatan di Kecamatan Kapuas menurut jenis
agama dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.6 Tempat Ibadah Kecamatan Kapuas Tahun 2015-2019
Tempat Ibadah 2015 2016 2017 2018 2019
Buddha Vihara 1 1 1 1 1
Hindu Pura 3 3 3 3 3
Masjid 72 75 75 76 77
Islam
Surau 71 71 71 75 75
Katolik Gereja 51 51 51 51 60
Konghucu Kelenteng 3 3 3 3 3
Protestan Gereja 28 28 28 28 28
Sumber: BPS Kecamatan Kapuas dalam Angka
Berdasarkan data BPS, Kecamatan Kapuas terdapat sejumlah sarana dan
prasarana ekonomi yaitu sebagai berikut.
Tabel 1.7 Sarana dan Prasarana Ekonomi Kecamatan Kapuas Tahun 2015-2019
Sarana dan Prasarana 2015 2016 2017 2018 2019
Pertokoan 17 24 29 39 43
Pasar 5 6 6 8 10
Minimarket 16 19 23 30 34
Kelontong 401 514 538 556 568
Rumah Makan 16 26 33 37 45
Kedai 637 611 597 563 528
Hotel 14 10 13 15 19
Losmen 4 6 7 7 9
Sumber: BPS Kecamatan Kapuas dalam Angka
1.3 Cakupan Perancangan
Perencanaan bangunan pengolahan air minum yang dilakukan pada
wilayah Kecamatan Kapuas. Ruang lingkup dari perencanaan bangunan
pengolahan air minum yaitu sebagai berikut.
1. Menentukan bangunan penangkap air baku.
2. Menentukan metode sistem pengolahan air minum.
3. Merancang bangunan pengolahan air minum.
4. Merancang fasilitas penunjang.
5. Menghitung biaya operasional.
6. Menggambar denah dan potongan A-A dan B-B setiap unit pengolahan
air minum.
BAB II
SUMBER AIR BAKU
2.1 Sumber Air Baku
Air merupakan senyawa kimia yang paling berlimpah di alam, namun
demikian sejalan dengan meningkatnya taraf hidup manusia, maka kebutuhan air
pun meningkat pula. Di kota-kota besar, tidak mudah mendapatkan sumber air
bersih untuk dipakai sebagai bahan baku air bersih yang bebas dari pencemaran,
karena air banyak tersedot oleh kegiatan industri yang diperlukan untuk
menunjang produksinya. Di sisi lain, tanah yang merupakan celengan air sudah
banyak ditutup untuk keperluan seperti perumahan dan industri tanpa
memperdulikan fungsi dari tanah tersebut sebagai wahana simpanan air untuk
masa depan (Susana, 2003).
Pengertian air dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.32 tahun 2017
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan air adalah Standar Baku Mutu
Kesehatan Lingkungan untuk media Air dan Keperluan Higiene Sanitasi meliputi
parameter fisik, kimia, dan biologi yang dapat berupa parameter wajib dan
tambahan. Air untuk keperluan Higiene Sanitasi tersebut digunakan untuk
memelihara kebersihan perorangan seperti mandi, sikat gigi, dan untuk keperluan
cuci bahan pangan, peralatan makan, dan pakaian. Selain itu, air untuk keperluan
Higiene Sanitasi dapat digunakan sebagai air baku untuk air minum (Permenkes
No 32 tahun 2017).
Jumlah air yang terdapat di muka bumi ini relatif konstan, meskipun air
mengalami pergerakan arus, tesirkulasi karena pengaruh cuaca dan juga
mengalami perubahan bentuk. Sirkulasi dan perubahan bentuk tersebut antara lain
melalui air permukaan yang berubah menjadi uap (evaporasi), air yang mengikuti
sirkulasi dalam tubuh tanaman (transpirasi), dan air yang mengikuti sirkulasi
dalam tubuh manusia dan hewan (respirasi). Air yang menguap akan terkumpul
menjadi awan kemudian jatuh sebagai air hujan. Air hujan ada yang langsung
bergabung di permukaan, ada pula yang meresap masuk ke dalam celah batuan
dalam tanah, sehingga menjadi air tanah. Air tanah dangkal akan diambil oleh
tanaman, sedangkan air tanah dalam akan keluar sebagai mata air. Sirkulasi dan
perubahan fisis akan berlangsung terus menerus sampai akhir zaman (Ross, 1970).
Air dapat diperoleh dari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia, sumber air tersebut meliputi air hujan (rainwater), air permukaan
(surface water), air tanah (ground water), dan mata air. Air tersebut tidak dapat
langsung dimanfaatkan, karena bercampur dengan pengotor-pengotor tertentu
yang berasal dari bermacam-macam sumber pengotor (industri, rumah tangga,
pertanian, dan lain-lain.
2.1.1 Air Permukaan (Surface Water)
Air permukaan adalah air yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber atau
bahan baku air minum antara lain:
a. Air waduk (berasal dari air hujan)
b. Air sungai (berasal dari air hujan dan mata air)
c. Air danau (berasal dari air hujan, mata air dan atau air sungai)
Air permukaan merupakan air hujan yang mengalir di atas permukaan bumi.
Selama pengalirannya, air permukaan mendapat pengotor dari lumpur, batang-
batang kayu, dan sebagainya.
2.1.2 Air Tanah (Ground Water)
Air tanah adalah air yang keberadaannya di bawah permukaan air tanah.
Air tanah adalah sumber air yang utama tapi bukan satu-satunya untuk sumber air
minum. Kelayakan air tanah menjadi masalah utama. Air tanah adalah air yang
keluar dengan sendirinya ke permukaan. Mata air yang bersumber dari tanah
dalam tidak dipengaruhi serta kualitas dan kuantitasnya sama dengan keadaan air
di dalam tanah.
Air tanah yang berada di dalam tanah harus digali atau di bor untuk
mendapatkannya agar air keluar ke permukaan tanah. Pada umumnya, air tanah
yang berasal dari air hujan yang melalui proses infiltrasi secara langsung atau
tidak langsung dari air sungai, danau, rawa, dan genangan air lainnya.
2.1.3 Air Hujan (Rain Water)
Terjadinya air hujan dikarenakan proses penguapan, terutama air
permukaan laut yang naik ke atmosfer dan mengalami pendinginan kemudian
jatuh ke permukaan bumi. Selama proses penguapan tersebut berlangsung,
misalnya saat butiran hujan jatuh ke permukaan bumi, sebagian butiran hujan
lainnya akan menguap sebelum sampai di permukaan bumi. Sebagian lainnya
akan tertahan pada tumbuhan dan oleh matahari akan diuapkan kembali ke
atmosfer. Air hujan yang sampai di bumi dan sebagian akan mengalir di
permukaan bumi.
2.1.4 Mata Air
Mata air adalah air tanah yang dapat mencapai permukaan tanah melalui
celah bebatuan karena adanya perbedaan tekanan. Mata air bersumber dari deposit
air tanah yang memiliki tekanan tertentu dan keluar melalui dasar permukaan
tanah melalui celah batuan. Karakteristik air dari mata air ini meliputi air tanah
yaitu bebas bakteri patogen bila cara pengambilannya baik, dapat langsung
diminum tanpa pengolahan khusus, dan banyak mengandung mineral.

2.2 Sumber Air Baku yang Digunakan dalam Perencanaan


Sumber air baku yang akan diolah menjadi air bersih maupun air minum
pada perencanaan ini merupakan air sungai. Menurut Effendi (2003), air sungai
merupakan air yang bersumber dari mata air dan air hujan yang mengalir pada
permukaan tanah yang memiliki elevasi lebih tinggi dari sungai. Kualitas air
sungai dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar aliran sungai. Secara umum,
kualitas air di bagian hulu lebih tinggi daripada bagian hilir, hal ini terjadi akibat
limbah industri, rumah tangga dan segala kegiatan manusia yang dibuang
langsung ke sungai tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Sekitar 60%
air yang masuk ke sungai berasal dari hujan, pencairan es/salju, dan sisanya
berasal dari air tanah. Wilayah di sekitar daerah aliran sungai yang menjadi
tangkapan air disebut catchment basin.
Sumber air baku yang digunakan dalam perencanaan penyediaan air
minum di wilayah Kecamatan Kapuas menggunakan air sungai Kapuas dengan
debit 308 L/detik. Karena lokasi wilayah Kecamatan Kapuas berada pada bagian
hulu, maka digunakanlah air sungai tersebut. Pada bagian hulu sungai umumnya
terdapat aktivitas domestik, peternakan, pertanian, serta adanya pembangunan
pabrik. Kekeruhan air sungai yang terjadi di bagian hulu sungai dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yakni dikarenakan adanya pencemaran yang dibawa oleh
aliran dari hilir akibat air pasang sehingga mencemari perairan bagian hulu,
adapun dari aktivitas peternakan, pertanian, dan pembangunan pabrik yang
memengaruhi kualitas air sungai.
Kualitas air yang digunakan sebagai sumber air ditentukan berdasarkan
perbandingan analisis air sungai dengan standar baku mutu air. Baku mutu air
adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di
dalam air. Baku mutu air berlaku khusus pada sumber air tertentu, melekat pada
kelas air yang telah ditetapkan untuk sumber air tersebut (atau segmennya).
Standar yang digunakan sebagai baku mutu air sungai ialah Peraturan Pemerintah
No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lampiran VI) serta baku mutu air minum yaitu Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010
tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Kualitas air sungai Kapuas yang dijadikan sebagai sumber air baku ialah
sebagai berikut.
Baku Mutu Air Sungai Baku Mutu Air
Hasil Kelas 1 Minum
Parameter Satuan
Analisis Peraturan Pemerintah RI PERMENKES RI
No. 22 Tahun 2021 No. 492 Tahun 2010
Fisika
Temperatur C  25,5oC Dev 3 Dev 3
Kekeruhan NTU 12,19 - 5 NTU
TSS mg/L 94 40 -
Kimia
pH  - 8,38 6-9 6,5 – 8,5
DO mg/L 83 6 -
Nitrat mg/L 5,63 10 50
Fosfat mg/L 0,82 0,2 -
BOD mg/L 6,18 2 -
Biologi
Fecal MPN/100
23.000 100 0
coliform mL
Tabel 2.1 Data Kualitas Air Sungai Kapuas
Sumber: Hasil Analisis Penelitian Suryo Ari, dkk. (2014)
= Melebihi baku mutu

Berdasarkan tabel di atas, terdapat empat parameter yang melebihi


standar baku mutu yaitu kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), fosfat, nitrat
dan Fecal coliform. Parameter fisika yaitu kekeruhan maupun TSS melebihi
standar baku mutu dikarenakan tata guna lahan yang mengalami alih fungsi dari
pertanian menjadi pabrik, sehingga banyak sedimen tanah yang masuk ke badan
sungai. Tingginya kadar kekeruhan dan TSS menyebabkan air sungai berwarna
keruh kecoklatan. Adapun parameter kimia yaitu fosfat dan nitrat. Tingginya
kadar fosfat dipengaruhi oleh aktivitas atau kegiatan manusia di sekitar sungai
antara lain dari pertanian dengan penggunaan pestisida dan insektisida, akan tetapi
80% tingginya kandungan fosfat dipengaruhi oleh limbah domestik karena
pemakaian sabun, detergen, sampo. Kandungan nitrat pada air sungai karena
pertanian, permukiman, limbah ikan, dan juga limbah dari angkutan air seperti
perahu. Parameter biologi berupa Fecal coliform melebihi standar baku mutu
disebabkan karena tata guna lahan didominasi oleh ternak/peernakan yang
dimiliki oleh penduduk sekitar yang mencemari air sungai karena tidak adanya
pengelolaan limbah ternak tersebut. Selain itu tingginya Escherichia coli juga
dipengaruhi oleh adanya aktivitas penduduk sekitar yang dilakukan disungai
seperti MCK.
2.3 Perencanaan Bangunan Penangkap Air
Menurut Syafaat (2020), bangunan penangkap air merupakan bangunan
yang ditempatkan pada permukaan sumber air digunakan untuk menyadap air
baku yang diperlukan untuk menyediakan air bersih. Sumber air baku yang
berasal dari air permukaan menggunakan bangunan sadap atau yang disebut
dengan intake. Intake dilengkapi dengan kisi-kisi atau saringan dimana air baku
dapat melewatinya. Konstruksi intake disesuaikan menurut konstruksi bangunan
air dan umumnya secara kualitas airnya kurang baik namun biasanya secara
kuantitas airnya cukup banyak.
Bangunan penangkap air yang direncanakan untuk daerah Kecamatan
Kapuas ialah river intake. River intake merupakan satu di antara jenis indirect
intake. River intake menggunakan pipa penyadap dalam bentuk sumur
pengumpul. Intake ini lebih ekonomis untuk air sungai yang mempunyai
perbedaan level muka air pada musim hujan dan musim kemarau yang cukup
tinggi. River intake digunakan untuk menyadap air baku yang berasal dari sungai
atau
danau.
Gambar 2.1 River Intake
River intake terdiri atas sumur beton berdiameter 3 – 6 m yang
dilengkapi 2 atau lebih pipa besar yang disebut penstock. Pipa-pipa tersebut
dilengkapi dengan katup sehingga memungkinkan air memasuki intake secara
berkala. Air yang terkumpul dalam sumur kemudian dipompa dan dikirim
kedalam instalasi pengolahan. Alasan pemilihan river intake sebagai bangunan
pengambil air baku sungai adalah daerah pelayanan berada di tepi sungai yang
memudahkan pengambilan air baku dalam pengolahan. Adapun air sungai yang
sering terjadi pasang-surut sehingga tinggi muka air pun berubah-ubah.

Gambar 2.2 Racangan River Intake


BAB III
RANCANGAN SISTEM PENGOLAHAN AIR
3.1 Standar Kualitas Air
Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang
dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu. Standar kualitas air
minum merupakan suatu batasan atau peraturan yang harus dipenuhi sebelum
suatu air dapat dianggap sebagai air minum. Terdapat beberapa standar kualitas
air bersih maupun air minum yang digunakan baik secara internasional maupun
nasional. Peraturan yang mengatur baku mutu air nasional yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan peraturan tersebut kualitas air
diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu sebagai berikut.
1. Kelas satu merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu
air yang sama dengan kegunaan tersebut.
2. Kelas dua merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana. rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
3. Kelas tiga merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman,
dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kualitas baku mutu air sungai dan sejenisnya menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 disajikan pada tabel sebagai
berikut.

Tabel 3.1 Baku Mutu Air Sungai berdasarkan PPRI No. 22 Tahun 2021
Kelas Keterangan
Parameter Unit
I II III IV
Fisika
Perbedaan dengan
Temperatur C Dev 3 Dev 3 Dev 3 Dev 3 suhu di atas
permukaan air
Padatan terlarut Tidak berlaku
mg/L 1.000 1.000 1.000 2.000
total (TDS) untuk muara
Padatan tersuspensi
mg/L 40 50 100 400  
total (TSS)
Tidak berlaku
Pt-Co untuk air gambut
Warna 15 50 100 -
Unit (berdasarkan
kondisi alaminya)
Kimia Anorganik
Tidak berlaku
untuk air gambut
pH   6-9 6-9 6-9 6-9
(berdasarkan
kondisi alaminya)
BOD mg/L 2 3 6 12  
COD mg/L 10 25 40 80  
DO mg/L 6 4 3 1 Batas minimal
Total Fosfat
mg/L 0,2 0,2 1 -  
(sebagai P)
Arsen mg/L 0,05 0,05 0,05 0,1  
Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2  
Boron mg/L 1 1 1 1  
Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05  
Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01  
Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2  
Besi mg/L 0,3 - - -  
Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 0,5  
Mangan mg/L 0,1 - - -  
Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2  
Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 -  
Fluorida mg/L 1 1,5 1,5 -  
Sulfat mg/L 300 300 300 400  
Bagi air baku air
Khlorin Bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 - minum tidak
dipersyaratkan
Belerang sebagai
mg/L 0,002 0,002 0,002 -  
H2S
Kimia Organik
Minyak dan Lemak mg/L 1 1 1 10  
Detergen Total mg/L 0,2 0,2 0,2 -  
Senyawa Fenol mg/L 0,002 0,005 0.01 0,02  
BHC   210 210 210 -  
Aldrin/Dieldrin   17 - - -  
Chlordane   3 - - -  
DDT   2 2 2 2  
Heptachlor   18 - - -  
Lindane   56 - - -  
Methoxyclor   35 - - -  
Endrin   1 4 4    
Toxaphan   5 - - -  
Mikrobiologi
MPN/100
Fecal coliform 100 1.000 2.000 2.000  
mL
MPN/100 10.00
Total coliform 1.000 5.000 10.000  
mL 0
Radioaktivitas
Gross-A Bq/L 0,1 0,1 0,1 0,1  
Gross-B Bq/L 1 1 1 1  
Sumber: Lampiran VI PPRI No. 22 Tahun 2021
Air minum yang sehat merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi
kualitas dan keberlanjutan kehidupan manusia. Oleh karenanya air minum
mutlak harus tersedia dalam kuantitas (jumlah) dan kualitas yang
memadai. Kualitas air menunjukkan mutu atau kondisi yang dikaitkan
dengan suatu kegiatan dan keperluan tertentu. Baku mutu air minum diatur
oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum
sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.2 Baku Mutu Air Minum berdasarkan PERMENKES No. 492 Tahun 2010
Kadar Maksimum yang
Jenis Parameter Unit
Diperbolehkan
Parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan
Mikrobiologi
Escherichia coli Jumlah per 100 mL sampel 0
Total Bakteri Koliform Jumlah per 100 mL sampel 0
Kimia Anorganik
Arsen mg/L 0,01
Fluorida mg/L 1,5
Total Kromium mg/L 0,05
Kadmium mg/L 0,003
Nitrit mg/L 3
Nitrat mg/L 50
Sianida mg/L 0,07
Selenium mg/L 0,01
Parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan
Fisika
Bau   Tidak berbau
Warna TCU 15
TDS mg/L 500
Kekeruhan NTU 5
Rasa   Tidak berasa
Suhu C Dev 3
Kadar Maksimum yang
Jenis Parameter Unit
Diperbolehkan
Kimia
Aluminium mg/L 0,2
Besi mg/L 0,3
Kesadahan mg/L 500
Khlorida mg/L 250
Mangan mg/L 0,4
pH   6,5-8,5
Seng mg/L 3
Kadar Maksimum yang
Jenis Parameter Unit
Diperbolehkan
Sulfat mg/L 250
Tembaga mg/L 2
Amonia mg/L 1,5
Sumber: Lampiran PERMENKES No. 492 Tahun 2010

3.2 Syarat Kualitas Air Minum


Pengadaan air bersih untuk kepentingan rumah tangga seperti untuk air
minum harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan peraturan
internasional ataupun peraturan nasional dan setempat. Dalam hal ini, kualitas air
minum di Indonesia harus memenuhi persyaratan yang tertuang di dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010 dimana setiap
komponen yang diperkenankan berada di dalamnya harus sesuai dengan
persyaratan kesehatan air minum yang meliputi persyaratan fisika, kimia dan
biologi (Wandrivel R., N. Suharti, Y. Lestari, 2012).
A. Parameter Fisika
Air bersih/minum secara fisik harus jernih, tidak berwarna, tidak berbau
dan tidak berasa. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah suhu.
1. Bau
Bau disebabkan oleh adanya senyawa lain yang terkandung dalam air
seperti gas H2S, NH3, senyawa fenol, klorofenol dan lain-lain. Pengukuran
biologis senyawa organik dapat menghasilkan bau pada zat cair dan gas. Bau yang
disebabkan oleh senyawa organik ini selain mengganggu dari segi estetika, juga
beberapa senyawanya dapat bersifat karsinogenik. Pengukuran secara kuantitatif
bau sulit diukur karena hasilnya terlalu subjektif.
2. Kekeruhan
Kekeruhan disebabkan adanya kandungan Total Suspended Solid baik
yang bersifat organik maupun anorganik. Zat organik berasal dari lapukan
tanaman dan hewan, sedangkan zat anorganik biasanya berasal dari lapukan
batuan dan logam. Zat organik dapat menjadi makanan bakteri sehingga
mendukung perkembangannya. Penurunan kekeruhan ini sangat diperlukan karena
selain ditinjau dari segi estetika yang kurang baik juga proses desinfeksi untuk air
keruh sangat sukar, hal ini disebabkan karena penyerapan beberapa koloid dapat
melindungi organisme dari desinfektan.Rasa
Syarat air bersih/minum adalah air tersebut tidak boleh berasa. Air yang
berasa dapat menunjukkan kehadiran berbagai zat yang dapat membahayakan
kesehatan. Efeknya tergantung penyebab timbulnya rasa tersebut. Sebagai contoh
rasa asam dapat disebabkan oleh asam organik maupun anorganik, sedangkan rasa
asin dapat disebabkan oleh garam terlarut dalam air.
3. Suhu
Suhu air sebaiknya sama dengan suhu udara (25oC), dengan batas
toleransi yang diperbolehkan yaitu 25 oC ± 3 oC. Suhu yang normal mencegah
terjadinya pelarutan zat kimia pada pipa, menghambat reaksi biokimia pada pipa
dan mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Jika suhu air tinggi maka jumlah
oksigen terlarut dalam air akan berkurang juga serta meningkatkan reaksi dalam
air.
4. Warna
Air minum sebaiknya tidak berwarna, bening dan jernih untuk alasan
estetika dan untuk mencegah keracunan dari berbagai zat kimia maupun
organisme yang berwarna. Pada dasarnya warna dalam air dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu warna semu (apparent colour) yang disebabkan oleh
unsur tersuspensi dan warna sejati (true colour) yang disebabkan oleh zat organik
dan zat koloidal. Air yang telah mengandung senyawa organik seperti daun,
potongan kayu dan rumput akan memperlihatkan warna kuning kecoklatan, oksida
besi akan menyebabkan air berwarna kemerah-merahan, dan oksida mangan akan
menyebabkan air berwarna kecoklatan atau kehitaman.
B. Parameter Kimia
Air bersih/minum tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia dalam
jumlah tertentu yang melampaui batas. Bahan kimia yang dimaksud tersebut
adalah bahan kimia yang memiliki pengaruh langsung pada kesehatan.
Beberapa persyaratan kimia tersebut antara lain sebagai berikut.
1. pH
pH merupakan faktor penting bagi air minum, pada pH < 6,5 dan pH >
8,5 akan mempercepat terjadinya korosi pada pipa distribusi air bersih/minumZat
Padat
2. Total (Total Solid)
Total solid merupakan bahan yang tertinggal sebagai residu pada
penguapan dan pengeringan pada suhu 103-105 oC.
3. Zat Organik sebagai KMnO4
Zat organik dalam air berasal dari alam (tumbuh-tumbuhan, alkohol,
selulosa, gula dan pati), sintesa (proses-proses produksi) dan fermentasi. Zat
organik yang berlebihan dalam air akan mengakibatkan timbulnya bau tidak
sedap.
4. CO2 Agresif
CO2 yang terdapat dalam air berasal dari udara dan hasil dekomposisi zat
organik. CO2 agresif yaitu CO2 yang dapat merusak bangunan, perpipaan dalam
distribusi air bersih.
5. Kesadahan Total (Total Hardness)
Kesadahan adalah sifat air yang disebabkan oleh adanya ion-ion (kation)
logam valensi, misalnya Mg2+, Ca2+, Fe+ dan Mn+. Kesadahan total adalah
kesadahan yang disebabkan oleh adanya ion-ion Ca2+ dan Mg2+ secara bersama-
sama. Air sadah menyebabkan pemborosan pemakaian sabun pencuci dan
mempunyai titik didih yang lebih tinggi dibandingkan dengan air biasa.
6. Besi
Keberadaan besi dalam air bersifat terlarut, menyebabkan air menjadi
merah kekuning-kuningan, menimbulkan bau amis dan membentuk lapisan seperti
minyak. Besi merupakan logam yang menghambat proses desinfeksi. Hal ini
disebabkan karena daya pengikat klor (DPC) selain digunakan untuk mengikat zat
organik, juga digunakan untuk mengikat besi, akibatnya sisa klor menjadi lebih
sedikit dan hal ini memerlukan desinfektan yang lebih banyak pada proses
pengolahan air. Besi dalam tubuh dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin
namun dalam dosis yang berlebihan dapat merusak dinding halus.
7. Mangan
Mangan dalam air bersifat terlarut, biasanya membentuk MnO2. Adanya
mangan yang berlebihan dapat menyebabkan flek pada benda-benda putih oleh
deposit MnO2, menimbulkan rasa dan menyebabkan warna (ungu/hitam) pada air
minum, serta bersifat toksik.
8. Tembaga (Cu)
Pada kadar yang lebih besar dari 1 mg/L akan menyebabkan rasa tidak
enak pada lidah dan dapat menyebabkan gejala ginjal, muntaber, pusing, lemah
dan dapat menimbulkan kerusakan pada hati. Dalam dosis rendah menimbulkan
rasa kesat, warna dan korosi pada pipa.
9. Seng (Zn)
Tubuh memerlukan seng untuk proses metabolisme, tetapi pada dosis
tinggi dapat bersifat racun. Pada air minum kelebihan kadar Zn > 3 mg/L
menyebabkan rasa kesat/pahit dan bila dimasak timbul endapan seperti pasir dan
menyebabkan muntaber.
10. Klorida
Klorida mempunyai tingkat toksisitas yang tergantung ada gugus
senyawanya. Klor biasanya digunakan sebagai desinfektan dalam penyediaan air
minum. Kadar klor yang melebihi 250 mg/L akan menyebabkan rasa asin dan
korosif pasa logam.
11. Nitrit
Kelemahan nitrit dapat menyebabkan methamoglobinemia terutama pada
bayi yang mendapat konsumsi air minum yang mengandung nitrit.
12. Fluorida (F)
Kadar F > 1,5 mg/L menyebabkan kerusakan pada gigi, sebaliknya bila
terlalu banyak juga menyebabkan gigi berwarna kecoklatan.
13. Logam-Logam Berat (Pb, As, Se, Cd, Hg, CN)
Adanya logam-logam berat dalam air akan menyebabkan gangguan pada
jaringan syaraf, pencernaan, metabolisme oksigen dan kanker.
C. Parameter Biologi
Air minum tidak boleh mengandung kuman-kuman patogen dan parasit
seperti kuman-kuman thypus, kolera, disentri dan gastroenteritis. Untuk
mengetahui adanya bakteri patogen dapat dilakukan dengan pengamatan terhadap
ada tidaknya bakteri Escherichia coli yang merupakan bakteri indikator pencemar
air. Parameter ini terdapat pada air yang tercemar oleh tinja manusia dan dapat
menyebabkan gangguan pada manusia berupa penyakit perut (diare) karena
mengandung bakteri patogen. Proses penghilangannya dilakukan dengan
desinfeksi.
3.3 Kualitas Air Baku dan Sistem Pengolahan
Kontaminan utama terhadap air adalah zat padat dengan mineral-mineral
yang terkandung di dalamnya, selain itu apabila air melalui permukaan tanah
dengan tingkat organik tinggi seperti tanah gambut, maka kandungan organik
akan tinggi, demikian dengan badan-badan air yang lain. Pada umumnya
penampakan karakteristik air dan metode pengolahannya tergantung dari tingkat
kekeruhannya. Karakteristik air baku permukaan yang ada di Indonesia secara
umum dapat digolongkan menjadi sebagai berikut (Joko, 2010).
1. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi
Air permukaan ini telah mengalir pada permukaan tanah yang renta
terhadap erosi atau ditutupi dengan vegetasi yang rendah kerapatannya.
2. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Rendah sampai Sedang
Air ini pada umumnya mempunyai sifat stabil di danau atau waduk yang
sedikit mengandung gulma atau tanaman air seperti halnya air pada golongan
pertama, hanya saja telah mengalami pengendapan yang cukup lama dengan
waktu tinggal lebih dari satu minggu.
3. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan yang Sifatnya Temporer
Air yang mengalir di atas permukaan yang tertutup vegetasi cukup rapat
dan curam akan menghasilkan air keruh saat musim hujan dan jernih saat tidak
hujan. Saat terjadi hujan terjadi erosi sedimentasi setelah debit dan kecepatan air
meningkat tajam. Tingkat kekeruhan yang tinggi hanya terjadi beberapa saat, 2 –
3 jam setelah hujan reda air kembali ke aliran dasar (base flow) dan air kembali
jernih. Air sungai dengan kekeruhan temporer sering terjadi di daerah
pegunungan.
4. Air Permukaan dengan Kandungan Warna yang Sedang sampai Tinggi
Air ini umumnya telah mengalir pada daerah dengan tingkat humus
tinggi atau gambut. Pada umumnya air mempunyai tingkat warna di atas 30 PtC
sebagai akibat terlarutnya zat tanin dari sisa-sisa humus. Biasanya pH air bersifat
asam (4 – 7). Air ini mempunyai tingkat kekeruhan dan warna tinggi.
5. Air Permukaan dengan Tingkat Kesadahan Tinggi
Kesadahan pada prinsipnya adalah terkontaminasinya air oleh unsur
kation seperti Ca, Mg, Na dan sebagainya. Air sadah tinggi mengalir pada daerah
bebatuan kapur. Kesadahan dapat dikatakan tinggi dan mulai berakibat pada alat-
alat masak adalah di atas 100 mg/L CaCO3. Kesadahan di atas 300 mg/L bila
dikonsumsi secara terus menerus akan merusak ginjal manusia.
6. Air Permukaan dengan Kekeruhan Sangat Rendah
Air permukaan dengan tingkat kekeruhan sangat rendah dapat dijumpai
pada danau-danau yang masih belum tercemar atau air yang baru keluar dari mata
air.

Pemilihan masing-masing unit operasi yang digunakan dipengaruhi oleh


berbagai faktor seperti jenis dan karakteristik air, variasi debit air, kualitas air
olahan yang diinginkan, pertimbangan kemudahan dalam operasi dan
pemeliharaan yang berkaitan dengan ketersediaan teknologi dan tenaga terampil
serta aspek ekonomis menyangkut biaya harus disediakan untuk pembangunan
instalasi serta biaya operasionalnya.
Kondisi sumber air baku dan keperluan/peruntukan penggunaannya
menjadi acuan pemilihan pengolahan air secara khusus, diantaranya dengan
reverse osmosis, ion exchange, adsorbsi dan pelunakan air. Strategi pengolahan
yang dapat diterapkan pada masing-masing jenis air adalah berbeda. Berdasarkan
karakteristik air baku yang akan diolah maka pengolahan dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut.
1. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi
Air baku dengan tingkat kekeruhan tinggi dapat dilakukan pengolahan
dengan pilihan sebagai berikut.
a. Alternatif 1
Tingkat kekeruhan tinggi menyebabkan tingginya sedimen dalam air
baku, maka akan lebih ekonomis jika sebelum koagulasi flokulasi dilakukan
proses prasedimentasi. Berikut alternatif pengolahannya: prasedimentasi,
koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, desinfeksi.
b. Alternatif 2
Alternatif lain adalah dengan menggunakan saringan pasir lambat, di
mana sebelum dilakukan penyaringn harus terlebih dahulu dilakukan
pengendapan sampai kekeruhan mencapai 50 mg/L SiO2.
2. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Rendah sampai Sedang
Tingkat kekeruhan rendah sampai sedang diasumsikan sekitar 10 – 50
NTU. Pada jenis ini air dapat dilakukan pengolahan dengan alternatif: koagulasi-
flokulasi, sedimentasi, filtrasi, desinfeksi.
3. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan yang Sifatnya Temporer
Pada kasus pengolahan ari baku dengan kekeruhan temporer dapat
dilakukan pilihan pengolahan sebagai berikut.
a. Alternatif 1
Alternatif pengolahannya: koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi,
desinfeksi. Pengoperasian untuk alternatif ini adalah bila tidak hujan maka tidak
dilakukan koagulasi tetapi pada saat kekeruhan tinggi maka perlu dilakukan
proses koagulasi.
b. Alternatif 2
Alternatif lain adalah dengan menggunakan saringan pasir lambat, di
mana sebelum dilakukan penyaringn harus terlebih dahulu dilakukan
pengendapan.
c. Alternatif 3
Alternatif lain adalah dengan menggunakan saringan pasir cepat, di mana
saat terjadi kekeruhan tinggi IPA tidak beroperasional. Pelayanan air bersih
memanfaatkan air reservoir yang memiliki daya tampung di atas 6 – 24 jam
tergantung lamanya kekeruhan terjadi.
4. Air Permukaan dengan Kandungan Warna yang Sedang sampai Tinggi
Air baku dengan tingkat warna yang tinggi dapat diolah hanya dengan
pengolahan sebagai berikut: koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, desinfeksi.
Pada pengolahan ini akan dibutuhkan koagulan lebih banyak dan lebih baik jika
dibubuhkan lumpur kaolin, bentonite atau lumpur setempat yang berguna untuk
memperberat flok. Dapat juga dengan melakukan recycle lumpur dari bak
sedimentasi. Waktu flokulasi dan sedimentasi lebih lama disbanding air tidak
berwarna.
5. Air Permukaan dengan Tingkat Kesadahan Tinggi
Air dengan tingkat kekeruhan tinggi dapat dilakukan dengan proses
kapur soda yaitu dengan proses pemisahan Ca, Mg secara kimiawi kemudian
diendapkan di bak pengendap. Apabila kesadahan sementara lebih dominan dapat
dilakukan dengan saringan marmer. Alternatif lain adalah dengan proses
pelunakan memanfaatkan ion exchange dengan resin, karbon atau pasir aktif.
6. Air Permukaan dengan Kekeruhan Sangat Rendah
Air permukaan dengan tingkat kekeruhan sangat rendah dapat dilakukan
pengolahan langsung dengan filtrasi dan desinfeksi. Filtrasi dilakukan untuk
menjaga pertikulat yang masuk.
3.4 Jenis Sistem Pengolahan yang Direncanakan
Unit produksi sistem penyediaan air minum berfungsi untuk mengolah
air baku menjadi air minum. Untuk mencapai kualitas air yang sesuai dengan
standar kualitas air minum maka air baku diolah terlebih dahulu. Yang dimaksud
dengan pengolahan air adalah usaha-usaha teknis yang dilakukan untuk merubah
sifat-sifat air tersebut. Hal ini penting sekali dalam air minum, karena dengan
adanya proses pengolahan maka akan diperoleh mutu air minum yang memenuhi
standar yang telah ditentukan. Ada dua macam pengolahan air yang sudah
dikenal, yaitu sebagai berikut (Joko, 2010).
1. Pengolahan Lengkap, dimana air baku mengalami pengolahan lengkap
yaitu pengolahan fisik, kimiawi dan bakteriologis. Pengolahan ini
biasanya dilakukan terhadap air sungai yang keruh/kotor.
2. Pengolahan Sebagian, dimana air baku hanya mengalami proses
pengolahan kimia dan/atau pengolahan bakteriologis.

Pada proses pengolahan lengkap terdapat tiga tingkat pengolahan sebagai


berikut.
1. Pengolahan Fisik, bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
kotoran-kotoran kasar, penyisihan lumpur dan pasir, mengurangi zat-zat
organik yang ada pada air. Proses pengolahan fisik dilakukan tanpa
tambahan zat kimia.
2. Pengolahan Kimia, bertujuan membantu proses pengolahan selanjutnya
dengan penambahan zat kimia.
3. Pengolahan Biologi, bertujuan membunuh atau memusnahkan bakteri-
bakteri terutama bakteri penyebab penyakit yang terkandung dalam air.
Berdasarkan data kualitas air sungai Kapuas di Kecamatan
Kapuas Kabupaten Sanggau yang disajikan pada tabel 2.1, terdapat empat
parameter yang melebihi standar baku mutu yaitu kekeruhan, Total
Suspended Solid (TSS), fosfat, nitrat dan Fecal coliform maka unit operasi
yang akan dipilih dalam sistem pengolahan air minum secara berurutan

Gambar 3.1 Diagram Alir Sistem Pengolahan yang Direncanakan


ditampilkan pada Gambar 3.1.
3.4.1 Koagulasi
Koagulasi adalah penambahan koagulan ke dalam air baku diikuti dengan
pengadukan cepat yang bertujuan untuk mencampur antara koagulan dengan
koloid. Partikel dengan ukuran sangat kecil tidak dapat diendapkan dalam unit
sedimentasi. Partikel dengan diameter 0,06 mm membutuhkan waktu 10 jam
untuk mengendap dalam bak sedimentasi yang mempunyai kedalaman 3 meter,
dan partikel yang berdiameter 0,002 mm membutuhkan waktu mengendap selama
4 hari. Detention time selama ini tidak bisa dipraktekkan dalam perencanaan.
Selain partikel-partikel halus, di dalam air juga terdapat koloid-koloid yang
bermuatan listrik yang selalu bergerak-gerak serta tidak dapat diendapkan secara
gravitasi. Oleh sebab itu digunakan suatu proses yang dapat mempermudah
partikel-partikel halus/koloidal tersebut mengendap.
Partikel-partikel yang sangat halus/koloid bersifat stabil dalam air di non
stabilkan muatan permukaannya dengan zat koagulan sehingga terjadi gaya tarik-
menarik membentuk flok-flok. Partikel-partikel suspensi maupun koloid-koloidal
yang telah berbentuk flok dapat dipisahkan dari air melalui proses sedimentasi
(pengendapan). Untuk meratakan pencampuran zat koagulan dan pembentukan
flok dilakukan proses pengadukan cepat dan pengadukan lambat. Pengadukan
cepat (koagulasi) dilakukan kurang lebih satu menit diikuti dengan pengadukan
lambat, kurang lebih 10 – 20 menit.
Pengadukan yang memanfaatkan gaya hidrolis air, yaitu dengan
memanfaatkan turbulensi dalam pipa dan terjunan air. Pengadukan hidrolis yang
biasa dipakai untuk debit air di atas 50 L/det adalah dengan terjunan air.
Pembubuhan dilakukan sesaat sebelum air diterjunkan dengan demikian air yang
terjun sudah mengandung koagulan yang siap diaduk. Tinggi terjunan untuk suatu
pengadukan adalah tipikal untuk semua debit karena debit tidak menentukan
dalam perhitungan.
3.4.1.1 Koagulan
Pengendapan kimiawi dalam pengolahan air minum dilakukan dengan
penambahan zat-zat kimia (koagulan) untuk mengubah bentuk fisik dari padatan
terlarut atau tersuspensi dan untuk memudahkan penyisihannya dengan
sedimentasi. Akibat sampingan dari penambahan zat kimia adalah peningkatan
jumlah zat terlarut di dalam air.
Suatu zat kimia tertentu yang disebut koagulan tidak dapat larut dalam
air, bahkan dapat membentuk flok-flok presipitat. Presipitat-presipitat dapat
menyerap atau mengikat suspense halus dan koloid-koloid yang terdapat dalam
air, proses ini dapat berjalan dalam waktu yang relatif cepat. Proses koagulasi ini
dapat menurunkan derajat warna, bau dan rasa. Partikel suspensi maupun koloidal
yang telah berbentuk flok dapat dipisahkan dari air melalui proses sedimentasi.
Tingkat kejernihan air yang diperoleh tergantung pada jumlah bahan
kimia yang digunakan. Pengendapan bisa menghasilkan efluen yang jernih, bebas
dari substansi dalam bentuk suspensi maupun koloid. Sekitar 80 – 90% total
padatan terlarut, 40 – 70% BOD5, 30 – 60% COD dan 80 – 90% bakteri dapat
disisihkan dengan pengendapan kimiawi. Sebagai perbandingan, jika hanya
melakukan pengendapan biasa tanpa tambahan zat kimia, hanya 50 – 70% dari
total padatan tersuspensi dan 30 – 40% bahan organik yang dapat terendapkan.
Koagulan yang digunakan dalam perencanaan bangunan
pengolahan air minum daerah Kecamatan Kapuas ialah Aluminium Sulfat
(Al2(SO4)3.18H2O). Aluminium sulfat atau Alum mudah didapat di pasaran
bebas. Alum berwarna abu-abu kotor berbentuk padat dengan kadar
kurang lebih 17% aluminium sulfat. Alum adalah koagulan yang sering
digunakan dalam proses pengolahan air minum. Alum di dalam air dapat
bereaksi dengan garam. Koagulasi dengan alum berjalan dengan baik pada
pH antara 6,5 – 8,5. Reaksi yang terjadi pada proses koagulasi dengan
aluminium sulfat sebagai koagulan ialah sebagai berikut.
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3) → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6H2O
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6H2O
Untuk menentukan dosis flok yang dibutuhkan maka dilakukan
Jar Test terlebih dahulu. Dengan pembubuhan koagulan maka stabilitas
terganggu sehingga sebagian kecil koagulan akan terlarut dalam air,
molekul-molekul ini akan menempel pada permukaan positif sedangkan
koloid basa akan bermuatan negatif. Setelah pembubuhan dilakukan, maka
operasi berikutnya adalah mencampur/mengaduk koagulan tersebut dalam
air baku secara merata. Pengadukan (koagulasi) dilakukan secara cepat
selama kurang lebih satu menit yang diikuti dengan pengadukan secara
lambat, kurang lebih 30 – 60 menit, yang dihentikan dengan proses
flokulasi.
Bentuk pengaduk cepat atau koagulator yang digunakan dalam
perencanaan dengan debit 308 L/detik ialah koagulator tipe hidrolis yang
menggunakan kecepatan pengaliran dalam pipa sebagai sumber energi
untuk pengadukan. Koagulator tipe hidrolis juga dilengkapi dengan stated
mixer yang merupakan peralatan khusus yang dipasang pada pipa untuk
mempercepat proses pengadukan. Prinsip kerja peralatan ini adalah
memecah dan memutar aliran sehingga gradien kecepatan menjadi lebih
besar. Tipe hidrolis memanfaatkan terjunan air yang memiliki energi yang
terjadi dari tinggi terjunan air itu sendiri.
3.4.2 Flokulasi
Flokulasi secara umum disebut juga pengadukan lambat, di mana dalam
flokulasi ini berlangsung proses terbentuknya penggumpalan flok-flok yang lebih
besar dan akibatnya ada perbedaan berat jenis terhadap air, maka flok-flok
tersebut dapat dengan mudah mengendap di bak sedimentasi. Flokulasi dilakukan
setelah proses koagulasi. Flokulator berjalan dengan kecepatan lambat dengan
maksud terjadi pembentukan flok. Kecepatan air dalam bak pengaduk dijaga pada
kecepatan 15 – 30 cm/detik, agar tidak terjadi pengendapan maupun kerusakan
flok yang telah terbentuk.
Flokulasi dicapai dengan mengaplikasikan pengadukan yang tepat untuk
memperbesar flok-flok hasil koagulasi. Pengadukan pada bak flokulasi harus
diatur sehingga kecepatan pengadukan semakin ke hilir semakin lambat, serta
pada umumnya waktu detensi pada bak ini adalah 20 sampai dengan 40 menit.
Hal tersebut dilakukan karena flok yang telah mencapai ukuran tertentu tidak
dapat menahan gaya tarik dari aliran air dan menyebabkan flok pecah kembali,
oleh sebab itu kecepatan pengadukan dan waktu detensi dibatasi.
Bentuk bak flokulasi dibuat dengan multi stage, di mana terdapat
minimum 6 tahap (stage) dengan nilai gradient kecepatan menurun dari 70 L/detik
sampai 20 L/detik. Terdapat bebebrapa kategori sistem pengadukan untuk
melakukan proses flokulasi, yaitu sebagai berikut.
1. Flokulasi Mekanis, dapat dibedakan menjadi:
a. Flokulasi dengan sumbu pengaduk vertikal berbentuk turbin
b. Flokulasi dengan sumbu pengaduk horizontal berbentuk paddle
c. Unit-unit lain yang telah dipatenkan seperti walking bean, floksilator dan
NU-treat
2. Flokulasi Hidrolis dengan Sekat (Baffle Channel Basins) dibedakan atas:
a. Unit saluran flokulasi berpenyekat dengan arah aliran horizontal
b. Unit saluran flokulasi berpenyekat dengan arah aliran vertikal

Unit flokulasi yang direncanakan ialah menggunakan sistem pengadukan


hidrolis, berupa buffle channel aliran horizontal. Unit flokulasi memiliki enam bak
dengan sistem hidrolika helicoidal up dan down flow gravitation.
3.4.3 Sedimentasi
Proses sedimentasi secara umum diartikan sebagai proses pengendapan,
di mana akibat gaya gravitasi, partikel yang mempunyai berat jenis lebih besar
dari berat jenis air akan mengendap ke bawah dan yang lebih kecil berat jenisnya
akan mengapung. Kecepatan pengendapan partikel akan bertambah sesuai dengan
pertambahan ukuran partikel dan berat jenisnya. Prinsip yang digunakan adalah
menyaring flok-flok yang telah mengendap. Kecepatan pengendapan partikel akan
bertambah sesuai dengan pertambahan ukuran partikel dan berat jenisnya.
Dari segi hidrolis, maka hal yang sangat penting diperhatikan dalam unit
operasi sedimentasi adalah kondisi aliran air dalam bak sedimentasi tersebut.
Kondisi turbulensi aliran air sangat penting dalam proses pengendapan flok-flok
dan perlu dijaga agar flok-flok tersebut tidak pecah. Permukaan unit sedimentasi
berbentuk segi empat dengan perbandingan panjang: lebar = 2: 1.
Bangunan unit sedimentasi terdiri dari empat bagian (zona) yaitu sebagai
berikut.
1. Zona Inlet
Zona ini didesain sedemikian rupa sehingga air baku dapat masuk ke
zona pengendapan tanpa menimbulkan gangguan pada partikel yang mengendap
dan dapat didistribusikan secara uniform serta merata sepanjang bak pengendapan.
2. Zona Pengendapan
Partikel yang mengendap pada zona pengendapan dipengaruhi oleh dua
gaya, yaitu aliran air itu sendiri dan gaya gravitasi. Aliran horizontal air
menyebabkan partikel bergerak arah horizontal, sedangkan gaya gravitasi
menyebabkan partikel bergerak ke arah vertikal bawah. Resultan dari kedua arah
tersebut yang menyebabkan partikel dapat mengendap ke zona lumpur. Waktu
yang dibutuhkan air untuk mengalir dari zona awal pengendapan sampai air keluar
dari zona tersebut disebut waktu detensi (detention time), yaitu waktu yang
dibutuhkan oleh air selama berada di zona pengendapan.
3. Zona Lumpur
Lumpur diusahakan dapat terkumpul pada zona ini, dan sewaktu-waktu
dapat dibuang (dengan pengurasan).
4. Zona Outlet
Zona ini didesain sebagaimana zona inlet, sehingga air dapat dikeluarkan
tanpa mengganggu proses pengendapan.

Ada tiga bentuk dasar bak sedimentasi, yaitu sebagai berikut.


1. Rectangular Tanks (bak segi empat)
Bak sedimentasi jenis ini direncanakan berbentuk segi empat dan
kadang-kadang memiliki baffle yang berfungsi untuk memperbesar beban
permukaan, untuk mengurangi kecepatan aliran air, dan juga befungsi untuk
menghindari adanya aliran pendek (short circuiting). Untuk memungkinkan
pengeluaran lumpur endapa, maka dasar bak dibuat dengan kemiringan tertentu.
Pengeluaran lumpur dapat menggunakan prinsip hidrostatik melalui pipa outlet
lumpur.
2. Circular Tanks
Circular tanks dapat dibedakan dua macam berdasarkan pada airan air
yang masuk ke dalam tanks, seperti pada penjelasan di bawah ini.
a. Radial Flow Circular Tanks
Air masuk melalui pipa inlet yang diletakkan di pusat tangki pengendap,
kemudian oleh deflektor air dialirkan ke arah radial-horisontal menuju tepi tangki
pengendap (outlet). Lumpur endapan mengumpul di pusat tangki (pengumpulan
dilakukan dengan menggunakan scrapper).
b. Circumferential Flow Circular Tanks
Air baku masuk ke dalam tangki pengendap melalui beberapa celah inlet,
kemudian oleh lengan pemutar air yang masuk dialirkan ke sekeliling lingkaran
tangki bak pengendap. Bersamaan dengan itu lumpur endapan dapat mengendap
ke dasar bak dan terkumpul dalam zona lumpur, sedangkan air bersih masuk ke
dalam outlet tangki pengendap.
3. Hooper Botton Tanks
Tipe bak pengendap ini disebut juga vertical flow tanks, sebab air baku
dialirkan secara vertikal (baik ke bawah maupun ke atas). Pada pusat tangki
diletakkan deflektor dimana air baku masuk dari bagian atas ke dalam deflektor,
kemudian air turun ke bawah serta keluar lagi dari deflektor menuju outlet.
Partikel suspense akan mengumpul pada zona lumpur sewaktu aliran ke bawah.
Menurut Coe dan Clevenger (1916), yang kemudian dikembangkan oleh
Camp (1946) dan Fitch (1956) dan dikutip oleh Reynolds (1982), pengendapan
yang terjadi pada bak sedimentasi bisa dibagi menjadi empat kelas. Pembagian ini
didasarkan pada konsentrasi dari partikel tersebut untuk berinteraksi. Penjelasan
mengenai keempat jenis pengendapan ini adalah sebagai berikut.
1. Pengendapan Tipe I, Free Settling
Pengendapan tipe I adalah pengendapan dari partikel diskrit yang bukan
merupakan flok pada suatu suspensi. Partikel terendapkan sebagai unit terpisah
dan tidak terlihat flokulasi atau interaksi antara partikel-partikel tersebut. Contoh
pengendapan tipe I adalah prasedimentasi dan pengendapan pasir pada grit
chamber.
2. Pengendapan tipe II, Flocculent Settling
Pengendapan tipe II adalah pengendapan dari partikel-partikel yang
berupa flok pada suatu suspensi. Partikel-partikel tersebut akan membentuk flok
selama pengendapan terjadi, sehingga ukurannya akan membesar dan mengendap
dengan laju yang lebih cepat. Contoh pengendapan tipe ini adalah pengendapan
primer pada air buangan dan pengendapan pada air yang telah melalui proses
koagulasi dan flokulasi.
3. Pengendapan tipe III, Zone/ Hindered Settling
Pengendapan tipe III adalah pengendapan dari partikel dengan
konsentrasi sedang, dimana partikel-partikel ini tersebut sangat berdekatan
sehingga gaya antar partikel mencegah pengendapan dari partikel di sekelilingnya.
Partikel-partikel tersebut berada pada posisi yang tetap satu sama lain dan semua
mengendap dengan kecepatan konstan. Sebagai hasilnya massa partikel
mengendap dalam satu zona. Pada bagian atas dari massa yang mengendap akan
terdapat batasan yang jelas antara padatan dan cairan.
4. Pengendapan tipe IV, Compression Settling
Pengendapan tipe IV adalah pengendapan dari partikel yang memiliki
konsentrasi tinggi dimana partikel-partikel bersentuhan satu sama lain dan
pengendapan bisa terjadi hanya dengan melakukan kompresi terhadap massa
tersebut.
Pada perencanaan ini digunakan bak sedimentasi dengan bentuk
rectangular. Untuk meningkatkan efisiensi penyisihan partikel dapat dilakukan
dengan menambah luasan pengendapan pada bak sedimentasi, namun hal tersebut
tidak sejalan dengan ketersediaan lahan. Menurut Maharani (2017), meningkatkan
nilai overflow rate pada bak sedimentasi tanpa harus menambah luasan bidang
pengendapan dapat dilakukan dengan menambahkan tube settler. Tube settler
yang digunakan pada perencanaan unit sedimentasi pengolahan air minum
Kecamatan Kapuas ialah circular tubes.
3.4.4 Filtrasi
Filtrasi adalah proses penyaringan partikel secara fisik, kimia dan biologi
untuk memisahkan atau menyaring partikel yang tidak terendapkan di sedimentasi
melalui media berpori. Selama proses filtrasi, zat-zat pengotor dalam media
penyaring akan menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pori-pori media
sehingga kehilangan tekanan akan meningkat. Media yang sering digunakan
adalah pasir, karena mudah diperoleh dan ekonomis. Selain pasir, media
penyaring lain yang dapat digunakan adalah karbon aktif, anthracite, coconut
shell dan lain-lain. Diharapkan dengan penyaringan, akan dapat dihilangkan
kekeruhan tersebut secara total atau dengan perkataan lain, sisa kekeruhan yang
terkandung pada aliran keluar (filtrat) dari proses penyaringan adalah 0,00 mg/L.
Filtrasi diperlukan untuk menyempurnakan penurunan kadar kontaminan
seperti bakteri, warna, rasa, bau dan Fe sehingga diperoleh air yang bersih
memenuhi standar kualitas air minum. Filter dibedakan menjadi dua macam yaitu
saringan pasir lambat dan saringan pasir cepat. Saringan pasir lambat
dikembangkan pada tahun 1829 oleh James Simpson pada perusahaan air minum
Inggris. Saringan pasir cepat dikembangkan di USA selama periode tahun 1900 –
1910. Saringan pasir cepat lebih banyak dimanfaatkan dalam sistem pengolahan
air minum. Filter juga dapat diklasifikasikan berdasarkan cara pengalirannya,
yaitu gravity filter dan pressure filter.
Air yang keluar dari penyaringan biasanya sudah jernih dan proses
tersebut merupakan proses akhir dari seluruh proses pengolahan dan penjernihan
air. Agar air yang jernih ini dapat sehat untuk dipakai sebagai air minum, harus
diproses lebih lanjut dengan proses netralisasi dan desinfeksi, agar seluruh
kuman-kuman penyakit yang terkandung di dalamnya dapat dimusnahkan dan
tidak dapat tumbuh kembali.
Pasir filter yang dipergunakan dalam filter harus bebas dari lumpur,
kapur dan unsur-unsur organik. Pasir harus keras, jika dimasukkan ke dalam asam
klorida selama 24 jam tidak akan kehilangan berat lebih dari 5%. Pasir yang
sangat halus akan lebih cepat mampat (clogging), tetapi jika terlalu besar maka
suspensi/partikel halus akan lolos. Oleh karena itu ukuran butir pasir filter harus
diseleksi terlebih dahulu.
Media penahan filter yang biasa digunakan terdiri dari lapisan pasir dan
kerikil. Media penahan ini berfungsi untuk menahan pasir dan menyebarkan aliran
filtrate ke dalam sistem drainase serta aliran air pencuci pasir. Kerikil yang
dipergunakan untuk media penahan filter harus bersih, keras, tahan lama dan
bulat-bulat. Secara berkala filter perlu dicuci untuk menghilangkan kotoran-
kotoran yang menyumbat pori-pori diantara media. Pencucian ini dapat dilakukan
dengan proses backwash, dimana air dialirkan dari bawah media ke arah atas, dan
memakan waktu 1 sampai 2 hari.
Filter saringan dapat dikelompokkan sesuai dengan tipe media yang
digunakan antara lain ialah sebagai berikut.
1. Single Media Filter (Saringan Satu Media), yaitu saringan yang
menggunakan satu media, biasanya pasir atau cruched anthracite coal.
2. Dual Media Filter (Saringan Dua Media), yaitu saringan yang
menggunakan dua media, biasanya pasir dan cruched anthracite coal.
3. Multi Media Filter (Banyak Media), yaitu saringan yang menggunakan
banyak media, biasanya pasir, cruched anthracite coal dan garnet.

Unit filtrasi yang direncanakan pada perencanaan ini ialah filter pasir
cepat dengan dual media filter yang beroperasi secara gravitasi. Media filter yang
digunakan yaitu pasir silika dan anthracite.

3.4.5 Desinfeksi
Desinfeksi adalah usaha untuk mematikan mikroorganisme yang masih
tersisa dalam proses, terutama ditujukan kepada yang patogen. Terdapat
bermacam-macam cara desinfeksi, yaitu kimia (larutan kaporit, gas chlor, gas
ozon) dan fisika (gelombang mikro dan ultraviolet). Untuk membunuh
mikroorganisme yang bersifat patogen terkandung di dalam air, misalnya adalah
mikroba Escherichia coli. Bahan desinfeksi tersebut desinfektan dan biasanya
desinfektan kimia berupa kaporit, bromin klorida, gas klor, gas iod, ozon dan
kalium permanganat. Desinfektan yang sering digunakan adalah kaporit, gas klor
dan sinar ultra.
Desinfeksi sering menggunakan klor sehingga desinfeksi dikenal juga
dengan khlorinasi. Senyawa klor dalam air akan bereaksi dengan senyawa organik
maupun anorganik tertentu membentuk senyawa baru. Beberapa bagian klor akan
tersisa yang disebut sisa klor. Pada mulanya sisa klor merupakan klor terikat,
selanjutnya jika dosis klor ditambah maka sisa klor terikat akan semakin besar,
dan pada suatu ketika tercapai kondisi “break point chlorination”. Penambahan
dosis klor setelah titik ini akan memberi sisa klor yang sebanding dengan
penambahan klor. Khlorinasi bertujuan untuk membunuh mikroba patogen dan
menyediakan klorin sisa untuk keamanan sampai ke konsumen. Desinfektan yang
digunakan dalam perencanaan ini adalah kaporit.
3.4.6 Reservoir
Reservoir distribusi merupakan bangunan penampungan air minum
sebelum dilakukan pendistribusian ke pelanggan/masyarakat, yang dapat
ditempatkan di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah.
Bangunan reservoir umumnya diletakkan di dekat jaringan distribusi pada
ketinggian yang cukup untuk mengalirkan air secara baik dan merata ke seluruh
daerah konsumen.
BAB IV
RANCANGAN BANGUNAN PENGOLAHAN AIR
4.1 Perhitungan Dimensi Intake
Intake adalah jenis bangunan pengambilan air baku seperti danau, kolam dan
sungai yang berfungsi sebagai bangunan penangkap atau menampung air baku
sebelum disalurkan ke daerah pelayanan. Konstruksi intake disesuaikan menurut
konstruksi bangunan air dan umumnya kualitas air yang dimanfaatkan untuk
pengolahan pada bangunan intake biasanya kurang baik, namun dari segi kuantitas
airnya cukup banyak. Bangunan penangkap air yang direncanakan untuk daerah
Kecamatan Kapuas ialah river intake. River intake merupakan satu di antara jenis
indirect intake. River intake menggunakan pipa penyadap dalam bentuk sumur
pengumpul. Intake ini lebih ekonomis untuk air sungai yang mempunyai perbedaan
level muka air pada musim hujan dan musim kemarau yang cukup tinggi.

Gambar 4.1 Rancangan River Intake


Adapun beberapa persyaratan lokasi perencanaan intake yang akan dibangun
yaitu sebagai berikut.
1. Intake sebaiknya direncanakan dan ditempatkan pada tempat/sumber air
yang memiliki aliran yang stabil dan tidak deras. Hal ini berguna agar tidak
membahayakan bangunan intake tersebut.
2. Bangunan intake harus kedap air.
3. Tanah di sekitar intake seharusnya cukup stabil dan tidak mudah terkena
erosi.
4. Intake seharusnya terletak jauh sebelum sumber kontaminasi.
5. Intake sebaiknya terletak di hulu sungai suatu kota.
6. Intake sebaiknya dilengkapi dengan saringan kasar yang selalu dibersihkan.
Ujung pipa pengambilan air yang berhubungan dengan pipa sebaiknya juga
dilengkapi saringan.
7. Inlet sebaiknya berada di bawah permukaan badan air untuk mencegah
masuknya benda-benda terapung. Di samping itu, sebaiknya terletak cukup
di atas air.
8. Untuk muka air yang berfluktuasi, inlet yang masuk ke sumur pengumpul
sebaiknya dibuat beberapa level.
9. Jika permukaan badan air selalu konstan dan tebing sungai terendam air
maka intake dapat dibuat dekat sungai.

Ketentuan yang direncanakan untuk pembuatan bangunan penangkap air


(intake) di antaranya ialah sebagai berikut.
Kapasitas Pengolahan: 80 L/s ≈ 0,08 m3/s
Kecepatan Aliran pada Pipa (v Pipa): 1 m/s
Sehingga, luas penampang pipa (A) pada intake dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan kontinuitas sebagai berikut.
Q= A × v
Dimana:
Q: Debit (m3/s)
A: Luas penampang (m2)
V: Kecepatan aliran air (m/s)
Berdasarkan persamaan tersebut, maka nilai luas penampang dan diameter pipa ialah
sebagai berikut.
a. Luas Penampang Pipa
Q
A=
v
0,08 m 3 /s
A=
1 m/s
A=0,08 m2
b. Diameter Pipa
A×4
D 2=
π
0,08 × 4
D 2=
3,14
0,08 × 4
D 2=
3,14
0,32
D 2=
3,14
D 2=0,1 m 2
D1= √ 0,1 m2
D 1=0,3 m
D1=300 mm ≈ 11,811inci ≈ 12 inci
Berdasarkan perhitungan di atas, maka diketahui diameter pipa untuk
mengalirkan air dengan debit 0,08 m3/s serta kecepatan aliran dalam pipa 1 m/s pada
intake ialah sebesar 300 mm atau 12 inci. Pipa yang akan dipilih pada perencanaan ini
ialah jenis pipa HDPE (High Density Polyethylene). Pipa HDPE digunakan karena
pipa ini terbuat dari bahan plastik yang non-toxic sehingga aman digunakan untuk air
konsumsi. Pipa HDPE sudah diuji dan terbukti efektif untuk diletakan di atas tanah,
dikubur dan dipasang pada gedung maupun dipergunakan di laut serta pipa ini juga
mempunyai kualitas dan tingkat kerapatan yang tinggi sesuai dengan spesifikasi SNI
06-4829-2005/ISO4427:2007.
Setelah mengetahui nilai luas penampang atau diameter pipa, maka
kemudian untuk mengetahui kecepatan aliran air di dalam pipa dapat dilihat pada
perhitungan sebagai berikut.
a. Luas Permukaan Pipa
1
A= π D 2
4
1
A= × 3,14 × 0,32
4
A=0,07065 m2
b. Kecepatan Aliran Air di Dalam Pipa
Q
v=
A
m3
0,08
s
v=
0,07065 m2
m
v=1,13
s
Berdasarkan perhitungan tersebut maka dapat diketahui kecepatan aliran
dalam pipa yang digunakan adalah sebesar 1,13 m/s. Berdasarkan Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum No 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan sistem
Penyediaan Air Minum dengan kecepatan aliran minimum dalam pipa adalah 0,3-4,5
m/s maka, nilai kecepatan aliran air dalam pipa tersebut dinyatakan telah memenuhi
syarat kriteria pipa transmisi.
4.1.1 Perhitungan Bar Screen
Bar screen merupakan suatu unit operasi yang pertama–tama dijumpai
dalam bangunan pengolahan. Bar screen memiliki fungsi menahan dan menyaring
benda-benda keras dan besar seperti ranting, kayu, dan sampah serta mencegah
rusaknya saringan. Bar screen juga diletakkan pada posisi terawal pengolahan untuk
mencegah masuknya material kasar unit pengolahan (Siregar, 2005). Penyaringan
sampah pada bar screen secara mekanik dimaksudkan agar pembersihan dapat
berlangsung secara efektif dan tidak dibatasi oleh waktu maupun kondisi cuaca di
sekitas instalasi air minum.
Adapun asumsi-asumsi yang digunakan pada perencanaan IPA 1 Kecamatan
Kapuas ialah sebagai berikut.
a. Ketinggian muka air bangunan sadap pada saluran pembawa sama dengan
muka air sungai;
b. Elevasi muka air maksimum (HWL) = + 25 m (dpl);
c. Elevasi muka air maksimum (LWL) = + 15 m (dpl);
d. Elevasi muka air rata-rata (AWL) = + 20 m (dpl);
e. Elevasi dasar sungai = + 0 m (dpl);

Kriteria desain bar screen ialah sebagai berikut.


a. Jarak Kisi = 2,5 – 5 cm
b. Kemiringan Kisi = 60o (Kawamura, 1991)
c. Kecepatan = < 0,6 m/s (Kawamura, 1991)
d. Tebal Bar Screen = 1,25 – 2 (Kawamura, 1991)

Perencanaan desain pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah sebagai berikut.


a. Debit Air Baku = 80 L/s ≈ 0,08 m3/s
b. Tinggi Muka Air di Screen = 15 m
c. Lebar Kisi (w) = 1 cm ≈ 0,01 m
d. Jarak Kisi (b) = 500 mm ≈ 5 cm ≈ 0,05 m
e. Kemiringan Kisi (θ) = 60o
f. Kecepatan = < 0,6 m/s
g. Tebal Bar Screen = 1,5 cm
h. Koefisien Batang Screen (β) = 1,79

Perhitungan pada perencanaan IPA 1 Kecamatan Kapuas dapat dilihat sebagai


berikut.
a. Jumlah Kisi (n)
Apabila jarak antar kisi yang direncanakan adalah 5 cm, maka kisi yang
diperlukan yaitu sebagai berikut.
l
n= −1
b
2
n= −1=39 buah
0,05
b. Lebar Saluran (L)
L=( n+ 1 ) b+ ( n . w )
L=( 39+1 ) 0,05+ ( 39.0,01 )
L=( 40 ) 0,05+0,39
L=2,39 m
c. Lebar Efektif Lubang (Lef)
Lef = ( n+1 ) b
Lef = (39+ 1 ) 0,05
Lef =2 m
d. Tinggi Efektif Lubang (Hef)
H
Hef =
sin 60°
15
Hef =
sin 60°
15
Hef =
√3
2
Hef =17,32 m
e. Luas Efektif (Aef)
Aef =Lef × Hef
Aef =2 ×17,32
Aef =34,64 m 2
f. Kecepatan Aliran saat Melewati Kisi (v)
Q
v=
Aef
m3
0,08
s
v=
34,64 m2
v=0,0023 m/s
g. Head Velocity pada Kisi (Hv)
v2
Hv=
2g
0,00232
Hv=
2 × 9,81
0,000005
Hv=
19,62
Hv=0,0000002
h. Headloss saat Melewati Batang Screen (HL)
4
w
HL=β sin 60 ° ( ) Hv
b
3

4 2
w v
HL=β sin 60 ° ( ) 3
b 2g
4
0,01
HL=1,79× 0,866 × (
0,05 )
3
×0,0000002

HL=3,7 ×10−8
i. Tinggi Muka Air setelah Melewati Kisi ¿ H−HL
¿ 15−3,7× 10−8
¿ 14,96 m

4.1.2 Kehilangan Tekanan Intake


Kehilangan tekan pada pipa di intake dan pipa transmisi terdiri dari
kehilangan tekan akibat belokan, gesekan, hisap, dan ketinggian. Berikut perhitungan
kehilangan tekan tersebut.
a. Kehilangan Tekan Akibat Daya Hisap (Suction Head/hs)
Kehilangan tekan akibat daya hisap merupakan jarak antara ketinggian muka
air dalam pompa. Ketinggian muka air Sungai Kapuas Kecamatan Kapuas sebesar 15
m. Tinggi antara muka air dan pompa sebesar 14,96 m. Sehingga, nilai kehilangan
tekan akibat daya hisapnya yaitu 14,96 m.
b. Kehilangan Tekan Akibat Aksesoris Pipa (hl)
Kehilangan tekan akibat aksesoris pipa dianggap sebesar 10% dari total
kehilangan tekan (Al-Layla, 1978). Nilai hl didapatkan dengan perhitungan sebagai
berikut.
10
hl= × 14,96
100
hl=1,496 m
Total h=h+ hl
Total h=14,96+1,496
Total h=16,456 m
c. Jumlah Pompa yang Dibutuhkan
Standar jumlah pompa yang harus digunakan dalam jaringan transmisi air
minum berdasarkan besar kapasitas air yang dibutuhkan dapat ditentukan melalui
tabel berikut.
Tabel 4.1 Jumlah Pompa yang Dibutuhkan
Debit (m3/hari) Jumlah Pompa Total Unit
Sampai 2.800 1 (1) 2
2.500 – 10.000 2 (1) 3
¿ 90.000 ¿ 3 (1) ¿4
Sumber: PERMENPU, 2007
Q Perencanaan = 0,08 m3/s = 6912 m3/hari
Berdasarkan data dan standar perencanaan di atas, jumlah pompa
yang digunakan dalam jaringan transmisi air minum untuk wilayah
Kecamatan Kapuas sebanyak 3 unit, dengan 2 pompa yang berfungsi secara
bergantian dan 1 merupakan pompa cadangan.
Adapun daya pompa didapatkan berdasarkan perhitungan berikut.
ρ × g ×h × Q
P=
η
1 ×9,8 ×16,456 × 0,08
P=
0,75
P=17,2 HP ( Horse Power )
Dimana, 1 HP = 0,746 KW
HP=17,2 ×0,746
HP=12,83 KW
Daya pompa yang diperlukan untuk mengalirkan air dengan debit 0,08 m³/s ialah
12,83 KW.
4.2 Perhitungan Unit Koagulasi
Koagulasi adalah proses pencampuran koagulan (bahan kimia) ke dalam air
baku dengan kecepatan perputaran yang tinggi dalam waktu yang singkat. Bahan
kimia yang dibutuhkan pada air baku untuk membantu proses pengendapan partikel
kecil yang tidak mengendap secara gravimetri. Proses pengolahan air dimana zat
padat melayang ukuran sangat kecil dan koloid digabungkan dan membentuk flok
dengan penambahan bahan kimia misalkan PAC dan tawas, diharapkan flok yang
dihasilkan dapat disaring (Susanto, 2008).
Partikel suspense maupun koloid yang telah terbentuk flok hasil koagulan
dapat dipisahkan dari air melalui proses sedimentasi (Joko, 2010). Perencanaan
instalasi pengolahan air di Kecamatan Kapuas akan dibangun bak koagulasi. Pada
bak koagulasi yang direncanakan menggunakan pengadukan secara hidrolis.
Kriteria desain unit koagulasi ialah sebagai berikut.
a. Waktu Detensi (td) =1–5s
b. Gradien Kecepatan (G) = > 750 s-1
Perencanaan desain unit koagulasi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah
sebagai berikut.
a. Debit = 80 L/s ≈ 0,08 m3/s
b. Jumlah Terjunan =1
c. Tipe = Pengaduk cepat dengan terjunan
d. Gradien Kecepatan (G) = 800 s-1
e. Waktu Detensi (td) =5s
f. G ×td = 40.000
g. Viskositas Kinematis (v) = 0,893 x 10-6 m/s
Perhitungan unit koagulasi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah sebagai
berikut.
a. Dimensi Bak
Volume Bak=Q ×td
Volume Bak=0,08 m 3 /s × 5 s
Volume Bak=0,4 m3
g ×h
G=
√ v ×td
9,81 m/s × h
800=
√ 0,893 ×10−6 m/ s ×5
h=0,291 m (tinggi terjunan)
Volume Bak=P × L× h
0,4 m3=P × L ×1 m (asumsi)
Asumsi P : L = 2 : 1, maka P = 2L, sehingga dimensi bak koagulasi ialah
sebagai berikut.
Panjang Bak (P) = 0,541 m
Lebar Bak (L) = 0,736 m
Tinggi Bak (T) =1m
Freeboard = 0,2 m
Tinggi Terjunan = 0,29 m
4.2.1 Dimensi Bak Koagulan
Koagulan yang digunakan adalah Aluminium sulfat. Bak koagulan yang
direncanakan memiliki dimensi 1 m x 1 m x 1 m yang berjumlah 2 unit. Dimana 1
bak sebagai bak pembubuhan dan sebagai bak penyeduh. Bak penampung ini juga
dilengkapi mixer agar mempermudah dalam proses pembuatan larutan koagulan.
Perencanaan bak koagulan pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah sebagai
berikut.
a. Kadar Tawas Bongkahan = 17%
b. Dosis Tawas = 5 mg/L
c. Kadar Tawas pada Larutan = 5%
d. Densitas Tawas = 1,09 kg/L
Perhitungan perencanaan bak koagulan pada IPA 1 Kecamatan Kapuas
diuraikan sebagai berikut.
a. Kebutuhan Tawas
Kebutuhan Tawas=Q× Kadar Pembubuhan
Kebutuhan Tawas=80 L/s × 40 g/m 3 × 86.400 s
Kebutuhan Tawas=276 kg /hari
b. Kebutuhan Tawas 17%
276 kg /hari
Kebutuhan Tawas 17 %=
17 %
Kebutuhan Tawas 17 %=1.623,5 kg /hari
c. Volume Tawas
1.623,5 kg /hari
Volume Tawas=
1,09 kg /L
Volume Tawas=1.489 L/hari
d. Volume Pelarut
95 %
Volume Pelarut= ×1. 489 L/hari
5%
Volume Pelarut=28.291 L/hari
e. Volume Larutan
Volume Larutan=Volume Tawas+ Volume Pelarut
Volume Larutan=1.489+28.291
Volume Larutan=29.780 L/hari
f. Debit Pembubuhan
Volume Larutan
Debit Pembubuhan=
24 jam
29.780 L/hari
Debit Pembubuhan=
24 jam
Debit Pembubuhan=1.240 , 8 L/ jam
g. Kapasitas Bak
Volume Bak
Kapasitas Bak =
Volume Larutan
1 m3
Kapasitas Bak =
29.780 L/hari
Kapasitas Bak =0,03 hari
4.3 Perhitungan Unit Flokulasi
Kriteria desain unit flokulasi ialah sebagai berikut.
a. Waktu Detensi (td) = 30 – 45 menit
b. Gradien Kecepatan = 5 – 60 s-1
c. G ×td = 104 – 105
d. Koefisien Gesekan (k) = 2 – 3,5 dipilih 2,5 (Kawamura,
2000)
e. Kehilangan Tekanan (HL) = 0,3 – 1 m (Kawamura, 2000)
f. Viskositas Kinematis (v) = 0,893 x 10-6 m/s
Perencanaan unit flokulasi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah sebagai
berikut.
a. Waktu Detensi (td) = 45 menit
b. G total = 60 s-1 – 5 s-1
c. Headloss =<1m
d. Tipe = Pengaduk Lambat Baffle Channel
e. Jumlah Bak = 2 Bak
f. Debit Masing-masing Bak = 0,04 m3/s
g. Jumlah Kompartemen = 3 Kompartemen
Perhitungan perencanaan unit flokulasi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas
diuraikan sebagai berikut
4.3.1 Kompartemen I
Rencana desain kompartemen I yaitu sebagai berikut.
a. Waktu Detensi (td) = 10 menit
b. G = 30 s-1
Perhitungan kompartemen I bak flokulasi diuraikan sebagai berikut.
a. Volume Bak
V =Q × td
V =0,04 m 3 / s × 600
V =24 m3
Asumsi P : L : h = 3 : 2 : 1
Maka, dimensi bak flokulasi kompartemen I sebagai berikut.
Panjang (P) = 4,74 m
Lebar (L) = 3,16 m
Tinggi (h) = 1,58 m
b. Headloss
g× HL
G=
√ v × td
9,81 m/s 2 × HL
30=

H l=0,049m
0,893 ×10−6 × 600 s

c. Luas Penampang Saluran (Luas Basah)


A=L× h
A=3,16 m×1,58 m
A=4,99 m 2
d. Keliling Basah
P=L+2 h
P=3,16 +2 ( 1,58 )
e. P=6,32mJari-jari Basah
A
R=
P
4,99 m2
R=
6,32 m
R=0,78 m
f. Slope
∆H
( S )=
P
0,01
( S )=
6,32 m
( S )=0,0015
g. Kecepatan Aliran Saluran
Koefisien kekasaran saluran terbuat dari beton (n) = 0,013
1
vL= R2 /3 S 1/ 2
n
1
vL= ( 0,78)2 /3 (0,0015)1 /2
0,013
vL=2,4 m/ s
h. Kehilangan Tekanan pada Saat Aliran Lurus (HL)
2
n × vL × L1/ 2
HL= ( R2/ 3 )
2
0,013 ×2,4 ×(3,16)1 /2
HL= ( 0,782 /3 )
2
0,053
HL= ( 0,84 )
HL=0,0632
HL=0,0039 m
i. Kehilangan Tekanan Total (Htot)
Keterangan:
Hb = Headloss Belokan
Vb = Kecepatan Aliran Belokan
Ab = Luas Belokan
Htot =H l−Hb
Hb=0,049 m−0,0039m
Hb=0,044 m
Vb 2

Hb=k
2g
Vb 2

Hb=2
2 × 9,81m/ s2
Vb 2

0,044=2
2 × 9,81m/s 2
V b =0,43 m/ s
2

Vb=0,65 m/ s
Q
Vb=
Ab
Q
Ab=
Vb
0,04 m 3 /s
Ab=
0,65m/ s
Ab=0,061 m 2
4.3.2 Kompartemen II
Rencana desain kompartemen II yaitu sebagai berikut.
a. Waktu Detensi (td) = 15 menit
b. G = 20 s-1
Perhitungan kompartemen II bak flokulasi diuraikan sebagai berikut.
a. Volume Bak
V =Q × td
V =0,04 m 3 /s × 900
V =36 m3
Asumsi P : L : h = 3 : 2 : 1
Maka, dimensi bak flokulasi kompartemen I sebagai berikut.
Panjang (P) = 5,43 m
Lebar (L) = 3,62 m
Tinggi (h) = 1,81 m
b. Headloss
g× HL
G=
√ v × td
9,81 m/ s 2 × HL
20=

0,893 ×10−6 × 900 s
H l=0,032m
c. Luas Penampang Saluran (Luas Basah)
A=L× h
A=3,62m ×1,81 m
A=6,55 m2
d. Keliling Basah
P=L+2 h
P=3,62+2 ( 1,81 )
e. P=7,24 mJari-jari Basah
A
R=
P
6,55 m 2
R=
7,24 m
R=0,9 m
f. Slope
∆H
( S )=
P
0,01
( S )=
7,24 m
( S )=0,0013
g. Kecepatan Aliran Saluran
Koefisien kekasaran saluran terbuat dari beton (n) = 0,013
1
vL= R2 /3 S 1/ 2
n
1
vL= ( 0,9)2 /3 (0,0013)1 /2
0,013
vL=2,57 m/s
h. Kehilangan Tekanan pada Saat Aliran Lurus (HL)
2
n × vL × L1/ 2
HL= ( R2/ 3 )
2
0,013 ×2,57 ×(3,62)1/ 2
HL= ( 0,92/ 3 )
2
0,063
HL= ( 0,93 )
HL=0,072
HL=0,0049 m
i. Kehilangan Tekanan Total (Htot)
Keterangan:
Hb = Headloss Belokan
Vb = Kecepatan Aliran Belokan
Ab = Luas Belokan
Htot =H l−Hb
Hb=0,032 m−0,0049 m
Hb=0,027 m
Vb 2

Hb=k
2g
Vb 2

Hb=2
2 × 9,81m/ s2
Vb 2

0,027=2
2 ×9,81 m/s 2
V b =0,26 m/s
2

Vb=0,51m/ s
Q
Vb=
Ab
Q
Ab=
Vb
0,04 m 3 /s
Ab=
0,51m/ s
4.3.3 Ab=0,078 m2Kompartemen III
Rencana desain kompartemen III yaitu sebagai berikut.
a. Waktu Detensi (td) = 20 menit
b. G = 10 s-1
Perhitungan kompartemen II bak flokulasi diuraikan sebagai berikut.
a. Volume Bak
V =Q × td
V =0,04 m3 / s × 1.200
V =48 m 3
Asumsi P : L : h = 3 : 2 : 1
Maka, dimensi bak flokulasi kompartemen I sebagai berikut.
Panjang (P) =6m
Lebar (L) =4m
Tinggi (h) =2m
b. Headloss
g× HL
G=
√ v × td
9,81 m/s2 × HL
10=

H l=0,01m
0,893 ×10−6 × 1.200 s

c. Luas Penampang Saluran (Luas Basah)


A=L× h
A=4 m×2 m
A=8 m2
d. Keliling Basah
P=L+2 h
P=4+ 2 ( 2 )
e. P=8 mJari-jari Basah
A
R=
P
8 m2
R=
8m
R=1m
f. Slope
∆H
( S )=
P
0,01
( S )=
8m
( S )=0,00125
g. Kecepatan Aliran Saluran
Koefisien kekasaran saluran terbuat dari beton (n) = 0,013
1
vL= R2 /3 S 1/ 2
n
1
vL= (1)2 /3 (0,00125)1/ 2
0,013
vL=2,69 m/s
h. Kehilangan Tekanan pada Saat Aliran Lurus (HL)
2
n × vL × L1/ 2
HL= ( R2/ 3 )
2
0,013 ×2,69 ×(4 )1 /2
HL= ( 12 /3 )
2
0,071
HL= ( 1 )
HL=0,0712
HL=0,005 m
i. Kehilangan Tekanan Total (Htot)
Keterangan:
Hb = Headloss Belokan
Vb = Kecepatan Aliran Belokan
Ab = Luas Belokan
Htot =H l−Hb
Hb=0,01 m−0,005 m
Hb=0,005 m
Vb 2

Hb=k
2g
Vb 2

Hb=2
2 × 9,81m/ s2
Vb 2

0,005=2
2 ×9,81 m/s 2
V b =0,049 m/ s
2

Vb=0,22m/ s
Q
Vb=
Ab
Q
Ab=
Vb
0,04 m 3 /s
Ab=
0,22m/ s
Ab=0,18 m 2
Tabel 4.2 Desain Unit Flokulasi
Parameter Kriteria Desain Kompartemen I Kompartemen II Kompartemen III
10 – 60 s-1 -1
G 30 s 20 s-1 10 s-1
(SNI 6774)
15 – 45 menit
Td 10 menit 15 menit 20 menit
(SNI 6774)
<1m
Headloss 0,049 m 0,032 m 0,01 m
(Kawamura, 2000)
Sumber: Perhitungan, 2021
4.4 Perhitungan Unit Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan partikel secara gravitasi. Bangunan
sedimentasi berfungsi untuk mengendapkan flokulen yang terbentuk akibat adanya
penambahan koagulan pada proses koagulasi dan flokulasi. Bentuk bangunan
sedimentasi secara umum berupa (Anggraeni dan Susanawati, 2011):
a. Lingkaran (circular), air baku masuk melalui bagian tengah lingkaran dan
secara horizontal menuju ke outlet di bagian keliling lingkaran.
b. Segi empat (rectangular), air baku mengalir secara horizontal dari inlet
menuju outlet.
Bak sedimentasi berfungsi untuk mengurangi atau menurunkan beberapa
parameter seperti BOD dan COD. Efisiensi penyisihan BOD dan COD adalah 25 –
40% sedangkan TSS adalah 50-70%. Dalam bak ini terjadi ditribusi tingkat
pengendapan partikel karena adanya partikel dengan ukuran berbeda yang
menyebabkan kecepatan mengendapnya juga berbeda.
Bak sedimentasi terdapat tube settler atau plate settler yang berfungsi
untuk meningkatkan efisiensi pengendapan karena dapat mempercepat
pengendapan dengan cara memperpendek area pengendapan (Darmasetiawan,
2001). Sudut settler yang disarankan adalah 45o - 60o dengan tujuan agar
endapan yang telah terbentuk tidak tertahan pada settler (Schulz dan Okun,
1984).
Kriteria desain unit sedimentasi ialah sebagai berikut.
a. Surface Loading Rate (Q/A) = 0,8 – 2,5 m3/m2/jam
= 2,2 × 10-4 - 7 × 10-4 m/s
b. Rasio Panjang terhadap Lebar =5:1
c. Reynold Number (Re) = < 2.000
d. Froude Number (Fr) = > 10-5
e. Efisiensi Penyisihan = 90%
f. Kondisi performance bak (n) = 1/3 (Good Performance)
Perencanaan desain unit sedimentasi IPA 1 Kecamatan Kapuas diuraikan
sebagai berikut.
4.4.1 Perhitungan Dimensi Bak Sedimentasi
Kriteria perencanaan bak sedimentasi ialah sebagai berikut.
a. Surface Loading Rate (Q/A) = 7 × 10-4 m/s
b. to/td = 3,5
Maka, dapat diperoleh:
¿ = Vo
td Q
A
Q
Vo= ¿ ×
td A
Vo=3,5× 7 ×10−4 m/s
Vo=2,45× 10−3 m/s
Debit yang diolah (Q) = 80 L/s ≈ 0,08 m3/s
Bak sedimentasi yang akan dirancang dengan debit sebesar 0,08 m3/s dibagi
menjadi 5 unit dengan masing-masing bak memiliki ukuran dan kapasitas yang sama.
Sehingga debit tiap bak sedimentasi yang akan diolah adalah sebagai berikut.
0,08 m 3 /s
Debit tiap bak =
5 unit
m3 / s
Debit tiap bak =0,016
unit
Q
A=
Vo
0,08 m 3 /s
A=
2,45 ×10−3 m/ s
A=32,65 m2
Setelah diketahui luas permukaan bak, maka ditentukan panjang dan lebar dengan
perbandingan P : L adalah 5 : 1.
Panjang (P) = 12,75 m
Lebar (L) = 2,55 m
4.4.2 Perhitungan Desain Zona Pengendapan (Tube Settler)
Kriteria perencanaan zona pengendapan dengan tube settler ialah sebagai
berikut.
a. Waktu Detensi dalam Tube (td) = 5 – 20 menit
b. Perbandingan P : L =4:1–6:1
c. Lebar Tube Settler (w) = 0,05 m
d. Tinggi Tube Settler = 0,5 m
e. Tebal Tube Settler = 2,5 x 10-3 m
f. Kemiringan Tube Settler (θ) = 30 °−60 °
g. Jarak Antar Settler (W) = 10 cm
h. Viskositas Kinematis (v) pada 25°C = 0,9055 x 10-6 m2/s

Gambar 4.2 Desain Peletakan Tube Settler

Perencanaan desain zona pengendapan dengan tube settler ialah sebagai


berikut.
i. Debit Tiap Bak Sedimentasi = 0,016 m3/s
j. Perbandingan P : L =5:1
k. Lebar Tube Settler (w) = 0,05 m
l. Tinggi Tube Settler = 0,5 m
m. Tebal Tube Settler = 2,5 x 10-3 m
n. Kemiringan Tube Settler (θ) = 60 °
o. Jarak Antar Settler (W) = 10 cm
p. Viskositas Kinematis (v) pada 25°C = 0,9055 x 10-6 m2/s
Perhitungan zona pengendapan dengan tube settler diuraikan sebagai
berikut.
a. Kecepatan Tube Settler (V α)
w
H sin α
+
sin α cos α Q
V α= ×
w A
tg α
sin α
0,05 m
0,5 m sin 60
+
sin 60 cos 60
V α= ×7 × 10−4 m/ s
0,05 m
tg 60
sin60
0,693m
V α= × 7 ×10−4 m/s
0,1m
V α =0,0048 m/s
b. Luas Tube Settler
Q
A=

0,016 m 3 /s
A=
0,0048 m/ s
0,016 m 3 /s
A=
0,0048 m/ s
A=3,3 m2
Setelah diketahui luas tube settler, maka ditentukan panjang dan lebar
dengan perbandingan P : L adalah 5 : 1.
Panjang Tube Settler (P) = 4,05 m
Lebar Tube Settler (L) = 0,81 m
c. Lebar Efektif Tube Settler (w I )
w
wI =
sin α
0,05 m
wI =
sin 60
w I =0,057 m≈ 0,06 m
d. Jumlah Tube Settler pada Sisi Panjang (n P)
P
n P=
wI
4,05 m
n P=
0,06 m
n P=35,8 ≈ 36 buah
e. Jumlah Tube Settler pada Sisi Lebar (n L)
L
n L=
wI
0,81m
n L=
0,06 m
n L =13,5 ≈14 buah
f. Jari-Jari Hidrolis
Luas Basah
R=
Keliling Basah
0,05 × 0,05
R=
4 × 0,05
R=0,0125 m
4.4.3 Perhitungan Dimensi Total Bak Sedimentasi
Data yang diperlukan dalam perhitungan dimensi total bak sedimentasi ialah
sebagai berikut.
a. Panjang Bak (P) = 12,75 m
b. Lebar Bak (L) = 2,55 m
c. Tebal Tube Settler = 2,5 x 10-3 m
d. Jumlah Tube pada Sisi Panjang = 36 buah
e. Jumlah Tube pada Sisi Lebar = 8 buah
f. Tinggi Bak = 12,75 m
Dimensi total bak sedimentasi ialah sebagai berikut.
a. Panjang Total=P+Tebal Tube ×(Jumlah Tube pada Sisi Panjang+1)
Panjang Total=12,75+2,5 ×10−3 (36+1)
Panjang Total=12,84 m
b. Lebar Total=L+ TebalTube ×( Jumlah Tube pada Sisi Lebar +1)
Lebar Total=2,55+2,5 ×10−3 ( 8+1)
Lebar Total=2,57 m
c. Tinggi Total=T + Freeboard
Tinggi Total=12,75+0,5
Tinggi Total=13,25
4.4.4 Perhitungan Ruang Lumpur
Kriteria perencanaan ruang lumpur ialah sebagai berikut.
a. Kandungan Solid dalam Lumpur = 1,5% (Priambodo, 2016)
b. Lama Pengurasan (t) = 5 menit = 300 s
c. Waktu Pengurasan (td) = 1 kali sehari
d. Kecepatan Pengurasan (v) = 0,5 m/s
e. Q Underdrain = 2% x Q Bak
= 0,02 x 0,016 m3/s
= 0,00032 m3/s
Perhitungan ruang lumpur pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah sebagai
berikut.
a. Volume Lumpur (V lumpur ) dalam 1 hari
% lumpur ×td ×Q Underdrain
V lumpur =
1.000
1,5 × 86.400× 0,00032
V lumpur =
1.000
41,472
V lumpur =
1.000
V lumpur =0,041 m3
b. Debit Lumpur (Q lumpur )
V lumpur
Q lumpur =
t
0,041 m 3
Q lumpur =
300 s
Qlumpur =0,00013 m3 /s
c. Luas Penampang Pipa Penguras (A)
Q lumpur
A=
v
0,00013 m 3 /s
A=
0,5 m/s
A=0,00026 m2
d. Diameter Pipa Penguras (D)
4× A
D=
√ π
4 × 0,00026 m2
D=
√ 3,14
D= √0,00033
D=0,01m
D=1 inci
4.4.5 Perhitungan Saluran Inlet
Kriteria perencanaan saluran inlet ialah sebagai berikut (Kawamura, 2000).
a. Q Orifice Terdekat dengan Terjauh = ≥ 90 %
b. Diameter Orifice (D) = 0,1 m
c. Kecepatan Orifice = 0,2 m/s
d. Jumlah Orifice = 4 buah
e. Perbandingan Muka Air = 0,01 m
f. Kecepatan Inlet Bercabang (v) = 1 m/s
g. Lebar Flume = 0,5 m
Perencanaan desain saluran inlet pada unit sedimentasi IPA 1 Kecamatan
Kapuas ialah sebagai berikut.
a. Kecepatan Inlet Bercabang (v) = 1 m/s
b. Kecepatan Orifice (VOrifice) = 0,2 m/s
c. Diameter Orifice (D) = 0,1 m
d. Lebar Flume = 0,5 m
Perhitungan perencanaan desain saluran inlet pada unit sedimentasi IPA 1
Kecamatan Kapuas ialah sebagai berikut.
a. Luas Penampang Pipa Cabang (A)
Q
A=
v
0,016 m 3 / s
A=
1 m/s
A=0,016 m2
b. Diameter Pipa Inlet Bercabang (D)
4× A
D=
√ π
4 × 0,016
D=
√ 3,14
0,064
D=
√ 3,14
D= √0,02
D=0,14 m
D=140 mm
c. Kecepatan Inlet Bercabang (v)
Q
v=
1
× π × D2
4
0,016 m2
v=
1
× 3,14 ×0,14 2
4
v=1,067 m/s
d. Kecepatan Inlet Utama (v) dengan Diameter Inlet Utama (asumsi = 500 mm)
Q
v=
1
× π × D2
4
0,016 m2
v=
1
× 3,14 ×0,52
4
v=0,08 m/s
e. Debit Tiap Orifice (Qorf)
Qtiap bak
Qorf =
n orifice
0,016 m 3 /s
Qorf =
4
Qorf =0,004 m3 / s
f. Luas Orifice (Aorf)
Q orifice
Aorf =
v orifice
0,004 m 3 /s
Aorf =
0,2m/s
Aorf =0,2 m 2
g. Jarak Antara Orifice (Lorf)
L bak−(n orf × D orf )
Lorf =
n orf
2,57−(4 × 0,1)
Lorf =
4
2,17
Lorf =
4
Lorf =0,54 m
h. Jarak Orifice dengan Dinding
1
s= × Jarak Antara Orifice
2
1
s= × 0,54
2
s=0,27 m
i. Luas Flume (A)
Q
A=
v
0,016 m 3 / s
A=
0,08 m/s
A=0,2 m2
j. Tinggi Flume (T)
A
T=
L flume
0,2 m2
T=
0,5 m
T =0,4 m
4.4.6 Perhitungan Headloss Inlet
Data yang digunakan untuk perhitungan ialah sebagai berikut.
a. Debit (Q) Tiap Orifice = 0,004 m 3 / s
b. Luas Orifice (Aorf) = 0,2 m2
Perhitungan headloss inlet saluran inlet pada unit sedimentasi IPA 1
Kecamatan Kapuas ialah sebagai berikut.
a. Headloss Orifice 1 yang Terdekat dengan Pipa Inlet Cabang (HL1)
Q2
HL 1=
0,72 × A2 × g
(0,004 m 3 /s)2
HL 1=
0,72 ×0,22 ×9,81
0,000016
HL 1=
0,28
0,000016
HL 1=
0,28
HL 1=5,7 × 10−3 m
b. Debit Orifice Keempat
Q2
×100 %=90 %
Q1
0,004 ×90 %
=3,6 ×10−4 m 3 /s
100 %
c. Headloss Orifice Keempat (HL4)
Q 22
HL 4=
0,72 × A2 × g
( 3,6× 10− 4 m 3 / s)2
HL 4=
0,72 ×0,22 ×9,81
0,000012
HL 4=
0,28
HL 4=4,2× 10−3 m
d. Penurunan Headloss dalam Flume dari Tengah ke Tepi
∆ H =HL 1−HL 4
∆ H =5,7 ×10−3 −4,2 ×10−3
∆ H =1,5× 10−3 m
4.4.7 Perhitungan Saluran Outlet
Kriteria perencanaan saluran inlet ialah sebagai berikut.
a. Menggunakan V-Notch 90 °
b. Jarak Antar V-Notch = 10 cm
c. Lebar Pelimpah = 10 cm
d. Lebar Saluran Pengumpul = 20 cm
e. Weir Loading = 7,3 – 15 m3/m/jam; dipilih 13
= 3,61 ×10−3 m 3 /m/s
f. Kecepatan Saluran Pelimpah = 0,5 m/s
g. Kecepatan Saluran Pengumpul = 0,3 m/s
Perhitungan desain saluran inlet pada unit sedimentasi IPA 1 Kecamatan
Kapuas ialah sebagai berikut.
a. Panjang Pelimpah Total (Ptot)
Q bak
Ptot=
v weir loading
0,016 m 3 /s
Ptot=
3,61×10−3 m3 /m/ s
Ptot=4,44 m
b. Lebar Bak Pelimpah
w I =Lebar bak −Lebar saluran pengumpul
w I =2,57−0,2
w I =2,37 m
c. Jumlah Saluran Pelimpah (n)
Ptot
n=
2 wI
4,44 m
n=
2 ×2,37 m
n=0,9 ≈ 1buah
d. Panjang 1 Saluran Pelimpah (P1 Saluran Pelimpah)
Ptot
P 1=
n(2)
4,44 m
P 1=
1(2)
P 1=2,22 m
e. Luas Saluran Pelimpah (A)
Q
A=
v saluran pelimpah
0,016 m 3 / s
A=
0,5 m/s
A=0,032 m2
f. Tinggi Saluran Pelimpah (T)
A
T=
L pelimpah
0,032m 2
T=
0,1 m
T =0,32 m
g. Jarak Antar Saluran Pelimpah
Ptot−(2 L saluran pelimpah)
s=
(n saluran pelimpah+1)
4,44 m−( 2× 0,1)
s=
(2+1)
4,44 m−0,2
s=
3
4,24
s=
3
s=1,41m
4.4.7.1 Perhitungan V-Notch
a. Jumlah V-Notch (n v-notch)
wI
n= × Jumlah Pelimpah
Jarak antar v−notch
2,37 m
n= ×1
0,1m
2,37 m
n= ×1
0,1m
n=23,7 ≈ 24 buah
b. Debit Tiap V-Notch
Q bak
Q=
n v−notch
0,016 m 3 /s
Q=
24
Q=6,7× 10−4 m3 / s
c. Tinggi Air pada V-Notch
Q v−notch=1,417 × H 5 /2
2 /5
6,7 ×10−4 m3 / s
H= ( 1,417 )
H=0,00042 /5
H=0,043m
d. Tinggi V-Notch
T =H +15 % × H
T =0,043 m+15 % ×0,043 m
T =0,049 m
4.4.7.2 Perhitungan Saluran Pengumpul
a. Tinggi Saluran Pengumpul (h)
Q
h=
l × v saluran pengumpul
0,016 m 3 /s
h=
0,2m ×0,3 m/s
h=0,0267 m
b. Panjang Saluran Pengumpul
P= ( n× lebar saluran pelimpah ) + ( ( n−1 ) × jarak antar pelimpah )
P= (1 ×0,1 )+ ( ( 1−1 ) × 1,41m )
P= (1 ×0,1 )+ ( ( 1−1 ) × 1,41m )
P=0,1m
4.4.7.3 Dimensi Ruang Pengumpul
Asumsi desain dimensi ruang pengumpul yaitu sebagai berikut.
a. Waktu Detensi (td) = 120 s
b. Tinggi Ruang Pengumpul =1m
c. Kecepatan Aliran Ruang Pengumpul = 1 m/s
Perhitungan dimensi ruang pengumpul ialah sebagai berikut.
a. Panjang Ruang Pengumpul (P)
P=2 × Lebar Total Bak Sedimentasi
P=2 ×2,57 m
P=5,14 m
b. Volume Bak (V)
V =Q × td
V =0,016 m3 /s ×120 s
V =1,92 m 3
c. Lebar Ruang Pengumpul (L)
V
L=
P ×h
1,92 m 3
L=
5,14 m× 1 m
L=0,37 m
d. Diameter Pipa Keluar (D)
4×Q
D=
√ π×v
4 × 0,016
D=
√ 3,14 × 1
0,064
D=
√ 3,14
D=0,14 m
D=140 mm
4.5 Perhitungan Unit Filtrasi
Dilihat dari segi desain kecepatan, filtrasi dapat digolongkan menjadi
saringan pasir cepat (filter bertekanan dan filter terbuka) dan saringan pasir lambat
(Martin D, 2001). Menurut Arifiani dan Hadiwidodo (2007), dalam perencanaan unit
filtrasi harus mempertimbangkan jenis media filter dan hidrolika filtrasi. Unit filtrasi
pada perencanaan ini menggunakan filtrasi jenis saringan pasir cepat. Hal ini karena
saringan pasir cepat memiliki kelebihan dalam segi dimensi unit filtrasi yang tidak
memerlukan lahan yang luas namun membutuhkan backwash dalam
pengoperasiannya (Schulz, 1984).
Kriteria perencanaan unit filtrasi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas
ialah sebagai berikut.
a. Kecepatan Filtrasi = 6 – 11 m/jam; dipilih 11 m/jam
= 0,0031 m/s
b. P:L =2:1
c. Diameter Pasir = 0,5 – 0,7 mm
d. Koefisien Kerataan = 1,2 – 1,4
e. Tebal Lapisan Pasir = 30 – 70 cm
f. Tebal Lapisan Penyangga (Gravel) = 80 – 100 cm
g. Tebal Lapisan Kerikil = 20 – 30 cm
Perhitungan unit filtrasi pada IPA1 Kecamatan Kapuas diuraikan sebagai
berikut.
a. Debit Tiap Saringan (Qs)
Q
Qs=
nb
0,08 m 3 /s
Qs=
2
Qs=0,04 m3 /s
b. Luas Tiap Bak (A)
Q
A=
v
0,04 m 3 /s
A=
0,0031 m/s
A=13 m2
c. Lebar Bak (L)
A
L=
√ 2
13 m2
L=
√ 2
L= √ 6,5 m 2
L=2,5 m
d. Panjang Bak (P)
P=2 L
P=2 ×2,5 m
P=5 m
e. Luas Bak (P)
A=P× L
A=5× 2,5 m
A=12,5 m≈ 13 m
4.5.1 Perhitungan Sistem Underdrain Bak Filtrasi
Kriteria perencanaan sistem underdrain bak filtrasi pada IPA 1 Kecamatan
Kapuas ialah sebagai berikut.
a. Underdrain Bak Filtrasi = Manifold dan Lateral
b. Luas Media Filter = 30 m 2
c. Rasio Luas Orifice dengan Luas Area Filter = 0,25 %
d. Rasio Luas Pipa Lateral dengan Luas Orifice = 4 : 1
e. Rasio Luas Manifold dengan Luas Lateral =3:1
f. Diameter Orifice = 2 cm
g. Jarak Antar Lateral (w) = 30 cm
Perhitungan sistem underdrain bak filtrasi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas
diuraikan sebagai berikut.
a. Luas Orifice (Aorf)
1
Aorf = π D 2
4
1
Aorf = ×3,14 ×(0,02)2
4
Aorf =3,14 × 10−4 m2
b. Luas Bukaan Total Orifice (ATorf)
ATorf =0,25 % × A
ATorf =0,25 % × 13 m2
ATorf =0,0325 m 2
c. Jumlah Lubang Orifice (norf)
ATorf
norf =
Aorf
0,0325 m 2
norf =
3,14 ×10−4 m2
norf =103,5 ≈ 104 buah
d. Luas Bukaan Total Lateral (ATL)
ATL=4 × Aorf
ATL=4 ×3,14 ×10−4 m 2
ATL=0,001256 m2
e. Diameter Pipa Lateral (D)
4 × ATL
D=
√ π
4 × 0,001256 m2
D=
√ 3,14
D=0,04 m
f. D=40 mmLuas Bukaan Total Manifold (ATM)
ATM =3 × ATL
ATM =3 ×0,001256 m 2
ATM =0,003768 m2
g. Diameter Pipa Manifold (DM)
4 × ATM
D=
√ π
4 × 0,003768 m2
D=
√ 3,14
D=0,069 m
D=69 mm
h. Panjang Pipa Lateral (PL)
Lebar bak −DM
PL=
2
2,5 m−0,069 m
PL=
2
PL=2,431 m
i. Jumlah Pipa Lateral di Salah Satu Pipa Manifold
Panjang bak
nL=
w
5m
nL=
0,3 m
nL=16,67 ≈17 buah
j. Jumlah Pipa Lateral Total (nTL)
nTL=2 × nL
nTL=2 ×17
nTL=34 buah
k. Jumlah Orifice Tiap Lateral (nO/L)
norf
nO / L =
nTL
104
nO / L =
34
nO / L =3,05 ≈ 4
l. Jarak Antar Titik Tengah Orifice (sorf)
PL
sorf =
nO / L
2,431 m
sorf =
4
sorf =0 ,607 m
m. Jarak Orifice Dinding ke Pipa Manifold (sM)
sM=0,5 × sorf
sM=0,5 × 0,607 m
sM=0,3035 m
4.5.2 Media Penyaringan
Media filter yang digunakan pada unit filtrasi ialah pasir dan kerikil
1. Media Pasir
Kriteria penyaringan menggunakan pasir ialah sebagai berikut.
a. Pasir Nre < 5
b. Porositas Awal (f) = 0,4
c. Tebal Pasir = 50 – 70 cm
d. Diameter (D) = 0,5 – 0,7 mm
e. Viskositas (v) = 0,000008039 m2/s
f. Kecepatan Filrasi (vf) = 3,1 ×10−3 m/ s
Perhitungan penyaringan menggunakan pasir diuraikan sebagai berikut.
a. Nre
1 vf × D
Nre= ×
(1−f ) v

1 (3,1×10−3 m/ s)×(0,7 × 10−3 m)


Nre= ×
(1−0,4) 0,000008039
Nre=0,45 m
b. Headloss
2
w (1−f ) vf
HL=180 × × × 2 ×L
g f3 D
2
0,000008039 (1−0,4) 3,1 ×10−3
HL=180 × × × ×0,7
9,81 0,4 3 (7 × 10−3 )2
HL=0,0367 m
2. Media Penyangga Kerikil
Kriteria penyaringan menggunakan pasir ialah sebagai berikut.
a. Antrasit Nre < 5
b. Porositas Awal (f) = 0,5
c. Tebal Pasir = 30 cm
d. Diameter (D) = 0,003 m
e. Viskositas (v) = 0,000008039 m2/s
f. Kecepatan Filrasi (vf) = 3,1 ×10−3 m/ s
Perhitungan penyaringan menggunakan pasir diuraikan sebagai berikut.
a. Nre
1 vf × D
Nre= ×
(1−f ) v

1 (3,1 ×10−3 m/s )×(3 ×10−3 m)


Nre= ×
(1−0,5) 0,000008039
Nre=2,31 m
b. Headloss
2
w (1−f ) vf
HL=180 × × × 2 ×L
g f3 D
2
0,000008039 (1−0,4) 3,1× 10−3
HL=180 × × × × 0,3
9,81 0,4 3 (3 × 10−3 )2
HL=0,0856 m

HL Media=HL Pasir+ HL Kerikil


HL Media=0,0367 m+0,0856 m
HL Media=0,1223m

HL Total=HL Media+ HLUnderdrain


HL Total=0,1223 m+0,078 m
HL Total=0,2003 m
4.6 Desinfeksi Gas Klor
Klorinasi dilakukan dengan cara injeksi gas pada inlet reservoir. Dosis
penentuan klor diambil dari penelitian terdahulu karena pada dasarnya penentuan
dosis klor harus menguji lab air baku yang sudah melalui proses pengolahan.
Penentuan dosis klor tidak mempengaruhi dimensi.
Perencanaan unit desinfeksi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah sebagai
berikut.
a. Sisa Klor = 0,3 mg/L
b. Kadar Klor = 60%
c. Kapasitas Tabung = 75 kg
d. Dosis Klor Optimum (DPC) = 2,61 mg/L
Perencanaan unit desinfeksi pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah
sebagai berikut.
a. Dosis Klor
Dosis Klor =Dosis Optimum+ Sisa Klor
Dosis Klor =2,61 mg/L+0,3 mg/ L
Dosis Klor =2,91 mg/L=0,000291 kg/ L
b. Kebutuhan Klor
100 %
Kebutuhan Klor= × Dosis Klor ×Q
60 %
10
Kebutuhan Klor= × 2,91mg/ L ×80 l/s
6
Kebutuhan Klor=388,7 mg/ s
Kebutuhan Klor=33,5 kg / hari
c. Lama Pergantian Tabung
KapasitasTabung
Lama Pergantian Tabung=
Kebutuhan Klor
75 kg
Lama Pergantian Tabung=
33,5 kg/hari
Lama Pergantian Tabung=2,23 ≈ 3 hari
4.7 Reservoir
Reservoir adalah penampung air hasil olahan, dimensi reservoir disesuaikan
dengan kebutuhan air warga dan juga debit air yang diolah. Dimensi reservoir yang
direncanakan ialah sebagai berikut.
a. Tipe Ground Reservoir dengan 2 kompartemen
b. Kecepatan Inlet Desain (vi) = 1,77 m/s
c. Faktor Peak (fp) = 2,5
d. Kecepatan Outlet Desain (vo) = 3 m/s
e. Waktu Pengurasan (tk) = 2 jam
f. Kecepatan Pengurasan (vk) = 2,5 m/s
g. Kecepatan Overflow (vow) = 1,77 m/s
h. Kecepatan Ventilasi Desain (vud) = 4 m/s
i. Persentase Qin = 4,17%
j. Persentase Volume Reservoir = 27,66 %
k. Tinggi Bak Pengurasan (Hk) =2m
Perhitungan perencanaan unit reservoir pada IPA 1 Kecamatan Kapuas ialah
sebagai berikut.
a. Volume Reservoir
V =27,66 % ×Q ×Waktu
V =0,2766× 80 L/s × 86.400 s
V =0,2766× 80 L/s × 86.400 s
V =1.918 .771 L
V =1.918,771 m3
b. Dimensi Reservoir
V
Vr=
2
1.918,771m3
Vr=
2
Vr=959,4 m3
c. Debit Inlet
1
Qi= ×Q
4
1
Qi= ×0,08 m 3 /s
4
Qi=0,02 m3 / s
d. Diameter Pipa Inlet
4 × Qi
D=
√ π × vi
4 ×0,02 m3 /s
D=
√ 3,14 ×1,77 m/ s
D=0,11 m
D=110 mm
e. Debit Outlet
Qo=Qi × fp
Qo=0,02 m 3 /s × 2,5
Qo=0,5 m3 /s
f. Diameter Pipa Outlet
4 × Qo
D=
√ π × vo
4 ×0,5 m3 / s
D=
√ 3,14 ×3 m/s
D=0,21m
D=210mm
g. Volume Bak Pengurasan
Vk=Pr × Lr × Hk
Vk=15 m ×5 m× 2m
Vk=150 m3
h. Debit Pengurasan
Vk
Qk=
tk
150 m 3
Qk=
2× 3.600
Qk=0,021 m3 / s
i. Diameter Pipa Pengurasan
4 × Qk
D=
√ π × vk
4 × 0,021 m3 /s
D=
√ 3,14 ×2,5 m/s
D=0,103 m
D=103 mm
j. Debit Pengaliran pada Pipa Vent
Direncanakan 4 pipa vent untuk reservoir
(Qo−Qi)
Qud=
4
(0,5 m3 /s−0,02 m3 /s)
Qud=
4
0,48m 3 / s
Qud=
4
Qud=0,12 m3 / s
k. Diameter Pipa Vent
4 × Qud
D=
√ π × vud
4 × 0,12 m3 /s
D=
√ 3,14 × 4 m/ s
D=0,19 m
D=190 mm
BAB V
RANCANGAN FASILITAS PENUNJANG DAN RANCANGAN
ANGGARAN BIAYA (RAB)
5.1 Fasilitas Penunjang
Fasilitas penunjang dalam Instalasi Pengolahan Air Minum merupakan
hal yang sangat penting. Fasilitas penunjang diperlukan untuk membantu
kelancaran dalam proses pengolahan air, sehingga hasil yang diinginkan dapat
tercapai. Adapun fasilitas penunjang yang dibutuhkan ialah sebagai berikut.
a. Laboratorium
Laboratorium diperlukan dalam pengolahan air minum. Laboratorium
berfungsi sebagai tempat pengujian terhadap air baku dan air minum yuang sudah
diolah. Letak bangunan laboratorium sebaiknya dibangun didekat proses
pengolahan air minum (IPA) sehingga jarak untuk membawa sampel tidak jauh.
b. Kantor
Kantor merupakan fasilitas yang memiliki fungsi sebagai tempat
pengaduan jika terdapat permasalahan dalam distribusi air, seperti kebocoran.
Selain itu, kantor juga berfungsi sebagai tempat administrasi dan penyimpanan
data-data/dokumen penting.
c. Pos Jaga
Pos jaga merupakan bangunan yang diperlukan untuk memantau dan
menjaga keamanan disekitar daerah produksi air. Sehingga mengurangi
kemungkinan kehilangan barang-barang yang tidak diinginkan.
d. Reservoir
Reservoir merupakan suatu bangunan yang berfungsi untuk menampung
dan menyimpan air yang telah melalui proses pengolahan sebelum didistribusikan
kepada konsumen.
e. Ruang Pembubuhan Zat Kimia
Ruang proses pembubuhan zat kimia merupakan fasilitas bangunan yang
memiliki fungsi sebagai tempat pembubuhan bahan kimia sebelum dialirkan ke
dalam bak pengolahan. Selain itu, ruang ini juga berfungsi sebagai tempat untuk
melindungi tangki pembubuh dari kontaminasi faktor luar.
f. Ruang Pompa dan Genset
Ruang pompa dan genset merupakan bangunan yang diperlukan untuk
menyimpan pompa dan genset agar pompa terlindungi dari hujan dan panas sehingga
tidak cepat rusak. Ruang pompa berfungi sebagai ruang peletakan pompa sebagai
sarana untuk pemompaan air baku ke bangunan intake maupun dari reservoir ke
jaringan distribusi dan genset berfungsi untuk menyediakan tenaga listrik atau tempat
penyimpanan generator sehingga proses pengolahan dapat berlangsung secara terus
menerus.
g. Ruang Penyimpanan Bahan Kimia
Ruang penyimpanan bahan kimia merupakan bangunan fasilitas penunjang
yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan-bahan kimia yang diperlukan
dalam pengolahan air bersih.
h. Gudang
Gudang dibutuhkan untuk menyimpan semua peralatan yang berhubungan
dengan kinerja di sistem penditribusian dan pengolahan air minum.

Tata letak bangunan penunjang instalasi pengolahan air sebaiknya mudah


dalam beroperasi, sirkulasi dan efisien, dilengkapi tempat parkir, pagar, kamar mandi,
toilet dan fasilitas penerangan. Kebutuhan operasi dan pemeliharaan paket unit
instalasi pengolahan air harus dilengkapi dengan lantai pemeriksaan. Jalan masuk dari
jalan besar menuju ke tapak instalasi pengolahan air lebarnya harus mencukupi untuk
dilalui kendaraan roda empat. Jalan dan tempat parkir harus diberikan perkerasan
yang memadai, tapak instalasi pengolahan air haruas bebas banjir.

Gambar 5.1 Perencanaan Skema Fasilitas Penunjang


5.2 Rincian Anggaran Biaya (RAB)
5.2.1 Anggaran Bahan Kimia
Perhitungan biaya pada perencanaan ini berdasarkan pada bahan kimia yang
digunakan untuk pengolahan air minum. Koagulan yang digunakan yaitu
Tawas/Alumunium Sulfat, sedangkan untuk proses desinfeksi menggunakan bahan
khlor dan kaporit. Estimasi biaya dari penggunaan bahan kimia tawas dan kaporit
yang akan di paparkan dalam rencana anggaran biaya dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Anggaran Biaya Bahan Kimia
Kuantitas Pemakaian Justifikasi
No Material Harga (kg) Jumlah
(kg/hari) Pemakaian
1 Tawas 276 1 hari Rp 4.000 Rp 1.104.000
2 Kaporit 33,5 1 hari Rp 43.000 Rp 1.440.500
TOTAL Rp 2.544.500
Sumber: Hasil Analisis, 2021

5.2.2 Anggaran Biaya Daya Listrik


Sumber energi yang dipakai yaitu menggunakan sumber listrik. Diketahui
langsung dari PT. PLN Persero bahwa harga listrik/kWh yaitu sebesar Rp 1.467.
Listrik yang digunakan pada saat penggunaan untuk menghidupkan pompa.
Perhitungan anggaran listrik sebagai berikut.
Tabel 5.2 Daya dan Biaya Unit Pengolahan
N
Material Daya (kW) Harga Jumlah
o
1 Daya Pompa Intake 0,1136 Rp 1.467 Rp 166,65
2 Daya Pengadukan Koagulasi 0,9612 Rp 1.467 Rp 1.410,08
Daya Pompa Bak Pembubuh
3 0,00000008902 Rp 1.467 Rp 0,13
Koagulasi
4 Daya Pengadukan Koagulasi 0,044598 Rp 1.467 Rp 65,43
5 Daya Pompa Desinfeksi 0,0062 Rp 1.467 Rp 9,1
6 Daya Pompa Reservoir 0,1514 Rp 1.467 Rp 222,10
TOTAL 1,2877089298 Rp 1.467 Rp 1.873,49
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Maka, biaya yang dikeluarkan adalah sebagai berikut.
Biaya per hari=Rp1.873,49 ×24 jam
Biaya per hari=Rp 44.963,76 per hari
Sehingga, biaya listrik yang dikeluarkan per bulan adalah sebagai berikut.
Biaya=Rp 44.963,76 × 30 hari
Biaya=Rp 1.348 .912,8 per bulan

Anda mungkin juga menyukai