Anda di halaman 1dari 23

BAB III

RANCANGAN SISTEM PENGOLAHAN AIR


3.1 Standar Kualitas Air
Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang
dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu. Standar kualitas air
minum merupakan suatu batasan atau peraturan yang harus dipenuhi sebelum
suatu air dapat dianggap sebagai air minum. Terdapat beberapa standar kualitas
air bersih maupun air minum yang digunakan baik secara internasional maupun
nasional. Peraturan yang mengatur baku mutu air nasional yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan peraturan tersebut kualitas air
diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu sebagai berikut.
1. Kelas satu merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu
air yang sama dengan kegunaan tersebut.
2. Kelas dua merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana. rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
3. Kelas tiga merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman,
dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Kualitas baku mutu air sungai dan sejenisnya menurut Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 disajikan pada tabel sebagai
berikut.
Tabel 3.1 Baku Mutu Air Sungai berdasarkan PPRI No. 22 Tahun 2021
Kelas Keterangan
Parameter Unit
I II III IV
Fisika
Perbedaan dengan
Temperatur C Dev 3 Dev 3 Dev 3 Dev 3 suhu di atas
permukaan air
Padatan terlarut Tidak berlaku
mg/L 1.000 1.000 1.000 2.000
total (TDS) untuk muara
Padatan
tersuspensi total mg/L 40 50 100 400  
(TSS)
Tidak berlaku
Pt-Co untuk air gambut
Warna 15 50 100 -
Unit (berdasarkan
kondisi alaminya)
Kimia Anorganik
Tidak berlaku
untuk air gambut
pH   6-9 6-9 6-9 6-9
(berdasarkan
kondisi alaminya)
BOD mg/L 2 3 6 12  
COD mg/L 10 25 40 80  
DO mg/L 6 4 3 1 Batas minimal
Total Fosfat
mg/L 0,2 0,2 1 -  
(sebagai P)
Arsen mg/L 0,05 0,05 0,05 0,1  
Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2  
Boron mg/L 1 1 1 1  
Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05  
Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01  
Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2  
Besi mg/L 0,3 - - -  
Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 0,5  
Mangan mg/L 0,1 - - -  
Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2  
Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 -  
Fluorida mg/L 1 1,5 1,5 -  
Sulfat mg/L 300 300 300 400  
Bagi air baku air
Khlorin Bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 - minum tidak
dipersyaratkan
Belerang sebagai
mg/L 0,002 0,002 0,002 -  
H2S
Kimia Organik
Minyak dan
mg/L 1 1 1 10  
Lemak
Detergen Total mg/L 0,2 0,2 0,2 -  
Senyawa Fenol mg/L 0,002 0,005 0.01 0,02  
BHC   210 210 210 -  
Aldrin/Dieldrin   17 - - -  
Chlordane   3 - - -  
DDT   2 2 2 2  
Heptachlor   18 - - -  
Lindane   56 - - -  
Methoxyclor   35 - - -  
Endrin   1 4 4    
Toxaphan   5 - - -  
Kelas Keterangan
Parameter Unit
I II III IV
Mikrobiologi
MPN/10
Fecal coliform 100 1.000 2.000 2.000  
0 mL
MPN/10 10.00
Total coliform 1.000 5.000 10.000  
0 mL 0
Radioaktivitas
Gross-A Bq/L 0,1 0,1 0,1 0,1  
Gross-B Bq/L 1 1 1 1  
Sumber: Lampiran VI PPRI No. 22 Tahun 2021
Air minum yang sehat merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi
kualitas dan keberlanjutan kehidupan manusia. Oleh karenanya air minum mutlak
harus tersedia dalam kuantitas (jumlah) dan kualitas yang memadai. Kualitas air
menunjukkan mutu atau kondisi yang dikaitkan dengan suatu kegiatan dan
keperluan tertentu. Baku mutu air minum diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan
Kualitas Air Minum sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.2 Baku Mutu Air Minum berdasarkan PERMENKES No. 492 Tahun 2010
Kadar Maksimum yang
Jenis Parameter Unit
Diperbolehkan
Parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan
Mikrobiologi
Escherichia coli Jumlah per 100 mL sampel 0
Total Bakteri Koliform Jumlah per 100 mL sampel 0
Kimia Anorganik
Arsen mg/L 0,01
Fluorida mg/L 1,5
Total Kromium mg/L 0,05
Kadmium mg/L 0,003
Nitrit mg/L 3
Nitrat mg/L 50
Sianida mg/L 0,07
Selenium mg/L 0,01
Parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan
Fisika
Bau   Tidak berbau
Warna TCU 15
TDS mg/L 500
Kekeruhan NTU 5
Rasa   Tidak berasa
Suhu C Dev 3
Kimia
Aluminium mg/L 0,2
Besi mg/L 0,3
Kesadahan mg/L 500
Khlorida mg/L 250
Mangan mg/L 0,4
pH   6,5-8,5
Seng mg/L 3
Kadar Maksimum yang
Jenis Parameter Unit
Diperbolehkan
Sulfat mg/L 250
Tembaga mg/L 2
Amonia mg/L 1,5
Sumber: Lampiran PERMENKES No. 492 Tahun 2010

3.2 Syarat Kualitas Air Minum


Pengadaan air bersih untuk kepentingan rumah tangga seperti untuk air
minum harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan peraturan
internasional ataupun peraturan nasional dan setempat. Dalam hal ini, kualitas air
minum di Indonesia harus memenuhi persyaratan yang tertuang di dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010 dimana setiap
komponen yang diperkenankan berada di dalamnya harus sesuai dengan
persyaratan kesehatan air minum yang meliputi persyaratan fisika, kimia dan
biologi (Wandrivel R., N. Suharti, Y. Lestari, 2012).
A. Parameter Fisika
Air bersih/minum secara fisik harus jernih, tidak berwarna, tidak berbau
dan tidak berasa. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah suhu.
1. Bau
Bau disebabkan oleh adanya senyawa lain yang terkandung dalam air
seperti gas H2S, NH3, senyawa fenol, klorofenol dan lain-lain. Pengukuran
biologis senyawa organik dapat menghasilkan bau pada zat cair dan gas. Bau yang
disebabkan oleh senyawa organik ini selain mengganggu dari segi estetika, juga
beberapa senyawanya dapat bersifat karsinogenik. Pengukuran secara kuantitatif
bau sulit diukur karena hasilnya terlalu subjektif.
2. Kekeruhan
Kekeruhan disebabkan adanya kandungan Total Suspended Solid baik
yang bersifat organik maupun anorganik. Zat organik berasal dari lapukan
tanaman dan hewan, sedangkan zat anorganik biasanya berasal dari lapukan
batuan dan logam. Zat organik dapat menjadi makanan bakteri sehingga
mendukung perkembangannya. Penurunan kekeruhan ini sangat diperlukan karena
selain ditinjau dari segi estetika yang kurang baik juga proses desinfeksi untuk air
keruh sangat sukar, hal ini disebabkan karena penyerapan beberapa koloid dapat
melindungi organisme dari desinfektan.
3. Rasa
Syarat air bersih/minum adalah air tersebut tidak boleh berasa. Air yang
berasa dapat menunjukkan kehadiran berbagai zat yang dapat membahayakan
kesehatan. Efeknya tergantung penyebab timbulnya rasa tersebut. Sebagai contoh
rasa asam dapat disebabkan oleh asam organik maupun anorganik, sedangkan rasa
asin dapat disebabkan oleh garam terlarut dalam air.
4. Suhu
Suhu air sebaiknya sama dengan suhu udara (25oC), dengan batas
toleransi yang diperbolehkan yaitu 25 oC ± 3 oC. Suhu yang normal mencegah
terjadinya pelarutan zat kimia pada pipa, menghambat reaksi biokimia pada pipa
dan mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Jika suhu air tinggi maka jumlah
oksigen terlarut dalam air akan berkurang juga serta meningkatkan reaksi dalam
air.
5. Warna
Air minum sebaiknya tidak berwarna, bening dan jernih untuk alasan
estetika dan untuk mencegah keracunan dari berbagai zat kimia maupun
organisme yang berwarna. Pada dasarnya warna dalam air dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu warna semu (apparent colour) yang disebabkan oleh
unsur tersuspensi dan warna sejati (true colour) yang disebabkan oleh zat organik
dan zat koloidal. Air yang telah mengandung senyawa organik seperti daun,
potongan kayu dan rumput akan memperlihatkan warna kuning kecoklatan, oksida
besi akan menyebabkan air berwarna kemerah-merahan, dan oksida mangan akan
menyebabkan air berwarna kecoklatan atau kehitaman.
B. Parameter Kimia
Air bersih/minum tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia dalam
jumlah tertentu yang melampaui batas. Bahan kimia yang dimaksud tersebut
adalah bahan kimia yang memiliki pengaruh langsung pada kesehatan. Beberapa
persyaratan kimia tersebut antara lain sebagai berikut.
1. pH
pH merupakan faktor penting bagi air minum, pada pH < 6,5 dan pH >
8,5 akan mempercepat terjadinya korosi pada pipa distribusi air bersih/minum.
2. Zat Padat Total (Total Solid)
Total solid merupakan bahan yang tertinggal sebagai residu pada
penguapan dan pengeringan pada suhu 103-105 oC.
3. Zat Organik sebagai KMnO4
Zat organik dalam air berasal dari alam (tumbuh-tumbuhan, alkohol,
selulosa, gula dan pati), sintesa (proses-proses produksi) dan fermentasi. Zat
organik yang berlebihan dalam air akan mengakibatkan timbulnya bau tidak
sedap.
4. CO2 Agresif
CO2 yang terdapat dalam air berasal dari udara dan hasil dekomposisi zat
organik. CO2 agresif yaitu CO2 yang dapat merusak bangunan, perpipaan dalam
distribusi air bersih.
5. Kesadahan Total (Total Hardness)
Kesadahan adalah sifat air yang disebabkan oleh adanya ion-ion (kation)
logam valensi, misalnya Mg2+, Ca2+, Fe+ dan Mn+. Kesadahan total adalah
kesadahan yang disebabkan oleh adanya ion-ion Ca2+ dan Mg2+ secara bersama-
sama. Air sadah menyebabkan pemborosan pemakaian sabun pencuci dan
mempunyai titik didih yang lebih tinggi dibandingkan dengan air biasa.
6. Besi
Keberadaan besi dalam air bersifat terlarut, menyebabkan air menjadi
merah kekuning-kuningan, menimbulkan bau amis dan membentuk lapisan seperti
minyak. Besi merupakan logam yang menghambat proses desinfeksi. Hal ini
disebabkan karena daya pengikat klor (DPC) selain digunakan untuk mengikat zat
organik, juga digunakan untuk mengikat besi, akibatnya sisa klor menjadi lebih
sedikit dan hal ini memerlukan desinfektan yang lebih banyak pada proses
pengolahan air. Besi dalam tubuh dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin
namun dalam dosis yang berlebihan dapat merusak dinding halus.
7. Mangan
Mangan dalam air bersifat terlarut, biasanya membentuk MnO2. Adanya
mangan yang berlebihan dapat menyebabkan flek pada benda-benda putih oleh
deposit MnO2, menimbulkan rasa dan menyebabkan warna (ungu/hitam) pada air
minum, serta bersifat toksik.
8. Tembaga (Cu)
Pada kadar yang lebih besar dari 1 mg/L akan menyebabkan rasa tidak
enak pada lidah dan dapat menyebabkan gejala ginjal, muntaber, pusing, lemah
dan dapat menimbulkan kerusakan pada hati. Dalam dosis rendah menimbulkan
rasa kesat, warna dan korosi pada pipa.
9. Seng (Zn)
Tubuh memerlukan seng untuk proses metabolisme, tetapi pada dosis
tinggi dapat bersifat racun. Pada air minum kelebihan kadar Zn > 3 mg/L
menyebabkan rasa kesat/pahit dan bila dimasak timbul endapan seperti pasir dan
menyebabkan muntaber.
10. Klorida
Klorida mempunyai tingkat toksisitas yang tergantung ada gugus
senyawanya. Klor biasanya digunakan sebagai desinfektan dalam penyediaan air
minum. Kadar klor yang melebihi 250 mg/L akan menyebabkan rasa asin dan
korosif pasa logam.
11. Nitrit
Kelemahan nitrit dapat menyebabkan methamoglobinemia terutama pada
bayi yang mendapat konsumsi air minum yang mengandung nitrit.
12. Fluorida (F)
Kadar F > 1,5 mg/L menyebabkan kerusakan pada gigi, sebaliknya bila
terlalu banyak juga menyebabkan gigi berwarna kecoklatan.
13. Logam-Logam Berat (Pb, As, Se, Cd, Hg, CN)
Adanya logam-logam berat dalam air akan menyebabkan gangguan pada
jaringan syaraf, pencernaan, metabolisme oksigen dan kanker.
C. Parameter Biologi
Air minum tidak boleh mengandung kuman-kuman patogen dan parasit
seperti kuman-kuman thypus, kolera, disentri dan gastroenteritis. Untuk
mengetahui adanya bakteri patogen dapat dilakukan dengan pengamatan terhadap
ada tidaknya bakteri Escherichia coli yang merupakan bakteri indikator pencemar
air. Parameter ini terdapat pada air yang tercemar oleh tinja manusia dan dapat
menyebabkan gangguan pada manusia berupa penyakit perut (diare) karena
mengandung bakteri patogen. Proses penghilangannya dilakukan dengan
desinfeksi.
3.3 Kualitas Air Baku dan Sistem Pengolahan
Kontaminan utama terhadap air adalah zat padat dengan mineral-mineral
yang terkandung di dalamnya, selain itu apabila air melalui permukaan tanah
dengan tingkat organik tinggi seperti tanah gambut, maka kandungan organik
akan tinggi, demikian dengan badan-badan air yang lain. Pada umumnya
penampakan karakteristik air dan metode pengolahannya tergantung dari tingkat
kekeruhannya. Karakteristik air baku permukaan yang ada di Indonesia secara
umum dapat digolongkan menjadi sebagai berikut (Joko, 2010).
1. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi
Air permukaan ini telah mengalir pada permukaan tanah yang renta
terhadap erosi atau ditutupi dengan vegetasi yang rendah kerapatannya.
2. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Rendah sampai Sedang
Air ini pada umumnya mempunyai sifat stabil di danau atau waduk yang
sedikit mengandung gulma atau tanaman air seperti halnya air pada golongan
pertama, hanya saja telah mengalami pengendapan yang cukup lama dengan
waktu tinggal lebih dari satu minggu.
3. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan yang Sifatnya Temporer
Air yang mengalir di atas permukaan yang tertutup vegetasi cukup rapat
dan curam akan menghasilkan air keruh saat musim hujan dan jernih saat tidak
hujan. Saat terjadi hujan terjadi erosi sedimentasi setelah debit dan kecepatan air
meningkat tajam. Tingkat kekeruhan yang tinggi hanya terjadi beberapa saat, 2 –
3 jam setelah hujan reda air kembali ke aliran dasar (base flow) dan air kembali
jernih. Air sungai dengan kekeruhan temporer sering terjadi di daerah
pegunungan.
4. Air Permukaan dengan Kandungan Warna yang Sedang sampai Tinggi
Air ini umumnya telah mengalir pada daerah dengan tingkat humus
tinggi atau gambut. Pada umumnya air mempunyai tingkat warna di atas 30 PtC
sebagai akibat terlarutnya zat tanin dari sisa-sisa humus. Biasanya pH air bersifat
asam (4 – 7). Air ini mempunyai tingkat kekeruhan dan warna tinggi.
5. Air Permukaan dengan Tingkat Kesadahan Tinggi
Kesadahan pada prinsipnya adalah terkontaminasinya air oleh unsur
kation seperti Ca, Mg, Na dan sebagainya. Air sadah tinggi mengalir pada daerah
bebatuan kapur. Kesadahan dapat dikatakan tinggi dan mulai berakibat pada alat-
alat masak adalah di atas 100 mg/L CaCO3. Kesadahan di atas 300 mg/L bila
dikonsumsi secara terus menerus akan merusak ginjal manusia.
6. Air Permukaan dengan Kekeruhan Sangat Rendah
Air permukaan dengan tingkat kekeruhan sangat rendah dapat dijumpai
pada danau-danau yang masih belum tercemar atau air yang baru keluar dari mata
air.

Pemilihan masing-masing unit operasi yang digunakan dipengaruhi oleh


berbagai faktor seperti jenis dan karakteristik air, variasi debit air, kualitas air
olahan yang diinginkan, pertimbangan kemudahan dalam operasi dan
pemeliharaan yang berkaitan dengan ketersediaan teknologi dan tenaga terampil
serta aspek ekonomis menyangkut biaya harus disediakan untuk pembangunan
instalasi serta biaya operasionalnya.
Kondisi sumber air baku dan keperluan/peruntukan penggunaannya
menjadi acuan pemilihan pengolahan air secara khusus, diantaranya dengan
reverse osmosis, ion exchange, adsorbsi dan pelunakan air. Strategi pengolahan
yang dapat diterapkan pada masing-masing jenis air adalah berbeda. Berdasarkan
karakteristik air baku yang akan diolah maka pengolahan dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut.
1. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi
Air baku dengan tingkat kekeruhan tinggi dapat dilakukan pengolahan
dengan pilihan sebagai berikut.
a. Alternatif 1
Tingkat kekeruhan tinggi menyebabkan tingginya sedimen dalam air
baku, maka akan lebih ekonomis jika sebelum koagulasi flokulasi dilakukan
proses prasedimentasi. Berikut alternatif pengolahannya: prasedimentasi,
koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, desinfeksi.
b. Alternatif 2
Alternatif lain adalah dengan menggunakan saringan pasir lambat, di
mana sebelum dilakukan penyaringn harus terlebih dahulu dilakukan
pengendapan sampai kekeruhan mencapai 50 mg/L SiO2.
2. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan Rendah sampai Sedang
Tingkat kekeruhan rendah sampai sedang diasumsikan sekitar 10 – 50
NTU. Pada jenis ini air dapat dilakukan pengolahan dengan alternatif: koagulasi-
flokulasi, sedimentasi, filtrasi, desinfeksi.
3. Air Permukaan dengan Tingkat Kekeruhan yang Sifatnya Temporer
Pada kasus pengolahan ari baku dengan kekeruhan temporer dapat
dilakukan pilihan pengolahan sebagai berikut.
a. Alternatif 1
Alternatif pengolahannya: koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi,
desinfeksi. Pengoperasian untuk alternatif ini adalah bila tidak hujan maka tidak
dilakukan koagulasi tetapi pada saat kekeruhan tinggi maka perlu dilakukan
proses koagulasi.
b. Alternatif 2
Alternatif lain adalah dengan menggunakan saringan pasir lambat, di
mana sebelum dilakukan penyaringn harus terlebih dahulu dilakukan
pengendapan.
c. Alternatif 3
Alternatif lain adalah dengan menggunakan saringan pasir cepat, di mana
saat terjadi kekeruhan tinggi IPA tidak beroperasional. Pelayanan air bersih
memanfaatkan air reservoir yang memiliki daya tampung di atas 6 – 24 jam
tergantung lamanya kekeruhan terjadi.
4. Air Permukaan dengan Kandungan Warna yang Sedang sampai Tinggi
Air baku dengan tingkat warna yang tinggi dapat diolah hanya dengan
pengolahan sebagai berikut: koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, desinfeksi.
Pada pengolahan ini akan dibutuhkan koagulan lebih banyak dan lebih baik jika
dibubuhkan lumpur kaolin, bentonite atau lumpur setempat yang berguna untuk
memperberat flok. Dapat juga dengan melakukan recycle lumpur dari bak
sedimentasi. Waktu flokulasi dan sedimentasi lebih lama disbanding air tidak
berwarna.
5. Air Permukaan dengan Tingkat Kesadahan Tinggi
Air dengan tingkat kekeruhan tinggi dapat dilakukan dengan proses
kapur soda yaitu dengan proses pemisahan Ca, Mg secara kimiawi kemudian
diendapkan di bak pengendap. Apabila kesadahan sementara lebih dominan dapat
dilakukan dengan saringan marmer. Alternatif lain adalah dengan proses
pelunakan memanfaatkan ion exchange dengan resin, karbon atau pasir aktif.
6. Air Permukaan dengan Kekeruhan Sangat Rendah
Air permukaan dengan tingkat kekeruhan sangat rendah dapat dilakukan
pengolahan langsung dengan filtrasi dan desinfeksi. Filtrasi dilakukan untuk
menjaga pertikulat yang masuk.
3.4 Jenis Sistem Pengolahan yang Direncanakan
Unit produksi sistem penyediaan air minum berfungsi untuk mengolah
air baku menjadi air minum. Untuk mencapai kualitas air yang sesuai dengan
standar kualitas air minum maka air baku diolah terlebih dahulu. Yang dimaksud
dengan pengolahan air adalah usaha-usaha teknis yang dilakukan untuk merubah
sifat-sifat air tersebut. Hal ini penting sekali dalam air minum, karena dengan
adanya proses pengolahan maka akan diperoleh mutu air minum yang memenuhi
standar yang telah ditentukan. Ada dua macam pengolahan air yang sudah
dikenal, yaitu sebagai berikut (Joko, 2010).
1. Pengolahan Lengkap, dimana air baku mengalami pengolahan lengkap
yaitu pengolahan fisik, kimiawi dan bakteriologis. Pengolahan ini
biasanya dilakukan terhadap air sungai yang keruh/kotor.
2. Pengolahan Sebagian, dimana air baku hanya mengalami proses
pengolahan kimia dan/atau pengolahan bakteriologis.

Pada proses pengolahan lengkap terdapat tiga tingkat pengolahan sebagai


berikut.
1. Pengolahan Fisik, bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
kotoran-kotoran kasar, penyisihan lumpur dan pasir, mengurangi zat-zat
organik yang ada pada air. Proses pengolahan fisik dilakukan tanpa
tambahan zat kimia.
2. Pengolahan Kimia, bertujuan membantu proses pengolahan selanjutnya
dengan penambahan zat kimia.
3. Pengolahan Biologi, bertujuan membunuh atau memusnahkan bakteri-
bakteri terutama bakteri penyebab penyakit yang terkandung dalam air.
Berdasarkan data kualitas air sungai Kapuas di Kecamatan Kapuas
Kabupaten Sanggau yang disajikan pada tabel 2.1, terdapat empat parameter yang
melebihi standar baku mutu yaitu kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), fosfat,
nitrat dan Fecal coliform maka unit operasi yang akan dipilih dalam sistem
pengolahan air minum secara berurutan ditampilkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Diagram Alir Sistem Pengolahan yang Direncanakan

3.4.1 Koagulasi
Koagulasi adalah penambahan koagulan ke dalam air baku diikuti dengan
pengadukan cepat yang bertujuan untuk mencampur antara koagulan dengan
koloid. Partikel dengan ukuran sangat kecil tidak dapat diendapkan dalam unit
sedimentasi. Partikel dengan diameter 0,06 mm membutuhkan waktu 10 jam
untuk mengendap dalam bak sedimentasi yang mempunyai kedalaman 3 meter,
dan partikel yang berdiameter 0,002 mm membutuhkan waktu mengendap selama
4 hari. Detention time selama ini tidak bisa dipraktekkan dalam perencanaan.
Selain partikel-partikel halus, di dalam air juga terdapat koloid-koloid yang
bermuatan listrik yang selalu bergerak-gerak serta tidak dapat diendapkan secara
gravitasi. Oleh sebab itu digunakan suatu proses yang dapat mempermudah
partikel-partikel halus/koloidal tersebut mengendap.
Partikel-partikel yang sangat halus/koloid bersifat stabil dalam air di non
stabilkan muatan permukaannya dengan zat koagulan sehingga terjadi gaya tarik-
menarik membentuk flok-flok. Partikel-partikel suspensi maupun koloid-koloidal
yang telah berbentuk flok dapat dipisahkan dari air melalui proses sedimentasi
(pengendapan). Untuk meratakan pencampuran zat koagulan dan pembentukan
flok dilakukan proses pengadukan cepat dan pengadukan lambat. Pengadukan
cepat (koagulasi) dilakukan kurang lebih satu menit diikuti dengan pengadukan
lambat, kurang lebih 10 – 20 menit.
Pengadukan yang memanfaatkan gaya hidrolis air, yaitu dengan
memanfaatkan turbulensi dalam pipa dan terjunan air. Pengadukan hidrolis yang
biasa dipakai untuk debit air di atas 50 L/det adalah dengan terjunan air.
Pembubuhan dilakukan sesaat sebelum air diterjunkan dengan demikian air yang
terjun sudah mengandung koagulan yang siap diaduk. Tinggi terjunan untuk suatu
pengadukan adalah tipikal untuk semua debit karena debit tidak menentukan
dalam perhitungan.
3.4.1.1 Koagulan
Pengendapan kimiawi dalam pengolahan air minum dilakukan dengan
penambahan zat-zat kimia (koagulan) untuk mengubah bentuk fisik dari padatan
terlarut atau tersuspensi dan untuk memudahkan penyisihannya dengan
sedimentasi. Akibat sampingan dari penambahan zat kimia adalah peningkatan
jumlah zat terlarut di dalam air.
Suatu zat kimia tertentu yang disebut koagulan tidak dapat larut dalam
air, bahkan dapat membentuk flok-flok presipitat. Presipitat-presipitat dapat
menyerap atau mengikat suspense halus dan koloid-koloid yang terdapat dalam
air, proses ini dapat berjalan dalam waktu yang relatif cepat. Proses koagulasi ini
dapat menurunkan derajat warna, bau dan rasa. Partikel suspensi maupun koloidal
yang telah berbentuk flok dapat dipisahkan dari air melalui proses sedimentasi.
Tingkat kejernihan air yang diperoleh tergantung pada jumlah bahan
kimia yang digunakan. Pengendapan bisa menghasilkan efluen yang jernih, bebas
dari substansi dalam bentuk suspensi maupun koloid. Sekitar 80 – 90% total
padatan terlarut, 40 – 70% BOD5, 30 – 60% COD dan 80 – 90% bakteri dapat
disisihkan dengan pengendapan kimiawi. Sebagai perbandingan, jika hanya
melakukan pengendapan biasa tanpa tambahan zat kimia, hanya 50 – 70% dari
total padatan tersuspensi dan 30 – 40% bahan organik yang dapat terendapkan.
Koagulan yang digunakan dalam perencanaan bangunan pengolahan air
minum daerah Kecamatan Kapuas ialah Aluminium Sulfat (Al2(SO4)3.18H2O).
Aluminium sulfat atau Alum mudah didapat di pasaran bebas. Alum berwarna
abu-abu kotor berbentuk padat dengan kadar kurang lebih 17% aluminium sulfat.
Alum adalah koagulan yang sering digunakan dalam proses pengolahan air
minum. Alum di dalam air dapat bereaksi dengan garam. Koagulasi dengan alum
berjalan dengan baik pada pH antara 6,5 – 8,5. Reaksi yang terjadi pada proses
koagulasi dengan aluminium sulfat sebagai koagulan ialah sebagai berikut.
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3) → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6H2O
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6H2O
Untuk menentukan dosis flok yang dibutuhkan maka dilakukan Jar Test
terlebih dahulu. Dengan pembubuhan koagulan maka stabilitas terganggu
sehingga sebagian kecil koagulan akan terlarut dalam air, molekul-molekul ini
akan menempel pada permukaan positif sedangkan koloid basa akan bermuatan
negatif. Setelah pembubuhan dilakukan, maka operasi berikutnya adalah
mencampur/mengaduk koagulan tersebut dalam air baku secara merata.
Pengadukan (koagulasi) dilakukan secara cepat selama kurang lebih satu menit
yang diikuti dengan pengadukan secara lambat, kurang lebih 30 – 60 menit, yang
dihentikan dengan proses flokulasi.
Bentuk pengaduk cepat atau koagulator yang digunakan dalam
perencanaan dengan debit 308 L/detik ialah koagulator tipe hidrolis yang
menggunakan kecepatan pengaliran dalam pipa sebagai sumber energi untuk
pengadukan. Koagulator tipe hidrolis juga dilengkapi dengan stated mixer yang
merupakan peralatan khusus yang dipasang pada pipa untuk mempercepat proses
pengadukan. Prinsip kerja peralatan ini adalah memecah dan memutar aliran
sehingga gradien kecepatan menjadi lebih besar. Tipe hidrolis memanfaatkan
terjunan air yang memiliki energi yang terjadi dari tinggi terjunan air itu sendiri.
3.4.2 Flokulasi
Flokulasi secara umum disebut juga pengadukan lambat, di mana dalam
flokulasi ini berlangsung proses terbentuknya penggumpalan flok-flok yang lebih
besar dan akibatnya ada perbedaan berat jenis terhadap air, maka flok-flok
tersebut dapat dengan mudah mengendap di bak sedimentasi. Flokulasi dilakukan
setelah proses koagulasi. Flokulator berjalan dengan kecepatan lambat dengan
maksud terjadi pembentukan flok. Kecepatan air dalam bak pengaduk dijaga pada
kecepatan 15 – 30 cm/detik, agar tidak terjadi pengendapan maupun kerusakan
flok yang telah terbentuk.
Flokulasi dicapai dengan mengaplikasikan pengadukan yang tepat untuk
memperbesar flok-flok hasil koagulasi. Pengadukan pada bak flokulasi harus
diatur sehingga kecepatan pengadukan semakin ke hilir semakin lambat, serta
pada umumnya waktu detensi pada bak ini adalah 20 sampai dengan 40 menit.
Hal tersebut dilakukan karena flok yang telah mencapai ukuran tertentu tidak
dapat menahan gaya tarik dari aliran air dan menyebabkan flok pecah kembali,
oleh sebab itu kecepatan pengadukan dan waktu detensi dibatasi.
Bentuk bak flokulasi dibuat dengan multi stage, di mana terdapat
minimum 6 tahap (stage) dengan nilai gradient kecepatan menurun dari 70 L/detik
sampai 20 L/detik. Terdapat bebebrapa kategori sistem pengadukan untuk
melakukan proses flokulasi, yaitu sebagai berikut.
1. Flokulasi Mekanis, dapat dibedakan menjadi:
a. Flokulasi dengan sumbu pengaduk vertikal berbentuk turbin
b. Flokulasi dengan sumbu pengaduk horizontal berbentuk paddle
c. Unit-unit lain yang telah dipatenkan seperti walking bean, floksilator dan
NU-treat
2. Flokulasi Hidrolis dengan Sekat (Baffle Channel Basins) dibedakan atas:
a. Unit saluran flokulasi berpenyekat dengan arah aliran horizontal
b. Unit saluran flokulasi berpenyekat dengan arah aliran vertikal

Unit flokulasi yang direncanakan ialah menggunakan sistem pengadukan


hidrolis, berupa buffle channel aliran horizontal. Unit flokulasi memiliki enam bak
dengan sistem hidrolika helicoidal up dan down flow gravitation.
3.4.3 Sedimentasi
Proses sedimentasi secara umum diartikan sebagai proses pengendapan,
di mana akibat gaya gravitasi, partikel yang mempunyai berat jenis lebih besar
dari berat jenis air akan mengendap ke bawah dan yang lebih kecil berat jenisnya
akan mengapung. Kecepatan pengendapan partikel akan bertambah sesuai dengan
pertambahan ukuran partikel dan berat jenisnya. Prinsip yang digunakan adalah
menyaring flok-flok yang telah mengendap. Kecepatan pengendapan partikel akan
bertambah sesuai dengan pertambahan ukuran partikel dan berat jenisnya.
Dari segi hidrolis, maka hal yang sangat penting diperhatikan dalam unit
operasi sedimentasi adalah kondisi aliran air dalam bak sedimentasi tersebut.
Kondisi turbulensi aliran air sangat penting dalam proses pengendapan flok-flok
dan perlu dijaga agar flok-flok tersebut tidak pecah. Permukaan unit sedimentasi
berbentuk segi empat dengan perbandingan panjang: lebar = 2: 1.
Bangunan unit sedimentasi terdiri dari empat bagian (zona) yaitu sebagai
berikut.
1. Zona Inlet
Zona ini didesain sedemikian rupa sehingga air baku dapat masuk ke
zona pengendapan tanpa menimbulkan gangguan pada partikel yang mengendap
dan dapat didistribusikan secara uniform serta merata sepanjang bak pengendapan.
2. Zona Pengendapan
Partikel yang mengendap pada zona pengendapan dipengaruhi oleh dua
gaya, yaitu aliran air itu sendiri dan gaya gravitasi. Aliran horizontal air
menyebabkan partikel bergerak arah horizontal, sedangkan gaya gravitasi
menyebabkan partikel bergerak ke arah vertikal bawah. Resultan dari kedua arah
tersebut yang menyebabkan partikel dapat mengendap ke zona lumpur. Waktu
yang dibutuhkan air untuk mengalir dari zona awal pengendapan sampai air keluar
dari zona tersebut disebut waktu detensi (detention time), yaitu waktu yang
dibutuhkan oleh air selama berada di zona pengendapan.
3. Zona Lumpur
Lumpur diusahakan dapat terkumpul pada zona ini, dan sewaktu-waktu
dapat dibuang (dengan pengurasan).
4. Zona Outlet
Zona ini didesain sebagaimana zona inlet, sehingga air dapat dikeluarkan
tanpa mengganggu proses pengendapan.

Ada tiga bentuk dasar bak sedimentasi, yaitu sebagai berikut.


1. Rectangular Tanks (bak segi empat)
Bak sedimentasi jenis ini direncanakan berbentuk segi empat dan
kadang-kadang memiliki baffle yang berfungsi untuk memperbesar beban
permukaan, untuk mengurangi kecepatan aliran air, dan juga befungsi untuk
menghindari adanya aliran pendek (short circuiting). Untuk memungkinkan
pengeluaran lumpur endapa, maka dasar bak dibuat dengan kemiringan tertentu.
Pengeluaran lumpur dapat menggunakan prinsip hidrostatik melalui pipa outlet
lumpur.
2. Circular Tanks
Circular tanks dapat dibedakan dua macam berdasarkan pada airan air
yang masuk ke dalam tanks, seperti pada penjelasan di bawah ini.
a. Radial Flow Circular Tanks
Air masuk melalui pipa inlet yang diletakkan di pusat tangki pengendap,
kemudian oleh deflektor air dialirkan ke arah radial-horisontal menuju tepi tangki
pengendap (outlet). Lumpur endapan mengumpul di pusat tangki (pengumpulan
dilakukan dengan menggunakan scrapper).
b. Circumferential Flow Circular Tanks
Air baku masuk ke dalam tangki pengendap melalui beberapa celah inlet,
kemudian oleh lengan pemutar air yang masuk dialirkan ke sekeliling lingkaran
tangki bak pengendap. Bersamaan dengan itu lumpur endapan dapat mengendap
ke dasar bak dan terkumpul dalam zona lumpur, sedangkan air bersih masuk ke
dalam outlet tangki pengendap.
3. Hooper Botton Tanks
Tipe bak pengendap ini disebut juga vertical flow tanks, sebab air baku
dialirkan secara vertikal (baik ke bawah maupun ke atas). Pada pusat tangki
diletakkan deflektor dimana air baku masuk dari bagian atas ke dalam deflektor,
kemudian air turun ke bawah serta keluar lagi dari deflektor menuju outlet.
Partikel suspense akan mengumpul pada zona lumpur sewaktu aliran ke bawah.
Menurut Coe dan Clevenger (1916), yang kemudian dikembangkan oleh
Camp (1946) dan Fitch (1956) dan dikutip oleh Reynolds (1982), pengendapan
yang terjadi pada bak sedimentasi bisa dibagi menjadi empat kelas. Pembagian ini
didasarkan pada konsentrasi dari partikel tersebut untuk berinteraksi. Penjelasan
mengenai keempat jenis pengendapan ini adalah sebagai berikut.
1. Pengendapan Tipe I, Free Settling
Pengendapan tipe I adalah pengendapan dari partikel diskrit yang bukan
merupakan flok pada suatu suspensi. Partikel terendapkan sebagai unit terpisah
dan tidak terlihat flokulasi atau interaksi antara partikel-partikel tersebut. Contoh
pengendapan tipe I adalah prasedimentasi dan pengendapan pasir pada grit
chamber.
2. Pengendapan tipe II, Flocculent Settling
Pengendapan tipe II adalah pengendapan dari partikel-partikel yang
berupa flok pada suatu suspensi. Partikel-partikel tersebut akan membentuk flok
selama pengendapan terjadi, sehingga ukurannya akan membesar dan mengendap
dengan laju yang lebih cepat. Contoh pengendapan tipe ini adalah pengendapan
primer pada air buangan dan pengendapan pada air yang telah melalui proses
koagulasi dan flokulasi.
3. Pengendapan tipe III, Zone/ Hindered Settling
Pengendapan tipe III adalah pengendapan dari partikel dengan
konsentrasi sedang, dimana partikel-partikel ini tersebut sangat berdekatan
sehingga gaya antar partikel mencegah pengendapan dari partikel di sekelilingnya.
Partikel-partikel tersebut berada pada posisi yang tetap satu sama lain dan semua
mengendap dengan kecepatan konstan. Sebagai hasilnya massa partikel
mengendap dalam satu zona. Pada bagian atas dari massa yang mengendap akan
terdapat batasan yang jelas antara padatan dan cairan.
4. Pengendapan tipe IV, Compression Settling
Pengendapan tipe IV adalah pengendapan dari partikel yang memiliki
konsentrasi tinggi dimana partikel-partikel bersentuhan satu sama lain dan
pengendapan bisa terjadi hanya dengan melakukan kompresi terhadap massa
tersebut.
Pada perencanaan ini digunakan bak sedimentasi dengan bentuk
rectangular. Untuk meningkatkan efisiensi penyisihan partikel dapat dilakukan
dengan menambah luasan pengendapan pada bak sedimentasi, namun hal tersebut
tidak sejalan dengan ketersediaan lahan. Menurut Maharani (2017), meningkatkan
nilai overflow rate pada bak sedimentasi tanpa harus menambah luasan bidang
pengendapan dapat dilakukan dengan menambahkan tube settler. Tube settler
yang digunakan pada perencanaan unit sedimentasi pengolahan air minum
Kecamatan Kapuas ialah circular tubes.
3.4.4 Filtrasi
Filtrasi adalah proses penyaringan partikel secara fisik, kimia dan biologi
untuk memisahkan atau menyaring partikel yang tidak terendapkan di sedimentasi
melalui media berpori. Selama proses filtrasi, zat-zat pengotor dalam media
penyaring akan menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pori-pori media
sehingga kehilangan tekanan akan meningkat. Media yang sering digunakan
adalah pasir, karena mudah diperoleh dan ekonomis. Selain pasir, media
penyaring lain yang dapat digunakan adalah karbon aktif, anthracite, coconut
shell dan lain-lain. Diharapkan dengan penyaringan, akan dapat dihilangkan
kekeruhan tersebut secara total atau dengan perkataan lain, sisa kekeruhan yang
terkandung pada aliran keluar (filtrat) dari proses penyaringan adalah 0,00 mg/L.
Filtrasi diperlukan untuk menyempurnakan penurunan kadar kontaminan
seperti bakteri, warna, rasa, bau dan Fe sehingga diperoleh air yang bersih
memenuhi standar kualitas air minum. Filter dibedakan menjadi dua macam yaitu
saringan pasir lambat dan saringan pasir cepat. Saringan pasir lambat
dikembangkan pada tahun 1829 oleh James Simpson pada perusahaan air minum
Inggris. Saringan pasir cepat dikembangkan di USA selama periode tahun 1900 –
1910. Saringan pasir cepat lebih banyak dimanfaatkan dalam sistem pengolahan
air minum. Filter juga dapat diklasifikasikan berdasarkan cara pengalirannya,
yaitu gravity filter dan pressure filter.
Air yang keluar dari penyaringan biasanya sudah jernih dan proses
tersebut merupakan proses akhir dari seluruh proses pengolahan dan penjernihan
air. Agar air yang jernih ini dapat sehat untuk dipakai sebagai air minum, harus
diproses lebih lanjut dengan proses netralisasi dan desinfeksi, agar seluruh
kuman-kuman penyakit yang terkandung di dalamnya dapat dimusnahkan dan
tidak dapat tumbuh kembali.
Pasir filter yang dipergunakan dalam filter harus bebas dari lumpur,
kapur dan unsur-unsur organik. Pasir harus keras, jika dimasukkan ke dalam asam
klorida selama 24 jam tidak akan kehilangan berat lebih dari 5%. Pasir yang
sangat halus akan lebih cepat mampat (clogging), tetapi jika terlalu besar maka
suspensi/partikel halus akan lolos. Oleh karena itu ukuran butir pasir filter harus
diseleksi terlebih dahulu.
Media penahan filter yang biasa digunakan terdiri dari lapisan pasir dan
kerikil. Media penahan ini berfungsi untuk menahan pasir dan menyebarkan aliran
filtrate ke dalam sistem drainase serta aliran air pencuci pasir. Kerikil yang
dipergunakan untuk media penahan filter harus bersih, keras, tahan lama dan
bulat-bulat. Secara berkala filter perlu dicuci untuk menghilangkan kotoran-
kotoran yang menyumbat pori-pori diantara media. Pencucian ini dapat dilakukan
dengan proses backwash, dimana air dialirkan dari bawah media ke arah atas, dan
memakan waktu 1 sampai 2 hari.
Filter saringan dapat dikelompokkan sesuai dengan tipe media yang
digunakan antara lain ialah sebagai berikut.
1. Single Media Filter (Saringan Satu Media), yaitu saringan yang
menggunakan satu media, biasanya pasir atau cruched anthracite coal.
2. Dual Media Filter (Saringan Dua Media), yaitu saringan yang
menggunakan dua media, biasanya pasir dan cruched anthracite coal.
3. Multi Media Filter (Banyak Media), yaitu saringan yang menggunakan
banyak media, biasanya pasir, cruched anthracite coal dan garnet.

Unit filtrasi yang direncanakan pada perencanaan ini ialah filter pasir
cepat dengan dual media filter yang beroperasi secara gravitasi. Media filter yang
digunakan yaitu pasir silika dan anthracite.

3.4.5 Desinfeksi
Desinfeksi adalah usaha untuk mematikan mikroorganisme yang masih
tersisa dalam proses, terutama ditujukan kepada yang patogen. Terdapat
bermacam-macam cara desinfeksi, yaitu kimia (larutan kaporit, gas chlor, gas
ozon) dan fisika (gelombang mikro dan ultraviolet). Untuk membunuh
mikroorganisme yang bersifat patogen terkandung di dalam air, misalnya adalah
mikroba Escherichia coli. Bahan desinfeksi tersebut desinfektan dan biasanya
desinfektan kimia berupa kaporit, bromin klorida, gas klor, gas iod, ozon dan
kalium permanganat. Desinfektan yang sering digunakan adalah kaporit, gas klor
dan sinar ultra.
Desinfeksi sering menggunakan klor sehingga desinfeksi dikenal juga
dengan khlorinasi. Senyawa klor dalam air akan bereaksi dengan senyawa organik
maupun anorganik tertentu membentuk senyawa baru. Beberapa bagian klor akan
tersisa yang disebut sisa klor. Pada mulanya sisa klor merupakan klor terikat,
selanjutnya jika dosis klor ditambah maka sisa klor terikat akan semakin besar,
dan pada suatu ketika tercapai kondisi “break point chlorination”. Penambahan
dosis klor setelah titik ini akan memberi sisa klor yang sebanding dengan
penambahan klor. Khlorinasi bertujuan untuk membunuh mikroba patogen dan
menyediakan klorin sisa untuk keamanan sampai ke konsumen. Desinfektan yang
digunakan dalam perencanaan ini adalah kaporit.
3.4.6 Reservoir
Reservoir distribusi merupakan bangunan penampungan air minum
sebelum dilakukan pendistribusian ke pelanggan/masyarakat, yang dapat
ditempatkan di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah.
Bangunan reservoir umumnya diletakkan di dekat jaringan distribusi pada
ketinggian yang cukup untuk mengalirkan air secara baik dan merata ke seluruh
daerah konsumen.

Anda mungkin juga menyukai