Anda di halaman 1dari 4

Harga DIRI

Harga diri adalah sebuah penilaian atau evaluasi diri yang dibuat oleh diri sendiri
atau sikap orang lain terhadap dirinya, baik itu merupakan penilaian bersifat negatif maupun
positif (Baron&Bryne , 2012). Seseorang yang memiliki harga diri tinggi berarti dia percaya
bahwa dirinya berguna, berharga, dan mencintai dirinya. Penilaian terhadap diri sendiri
dipengaruhi oleh pengalaman yang dimilikinya. Apabila individu sering mendapatkan sebuah
kesuksesan, maka dia akan mempunyai harga diri yang tinggi, dan begitupula sebaliknya, jika
terus mengalami kegagalan maka individu akan cenderung memiliki harga diri yang rendah
(Yusuf & Ropyanto, 2012).

Harga diri terdiri dari dua aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan diri.
Masing-masing aspek terdiri dari lima dimensi, yaitu dimensi sosial, akademik, keluarga, dan
emosional ( Rosenberg, dalam Rahmania & Yuniar 2012)

a. Dimensi akademik mengacu pada pendidikan yang dipunya.


b. Dimensi sosial mengacu pada hubungan yang terjalin dengan orang lain
c. Dimensi fisik mengacu pada pandangan individu terhadap kondisi fisik yang
dimilikinya
d. Dimensi emosional mengacu kepada seberapa dalam ia terlibat dalam emosi yang
dimilikinya
e. Dimensi keluarga mengacu pada seberapa besar perannya di sebuah keluarga

The Five Factor Model of Personality

The Five Factor Model of Personality merupakan sebuah pendekatan yang digunakan
untuk melihat kepribadian melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian
(Friedman & Schustack , dalam Alawiyah 2015). Ada lima dimensi kepribadian dalam teori
The Five Factor Model of Personality ke dalam 5 dimensi kepribadian. Lima dimensi
kepribadian tersebut terdiri dari ekstraversion, neuroticism, agreeableness, conscientiousness
dan openness

a) Extraversion
Extraversion merujuk kepada nilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal.
Individu yang memiliki extraversion tinggi adalah individu yang aktif, , optimis,
dan menyukai keramaian. Individu dengan ektraversion tinggi juga sangat mudah
bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya individu
dengan extraversion rendah bersikap murung, susah untuk berinteraksi, dan
cenderung pendiam (Ernawati, Gunawan and Deliviana, 2019).

b) Agreeableness
Individu dengan agreeableness tinggi memiliki kecenderungan menjadi pribadi
yang penyayang, kooperatif , suka membantu , dan mudah bergaul (Rothmann &
Coetzer, dalam Hastuti dkk, 2017). Individu yang memiliki agreeableness tinggi
cenderung menurun self esteem nya ketika mengalami konflik sehingga mereka
lebih mudah untuk mengalah dan menerima. Berbeda dengan individu yang
memiliki agreeableness rendah, mereka akan cenderung agresif ketika berhadapan
dengan konflik.
c) Neuroticism
Dimensi kepribadian merujuk kepada individu yang tempramental , mengasihani ,
diri sendiri mudah cemas, dan yang rentan terhadap tekanan psikologis. Individu
yang meiliki neurotiscism tinggi juga mudah khawatir, labil dan kesusahan dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Individu dengan neuroticism rendah juga
memiliki pandangan yang lebih positif terhadap hidup dibandingkan individu
dengan neuroticism tinggi ( Rosito, 2018)
d) Conscientiousness
Trait kepribadian conscientiousness memiliki hubungan dengan motivasi dalam
perilaku yang memiliki tujuan . Individu yang memiliki conscientiousness tinggi
biasanya cenderung memiliki ambisi, kompeten di bidangnya, ,pekerja keras, dan
sangat teroganisir. (Pervin, Cervone, & John, dalam Ernawati, Gunawan and
Deliviana, 2019). Individu dengan trait conscientiousness biasanya selalu berpikir
terlebih dahulu sebelum bertindak, dan jarang melakukan tindakan yang spontan
(Costa& McCrae, Hastuti et al, 2017)
e) Openness
Openness merujuk pada keterbukaan pada hal-hal yang baru.Orang yang memiliki
trait kepribadian ini suka mencari hal-hal baru, terbuka dan mencari berbagai
pengalaman, intelektual , dan imajinatif (Feist&Feist , dalam Wulandari &
Rehulina 2013). Individu dengan tipe ini juga memiliki karakteristik kreatif ,
inovatif dan biasanya memiliki prestasi akademik yang bagus ( Rosito, 2018)
2.3. Fear of Missing Out

Fear of Missing Out adalah kondisi munculnya ketakutan saat kebutuhan


psikologis seseorang untuk terhubung dengan orang lain tidak terpenuhi, yang
ditandai dengan munculnya kecemasan tentang apa yang akan ia lewatkan di media
sosial ketika ia tidak memiliki waktuyang cukup (Alwisol, dalam Adriansyah et al.,
2017). Sedangkan menurut Przybylski et al., ( 2013), fear of missing out adalah
ketakutan apabila tidak mengetahui pengalaman atau kegiatan orang lain. Individu
yang mengalami perasaan FoMO juga takut ketika teman atau orang disekitarnya
mengalami pengalaman yang lebih menyenangkan dibandingkan dirinya atau
mengalami pengalaman yang menyenangkan tanpa ada dirihnya (Christina et al,
2019)

Merujuk teori Self Determination Theory (SDT) dapat diketahui bahwa FoMO
disebabkan oleh tidak terpenuhnya akan 3 kebutuhan (Tresnawati, 2016) :

1. Keinginana untuk berkompetensi seperti untuk menunjukan kapasitas dirinya di


medosos, mencaari pengalaman atau wawasan yg dapat membuatnya menjadi lebih
kompeten
2. Keinginana untuk otonomi, contohnya keinginan untuk bertindak bebas sesuai dirinya
tanpa ada kontrol.
3. Keinginana untuk terhubung dgn orang lain seperti berinterkasi , mencari teman atau
relasi, dan masuk dalam kelompok tertentu

Jika 3 kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka individu akan cenderung menggunakan
media sosial lebih banyak sebab media sosial dapat memenuhi 3 kebutuhan tersebut.

Dapus ;

Tresnawati, F. R. (2016) ‘Hubungan Antara The Big Five Personality Traits Dengan
Fear Of Missing Out About Social Media Pada Mahasiswa’, Jurnal Ilmiah
Psikologi, 8(3), pp. 179–186.
Rosito, A. C. (2018) ‘Eksplorasi Tipe Kepribadian Big Five Personality Traits Dan
Pengaruhnya Terhadap Prestasi Akademik’, Jurnal Psikologi Pendidikan &
Konseling, 4(2), pp. 6–13. doi: 10.26858/jpkk.v4i1.3250.
Ernawati, R., Gunawan, R. and Deliviana, E. (2019) ‘Pengembangan Karakter Siswa
Sma Berdasarkan The Big Five Factor Of Personality Dalam Memberikan
Layanan Bimbingan Karir’, Jurnal Selaras. Kajian Bimbingan dan Konseling
Serta Psikologi Pendidikan, 2(2), pp. 17–28.

Christina, R., Yuniardi, M. S. and Prabowo, A. (2019) ‘Hubungan Tingkat


Neurotisme dengan Fear of Missing Out (FoMO) pada Remaja Pengguna
Aktif Media Sosial’, Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(2), pp. 105–117. doi:
10.23917/indigenous.v4i2.8024.
Yusuf, L. and Ropyanto, C. B. (2012) ‘Harga Diri pada Remaja Menengah Putri di
SMA Negri 15 Kota Semarang’, Journal Nursing Studies, 1(1), pp. 225–
230. Available at: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing.
Rahmania, P. N. and Yuniar, I. C. (2012) ‘Hubungan Antara Self-Esteem Dengan
Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder Pada Remaja Putri’, Jurnal
Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1(02), pp. 102–109.

Baron, Robert, A., & Byrne, D. (2012). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Hastuti, dkk. 2017. Pengaruh Kepribadian Big Five Personality Kepada


Penyimpangan Perilaku Di Tempat Kerja. Jurnal Ekonomi KIAT. 28 (1), pp .
19 – 29.

Wulandari, A & Rehulina, M. 2013. Hubungan antara Lima Faktor Kepribadian (The
Big Five Personality) dengan Makna Hidup pada Orang dengan Human
Immunodeficiency Virus. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental.
2(1), pp. 41 – 47.

Alawiyah, T. (2015) ‘Uji Validitas Konstruk Pada Instrumen Big Five Inventory
(BFI) Dengan Metode Confirmatory Factor Analysis (CFA)’, Jurnal
Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia (JP3I), 4(3).

Anda mungkin juga menyukai