Anda di halaman 1dari 3

Interpretasi Hasil dan Penjelasan F2 dan DE

Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji
disolusi berhubungan dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh
(Banakar,1992). Uji disolusi bertujuan untuk memprediksi korelasi bioavailabilitas in vivo
dari produk obat. Uji disolusi terbanding dapat digunakan untuk memastikan kualitas
dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah
izin pemasaran. BPOM memberikan ketentuan untuk uji disolusi terbanding yaitu dengan
melihat nilai f2 (faktor kemiripan) antara produk uji dengan produk pembanding
(BPOM, 2004). Similarity factor (f2) merupakan pengukuran tingkat kemiripan dari persentase
(%) disolusi antara dua profil disolusi.

Parameter untuk menentukan ekivalensi in vitro adalah kemiripan profil disolusi yang
ditentukan berdasarkan faktor kemiripan yaitu nilai f2. Profil disolusi antara produk uji dan
produk pembanding dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan (f2) yang dihitung
dengan persamaan berikut:

Keterangan :
Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk
pembanding (R = reference)
Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk uji
(T = test).
Nilai f2 sama dengan 50 atau lebih besar (50-100) menunjukkan kesamaan atau
ekivalensi kedua kurva yang berarti kemiripan profil disolusi kedua produk.
Hasil Perhitungan Nilai f2 pada praktikum kali ini yaitu sebesar 63,071 %. Hal ini
menunjukkan adanya kemiripan profil disolusi antara produk paten panadol dan produk
parasetamol generik karena masih memenuhi rentang syarat kemiripan produk menurut BPOM
yaitu 50-100. Suatu kurva profil disolusi dikatakan mirip jika nilai f2 mendekati 100, di mana
toleransi penerimaan berada pada rentang 50-100%. Sehingga tablet parasetamol generik dan
produk referen (panadol) memiliki profil disolusi yang hampir mirip (BPOM, 2004). Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai f2 seperti usia produk, pemilihan produk
inovator atau produk referen, perbedaan kelarutan karena ukuran partikel, efek matriks eksipien,
dan profil disintegrasinya.
Disolusi Efisiensi merupakan luas daerah di bawah kurva disolusi sarnpai batas waktu
tertentu. DE dinyatakan sebagai persentase terhadap luas segiempat yang digambarkan oleh
disolusi 100% pada batas waktu yang sama. Secara persamaan dapat dituliskan sebagai berikut :
ydt
DEt = x 100 %
y 100 t
Keterangan :
DEt : Disolusi Efisiensi pada saat t
ydt : Luas dibawah kurva daerah zat aktif pada saat t
y100t : Luas segi empat 100% zat aktif larut dalam medium untuk waktu t
Nilai DE menunjukkan perbandingan jumlah obat terlarut dibandingan dengan jumlah
kadar obat dalam tablet. Disolusi Efisiensi (DE) adalah perbandingan luas di bawah kurva
disolusi dengan luas persegi dalam seratus persen zat aktif larut dalam medium pada saat
tertentu. Parameter DE menggambarkan seluruh proses disolusi sampai pada waktu tertentu.
Dapat menggambarkan titik kurva uji disolusi, sehingga dapat digunakan untuk membandingkan
hasil uji disolusi antara banyak formula uji dengan data identik dengan data secara in vivo. Dasar
pertimbangannya adalah diasumsikan bahwa tingkat absorbsi obat yang terjadi secara in vivo
sebanding dengan konsentrasi obat yang terlarut dalam medium gastrik dan tingkat absorbsi obat
yang terjadi secara in vivo sebanding dengan waktu kontak larutan zat aktif dalam medium
gastro intestinal. Metode disolusi area bawah kurva digunakan dalam menghitung efsiensi
disolusi (DE) dan dihitung dalam waktu 30 menit. Efsiensi disolusi (DE) tertinggi merupakan
efsiensi terbaik dari zat aktif dari suatu tablet untuk lepas. Nilai DE digunakan untuk mengetahui
kemampuan disolusi parasetamol. DE yang dimiliki oleh Panadol yaitu sebesar 79,388%
sementara DE pada parasetamol generic yaitu sebesar 74,759%. Hasil praktikum kali ini
menunjukkan nilai DE parasetamol generik lebih rendah daripada DE obat referen Panadol. Hal
ini menunjukkan bioavailabilitas pada parasetamol generik lebih rendah dibandingkan obat
referen Panadol.
Penentuan parameter disolusi obat terlarut, dengan perhitungan jumlah parasetamol
terlarut pada waktu 30 menit (Q30). Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut. Standar USP
menyatakan bahwa kadar parasetamol terlarut tidak boleh kurang dari 80% terhadap kadar yang
tercantum pada label. Berdasarkan nilai Q30 yang diperoleh dari produk referen (Panadol) dan
parasetamol generik berturut –turut adalah 96,296% dan 93,258%. Hasil tersebut memenuhi
persyaratan nilai Q30. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV (1995) dalam waktu 30 menit
harus larut tidak kurang 80% dari jumlah yang tertera dalam etiket.
Jika terdapat perbedaan profil disolusi antar produk biasanya disebabkan karena
adanya perbedaan bahan tambahan yang digunakan, sumber bahan aktif yang berbeda,
formulasi, jumlah dan jenis eksipien yang dipakai dan proses produksi yang juga berbeda dari
masing-masing pabrik. Pengecualian terjadi pada produk –produk yang memiliki profil disolusi
yang sangat identik karena berasal dari pabrik yang sama, cuma berbeda namanya saja (Sari,
2013).

REFERENSI
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2004. Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta:
BPOM
Banakar, U.V. 1992. Pharmaceutical Dissolution Testing, Marcel Dekker Inc., New York,
192-194
Sari, Devia Permata., Sulaiman, T.N. Saifullah, Mafruhah, Okti Ratna. 2013. Comparative
Dissolution Test Of Generic Dan Branded Tablet Metformin Hidrochlorida Tablets. Jurusan
Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Majalah Farmasuetik, Vol. 9
No. 1

Anda mungkin juga menyukai