Anda di halaman 1dari 8

1.

TUJUAN
1.1 Untuk mengetahui perbedaan profil disolusi antara Obat Panadol yang menggunakan
dapar Fosfat dan Panadol yang menggunakan dapar Asetat
1.2 Untuk mengetahui perbedaan profil disolusi antara obat Panadol dengan obat
bermerek dagang yang mengandung Paracetamol lainnya menggunakan dapar Fosfat

2. PRINSIP
2.1 Berdasarkan nilai faktor similaritas dan nilai faktor perbedaan antara Panadol yang
menggunakan dapar Fosfat dan Panadol yang menggunakan dapar Asetat.
2.2 Berdasarkan nilai faktor similaritas dan nilai faktor perbedaan antara Panadol dengan
obat Paracetamol bermerek dagang lainnya menggunakan dapar Fosfat.

3. TEORI
3.1 Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat
ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan
suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut kedalam media pelarut
sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk
padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Siregar, 2010).
Uji disolusi merupakan suatu metode fisika yang penting sebagai parameter dalam
pengembangan mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan
dan pelarutan zat aktif dari sediaanya. Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas
secara in vitro, karena hasil uji disolusi berhubungan dengan ketersediaan hayati obat
dalam tubuh (Banakar,1992). Uji disolusi bertujuan untuk memprediksi korelasi
bioavailabilitas in vivo dari produk obat. Uji disolusi penting sebagai:
(1) petunjuk untuk pengembangan formulasi dan produk obat,
(2) kontrol kualitas selama proses produksi,
(3) memastikan kualitas bioekivalen in vitro antar batch dan,
(4) regulasi pemasaran produk obat (Allen dkk., 2005).
Uji disolusi terbanding dapat digunakan untuk memastikan kualitas dan sifat- sifat
produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin
pemasaran. BPOM memberikan ketentuan untuk uji disolusi terbanding yaitu dengan
melihat nilai f2 (faktor kemiripan) antara produk uji dengan produk pembanding (BPOM,
2004). Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif
yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan
besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi
makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, suppositoria), sediaan
sistem terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta)
mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudiaan diikuti absorbsi zat aktif ke
dalam sirkulasi sistemik sehingga menimbulkan respon klinis( Voigt,1995).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju disolusi zat aktif adalah :
a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif
Sifat-sifat fisikokimia zat aktif memiliki peranan dalam pengendalian disolusinya
dari bentuk sediaan. Kelarutan zat aktif dalam air diketahui sebagai salah satu dari
berbagai faktor yang menentukan laju disolusi. Faktor ini meliputi efek kelarutan obat.
Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi,
Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat. Selain itu, efek ukuran
partikel juga mempengaruhi. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas
permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusinya
meningkat pula.
b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
Faktor yang berkaitan dengan sediaan, meliputi:
1) Efek formulasi
Laju disolusi suatu bahan obat dapat diperngaruhi bila dicampur dengan
bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil
dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob dapat mengurangi
laju disolusi.
2) Efek faktor pembuatan sediaan
Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang
larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat
menambah hidrofilisitas baha aktif dan menambah laju disolusi.
c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan
Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan solid yang mempengaruhi proses
disolusi, meliputi metode granulasi atau prosedur pembuatan, ukuran granul, interaksi
zat aktif dan eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh penyimpanan pada laju
disolusi.
d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi
Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi dapat menyebabkan hasil disolusi
berubah-ubah dari uji ke uji pada semua teknik pengujian yang digunakan. Faktor ini
meliputi:
1) Tegangan permukaan medium disolusi
Tegangan permukaan memiliki pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan
obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat
meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan
kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang
sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.
2) Viskositas Medium
Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat.
3) pH medium Disolusi
Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan
dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi. Obat-obat asam lemah
disolusinya kecil didalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi
disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam
yang larut.
e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji
Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik disolusi
zat aktif. Faktor-faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media disolusi, pH,
lingkungan dan suhu sekeliling telah mempengaruhi daya guna disolusi suatu zat aktif.

Uji ekivalensi in vitro diperlukan untuk melihat adanya absorpsi yang tidak
diinginkan. Beberapa produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vitro (disolusi
terbanding), yaitu :
 Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo
 Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding dapat
diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil disolusi,
antara lain:
a. Tablet lepas cepat
b. Kapsul berisi butir-butir lepas lambat
c. Tablet lepas lambat
Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda hanya dalam jumlah
butir yang mengandung zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang
sangat poten (sampai 10 mg per satuan dosis) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai
mekanisme pelepasan obat yang sama, kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi
in vivo jika menunjukkan profil disolusi yang mirip, f 2 > 50 dalam 3 pH yang berbeda
(antara pH 1,2 dan 7,5) dengan metode uji yang direkomendasi.
Profil disolusi dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan (f 2) dan faktor
perbedaan (f1). Faktor f1 mengukur perbedaan persen antara dua kurva konsentrasi dan
faktor f2 menunjukkan kesamaan antara keduanya atas semua titik waktu. F1 adalah nol dan
f2 adalah 100 ketika tes dan referensi profil obat identik. F 1 meningkat dan f2 menurun
secara proporsional sebagai perbedaan yang meningkat. Dua profil disolusi diverifikasi
serupa jika f1 antara 0 dan 15 dan jika f2 antara 50 dan 100. F1 dan f2 dapat dihitung dengan
persamaan:
1
F2 = 50 log {[1 + ( ) ∑ ( Rt −Tt ) 2]-0,5 . 100
n
Keterangan : f2 = Kesebandingan profil disolusi
Rt = Persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari
produk pembanding
Tt = Persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari
produk uji (T = test)
n = Jumlah titik sample
Persyaratan : f2 = 50-100
Nilai f2 = 50 atau lebih besar (50-100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi kedua
kurva, yang berarti kemiripan profil disolusi kedua produk. Jika produk “copy” dan produk
pembanding memiliki disolusi yang sangat cepat (>85% melarut dalam waktu 15 menit
dalam ketiga media dengan metode uji yang dianjurkan), perbandingan profil disolusi tidak
diperlukan.
Parasetamol merupakan zat aktif pada obat yang banyak digunakan dan dimanfaatkan
sebagai analgetik dan antipiretik. Parasetamol dimetabolisme di hati dan dikeluarkan
melalui ginjal, Parasetamol tidak merangsang selaput lender lambung atau menimbulkan
pendarahan pada saluran cerna. Didugan mekanisme kerjanya adalah menghambat
pembentukan prostaglandin. Analisis Parasetamol dilakukan untuk memastikan bahwa
tablet Parasetamol sesuai dengan kriteria yang tertera pada Farmakope Indonesia dan
memastikan bahwa Parasetamol dapat memberikan efek farmakologi yang diharapkan pada
pasien. Kelarutannya dalam air baik jika dalam air mendidih dari dalam Natrium
hidroksida 1 N, dan mudah larut dalam etanol. Dalam profil disolusi Parasetamol, volume
media disolusi yang digunakan adalah 900 ml, dengan kecepatan 50 rpm selama 30 menit.

3.2 Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan salah satu metode analisis instrumental yang
menggunakan dasar interaksi energi dan materi. Spektrofotometri dapat dipakai untuk
menentukan konsentrasi suatu larutan melalui intensitas serapan pada panjang gelombang
tertentu. Panjang gelombang yang dipakai adalah panajang gelombang maksimum yang
memberikan absorbansi maksimum. Salah satu prinsip kerja spektrofotometri didasarkan
pada fenomena penyerapan sinar oleh spese kimia tertentu didaerah ultra violet dan sinar
tampak (visible). Pada spektrofotometer, yang penting untuk diperhatikan ialah perbedaan
antara spektrofotometer sinar tunggal dan spektrofotometer sinar ganda. Spektrofotometer
sinar tunggal biasanya dipakai untuk kawasan spectrum ultraungu dan cahaya yang terlihat.
Spektrofotometer sinar ganda dapat dipergunakan baik dalam kawasan ultraungu dan
cahaya yang terlihat maupun dalam kawasan inframerah.
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini memberikan
cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil. Selain itu, hasil yang
diperoleh cukup akurat, dimana angka yang terbaca langsung dicatat oleh detector dan
tercetak dalam bentuk angka digital ataupun grafik yang sudah diregresikan. Secara
sederhana instrument spektrofotometeri yang disebut spektrofotometer terdiri dari: Sumber
cahaya -monokromatis - sel sampel - detector - read out (Yahya,2013).
Gambar 3.3 Pembacaan Spektrofotometer (Yahya,2013)
Fungsi masing-masing bagian (Yahya,2013). :
1. Sumber sinar polikromatis berfungsi sebagai sumber sinar polikromatis dengan
berbagai macam rentang panjang gelombang.
2. Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu mengubah
cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatismenjadi cahaya
monokromatis.
3. Sel sampel berfungsi sebagai alat untuk meletakkan sampel.
4. Detektor berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan
mengubahnya menjadi arus listrik.
5. Read out merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya isyarat listrik
yang berasal dari detektor.

3.3 Monografi
3.3.1 Parasetamol
Rumus bangun :

Rumus molekul : C8H9NO2


Nama kimia : 4-hidroksiasetanilida [103-90-2]
Berat molekul : 151,16
Kandungan : Tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C 8H9NO2
dihitung terhadap zat anhidrat.
Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N;
mudah larutan dalam etanol.
Inkompatibilitas : Ikatan hidrogen pada mekanismenya pernah dilaporkan oleh
karena itu parasetamol dihubungkan dengan permukaan dari
nilon dan rayon(Ditjen POM, 1995)
3.3.2 Fosfat
Rumus bangun:

Rumus kimia : H3PO4


Nama lain : Asam fosfat, juga dikenal sebagai asam ortofosfat atau fosfat (V)
asam, adalah mineral (anorganik) asam
Pemerian : Cairan berwarna tak berbau
Titik didih : 117,878 0C
Titik lebur : 42, 385 0C (Ditjen POM, 1995).

3.3.3 Asetat
Rumus bangun:

Rumus kimia : CH3COOH


Kandungan : Tidak kurang dari 32,5 % dan tidak lebih dari 33,5 % C2H4O2
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, bau menusuk, rasa asam, tajam
Kelarutan : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P dan dengan
gliserol P (Ditjen POM, 1995).

Sumber :
Allen, L. V. Jr., Popovich, N. G., and Ansel, H.C., 2005, Ansel’s Pharmaceutical Dosage Form
and Drug Delivery System, Eight Edition, Lippincot Williams and Wilkins, Philadelphia,
154-162, 238-239.
Ansel, Howard C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. UI press. Jakarta.

Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Penerjemah Farida
Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
BPOM, 2004, Pedoman Uji Bioekivalensi, available at www. Pom.go.id/ publik/
hukum_perundangan/pdf/HK.0005.3.1 818.pdf, BPOM RI, Jakarta.
Siregar, C.J.P., danWikarsa, S., 2010, Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-Dasar Praktis,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Yahya, Sri Patundita. 2013.Jurnal Spektrofotometer UV-Vis. Diakses tanggal 29 September
2018.

Anda mungkin juga menyukai