SRIKANA: Kisah Pedagang Kaki Lima di Tengah Terpaan Isu Penggusuran
Jalan Srikana, jalan kecil di pinggiran kampus Universitas Arilangga, menjadi saksi bisu bagaimana para Pedagang Kaki Lima mengadu nasibnya disana.
Diceritakan oleh Bapak Nur Rachmad, seorang purnawirawan angkatan darat
pemilik warung “Emak” di dekat kampus B Unair. Bahwa dulunya, beliau sering mengantarkan nasi bungkus di warung-warung depan Kampus B. Namun karena ingin mengubah nasibnya, beliau mencoba untuk mulai berjualan di Jalan Srikana karena dulunya jalanan ini seip, belum ada yang berjualan disini. Pak Nur Rachmad akhirnya mendirikan warung disini sejak tahun 2012. Mendengar isu penggusuran, beliau sangat keberatan karena memang beliau hanya mengantungkan hidupnya dari hasil berjualan di warung ini. Beliau sangat menentang adanya penggusuran Pedagang Kaki Lima. Jika memang terpaksa lokasi ini digusur, pemerintah Kota Surabaya diminta untuk menyiapkan relokasi agar para pedagang kecil di jalanan ini tetap dapat melanjutkan berjualan. Sebab, jika tidak dilakukan relokasi oleh pemkot, para PKL akan terlantar dan tidak memiliki ruang untuk melanjutkan usaha, apalagi jika harus mencari lokasi baru yang tentunya akan sangat menyulitkan para pedagang. Pedagang lain di Jalan Srikana rupanya juga memiliki perspektif yang sama terhadap adanya isu penggusuran ini. Semua pedagang tentu akan merasa berat hati jika tempat usahanya digusur. Apalgi, hampir semua pedagang disini menjadikan warung PKL-nya sebagai sumber penghasilan utama. Yang artinya, mereka tidak memiliki ladang usaha lain apabila tempat ini nantinya digusur. Tanggapan yang sama dari para pedagang di Jalan Srikana, jika nantinya terpaksa tempat ini harus digusur, pemerintah kota Surabaya diminta untuk menyiapkan tempat relokasi yang layak bagi para PKL agar tetap bisa menyambung hidupnya. Sebagian besar warung-warung ini ramai dikunjungi oleh kalangan mahasiswa, hanya sedikit yang orang luar. Akan tetapi, dalam masa pandemi seperti ini, tentunya para mahasiswa tidak lagi ada kegiatan di kampus. Sehingga, warung menjadi sepi pengunjung yang akhirnya berdampak pada merosotnya pendapatan. Baik Pemerintah Kota Surabaya maupun pihak Unair, diharapkan bisa melihat situasi ini dengan sudut pandang yang lebih luas sebelum melakukan penggusuran terhadap para pedagang kecil di Jalan Srikana. Jika sebelumnya warung-warung ini laris dan selalu banyak pengunjung, tentu dibaliknya ada kebutuhan-kebutuhan lain yang terkadang penghasilan dari warung itu pun tidak mencukupi. Meski tidak membayar sewa tempat, para pedagang ini masih harus membayar listrik dan air untuk setiap bulannya, belum lagi kebutuhan keluarga. Dari perspektif mahasiswa sendiri, banyak yang lebih memilih warung-warung PKL sebagai tempat yang nyaman untuk sekedar ngobrol, ngopi, atau mengerjakan tugas, meski diluar sana banyak sekali tempat yang lebih nyaman dan terjamin kebersihannya. Para penyapu jalanan Srikana juga menjadikan warung ini sebagai tempat istirahat dan basecamp seusai melakukan pekerjaan. Jika tempat ini digusur, nampaknya akan sangat merugikan banyak pihak, baik dari pihak pedagang sendiri maupun siapa saja yang memanfaatkan tempat ini. Pesan dari Bapak Nur kepada seluruh PKL yang ada di Indonesia: Tetap semangat dan jangan gentar menghadapi penggusuran yang tiada hentinya. Berjualan merupakan pekerjaan halal, apalagi niat kita untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun secara kasat mata memang kita ini berlawanan dengan peraturan pemerintah. Kita harus kompak, berani berbicara dan jangan takut untuk menyuarakan ketidakadilan. Para pedangang kaki lima berharap agar dibalik penggusuran itu, pemerintah menyiapkan fasilitas berupa tempat yang bersih dan rapi sehingga layak ditempati. Mereka juga menumpukan harapan pada pundak mahasiswa agar turut menyuarakan hati para PKL. Karena tidak ada yang membela dan menaungi para PKL ini selain kita, mahasiswa.