Anda di halaman 1dari 8

Laporan Hasil Wawancara Tugas Kewirausahaan

Kiat-Kiat Berwirausaha

Disusun oleh:
Dieny Ahda Damanik
1708101010023

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan wawancara ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah
Kewirausahaan. Dalam tugas ini, mahasiswa ditugaskan untuk melakukan wawancara
kepada wirausahawan mengenai sepakterjangnya dalam membangun usaha, serta
kebiasaan-kebiasaan dan kiat-kiat yang ia lakukan dalam rangka mengembangkan
usahanya.

Dalam kesempatan kali ini, saya sendiri memilih untuk mewawancarai


seorang penjual sarapan yang memang biasa saya kunjungi.Yang mana wawancara
tersebut kami lakukan di tempat beliau berjualan dengan mengambil topik „Kiat-Kiat
Berwirausaha‟.

Dengan terlaksananya tugas wawancara ini, mahasiswa diharapkan menjadi


lebih memahami bagaimana proses terjadinya suatu usaha, serta menjadi
termositavasi untuk memulai usaha sendiri.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari wawancara ini adalah :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Kewirausahaan


2. Mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan seorang wirausahawan
3. Melatih keberanian dan kemampuan menggali informasi

C. Metode dan Teknik Penulisan

Metode yang digunakan dalam wawancara ini yaitu wawancara secara langsung.
Sedangkan teknik penulisan yang digunakan adalah naratif.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Topik Wawancara

Topik pembicaraan wawancara ini adalah „Kiat-Kiat Berwirausaha‟.

B. Tempat danWaktu Wawancara

Adapun kegiatan wawancara ini dilaksanakan pada :

Hari / Tanggal : Minggu, 24 Februari 2019


Pukul : 11:00 WIB s/d 12:00 WIB
Tempat : Aceh Old Tow Cafe, Darussalam

C. Profil Narasumber

Nama : Syamsul Rizal


Usia : 56 tahun
Alamat : Ulee Kareng, Banda Aceh
Pendidikan Terakhir : S1 Teknik Sipil, Universitas Abulyatama, Banda Aceh
Nama Istri : Eriyati
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Gol. IIIC di Dinas Pengairan Umum
Penjual Sarapan

D. Hasil Wawancara

Bagaimana kehidupan Bapak, atau apa yang Bapak kerjakan sebelum memulai
usaha sarapan?

“Sejak SMP, berarti sekitar tahun 70-an, saya sudah berjualan sayur dan
sembako di Ajun, Aceh Besar. Dari situ, saya sudah berhasil membeli motor Yamaha
RX King sendiri. Di kios itu, pembeli bisa membeli sepaket sayur yang sudah
langsung bisa dimasak untuk seporsi keluarga. Saya juga memberikan camilan seperti
permen atau kerupuk untuk anak-anak yang ikut ibunya belanja. Untuk pembeli yang
berutang, saya berikan catatan hutangnya agar jelas dan pembeli semakin percaya.
Nah, itulah yang menjadi daya tarik pembeli.

Tahun 1985, Saya mulai jadi pegawai di Dinas Pengairan, sehingga kios
tersebut dilanjutkan oleh kakak saya. Tapi setahun kemudian langsung bangkrut
karena beliau tidak bisa mengelolalnya. Enam tahun kemudian, tahun 1991, saya
menikah. Lalu di tahun 1994, saya lulus S1 Teknik Sipil di Universitas Abulyatama.

. Waktu masa DOM dan Konflik, saya yang sedang ditugaskan di Aceh Utara
ditangkap dan dipukuli hingga babak belur. Sejak itu, saya tidak lagi ditugaskan ke
lapangan atau daerah melainkan ditempatkan di Kanwil, Lueng Bata. Sampai pada
tahun 2004, saya memutuskan untuk jualan sarapan. Sekarang saya masih PNS,
golongan IIIC. Tapi karena umur saya sudah 57 tahun, tinggal 1 tahun lagi sebelum
pensiun, jadi saya hanya perlu datang untuk absen saja. Sehingga bisa fokus jualan
sarapan ini.”

Hal apa yang membuat Bapak terpikir untuk memulai usaha sarapan?

“Saya ini memiliki tiga anak. Yang pertama sudah bekerja. Yang kedua
sedang kuliah di Teknik Sipil, Universitas Gunadarma, semester enam. Dan yang
terakir masih sekolah di SMK Lhong Raya.

Jadi inspirasi awal saya menjual sarapan seharga Rp. 5000,- sudah bisa ambil
sepuasnya ini adalah karena saya sebagai orangtua, setelah melihat kehidupan di
daerah-daerah di Aceh, sadar bahwa tidak semua mahasiswa berasal dari kalangan
berada. Terlebih apabila orangtuanya memiliki tiga anak seperti saya. Maka saya
terpikir untuk membantu para mahasiswa supaya tetap bisa sarapan. Karena saya
sadar mahasiswa itu makannya terlalu hemat, sampai diusahakan cukup dua kali
sehari saja. Lalu kebetulan istri saya juga lumayan pandai masak, akhirnya saya
putuskan untuk menjual sarapan seharga Rp.5000,- ini.

Alhamdulillah, sekarang sudah lima belas tahun saya berjualan, mulai tahun
2004. Awalnya saya berjualan di dekat rumah di Ulee Kareng, lalu setelah tsunami
saya pindah ke Darussalam. Bisa dikatakan saya adalah penjual nasi lima ribu (ambil
sepuasnya) pertama di Darussalam. Sampai-sampai penjual sarapan lain yang rata-rata
menjual sarapan seharga Rp. 7000,- komplain ke saya, mereka meminta harga sarapan
yang saya jual dinaikkan saja, agar dagangan mereka tetap laku. Tapi saya sudah
kukuh menetapkan harga Rp. 5000,- karena dari awal niat saya berjualan ini bukan
hanya mencari untung, tapi juga membantu mahasiswa.”

Bagaimana rutinitas sehari-hari Bapak selama berjualan sarapan?

“Kami (saya dan istri) berjualan mulai pukul 07.00 hingga dagangannya habis,
yaitu rata-rata pukul 11.00. Lalu kami beres-beres seperti mencuci piring, dan
mengangkut barang kembali. Di sini alhamdulillah kami sudah ada mobil pribadi
untuk mengangkut barang-barang dari Ulee Kareng ke Darussalam. Setelah itu kami
istirahat, hingga di sore harinya setelah ashar, saya pergi belanja ke Pasar Lambaro.

Di sana, saya sudah berlangganan dengan beberapa pedagang sehingga saya


hanya cukup duduk menunggu bahan-bahan yang saya perlukan diangkut ke mobil
saya. Terkadang apabila saya tidak membawa cukup uang, pedagang di sana
mengizinkan saya untuk membayarnya keesokan hari. Lalu ternyata apabila bahan
yang saya butuhkan, mereka bersedia untuk mengantarnya.

Kemudian kami mempersiapkan bahan-bahan tersebut untuk dimasak, seperti


memotong sayuran, ayam, dan sebagainya hingga pukul 23.00 kami beristirahat.
Sebelum subuh, kami bangun dan mulai memasak. Di sini kami dibantu oleh dua
orang pekarja. Tetapi untuk berjualan, kami tidak mempekerjakan orang lain karena
dirasa belum butuh. Lagipula, mengingat harga jualan kami yang hanya Rp. 5000,-,
maka dibutuhkan efisiensi modal yang lebih.

Untuk jadwal jualan, kami buka setiap hari. Kecuali ketika kami sakit, hari
besar, maupun hal-hal mendesak lain. Sedangkan selama bulan puasa, kami libur
sebulan penuh.”

Bagaimana cara Bapak mengelola keuangan usaha sarapan ini?

“Jadi, dalam sehari rata-rata laku 400 porsi sarapan. Yang terdiri dari 200
porsi dibungkus dan 200 porsi makan di tempat. Jadi pendapatan kotor perhari kira-
kira Rp. 2.000.000,-. Setelah dikurangi modal dan biaya lainnya, maka keuntungan
bersihnya adala Rp. 700.000.

Untuk membuat 400 prosi tadi. Setiap harinya kami memerlukan dua sak beras
(ukuran 15 kg) untuk diolah menjadi nasi putih dan nasi uduk, dan ½ sak beras untuk
diolah menjadi lontong.

Di sini kami menggunakan beras yang berharga Rp. 165.000,-/sak. Lumayan


mahal memang. Tapi waktu dulu kami mencoba pakai beras murah, rasa nasinya tidak
enak dan lontongnya pun tidak padat. Jadi saya merasa tidak tega juga menjualnya ke
mahasiswa, apalagi saya membayangkan bagaiman kalau anak saya di saa makan nasi
seperti ini juga. Jadi ya sudah la, kami putuskan untuk tetap menggunakan beras yang
lumayan mahal tadi.

Sedangkan untuk gas, dalam tiga hari kami menghabiskan dua tabung gas 12
kg yang harganya Rp. 150.000,-/tabung. Jadi bisa dikatakan, biaya gas kami adala Rp.
100.000/hari.

Di Bulan Januari, atau ketika mahasiswa sedang libur, tentunya banyak porsi
sarapan yang terjual tidak sebanyak sekarang ini. Tapi hal itu bisa kami akali agar
dagangannya tetap habis yaitu dengan mengurangi bahan-bahan yang akan diolah
juga. Seperti beras yang biasanya dua sak menjadi satu sak saja, dan ayam yang
biasanya tujuh ekor menjadi empat ekor.”

Bagaimana pengaruh kenaikan harga terhadap omzet usaha sarapan Bapak?

“Jelas keuntungannya jadi lebih sedikit ya. Apalagi saya sejak dulu tidak
pernah menaikkan harga jual, tetap Rp. 5000,-, itu terasa sekali perbedaan keuntungan
bersihnya.
Tapi sejauh ini saya belum ada rencana untuk menaikkan harga jual, sih.
Karena seperti yang tadi saya bilang, dari awal niat saya berjualan ini bukan hanya
mencari untung, tapi juga membantu mahasiswa. Lagipula terlalu banyak uang nanti
kacau juga.”

Apa suka dan duka yang Bapak alami selama berjualan sarapan?

“Yang saya sedihkan itu, kalau ada mahasiswa yang tidak jujur. Seperti
misalnya, di sini kan mereka memang saya bebaskan mengambil nasinya sendiri
dengan ketentuan lauknya tetap satu, kalau mereka mengambil lauknya lebih dari
satu, ditambah Rp. 1000,-. Nah di situ banyak yang tidak jujur, mengambil dua lauk
tapi tetap membayar Rp. 5000,-. Lalu ada juga yang mengambil nasinya terlalu
banyak, tapi tidak dihabiskan. Padahal sisa nasinya itu, kalau ditambah sedikit lagi
bisa jadi satu porsi lagi. Jadi yang harusnya bisa laku dua porsi hanya jadi satu porsi.

Di situ saya merasa miris sekali. Tapi saya diam saja. Karena dalam berjualan
itu kita tidak boleh marah. Karena di sini posisi kita adalah pelayan, jadi harus
melayani. Harus kita kedepankan itu suasana adem.

Paling kalau sudah terlalu sering, hanya saya tegur „dek, tolong pengertiannya
ya‟, begitu. Karena saya pun terkadang sering menambahkan lauk ke piring mereka
secara cuma-cuma. Jadi ya, saya harap mereka pun jujur lah terhadap apa yang
mereka ambil. Karena kan di sini saya bukan hanya semata-mata cari uang. Tapi
juga bagaimana kita bisa hidup bersama. Kalo hanya untuk uang, saya jual saja ini
seharga Rp. 7000,- lalu mereka tidak saya bolehkan mengambil sendiri. Tapi kan
tidak begitu, saya persilakan mereka mengambil sarapannya sendiri supaya mereka
lebih merasa seperti di rumah.

Kalau senangnya, berjualan tapi tidak hanya mengharapkan uangnya saja itu
memang membahagiakan. Lihat mahasiswa makannya lahap juga saya bahagia.
Karena saya yakin kalau saya menolong mahasiswa-mahasiswa di sini, insya Allah
anak saya di sana akan ada yang menolong juga. Akan bahagia juga.”

Menilik kesibukan Bapak sehari-hari, bagaimana Bapak menyempatkan diri


untuk duduk di warung kopi?

“Bagi saya, tidak ada itu istilah budaya duduk di warung kopi. Karena saya
merasa itu tidak baik. Masa saya duduk-duduk di warung kopi, sambil makan mie,
sementara anak-anak dan istri saya tidak makan apa-apa? Kan seperti itu tidk fair.
Kalau mau, ya sekalian pergi sekeluarga ke rumah makan, kita makan sama-sama.

Mungkin sesekali, saya juga minum kopi. Tapi saya memilih dibuatkan istri
saya, lalu minum di rumah sambil ngobrol bersama keluarga. Sepertinya begitu lebih
asyik, kan?”
Apakah ada pesan yang ingin Bapak sampaikan untuk para calon
wirausahawan?

Jadi untuk usaha itu, awalnya kita harus yakin dan cinta terhadap pekerjaan
kita. Puaskan pelanggan kita, totalitas. Semboyannya, “jangan kamu mencari uang.
Carilah pekerjaan, pasti uangnya akan menyusul. Tapi kalau kamu mencari uang,
pekerjaannya tidak akan menyusul.”

“Contohnya bengkel las ketok. Kalau kita memberi servis bagus yang ke
pelanggan; pekerjaan kita rapi, cepat, memuaskan, apalagi biayanya murah; kemudian
selagi kita mengejakan mobilnya, kita belikan dia kopi; dan sebagainya yang bisa
membuat pelanggan itu merasa puas. Pasti dia akan menceritakan ke teman-temannya,
yang secara tidak langsung dia telah membantu mempromosikan bengkel kita ini.
Istilahnya „promosi dari mulut ke mulut‟.

Nah, sekarang coba bayangkan kalau servis dan pekerjaan kita tidak bagus.
Istilahnya, kita hanya mementingkan uangnya saja. Pasti dia juga akan menjelek-
jelekkan bengkel kita ke teman-temannya. Sehingga teman-temannya tidak akan ke
bengkel kita.

Maka kalau pelayanan kita bagus, dari satu orang itu bisa menarik 20 orang
lainnya. Tapi kalu tidak, mungkin bisa 80 orang yang jadi enggan ke kita. Jadi, yah..
begitu juga dengan usaha lain. Jadi semboyannya ya seperti yang saya bilang tadi.
Jangan cari uang, semua bukan semata-mata uang.”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari wawacara yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan yaitu:

1. Tidak ada usaha yang serba instan. Semua arus diawali dengan kerja keras, hingga
pada waktunya kita dapat menuai keberhasilan atas apa yang telah kita
perjuangkan.
2. Dalam sebuah usaha, utamakan kepuasan dan pelayanan untuk pelanggan.
Sehingga hal tersebut menjadi daya tarik pembeli. Sebab tidak masalah
keuntungan per-item sedikit asalkan pembelinya banyak.
3. Dalam berbisnis, baiknya tujuan kita bukan semata-mata mencari keuntungan.
Melainkan juga untuk membantu sesama dan bekerja dengan ikhlas. Kalau sudah
seperti itu, maka uanglah yang nantinya akan mendatangi kita.

B. Saran

Adapun saran untuk hasil wawancara di atas yaitu :

1. Untuk Bapak Syamsul Rizal, ada baiknya mulai dipikirkan renca untuk membuka
cabang.
2. Untuk generasi muda, sudah selayaknya kita tidak meremehkan pekerjaan-
pekerjaan kecil di sekitar kita dan mulai memetik ilmu dari mereka. Yang ternyata
apabila dikerjakan dengan hati yang ikhlas, akan mendatangkan keuntungan yang
besar juga.

Anda mungkin juga menyukai