Anda di halaman 1dari 7

Steven Johnsons Tjan, CEO Boga Group Jatim

PEMIMPIN SUKSES ADALAH PEMIMPIN YANG MELAYANI

Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang bisa melayani. Untuk bisa melayani, seorang
pemimpin harus punya empati yang tinggi. Empati hanya bisa terbentuk jika ia telah melalui
berbagai proses dan tahapan dari bawah. Ia tidak mendapatkan segalanya secara instan atau
lewat jalan pintas.

“Pemimpin harus punya jiwa melayani. Bila tidak suka melayani, Anda tidak akan pernah
sukses sebagai seorang pemimpin. Pemimpin harus tahu dan mempelajari cara kerja di
bawah, baru ia bisa membentuk tim yang andal dengan pondasi kuat untuk hasil kerja
terbaik,” kata Steven Johnsons Tjan kepada wartawan Investor Daily Amrozi Amenan di
Surabaya, baru-baru ini.

Chief Executive Officer (CEO) Boga Group Jatim ini menganalogikan pemimpin yang tidak
pernah memulai dari bawah sebagai seorang pelari cepat (sprint) yang tidak bisa
menyelesaikan lintasan akibat kehabisan napas dan tenaga karena tak punya daya tahan
(endurance).

Sebaliknya, pemimpin yang memulai dari bawah tak ubahnya pelari yang sanggup berlari
bermil-mil di segala lintasan karena ia punya daya tahan yang prima dan telah teruji.
“Pemimpin yang tidak pernah memulai dari bawah seperti pelari cepat yang tidak bisa
menyelesaikan jarak 100 atau 500 meter di satu lintasan,” tutur pria kelahiran Medan, 31
Januari 1981 itu.

Pada usianya yang baru menginjak 39 tahun, Steven adalah entrepreneur yang sudah cukup
makan asam garam. Kini, perusahaannya memiliki 58 gerai yang tersebar di Surabaya, Bali,
Semarang, Jakarta, dan Medan, dengan jumlah karyawan sekitar 1.200 orang. Setelah
berinteraksi dengan bawahan selama hampir 14 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara itu
menemukan berbagai karakter karyawan dengan level yang berbeda.

Ia meyakini sebuah perusahaan akan maju bila dalam satu tim kerja terdapat sedikitnya tiga
dari lima hal (5C), yaitu character (karakter), chemistry (kesesuaian secara kimiawi),
competence (kompetensi), contribution (kontribusi), dan compensation (kompensasi).

Bisa Anda ceritakan masa kecil Anda?


Saya besar dari keluarga yang kurang berada. Untuk membantu orang tua, saya berjualan es
ganefo yang dikenyot dan mengajar anak TK dan SD untuk pelajaran Bahasa Inggris dan
Matematika selepas jam sekolah.

Rutinitas itu saya lakukan sampai bersekolah SMP Ipeka Pluit, Jakarta. Bangun pagi, saya
membantu mama membuat lumpia dan popcorn, lalu saya bawa ke sekolah, saya jual ke
teman-teman sekelas. Saya juga aktif di organisasi sekolah sebagai ketua komisi remaja.
Saya memang sangat senang beraktivitas dan berorganisasi.

Sampai memasuki bangku SMA Ipeka Puri, di samping tol Kebon Jeruk, Jakarta, saya tetap
berjualan lumpia dan aktif di organisasi siswa sekolah. Tapi mama sekarang bahagia karena
anak-anak sudah jadi semua. Perjuangan papa dan mama semua menghasilkan kesuksesan
kami hingga hari ini.

Ketika hendak lulus SMA, pada pertengahan 1998 terbesit keinginan saya untuk sekolah ke
luar negeri. Saya ingin bisa berbahasa Inggris dengan bagus. Saya lulus SMA pada 1999.
Awalnya, saya ingin sekolah di Jerman karena biayanya murah, asalkan bisa bekerja.

Saya pun ambil kelas Bahasa Jerman dan Bahasa Jepang masing-masing selama tiga bulan.
Tapi dua-duanya gagal karena saya nggak kuat. Saya nggak begitu bisa belajar bahasa secara
rutin, bisanya otodidak.

Akhirnya saya pilih ke Australia. Sebelum ke Australia, saya ambil twinning program di
Malaysia selama setahun pada Juli 1999. Maunya sih dua tahun di Malaysia, satu tahun di
Australia. Tapi yang terjadi, satu tahun di Malaysia dan dua tahun di Australia.

Waktu berangkat ke Malaysia, papah cuma mengasih biaya tiket, biaya hidup awal, dan
biaya sekolah. Untuk biaya lain-lain selama hidup di Malaysia, papah nggak sanggup
membiayai. Jadi, saya harus cari sendiri. Saya pun berinisiatif memasak untuk teman-teman
kost. Saya juga bekerja di Internet Café, Photocopy Machine Operator, dan sebagai casual
staff di Holiday Inn Subang Jaya, Kuala Lumpur.

Di Malaysia, saya kuliah di Taylor’s Collage, Subang Jaya, Kuala Lumpur. Dari sana, saya
kemudian transfer ke University of Technology Sydney, Australia, ambil jurusan
information technology (IT) dan finance pada Januari 2000.
Di Austalia, papah juga hanya kasih uang sekolah, karena biaya hidupnya mahal. Biaya
apartemen harus saya penuhi sendiri. Akhirnya saya bekerja di coffee shop, Cookie Man, di
Matraville. Saya menjadi barista dan cookie machine operator.

Setelah itu, saya bekerja di supermarket Woolworths Town Hall. Untuk masuk ke
supermarket delapan tingkat itu susahnya setengah mati, tapi saya bisa. Saya jadi kasir
dengan gaji Aus$ 12 per jam di siang hari dan Aus$ 25 per jam di malam hari sebagai pengisi
stok (night filler).

Waktu saya memang lebih banyak di pekerjaaan, sehingga nilai sekolah saya tidak begitu
bagus, tapi nggak jelek-jelak amat. Saya ingat, 68% nilai kelulusan saya. Soalnya, saya sudah
terbiasa part-time sejak SD, berjualan lumpia, mengajar anak TK dan SD. Ilmu itu kan bukan
dari buku saja, pengalaman kerja di bawah itu penting sekali.

Saat kuliah di Australia, harusnya saya lulus tiga tahun, tapi saya kelarin dalam 2,5 tahun.
Karena orang tua sudah nggak sanggup lagi membiayai saya, saya tulis surat ke sekolah
untuk bisa ambil tujuh subject (mata pelajaran) dari harusnya hanya empat subject. Winter
course dengan summer course saya babat semua. Setelah itu, tepatnya pada Agustus 2002,
saya balik ke Indonesia.

Yang Anda lakukan sepulang dari Australia?


Saya bekerja di Toko Roti Eaton dari Taiwan di Jakarta sebagai operations manager, yang
handle lima toko di Jakarta. Tapi hanya bertahan tiga bulan karena ongkos nggak sebanding
dengan gaji.

Setelah keluar, pindah ke Sushi Tei pada Juli 2003 sebagai supervisor dengan gaji Rp 2,5
juta. Di situ, saya mengalami perubahan yang baik, kenaikan gaji lima kali dalam setahun
saya capai, karena saya suka kerja dan benar-benar kerja, nggak mau libur. Mungkin bos
saya senang, akhirnya dalam setahun saya diangkat menjadi general manager di Sushi Tei.
Saya pun dipercaya mengurus pembukaan Sushi Tei di Medan, Bali, Bandung, dan tiga di
Jakarta.

Saat bergabung dengan Sushi Tei, pada pagi hari saya juga bekerja sebagai sales kain.
Sekitar jam 07.00 saya datang ke rumah-rumah Pak Haji yang waktu itu memang banyak di
Jakarta berbisnis kain. Saya berjualan kain sampai jam 10.00, setelah itu berjualan oli, dan
baru jam 15.00 masuk kerja di Sushi Tei.
Saat papah meninggal pada Agustus 2005, saya diminta oleh bos Sushi Tei untuk pindah ke
Surabaya dan menjadi mitra bisnisnya dalam membuka gerai Bakerzin dan Sushi Tei di
Surabaya pada 2006 dengan modal awal usaha yang dipinjaminya. Setelah ada keuntungan,
saya kembalikan.

Sejak itu, saya buka gerai satu per satu di Surabaya. Pada Maret 2006, saya buka Bakerzin
di Tunjungan Plaza (TP) 4, lalu pada November 2006 buka Sushi Tei pertama di Galaxy
Mall, dan pada Maret 2007 buka lagi Sushi Tei di TP.

Perkembangan sangat cepat di awal, setelah itu saya setop dua tahun untuk mempelajari
pasar dan mencari sales. Pasar waktu itu masih low banget. Surabaya memang sudah menjadi
kota kedua setelah Jakarta, tetapi market-nya nggak mudah, pasarnya sangat perhitungan.
Saya melihat dessert dan masakan Jepang belum banyak, sehingga pesaing juga nggak
banyak. Tapi dengan kualitas yang saya bawa, harga harus diturunkan, sehingga marginnya
tipis.

Namun, lambat laun saya memahami pasarnya, yang sebenarnya simple. Mereka mau makan
enak, harga terjangkau, dan bisa kongko. Karena itu, saya bikin paket yang bisa tembus
pasar, yakni paket lunch Rp 50 ribu. Itu langsung boom. Harga segitu sudah ada di pasar,
tapi kualitas di atas kompetitor.

Setelah itu, satu per satu gerai kuliner dengan berbagai brand terus saya kembangkan. Hingga
saat ini sudah ada 58 gerai kuliner lewat dua bendera, yakni Boga Group Jatim, Sushi Tei
Group, dan Koba Group. Semua tersebar di Surabaya, Jakarta, Semarang, Medan, dan Bali,
dengan jumlah tenaga kerja sekitar 1.200 orang.

Boga Group Jatim membawahkan sembilan brands, di antaranya Bakerzin, Shaburi (Kintan
Buffet), Paradise Dynasty, Onokabe, Kimukatsu, Pasarame, Fish & Co, Marutama Ramen,
dan Ojju. Sedangkan brand di bawah Sushi Tei Group Jatim ada dua, yakni Sushi Tei dan
Sushi Kiosk.

Terus terang saya memulai bisnis ini dari brand license. Sebab, saya ingin belajar sistemnya.
Saya benar-benar punya brand sendiri baru pada 2015.

Mengapa Anda tertarik menggeluti bisnis kuliner?


Sejak kecil, saya terbiasa melayani. Di bisnis makanan, saya bisa menerapkan itu. Maka saya
butuh banyak karyawan seperti ini. Di situ, saya juga bisa mengajari mereka dan belajar
menjadi pemimpin yang bagus. Kalau mau menjadi pemimpin yang bagus, saya harus bisa
melayani di bawah. Mungkin satu kata yang cocok adalah serventhood leadership.

Gaya kepemimpinan Anda untuk memajukan perusahaan?


Saya merasa seneng banget saat bisa mendidik orang dari bawah sampai menjadi manajer.
Itu juga memang menjadi passion saya. General manager (GM) saya atau manajer di
perusahaan ini, semua dari bawah. Mungkin hanya satu dua yang saya hire dari luar.
Sekarang kami sudah membawahkan hampir 1.200 karyawan. Semua atasannya saya didik
dari bawah. Di Jakarta, saya juga invest di Koba Group, di sana ada 300 karyawan. Ada
leader yang saya didik dari bawah di restoran Korea, Koba BBQ.

Apa yang saya lakukan adalah contoh bagi mereka. Saya katakan kepada karyawan bahwa
ini sudah saya kasih contoh, kalau kamu tidak bisa juga, sorry, kamu nggak bisa join.
Makanya saya suka brand Jepang, karena Jepang punya motto kerja disiplin. Kedisiplinan
inilah yang kita butuhkan di Indonesia untuk maju.

Pemimpin yang memulai dari bawah seperti pelari yang sanggup berlari bermil-mil di segala
lintasan. Pemimpin yang tidak pernah memulai dari bawah seperti pelari cepat yang tidak
bisa menyelesaikan jarak 100 atau 500 meter di satu lintasan.

Bagaimana Anda mengelola karyawan yang karakternya berbeda-beda?


Setelah 14 tahun di Surabaya, saya mengidentifikasi ada lima tipe karyawan, yaitu character,
chemistry, competence, contribution, dan compensation.

Pada level compensation, mereka kerja hanya karena gaji. Sedangkan di level contribution,
karyawan bekerja mencari nafkah dan sudah bisa memberikan kontrobusi skillful lebih ke
perusahaan. Lalu, level competence adalah saat mereka sudah bisa memberikan yang terbaik,
mereka mulai bisa menjadi role model di antara karyawan lain. Mereka juga mulai sedikit
saya percaya untuk memegang uang. Mereka sudah bisa memegang jabatan kecil, seperti
senior waiter, storekeeper, dan cook 2 di dapur.

Setelah diajari, mereka masuk ke level keempat, yaitu chemistry. Di level ini, mereka sudah
bisa mendapatkan hubungan yang cocok dengan saya. Saya ngomong A, mereka sudah
mikirin C dan D. Ketika sudah mengerti saya, mereka juga mengerti bisnis saya. Mereka
sudah bisa memimpin bawahan, otomatis mereka sudah membentuk competence. Mereka
akan masuk ke level yang saya lebih percaya lagi sebagai GM sekarang, yakni character.
Memang tidak semua karyawan dalam satu tim bisa memiliki lima level itu. Saya hanya
menjanjikan, kalau semua karyawan berada di level compensation, kamu akan menjadi
tukang cuci piring selamanya. Tapi ada juga cleaning service di level compensation yang
saya latih, akhirnya naik ke level chemistry. Itu manajer saya di food court Pasarame sejak
2016.

Perusahaan tidak akan tumbuh tanpa teamwork. Makanya saya menganut prinsip Itworks,
yaitu integrity, trust, work as team, openness, respect, keep learning, dan smile. Dalam satu
tim harus ada satu yang jadi pemimpin, yang bisa jadi kaki tangan saya, sisanya pasti ada
competence, compensation, dan percampuran lainnya.

Nilai-nilai hidup yang diajarkan orang tua Anda?


Papah meninggal saat saya belum benar-benar berhasil. Pembentukan karakter lebih ke
mama. Menurut mama, saya jangan bergantung kepada orang lain, kerja aja. Sebab, sejak
kecil, saya lebih banyak membantu mama, sedangkan papah lebih kerja sendiri.

Tapi saya selalu ingat apa yang beliau ajarkan. Pertama, takutlah kepada Tuhan. Kedua,
jangan sampai menipu duit orang. Selain itu, jangan pernah dihina orang dan harus kerja
keras karena yang membahagiakan adalah hasil keringat sendiri, bukan pemberian.

Cara Anda bangkit dari kegagalan?


Oh, ya. Sambil bekerja sepulang dari Australia, saya sempat membuka restoran bubur
Porridge King untuk mendapatkan uang tambahan. Tapi usaha itu hanya bertahan setahun
karena kerja sama dan pembelajaran pasar tidak pas.

Selama 14 tahun menjalankan bisnis di Surabaya, kegagalan ada. Pertama, pada 2006 saat
Paradise Inn di TP tutup, karena saya memasukkan makanan nonhalal, padahal konsumen
mayoritas muslim. Saya mencoba market baru, usaha melawan market memang nggak
mudah. Kedua, pada 2010, saat Eat & Eat Food Court di Jl Basuki Rahmat tutup dan Eat &
Eat Bali dijual.

Tahun lalu, saya juga menghadapi keadaan ekonomi yang sulit. Persaingan pasar yang ketat
karena banyak fintech companies yang ‘bakar uang’ untuk mendapatkan shortcut ke market
leader.
Saya menjadikan kegagalan itu sebagai pembelajaran tanpa henti. Sejak kecil, saya sudah
diajari orang tua saya agar tidak menyerah dan terus bekerja keras. Itu menjadi modal saya
untuk terus bangkit dari kejatuhan.

Obsesi Anda ke depan?


Setelah 14 tahun berkiprah, saya ingin terus bekerja dan berkarya, membentuk hal yang lebih
baik untuk masyarakat. Saya menekankan pelatihan kepada anak buah. Kalau anak buah
sukses, kita pasti sukses. Saya yakin bisnis kuliner ini akan terus berkembang. Apalagi para
mitra bisnis saya terus memberikan support dengan memberikan kemudahan. Tahun ini, saya
akan membuka delapan gerai lagi di East Coast Mall Pakuwon City. ***

Read more at: http://brt.st/6swx

Berdasarkan pemaparan kisah sukses CEO Boga Group Jatim di atas, jawablah pertanyaan-
pertanyaan berikut ini.
1. Berikan gambaran mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kesuksesan CEO tersebut.
2. Berikan gambaran mengenai faktor-faktor penyebab kegalalan dari CEO tersebut.
3. Pelajaran apa yang dapat diambil dari CEO tersebut?

Anda mungkin juga menyukai