Anda di halaman 1dari 11

Biografi Bahlil Lahadalia – dari Sopir

Angkot menjadi Pengusaha Sukses

FacebookTwitterLinkedInWhatsApp
Berasal dari keluarga miskin tak serta-merta membuat Bahlil Lahadalia menyerah
terhadap hidup. Bahlil yang benar-benar mengawali karir dari titik nol kini telah menjadi
seorang pengusaha sukses.

Pria asal Fakfak Papua ini, pernah menjalani berbagai profesi untuk bertahan hidup
sebelum menjadi sukses seperti sekarang. Mulai dari tukang kue semasa kecil, seorang
kondektur, hinga menjadi sopir angkot pun dia jalani.

Dengan kerja keras yang dijalani semasa hidupnya, pria kelahiran 1976 ini kemudian
bisa sukses hingga menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
(HIPMI), yang selama ini dianggap jadi ‘perkumpulan’ anak-anak pengusaha dan
pejabat.

Ada banyak cerita menarik yang pernah dijalani Bahlil sebelum menjadi sukses seperti
sekarang. Bahkan karena saking miskinnya, Bahlil pun pernah juga merasakan sakit
busung lapar.

Berikut wawancara bahlil dengan detik.com :


Bisa Anda ceritakan bagaimana awal mula jadi pebisnis?

Kalau ditanya awal mula jadi pengusaha itu, mungkin saya itu dari kecil ya, dari kecil
sejak SD saya itu memang sudah jualan kue ya. Itu terjadi bukan karena ingin, saya
juga dulu nggak ingin jadi pengusaha. Tapi karena itu keterpaksaan. Karena memang
keluarga saya itu, mamah saya itu kan laundry di rumah orang, pembantu rumah
tangga. Bapak saya itu buruh bangunan, gajinya Rp 7.500/hari.

Jadi kami 8 orang (keluarga) kan, (awalnya) 9, terus satu meninggal, saya anak kedua.
Jadi memang sejak SD itu kalau saya mau sekolah, harus cari duit. Jadi saya menjual
kue, menjaja kue dari apa yang mamah saya buat, itu adalah bentuk keharusan, yang
saya harus lakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi hidup. Kalau nggak,
saya nggak bisa bantu mamah saya, adik-adik saya banyak.

Dan dari situ lah kemudian saya bisa beli buku, bisa beli sepatu, bisa beli kelereng. Itu
berlanjut terus sampai dengan SMP, saya SMP pun, karena memang kondisi orang tua
yang susah, akhirnya saya pernah jadi kondektur angkot. Jadi jualan ikan di pasar, itu
pernah. Terus pernah jadi helper excavator dari kontraktor, itu pernah. Tinggal di hutan
pada saat musim libur sekolah. Saya SMP kelas 3, saya di SMEA, itu jadi sopir angkot.

Itu saat Anda masih di Papua?

Masih di Papua. Jadi bagi saya, sekolah sambil cari duit itu adalah sebuah keharusan,
keterpaksaan dalam rangka melanjutkan hidup, melanjutkan sekolah, dan sekaligus
membantu orang tua saya.

Saya kuliah pun begitu, jadi saya waktu berangkat kuliah itu orang tua nggak pernah
tahu, bahwa saya itu kuliah. Karena saya itu hanya berangkat dan bawa ijazah, baju
saya cuma tiga, kemudian modal saya cuma SIM, dan kantong kresek, saya naik
Perintis, dari Fakfak ke Jayapura. Itu dua minggu baru tiba ke Jayapura, naik Perintis
kan. Campur dengan kambing-kambing di situ, apa namanya, kayu, keladi, sudah
campur, Kapal Perintis itu.

Jadi memang, waktu itu berangkat karena melihat teman-teman seangkatan saya pergi
kuliah, dan saya tidak tahu harus kemana masa hidup di terminal terus, (maka)
mencoba lah berangkat ke Jayapura.

Orang tua tahu Anda pergi ke Jayapura?

Orang tahu kalau saya berangkat ke Jayapura, tapi tidak tahu saya berangkat kuliah,
kan ‘kamu dapat duit dari mana’. Saya berangkat kuliah itu kan, saya cuma bawa ijazah
saya saja, saya berangkat ke Jayapura, sama almarhum ayah saya. Ngapain kamu di
Jayapura? ‘udalah cari nasib saja’. Berangkat saya.

Lantas apa yang dilakukan waktu di Jayapura?


Waktu saya berangkat kuliah di Jayapura, itu saya tinggal di asrama. Waktu itu tidak
ada lagi kampus yang menerima saya, tapi saat saya tinggal di asrama itu, kan asrama
mahasiswa, ketua asrama saya dulu itu sekarang jadi Wakil Gubernur Papua Barat.

Jadi pada saat berangkat, saya tinggal di asrama karena nggak punya keluarga, karena
di situ semua kuliah, jadi bingung saya. Terus wakil gubernur itu bilang sama saya, ‘kau
harus kuliah’ saya udah mau kuliah, tapi bagaimana nggak punya duit. ‘Sudah kuliah
saja, ayo kita daftar’. (Lalu) saya daftar di swasta.

Jadi pagi-pagi saya daftar, jam 5 subuh, asrama kami itu dekat dengan pasar, jadi saya
tukang dorong gerobak. Jadi, kan dari pasar ke tengah jalan, ke pasar itu kurang lebih
70-100 meter, mau tidak mau orang belanja kan harus tenteng tuh belajaannya sampai
di pinggir jalan besar sampai dia naik angkot. Nah saya bagian memfasilitasi itu, saya
masih ingat itu Rp 200 perak, saya masih ingat itu.

Jadi dari situ lah saya cari duit untuk kuliah. dari situ saya cari duit untuk kuliah, karena
jual koran juga saya.

Anda tidak malu sama teman-teman?

Malu sih ada ya, nggak mungkin nggak ya. Tapi pertanyaan berikut adalah, you malu
karena kerja ini atau you mati, atau you maling. Saya mencoba sebagai orang dewasa,
sudah tamat SMA, sudah tahu cewe lah, rasa malu ada tapi saya mencoba
menyembunyikan itu. Dan tidak untu memperlihatkan. Yang penting niat saya waktu itu
adalah, sudah deh saya kuliah. Tapi memang sejak SMP saya sudah nakal, di terminal
mana ada orang nggak nakal. Terminal itu kan tempat berkumpulnya anak-anak nakal
di situ.

Jadi berkelahi, miras itu saya sudah tahu sejak SMP kelas satu. Nah karena itu
mungkin waktu saya kuliah di Jayapura, masuk kuliah daftar, ya sambil kuliah,
maksudnya jadi aktivis. Saya semester tiga sudah jadi ketua senat. Jadi saya dipenjara
beberapa kali, demo tahun 98, tahun 97 itu kan. Tapi dipenjara bukan karena maling,
atau perkosaan orang, bukan. Sebagai ketua senat, memimpin pergerakan memang.
Waktu itu saya eks66, waktu di Papua, kami adalah pelakunya.

Semester 5 saya ketua senat, setelah itu semester 6 saya mulai berpikir bahwa saya
harus menghentikan kemiskinan ini. Waktu itu tekad saya mengatakan begini, harus
setop dengan kemiskinan, kemiskinan ini paling tidak baik.

Waktu itu nasibnya belum sebaik sekarang?

Tinggal di asrama itu, makannya itu makan apa coba? saya nggak pernah dapat
kiriman dari orang tua. Jadi belanjanya itu kalau dapat duit beli beras, kita makannya itu
setengah nasi, setengah bubur. Kenapa? supaya dapat banyak. Kalau beras sudah
habis, itu kami sarapan pagi pakai mangga, mangga buah, mangga muda yang jatuh di
samping asrama, itu yang saya makan. Makanya saya pernah sakit busung lapar, ini
nggak pernah media tahu.

Saya pernah busung lapar, semester 6 saya busung lapar. Asli busung lapar. Jadi
penderitaan yang bener-bener paling menderita itu saya rasain. Nah, pada saat itu
ketika saya sakit, saya mengatakan begini, saya harus berhenti dengan kemiskinan,
dan caranya satu-satunya adalah dengan jadi pengusaha.

Itu belum lulus kuliah?

Belum. Masih masuk polisi, keluar polisi (penjara-Red). Masih pegang spanduk, keluar
spanduk. Masih di atas mobil mimbar, tapi gagah dulu ya kan. Ketua senat gitu kan, jadi
ya cewe-cewe suka, mulai suka itu di saat saya jadi ketua senat, kira-kira begitu. Waktu
itu di tahun 97-98 itu.

Saya kemudian, mulai dari situ semester 6 mulai berpikir saya harus menjadi seorang
pengusaha. Di situlah saya mulai belajar. Saya pernah jadi pegawai asuransi.

Awal mula jadi pengusaha Anda jadi pegawai asuransi?

Iya saya pernah pegang asuransi, pernah pegang Sucofindo pegawai kontrakan.
Kemudian ketika saya selesai kuliah tahun 2002, kuliah saya lama banget 7 tahun,
harusnya orang sudah selesai S2 bahkan S3, tapi saya waktu itu kan 7 tahun.

Kemudian waktu selesai kuliah, saya membangun satu perusahaan dengan teman-
teman di Jakarta. Itu konsultan keuangan, IT. Saya waktu itu ditunjuk sebagai karyawan
dan menjadi direktur wilayah di sana.

Direktur wilayah di mana?

Di Papua. Saat itu saya belum menikah. Usia saya 25 tahun. Itu lah pertama saya
pegang uang gede itu di situ.

Berapa gaji pertama yang didapat?

Gaji saya waktu itu Rp 35 juta. Karyawan saya hampir 70 orang, dan rata-rata
karyawan saya itu adalah orang keuangan, ada yang tamatan UGM, ada yang tamatan
yang di IT, juga tamatan Jerman, tapi karena peta lapangannya saya yang kuasai, jadi
saya yang ditunjuk oleh teman-teman di Jakarta untuk menjadi pimpinan cabang di
sana.

Konsultan apa?

konsultan keuangan.

Ilmu soal keuangan itu Anda dapat dari mana?


Saya memang kuliahnya di keuangan. Saya keuangan, tapi memang sebenarnya
menjadi pemimpin itu kan ilmunya tidak hanya pada konteks profesional, tapi
lebih leadership. Dan ilmu itu saya dapat dari organisasi. Mengatur orang, memaksa
orang, mem-pressure orang, bagian ilmu yang tidak didapat di kampus, dan hanya di
organisasi. Negosiasi, salah dibilang salah. Orang lain benar kita bilang salah supaya
ikut kita.

Itu kan bagian mendoktrin orang untuk bagaimana dia bisa berpikir sama kaya kita,
karena hakekat kepemimpinan itu adalah bagaimana orang bisa mengikuti kita, dan
orang bisa mewujudkan apa yang menjadi mimpi dari tujuan kita. Itulah sebenarnya
esensi daripada seorang pemimpin.

Kemudian saya di situ satu tahun saja saya jadi karyawan, kemudian saya mundur dari
perusahaan. Tapi konsep itu saya yang buat, bagaimana perusahaan ini berjalan
segala macam, dan satu tahun itu saya bisa memberikan profit kepada perusahaan
waktu itu Rp 10 miliar lebih. Itu profit, bukan omzet. Setelah itu saya mengundurkan diri.

Dan waktu saya mulai konsep perusahaan itu pakai motor ojek. Motor ojek, dan saya
menyebut waktu itu sekretariat berjalan. Karena apa? di dalam tas saya itu kertas cap
dengan kertas kop surat, saya ketiknya di rental, warnet.

Belum punya kantor sendiri?

Belum punya kantor. Karena waktu itu kan perusahaan mau dibangun apabila ada
konsep. Saya ditunjuk waktu itu untuk jadi direktur kebetulan di perusahaan tersebut,
karena perusahaan baru dibangun, dan ide dasarnya dari saya. Dan untuk punya ide,
punya proposal FS-nya itu, saya sendiri buat dengan cara, ya mulai dari 0. Konsepnya
diterima, setelah itu baru diajuin. Punya duit. Satu tahun dua bulan kalau nggak salah
saya bekerja di perusahaan, saya berhenti.

Kenapa berhenti? Bosan?

Waktu itu tidak bosan sebenarnya, waktu itu saya hanya ingin suasana baru. Karena
dari tidak punya duit, tiba-tiba gaji Rp 35 juta di tahun itu, saya anggap sudah besar,
sudah dikasih rumah, dikasih mobil, istilahnya dari sepatu miring, kaya agak sedikit
setengah manusia.

Jadi kehidupan saya itu kan dulunya agak monyet gitu ya, agak sepatu miring istilah
saya itu. Dan saya tidak malu untuk mengatakan itu, saya tidak malu. Saya
mengatakan bahwa di usia saya dari 0 sampai 26 tahun itu hidup saya setengah
manusia, bukan manusia seutuhnya. Hidup susah sekali. Umur 26 mendekati 27 baru
mendekati kemanusiaan. Umur 29 baru manusia seutuhnya.
Saya mundur dari perusahaan itu, kemudian saya memberikan perusahaan pada
teman-teman mereka yang lanjutkan. Saya mencoba untuk membangun perusahaan
yang lain lagi, yang tidak di bidang yang saya bangun itu.

Sama sekali tidak di bidang itu?

Tidak. Kenapa? karena kalau saya kerja pada di bidang yang sama itu saya tidak punya
etika. Dan saya tidak menghargai komitmen persahabatan dan persaudaraan kepada
teman-teman yang telah saya bangun.

Jadi saya membangun perusahaan lain yang bergerak tidak di bidang IT dan konsultan
keuangan. Kemudian, teman-teman saya waktu itu bilang kenapa, tawaran segala
macam, (saya jawab) ‘Nggak bro, saya kan harus juga berkembang’ saya terimakasih
teman-teman lah yang mengajari saya, dan memberikan perasaan manusiawi. Karena
saya belum pernah pegang uang Rp 35 juta dalam satu bulan.

Umur berapa digaji Rp 35 juta itu?

25 tahun, menjelang 26 tahun. Beres kuliah lah. Saya dikasih dividen waktu itu, dikasih
penghargaan uang, saya masih ingat itu Rp 600 juta, karena saya bisa menghasilkan
profit Rp 10 miliar lebih kan. Saya dikasih uang Rp 600 juta, itu saya pakai buat modal.

Untuk mendirikan perusahaan baru?

Ada salah satu perusahaan tapi saya nggak bisa sebut namanya.

Di bidang apa?

Saya waktu itu di bidang trading kayu. Jadi kayu kemudian apa saja. Prinsip saya waktu
itu apapun yang bisa dihasilkan uang yang penting halal kita lakukan. Setan pun kalau
bisa dijadikan uang, saya jadikan uang. Selama itu halal, selama itu tidak melanggar
UU, selama itu tidak merugikan orang. Jadi waktu itu pikiran saya adalah apapun yang
bisa kita hasilkan uang yang penting halal, kita lakukan. Tapi core-nya waktu itu adalah
main di trading kayu.

Sama karena ada beberapa teman-teman yang merupakan pejabat, kemudian masih
diberikan ruang kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan di sektor pemerintah.
Sampai di situ.

Jadi Anda jadi pengusaha itu karena nasib atau nasab?

Pikiran by nasab ini ketika saya saya ingin menjadi ketua umum Hipmi. Jadi by nasab
itu adalah usaha, yang menjalankan usaha keluarganya sudah generasi kedua,
generasi ketiga. Itu by nasab.
Kalau by nasib itu ya seperti saya, generasi pertama yang berjuang. Kalau nasib baik
jadi manusia, kalau tidak baik jadi monyet. Yang kita butuhkan ke depan itu adalah by
desain. By desain itu adalah gabungan by nasab dan by nasib, dan harus berbasis
akademi. Karena kompetisi di dunia enterpreuner sekarang ini tidak bisa masuk ke
konsep, tapi harus betul-betul dirancang secara dini, desain secara dini, untuk
kemudian kita mampu melakukan sesuatu yang lebih baik, yang pada akhirnya
kemudian kita bisa berkompetisi dengan negara lain.

Kompetisi negara sekarang ini bukan lagi antara sesama provinsi, tapi sudah negara ke
negara. Itu sebenarnya pikirannya, tapi sebelum ke situ ya setelah saya dari Jayapura
dan segala macam. Iya waktu saya mulai bosan itu sempat jatuh.

Saya waktu itu punya karyawan 4 orang, kita pikir gampang, itu ternyata nggak
gampang juga itu jadi di bidang yang saya sudah kuasai di awal tiba-tiba pindah di
bidang lain itu dari 0 lagi. Jadi monyet juga Bro, dari mobil tadi kita punya sampai saya
kasih lagi kembali ke perusahaan, akhirnya terpaksa saya naik ojek lagi. Pertama
kontrak, sewa, uang habis naik ojek lagi kita, sekretariat berjalan lagi, bikin lagi.

Kenapa Anda tinggalkan gaji besar saat umur masih muda?

Banyak teman-teman yang bilang saya gila, hidup saya sudah aman nyaman, kok bisa
mengambil risiko yang pada akhirnya monyet lagi, itu kan teman teman kuliah saya
bekerja sebagai hina saya. Dan teman-temanku yang mengatakan saya gila, termasuk
istri saya sekarang. Dulu itu hampir putus gara-gara saya jadi gembel lagi. Jadi
harusnya gaji saya Rp 35 juta, buat dia ekspektasinya sudah cukup begitu loh, hidup
mewah nggak, menderita nggak, cukup.

Tapi saya lebih memilih untuk tidak lanjutkan, di situ hampir saya tidak jadi menikah
sama dia. Hampir itu, karena jadi monyet gitu kan. Tapi itu semua pilihan hidup menurut
saya dan setiap hidup itu harus berani mengambil keputusan, kita tidak bisa masuk
dalam bayangan yang tidak nyaman, saya ambil keputusan tapi itu kembali ya recovery
saya itu hampir satu tahun. Recovery terus 1 bisnis goal. nah sudah mulai kerja enak di
situ tapi ya dihina orang juga. Kesuksesan itu tidak ada yang dicapai dengan cara yang
mudah, terkecuali yang orang sudah punya.

Di umur berapa atau fase yang mana saat Anda merasa sudah sukses?

Kesuksesan itu relatif, dan saya tidak pernah merasa sukses. Biarlah orang yang
menilai, tapi saya selalu punya prinsip hidup itu, belajar, belajar, dan belajar, serta kerja
dan harus sukses. Jadi kerja keras, kerja cerdas, dan kerja Ikhlas, itu orientasi sama
dengan ibadah.

Kalau kita kalau kita bekerja ikhlas, itu kalau kita tidak dapat profit di dunia, kalau ikhlas
dan bermanfaat untuk orang, InsyaAllah profit kita akan diterima di akhirat sebagai
bentuk amal ibadah. Dan menurut saya juga ukuran kesuksesan ini sebenarnya relatif.
Ada orang yang mengatakan bahwa duit banyak itu sukses, kalau saya mengatakan
tidak.

Bagi saya duit itu bukan tujuan hidup, itu bagi saya ya. Orang semua butuh duit, tapi
duit bukan tujuan hidup, duit adalah fasilitas hidup. saya sebagai orang muslim tujuan
hidup saya adalah harus bisa berguna bagi orang lain rakyat bangsa negara dan saya
bisa menjalankan apa yang menjadi perintah Allah yang pada akhirnya kemudian suatu
saat saya akan pertanggungjawabkan.

Jadi kalau ditanya sukses, ya bingung, apa suksesnya itu, karena saya nggak punya
duit dengan punya duit bedanya apa ya. Bedanya dulu kalau saya makan susah, kalau
sekarang nggak, dulu jalan kaki tahun 99, kan saya jalan kaki semua ini di Jalan
Diponegoro sampai ke Gambir itu jalan kaki, dulu gembel pokoknya. Saya kan di
Jakarta dulu tidur di mushola gembel kita dulu kan. Saya Pakai baju saja dulu Rp 50
ribu, sekarang mungkin karena tuntutan jadi agak sedikit baik.

Tapi nggak ada juga perasaan kalau punya ini harus merasa lebih, bagi saya semua
orang itu sama saja, yang membedakan itu di mata Allah.

Sampai sekarang Anda sudah banyak perusahaan, titik baliknya itu sebenarnya di mana?

Pada saat keluar kerjaan. Kemudian saya buat perusahaan, perusahaan itu pernah
menurun, kemudian saya bangkit. Bangkit itu Alhamdulillah mulai dari situ. Itu tahun
2004 belum terlalu lama.

Sekarang sudah ada berapa perusahaan?

Ya rahasia perusahaan lah. Ada beberapa lah, besar juga nggak, kecil juga nggak, jadi
sedang-sedang saja. Saya suka sedang-sedang saja.

Anda dirikan sendiri itu ya?

Hampir semua.

Semua basis di Jakarta atau ada yang di Papua?

Di beberapa tempat, ada di Papua, ada di Sulawesi, ada di Maluku, ada di sini
(Jakarta), ada beberapa tempat.

Dari semua yang Anda capai, kira-kira pelajaran apa yang didapat?

Begini, pelajaran yang paling Hikmah itu adalah jangan pernah menganggap remeh
orang lain yang posisinya di bawah. Karena nasib orang itu nggak ada yang tahu, roda
itu berputar. Artinya apa? kalau kita ketemu dengan pejabat, ketemu dengan orang
yang punya uang, jangan juga kita menganggap melebihi dari Tuhan. Mereka itu biasa
saja.
Tapi jangan juga hari ini kalau kita lihat orang belum berhasil, orang kecil, jangan juga
hina mereka. Jadi kesahajaan menurut saya ya, perlakukanlah manusia yang lain itu
sama dengan anda memperlakukan dirimu, karena kita tidak bisa menebak hari ini
orang yang belum punya apa-apa itu selamanya.

Saya ini menurut saya manusia yang bersyukur kepada Allah. Saya tuh dulu dihina, jadi
saya dulu itu juga nggak pernah terpikir suatu saat ini jadi Ketua Umum Hipmi. Nggak
pernah terpikir suatu saat bisa jalan sama menteri, bisa jalan sama presiden, nggak
pernah terbayang. Karena itu saya syukuri saja. Dan ukuran kecukupan dan
kesuksesan itu kan tergantung dari orang itu mempunyai standar masing-masing. Dan
dari kacamata mana dia melihat.

Dan saya melihat orang, bukan dari apa yang dia miliki sekarang, dalam konteks materi
duniawi. Tapi saya mengagumi orang, dari apa yang dipikirkan, dan apa yang dia
lakukan, serta apa karyanya untuk bangsa dan negara. Itu jauh saya lebih menghargai
orang itu ketimbang dia harus memamerkan apa yang dia punya dalam konteks harta.
Karena kita ini semua itu titipan Allah. Jangankan harta kita, diri kita saja milik dia.

Jadi ya kalau ketemu sama orang juga jangan merasa rendah kalau ketemu sama
orang hebat. Tapi kalau ketemu dengan orang yang rendah jangan juga merasa diri
tinggi. Pelajaran itu yang menurut saya paling terima.

Siapa orang paling berjasa bagi Anda?

Mamah dan bapak saya. Kerja keras saya itu, saya terinspirasi dari ayah saya. Ayah
saya itu seorang buruh bangunan, dia mampu menyekolahkan anaknya 8 orang, dan
semua sarjana. Gaji Rp 7.500 per hari, tapi dia bisa memberikan makan untuk semua
anaknya. Dia kerja, sakit pun dia kerja.

Dia kerja tidak pernah mengeluh, begitupun mamah saya. Jadi rasa tanggung jawab
untuk kerja keras menghidupi anak-anaknya, itu tinggi sekali. Dan cara itu yang
kemudian saya adopsi dalam bekerja. Saya akan selalu kerja keras, karena kalau saya
sendiri yang sudah sekolah, kemudian punya fighting spirit, kurang dari apa yang bapak
saya lakukan, itu artinya ayah saya tidak berhasil dalam membina. Tapi kita bisa
melakukan hal-hal yang minimal sama dengan ayah saya dalam konteks berjuang,
maka ayah saya tidak gagal dalam melahirkan dan membina kami.

Bagi saya yang berjasa paling besar, ya mamah bapak saya. Yang selalu tidak henti-
hentinya mengajari kami pada hal-hal yang ringan tapi prinsip. Contoh, sedikit punya
kita, jauh lebih baik itu punya kita daripada mengambil hak orang. Satu lagi prinsip,
bayarlah upah orang, sebelum keringatnya kering. Itu bapak saya, karena bapak saya
pernah merasakan gajinya terlambat tiga hari, dan kami hampir tidak makan, kan
begitu. Jadi kenapa bapak saya ngomong, karena dia pernah merasakan itu.

Saat sukses, orang tua Anda tahu?


Bapak saya sudah meninggal, jadi waktu bapak saya meninggal itu 2003. Bapak belum
sempat melihat saya bisa melakukan hal sifatnya mencukupi standar. Saya masih
karyawan waktu itu. Mama saya Alhamdulillah masih ada.
impunan Pengusaha Muda Indonesia atau Hipmi optimistis Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM baru Bahlil Lahadalia mampu
mengalahkan Vietnam soal iklim investasi. "Kami optimistis Bahlil punya
jurus dalam mengembalikan keadaan. Beliau banyak akalnya dan selalu
berpikir 'out of the box'," kata Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP)
Hipmi Mardani H Maming dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta,
Jumat, 25 Oktober 2019.

Menurut dia, salah satu tugas terberat Bahlil adalah mengalahkan Vietnam
soal iklim investasi. Iklim investasi di Indonesia dinilai kurang bersaing akibat
banyaknya regulasi dan tumpang tindihnya aturan.
"Tantangan terbesar Bahlil adalah bagaimana mengalahkan Vietnam untuk
urusan investasi. Vietnam dulu jauh di bawah kita. Sekarang dia di atas kita.
Iklim investasinya sudah 'sophisticated'," ucap dia.

Anda mungkin juga menyukai