Anda di halaman 1dari 6

Komunikasi Masyarakat Marjinal

Kelompok : Pedagang Kaki Lima (PKL)


Anggota Kelompok :
- Devi Alvina T 15.M1.0035
- Ratnani Ayu P 15.M1.0078
- Danida 16.M1.0003
- Gabriella Saras 16.M1.0035
- Ileysa Ridania 16.M1.0041
- Marcelina Wirinda P 16.M1.0065

1. Gambaran Umum
Pedagang kaki lima adalah bagian dari aktivitas ekonomi yang
merupakan kegiatan pada sektor informal. Kegiatan ini timbul karena tidak
terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan
mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungan dan sering
dipojokan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan seperti
kemacetan. Pedagang kaki lima, atau yang biasa disebut PKL adalah istilah
untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas
daerah milik jalan atau trotoar. Di beberapa tempat, pedagang kaki lima
dipermasalahkan karena mengganggu para pengendara kendaraan bermotor,
mengunakan badan jalan dan trotoar. Tetapi PKL kerap menyediakan makanan
atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat murah daripada
membeli di toko. Modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga kerap
mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil
atau orang kalangan ekonomi lemah.
Kota Lama Semarang adalah kota yang dibangun pada masa kolonial
Belanda. Di tempat ini ada sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan
kokoh dan mempunyai sejarah Kolonialisme di Semarang. Secara umum
karakter bangunan di wilayah ini mengikuti bangunan-bangunan di benua Eropa
sekitar tahun 1700-an. Hal ini bisa dilihat dari detail bangunan yang khas dan
ornamen-ornamen yang identik dengan gaya Eropa. Seperti ukuran pintu dan
jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca berwarna, bentuk atap yang
unik, sampai adanya ruang bawah tanah. Kawasan Kota Lama Semarang disebut
juga Outstadt. Luas kawasan ini sekitar 31 hektar. Dengan keunikannya tersebut
saat ini Kota Lama termasuk salah satu lokasi wisata di Kota Semarang yang
cukup ramai pengunjung. Dengan ramainya pengunjung di Kota Lama membuat
Kota Lama banyak dipadati PKL. Banyak PKL yang berjualan di trotoar di
sepanjang jalan Kota Lama, baik di gang kecil maupun jalan besar.
Kegiatan para PKL dikota lama sudah bisa dilihat dari depan stasiun
Tawang Semarang. Di depan Stasiun Tawang sudah banyak PKL yang bisa kita
jumpai. Walaupun di sekitar Kota Lama sudah terdapat cafe-cafe yang keren dan
kekinian yang menjadi incaran anak muda jaman sekarang tapi PKL tidak kalah
karena jumlahnya masih sangat banyak. Jalan dari Stasiun Tawang menuju salah
satu jalan utama di Kota Lama yaitu Jalan Letjen Suprapto akan terdapat
beberapa PKL disana begitu juga di Jalan Kepodang yang akan membawa kita
bertemu dengan para PKL lainnya. Keadaan siang dan malam para PKL di Kota
Lama akan sedikit berbeda karena dari sore hari sampai malam hari PKL yang
berada di Kota lama akan lebih banyak. PKL yang akan kita temukan pun
beraneka ragam, ada yang berjualan menggunakan gerobak dan berkeliling, ada
yang berjualan menggunakan gerobak tapi menetap, ada yang berjualan dengan
menggunakan motor, ada juga yang menetap membuka stand di pingggir jalan,
di gang-gang kecil, dan di sebelah gedung-gedung besar di Kota Lama. Kota
Lama adalah daerah ramai pengunjung maka tidak heran jika hampir setiap
sudut atau jalan disana akan kita temui para PKL.
Saat ini Kota Lama sedang mengalami pembangunan dan renovasi.
Pemerintah melakukan renovasi besar-besaran di Kota Lama karena kawasan
tersebut memiliki potensi wisata yang besar dengan banyaknya bangunan
kolonial Belanda. Selain itu renovasi atau perbaikan ini dilakukan agar Kota
Lama terlihat lebih cantik dan rapi dan siap bersaing dengan tempat wisata lain
di taraf internasional. Renovasi di Kota Lama tidaklah memakan waktu sebentar
karena akan memakan waktu berbulan-bulan. Dengan adanya renovasi tersebut
ada beberapa jalan yang belum bisa diakses kendaraan seperti mobil maupun
motor. Hal ini menyebabkan banyak PKL yang kehilangan lapak berjualan
mereka walupun sebenarnya memang lapak tersebut juga tidak diijinkan
pemerintah. Banyak PKL yng biasanya berjualan di trotoar, kini berpindah ke
beberapa lokasi baru seperti gang-gang kecil maupun belakang gedung. Banyak
juga PKL yang berjualan berkeliling sambil mencari pembelinya.
Kelompok kami melakukan pengamatan terhadap PKL di Kota Lama
sebanyak 5 kali. Sebelum melakukan wawancara kami melakukan 2 kali survey
untuk menghitung dan mengamati jumlah PKL, setelah itu baru 3 kali lainnya
kami melakukan wawancara terhadap beberapa PKL di Kota Lama. Dalam
melakukan wawancara terhadap beberapa PKL di Kota Lama ada yang
kooperatif untuk diwawancarai dan ada yang tidak kooperatif saat diwawancarai.
Menurut hasil pengamatan kami, adanya pembangunan dan renovasi jalan di
Kota Lama membuat PKL menjadi tidak beraturan, PKL–PKL ini juga tidak
berkumpul pada suatu titik lokasi tertentu untuk berjualan, terutama di siang
hari. Beberapa PKL juga berpindah tempat dari lokasi awal mereka berjualan ke
tempat yang baru karena adanya pembangunan, lokasi–lokasi yang mereka pilih
untuk berjualan rata–rata bertempat di belakang gedung dan di jalan–jalan yang
kecil. Kami juga mendapati beberapa PKL yang tidak menetap atau berhenti,
ada PKL yang berjalan sambil mendorong gerobaknya di siang hari sembari
mencari pembeli, namun jumlahnya tidak banyak.
Pengamatan yang kami lakukan berlangsung di bulan Ramadhan
sehingga PKL yang ada di Kota Lama pada saat siang hari jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan saat malam hari ketika sudah berbuka puasa. Banyak sekali
gang-gang yang tidak ada penjualnya mungkin karena jalan tersebut sulit diakses
dan jarang dilalui pengunjung Kota Lama. Selain itu pada saat siang hari di
sepanjang Jalan Letjen Suprapto tidak kami dapati satu PKL pun yang berjualan
di trotoar. Ketika malam hari PKL–PKL tersebut mulai bermunculan di
sepanjang Jalan Letjen Suprapto, karena kondisi Kota Lama saat malam hari
cukup ramai wisatawan terutama di jalan tersebut. Di taman Sri Gunting jika
siang tetap ada pengunjung tapi jumlahnya sedikit sekali, sehingga tidak ada
PKL juga disana. Berbeda saat malam hari, banyak para wisatawan yag
berkunjung ke Taman Sri Gunting, saat ini lah yang tepat untuk para PKL
menjajakan dagangan mereka kepada wisatawan yang datang ke taman Sri
Gunting. Tidak hanya penjual makanan atau minuman saja yang ada disana, ada
juga yang menawarkan barang dan jasa seperti tukang foto keliling atau berfoto
di spot-spot bagus yang sudah disiapkan.
Para PKL di Kota Lama memiliki latar belakang yang berbeda–beda.
Ada PKL yang menggantungkan nasibnya dan keluarganya hanya dengan
berjualan saja, namun ada juga yang memiliki pekerjaan selain berjualan sebagai
PKL. Ada yang baru berjualan di kota lama selama 4 tahun saja tapi juga ada
yang meneruskan berjualan dari jaman nenek mereka. Ada PKL yang asli dari
Semarang dan ada juga PKL yang merantau ke Semarang. Bahkan ada PKL
yang tempat tinggalnya masih berada di kawasan Kota Lama dan rumah mereka
menempel pada gedung-gedung besar di Kota Lama.
Semua PKL di Kota Lama yang kami wawancarai membayar uang
restribusi, baik keamanan maupun kebersihan. Menurut PKL yng kami
wawancarai memang ada petugas yang memungut uang dari para PKL. Uang
restribusi yang dibayarkan setiap PKL pun berbeda-beda, ada yang Rp 2.000,00
per hari tapi ada juga yang Rp 10.000,00 per bulan. Penghasilan rata-rata para
PKL di Kota Lama memang tidak banyak. Penghasilan mereka hanya sekedar
cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Tapi pekerjaan menjadi
PKL sangat di andalkan oleh mereka karena sudah pasti setiap hari ada
pelanggan sehingga pasti setiap hari mereka akan mendapat pemasukan.
Rata-rata PKL di Kota Lama yang kami wawancarai sudah pernah
ditangkap Satpol PP. Ada yang baru pertama kali tertangkap dan ada yang sudah
beberapa kali tertangkap. Bagi yang baru pertama kali ditangkap akan lebih
mudah dalam mengurus pengambilan barang dagangan mereka. Yang baru kali
pertama terciduk oleh Satpol PP akan diperingatkan dan disuruh mengisi blanko
kemudian barang dagangan yang disita akan dikembalikan. Bagi yang sudah
tertangkap lebih dari satu kali akan lebih sulit dalam mengurus pengembalian
barang dagangan mereka. Para PKL yang pernah tertangkap tidak jera dan tetap
terus berjualan. Selain itu PKL yang kami wawancarai hampir semua tidak
pernah diberi penyuluhan dan tidak tahu tentang urusan relokasi PKL. Ada PKL
yang ingin buka stand dan mendapat ijin berjualan dari pemerintah agar bisa
berjualan dengan tenang dan nyaman di kawasan Kota Lama tapi mereka tidak
tahu harus mengurus kepada siapa. Sampai saat ini PKL yang sudah direlokasi
baru yang berjualan barang antik saja yang sudah dipindahkan ke Galeri Industri
Kreatif Semarang (GKIS).
Menurut kabar baru yang beredar Dinas Perdagangan Kota Semarang
akan segera merelokasi para PKL di Jalan Empu Tantular Kawasan Kota Lama
ke Blok C kawasan Kanjengan. Hal ini agar mempercepat revitalisasi kawasan
Kota Lama. Pemerintah sudah membuat 650 kios di blok tersebut untuk
menampung PKL Empu Tantular. Tapi ini akan menjadi tempat relokasi
sementara saja. Karena jika Pasar Johar Baru sudah selesai di bangun dan dapat
ditempati, para PKL ini akan diminta untuk menempati Pasar Johar Baru.

2. Hasil wawancara
Lokasi wawancara pertama yang kami datangi yaitu pedagang
angkringan yang bertempat di Jalan Branjangan tepatnya di sebelah parkiran
Dream Museum Zone (DMZ) Semarang. Kami mendatangi lokasi tersebut pada
Rabu, 22 Mei 2019 pukul 11.30 WIB. Pedagang angkringan tersebut bernama
Mbah Sunardi yang sudah berusia 67 tahun. Mbah Sunardi berjualan dari pagi
hingga malam hari. Ia bekerja berjualan angkringan tersebut dari tahun 1965.
Mbah Sunardi sebelumnya berjualan di depan DMZ namun karna sempat
ditangkap Satpol PP, lalu Ia pindah tempat jualan. Pemilik DMZ yang
melihatnya merasa iba, oleh karena itu pemilik DMZ mengizinkan Mbah
Sunardi untuk berjualan dan juga memberi tempat berjualan yaitu di lahan parkir
DMZ tersebut. Mbah Sunardi juga tidak perlu membayar biaya sewa. Mbah
Sunardi bercerita bahwa anak-anaknya sudah sukses dan mempunyai pekerjaan
yang mapan. Mbah Sunardi pun sering diajak anak-anaknya untuk tinggal
bersama dengan anak-anaknya dan berhenti berjualan tetapi Mbah Sunardi
menolak dan tetap ingin berjualan karena Ia masih ingin produktif dan tidak
menyusahkan. Ia lebih senang berjualan daripada hanya diam di rumah saja.
Ketika malam hari, biasanya Mbah Sunardi bergantian berjualan dengan salah
satu anaknya. Karena Mbah Sunardi sudah mendapatkan izin untuk berjualan,
maka Ia pun bebas untuk berjualan dan tidak ada waktu khusus. Ia pun tidak
bergantian berjualan dengan PKL yang lainnya karena lapak tersebut hanya
milik Mbah Sunardi saja. Mbah Sunardi tidak pernah mendapatkan pelatihan
kerja dari pemerintah. Penghasilan yang didapatkan Mabh Sunardi sehari-hari
tidak menentu karena tergantung dari banyaknya wisatawan yang mengunjungi
kota lama, namun penghasilan tersebut masih bisa mencukupi kebutuhan dia
sehari-hari.

Lokasi wawancara kami yang kedua adalah di taman Sri Gunting pada
Kamis, 23 Mei 2019. Kami melakukan wawancara pukul 19.30 WIB. Disana
kami mewawancarai bapak-bapak pedagang cilok dan es gula asam keliling.
Beliau berjualan berkeliling menggunakan sepeda motor miliknya. Pedagang
tersebut bernama Yunus, usianya 37 tahun. Beliau tinggal di Semarang bersama
keluarganya. Pada awalnya beliau berjualan jika sedang libur kerja pabrik atau
setelah pulang dari kerja pabrik. Tapi sudah 4 tahun ini Pak Yunus keluar dari
pabrik dan fokus berjualan sebagai pedagang cilok dan es gula asam. Pak Yunus
tidak hanya berjualan di Kota Lama, Ia juga berjualan di sekolah-sekolah
maupun tempat lainnya yang berpotensi ramai. Alasan beliau keluar dari pabrik
karena di pabrik waktu bekerjanya sangat mengikat dan tidak fleksibel.
Walaupun menjadi pedagang penghasilannya hanya cukup saja untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari tapi Pak Yunus lebih senang menjadi
pedagang karena tidak terlalu terikat seperti di pabrik. Saat bulan puasa Pak
Yunus mulai berjualan pukul 13.00 WIB sampai dagangannya habis tapi jika
belom habis pukul 10.00 WIB beliau sudah kembali ke rumah. Jika tidak pada
bulan ramadhan Pak Yunus mulai berjualan pukul 11.00 WIB. Selama berjualan
di Kota Lama Pak Yunus harus membayar uang restribusi sebesar Rp 2.000,00
entah itu kebersihan atau keamanan. Selama menjadi pedagang kaki lima Pak
Yunus sudah pernah ditangkap satu kali oleh Satpol PP saat berjualan di Kota
Lama, barang dagangannya disita dan harus diurus di kantor jika barang-
barangnya mau diambil. Pak Yunus hanya disuruh mengisi blanko untuk
mengambil barang-barang dagangannya karena beliau baru kali pertama
ditangkap, tapi jika sudah lebih dari satu kali proses pengambilan barangnya
akan lebih sulit. Walaupun begitu Pak Yunus tidak jera dan tetap meneruskan
berjualan dengan lebih waspada. Sebernarnya Pak Yunus ingin buka stand untuk
dirinya berjualan di Kota Lama tapi Pak Yunus tidak tahu harus mengurus
kepada siapa dan apa saja yang harus disiapkan. Beliau mengatakan jika
pemerintah tidak pernah memberi penyuluhan tentang alokasi bagi PKL.

Lokasi wawancara kami yang ketiga berada di Indomaret depan taman


Sri Gunting pada tanggal 28 Mei 2019 pukul 10.30 WIB. Disana ada bapak-
bapak yang berjualan makanan dan minuman menggunakan gerobak. Pedagang
tersebut bernama Pak Amir yang berusia 55 tahun. Pak Amir berjualan di Kota
Lama sudah lama jauh sebelum Kota Lama di renovasi, lebih tepatnya sudah
mulai berjualan sejak tahun 1993. Pada awal mulanya pak Amir berjualan di
depan restoran Spiegel, namun karena adanya renovasi di Kota Lama beliau
berpindah di samping Indomaret depan Taman Sri Gunting. Pak Amir berani
berjualan di area tersebut karena sudah mendapat izin berjualan oleh pemilik
gedung tersebut. Pak Amir tinggal di Semarang bersama keluarganya dan tempat
tinggal beliau masih berada di sekitar kawasan Kota Lama. Pak Amir berjualan
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan walaupun pak Amir hanya
berjualan makanan dan minuman namun penghasilan yang didapatkan cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Tidak ada aturan waktu
untuk Pak Amir berjualan. Pak Amir berjualan mulai pukul 07.00 WIB sampai
pukul 19.00 WIB. Menurut pak Amir tidak ada usaha alokasi atau penyuluhan
dari pihak pemerintah untuk memindahkan PKL yang ada di Kota Lama ke
suatu tempat. Sebelum Ia berjualan di samping Indomaret Ia sering terkena
penertiban oleh Satpol PP dan untuk menebus gerobaknya tersebut, ia harus
menunggu 10 harikerja sehingga jika gerobaknya disita Pak Amir terpaksa tidak
berjualan atau mungkin membeli lagi peralatan-peralatan yang baru untuk beliau
berjualan. Sebelum renovasi, pak Amir mengaku bahwa terdapat biaya restribusi
sebesar Rp 2.000,00 untuk uang kebersihan, namun selama ada renovasi di Kota
Lama tidak ada lagi orang yang memungut biaya restribusi tersebut.

Lokasi wawancara kami yang keempat berada di Jalan Kepodang. Kami


melakukan wawancara pada Selasa, 28 Mei 2019 pukul 11.00 WIB. Jalan
Kepodang merupakan salah satu jalan yang sedang direnovasi sehingga banyak
debu yang bertebaran dan juga situasinya kotor. Keadaan disana juga sepi kami
pikir disana sudah tidak ada yang berjualan. Ketika kami sedang berjalan-jalan
menyusuri Jalan Kepodang, terdapat ibu-ibu yang sedang menyiapkan
dagangannya. Kami mencoba untuk menghampiri ibu-ibu tersebut. Setelah kami
hampiri, ibu-ibu tersebut bersedia untuk kami ajak bicara. Ibu itu bernama Ibu
Devi yang berusia 24 tahun. Ibu Devi berjualan makanan yaitu nasi bungkus. Ia
sudah berjualan dari kecil mengikuti orangtuanya dan rumahnya pun berada
tidak jauh dari situ. Rumahnya masih berada di kawasan Kota Lama. Rumah Ibu
Devi sangat sederhana dan semi permanen. Beliau tinggal bersama dengan
keluarganya dan menurut pengakuannya Ibu Devi tidak pernah digusur oleh
pemerintah karena tempat berjualannya bukan di jalan utama jadi diperbolehkan
untuk berjualan di tempat tersebut yaitu di Jalan Kepodang. Ia berjualan mulai
dari sore hari hingga malam hari. Alasan Ibu Devi menjadi penjual makanan
karena sudah melakukan pekerjaan tersebut dari kecil dan juga karena sambil
berjualan juga bisa sambil mengurus anak. Penghasilan yang didapatkan ketika
berjualan yaitu sebesar Rp 250.000,00/hari tetapi penghasilan tersebut belum
bersih karena masih digunakan untuk modal berjualan untuk hari selanjutnya.
Selama berjualan di tempat tersebut, Ibu Devi membayar uang kebersihan/uang
keamanan sebesar Rp 10.000,00/bulan. Selama berjualan, Ibu devi tidak pernah
mendapat penyuluhan dari pemerintah maupun mendapat alokasi dari
Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai