Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTEK FITOTERAPI

STUDI KASUS DIABETES MELITUS

DISUSUN OLEH KELOMPOK B1

Abdul Hafidz 145070500111011


Winfika Wibisono P. 145070501111035
Andini Fauzia Aswin 145070507111014
Intan Maysaroh 155070500111002
Elsi Rahmaprilia Suyudamai 155070500111004
Nikmatur Rohmah 155070500111006
Haifa Nurmahliati 155070500111008
Habsari Yusrindra Siwi 155070500111010
Ade Zaqiatul Rohmatil Ula 155070500111014
Wanda Fenny Oktavianti 155070500111016
Zalfa Hibatullah R A 155070500111024
Savvy Augustin Tirta 155070500111028
Rizki Rohmatul Wahidah 155070501111002

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2018
BAB I

PATOFISIOLOGI PENYAKIT

1.1 Diabetes Miletus

Pada patofisiologi DM tipe 2 terdapat keadaan yang berperan yaitu resistensi


insulin dan disfungsi sel -pankreas. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin
tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel
hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel -pankreas mensekresi
insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa
darah, sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensator untuk mempertahankan keadaan
euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah
mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia. Disamping itu, juga
terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam darah. Keadaan glukotoksisitas dan
lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relative mengakibatkan sel -pankreas
mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolism glukosa berupa gangguan
glukosa puasa, gangguan toleransi glukosa dan akhirnya DM tipe 2 (Hawkins dan
Rossetti, 2005).
Lipotoksisitas mengacu kepada tingginya konsentrasi asam lemak bebas yang
terjadi sebagai akibat tekanan hambatan hormone sensitive lipase (HSL). Normalnya,
insulin menghambat lipolisis dengan menghambat HSL, namun pada resistensi insulin
hal tersebut tidak terjadi secara efisien. Hasil dari peningkatan lipolisis adalah
peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan obesitas dan peningkatan
adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi insulin dengan mempromosikan
fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat mengurangi aktivitas insulin
signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada asam amino tirosin penting untuk
mengaktifkan insulin signalling pathway, jika tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk
translokasi, dan penyerapan glukosa ke jaringan akan berkurang, menyebabkan
hiperglikemia (Hawkins dan Rossetti, 2005).
Selain itu pada keadaan DM tipe 2, keadaan resistensi insulin bertambah berat
disertai dengan kadar glukosa yang terus meningkat. Hal ini berakibat pada sel beta
pancreas tidak mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup. Peningkatan
glukosa hepatic dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak terjadi dan
akan mempengaruhi kadar gula darah puasa dan postpandrial. Akhirnya sekresi insulin
oleh sel esβ-pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia berat (Ostenson, 2001).

Gambar 4.1 Patofisiologi DM Tipe 2 (DeFronzo, 1997)

Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM tipe 2 menyebabkan


resistensi adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor Adipo R1. Hal ini
menyebabkan C-terminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin yang
memiliki efek metabolik yang poten terutama pada otot skeletal, mengalami resistensi
sehingga kemampuan gAd untuk meningkatkan translokasi GLUT-4, penyerapan
glukosa, penyerapan asam lemak dan oksidasi, serta fosforilasi AMP-activated protein
kinase (AMPK) dan asetil-CoA karboksilase (ACC) mengalamipenurunan (Fang et al.,
2010).
Hiperinsulinemia menyebabkan peningkatan sensitivitas full-length
adiponectin (fAd) melalui peningkatan eskpresi reseptor Adipo R2. Hiperinsulinemia
menginduksi kemampuan fAd untuk meningkatkan penyerapan asam lemak dan
meningkatkan oksidasi asam lemak sebagai respon dari fAd sehingga
meningkatkan resiko komplikasi vascular pada DM-2 (Fang et al., 2010).
Selain resistensi insulin faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan
mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya
kegemukan dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).
Akhir-akhir ini diketahui ada peran sel -pankreas yang menghasilkan glukagon
pada DM tipe 2. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan
puasa (Leahy, 2005).
Kondisi pasien diikuti dengan dyslipidemia dan hipertensi. Penyakit yang
mengikuti kondisi diabetes pasien tersebut sangat berkaitan. Kondisi pasien yang
obesitas merupakan awal mula terjadinya DM pasien dan kondisi penyakit yang
mengikutinya. Obesitas pasien merupakan faktor resiko pertama pasien mengalami
dyslipidemia. Kondisi dyslipidemia tersebut merupakan faktor penyebab terjadinya
resistensi insulin. Terjadinya resistensi insulin ini akan mengakibatkan pasien terkena
DM tipe 2 yang dialami pasie. Kondisi DM dan dyslipidemia pasien dapat diikuti atau
bersamaan dengan penyebab terjadinya kondisi hipertensi pasien.

1.2 Obesitas dan Dislipidemia

Jaringan lemak mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat penyimpanan


lemak dalam bentuk trigliserid, dan sebagai organ endokrin. Sel lemak menghasilkan
berbagai hormon yang disebut juga adipositokin (adipokine) yaitu leptin, tumor
necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6 (IL-6), resistin, dan adiponektin.
Hormon-hormon tersebut berperan juga pada terjadinya resistensi insulin. Pada gambar
2 diperlihatkan hubungan jaringan lemak dengan kejadian resistensi insulin.

Peran asam lemak bebas


Pada mereka yang gemuk maupun diabetes melitus tipe 2 selalu ditemukan
kadar asam lemak bebas yang tinggi. Meningkatnya asam lemak bebas pada mereka
yang gemuk dan diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya pemecahan
trigliserid (proses lipolisis) di jaringan lemak terutama di daerah visceral.
Meningkatnya lipolisis diduga berkaitan dengan meningkatnya aktivitas sistem saraf
simpatis. Seperti diketahui lemak visceral peka terhadap rangsangan saraf simpatis
sehingga metabolisme sel lemak visceral sangat aktif. Asam lemak bebas yang tinggi
dalam plasma berperan terhadap terjadinya resistensi insulin baik pada otot, hati,
maupun pada pancreas. Di hati Keadaan yang sama terjadi di hati, dimana hati akan
menampung sebagian besar asam lemak bebas dan menjadi bahan untuk proses
glukoneogenesis dan sintesis VLDL. Dengan meningkatnya glukoneogenesis, glukosa
plasma puasa akan meningkat maka terjadilah hiperglikemi. Keadaan hiperglikemi
puasa ini akan mengakibatkan resistensi insulin di hati .
Asam lemak bebas yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya deposit
trigliserid berlebihan pada sel beta pankreas, dan akan menyebabkan terjadinya
kerusakan sel beta pankreas.

Keterangan gambar :
A. Pembakaran asam lemak bebas meningkatkan Acetyl CoA, jumlah Acetyl
CoA yang berlebihan akan menghambat enzim heksokinase yang merupakan enzim
penting untuk merubah oksidasi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat (G-6-P). Untuk
meningkatkan ambilan glukosa, sel otot membutuhkan lebih banyak insulin agar
glukosa dapat masuk ke dalam sel otot, atau dengan kata lain akan terjadi resistensi
insulin.
B. Peningkatan kadar asam lemak dalam plasma menyebabkan distribusi
melalui sistem portal ke hati berlebihan sehingga lebih banyak asam lemak yang
dioksidasi dan menghasilkan Acetyl CoA. Acetyl CoA mengaktifkan enzim piruvat
karboksilase di hati yang berperan untuk merubah asam piruvat menjadi glukosa pada
proses glukoneogenesis, dengan demikian akhirnya terjadi peningkatan produksi dan
pelepasan glukosa hati. Meningkatnya glukoneogenesis berakibat hambatan kerja
insulin di hati, atau terjadilah resistensi insulin.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa adipositokin (adipokin) yang
dihasilkan oleh sel lemak berperan pada berbagai proses metabolisme dan terjadinya
resistensi insulin. Leptin, tumor necrosis factor-Alfa (TNF-Alfa), interleukin-6 (IL-6),
dan resistin bekerja meningkatkan resistesi insulin, sebaliknya adiponektin bekerja
meningkatkan sensitivitas insulin .
Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan.
Leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya
resistensi insulin belum jelas. Penelitian pada tikus percobaan, leptin menghambat
fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya menghambat ambilan
glukosa. Sebaliknya penelitian lain pada hewan dengan diabetes dan obes, pemberian
leptin meningkatkan sensitivitas insulin. Hal yang serupa juga dilaporkan penelitian
pada manusia.
Sama dengan leptin dan asam lemak bebas, kadar TNF-Alfa plasma
meningkat dengan meningkatnya berat badan, dan berperan dalam mekanisme
resistensi insulin perifer. Walaupun demikian pada manusia kadar TNF-Alfa dalam
sirkulasi sangat sedikit untuk dapat menghambat kerja insulin pada jaringan otot.
Diduga kerja TNF-Alfa lebih bersifat parakrin daripada endokrin, atau dengan
perantaraan faktor lain, misalnya asam lemak bebas, karena TNF-Alfa memacu
lipolisis. Pada jaringan adiposa tikus percobaan dan manusia, TNF-Alfa diekspresikan
secara berlebihan sehingga mengganggu insulin signaling yang akibatnya fosforilasi
IRS-1 terhambat dan menekan ekspresi glucose transporter(GLUT)-4.
Interleukin-6 sebagai protein proinflamasi yang disekresikan oleh jaringan
adiposa, IL-6 juga meningkat dengan meningkatnya berat badan. Pada manusia, IL-6
memacu pelepasan glukagon dan kortisol dan meningkatkan glukoneogenesis. Bastard,
dkk. menemukan bahwa penderita diabetes melitus yang obes lebih resisten terhadap
insulin, kadar IL-6, TNF-Alfa dan leptin meningkat dibandingkan kontrol penderita
dibetes melitus yang tidak obes. Peran IL-6 pada resistensi insulin diduga melalui
perlemakan (adiposity), secara tidak langsung berhubungan dengan kerja insulin. Hal
ini dilaporkan oleh Vozarova, dkk. yang menemukan bahwa kadar IL-6 mempunyai
korelasi dengan persentasi lemak tubuh, tetapi tidak ada korelasi dengan sensitifitas
insulin pada orang Indian Pima.
Resistin adalah suatu molekul signalling disekresikan oleh adiposit. Kadar
resistin meningkat pada tikus obes akibat makan berlebihan dan obes karena genetik,
dan berkurang dengan pemberian obat anti diabetik agonis peroxisome proliferator-
activator receptor (PPAR), seperti rosiglitazone.
Adiponektin adalah hormon peptida yang terutama dihasilkan oleh adiposit.
Dibandingkan dengan adipositokin lainnya, kadar adiponektin paling tinggi dalam
sirkulasi. Adiponektin mempunyai efek yang berlawanan dengan adipositokin lainnya,
yaitu mencegah terjadinya resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2 . Weyer dkk ,
melaporkan kadar adiponektin pada orang kulit putih dan Indian Pima berkurang.
Kadar adiponektin juga berkorelasi dengan sensitivitas insulin, dan sebaliknya
berkurang dengan semakin buruknya toleransi glukosa. Penelitian lain pada manusia,
kadar adiponektin meningkat dengan penurunan berat badan dan pemberian agonis
PPAR, rosiglitazone. Kerja adiponektin diduga dengan memacu ekspresi gen-gen yang
mengatur metabolisme lemak pada jaringan otot, yaitu CD36, acyl co-enzyme A (CoA)
oxidase, dan uncoupling protein (UCP)-2 yang akan meningkatkan efisiensi transpor
asam lemak, pembakaran lemak dan termogenesis.

1.3 Beningn Prostate Hyperplasia

Demikian pula untuk BPH, DM mempengaruhi fungsi kandung kemih yang


menghasilkan gejala obstruktif dan iritatif: triad klasik dari gejala obstruktif (kesulitan
memulai void, kepenuhan setelah voiding, dan peningkatan volume urin residual post
void) yang mencirikan diabetes cystopathy juga umum terjadi pada BPH. Demikian
pula, frekuensi dan urgensi dikaitkan dengan ketidakstabilan detrusor yang diinduksi
DM dan BPH. Perbedaan antara LUTS sekunder terhadap DM dan LUTS sekunder
akibat BPH sulit diurai, dan seringkali LUTS sekunder terhadap DM overlaps LUTS
sekunder akibat BPH dan sebaliknya. Selain itu, diabetes sangat berkontribusi terhadap
perkembangan dan kemunduran LUTS sementara di sisi lain BPH tidak selalu disertai
gejala. Ini adalah gejala yang mengganggu yang membuat pasien mencari pertolongan
medis. Gejala ini lebih sering terjadi pada pasien diabetes, dengan 39% -61% di
antaranya memiliki frekuensi dan urgensi tertentu. Karena diabetes mempengaruhi
fungsi void, pasien dengan BPH dan DM-2 bersamaan memiliki gejala yang lebih
mengganggu dan menunjukkan laju alir maksimum maksimum (Qmax) yang jauh lebih
rendah daripada pasien BPH nondiabetes (Bozlu, 2004; Michel, 2000). Untuk alasan di
atas, pasien DM-2 lebih rentan didiagnosis dengan BPH dan kemudian menjalani
prostatektomi daripada populasi laki-laki umum (Kapplan, 1995; Brown, 2005).

Pasien dengan hipertrofi prostat mereka dengan tingkat glukosa serum yang
lebih tinggi (> 110 mg / dL) memiliki volume prostat rata-rata yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien dengan tingkat glukosa serum rendah (Ozdens, 2007;
Parsons, 2008). Selanjutnya, Hammarsten dan H¨ogstedt membandingkan karakteristik
antropologis dengan data laboratorium dan klinis pada pasien dengan gejala saluran
kemih bagian bawah dengan atau tanpa manifestasi sindrom metabolik menunjukkan
peningkatan tingkat pertumbuhan prostat lebih lanjut dengan peningkatan kadar insulin
serum (Hammarsten, 1999). Pengamatan ini dikonfirmasi oleh Ozden et al. yang
menemukan tingkat peningkatan angka peningkatan yang lebih tinggi pada tingkat
penderita diabetes sementara terhadap pasien dengan kadar glukosa serum rendah
(Ozdens, 2007). Nandeesha dkk. parameter profil insulin berkorelasi dengan ukuran
prostat dan menemukan insulin serum puasa dan tingkat resistensi insulin secara
signifikan lebih tinggi pada kasus BPH nondiabetes bila dibandingkan dengan kontrol
(Nandeesha, 2006). Baru-baru ini, Barnard dkk. menghubungkan penurunan
pertumbuhan sel induk epitel batang dengan pengurangan insulin (Barnard, 2008). Di
antara mekanisme lain yang mungkin diusulkan untuk mengaitkan pengembangan BPH
dengan DM-2 adalah peningkatan nada saraf simpatis perifer dan aktivitas sistem saraf
otonom pada umumnya akibat hiperinsulinemia (Kasturi, 2006) dan hipoksia, karena
penurunan suplai darah prostat yang berasal dari kerusakan vaskular mellitus yang
diderita (Berger, 2005). Dengan mempertimbangkan informasi di atas, dapat
diasumsikan bahwa kelainan homeostasis glukosa dapat berperan dalam penyebab BPH
dengan mempengaruhi tingkat proliferasi sel prostat.
BAB II

KASUS DAN ANALISA

SOAL KASUS DIABETES MELITUS 2018

Tn. BR (80 kg/170 cm) berusia 65 tahun datang ke klinik saintifikasi jamu untuk meminta
terapi terkait kondisi diabetes melitus.

Hasil asessment diketahui:


● Pasien mengalami diabetes melitus tipe 2 selama 14 tahun yang lalu
● Pasien mendapatkan terapi diabetes berupa metformin 1000 mg 2dd1 dan pioglitazone
30 mg 1dd1.
● Pengukuran HbA1c terakhir adalah 8% (6 bulan yang lalu adalah 6%).
● Profil lipid: kolesterol total adalah 240 mg/dL, LDL 166 mg/dL, dan HDL 35 mg/dL.
● Pasien tidak mengikuti diet spesifik apapun dan tidak melakukan olahraga
● Dua tahun yang lalu didiagnosa mengalami benign prostate hyperplasia (BPH) dan
mendapatkan terapi tamsulosin 0,8 mg 1dd1.
● Pasien secara teratur juga mengonsumsi kapsul ginkgo (Ginkgo biloba) untuk
meningkatkan daya ingat
● Pasien sering mengonsumsi aspirin untuk mengobati sakit gigi yang dialami

Pertanyaan:
1. Bagaimana profil glukosa darah Tn. BR dalam 3 tahun terakhir?
2. Jelaskan kondisi patofisiologi yang dialami oleh Tn. BR! Kaitkan dengan kondisi
lainnya!
3. Berikan rekomendasi terapi bahan alam untuk kondisi Tn. BR! Jelaskan
4. Berdasarkan kesimpulan saudara sebagai apoteker, terapi apa saja yang diberikan
kepada Tn. BR, baik obat bahan alam maupun obat konvensionalnya? Adakah
interaksi antara obat bahan alam dan obat konvensional yang digunakan oleh Tn.
MM?
5. Monitoring apa saja yang diperlukan untuk memantau efektivitas dan efek samping
dari terapi yang diterima oleh Tn. BR?
2.1 Profil glukosa darah Tn. BR dalam 3 bulan terakhir

HbA1c pasien satu bulan yang lalu adalah 8% dengan berat badan 80 kg. Dapat
diketahui HbA1c merupakan komponen minor dari hemoglobin yang berikatan dengan
glukosa. Hemoglobin A1c (HbA1c) digunakan untuk memantau glukosa darah pada
pasien diabetes. HbA1c merupakan indikator jangka panjang kontrol glukosa darah, bisa
juga digunakan untuk memonitor efek diet, olahraga, dan terapi obat terhadap gula darah
pasien. Pemeriksaan Hemoglobin A1C ini akan menggambarkan rata-rata gula darah
selama 2 sampai 3 bulan terakhir dan digunakan bersama dengan pemeriksaan gula darah
biasa untuk membuat penyesuaian dalam pengendalian diabetes melitus. Nilai normal
HbA1c kurang dari 6-7% sementara nilai HbA1c pasien lebih tinggi dari normal artinya
gula darah pasien tidak terkontrol selama 6 bulan. Pada 6 bulan yang lalu, kadar gula
darah pasien terkontrol yaitu dengan nilai HbA1c sebesar 6%. Terjadinya peningkatan
kemungkinan dikarenakan pasien tidak mengikuti diet spesifik, hal itu juga yang
mengakibatkan kadar gula darah tidak terkontrol dengan baik meskipun pasien telah
mengkonsumsi obat antidiabetesnya yaitu metformin dan pioglitazone.

Konversi HbA1C :

Dilihat dari data assesment yang ada, pasien memiliki nilai HbA1c yang tinggi
dimana nilai normal HbA1c yang meng indikasikan diabetes yaitu ≥6.5%. Dengan nilai
HbA1c 8,8 % menandakan kadar glukosa darah pasien tinggi.Uji HbA1C mengukur
seberapa banyak glukosa terikat pada hemoglobin dan tes HbA1C merefleksikan nilai
glukosa plasma rata-rata pada 8-12 minggu terakhir (WHO, 2011). Berikut merupakan
korelasi antara HbA1c dengan glukosa darah pasien, dan juga untuk mendeteksi
kpatuhan diet dan terapi OAD pasien. GDP, GD2PP bisa saja bias, namun pemeriksaan
dengan HbA1C lebih spesifik untuk mengetahui kepatuhan pasien.
Konversi HbA1C:

2.2 Analisis Kondisi Patofisiologi

Diabetes militus tipe 2 yang dialami oleh pasien ini dapat disebabkan karena
adanya tingkat resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin
dimanifestasikan dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas,
peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan uptake glukosa skeletal. Pasien
mengalami overweight dengan BMI 27,68. LDL kolesterol dan total kolesterol yang
tinggi dapat memicu adanya sindrom metabolik yang akan semakin memperparah
penyakit pada pasien.

Hubungan Diabetes militus tipe 2 dengan hiperlipidemia adalah pada kondisi


hiperlipidemia terjadi proses mutasi ATP binding sehingga sekresi insulin terhambat dan
menurunkan transpor kolesterol ke jaringan sehingga dampaknya terjadi penurunan HDL
dan resiko penyakit kardiovaskular. Pada pasien ini kolesterol total tinggi dapat
dikarenakan adanya pemecahan/ sintesis lemak yang berlebihan di hepar. Pada kondisi
ini dipicu karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel karena reseptor insulin tidak
lagi dapat menangkap glukosa, maka tubuh akan melakukan kompensasi sehingga
cadangan makanan dalam tubuh banyak yang dipecah, seperti lemak dan protein
selanjutnya akan menjadi gliserol dan asam lemak bebas untul menghasilkan energi.
Produksi asam lemal yang tinggi akan di metabolisme di hepar sehingga sintesis TG
( trigliserida) meningkat dan nilai kolesterol total naik.
Hubungan Diabetes militus tipe 2 dengan BPH (beningn prostate hyperplasia).
BPH merupakan kondisi kelenjar prostat mengalami pembengkakan, pembengkakan
pada prostat lama kelamaan akan menghimpit uretra sehingga apabila uretra terhimpit
alan menyebabkan urin susah dikeluarkan dan akan timbul gejala-gejala seperti ISK,
prostatitits, batu kandung kemih dan bila berlangsung lama dan progresif akan mengarah
ke kanker. Kondisi ini terjadi akibat adanya perubahan kadar hormon akibat penuaan.
Hormon yang terlibat hanyalah testosteron, pada hal ini testosteron menurun sehingga
untuk mempertahankan kadarnya maka tubuh menggantikannya dengan
dihidrotestosteron. Namun efek yang tidak diinginkan dari tingginya kadar
dihidrotestosteron ini dapat menginduksi proliferasi sel pada kelenjar prostat. Kaitannya
dengan Diabetes militus tipe 2 yang dialami pasien yaitu karena terjadi resistensi insulin
menyebabkan banyak hormon dihidrotestosteron masuk ke prostat sehingga sel prostat
mengalami proliferasi.
BAB III

REKOMENDASI FITOTERAPI

3.1 Rekomendasi Berdasarkan Literatur

3.1.1 Gymnema slyvester


Menurut Bone (2013), Standart evidence base dari Gymnema slyvester adalah
Grade B. Mekanisme kerja Gymnema yaitu dapat memperbaiki sel β pankreas
sehingga terjadi peningkatan insulin, stimulasi pelepasan insulin endogen melalui
interaksi dengan hormon enteric insulinotropik, mengembalikan kadar PgP
sehingga dapat mencegah mikroangiopati diabetes dan perubahan organ secara
patologis lainnya.
Gymnema kaya akan saponin. Pada studi in vivo dan clinical trial
menunjukkan penurunan kolesterol pada pasien diabetes tipe 2. Ekstrak daun
Gymnema mengandung senyawa gymnemic acids sebesar 25%.
Pada sebuah penelitian penderita diabetes tipe 2 diberikan ekstrak 400 mg
Gymnema setiap hari selama 18-20 bulan di samping obat hipoglikemik oral
mereka. Kelompok ini mengalami penurunan gula darah dan HbA1c yang
signifikan, dan peningkatan pelepasan insulin pankreas. Pada akhir periode
pengobatan, kolesterol dan trigliserida juga berkurang secara bermakna pada
mereka yang menerima Gimnema. Dosis obat menurun, dan lima lainnya mampu
menghentikan obat seluruhnya.
Dosis : 400 mg per hari sebelum makan
Sediaan
3.1.2 Jus Pare (Momordica charantia)

Tanaman ini memiliki banyak komponen kimia yang berbeda, yang memiliki
efek obat baik bila digunakan sendiri atau bila dikombinasikan. Salah satu komponen
hipoglikemik adalah saponin steroid yang disebut momocharin (charantin) dengan efek
kimia seperti insulin. Charantin memiliki berat molekul 9,7 kD. Di laboratorium dan
ilmuwan klinis dan klinis in vitro dan in vivo, para ilmuwan dan dokter telah
menggunakan beragam ekstrak air, etanol dan eter dan juga senyawa fitokimia yang
aktif termasuk glikosida (momordin dan charantin), alkaloid (momordicin),
polipeptida-P, minyak dari biji (linoleat, asam stearat dan asam oleat), glikoprotein
(alfa-momorcharin, beta-momorcharin dan lecitin) dan senyawa aktif lainnya termasuk
protein MAP30 dan vicine (pirimidin nuklease) untuk mempelajari sifat
hipoglikemiknya dengan menggunakan manusia dan hewan model. Dari unsur-unsur
ini, charantin, peptida mirip insulin dan alkaloid memiliki sifat hipoglikemik. Mereka
lebih efektif bila dikombinasikan dan menghasilkan efek yang hampir serupa dengan
larutan ekstrak mentah dalam air.

Dosis

Jus pare direkomendasikan untuk diabetes pada dosis harian 50 sampai 100 mL; 900
mg buah 3 kali per hari juga diberikan untuk indikasi yang sama.

Mekanisme aksi Momocardia charantia sebagai antidiabetes

Ekstrak dan isolate M. charantia diyakini memiliki efek hipoglikemi melalui proses
fisiologis dan biokimia yang berbeda. Beberapa mekanismenya termasuk insulin
secretagoc like effect, stimulasi otot rangka dan penggunaan glukosa sel perifer,
menghambat absorbsi glukosa pada intestinal, menghambat aktivitas heksokinase,
menekan enzim glukoneogenik utama, stimulasi enzim kunci, jalur HMP dan menjaga
jumlah dan fungsi sel langerhans di pankreas.

1. Preservasi sel pankreas dan sekresi insulin


Administrasi oral jus pare (M. charantia) dapat merangsang produksi insulin di
pankreas. Selain itu, pemberian jus pare secara oral setiap hari selama 10 minggu
dapat meningkatkan jumlah sel atau meregenerasi sel beta pankreas pada tikus
diabetes yang diinduksi Streptozotocin. Namun, jumlah sel β masih kurang dari
yang jumlah sel pada tikus kontrol normal. Selain itu, M. charantia dapat
merangsang sekresi insulin dari pankreas.

2. M. Charantia dan metabolism glukosa


M. Charantia memiliki kandungan zat yang sifatnya mirip dengan insulin. Pada
suatu studi disebutkan bahwa ekstrak air dan alkohol dari buah M. charantia dapat
menghambat aktivitas fruktosa 1, 6-difosfatase dan glukosa-6-fosfatase dan
sekaligus merangsang aksi glukosa-6-fosfatase dehidrogenase. Secara
keseluruhan, M. charantia dan ekstraknya dapat secara langsung mengatur
glukosa darah melalui dua mekanisme. Pertama, dapat mengatur berapa banyak
glukosa diserap oleh usus ke dalam darah setelah makan dan kedua, ia dapat
merangsang pengambilan glukosa ke sel otot rangka seperti insulin. Selain itu,
tampaknya memberi efek melalui jalur pensinyalan intraseluler yang sama seperti
insulin dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh.

3. Efek antineuropati Jus M. Charantia

Pengaruh ekstrak buah M. charantia dan insulin terhadap kelainan ultra struktural
dari serat myelin pada diabetes eksperimental pada tikus telah diteliti pada
penelitian sebelumnya. Pada hewan coba yang diberikan M. charantia, area serat
myelin dan area mielin secara signifikan lebih besar daripada penderita diabetes
yang tidak diobati dan tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol yang
disesuaikan dengan usia. Nilai rata-rata untuk luas serat maksimum juga jauh
lebih besar daripada penderita diabetes yang tidak diobati dan tidak berbeda jauh
dengan kontrol yang disesuaikan dengan usia. Rasio akson terhadap serat (rasio
'g') tidak berbeda antara kelompok eksperimen manapun. Disimpulkan bahwa
pemberian jus buah M. charantia tidak hanya mengurangi kadar glukosa darah
tetapi juga memperbaiki kelainan struktural saraf perifer pada diabetes
eksperimental. Hasil ini sangat menunjukkan bahwa M. charantia memiliki sifat
seperti faktor pertumbuhan seperti insulin.
3.1.3 Stevia
1. Mekanisme
Penggunaan dari stevia dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada
membran sel, meningkatkan produksi insulin, stabilisasi sekresi glukagon dan
kadar gula darah dan menurunkan kadar glukosa darah post-prandial (pada
penelitian in vivo  menurunkan ekspresi gen PEPCK (phospoenol pyruvate
carboxykinase) pada rat liver yang meregulasi level glukosa darah dengan
menurunkan glukoneogenesis) (Chen et al., 2005).
2. Komponen aktif
Komponen aktif dari stevia adalah glikosida steviol. Senyawa ini dapat
meningkatkan produksi insulin dari sel beta pankreas (Gupta et al., 2013).

Tabel 1 Kandungan senyawa dari stevia (Gupta et al., 2013).

3. Dosis
Dosis dari penggunaan stevia untuk diabetes adalah aqueous extract 5 gram daun
stevia setiap 6 jam (Goyal et al., 2010).

3.2 Terapi yang Dipilih


Ekstrak Gymnema sylvestre dipilih untuk dijadikan terapi bahan alam untuk
diabetes militus pada pasien Tn. BR. Hal tersebut dikarenakan Ekstrak Gymnema
sylvestre merupakan obat dengan grade B, selain itu menurut Gulab (2012) Ekstrak
Gymnema sylvestre efektif untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu
juga dapat menurunkan berat badan. Pada pasien Tn.BR dengan berat badan yang
termasuk pada over wight sehingga terapi ini cocok untuk dipilih.
Dosis yang digunakan untuk terapi diabetes adalah 200 mg-400 mg
(Vijayanand,2012). Pada Tn.BR dengan HbA1c 6 bulan yang lalu adalah 6% (normal)
namun kemudian meningkat yang kemungkinan dikarenakan tidak melakukan diet
atau tidak patuh dalam menjalani terapi sebelumnya, maka dosis yang digunakan pada
dosis yang kecil terlebih dahulu, namun tetap dimonitor mengenai profil gula darah
Tn.BR selama 1 bulan. Apabila tidak ada perubahan yang signifikan maka dosis
ditingkatkan hingga 400 mg, namun apabila profil gula Tn.Br normal maka sebaiknya
dihentikan karna dapat resiko hipoglikemia.
Sediaan yang digunakan yaitu kapsul Diabemed yang berisi Ekstrak
Gymnema sylvestre sebanyak 150 mg diminum 2 kali sehari sebelum makan untuk
memenuhi dosis 200-400 mg, tidak digunakan dosis 200 mg karena tidak ada sediaan
kapsul dengan dosis 200 mg. Namun monitoring gula darah secara rutin (1 bulan
sekali). Jika gula darah pasien mengalami penurunan yang signifikan, mak dosis
obatnya dapat dilanjutkan. Jika tidak terjadi penurunan gula darah secara signifikan,
maka dosis bisa dinaikkan menjadi 400 mg per hari. Jika mengalami kondisi
hipoglikemi, penggunaannya bisa dihentikan.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Gymnema sylvestre


Merupakan tanaman yang mempunyai efek untuk menurunkan kadar gula
darah. Kandungan terdiri dari: gymnemic acids, gymnemasaponins. Kelebihan
Gymnema sylvester dapat menurunkan berat badan, mengurangi kolesterol dan
menurunkan level Trigliserida. Dosis tinggi dapat memyebabkan hipoglikemia,
lemah, bergetar dan hipoglikemia. Manajemen hipoglikemia menurut Soemadji
(2006); Rush & Louise (2004); Smeltzer & Bare (2003) :
- Tergantung derajat hipoglikemia :
A. Hipoglikemia ringan :
 Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir
permen atau 2-3 sendok teh sirup atau madu
 Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit, ulangi pemberiannya
 Tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori,
coklat, kue, donat, ice cream, cake
B. Hipoglikemia berat :
 Tergantung pada tingkat kesadaran pasien
 Bila pasien dalam keaddaan tidak sadar , jangan memberikan
makanan atau minuman karena dapat terjadi aspirasi
4.2 Centella asiatica
Toksisitas dalam dosis terapi tidak ditemukan. Efek samping jarang muncul,
namun jika ada efek samping diantaranya : alergi pada kulit, sensasi terbakar, rasa
tidak nyaman pada lambung. Jika efek samping tetap muncul sebaiknya konsumsi
Centella asiatica dihentikan .

Interaksi yang dapat terjadi pada kasus ini yaitu interaksi antara aspirin dan
Ginkgo biloba. Dimana ekstrak ginkgo dapat memodulasi beberapa isoenzim CYP
dan mendesak aktifitas antiplatelet. Ginkgolide juga tergolong inhibitor poten faktor
aktivasi platelet sehingga dilaporkan terjadi peningkatan resiko perdarahan
disebabkan oleh kombinasi keduanya. Selain itu, beberapa studi menunjukkan Ginkgo
biloba dapat menghambat agregasi platelet sehingga dapat menyebabkan perdarahan
terutama jika dikombinasi dengan antiplatelet lain (Aronson, 2009). Maka dari itu,
untuk mencegah dampak dari interaksi ini yaitu :

- Penggunaan obat aspirin untuk mengobati sakit gigi dapat diganti dengan
paracetamol yang juga memiliki efek analgesik. Paracetamol tidak berinteraksi
dengan obat herbal lain yang digunakan pasien.
- Konsultasi ke dokter gigi terkait permasalahan pada giginya sehingga jika
penyebab pasti sudah diketahui, pasien tidak perlu lagi minum aspirin.
- Mengganti Ginkgo biloba dengan Centella asiatica yang dapat mencegah
komplikasi mikrovaskular di otak serta memiliki efek antioksidan yang berperan
penting dalam peningkatan memori.

Monitoring efek terapi Gymnema dilakukan dengan memeriksa gula darah secara
rutin setiap bulan. Jika terdapat efek yang signifikan pada penurunan gula darah,
menunjukkan bahwa terapi Gymnema efektif. Penggunaan Gymnema termasuk aman jika
digunakan pada dosis yang direkomendasikan. Namun, dosis tinggi Gymnema dapat
menyebabkan efek samping seperti hipoglikemia (Tiwari et al., 2014). Oleh karena itu, perlu
dilakukan monitoring terkait efek hipoglikemia yang dapat terjadi pada pasien. Tanda-tanda
hipoglikemia yang terjadi secara cepat antara lain tremor, keringat dingin, takikardia,
pandangan kabur, dan rasa lemas. Jika pasien yang menggunakan Gymnema mengalami
kondisi dengan gejala tersebut, maka pasien harus segera mengkonsumsi 15-20 gram gula
(sekitar 2 sendok makan) atau makan 3-5 permen. Setelah itu, bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan gula darah setelah 15 menit. Jika kondisi hipoglikemia berlanjut maka dapat
dilakukan lagi. Setelah gula darah kembali normal, pasien dapat makan seperti biasa setelah
1-2 jam (American Diabetes Association, 2018).

Monitoring lain yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas dari terapi yang diterima
pasien adalah monitoring skor MMSA karena pasien demensia dan untuk mengetahui
efektifitas dari pegagan. Lalu memonitoring tekanan darah dari pasien, pada pasien diabetes
melitus, kadar gula darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan glikasi sehingga darah
menjadi lebih kental dan jantung akan memompa darah lebih kuat.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan kasus diabetes melitus yang dialami oleh Tn. BR, sesuai dengan profil
glukosa dan kondisi patofisiologisnya, maka rekomendasi terapi bahan alam yang tepat untuk
Tn. BR adalah kapsul Diabemed yang berisi ekstrak Gymnema sylvestre sebanyak 150 mg
diminum 2 kali sehari sebelum makan untuk memenuhi dosis 200-400 mg, tidak digunakan
dosis 200 mg karena tidak ada sediaan kapsul dengan dosis 200 mg. Namun monitoring gula
darah secara rutin (1 bulan sekali).
DAFTAR PUSTAKA

A. P. Berger, M. Deibl, E. J. Halpern, et al. 2005. “Vascular damage induced by type 2


diabetes mellitus as a risk factor for benign prostatic hyperplasia,” Diabetologia,
vol. 48, no. 4, pp. 784–789.

American Diabetes Association. 2018. Hipoglycemia (Low Blood Glucose). (Online).


http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/treatment-and-care/blood-glucose-
control/hypoglycemia-low-blood.html (diakses pada 19 Maret 2018).

Aronson, J. K. 2009. Meyler’s Side Effects of Herbal Medicines. Oxford: Elsevier.

Basch E, Gabardi S, Ulbricht C. Bitter melon ( Momordica charantia ): a review of efficacy


and safety. Am J Health Syst Pharm . 2003;60(4):356-359.

Bone, Kerry and Simon Mills. 2013. Principles and Practice of Phytotherapy. Modern
Herbal Medicine. Churchill Livingstone.

C. Ozden, O. L. Ozdal, G. Urgancioglu, H. Koyuncu, S. Gokkaya, and A. Memis. 2007. “The


correlation between metabolic syndrome and prostatic growth in patients with
benign prostatic hyperplasia,” European Urology, vol. 51, no. 1, pp. 199–206.

Chen., et al. 2005. Mechanism of the Hypoglycemic Effect of Stevioside, a Glycoside of


Stevia rebaudiana. Planta Med 2005; 71: 108-113.

Djoko Wahono Soemadji.2006. Hipoglikemia Latrogenik. Pusat Penerbitan FK UI, Jakarta.

Goyal., et al. 2010. Stevia (Stevia rebaudiana) a bio-sweetener: a review. International


Journal of Food Sciences and Nutrition vol 61(1): 1–10.

Gulab S. Thakur., Rohit Sharma., Bhagwan S. Sanodiya., Mukeshwar Pandey., GBKS


Prasad., dan Prakash S. Bisen. Gymnema sylvestre: An Alternative Therapeutic
Agent for Management of Diabetes. Journal of Applied Pharmaceutical Science
Vol. 2 (12).
Gupta., et al. 2013. Nutritional and therapeutic values of Stevia rebaudiana: A review.
Journal of Medicinal Plants Research vol. 7(46), pp. 3343-3353.
H. Nandeesha, B. C. Koner, L. N. Dorairajan, and S. K. Sen. 2006. “Hyperinsulinemia and
dyslipidemia in non-diabetic benign prostatic hyperplasia,” Clinica Chimica Acta,
vol. 370, no. 1-2, pp. 89–93.

Hawkins M., Rossetti L., 2005. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of Type 2
Diabetes, In : Kahn, C. R., King, G. L., Moses,

Indraswari W., 2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan dengan Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo, Universitas Hasanuddin, Makassar.

J. Hammarsten and B. H¨ogstedt. 1999. “Clinical, anthropometric, metabolic and insulin


profile of men with fast annual growth rates of benign prostatic hyperplasia,”
Blood Pressure, vol. 8, no. 1, pp. 29–36.

J. K. Parsons, J. Bergstrom, and E. Barrett-Connor. 2008. “Lipids, lipoproteins and the risk of
benign prostatic hyperplasia in community-dwelling men,” BJU International, vol.
101, no. 3, pp. 313–318.

J. S. Brown, H. Wessells, M. B. Chancellor, et al., 2005. “Urologic complications of


diabetes,” Diabetes Care, vol. 28, no. 1, pp. 177–185.

Jaipaul Singh, Emmanuel Cumming, Gunasekar Manoharan, Huba Kalasz, Ernest Adeghate.


Medicinal Chemistry of the Anti-Diabetic Effects of Momordica Charantia: Active
Constituents and Modes of Actions. The Open Medicinal Chemistry Jousnal. 2011.
Vol 12.

Kashmira J, Gohil, Jagruti A. Patel, Anuradha K. Gajjar. Pharmacological Review on


Centella asiatica : A Potential Herbal Cure-all. J of Pharmaceutical Sciences. 2010.
Leahy J.L., 2005. -cell Dysfunction in Type 2 Diabetes, In : Kahn, C. R., King, G. L.,
Moses, A. C., Weir, G. C., Jacobson, A. M., Smith, R. J., (Eds) Joslin’s Diabetes
Mellitus, Lippincott Williams & Wilkin, Philadelphia, p. 449-462.

M. Bozlu, E. Ulusoy, S. Cayan, E. Akbay, S. G¨or¨ur, and E. A. Akbay. 2004. “A comparison


of four different α1-blockers in benign prostatic hyperplasia patients with and
without diabetes,” Scandinavian Journal of Urology and Nephrology, vol. 38, no.
5, pp. 391–395.
M. C. Michel, L. Mehlburger, H. Schumacher, H.-U. Bressel, and M. Goepel. 2000. “Effect
of diabetes on lower urinary tract symptoms in patients with benign prostatic
hyperplasia,” Journal of Urology, vol. 163, no. 6, pp. 1725–1729.

Ostenson C.G., The Pathophysiology of Type 2 Diabetes Mellitus: An Overview. Acta


Physiol Scand., 2001, 171 (3): 241-247.

R. J. Barnard, N. Kobayashi, andW. J. Aronson. 2008. “Effect of diet and exercise


intervention on the growth of prostate epithelial cells,” Prostate Cancer and
Prostatic Diseases, vol. 11, no. 4, pp. 362–366.

S. A. Kaplan, A. E. Te, and J. G. Blaivas, 1995. “Urodynamic findings in patients with


diabetic cystopathy,” Journal of Urology, vol. 153, no. 2, pp. 342–344.

Tiwari, P., B. N. Mishra, Neelam S. S. 2014. Phytochemical and Pharmacological Properties


of Gymnema sylvestre: An Important Medicinal Plant. BioMed Research
International, Vol. 3 : 10-13.

Vijayanand, R., Arelelimath., dan Satish B. 2012. Anti-Diabetic Effects Of GYMNEMA


SYLVESTER Extract On STREPTOZOTOCIN Induced Diabetic Rats And Possible
ß-Cell Protective And Regenerative Evaluations. Digest Journal of Nanomaterials
and Biostructure Vol. 7, No 1.

Anda mungkin juga menyukai