2018
BAB I
PATOFISIOLOGI PENYAKIT
Keterangan gambar :
A. Pembakaran asam lemak bebas meningkatkan Acetyl CoA, jumlah Acetyl
CoA yang berlebihan akan menghambat enzim heksokinase yang merupakan enzim
penting untuk merubah oksidasi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat (G-6-P). Untuk
meningkatkan ambilan glukosa, sel otot membutuhkan lebih banyak insulin agar
glukosa dapat masuk ke dalam sel otot, atau dengan kata lain akan terjadi resistensi
insulin.
B. Peningkatan kadar asam lemak dalam plasma menyebabkan distribusi
melalui sistem portal ke hati berlebihan sehingga lebih banyak asam lemak yang
dioksidasi dan menghasilkan Acetyl CoA. Acetyl CoA mengaktifkan enzim piruvat
karboksilase di hati yang berperan untuk merubah asam piruvat menjadi glukosa pada
proses glukoneogenesis, dengan demikian akhirnya terjadi peningkatan produksi dan
pelepasan glukosa hati. Meningkatnya glukoneogenesis berakibat hambatan kerja
insulin di hati, atau terjadilah resistensi insulin.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa adipositokin (adipokin) yang
dihasilkan oleh sel lemak berperan pada berbagai proses metabolisme dan terjadinya
resistensi insulin. Leptin, tumor necrosis factor-Alfa (TNF-Alfa), interleukin-6 (IL-6),
dan resistin bekerja meningkatkan resistesi insulin, sebaliknya adiponektin bekerja
meningkatkan sensitivitas insulin .
Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan.
Leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya
resistensi insulin belum jelas. Penelitian pada tikus percobaan, leptin menghambat
fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya menghambat ambilan
glukosa. Sebaliknya penelitian lain pada hewan dengan diabetes dan obes, pemberian
leptin meningkatkan sensitivitas insulin. Hal yang serupa juga dilaporkan penelitian
pada manusia.
Sama dengan leptin dan asam lemak bebas, kadar TNF-Alfa plasma
meningkat dengan meningkatnya berat badan, dan berperan dalam mekanisme
resistensi insulin perifer. Walaupun demikian pada manusia kadar TNF-Alfa dalam
sirkulasi sangat sedikit untuk dapat menghambat kerja insulin pada jaringan otot.
Diduga kerja TNF-Alfa lebih bersifat parakrin daripada endokrin, atau dengan
perantaraan faktor lain, misalnya asam lemak bebas, karena TNF-Alfa memacu
lipolisis. Pada jaringan adiposa tikus percobaan dan manusia, TNF-Alfa diekspresikan
secara berlebihan sehingga mengganggu insulin signaling yang akibatnya fosforilasi
IRS-1 terhambat dan menekan ekspresi glucose transporter(GLUT)-4.
Interleukin-6 sebagai protein proinflamasi yang disekresikan oleh jaringan
adiposa, IL-6 juga meningkat dengan meningkatnya berat badan. Pada manusia, IL-6
memacu pelepasan glukagon dan kortisol dan meningkatkan glukoneogenesis. Bastard,
dkk. menemukan bahwa penderita diabetes melitus yang obes lebih resisten terhadap
insulin, kadar IL-6, TNF-Alfa dan leptin meningkat dibandingkan kontrol penderita
dibetes melitus yang tidak obes. Peran IL-6 pada resistensi insulin diduga melalui
perlemakan (adiposity), secara tidak langsung berhubungan dengan kerja insulin. Hal
ini dilaporkan oleh Vozarova, dkk. yang menemukan bahwa kadar IL-6 mempunyai
korelasi dengan persentasi lemak tubuh, tetapi tidak ada korelasi dengan sensitifitas
insulin pada orang Indian Pima.
Resistin adalah suatu molekul signalling disekresikan oleh adiposit. Kadar
resistin meningkat pada tikus obes akibat makan berlebihan dan obes karena genetik,
dan berkurang dengan pemberian obat anti diabetik agonis peroxisome proliferator-
activator receptor (PPAR), seperti rosiglitazone.
Adiponektin adalah hormon peptida yang terutama dihasilkan oleh adiposit.
Dibandingkan dengan adipositokin lainnya, kadar adiponektin paling tinggi dalam
sirkulasi. Adiponektin mempunyai efek yang berlawanan dengan adipositokin lainnya,
yaitu mencegah terjadinya resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2 . Weyer dkk ,
melaporkan kadar adiponektin pada orang kulit putih dan Indian Pima berkurang.
Kadar adiponektin juga berkorelasi dengan sensitivitas insulin, dan sebaliknya
berkurang dengan semakin buruknya toleransi glukosa. Penelitian lain pada manusia,
kadar adiponektin meningkat dengan penurunan berat badan dan pemberian agonis
PPAR, rosiglitazone. Kerja adiponektin diduga dengan memacu ekspresi gen-gen yang
mengatur metabolisme lemak pada jaringan otot, yaitu CD36, acyl co-enzyme A (CoA)
oxidase, dan uncoupling protein (UCP)-2 yang akan meningkatkan efisiensi transpor
asam lemak, pembakaran lemak dan termogenesis.
Pasien dengan hipertrofi prostat mereka dengan tingkat glukosa serum yang
lebih tinggi (> 110 mg / dL) memiliki volume prostat rata-rata yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien dengan tingkat glukosa serum rendah (Ozdens, 2007;
Parsons, 2008). Selanjutnya, Hammarsten dan H¨ogstedt membandingkan karakteristik
antropologis dengan data laboratorium dan klinis pada pasien dengan gejala saluran
kemih bagian bawah dengan atau tanpa manifestasi sindrom metabolik menunjukkan
peningkatan tingkat pertumbuhan prostat lebih lanjut dengan peningkatan kadar insulin
serum (Hammarsten, 1999). Pengamatan ini dikonfirmasi oleh Ozden et al. yang
menemukan tingkat peningkatan angka peningkatan yang lebih tinggi pada tingkat
penderita diabetes sementara terhadap pasien dengan kadar glukosa serum rendah
(Ozdens, 2007). Nandeesha dkk. parameter profil insulin berkorelasi dengan ukuran
prostat dan menemukan insulin serum puasa dan tingkat resistensi insulin secara
signifikan lebih tinggi pada kasus BPH nondiabetes bila dibandingkan dengan kontrol
(Nandeesha, 2006). Baru-baru ini, Barnard dkk. menghubungkan penurunan
pertumbuhan sel induk epitel batang dengan pengurangan insulin (Barnard, 2008). Di
antara mekanisme lain yang mungkin diusulkan untuk mengaitkan pengembangan BPH
dengan DM-2 adalah peningkatan nada saraf simpatis perifer dan aktivitas sistem saraf
otonom pada umumnya akibat hiperinsulinemia (Kasturi, 2006) dan hipoksia, karena
penurunan suplai darah prostat yang berasal dari kerusakan vaskular mellitus yang
diderita (Berger, 2005). Dengan mempertimbangkan informasi di atas, dapat
diasumsikan bahwa kelainan homeostasis glukosa dapat berperan dalam penyebab BPH
dengan mempengaruhi tingkat proliferasi sel prostat.
BAB II
Tn. BR (80 kg/170 cm) berusia 65 tahun datang ke klinik saintifikasi jamu untuk meminta
terapi terkait kondisi diabetes melitus.
Pertanyaan:
1. Bagaimana profil glukosa darah Tn. BR dalam 3 tahun terakhir?
2. Jelaskan kondisi patofisiologi yang dialami oleh Tn. BR! Kaitkan dengan kondisi
lainnya!
3. Berikan rekomendasi terapi bahan alam untuk kondisi Tn. BR! Jelaskan
4. Berdasarkan kesimpulan saudara sebagai apoteker, terapi apa saja yang diberikan
kepada Tn. BR, baik obat bahan alam maupun obat konvensionalnya? Adakah
interaksi antara obat bahan alam dan obat konvensional yang digunakan oleh Tn.
MM?
5. Monitoring apa saja yang diperlukan untuk memantau efektivitas dan efek samping
dari terapi yang diterima oleh Tn. BR?
2.1 Profil glukosa darah Tn. BR dalam 3 bulan terakhir
HbA1c pasien satu bulan yang lalu adalah 8% dengan berat badan 80 kg. Dapat
diketahui HbA1c merupakan komponen minor dari hemoglobin yang berikatan dengan
glukosa. Hemoglobin A1c (HbA1c) digunakan untuk memantau glukosa darah pada
pasien diabetes. HbA1c merupakan indikator jangka panjang kontrol glukosa darah, bisa
juga digunakan untuk memonitor efek diet, olahraga, dan terapi obat terhadap gula darah
pasien. Pemeriksaan Hemoglobin A1C ini akan menggambarkan rata-rata gula darah
selama 2 sampai 3 bulan terakhir dan digunakan bersama dengan pemeriksaan gula darah
biasa untuk membuat penyesuaian dalam pengendalian diabetes melitus. Nilai normal
HbA1c kurang dari 6-7% sementara nilai HbA1c pasien lebih tinggi dari normal artinya
gula darah pasien tidak terkontrol selama 6 bulan. Pada 6 bulan yang lalu, kadar gula
darah pasien terkontrol yaitu dengan nilai HbA1c sebesar 6%. Terjadinya peningkatan
kemungkinan dikarenakan pasien tidak mengikuti diet spesifik, hal itu juga yang
mengakibatkan kadar gula darah tidak terkontrol dengan baik meskipun pasien telah
mengkonsumsi obat antidiabetesnya yaitu metformin dan pioglitazone.
Konversi HbA1C :
Dilihat dari data assesment yang ada, pasien memiliki nilai HbA1c yang tinggi
dimana nilai normal HbA1c yang meng indikasikan diabetes yaitu ≥6.5%. Dengan nilai
HbA1c 8,8 % menandakan kadar glukosa darah pasien tinggi.Uji HbA1C mengukur
seberapa banyak glukosa terikat pada hemoglobin dan tes HbA1C merefleksikan nilai
glukosa plasma rata-rata pada 8-12 minggu terakhir (WHO, 2011). Berikut merupakan
korelasi antara HbA1c dengan glukosa darah pasien, dan juga untuk mendeteksi
kpatuhan diet dan terapi OAD pasien. GDP, GD2PP bisa saja bias, namun pemeriksaan
dengan HbA1C lebih spesifik untuk mengetahui kepatuhan pasien.
Konversi HbA1C:
Diabetes militus tipe 2 yang dialami oleh pasien ini dapat disebabkan karena
adanya tingkat resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin
dimanifestasikan dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas,
peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan uptake glukosa skeletal. Pasien
mengalami overweight dengan BMI 27,68. LDL kolesterol dan total kolesterol yang
tinggi dapat memicu adanya sindrom metabolik yang akan semakin memperparah
penyakit pada pasien.
REKOMENDASI FITOTERAPI
Tanaman ini memiliki banyak komponen kimia yang berbeda, yang memiliki
efek obat baik bila digunakan sendiri atau bila dikombinasikan. Salah satu komponen
hipoglikemik adalah saponin steroid yang disebut momocharin (charantin) dengan efek
kimia seperti insulin. Charantin memiliki berat molekul 9,7 kD. Di laboratorium dan
ilmuwan klinis dan klinis in vitro dan in vivo, para ilmuwan dan dokter telah
menggunakan beragam ekstrak air, etanol dan eter dan juga senyawa fitokimia yang
aktif termasuk glikosida (momordin dan charantin), alkaloid (momordicin),
polipeptida-P, minyak dari biji (linoleat, asam stearat dan asam oleat), glikoprotein
(alfa-momorcharin, beta-momorcharin dan lecitin) dan senyawa aktif lainnya termasuk
protein MAP30 dan vicine (pirimidin nuklease) untuk mempelajari sifat
hipoglikemiknya dengan menggunakan manusia dan hewan model. Dari unsur-unsur
ini, charantin, peptida mirip insulin dan alkaloid memiliki sifat hipoglikemik. Mereka
lebih efektif bila dikombinasikan dan menghasilkan efek yang hampir serupa dengan
larutan ekstrak mentah dalam air.
Dosis
Jus pare direkomendasikan untuk diabetes pada dosis harian 50 sampai 100 mL; 900
mg buah 3 kali per hari juga diberikan untuk indikasi yang sama.
Ekstrak dan isolate M. charantia diyakini memiliki efek hipoglikemi melalui proses
fisiologis dan biokimia yang berbeda. Beberapa mekanismenya termasuk insulin
secretagoc like effect, stimulasi otot rangka dan penggunaan glukosa sel perifer,
menghambat absorbsi glukosa pada intestinal, menghambat aktivitas heksokinase,
menekan enzim glukoneogenik utama, stimulasi enzim kunci, jalur HMP dan menjaga
jumlah dan fungsi sel langerhans di pankreas.
Pengaruh ekstrak buah M. charantia dan insulin terhadap kelainan ultra struktural
dari serat myelin pada diabetes eksperimental pada tikus telah diteliti pada
penelitian sebelumnya. Pada hewan coba yang diberikan M. charantia, area serat
myelin dan area mielin secara signifikan lebih besar daripada penderita diabetes
yang tidak diobati dan tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol yang
disesuaikan dengan usia. Nilai rata-rata untuk luas serat maksimum juga jauh
lebih besar daripada penderita diabetes yang tidak diobati dan tidak berbeda jauh
dengan kontrol yang disesuaikan dengan usia. Rasio akson terhadap serat (rasio
'g') tidak berbeda antara kelompok eksperimen manapun. Disimpulkan bahwa
pemberian jus buah M. charantia tidak hanya mengurangi kadar glukosa darah
tetapi juga memperbaiki kelainan struktural saraf perifer pada diabetes
eksperimental. Hasil ini sangat menunjukkan bahwa M. charantia memiliki sifat
seperti faktor pertumbuhan seperti insulin.
3.1.3 Stevia
1. Mekanisme
Penggunaan dari stevia dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada
membran sel, meningkatkan produksi insulin, stabilisasi sekresi glukagon dan
kadar gula darah dan menurunkan kadar glukosa darah post-prandial (pada
penelitian in vivo menurunkan ekspresi gen PEPCK (phospoenol pyruvate
carboxykinase) pada rat liver yang meregulasi level glukosa darah dengan
menurunkan glukoneogenesis) (Chen et al., 2005).
2. Komponen aktif
Komponen aktif dari stevia adalah glikosida steviol. Senyawa ini dapat
meningkatkan produksi insulin dari sel beta pankreas (Gupta et al., 2013).
3. Dosis
Dosis dari penggunaan stevia untuk diabetes adalah aqueous extract 5 gram daun
stevia setiap 6 jam (Goyal et al., 2010).
PEMBAHASAN
Interaksi yang dapat terjadi pada kasus ini yaitu interaksi antara aspirin dan
Ginkgo biloba. Dimana ekstrak ginkgo dapat memodulasi beberapa isoenzim CYP
dan mendesak aktifitas antiplatelet. Ginkgolide juga tergolong inhibitor poten faktor
aktivasi platelet sehingga dilaporkan terjadi peningkatan resiko perdarahan
disebabkan oleh kombinasi keduanya. Selain itu, beberapa studi menunjukkan Ginkgo
biloba dapat menghambat agregasi platelet sehingga dapat menyebabkan perdarahan
terutama jika dikombinasi dengan antiplatelet lain (Aronson, 2009). Maka dari itu,
untuk mencegah dampak dari interaksi ini yaitu :
- Penggunaan obat aspirin untuk mengobati sakit gigi dapat diganti dengan
paracetamol yang juga memiliki efek analgesik. Paracetamol tidak berinteraksi
dengan obat herbal lain yang digunakan pasien.
- Konsultasi ke dokter gigi terkait permasalahan pada giginya sehingga jika
penyebab pasti sudah diketahui, pasien tidak perlu lagi minum aspirin.
- Mengganti Ginkgo biloba dengan Centella asiatica yang dapat mencegah
komplikasi mikrovaskular di otak serta memiliki efek antioksidan yang berperan
penting dalam peningkatan memori.
Monitoring efek terapi Gymnema dilakukan dengan memeriksa gula darah secara
rutin setiap bulan. Jika terdapat efek yang signifikan pada penurunan gula darah,
menunjukkan bahwa terapi Gymnema efektif. Penggunaan Gymnema termasuk aman jika
digunakan pada dosis yang direkomendasikan. Namun, dosis tinggi Gymnema dapat
menyebabkan efek samping seperti hipoglikemia (Tiwari et al., 2014). Oleh karena itu, perlu
dilakukan monitoring terkait efek hipoglikemia yang dapat terjadi pada pasien. Tanda-tanda
hipoglikemia yang terjadi secara cepat antara lain tremor, keringat dingin, takikardia,
pandangan kabur, dan rasa lemas. Jika pasien yang menggunakan Gymnema mengalami
kondisi dengan gejala tersebut, maka pasien harus segera mengkonsumsi 15-20 gram gula
(sekitar 2 sendok makan) atau makan 3-5 permen. Setelah itu, bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan gula darah setelah 15 menit. Jika kondisi hipoglikemia berlanjut maka dapat
dilakukan lagi. Setelah gula darah kembali normal, pasien dapat makan seperti biasa setelah
1-2 jam (American Diabetes Association, 2018).
Monitoring lain yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas dari terapi yang diterima
pasien adalah monitoring skor MMSA karena pasien demensia dan untuk mengetahui
efektifitas dari pegagan. Lalu memonitoring tekanan darah dari pasien, pada pasien diabetes
melitus, kadar gula darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan glikasi sehingga darah
menjadi lebih kental dan jantung akan memompa darah lebih kuat.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan kasus diabetes melitus yang dialami oleh Tn. BR, sesuai dengan profil
glukosa dan kondisi patofisiologisnya, maka rekomendasi terapi bahan alam yang tepat untuk
Tn. BR adalah kapsul Diabemed yang berisi ekstrak Gymnema sylvestre sebanyak 150 mg
diminum 2 kali sehari sebelum makan untuk memenuhi dosis 200-400 mg, tidak digunakan
dosis 200 mg karena tidak ada sediaan kapsul dengan dosis 200 mg. Namun monitoring gula
darah secara rutin (1 bulan sekali).
DAFTAR PUSTAKA
Bone, Kerry and Simon Mills. 2013. Principles and Practice of Phytotherapy. Modern
Herbal Medicine. Churchill Livingstone.
Hawkins M., Rossetti L., 2005. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of Type 2
Diabetes, In : Kahn, C. R., King, G. L., Moses,
Indraswari W., 2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan dengan Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo, Universitas Hasanuddin, Makassar.
J. K. Parsons, J. Bergstrom, and E. Barrett-Connor. 2008. “Lipids, lipoproteins and the risk of
benign prostatic hyperplasia in community-dwelling men,” BJU International, vol.
101, no. 3, pp. 313–318.