Anda di halaman 1dari 24

TEKNOLOGI PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN

Oleh:

Faizal Aditiya Pratama 1182020069

Pendahuluan

Perubahan sistem nilai dan pola kehidupan sebagai dampak laju


perkembangan IPTEK dan proses globalisasi, secara tidak langsung telah
menuntut prasyarat kemampuan manusia untuk memperoleh peluang partisipasi di
dalamnya. Dalam konteks keterbukaan dunia, manusia hidup dalam masyarakat
mega kompetisi yang terus menerus mengejar kualitas dan keunggulan (Tilaar,
1999). Masyarakat masa depan, masyarakat global menuntut manusia bercirikan
kreatif kritis, fleksibel, terbuka, inovatif, tangkas (“dexterity”), kompetitif, peka
terhadap masalah, menguasai informasi, mampu bekerja dalam “team work” lintas
bidang, dan mampu beradaptasi terhadap perubahan (Semiawan, 1998). Untuk
memperoleh peluang partisipasi dalam masyarakat mega kompetisi, dibutuhkan
kemampuan mengubah tantangan dan atau hambatan menjadi peluang, suatu
ketahan-malangan atau Adversity Quotient (“AQ”) yang merupakan kerangka
kerja konseptual baru dan peralatan yang diperlukan untuk memahami dan
mencapai kesuksesan tertentu (Stoltz, 2000). Peserta didik untuk menghadapi
masyarakat pengetahuan, tidak cukup dibekali dengan kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Tree Rs”
(reading, writting, arithmetic), tetapi juga memerlukan kompetensi masyarakat
global, yaitu komunikasi, kreatif, berpikir
1 Makalah Seminar Nasional Teknologi Pendidikan dengan Tema: ”INOVASI
PENDIDIKAN DI ERA

CYBER DAN PERAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN/PEMBELAJARAN DALAM


MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA" di Banjarmasin, 15
Juli 2017.

2 Koordinator Program Magister Pengembangan Kurikulum (Kurikulum dan


Teknologi Pembelajaran Pascasarjana UNNES.
kritis, dan kolaborasi yang selanjutnya dikenal dengan sebutan “Four Cs”
(communicators, creators, critical thingkers, and collaborators) (NEA, 2012).

Model pembelajaran yang dikembangkan dengan mengacu pada


paradigma (lama) bahwa siswa adalah individu yang belum dewasa, individu yang
pasif sebagai objek dalam proses interaksi belajar mengajar, dan menempatkan
guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar (Zamroni, 2000), tidak lagi memadai
untuk menyiapkan sumber daya manusia abat 21, warga masyarakat global.
Model pembelajaran yang menekankan proses deduksi, proses transfer
pengetahuan oleh guru kepada siswa tidak mampu menjangkau percepatan
perubahan yang terjadi. Penumpukan pengangguran terdidik dan pembengkakan
jumlah pengangur lulusan perguruan tinggi adalah salah satu indikasi dari
ketidakmampuan model pembelajaran yang menekankan proses transfer
pengetahuan dalam memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja yang berkembang.

Pembelajaran dalam konteks mempersiapkan sumber daya manusia ke


depan harus lebih mengacu pada konsep belajar yang dicanangkan oleh Komisi
UNESCO dalam wujud “the four pillars of education” yaitu belajar untuk
mengetahui (“learning to know”), belajar melakukan sesuatu (“learning to do”),
belajar hidup bersama sebagai dasar untuk berpartisipasi dan bekerjasama dengan
orang lain dalam keseluruhan aktivitas kehidupan manusia (“learning to life
together”), dan belajar menjadi dirinya (“learning to be”) (Delors, 1996 dalam
Haryono, 2006). Hasil pembelajaran yang terpenting adalah dimilikinya kekuatan
dan kemampuan belajar yang tinggi untuk dapat mendidik dan mengembangkan
diri lebih lanjut, bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan, keterampilan,
dan sikap tetapi yang lebih penting adalah pengembangan metakognisi, yaitu
bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu diperoleh (Schunk, 2012).

Dalam kerangka mempersiapkan manusia abad 21 yang hidup dalam


nuansa masyarakat pengetahuan dan mega kompetisi dengan gelombang
perubahan yang sedemikian cepat, dibutuhkan suatu model pembelajaran yang
tidak saja bersifat deduktif tetapi juga induktif. Model pembelajaran yang
dibutuhkan adalah yang mampu menjamin peserta didik memiliki keterampilan
belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media
informasi, serta dapat bekerja dan bertahan dengan menguasai sejumlah
keterampilan untuk hidup (life skills). Pembelajaran dengan pendekatan saintifik
merupakan pilihan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga masyarakat
global, masyarakat pengetahuan yang penuh dengan tantangan sekaligus peluang.
Melalui pendekatan pembelajaran saintifik yang menjadi satu paket kebijakan
pendidikan, yaitu Kurikulum 2013 adalah langkah strategis menyiapkan generasi
emas bagi Indonesia di kancah pergaulan dunia yang terbuka. Ada tiga konsep
dasar yang dibenamkan dalam Kurikulum 2013, yaitu keterampilan abad 21,
pendekatan saintifik, dan penilaian autentik (Murti, 2013).
Terkait dengan upaya mencari dan mengembangkan model pembelajaran
yang efektif untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi masyarakat global,
teknologi pendidikan hadir memberikan solusi. Teknologi pendidikan adalah studi
dan praktik secara etis untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan
kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya
teknologi secara tepat (Januszewski and Molenda, 2008). Teknologi pendidikan
merupakan terapan disiplin pengetahuan dengan suatu tujuan meningkatkan
belajar, pembelajaran, dan atau kinerja (Spector, 2016). Teknologi pendidikan
sebagai disiplin ilmu terapan, berkembang oleh adanya kebutuhan di lapangan
yaitu kebutuhan untuk belajar secara lebih efektif, efisien, luas, banyak, cepat, dan
fungsional (Haryono, 2008).

Pertanyaan yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah bagaimana


teknologi pendidikan berperan dan berkontribusi dalam pengembangan model-
model pembelajaran yang mampu membekali para peserta didik dengan sejumlah
kompetensi yang diperlukan dalam konteks masyarakat abad 21. Apa yang dapat
dikontribusikan oleh bidang teknologi pendidikan sebagai studi dan praktik dalam
mewujudkan kinerja pembelajaran yang mampu menyiapkan peserta didik
memperoleh peluang partisipasi di kancah masyarakat global yang penuh
tantangan dan peluang tersebut.

Untuk mengawali bahan diskusi, berikut diuraikan sepintas perihal


kompetensi abad 21, pembelajaran untuk membekali pesrta didik dengan
kompetensi abad 21, dan peran teknologi pendidikan dalam mengembangkan
pembelajaran yang konstruktif terhadap pencapaian kompetensi abad 21.
Selanjutnya lontaran ide yang masih sangat terbatas ini biarlah menjadi stimulan
dan menginspirasi kepada semua yang terpanggil untuk terus mengembangkan
gagasan, mencari solusi atas persoalan, dan beraksi membumikan teknologi
pendidikan untuk kepentigan anak negeri.
Kompetensi Abad 21

Kompetensi lebih dari sekedar pengetahuan dan atau keterampilan, di


dalamnya mencakup kemampuan untuk memenuhi tuntutan yang kompleks,
merepresentasi dan memobilisasi sumber daya psikologis seperti keterampilan dan
sikap khusus (Ontario, 2016). Antara kompetensi dan keterampilan memang
sering digunakan secara bersamaan, tetapi memiliki makna yang sangat berbeda.
Kompetensi menunjuk pada kemampuan dalam mengaplikasikan capaian
pembelajaran (learning outcomes) secara adekuat dalam konteks pendidikan,
pekerjaan, personal atau pengembangan profesional. Kompetensi tidak terbatas
pada komponen kognitif seperti penggunaan teori, konsep, dan atau pengetahuan,
tetapi juga meliputi aspek-aspek fungsional keterampilan teknis, atribut
interpersonal, dan nilai etik. Semetara keterampilan – “skill” menunjuk pada
kemampuan dalam menyelesaikan tugas dan atau memecahkan masalah.
Betapapun kompetensi merupakan konsep yang lebih luas dari sekadar
keterampilan.
Seiring laju perubahan dan perkembangan yang terjadi pada era global
yang telah jauh berbeda dengan era dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu,
tuntutan akan kompetensi manusia untuk bisa hidup, bekerja, dan meraih peluang
partisipasi di dalamnya, jauh lebih kompleks dan berkelas tinggi. Pergeseran
lapangan kerja dari model industri produksi ke arah ekonomi pengetahuan,
kebutuhan tenaga kerja mengalami transformasi dari pekerjaan rutin secara
manual yang cukup dengan keterampilan dan kemampuan kognitif rendah
bergeser pada pekerjaan non rutin yang memelukan keahlian berpikir (Trilling and
Fabel, 2009). Ekonomi pengetahuan (knowledge economy) berbasis teknologi dan
tekoneksi secara global membutuhkan kompetensi yang sesuai dengan tuntutan
perubahan dan dinamika sosial yang tidak dapat diperkirakan (Ontario, 2016).
Pendidikan dan pembelajaran harus mampu mengotimalkan perkembangan
kompetensi peserta didik, menjamin nahwa perserta pada saatnya mampu hidup,
bekerja, dan berpartisipasi dalam masyarakat abad 21, masyarakat
berpengetahuan, dan masyarakat ekonomi global.

Kompetensi abad 21 secara substantif dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Kompetensi abad 21 berhubungan dengan perkembangan ranah kognitif,


interpersonal, dan intrapersonal. Secara konvensional kompetensi kognitif
yang meliputi berpikir kritis, analitis, dan problem solving dapat diharapkan
menjadi indikator kunci kesuksesan. Tetapi perubahan ekonomi, teknologi,
dan konteks sosial pada abad 21 menjadikan kompetensi interpersonal dan
intrapersonal lebih menentukan kesuksesan seseorang. Perusahaan (para
pemilik pekerjaan) semakin menghargai soft skill seperti teamwork dan
leadership skills (Ontario, 2016). Keterampilan sosial seseorang menjadi
faktor penentu pekerjaan, soft skills yang dimiliki oleh orang muda berdampak
pada prospek pekerjaan di masa tuanya (Pellegrino and Hilton, 2012).
2. Kompetensi abad 21 memiliki manfaat yang terukur untuk beberapa area
kehidupan. Konpetensi kunci dapat diidentifikasi berdasarkan seberapa
memberi kontribusi terhadap pencapaian pendidikan, relasi, pekerjaan,
kesehatan dan kesejahteraan. Kompetensi ini berhubungan dengan berpikir
kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas dan inovasi. Berpikir kritis dalam
hal ini dideskripsikan sebagai kemampuan untuk merancang dan mengelola
proyek, memecahkan masalah, dan membuat keputusan secara efektif dengan
memanfaatkan perangkat dan sumber yang bervariasi. Berpikir kritis
diperlukan untuk memperoleh, memproses, merasionalisasi, dan mengkritisi
berbagai informasi yang bertentangan untuk dipilih secara tepat. Komunikasi
menunjuk tidak hanya pada kemampuan berkomunikasi secara efektif baik
secara oral dan tulis dengan perangkat digital yang bervariasi, tetapi juga
keterampilan dalam mendengarkan (listening skills). Kolaborasi yang
dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan untuk bekerja dalam tim, belajar
dari yang lain dan berkontribusi terhadap yang lain, menggunakan
keterampilan jejaring sosial, dan menunjukkan empati dalam berkerja.
Kolaborasi diperlukan untuk mengembangkan kecerdasan kolektif,
mengkonstruk makna, dan mencipta konten personal. Kreativitas
dideskripsikan sebagai pengejaran atas gagasan, konsep, produk baru yang
dibutuhkan oleh dunia. Inovasi merupakan elemen atau unsur dari kreativitas
dan sering dimaknai sebagai realisasi atas ide baru yang selanjutnya mampu
memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan (Ontario, 2016).

3. Kompetensi pada ranah intrapersonal memberikan sumbangan yang berarti


bagi kesejahteraan, pengembangan karakter, dan kesuksesan seseorang.
Kompetensi non akademik, kompetensi intrapersonal seperti ketekunan
(perseverance), ketabahan (grit), keuletan (tenacity), dan pola pikir (mindset)
memiliki hubungan yang kuat terhadap kapasitas individu dalam menghadapi
tantangan dan mencapai kesuksesan jangka panjang (Ontario, 2016).

4. Kompetensi berkenaan dengan metakognisi dan perkembangan pola pikir


merupakan esensi pencapaian kesuksesan di abad 21. Pemahaman tentang
bagaimana orang belajar dan seberapa dirinya mampu belajar, adalah hasil
pendidikan dan pembelajaran yang penting dalam menghantarkan seseorang
untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Oleh karenanya belajar tentang
proses bagaiamana belajar perlu menjadi inti dan tujuan pendidikan abad 21
(Ontario, 2016). Metakognisi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk
memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang diperlukan untuk
keperluan hidupnya (Schunk, 2012).

5. Kompetensi berkenaan dengan kewarganegaraan lokal, global, dan digital


meningkatkan kemampuan individu dalam merespon secara konstruktif
terhadap perubahan dan tantangan yang dihadapi. Kompetensi
kewarganegaraan (citizenship) adalah kompetensi personal dan sosial, melek
warganegara (civic literacy), kesadaran global, dan keterampilan lintas
budaya. Kompetensi kewarganegaraan merupakan pengetahuan global,
sensitifitas dan respek terhadap budaya lain, aktif terlibat dalam isu-isu
kemanusian dan lingkungan, dan secara khusus mampu berkolaborasi secara
lintas budaya dan negara (Ontario 2016).
6. Kompetensi berkenaan dengan kreativitas dan inovasi menjadi unsur penting
dalam aktivitas kewirausahaan (entrepreunership). Kewirausahaan adalah
proses penciptaan dan penerapan ide-ide inovatif terkait dengan peluang
ekonomi dan masalah sosial, melalui penciptaan usaha, peningkatan dan
pengembangan produk, atau memperbarui mode organisasi. Kompetensi
kewirausahaaan adalah kombinasi dari kompetensi interpersonal,
intrapersonal, dan kognitif yang meliputi kreativitas dan inovasi, kolaborasi,
kerja tim, kepemimpinan, dan ketekunan (Ontario, 2016).

Rangkuman kerangka internasional kompetensi abad 21 yang dirumuskan


oleh The Assesment and Teaching of 21st Century Skills (ATC21S) Project,
meliputi; (1) cara berpikir, terdiri atas kreativitas dan inovasi, berpikir kritis,
problem solving, dan membuat keputusan; (2) cara bekerja, terdiri atas
komunikasi dan kolaborasi; (3) perangkat bekerja, terdiri atas literasi informasi,
dan literasi TIK; (4) hidup di dunia, terdiri atas kewarganegaraan lokal dan global,
keterampilan hidup dan karir (mencakup adaptif terhadap perubahan, mengelola
tujuan dan waktu, menjadi pembelajar mandiri, mengelola kegiatan/projek,
bekerja efektif dalam tim, fleksibel, membimbing dan memimpin orang lain),
tanggung jawab secara personal dan sosial (Ontario, 2016). Sementara Fullan and
Scott (2014) mengidentifikasi kompetensi abad 21 ke dalam “The Six Cs”, yaitu;
(1) Character education, mencakup karakter jujur, pengaturan diri dan
tanggung jawab, tekun, empati untuk memberikan rasa aman dan kebermaknaan
bagi orang lain, percaya diri, kepribadian yang sehat dan sejahtera, keterampilan
hidup dan karir. (2) Citizenship, mencakup aspek pengetahuan global, sensitifitas
dan respek terhadap budaya lain, aktif terlibat dalam kegiatan kemanusiaan dan
lingkungan. (3) Communication, mencakup kemampuan berkomunikasi secara
efektif baik dalam bentuk oral, tulis, dan pemanfaatan perangkat digital, serta
keterampilan dalam mendengar. (4) Critical thinking and problem solving,
berpikir secara kritis dalam merancang dan mengelola kegiatan (project),
memecahkan masalah, dan membuat keputusan dengan memanfaatkan perangkat
digital dan sumber yang bervariasi. (5) Collaboration, mencakup kemampuan
bekerja dalam tim, belajar dari yang lain dan berkontrinbusi tehadap yang lain,
keterampilan social networking, dan empati terhadap perbedaan dalam bekerja.
(6) Creativity and imagination, mencakup kompetensi entrepeunership secara
ekonomi dan sosial, memperhatikan dan mendorong lahirnya berbagai ide baru,
dan kepemimpinan.

Dalam konteks menyiapkan generasi menjadi warganegara masyarakat


global, masayarakat informasi, dan masyarakat berpengetahuan, NEA (2012)
merekomendasikan tentang pentingnya pengembangan “Four Cs” untuk
melengkapi pelajaran inti (core subject) dari suatu program pendidikan. Four Cs
yang dimaksud adalah; (1) Critial thinking and problem solving, di dalamnya
mencakup kemampuan berargumen secara efektif, berpikir sistemik, membuat
pembenaran dan keputusan, dan memecahkan masalah. (2) Communication,
mampu menyampaikan pikiran dan gagasan secara efektif dalam bentuk oral,
tulis, dan non verbal lainnya, terampil mendengar (listening skills), mampu
menggunakan perangkat komunikasi secara efektif dan fungsional, mampu
berkomunikasi dengan berbagai kalangan, berbagai tujuan, dan berbagai konteks
budaya.
(3) Collaboration, kemampuan bekerja secara efektif dalam tim, fleksibel dan
mau membantu untuk berkompromi demi tercapainya tujuan bersama, dan mampu
berbagi tanggung jawab dan menghargai kontribusi dari anggota tim. (4)
Creativity and Innovation, adalah kemampuan untuk berpikir kreatif, bekerja
secara kreatif dengan yang lain, mampu mengimplementasikan ide-ide kreatif
dalam praktik.

Pembelajaran untuk Membelajarkan Kompetensi Abad 21

Pembelajaran adalah proses menjadikan orang belajar. Pembelajaran


adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain
belajar (Miarso, 2004), malakukan pengubahan pengetahuan, keterampilan,
strategi, keyakinan, sikap, dan perilaku (Schunk, 2012). Usaha menjadikan orang
lain belajar dapat dilakukan oleh seseorang atau tim yang memiliki kemampuan
dalam merancang, mengembangkan, memanfaatkan, mengelola, dan menilai
proses dan sumber belajar. Pembelajaran mengandung makna yang lebih dari
pengajaran sebagaimana dipahami sebagai penyajian bahan ajar. Belajar adalah
suatu proses mental yang bersifat personal, berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan untuk menghasilkan perubahan-perubahan dalam kemampuan,
sikap, keyakinan, pengetahuan, dan atau keterampilan (Spector, 2016). Hal
ini menunjukkan secara jelas bahwa belajar adalah suatu proses untuk
menghasilkan sesuatu.

Membelajarkan kompetensi abad 21 kepada peserta didik adalah sebuah


keniscayaan. Pembelajaran yang dikembangterapkan pada abad 21 adalah
pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi secara utuh, tidak saja
membekali peserta didik dengan sejumlah core subject sesuai peminatan, tetapi
juga perlu membekali dengan kompetensi non akademik yang lebih bersifat
interpersonal dan intrapersonal. Pembelajaran yang dikembangkan harus
mengarah pada upaya memberdayakan peserta didik, yaitu mampu membantu
pertumbuhan dan perkembangan daya kekuatan untuk melakukan sesuatu (power
to), membangun kerjasama (power with), dan mengembangkan kekuatan dalam
diri pribadi (power within). Pembelajaran harus dapat membantu seseorang untuk
dapat memiliki kemampuan berpikri, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
guna mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan mengembangkan
keterampilan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diperlukan agar orang
mampu mengambil tanggung jawab atas kehidupannya, memberi inspirasi agar
orang dapat mengembangkan perasaan harga diri dan kesediaan untuk mengambil
sikap, berani bersikap kritis terhadap dirinya, dan reflektif terhadap tindakan-
tindakannya. Di samping itu pembelajaran juga harus membantu seseorang untuk
membangun kemampuan bekerjasama dengan orang lain, solidaritas atas dasar
komitmen pada tujuan dan pengerttian bersama, memecahkan masalah bersama
demi tercapainya kesejahteraan bersama. Pembelajaran harus dapat
menumbuhkembangkan suatu caring society, komunitas persaudaraan yang
memperhatikan kepentingan semua pihak. Selanjutnya pembelajaran juga harus
mampu berfungsi sebagai pemberdayaan kekuatan batin seseorang,
mengembangkan potensi dalam diri seseorang untuk menjadi kekuatan yang
mampu menumbuhkan harga diri, kepercayaaan diri, dan harapan akan masa
depannya (Sastrapratedja, 2004).
Untuk mewujudkan model pembelajaran yang relevan dan kondusif untuk
menyiapkan peserta didik menjadi wargaegara masyarakat gobal, masyakatat
informasi, dan masyarakat pengetahuan abad 21, diperlukan langkah dan atau
strategi sebagai berikut.

1. Fokus pembelajaran pada praktik belajar lebih dalam (deeper learning) dan
belajar kemitraan baru. Belajar lebih dalam adalah proses dimana individu
menjadi mampu mengambil apa yang dipelajari dari satu situasi dan
mengamplikasikannya pad situasi lain. Belajar lebih dalam melibatkan lintas
kompetensi kognitif, interpersonal, dan intrapersonal. Pembelajar adalah mitra
bagi eserta didik dalam proses belajar lebih dalam melalui proses eksplorasi,
keterhubungan pada dunia nyata yang lebih luas (Ontario, 2016).

2. Strategi pembelajaran mengaplikasikan strategi pedagogi yang mendukung


praktik deeper learning dan kemitraan baru. Untuk menyiapkan peserta didik
mampu mencapai kesuksesan dalam masyarakat pengetahuan dan ekonomi
yang dinamis yang dicirikan dengan kompleksitas, tidak terprediksi,
keterhubungan global, perubahan yang sekaligus peluang, pembelajaran harus
bergeser dari model
pembelajaran langsung ke arah model pembelajaran penemuan (inquiry based
model). Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi yang
dapat dikembangkan, pembelajar tidak hanya mempresentasikan informasi
tetapi dalam jangka panjang juga menjadikan peserta didik lebih terampil
dalam pemecahan masalah (Ontario, 2016).

3. Pemanfaatan teknologi diarahkan pada upaya membantu peserta didik dalam


mengembangkan keterampilan teknologis sebagai bagian dari kompetensi
abad 21. Pemanfaatan teknologi dalam dimensi produk maupun proses
diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam proses belajar
dan peningkatan pecapaian prestasi. Teknologi memungkinkan individu oleh
memperoleh akses informasi (real-time data), memberikan simulasi tentang
suatu objek sebagaimana adanya (real world), dan peluang untuk terkoneksi
dengan berbagai objek belajar sesuai minat. Teknologi dapat membantu dalam
asesmen perkembangan performansi peserta didik, memfasilitasi proses
komunikasi dan kolaborasi (Ontario, 2016).

4. Pendidikan informal dan belajar pengalaman berperan penting dalam


mengmebangkan kompetensi peserta didik. Artinya pembelajaran yang
dikembangterapkan bagi peserta didik harus mempertimbangkan pengalaman
belajar yang diperoleh di luar kelas, dan perlu mengembangkan berbagai
aktivitas untuk memperkaya pengalaman belajar peserta didik di luar kelas
(Ontario, 2016).

5. Assesmen dilakukan dengan pendekatan pedagogik transformatif. Assesmen


yang dikembangkan untuk mendukung keberhasilan proses pembelajaran
berorientasi pada pencapaian kompetensi abad 21, adalah yang mampu
menjangkau seluruh aspek capain pembelajaran(Ontario, 2016). Assesmen
autentik memungkinkan untuk mengkur capaian pembelajaran secara
komprehensif, mulai dari dimensi kognisi, keterampilan, hingga sikap dan
sistem nilai, tidak hanya beorientasi pada produk (capaian hasil) semata, tetapi
juga dari dimensi proses pencapainya.

6. Dukungan infrastruktur pembelajaran berperan penting dalam pencapaian


komptensi abad 21. Ruang fisik di mana dan kapan peserta didik melakukan
proses belajar menjadi faktor pendukung yang signifikan. Ruang fisik
(physical space) mencakup aspek desain yang fleksibel, memfasilitasi
keterhubungan yang konstruktif, konfigurasi perpustakaan yang menjadi pusat
belajar, dan desain yang memudahkan berhunungan dengan dunia luar, dengan
komunitas yang labih luas Ontario, 2016).

Dengan langkah dan atau strategi di atas, diharapkan dapat mewujudkan


suatu model pembelajaran yang mampu menjadikan peserta didik aktif belajar
untuk membangun pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai tuntutan
perubahan dan tantangan jaman. Keaktifan peserta didik dalam pembelajaran
dicirikan oleh aktif dalam berpikir – mind on dan aktif dalam berbuat – hand on
(Suparno, 2002). Kedua bentuk keaktifan ini saling terkait. Tindakan riil peserta
didik dalam pembelajaran adalah hasil keterlibatan berpikir terhadap objek
belajar, pengalaman dari hasil tindakan diolah dengan menggunakan kerangka
pikir dan pengetahuan yang sudah dimiliki untuk membangun sebuah pemahaman
baru. Dengan demikian peserta didik mengembangkan pengetahuan dan bahkan
mengubah pengetahuan sebelumnya menjadi lebih baik, lebih lengkap, dan lebih
komprehensif. Lebih dari itu berangkat dan pengetahuan dan
pemahaman barunya, peserta didik melakukan pengolahan dan refleksi yang dapat
melahirkan suatu tindakan lain sebagai perwujudan dari keingintahuannya yang
terus berlanjut. Proses aktif belajar yang ditumbuhkan dalam pembelajaran
merupakan proses yang tiada henti (Haryono, 2005).

Peran Teknologi Pendidikan

Teknologi pendidikan adalah studi dan praktik secara beretika untuk


memfasilitasi

belajar dan peningkatan kinerja melalui penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan


aneka sumber

dan teknologi secara tepat (Januszewski and Molenda, 2008). Teknologi


pendidikan merupakan bidang yang berkepentingan dengan usaha memudahkan
proses belajar dan

peningkatan kinerja melalui perancangan, pengembangan, pemroduksian,


pendayagunaan, dan pengelolaan sumber dan teknologi secara tepat. Teknologi
pendidikan merupakan bidang ilmu terapan yang mengintegrasikan secara sinergis
beberapa disiplin ilmu dengan maksud memudahkan terjadinya proses belajar,
meningkatkan mutu pembelajaran, dan meningkatkan kinerja. Proses studi
(pengkajian) dan praktik dalam teknologi pendidikan harus dilakukan secara
bertetika.

Teknologi pendidikan adalah proses bersistem dalam membantu


memecahkan masalah belajar manusia sepanjang hayat, di mana saja, kapan saja,
dengan cara apa saja, dan oleh siapa saja (Miarso, 2004). Masalah belajar utama
yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas profesional pendidik adalah
berkenaan dengan proses membelajarkan konsep abstrak, konsep yang
rumit/kompleks, peristiwa yang sudah lewat, pemahaman terhadap bahan yang
diceramahkan, memberikan pengalaman langsung dan pengalaman berinteraksi
dengan objek yang terlalu besar atau kecil. Permasalahan belajar dalam konteks
mikro ini dapat diatasi dengan menerapkan prinsip-prinsip teknologi pendidikan,
seperti pemanfaatan media yang relavan dalam proses pembelajaran,
pengembangan model pembelajaran yang tepat sesuai karakteristik peserta didik
dan kompetensi yang akan dicapai, dan pendayagunaan aneka sumber belajar
yang tersedia. Pemecahan masalah belajar yang terjadi di ruang-ruang kelas
pembelajaran dapat dilakukan dengan menerapkan teori dan praktik teknologi
pendidikan (Haryono, 2008).

Dalam konteks membelajarkan kompetensi abad 21, peran teknologi


pendidikan dapat diwujudnyatakan dalam aplikasi fungsi penciptaan,
pemanfaatan, dan pengelolaan sumber dan teknologi untuk meningkatkan mutu
pembelajaran dalam jangka pendek dan peningkatan kinerja sebagai capaian
pembelajaran jangka panjang. Untuk mengembangkan kompetensi abad 21
dibutuhkan model pembelajaran yang fokus pada belajar lebih dalam (deeper
learning) dan kemitraan baru (new partnership) dengan strategi pedagogi yang
lebih luas, didukung dengan pemanfaatan dan pengelolaan aneka sumber dan
teknologi secara tepat dan fungsional. Ini semua adalah tantangan yang sekaligus
peluang bagi bidang teknologi pendidikan untuk menunjukkan eksistensi dan
peran strategisnya.
Terapan teknologi pendidikan berpotensi mendorong berkembangnya
sistem pembelajaran yang lebih inovatif, pendayagunaan produk kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mendukung aktivitas pembelajaran, dan
berkembangnya pola pembelajaran yang bervariasi. Sistem pembelajaran inovatif
sebagai bentuk terapan teknologi pendidikan, telah berhasil diciptakembangkan
dan beberapa diantaranya dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional. Sistem
pendidikan terbuka seperti SMP Terbuka, SMA Terbuka, Universitas Terbuka
adalah bentuk riil dari terapan teknologi pendidikan dalam inovasi pembelajaran
yang telah melembaga dan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Sistem pembelajaran jarak jauh, pembelajaran berbasis web, e-learning adalah
terapan teknologi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan belajar yang prospektif
ke depan seiring laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama
dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (Haryono, 2008).

Terkait dengan model pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi


abad 21, para teknolog pendidikan ditantang untuk mampu menciptakembangkan
berbagai rancangan pembelajaran yang efektif bagi tercapainya suatu proses
belajar yang mendalam dan terbangunnya kemitraan baru, rancangan
pembelajaran yang fungsional memberikan pengalaman pemecahan masalah,
mengembangkan kemampuan untuk berbuat, bekerja dengan orang lain, dan
kekuatan batin peserta didik. Berangkat dari rancangan pembelajaran yang
dikembangkan, teknolog pendidikan harus juga mampu mengembangkan dan
meproduksi perangkat pembelajaran (bahan ajar, media, dan alat ukur
keberhasilannya) yang diperlukan. Setelah itu teknolog pendidikkan masih harus
melakukan uji kelayakan dan keefektivan atas produk yang berhasil
diciptakembangkan. Jauh sebelum melakukan perancangan, pengembangan,
pemroduksian, dan penerapan suatu karya, teknolog pendidikan juga harus
melakukan pengkajian baik secara konseptual teoretik maupun praksis empirik
lapangan.
Bidang teknologi pendidikan memiliki peran strategis dalam mewujudkan
pembelajaran abad 21 yang yang harus mengembangkan kompetensi kognitif,
interpersonal, dan intrapersonal, membekali peserta didik dengan core subject
yang kuat dilengkapi dengan kompetensi non akademik yang sangat diperlukan
dalam lapangan kerja pada era global, masyarakat informasi, dan masyarakat
pengetahuan. Kompetensi berpikir kritis dan pemecahan masalah, komunikasi,
kolaborasi, kreatif dan inovatif menjadi faktor determinan terhadap keberhasilan
seeorang dalam kehidupan dan perjalanan karirnya. Melalui fungsi penciptaan,
pemanfaatan, dan pengelolaan aneka sumber dan teknologi secara tepat, teknologi
dapat berkontribusi secara bermakna dalam upaya mewujudkan pembelajaran
yang mampu mengembangkan kompetensi akademik dan non akademik sesuai
tuntutan perubahan.

Penutup

Kehadiran teknologi pendidikan adalah untuk memberikan solusi terhadap


permasalahan belajar manusia, lahir dan berkembang untuk berkontribusi pada
uaya peningkatan mutu pembelajaran dan peningkatan kinerja. Dalam kontek
pembelajaran untuk menyiapkan warganegara pada masyarakat global,
masyarakat informasi, dan
masyarakat pengetahuan, teknologi pendidikan mampu berkontribusi melalui
fungsi penciptaan, pemanfaatan, pengelolaan aneka sumber dan teknologi.
Eksistensi dan perkembangan teknologi pendidikan selanjutnya akan lebih banyak
bergantung pada seberapa para teknolog pendidikan yang mau dan mampu
berinovasi dalam implementasi teknologi pendidikan secara nyata untuk praksis
pendidikan dan pembelajaran. Bidang teknologi pendidikan memiliki peran
strategis dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran dan kinerja seiring
perkembangan jaman dan tuntutan perubahan.

Pustaka Acuan

Fullan, M. 2013. Great to Excellent: Launching the next stage of Ontario,s


education agenda. Diunduh Juni 2017 dari http://michaelfullan.ca/great-
to-excellent-launching-the-next-stage-of-ontarios-education-agenda/

Haryono. 2005. “Aplikasi Teori Belajar dalam Desain Pembelajaran”. Makalah.


Diunduh Juni 2017 dari http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.

Haryono. 2006. “Model Pembelajaran Berbasis Peningkatan Keterampilan Proses


Sains”. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 7 No. 1 Maret 2006. Hal. 1-10.
Diunduh Juni 2017 dari http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.

Haryono. 2008. “Kesalahan Terapan Teknologi Pendidikan dalam Praksis


Pembelajaran”. Makalah Promosi Guru Besar Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 26 Februari 2008.
Diunduh Juni 2017 dari http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.

Januszewski, Alan and Michael Molenda. 2008. Educational Technology: A


Definition
with Commentary. New York: Taylor & Francis Group.
Murti, Kuntarti Eri. 2013. “Pendidikan Abad 21 dan Implementasinya pada
Pembelajaran di SMK untuk Paket Keahlian Desain Interior”. Artikel
Kurikulum 2013 SMK. Diunduh Juni 2107 dari http://p4tksb-
jogja.com/index.php/more/topic/525-artikel-widyaswara.

NEA (National Education Association). 2012. Preparing 21st Century Students


for a Global Society: An Educator’s Giude to the “Four Cs”. Author:
NEA. Diunduh September 2016 dari www.nea.org/assets/docs/A-Guide-
to-Four-Cs.pdf.

Ontario Ministry of Education. 2016. 21st Century Competencies: Towards


defining 21st Century Competencies for Ontario. Toronto: Author.
Diunduh September 2016 dari
www.ksbe.edu/_assets/spi/pdfs/21_century_skills_full.pdf.

Pallegrino, J.W. and Margaret L. Hilton. 2102. Education for Life and Work:
Developing Transferable Knowledge and Skills in the 21st Century.
Diunduh Juni 2017 dari http://www.nap.edu/catalog.php?
record_id=13398.

Sastrapratedja, M. 2004. “Apa dan Siapakah Manusia” dalam Widiastono, Tonny D.


2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories: An Educational Pespective. (Alih Bahasa:


Eva

Hamidah, Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI


PENDIDIKAN 435
Semiawan, Conny R. 1998.
Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan
Manusia
Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Spector, J. Michael. 2016. Foundations of Educational Technology. New York:


Routledge.

Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient, Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.


Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: Grasindo.

Suparno, Paul., dkk. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi.


Yogyakarta:
Kanisius.

Tilaar, H. A. R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam


Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.

Trilling, Bernie and Charles Fadel. 2009. 21st Century Skills: Learning for Life in
Our
Time. San Francisco: Jossey-Bass.

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Anda mungkin juga menyukai