Anda di halaman 1dari 14

PEMBELAJARAN LITERASI

DALAM KONTEKS KURIKULUM 2013 EDISI REVISI 2017

Prof. Dr. H. Suwatno, M.Pd.


Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Rendahnya kemampuan literasi siswa Indonesia menjadi salah satu
keresahan tersendiri. Jika disandingkan dengan perkembangan zaman
yang semakin menuntut meningkatnya kualitas sumber daya manusia,
rendahnya kemampuan literasi siswa harus disikapi secara bijak dengan
dilaksanakan berbagai program antisipasi yang jelas dan sistematis.
Sejalan degan kenyataan tersebut, sejalan dengan diberlakukannya
kurikulum 2013 versi 2017 program pembelajaran literasi dasar
merupakan program yang harus dilaksanakan para guru dalam
mengembangkan kemampuan literasi siswa. Pelaksanaan program ini
dapat dilakukan guru dengan mendayagunakan pembelajaran
multiliterasi, integrasi, dan berdiferensiasi.

Kata Kunci: Pembelajaran Literasi, Literasi Dasar, Kurikulum 2013

A. Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan paradigma dunia tentang makna pendidikan,
pendidikan dihadapkan ada sejumlah tantangan yang semakin berat. Salah satu
tantangan nyata tersebut adalah bahwa pendidikan hendaknya mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi abad ke-21.
Berbeda dengan beberapa dekade yang lalu, kompetensi yang diharapkan dimiliki
sumber daya manusia saat ini lebih dititikberatkan pada kompetensi berpikir dan
komunikasi. Kompetensi berpikir artinya bahwa diharapkan sumber daya manusia
memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan
berpikir kreatif. Kompetensi komunikasi artinya bahwa sumber daya manusia
hendaknya memiliki kemampuan berkomunikasi dalam rangka bekerja sama dan
menyampaikan ide-ide kritis kreatifnya.
Bertemali dengan karakteristik abad ke-21, tuntutan terhadap kompetensi
berpikir semakin berkembang. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
Morocco, et al. (2008: 5) bahwa pada abad kedua puluh satu minimalnya ada empat
kompetensi belajar yang harus dikuasai yakni kemampuan pemahaman yang tinggi,
kemampuan berpikir kritis, kemampuan berkolaborasi dan berkomunikasi, serta
kemampuan berpikir kritis. Senada dengan yang diuraikan Morocco, et al. di atas,
secara lebih komprehensif Trilling and Fadel (2009: 47) menggagas konsep pelangi
keterampilan dan pengetahuan sebagai subjek inti atau kompetensi utama yang

1
harus dikembangkan dalam konteks pendidikan abad ke-21. Pelangi keterampilan
dan pengetahuan tersebut disajikan dalam gambar 1.2 berikut.

Gambar 1
Pelangi Keterampilan dan Pengetahuan Abad Ke-21
(Trilling & Fadel, 2009: 47)

Berdasarkan pelangi keterampilan dan pengetahuan yang


dikembangkannya, Trilling & Fadel (2009: 48) menjelaskan bahwa keterampilan
utama yang harus dimiliki dalam konteks abad ke-21 adalah keterampilan belajar
dan berinovasi. Keterampilan ini berkenaan dengan kemampuan berpikir kreatif
dan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi dan
berkolaborasi, dan kemampuan untuk berkreativitas dan berinovasi. Ketiga
keterampilan ini diyakini merupakan keterampilan utama yang dapat menjawab
berbagai tantangan hidup baik dari dimensi ekonomi, sosial, politik maupun
dimensi pendidikan. Oleh sebab itu, proses pembelajaran hendaknya diorientasikan
untuk membekali siswa dengan ketiga keterampilan tersebut di samping membekali
siswa dengan pengetahuan keilmuan tertentu.
Kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah
sebagai salah satu orientasi pembelajaran modern secara lebih luas akan membekali
siswa dengan keterampilan lain yang lebih kecil yang melingkupinya. Keterampilan
dimaksud adalah keterampilan menggunakan berbagai alasan secara efektif,
keterampilan berpikir secara sistemik, keterampilan mempertimbangkan dan
membuat keputusan, dan keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan
berkomunikasi dan berkolaborasi dimaksudkan untuk membekali siswa agar
mampu berkomunikasi untuk berbagai tujuan secara jelas dan efektif, baik dalam
hal berbicara, menulis, membaca, maupun menyimak dan membekali siswa agar
mampu berkolaborasi dengan orang lain sehingga siswa akan mampu bekerja
secara efektif dalam kelompok, melakukan negosiasi secara efektif, dan mampu

2
menghargai peran orang lain dalam kelompoknya. Kemampuan berkreativitas dan
berinovasi dimaksudkan untuk membekali siswa agar mampu berpikir kreatif,
bekerja kreatif dengan orang lain, dan mampu menghasilkan berbagai inovasi.
Keterampilan kedua yang menjadi fokus kompetensi pembelajaran abad ke-
21 adalah keterampilan dalam menguasai media, informasi, dan teknologi (TIK).
Berkenaan dengan keterampilan ini, Trilling & Fadel (2009: 65) menjelaskan
bahwa keterampilan ini menghendaki siswa di masa yang akan datang melek
informasi, melek media, dan melek TIK. Kemampuan melek informasi mencakup
keterampilan mengakses informasi secara efektif dan efisien, kompeten menilai dan
mengkritisi informasi, dan kemampuan menggunakan informasi secara akurat dan
kreatif. Keterampilan melek media mencakup kemampuan untuk menggunakan
media sebagai sumber belajar dan menggunakan media sebagai alat untuk
berkomunikasi, berkarya, dan berkreativitas. Keterampilan melek TIK mencakup
kemampuan menggunakan TIK secara efektif baik sebagai alat penelitian, alat
berkomunikasi, dan alat evaluasi serta memahami benar kode etik penggunaan TIK.
Keterampilan ketiga harus menjadi tujuan bagi proses pembelajaran abad
ke-21 adalah keterampilan berkehidupan dan berkarier Trilling & Fadel (2009: 75).
Keterampilan ini mencakup keterampilan hidup dan berkarier secara fleksibel dan
adaptif, berinisiatif dan mandiri, mampu berinteraksi sosial dan lintas budaya,
produktif dan akuntabel, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab.
Masing-masing keterampilan ini selanjutnya dapat diperinci sebagai berikut.
Keterampilan hidup dan berkarier secara fleksibel secara lebih terperinci
melingkupi kemampuan mengolah saran yang diterima secara efektif, berpikir
positif terhadap kritik, dan memahami perbedaan kepercayaan dan sudut pandang.
Keterampilan hidup dan berkarier secara adaptif melingkupi kemampuan
beradaptasi dengan berbagai perubahan baik perubahan aturan, koteks, jadwal,
tanggung jawab, serta mampu bekerja secara efektif dalam iklim ambiguitas dan
perubahan prioritas.
Keterampilan berinisiatif dan mandiri merupakan keterampilan hidup dan
berkarier yang membekali siswa agar kelak mampu bekerja penuh motivasi, penuh
inisiatif, dan mampu berdiri sendiri. Berkenaan dengan hal ini, pembelajaran ke
abad ke-21 hendaknya mampu membekali siswa untuk mampu mengelola waktu
dan tujuan dan bekerja mandiri secara efektif. Dalam prosesnya, siswa hendaknya
dibina agar mampu mengatur dirinya sendiri dalam menguasai pengetahuan,
menunjukkan inisiatif selama proses pembelajaran, memiliki komitmen belajar, dan
mampu melakukan refleksi kritis atas pengalamannya belajar sebagai bekal baginya
di masa yang akan datang.
Keterampilan berinteraksi sosial secara lintas budaya merupakan
keterampilan berkehidupan dan berkarier yang penting. Hal ini sejalan dengan

3
kenyataan bahwa siswa akan hidup dalam lingkungan sosial yang memiliki
keberagaman budaya sehingga menuntut mereka mampu berinteraksi secara baik,
baik antara budaya maupun lintas budaya. Bertemali dengan hal ini, pembelajaran
pada abad ke-21 diarahkan agar membekali siswa untuk mampu berinteraksi secara
efektif dengan orang lain dan mampu bekerja dalam kelompok yang berbeda.
Keterampilan berkehidupan dan berkarier yang keempat yang perlu dibina
adalah produktif dan akuntabel. Bertemali dengan hal ini pembelajaran hendaknya
dilakukan dengan orientasi agar siswa mampu menunjukkan kemampuannya
mengelola proyek tertentu dari tahap perencanaan hingga tahap pengevaluasian dan
menunjukkan berbagai atribut yang berhubungan dengan aktivitas produksi yang
dilakukan baik dalam hal mengelola waktu, bekerja secara positif dan etis, mampu
menyelesaikan banyak tugas, senantiasa berpartisipasi aktif, dan akuntabel atas
hasil yang dicapainya.
Keterampilan berkehidupan dan berkarier yang terakhir yang perlu
dibinakan kepada siswa dalam pembelajaran adalah kepemimpinan dan tanggung
jawab. Hal ini berarti pembelajaran seyogyanya senantiasa membina dan
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab pada diri siswa sehingga
kedua hal ini di masa yang akan datang mampu digunakan siswa dalam
berkehidupan dan berkarier. Pembinaan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab
ini dapat dilakukan melalui pembiasaan yakni melalui pemberian kesempatan
kepada siswa untuk memandu dan memimpin teman-temannya selama proses
pembelajaran dan membiasakan siswa untuk peduli dengan teman-temannya yang
memiliki minat, bakat, dan potensi yang berbeda.
Berdasarkan kompetensi abad ke-21 sebagai dikemukakan beberapa ahli di
atas, Kemendikbud melakukan sejumlah terobosan guna meningkatkan mutu
pendidikan agar mampu menghasilkan lulusan yang siap bersaing secara global di
masa yang akan datang. Salah satu terobosan awal tersebut adalah dengan
memberlakukan kurikulum 2013. Dengan kata lain, pemberlakuan kurikulum 2013
ditujukan untuk menjawab tantang zaman terhadap pendidikan yakni untuk
menghasilkan lulusan yang kompetitif, inovatif, kreatif, kolaboratif serta
berkarakter. Guna mencapai orientasi akhirnya ini, disadari benar bahwa
pendidikan bukan hanya dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan
berdasarkan subjek inti pembelajaran melainkan juga harus diorientasikan agar
peserta didik memiliki kemampuan kreatif, kritis, komunikatif sekaligus
berkarakter.
Upaya pengembangan kurikulum 2013 yang lebih baik tidak hanya
dilakukan dengan sekali jadi. Sejak diberlakukan pada tahun 2013, setidaknya telah
dilakukan penyempurnaan sebanyak tiga kali yakni para tahun 2014, 2016, dan
2017. Penyempurnaan kurikulum 2013 tersebut ditujukan agar kurikulum yang

4
dikembangkan benar-benar sejalan dengan kondisi dan kebutuhan siswa Indonesia
sehingga diharapkan mampu menghasilkan Generasi Indonesia Emas pada tahun
2045. Pada tahun 2017, penyempurnaan kurikulum ini selanjutnya dilengkapi
dengan program gerakan literasi nasional sebagai salah satu program utama
Kemendikbud dalam mengembangkan mutu sumber daya manusia Indonesia di
masa yang akan datang.

B. Literasi dan Gerakan Literasi Sekolah


Secara tradisional, literasi dipandang sebagai kemampuan membaca dan
menulis. Orang yang dapat dikatakan literat dalam pandangan ini adalah orang yang
mampu membaca dan menulis atau bebas buta huruf. Pengertian literasi selanjutnya
berkembang menjadi kemampuan membaca, menulis, berbicara dan menyimak.
Sejalan dengan perjalanan waktu definisi literasi telah bergeser dari pengertian
yang sempit menuju pengertian yang lebih luas mencakup berbagai bidang penting
lainnya. Perubahan ini disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor perluasan makna
akibat semakin luas penggunaannya, perkembangan teknologi informasi dan
teknologi, maupun perubahan analogi. Jika ditelisik secara komprehensif
perubahan konsepsi literasi ini telah terjadi minimalnya dalam lima generasi.
Kelima generasi perkembangan konsepsi literasi ini akan dibicarakan dalam subbab
ini.
Pada masa perkembangan awal, literasi didefinisikan sebagai kemampuan
untuk menggunakan bahasa dan gambar dalam bentuk yang kaya dan beragam
untuk membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, melihat, menyajikan dan
berpikir kritis tentang ide-ide. Hal ini memungkinkan kita untuk berbagi informasi,
berinteraksi dengan orang lain, dan untuk membuat makna. Literasi merupakan
proses yang kompleks yang melibatkan pembangunan pengetahuan sebelumnya,
budaya, dan pengalaman untuk mengembangkan pengetahuan baru dan
pemahaman yang lebih dalam. Literasi berfungsi untuk menghubungkan individu
dan masyarakat dan merupakan alat penting bagi individu untuk tumbuh dan
berpartisipasi aktif dalam masyarakat yang demokratis.
Perkembangan kedua konsepsi literasi dicirikan oleh sejumlah pandangan
yang menyatakan bahwa literasi berkaitan erat dengan situasi dan praktik sosial.
Pandangan ini mendefinisikan literasi sebagai praktik sosial dan budaya tinimbang
dipandang sebagai prestasi kognitif yang bebas konteks. Literasi lebih lanjut
dipandang sebagai keyakinan budaya dan habitualnya. Pandangan ini lahir
berdasarkan sudut pandang para ahli yang menafsirkan dan menghubungkan literasi
dengan konteks dunia. Perubahan ini memainkan peran penting dalam proses
pengembangan kemampuan literasi siswa dan pendekatan yang digunakan siswa
untuk mempelajari berbagai bidang akademik.

5
Dalam generasi ketiga, pengertian literasi diperluas oleh semakin
berkembang pesatnya teknologi informasi dan multimedia. Literasi dalam konteks
ini telah diperluas ke dalam beberapa jenis elemen literasi misalnya, visual,
auditori, dan spasial daripada kata-kata yang tertulis (The New London Group,
2000). Mills (2010) menyatakan bahwa kita telah mengalami pergeseran sejarah
budaya teks cetak yang lebih luas, menuju satu titik di mana modus visual lebih
menonjol atas bantuan teknologi baru. Terhadap hal ini Bosman (2012)
memberikan sebuah contoh yakni bahwa Ensiklopedia Britannica yang telah
dikenal dalam bentuk cetakan selama 244 tahun, kini telah berubah menjadi sebuah
kamus versi daring berbantuan komponen multimedia. Padahal di sisi lain,
membaca dan menulis di internet dan melalui multimedia modalitas (hypertext)
membutuhkan cara yang berbeda ketika berinteraksi dengan teks. Ketika membaca
multimedia, pembaca bergerak dari kebiasaan membaca secara sempit, linier, dan
hanya berorientasi pada teks cetak menuju konteks multidimensi dan interaktif
(Sutherland-Smith, 2002).
Dalam generasi keempat, literasi telah dipandang sebagai konstruksi sosial
dan tidak pernah netral (Freire, 2005). Teks-teks yang siswa baca telah diposisikan.
Ini berarti bahwa teks yang ditulis seorang penulis telah dibentuk berdasarkan posisi
mereka (di mana mereka berada dan di mana mereka berdiri dan bagaimana posisi
ini memungkinkan mereka untuk melihat dan tidak melihat). Posisi seorang penulis
meliputi banyak aspek seperti keyakinan mereka, nilai-nilai, sikap, posisi sosial
(misalnya, usia, ras, kelas, dan etnis), dan pengalaman (misalnya, pendidikan,
bahasa, dan perjalanan). Karena posisi penulis mungkin berbeda dari posisi
pembaca, sangat penting bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan literasi
kritis. Literasi kritis merupakan kemampuan untuk mengkritik teks berdasarkan
sudut pandang yang berbeda, untuk menentang status quo, dan untuk
mempertanyakan otoritas yang telah banyak diakui. Literasi kritis dianggap sebagai
kemampuan yang sama pentingnya dengan kemampuan untuk memecahkan kode
teks. Sejalan dengan kemudahan akses informasi, kemampuan siswa untuk
mengkritik teks memiliki peran yang sangat penting dan literasi kritis harus menjadi
bagian dari setiap jalur literasi siswa (Martello, 2002).
Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi,
definisi literasi juga mengalami perkembangan lanjutan yakni literasi dalam
generasi kelima. Sejalan dengan perkembangan ini, guru di sekolah pun harus
berpikir bahwa literasi merupakan sebuah konsep yang berkembang yang akan
berkonsekuensi pada penggunaan berbagai media digital di kelas, sekolah, dan
masyarakat. Memperlakukan literasi sebagai konsep yang berkembang juga
memungkinkan guru untuk melihat keanekaragaman budaya dan bahasa sebagai
sumber daya yang berharga bagi siswa untuk terlibat dengan media digital yang

6
baru, bukan sebagai konsumen, namun sebagai produsen yang kritis dan kreatif
sehingga siswa dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda dapat menarik
makna yang lebih luas berdasarkan berbagai sumber daya yang dapat digunakan
untuk membuat makna. Pada intinya, menjadi literat pada abad informasi ini berarti
harus mampu untuk terlibat dalam berbagai praktik literasi dan mampu
menggambarkan berbagai perangkat keterampilan literasi dalam keberagaman
domain literasi. Tidak mampu bernegosiasi dengan beragam jenis kemahiran
literasi tentu akan menyebabkan siswa tidak mampu mengakses daftar pilihan yang
panjang.
Istilah literasi dalam generasi kelima dikenal pula dengan istilah
multiliterasi. Istilah multiliterasi dalam buku ini mengandung pengertian sebagai
keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-
ide dan informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun
teks inovatif, simbol, dan multimedia. Dalam pandangan multiliterasi siswa perlu
menjadi ahli dalam memahami dan menggunakan berbagai bentuk teks, media, dan
sistem simbol untuk memaksimalkan potensi belajar mereka, mengikuti perubahan
teknologi, dan secara aktif berpartisipasi dalam komunitas global. Pembelajaran
literasi dengan demikian ditujukan untuk mengembangkan keterampilan siswa
dalam literasi kritis, literasi visual, literasi media, literasi teknologi, literasi lintas
kurikulum (IPS, matematika, sains, seni, dan mata pelajaran lainnya), dan literasi
dalam bahasa lain.
Berpijak pada dua kondisi di atas, upaya meningkatkan kemampuan literasi
siswa harus dilakukan. Salah langkah strategis yang dilakukan kementerian
pendidikan adalah menggalakkan satu program yang disebut Gerakan Literasi
Sekolah (GLS). GLS dikembangkan berdasarkan sembilan agenda prioritas
(Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya
Nawacita nomor 5, 6, 8, dan 9. Butir Nawacita yang dimaksudkan adalah (5)
meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia; (6) meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; (8)
melakukan revolusi karakter bangsa; (9) memperteguh kebinekaan dan
memperkuat restorasi sosial Indonesia. Empat butir Nawacita tersebut terkait erat
dengan komponen literasi sebagai modal pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas, produktif dan berdaya saing, berkarakter, serta nasionalis. Untuk dapat
mengembangkan Nawacita, diperlukan pengembangan strategi pelaksanaan literasi
di sekolah yang berdampak menyeluruh dan sistemik. Dalam hal ini, sekolah: a)
sebaiknya tumbuh sebagai sebuah organisasi yang mengembangkan warganya
sebagai individu pembelajar; b) perlu memiliki struktur kepemimpinan yang juga
terkait dengan lembaga lain di atasnya, serta sumber daya yang meliputi sumber

7
daya manusia, keuangan, serta sarana dan prasarana; dan c) memberikan layanan
pendidikan dalam bentuk pembelajaran di dalam kelas dan berbagai kegiatan lain
di luar kelas yang menunjang pembelajaran dan tujuan pendidikan. Dengan
memperhatikan karakteristik sekolah sebagai sebuah organisasi akan
mempermudah pelaksana program untuk mengidentifikasi sasaran agar perlakuan
dapat diberikan secara menyeluruh (whole school approach) (Kemendikbud, 2016:
3).
Kemendikbud, (2016: 7-8) menjelaskan bahwa GLS merupakan suatu usaha
atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta
didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite
Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa,
masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia
usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. GLS
adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang
ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik.
Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan
buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks
atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan
diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan
Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan
keterampilan reseptif maupun produktif. Dalam pelaksanaannya, pada periode
tertentu yang terjadwal, dilakukan penilaian agar dampak keberadaan GLS dapat
diketahui dan terus-menerus dikembangkan. GLS diharapkan mampu
menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk
bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian
penting dalam kehidupan.
Gerakan literasi sekolah yang digagas Kemendikbud didasarkan atas
pandangan Beers (Kemendikbud, 2016) yang menjelaskan bahwa praktik-praktik
yang baik dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai
berikut.
1. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat
diprediksi.
Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling beririsan
antartahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan literasi peserta
didik dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan
pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.
2. Program literasi yang baik bersifat berimbang

8
Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap
peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi
membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan
jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan
memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak
dan remaja.
3. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua
guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun
membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian,
pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru
semua mata pelajaran.
4. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapan pun
Misalnya, ‘menulis surat kepada presiden’ atau ‘membaca untuk ibu’
merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.
5. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan
Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan
lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan
diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar
kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk
menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan
menghormati perbedaan pandangan.
6. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap keberagaman
Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi di sekolah.
Bahan bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya
Indonesia agar mereka dapat terpajan pada pengalaman multikultural.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program GLS, Program GLS
dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah di
seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas sekolah (ketersediaan
fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga sekolah, dan
kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan,
dan perangkat kebijakan yang relevan). Sejalan dengan hal tersebut, Kemendikbud
(2016) menjelaskan bahwa secara umum tahapan pelaksanaan GLS dilakukan
dalam tiga tahap sebagai berikut.
1. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di ekosistem
sekolah
Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan
terhadap kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat baca

9
merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi peserta
didik.
2. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk meningkatkan kemampuan
literasi
Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan mengembangkan kemampuan
memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir
kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan
menanggapi bacaan pengayaan.
3. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi
Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan mengembangkan
kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi,
berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui
kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan buku pelajaran. Dalam
tahap ini ada tagihan yang sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran).
Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum
2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang
dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat khusus, atau
teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu
sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP, dan 18 buku bagi
siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran
ini disediakan oleh wali kelas (Kemendikbud, 2016).

C. Pembelajaran Literasi dalam Konteks Kurikulum 2013 Edisi 2017


Pembelajaran dalam konteks Kurikulum 2013 diorientasikan untuk
menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui
penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan
(tahu apa) yang terintegrasi. Orientasi ini dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa
perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad ke-21, telah terjadi
pergeseran ciri dibanding dengan abad sebelumnyalah. Sejumlah ciri abad ke-21
tersebut adalah bahwa abad ke-21 merupakan abad informasi, komputasi, automasi,
dan komunikasi. Hal inilah yang diantisipasi pada kurikulum 2013. Sejumlah
langkah antipasif yang dilakukan adalah dengan digalakkannya program gerakan
literasi nasional yang terintegrasi dalam proses pembelajaran.
Literasi dalam konteks kurikulum 2013 didefinisikan secara sederhana
yakni kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan kecakapan
yang dimiliki dalam hidupnya. Tujuan program literasi adalah untuk membekali
individu dengan kecakapan hidup. Literasi selanjutnya dipandang sebagai alat
untuk mengembangkan karakter dan berbagai kompetensi abad 21. Sejalan dengan
definisi dan tujuan program literasi, Kemendikbud telah mencanangkan enam

10
literasi dasar yang harus dibelajarkan dalam konteks kurikulum 2013 versi 2017.
Berdasarkan konsep yang dikemukakan Kemendikbud, (2017) keenam literasi
dasar tersebut diuraikan sebagai berikut.
Literasi pertama yang harus diajarkan kepada siswa adalah literasi bahasa
dan sastra. Literasi ini dapat didefinisikan dari tiga sudut pandang yakni (1)
kemampuan membaca dan menulis, (2) kualitas atau kemampuan melek
huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis, dan
(3) kemampuan dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses
membaca dan menulis. Indikator utama yang menjadi penciri keberhasilan program
literasi bahasa dan sastra adalah (1) di sekolah skor PISA dan skor PIRLS literasi
membaca meningkatkan, rata-rata nilai UN Bahasa Indonesia meningkatkan, dan
rata-rata skor UKG Guru Bahasa Indonesia meningkat; (2) di keluarga jumlah
bahan bacaan literasi bahasa yang dimiliki setiap keluarga terus bertambah, dan (3)
di masyarakat angka melek aksara dan publikasi buku per tahun semakin
meningkat.
Literasi kedua adalah literasi numerasi atau literasi matematik. Literasi
numerasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah,
menjelaskan proses dan menganalisis informasi yang berkaitan dengan numerasi.
Seseorang disebut literat numerasi, jika (1) mengetahui dasar-dasar dari
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian; (2) dapat menggunakan
konsep numerasi secara percaya diri dan efektif; dan (3) dapat memahami
bagaimana mentransfer keterampilan yang dimiliki untuk memecahkan masalah.
Indikator utama yang menjadi penciri keberhasilan program literasi numerasi
adalah (1) di sekolah skor PISA dan skor TIMSS literasi matematika meningkat,
rata-rata Skor UKG Guru Matematika meningkat, dan rata-rata nilai UN
Matematika meningkat; (2) di keluarga jumlah bahan bacaan literasi numerasi yang
dimiliki setiap keluarga bertambah; dan (3) di masyarakat persentase keterserapan
anggaran desa semakin bertambah.
Literasi ketiga adalah literasi sains. Literasi sains merupakan kemampuan
untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, menarik
kesimpulan dalam rangka memahami serta membuat keputusan yang berkenaan
dengan alam. Seseorang disebut literat terhadap sains, jika memiliki kompetensi
untuk menjelaskan fenomena sains, mengevaluasi & mendesain pengetahuan &
keterampilan sains secara mandiri, dan menginterpretasi data & bukti sains.
Indikator utama yang menjadi penciri keberhasilan program literasi sains adalah (1)
di sekolah adalah meningkatnya skor PISA dan skor TIMSS literasi sains, rata-rata
skor UKG Guru IPA dan rata-rata nilai UN IPA; (2) di keluarga jumlah bahan
bacaan literasi sains yang dimiliki setiap keluarga bertambah; dan (3) di masyarakat

11
jumlah program yang berkaitan dengan lingkungan dalam suatu daerah semakin
bertambah.
Literasi berikutnya adalah literasi finansial. Literasi finansial merupakan
kemampuan untuk memahami bagaimana uang berpengaruh di dunia (bagaimana
seseorang mengatur untuk menghasilkan uang, mengelola uang, menginvestasikan
uang dan menyumbangkan uang untuk menolong sesama). Definisi lain dari literasi
finansial memandang bahwa literasi ini merupakan rangkaian proses atau aktivitas
untuk meningkatkan pengetahuan, keyakinan, dan keterampilan konsumen dan
masyarakat sehingga mereka mampu mengelola keuangan dengan baik. Indikator
utama yang menjadi penciri keberhasilan program literasi finansial adalah (1) di
sekolah adalah meningkatnya jumlah siswa dan guru yang menggunakan produk
layanan tabungan dan koperasi; (2) di keluarga dicirikan dengan adanya penurunan
tingkat kemiskinan penduduk Indonesia; dan (3) di masyarakat dicirikan dengan
meningkatnya jumlah penduduk usia produktif yang menggunakan produk layanan
jasa keuangan (tabungan, asuransi, saham, lembaga pendanaan, dana pensiun,
industri jasa keuangan syariah) dan berkurangnya jumlah uang kartal yang beredar.
Literasi kelima adalah literasi digital. Literasi ini merupakan kemampuan
untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi atau jaringan untuk
menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi dan memanfaatkan
secara bijak. Fitur utama kemampuan literasi ini berkenaan dengan pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang berkenaan dengan dasar-dasar komputer, penggunaan
internet dan program-program produktif, keamanan dan kerahasiaan, dan gaya
hidup digital. Indikator utama yang menjadi penciri keberhasilan program literasi
digital adalah (1) di sekolah dicirikan dengan meningkatnya ketersediaan akses
internet dan bahan literasi digital; (2) di keluarga dicirikan dengan jumlah
penduduk yang menggunakan komputer dan gawai berdasarkan kelompok umur,
jenis kelamin, tempat tinggal, dan lama waktu penggunaan per hari semakin
meningkat; dan (3) di masyarakat dicirikan dengan meningkatnya jumlah penduduk
yang mengakses internet berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, tempat
tinggal & lama waktu penggunaan / hari dan menurunnya angka penduduk yang
terjerat kasus pelanggaran UU ITE menurut kelompok umur.
Literasi keenam atau terakhir adalah literasi budaya dan kewarganegaraan.
Literasi ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menghargai dan
berpartisipasi secara mahir dalam budaya atau kemampuan untuk berpartisipasi
secara aktif dan menginisiasi perubahan dalam komunitas dan lingkungan sosial
yang lebih besar. Indikator utama yang menjadi penciri keberhasilan program
literasi ini adalah (1) di sekolah dicirikan dengan meningkatnya rata-rata nilai
USBN – PKn dan jumlah sekolah yang memiliki aktivitas seni budaya & bahasa
daerah (mulok, ekstrakurikuler); (2) di keluarga dicirikan dengan meningkatnya

12
penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga dan menurunnya angka
kejahatan dan pelanggaran anak di bawah umur; dan (3) di masyarakat dicirikan
dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang menguasai bahasa dan seni
budaya daerah masing-masing dan meningkatnya angka partisipasi dalam pemilu.
Keenan literasi tersebut selanjutnya haruslah menjadi program yang tidak
terpisahkan dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, konsep pembelajaran yang
dapat digunakan untuk mengintegrasikan keenam literasi dasar tersebut dalam
proses pembelajaran sehari-hari adalah konsep pembelajaran integratif,
berdiferensiasi dan multiliterasi (MID). Abidin, dkk. (2017) menjelaskan bahwa
secara sederhana, pembelajaran integratif merupakan pembelajaran yang
memadukan berbagai disiplin ilmu. Pemaduan ini dilakukan bukan hanya pada
konten materi pembelajaran ataupun konten kompetensi melainkan lebih jauh
memadukan konteks hasil belajar, konteks pengalaman belajar, dan juga tentu
konteks konten belajar. Pemaduan konteks hasil belajar berarti bahwa dalam
pembelajaran integratif sikap, keterampilan, dan pengetahuan diperoleh siswa
secara terpadu. Pemaduan konteks pengalaman belajar artinya bahwa dalam
pembelajaran integratif satu konteks kehidupan nyata dapat digunakan sebagai
dasar bagi pelaksanaan berbagai mata pelajaran. Pemaduan konten belajar artinya
beberapa kompetensi yang bertalian dari berbagai mata pelajaran dapat
dikembangkan dari satu konten belajar yang relevan dengan kompetensi dari
berbagai mata pelajaran tersebut.
Pembelajaran integratif merupakan pembelajaran yang mempertimbangkan
karakteristik siswa. Bertemali dengan kenyataan ini, pembelajaran integratif
sebenarnya merupakan salah satu wujud nyata pembelajaran berdiferensiasi yang
saat ini banyak dicanangkan. Tomlinson and McTighe (2006: 3) sebagai
pembelajaran yang memfokuskan diri pada siapa yang mengajar, di mana mengajar,
dan bagaimana mengajar. Tujuan utamanya adalah untuk membiasakan guru
memfokuskan diri dalam proses dan prosedur pembelajaran untuk membangun
pembelajaran yang efektif pada siswa yang bervariasi. Pembelajaran
berdiferensiasi di dasarkan atas asumsi bahwa siswa berbeda dan mereka belajar
dengan cara yang berbeda. Berdasarkan definisi ini, pembelajaran integratif
memang merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan aspek diferensiasi
dalam implementasinya.
Upaya pengembangan pembelajaran integratif dan berdiferensiasi
selanjutnya dalam praktiknya mesti dikemas secara multiliterasi. Abidin (2015)
menegaskan bahwa multiliterasi berkenaan dengan keberagaman media,
keberagaman budaya, keberagaman konteks keilmuan, keberagaman kecerdasan,
keberagaman gaya belajar, dan keberagaman modal dan modus belajar. Dengan
demikian perlu ditegaskan sekali lagi bahwa model pembelajaran multiliterasi

13
merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan belajar abad
ke-21 yang dikawinkan secara serasi dengan konsep enam literasi dasar dalam
bingkai yang terintegrasi dan berdiferensiasi.

D. Penutup
Demikianlah paparan tentang konsep pembelajaran literasi dalam konteks
kurikulum 2013 versi 2017. Pembelajaran literasi dengan demikian merupakan
pembelajaran yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Proses
pengemasannya dilakukan dengan wadah multiliterasi dengan berasakan konsep
pembelajaran berdiferensiasi. Melalui upaya demikian, diharapkan kualitas sumber
daya manusia Indonesia di masa yang akan datang akan semakin meningkat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2015). Pembelajaran Multiliterasi: Sebuah Jawaban atas Tantangan
Pendidikan Abad Ke-21 dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Refika
Aditama.
Abidin, dkk. (2017). Pembelajaran Literasi: Strategi Meningkatkan Kemampuan
Literasi Matematika, Sains, Membaca, dan Menulis. Jakarta: Bumi Aksara.
Bosman, J. (2012). Britannica is Reduced to a Click. New York Times, Mar. 14.
Freire, P. (2005). Education for Critical Consciousness. London: Continuum.
Kemendikbud (2016). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta:
Kemendikbud.
Kemendikbud, (2017). Pengantar Diskusi Penyusunan Pedoman dan Materi
Gerakan Literasi Nasional untuk Guru. Jakarta: Kemendikbud.
Martello, J. (2002). Many Roads Through Many Modes: Becoming Literate in
Early Childhood. In L. Makin and C. J. Diaz (eds), Literacies in Early
Childhood: Changing Views, Changing Practice. Sydney: MacLennan &
Petty.
Mills, K.A. (2010). The Multiliteracies Classroom. Bristol: Multilingual Matters.
Morocco, C.C., et al. (2008). Supported Literacy for Adolescents: Transforming
Teaching and Content Learning for The Twenty-First Century. San
Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.
Sutherland-Smith, W. (2002). Weaving the Literacy Web: Changes in Reading
from Page to Screen. Reading Teacher, 55(7): 662–669.
The New London Group (2005). A Pedagogy Of Multiliteracies: Designing Social
Futures. In B. Cope and M. Kalantzis (eds) Multiliteracies: Literacy Learning
and the Design of Social Futures (pp. 9–38). South Yarra, VIC: Macmillan.
Tomlinson, C. A. dan McTighe, J. (2006). Integrating Differentiated Instruction
and Understanding by Design: Connecting Content and Kids. Alexandria:
ASCD.
Trilling, B. & Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times.
San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.

14

Anda mungkin juga menyukai