NIM : 235130100111039
Cluster : 33
Pendidikan pada abad 21 memiliki tujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu
masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera, bahagia dengan kedudukan yang
terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global, melalui
pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas
yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan
cita-cita bangsanya. Sejalan dengan hal itu, Kementrian pendidikan dan
kebudayaan merumuskan bahwa paradigm pembelajaran pada abad 21
menekankan kemampuan pada peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai
sumber, merumuskan permasalahan, berpikir analitis dan kerjasama serta
berkolaborasi dalam memecahkan masalah.
Tiga konsep pendidikan abad 21 telah diadaptasi oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengembangkan kurikulum jenjang
sekolah dasar sampai menengah. Ketiga konsep tersebut adalah 21st Century
Skills (Trilling dan Fadel, 2009), scientific approach (Dyer et al., 2009) dan
authentic learning dan authentic assesment (Wiggins dan Mc. Tighe, 2011).
Selanjutnya ketiga konsep tersebut diadaptasi untuk mengembangkan pendidikan
menuju Indonesia Kreatif tahun 2045. Indonesia Kreatif ini didukung oleh hasil
penelitian yang menunjukkan adanya pergeseran pekerjaan di masa datang.
Piramid pekerjaan di masa datang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tertinggi
adalah pekerjaan kreatif. Sedangkan pekerjaan rutin akan diambil alih oleh
teknologi robot dan otomasi. Pekerjaan kreatif ini membutuhkan intelegensia dan
daya kreativitas manusia untuk menghasilkan produk-produk kreatif dan inovatif.
Suatu studi yang dilakukan oleh Trilling dan Fadel (2009) juga menunjukkan
bahwa tamatan sekolah menengah dan perguruan tinggi masih kurang kompeten
dalam hal, komunikasi lisan maupun tulisan, berfikir kritis dan mengatasi masalah,
etika bekerja dan profesionalisme, bekerja secara tim dan berkolaborasi, bekerja di
dalam kelompok yang berbeda, menggunakan teknologi dan manajemen projek
dan kepemimpinan. Perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat ini membutuhkan perhatian yang cermat oleh para ahli. Dari seluruh
aspek perubahan yang terjadi manusia menjadi faktor terpenting karena
merupakan pelaku utama dari berbagai proses dan aktivitas kehidupan. Oleh
karena itu maka berbagai negara di dunia berusaha untuk mendefinisikan
karakteristik manusia abad 21 yang dimaksud. Berdasarkan Trilling dan Fadel
(2009) dalam bukunya yang berjudul 21st Century Skills: Learning for Life in Our
Times, terdapat beberapa kompetensi dan/atau keahlian yang harus dimiliki oleh
sumber daya manusia abad 21. Secara umum keterampilan abad 21 terbagi
kepada tiga keterampilan, yaitu Learning and Innovation Skills (Keterampilan
Belajar dan Berinovasi), Information, Media, and Technology Skills (Keterampilan
Teknologi dan Media Informasi) dan Life and Career Skills (Keterampilan Hidup
dan Berkarir). Ketiga keterampilan tersebut dirangkum dalam sebuah skema yang
disebut dengan pelangi pengetahuan dan keterampilan abad 21 (The 21st century
knowledge-and-skills rainbow).
Kemampuan untuk bekerja secara efektif dan kreatif dengan anggota tim dan
teman sekelas tanpa memandang perbedaan dalam budaya dan gaya hidup
adalah keterampilan hidup abad ke 21 yang penting. Memahami dan
mengakomodasi perbedaan budaya dan sosial dan menggunakan perbedaan-
perbedaan ini untuk menghasilkan ide-ide dan solusi yang lebih kreatif untuk
masalah merupakan hal penting di abad 21.
Kecakapan hidup dan karier yang diuraikan sangat penting untuk bekerja dan
belajar di abad 21. Meskipun keterampilan ini sudah ada sejak lama, namun hal ini
tetap menjadi fokus perhatian untuk menjalani kehidupan saat ini bahkan untuk
kehidupan yang akan datang.
Kecakapan-kecakapan yang harus dimiliki peserta didik menjadi tantangan
tersendiri bagi guru. Tuntutan dunia international terhadap tugas guru memasuki
abad 21 tidaklah ringan. Guru diharapkan mampu dan dapat menyelenggarakan
proses pembelajaran yang bertumpu dan melaksanakan empat pilar belajar yang
dianjurkan oleh Komisi Internasional UNESCO untuk pendidikan, yaitu:
1. Learning to know (Belajar untuk Mencari Tahu)
Belajar untuk mencari tahu terkait dengan cara mendapatkan pengetahuan melalui
penggunaan media atau alat yang ada. Media bisa berupa buku, orang, internet,
dan teknologi yang lainnya.
2. Learning to do (Belajar untuk Mengerjakan)
Belajar untuk melakukan atau berkarya, hal ini tidak terlepas dari belajar
mengetahui karena perbuatan tidak terlepas dari ilmu pengetahuan. Belajar untuk
berkarya merupakan upaya untuk senantiasa melakukan dan berlatih keterampilan
untuk keprofesionalan dalam bekerja. Terkait dengan pembelajaran di dalam
kelas, maka belajar untuk mengerjakan ini sangat diperlukan latihan keterampilan
bagaimana peserta didik dapat menggunakan pengetahuan tentang konsep atau
prinsip mata pelajaran tertentu dalam mata pelajaran lainnya atau dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Learning to be (Belajar untuk Menjadi Pribadi)
Belajar untuk menjadi atau berkembang utuh, berkaitan dengan tuntutan
kehisupan yang semakin kompleks sehingga dibutuhkan suatu karakter pada diri
sendiri. Belajar menjadi pribadi yang berkembang secara optimal yang memiliki
kesesuaian dan keseimbangan pada kepribadiannya baik itu moral, intelektual,
emosi, spiritual, maupun sosial, sehingga dalam pembelajaran guru memiliki
kewajiban untuk mengembangkan potensi sesuai dengan bakat dan minatnya agar
peserta didik dapat menentukan pilihannya.
4. Learning to live together (Belajar untuk Hidup Berdampingan)
Hal ini sangat penting karena masyarakat yang beragam, baik dilihat dari latar
belakang, suku, ras, agama atau pendidikan. Pada pembelajaran peserta didik
harus memahami bahwa keberagaman tersebut bukan untuk dibeda-bedakan,
melainkan dipahami bahwa keberagaman tersebut tergabung dalam suatu
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, saling membantu dan menghargai satu
sama lain sangat diperlukan agar tercipta masyarakat yang tertib dan aman,
sehingga individu dapat belajar dan hidup dalam kebersamaan dan kedamaian.
Jika dicermati keempat pilar tersebut menuntut seorang guru untuk kreatif, bekerja
secara tekun dan harus mampu dan mau meningkatkan kemampuannya.
Berdasarkan tuntutan tersebut seorang guru akhirnya dituntut untuk berperan lebih
aktif dan lebih kreatif. Guru tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan sebagai
produk, tetapi terutama sebagai proses. Guru harus memahami disiplin ilmu
pengetahuan yang ia tekuni sebagai ways of knowing. Guru harus mengenal
peserta didik dalam karakteristiknya sebagai pribadi yang sedang dalam proses
perkembangan, baik cara pemikirannya, perkembangan sosial dan emosional
maupun perkembangan moralnya. Guru harus memahami pendidikan sebagai
proses pembudayaan sehingga mampu memilih model belajar dan sistem evaluasi
yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi berbagai kemampuan, nilai,
sikap dalam proses mempelajari berbagai disiplin ilmu.
Menurut International Society for Technology in Education karakteristik
keterampilan guru abad 21 dimana era informasi menjadi ciri utamanya, membagi
keterampilan guru abad 21 ke dalam lima kategori, yaitu: mampu memfasilitasi dan
menginspirasi belajar dan kreatifitas peserta didik, merancang dan
mengembangkan pengalaman belajar dan penilaian era digital, menjadi model
cara belajar dan bekerja di era digital, mendorong dan menjadi model tanggung
jawab dan masyarakat digital, serta berpartisipasi dalam pengembangan dan
kepemimpinan professional.
Menyadari akan tingginya tuntutan kemampuan sumber daya manusia di abad 21,
maka sistem serta model pendidikan pun harus mengalami transformasi. Telah
banyak literatur yang merupakan buah pemikiran dan hasil penelitian yang
membahas mengenai hal ini, bahkan beberapa model pendidikan yang sangat
berbeda telah diterapkan oleh sejumlah sekolah di berbagai belahan dunia.
Sehingga terjadi pergeseran tata cara penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan
pembelajaran di dalam kelas atau lingkukan sekitar lembaga pendidikan tempat
peserta didik menimba ilmu.
Daftar Pustaka
Trilling dan Fadel. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times,
Wiggins dan Mc. Tighe, (2011). Authentic learning dan authentic assesment