Anda di halaman 1dari 38

KEDUDUKAN PARODI DALAM HUKUM HAK CIPTA DI INDONESIA

(Pendekatan Kasus Konten Sketsa Warkopi)

PendahuluanAbstrak

Seiring dengan perkembangan zaman, tindakan Parodi Ciptaan banyak


dilakukan oleh masyarakat, maupun pengguna sosial media. Pada dasarnya Parodi
Cipta merupakan seni mengungkapkan sesuatu dengan kritikan dan ejekan atau,
memberi komentar dengan menggunakan karya orang lain, baik mengambil cuplikan
dari film, puisi,  lagu, novel,  iklan  atau  suatu  peristiwa  yang  sedang  terkenal dalam
masyarakat dengan jenaka. berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Parodi adalah karya sastra atau seni yang dengan sengaja menirukan gaya, kata
penulis, atau pencipta lain dengan maksud mencari efek kejenakaan. Terhadap hal ini
muncul pertanyaan, apakah tindakan Parodi ini merupakan pelanggaran Hak Cipta.
Disisi lain terdapat konsep fair use dalam Hak Cipta yang perlu diungkapkan khususnya
terkait Parodi. Lebih lanjut juga dipertanyakan apakah prinsip fair use tersebut dapat
diaplikasikan pada tindakan Parodi. Penelitian ini mempertahankan argumen bahwa Parodi di
Indonesia tidak melanggar Hak Cipta sepanjang memenuhi prisip fair uspenggunaan yang
wajare yang terdapat dalam Pasal 43 huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta, yaitu bersifat tidak komersial, menguntungkan pencipta, dan pencipta tidak
keberatan atas kegiatan Parodi di dunia maya maupun realita. Artikel ini merupakan
penelitian hukum yang menggunakan pendekatan perundang- undangan, pendekatan
teoritik, dan pendekatan perbandingan. Artikel ini menyimpulkan bahwa Parodi
berpotensi melanggar Hak Cipta; prinsip fair use merupakan pembatasan dalam kepemilikian
Hak Cipta; Pasal 43 huruf d dapat diaplikasikan untuk tindakan Parodi, sehingga tindakan
cover lagu di media sosial dapat dibenarkan berdasarkan prinsip fair use.
Latar Belakang

Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral (moral rights) dan hak
ekonomi (economic rights).1 Hak moral melekat secara abadi pada diri pencipta sedangkan
hak ekonomi merupakan hak pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mendapat manfaat
ekonomi atas ciptaan. Hak eksklusif diartikan sebagai hak yang hanya diperuntukkan bagi
pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin
pencipta. Hak moral dan ekonomi tersebut jelas memerlukan perlindungan hukum.
Koronologi nya hak moral ada terlebih dahulu dibandingkan hak ekonomi. Pengakuan
terhadap hak moral merupakan bentuk perlindungan hukum bagi si pencipta. Hak moral
terdiri atas hak untuk diakui sebagai pencipta dan hak atas keutuhan karyanya. Hak moral
tetap ada pada diri pencipta walaupun Hak Ciptanya telah dialihkan. Karena, pencipta
memiliki hubungan dan keterikatan dengan karyanya yang harus dilestarikan, tanpa
memperhatikan pertimbangan ekonomi. Dalam pasal 5 UU Hak Cipta dapat dilihat bentuk-
bentuk Hak moral yaitu:

a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan


dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;

b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

c. Mengubah ciptaannya sesuai dengaan kepatutan dalam masyarakat;

d. Mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan

1
Pasal 4 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
e. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan,
modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau
reputasinya.

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Konsekuensi dari sifat eksklusif dari Hak Cipta
yaitu setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi suatu ciptaan wajib mendapatkan ijin dari
pencipta atau pemegang Hak Cipta.

Pasal 9 Ayat (1) dan (2) UU Hak Cipta menjelaskan bahwa:

1) “Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan; dan
i. penyewaan ciptaan.”
2) Seseorang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang Hak Cipta.

Parodi dapat dilakukan dengan bentuk pengungkapan kritik terhadap seni cipataan orang lain
dalam hal nya ciptaan tersebut merupakan seni dan sastra, Berdasaran Pasal 40 UU Hak Cipta
Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam seni, dan sastra, terdiri atas:

a. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya
tulis lainnya:
b. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
c. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
d. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi,
seni pahat, patung, atau kolase;
e. karya seni terapan;
f. karya arsitektur;
g. peta;
h. karya seni batik atau seni motif lain;
i. Karya sinematografi

Perlindungan tersebut bersifat utuh, artinya unsur semua ciptaan tersebut dilindungi sebagai
satu kesatuan karya cipta. Seperti contoh bilamana itu sinematografi maka seluruh unsur nya
seperti naskah dan karakter akan dilindungi, walaupun dimungkinkan tiap unsur tersebut Hak
Ciptanya dimiliki oleh pihak-pihak yang berbeda. Dalam hal nya mengeksploitasi karya
ciptanya, pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta mempertunjukkan dan mengkomunikasikan
karya ciptanya dengan tujuan mendapatkan manfaat secara moral maupun secara ekonomi.
dan karya cipta tersebut dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat luas. Pada realita nya
banyak masayarakat yang menggunakan cipataan orang lain tersebut dengan maksud
mengungkapkan perasaan atau kritik terhadap suatu peristiwa dengan konteks jenaka.

Dalam pelaksanaan nya Parodi, terdapat kegiatan memodifikasi, memutilasi, merekam,


menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mentransformasi, mempertunjukan, dan
mengkomunikasikan karya cipta. Salah satu hak moral pencipta adalah hak untuk tidak
diubah karyanya. Dari kegiatan tersebut tercipta versi yang berbeda dari sebuah ciptaan
aslinya dan merubah nya menjadi sebuah kritikan yang bersifat jenaka. Dengan kata lain,
mengubah karya cipta sehingga tercipta versi yang berbeda dari aslinya. Begitupun dengan
hak ekonomi pencipta, kegiatan mengadaptasi, mengaransemen, mempertunjukan, dan
mengumumkan karya cipta merupakan hak ekonomi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9
Ayat (1) UU Hak Cipta yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi.

Dalam arti tersebut orang yang melakukan parodi berpotensi untuk melanggar hak moral dan
hak ekonomi seorang pencipta, namun adakala nya dimana ada prinsip penggunaan yang
sewajarnya adalah penggunaan yang wajar yang menyebabkan Hak Cipta tidak secara mutlak
dimiliki penuh oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta. Thomas G. Field, Jr berpendapat
bahwa fair use is one of the most important, and least clear cut, limits of copyright. It permits
some use of other’s works even without approval.2Dari pengertian tersebut dapat dimengerti
bahwa prinsip fair use memungkinkan penggunaan Hak Cipta tanpa persetujuan pencipta

2
Budi Agus Riswandi, Hak Cipta Di Internet (Aspek Hukum Dan Permasalahannya Di Indonesia) (Yogyakarta:
FH UII, 2009).
atau pemegang Hak Cipta. Prinsip fair use atau penggunaan yang wajar merupakan
pembatasan (limitation) dan perkecualian (exception) terhadap hak eksklusif yang dimiliki
pencipta atau pemegang Hak Cipta. Konsep pembatasan dan perkecualian yang dimaksud
adalah3:

3
Martin Stentfleben, Copyright, Limitations and Three Step Test in International and EC Copyright Law. (Den
Haag: Kluwer, 2003). sebagaimana dikutip oleh Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law) (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2014).
“Limitation and exception to copyright are provision in copyright law which allow for
copyrighted work to be used without license from copyright owner relate to a number
important consideration such as market failure, freedom of speech, education and quality
access. In order to maintain an appropriate balance between the interest of right holders and
users of protected work, copyright law allow certain limitation an economic right that is
cases in which protected work may be used without the authorization of right holder and with
or without payment of compensation.” (”Pembatasan dan perkecualian adalah ketentuan
dalam hukum Hak Cipta yang mengizinkan karya cipta digunakan tanpa izin dari pemilik
Hak Cipta untuk sejumlah pertimbangan penting. Seperti kegagalan pasar, kebebasan
berpendapat, akses pendidikan, dan kesetaraan. Agar terpelihara keseimbangan yang layak
antara kepentingan dari pemegang hak dan pengguna karya cipta, hukum Hak Cipta
mengizinkan pembatasan tertentu hak ekonomi, yaitu dalam kasus dimana karya yang
dilindungi Hak Cipta boleh digunakan secara tanpa kewenangan pemegang hak dengan atau
tanpa kompensasi.”)

Prinsip fair use sebagai norma pembatasan dan perkecualian hak eksklusif pencipta bertujuan
untuk memelihara keseimbangan yang layak antara kepentingan dari pemegang hak dan
pengguna karya cipta. Untuk memelihara keseimbangan yang layak tersebut, Article 13
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) menetapkan pembatasan
(limitation) dan perkecualian (exception) sebagai beriku4:

“Member shall confine limitation or exception to exclusive rights to certain special cases
which do not conflict with a normal exploitation of the work and do not unreasonably
prejudice the legitimate interest of the right holder.”

(“Dalam kasus khusus tertentu, negara anggota dapat menentukan pembatasan atau
perkecualian terhadap hak eksklusif yang diberikan, sepanjang hal tersebut tidak
bertentangan dengan suatu eksploitasi pemanfaatan normal dari karya cipta dan tidak
mengurangi kepentingan yang sah dari pemegang hak”)

Indonesia merupakan negara yang meratifikasi TRIPs 1994 berdasarkan Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization dan telah menyesuaikan peraturan di bidang HKI sebagai bentuk perlindungan

4
ibid
hukum sesuai dengan kesepakatan perjanjian WTO, sehingga prinsip fair use telah ditentukan
pembatasan atau perkecualian terhadap hak eksklusif pencipta didalam Pasal 43 huruf d UU
Hak Cipta yang menyatakan:

“Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta adalah pembuatan
dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi
yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau
pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan
tersebut.”

Sehingga menurut penulis, Parodi dapat dikatakan bukan pelanggaran Hak Cipta
dalam batas-batas tertentu. Adapun Batasan yang dimaksud adalah apabila Parodi tidak
memiliki tujuan komersial; dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait; atau
pencipta menyatakan tidak keberatan atas hal tersebut.

Pada kenyataan nya banyak di masyarakat luas yang mengimplementasi kan nya
untuk kepentingan komersil, ambil saja contoh kasus Warkop DKI melawan Warkopi yang
dimana Warkopi memparodikan Warkop DKI dalam kronologi kasus nya adalah sebagai
berikut, Awal bulan September 2021, jagat hiburan Indonesia dihebohkan dengan munculnya
grup lawak yang hampir mirip dari segala aspeknya dengan Warkop DKI yang sudah jauh
lebih dulu ada.
Ketua Lembaga Warkop DKI, Hana Sukmaningsih mewakili pihak Warkop DKI pada
dasarnya mengapresiasi kemunculan Warkopi DKI sebagai bentuk pengembangan
kreativitas.
Warkopi terus mengunggah konten-kontennya melalui media sosial
khususnya Instagram dan Youtube hingga grup tersebut terus bermunculan di layar kaca
Indonesia. Secara etika Warkopi meminta izin terlebih dahulu kepada pihak Warkop DKI.
Namun, izin tersebut tidak dilakukan hingga Warkopi viral di jagat hiburan Indonesia. Pada
24 Agustus 2021, pihak Patria TV yang mewakili pihak Warkopi meminta izin untuk bertemu
dengan pihak Warkop DKI secara langsung. Akan tetapi, pihak Warkop DKI meminta agar
pihak Warkopi meminta izin terlebih dahulu melalui e-mail. Namun, sebelum e-mail tersebut
dikirimkan, justru Warkopi sudah muncul terlebih dahulu di muka publik. Pada 13 September
2021, pihak Warkop DKI meminta pihak Warkopi untuk melakukan take down atas konten-
konten mereka yang telah viral di media sosial. Namun, hingga 17 September 2021, pihak
Warkopi kembali melakukan pengiriman e-mail dan ingin bertemu secara langsung dengan
pihak Warkop DKI. Selain secara moral dan etika, Warkopi diduga belum meminta izin Hak
atas Kekayaan Intelektual terhadap Warkop DKI atas berbagai macam kemiripan Warkopi
dengan Warkop DKI.

Memperhatikan fokus penulisan permasalahan diatas, artikel ini memiliki kebaruan karena
mempertahankan pendapat dan memiliki bangunan argumentasi yang berbeda dari tulisan
yang lain. Pada artikel ini penulis menggunakan prinsip penggunaan yang wajar sebagai
pijakan dan memberikan pemaknaan pada setiap unsur penggunaan yang wajar dalam Pasal
43 UU Hak Cipta.

Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral (moral rights) dan hak
ekonomi (economic rights).5 Hak moral melekat secara abadi pada diri pencipta sedangkan
hak ekonomi merupakan hak pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mendapat manfaat
ekonomi atas ciptaan. Hak eksklusif diartikan sebagai hak yang hanya diperuntukkan bagi
pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin
pencipta. Hak moral dan ekonomi tersebut jelas memerlukan perlindungan hukum.
Koronologi nya hak moral ada terlebih dahulu dibandingkan hak ekonomi. Pengakuan
terhadap hak moral merupakan bentuk perlindungan hukum bagi si pencipta. Hak moral
terdiri atas hak untuk diakui sebagai pencipta dan hak atas keutuhan karyanya. Hak moral
tetap ada pada diri pencipta walaupun Hak Ciptanya telah dialihkan. Karena, pencipta
memiliki hubungan dan keterikatan dengan karyanya yang harus dilestarikan, tanpa
memperhatikan pertimbangan ekonomi. Dalam pasal 5 UU Hak Cipta dapat dilihat bentuk-
bentuk Hak moral yaitu:

Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan
pemakaian ciptaannya untuk umum;

Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

Mengubah ciptaannya sesuai dengaan kepatutan dalam masyarakat;

5
Pasal 4 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan

Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi
ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Konsekuensi dari sifat eksklusif dari Hak Cipta
yaitu setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi suatu ciptaan wajib mendapatkan ijin dari
pencipta atau pemegang Hak Cipta.

Pasal 9 Ayat (1) dan (2) UU Hak Cipta menjelaskan bahwa:

“Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan:

penerbitan ciptaan;

penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;

penerjemahan ciptaan;

pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;

pendistribusian ciptaan atau salinannya;

pertunjukan ciptaan;

pengumuman ciptaan;

komunikasi ciptaan; dan

penyewaan ciptaan.”

Seseorang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib
mendapatkan izin pencipta atau pemegang Hak Cipta.

Parodi dapat dilakukan dengan bentuk pengungkapan kritik terhadap seni cipataan orang lain
dalam hal nya ciptaan tersebut merupakan seni dan sastra, Berdasaran Pasal 40 UU Hak Cipta
Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam seni, dan sastra, terdiri atas:
buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:

lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat,
patung, atau kolase;

karya seni terapan;

karya arsitektur;

peta;

karya seni batik atau seni motif lain;

Karya sinematografi

Perlindungan tersebut bersifat utuh, artinya unsur semua ciptaan tersebut dilindungi sebagai
satu kesatuan karya cipta. Seperti contoh bilamana itu sinematografi maka seluruh unsur nya
seperti naskah dan karakter akan dilindungi, walaupun dimungkinkan tiap unsur tersebut Hak
Ciptanya dimiliki oleh pihak-pihak yang berbeda. Dalam hal nya mengeksploitasi karya
ciptanya, pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta mempertunjukkan dan mengkomunikasikan
karya ciptanya dengan tujuan mendapatkan manfaat secara moral maupun secara ekonomi.
dan karya cipta tersebut dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat luas. Pada realita nya
banyak masayarakat yang menggunakan cipataan orang lain tersebut dengan maksud
mengungkapkan perasaan atau kritik terhadap suatu peristiwa dengan konteks jenaka.

Dalam pelaksanaan nya Parodi, terdapat kegiatan memodifikasi, memutilasi, merekam,


menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mentransformasi, mempertunjukan, dan
mengkomunikasikan karya cipta. Salah satu hak moral pencipta adalah hak untuk tidak
diubah karyanya. Dari kegiatan tersebut tercipta versi yang berbeda dari sebuah ciptaan
aslinya dan merubah nya menjadi sebuah kritikan yang bersifat jenaka. Dengan kata lain,
mengubah karya cipta sehingga tercipta versi yang berbeda dari aslinya. Begitupun dengan
hak ekonomi pencipta, kegiatan mengadaptasi, mengaransemen, mempertunjukan, dan
mengumumkan karya cipta merupakan hak ekonomi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9
Ayat (1) UU Hak Cipta yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi.

Dalam arti tersebut orang yang melakukan parodi berpotensi untuk melanggar hak moral dan
hak ekonomi seorang pencipta, namun adakala nya dimana ada prinsip Fair Use. Fair use
adalah penggunaan yang wajar yang menyebabkan Hak Cipta tidak secara mutlak dimiliki
penuh oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta. Thomas G. Field, Jr berpendapat bahwa fair
use is one of the most important, and least clear cut, limits of copyright. It permits some use
of other’s works even without approval.6Dari pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa
prinsip fair use memungkinkan penggunaan Hak Cipta tanpa persetujuan pencipta atau
pemegang Hak Cipta. Prinsip fair use atau penggunaan yang wajar merupakan pembatasan
(limitation) dan perkecualian (exception) terhadap hak eksklusif yang dimiliki pencipta atau
pemegang Hak Cipta. Konsep pembatasan dan perkecualian yang dimaksud adalah7:

“Limitation and exception to copyright are provision in copyright law which allow for
copyrighted work to be used without license from copyright owner relate to a number
important consideration such as market failure, freedom of speech, education and quality
access. In order to maintain an appropriate balance between the interest of right holders and
users of protected work, copyright law allow certain limitation an economic right that is
cases in which protected work may be used without the authorization of right holder and with
or without payment of compensation.” (”Pembatasan dan perkecualian adalah ketentuan
dalam hukum Hak Cipta yang mengizinkan karya cipta digunakan tanpa izin dari pemilik
Hak Cipta untuk sejumlah pertimbangan penting. Seperti kegagalan pasar, kebebasan
berpendapat, akses pendidikan, dan kesetaraan. Agar terpelihara keseimbangan yang layak
antara kepentingan dari pemegang hak dan pengguna karya cipta, hukum Hak Cipta
mengizinkan pembatasan tertentu hak ekonomi, yaitu dalam kasus dimana karya yang
dilindungi Hak Cipta boleh digunakan secara tanpa kewenangan pemegang hak dengan atau
tanpa kompensasi.”)

6
Budi Agus Riswandi, Hak Cipta Di Internet (Aspek Hukum Dan Permasalahannya Di Indonesia) (Yogyakarta:
FH UII, 2009).

7
Martin Stentfleben, Copyright, Limitations and Three Step Test in International and EC Copyright Law. (Den
Haag: Kluwer, 2003). sebagaimana dikutip oleh Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law) (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2014).
Prinsip fair use sebagai norma pembatasan dan perkecualian hak eksklusif pencipta bertujuan
untuk memelihara keseimbangan yang layak antara kepentingan dari pemegang hak dan
pengguna karya cipta. Untuk memelihara keseimbangan yang layak tersebut, Article 13
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) menetapkan pembatasan
(limitation) dan perkecualian (exception) sebagai beriku8:

“Member shall confine limitation or exception to exclusive rights to certain special cases
which do not conflict with a normal exploitation of the work and do not unreasonably
prejudice the legitimate interest of the right holder.”

(“Dalam kasus khusus tertentu, negara anggota dapat menentukan pembatasan atau
perkecualian terhadap hak eksklusif yang diberikan, sepanjang hal tersebut tidak
bertentangan dengan suatu eksploitasi pemanfaatan normal dari karya cipta dan tidak
mengurangi kepentingan yang sah dari pemegang hak”)

Indonesia merupakan negara yang meratifikasi TRIPs 1994 berdasarkan Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization dan telah menyesuaikan peraturan di bidang HKI sebagai bentuk perlindungan
hukum sesuai dengan kesepakatan perjanjian WTO, sehingga prinsip fair use telah ditentukan
pembatasan atau perkecualian terhadap hak eksklusif pencipta didalam Pasal 43 huruf d UU
Hak Cipta yang menyatakan:

“Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta adalah pembuatan dan
penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang
bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta
tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.”

Sehingga menurut penulis, Parodi dapat dikatakan bukan pelanggaran Hak Cipta dalam batas-
batas tertentu. Adapun Batasan yang dimaksud adalah apabila Parodi tidak memiliki tujuan
komersial; dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait; atau pencipta menyatakan
tidak keberatan atas hal tersebut.

Pada kenyataan nya banyak di masyarakat luas yang mengimplementasi kan nya untuk
kepentingan komersil seperti strategi iklan, Strategi pembelajaran, hingga untuk kepentingan
komersil lain nya, Memperhatikan fokus penulisan berbagai permasalahan diatas, artikel ini
8
ibid
memiliki kebaruan karena mempertahankan pendapat dan memiliki bangunan argumentasi
yang berbeda dari tulisan yang lain. Pada artikel ini penulis menggunakan fair use sebagai
pijakan dan memberikan pemaknaan pada setiap unsur fair use dalam Pasal 43 UU Hak
Cipta.

Rumusuan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Apakah Parodi merupakan bentuk pelanggaran Hak Cipta?


2. Apakah prinsip fair usepenggunaan yang wajar dalam Pasal 43 UU Hak Cipta tepat
diaplikasikan dalam Parodi?
3. Apakah konten sketsa warkopi dapat dikategorikan sebagai parodi?

Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui konsep pelanggaran Hak Cipta khususnya terkait Parodi.


2. Mengetahui prinsip fair uspenggunaan yang wajare dalam Hukum Hak Cipta,
3. Mengetahui bahwa Pasal 43 UU Hak Cipta tepat diaplikasikan untuk Parodi
untuk di masyarakat luas.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research), sehingga secara substantif
fokusnya membicarakan hukum (to state the law), yaitu membicarakan normative
statements; dan tidak membicarakan apa yang ada atau apa yang terjadi. Lebih lanjut
dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini termasuk dalam pendekatan kualitatif.
Hal ini mengingat proses atau kegiatan dari penelitian hukum adalah argumentatif dan
interpretif. Oleh karena itu, bentuk atau model penulisan yang digunakan untuk
pelaporan penelitian ini adalah argumentative writing yang merupakan proses
penyampaian suatu legal reasoning atau legal argumentation.
2. Terkait dengan metode pengumpulan data, seperti yang biasa dalam penelitian
hukum, digunakan data yang disebut sebagai bahan hukum (legal materials atau
authorities). Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tertier (primary authority, secondary authority dan tertiary authority).

3. Jenis teknik-teknik interpretif yang digunakan adalah merujuk pada teknik- teknik
interpretif yang dikenal dalam Ilmu Hukum, di mana dalam arti luas teknik atau
metode itu disebut penemuan hukum (rechtsvinding atau legal method). Terdapat
beberapa jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan
konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach),
dan pendekatan kasus (case approach).

PEMBAHASAN

A. Pengertian Parodi dan Perlindungan nya

konsep parodi dikenal sebagai tiruan gaya dan cara seseorang dalam hal karya
seni yang biasanya mengedepankan pandangan negatif dari seseorang tersebut dengan
usaha untuk mengejek karya tersebut, namun terkadang dapat juga berupa ekspresi
kekaguman seseorang terhadap suatu karya. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan parodi sebagai suatu dengan sengaja menirukan gaya, kata penulis,
atau pencipta lain dengan maksud karya sastra atau seni yang mencari efek
kejenakaan.9

Pemahaman mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan parodi dapat


ditelusuri salah satunya dari encyclopedia. The Encyclopedia of Britannica
mengemukakan bahwa parody, in literature, an imitation of the style and manner of a
particular writer or school of writers. Parody is typically negative in intent: it calls
attention to a writer’s perceived weaknesses or a school’s overused conventions and
seeks to ridicule them. Parody can, however, serve a constructive purpose, or it can

9
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) – Kamus versi online/daring (dalam jaringan),

https://kbbi.web.id/parodi, diakses pada tanggal 14 Desember 2021


be an expression of admiration. It may also simply be a comic exercise10. Kata Parody
berasal dari bahasa Yunani parōidía, yaitu sebuah lagu yang dinyanyikan bersama
dengan yang lain.

Parodi di Indonesia mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal 40


huruf n Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 (UU HC). Parodi dalam UU HC dikenal
dengan sebutan “transformasi” dan “adaptasi”. Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 huruf
n UU HC diatur bahwa yang dimaksud dengan adaptasi adalah mengalihwujudkan
suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Sebagai contoh dari buku menjadi film. Sementara
itu, yang dimaksud dengan "karya lain dari hasil transformasi" adalah merubah format
ciptaan menjadi format bentuk lain. Sebagai contoh film genre horror menjadi komedi

Parodi adalah suatu karya kreatif manusia, dalam konteks hukum kekayaan
intelektual parodi mendapat perlindungan melalui hukum hak cipta. Sebagaimana
diketahui karya cipta yang mendapat perlindungan hak cipta adalah karya di bidang
seni, sastra dan ilmu pengetahuan sesuai dengan pasal 43 UU HC. Parodi dapat
dikategorikan sebagai bidang karya seni, oleh karenanya hukum hak cipta dapat
melindunginya. Hak Cipta menganut perlindungan secara otomatis atau menganut
sistem dekralatif. Karya cipta yang diumumkan kepada umum, dapat secara serta
memperoleh perlindungan hak cipta. Perlindungan secara otomatis pada hak cipta
didasari pada Konvensi Berne.

Prinsip automatically protection dianut oleh Berne Convention, berdasarkan


konsep ini, mendaftarkan suatu ciptaan bukanlah merupakan suatu kewajiban yang
mutlak harus dilakukan, melainkan menjadi suatu hal yang sifatnya fakultatif. Suatu
karya mendapat perlindungan hak cipta bilamana mempunya unsur kreteria keaslian
(originality). Unsur keaslian dalam hak cipta dimana ciptaan tersebut merupakan
suatu hasil kreatifitas yang menunjukkan kekhasan dan bersifat pribadi. Karya cipta
yang lahir dari kreativitas manusia, akal, budi, dan kemampuan intelektual yang
tinggi tidak dapat dilepaskan dari pengorbanan waktu, tenaga serta usaha yang
maksimal dari individu yang menghasilkan karya tersebut. Oleh karenanya, sudah

10
The Encyclopedia of Britannica, https://www.britannica.com/art/parodi-literature, diakses pada
tanggal 14 Desember 2021
sepantasnya mendapat perlindungan hukum dalam bentuk hak eksklusif bagi
penciptanya dan mendapat pengakuan dari negara. Hak Cipta selain diatur dalam
Berne Convention, secara internasional juga diatur melalui TRIPs Agreement yang
mewajibkan negara-negara anggotanya termasuk Indonesia untuk
mengharmonisasikan standar perlindungan hak kekayaan intelektual termasuk hak
cipta sesuai standar TRIPs Agreement. Sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk
menghormati, mengakui serta memberi perlindungan hukum atas karya kreatif yang
lahir dari kemampuan intelektual sebagai refleksi kepribadian individu yang dinamis.

Parodi sebagai suatu karya kreativitas intelektual manusia di Indonesia


mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal 40 huruf n Undang-Undang No.
28 Tahun 2014 (UU HC). Parodi dalam UU HC dikenal dengan sebutan
“transformasi” dan “adaptasi”. Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 huruf n UU HC
diatur bahwa yang dimaksud dengan adaptasi adalah mengalihwujudkan suatu ciptaan
menjadi bentuk lain. Sebagai contoh dari buku menjadi film. Sementara itu, yang
dimaksud dengan "karya lain dari hasil transformasi" adalah merubah format ciptaan
menjadi format bentuk lain. Sebagai contoh musik pop menjadi musik dangdut.

Parodi dikenal di dunia International sebagai derivative work. karya turunan


atau derivative work adalah karya yang didasarkan pada satu atau lebih karya yang
sudah ada sebelumnya seperti terjemahan, aransemen musik, dramatisasi, fiksi, versi
film, rekaman suara, reproduksi seni, ringkasan, kondensasi, atau bentuk lain apa pun
di mana suatu karya dapat dibuat ulang , diubah atau diadaptasi. Sebuah karya yang
terdiri dari revisi editorial, anotasi, elaborasi, atau modifikasi lain yang secara
keseluruhan merupakan karya asli kepengarangan, merupakan karya turunan. Dalam
pengertian karya turunan tersebut dapat dikatan bahwa parodi tersebut merupakan
karya turunan. Selanjutnya pengaturan tentang hal tersebut ada pada Berne
Convention Article 2(3) defines derivative works as translations, adaptations,
arrangements of music and other alterations of a literary or artistic work, which shall
be protected as original works without prejudice to the copyright in the original
work. Dapat dipahami bahwa karya turunan sebagai terjemahan, adaptasi, pengaturan
music dan perubahan lain dari karya sastra atau karya seni, harus dilindungi sebagai
karya asli tanpa mengurangi hak cipta dalam karya aslinya.
B. PERLINDUNGAN KARYA PARODI BERUPA KARYA SINEMATOGRAFI
YANG BERASAL DARI KARYA LAINYA

Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 Ayat (1) huruf m. Undang-Undang No. 28


Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU HC) karya sinematografi diberikan definisi
sebagai ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film
dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan
film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan
video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di
bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu
contoh bentuk audiovisual. Perlindungan karya sinematografi dalam UU HC
tercantum dalam Pasal 40 Ayat (1) huruf m. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat
dicermati bahwa karya sinematografi yang dibuat sejak awal oleh penciptanya
termasuk yang dibuat dalam bentuk video akan mendapat perlindungan hak cipta.

karya cipta sinematografi yang dibuat dalam bentuk video yang kemudian
berubah wujud nya menjadi parodi yang juga dalam bentuk video oleh pihak lain, jika
dilihat dari segi karya sebagai hasil akhir dari video parodi, memang menghasilkan
karya video parodi yang termasuk dalam kategori sebagai karya sinematografi.
Namun jika dilihat secara keseluruhan proses bagaimana video parodi itu diciptakan
maka unsur orisinalitas tidak terpenuhi karena video parodi ini dibuat berdasarkan
atau terinspirasi dari suatu karya ciptaan sinematografi lainnya. Video parodi dibuat
seakan-akan membuat ulang suatu karya sinematografi yang diselipkan muatan-
muatan humor di dalamnya.

UU HC mengenal dan mengatur karya ciptaan lainnya yang memperoleh


perlindungan hak cipta yang memiliki kemiripan dengan proses penciptaan video
parodi yaitu karya lain dari hasil transformasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 40
ayat (1) huruf n, yang dalam Penjelasannya didefinisikan sebagai “merubah format
Ciptaan menjadi format bentuk lain.”

Namun UU HC belum memberikan pembatasan yang jelas terkait sejauhmana


suatu karya ciptaan khususnya dalam hal ini karya sinematografi dapat
ditransformasikan, mengingat format ciptaan antara video parodi dan karya cipta
asalnya adalah dalam suatu format yang sama yaitu gambar bergerak (moving
images), sedangkan dalam Penjelasan tersebut disebutkan adanya perbedaan genre
yang tentu tidak dapat diaplikasikan secara serupa dengan jenis karya ciptaan lainnya.
Perlindungan terhadap ciptaan video parodi diperlukan karena suatu ciptaan video
parodi walaupun dibuat berdasarkan karya ciptaan lainnya, tetapi memiliki muatan-
muatan khas yang merupakan hasil olah pemikiran dari pencipta video parodi.
Tentunya perlindungan yang dimaksud harus diiringi dengan persyaratan yang jelas
dalam pengaturannya, seperti harus memperoleh izin dari pemilik karya asli dan lain
sebagainya. Sehingga dalam hal ini pencipta video parodi juga dapat memiliki hak
atas karya ciptaannya.

Di Amerika Serikat dikenal ciptaan yang disebut dengan derivative works yang
dihasilkan dari berbagai tindakan alih wujud. Amerika Serikat tidak sekedar mengenal
perubahan bentuk saja sebagai pengertian pengalihwujudan tetapi juga berbagai
tindakan lain yang dianggap dapat menghasilka karya derivative. Agar dapat
memenuhi syarat sebagai pengalihwujudan, karya tersebut harus melalui proses
mengubah (mentransformasi), mengadaptasi, atau memodifikasi karya yang ada.11
Derivative works tersebut kemudian di Amerika Serikat dibatasi oleh pembatasan fair
use atua yang kita ketahui sebagai penggunaan sewajar nya, dalam proses
pembuatannya harus melalui cara-cara yang tidak melanggar hukum. Amerika Serikat
juga memperbolehkan penggunaan karya cipta asal secara menyuluruh untuk parodi.

Parodi itu sendiri adalah pengecualian di dalam penggunaan sewajarnya,


meskipun menggunakan keseluruhan karya cipta hingga ke hal inti atau mendasar dari
suatu karya cipta orang lain diperbolehkan dalam hukum. Terdapat beberapa faktor
parodi digolongkan sebagai penggunaan sewajarnya:

1. Parodi dianggap sebagai salah satu bentuk pemberian kritik terhadap hal-
hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.

2. Parodi dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap karya asal.

11
Hanisa, E. I. (2014). Tinjauan Yuridis Tindakan Pengalihwujudan Atas Karya Fotografi Dalam
ISSN: 1978-1520 Perspektif Hak Cipta Indonesia Dan Amerika Serikat. Kumpulan Jurnal Mahasiswa
Fakultas Hukum, 1(1
3. Parodi sering digunakan sebagai alat pemberian kritik tidak hanya kepada
karya asal tetapi menggunakan karya asal yang dianggap memiliki standar
tinggi untuk memberikan kritik pada hal lain.12

Atas faktor-faktor tersebut, parodi sangat penting artinya, oleh karena itu sudah
seharusnya mendapat perlindungan hukum yang jelas, perlindungan tersebut harus
memperhatikan merugikan atau tidak perlindungan hukum karya cipta asalnya.

C. Pengertian Parodi

Parodi menjadi bagian dari metode artistik yang digunakan pengarang untuk
mengungkapkan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Parodi merupakan media kegiatan
praktis pengarang berupa teknik peniruan karya lain yang menekankan unsur pembeda.
Dalam kesusastraan klasik Yunani, parodi merujuk pada jenis puisi yang meniru gaya puisi
lainnya. Kesusastraan Neo-klasik Prancis mencatat parodi yang merujuk pada sajak atau syair
yang meniru karya lain untuk menimbulkan efek lucu dari humor yang dilontarkan pada
pembacanya.

Para penulis Roma menjelaskan bahwa parodi merupakan imitasi dari sajak yang lain
untuk menimbulkan efek humor dan lucu. Parodi dalam perkembangan selanjutnya muncul
sebagai media dalam berbagai kegiatan kultural manusia lainnya selain sajak. Misalnya, seni
arsitektur, lukisan, iklan televisi, film, musik dan fiksi. parodi dalam pemakaian klasik lebih
merujuk pada sajak yang ditulis dengan meniru sajak atau puisi lainnya. Peniruan tersebut
dilakukan untuk menimbulkan efek lucu pada pembacanya. Dalam pemakaian modern parodi
muncul sebagai peniruan karya lain dengan media yang lebih luas. Parodi merupakan model
refleksivitas diri yang muncul dalam berbagai media seni.

12
Posner, R. A. (1992). When Is Parody Fair Use?. The Journal of Legal Studies, 21(1), 67-78
Parodi modern dalam tataran teoretikal menurut Hutcheon 13 harus dipandang sebagai
manifestasi dari karya seni aktual yang digerakkan oleh unsur alamiah dan fungsionalnya.
Walaupun karya baru diciptakan dengan meniru karya sebelumnya, tetapi esensi dari karya
baru tersebut akan tetap dipertahankan. Parodi merupakan salah satu pola baru dalam
terminologi berikutnya dalam bentuk penciptaan dan pengorganisasian ulang. Terdapat
kemenduaan ide dalam karya-karya parodi. Proses pendayagunaan ulang disesuaikan dengan
kebutuhan.

Refleksivitas diri yang sering digunakan dalam parodi mengakibatkan bentuk karya
baru nampak sebagai model baru yang tercipta melalui proses artistik. Dalam hal ini,
pengarang menempatkan posisinya sebagai pembaca sekaligus pencipta dengan proporsi
yang tepat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan efek kemenduaan pada karya baru yang
diciptakannya. Bagi pembaca, karya baru akan nampak sama dengan bentuk yang berbeda.
Karya baru menawarkan versi kontrol dalam arti terbatas dengan mengaktivasi konteks ironik
dan satirik.

Terdapat rentang tujuan karya parodi dari unsur ironik yang bertumpu pada
permainan baik kata maupun kisahan sampai pada unsur satirik yang bertumpu pada caci
maki dan ejekan. Bagaimanapun, parodi dapat disintesakan sebagai bentuk imitasi yang
sudah dikarakterisasi dengan berbagai inversi, baik secara ironik maupun satirik. Parodi
merupakan formulasi lain berupa pengulangan dengan mediasi kritikal melalui tanda-tanda
pembeda dibanding tanda-tanda yang mirip. Dalam hal ini parodi hadir sebagai pembeda
secara personal, estetik dan moral.

Fungsi parodi yang bertumpu pada media penyangkalan dalam bentuk satire lebih
banyak digunakan untuk mengejek sesuatu yang ditargetkan. Beberapa karya lama menjadi
model estetik yang diciptakan ulang dalam karya modern dengan maksud mengejek
kebiasaan atau tindakan masyarakat pada zaman itu secara satirik. Parodi dapat mensatirekan
resepsi atau kreasi seni tertentu.

Dalam parodi modern, konteks lain dapat dimunculkan melalui inversi tanpa tahapan
yang teratur satu demi satu. Satu unsur dalam bentuk sebelumnya bisa dipaparkan dalam dua
bentuk dalam karya berikutnya, demikian pula sebaliknya. Di samping itu, unsur ironik di
satu sisi dapat juga difungsikan sebagai mediasi satirikal.
13
Hutcheon Linda Theory of Parody – The Teaching of Twentieth-Century,2000:
Fokus paparan dalam tinjauan umum parodi ini adalah ulasan singkat tentang
beberapa prespektif parodi yang bersinggungan dengan karakter parodi sebagai teknik
bercerita dalam bentuk kritik, pengkreasian ulang dan cemoohan atau olok-olok. Paparan
akan dimulai dari defenisi dan batasan parodi dari beberapa prespektif yang dilanjutkan ke
bagian unsur-unsur dalam parodi. Paparan akan diakhiri dengan efek praktikal parodi
berdasarkan konsep Hutcheon yang bertumpu pada pragmatisme dalam parodi.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa karya berjenis parodi


menyimpangkan karya sebelumnya dengan jalan menirunya. Karya pertama menjadi sumber
inspirasi bagi karya kedua yang ditampilkan dalam bentuk lain. Makna ini merupakan makna
yang diakui secara konvensional yang pembatasannya dikembangkan dari sudut etimologi.
Menurut Hutcheon hampir semua literatur menerapkan makna ini dalam paparannya tentang
parodi.

Melalui definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa parodi merujuk pada karya yang
ditirukan dari karya lain dalam bentuk prosa dan puisi. Karya hasil tiruan tersebut
dikarakterisasikan oleh pengarang berdasarkan simpulan pandangan dan pemahamannya
terhadap karya yang ia targetkan. Lalu, simpulan tersebut ia simpangkan dengan maksud
untuk menampilkan kekonyolannya, terutama dengan menerapkannya pada target-target yang
ia pentingkan untuk menimbulkan efek lucu dan menggelikan. Sebagian besar karya
bermediasikan parodi diproduksi untuk menimbulkan efek ejekan yang diresepsi oleh
pembacanya.

Bila dilihat lebih mendalam, akar kata tersebut menawarkan informasi yang lebih
banyak. Secara tekstual, batasan parodi lebih jelas nampak dari odos sebagai bagian dari kata
yang bermakna nyanyian. Imbuhan para mengandung dua makna, yaitu pengukur dan
penentang. Jadi, batasan secara etimologis merujuk pada teks yang menentang atau
membedakan teks lain dengan maksud untuk mengolok- olok atau mengejeknya. Dalam
bentuk modern, parodi tidak selalu muncul sebagai teks yang memperbaiki atau
memperburuk karya lainnya. Perbedaan antara keduanya terletak pada penekanan dari
dramatisasi karya baru yang diciptakan.

Penggunaan istilah parodi berikutnya dilakukan oleh John Dryden pada tahun 1693.
Penjelasannya tentang parodi dihubungkan dengan penggunaan satire dalam sajak. Ia
menganggap parodi sebagai sajak satirik yang belum memiliki bentuk, sehingga ia
mendefinisikan parodi sebagai olok-olok heroik. Dryden melihat parodi sebagai terminologi
asing yang diaplikasikan dalam kesusastraan abad ke-17 untuk menertawakan sesuatu akibat
dari proses dramatisasi teks.

Beberapa karya parodi pada masa pembaharuan dan awal abad ke-18 mirip dengan
konsep Dryden. Titik berat terletak pada peniruan dari sesuatu yang serius dan diagungkan
melalui olok-olok yang merendahkan orang atau kebiasaannya.

Dalam batasan semiotik, menurut Hutcheon, parodi secara mendasar didefinisikan


sebagai representasi atau gambaran yang terduga, biasanya dalam bentuk lawak, dari teks
sastra atau objek artistik lain. Misalnya, representasi dari realitas yang termodelkan, saat teks
itu sendiri sudah mengandung representasi realitas aslinya secara khusus. Representasi parodi
mengekspos konvensi model dan memaparkan muslihat tersebut secara terbuka melalui
koeksistensi dari dua kode dalam pesan yang sama.

Definisi parodi yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibatasi pada pengertian
standar sebagaimana ditulis dalam kamus, yaitu karya imitasi yang mengejek. Namun,
batasan parodi yang akan digunakan lebih dari sekedar pengertian etimologis dan historis.
Dalam hal ini akan digunakan definisi parodi sebagai ana diungkapkan oleh Linda Hutcheon
dengan merujuk pada definisi yang ditawarkan oleh Gerald Gennete dengan mengacu pada
parodi abad ke-20.

Terdapat perpanjangan kisah yang paralel dalam tataran karakter dan plot dalam
parodi adab ke-20, tapi kesejajaran tersebut berada dalam perbedaan ironik. Karya baru
dianggap paralel dari sudut idealisme, tapi diinversi secara struktural. Bagian yang
difokuskan pada bagian ini adalah parodi sebagai model proses struktural yang terintergrasi
dalam merevisi, memainkan ulang, menginversi, dan memediasikan sesuatu secara
kontekstual.

Pada pokoknya parodi dalam pandangan Hutcheon adalah bentuk karya pengulangan,
tapi pengulangan yang memasukkan perbedaan. Parodi diposisikan sebagai teks baru yang
menentang teks lain yang menjadi latar belakangnya. Teks baru bisa sangat menyerupai atau
hanya sebagian memiliki kemiripan dengan teks sebelumnya. Unsur imitasi yang terkandung
dalam parodi mengandung rentang kritik ironik. Unsur inilah yang membedakan keduanya,
sehingga karya parodi menjadi karya yang baru. Operasi formal utama dalam parodi
digerakkan oleh versi ironik dan satirik yang inversi serta rentang etos pragmatisnya bergerak
dari tertawaan atau ejekan caci maki ke arah penghormatan pada teks yang diagungkannya.

Tidak seperti karya imitasi, kutipan, atau kiasan, parodi menuntut ruang ironik yang
kritis. Pengkodean ulang bukanlah catatan yang difungsikan untuk mengidentifikasikan karya
sebelumnya. Maksud dari peniruan justru terletak pada penaturalisasian dan pengadaptasian
teks secara keseluruhan. Proses naturalisasi atau adaptasi tersebut bisa saja mengeliminasi
bagian-bagian signifikan dari karya yang ditargetkan, baik dari sudut isi maupun bentuk.

Parodi dapat berkorelasi dengan ejekan dalam bentuk sandiwara (burlesque),


karikatur (travesty), karya imitasi (pastiche), plagiarisme (plagiarism), kutipan (quotation),
atau alusi (allusion). Namun, bentuk-bentuk tersebut tetap saja berbeda dengan parodi.
Perbedaan tersebut terletak pada pembatasan fokus teks di dalamnya. Pengulangan dalam
teks-teks tersebut selalu bersambungan satu sama lain. Etos dari pengulangan bisa bervariasi,
tapi target selalu dalam wilayah teks. Hal ini merupakan pembeda dengan parodi, dalam
konteks yang berhubungan dengan satire, yang memberikan alternatif pilihan di luar wilayah
teks berupa moral dan sosial. Dengan demikian parodi bisa mengandung pengulangan secara
eksplisit atau bisa juga secara implisit. Jadi, parodi pun dapat diposisikan sebagai fungsi
sosial sebagai pengevaluasi sekaligus pembeda.

D. UNSUR PENGKREASIAN ULANG PARODI

Pada bagian sebelumnya, telah disinggung bahwa parodi merupakan jenis peniruan
dalam sastra. Sehubungan dengan hal tersebut, Patricia Waugh mengutip batasan parodi
yang diungkapkan oleh Kiremidjian (1969, hlm. 232) sebagai jenis peniruan sastra yang
mempertahankan bentuk dan karaktek stilistik dari karya pertama. Namun, dalam hal ini,
karya baru tersebut mensubtitusikan masalah dan kandungan isi yang asing di dalamnya.
Parodi dihasilkan dari peniruan konvensi formal sedekat mungkin baik dalam hal gaya,
diksi, ukuran, ritme maupun kata-kata.

Unsur pengkreasian ulang dalam parodi ditempuh dengan cara memperba- harui dan
menjaga hubungan antara bentuk luar karya atau teks dan hal yang bisa diungkapkan oleh
teks tersebut dari dalam. Hubungan tersebut bisa tercipta dengan menumbangkan
keseimbangan teks sebelumnya yang dianggap menjadi kaku bagi teks berikutnya.
Konvensi dari bentuk dapat diekspresikan hanya dalam wujud yang terbatas atau
menyimpang. Perpecahan kerangka konvensi yang terjadi dengan sengaja digunakan
sebagai media pemaparan proses otomatisasi ketika isi secara total disesuaikan dengan
bentuk. Titik kesesuaian isi dan bentuk dilumpuhkan dengan asosiasi yang pasti dari
sudut artistik.

Dalam pada itu Hutcheon menganggap pengkreasian ulang (re-creation) menjadi ciri
parodi yang dapat membedakannya dengan teks atau karya yang ditargetkan. Sehubungan
dengan hal ini unsur paradoksal dalam teks tampil sebagai pembeda yang seolah-olah
bertentangan.

Paradoksal dalam teks parodi merujuk pada pernyataan yang tampil seolah- olah
bertentangan atau berlawanan dengan pendapat umum yang diakui sebagai kebenaran,
padahal pada kenyataannya hal tersebut mengandung kebenaran. (KBBI, 2005). Dalam
ungkapan atau teks paradoks nampak seolah terdapat kemenduaan makna yang
dipaparkan oleh pengarang.

Makna paradoksal dalam parodi menurut paparan Hutcheon berlandaskan pada teori
dialogis dan polifonik Mikhail Bakhtin. Parodi dianggap sebagai kerelatifan, model ulang
pengistimewaan teks pengarang yang mengandung interaksi dialogis antarwacana..
Subjek yang terkadung dalam teks berhadapan dengan subjek lain untuk membangun
sebuah dialog. Keduanya meliputi penilaian dan respon dari pemahaman pembaca. Dalam
polifonik, teks mengandung berbagai suara yang dapat menimbulkan berbagai nuansa14
Bagi Hutcheon, teori dialogis yang dikemukakan Bakhtin melingkupi makna paradoks
dalam teks bermediakan parodi. Teori dialogis merupakan bangunan konseptual yang
koheren. Makna wacana yang terkandung di dalamnya merujuk pada diskursus berupa
lingkungan dinamis tempat terjadinya pertukaran dialog. Pandangan yang sama melalui
kata-kata dialogis dimasukkan ke dalam kata itu sendiri dalam sebuah teks.

Struktur polifonik merupakan struktur yang memasukkan nuansa lain dalam sebuah
teks. Polifoni tidak memiliki titik yang tetap, di dalamnya suara masuk silih berganti,
sehingga ia bersifat jamak. Suara tersebut bisa mewakili pengarang sebagai individu,
anggota dari suatu komunitas atau suara masyarakat.

14
Lechte, John (terjemahan A. Gunawan Admiranto), 50 Filsuf Kontemporer, 2001,
Paradoks pada parodi nampak saat kata-kata menciptakan makna lain yang satu sama
lain seolah-olah bertentangan. Kata-kata tersebut bisa terungkap baik melalui ironi
maupun satire. Makna bukan satu-satunya hal yang tercipta, tapi membentuk hubungan
kontekstual di antaranya. Dalam hubungan tersebut terdapat kemenduaan yang
mengandung kebenaran

E. PELANGGARAN HAK CIPTA

Hak Cipta melindungi beberapa hak yang melekat pada suatu karya. Dengan kata lain
Hak Cipta merupakan sekumpulan hak atau bundle of rights atau multiple rights in
one work. Sekumpulan hak tersebut memberikan ekslusifitas bagi pencipta atau
pemegang Hak Cipta bahwa tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu,
kecuali atas izinnya.Hak Cipta pun juga memberikan hak eksklusif pencipta untuk
berbuat apa saja terhadap ciptaannya, kecuali yang ditentukan dalam pembatasan
(limitation).Sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip dasar perlindungan Hak Cipta
adalah bahwa seseorang pencipta memiliki hak untuk mengeksploitasi karyanya
dan pihak lain dilarang meniru hasil kreatif yang diciptakan olehnya. Pengertian ini
juga mengandung makna bahwa eksploitasi ciptaan oleh pihak yang tidak memiliki
hak merupakan bentuk pelanggaran Hak Cipta.

Didalam Pasal 4 UU Hak Cipta menyatakan, “Hak Cipta merupakan hak


eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi”. Perlindungan Hak Cipta
memberikan eksklusifitas kepada para pihak yang terlibat dalam pembuatan karya
seni musik berupa hak moral dan hak ekonomi, yang kemudian kedua hak tersebut
masih terbagi lagi menjadi berbagai macam hak. Hak moral ada guna melindungi
personalitas pencipta, yang menujukkan tidak terpisahkannya karya dan
penciptanya, sehingga sampai kapanpun pencipta itu hidup maupun mati, karyanya
retap melekat pada dirinya. Hak moral ada terlebih dahulu dibanding hak ekonomi.
Hak ekonomi hanya sebagai akibat lanjut dari hak moral. Menurutr Becket, hak
ekonomi ada karena usaha dalam menciptakan sesuatu adalah sesuatu yang berhak
untuk diakui dan dihargai.15 Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa subjek dalam

15
G Becker, Deserving to Own Intellectual Property. (Chicago: Kent Law Review, 1993). sebagaimana dikutip
oleh R. Diah Imaningrum
Hak Cipta adalah pencipta dan pemegang Hak Cipta. Seluruh subjek Hak Cipta memiliki
hak moral dan hak ekonominya masing-masing terhadap satu karya cipta.

F. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK CIPTA YANG DI


RUGIKAN OLEH PARODI SINEMATOGRAFI

Bedasarkan pembahasan pelanggaran hak cipta tersebut dalam hal karya


sinematografi dibuat ulang atau ditransformasikan ke dalam suatu karya lain berupa video
parodi maka hal ini kembali kepada kebijakan pencipta dan pemegang hak eksklusif atas
karya sinematografi tersebut. Jika karya video parodi terebut dibuat hanya untuk tujuan
yang bukan komersil maka hal ini tidak menjadi suatu persoalan. Hal ini kemudian
menjadi persoalan atas pembuatan dan pengumuman dari video parodi tersebut, pembuat
video parodi memperoleh keuntungan atas hasil karya tersebut. penggunaan atau
pemanfaatan ciptaan untuk tujuan komersial diatur berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU HC.
Pencipta memiliki hak atas karyanya berupa hak moral dan hak ekonomi. Pasal 8 UU HC
mengatur bahwa hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta
untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Lebih lanjut dalam Pasal 9 Ayat (1)
huruf d. UU HC diatur salah satunya bahwa pencipta atau pemegang hak ciptalah yang
memiliki hak ekonomi untuk melakukan pengadaptasian, pengaransemenan, maupun
pentransformasian atas ciptaannya.

Bilamana ada pihak lain yang ingin melaksanakan hak ekonomi untuk mengadaptasi
ciptaan pencipta asli diatur nya dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1), maka pihak tersebut
wajib memperoleh izin pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana diatur melalui
ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU HC. Walaupun tidak disebutkan untuk karya parodi,
ketentuan inilah yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pembuat parodi agar
karyanya mendapat perlindungan serta tidak dianggap sebagai pelanggaran atas karya
cipta asal. Pembuat karya cipta parodi khususnya untuk kepentingan komersial jika dilihat
dari ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU HC wajib meminta izin dari pencipta asal suatu karya
yang dijadikan dasar sebagai karya parodi.

Perlindungan hak pencipta karya sinematografi yang karyanya dibuat video parodi
dan dikomersialisasikan baik melalui media konvensional maupun media online seperti
Youtube, Tiktok dan Instagram perlu adanya perlindungan dan penegakan hukum yang
efektif. Seperti sebelumnya bahwa pengertian dari penggunaan secara komersial diatur
dalam UU HC Pasal 1 angka 24 yang didefinisikan sebagai pemanfaatan Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai
sumber atau berbayar.

Penyebarluasan seperti mengunggah karya adaptasi untuk tujuan komersial tanpa


seizin pencipta atau pemegang hak cipta dapat dikategorisasikan sebagai pelanggaran hak
cipta. Media online seperti Youtube, Tiktok dan Instagram menjadi salah satu platform
yang memungkinkan pengunggah video untuk memperoleh keuntungan dengan cara
menyematkan pengaturan monetisasi unggahan sehingga apabila video yang diunggah
dilihat oleh jumlah tertentu pengguna Youtube, Tiktok dan Instagram maka pengunggah
akan memperoleh penghasilan dari hasil unggahannya tersebut. Tindakan ini tentu dapat
dikualifikasikan sebagai salah satu pengunaan secara komersial walaupun pengunggah
dapat mempublikasikan ciptaannya secara gratis. Sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU HC, dalam media elektronik informasi dan komunikasi
bahwa penggunaan secara komersial mencakup penggunaan komersial secara langsung
(berbayar) maupun penyediaan layanan konten gratis yang memperoleh keuntungan
ekonomi dari pihak lain yang mengambil manfaat dari penggunaan Hak Cipta dan atau
Hak Terkait.

G. PRINSIP FAIR USEPENGGUNAAN YANG SEWAJARNYA DALAM HAK


CIPTA

Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa kepemilikan Hak
Cipta tidak secara mutlak dimiliki penuh oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta.
Karena konsep hak milik dalam perspektif hukum Indonesia harus berfungsi
sosial.16 Sehingga didalam hukum Hak Cipta, terdapat norma pembatasan dan
perkecualian hak eksklusif pencipta, yang disebut fair use, yang bertujuan untuk
memelihara keseimbangan yang layak antara kepentingan dari pemegang hak dan
pengguna karya cipta. Thomas G. Field mendefinisikan doktrin fair use sebagai
berikut17:

16
Rahmi Jened, Op Cit, hlm 162

17
Budi Agus Riswandi, Op Cit, hlm 146.
“Fair use is one of the most important, and least clear cut, limits or copyright. It
permits some use of other works even without approval.”

Pembatasan ini mengijinkan penggunaan karya orang lain walaupun tanpa


persetujuan penciptanya. Dalam hal tersebut Prof Eddy Damian memberikan
pengertian yaitu18: “Dengan adanya pengaturan hukum penggunaan yang wajar (fair
use/fair dealing), hukum Hak Cipta memperkenankan seseorang (pihak ketiga)
menggunakan atau mengeksploitasi suatu ciptaan tanpa perlu izin dari pencipta,
asalkan masih dalam batas-batas yang diperkenankan.”

Pendapat Paul GoldStein telah memberikan definisi fair use secara umum
sebagai berikut:19“a privilege in others than the owner of a copy right to use the
copyrighted material in a reasonable manner without his consent, notwithstanding the
monopoly granted to the owner by the copyright.”

Article 13 TRIPs menetapkan pembatasan (limitation) dan perkecualian


(exception) sebagai berikut:20

“Member shall confine limitation or exception to exclusive rights to certain


special cases which do not conflict with a normal exploitation of the work and do not
unreasonably prejudice the legitimate interest of the right holder.”

(“Dalam kasus khusus tertentu, negara anggota dapat menentukan pembatasan


atau perkecualian terhadap hak eksklusif yang diberikan, sepanjang hal tersebut
tidak bertentangan dengan suatu eksploitasi pemanfaatan normal dari karya cipta
dan tidak mengurangi kepentingan yang sah dari pemegang hak”)

Article 13 TRIPs pun juga menetapkan three step test untuk menentukan apakah
tujuan utama norma fair use sesuai dengan tujuannya yaitu memberikan
keseimbangan antara pemberian hak eksklusif dan pembatasan (limitation) hak

18
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta (Bandung: PT. Alumni, 2005)

19
Paul Goldstein, Copyright (Canada: Little Brown & Company, 1989).

20
Ibid., hlm 157
eksklusif. Tes ini pun digunakan sebagai batasan antara hak eksklusif pencipta dan
hak istimewa dalam menggunakan (privilege to use). Three step test ini bersifat
kumulatif dan berdasarkan urutan. Yaitu:

1. Basic rule: limitation must be certain special cases.

2. First condition delimiting the basic rule: no conflict with a normal exploitation-
compulsory licences impossible.

3. Second condition delimiting the basic rule: no unreasonable prejudice to legitimate


interest-compulsory licences possible.

Langkah pertama, pembatasan hanya mungkin untuk kasus tertentu yang


lazimnya bersifat ambigu karena tidak ada tujuan komersial, seperti digunakan
secara pribadi. Langkah kedua, kasus tersebut harus ditinjau “apakah tindakan
menggunakan ciptaan orang lain secara tanpa izin dan bukan untuk kepentingan
komersial tidak bertentangan dengan pemanfaatan yang normal (normal
exploitation) pencipta atau pemegang Hak Cipta. Dan langkah ketiga, kasus
tersebut harus dianalisis ”apakah tindakan menggunakan ciptaan orang lain secara
tanpa izin, tetapi bukan untuk kepentingan komersial tersebut tidak mengurangi
kepentingan yang sah dari pencipta? Kepentingan (interest) dalam hal ini dapat
berupa economic interest dan non- economic interest.”

Three step test merupakan norma dasar pembatasan (limitation) atau


penggunaan yang wajar (fair dealing/fair use). Norma ini pun penting untuk
menentukan tindakan yang tidak memiliki tujuan komersial, tetapi tetap
merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

Dalam dunia internasional, terdapat 2 (dua) cabang norma pembatasan atau


pengecualian Hak Cipta, yaitu Fair Dealing dan Fair use. Fair Dealing digunakan
di Inggris (UK) dan negara-negara civil law system, sedangkan Fair use digunakan
di Amerika Serikat.

Konsep fair dealing didasarkan pada perlindungan terhadap pencipta, yaitu


setiap penggunaan karya cipta harus disertai dengan pencantuman nama pencipta
sebagai suatu bentuk penghormatan hak moral pencipta, yaitu hak untuk diakui
sebagai pencipta. Doktrin ini pun mengizinkan (secara terbatas) penggunaan karya
cipta untuk tujuan tertentu tanpa royati. Adapun tujuannya adalah sebagai
berikut21:

1) Research and Study (penelitian dan pendidikan)

2) Critism or Review (kritik dan penulisan hasil penerapan kritik)

3. Reporting News in Newspaper, Magazine or Similar Periodical Provided a


Sufficient Acknowledgement of the Work is Made (penulisan laporan di surat
kabar, majalah, dan lain-lain yang menyediakan suatu pengetahuan –bagi
masyarakat– secara memadai, asalkan tidak mengambil bagian-bagian karya
cipta secara tidak layak dan tidak termasuk layanan kliping surat kaba.
4. Giving Professional Advice by Legal Practitioner or patent attorney (pemberian
nasihat profesional oleh praktisi hukum atau konsultan paten). Amerika serikat
sebagai negara cikal

bakal perkembangan doktrin fair use, perlindungan Hak Ciptanya didasarkan


pada ciptaan. Ada izin dan uang atau sejumlah pembayaran dalam penggunaan
karya cipta milik orang lain sebagai bentuk perlindungan terhadap hak ekonomi
pencipta. Akan tetapi di Amerika Serikat juga diperbolehkan penggunaan karya
cipta tanpa seijin pencipta dalam keadaan sosial tertentu, seperti pendidikan dan
penelitian.

Di amerika, Prinsip fair use diatur dalam Section 107 Copyright Act 1976, yaitu:
“Notwithstanding the provisions of sections 106 and 106A, the fair use of a copyrighted
work, including such use by reproduction in copies or phonorecords or by any other
means specified by that section, for purposes such as criticsm, comment, news
reporting, teaching (including multiple copies for classroom use), scolarship, or
research, is not an infringement of copyright:

1. The purpose and character of the use, including wheter such use is of a
commercial nature or is for nonprofit eductional purposes;

21
Rahmi Jened, Op Cit., hlm 167.
2.   The nature of the copyrighted work;
3. The amount and substantiality of the portion used in relation to the copyrighted
work as a whole; and
4. The effect of the use upon the potential market for or value of the copyrighted
work.” Yang diterjemahkan bebas oleh penulis sebagai berikut, “tanpa
mengesampingkan

ketentuan dalam Pasal 106 dan 106A, penggunaan yang wajar dari suatu
ciptaan, termasuk penggunaan dengan reproduksi dalam salinan atau media
rekaman suara atau alat lain yang dispesifikasi oleh bagian tersebut, untuk
tujuan seperti kritik, komentar, laporan berita, pengajaran (termasuk beberapa
salinan untuk penggunaan dalam kelas), keilmuan, atau penelitian, bukanlah
suatu pelanggaran dari Hak Cipta:

1) Tujuan dan karakter dari suatu penggunaan, termasuk apakah penggunaan


tersebut bersifat komersial atau untuk tujuan pendidikan yang nirlaba;

2) Sifat dari suatu ciptaan;

3) Jumlah dan kekukuhan dari bagian yang digunakan dalam kaitannya dengan
ciptaan secara keseluruhan (jumlah dan porsi substansi isi yang digunakan)

4) Efek dari penggunaan terhadap pasar potensial bagi suatu ciptaan atau nilai
dari suatu ciptaan.”

Pertama, yaitu tujuan dan karakter penggunaan. Apakah penggunaan


tersebut untuk kepentingan komersial atau non- komersial. Apabila untuk
kepentingan komersial, maka membutuhkan lisensi dari pencipta atau
pemegang Hak Cipta. Namun apabila penggunaan karya cipta tersebut untuk
tujuan non-komersial, maka dapat dikategorikan sebagai fair usepenggunaan
yang sewajarnya.

Kedua, sifat dari suatu ciptaan. Bahwa penggunaan yang dimaksudkan


adalah penggunaan karya cipta asli. Hal ini menitikberatkan pada orisinalitas.
Keaslian dari karya cipta dapat memenuhi prinsip fair usepenggunaan yang
sewajarnya apabila karya tersebut merupakan karya faktual, bukan fiksi.59
Ketiga, jumlah dan porsi substansi isi yang digunakan. Alat yang
digunakan untuk memutuskan berapa banyak jumlah dan substansi yang
digunakan adalah “makin sedikit apa yang diambil, makin besar pula perbuatan
tersebut berada pada kategori doktrin fair use”. Ini berarti makin sedikit materi
yang diambil makin besar kemungkinan bahwa perbuatan tersebut termasuk
doktrin fair use dan bukan pelanggaran Hak Cipta. Bagaimanapun, doktrin ini
tidak akan berlaku jika porsi yang diambil adalah porsi jantung atau paling
penting dari suatu karya cipta.22

Keempat, efek dari penggunaan terhadap pasar atau terhadap nilai dari
karya ciptaan yang digunakan yakni dampak yang akan ditimbulkan yang
dapat merugikan Hak Cipta. Penggunaan yang merugikan kemampuan pemilik
Hak Cipta untuk mendapatkan keuntungan dari karya aslinya cenderung tidak
dianggap sebagai penggunaan wajar.

Indonesia sebagai negara yang meratifikasi TRIPs 1994 telah


menentukan pembatasan atau perkecualian terhadap hak eksklusif pencipta
dalam UU Hak Cipta BAB VI Pasal 43 sampai dengan Pasal 51. Prinsip doktin
fair use di Indonesia adalah penggunaan kreasi tertentu tidak dinyatakan
sebagai sebuah pelan`ggaran terhadap Hak Cipta selama sumber kreasi tersebut
disebutkan secara jelas dan lengkap serta hal tersebut hanya digunakan terbatas
untuk tujuan yang tidak menghasilkan profit atau keuntungan, termasuk
kegiatan sosil, seperti:

1) pendidikan dan pengetahuan;


2) penelitian dan pengembangan;
3) keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
4) ceramah untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
5) pertunjukan atau pementasanyang tidak dipungut biaya dengan ketentuan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

22
March Lindsey, Chapter Five: The Mystic Doctrine of Fair Use in Copyright Law (Washington State:
Washington State University Press, 2003).
Jika kita membandingkan antara ketiga negara diatas dalam mengatur
penggunaan yang wajar terhadap karya cipta, yaitu UK, US dan Indonesia.
Ketiganya memiliki kesamaan yang pada intinya adalah termasuk fair use
apabila penggunaan karya cipta milik orang lain tersebut tidak komersial atau
tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Pengaturan fair use di UK dan Indonesia pada intinya adalah sama, yaitu
harus mencantumkan sumbernya, dalam hal ini dalah nama pencipta. Serta
hanya untuk tujuan non- komersial seperti pendidikan, ceramah, kritik,
penulisan hasil penelitian, dan lain-lain.

Berbeda dengan UK dan Indonesia, pengaturan fair use di US tidak


hanya dilihat dari tujuan yang non-komersial saja, akan tetapi harus diuji
dengan berbagai faktor, yaitu tujuan dan karakter penggunaan, sifat ciptaan,
jumlah bagian dari karya cipta yang digunakan, dan dampak penggunaan karya
cipta terhadap pasar potensial suatu ciptaan.

H. KASUS WARKOPI DKI

Pada bulan September 2021, dunia hiburan Indonesia dihebohkan dengan


munculnya grup lawak yang hampir mirip dari segala aspeknya dengan Warkop DKI
yang sudah jauh lebih dulu ada.Ketua Lembaga Warkop DKI, Hana Sukmaningsih
mewakili pihak Warkop DKI pada dasarnya mengapresiasi kemunculan Warkopi DKI
sebagai bentuk pengembangan kreativitas.

Warkopi terus mengunggah konten-kontennya melalui media sosial


khususnya Instagram dan Youtube hingga grup tersebut terus bermunculan di layar
kaca Indonesia. Secara etika Warkopi meminta izin terlebih dahulu kepada pihak
Warkop DKI. Namun, izin tersebut tidak dilakukan hingga Warkopi viral di jagat
hiburan Indonesia. Pada 24 Agustus 2021, pihak Patria TV yang mewakili pihak
Warkopi meminta izin untuk bertemu dengan pihak Warkop DKI secara langsung.
Akan tetapi, pihak Warkop DKI meminta agar pihak Warkopi meminta izin terlebih
dahulu melalui e-mail. Namun, sebelum e-mail tersebut dikirimkan, justru Warkopi
sudah muncul terlebih dahulu di muka publik. Pada 13 September 2021, pihak
Warkop DKI meminta pihak Warkopi untuk melakukan take down atas konten-konten
mereka yang telah viral di media sosial.

Namun, hingga 17 September 2021, pihak Warkopi kembali melakukan


pengiriman e-mail dan ingin bertemu secara langsung dengan pihak Warkop DKI.
Selain secara moral dan etika, Warkopi diduga belum meminta izin Hak atas
Kekayaan Intelektual terhadap Warkop DKI atas berbagai macam kemiripan Warkopi
dengan Warkop DKI.

Akan kasus tersebut Warkopi dapat disebut nya parodi karena warkopi itu
sendiri merupakan modifikasi dari aslinya Warkop DKI, pada dasarnya Warkopi
memiliki persamaan yang identikal dengan Warkop DKI, tetapi fromat yang dikemas
oleh Warkopi adalah dengan modern, pendistribusian nya melalui media social yaitu
Instagram dan youtube, konten-konten tersebut dapat membuat masyarakat
bernostalgia atas karya orsinil Warkop DKI.

Adanya prinsip sewjarnya yang diterapkan pada hukum Hak Cipta di


international yang mengatur tentang Parodi membuat parodi itu sebagai pengecualian
di dalam penggunaan sewajarnya, meskipun menggunakan keseluruhan karya cipta
hingga ke hal inti atau mendasar dari suatu karya cipta orang lain diperbolehkan
dalam hukum. Terdapat beberapa faktor parodi digolongkan sebagai penggunaan
sewajarnya:

1. Parodi dianggap sebagai salah satu bentuk pemberian kritik terhadap hal-
hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.

2. Parodi dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap karya asal.

3. Parodi sering digunakan sebagai alat pemberian kritik tidak hanya kepada
karya asal tetapi menggunakan karya asal yang dianggap memiliki standar
tinggi untuk memberikan kritik pada hal lain.

Terhadap faktor yang diperbolehkan tersebut Warkopi membuat karya asal


yaitu karya Warkop DKI bertambah diminati oleh masyarakat. Akan tetapi terhadap
kronologi kasus tersebut Warkopi tidak memiliki izin penggunaan hak kekayaan
intelektual Warkop DKI sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal 9 Ayat (1) UU
HC sehingga warkopi dinyatakan melanggar hak cipta dan tidak dapat mendapatkan
ekonomi terhadap karya nya.

KESIMPULAN

Parodi adalah sebuah karya turnan dari karya ciptaan asal yang sudah di
modifikasi dan di implementasi kan ke bentuk lainya, parodi itu sendiri dapat di
lindungi di Indonesia mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal 40 huruf n
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 (UU HC). Parodi dalam UU HC dikenal dengan
sebutan “transformasi” dan “adaptasi”. Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 huruf n UU
HC diatur bahwa yang dimaksud dengan adaptasi adalah mengalihwujudkan suatu
ciptaan menjadi bentuk lain. Karena parodi adalah suatu karya kreatif manusia, dalam
konteks hukum kekayaan intelektual parodi mendapat perlindungan melalui hukum
hak cipta. Sebagaimana diketahui karya cipta yang mendapat perlindungan hak cipta
adalah karya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sesuai dengan pasal 43 UU
HC. Parodi dapat dikategorikan sebagai bidang karya seni, oleh karenanya hukum hak
cipta dapat melindunginya. Hak Cipta menganut perlindungan secara otomatis atau
menganut sistem dekralatif. Karya cipta yang diumumkan kepada umum, dapat secara
serta memperoleh perlindungan hak cipta. Perlindungan secara otomatis pada hak
cipta didasari pada Konvensi Berne. Namun Parodi itu sendiri untuk memparodi kan
karya orang lain harus mendapatkan perizinan terlebih dahulu sesuai pasal 9 UU HC
jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka karya parodi tersebut dapat dikatakan
melanggar hak cipat pencipta nya.

Walaupun belum diatur nya secara jelas tentang pengaturan parodi tersebut
dalam UU HC, namun untuk implementasi pasal 43 UU HC huruf d dapat di terapkan
terhadap parodi itu sendiri, tidak melupakan prinsip penggunan yang wajar unsur
parodi itu sendiri harus terpenuhi yaitu:

1. Parodi dianggap sebagai salah satu bentuk pemberian kritik terhadap hal-
hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.
2. Parodi dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap karya asal.

3. Parodi sering digunakan sebagai alat pemberian kritik tidak hanya kepada
karya asal tetapi menggunakan karya asal yang dianggap memiliki standar
tinggi untuk memberikan kritik pada hal lain.

Akan kasus tersebut Warkopi dapat disebut nya parodi karena warkopi itu
sendiri merupakan modifikasi dari aslinya Warkop DKI, pada dasarnya Warkopi
memiliki persamaan yang identikal dengan Warkop DKI, tetapi fromat yang dikemas
oleh Warkopi adalah dengan modern, pendistribusian nya melalui media social yaitu
Instagram dan youtube, konten-konten tersebut dapat membuat masyarakat
bernostalgia atas karya orsinil Warkop DKI.

Adanya prinsip sewjarnya yang diterapkan pada hukum Hak Cipta di


international yang mengatur tentang Parodi membuat parodi itu sebagai pengecualian
di dalam penggunaan sewajarnya, seperti hal nya yang dijelaskan di atas. Terhadap
faktor yang diperbolehkan tersebut Warkopi membuat karya asal yaitu karya Warkop
DKI bertambah diminati oleh masyarakat.

SARAN

Berikut adalah saran-saran yang ditemukan oleh penulis di jabarkan sebagai


berikut:

1. Pencipta parodi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan UU HC yang


mengatur dimana agar hak pencipta asli tidak dirugikan atas karya parodi
nya hal tersebut melainkan mendapatkan nya perizinan dan kesepakatan
penggunaan hak kekayaan intelektual milik pencipta asli nya. Hal tersebut
agar kedua belah pihak mendapatkan kepastian hukum nya, dalam sisi
pencipta asli tidak dirugikan hak nya, dan untuk si pencipta parodi karya
nya pun turut dilindungi sebagai karya turunan.

2. Perlu di pahami oleh masyarakat bahwa parodi harus memenuhi unsur-


unsur yang ada agar dapat disebut sebagai parodi dan dapat dilindungi
secara hukum. Unsur tersebut mengacu pada pengecualian parodi pada
prinsip penggunaan yang wajar.

3. Pada kasus warkopi seharusnya pihak warkopi meminta perizinan terlebih


dahulu sebelum mendistribusikan karya-karya nya melewati media social
youtube dan Instagram untuk menghindari pelanggaran hak cipta yang
didasarkan pada pasal 9 UU HC, sehingga untuk hak ekonomis dan terkait
nya jelas, dan untuk hak moral Warkop DKI tidak di rugikan.

Berdasarkan pembahasan diatas, ada tiga kesimpulan yang dapat diambil sebagaimana
dikemukakan berikut ini. Pertama, Hak cipta melindungi Ciptaan sebagaimana kedalam
penggunaan yang wajar. Parodi sebagai hasil dari kegiatan Recreation cipta di dunia
masyarakat luas dapat dilindungi sebagai karya cipta yang baru.

Refrensi

Pasal 4 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Budi Agus Riswandi, Hak Cipta Di Internet (Aspek Hukum Dan Permasalahannya Di
Indonesia) (Yogyakarta: FH UII, 2009).

Martin Stentfleben, Copyright, Limitations and Three Step Test in International and
EC Copyright Law. (Den Haag: Kluwer, 2003). sebagaimana dikutip oleh Rahmi Jened,
Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014).

Hutcheon Linda Theory of Parody – The Teaching of Twentieth-Century,2000:

Lechte, John (terjemahan A. Gunawan Admiranto), 50 Filsuf Kontemporer, 2001,

G Becker, Deserving to Own Intellectual Property. (Chicago: Kent Law Review, 1993).
sebagaimana dikutip oleh R. Diah Imaningrum

Eddy Damian, Hukum Hak Cipta (Bandung: PT. Alumni, 2005)


Paul Goldstein, Copyright (Canada: Little Brown & Company, 1989).

March Lindsey, Chapter Five: The Mystic Doctrine of Fair Use in Copyright Law
(Washington State: Washington State University Press, 2003).

Anda mungkin juga menyukai