ABSTRAK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral (moral
rights) dan hak ekonomi (economic rights).1 Hak moral melekat secara abadi pada
diri pencipta sedangkan hak ekonomi merupakan hak pencipta atau pemegang
Hak Cipta untuk mendapat manfaat ekonomi atas ciptaan. Hak eksklusif diartikan
sebagai hak yang hanya diperuntukkan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak
pencipta. Hak moral terdiri atas hak untuk diakui sebagai pencipta dan hak atas
keutuhan karyanya. Hak moral tetap ada pada diri pencipta walaupun Hak
ekonomi. Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
yaitu:2
1
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun
2014, Pasal 4.
2
Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta (Kedudukan & Peranannya dalam Pembangunan),
(Jakata: Sinar Grafika, 2012), hlm. 30.
1. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan
sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;
2. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
3. Mengubah ciptaannya sesuai dengaan kepatutan dalam masyarakat;
4. Mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan
5. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi
ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya.
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak Cipta
eksklusif dari Hak Cipta yaitu setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi suatu
ciptaan wajib mendapatkan ijin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta. Pasal 9
(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk
melakukan:
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan; dan
i. penyewaan ciptaan.”
2) Seseorang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang Hak
Cipta.
cipataan orang lain dalam hal nya ciptaan tersebut merupakan seni dan sastra,
dilindungi sebagai satu kesatuan karya cipta. Seperti contoh bilamana itu
sinematografi maka seluruh unsurnya seperti naskah dan karakter akan dilindungi,
walaupun dimungkinkan tiap unsur tersebut Hak Ciptanya dimiliki oleh pihak-
ekonomi. dan karya cipta tersebut dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat
luas. Pada realitanya banyak masayarakat yang menggunakan cipataan orang lain
satu hak moral pencipta adalah hak untuk tidak diubah karyanya. Dari kegiatan
tersebut tercipta versi yang berbeda dari sebuah ciptaan aslinya dan merubah nya
menjadi sebuah kritikan yang bersifat jenaka. Dengan kata lain, mengubah karya
cipta sehingga tercipta versi yang berbeda dari aslinya. Begitupun dengan hak
4
Soelistyo, Henry, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 18.
ekonomi pencipta, kegiatan mengadaptasi, mengaransemen, mempertunjukan, dan
dalam Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta yang dapat menghasilkan keuntungan
ekonomi.
melanggar hak moral dan hak ekonomi seorang pencipta, namun adakala nya
dimana ada prinsip penggunaan yang sewajarnya adalah penggunaan yang wajar
yang menyebabkan Hak Cipta tidak secara mutlak dimiliki penuh oleh pencipta
atau pemegang Hak Cipta. Thomas G. Field, Jr berpendapat bahwa fair use is one
of the most important, and least clear cut, limits of copyright. It permits some use
Hak Cipta. Prinsip fair use atau penggunaan yang wajar merupakan pembatasan
pencipta atau pemegang Hak Cipta. Konsep pembatasan dan perkecualian yang
dimaksud adalah:6
5
Budi Agus Riswandi, Hak Cipta di Internet (Aspek Hukum dan Permasalahannya
di Indonesia), (Yogyakarta: FH UII, 2009), hlm. 23.
6
Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2014), hlm. 14.
the authorization of right holder and with or without payment of
compensation.”
(Pembatasan dan perkecualian adalah ketentuan dalam hukum Hak Cipta
yang mengizinkan karya cipta digunakan tanpa izin dari pemilik Hak Cipta
untuk sejumlah pertimbangan penting. Seperti kegagalan pasar, kebebasan
berpendapat, akses pendidikan, dan kesetaraan. Agar terpelihara
keseimbangan yang layak antara kepentingan dari pemegang hak dan
pengguna karya cipta, hukum Hak Cipta mengizinkan pembatasan tertentu
hak ekonomi, yaitu dalam kasus dimana karya yang dilindungi Hak Cipta
boleh digunakan secara tanpa kewenangan pemegang hak dengan atau
tanpa kompensasi).
yang layak antara kepentingan dari pemegang hak dan pengguna karya cipta.
Cipta dalam batas-batas tertentu. Adapun Batasan yang dimaksud adalah apabila
pihak terkait; atau pencipta menyatakan tidak keberatan atas hal tersebut. Pada
kepentingan komersil, ambil saja contoh kasus Warkop DKI melawan Warkopi
yang berbeda dari tulisan yang lain. Pada artikel ini penulis menggunakan prinsip
penggunaan yang wajar sebagai pijakan dan memberikan pemaknaan pada setiap
B. Rumusan Masalah
diteliti adalah:
Parodi.
Cipta.
D. Metode Penelitian
secara substantif fokusnya membicarakan hukum (to state the law), yaitu
membicarakan normative statements; dan tidak membicarakan apa yang ada atau
dalam arti luas teknik atau metode itu disebut penemuan hukum
PEMBAHASAN
Konsep parodi dikenal sebagai tiruan gaya dan cara seseorang dalam hal
tersebut dengan usaha untuk mengejek karya tersebut, namun terkadang dapat
juga berupa ekspresi kekaguman seseorang terhadap suatu karya. Kamus Besar
gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud karya sastra atau seni yang
conventions and seeks to ridicule them. Parody can, however, serve a constructive
exercise.8 Kata Parody berasal dari bahasa Yunani parōidía, yaitu sebuah lagu
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) – Kamus versi online/daring (dalam jaringan),
https://kbbi.web.id/parodi, diakses pada tanggal 14 Desember 2021
8
The Encyclopedia of Britannica, https://www.britannica.com/art/parodi-literature,
diakses pada tanggal 14 Desember 2021
Parodi di Indonesia mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal
suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Sebagai contoh dari buku menjadi film.
Sementara itu, yang dimaksud dengan "karya lain dari hasil transformasi" adalah
merubah format ciptaan menjadi format bentuk lain. Sebagai contoh film genre
Sebagaimana diketahui karya cipta yang mendapat perlindungan hak cipta adalah
karya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sesuai dengan Pasal 43 UU Hak
Cipta. Parodi dapat dikategorikan sebagai bidang karya seni, oleh karenanya
hukum hak cipta dapat melindunginya. Hak Cipta menganut perlindungan secara
otomatis atau menganut sistem dekralatif. Karya cipta yang diumumkan kepada
kewajiban yang mutlak harus dilakukan, melainkan menjadi suatu hal yang
mempunya unsur kreteria keaslian (originality). Unsur keaslian dalam hak cipta
akal, budi, dan kemampuan intelektual yang tinggi tidak dapat dilepaskan dari
pengorbanan waktu, tenaga serta usaha yang maksimal dari individu yang
bentuk hak eksklusif bagi penciptanya dan mendapat pengakuan dari negara. Hak
Cipta selain diatur dalam Berne Convention, secara internasional juga diatur
intelektual termasuk hak cipta sesuai standar TRIPs Agreement. Sudah menjadi
hukum atas karya kreatif yang lahir dari kemampuan intelektual sebagai refleksi
bentuk lain. Sebagai contoh dari buku menjadi film. Sementara itu, yang
dimaksud dengan "karya lain dari hasil transformasi" adalah merubah format
ciptaan menjadi format bentuk lain. Sebagai contoh musik pop menjadi musik
dangdut.
9
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung:
PT. Alumni, 2011), hlm 120
Parodi dikenal di dunia International sebagai derivative work. karya
turunan atau derivative work adalah karya yang didasarkan pada satu atau lebih
kondensasi, atau bentuk lain apa pun di mana suatu karya dapat dibuat ulang,
diubah atau diadaptasi. Sebuah karya yang terdiri dari revisi editorial, anotasi,
elaborasi, atau modifikasi lain yang secara keseluruhan merupakan karya asli
ada pada Berne Convention Article 2(3) defines derivative works as translations,
copyright in the original work. Dapat dipahami bahwa karya turunan sebagai
terjemahan, adaptasi, pengaturan musik dan perubahan lain dari karya sastra atau
karya seni, harus dilindungi sebagai karya asli tanpa mengurangi hak cipta dalam
karya aslinya.
(moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film
cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat
dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau
televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk
audiovisual.
Pasal 40 ayat (1) huruf m. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dicermati bahwa
karya sinematografi yang dibuat sejak awal oleh penciptanya termasuk yang
dibuat dalam bentuk video akan mendapat perlindungan hak cipta. Karya cipta
sinematografi yang dibuat dalam bentuk video yang kemudian berubah wujud nya
menjadi parodi yang juga dalam bentuk video oleh pihak lain, jika dilihat dari segi
karya sebagai hasil akhir dari video parodi, memang menghasilkan karya video
Namun, jika dilihat secara keseluruhan proses bagaimana video parodi itu
diciptakan maka unsur orisinalitas tidak terpenuhi karena video parodi ini dibuat
Video parodi dibuat seakan-akan membuat ulang suatu karya sinematografi yang
mengatur karya ciptaan lainnya yang memperoleh perlindungan hak cipta yang
memiliki kemiripan dengan proses penciptaan video parodi yaitu karya lain dari
hasil transformasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf n, yang
10
Sarwo Nugroho, Teknik Dasar Videografi, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2014),
hlm. 11.
dalam Penjelasannya didefinisikan sebagai “merubah format Ciptaan menjadi
sejauhmana suatu karya ciptaan khususnya dalam hal ini karya sinematografi
dapat ditransformasikan, mengingat format ciptaan antara video parodi dan karya
cipta asalnya adalah dalam suatu format yang sama yaitu gambar bergerak
perbedaan genre yang tentu tidak dapat diaplikasikan secara serupa dengan jenis
karena suatu ciptaan video parodi walaupun dibuat berdasarkan karya ciptaan
harus diiringi dengan persyaratan yang jelas dalam pengaturannya, seperti harus
memperoleh izin dari pemilik karya asli dan lain sebagainya. Sehingga dalam hal
ini pencipta video parodi juga dapat memiliki hak atas karya ciptaannya.
yang dihasilkan dari berbagai tindakan alih wujud. Amerika Serikat tidak sekedar
berbagai tindakan lain yang dianggap dapat menghasilka karya derivative. Agar
yang ada.11 Derivative works tersebut kemudian di Amerika Serikat dibatasi oleh
11
Paul Goldstein, Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1997), hlm. 39.
pembatasan fair use atau yang diketahui sebagai penggunaan sewajarnya, dalam
meskipun menggunakan keseluruhan karya cipta hingga ke hal inti atau mendasar
dari suatu karya cipta orang lain diperbolehkan dalam hukum. Terdapat beberapa
hal-hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.
Atas faktor-faktor tersebut, parodi sangat penting artinya, oleh karena itu
cipta asalnya.
Hak Cipta melindungi beberapa hak yang melekat pada suatu karya.
Dengan kata lain Hak Cipta merupakan sekumpulan hak atau bundle of rights atau
melakukan hak itu, kecuali atas izinnya.Hak Cipta pun juga memberikan hak
eksklusif pencipta untuk berbuat apa saja terhadap ciptaannya, kecuali yang
prinsip dasar perlindungan Hak Cipta adalah bahwa seseorang pencipta memiliki
hak untuk mengeksploitasi karyanya dan pihak lain dilarang meniru hasil kreatif
eksploitasi ciptaan oleh pihak yang tidak memiliki hak merupakan bentuk
eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi”. Perlindungan Hak Cipta
memberikan eksklusifitas kepada para pihak yang terlibat dalam pembuatan karya
seni musik berupa hak moral dan hak ekonomi, yang kemudian kedua hak
tersebut masih terbagi lagi menjadi berbagai macam hak. Hak moral ada guna
dan penciptanya, sehingga sampai kapanpun pencipta itu hidup maupun mati,
karyanya retap melekat pada dirinya. Hak moral ada terlebih dahulu dibanding
hak ekonomi. Hak ekonomi hanya sebagai akibat lanjut dari hak moral. Menurut
Becket, hak ekonomi ada karena usaha dalam menciptakan sesuatu adalah sesuatu
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa subjek dalam Hak Cipta
adalah pencipta dan pemegang Hak Cipta. Seluruh subjek Hak Cipta memiliki hak
Parodi Sinematografi
berupa video parodi maka hal ini kembali kepada kebijakan pencipta dan
pemegang hak eksklusif atas karya sinematografi tersebut. Jika karya video parodi
terebut dibuat hanya untuk tujuan yang bukan komersil maka hal ini tidak menjadi
suatu persoalan. Hal ini kemudian menjadi persoalan atas pembuatan dan
keuntungan atas hasil karya tersebut. penggunaan atau pemanfaatan ciptaan untuk
Pencipta memiliki hak atas karyanya berupa hak moral dan hak ekonomi.
Pasal 8 Hak Cipta mengatur bahwa hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta
atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Lebih
lanjut dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d. Hak Cipta diatur salah satunya bahwa
pencipta atau pemegang hak ciptalah yang memiliki hak ekonomi untuk
ciptaannya. Bilamana ada pihak lain yang ingin melaksanakan hak ekonomi untuk
mengadaptasi ciptaan pencipta asli diatur nya dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1),
maka pihak tersebut wajib memperoleh izin pencipta atau pemegang hak cipta
sebagaimana diatur melalui ketentuan Pasal 9 Ayat (2) Hak Cipta. Walaupun tidak
disebutkan untuk karya parodi, ketentuan inilah yang dapat dijadikan landasan
hukum bagi pembuat parodi agar karyanya mendapat perlindungan serta tidak
dilihat dari ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU HC wajib meminta izin dari pencipta
asal suatu karya yang dijadikan dasar sebagai karya parodi. Perlindungan hak
seperti Youtube, Tiktok dan Instagram perlu adanya perlindungan dan penegakan
secara komersial diatur dalam UU Hak Cipta Pasal 1 angka 24 yang didefinisikan
sebagai pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk
komersial tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta dapat dikategorisasikan
sebagai pelanggaran hak cipta. Media online seperti Youtube, Tiktok dan
unggahan sehingga apabila video yang diunggah dilihat oleh jumlah tertentu
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (1) Hak Cipta, dalam media elektronik
informasi dan komunikasi bahwa penggunaan secara komersial mencakup
konten gratis yang memperoleh keuntungan ekonomi dari pihak lain yang
mengambil manfaat dari penggunaan Hak Cipta dan atau Hak Terkait.
Hak Cipta tidak secara mutlak dimiliki penuh oleh pencipta atau pemegang Hak
Cipta. Karena konsep hak milik dalam perspektif hukum Indonesia harus
pembatasan dan perkecualian hak eksklusif pencipta, yang disebut fair use, yang
“Fair use is one of the most important, and least clear cut, limits or
pengertian yaitu:15
14
Carl-Bernd Kaehlig, Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration
Requirements, (Jakarta: Tatanusa, 2011), hlm. 7.
15
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 8.
Pendapat Paul GoldStein telah memberikan definisi fair use secara umum
sebagai berikut:16
Article 13 TRIPs pun juga menetapkan three step test untuk menentukan
apakah tujuan utama norma fair use sesuai dengan tujuannya yaitu memberikan
eksklusif. Tes ini pun digunakan sebagai batasan antara hak eksklusif pencipta
dan hak istimewa dalam menggunakan (privilege to use). Three step test ini
16
Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 42.
17
Ibid.
Langkah pertama, pembatasan hanya mungkin untuk kasus tertentu yang
lazimnya bersifat ambigu karena tidak ada tujuan komersial, seperti digunakan
secara pribadi. Langkah kedua, kasus tersebut harus ditinjau “apakah tindakan
menggunakan ciptaan orang lain secara tanpa izin dan bukan untuk kepentingan
exploitation) pencipta atau pemegang Hak Cipta. Dan langkah ketiga, kasus
tersebut harus dianalisis ”apakah tindakan menggunakan ciptaan orang lain secara
tanpa izin, tetapi bukan untuk kepentingan komersial tersebut tidak mengurangi
kepentingan yang sah dari pencipta? Kepentingan (interest) dalam hal ini dapat
berupa economic interest dan non-economic interest.” Three step test merupakan
dealing/fair use). Norma ini pun penting untuk menentukan tindakan yang tidak
memiliki tujuan komersial, tetapi tetap merugikan kepentingan yang wajar dari
pencipta.
Dalam dunia internasional, terdapat 2 (dua) cabang norma pembatasan
atau pengecualian Hak Cipta, yaitu Fair Dealing dan Fair use. Fair Dealing
digunakan di Inggris (UK) dan negara-negara civil law system, sedangkan Fair
perlindungan terhadap pencipta, yaitu setiap penggunaan karya cipta harus disertai
moral pencipta, yaitu hak untuk diakui sebagai pencipta. Doktrin ini pun
mengizinkan (secara terbatas) penggunaan karya cipta untuk tujuan tertentu tanpa
18
Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights, dan Collecting Society, (Bandung: Alumni, 2008), hlm. 29.
Di Amerika, Prinsip fair use diatur dalam Section 107 Copyright Act
1976, yaitu:
“Notwithstanding the provisions of sections 106 and 106A, the fair use of
a copyrighted work, including such use by reproduction in copies or
phonorecords or by any other means specified by that section, for purposes
such as criticsm, comment, news reporting, teaching (including multiple
copies for classroom use), scolarship, or research, is not an infringement of
copyright:
1. The purpose and character of the use, including wheter such use is of a
commercial nature or is for nonprofit eductional purposes;
2. The nature of the copyrighted work;
3. The amount and substantiality of the portion used in relation to the
copyrighted work as a whole; and
4. The effect of the use upon the potential market for or value of the
copyrighted work.”
mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 106 dan 106A, penggunaan yang wajar
dari suatu ciptaan, termasuk penggunaan dengan reproduksi dalam salinan atau
media rekaman suara atau alat lain yang dispesifikasi oleh bagian tersebut, untuk
salinan untuk penggunaan dalam kelas), keilmuan, atau penelitian, bukanlah suatu
Cipta BAB VI Pasal 43 sampai dengan Pasal 51. Prinsip doktin fair use di
pelan`ggaran terhadap Hak Cipta selama sumber kreasi tersebut disebutkan secara
jelas dan lengkap serta hal tersebut hanya digunakan terbatas untuk tujuan yang
19
Ibid., hlm. 32.
Jika membandingkan antara ketiga negara diatas dalam mengatur
penggunaan yang wajar terhadap karya cipta, yaitu UK, US dan Indonesia.
Ketiganya memiliki kesamaan yang pada intinya adalah termasuk fair use apabila
penggunaan karya cipta milik orang lain tersebut tidak komersial atau tidak
Indonesia pada intinya adalah sama, yaitu harus mencantumkan sumbernya, dalam
hal ini dalah nama pencipta. Serta hanya untuk tujuan non- komersial seperti
dengan UK dan Indonesia, pengaturan fair use di US tidak hanya dilihat dari
tujuan yang non-komersial saja, akan tetapi harus diuji dengan berbagai faktor,
yaitu tujuan dan karakter penggunaan, sifat ciptaan, jumlah bagian dari karya cipta
yang digunakan, dan dampak penggunaan karya cipta terhadap pasar potensial
suatu ciptaan.
munculnya grup lawak yang hampir mirip dari segala aspeknya dengan Warkop
DKI yang sudah jauh lebih dulu ada.Ketua Lembaga Warkop DKI, Hana
dan Youtube hingga grup tersebut terus bermunculan di layar kaca Indonesia.
Secara etika Warkopi meminta izin terlebih dahulu kepada pihak Warkop DKI.
Namun, izin tersebut tidak dilakukan hingga Warkopi viral dijagat hiburan
Indonesia. Pada 24 Agustus 2021, pihak Patria TV yang mewakili pihak Warkopi
meminta izin untuk bertemu dengan pihak Warkop DKI secara langsung. Akan
tetapi, pihak Warkop DKI meminta agar pihak Warkopi meminta izin terlebih
Warkopi sudah muncul terlebih dahulu di muka publik. Pada 13 September 2021,
pihak Warkop DKI meminta pihak Warkopi untuk melakukan take down atas
September 2021, pihak Warkopi kembali melakukan pengiriman e-mail dan ingin
bertemu secara langsung dengan pihak Warkop DKI. Selain secara moral dan
etika, Warkopi diduga belum meminta izin Hak atas Kekayaan Intelektual
terhadap Warkop DKI atas berbagai macam kemiripan Warkopi dengan Warkop
DKI.
Akan kasus tersebut Warkopi dapat disebutnya parodi karena warkopi itu
sendiri merupakan modifikasi dari aslinya Warkop DKI, pada dasarnya Warkopi
memiliki persamaan yang identikal dengan Warkop DKI, tetapi fromat yang
dikemas oleh Warkopi adalah dengan modern, pendistribusian nya melalui media
keseluruhan karya cipta hingga ke hal inti atau mendasar dari suatu karya cipta
orang lain diperbolehkan dalam hukum. Terdapat beberapa faktor parodi
yaitu karya Warkop DKI bertambah diminati oleh masyarakat. Akan tetapi
terhadap kronologi kasus tersebut Warkopi tidak memiliki izin penggunaan hak
kekayaan intelektual Warkop DKI sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal
9 Ayat (1) UU HC sehingga warkopi dinyatakan melanggar hak cipta dan tidak
20
Suyud Margono, Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi
Ketentuan World Trade Organization/WTO- TRIPs Agreement, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
hlm. 10.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Parodi merupakan sebuah karya turnan dari karya ciptaan asal yang sudah
di modifikasi dan di implementasi kan ke bentuk lainya, parodi itu sendiri dapat di
mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Karena parodi adalah suatu
adalah karya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sesuai dengan pasal 43
UU HC. Parodi dapat dikategorikan sebagai bidang karya seni, oleh karenanya
hukum hak cipta dapat melindunginya. Hak Cipta menganut perlindungan secara
otomatis atau menganut sistem dekralatif. Karya cipta yang diumumkan kepada
secara otomatis pada hak cipta didasari pada Konvensi Berne. Namun Parodi itu
sendiri untuk memparodi kan karya orang lain harus mendapatkan perizinan
terlebih dahulu sesuai pasal 9 UU HC jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka karya
terapkan terhadap parodi itu sendiri, tidak melupakan prinsip penggunan yang
hal-hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.
Akan kasus tersebut Warkopi dapat disebut nya parodi karena warkopi itu
sendiri merupakan modifikasi dari aslinya Warkop DKI, pada dasarnya Warkopi
memiliki persamaan yang identikal dengan Warkop DKI, tetapi fromat yang
dikemas oleh Warkopi adalah dengan modern, pendistribusian nya melalui media
atas. Terhadap faktor yang diperbolehkan tersebut Warkopi membuat karya asal
sebagai berikut:
mengatur dimana agar hak pencipta asli tidak dirugikan atas karya parodi nya
penggunaan hak kekayaan intelektual milik pencipta aslinya. Hal tersebut agar
kedua belah pihak mendapatkan kepastian hukumnya, dalam sisi pencipta asli
tidak dirugikan hak nya, dan untuk si pencipta parodi karya nya pun turut
yang ada agar dapat disebut sebagai parodi dan dapat dilindungi secara
didasarkan pada Pasal 9 UU HC, sehingga untuk hak ekonomis dan terkait nya
Bintang, Sanusi. Hukum Hak Cipta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
Goldstein, Paul. Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1997.
Hasibuan, Otto. Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights, dan Collecting Society. Bandung: Alumni, 2008.
Jened, Rahmi. Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law). Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2014.
Margono, Suyud. Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi
Ketentuan World Trade Organization/WTO- TRIPs Agreement. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.
Posner, R. A. When Is Parody Fair Use?, The Journal of Legal Studies, 21(1), 67-
78
Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung:
PT. Alumni, 2011.
Riswandi, Budi Agus. Hak Cipta di Internet (Aspek Hukum dan Permasalahannya
di Indonesia). Yogyakarta: FH UII, 2009.
Soelistyo, Henry. Hak Cipta Tanpa Hak Moral. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011.
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hak Cipta. UU No. 28
Tahun 2014.