Anda di halaman 1dari 34

KEDUDUKAN PARODI DALAM HUKUM HAK CIPTA DI INDONESIA

(Pendekatan Kasus Konten Sketsa Warkopi)

ABSTRAK

Seiring dengan perkembangan zaman, tindakan Parodi Ciptaan banyak


dilakukan oleh masyarakat, maupun pengguna sosial media. Pada dasarnya Parodi
Cipta merupakan seni mengungkapkan sesuatu dengan kritikan dan ejekan atau,
memberi komentar dengan menggunakan karya orang lain, baik mengambil
cuplikan dari film, puisi, lagu, novel, iklan atau suatu peristiwa yang sedang
terkenal dalam masyarakat dengan jenaka. berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Parodi adalah karya sastra atau seni yang dengan sengaja
menirukan gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud mencari efek
kejenakaan. Terhadap hal ini muncul pertanyaan, apakah tindakan Parodi ini
merupakan pelanggaran Hak Cipta. Penelitian ini mempertahankan argumen
bahwa Parodi di Indonesia tidak melanggar Hak Cipta sepanjang memenuhi prisip
penggunaan yang wajar yang terdapat dalam Pasal 43 huruf d Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yaitu bersifat tidak komersial,
menguntungkan pencipta, dan pencipta tidak keberatan atas kegiatan Parodi di
dunia maya maupun realita. Artikel ini merupakan penelitian hukum yang
menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan teoritik, dan
pendekatan perbandingan.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral (moral

rights) dan hak ekonomi (economic rights).1 Hak moral melekat secara abadi pada

diri pencipta sedangkan hak ekonomi merupakan hak pencipta atau pemegang

Hak Cipta untuk mendapat manfaat ekonomi atas ciptaan. Hak eksklusif diartikan

sebagai hak yang hanya diperuntukkan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak

lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta.

Hak moral dan ekonomi tersebut jelas memerlukan perlindungan hukum.

Kronologinya hak moral ada terlebih dahulu dibandingkan hak ekonomi.

Pengakuan terhadap hak moral merupakan bentuk perlindungan hukum bagi si

pencipta. Hak moral terdiri atas hak untuk diakui sebagai pencipta dan hak atas

keutuhan karyanya. Hak moral tetap ada pada diri pencipta walaupun Hak

Ciptanya telah dialihkan. Karena, pencipta memiliki hubungan dan keterikatan

dengan karyanya yang harus dilestarikan, tanpa memperhatikan pertimbangan

ekonomi. Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

(selanjutnya disingkat UU Hak Cipta) dapat dilihat bentuk-bentuk Hak moral

yaitu:2

1
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun
2014, Pasal 4.
2
Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta (Kedudukan & Peranannya dalam Pembangunan),
(Jakata: Sinar Grafika, 2012), hlm. 30.
1. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan
sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;
2. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
3. Mengubah ciptaannya sesuai dengaan kepatutan dalam masyarakat;
4. Mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan
5. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi
ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya.

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak Cipta

untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Konsekuensi dari sifat

eksklusif dari Hak Cipta yaitu setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi suatu

ciptaan wajib mendapatkan ijin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta. Pasal 9

Ayat (1) dan (2) UU Hak Cipta menjelaskan bahwa:

(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk
melakukan:
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan; dan
i. penyewaan ciptaan.”
2) Seseorang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang Hak
Cipta.

Parodi dapat dilakukan dengan bentuk pengungkapan kritik terhadap seni

cipataan orang lain dalam hal nya ciptaan tersebut merupakan seni dan sastra,

Berdasaran Pasal 40 UU Hak Cipta Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan

dalam seni, dan sastra, terdiri atas:3

1. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua


hasil karya tulis lainnya:
2. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
3
Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1.
3. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
4. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
5. Karya seni terapan;
6. Karya arsitektur;
7. Peta;
8. Karya seni batik atau seni motif lain;
9. Karya sinematografi

Perlindungan tersebut bersifat utuh, artinya unsur semua ciptaan tersebut

dilindungi sebagai satu kesatuan karya cipta. Seperti contoh bilamana itu

sinematografi maka seluruh unsurnya seperti naskah dan karakter akan dilindungi,

walaupun dimungkinkan tiap unsur tersebut Hak Ciptanya dimiliki oleh pihak-

pihak yang berbeda. Dalam halnya mengeksploitasi karya ciptanya, pencipta

dan/atau pemegang Hak Cipta mempertunjukkan dan mengkomunikasikan karya

ciptanya dengan tujuan mendapatkan manfaat secara moral maupun secara

ekonomi. dan karya cipta tersebut dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat

luas. Pada realitanya banyak masayarakat yang menggunakan cipataan orang lain

tersebut dengan maksud mengungkapkan perasaan atau kritik terhadap suatu

peristiwa dengan konteks jenaka.4

Dalam pelaksanaannya Parodi, terdapat kegiatan memodifikasi,

memutilasi, merekam, menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,

mentransformasi, mempertunjukan, dan mengkomunikasikan karya cipta. Salah

satu hak moral pencipta adalah hak untuk tidak diubah karyanya. Dari kegiatan

tersebut tercipta versi yang berbeda dari sebuah ciptaan aslinya dan merubah nya

menjadi sebuah kritikan yang bersifat jenaka. Dengan kata lain, mengubah karya

cipta sehingga tercipta versi yang berbeda dari aslinya. Begitupun dengan hak
4
Soelistyo, Henry, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 18.
ekonomi pencipta, kegiatan mengadaptasi, mengaransemen, mempertunjukan, dan

mengumumkan karya cipta merupakan hak ekonomi sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta yang dapat menghasilkan keuntungan

ekonomi.

Dalam arti tersebut orang yang melakukan parodi berpotensi untuk

melanggar hak moral dan hak ekonomi seorang pencipta, namun adakala nya

dimana ada prinsip penggunaan yang sewajarnya adalah penggunaan yang wajar

yang menyebabkan Hak Cipta tidak secara mutlak dimiliki penuh oleh pencipta

atau pemegang Hak Cipta. Thomas G. Field, Jr berpendapat bahwa fair use is one

of the most important, and least clear cut, limits of copyright. It permits some use

of other’s works even without approval.5

Dari pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa prinsip fair use

memungkinkan penggunaan Hak Cipta tanpa persetujuan pencipta atau pemegang

Hak Cipta. Prinsip fair use atau penggunaan yang wajar merupakan pembatasan

(limitation) dan perkecualian (exception) terhadap hak eksklusif yang dimiliki

pencipta atau pemegang Hak Cipta. Konsep pembatasan dan perkecualian yang

dimaksud adalah:6

“Limitation and exception to copyright are provision in copyright law


which allow for copyrighted work to be used without license from
copyright owner relate to a number important consideration such as
market failure, freedom of speech, education and quality access. In order
to maintain an appropriate balance between the interest of right holders
and users of protected work, copyright law allow certain limitation an
economic right that is cases in which protected work may be used without

5
Budi Agus Riswandi, Hak Cipta di Internet (Aspek Hukum dan Permasalahannya
di Indonesia), (Yogyakarta: FH UII, 2009), hlm. 23.
6
Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2014), hlm. 14.
the authorization of right holder and with or without payment of
compensation.”
(Pembatasan dan perkecualian adalah ketentuan dalam hukum Hak Cipta
yang mengizinkan karya cipta digunakan tanpa izin dari pemilik Hak Cipta
untuk sejumlah pertimbangan penting. Seperti kegagalan pasar, kebebasan
berpendapat, akses pendidikan, dan kesetaraan. Agar terpelihara
keseimbangan yang layak antara kepentingan dari pemegang hak dan
pengguna karya cipta, hukum Hak Cipta mengizinkan pembatasan tertentu
hak ekonomi, yaitu dalam kasus dimana karya yang dilindungi Hak Cipta
boleh digunakan secara tanpa kewenangan pemegang hak dengan atau
tanpa kompensasi).

Prinsip penggunaan yang wajar sebagai norma pembatasan dan

perkecualian hak eksklusif pencipta bertujuan untuk memelihara keseimbangan

yang layak antara kepentingan dari pemegang hak dan pengguna karya cipta.

Untuk memelihara keseimbangan yang layak tersebut, Article 13 Trade-Related

Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) menetapkan pembatasan

(limitation) dan perkecualian (exception) sebagai beriku4:

“Member shall confine limitation or exception to exclusive rights to


certain special cases which do not conflict with a normal exploitation of
the work and do not unreasonably prejudice the legitimate interest of the
right holder.”
(Dalam kasus khusus tertentu, negara anggota dapat menentukan
pembatasan atau perkecualian terhadap hak eksklusif yang diberikan,
sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan suatu eksploitasi
pemanfaatan normal dari karya cipta dan tidak mengurangi kepentingan
yang sah dari pemegang hak).

Indonesia merupakan negara yang meratifikasi TRIPs 1994 berdasarkan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement

Establishing the World Trade Organization dan telah menyesuaikan peraturan di

bidang HKI sebagai bentuk perlindungan hukum sesuai dengan kesepakatan

perjanjian WTO, sehingga prinsip penggunaan yang wajar telah ditentukan


pembatasan atau perkecualian terhadap hak eksklusif pencipta di dalam Pasal 43

huruf d UU Hak Cipta yang menyatakan:

Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta adalah


pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi
informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau
menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut
menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.

Sehingga menurut penulis, Parodi dapat dikatakan bukan pelanggaran Hak

Cipta dalam batas-batas tertentu. Adapun Batasan yang dimaksud adalah apabila

Parodi tidak memiliki tujuan komersial; dan/atau menguntungkan pencipta atau

pihak terkait; atau pencipta menyatakan tidak keberatan atas hal tersebut. Pada

kenyataannya banyak di masyarakat luas yang mengimplementasi kan nya untuk

kepentingan komersil, ambil saja contoh kasus Warkop DKI melawan Warkopi

yang dimana Warkopi memparodikan Warkop DKI dalam kronologi kasusnya

adalah sebagai berikut:

Awal bulan September 2021, jagat hiburan Indonesia dihebohkan dengan


munculnya grup lawak yang hampir mirip dari segala aspeknya dengan
Warkop DKI yang sudah jauh lebih dulu ada. Ketua Lembaga Warkop
DKI, Hana Sukmaningsih mewakili pihak Warkop DKI pada dasarnya
mengapresiasi kemunculan Warkopi DKI sebagai bentuk pengembangan
kreativitas. Warkopi terus mengunggah konten-kontennya melalui media
sosial khususnya Instagram dan Youtube hingga grup tersebut terus
bermunculan di layar kaca Indonesia. Secara etika Warkopi meminta izin
terlebih dahulu kepada pihak Warkop DKI. Namun, izin tersebut tidak
dilakukan hingga Warkopi viral di jagat hiburan Indonesia. Pada 24
Agustus 2021, pihak Patria TV yang mewakili pihak Warkopi meminta
izin untuk bertemu dengan pihak Warkop DKI secara langsung. Akan
tetapi, pihak Warkop DKI meminta agar pihak Warkopi meminta izin
terlebih dahulu melalui e-mail. Namun, sebelum e-mail tersebut
dikirimkan, justru Warkopi sudah muncul terlebih dahulu di muka publik.
Pada 13 September 2021, pihak Warkop DKI meminta pihak Warkopi
untuk melakukan take down atas konten-konten mereka yang telah viral di
media sosial. Namun, hingga 17 September 2021, pihak Warkopi kembali
melakukan pengiriman e-mail dan ingin bertemu secara langsung dengan
pihak Warkop DKI. Selain secara moral dan etika, Warkopi diduga belum
meminta izin Hak atas Kekayaan Intelektual terhadap Warkop DKI atas
berbagai macam kemiripan Warkopi dengan Warkop DKI.

Memperhatikan fokus penulisan permasalahan di atas, artikel ini memiliki

kebaruan karena mempertahankan pendapat dan memiliki bangunan argumentasi

yang berbeda dari tulisan yang lain. Pada artikel ini penulis menggunakan prinsip

penggunaan yang wajar sebagai pijakan dan memberikan pemaknaan pada setiap

unsur penggunaan yang wajar dalam Pasal 43 UU Hak Cipta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang akan

diteliti adalah:

1. Apakah Parodi merupakan bentuk pelanggaran Hak Cipta?

2. Apakah prinsip penggunaan yang wajar dalam Pasal 43 UU Hak Cipta

tepat diaplikasikan dalam Parodi?

3. Apakah konten sketsa warkopi dapat dikategorikan sebagai parodi?


C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep pelanggaran Hak Cipta khususnya terkait

Parodi.

2. Untuk mengetahui prinsip penggunaan yang wajar dalam Hukum Hak

Cipta.

3. Untuk mengetahui bahwa Pasal 43 UU Hak Cipta tepat diaplikasikan

untuk Parodi untuk di masyarakat luas.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research), sehingga

secara substantif fokusnya membicarakan hukum (to state the law), yaitu

membicarakan normative statements; dan tidak membicarakan apa yang ada atau

apa yang terjadi. Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini termasuk dalam

pendekatan kualitatif. Hal ini mengingat proses atau kegiatan dari

penelitian hukum adalah argumentatif dan interpretif. Oleh karena itu,

bentuk atau model penulisan yang digunakan untuk pelaporan

penelitian ini adalah argumentative writing yang merupakan proses

penyampaian suatu legal reasoning atau legal argumentation.

2. Terkait dengan metode pengumpulan data, seperti yang biasa dalam

penelitian hukum, digunakan data yang disebut sebagai bahan hukum

(legal materials atau authorities). Bahan hukum dalam penelitian ini


terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier (primary

authority, secondary authority dan tertiary authority).

3. Jenis teknik-teknik interpretif yang digunakan adalah merujuk pada

teknik- teknik interpretif yang dikenal dalam Ilmu Hukum, di mana

dalam arti luas teknik atau metode itu disebut penemuan hukum

(rechtsvinding atau legal method). Terdapat beberapa jenis pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan konseptual

(conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute

approach), dan pendekatan kasus (case approach).


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Parodi dan Perlindungannya

Konsep parodi dikenal sebagai tiruan gaya dan cara seseorang dalam hal

karya seni yang biasanya mengedepankan pandangan negatif dari seseorang

tersebut dengan usaha untuk mengejek karya tersebut, namun terkadang dapat

juga berupa ekspresi kekaguman seseorang terhadap suatu karya. Kamus Besar

Bahasa Indonesia mendefinisikan parodi sebagai suatu dengan sengaja menirukan

gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud karya sastra atau seni yang

mencari efek kejenakaan.7

Pemahaman mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan parodi

dapat ditelusuri salah satunya dari encyclopedia. The Encyclopedia of Britannica

mengemukakan bahwa parody, in literature, an imitation of the style and manner

of a particular writer or school of writers. Parody is typically negative in intent: it

calls attention to a writer’s perceived weaknesses or a school’s overused

conventions and seeks to ridicule them. Parody can, however, serve a constructive

purpose, or it can be an expression of admiration. It may also simply be a comic

exercise.8 Kata Parody berasal dari bahasa Yunani parōidía, yaitu sebuah lagu

yang dinyanyikan bersama dengan yang lain.

7
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) – Kamus versi online/daring (dalam jaringan),
https://kbbi.web.id/parodi, diakses pada tanggal 14 Desember 2021
8
The Encyclopedia of Britannica, https://www.britannica.com/art/parodi-literature,
diakses pada tanggal 14 Desember 2021
Parodi di Indonesia mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal

40 huruf n UU Hak Cipta. Parodi dalam UU HC dikenal dengan sebutan

“transformasi” dan “adaptasi”. Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 huruf n UU Hak

Cipta diatur bahwa yang dimaksud dengan adaptasi adalah mengalihwujudkan

suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Sebagai contoh dari buku menjadi film.

Sementara itu, yang dimaksud dengan "karya lain dari hasil transformasi" adalah

merubah format ciptaan menjadi format bentuk lain. Sebagai contoh film genre

horor menjadi komedi.

Parodi adalah suatu karya kreatif manusia, dalam konteks hukum

kekayaan intelektual parodi mendapat perlindungan melalui hukum hak cipta.

Sebagaimana diketahui karya cipta yang mendapat perlindungan hak cipta adalah

karya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sesuai dengan Pasal 43 UU Hak

Cipta. Parodi dapat dikategorikan sebagai bidang karya seni, oleh karenanya

hukum hak cipta dapat melindunginya. Hak Cipta menganut perlindungan secara

otomatis atau menganut sistem dekralatif. Karya cipta yang diumumkan kepada

umum, dapat secara serta memperoleh perlindungan hak cipta. Perlindungan

secara otomatis pada hak cipta didasari pada Konvensi Berne.

Prinsip automatically protection dianut oleh Berne Convention,

berdasarkan konsep ini, mendaftarkan suatu ciptaan bukanlah merupakan suatu

kewajiban yang mutlak harus dilakukan, melainkan menjadi suatu hal yang

sifatnya fakultatif. Suatu karya mendapat perlindungan hak cipta bilamana

mempunya unsur kreteria keaslian (originality). Unsur keaslian dalam hak cipta

dimana ciptaan tersebut merupakan suatu hasil kreatifitas yang menunjukkan


kekhasan dan bersifat pribadi. Karya cipta yang lahir dari kreativitas manusia,

akal, budi, dan kemampuan intelektual yang tinggi tidak dapat dilepaskan dari

pengorbanan waktu, tenaga serta usaha yang maksimal dari individu yang

menghasilkan karya tersebut.

Oleh karenanya, sudah sepantasnya mendapat perlindungan hukum dalam

bentuk hak eksklusif bagi penciptanya dan mendapat pengakuan dari negara. Hak

Cipta selain diatur dalam Berne Convention, secara internasional juga diatur

melalui TRIPs Agreement yang mewajibkan negara-negara anggotanya termasuk

Indonesia untuk mengharmonisasikan standar perlindungan hak kekayaan

intelektual termasuk hak cipta sesuai standar TRIPs Agreement. Sudah menjadi

kewajiban bagi negara untuk menghormati, mengakui serta memberi perlindungan

hukum atas karya kreatif yang lahir dari kemampuan intelektual sebagai refleksi

kepribadian individu yang dinamis.9

Parodi sebagai suatu karya kreativitas intelektual manusia di Indonesia

mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal 40 huruf n UU Hak Cipta.

Parodi dalam UU Hak Cipta dikenal dengan sebutan “transformasi” dan

“adaptasi”. Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 huruf n UU Hak Cipta diatur bahwa

yang dimaksud dengan adaptasi adalah mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi

bentuk lain. Sebagai contoh dari buku menjadi film. Sementara itu, yang

dimaksud dengan "karya lain dari hasil transformasi" adalah merubah format

ciptaan menjadi format bentuk lain. Sebagai contoh musik pop menjadi musik

dangdut.

9
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung:
PT. Alumni, 2011), hlm 120
Parodi dikenal di dunia International sebagai derivative work. karya

turunan atau derivative work adalah karya yang didasarkan pada satu atau lebih

karya yang sudah ada sebelumnya seperti terjemahan, aransemen musik,

dramatisasi, fiksi, versi film, rekaman suara, reproduksi seni, ringkasan,

kondensasi, atau bentuk lain apa pun di mana suatu karya dapat dibuat ulang,

diubah atau diadaptasi. Sebuah karya yang terdiri dari revisi editorial, anotasi,

elaborasi, atau modifikasi lain yang secara keseluruhan merupakan karya asli

kepengarangan, merupakan karya turunan.

Dalam pengertian karya turunan tersebut dapat dikatan bahwa parodi

tersebut merupakan karya turunan. Selanjutnya pengaturan tentang hal tersebut

ada pada Berne Convention Article 2(3) defines derivative works as translations,

adaptations, arrangements of music and other alterations of a literary or artistic

work, which shall be protected as original works without prejudice to the

copyright in the original work. Dapat dipahami bahwa karya turunan sebagai

terjemahan, adaptasi, pengaturan musik dan perubahan lain dari karya sastra atau

karya seni, harus dilindungi sebagai karya asli tanpa mengurangi hak cipta dalam

karya aslinya.

B. Perlindungan Karya Parodi Berupa Karya Sinematografi yang Berasal

Dari Karya Lainnya

Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m. UU Hak Cipta, karya

sinematografi diberikan definisi sebagai ciptaan yang berupa gambar bergerak

(moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film
cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat

dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau

media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar,

televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk

audiovisual.

Perlindungan karya sinematografi dalam UU Hak Cipta tercantum dalam

Pasal 40 ayat (1) huruf m. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dicermati bahwa

karya sinematografi yang dibuat sejak awal oleh penciptanya termasuk yang

dibuat dalam bentuk video akan mendapat perlindungan hak cipta. Karya cipta

sinematografi yang dibuat dalam bentuk video yang kemudian berubah wujud nya

menjadi parodi yang juga dalam bentuk video oleh pihak lain, jika dilihat dari segi

karya sebagai hasil akhir dari video parodi, memang menghasilkan karya video

parodi yang termasuk dalam kategori sebagai karya sinematografi.10

Namun, jika dilihat secara keseluruhan proses bagaimana video parodi itu

diciptakan maka unsur orisinalitas tidak terpenuhi karena video parodi ini dibuat

berdasarkan atau terinspirasi dari suatu karya ciptaan sinematografi lainnya.

Video parodi dibuat seakan-akan membuat ulang suatu karya sinematografi yang

diselipkan muatan-muatan humor di dalamnya. UU Hak Cipta mengenal dan

mengatur karya ciptaan lainnya yang memperoleh perlindungan hak cipta yang

memiliki kemiripan dengan proses penciptaan video parodi yaitu karya lain dari

hasil transformasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf n, yang

10
Sarwo Nugroho, Teknik Dasar Videografi, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2014),
hlm. 11.
dalam Penjelasannya didefinisikan sebagai “merubah format Ciptaan menjadi

format bentuk lain.”

Namun, UU Hak Cipta belum memberikan pembatasan yang jelas terkait

sejauhmana suatu karya ciptaan khususnya dalam hal ini karya sinematografi

dapat ditransformasikan, mengingat format ciptaan antara video parodi dan karya

cipta asalnya adalah dalam suatu format yang sama yaitu gambar bergerak

(moving images), sedangkan dalam penjelasan tersebut disebutkan adanya

perbedaan genre yang tentu tidak dapat diaplikasikan secara serupa dengan jenis

karya ciptaan lainnya. Perlindungan terhadap ciptaan video parodi diperlukan

karena suatu ciptaan video parodi walaupun dibuat berdasarkan karya ciptaan

lainnya, tetapi memiliki muatan-muatan khas yang merupakan hasil olah

pemikiran dari pencipta video parodi. Tentunya perlindungan yang dimaksud

harus diiringi dengan persyaratan yang jelas dalam pengaturannya, seperti harus

memperoleh izin dari pemilik karya asli dan lain sebagainya. Sehingga dalam hal

ini pencipta video parodi juga dapat memiliki hak atas karya ciptaannya.

Di Amerika Serikat dikenal ciptaan yang disebut dengan derivative works

yang dihasilkan dari berbagai tindakan alih wujud. Amerika Serikat tidak sekedar

mengenal perubahan bentuk saja sebagai pengertian pengalihwujudan tetapi juga

berbagai tindakan lain yang dianggap dapat menghasilka karya derivative. Agar

dapat memenuhi syarat sebagai pengalihwujudan, karya tersebut harus melalui

proses mengubah (mentransformasi), mengadaptasi, atau memodifikasi karya

yang ada.11 Derivative works tersebut kemudian di Amerika Serikat dibatasi oleh

11
Paul Goldstein, Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1997), hlm. 39.
pembatasan fair use atau yang diketahui sebagai penggunaan sewajarnya, dalam

proses pembuatannya harus melalui cara-cara yang tidak melanggar hukum.

Amerika Serikat juga memperbolehkan penggunaan karya cipta asal secara

menyuluruh untuk parodi.

Parodi itu sendiri adalah pengecualian di dalam penggunaan sewajarnya,

meskipun menggunakan keseluruhan karya cipta hingga ke hal inti atau mendasar

dari suatu karya cipta orang lain diperbolehkan dalam hukum. Terdapat beberapa

faktor parodi digolongkan sebagai penggunaan sewajarnya:12

1. Parodi dianggap sebagai salah satu bentuk pemberian kritik terhadap

hal-hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.

2. Parodi dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap karya asal.

3. Parodi sering digunakan sebagai alat pemberian kritik tidak hanya

kepada karya asal tetapi menggunakan karya asal yang dianggap

memiliki standar tinggi untuk memberikan kritik pada hal lain.

Atas faktor-faktor tersebut, parodi sangat penting artinya, oleh karena itu

sudah seharusnya mendapat perlindungan hukum yang jelas, perlindungan

tersebut harus memperhatikan merugikan atau tidak perlindungan hukum karya

cipta asalnya.

C. Pelanggaran Hak Cipta

Hak Cipta melindungi beberapa hak yang melekat pada suatu karya.

Dengan kata lain Hak Cipta merupakan sekumpulan hak atau bundle of rights atau

multiple rights in one work. Sekumpulan hak tersebut memberikan ekslusifitas


12
Posner, R. A. When Is Parody Fair Use?, The Journal of Legal Studies, 21(1), 67-78
bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta bahwa tidak ada orang lain yang boleh

melakukan hak itu, kecuali atas izinnya.Hak Cipta pun juga memberikan hak

eksklusif pencipta untuk berbuat apa saja terhadap ciptaannya, kecuali yang

ditentukan dalam pembatasan (limitation). Sehingga dapat dikatakan bahwa

prinsip dasar perlindungan Hak Cipta adalah bahwa seseorang pencipta memiliki

hak untuk mengeksploitasi karyanya dan pihak lain dilarang meniru hasil kreatif

yang diciptakan olehnya. Pengertian ini juga mengandung makna bahwa

eksploitasi ciptaan oleh pihak yang tidak memiliki hak merupakan bentuk

pelanggaran Hak Cipta.

Di dalam Pasal 4 UU Hak Cipta menyatakan, “Hak Cipta merupakan hak

eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi”. Perlindungan Hak Cipta

memberikan eksklusifitas kepada para pihak yang terlibat dalam pembuatan karya

seni musik berupa hak moral dan hak ekonomi, yang kemudian kedua hak

tersebut masih terbagi lagi menjadi berbagai macam hak. Hak moral ada guna

melindungi personalitas pencipta, yang menujukkan tidak terpisahkannya karya

dan penciptanya, sehingga sampai kapanpun pencipta itu hidup maupun mati,

karyanya retap melekat pada dirinya. Hak moral ada terlebih dahulu dibanding

hak ekonomi. Hak ekonomi hanya sebagai akibat lanjut dari hak moral. Menurut

Becket, hak ekonomi ada karena usaha dalam menciptakan sesuatu adalah sesuatu

yang berhak untuk diakui dan dihargai.13

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa subjek dalam Hak Cipta

adalah pencipta dan pemegang Hak Cipta. Seluruh subjek Hak Cipta memiliki hak

moral dan hak ekonominya masing-masing terhadap satu karya cipta.


13
G Becker, Deserving to Own Intellectual Property. (Chicago: Kent Law Review, 1993).
D. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Cipta yang Dirugikan oleh

Parodi Sinematografi

Bedasarkan pembahasan pelanggaran hak cipta tersebut dalam hal karya

sinematografi dibuat ulang atau ditransformasikan ke dalam suatu karya lain

berupa video parodi maka hal ini kembali kepada kebijakan pencipta dan

pemegang hak eksklusif atas karya sinematografi tersebut. Jika karya video parodi

terebut dibuat hanya untuk tujuan yang bukan komersil maka hal ini tidak menjadi

suatu persoalan. Hal ini kemudian menjadi persoalan atas pembuatan dan

pengumuman dari video parodi tersebut, pembuat video parodi memperoleh

keuntungan atas hasil karya tersebut. penggunaan atau pemanfaatan ciptaan untuk

tujuan komersial diatur berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU Hak Cipta.

Pencipta memiliki hak atas karyanya berupa hak moral dan hak ekonomi.

Pasal 8 Hak Cipta mengatur bahwa hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta

atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Lebih

lanjut dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d. Hak Cipta diatur salah satunya bahwa

pencipta atau pemegang hak ciptalah yang memiliki hak ekonomi untuk

melakukan pengadaptasian, pengaransemenan, maupun pentransformasian atas

ciptaannya. Bilamana ada pihak lain yang ingin melaksanakan hak ekonomi untuk

mengadaptasi ciptaan pencipta asli diatur nya dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1),

maka pihak tersebut wajib memperoleh izin pencipta atau pemegang hak cipta

sebagaimana diatur melalui ketentuan Pasal 9 Ayat (2) Hak Cipta. Walaupun tidak

disebutkan untuk karya parodi, ketentuan inilah yang dapat dijadikan landasan
hukum bagi pembuat parodi agar karyanya mendapat perlindungan serta tidak

dianggap sebagai pelanggaran atas karya cipta asal.

Pembuat karya cipta parodi khususnya untuk kepentingan komersial jika

dilihat dari ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU HC wajib meminta izin dari pencipta

asal suatu karya yang dijadikan dasar sebagai karya parodi. Perlindungan hak

pencipta karya sinematografi yang karyanya dibuat video parodi dan

dikomersialisasikan baik melalui media konvensional maupun media online

seperti Youtube, Tiktok dan Instagram perlu adanya perlindungan dan penegakan

hukum yang efektif. Seperti sebelumnya bahwa pengertian dari penggunaan

secara komersial diatur dalam UU Hak Cipta Pasal 1 angka 24 yang didefinisikan

sebagai pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk

memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.

Penyebarluasan seperti mengunggah karya adaptasi untuk tujuan

komersial tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta dapat dikategorisasikan

sebagai pelanggaran hak cipta. Media online seperti Youtube, Tiktok dan

Instagram menjadi salah satu platform yang memungkinkan pengunggah video

untuk memperoleh keuntungan dengan cara menyematkan pengaturan monetisasi

unggahan sehingga apabila video yang diunggah dilihat oleh jumlah tertentu

pengguna Youtube, Tiktok dan Instagram maka pengunggah akan memperoleh

penghasilan dari hasil unggahannya tersebut. Tindakan ini tentu dapat

dikualifikasikan sebagai salah satu pengunaan secara komersial walaupun

pengunggah dapat mempublikasikan ciptaannya secara gratis. Sebagaimana

dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (1) Hak Cipta, dalam media elektronik
informasi dan komunikasi bahwa penggunaan secara komersial mencakup

penggunaan komersial secara langsung (berbayar) maupun penyediaan layanan

konten gratis yang memperoleh keuntungan ekonomi dari pihak lain yang

mengambil manfaat dari penggunaan Hak Cipta dan atau Hak Terkait.

E. Prinsip Penggunaan yang Sewajarnya Dalam Hak Cipta

Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa kepemilikan

Hak Cipta tidak secara mutlak dimiliki penuh oleh pencipta atau pemegang Hak

Cipta. Karena konsep hak milik dalam perspektif hukum Indonesia harus

berfungsi sosial. Sehingga di dalam hukum Hak Cipta, terdapat norma

pembatasan dan perkecualian hak eksklusif pencipta, yang disebut fair use, yang

bertujuan untuk memelihara keseimbangan yang layak antara kepentingan dari

pemegang hak dan pengguna karya cipta. Thomas G. Field mendefinisikan

doktrin fair use sebagai berikut:14

“Fair use is one of the most important, and least clear cut, limits or

copyright. It permits some use of other works even without approval.”

Pembatasan ini mengijinkan penggunaan karya orang lain walaupun tanpa

persetujuan penciptanya. Dalam hal tersebut Eddy Damian memberikan

pengertian yaitu:15

“Dengan adanya pengaturan hukum penggunaan yang wajar (fair use/fair


dealing), hukum Hak Cipta memperkenankan seseorang (pihak ketiga)
menggunakan atau mengeksploitasi suatu ciptaan tanpa perlu izin dari
pencipta, asalkan masih dalam batas-batas yang diperkenankan.”

14
Carl-Bernd Kaehlig, Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration
Requirements, (Jakarta: Tatanusa, 2011), hlm. 7.
15
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 8.
Pendapat Paul GoldStein telah memberikan definisi fair use secara umum

sebagai berikut:16

“a privilege in others than the owner of a copy right to use the

copyrighted material in a reasonable manner without his consent,

notwithstanding the monopoly granted to the owner by the copyright.”

Dalam Article 13 TRIPs menetapkan pembatasan (limitation) dan

perkecualian (exception) sebagai berikut:17

“Member shall confine limitation or exception to exclusive rights to


certain special cases which do not conflict with a normal exploitation of
the work and do not unreasonably prejudice the legitimate interest of the
right holder.”

(Dalam kasus khusus tertentu, negara anggota dapat menentukan


pembatasan atau perkecualian terhadap hak eksklusif yang diberikan,
sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan suatu eksploitasi
pemanfaatan normal dari karya cipta dan tidak mengurangi kepentingan
yang sah dari pemegang hak)

Article 13 TRIPs pun juga menetapkan three step test untuk menentukan

apakah tujuan utama norma fair use sesuai dengan tujuannya yaitu memberikan

keseimbangan antara pemberian hak eksklusif dan pembatasan (limitation) hak

eksklusif. Tes ini pun digunakan sebagai batasan antara hak eksklusif pencipta

dan hak istimewa dalam menggunakan (privilege to use). Three step test ini

bersifat kumulatif dan berdasarkan urutan. Yaitu:

1. Basic rule: limitation must be certain special cases.


2. First condition delimiting the basic rule: no conflict with a normal
exploitation- compulsory licences impossible.
3. Second condition delimiting the basic rule: no unreasonable prejudice
to legitimate interest-compulsory licences possible.

16
Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 42.
17
Ibid.
Langkah pertama, pembatasan hanya mungkin untuk kasus tertentu yang

lazimnya bersifat ambigu karena tidak ada tujuan komersial, seperti digunakan

secara pribadi. Langkah kedua, kasus tersebut harus ditinjau “apakah tindakan

menggunakan ciptaan orang lain secara tanpa izin dan bukan untuk kepentingan

komersial tidak bertentangan dengan pemanfaatan yang normal (normal

exploitation) pencipta atau pemegang Hak Cipta. Dan langkah ketiga, kasus

tersebut harus dianalisis ”apakah tindakan menggunakan ciptaan orang lain secara

tanpa izin, tetapi bukan untuk kepentingan komersial tersebut tidak mengurangi

kepentingan yang sah dari pencipta? Kepentingan (interest) dalam hal ini dapat

berupa economic interest dan non-economic interest.” Three step test merupakan

norma dasar pembatasan (limitation) atau penggunaan yang wajar (fair

dealing/fair use). Norma ini pun penting untuk menentukan tindakan yang tidak

memiliki tujuan komersial, tetapi tetap merugikan kepentingan yang wajar dari

pencipta.
Dalam dunia internasional, terdapat 2 (dua) cabang norma pembatasan

atau pengecualian Hak Cipta, yaitu Fair Dealing dan Fair use. Fair Dealing

digunakan di Inggris (UK) dan negara-negara civil law system, sedangkan Fair

use digunakan di Amerika Serikat. Konsep fair dealing didasarkan pada

perlindungan terhadap pencipta, yaitu setiap penggunaan karya cipta harus disertai

dengan pencantuman nama pencipta sebagai suatu bentuk penghormatan hak

moral pencipta, yaitu hak untuk diakui sebagai pencipta. Doktrin ini pun

mengizinkan (secara terbatas) penggunaan karya cipta untuk tujuan tertentu tanpa

royati. Adapun tujuannya adalah sebagai berikut:18

1. Research and Study (penelitian dan pendidikan)


2. Critism or Review (kritik dan penulisan hasil penerapan kritik)
3. Reporting News in Newspaper, Magazine or Similar Periodical
Provided a Sufficient Acknowledgement of the Work is Made
(penulisan laporan di surat kabar, majalah, dan lain-lain yang
menyediakan suatu pengetahuan –bagi masyarakat– secara memadai,
asalkan tidak mengambil bagian-bagian karya cipta secara tidak layak
dan tidak termasuk layanan kliping surat kaba.
4. Giving Professional Advice by Legal Practitioner or patent attorney
(pemberian nasihat profesional oleh praktisi hukum atau konsultan
paten). Amerika serikat sebagai negara cikal bakal perkembangan
doktrin fair use, perlindungan Hak Ciptanya didasarkan pada ciptaan.
Ada izin dan uang atau sejumlah pembayaran dalam penggunaan karya
cipta milik orang lain sebagai bentuk perlindungan terhadap hak
ekonomi pencipta. Akan tetapi di Amerika Serikat juga diperbolehkan
penggunaan karya cipta tanpa seijin pencipta dalam keadaan sosial
tertentu, seperti pendidikan dan penelitian.

18
Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights, dan Collecting Society, (Bandung: Alumni, 2008), hlm. 29.
Di Amerika, Prinsip fair use diatur dalam Section 107 Copyright Act

1976, yaitu:

“Notwithstanding the provisions of sections 106 and 106A, the fair use of
a copyrighted work, including such use by reproduction in copies or
phonorecords or by any other means specified by that section, for purposes
such as criticsm, comment, news reporting, teaching (including multiple
copies for classroom use), scolarship, or research, is not an infringement of
copyright:
1. The purpose and character of the use, including wheter such use is of a
commercial nature or is for nonprofit eductional purposes;
2. The nature of the copyrighted work;
3. The amount and substantiality of the portion used in relation to the
copyrighted work as a whole; and
4. The effect of the use upon the potential market for or value of the
copyrighted work.”

Yang diterjemahkan bebas oleh penulis sebagai berikut, “tanpa

mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 106 dan 106A, penggunaan yang wajar

dari suatu ciptaan, termasuk penggunaan dengan reproduksi dalam salinan atau

media rekaman suara atau alat lain yang dispesifikasi oleh bagian tersebut, untuk

tujuan seperti kritik, komentar, laporan berita, pengajaran (termasuk beberapa

salinan untuk penggunaan dalam kelas), keilmuan, atau penelitian, bukanlah suatu

pelanggaran dari Hak Cipta:

1. Tujuan dan karakter dari suatu penggunaan, termasuk apakah


penggunaan tersebut bersifat komersial atau untuk tujuan pendidikan
yang nirlaba;
2. Sifat dari suatu ciptaan;
3. Jumlah dan kekukuhan dari bagian yang digunakan dalam kaitannya
dengan ciptaan secara keseluruhan (jumlah dan porsi substansi isi yang
digunakan)
4. Efek dari penggunaan terhadap pasar potensial bagi suatu ciptaan atau
nilai dari suatu ciptaan.

Pertama, yaitu tujuan dan karakter penggunaan. Apakah penggunaan tersebut


untuk kepentingan komersial atau non- komersial. Apabila untuk
kepentingan komersial, maka membutuhkan lisensi dari pencipta atau
pemegang Hak Cipta. Namun apabila penggunaan karya cipta tersebut
untuk tujuan non-komersial, maka dapat dikategorikan sebagai
penggunaan yang sewajarnya.
Kedua, sifat dari suatu ciptaan. Bahwa penggunaan yang dimaksudkan adalah
penggunaan karya cipta asli. Hal ini menitikberatkan pada orisinalitas.
Keaslian dari karya cipta dapat memenuhi prinsip penggunaan yang
sewajarnya apabila karya tersebut merupakan karya faktual, bukan
fiksi.
Ketiga, jumlah dan porsi substansi isi yang digunakan. Alat yang digunakan
untuk memutuskan berapa banyak jumlah dan substansi yang
digunakan adalah “makin sedikit apa yang diambil, makin besar pula
perbuatan tersebut berada pada kategori doktrin fair use”. Ini berarti
makin sedikit materi yang diambil makin besar kemungkinan bahwa
perbuatan tersebut termasuk doktrin fair use dan bukan pelanggaran
Hak Cipta. Bagaimanapun, doktrin ini tidak akan berlaku jika porsi
yang diambil adalah porsi jantung atau paling penting dari suatu karya
cipta.
Keempat, efek dari penggunaan terhadap pasar atau terhadap nilai dari karya
ciptaan yang digunakan yakni dampak yang akan ditimbulkan yang
dapat merugikan Hak Cipta. Penggunaan yang merugikan kemampuan
pemilik Hak Cipta untuk mendapatkan keuntungan dari karya aslinya
cenderung tidak dianggap sebagai penggunaan wajar.19

Indonesia sebagai negara yang meratifikasi TRIPs 1994 telah menentukan

pembatasan atau perkecualian terhadap hak eksklusif pencipta dalam UU Hak

Cipta BAB VI Pasal 43 sampai dengan Pasal 51. Prinsip doktin fair use di

Indonesia adalah penggunaan kreasi tertentu tidak dinyatakan sebagai sebuah

pelan`ggaran terhadap Hak Cipta selama sumber kreasi tersebut disebutkan secara

jelas dan lengkap serta hal tersebut hanya digunakan terbatas untuk tujuan yang

tidak menghasilkan profit atau keuntungan, termasuk kegiatan sosil, seperti:

1. pendidikan dan pengetahuan;


2. penelitian dan pengembangan;
3. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan
peradilan;
4. ceramah untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau 5)
pertunjukan atau pementasanyang tidak dipungut biaya dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

19
Ibid., hlm. 32.
Jika membandingkan antara ketiga negara diatas dalam mengatur

penggunaan yang wajar terhadap karya cipta, yaitu UK, US dan Indonesia.

Ketiganya memiliki kesamaan yang pada intinya adalah termasuk fair use apabila

penggunaan karya cipta milik orang lain tersebut tidak komersial atau tidak

bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pengaturan fair use di UK dan

Indonesia pada intinya adalah sama, yaitu harus mencantumkan sumbernya, dalam

hal ini dalah nama pencipta. Serta hanya untuk tujuan non- komersial seperti

pendidikan, ceramah, kritik, penulisan hasil penelitian, dan lain-lain. Berbeda

dengan UK dan Indonesia, pengaturan fair use di US tidak hanya dilihat dari

tujuan yang non-komersial saja, akan tetapi harus diuji dengan berbagai faktor,

yaitu tujuan dan karakter penggunaan, sifat ciptaan, jumlah bagian dari karya cipta

yang digunakan, dan dampak penggunaan karya cipta terhadap pasar potensial

suatu ciptaan.

F. Kasus Warkop DKI

Pada bulan September 2021, dunia hiburan Indonesia dihebohkan dengan

munculnya grup lawak yang hampir mirip dari segala aspeknya dengan Warkop

DKI yang sudah jauh lebih dulu ada.Ketua Lembaga Warkop DKI, Hana

Sukmaningsih mewakili pihak Warkop DKI pada dasarnya mengapresiasi

kemunculan Warkopi DKI sebagai bentuk pengembangan kreativitas. Warkopi

terus mengunggah konten-kontennya melalui media sosial khususnya Instagram

dan Youtube hingga grup tersebut terus bermunculan di layar kaca Indonesia.

Secara etika Warkopi meminta izin terlebih dahulu kepada pihak Warkop DKI.
Namun, izin tersebut tidak dilakukan hingga Warkopi viral dijagat hiburan

Indonesia. Pada 24 Agustus 2021, pihak Patria TV yang mewakili pihak Warkopi

meminta izin untuk bertemu dengan pihak Warkop DKI secara langsung. Akan

tetapi, pihak Warkop DKI meminta agar pihak Warkopi meminta izin terlebih

dahulu melalui e-mail. Namun, sebelum e-mail tersebut dikirimkan, justru

Warkopi sudah muncul terlebih dahulu di muka publik. Pada 13 September 2021,

pihak Warkop DKI meminta pihak Warkopi untuk melakukan take down atas

konten-konten mereka yang telah viral di media sosial. Namun, hingga 17

September 2021, pihak Warkopi kembali melakukan pengiriman e-mail dan ingin

bertemu secara langsung dengan pihak Warkop DKI. Selain secara moral dan

etika, Warkopi diduga belum meminta izin Hak atas Kekayaan Intelektual

terhadap Warkop DKI atas berbagai macam kemiripan Warkopi dengan Warkop

DKI.

Akan kasus tersebut Warkopi dapat disebutnya parodi karena warkopi itu

sendiri merupakan modifikasi dari aslinya Warkop DKI, pada dasarnya Warkopi

memiliki persamaan yang identikal dengan Warkop DKI, tetapi fromat yang

dikemas oleh Warkopi adalah dengan modern, pendistribusian nya melalui media

social yaitu Instagram dan youtube, konten-konten tersebut dapat membuat

masyarakat bernostalgia atas karya orsinil Warkop DKI.

Adanya prinsip sewjarnya yang diterapkan pada hukum Hak Cipta di

international yang mengatur tentang Parodi membuat parodi itu sebagai

pengecualian di dalam penggunaan sewajarnya, meskipun menggunakan

keseluruhan karya cipta hingga ke hal inti atau mendasar dari suatu karya cipta
orang lain diperbolehkan dalam hukum. Terdapat beberapa faktor parodi

digolongkan sebagai penggunaan sewajarnya:20

1. Parodi dianggap sebagai salah satu bentuk pemberian kritik terhadap


hal-hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.
2. Parodi dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap karya asal.
3. Parodi sering digunakan sebagai alat pemberian kritik tidak hanya
kepada karya asal tetapi menggunakan karya asal yang dianggap
memiliki standar tinggi untuk memberikan kritik pada hal lain.

Terhadap faktor yang diperbolehkan tersebut Warkopi membuat karya asal

yaitu karya Warkop DKI bertambah diminati oleh masyarakat. Akan tetapi

terhadap kronologi kasus tersebut Warkopi tidak memiliki izin penggunaan hak

kekayaan intelektual Warkop DKI sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal

9 Ayat (1) UU HC sehingga warkopi dinyatakan melanggar hak cipta dan tidak

dapat mendapatkan ekonomi terhadap karya nya.

20
Suyud Margono, Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi
Ketentuan World Trade Organization/WTO- TRIPs Agreement, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
hlm. 10.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Parodi merupakan sebuah karya turnan dari karya ciptaan asal yang sudah

di modifikasi dan di implementasi kan ke bentuk lainya, parodi itu sendiri dapat di

lindungi di Indonesia mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal 40

huruf n Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 (UU HC). Parodi dalam UU HC

dikenal dengan sebutan “transformasi” dan “adaptasi”. Berdasarkan Penjelasan

Pasal 40 huruf n UU HC diatur bahwa yang dimaksud dengan adaptasi adalah

mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Karena parodi adalah suatu

karya kreatif manusia, dalam konteks hukum kekayaan intelektual parodi

mendapat perlindungan melalui hukum hak cipta.

Sebagaimana diketahui karya cipta yang mendapat perlindungan hak cipta

adalah karya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sesuai dengan pasal 43

UU HC. Parodi dapat dikategorikan sebagai bidang karya seni, oleh karenanya

hukum hak cipta dapat melindunginya. Hak Cipta menganut perlindungan secara

otomatis atau menganut sistem dekralatif. Karya cipta yang diumumkan kepada

umum, dapat secara serta memperoleh perlindungan hak cipta. Perlindungan

secara otomatis pada hak cipta didasari pada Konvensi Berne. Namun Parodi itu

sendiri untuk memparodi kan karya orang lain harus mendapatkan perizinan

terlebih dahulu sesuai pasal 9 UU HC jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka karya

parodi tersebut dapat dikatakan melanggar hak cipat pencipta nya.


Walaupun belum diatur nya secara jelas tentang pengaturan parodi tersebut

dalam UU HC, namun untuk implementasi pasal 43 UU HC huruf d dapat di

terapkan terhadap parodi itu sendiri, tidak melupakan prinsip penggunan yang

wajar unsur parodi itu sendiri harus terpenuhi yaitu:

1. Parodi dianggap sebagai salah satu bentuk pemberian kritik terhadap

hal-hal yang dianggap aneh atau janggal pada suatu karya cipta.

2. Parodi dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap karya asal.

3. Parodi sering digunakan sebagai alat pemberian kritik tidak hanya

kepada karya asal tetapi menggunakan karya asal yang dianggap

memiliki standar tinggi untuk memberikan kritik pada hal lain.

Akan kasus tersebut Warkopi dapat disebut nya parodi karena warkopi itu

sendiri merupakan modifikasi dari aslinya Warkop DKI, pada dasarnya Warkopi

memiliki persamaan yang identikal dengan Warkop DKI, tetapi fromat yang

dikemas oleh Warkopi adalah dengan modern, pendistribusian nya melalui media

social yaitu Instagram dan youtube, konten-konten tersebut dapat membuat

masyarakat bernostalgia atas karya orsinil Warkop DKI.

Adanya prinsip sewjarnya yang diterapkan pada hukum Hak Cipta di

international yang mengatur tentang Parodi membuat parodi itu sebagai

pengecualian di dalam penggunaan sewajarnya, seperti hal nya yang dijelaskan di

atas. Terhadap faktor yang diperbolehkan tersebut Warkopi membuat karya asal

yaitu karya Warkop DKI bertambah diminati oleh masyarakat.


B. Saran

Berikut adalah saran-saran yang ditemukan oleh penulis di jabarkan

sebagai berikut:

1. Pencipta parodi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan UU HC yang

mengatur dimana agar hak pencipta asli tidak dirugikan atas karya parodi nya

hal tersebut melainkan mendapatkan nya perizinan dan kesepakatan

penggunaan hak kekayaan intelektual milik pencipta aslinya. Hal tersebut agar

kedua belah pihak mendapatkan kepastian hukumnya, dalam sisi pencipta asli

tidak dirugikan hak nya, dan untuk si pencipta parodi karya nya pun turut

dilindungi sebagai karya turunan.

2. Perlu di pahami oleh masyarakat bahwa parodi harus memenuhi unsur-unsur

yang ada agar dapat disebut sebagai parodi dan dapat dilindungi secara

hukum. Unsur tersebut mengacu pada pengecualian parodi pada prinsip

penggunaan yang wajar.

3. Pada kasus warkopi seharusnya pihak warkopi meminta perizinan terlebih

dahulu sebelum mendistribusikan karya-karya nya melewati media social

youtube dan Instagram untuk menghindari pelanggaran hak cipta yang

didasarkan pada Pasal 9 UU HC, sehingga untuk hak ekonomis dan terkait nya

jelas, dan untuk hak moral Warkop DKI tidak di rugikan.


REFRENSI

Becker, G. Deserving to Own Intellectual Property. Chicago: Kent Law Review,


1993.

Bintang, Sanusi. Hukum Hak Cipta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Carl-Bernd Kaehlig. Indonesian Copyright Law: Including Licensing and


Registration Requirements. Jakarta: Tatanusa, 2011.

Damian, Eddy. Hukum Hak Cipta. Bandung: PT. Alumni, 2005.

Goldstein, Paul. Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1997.

Hasibuan, Otto. Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights, dan Collecting Society. Bandung: Alumni, 2008.

Hutagalung, Sophar Maru. Hak Cipta (Kedudukan & Peranannya dalam


Pembangunan). Jakata: Sinar Grafika, 2012.

Isnaini, Yusran. Buku Pintar HAKI. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010.

Jened, Rahmi. Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law). Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2014.

Margono, Suyud. Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi
Ketentuan World Trade Organization/WTO- TRIPs Agreement. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.

Nugroho, Sarwo. Teknik Dasar Videografi. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2014.

Posner, R. A. When Is Parody Fair Use?, The Journal of Legal Studies, 21(1), 67-
78

Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung:
PT. Alumni, 2011.

Riswandi, Budi Agus. Hak Cipta di Internet (Aspek Hukum dan Permasalahannya
di Indonesia). Yogyakarta: FH UII, 2009.

Soelistyo, Henry. Hak Cipta Tanpa Hak Moral. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011.
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hak Cipta. UU No. 28
Tahun 2014.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) – Kamus versi online/daring (dalam


jaringan), https://kbbi.web.id/parodi.

The Encyclopedia of Britannica, https://www.britannica.com/art/parodi-literature,


diakses pada tanggal 14 Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai