Anda di halaman 1dari 9

ISLAM DAN PANDEMI

A. Pandemi Dalam Sejarah Islam

Wabah atau pandemi bukanlah peristiwa yang baru seperti kita lihat saat ini. Wabah
pandemic memiliki sejarah panjang dengan tingkat bahaya yang juga beragam. Peristiwa wabah
penyakit juga terjadi pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Artinya, jika kita kini
merasakan penderitaan akibat pandemi, sadarlah bahwa pengalaman serupa juga pernah dialami
orang-orang paling saleh pada zamannya.

Wabah tha'un (penyakit sampar, pes, lepra) pernah menyerang masyarakat Arab ketika
itu dan menelan korban jiwa. Hal ini terekam salah satunya dalam hadits sahih riwayat Imam al-
Bukhari berikut ini:

‫ت َرسُوْ َل هللاِ ﷺ َع ِن الطَّا ُعوْ ِن‬ ْ َ‫ج النَّبِ ِّي ﷺ أَنَّهَا أَ ْخبَ َر ْتنَا أَنَّهَا َسأَل‬ ِ ْ‫ع َْن عَائِ َشةَ زَ و‬
َ ‫فَأ َ ْخبَ َرهَا نَبِ ُّي الل ِهﷺ أَنَّهُ َكانَ َع َذابًا يَ ْب َعثُهُ هللاُ َعلَى َم ْن يَ َشا ُء فَ َج َعلَهُ هللاُ َرحْ َمةً لِ ْل ُم ْؤ ِمنِ ْينَ فَلَي‬
‫ْس ِم ْن َع ْب ٍد يَقَ ُع‬
‫د‬jِ ‫َب هللاُ لَهُ إِاَّل َكانَ لَهُ ِم ْث ُل أَجْ ِر ال َّش ِه ْي‬ ِ ُ‫صابِرًا يَ ْعلَ ُم أَنَّهُ لَ ْن ي‬
َ ‫ص ْيبَهُ إِاَّل َما َكت‬ ُ ‫الطَّا ُعوْ نَ فَيَ ْم ُك‬
َ ‫ث فِ ْي بَلَ ِد ِه‬

Artinya, “Dari Sayyidah Aisyah ra, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya
kepada Rasulullah saw tentang tha‘un, lalu Rasulullah saw memberitahukannya, ‘Zaman dulu
tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Allah
menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa
tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un
tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan
memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,’” (HR al-Bukhari).

Dalam sebuah Hadits panjang yang diriwiyatkan oleh Ibnu Abbas dan dipopulerkan oleh
Imam Bukhori, terdapat cerita terkait pandemic yang terjadi saat itu, dimana waktu itu terjadi
perbedaan pendapat antara para sahabat Nabi dalam menyikapi penyakit mewabah (pandemic).
Pandemic itu terjadi tatkala Sayyiduna Umar hendak pergi menuju Syam, di tengah-tengah
perjalanan, tepatnya di daerah Saragh (lembah yang berada di Tabuk) ia bertemu dengan Abu
Ubaidah bin Jarrah dan para sahabatnya, lalu mereka memberi kabar kepada sayyidina Umar
bahwa telah terjadi wabah penyakit di Syam. Kemudian sayyiduna Umar memanggil sahabat-
sahabat senior dari kalangan Muhajirin untuk dimintai pendapat, mereka pun berbeda pendapat,
ada yang mengusulkan agar sayyiduna Umar tetap melanjutkan perjalanan menuju Syam dan ada
yang mengusulkan agar sayyiduna umar bersama rombongannya kembali dan mengurungkan
perjalanannya. Demikian pula ketika sahabat-sahabat senior dari kalangan Anshor dimintai
pendapat, mereka pun berbeda pendapat. Akhirnya sayyiduna Umar memutuskan untuk
menggagalkan perjalanannya ke Syam dan kembali ke Madinah.

B. Sikap Umat Islam Menghadapi Pandemi

Pandemi menurut sebagian ulama seperti halnya Syekh Abdul Qodir Al jilani mengatakan bahwa
pandemic bala’ itu bukan bermaksud untuk merusak kita atau menghancurkan kita, namun
menurut beliau pandemi merupakan sebuah cobaan untuk mengetest kita bagaimana kita
menghadapi cobaan tersebut, sebatas mana ketebalan iman kita agar tidak mudah goyah dengan
datangnya cobaan berupa pandemic tersebut.
‫فإن البالء مل تأت املؤمن لهتلكه وإ منا اتته لتختربه‬
Bertolak dari pendapat tersebut maka kita umat islam harus menentukan sikap yang tepat agar
bala’tersebut tidak menghancurkan kita tapi justru bisa menjadi sarana untuk menaikkan derajat
kita dan memperkokoh keimanan kita
‫هللا ﷺ َع ِن‬ ِ ‫َع ْن عَائِشَ َة َز ْوجِ النَّيِب ِ ّ ﷺ َأهَّن َا َأ ْخرَب َ تْنَا َأهَّن َا َسَألَ ْت َر ُس ْو َل‬
َ ‫هللا َرمْح َ ًة ِللْ ُم ْؤ ِم ِننْي‬
ُ ُ ‫هللا عَىَل َم ْن يَشَ ا ُء فَ َج َعهَل‬
ُ ‫الطاع ُْو ِن فََأ ْخرَب َ هَا نَيِب ُّ اللهِﷺ َأن َّ ُه اَك َن عَ َذااًب ي َ ْب َعثُ ُه‬
َّ
‫هللا هَل ُ اَّل اَك َن هَل ُ ِمث ُْل َأ ْج ِر‬
ُ ‫الطاع ُْو َن فَ َي ْم ُك ُث يِف ْ بَدَل ِ ِه َصا ِب ًرا ي َ ْعمَل ُ َأن َّ ُه ل َ ْن ي ُ ِص ْي َب ُه اَّل َما َك َت َب‬
َّ ‫فَلَيْ َس ِم ْن َع ْب ٍد ي َ َق ُع‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫الشَّ هِ ْي ِد‬

Artinya, “Dari Sayyidah Aisyah ra, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya
kepada Rasulullah saw tentang tha‘un, lalu Rasulullah saw memberitahukannya, ‘Zaman dulu
tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Allah
menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa
tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un
tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan
memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,’” (HR al-Bukhari).

Hadits ini setidaknya menjelaskan tentang dua hal penting. Pertama, tentang fakta wabah
penyakit yang bisa berfungsi sebagai azab dan bisa sebagai rahmat. Untuk konteks saat ini, dua
hal ini bisa dibaca sebagai buah dari sikap manusia terhadap wabah. Wabah berstatus sebagai
azab ketika disikapi dengan kekufuran, kezaliman, kesombongan, dan laku maksiat lainnya.
Sebaliknya, wabah menjelma menjadi rahmat saat direspons dengan bijak dan penuh kesabaran
yang menjadi ciri-ciri sikap kaum beriman. Wabah bisa menimpa siapa saja, baik mukmin
maupun bukan; orang-orang saleh maupun para pendosa. Namun, masing-masing dari mereka
bisa berbeda dalam menyikapi wabah dan saat itulah mereka secara tidak langsung sedang ikut
menentukan, apakah wabah ini menjadi rahmat (kasih sayang) atau azab (siksa).

Kedua, tentang sikap yang dianjurkan Rasulullah dalam merespons wabah. Dalam hadits
yang disebut tadi, Rasulullah menyebut dua sikap positif, yakni (1) mengisolasi diri sementara
dan (2) sabar dalam kesadaran penuh bahwa Allah penentu segala sesuatu. Jika dua sikap ini
diterapkan maka ganjaran yang diperoleh setara dengan ganjaran orang mati syahid. Jika
dicermati, sikap pertama yang disarankan Rasulullah dalam hadits itu tak lain adalah dorongan
untuk senantiasa berikhtiar. Beliau secara terang-terangan menyuruh para sahabat untuk
menahan diri di daerah setempat (karantina wilayah), yang berarti pula melarang mereka
memasuki zona penularan penyakit. Anjuran karantina diri saat wabah juga tercantum dalam
hadits lain:

‫ اَل‬: ِ ‫ فَاَل خَت ْ ُر ُجوا ِف َر ًارا ِمنْ ُه وقَا َل َأبُو النَّرْض‬، ‫ َو َذا َوقَ َع ِبَأ ْر ٍض َوَأنْمُت ْ هِب َا‬، ‫ فَاَل تَ ْقدَ ُموا عَلَ ْي ِه‬، ‫فَ َذا مَس ِ ْعمُت ْ ِب ِه ِبَأ ْر ٍض‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫خُي ْ ِر ُجمُك ْ اَّل ِف َر ٌار ِمنْ ُه‬
‫ِإ‬
Artinya: "Jika kalian mendengar ada wabah tha’un di suatu negeri, janganlah kalian
memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah tha'un itu ada di negeri kalian, janganlah keluar
dari negeri kalian karena menghindar dari penyakit itu” (HR Muslim).
Poin pokok dari hadits Nabi itu adalah adanya upaya aktif manusia untuk menanggulangi
penyakit, tidak semata pasif menunggu keajaiban datang sendiri meskipun dibungkus dengan
pengakuan tawakal atau semacamnya. Ikhtiar untuk mencegah segala hal yang mudarat adalah
bagian dari pelaksanaan syariat yang wajib dilakukan seorang hamba. Manusia dibekali naluri
mempertahankan diri dan akal untuk kelangsungan hidupnya. Melakukan mitigasi bencana,
mengarantina penularan virus, atau hidup higienis adalah bagian dari cara mensyukuri anugerah
tersebut. Dan yang mesti dicatat pula, sebagaimana pesan Nabi, berbagai ikhtiar tersebut mesti
beriringan dengan kesabaran dan keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan siapa yang bakal
terkena musibah.

Lebih lanjut Ikhtiar manusia bukanlah satu-satunya perkara yang diandalkan, melainkan
harus dibarengi dengan tawakkal (kepasrahan diri pada Allah SWT dengan penuh keimanan).
Ikhtiar kita untuk berobat adalah agar supaya kita disembuhkan, dan yang menyembuhkan
adalah Allah SWT. Ikhtiar kita untuk berusaha bangkit adalah agar supaya kita keluar dari
keterpurukan, dan yang mengeluarkan kita dari keterpurukan adalah Allah SWT. Itulah
gambaran ikhtiar yang dibarengi dengan tawakkal.

Dalam sebuah Hadits Riwayat Sayyidina Umar bin Khattab yang dipopulerkan oleh
imam At Tirmidzi, baginda Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

‫ تَغْدُ ْو مِخ َ ًاصا َوتَ ُر ْو ُح ب َِطااًن‬، َ ‫الطرْي‬


َّ ‫هللا َح َّق ت ََولُّك ِ ِه ل َ َر َزقَمُك ْ اَمَك يَ ْر ُز ُق‬
ِ ‫ل َ ْو َأنَّمُك ْ تَ َت َولَّك ُ ْو َن عَىٰل‬.

“Jika kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sesungguhnya, maka Allah
akan memberi kalian rejeki sebagaimana Allah memberi rejeki pada burung, ia keluar dari
sangkarnya di pagi hari dalam keadaan perut kosong lalu kembali ke sangkarnya di sore hari
dengan perut yang penuh makanan”

Hadits tersebut memberikan pengertian kepada kita akan pentingnya tawakkal yang harus
dibarengi dengan ikhtiar. Baginda Nabi Muhammad SAW memberikan tamsil contoh
perumpamaan kepada kita dengan seekor burung yang senantiasa tawakkal kepada Allah SWT,
namun tawakkalnya dibarengi dengan usaha keluar dari sangkar di pagi hari untuk mencari
makan, tidak dengan berpangku tangan. Demikian pula wabah covid 19 yang menimpa kita ini
harus kita hadapi dengan penuh ikhtiar dan tawakkal. Kita harus bisa melihat bahwa pandemi
yang sedang kita hadapi adalah sebuah instrumen dan ritme yang sedang mengiringi kehidupan,
sehingga kehidupan ini harus ada gerakan untuk mengikuti instrumen dan ritme yang demikian,
bukan dengan berdiam diri dan berpangku tangan.

Salah satu Gerakan nyata ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah dengan selalu mematuhi
protokol kesehatan, isolasi bagi yang terjangkit karena penularannya sangat rentan dan ikhtiar-
ikhtiar lain berupa gerakan-gerakan kemanusiaan. Isolasi bagi yang terjangkit merupkan salah
satu cara untuk menjaga orang lain agar tidak terjangkit. Islam melihat hal ini sebagai sarana
untuk memutus mata rantai penularan, dan tindakan peduli kemanusiaan, bukan sebagai bentuk
lari dari takdir Tuhan.

Dalam sebuah Hadits panjang yang diriwiyatkan oleh Ibnu Abbas dan dipopulerkan oleh
Imam Bukhori, terdapat cerita yang di dalamnya terjadi perbedaan pendapat antara para sahabat
Nabi dalam menyikapi penyakit mewabah (pandemic). Yaitu tatkala Sayyiduna Umar hendak
pergi menuju Syam, di tengah-tengah perjalanan, tepatnya di daerah Saragh (lembah yang berada
di Tabuk) ia bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarrah dan para sahabatnya, lalu mereka memberi
kabar kepada sayyidina Umar bahwa telah terjadi wabah penyakit di Syam. Kemudian sayyiduna
Umar memanggil sahabat-sahabat senior dari kalangan Muhajirin untuk dimintai pendapat,
mereka pun berbeda pendapat, ada yang mengusulkan agar sayyiduna Umar tetap melanjutkan
perjalanan menuju Syam dan ada yang mengusulkan agar sayyiduna umar bersama
rombongannya kembali dan mengurungkan perjalanannya. Demikian pula ketika sahabat-sahabat
senior dari kalangan Anshor dimintai pendapat, mereka pun berbeda pendapat. Akhirnya
sayyiduna Umar memutuskan untuk menggagalkan perjalanannya ke Syam dan kembali ke
Madinah.

Abu Ubaidah bin Jarrah tidak sepakat dengan keputusan Sayyiduna Umar lalu berkata:
"Apakah Engkau ingin lari dari takdir wahai Amirul Mukminin?". Sayyiduna Umar menjawab:
"Ya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah". Ditengah-tengah sayyiduna Umar
berusaha meyakinkan pilihannya kepada Abu Ubaidah, datanglah Abdurrahman bin Auf yang
menjelaskan bahwa apa yang akan dilakukan Umar, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

‫ َو َذا َوقَ َع ِبَأ ْر ٍض َوَأنْمُت ْ هِب َا فَال خَت ْ ُر ُجوا ِف َر ًارا ِم ْن ُه‬،‫َذا مَس ِ ْعمُت ْ ِب ِه ِبَأ ْر ٍض فَال تَ ْقدُ ُموا عَلَ ْي ِه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
"Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian
mendatanginya. Sebaliknya kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian
berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya."

Umar bin Khattab kemudian meminta Abu Ubaidah untuk meninggalkan Syam. Namun
Abu Ubaidah menolak dan tetap tinggal di Syam. Dia kemudian terkena wabah dan meninggal
dunia. Muaz bin Jabal yang menggantikan Abu Ubaidah sebagai Gubernur Syam juga meninggal
dunia terkena wabah.

Wabah penyakit di Syam baru mereda setelah Amr bin Ash menjabat gubernur. Dia
mencoba menganalisa penyebab munculnya wabah dan kemudian melakukan isolasi, orang yang
sakit dan sehat dipisahkan, menjaga jarak dan tidak mencitpakan kerumunan. Dari sinilah
kemudian wabah penyakit di Syam pun perlahan-lahan mulai hilang.

Dalam hadits yang lain, imam Bukhori mempopulerkan sabda Rasulullah SAW berikut:

ُ ‫ فَ َي ْم ُكث يِف بَدَل ِ ِه َصا ِب ًرا ُم ْحت َ ِس ًبا ي َ ْعمَل ُ َأن َّ ُه اَل يُ ِصي ُبه إ اَّل َما َك َت َب‬،‫ُون‬
ُ ‫هللا هَل ُ؛ إ اِّل اَك َن هَل‬ َّ ‫لَيْ َس ِم ْن َر ُج ٍل ي َ َق ُع‬
ُ ‫الطاع‬
‫ِمث ُْل َأ ْج ِر الشَّ هِي ِد‬

“Tidaklah seseorang yang (disekitarnya) sedang terjadi penyakit mewabah lalu ia mau berdiam
diri (melakukan Isolasi) dengan penuh sabar di daerahnya dan yakin bahwa semua itu adalah
ketentuan Allah, kecuali ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mati Syahid”

Hadits tersebut semakin memberikan kejelasan pada kita bahwa isolasi adalah tuntunan
syar’i yang harus dipahami oleh setiap insan muslim sebagai bentuk ikhtiar untuk menekan
penyebaran covid-19 yang semakin tidak terkendali. Apa yang telah dicanangkan oleh
pemerintah dan tim medis dalam menangani kasus melonjaknya covid-19 ini, adalah salah satu
bentuk ikhtiar lahir yang mendapatkan legitimasi Syar’I sebagai sarana untuk memutus mata
rantai penularan, dan tindakan peduli kemanusiaan, bukan sebagai bentuk lari dari takdir Tuhan.

Selain Ikhtiar dan Tawakkal seperti tercermin dalam uraian diatas kita sebagai umat islam harus
juga menyadari bahwa kita adalah hamba Allah yang mana segala sesuatu terjadi atas
kehendakNya sebagai sang pencipta dan Penampilan yang paling jelas nampak dari kehambaan
manusia kepada Allah SWT adalah berdo’a.
Berdoa, meminta kepada Allah dengan penuh kerendahan hati dan bersimpuh di hadapanNya
sebagaimana sabda baginda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin
Basyir yang dipopulerkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari ;

‫َّن َادلُّ عَ َاء ه َُو ْال ِع َبا َد ْة‬


‫ِإ‬
:Sesungguhnya Doa adalah Ibadah” lalu Rasulullah SAW membaca ayat berikut“

‫ﱍ ﱎ ﱏ ﱐ ﱑﱒ ﱓ ﱔ ﱕ ﱖ ﱗ ﱘ ﱙ ﱚ‬

"Dan Tuhanmu berfirman: “berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.


Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menghamba kepadu akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”

Pada ayat tersebut di atas, ditemukan adanya perbandingan antara orang yang mau berdoa
sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah dan orang yang tidak mau berdoa sebagai
bentuk istikbar atau kesombongan diri manusia kepada Tuhannya.

Jika setiap insan mau bersimpuh dan memohon kepada Allah SWT dengan penuh
kerendahan hati, meskipun berlumuran dosa dan menanggung beban kemaksiatan, maka mereka
justru telah menampakkan penghambaan mereka yang menjadikan mereka mendekat kepada
Allah dan mendapatkan pertolongan dariNya.

Dari ayat tersebut, kita bisa memahami bahwa kita selaku hamba Allah diperintah untuk
selalu memohon dan berdoa kepadaNya dan bersimpuh di hadapanNya dengan penuh
kerendahan hati. Sejatinya kita selalu butuh untuk selalu menengadahkan kedua tangan kita
memohon kepadaNya, karena kita sebagai hamba Allah tidak akan bisa lepas dari salah satu dua
kedaan sebagai berikut:

Pertama; keadaan yang penuh dengan kenikmatan, kesehatan dan ketercukupan, yang tentunya
dalam keadaan ini kita harus masih merasa butuh kepada Allah dengan memohon, bersimpuh
dan berdoa kepadaNya agar supaya Allah berkenan melanggengkan kita dalam keadaan yang
seperti ini.
Kedua; keadaan yang penuh dengan kepayahan, derita, ujian, cobaan dan malapetaka. Yang
tentunya dalam keadaan seperti ini kita harus lebih merasa butuh kepada Allah dengan
memohon, bersimpuh dan berdoa kepadaNya agar Allah berkenan mengeluarkan kita dari
keadaan yang seperti ini.

Kedua keadaan tersebutlah yang seharusnya kita pahami sebagai refleksi keberadaan
manusia yang sejatinya memiliki substansi dan jati diri sebagai hamba Allah SWT yang tidak
bisa lepas dari butuh kepada Allah SWT dalam keadaan apapun.

Refleski seperti inilah yang seharusnya kita implementasikan dalam kehidupan kita saat
ini yang sedang membersamai pandemi. Sebagai hamba Allah secara kodrati dan pasti, tentunya
perilaku dan dedikasi harus selaras dengan kodrat sebagai hamba Allah.

Perilaku dan dedikasi yang selaras dengan kodrat sebagai hamba diantaranya adalah
menaggalkan sifat sombong dan angkuh dalam diri, tidak merasa mampu berdiri sendiri tanpa
andil sesama dan tanpa peran Allah yang maha kuasa.

Demikian juga, secara kodrati manusia dicipatkan oleh Allah sebagai mahluk sosial yang
tidak akan bisa survive dalam menjalakan kehidupan ini tanpa melibatkan sosok orang lain di
luar dirinya. Disinilah kemudian saling peduli antar sesama menemukan urgensinya ditengah-
tengah kehidupan manusia.

Dalam situasi pandemi seperti ini, kita harus peduli dengan kesehatan diri sendiri dan
kesehatan orang lain, jangan sampai justru kita menjadi penyebab penularan yang menyebabkan
orang lain terancam kesehatannya. Jika ada yang sakit terjangkit covid, maka itu jangan
dipandang sebagai Aib. Dalam sebuah Hadits Riwayat Hudzaifah Ibnul Yaman sebagaimana
yang dipopulerkan oleh At Thabarani, baginda Nabi Muhammad SAW bersbda:
‫َم ْن ل َ ْم هَي ْمَت َّ ِبَأ ْم ِر الْ ُم ْس ِل ِم َني فَلَيْ َس ِمهْن ُ ْم‬
“Barang siapa tidak peduli dengan urusan orang lain (orang Islam), maka ia bukan termasuk di
antara kita”

Peduli dengan kesehatan orang lain adalah bagian dari kemanusiaan, dan sakit bukanlah
merupakan aib, Islam sendiri adalah agama yang humanis. Nilai-nilai kemanusiaan begitu
diperhatikan bahkan dijaga oleh Islam. Kesehatan manusia begitu diharapkan dalam Islam, hal
ini secara tegas disampaikan oleh baginda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits riwaya
Abu Darda’ yan dipopulerkan oleh imam Abu Dawud:

‫َّن اهَّلل َ َأ ْن َز َل ادلَّ َاء َوادلَّ َو َاء َو َج َع َل ِللُك ِّ دَا ٍء د ََو ًاء فَتَدَ َاو ْوا َواَل تَدَ َاو ْوا حِب َ َرا ٍم‬
‫ِإ‬
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit
terdapat obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!"

Itulah refleksi dari substansi dan jati diri kita sebagai Hamba Allah. Kita harus
bisa menyelaraskan perilaku dan dedikasi kita dengan substansi jati diri kita sebagai Hamba
Allah secara kodrati. Kita berkewajiban untuk selalu peduli dengan sesama, menjaga kesehatan
diri dan orang lain dengan tanpa meninggalkan do’a, selalu bersimpuh memohon kepada Allah
SWT dengan penuh kerendahan hati, yang bisa menjadikan kita semakin mendekat kepada Allah
dan mendapatkan pertolongan dariNya.

Anda mungkin juga menyukai