Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pandemi Covid 19

1. Pengertian COVID 19

Menurut Kemenkes RI (2020a), Coronavirus (CoV) adalah

keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit mulai dari gejala

ringan, sedang sampai berat. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan

antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV

ditransmisikan dari kucing luwak (civetcats) ke manusia dan MERS-CoV

dari unta ke manusia. Di akhir tahun 2019 telah muncul jenis virus

corona baru yakni coronavirus disease 2019 (COVID-19).

Corona Virus Disease (Covid-19) adalah penyakit yang

disebabkan oleh virus Corona jenis baru yang diberi nama SARS-CoV-2.

Covid-19 pertama kali terdeteksi di kota Wuhan, Provinsi Hubei,

Tiongkok pada Desember 2019 yang ditetapkan sebagai pandemi oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020 (Algifari,

2020).

2. Tanda Gejala

Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari

setelah paparan, tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain

gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas,

Pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom


pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian (KEMENKES,

2020).

Infeksi corona virus dapat menimbulkan gejala ringan, sedang

hingga berat, gejala klinis utama yang muncul demam diatas 38 C, batuk

dan kesulitan bernapas, selain itu dapat disertai dengan sesak memberat,

fatigue, mialgia, gejala gastro intestinal seperti diare dan gejala saluran

napas lain, sesak selama satu minggu, pada kasus berat perburukan secara

cepat dan progresif seperti ARDS, syok septic, asisdosi metabolic yang

sulit di koreksi, perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam

beberapa hari, pada beberapa pasien gejala yang muncul ringan bahkan

tidak muncul gejala (Yuliana, 2020).

3. Pervelansi

Pervelansi Kasus positif Covid-19 di Indonesia hingga agustus

2021 bertambah 10.534 menjadi 4.089.801 orang. Pasien sembuh

bertambah 16.781 menjadi 3.760.497 orang. Pasien meninggal bertambah

532 menjadi 133.023 orang, sedangkan untuk jumlah kasus di dunia,

Hingga Kamis (26/8/2021), berdasarkan data Worldometers, ada

214.669.534 kasus Covid-19 di dunia, dari jumlah itu, sebanyak

4.474.991 orang meninggal dunia, dan 192.015.401 orang sembuh

(worlddometers, 2021).

Hingga 19 Agustus 2021, total kasus konfirmasi COVID-19 di dunia

adalah 209.201.939 kasus dengan 4.390.467 kematian (CFR 2,1%) di 204

Negara Terjangkit dan 151 Negara Transmisi Komunitas (WHO, 2021).


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengambil tindakan

untuk meningkatkan upaya penanggulangan COVID-19 di Indonesia,

mengacu pada pedoman sementara WHO tentang novel Coronavirus

(KEMENKES, 2021).

4. Patogenesis

Patogenesis SARS-CoV-2 masih banyak yang belum

diketahui, akan tetapi beberapa virus SARS-CoV-2 telah diketahui dan

tidak jauh berbeda dengan lainnya. Pada umumnya, virus ini menginfeksi

sel-sel disaluran pernapasan yang melapisi alveolus di dalam tubuh

manusia. Hal ini akan membuat saling berikatan dengan reseptor-reseptor

lalu membuat jalan dan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat

dalam envelope spike virus akan berikatan juga dengan reseptor selular

seperti ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel, virus ini akan melakukan

duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein dibutuhkan,

kemudian akan membentuk sebuah virion baru yang muncul pada

permukaan sel. Sama halnya dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2

diketahui saat setelah virus masuk di dalam sel, genom RNA virus juga

akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi 2

poliprotein dan protein struktural (Susilo , 2020).

Selanjutnya, virus genom akan mulai bereplikasi. Di dalam

selubung virus baru pada glikoprotein akan membentuk serta masuk ke

dalam golgi sel atau membran retikulum endoplasma. Hal ini, akan

terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari protein


nukleokapsid dan genom RNA. Partikel virus akan tumbuh ke dalam

retikulum endoplasma dan Golgi sel. Ditahap akhir, vesikel yang

mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran plasma

untuk melepaskan komponen virus yang baru. Pada SARS-CoV, Spike

Protein dilaporkan sebagai determinan signifikan yang didalamnya virus

masuk kedalam sel pejamu. Dan telah diketahui bahwa SARS- CoV

masuk ke dalam sel dimulai dengan fusi antara plasma membran dengan

membran virus dari sel (Susilo et al., 2020).

5. Patofisiologi Coronavirus Disease 2019

2019-nCoV memiliki struktur khas Coronavirus dengan “duri-duri

protein” pada lapisan membran dan juga menggambarkan poliprotein

lainnya, nucleoprotein, dan membran protein, misalnya RNA

Polymerase, 3- Chymotrypsin-Protease, Papain-Like Protease, Helicase,

Glikoprotein dan protein aksesoris lainnya. Protein S dari Coronavirus

dapat berikatan dengan reseptor inang untuk memfasilitasi masuknya

virus ke dalam sel target. SARSCoV-2 berikatan dengan Angiotensin-

Converting Enzyme 2 (ACE2) pada manusia, reseptor yang sama untuk

SARS-CoV-2 dapat diberikatan dengan reseptor ACE2 pada sel manusia,

kelelawar, musang, dan babi, tetapi tidak dapat berikatan dengan sel-sel

tanpa ACE2. Sebagai virus yang menargetkan sistem pernapasan,

patogenesis utama infeksi Covid-19 adalah pneumonia berat, RNAaemia,

kombinasi dengan rontgen dada tampakan Ground-Glass Opacities, dan

cedera jantung akut. Peningkatan level sitokin dan Ghemokine dalam


darah dijumpai pada pasien dengan infeksi Covid-19. Limfopenia

merupakan ciri umum pada pasien Covid-19 dan dapat menjadi faktor

penting yang berhubungan dengan keparahan penyakit dan mortalitas.

(Ruslin, 2020).

6. Cara Penularan Coronavirus Disease 2019

Virus Corona atau Human Coronavirus setidaknya telah

menyebabkan tiga wabah besar penyakit di dunia selama dua dekade

terakhir, tingginya resiko yang di hadapi dari cara penyebaran virus

Corona menghasilkan angka kejadian dan kematian yang terus

bertambah. Cara penularan virus Corona yang terbilang mudah menyebar

juga menimbulkan kekhawatiran. Di dalam protokol kesehatan Covid-19

disebutkan bahwa cara penularan Covid-19 yaitu dengan tetesan cairan

(droplet) yang keluar saat berbicara, batuk atau bersin dan kontak pribadi

seperti bersentuhan atau berjabat tangan. Selain itu penyebaran virus juga

dapat terjadi saat menyentuh benda atau permukaan yang terkontaminasi

virus kemudian menyentuh mulut, hidung, atau mata sebelum mencuci

tangan. Bahkan virus Corona diperkirakan menyebar melalui kontak

dekat dari orang ke orang meski pada Orang Tanpa Gejala (OTG).

(Wahyuni & Ridha, 2020)

Kasus yang paling banyak diinformasikan sebagai pemicu

penyebaran infeksi virus SARS-CoV-2 adalah terjadinya kontak antar

bagian tubuh manusia atau mereka yang pernah berinteraksi dengan

seseorang yang telah terinfeksi dengan jarak sekitar satu meter. Ilmuan
Cina telah menemukan jejak virus Corona pada tinja atau feses sejumlah

pasien yang terinfeksi. Temuan itu bisa mengindikasikan cara penularan

Covid-19. Padahal sebelumnya otoritas kesehatan mengira cara utama

penyebaran virus ini adalah melalui transmisi dan kontak pernapasan,

termasuk menyentuh wajah setelah menyentuh benda yang terinfeksi

virus. (Winarno, 2020)

Laju transmisi SARS-CoV-2 lebih tinggi dan sangat menular

dibandingkan SARS-CoV dan MERS-CoV. Kemungkinan penyebab hal

tersebut yaitu rekombinasi genetik protein S pada region RBD virus

SARS-CoV-2. Berdasarkan penemuan genetik dan penelitian

epidemiologi, nampaknya wabah Covid-19 berawal dari transmisi

tunggal hewan ke manusia, kemudian berlanjut menyebar dari manusia

ke manusia. Saat ini diyakini bahwa transmisi interpersonal terjadi

sebagian besar melalui droplet respirasi dan transmisi kontak. (Ruslin,

dkk, 2020)

7. Faktor Resiko

Menurut R. Miller (2020) ada beberapa faktor resiko COVID-19

diantaranya sebagai berikut.

a. Usia 65 Tahun dan Lebih Tua Tingkat keparahan dan hasil dari

penyakit coronavirus disease 2019 (COVID-19) sangat bergantung pada

usia pasien. Orang lansia dengan usia 65 tahun keatas mewakili 80%

rawat inap dan memiliki risiko kematian 23 kali lipat lebih besar daripada

mereka yang berusia di bawah 65 tahun (Mueller et al., 2020).


b. Tinggal di Panti Jompo atau Fasilitas Perawatan dalam Jangka Panjang

Hal ini disebabkan perawatan atau kebersihan yang buruk dan

kekurangan alat pelindung diri sehingga mudah berisiko covid-19 (S. M.

Shi et al., 2020).

c. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Dalam sebuah studi

mengevaluasi 1.099 pasien yang didiagnosis di laboratorium COVID-19

di Cina, PPOK terdeteksi pada 1,1% pasien. Dalam metaanalisis yang

mengevaluasi kejadian penyakit ini mendasari pasien COVID-19 yang

membutuhkan rawat inap, 0,95% pasien ditemukan mengalami PPOK

(95%) (Çakır Edis, 2020).

d. Penderita Asma Proporsi penderita asma dan COVID-19 selama masa

penelitian adalah 1,41%, yang jauh lebih tinggi dari 0,86% yang diamati

pada populasi umum. Meskipun data ini menunjukkan frekuensi COVID-

19 yang lebih tinggi pada pasien asma, manifestasi dari penyakit pada

populasi klinis ini tidak terlalu parah, dengan angka rumah sakit yang

rendah penerimaan. Selain itu, proporsi ini lebih rendah daripada yang

dilaporkan untuk pasien kronis lainnya penyakit (Izquierdo et al., 2020).

e. Kondisi Kardiovaskular yang Serius Peningkatan komorbiditas

kardiovaskular berlaku untuk COVID-19 juga, terutama di antara mereka

yang memiliki penyakit lebih parah. Dalam 1 kohort dari 191 pasien dari

Wuhan, Cina, komorbiditas ditemukan pada 48% (67% yang tidak

bertahan), hipertensi pada 30% (48% yang tidak bertahan), DM pada

19% (31% tidak bertahan), dan CVD pada 8% (13% dari tidak bertahan).
Dalam kohort dari 138 dirawat di rumah sakit pasien dengan COVID-19,

komorbiditasnya serupa lazim (46% secara keseluruhan dan 72% pada

pasien yang membutuhkan perawatan unit perawatan intensif [ICU]),

seperti juga komorbiditas kardiovaskular: hipertensi pada 31% (58%

pada pasien yang membutuhkan perawatan ICU), CVD pada 15% (25%

pada pasien yang membutuhkan perawatan ICU), dan DM pada 10%

(22% pada pasien yang membutuhkan perawatan ICU) (Clerkin et al.,

2020).

f. Menerima Kemoterapi Orang yang menerima kemoterapi dengan

sistem kekebalan yang terganggu dan komplikasi, setelah transplantasi

sel induk memiliki peningkatan risiko infeksi (Ahnach & Doghmi,

2020) .

g. Riwayat Sumsum Tulang atau Transplantasi Organ Selama

transplantasi sumsum tulang, komplikasi paru sering terjadi dan

berhubungan dengan kematian. Infeksi COVID-19 dapat mempersulit

gejala klinis dengan risiko gangguan pernapasan yang lebih tinggi dan

situasi ini bisa menjadi lebih kritis tergantung pada faktor-faktor

komorbiditas seperti usia, penyakit kardiovaskular, hati dan ginjal

(Ahnach & Doghmi, 2020)

h. Defisiensi Imun Singkatnya, dampak klinis COVID-19 pada IDP

bervariasi dari gejala ringan sampai kematian. Proporsi kematian dalam

hal ini seri (25%) lebih besar dari pada populasi umum dengan COVID-

19 dilaporkan di rumah sakit Kota New York (10,2%), dan serupa


dengan data hasil yang dilaporkan dalam transplantasi ginjal populasi

(28%). Dalam pengalaman single-center ini, mereka yang meninggal

karena penyakit terkait PID atau penyakit penyerta lainnya yang sudah

ada sebelumnya.

i. HIV/AIDS yang Tidak Terkontrol dengan Baik Gejala yang dilaporkan

dengan tingkat keparahan pasien COVID-19 dengan infeksi HIV. Gejala

umum adalah demam (165 dari 223, 74,0%), batuk (130 dari 223,

58,3%), dan dispnea (68 dari 223, 30,5%). Kurang umum adalah sakit

kepala (44 dari 223, 19,7%), artralgia / mialgia (33 dari 223, 14,8%), dan

sakit tenggorokan (18 dari 223, 8,1%). Setiap gejala gastrointestinal

dilaporkan sebesar 13,0%. COVID-19 dilaporkan ringan hingga sedang

di 141 kasus 212 (66,5%), parah pada 46 pasien (21,7%), dan kritis pada

25 pasien (11,8%). Mayoritas pasien (158 dari 244, 64,7%) dirawat di

rumah sakit; 16,8% dirawat di unit perawatan intensif (Mirzaei et al.,

2020).

j. Riwayat Merokok Sebanyak 16 artikel yang merinci 11322 pasien

COVID-19 dimasukkan bahwa hasil penelitian meta-analisis

mengungkapkan hubungan antara riwayat merokok dan kasus COVID-19

yang parah 95%. Selain itu, ditemukan hubungan antara riwayat merokok

saat ini dan COVID-19 yang parah 95%. kemudian 10,7% (978/9067)

bukan perokok, COVID-19 tergolong parah, sedangkan pada perokok

aktif, COVID-19 yang parah terjadi pada 21,2% (65/305) kasus (Gülsen

et al., 2020).
k. Diabetes Melitus Pasien dengan diabetes melitus memiliki

kecenderungan meningkatnya infeksi virus dan bakteri yang

mempengaruhi saluran pernapasan. Salah satu mekanisme yang

bertanggung jawab atas kecenderungan ini adalah sindrom leukosit, yang

merupakan gangguan fungsi leukosit dari fagositosis (gangguan

kekebalan). Hal ini semakin menekankan kemungkinan peningkatan

kecenderungan infeksi SARSCoV-2 pada kelompok diabetes.

l. Penyakit Ginjal Kronis Penyakit ginjal kronis dikaitkan dengan risiko

yang lebih tinggi dari infeksi yang parah. Dalam sebuah meta-analisis

menunjukkan 20% pasien dengan penyakit ginjal kronis yang terjangkit

COVID-19 memiliki penyakit parah, risiko 3 kali lipat lebih tinggi

dibandingkan dengan mereka tanpa penyakit ginjal kronis (Hassanein et

al., 2020).

m. Penyakit Hati Selain itu menurut Susilo et al. (2020) beberapa faktor

risiko lain seperti jenis kelamin laki-laki yang diketahui berkaitan erat

dengan prevalensi perokok aktif yang tinggi, orang yang memiliki kontak

erat, orang yang tinggal serumah dengan pasien yang terkonfirmasi virus

covid-19, pernah bepergian ke daerah yang terjangkit virus, satu

lingkungan yang sama tapi tidak pernah kontak dekat atau jarak 2 meter

termasuk resiko rendah, dan terakhir tenaga kesahatan menjadi salah satu

yang berisiko tinggi tertular.


8. Dampak Pandemi Pada BOR Rumah Sakit

Adanya pandemi covid 19 juga mempengaruhi BOR rumah sakit

dimana masyarakat menunda pengobatan ke rumah sakit dikarenakan

takut tertular oleh virus covid 19, adanya isu beredar jika kerumah sakit

akan dicovidkan, peraturan ditempatkan di ruang isolasi bagi pasien yang

positif covid 19 juga mengakibatkan masyarakat menunda pengobatan di

rumah sakit sehingga BOR di rumahsakit cenderung mengalami

penurunan yang signifikan (Dicki, 2021).

B. Konsep Bed Occupancy Rate (BOR)

1. Definisi Bed Occupancy Rate (BOR)

Bed Occupancy Rate atau BOR merupakan angka yang

menunjukkan persentase tingkat penggunaan tempat tidur pada satuan

waktu tertentu di unit rawat inap. Data Bed Occupancy Rate (BOR) ini

dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sarana

pelayanan, mengetahui mutu pelayanan rumah sakit, dan mengetahui

tingkat efisiensi pelayanan rumah sakit. Menurut Baber Johnson nilai

ideal Bed Occupancy Rate (BOR) adalah 75%-85% sedangkan Depkes

RI menetapkan standart frekuensi nilai Bed Occupancy Rate (BOR)

adalah 60-85% (Meidina, 2018) (Yunartha, 2018). Bed Occupancy Rate

(BOR) dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini (Hosizah &

Maryati, 2018) :

Jumlah Hari Perawatan pada periode tertentu x 100


BOR =
Jumlah TT tersedia x Jumlah hari pada periode yang sama

Keterangan :

Jumlah Hari Perawatan pada periode tertentu = Banyaknya pasien yang

dirawat dalam 1 hari periode Jumlah TT Tersedia = Banyaknya tempat

tidur yang digunakan di Rumah Sakit Jumlah hari pada periode yang

sama = jumlah seluruh hari dalam satu bulan

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR)

Menurut (Muhith, Saputra, & Nursalam, 2013) Bed Occupancy

Rate (BOR) adalah salah satu indikator yang menggambarkan tinggi

rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit, perhitungannya

adalah persentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu

tertentu, sehingga dapat diketahui gambaran penggunaan tempat tidur di

rumah sakit tersebut dalam kurun waktu tertentu. Angka Bed Occupancy

Rate (BOR) disuatu rumah sakit dapat meningkat dan menurun, angka ini

berbanding lurus dengan penggunaan tempat tidur di rumah sakit.

Menurut (Riskiyah, Harijanto, & Mahliafa, 2016) faktor Bed Occupancy

Rate (BOR) bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor anatra lain faktor

internal dan faktor eksternal rumah sakit. Didalam faktor internal adalah

budaya rumah sakit, sistem nilai, kepemimpinan, sistem manajemen,

sistem informasi, sarana prasarana, citra, dan lainlain. Sedangkan yang

termasuk faktor eksternal adalah letak geografis, keadaan social ekonomi


konsumen, budaya masyarakat, pemasok, pesaing, kebijakan pemerintah

daerah, peraturan, dan lain-lain.

Faktor - faktor yang mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR)

meliputi faktor internal dan faktor eksternal rumah sakit. Namun, faktor

yang berperan signifikan terhadap Bed Occupancy Rate (BOR) adalah

faktor internal yang meliputi faktor input dan faktor proses pelayanan,

sedangkan faktor eksternal yaitu kondisi pasien. Faktor input yang

mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR) meliputi sarana umum,

sarana medis, sarana penunjang medis, tarif, ketersediaan pelayanan,

tenaga medis, para medis perawatan. Faktor proses pelayanan yang

mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR) meliputi sikap dokter dalam

memberikan pelayanan, sikap perawat dalam memberikan pelayanan dan

komunikasi pelayanan. Sikap perawat yang memberikan pelayanan

secara umum terdiri dari keramahan dalam memberikan pelayanan dan

cara memberikan informasi juga komunikasi. Sedangkan dari faktor

kondisi pasien meliputi social ekonomi, jarak dan transportasi, motivasi

dan prioritas terhadap rumah sakit dan perilaku terhadap kesehatan

(Rosita & Tanastasya, 2019).

3. Faktor Internal Rumah Sakit

Faktor internal rumah sakit adalah faktor yang asalnya dari dalam

rumah sakit, ada dua faktor internal rumah sakit yaitu faktor input dan

faktor proses pelayanan meliputi:

a. Sarana umum
Sarana umum rumah sakit adalah segala fasilitas yang digunakan

dalam pelayanan kesehatan yang bersifat dan lingkungan yang disediakan

oleh rumah sakit. Kewajiban rumah sakit dalam menyediakan sarana dan

prasarana umum yang layan meliputi sarana ibadah, tempat parkir, ruang

tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, dan

lanjut usia. Sedangkan sarana untuk ruang rawat inap meliputi: tempat

tidur pasien, lemari, nurse call, meja, kursi, televise, tirai pemisah bila

ada, penerangan, ventilasi dan sofa untuk ruang VIP.

b. Sarana medis

Seluruh peralatan medis yang digunakan baik dalam proses

diaognosa maupun terapi. Instrument self assessment izin operasional

rumah sakit kelas C untuk ruang rawat inap yaitu bed side monitor,

defribrilator, EKG, emergency trolley, ENT eximination set, fil viewer,

infusion pump, lampu periksa, matras dekubitus, minor surgery set,

nebulizer, pen light, pulse oximeter, stetoskop, suction pump portable,

syringe pump, bed patient electric, bed patient manual, tensimeter

anaeroid, tensimeter digital, thermometer digital, timbangan pasien.

c. Sarana penunjang medis

Sarana penunjang medis adalah sarana yang digunakan untuk

membantu menegakkan diagnose medis atau pelayanan medis yang

berfungsi agar pengobatan dan perawatan yang diberikan lebih maksimal.

Pelayanan penunjang medik terdiri atas: 1). Pelayanan penunjang medik

spesialis meliputi pelayanan laboratorium, radiologi, anestesi dan terapi


intensif, rehabilitasi medik, kedokteran nuklir, radioterapi, akupuntur,

gizi klinik, dan pelayanan penunjang medik spesialis lainnya. 2).

Pelayanan penunjang medik subspesialis meliputi pelayanan subspesialis

dibidang anestesi dan terapi intensif, dialis, dan pelayanan penunjang

medik subspesialis lainnya. 3). Pelayanan penunjang medik lain meliputi

pelayanan strelisisasi yang tersentral, pelayanan darah, gizi, rekam

medik, dan farmasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Tarif

Tarif merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam

penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian

elemen ini memengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan,

biasanya semakin mahal tarif perawatan maka pasien mempunyai

harapan yang lebih besar.

e. Ketersediaan pelayanan

Ketersediaan pelayanan adalah setiap saat dibutuhkan, seperti

ketersediaan tenaga medis dan para medis setiap dibutuhkan dan

ketersediaan jenis pelayanan.

f. Tenaga medis

Tenaga medis adalah dokter yang mengobati pasien rawat inap

g. Para medis perawatan

Para medis perawat yaitu perawat yang bertugas di Rumah Sakit

untuk merawat pasien rawat inap. Perhitungan kebutuhan tenaga


keperawatan dapat diterapkan beberapa formula yaitu dengan

menggunakan metode rasio, douglas, dan gillies.

h. Sikap dokter dan sikap perawat

Sikap dokter dan perawat dalam memberikan pelayanan dengan

menilai sikap secara umum, keramahan dalam memberikan pelayanan

dan cara memberikan informasi mengenai penyakit kepada pasien. 9.

Komunikasi pelayanan Tata cara informasi yang diberikan pihak

penyedia jasa dan keluhan keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-

keluhan dari pasien dengan cepat diterima oleh penyedia jasa terutama

perawat dalam memberikan bantuan terhadap keluhan pasien

(Indharwati, 2018; Nursalam, 2015 & Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia 2019).

4. Dampak Bed Occupancy Rate (BOR) Terhadap Rumah Sakit

Menurut (Dewi, Wijaya, & Sukardi, 2015) globalisasi menuntut

pengembangan mutu pelayanan dan fasilitas yang harus dilaksanakan

secara arif dan berkelanjutan. Sistem Akreditasi yang telah banyak

dilaksanakan. Rumah sakit seharusnya tetap melakukan pelaporan

tentang indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk

mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah

sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap

(BOR) (Bed Occupancy Rate), ALOS (Average Leght of Stay), TOI

(Turn Over Internal), BTO (Bed Turn Over), GDR dan NDR (Gross

Death Rate dan Nett Death Rate).


Anjuran akreditasi oleh Depkes RI beresensi peningkatan mutu

pelayanan dilakukan untuk pengendalian mutu melalui 7 standar Self

Assesment dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Pada Juni

2011, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia bersama dengan KARS

menyusun standar akreditasi rumah sakit. Tujuan dari penyelenggaraan

akreditasi adalah mengukuhkan budaya customer focused di rumah sakit.

Manfaat lain yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan mutu

pelayanan rumah sakit. Bila rumah sakit semakin bermutu, jasa

pelayanan mereka menjadi lebih disukau oleh pelanggan. Persentase

utilisasi fasilitas (satu diantaranya persentasi hunian rawat inap yaitu Bed

Occupancy Rate (BOR) akan menjadi lebih tinggi, nilai efisiensi akan

bertambah.

C. Kerangka Konsep

Menurut Nursalam (2014) konsep merupakan sebuah abstrak dari

suatu realita yang digunakan untuk menyampaikan dan membentuk suatu

teori yang menerangkan kaitan antarvariabel (baik yang diteliti maupun

yang tidak). Kerangka konsep dapat membantu peneliti menghubungkan

hasil penelitian dengan teori. Kerangka konsep akan dijelaskan pada

Gambar
Faktor Internal
a. Budaya Rumah sakit
b. Sistem Nilai
c. Kepemimpinan
d. Sistem manajemen
e. Sistem informasi
f. Sarana Prasarana
g. Citra

Faktor Eksternal
a. Sarana Umum a. Letak geografis
b. Sarana Medis b. Keadaan sosial ekonomi
c.Sarana Penunjang Medis c. Budaya Masyarakat
d. Tarif d. Pemasok
e. Ketersediaan Pelayanan e. Pesaing
f. Tenaga Medis f. Kebijakan pemerintah daerah
g. Para Medis Perawatan g. peraturan
h. Sikap Dokter
i. Sikap Perawat
j. Komunikasi Pelayanan
Pandemi Covid 19

BOR

: Diteliti

: Tidak diteliti
Berdasarkan kerangka konsep diatas maka dapat dijelaskan bahwa

Bed Occupancy Rate (BOR) adalah salah satu indikator yang

menggambarkan tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur

rumah sakit, perhitungannya adalah persentase pemakaian tempat tidur

pada satu satuan waktu tertentu, sehingga dapat diketahui gambaran

penggunaan tempat tidur di rumah sakit tersebut dalam kurun waktu

tertentu.

Bed Occupancy Rate (BOR) bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor

anatra lain faktor internal dan faktor eksternal rumah sakit. Didalam

faktor internal adalah budaya rumah sakit, sistem nilai, kepemimpinan,

sistem manajemen, sistem informasi, sarana prasarana, citra, dan lainlain.

Sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah letak geografis,

keadaan social ekonomi konsumen, budaya masyarakat, pemasok,

pesaing, kebijakan pemerintah daerah dan peraturan.

Faktor yang berperan signifikan terhadap Bed Occupancy Rate

(BOR) adalah faktor internal yang meliputi faktor input dan faktor proses

pelayanan, sedangkan faktor eksternal yaitu kondisi pasien.

Adanya pandemi covid 19 juga mempengaruhi BOR rumah sakit

dimana masyarakat menunda pengobatan ke rumah sakit dikarenakan

takut tertular oleh virus covid 19, adanya isu beredar jika kerumah sakit

akan dicovidkan, peraturan ditempatkan di ruang isolasi bagi pasien yang

positif covid 19 juga mengakibatkan masyarakat menunda pengobatan di


rumah sakit sehingga BOR di rumahsakit cenderung mengalami

penurunan yang signifikan

Anda mungkin juga menyukai