Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Owa jawa (Hylobates moloch), adalah jenis primata dari suku Hylobatidae,
endemik Jawa. Jenis primata ini merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999 (Departemen Kehutanan, 1999) dan
menurut IUCN Redlist data Book of Endangered Species owa jawa dikelompokkan
ke dalam kategori langka (endangered species) (IUCN, 2006). Secara geografis owa
jawa tersebar dari bagian Barat Pulau Jawa, di kawasan hutan Pegunungan Honje,
Ujung Kulon hingga Jawa Tengah bagian Barat, di kawasan hutan Gunung Slamet
dan Pegunungan Dieng bagian Utara.
Berdasarkan hasil penelitian dan sensus yang dilakukan oleh beberapa
peneliti, memperlihatkan bahwa populasi jenis primata tersebut memiliki
kecenderungan menurun. Dari survey populasi owa yang dilakukan Kappeler (1984)
pada 40 lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa
sekitar 8000 individu. Namun hasil survey yang pernah dilakukan pada tahun 1992-
1994 menunjukan tidak ditemukan lagi populasi owa di 16 lokasi yang pernah
disurvey sebelumnya. Bahkan di sembilan tempat populasinya kritis, karena berada
pada kawasan hutan dengan luasan habitat yang sangat kecil (0.5-5 Km²) dan
terfragmentasi. Berdasarkan Laporan Conservation Assessment and Management
Plan Primata Indonesia (Supriatna, et.al. 2001), populasi owa jawa diperkirakan
antara 400-2.000 individu. Data populasi terakhir menyebutkan bahwa populasi owa
jawa berkisar antara 4.000 hingga 4.500 individu (Nijman, 2004) dan 2.600-5.304
individu (Djanubudiman et al, 2004). Diduga beberapa populasi owa jawa saat ini
juga hidup di luar kawasan konservasi yang pada umumnya berupa hutan produksi,
hutan tanaman (Djanubudiman, 2004).
Owa jawa adalah primata arboreal sejati, yang dalam melakukan aktivitas
hariannya sangat memerlukan keutuhan tegakan hutan. Gangguan yang terjadi
pada habitat jenis satwa primata ini, seperti penebangan liar, dan perambahan akan
berpengaruh terhadap pola aktivitas harian, pola penggunaan habitat dan
perilakunya.
Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan di Jawa Barat, perlu
mempertimbangkan fungsi hutan sebagai habitat satwaliar. Sebagai primata
arboreal, owa jawa memerlukan penutupan tajuk pohon yang rapat, sehingga
memudahkan aktivitas pergerakannya. Owa jawa adalah primata yang pakan

1
utamanya adalah buah. Sehingga diperlukan hutan dengan kelimpahan sumber
pakan yang dapat memenuhi kebutuhannya.

DISTRIBUSI POPULASI OWA JAWA


Berdasarkan hasil penelitian dan sensus yang dilakukan oleh beberapa
peneliti, memperlihatkan bahwa populasi jenis primata tersebut memiliki
kecenderungan menurun. Dari survey populasi owa yang dilakukan Kappeler (1987)
pada 40 lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa
sekitar 8000 individu. Namun hasil survey yang pernah dilakukan pada tahun 1992-
1994 menunjukan tidak ditemukan lagi populasi owa di 16 lokasi yang pernah
disurvey sebelumnya. Bahkan di sembilan tempat populasinya kritis, karena berada
pada kawasan hutan dengan luasan habitat yang sangat kecil (0.5-5 Km²) dan
terfragmentasi.
Populasi owa jawa secara umum memperlihatkan fluktuasi dan cenderung
memperlihatkan penurunan dari tahun ke tahun. Chivers (1977) menyebutkan
bahwa populasi owa jawa sekitar 2000 individu, sedangkan Kappeler (1981) yang
melakukan survey di berbagai kawasan hutan habitat owa jawa di Jawa Barat dan
Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa jawa berkisar antara 2.400 sampai
7.900 individu. Pada tahun 2003-2004, Djanubiduman, dkk (2004) melakukan survey
sebaran populasi owa jawa pada kawasan hutan yang menjadi areal survey
Kappeler (1981). Berdasarkan hasil survey tersebut tercatat populasi owa jawa
berkisar antara 4.248 – 4882 individu. Berdasarkan hasil suevey di kawasan hutan
Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon pada tahun 2008, populasi owa jawa
mencapai 410 individu (Iskandar dkk, 2009). Di kawasan hutan Cikaniki, Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak, kepadatan populasi owa jawa 22,8 individu per
km2 dengan perkiraan jumlah populasi 127 individu (Pahlana, 2007).
Selain di kawasan konservasi, populasi owa jawa juga dijumpai di beberapa
kawasan hutan produksi. Di kawasan hutan produksi sekitar TN. Gunung Halimun-
Salak, dijumpai populasi owa jawa dengan kepadatan populasi 0,17 – 12 individu
per km2 (Iskandar dkk, 2008).

DISTRIBUSI DAN KONDISI HABITAT OWA JAWA


Primata menempati beragam relung habitat, dimana setiap jenis menempati relung
yang berbeda tergantung dari berbagai kebiasaan hidup dan pola makan (diet). Secara

2
ekologis, kebutuhan akan habitat didasarkan pada strategi untuk menghindar pemangsa dan
mendapatkan sumber pakan (Cowlishaw dan Dunbar, 2000). Owa jawa merupakan jenis
primata arboreal pemakan buah yang dalam kehidupannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
habitat seperti tegakan vegetasi, kerapatan pohon, variasi jenis pakan dan penutupan kanopi
(Kakati, 2004).
Habitat owa jawa tersebar dari Ujung Kulon di bagian barat hingga
Pegunungan Dieng dan Gunung Slamet di bagian timur Pulau Jawa. Dari 32
kelompok hutan habitat owa jawa yang diidentifikasi oleh Kappeler (1984), hanya
sebagian saja yang merupakan kawasan konservasi, yaitu Taman Nasional (TN)
Ujung Kulon, TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun-Salak dan
beberapa cagar alam dan hutan lindung. Selain itu owa jawa juga dijumpai di
beberapa hutan produksi Perum Perhutani, seperti Gunung Luhur, Cikidang,
Gunung Kencana dan Gunung Endut (Iskandar dkk, 2008).
Luas penutupan hutan di Propinsi Jawa Barat adalah 816.608,70 hektar dan
di Propinsi Banten adalah 253.254 hektar. Dari luasan hutan di kedua propinsi
tersebut, luas hutan kawasan konservasi sekitar 232.752 hektar, yang terdiri dari
Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam serta hutan lindung. Secara
vertikal, habitat owa jawa tersebar dari hutan dataran rendah pada ketinggian 0 m
dari permukaan laut (dpl) hingga hutan pegunungan pada ketinggian 1600 m dpl
(Massicot, 2001; CII, 2000). Habitat hutan di bawah ketinggian 1500 m dpl
merupakan habitat utama bagi owa jawa (CII, 2000; Kappeler, 1981). Mengingat
pada wilayah tersebut keragaman jenis tumbuhan pohon berlimpah, sehingga
menjamin ketersediaan sumber pakan bagi owa. Selain itu kesinambungan tajuk
pohon sangat menguntungkan bagi pergerakan owa jawa. Menurut Kappeler (1984)
habitat yang sesuai bagi owa jawa adalah hutan dengan penutupan tajuk yang rapat
dan memiliki struktur tajuk yang horizontal, guna memudahkan untuk bergerak dan
memiliki sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun.
Berdasarkan penelitiannya, Kappeler (1984) mencatat 125 jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan owa jawa di habitatnya, yang terdiri dari 108 jenis pohon, 14
jenis tumbuhan liana, dua jenis tumbuhan palmae dan satu jenis epifit. Di Taman
Nasional Ujung Kulon tercatat 27 jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan owa
jawa, diantaranya kiara beunyeur (Ficus callophyla), dahu (Dracontomelon
puberulum) dan kicalung (Diospyros hermaprodictica) (Rinaldi, 1999). Jenis-jenis
tumbuhan dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan sumber pakan yang
3
paling umum dikonsumsi owa jawa (Chivers, 2000). Namun demikian di hutan
produksi rasamala tercatat hanya tiga jenis tumbuhan pakan dari 13 jenis tumbuhan
yang tercatat (Iskandar, 2007).

AKTIVITAS HARIAN DAN PERILAKU OWA JAWA


Owa jawa merupakan primata arboreal pemakan buah, yang sangat bergantung pada
keutuhan tegakan hutan. Gangguan yang terjadi pada suatu habitat satwa primata, seperti
penebangan liar, dan perambahan menyebabkan perubahan prilaku jenis. Perubahan tersebut
misalnya terjadi pada proporsi penggunaan waktu aktivitas harian, penggunaan ketinggian
pada kanopi, waktu dan frekuensi bersuara (Nijman, 2001). Perubahan perilaku juga terjadi
pada beberapa jenis primata lainnya, seperti yang terjadi pada serudung (Hylobates lar) yang
menunjukan perilaku berdiam diri dan menghindar, frekuensi bersuara menurun. Perubahan
juga terjadi pada pola aktivitas harian H. Lar dan Presbytis melalophos yang menunjukan
proporsi waktu istirahat yang meningkat dan penurunan waktu aktivitas makan dan bergerak
(John, 1986).
Owa jawa umumnya memulai aktivitas hariannya pada pagi hari dan berakhir
pada sore hari. Waktu memulai aktivitas bervariasi pada setiap habitat. Di kelompok
hutan Patiwel, rata-rata owa jawa memulai aktivitasnya sejak pukul 06.00 dan
berakhir pada pukul 15.00 (Anis dan Iskandar, 2011), sementara di kelompok hutan
rasamala, owa jawa memulai aktivitasnya sejak pukul 05.30 (Iskandar, 2007).
Aktivitas harian owa jawa terdiri dari aktivitas makan Beberapa hasil penelitian
memperlihatkan bahwa aktivitas harian kelompok owa jawa pada habitat hutan alam
mempunyai pola yang bervariasi. Ladjar (1996) melaporkan bahwa proporsi aktivitas
owa jawa di hutan Cikaniki, Taman Nasional Gunung. Halimun-Salak adalah 30,7%
untuk aktivitas makan, 35,4% aktivitas bergerak, 33,3% istirahat, 0,6% aktivitas
sosial dan 0,31% aktivitas bersuara. Kelompok owa jawa di hutan Patiwel, Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango memperlihatkan proporsi aktivitas harian 25,6%
aktivitas makan, 38,9% aktivitas pergerakan, 29,3% istirahat, dan 6,02% aktivitas
social (Anis dan Iskandar, 2011). Sedangkan kelompok owa jawa di hutan rasamala
mempunyai proporsi aktivitas harian 41,2% aktivitas makan, 13,9% aktivitas
pergerakan, 37,1% istirahat, 1,9% aktivitas sosial dan aktivitas bersuara 5,9%
(Iskandar, 2007).
Hal yang menyebabkan perbedaan proporsi waktu aktivitas harian pada
kelompok owa tersebut antara lain komposisi pakan yang dikonsumsi kelompok
4
tersebut dan kelimpahan sumber pakan dalam habitatnya. Pola konsumsi dan
kelimpahan jenis pakan akan mempengaruhi pola pergerakan dan perilaku
menjelajah (ranging behavior). Perubahan proporsi penggunaan waktu aktivitas
harian dan ekologi makan merupakan respon pertama satwaliar terhadap
perubahan, kerusakan dan fragmentasi habitat (Umapathy and Kumar 2000). Hal
tersebut antara lain disebabkan perubahan komposisi jenis vegetasi, ketersediaan
pakan, ukuran kelompok dan struktur habitat. Fragmentasi dan perusakan habitat
menyebabkan menurunnya kersediaan pakan.

PENGELOLAAN HUTAN SEBAGAI HABITAT PRIMATA (OWA JAWA)


Dari habitat owa jawa yang terdapat di Jawa Barat, hanya tiga lokasi saja
yang mempunyai luasan cukup dan daya dukung yang baik, yaitu Taman Nasional
(TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Gede Pangrango dan TN. Gunung Halimun Salak.
Sementara itu, Beberapa kawasan habitat owa jawa lainnya mempunyai luasan
yang kecil dan terfragmentasi. Areal koridor Halimun-Salak di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak, yang merupakan areal perluasan taman nasional, adalah
kawasan hutan yang dikelola sebagai lahan PHBM ketika masih dikelola oleh Perum
Perhutani. Di kawasan tersebut sebagian sudah ditanami dengan berbagai jenis
tanaman palawija, namun masih terdapat kelompok hutan alam yang tersisa. Di
kawasan hutan tersebut terdapat empat kelompok owa jawa dan juga jenis primata
lainnya (Komarudin, 2009). Di kompleks hutan Bodogol, Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, terdapat hutan rasamala seluas 51 hektar, yang menjadi habitat
satu kelompok owa jawa. Hutan rasamala tersebut juga merupakan bagian dari
perluasan taman nasional dari sebelumnya hutan produksi Perum Perhutani
(Iskandar, 2007). Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang, merupakan habitat owa
jawa di dataran rendah, saat ini diperkirakan luasnya hanya tersisa sekitar 200
hektar, dari luas sebelumnya 2.175 hektar. Saat ini terdapat sekitar enam kelompok
owa jawa dan primata lainnya yang hidup dalam habitat terfragmentasi.(Wedana
dkk, 2010). Selain itu masih banyak kawasan hutan habitat owa jawa yang saat ini
sudah terfragmentasi dan dengan luasan kecil, seperti TWA Telaga Warna (368 ha),
CA Gunung Simpang yang terfragmentasi oleh perkebunan teh dan kawasan hutan
Gunung Honje yang terfragmentasi oleh ladang masyarakat (Djanubudiman dkk,
2004).

5
Kondisi hutan tersebut dapat menjadi salah satu ancaman penting bagi
kelestarian owa jawa di masa mendatang. Mengingat kebutuhan lahan di Jawa
semakin meningkat sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Di Jawa, luas
habitat owa jawa menyusut hingga 96% dari awalnya seluas 43.274 km2 menjadi
sekitar 1.608 km2, yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang sangat pesat
(CII, 2000). Akibat berkurangnya luasan habitat owa jawa, maka sebaran utama
habitat owa jawa hanya tersisa di bagian Barat Pulau Jawa dan sebagian Jawa
Tengah (Nijman, 2001). Oleh karena itu, untuk mendukung program konservasi in
situ owa jawa, dianggap perlu untuk mengembangkan pengelolaan kawasan hutan
yang ada sebagai perluasan habitat primata, khususnya owa jawa, selain untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar hutan.

- Pengelolaan Daerah Penyangga


Menurut UU No. 5 Tahun 1990, daerah penyangga adalah wilayah yang
berada dalam kawasan suaka alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara
bebas maupun tanah yang dibebani hal yang diperlukan dan mampu menjaga hutan
kawasan suaka alam. Daerah (zona) penyangga berfungsi sebagai penyangga
terhadap berbagai macam gangguan yang dapat mengganggu fungsi dan potensi
sumberdaya alam, terutama jenis langka dan yang dilindungi di kawasan taman
nasional maupun melindungi masyarakat sekitar dari gangguan yang berasal dari
taman nasional. Keberadaan zona penyangga di sekitar Taman Nasional secara
umum berperan dalam hal :
1. Melindungi kelestarian taman nasional dan masyarakat.
2. Sebagai areal untuk mengembangkan jenis tumbuhan dan satwa yang bernilai
ekonomis melalui pola budidaya yang dapat meningkatkan sosial ekonomi
masyarakat (Penangkaran satwa, tanaman obat, kayu bakar, buah-buahan,
dll).
3. Berkembangnya sistem jasa dan industri rakyat melalui pengembangan
pariwisata.
4. Meningkatkan produktivitas lahan dengan pola usaha tani untuk memelihara
kelestarian jenis tanaman dan konservasi tanah.
5. Meningkatkan kesadaran masyarakat, organisasi atau lembaga swadaya
masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pelestarian dan pengelolaan taman
nasional.
6
Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari
pembangunan daerah di sekitar taman nasional secara terpadu. Daerah Penyangga
merupakan kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi yang
memerlukan perhatian khusus. Kawasan ini merupakan daerah yang sangat
potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian bioriversiti dan ekosistem
taman nasional baik sebagai asset wisata alam, sebagai penyangga kawasan
konservasi maupun sebagai kawasan budidaya, (sumber penghasilan bahan
pangan, kayu bakar) dan untuk pengembangan tanaman hutan yang bernilai
ekonomis tinggi. Selain itu daerah penyangga juga dapat berfungsi sebagai koridor
satwa, terutama bagi satwa arboreal seperti primata.
Zona penyangga taman nasional ditetapkan oleh pemerintah daerah bersama
dengan Departemen Kehutanan. Penetapan kawasan zona penyangga yang
didasarkan pada status hukum sangat diperlukan karena semua kegiatan di zona
penyangga akan diatur sesuai dengan program pengembangan daerah. Dalam hal
ini pemerintah daerah bersama dengan instansi terkait akan membuat suatu
perencanaan terpadu dalam mengelola zona penyangga yang didasarkan pada
pelestarian ekosistem taman nasional dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat.
Pengelolaan zona penyangga melalui program terpadu antar instansi terkait perlu
mempertimbangkan kondisi msyarakat serta mengikutsertakannya dalam proses
perencanaan.
Zona penyangga dapat dibagi kedalam 4 tipe yaitu zona hutan, zona fisik,
zona ekonomi dan zona pemanfaatan tradisional (Mc. Kinnon dan Mc. Kinnon 1990).
Alikodra dan Soehmadi (1991) mengemukakan, ada 3 tipe zona penyangga, yaitu
zona penyangga fisik, zona penyangga sosial dan zona penyangga tradisional,
dimana zona hutan termasuk dalam zona penyangga fisik.
Dalam menentukan dan mengelola Daerah Penyangga Kawasan Pelestarian
Alam harus didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait yaitu aspek ekologi,
ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga Daerah Penyangga dapat
memiliki nilai ekonomi tinggi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat,
diantaranya melalui pengembangan hutan tanaman dan tanaman budidaya. Oleh
karena itu pembangunan kawasan konservasi, daerah penyangga, dan masyarakat
akan menunjukkan dan mempunyai hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan. Untuk itu diperlukan adanya partisipasi aktif masyarakat dalam

7
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terpadu yang saling mendukung dan
sinergis dalam suatu kesatuan konsep program yang terpadu (Gambar 1).

PENGEMBANGAN WILAYAH DAN KAWASAN KONSERVASI

PENUNJUKAN
TATA RUANG UNTUK KAWASAN KONSERVASI DAN DAERAH PENYANGGA

PENETAPAN KONSERVASI
(Kawasan Pelestarian Alam)

PENETAPAN DAERAH PENYANGGA

FUNGSI SOSIAL EKONOMI PELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM PENGELOLAAN KPA

KOORDINASI PROGRAM PEMERINTAH DAN MASYARAKAT

PERENCANAAN PELAKSANAAN

P E N I N G K A T A N P E N D A P A T A N D A E R A HKEPEDULIAN MASY. DALAM PELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN KPA

SINERGISME PROGRAM SEKTOR DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN BERBASISKAN MASYARAKAT

Gambar 1. Strategi pengembangan daerah penyangga (Bismark, 2000)

Berdasarkan fungsi, kepentingan dan kondisi lingkungan dan sosial, Model


Daerah Penyangga Taman Nasional ditetapkan berdasarkan jalur atau zonasi yang
menunjang fungsi dan kepentingan pelestarian KPA, yaitu Jalur Hijau, Jalur Interaksi
dan Kawasan Budidaya (Bismark, 2000).

8
A. Kawasan Jalur Hijau (Jalur Hijau)
Fungsi Jalur Hijau adalah : menyangga fisik kawasan dari gangguan atau
intervensi masyarakat, menyangga dari pengaruh jenis tumbuhan eksotik dan
sebagai perluasan home range satwa. Areal ini dapat dikelola sesuai dengan fungsi
di atas, termasuk areal HPH, Kawasan lindung dan fungsi hutan lainnya yang
berbatasan dengan KPA (Bismark, 2000).

B. Kawasan Jalur Interaksi (Zona Interaksi)


Fungsi Jalur Interaksi adalah: menyangga KPA dan jalur hijau dari perubahan
ekosistem yang drastis, menyangga gangguan satwaliar ke kawasan budidaya dan
mendukung kepentingan sosial ekonomi masyarakat. Pengelolaan jalur interaksi
dilakukan melalui pengembangan agroforestry dengan tanaman kehutanan,
dimanfaatkan secara terbatas, dan vegetasi sekunder atau areal yang ditinggalkan
masyarakat dibangun menjadi Hutan Rakyat atau Hutan Kemasyarakatan yang
menunjang konservasi tumbuhan yang bernilai ekonomis (Bismark, 2000).

C. Kawasan Budidaya
Fungsi Kawasan Budidaya Daerah Penyangga adalah untuk mendukung
peningkatan sosial ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dan wisata.
Pengelolaan Kawasan Budidaya meliputi pengembangan program pertanian
terpadu, termasuk menghindari pembukaan lahan dengan pembakaran, pemakaian
herbisida yang berdampak negatif, serta menetapkan lokasi pertanian maupun
kawasan agroforestry masyarakat yang dapat disertifikatkan sehingga terdapat
kepastian berusaha bagi masyarakat lokal dalam mengembangkan jenis tumbuhan
langka, dan tumbuhan hutan serbaguna (Multipurpose Tree Species-MPTS) dalam
sistem Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Rakyat (Bismark, 2000).

- Restorasi Ekosistem
Kawasan Pelestarian Alam (KPA), terutama taman nasional di Indonesia telah
mengalami deforestasi dan degradasi akibat perambahan, perladangan,
penebangan liar, kebakaran hutan maupun akibat masuknya alien species.
Gangguan ini telah menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap integritas
ekosistem sehingga fungsinya mengalami degradasi baik secara kualitas maupun
kuantitas.
9
Kerusakan ekosistem dalam KPA perlu dipulihkan dengan tujuan
mengembalikan fungsi-fungsi hakiki ekosistem tersebut yaitu fungsi ekologi, sosial
dan ekonomi. Pemulihan ekosistem kawasan pelestarian berbeda dengan
pemulihan vegetasi seperti yang dilakukan di luar kawasan konservasi misalnya
rehabilitasi, reboisasi dan revegetasi. Pemulihan ekosistem lebih diarahkan pada
pemulihan fungsi, tidak hanya sekedar mengembalikan penutupan vegetasi.
Kegiatan pemulihan ekosistem ini selanjutnya disebut restorasi.
Menurut Maginnis dan Jackson (2006) Restorasi lanskap hutan dapat
didefinisikan sebagai proses yang ditujukan untuk memperoleh kembali integritas
ekologi dan meningkatkan kesejahteraan manusia di lanskap hutan yang telah
megalami deforestasi dan degradasi. Restorasi ini difokuskan pada pemulihan
kembali fungsi-fungsi hutan seperti sebagai penghasil barang, jasa dan proses
ekologi dalam konteks yang lebih luas dan bukan sekedar menanami pohon-pohon
di lokasi tertentu.
Salah satu kunci dalam restorasi lanskap hutan adalah identifikasi tipe dan
tingkat restorasi yang sesuai dengan kondisi sosial dan fisik yang ada. Pada
ekosistem yang telah sangat rusak sehingga tidak mampu memulihkan diri sendiri
melalui proses suksesi alam, maka upaya restorasi lebih baik difokuskan pada
pemulihan dan pemeliharaan proses-proses penting seperti hidrologi, siklus hara
dan transfer energi dari pada usaha mengembalikan struktur hutan seperti aslinya
(Maginnis dan Jackson, 2006).
Menurut Maginnis dan Jackson (2006) Restorasi lanskap hutan tidak
ditujukan untuk mengembalikan lanskap hutan seperti keadaan aslinya sebelum
terganggu, tetapi lebih merupakan upaya pendekatan untuk memperlakukan aset
sumber daya hutan secara proporsional untuk kebaikan manusia dan alam. Karena
restorasi lanskap hutan ditujukan untuk penyediaan barang dan jasa hutan pada
level lanskap, maka tidak terbatas pada teknik-teknik intervensi pada tapak-tapak
khusus.
Dalam pendekatan restorasi ekosistem hutan, masyarakat disertakan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan secara tepat praktek-praktek penggunaan lahan
yang akan membantu pemulihan fungsi hutan secara keseluruhan lanskap sebagai
daerah tangkapan air. Dalam hal ini difokuskan pada pemulihan fungsi-fungsi hutan
pada level lanskap untuk optimalisasi fungsi ekologi hutan dan pemeliharaan
kesesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini adalah
10
memperkuat hubungan antara pembangunan pedesaan, kehutanan dan manajemen
konservasi sumberdaya alam lainnya. Dengan perkataan lain lebih mengutamakan
pada optimalisasi penyediaan manfaat hutan dalam lanskap yang lebih luas (IUCN,
2005).
Terkait dengan pembinaan habitat satwaliar, dalam hal ini owa jawa, restorasi
ekosistem KPA dapat diarahkan untuk perluasan habitat. Sehingga diharapkan
dapat berfungsi sebagai penyedia sumber pakan, tempat berlindung dan juga
sebagai koridor.

Kesimpulan
1. Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik Jawa, yang
kelangsungan hidupnya sangat bergantung dengan keberadaan hutan sebagai
habitatnya.
2. Saat ini habitat utama owa jawa di Jawa Barat hanya tersebar di tiga taman
nasional saja, yaitu TN. Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun-Salak dan TN.
Gunung Gede Pangrango
3. Salah satu program konservasi owa jawa adalah melakukan pembinaan habitat,
baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi.
4. Untuk mendukung program tersebut, perlu penataan kembali pola pengelolaan
hutan alam dan lahan sebagai upaya perluasan habitat owa jawa.
5. Pengembangan pengelolaan daerah penyangga kawasan taman nasional
sebagai habitat dan koridor owa jawa serta program restorasi kawasan taman
nasional dapat dijadikan alternatif pola pengelolaan hutan alam dan lahan.
Selain dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat desa sekitar
hutan, juga berperan sebagai penyedia sumber pakan, tempat berlindung dan
koridor.

PENUTUP
Demikianlah uraian gagasan tentang konservasi owa jawa yang merupakan
primata endemik Jawa, dihubungkan dengan pengelolaan kawasan hutan di Jawa
Barat. Diharapkan uraian ini bermanfaat dan dapat dijadikan dasar pemikiran dalam
mengembangkan program konservasi jenis, khususnya jenis satwa endemik Jawa
yang habitat alaminya semakin berkurang luasannya.

11
Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan
hidayah Nya pada kita semua dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat serta dalam melestarikan kekayaan hayati di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH


Bapak Ibu yang terhormat,
12
Karya ilmiah ini merupakan hasil pemikiran dari ilmu pengetahuan biologi dan
berbagai aspek tentang konservasi keanekaragaman satwaliar yang penulis
dapatkan sejak masa pendidikan hingga selama 20 tahun mengabdi di Pusat
Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Rasanya belumlah cukup apa yang telah saya
ketahui selama ini, masih banyak ilmu pengetahuan yang perlu dipelajari dan dikaji
untuk mendukung upaya konservasi keanekaragaman jenis satwaliar di Indonesia.
Dalam kesempatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa syukur kehadirat
Allah SWT atas izin dan perkenan Nya presentasi karya ilmiah ini dapat terlaksana.
Selain itu saya juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada :
1. Keluarga besar saya, orangtua, istri dan anak-anak, yang selalu memberikan
semangat dan dorongan moril kepada saya.
2. Para guru, Bapak-Ibu Peneliti Senior yang tidak pernah bosan memberikan
bimbingan dan pengetahuannya hingga saya mampu mencapai jenjang
fungsional seperti sekarang ini.
3. Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, tempat saya bekerja, atas
bimbingan, dorongan moril serta kepercayaan pada penulis.
4. Rekan-rekan sejawat, para peneliti, teknisi atas bantuan dan kerjasamanya
baik berupa pemikiran, saran dan dukungan moril pada saya.
5. Rekan-rekan praktisi konservasi species, khususnya yang bekerja dalam
konservasi primata dan anggota PERHAPPI atas kerjasamanya selama ini.
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis hingga dapat mempresentasikan karya ilmiah ini. Apabila ada kata-kata dan
perilaku yang kurang pantas dalam penyampaian presentasi ini, saya mohon
dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya. Semoga Allah SWT mencatat
pertemuan ini sebagai suatu ibadah bagi kita semua.

Terima kasih,
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

DAFTAR PUSTAKA
13
Alikodra, H.S dan R. Soekmadi, 1991. Konsep Perencanaan dan Pengembangan
Daerah Penyangga Taman Nasional. Symposium on Rain Forest Protection
and National Buffer Zone, Jakarta, 7 Feb. 1991.
Anis, A.V. dan S. Iskandar, 2011. Daily activities of released silvery-javan gibbon
pair (Hylobates Moloch)at patiwel Forest, Gunung Gede National Park; A
preliminary study. Makalah INAFOR. Pusat Litbang Konservasi dan
Rehabilitasi.
Bismark, M. 2000. Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional Berbak. Bahan
Materi Seminar Nasional Rencana Pengelolaan Daerah Penyangga tamaan
Nasional Berbak, Jambi 11-12 April 2000. PT. Amythas Expert &Associates
dan Wetlands International-Indonesian Programme.
Chivers, D. J., 1977. The lesser apes. In: H.S.H. Prince Rainier III of Monaco & G. H.
Bourne (eds), Primate conservation. Academic Press, New York. Pp 539-598.
Conservation International Indonesia. 2000. Javan Gibbon website.
http://www.Conservation.or.id/javangibbon.
Cowlishaw, G. and Dunbar, R. 2000. Primate Conservation Biology. London; The
University of Chicago Press.
Djanubudiman, G., J. Arisona, M.I. Setiadi, F. Wibisono, G. Mulcahy, M. Indrawan
dan RM. Hidayat. 2004. Current Population and Conservation Priorities For
The Javan Gibbon (Hylobates moloch). Laporan Tidak Dipublikasi US Fish
and Wildlife Sevices Great Ape Conservation Fund. Indonesian Foundation
for The Advancement of Biological Science. Depok, Indonesia.
Departemen Kehutanan, 1999. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwaliar
Iskandar. S. 2007. Perilaku dan penggunaan hábitat kelompok owa jawa (Hylobates
Moloch Audebert 1798) di hutan rasamala (Altingia excelsa) Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Jawa Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia. Depok.
Iskandar, S., N.C. Simanjuntak, I. Tursina, U. Sugiharto, S. Arifin, Didik, A. Meiditdit,
2009. Studi populasi owa jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Ujung
Kulon, dan beberapa kawasan hutan produksi. Laporan Tidak Dipublikasi.
APAPI/PERHAPPI-Aspinal Foundation.

14
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
2005. Forest Landscape Restoration : Broadening the vision of west African
forests. IUCN, Gland, Sitzerland and Cambridge, UK.
IUCN, 1996. The 1996 IUCN Red list of threatened animals. IUCN, Gland,
Switzerland
John, A.D. 1986. Effects of selective logging on the behavioralecology of West
Malaysian primates. Ecology 67: 684-694.
Kakati, K, 2004. Impact on forest fragmentation on the hoolock gibbon in Assam,
India. Ph.D Disertation. Departemen of Anatomy, University of Cambridge,
Cambridge, The UK.
Kappeler, M., 1981. The Javan silvery gibbon (Hylobates lar moloch). Ph.D. thesis,
Universität Basel. Pp. 1-40, 1-121.
Kappeler, K. 1984. The Gibbon in Java. Dalam Preuschoft, H. et. al. (Eds):
Evolutionary and behavioural Biology. Edinburgh University Press.
Komaruddin, K. 2009. Studi Populasi Dan Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch
Audebert, 1798) Di Koridor Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Skripsi S1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas
Kehutanan UNB Bogor
Ladjar, L.N. 1996. Aktivitas harian dan penggunaan habitat pada keluarga owa jawa
(Hylobates moloch Audebert, 1798) liar di Cikaniki, Taman Nasional Gunung
Halimun, Jawa Barat. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas Biologi, Universitas
Nasional, Jakarta.
Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes.
http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscapes.
pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006.
McKinnon dan McKinnon, 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah
Tropika. Gajah Mada University Press.
Nijman. V. 2001. Forest and primates; Conservation and ecology of the endemic
primates of Java and Borneo. Tropenbos-Kalimantan Series 5.
Nijman V. 2004. Conservation of the Javan Gibbon Hylobates moloch: Population
estimates, local extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin of
Zoology, 52 (1): 271 – 280.
Pahlana, U.W. H. 2002. Studi populasi dan habitat owa jawa (Hylobates moloch
Audebert 1798) di Blok Hutan Cikaniki, Resort Gunung Kendeng, Taman
15
Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi Sarjana Kehutanan. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Alam, Unibersitas Nusa Bangsa, Bogor.
Rinaldi, D. 1999. Food preferences and habitat utilization of javan gibbon (Hylobates
moloch Audebert) in Ujung Kulon National Park, West Java. Indonesia. MSc
Thesis. Georg-August University Gottingen, Germany.
Supriatna, J. J. Manangsang, L. Tumbelaka, N. Andayani, M. Indrawan, L.
Darmawan, S.M. Leksono, Djuwantoko, U. Seal, and O. Bryers. 2001.
Conservation Assessments and Management Plan for the Primates of
Indonesia: Final Report. Conservation Breeding Specialist Group (SSC/
IUCN), Apple Valley, MN.
Umapathy, G. and A. Kumar. 2000. The occurrence of arboreal mammals in the rain
forest fragments in the Anamalai Hills, south India. Biological Conservation
92: 311-319.
Wedana, M., S.S.U. Atmoko, H. Oktavianalis, A. Setiawan 2010. Survey on the
abundance and distribution of javan-silvery gibbon and endemic langurs
species outside of the national park areas in West Java and Central Java. The
Aspinall Foundation-Indonesian Program.

16

Anda mungkin juga menyukai