Owa jawa (Hylobates moloch), adalah jenis primata dari suku Hylobatidae,
endemik Jawa. Jenis primata ini merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999 (Departemen Kehutanan, 1999) dan
menurut IUCN Redlist data Book of Endangered Species owa jawa dikelompokkan
ke dalam kategori langka (endangered species) (IUCN, 2006). Secara geografis owa
jawa tersebar dari bagian Barat Pulau Jawa, di kawasan hutan Pegunungan Honje,
Ujung Kulon hingga Jawa Tengah bagian Barat, di kawasan hutan Gunung Slamet
dan Pegunungan Dieng bagian Utara.
Berdasarkan hasil penelitian dan sensus yang dilakukan oleh beberapa
peneliti, memperlihatkan bahwa populasi jenis primata tersebut memiliki
kecenderungan menurun. Dari survey populasi owa yang dilakukan Kappeler (1984)
pada 40 lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa
sekitar 8000 individu. Namun hasil survey yang pernah dilakukan pada tahun 1992-
1994 menunjukan tidak ditemukan lagi populasi owa di 16 lokasi yang pernah
disurvey sebelumnya. Bahkan di sembilan tempat populasinya kritis, karena berada
pada kawasan hutan dengan luasan habitat yang sangat kecil (0.5-5 Km²) dan
terfragmentasi. Berdasarkan Laporan Conservation Assessment and Management
Plan Primata Indonesia (Supriatna, et.al. 2001), populasi owa jawa diperkirakan
antara 400-2.000 individu. Data populasi terakhir menyebutkan bahwa populasi owa
jawa berkisar antara 4.000 hingga 4.500 individu (Nijman, 2004) dan 2.600-5.304
individu (Djanubudiman et al, 2004). Diduga beberapa populasi owa jawa saat ini
juga hidup di luar kawasan konservasi yang pada umumnya berupa hutan produksi,
hutan tanaman (Djanubudiman, 2004).
Owa jawa adalah primata arboreal sejati, yang dalam melakukan aktivitas
hariannya sangat memerlukan keutuhan tegakan hutan. Gangguan yang terjadi
pada habitat jenis satwa primata ini, seperti penebangan liar, dan perambahan akan
berpengaruh terhadap pola aktivitas harian, pola penggunaan habitat dan
perilakunya.
Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan di Jawa Barat, perlu
mempertimbangkan fungsi hutan sebagai habitat satwaliar. Sebagai primata
arboreal, owa jawa memerlukan penutupan tajuk pohon yang rapat, sehingga
memudahkan aktivitas pergerakannya. Owa jawa adalah primata yang pakan
1
utamanya adalah buah. Sehingga diperlukan hutan dengan kelimpahan sumber
pakan yang dapat memenuhi kebutuhannya.
2
ekologis, kebutuhan akan habitat didasarkan pada strategi untuk menghindar pemangsa dan
mendapatkan sumber pakan (Cowlishaw dan Dunbar, 2000). Owa jawa merupakan jenis
primata arboreal pemakan buah yang dalam kehidupannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
habitat seperti tegakan vegetasi, kerapatan pohon, variasi jenis pakan dan penutupan kanopi
(Kakati, 2004).
Habitat owa jawa tersebar dari Ujung Kulon di bagian barat hingga
Pegunungan Dieng dan Gunung Slamet di bagian timur Pulau Jawa. Dari 32
kelompok hutan habitat owa jawa yang diidentifikasi oleh Kappeler (1984), hanya
sebagian saja yang merupakan kawasan konservasi, yaitu Taman Nasional (TN)
Ujung Kulon, TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun-Salak dan
beberapa cagar alam dan hutan lindung. Selain itu owa jawa juga dijumpai di
beberapa hutan produksi Perum Perhutani, seperti Gunung Luhur, Cikidang,
Gunung Kencana dan Gunung Endut (Iskandar dkk, 2008).
Luas penutupan hutan di Propinsi Jawa Barat adalah 816.608,70 hektar dan
di Propinsi Banten adalah 253.254 hektar. Dari luasan hutan di kedua propinsi
tersebut, luas hutan kawasan konservasi sekitar 232.752 hektar, yang terdiri dari
Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam serta hutan lindung. Secara
vertikal, habitat owa jawa tersebar dari hutan dataran rendah pada ketinggian 0 m
dari permukaan laut (dpl) hingga hutan pegunungan pada ketinggian 1600 m dpl
(Massicot, 2001; CII, 2000). Habitat hutan di bawah ketinggian 1500 m dpl
merupakan habitat utama bagi owa jawa (CII, 2000; Kappeler, 1981). Mengingat
pada wilayah tersebut keragaman jenis tumbuhan pohon berlimpah, sehingga
menjamin ketersediaan sumber pakan bagi owa. Selain itu kesinambungan tajuk
pohon sangat menguntungkan bagi pergerakan owa jawa. Menurut Kappeler (1984)
habitat yang sesuai bagi owa jawa adalah hutan dengan penutupan tajuk yang rapat
dan memiliki struktur tajuk yang horizontal, guna memudahkan untuk bergerak dan
memiliki sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun.
Berdasarkan penelitiannya, Kappeler (1984) mencatat 125 jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan owa jawa di habitatnya, yang terdiri dari 108 jenis pohon, 14
jenis tumbuhan liana, dua jenis tumbuhan palmae dan satu jenis epifit. Di Taman
Nasional Ujung Kulon tercatat 27 jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan owa
jawa, diantaranya kiara beunyeur (Ficus callophyla), dahu (Dracontomelon
puberulum) dan kicalung (Diospyros hermaprodictica) (Rinaldi, 1999). Jenis-jenis
tumbuhan dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan sumber pakan yang
3
paling umum dikonsumsi owa jawa (Chivers, 2000). Namun demikian di hutan
produksi rasamala tercatat hanya tiga jenis tumbuhan pakan dari 13 jenis tumbuhan
yang tercatat (Iskandar, 2007).
5
Kondisi hutan tersebut dapat menjadi salah satu ancaman penting bagi
kelestarian owa jawa di masa mendatang. Mengingat kebutuhan lahan di Jawa
semakin meningkat sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Di Jawa, luas
habitat owa jawa menyusut hingga 96% dari awalnya seluas 43.274 km2 menjadi
sekitar 1.608 km2, yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang sangat pesat
(CII, 2000). Akibat berkurangnya luasan habitat owa jawa, maka sebaran utama
habitat owa jawa hanya tersisa di bagian Barat Pulau Jawa dan sebagian Jawa
Tengah (Nijman, 2001). Oleh karena itu, untuk mendukung program konservasi in
situ owa jawa, dianggap perlu untuk mengembangkan pengelolaan kawasan hutan
yang ada sebagai perluasan habitat primata, khususnya owa jawa, selain untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar hutan.
7
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terpadu yang saling mendukung dan
sinergis dalam suatu kesatuan konsep program yang terpadu (Gambar 1).
PENUNJUKAN
TATA RUANG UNTUK KAWASAN KONSERVASI DAN DAERAH PENYANGGA
PENETAPAN KONSERVASI
(Kawasan Pelestarian Alam)
PERENCANAAN PELAKSANAAN
P E N I N G K A T A N P E N D A P A T A N D A E R A HKEPEDULIAN MASY. DALAM PELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN KPA
8
A. Kawasan Jalur Hijau (Jalur Hijau)
Fungsi Jalur Hijau adalah : menyangga fisik kawasan dari gangguan atau
intervensi masyarakat, menyangga dari pengaruh jenis tumbuhan eksotik dan
sebagai perluasan home range satwa. Areal ini dapat dikelola sesuai dengan fungsi
di atas, termasuk areal HPH, Kawasan lindung dan fungsi hutan lainnya yang
berbatasan dengan KPA (Bismark, 2000).
C. Kawasan Budidaya
Fungsi Kawasan Budidaya Daerah Penyangga adalah untuk mendukung
peningkatan sosial ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dan wisata.
Pengelolaan Kawasan Budidaya meliputi pengembangan program pertanian
terpadu, termasuk menghindari pembukaan lahan dengan pembakaran, pemakaian
herbisida yang berdampak negatif, serta menetapkan lokasi pertanian maupun
kawasan agroforestry masyarakat yang dapat disertifikatkan sehingga terdapat
kepastian berusaha bagi masyarakat lokal dalam mengembangkan jenis tumbuhan
langka, dan tumbuhan hutan serbaguna (Multipurpose Tree Species-MPTS) dalam
sistem Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Rakyat (Bismark, 2000).
- Restorasi Ekosistem
Kawasan Pelestarian Alam (KPA), terutama taman nasional di Indonesia telah
mengalami deforestasi dan degradasi akibat perambahan, perladangan,
penebangan liar, kebakaran hutan maupun akibat masuknya alien species.
Gangguan ini telah menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap integritas
ekosistem sehingga fungsinya mengalami degradasi baik secara kualitas maupun
kuantitas.
9
Kerusakan ekosistem dalam KPA perlu dipulihkan dengan tujuan
mengembalikan fungsi-fungsi hakiki ekosistem tersebut yaitu fungsi ekologi, sosial
dan ekonomi. Pemulihan ekosistem kawasan pelestarian berbeda dengan
pemulihan vegetasi seperti yang dilakukan di luar kawasan konservasi misalnya
rehabilitasi, reboisasi dan revegetasi. Pemulihan ekosistem lebih diarahkan pada
pemulihan fungsi, tidak hanya sekedar mengembalikan penutupan vegetasi.
Kegiatan pemulihan ekosistem ini selanjutnya disebut restorasi.
Menurut Maginnis dan Jackson (2006) Restorasi lanskap hutan dapat
didefinisikan sebagai proses yang ditujukan untuk memperoleh kembali integritas
ekologi dan meningkatkan kesejahteraan manusia di lanskap hutan yang telah
megalami deforestasi dan degradasi. Restorasi ini difokuskan pada pemulihan
kembali fungsi-fungsi hutan seperti sebagai penghasil barang, jasa dan proses
ekologi dalam konteks yang lebih luas dan bukan sekedar menanami pohon-pohon
di lokasi tertentu.
Salah satu kunci dalam restorasi lanskap hutan adalah identifikasi tipe dan
tingkat restorasi yang sesuai dengan kondisi sosial dan fisik yang ada. Pada
ekosistem yang telah sangat rusak sehingga tidak mampu memulihkan diri sendiri
melalui proses suksesi alam, maka upaya restorasi lebih baik difokuskan pada
pemulihan dan pemeliharaan proses-proses penting seperti hidrologi, siklus hara
dan transfer energi dari pada usaha mengembalikan struktur hutan seperti aslinya
(Maginnis dan Jackson, 2006).
Menurut Maginnis dan Jackson (2006) Restorasi lanskap hutan tidak
ditujukan untuk mengembalikan lanskap hutan seperti keadaan aslinya sebelum
terganggu, tetapi lebih merupakan upaya pendekatan untuk memperlakukan aset
sumber daya hutan secara proporsional untuk kebaikan manusia dan alam. Karena
restorasi lanskap hutan ditujukan untuk penyediaan barang dan jasa hutan pada
level lanskap, maka tidak terbatas pada teknik-teknik intervensi pada tapak-tapak
khusus.
Dalam pendekatan restorasi ekosistem hutan, masyarakat disertakan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan secara tepat praktek-praktek penggunaan lahan
yang akan membantu pemulihan fungsi hutan secara keseluruhan lanskap sebagai
daerah tangkapan air. Dalam hal ini difokuskan pada pemulihan fungsi-fungsi hutan
pada level lanskap untuk optimalisasi fungsi ekologi hutan dan pemeliharaan
kesesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini adalah
10
memperkuat hubungan antara pembangunan pedesaan, kehutanan dan manajemen
konservasi sumberdaya alam lainnya. Dengan perkataan lain lebih mengutamakan
pada optimalisasi penyediaan manfaat hutan dalam lanskap yang lebih luas (IUCN,
2005).
Terkait dengan pembinaan habitat satwaliar, dalam hal ini owa jawa, restorasi
ekosistem KPA dapat diarahkan untuk perluasan habitat. Sehingga diharapkan
dapat berfungsi sebagai penyedia sumber pakan, tempat berlindung dan juga
sebagai koridor.
Kesimpulan
1. Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik Jawa, yang
kelangsungan hidupnya sangat bergantung dengan keberadaan hutan sebagai
habitatnya.
2. Saat ini habitat utama owa jawa di Jawa Barat hanya tersebar di tiga taman
nasional saja, yaitu TN. Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun-Salak dan TN.
Gunung Gede Pangrango
3. Salah satu program konservasi owa jawa adalah melakukan pembinaan habitat,
baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi.
4. Untuk mendukung program tersebut, perlu penataan kembali pola pengelolaan
hutan alam dan lahan sebagai upaya perluasan habitat owa jawa.
5. Pengembangan pengelolaan daerah penyangga kawasan taman nasional
sebagai habitat dan koridor owa jawa serta program restorasi kawasan taman
nasional dapat dijadikan alternatif pola pengelolaan hutan alam dan lahan.
Selain dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat desa sekitar
hutan, juga berperan sebagai penyedia sumber pakan, tempat berlindung dan
koridor.
PENUTUP
Demikianlah uraian gagasan tentang konservasi owa jawa yang merupakan
primata endemik Jawa, dihubungkan dengan pengelolaan kawasan hutan di Jawa
Barat. Diharapkan uraian ini bermanfaat dan dapat dijadikan dasar pemikiran dalam
mengembangkan program konservasi jenis, khususnya jenis satwa endemik Jawa
yang habitat alaminya semakin berkurang luasannya.
11
Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan
hidayah Nya pada kita semua dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat serta dalam melestarikan kekayaan hayati di Indonesia.
Terima kasih,
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh
DAFTAR PUSTAKA
13
Alikodra, H.S dan R. Soekmadi, 1991. Konsep Perencanaan dan Pengembangan
Daerah Penyangga Taman Nasional. Symposium on Rain Forest Protection
and National Buffer Zone, Jakarta, 7 Feb. 1991.
Anis, A.V. dan S. Iskandar, 2011. Daily activities of released silvery-javan gibbon
pair (Hylobates Moloch)at patiwel Forest, Gunung Gede National Park; A
preliminary study. Makalah INAFOR. Pusat Litbang Konservasi dan
Rehabilitasi.
Bismark, M. 2000. Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional Berbak. Bahan
Materi Seminar Nasional Rencana Pengelolaan Daerah Penyangga tamaan
Nasional Berbak, Jambi 11-12 April 2000. PT. Amythas Expert &Associates
dan Wetlands International-Indonesian Programme.
Chivers, D. J., 1977. The lesser apes. In: H.S.H. Prince Rainier III of Monaco & G. H.
Bourne (eds), Primate conservation. Academic Press, New York. Pp 539-598.
Conservation International Indonesia. 2000. Javan Gibbon website.
http://www.Conservation.or.id/javangibbon.
Cowlishaw, G. and Dunbar, R. 2000. Primate Conservation Biology. London; The
University of Chicago Press.
Djanubudiman, G., J. Arisona, M.I. Setiadi, F. Wibisono, G. Mulcahy, M. Indrawan
dan RM. Hidayat. 2004. Current Population and Conservation Priorities For
The Javan Gibbon (Hylobates moloch). Laporan Tidak Dipublikasi US Fish
and Wildlife Sevices Great Ape Conservation Fund. Indonesian Foundation
for The Advancement of Biological Science. Depok, Indonesia.
Departemen Kehutanan, 1999. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwaliar
Iskandar. S. 2007. Perilaku dan penggunaan hábitat kelompok owa jawa (Hylobates
Moloch Audebert 1798) di hutan rasamala (Altingia excelsa) Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Jawa Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia. Depok.
Iskandar, S., N.C. Simanjuntak, I. Tursina, U. Sugiharto, S. Arifin, Didik, A. Meiditdit,
2009. Studi populasi owa jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Ujung
Kulon, dan beberapa kawasan hutan produksi. Laporan Tidak Dipublikasi.
APAPI/PERHAPPI-Aspinal Foundation.
14
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
2005. Forest Landscape Restoration : Broadening the vision of west African
forests. IUCN, Gland, Sitzerland and Cambridge, UK.
IUCN, 1996. The 1996 IUCN Red list of threatened animals. IUCN, Gland,
Switzerland
John, A.D. 1986. Effects of selective logging on the behavioralecology of West
Malaysian primates. Ecology 67: 684-694.
Kakati, K, 2004. Impact on forest fragmentation on the hoolock gibbon in Assam,
India. Ph.D Disertation. Departemen of Anatomy, University of Cambridge,
Cambridge, The UK.
Kappeler, M., 1981. The Javan silvery gibbon (Hylobates lar moloch). Ph.D. thesis,
Universität Basel. Pp. 1-40, 1-121.
Kappeler, K. 1984. The Gibbon in Java. Dalam Preuschoft, H. et. al. (Eds):
Evolutionary and behavioural Biology. Edinburgh University Press.
Komaruddin, K. 2009. Studi Populasi Dan Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch
Audebert, 1798) Di Koridor Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Skripsi S1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas
Kehutanan UNB Bogor
Ladjar, L.N. 1996. Aktivitas harian dan penggunaan habitat pada keluarga owa jawa
(Hylobates moloch Audebert, 1798) liar di Cikaniki, Taman Nasional Gunung
Halimun, Jawa Barat. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas Biologi, Universitas
Nasional, Jakarta.
Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes.
http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscapes.
pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006.
McKinnon dan McKinnon, 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah
Tropika. Gajah Mada University Press.
Nijman. V. 2001. Forest and primates; Conservation and ecology of the endemic
primates of Java and Borneo. Tropenbos-Kalimantan Series 5.
Nijman V. 2004. Conservation of the Javan Gibbon Hylobates moloch: Population
estimates, local extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin of
Zoology, 52 (1): 271 – 280.
Pahlana, U.W. H. 2002. Studi populasi dan habitat owa jawa (Hylobates moloch
Audebert 1798) di Blok Hutan Cikaniki, Resort Gunung Kendeng, Taman
15
Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi Sarjana Kehutanan. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Alam, Unibersitas Nusa Bangsa, Bogor.
Rinaldi, D. 1999. Food preferences and habitat utilization of javan gibbon (Hylobates
moloch Audebert) in Ujung Kulon National Park, West Java. Indonesia. MSc
Thesis. Georg-August University Gottingen, Germany.
Supriatna, J. J. Manangsang, L. Tumbelaka, N. Andayani, M. Indrawan, L.
Darmawan, S.M. Leksono, Djuwantoko, U. Seal, and O. Bryers. 2001.
Conservation Assessments and Management Plan for the Primates of
Indonesia: Final Report. Conservation Breeding Specialist Group (SSC/
IUCN), Apple Valley, MN.
Umapathy, G. and A. Kumar. 2000. The occurrence of arboreal mammals in the rain
forest fragments in the Anamalai Hills, south India. Biological Conservation
92: 311-319.
Wedana, M., S.S.U. Atmoko, H. Oktavianalis, A. Setiawan 2010. Survey on the
abundance and distribution of javan-silvery gibbon and endemic langurs
species outside of the national park areas in West Java and Central Java. The
Aspinall Foundation-Indonesian Program.
16