Anda di halaman 1dari 80

Catatan

Catatan Penting Abah Ihsan

Penting
Abah Ihsan

TEMA:
INSPIRASI
PARENTING
ZAMAN NOW

Ihsan Baihaqi
Ibnu Bukhari
Direktur Auladi
Parenting School
Penggagas Program
www.parentingacademy.id
FB: Parenting Academy | Instagram: @parenting_academy
1821 Kumpul Keluarga
Catatan Penting Abah Ihsan

Pentingnya Belajar Parenting


-Oleh Abah Ihsan-

Ketika seseorang mau belajar, ikut


pelatihan parenting misalnya, masih juga
harus dipatahkan oleh pasangannya:
yang penting praktiknya, bukan teorinya.
Dari mana kita tahu praktik kita tepat
atau tidak, jika kita tak pernah belajar?
Bahkan tak sedikit perempuan mengadu
sama saya, “saya dimarahin suami saya
ikut pelatihan parenting 2 hari, karena
meninggalkan anak dan suami Abah!”
Coba perhatikan? Ditinggalkan istrinya 2
hari aja kerempongan, padahal istrinya
berhari-hari rela mendampingi anaknya
tanpa pernah protes.

Mengapa sebagian orang rela


meninggalkan keluarganya berhari-
hari, berpekan-pekan, berbulan-bulan
untuk sampai ke luar kota bahkan ke luar
Catatan Penting Abah Ihsan

negeri untuk kepentingan upgrading


pekerjaannya, tapi tak bersedia belajar
pengasuhan, meski hanya 2 hari? Padahal
jelas-jelas untuk kepentingan anak-
anaknya sendiri?

Belajar itu berarti bukan diam di tempat,


hanya memperhatikan. Belajar itu kata
kerja. Mencari guru, membaca buku,
bertanya. lalu menguji coba. Tidak
berhasil dengan A lakukan B. Dan
seterusnya. Tidak berhasil, memeriksa
semua adakah cara yang salah
penerapannya?

Soal interaksi suami istri, jika tak berhasil


juga pasti ada salah satu yang tak terbuka
belajar. Karena itu, kita tidak menuntut
pasangan sempurna, tapi menuntut
pasangan yang mau terbuka hati belajar,
terbuka bicara. Tidak untuk menuntut
kesempurnaan, tapi menuntut untuk
Catatan Penting Abah Ihsan

terus lebih baik dari hari ke hari.

Jika orang tua tak mau belajar, jika suami


istri tak mau belajar? THE END! Keluarga
adalah benteng kehidupan. Jika benteng
tidak terus dipelihara, maka lapuklah
ia. Memelihara benteng berarti terus
menghadirkan kekuatan pikiran untuk
semua anggota keluarga. Memeliharanya
dengan motivasi dan ilmu kebaikan. Ia
berarti menuntut hadirnya majelis ilmu di
keluarga.

Jika seorang istri menuntut suaminya


shalih, itu tak mungkin terjadi jika
suaminya tak diajak belajar untuk hadir
di majelis-majelis ilmu. Jika seorang
suami menuntut istrinya shalihah, itu
sebenarnya lebih mudah, karena suami
adalah qowwam. Masalahnya, apakah
keshalihan istri itu datang dengan
sendirinya?
Catatan Penting Abah Ihsan

Keshalihan dan keshalihahan itu dibina,


ditempa. Apakah anak dan istrinya
benar-benar ditarbiyah? Apakah hadir
ta’lim-ta’lim ilmu di rumah? Jika seorang
suami tidak mampu melakukannya
karena keterbatasan ilmu, fasilitasilah
anak dan istrinya untuk NYAMAN belajar,
menghadiri majelis-majelis ilmu.

Tolong perbesar kata nyaman. Saya


sengaja berikan atensi pada kata nyaman
karena banyak suami mengizinkan
istrinya untuk hadir di majelis ilmu, tapi
malah menyuruh 3 anaknya dibawa
semuanya oleh istrinya. Di tempat kajian
ilmu akhirnya sang istri bukan fokus
menyimak ilmu, malah sibuk bolak-balik
ngejar anaknya yang lari, menenangkan
yang ingin jajan, menenangkan kerewelan
dan seterusnya. Karena itu saya malah
“mengharamkan” istri saya untuk bawa
anak jika hendak pergi ke tempat kajian.
Catatan Penting Abah Ihsan

Jika berhenti belajar, tinggal tunggu


waktu, berhenti juga kebaikannya.
Saya punya teman SD, dua bersaudara,
kembar. Satu perempuan dan satu lelaki.
Keduanya satu sekolah dengan saya.
Saat SMP anak perempuan teman saya
ini memutuskan untuk sekolah pesantren
sedangkan Kakaknya yang lelaki, sekolah
di sekolah biasa dengan saya. Selepas
SMP dia tidak memutuskan pesantren.

Suatu hari setelah SMP, saya berkunjung


ke rumahnya untuk ngobrol dengan yang
lelaki. Melihat kedatangan saya, teman
perempuan saya ini yang tadinya di ruang
tamu “ngibrit” lari ke kamar. Oh rupanya
ia sekarang punya prinsip “malu bertemu
dengan lelaki yang bukan mahram”.
Maklum, mungkin lulusan pesantren. Saya
berbangga dan kagum dengannya.
Tapi, apa yang terjadi sekira setengah
tahun kemudian saat saya berkunjung
Catatan Penting Abah Ihsan

lagi ke rumahnya? Dia ikut nimbrung


ngobrol dan masih memakai hijabnya.
Mau ikut ngobrol atau tidak saya tidak
mempermasalahkan, itu urusan dia.
Yang jadi bahasannya saya, kenapa ia
berubah?

Sekira setahun kemudian saat saya


berkunjung kembali ke rumahnya, dia
masih berhijab tapi gaya berpakainnya
sudah berbeda. Kerudungnya memang
masih menutup rambutnya, tapi tidak
lagi menutup lehernya. Asal tempel.
Dan dapat ditebak, tak sampai setahun
kemudian ia benar-benar melepas
kerudungnya ke luar rumah. Berkerudung
atau tidak, itu bukan urusan saya. Saya
hanya memperhatikan, bahwa semua
orang dapat berubah.

Penampilan, akhlak dan lain-lain. Jika


perubahan ke arah yang lebih baik, tentu
Catatan Penting Abah Ihsan

bagus. Bagaimana jika perubahannya ke


arah yang malah lebih buruk?

Suami istri haruslah ngobrol, bicara,


berkomunikasi. Jika tidak ada komunikasi,
bukan keluarga! Jika suami istri jarang
ngobrol, maka untuk apa menikah?
Bukankah menikah itu menyatukan dua
orang yang berpisah?

Jika sepasang lekaki dan perempuan


setelah menikah, lalu bertemu tiap
hari tapi tak pernah “bersatu” dengan
ngobrol, maka pada dasarnya ia
bersatu hanya untuk tujuan reproduksi,
menyatukan tubuh, bukan untuk
menikah, menyatukan hati.

Jika kalian, suami istri tak mau ngobrol?


BUBAR AJA KALIAN!! Ngapain kalian
menikah?
Jika tak pernah nyambung saat ngobrol,
Catatan Penting Abah Ihsan

jika malah sering tak nyaman ngobrol


dengan pasangan. Cari tahu dong,
terbuka hati, buka diri, saat apa sih tak
nyaman? Mengapa sih tak nyaman?
Ada yang salah dengan topiknya atau
pilihan bahasanya? Dan seterusnya dan
seterusnya. Itulah hakikat belajar.

Mengobservasi, menguji coba, berulang-


ulang dan insya Allah suatu hari Anda
akan merasakan “horeeee… got it! Istriku
senang jika ngomong dengan cara
ini.”, “Oh rupanya suami lebih senang
jika harus muter dulu, tak langsung ke
masalah.” Jika perlu datangi konselor,
tanya mereka. Apa yang salah dan
seterusnya.

Maka, menghadirkan majelis ilmu di


keluarga kita? Wajib. Buatlah halaqoh-
halaqoh keluarga. Jika perlu, ya tiap hari.
Saya menyebutnya 1821, dari pukul
Catatan Penting Abah Ihsan

18.00-21.00 matikan gadget, televisi


dan komputer, tiap hari di keluarga.
Disconnect with others, connect with
my family. Sesekali libur bolehlah. Tapi
kebanyakan libur, gak ngurus keluarga
namanya.

Setidaknya, yuk, jadikan hadir ke majelis


ilmu salah satu rekreasi wajib keluarga
kita. Sepekan sekali, sebulan sekali,
terserah. Yang penting merutinkan cahaya
ilmu (kebenaran) ke keluarga kita. Niscaya
insya Allah istiqomah dalam kebaikan
akan kita dapatkan.

***
Catatan Penting Abah Ihsan

Liburan, Menghubungkan Jiwa


Memutuskan Dunia
-Oleh Abah Ihsan-

Jangan-jangan, ratusan kali liburan,


berkali-kali libur panjang, tak berdampak
apa-apa untuk kesehatan jiwa. Tak
berpengaruh penting untuk menambah
indeks kebahagiaan.

Siapa yang tak senang dengan liburan?


Traveling ke sana ke mari. Nginep hotel
sana dan sini. Mengunjungi tempat-
tempat indah: gunung, pantai, danau,
situ sejarah. Mencoba berbagai wahana
dan tak lupa wisata kuliner makanan
khas sebuah wilayah sembari mengenal
budaya setempat adalah hal yang
menarik sebagian besar orang ketika
berwisata.

Pun saya melakukannya. Tuhan takdirkan


Catatan Penting Abah Ihsan

saya melakukan pekerjaan yang membuat


saya harus berkeliling sepekan sekali
mengunjungi berbagai kota, di Indonesia
dan beberapa negara. Saya mau cerita
sedikit saja yang di Indonesia, alih-alih
kunjungan saya berkeliling beberapa
negara. Bukan karena kota di luar negeri
tidak menarik, tapi secara pribadi saya
merasakan ketika di Indonesia, bukan
soal fisik semata, jiwa saya pun lebih
mudah untuk melakukan “perjalanan”.

Seperti mengalami perjalanan


“spiritualitas” saat safar keliling banyak
wilayah. Ada perenungan, kekaguman,
ketakjuban, hingga perasaan kecil dan tak
berdaya.

Jika berkunjung ke kota yang belum saya


kunjungi, saya biasanya akan lebihkan
sehari, di luar itenirary pekerjaan,
untuk melancong di daerah setempat.
Catatan Penting Abah Ihsan

Semua daerah memiliki keunikan dan


keindahannya masing-masing.

Keindahan alam ya sebenarnya “itu-itu


saja”. Jika tidak gunung, hutan, pantai
ya danau. Di antara danau-danau yang
terindah: Danau Maninjau di Sumatera
Barat, Danau Lot Air Tawar di Takengon,
Aceh dan Danau Sentani di Papua
adalah beberapa danau yang menurut
saya termasuk danau paling eksotis
di Indonesia, apalagi jika diliat dari
ketinggian.

Beberapa tempat yang saya antusias


meski berkali-kali mengunjunginya,
bukan karena keindahan tempatnya
(meski tak kalah menarik keindahannya),
tapi karena lokasinya dan karena impian
saya sejak kecil adalah Sabang & Pulau
Simelue di Aceh, Merauke & Wamena di
Papua.
Catatan Penting Abah Ihsan

Kota Sabang saya pikir daerah yang kaya


wisata dengan kontur yang unik, gunung
dan pantai yang mengelilingnya, yang
bisa dijangkau hanya dengan perjalanan
seharian, seharusnya menjadi tempat
wisata yang lebih menjual di bandingkan
Genting Highland di Malaysia.

Merauke? Dataran luas, ratusan istana


rayap dan perbatasan New Guinea,
adalah beberapa hal menarik di daerah
paling timur Indonesia ini.

Wamena? Daerah yang tak terlupakan


seumur hidup saya, karena ketika saya
berkunjung, pertama kali dan semoga
yang terakhir, saya “dijebak” dengan
menumpang pesawat beras. Ya pesawat
beras, karena hanya satu-satunya
penumpang dan ratusan karung beras di
belakangnya.
Catatan Penting Abah Ihsan

Tak heran, mungkin daerah ini bisa


disebut salah satu daerah “paling mahal”
se-Indonesia. Beras, minyak goreng, dan
sembako lainnya, harus diangkut naik
pesawat.

Saat pertama berkunjung ke sana, saya


merasa kaget luar biasa saat makan di
warung biasa sekelas pedagang kaki lima
rasanya seperti hotel bintang 5. Bukan
rasanya, tapi harganya teman! Makan
nasi dengan satu potong ayam, satu
dadar telor dan segelas es jeruk, harus
membayar 150 ribu. Itu sekira 7 tahun
lalu ya! Bagaimana dengan Bali? Tak
usah diomongin! Saya selalu memiliki
perasaan berbeda di sana sehingga
seperti selalu menarik mengunjunginya.

Ke tempat-tempat indah itu saya


lebih merasakan perasaan “menyepi”
dibandingkan antusias berwisata.
Catatan Penting Abah Ihsan

Oh ternyata surga dunia itu ada di


Indonesia. Setidaknya, itulah ucapan
spontan saya saat melihat belasan air
terjun yang berderet-deret terlihat dari
helikopter yang menerbangkan saya di
Tembagapura. Oh ternyata di dunia saya
melihat berbagai keragamannya. Padahal
baru di Indonesia.

Tak usah ajarin penduduk-penduduk


desa itu soal keberagaman. Bahkan saya
rasa, hampir semua penduduk yang
“masih asli”, belum terkontaminasi berita,
tak akan permasalahkan perbedaan
budaya dan agama dalam hidup mereka.
Kampanye keberagaman yang giat
dipromosikan banyak media, bagi saya
hanyalah bentuk “politik prasangka” yang
kebetulan disematkan pada kelompok
yang paling banyak penganutnya.
Sama piciknya dengan jargon intoleran
yang dipakai para hamba kuasa untuk
Catatan Penting Abah Ihsan

merendahkan pihak lainnya, demi


menasbihkan dirinya paling Pancasila.

Apakah masyarakat kita intoleran?


Apakah orang Islam di pedalaman
masyarakat Alas yang saya kunjungi
di Kutacane intoleran terhadap orang
Kristen yang ada di sana? Apakah jemaat
gereja di pegunungan Wamena yang
saya kunjungi intoleran pada pendatang
muslim? Apakah teman-teman Hindu di
Klungkung intoleran terhadap komunitas
Muslim di daerahnya?

Cobalah berkunjung ke pedalaman,


bukan hanya melahap berita masyarakat
kota. Jika ada yang intoleran, semata
karena politisasi untuk tujuan kekuasaan
hamba-hamba kuasa. Bukan masyarakat
polos itu. Tak percaya? Wawancara saja
warganya, bukan pemimpin wilayahnya,
bukan pula pemimpin agamanya.
Catatan Penting Abah Ihsan

Sebenarnya di kota pun sama, jika pun


ada, kenyataannya apakah intoleransi
itu nyata? Tak lebih dari gembar-
gembor sebagian kelompok untuk
menistakan kelompok lainnya, apalagi
bisa dimanfaatkan untuk kepentingan
kampanye kekuasaan. Apakah di kota, di
komplek saya, saya dan 14 keluarga lain
yang muslim yang bertetangga, punya
2 tetangga kristen yang satu blok, itu
bermusuhan? Selama belasan tahun
tinggal bersama, kami berhubungan baik,
berkomunikasi dengan baik, bertetangga
dengan baik.
Untuk destinasi alam, saya lebih senang
mengunjungi pantai dibandingkan
gunung dan danau. Mungkin karena
tempat saya di Bandung, jauh dari pantai
dan laut. Maka melihat sesuatu yang
berbau pantai sepertinya adalah favorit
saya. Kecuali di pantai Sanur dan Kuta,
yang di kedua tempat itu sulit fokus
Catatan Penting Abah Ihsan

(mungkin karena faktor “pemandangan”


manusia), bukan mandi, tapi berdiam diri
berjam-jam, barulah adalah kegiatan rutin
yang wajib bagi saya.

Meski mungkin ratusan pantai yang saya


kunjungi, pantai di Pulau Bengkalis di
Riau dan Maumere di Nusa Tenggara
Timur adalah pantai yang paling berkesan
buat saya. Faktor sepi pengunjung,
bersih, belum banyak terjamah dan
keramah-tamahan penduduk lokal,
sungguh membuat saya sampai
hari ini merindukan untuk kembali
mengujunginya suatu hari kelak.

Meski menikmati pemandangan itu


menyenangkan, tapi selama 12 tahun
lebih, lebih dari 100 kota, termasuk
daerah-daerah pedalaman di 28 propinsi
di Indonesia yang saya kunjungi, tidak
ada yang lebih menarik bagi saya selain
Catatan Penting Abah Ihsan

mengenal dan memahami budaya


setempat.

Hanya saja, kemarin-kemarin saya tidak


terlalu suka pamer di media sosial saya.
Sekarang? Setelah anak-anak beranjak
dewasa, saya merasa salah satu bentuk
dokumentasi yang bagus agar menjadi
cerita buat anak cucu saya, memang
disimpan di tempat itu. Selain disimpan
di tempat penyimpanan virtual (seperti
penyimpanan awan macam cloud drive,
google drive, dan lain-lain).

***
Catatan Penting Abah Ihsan

Memaknai Liburan Bersama


Keluarga ala Abah Ihsan
-Oleh Abah Ihsan-

Pertanyaannya, apa sih tujuan liburan?


Jangan-jangan ratusan kali liburan,
berkali-kali libur panjang, saat cuti
bersama atau “long weekend”, tak
berdampak apa-apa untuk kesehatan
jiwa. Tak berpengaruh penting untuk
menambah indeks kebahagiaan. Semoga
tidak.

Saya tidak tahu dengan Anda, tapi jika


ditanya, kenapa Anda ingin berlibur?
Apa yang Anda cari? Umumnya biasanya
sama: melepas kepenatan, refreshing,
membuat jeda di antara berbagai
kesibukan keseharian. Kata kuncinya:
MELEPAS rutinitas keseharian.

Liburan, bagi sebagian orang seperti


Catatan Penting Abah Ihsan

“rest area” dalam sebuah perjalanan


panjang. Ia sangat berguna. Berhenti
sejenak untuk mengisi perut di tempat
makan, melepaskan lelah, mengumpulkan
tenaga, atau mengisi bahan bakar
kendaraan. Kunjungan ke “rest area”
liburan, akan membuat kita bisa kembali
fokus berkonsentrasi melanjutkan
perjalanan kehidupan. Liburan adalah
liburan. Ia seharusnya bukan tempat baru
untuk memindahkan kepenatan harian di
tempat wisata.

Jika liburan untuk tujuan refreshing


atau mencari enjoy, maka saya sungguh
tak nyaman jika liburan dengan sistem
paket diatur oleh “tour guide”. Saya lebih
senang menyendiri atau beberapa orang
saja dibandingkan ramai-ramai.

Ketika bekunjung ke Istanbul dan


beberapa kota ke Turki, karena ramai-
Catatan Penting Abah Ihsan

ramai dan membeli paket, yang terjadi


kita seperti dikejar deadline. Sehari harus
selesai 5 destinasi, padahal 1 destinasi
saja jika mau dipelajari rasanya seharian
tidak cukup. Maka jiwa saya “lebih hidup”
dan saya dapatkan ketika saya justru
hanya berduaan, tanpa membeli paket
saat saya keliling beberapa kota di Eropa
daratan atau Jepang.

Jika liburan tujuannya MELEPAS penat,


maka sesungguhnya kita harus benar-
benar “memutus dunia” keseharian kita
dan benar-benar fokus dengan jeda kita.
Pertanyaannya? Apakah saat berlibur
sebagian kita benar-benar “memutus
dunia” itu?

Saat seseorang bawa handphone atau


gadget lainnya ke tempat liburan, bisa
jadi sebenarnya dia tidak benar-benar
MELEPAS, tapi justru membiarkan
Catatan Penting Abah Ihsan

rutinitas mengekor dirinya. Maka ratusan


kali liburan, jika begitu, berpeluang tidak
akan berdampak apa-apa pada hidupnya.

Itulah yang coba dilakukan dengan


istri dan anak-anak saya liburan “long
weekend” bulan Februari lalu. Saya dan
istri benar-benar memutus hubungan
dengan “dunia” keseharian saya selama
3 hari. Bukan dunia dalam artian tidak
berhubungan dengan orang lain sama
sekali, sebab kenyataannya di tempat
liburan kita juga berinteraksi dengan
orang-orang lainnya.

Maksud saya adalah dunia keseharian


dalam artian dengan rutinitas harian
yang tidak seharusnya saya pindahkan
ke tempat liburan seperti pekerjaan,
berhubungan dengan orang-orang
jauh di internet, pekerjaan domestik
dan lain-lain. Karena itu saya dan istri
Catatan Penting Abah Ihsan

memutuskan untuk tidak membawa


handphone, tidak juga membawa gadget
lainnya. Semua benda itu sengaja kami
simpan di rumah.

Sebenarnya kebiasaan jalan-jalan tanpa


gadget sudah lama kami lakukan, hanya
saja bedanya, ini pertama kali gadget
kami benar-benar ditinggal di rumah
selama 3 hari. Dulu, kami jalan-jalan tapi
gadgetnya kami simpan di mobil. Tidak di
bawa ke tempat kunjungan kami.

Sebagian orang berkata kepada saya


“Bagaimana kalau anak kami hilang?”.
Saya hanya tersenyum dan berkata
“justru kejadian anak hilang di tempat
perbelanjaan dan bahkan sampai
ada balita yang meninggal karena
terjerembab di kolam renang yang sudah
terjadi, karena orang tuanya sibuk dengan
gadget”.
Catatan Penting Abah Ihsan

Selama 3 hari, Jumat kami berangkat


dan meski hari Ahad kami sudah sampai
rumah, sengaja telepon genggam
itu pun tidak disentuh sampai Senin
pagi. Saya tidak memusuhi gadget.
Saya menggunakannya, istri saya
menggunakannya. Itu hanya perangkat
teknologi yang diciptakan untuk
memudahkan hidup kita. Ada banyak
gunanya.

Tapi tujuan diciptakan alat komunikasi


itu apa sih? Menghubungkan yang
jauh agar menjadi lebih dekat. Tapi,
rasanya tidak adil jika orang yang jauh
didekatkan, tapi yang dekat justru tidak
sadar, malah dijauhkan. Karena niat kami
liburan memang pengen benar-benar ke
“rest area” maka kami putuskan untuk
meninggalkan gadget di rumah saat
liburan.
Catatan Penting Abah Ihsan

Ketika kami liburan tanpa gadget,


berbagai kesulitan “komunikasi”
tanpa gadget nyatanya hanya sedikit
saja. Sebagian besar baru sebatas
kekhawatiran di pikiran saja, bukan
kenyataan. Dari awal kami benar-benar
berniat fokus dengan tujuan “melepas”
penat, memutus dunia tapi menguatkan
hubungan jiwa di antara kami sekeluarga.

Satu-satunya “gadget” yang masih


diperbolehkan anak-anak gunakan adalah
“nonton televisi” di kamar hotel yang itu
pun dibatasi sejam sehari. Justru ketika
saya dan istri tanpa gadget inilah, kami
sekeluarga benar-benar senyatanya lebih
banyak dan lebih intens “berkomunikasi”.

Apa saja kesulitan yang “sedikit” kami


alami tanpa gadget itu? Pertama, saat
liburan ini, saya juga menginap di
beberapa hotel dengan keluarga. Ada
Catatan Penting Abah Ihsan

khawatiran bagaimana cara menunjukkan


bahwa kami sudah melakukan
pemesanan awal pada petugas hotel?
Tapi karena sebagai member platinum
dari berbagai kelompok manajemen
hotel dan masakpai, saya berpengalaman
ratusan kali melakukannya.

Untuk menunjukkan saya sudah


melakukan pemesanan, tak perlu
bawa handphone untuk melakukan
lapor masuk dan lapor keluar di hotel.
Kami hanya menyiapkan KTP asli. Kami
sebenarnya sudah bersiap, jika di arsip
data pemesanan hotel belum muncul,
akan membuka surat elektronik di
komputer di area bisnis, yang biasanya
juga disediakan di banyak hotel.

Kedua, saat berkunjung ke pusat


keramaian di mana ada beberapa kondisi
yang membuat kami harus berpisah, itu
Catatan Penting Abah Ihsan

membuat peluang kami sulit bertemu lagi


karena tak membawa alat komunikasi.
Tapi itu pun sudah disiasati dengan
membuat simulasi terlebih dahulu
sebelumnya. Jika tercerai, menentukan
titik kumpul yang disepakati di pusat
keramaian tersebut. Dan nyatanya, lagi-
lagi setelah sempat terpisah, karena
sudah menyepakati titik kumpul, ya kami
bisa berkumpul kembali.

Ketiga, bagaimana jika ada keadaan


darurat dengan keluarga atau pekerjaan,
kami tidak bisa menghubungi? Hanya
ini yang membuat kami benar-benar
berserah diri pada Yang Menciptakan
kami. Namanya musibah, keadaan
apapun saya rasa manusia tidak bisa
menghindari.

Bahkan dalam keseharian kita, banyak


tempat yang sebenarnya juga sulit
Catatan Penting Abah Ihsan

dihubungi. Ketika di pesawat, ketika di


daerah pedalaman, ketika ada di lantai
basement atau yang sederhana ketika
kita tidur dan lalu mematikan gadget kita.
Apakah kita akan disalahkan gara-gara
kita memutuskan dengan sadar atau tidak
sengaja karena keadaan tertentu, tidak
bisa dihubungi?

Ketiganya bukan kesulitan yang harus


ditakuti. Ketakutan terbesar bukan ketiga
hal itu, bagi sebagian orang, kesulitan
yang sebenarnya tidak membawa gadget
adalah TIDAK BISA REAL TIME PAMER di
media sosial. Hayo ngaku! Tapi jangan
khawatir, kita masih bisa pamer. Bawa
kamera mirrorless atau kamera lainnya,
dokumentasi masih bisa dijaga dan
pamer masih bisa dilakukan. Hanya
ditunda setelah menikmati liburan, baru
pamer.
Catatan Penting Abah Ihsan

Ah tidak praktis! Ribet amat mau liburan.


Lah siapa yang melarang bawa orang lain
gadget? Tidak ada. Itu urusan Anda.

Kalau mau mikir ribet, liburan itu sendiri


sebenarnya melibatkan banyak proses
ribet. Mulai melakukan perencanaan
perjalanan, pemesanan tiket pesawat,
hotel, mempersiapkan kendaraan dan
lain-lain. Jika tak mau ribet, ya jangan
liburan. Diam aja di rumah. Jika pun
liburan itu ribet, bukankah itu harga
yang harus dibayar demi pencapaian
yang diharapkan. Bergantung masing-
masing orang niat liburan. Mungkin ada
orang yang liburan niatnya bukan untuk
masuk “rest area” tapi untuk pamer atau
memindahkan pekerjaan, ya itu urusan
masing-masing.

Jika tidak bawa gadget, jika bosan


ngapain dong? Inilah penyakit manusia
Catatan Penting Abah Ihsan

milenial, ketergantungan tinggi dengan


gadget justru mematikan intuisi alamiah
manusia: kreativitas. Ini tak ada bedanya
dengan anak-anak zaman sekarang, yang
ketika nonton dibatasi, main gadget
dibatasi (dibatasi loh ya bukan dilarang
digunakan), sebagian mereka akan
berkata “terus hiburan aku apa?” Seolah
satu-satunya sumber hiburan itu terpaku
dengan gadget-gadget itu.

Kalau saya, liburan itu niatnya ingin


memutus seluruh rutinitas harian di
luar liburan. Kami justru ingin terhibur
dengan kegiatan lain di luar gadget. Kami,
saya dan keluarga, benar-benar fokus
menikmati setiap kegiatan yang kami
lakukan.

Berjalan kaki mengeliling kota, bersenda


gerau di taman, berenang di hotel,
beramai-ramai ke pusat keramaian atau
Catatan Penting Abah Ihsan

tempat belanja tanpa harus lirak-lirik


menengok layar handphone. Saat kami
lelah, tidur dan melahap buku. Mungkin
hanya dua kegiatan itulah: tidur dan baca
buku, yang benar-benar membuat kami
“tidak terhubung” satu sama lain. Dengan
tidak membawa gadget ke tempat liburan
kami benar-benar melakukan “disconnect
‘the world’ but fully connected with
family”.

Manusia yang bahagia jiwanya adalah


manusia yang terhubung dengan orang-
orang sekitarnya, termasuk keluarganya.
Sebaliknya, bibit dari semua keluarga
tidak harmonis adalah tidak adanya
keterhubungan. Bahasa umum kita
menyebutnya dengan “tidak ada
komunikasi”.

Orang-orang berbahaya di dunia


bukanlah orang yang banyak ngomong.
Catatan Penting Abah Ihsan

Periksalah, justru mereka yang menjadi


pelaku pembunuhan massal, mutilasi,
terorisme, bukan orang-orang yang
banyak berkomunikasi, tapi justru mereka
yang tidak atau sulit berkomunikasi dan
tak bersosialisasi dengan orang-orang di
sekitarnya. Bukankah “pekerjaan” orang
yang mengalami gangguan kejiwaan
banyak diam sebelumnya? Bukankah
“pekerjaan” para pelaku bunuh diri itu
banyak diam, sebelum bunuh diri?

Jika kita terhubung dengan anggota


keluarga, dengan fokus, kita memiliki
banyak peluang “gratis” tiap hari tujuan
dari semua liburan “refereshing”.
Dengan demikian, jika kita disiplin
mengurus keluarga kita dengan baik,
termasuk di dalamnya rajin memelihara
keterhubungan antar anggota keluarga,
keluarga seharusnya menjadi tempat
“rest area” kita tiap hari, setelah tekanan
Catatan Penting Abah Ihsan

banyak di luar rumah.

Jika demikian, maka seharusnya


tidak ada lagi istilah “back to reality”
yang diucapkan sebagian orang saat
pulang dari liburan. Sepertinya realitas
kehidupan benar-benar menyiksa
hidupnya. Mengapa “daily reality” harus
dihindari, jika sejatinya membahagiakan
hidup kita?

***

Pengalaman Parenting
di Jepang “Semua Atas Izin-MU”
-Oleh Siti Nurjanah-
(Peserta PSPA Abah Ihsan)

Namanya mom Siti Nurjanah, seingat


saya beliau mengikuti training saya di
Nagoya sekira tahun 2012. Sekarang
anaknya sudah ABG (remaja). Jika orang
Catatan Penting Abah Ihsan

tua kuat memengaruhi anak, insya Allah


anak pun kuat menghadapi lingkungan
yang mungkin “berbeda”. Beliau tinggal
di Jepang, tinggal sebagai minoritas.
Minoritas segala-galanya. Agamanya,
hijabnya, makanannya, pergaulannya
yang tidak selalu positif dan lain-lain.

Nah, kita di Indonesia, “minoritasnya”


hanya sedikit kok, hanya minoritas soal
gadget, minoritas soal akhlak mungkin.
Jadi semangat ya, jika lingkungan
luar buruk pun, andai kita masih
memengaruhi anak, insya Allah anak kita
akan hidup sesuai nilai-nilai yang kita
inginkan. (Abah Ihsan).

Untuk Ayah Bunda, berikut ini


pengalaman saya mendidik anak di
Jepang:

“Kami para guru menilai Sekolah


Catatan Penting Abah Ihsan

Menengah Pertama Shima ini menjadi


baik pamornya di mata masyarakat
adalah berkat kebaikan siswa-siswa kelas
3 yang lulus hari ini. Kami yakin mereka
yang sudah berada di sekolah ini selama
3 tahun, belajar ilmu akademik, belajar
bekerja sama, belajar saling memahami,
belajar mencapai tujuan dengan
kebersamaan, saling menyemangati …
akan menjadi bekal mereka meneruskan
kehidupan mereka di jenjang yang lebih
tinggi hingga dewasa menjadi bagian dari
masyarakat, bagian dari bangsa, melalui
berbagai ketinggian dinding penghalang
dengan penuh kegigihan, dan pantang
menyerah!”

Bertahun-tahun SMP Shima ini dikenal


dengan sekolah yang banyak ‘mendidik’
siswa-siswa berperangai ‘menyimpang’.
Banyak kejadian yang menyebabkan
sekolah terpaksa memulangkan siswa-
Catatan Penting Abah Ihsan

siswanya lebih cepat dari biasanya,


tidak jarang mobil patroli polisi masuk
ke komplek pelataran parkir sekolah,
dan berbagai macam kejadian lain. SMP
negeri di Jepang masih menggunakan
sistem rayon, sehingga siswa yang masuk
tidak pandang bulu, semua yang berada
dalam satu wilayah wajib masuk.

Adalah sesuatu keberkahan yang patut


disyukuri bagi saya ketika membesarkan
gadis remaja muslimah di negeri
minoritas yang sangat kondusif, dalam
membentuk karakter sejati seorang
muslimah itu sendiri.

Dimulai dari lingkungan sekolah yang


semua siswanya diacungkan jempol
karakter-karakter umumnya. Dilanjutkan
dengan kemudahan yang diberikan
pihak sekolah, mulai dari berkerudung,
rok panjang, waktu sholat, waktu puasa,
Catatan Penting Abah Ihsan

diizinkan tidak mengikuti pelajaran


renang, diizinkan menunaikan sholat
Jumat di masjid .... sampai membantu
mensosialisasikan rutinitas muslim
sehari-hari, termasuk bento makanan
halal untuk makan siang.

Dan yang terutama … adalah penerimaan


seluruh siswa seangkatan, juga
penghormatan adik-adik kelas di
bawahnya. Kakak (anak saya yang
sulung) pernah menjadi anggota dewan
perwakilanan siswa yang berada di atas
organisasi siswa (OSIS), menjadi ketua
angkatan selama 3 tahun, menjadi salah
satu pengurus OSIS.

Kakak juga pernah mendapatkan


penghargaan penulis huruf kanji terbaik
(shuji) seluruh kota Gifu disamping setiap
tahun tulisan kanji kakak selalu terpilih
menjadi perwakilan siswa SMP sekota
Catatan Penting Abah Ihsan

Gifu. Kakak juga ikut mengharumkan


nama SMP Shima dalam tim softball
terkuat di kota Gifu. Di mana selama ini
belum pernah didapat. Kakak pernah
ditunjuk sebagai wakil SMP Shima
mengikuti kontes pidato se kota Gifu.

Dan yang terspesial dari yang terutama


di atas adalah “Status Sebagai Remaja
Muslim”. Dengan berkerudung kakak
menunjukkan bagaimana layaknya
seorang remaja muslimah. Dengan
berkerudung, kakak menunjukkan bahwa
muslim bisa berprestasi di segala bidang
mengalahkan warga Jepang sendiri di
negeri mereka sendiri.

Dengan keyakinan seorang muslim,


dengan berkerudung, kakak menunjukkan
bahwa kakak bisa disukai teman-teman
seangkatan, bisa memimpin mereka,
dan mereka mematuhi semua instruksi
Catatan Penting Abah Ihsan

kakak. Dan yang mengharukan, selama


sepekan ini satu per satu teman-
teman perempuan kakak mengucapkan
“Nazhifah daisuki” (Suka banget,
Nazhifah).

Dengan berbagai perbedaan makan,


pakaian, warna kulit, kakak bisa
mengayomi, membimbing adik-adik
kelas dengan keteladanan salah satunya.
Barakallah kak!!

Semoga menjadikannya bertambah


banyak lagi amalan kebajikan yang bisa
kakak amalkan. Alhamdulillah, karena
kakak citra Islam menjadi harum. Karena
ridho Allah juga memilih kakak menjadi
duta-Nya sehingga Islam dikenal secara
baik, mudah beradaptasi, tidak seperti
yang diberitakan di masa media tentang
gosip “Islam sama dengan teroris”.
Catatan Penting Abah Ihsan

Semoga amanah dakwah ini tetap berada


di pundak kakak hingga akhir hayat
nanti. Amanah yang memudahkan kakak
dan keluarga kakak yang dibina kelak
memasuki Jannah-Nya. Aamiin yaa Rabb.

Itulah kesan dan doa saya bagi anak


kami. Semoga menjadi manfaat bagi yang
membaca, terima kasih.

***
Catatan Penting Abah Ihsan

Knowledge is Important,
but Character is More
(Perlunya Orangtua Mengajarkan
Mental Tangguh dibandingkan Hanya
Mengejar Gelar Pendidikan)

-Oleh Prof Dermawan Wibisono-


(TI 84, dosen SBM ITB)

Bagi Abah Ihsan, membentuk karakter


sejak usia dini diperlukan oleh anak.
Namun, tidak semua orang tua paham
pentingnya hal ini. Yuk, Parents … kita
simak uraian menarik dari pak dosen ITB
di bawah ini.

Ini pengalaman saat mendapat beasiswa


ke Australia 1995. Mahasiswa Indonesia
sempat diinapkan 3 malam di rumah
penduduk di suatu perkampungan untuk
meredam shock culture yang dihadapi.
Catatan Penting Abah Ihsan

Saya bersama dengan kawan dari


Thailand menginap di Balarat, di
peternakan seorang Ausie yang tinggal
suami istri bersama dengan anak
tunggalnya. Luas peternakannya kira-
kira sekecamatan Arcamanik, dengan
jumlah sapi dan dombanya, ratusan, yang
pemliknya sendiri tak tahu secara pasti,
karena tak pernah menghitungnya dan
sulit memastikannya dengan eksak.

Suatu sore saya terlibat perbincangan


dengan anak tunggalnya di pelataran
rumah di musim panas yang panjang,
di bulan Januari 1995. Aussie: “Why so
many people from your country take a
PhD and Master degree here?” Terjemah:
“Kenapa banyak orang dari negaramu
yang mengambil PhD (S3) dan master
(S2) di sini?”

Saya: “Why not? Your country give a


Catatan Penting Abah Ihsan

grant, not loan, for us? So, it is golden


opportunity for us to get higher degree.
Why you just finish your education at
Diploma level, even it is free for Aussie to
take higher degree? Terjemah: “Kenapa
tidak? Negaramu memberikan beasiswa,
bukan pinjaman, untuk kami? Jadi, ini
adalah kesempatan emas untuk meraih
gelar akademik lebih tinggi. Kenapa
kamu hanya menamatkan pendidikan di
tingkat diploma (D3), padahal bukannya
biayanya gratis bagi penduduk Australia
untuk meraih tingkat akademik di
atasnya?”

Aussie: “ I don’t need that degree, my


goal is just to get a skill how to make our
business broader. Now, I am starting my
own business in textile and convection,
so I just need the technique to produce it,
not to get any rubbish degree.” Terjemah:
“Saya tidak butuh gelar itu. Tujuan
Catatan Penting Abah Ihsan

saya bersekolah hanya mendapatkan


keahlian cara membuat bisnis ini semakin
berkembang. Sekarang, saya memulai
bisnis sendiri di bidang tekstil dan
konveksi. Saya cuma butuh teknik untuk
memproduksi hal itu, bukan untuk meraih
gelar yang tak terpakai.”

Dua puluh tahun kemudian saya


masih termenung, berusaha mencerna
fenomena yang terjadi di negeri ini.
Begitu banyak orang tergila-gila pada
gelar doktor, profesor, sama seperti tahun
1970-an ketika banyak orang tergila-gila
pada gelar ningrat RM, RP, GKRH.
Dan tentu orang yang berusaha
mendapatkan gelar itu tak terlalu paham
dengan substansi yang dikandung dalam
gelar yang diisandang. Pernah dengan
iseng kutanyakan kepada supervisorku di
Inggris sana, saat mengambil PhD: “Why
don’t you take a professor? (Kenapa Anda
Catatan Penting Abah Ihsan

tidak mengambil gelar profesor?” tanya


saya lugu kepada supervisorku yanng
belum professor, padahal Doktornya
cumlaude dan sudah membimbing 10
doktor baru.

Dengan serta merta ditariknya tangan


kanan saya. Ditatapnya mata saya
tajam-tajam. “Look,” katanya dengan
muka serius: “ ..Professor is not a
status symbol or level in expertise, but
professor is mentality, is a spirit, is a way
of life, is a wisdom, so get it, is just the
matter of time if you have ready for all
requirements... But have you ready with
the consequence of it?”

Terjemah: “Gelar profesor bukan simbol


status atau tingkat keahlian, tapi adalah
gelar mental, sebagai spirit, sebagai
panduan hidup, sebagai kebijaksanaan,
jadi raihlah itu. Hanya soal waktu jika
Catatan Penting Abah Ihsan

kau telah memenuhi semua syaratnya.


Tapi, apakah kamu sudah siap dengan
konsekuensinya?”

Dan gelar profesor saya raih lebih


cepat. Motivasinya saya dapatkan dari
pembimbing saya yang arif dan bijaksana
itu.

Merenungi dua kejadian itu, semakin saya


sadari, bahwa Indonesia memiliki segala
sumber daya untuk maju, tapi mentality-
lah yang menjadi kendala utama.

Ilmu sosial dan karakter sosial menjadi


hal terpenting dalam studi yang harus
dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kemampuan IQ, EQ dan SQ
yang tinggi. Dan celakanya, sudah lama
kadung diyakini di sini bahwa ilmu
eksakta lebih sulit dari pada non eksak.
Dan persyaratan masuk jurusan non
Catatan Penting Abah Ihsan

eksakta yang di Australia butuh IELTS


7.5 dibandingkan dengan engineering
yang hanya butuh 6.0, berbanding
terbalik dengan yang diterapkan di sini.
Akibatnya, negara menjadi amburadul
karena yang banyak mengatur negara
dan pemerintahan bukanlah orang yang
memilki kemampuan untuk itu.

Dari mana mesti mulai membenahi hal


ini?

Pendidikan dasar dan Pendidikan Tinggi.


Seperti Finlandia yang pendidikannya
termasuk terbaik di dunia. Guru-guru
di sana merupakan profesi terhormat
dengan pemenuhan kebutuhan diri yang
mencukupi. Jadi guru didapatkan dari the
best of class dari tingkat pendidikan yang
ditempuh. Sehingga penduduk Finlandia
sudah hampir 100% memiliki degree
Master. Bukan didapatkan dari pilihan
Catatan Penting Abah Ihsan

kedua, pilihan ketiga, atau daripada tidak


bekerja.

Melihat acara Kick Andy: Nelson Tansu


dan Basuki, sebagai tamu undangan,
adalah contoh konkrit, dua orang expert
Indonesia yang qualified yang bekerja
di negara USA dan Swedia, dan mereka
tergabung dalam 800 orang expert
Indonesia yang diakui di luar negeri dan
bekerja di luar negeri. Artinya Indonesia
bisa, Indonesia memiliki kemampuan.
Yang menjadi masalah adalah how to
manage them in Indonesia environment?
How we arrange them, how to make
synergy between government, industry,
university to bring Indonesia together to
be world class?

Melihat manajemen pemerintahan yang


amburadul? Tidak usah susah-susah
menganalisis dengan integral lipat tiga
Catatan Penting Abah Ihsan

segala. Lihat saja satu spek sederhana:


gaji Presiden yang 62.5 juta dan gaji
menteri yang 32.5 juta dibandingkan
dengan gaji direktur BUMN dan lembaga
keuangan yang mencapai lebih dari 100
juta per bulan. Itu sudah kasat mata,
bahwa menentukan gaji saja sudah tidak
memperhatikan: range of responsibility,
authority, impact to the Indonesia society,
dan sebagainya, apalagi menentukan
yang lain. Semua asal copy paste dari luar
tanpa melihat esensi yang dikandungnya.

Aku termenung, mengingat pembicaranku


dengan ayahanda saat kelulusanku
dulu 26 tahun yang lalu. Kepada beliau
kuutarakan niatku untuk merantau ke luar
negeri, dan apa jawab beliau: “Tidak usah
pergi, kalau semua anak Indonesia yang
pintar ke luar negeri, siapa nanti yang
akan mendidik orang Indonesa sendiri?”
Catatan Penting Abah Ihsan

Kini aku tergulung dalam idealisme,


aktualisasi diri, dan kepatuhanku kepada
orang tua.

Hal yang paling kutakuti dalam hidup


adalah jika dipimpin oleh orang-
orang yang tidak sidiq, amanah, tabliq,
fathonah. Dan terutama dipimpin oleh
orang yang tidak lebih pandai, sehingga
semuanya jadi kacau. Dan kekacauan
terjadi di mana-mana, dalam berbagai
tingkat. Wallahu alam bisawab....

(Sebuah Renungan dan Kegusaran


seorang profesor ITB)

***
Catatan Penting Abah Ihsan

Mendidik Anak itu


Proses yang Panjang
-Catatan Parenting Bunda Yuli K.D.Anshori-

Parents, berikut ini catatan menarik dari


penggiat parenting dan alumni PSPA
Abah Ihsan bernama Bunda Yuli K.D
Anshori. Selamat menyimak, ya.

Tulisan ini, kembali me-reminder diri


untuk bersabar dalam proses dan terus
belajar membenahi diri sebagai orang
tua. Karena kadang, kita terlalu sombong
dan cepat puas dengan hasil. Padahal,
mengasuh dan mendidik anak itu,
sejatinya adalah proses panjang dan
lama.

Betapa banyak orang tua yang terlalu


banyak memasang target kepada anak,
tapi lupa membersamainya dengan cinta,
kasih sayang dan kehangatan. Anak sejak
Catatan Penting Abah Ihsan

dini digembleng dengan target hafalan,


keterampilan sholat, menutup aurat,
dan lain-lain. Tapi lupa bahwa mereka
adalah makhluk kecil yang butuh banyak
bermain dan bersosialisasi. Bahwa
mereka adalah makhluk kecil yang butuh
banyak diajak bercanda oleh ayah dan
ibunya.
Akhirnya, anak tumbuh menjadi pribadi
yang garing dan kaku. Di usia baligh-nya,
ia mengalami kebosanan yang dahsyat,
karena dahulu, orang tuanya hanya
mengajarkan keterampilan menghafal
Alquran dan keterampilan beribadah,
bukan pemahaman mengapa harus
menghafalkan Alquran dan mengapa
harus beribadah.

Saya pernah menemui kejadian luar


biasa yang membuat terhenyak: seorang
anak perempuan usia SMP, di saat dia
bermasalah di sekolah, dia pun mengadu
Catatan Penting Abah Ihsan

kepada Sang Guru, “Ibu, saya bosan


disuruh-suruh terus sama umi. Kadang,
saya pingin buka khimar dan jilbab saya.
Saya bosan pake ini, umi saya sudah
memakaikannya sejak saya bayi. Dan saya
ingin sesekali rambut saya tidak ditutupi
kain kerudung!”. Apa rasanya, jika yang
mengucapkan hal itu anak kita yg sudah
menginjak baligh? Tentu sediiih.

Saya juga pernah menemukan seseorang


yang hafiz Alquran, namun akhlak
dan kepribadiannya sangat jauh dari
Islam. Sejak balita mungkin ia sudah
menghafal Alquran. Namun, kering dari
kasih sayang. Lalu, apa kemudian yang
terjadi padanya? Ia tumbuh menjadi anak
pembangkang dan senang bermaksiat.
Seolah tak ada Alquran yang tersisa pada
dirinya. Na’udzubillah.

Bahkan ada seorang muslimah hafiz


Catatan Penting Abah Ihsan

Alquran yang di ujung cerita, ia memilih


jalan sebagai pelacur. Atau seorang hafiz
Alquran yang melecehkan anak didiknya
di kelas tahfiz yang ia kelola. Ini semua
kenyataan yang saya temukan, bukan
dongeng lo, ya.

Pertanyaannya, bagaimana dulu mereka-


mereka ini dipersiapkan oleh orang
tuanya? Hingga ayat-ayat Alquran
yang melekat pada dirinya, tak mampu
membendung syahwatnya??

Kalo kata Abah Ihsan, mendidik dan


mengarahkan anak-anak kita bukan
soal seberapa banyak kita mengajarkan
KETERAMPILAN IBADAH kepada mereka.
Akan tetapi, bagaimana kita memberikan
hak-hak mereka dengan ahsan, sekaligus
menginstall pemahaman-pemahaman
Islam kepada mereka sesuai dengan
usianya.
Catatan Penting Abah Ihsan

Jadi, jangan jemawa jika anak sudah rajin


sholat di usianya yang masih 5 tahun.
Kenapa? Karena Rasulullah saw saja
memerintahkan kita mengajarkan sholat
kepada anak di usianya yang 7 tahun.
Usia sebelumnya baru menumbuhkan
kecintaan dan pembiasaan-pembiasaan.

Jangan dulu merasa puas jika anak di


usia dininya sudah hafal puluhan juz ayat
Alquran. Hal itu karena sejatinya orang
tua harus juga bisa memastikan Alquran
itu melekat di hatinya, menjadi landasan
pemahamannya hingga akhir hayatnya.
Please … jangan terbalik ya, misal yang
sering terjadi sekarang: anak disuruh ke
masjid sejak dini. Usia SD masih rajin,
eh pas SMP hilang jejaknya di masjid.
Anak hafal Alquran 30 juz usia dini, eh
di masa dewasanya dia ahli dugem.
Astaghfirullah!
Catatan Penting Abah Ihsan

Sudah semestinya setiap orang tua,


mempersiapkan diri berlelah-lelah
sepanjang masa untuk membersamai
anak. Jangan pernah bosan menjalin
hubungan terbaik dan terindah dengan
anak. Karena, sangat mudah mengajarkan
kebaikan, tapi fatal akibatnya jika tidak
meninggalkan kesan yang indah.

Yuk, terus berikhtiar memantaskan diri


menjadi orang tua shalih. Hadiri majelis-
majelis ilmu. Dan berkumpullah dengan
orang-orang yang mau belajar. (Dari yang
masih fakir ilmu ~ Yulikade_)

***
Catatan Penting Abah Ihsan

Puasa Game plus Hape Bagi


Pasutri, Mengapa Tidak?
-Catatan Ringan dari Setyo Dwi-

Kalau anak memiliki teman bermasalah,


maka kita akan berusaha kuat untuk
‘menjauhkan’ teman tersebut dari anak
kita. Kalau anak kita berpotensi alergi
terhadap salah satu jenis makanan, maka
kita sebagai orang tua akan ‘selektif’
memilih makanan apa saja yang dimakan,
serta menjalani proses terapinya.
Lalu, jika disepakati bahwa ‘game dan
medsos alias media sosial’ adalah sumber
masalah dan menjadi ketergantungan
pada HP atau ponsel. Kemudian apa yang
seharusnya sudah kita lakukan?

Berbekal egoisme orang tua, dengan


seribu pembenaran akhirnya sederet
alasan dan dalil dikemukakan, untuk
tetap mempertahankan game dan
Catatan Penting Abah Ihsan

medsos tersebut. Padahal ini yang jelas-


jelas menjadi awal malapetaka.

Ketika anak diam-diam tetap bermain


dengan teman yang bermasalah, kita
marah. Ketika anak makan makanan
pantangannya secara diam-diam, lalu
orang tua murka.

Sementara kemudian sebagian orang tua


bermesraan dengan ponsel, saat anak-
anak sudah terlelap. Adakah bedanya?

Kenapa sih ada orang yang suka jajan?


Karena mulut dan lambungnya belum
terpuaskan. Jika sudah puas, maka
jajanan tidak lagi menarik baginya.

Kenapa ada keluarga yang senang


menghabiskan waktu dan hangout di
mall saja? Karena berada di rumah hanya
membuat mereka jenuh.
Catatan Penting Abah Ihsan

Kenapa ada lelaki yang senang mampir ke


kafe sepulang kerja atau touring di saat
weekend? Karena keluarga tidak mampu
menenangkan emosinya.

Kenapa ada istri yang mencari perhatian


dari telinga lain untuk mendengarkan
isi hatinya? Karena pasangannya alias
sang suami tidak mampu menjalankan
fungsinya.

Jadi, kenapa ada yang masih bergantung


pada game dan medsos? Karena ada
afeksi (perhatian) yang kurang didapat
atau diapresiasi oleh pasangan dan
keluarganya. Karena ada kebutuhan
bicara dan mendengar yang belum
tersalurkan. Karena ada ada ego
dan emosi yang tertahan, dan perlu
mahluk virtual bernama game untuk
melampiaskannya. Karena … karena …
karena….
Catatan Penting Abah Ihsan

Kalau pasangan mampu memenuhi itu


semua, yakinlah bahwa medsos tidak lagi
menarik. Jika tantangan di dunia nyata
sudah demikian dahsyat dan membuat
adrenalin bergejolak, tidak perlu lagi
mencari pelarian semu pada dunia
virtual. Bukan begitu?!

***

Penduduknya Mayoritas
Muslim, Tapi Korupsi?
-Oleh Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari-

“Tidak semua orang tua yang tak ikut


pelatihan dan tak mengikuti teori
parenting berarti orang tua yang buruk
pada anaknya. Sebaliknya, tidak semua
orang tua yang baik dan sukses mendidik,
dia mengikuti teori dan pelatihan
parenting. Pun tidak semua orang tua
Catatan Penting Abah Ihsan

yang mengikuti pelatihan dan teori-teori


parenting, sukses mendidik anak dan
tidak bisa dipastikan tidak buruk sama
anak.”
Terkesan benar, tapi menyesatkan. Jadi
kesimpulannya: tidak penting belajar?
Semoga itu bukan maksudnya.

Orang yang mau belajar, semoga tidak


merendahkan yang tak mau belajar.
Namun, mereka yang tak mau belajar,
janganlah melemahkan semangat orang
yang mau belajar.

Statemen pada paragraf awal di atas, jika


tidak disertai penjelasan lengkap, bisa
kemana-mana lo!

Basis pemikiran atheis juga sama, “Nah,


yang gak beragama juga banyak kok yang
perilakunya baik. Dan yang beragama
banyak juga yang tidak baik. Itu Jepang
Catatan Penting Abah Ihsan

maju, padahal tidak bawa-bawa (atheis)


agama. Itu Amerika Serikat maju, karena
membangun negara tanpa bawa agama.

Statemen itu terkesan benar. Tapi,


coba cek secara menyeleluruh. Tingkat
pembunuhan di AS dan di Arab Saudi
tinggi mana? Tingkat bunuh diri di Jepang
dan Indonesia, banyak mana?

“Indonesia engak maju, banyak korupsi,


padahal mayoritas muslim.”

Saya tanggapi ya: Pertama, kalau bukan


mayoritas muslim, pasti lebih ngaco
lagi. Jangan bandingkan Indonesia
dengan Jepang dong ah, wong tingkat
pendidikannya aja beda. Tapi, bandingkan
Indonesia dengan Brasil, India, silakan
cek, kriminalitas dan keteraturan hidup di
sana dengan di sini.
Catatan Penting Abah Ihsan

Kedua: meski mayoritas muslim, hukum


yang dipakai di negeri ini hukum islam
bukan, ya? Kenapa lalu menuduh status
kemuslimannya?

Inilah akibat menerima informasi


sepotong-sepotong. Seperti juga halnya
soal ilmu parenting.

Kenapa belajar parenting di luar sana


kadang malah pusing?
Karena belajarnya parenting di luar sana
umumnya:

1. Sepotong-sepotong
2. Tidak kontinu
3. Tidak terstruktur

Maka harus semangat terus belajar. Dan


yang belum ada kesempatan belajar,
janganlah mematahkan semangat yang
Catatan Penting Abah Ihsan

mau belajar. Belajar adalah ikhtiar untuk


mendapatkan ilmu. Demi Allah! Ada
perbedaan orang yang belajar dengan
yang tidak.

Allah berfirman,

“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah


sama orang-orang yang mengetahui dan
orang-orang yang tidak mengetahui.
Sesungguhnya orang yang berakal
sehatlah yang dapat menerima
pelajaran.” (QS. Az Zumar: 9)

Apakah salah orang yang mau belajar


untuk mendidik anaknya?

Namun, tidak ada jaminan bahwa


seseorang yang sudah belajar pasti
sukses dan berhasil. Tapi manusia hanya
ditugaskan berikhtiar, bukan? Ingat ya,
Catatan Penting Abah Ihsan

Allah hanyalah menghisab ikhtiar kita,


bukan hasilnya.

“Allah tidak membebani seseorang,


kecuali sesuai dengan batas
kemampuannya. Baginya ganjaran
untuk apa yang diusahakannya, dan ia
akan mendapat siksaan untuk apa yang
diusahakannya.” (QS Al-Baqarah 286)

Jika tak mau belajar? Ya, tidak apa. Tapi,


jangan merendahkan orang yang mau
belajar dan juga sebaliknya.

Jika engkau tak mampu menahan


lelahnya belajar, Maka kau harus sanggup
menahan perihnya kebodohan. (Imam
Syafi’i Rahimahullah)

Semoga dapat manjadi motivasi untuk


kita semua. Meski benar semua ilmu
Catatan Penting Abah Ihsan

tidak mudah dipraktikkan, hanya saja


statement seperti kalimat itu bikin
ngeper yang mau belajar. Akhirnya
merasa percuma.

Sesungguhnya kalau ada orang tua


enggak belajar sama siapapun, tapi tidak
zalim sama anaknya, berarti dia sudah
mempraktikkan “teori” (ilmu) parenting
itu sendiri.

***

Motivasi Parenting:
Pentingnya Mengurus
Ruhiyah Anak
-Oleh Abah Ihsan-

Anak kita lebih duluan kenal kita, orang


tuanya atau lingkungan pergaulannya?
Anak kita lebih lama hidup dengan
kita, orang tuanya atau lingkungan
Catatan Penting Abah Ihsan

pergaulannya? Jawabannya jelas:


orang tua. Jadi, mengapa menyalahkan
lingkungan pergaulan anak atas perilaku
anak yang tidak kita harapkan?

Jika ada anak terpengaruh teman-


temannya, sudah jelas, mereka tidak
mendapatkan banyak pengaruh dari
orang tuanya. Mungkin orang tua sudah
berusaha mempengaruhi, tapi karena
mengasuh anak seadanya (tanpa ilmu)
maka akhirnya yang sampai kepada anak
pun seadanya.

Akibat tidak sampai pengaruh itu kepada


anak, wajar anak-anak ini akhirnya lebih
banyak terpengaruh teman-temannya
dibandingkan orang tuanya.

Padahal, andaikan semua anak menerima


cinta orang tua, maka kecil kemungkinan
bagi anak untuk tidak menjadikan orang
Catatan Penting Abah Ihsan

tua sebagai sumber referensi kehidupan


tepercaya.

Jika orang tua sudah memberikan cinta


pada anak dengan benar, seharusnya
semua anak yang menerima cinta orang
tuanya, akan kecewa jika membuat orang
tuanya kecewa, akan sedih jika membuat
orang tuanya sedih.

Bayangkan kita bersahabat dengan


seseorang. Katakanlah nama sahabat kita:
Fulan. Kita sangat akrab dengan Fulan.
Sering curhat bareng, ngobrol, bercanda.
Apa yang kita rasakan jika suatu hari,
secara tidak sengaja, mengecewakan
Fulan? Bukankah kita dalam hati juga
merasa kecewa? Bukankah kita akan
merasa sedih jika tak sengaja, apalagi
sengaja, membuat dia sedih?

Jadi, jika ada anak-anak setelah dewasa


Catatan Penting Abah Ihsan

terlalu sering menyusahkan hidup orang


tua, mengecewakan orang tua, membuat
sedih orang tua, bahkan berani menyakiti
orang tuanya, tandanya apa? Sungguh
mereka tidak menerima cinta kita.

Memberi cinta pada anak berarti


memberikan tidak hanya KASIH tapi juga
SAYANG (pelajari tentang apa bedanya
orang tua pengasih dan penyayang link
YouTube Abah Ihsan: https://youtu.be/
IOYz5WY_sLU). Memberi cinta pada anak
berarti tidak sekadar mengurus fisiknya,
tapi juga jiwanya.

Seseorang di sesi konseling saat


mengadukan anaknya bermasalah, lalu
saya ungkapkan soal di atas, dia segera
membantah, “saya kerja untuk anak, saya
masakin anak, saya pulang kerja mandiin
mereka, ngasih makan mereka, beliin
baju dan mainan mereka, bukankah saya
Catatan Penting Abah Ihsan

sudah memberikan cinta?”

Lalu, ibu ini sesegukan menangis, ketika


saya katakan bahwa memberikan cinta
pada anak juga berarti ngurus “ruhiyah”
atau hati anak, bukan hanya fisiknya.

Mengurus hati anak berarti kita benar-


benar menyediakan waktu BERSAMA
mereka untuk menginstall nilai-nilai
kebaikan kepada mereka, menyediakan
majelis ilmu di rumah, membuat halaqoh
ilmu dengan mereka. Program 1821
adalah ikhtiarnya (yang belum tahu 1821
yang saya gagas buka di sini ya: https://
youtu.be/8JIsZwnRKgI).

Andai saja setiap hari orang tua mau


menyediakan waktu untuk anak 3 jam
saja bersama mereka untuk 1821 atau
menyediakan majelis ilmu di rumah
dengan anak, insya Allah seharusnya
Catatan Penting Abah Ihsan

semua anak akan benar-benar keurus


ruhiyahnya.

Ini minimal, apalagi lebih dari itu. Ingat


ya bersama anak, bukan di dekat anak.
Bersama anak itu berarti benar-benar
fokus, tidak disambi dengan mengerjakan
urusan domestik, pekerjaan kantor, ber-
medsos, ber-gadget dan gangguan “pihak
ketiga” lainnya.

Insya Allah, semua anak yang diurus


ruhiyahnya, anak-anak itu semuanya
mencintai orang tuanya kok.

Seorang guru melaporkan kepada saya


dengan penuh haru, bahwa seorang
murid menulis ini saat ditanya pekerjaan
orang tuanya. Ini kira-kira bunyinya:

“Abahku (panggilan anak ini untuk


ayahnya) bekerja demi keluargaku. Aku
Catatan Penting Abah Ihsan

sangat bersyukur mempunyai abah


seperti sekarang. Dulu abahku tidak
seperti aku, kalau minta apa-apa harus
jualan dulu, membantu di rumah orang
kaya. Aku bangga dengan abahku, dia
selalu menemaniku setiap malam. Ia
tak pernah merasa lelah di depan kami,
tetapi hatinya lelah.”

“Aku sangat senang mempunyai abah,


dia yang mengingatkanku selain umi.
Dia hebat bekerja, tidak pernah malas.
Dia sangat baik, bekerja seminggu 2 kali,
Sabtu-Ahad. Aku juga bersyukur pada
Allah telah mencukupkan keluargaku.”

“Aku akan membahagiakan Abah dan


Umiku. Aku akan berusaha untuk
membuat mereka bahagia, hanya dengan
senyumannya aku sudah bahagia.
Terimakasih ya Rabbi, Kau telah berikan
abah seperti abahku yang sangat hebat.
Catatan Penting Abah Ihsan

Terimakasih telah menafkahi keluarga,


aku akan berusaha sekuat tenaga untuk
membahagiakan engkau.”

Bukan hanya anak ini, bagi saya, semua


anak bahkan jika mereka ditanya, apakah
mereka mencintai orang tuanya?

Jika orang tua sering menghabiskan


waktu bersama anak, sering mengisi
ruhiyahnya, sering ngobrol dengan
mereka dan seterusnya, jika mereka
diberikan kesempatan meluahkan
perasaan, termasuk tulisan, insya Allah
mereka akan menuliskan perasaan yang
sama bahwa mereka mencintai orang
tuanya.

Jika itu terjadi, maka saya ucapkan,


selamat. Anda sudah jadi orang tua
BETULAN. insya Allah!

***
Catatan Penting Abah Ihsan

Sekilas tentang Abah Ihsan

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari atau dikenal


juga sebagai Abah Ihsan oleh puluhan
ribu alumninya merupakan Penggagas
Gerakan 1821 (Kumpul bersama
Keluarga pukul 18.00 – 21.00) yang telah
dirasakan manfaatnya di seluruh penjuru
Indonesia, penulis 5 Buku Best Seller
bertema Pengasuhan atau Pendidikan
Anak, serta Direktur dari Auladi Parenting
School.

Apakah Ayah Bunda Merasa Butuh


Belajar Parenting?

Zaman berubah dengan tantangannya


masing-masing seperti LGBT, narkoba,
perundungan (bullying), dan banyak lagi.
Anak-anak pun kelak tumbuh besar lalu
hidup di dalam zamannya. Orang tua
mana yang tidak ingin memberikan yang
Catatan Penting Abah Ihsan

terbaik bagi buah hatinya? Berharap agar


sang anak kelak tumbuh menjadi pribadi
soleh/solehah yang bermanfaat bagi
sesama dengan akhlak yang baik.
Orang tua sebagai generasi berbeda
dengan buah hatinya perlu terus belajar
parenting kekinian. Bagaimana caranya?
Mudah sekali!

Sekarang ada solusi terbaik untuk para


orang tua milenial yang sibuk dan
memiliki waktu terbatas. E-learning
bagi keluarga Indonesia ini diproduksi
oleh PT. Sygma Media Inovasi bersama
praktisi parenting Abah Ihsan. Cukup
dengan login ID dan akses dari gadget,
Ayah Bunda sudah bisa belajar parenting
melalui e-book dan video berbagai tema.

Untuk Informasi lebih lanjut Silakan


akses:
Catatan Penting Abah Ihsan

Website:
www.parentingacademy.id

whatsapp:
0821-1542-7377

Instagram:
www.instagram.com/parenting_
academy/

Facebook:
https://www.facebook.com/
parentingacademyid/

~ Karena Bahagia Bermula Dari Keluarga ~


Catatan Penting Abah Ihsan

Testimoni dari Member


Parenting Academy

Bunda Henny Kurniasih (40 tahun


lebih 4 bulan, ibu dari dua orang anak)
“Kalau untuk audio visual akses ke
Parenting Academy sudah oke. Kalau
dari segi ilmu sangat membantu sekali
pas lagi down tinggal buka dan on lagi.
Intinya sangat membantu sekali, apalagi
buat saya yang sulit untuk akses kelas
Abah langsung.”
Catatan Penting Abah Ihsan

Anda mungkin juga menyukai