Anda di halaman 1dari 24

“Mentari Warna-Warni”

Prolog

Cahaya hangat mentari menyelinap melewati celah-celah jendela sebuah rumah kecil nan
berdebu. Perabot-perabot tua dan arsitekturnya menunjukkan umur bangunan ini yang sudah tak
muda lagi. Seorang wanita duduk di sebuah kursi kayu berukiran bunga pada sebuah ruang
tengah nan terlihat klasik. Tangannya membuka halaman demi halaman sebuah album tua
berwarna jingga yang sebagian halamannya sudah kotor termakan usia. Suara musik klasik jawa
mengalun lirih ke penjuru ruangan. Lalu, sejenak hening. Wanita itu tersenyum kecil.
Memulai monolog.

Wanita : (Menengok ke samping, seolah-olah sedang menatap


jendela) Mentari. (Menghela napas lalu sejenak berhenti) Tiap kali sang surya muncul dari timur
sisi jendelaku, (Mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah jendela) anganku teringat pada
sebuah kisah lama. (Menengok ke arah penonton) Kisah yang memicu prihatin, kisah yang tak
habisnya buat rasa bersalah, dan buat kian banyak sesalan. Suatu kisah yang aku sendiri tidak
mengerti mengapa Tuhan sampai menghadirkannya di dunia nyata. (Wanita itu menutup album
jingganya kemudian berdiri dari kursi) Aku? Aku tidaklah lebih dari sebuah ujung kuku pada
bagian kisah itu, aku hanyalah debu kecil yang terbang pada setiap alurnya tanpa berani melakukan
apapun. Bodoh. Ya, aku memang bodoh. (Berhenti sejenak) Biar aku ceritakan kepadamu.
Kesalahan yang kubuat bertahun-tahun yang lalu, kesalahan besar dimana aku tidak peduli pada
sosok Mentari.

Suasana hening, lampunya meredup. suara musik Jawa kembali mengalun. Narator
mematung. Tirai tidak tertutup, adegan berlanjut ke babak 1.

Babak 1

Panggung diatur layaknya ruang kelas pada bagian sebelah kiri, 4 kursi dan 4 meja
disusun miring dan agak menyerong untuk menghindari pemblokingan. Terlihat 4 siswa
perempuan sedang bergerombol di deretan kedua, dua diantaranya duduk di kursi. Satu siswa
laki-laki lainnya duduk di salah satu kursi di deretan terdepan membaca sebuah buku. Lampu
tidak menyorot area kelas.

Suara wanita bersenandung terdengar dari arah panggung sebelah kanan, seorang gadis
dengan seragam putih abu-abu lengkap dengan tas ransel berwarna merah muda berjalan dengan
senyum dan semangat yang tulus melewati narator yang telah mematung berdiri di tempatnya.
Tangannya memegang sebuah kotak makan dan tempat minum yang warnanya senada dengan
ransel. Tiba-tiba suara lantang dari luar panggung memanggil.

Reyhan : Mentari!

Gadis itu lantas menengok, Mentari menghentikan langkahnya. Seorang laki-laki datang
menghampiri mentari dengan terengah-engah. Lampu fokus menyorot kepada keduanya.

Mentari : Ayo, Rey!

Reyhan : Ayok! (Reyhan mengangguk) Ehh... Tunggu dulu. (Reyhan menutup matanya lalu
mengikuti asal bau sedap yang melewati hidungnya) Hhmm... Aku mencium bau pisang goreng
yang lezat. (Tangannya memegang kotak makan yang dibawa Mentari)

Mentari : Eiittss... Jangan dimakan dulu. Makanan ini kusiapkan untuk cemilan saat belajar
kelompok nanti. (Mendorong tangan Reyhan dari kotak makannya) Besok giliranmu yang
membawa cemilan, ya!

Reyhan : Loh, kok aku? Tidak, aku tidak akan membawa makanan apapun besok.

Mentari : Tidak bisa, besok adalah giliranmu. Jadi, kau harus membawa makanan!

Reyhan : Tidak, tidak bisa begitu. Aku mau meminta makanan darimu saja.

Mentari : Dasar laki-laki, tidak modal! Bawalah makanan besok! (Mulai gemas)

Reyhan : Tidak akan! (Mentari mulai gemas dan mereka mulai berdebat)

Lampu menyorot pada setting bagian kelas, kemudian suara riuh siswa yang berdebat
mulai terdengar. Mentari mulai celinggukan.

Siswa 1 : Nah, begini caranya! Kalikan dulu bagian yang dalam kurung.
(Meletakkan pena yang dipakainya menjelaskan di tengah-tengah kerumunan)
Siswa 2, Siswa 3 : Aaaaa... Iya iya. (Keduanya mengangguk)

Siswa 4 : Tidak! Bukan begitu caranya.

Siswa 2, Siswa 3 : Iya tidak begini, kau salah! (Bersahutan ke arah siswa 1, siswa 1 hanya
celingukan)

Siswa 4 : Benar sekali, jawabannya salah.

Siswa 1 : Ah sudahlah, kalian belajar saja sendiri! (Menggebrak meja dengan nada
bicara sedikit kesal)

Mentari tertarik dengan keributan para siswa di kelas, dia mengintip dari tempatnya
berdiri. Sedangkan Reyhan sudah melambaikan tangannya sedari tadi, dari tempat mereka
berdiri, sebagai tanda selamat tinggal, tidak tertarik untuk masuk.

Mentari : Ehhh... Tunggu disini sebentar ya, Han! (Memberikan isyarat kepada
Reyhan untuk tetap ditempat dengan tangannya kemudian lari menghampiri para siswa)

Mentari : Itu PR Fisika, ya?

Keempat siswa : Iya! (Menjawab secara bersamaan dengan wajah yang mulai kesal dan
risau)

Mentari : Materi yang minggu lalu itu, ya?

Siswa 2 : Benar! Yang sulit itu loh!

Siswa 3 : Yang penghitungannya panjang!

Siswa 4 : Aku tidak mengerti sama sekali saat guru menjelaskan di depan!

Siswa 1 : Benar! Sulit sekali!

Keempat siswa kemudian saling bersahut-sahutan dan heboh tentang PR Fisika yang
diberikan, Mentari hanya mendengarkan. Jovian yang duduk di barisan depan mulai terusik
dengan kebisingan siswi-siswi yang berada di belakangnya, dia menutup buku yang sedang dibaca
kemudian menggebrakkannya diatas meja. Jovian menengok.
Jovian : Woy! Berisik! Tidak bisakah kalian memelankan suara? (Berhenti bicara sejenak,
semua siswi diam) Nah benar, seperti itu. (Berbalik kedepan dan membuka kembali buku yang tadi
sudah ditutup kemudian menyilangkan kaki)

Siswa 3 : Dasar, mentang-mentang anak orang kaya, seenaknya saja bersikap! (Bersedekap
dan dengan nada bicara menyinggung)

Siswa 4 : Benar! Hei Jovian, kalau kamu ingin tempat yang tenang untuk membaca, lebih
baik pergi saja dari sini! (Berkacak pinggang)

Siswa 1 : Sudah-sudah, daripada meladeni anak itu, lebih baik kita mengerjakan PR Fisika
saja. Benar tidak?

Siswa 2 : Betul sekali! Mentari kemarilah, bantu kami mengerjakan soal yang nomor
3! (Berdiri dari kursinya dan mempersilahkan Mentari duduk)

Mentari : Oh ini, jadi begini caranya!

Lampu meredup di set kelas, suara kerumunan siswa juga semakin melembut dan lemah.
Fokus lampu sorot langsung ke arah Reyhan yang berdiri di tengah panggung. Suara dering
telepon genggam terdengar dari saku celananya. Reyhan merogoh saku celananya kemudian
mengambil sebuah telepon genggam hitam. Reyhan melihat layar, tertulis panggilan dari Paman
Dodi.

Reyhan : Loh, Paman Dodi? Kenapa pagi-pagi begini menelepon? Ah jangan-jangan, beliau
salah sambung. (Mengangkat telepon) Halo, assalamualaikum Paman Dodi. (Berhenti dan
mendengarkan) Oh Mentari, iya sekarang saya sedang bersama Mentari di sekolah,
Paman. (Berbicara dengan nada ceria) Oh... Ehmm... Saya tidak yakin, Paman. Mentari biasanya
tidak membawa telepon genggamnya ke sekolah. Tapi, saya bisa menyampaikan pesan paman
kepada Mentari jika pesan ini darurat. (Mendengarkan suara di telepon) Oh begitu, Paman.
Baiklah kalau begitu. Percayakan saja pada Reyhan, saya akan menyampaikannya.

Reyhan diam beberapa saat dan mendengarkan apa yang dikatakan Paman Dodi di
telepon, wajahnya berubah serius dan kemudian menampakkan ekspresi kaget.

Reyhan : Apa?! (Mondar-mandir dengan sebelah tangan mengepal, wajah terlihat panik
dan bingung, dia berhenti mondar-mandir sejenak. Wajahnya kembali cemas.) Baik, Paman. Akan
saya sampaikan kepada Mentari. (Mengangguk, memberi jeda pada setiap dialog) Iya, Paman.
Baiklah. Iya sama-sama, Paman. Waalaikumsalam.

Reyhan menutup telepon lalu memandang telepon yang ada di genggamannya sejenak.
Sorot lampu di area kelas terang kembali, suara debat para siswa mulai terdengar keras. Reyhan
kembali mondar-mandir dan meyakinkan diri. Lalu Reyhan lari menghampiri Mentari yang
sedang duduk asyik di area meja bersama teman-temannya dengan wajah cemas.

Reyhan : Mentari!

Mentari : Ya? (Menengok ke arah Reyhan sambil tersenyum, 4 siswa disana ikut menengok
dan mendengarkan dengan saksama)

Reyhan : (Menghela napas) Sepertinya kamu harus ke pengadilan negeri sekarang juga.
Ada sedikit masalah dengan saham Starlight Corp.

Jovian menengok, menampakkan wajah kaget. Mata Mentari masih menatap Reyhan, tapi
senyum Mentari telah menghilang. Mentari meletakkan tas dan semua barangnya lalu bergegas
berdiri dari kursi, matanya masih menatap Reyhan. Mentari sejenak membeku.

Mentari : Ayahku? (Wajah bertanya-tanya)

Reyhan mengangguk pelan. Keduanya lalu lari sampai keluar panggung. Jovian menutup
bukunya dan menaruhnya di atas meja kemudian bergegas lari mengikuti Mentari dan Reyhan
yang sudah duluan meninggalkan panggung. 4 siswa lain melihat heran sambil menatap satu sama
lain. Suasana hening, lampu meredup lalu mati. Tirai ditutup.

Babak 2

Pada babak ini panggung akan diubah menjadi tempat sidang dengan dua buah meja
hakim yang disusun di sebelah kanan, 2 kursi di bagian belakang menghadap penonton, dan 2
kursi lainnya disusun di tengah menghadap meja hakim. 2 hakim sudah duduk di kursinya, di
sebelah kiri hakim berdiri 2 polisi dengan gagah dan tegapnya. Seorang laki-laki dengan kemeja
rapi juga sudah duduk di tengah panggung menghadap meja hakim, seorang lainnya dengan jas
hitam rapi berdiri angkuh di depan penonton. Tirai dibuka. Lampu menyala. Laki-laki berjas itu
mulai bermonolog.

Alan Siregar : (Mengangkat tangan keatas) Jadi begitu, Pak Hakim! Saya sudah rugi besar. Uang
saya ludes dibawa lari. Uang perusahaan saya telah dikorupsi oleh manusia jahat bernama Agus
Sulistyo itu! (Menunjuk ke arah laki-laki yang duduk di tengah) Usaha saya jatuh hanya karena
ulahnya dan saya punya cukup bukti untuk membuktikannya!

Hakim 1 : Baik Pak, sudah cukup. Waktunya kita mendengarkan kesaksian dari terdakwa.

Alan Siregar : Saya ingin dia dihukum berat, Pak Hakim! Saya ingin dia membayar hutang-
hutangnya! (Nada bicara marah dan memaksa sambil menatap para hakim)

Hakim 2 : Iya Pak, kami mengerti. Lebih baik kita dengarkan... (Tiba-tiba berhenti
berbicara dan menatap ke arah pintu masuk)

Agus Sulistyo : (Menengok ke arah belakang) Mentari?

Mentari masuk panggung dari bagian belakang bersama Reyhan dengan napas terengah,
keduanya berdiri dan mematung. Semua orang di persidangan menengok. Sesaat kemudian,
datanglah Jovian. Mentari melihat kearah belakang dimana Jovian berdiri, sesaat kemudian dia
kembali menatap kedepan sambil celingak-celinguk.

Alan Siregar : Nah, saksi saya telah tiba. (Wajah sumringah) Saya menunjuk Mentari, anak dari
Agus Sulistyo untuk bersaksi atas kasus korupsi saham ini di depan sidang. (Menarik Mentari
secara paksa dan mengajaknya duduk di kursi depan di sebelah Agus Sulistyo)

Semua orang menatap ke arah Alan Siregar, tiba-tiba Jovian mengangkat tangannya.

Jovian : Interupsi tuan, tidakkah sebaiknya anda melakukan prosedurnya terlebih dahulu
sebelum memanggil seseorang sebagai saksi, apalagi saksi yang terpanggil masih tergolong siswa
dibawah umur?

Alan Siregar : Tidak perlu prosedur dalam kasus perusahaan besar seperti Starlight Corporation,
sebaiknya kau duduk saja dan mendengarkan dengan saksama, wahai anak muda. (Mendorong
bahu Jovian lalu kembali ke tempatnya.)

Hakim 1 : Iya, lebih baik kalian duduk dulu anak-anak.


Jovian mengepalkan tangannya, tapi dia tetap menahan tangan itu untuk tidak bertindak.
Jovian duduk di kursi yang telah disiapkan di belakang, Reyhan mengikuti langkah Jovian ikut
duduk di sebelahnya.

Hakim 2 : Mentari, bersaksilah atas kasus korupsi yang melibatkan Agus Sulistyo
dengan Starlight Corporation ini.

Hakim 1 : Tidak apa, Mentari. Katakanlah apa yang kau tau tentang pekerjaan ayahmu.

Mentari terus memasang wajah bingung, sejenak dia tak bisa menjawab.

Mentari : Aku... Aku... Aa... Aku... (Wajahnya menunduk ke bawah lalu melirik ke kanan
kiri)

Agus Sulistyo : Dia tidak tau apa-apa hakim. Anda telah membuang waktu untuk mendengarkan
kesaksian seorang anak pelacur seperti dia! (Tidak menengok ke arah Mentari sama sekali) Kasus
ini tidak jelas dan harus ditutup. Tuan Alan Siregar tidak mendatangkan saksi yang tepat.

Alan Siregar : Tidak hakim, Mentari adalah saksi yang yang tepat untuk...

Mentari : (Memotong pembicaraan) Kalau begitu, biarkan saya berbicara di depan


persidangan hakim! (Wajah kecewa dan mata berkaca-kaca)

Semua orang menengok, termasuk Agus Sulistyo yang duduk di sebelahnya.

Mentari : (Berbicara dengan nada bicara pelan sambil menengok ke wajah ayahnya) Saya
sudah mempercayai ayah selama ini, saya tidak percaya ayah akan mengatakan kata-kata itu
kepada saya. Ayah telah membuat saya kecewa.

Mentari : (Berbicara dengan lantang dan mulai bermonolog) Saya Mentari, bersaksi atas
kasus korupsi perusahaan Starlight Corporation. Agus Sulistyo, ayah saya, mengaku kepada saya
bahwa beliau menjalankan bisnisnya di luar kota sejak saya berumur 7 tahun. Beliau meninggalkan
rumah dan sulit dihubungi oleh keluarga. Beliau berjanji kepada saya untuk kembali dan
membelikan saya permen saat saya ulang tahun, tapi hari itu tidak pernah terjadi. (Berdiri dari
kursi dan bermonolog di depan) Saya hanya hidup bersama ibu dan simbok, pembantu kami. Kami
tidak pernah menerima uang sepeserpun dari ayah, sampai ibu akhirnya lelah berjualan dan
memutuskan untuk meninggalkan rumah, meninggalkan saya dan simbok sendirian karena sudah
tidak mampu lagi membiayai anaknya yang boros ini. Memilih untuk bekerja sebagai pelacur
dengan gaji besar dan singkat daripada mengelola warung nasi uduknya di rumah. (Air mata
mengalir) Saya cari ayah ke kota, tapi saat saya temui, beliau sedang mengerjakan tugasnya di
perusahaan. Saya ceritakan kepada dia soal ibu, lalu beliau hanya berkata 'Pulanglah! Ayah akan
sering-sering meneleponmu nanti!' Tetapi, sesering apapun ayah menelepon, dia tidak pernah
pulang ke rumah. Setiap bulannya ayah mengirimkan dana entah darimana asalnya ke rekening,
beliau kata 'Itu uang untuk kamu sekolah, Nak.' Simbok yang setiap bulannya mengelola uang itu,
dipakainya semua untuk kebutuhan sehari-hari. (Mundur ke kursi dan duduk kembali) Ku kira ayah
peduli, ku kira ayah pekerja keras yang kuat sampai dapat menyisihkan banyak tabungannya untuk
anak semata wayang. Aku sangat menghargai setiap dana dan usaha yang telah ayah berikan. Aku
sangat mempercayai ayah. Tetapi kali ini aku sangat kecewa kepada beliau. Jika terbukti beliau
melakukan korupsi atas perusahaan Starlight Corporation, biarkanlah persidangan yang
menentukan, saya serahkan semuanya kepada hakim. (Duduk tenang memandang kedepan tanpa
ekspresi)

Agus Sulistyo : Mentari! Ayah tidak bermaksud... (Tangannya hendak memegang bahu mentari,
tetapi Mentari memalingkan wajah)

Hakim 2 : Saudara Agus Sulistyo, apakah anda memiliki pembelaan atas pernyataan
ini? (Memotong pembicaraan Agus Sulistyo)

Agus Sulistyo : (Menengok ke arah Mentari) Saya telah memastikan diri bahwa saya terlibat
dalam kasus korupsi ini. Saya telah menggelapkan uang perusahaan.

Hakim 2 : Dengan pengakuan ini, saudara Agus Sulistyo, tervonis 15 tahun penjara dan
denda atau ganti rugi sebesar seratus juta rupiah atas kasus korupsi perusahaan Lightstar, dan
dengan ini saya menyatakan bahwa Alan Siregar memenangkan persidangan. Bawa Agus ke
tahanan! (Memukul palu)

Polisi langsung bertindak dan menarik Agus dari kursinya. Alan Siregar hanya tertawa.
Ketika polisi sedang menggenggam Agus dari kursinya, tiba-tiba dia mengangkat tangannya.

Agus : (Mengangkat tangan) Tunggu Pak Hakim, beri saya kesempatan untuk berbicara
sebentar dengan Mentari.
Alan Siregar : (Berdiri di antara Mentari dan Agus) Halah, untuk apa berbicara dengan Mentari,
Mentari tidak ingin berbicara denganmu! Dia sudah terlalu kecewa, kamu telah menjadi
percontohan yang buruk, mendekam saja lah kau di penjara! (Menjauhkan Mentari dari Agus, lalu
tertawa)

Agus Sulistyo : Tidak, tunggu, beri aku kesempatan tuan! (Sambil terus mencoba melepaskan diri
dari para polisi yang terus menyeret) Tuan Alan, biarkan saya bicara kepadanya! Beri saya waktu!
Mentari! Mentari!

Polisi terus menyeret Agus sampai ke luar panggung, namun Agus tetap meronta meminta
waktu untuk berbicara dengan anak semata wayangnya itu. Semua orang berdiri.

Alan Siregar : Pergilah! Dasar tikus berdasi!

Agus Sulistyo : Tunggu! Mentari! Ayah tidak bermaksud begitu! Dengarkan penjelasan ayah dulu,
nak! Mentari! Mentari!

Agus terus berteriak seiring dengan polisi menyeretnya ke luar panggung sampai suasana
hening tanpa teriakan lagi. Tetap terjadi percakapan sahut-sahutan antara Alan dengan Agus
yang saling menghina. Hakim menghampiri Alan Siregar dan berbincang sejenak, sementara
Mentari hanya diam menahan tangis. Reyhan datang menghampiri Mentari yang berdiri
mematung.

Reyhan : Mentari... (Berdiri dibelakang Mentari yang terisak)

Mentari tidak menengok ataupun menjawab, dia menangis lalu berlari keluar panggung.

Reyhan : Mentari! (Berteriak, lalu berlari menyusul Mentari keluar panggung)

Jovian mengulurkan tangannya kedepan seolah ingin mengejar Mentari juga, tapi dia
tidak beranjak. Dia diam sesaat, pandangannya mengarah ke Alan Siregar. Jovian mengepalkan
tangannya menahan amarah, tapi amarah tak bisa tertahan lagi. Dia berlari ke arah Alan.

Jovian : Cukup ayah, ini sudah keterlaluan! (Melempar dokumen di tangan Alan yang tadi
diberikan hakim)

Semua orang melihat ke arah Jovian, lampu fokus menyorot mereka lalu cahaya perlahan
meredup dan mati. Tirai mulai ditutup.
Babak 3

Babak ketiga diatur dengan latar belakang ruang kerja dan teras rumah. Panggung dibagi
menjadi dua bagian, sebelah kanan untuk ruang kerja dan sebelah kiri untuk teras rumah. 1 meja
kerja dan satu kursi disusun menghadap samping dengan dokumen-dokumen berantakan di meja.
Diatas meja juga terdapat sebuah leptop berdiri. Panggung sebelah kiri tertata sebuah kursi
panjang.

Awalnya lampu menyorot ke setting ruang kerja. Saat tirai terbuka, sudah ada Alan
Siregar yang mengenakan seragam kerja berdasi tengah membaca beberapa dokumen. Cahaya
menyorot ke bagian panggung sebelah kanan lalu adegan dimulai. Alan sedang duduk di kursi
kerjanya sambil menyeruput secangkir kopi panas yang manis. Tiba-tiba Jovian masuk ke ruang
kerja Alan dan berdiri di samping meja kerjanya.

Jovian : Ayah! (Nada suara biasa)

Sebelum Jovian sampai ke samping meja kerja Alan, Alan sudah memberikan isyarat
tangannya untuk menyuruh Jovian berhenti. Alan masih menyeruput cangkir kopinya.

Alan Siregar : Apa yang kau cari?

Jovian : Aku ingin bicara denganmu.

Alan Siregar : Soal sidang itu lagi?

Jovian : Kali ini aku akan menjaga emosiku.

Alan hanya diam. Tangannya menaruh cangkir kopi lalu memalingkan wajah.

Jovian : Kurasa ayah memenangkan sidang ini dengan cara yang tidak bijak.

Alan Siregar : Apa urusanmu? Kamu itu anak muda, tidak tau apa-apa soal bisnis!

Jovian : Aku mungkin bukan pebisnis yang hebat, tapi aku akan lulus kuliah hukum dan
mengerti bagaimana seharusnya hukum berjalan.

Alan Siregar : Halah, politik itu keras jadi jangan jadi orang suci. Kalah kamu! (Berjalan
menghampiri Jovian)
Jovian : Tapi apa yang ayah lakukan ini sudah keterlaluan, mengekspos anak dibawah
umur yang tidak tau apa-apa untuk membeberkan aib keluarga mereka?

Alan Siregar : Apa pedulimu? Dia hanya anak dari seorang koruptor dan pelacur. Yang penting,
aku mendapatkan kembali uang yang terkorupsi oleh ayah anak itu. Hanya karena dia teman
sekelasmu, tak sepatutnya kau terlalu peduli. (Tertawa sambil berjalan menjauh) Atau jangan-
jangan, kau telah jatuh cinta padanya?

Jovian : (Diam, tangannya mengepal) Aku tidak akan membiarkan ayah bertindak macam-
macam kepada wanita yang aku sendiri telah jatuh hati padanya.

Alan Siregar : (Tertawa keras lalu menghampiri Jovian) Ini masalah bisnis Jovian, bisnis tidak
memandang perasaan dan tidak memandang hati! Berpikirlah secara logis! Kamu harus
memperbaiki hati dan pikiranmu untuk sukses. (Sedikit mendorong kepala dan dada Jovian)

Lampu seluruhnya mati. Adegan selesai dan semua pemain mematung. Diputar rekaman
suara seorang wanita paruh baya yang menyanyi lagu jawa, lalu rekaman suara percakapan
Mentari dengan Simbok Uti diputar.

Simbok Uti menyanyi lagu, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar.

Mentari : Simbok! Mentari mau pergi mencari ibu. (Suara sedikit terisak)

Simbok Uti : Tapi Neng, Nyonya kan...

Mentari : Mentari mau mencari ibu, akan ku cari sampai ketemu.

Simbok Uti : Tapi Neng, Ibu... Ibu...

Mentari : Mentari tau, Mbok. Orang-orang sudah membicarakan ibu sejak lama! Simbok
tidak perlu menyembunyikan fakta, Mentari sudah tau kalau ibu selama ini melacur! (Suara piring
jatuh yang dilempar Mentari lalu suara tangis)

Simbok Uti : Neng Mentari! (Suara terisak)

Mentari : Akan ku suruh dia berhenti melacur, Mbok. Akan ku suruh dia pulang! (Terdengar
suara langkah kaki)

Simbok Uti : Jangan Neng, lingkungan tempat Nyonya tinggal itu jauh dan keras, jangan pergi!
Mentari : Mentari bisa pergi sendiri, Mbok. Sudah biar, lepaskan Mentari untuk pergi ke
sana! (Suara sedikit marah dan depresi, lalu terdengar lagi suara langkah kaki)

Simbok Uti : Tapi, Neng! Neng! Neng Mentari! (Suara keras memanggil)

Setelah rekaman suara selesai diputar, lampu menyala. Lampu menyorot ke arah
panggung sebelah kanan dengan sebuah kursi panjang tersusun tegak. Saat lampu menyala, Lulay
sedang duduk di kursi panjang dengan pakaian ketat dan rok mini berbicara dengan genit di
telepon. Mentari masuk ke panggung, dia menengok ke sekeliling mencari sesuatu masih dengan
seragam SMA-nya

"Iya mas, iya jadi itu biaya per malam, bukan per jam. Oh iya, saya bisa dijemput di
Kalijodo. Ahh... Tapi malam ini saya sudah ada pelanggan. Kalo untuk Minggu malam saya belum
ada kencan (Mentari mulai masuk panggung), saya bisa bekerja untuk Minggu malam. Biayanya
tunai dibayar malam itu juga setelah kencan. Iya... Iya mas... Pasti..."

Mentari mendengar pembicaraan Lulay di telepon, dia berhenti berjalan. Wajahnya mulai
sedih lagi. Suara teriak Mentari terdengar keras saat monolog Lulay selesai.

Mentari : Ibu! (Lari kearah Lulay sambil meneteskan air mata lalu melempar
telepon genggam yang sedang dibawa Ibunya)

Lulay Ardianti : Mentari, apa yang kamu lakukan di sini?

Mentari : Ibu, kenapa ibu masih melakukan pekerjaan ini? Hentikan, Bu!

Lulay Ardianti : Kenapa kamu kesini?! Sudah pulang saja sana! (Langsung bergegas
mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di lantai lalu berbalik dan berniat kabur)

Mentari : Ibu! (Menarik tangan Lulay) Ibu! (Terdorong ke belakang oleh Lulay)

Lulay Ardianti : Lepaskan! (Meronta dari genggaman Mentari)

Mentari : Ibu, ayah terlibat kasus korupsi dan sekarang dipenjara. Mentari sendiri,
Bu. Mentari sekarang sendiri. (Menangis)

Lulay Ardianti : Lalu kenapa? Sudah kuduga. Ayahmu itu orang yang berengsek, aku tidak
akan menemuinya lagi!
Mentari : Pulanglah Bu, berhentilah melacur! Berhentilah melakukan pekerjaan
kotor ini!

Lulay Ardianti : Dasar anak tidak tau diri, kau kira aku mau memiliki anak tidak berguna
seperti kau, bisanya cuma menghabiskan uang untuk sekolah saja. (Maju mendekati Mentari)
Lebih baik aku bekerja sendiri disini, menikmati uang.

Mentari : Ibu! Ibu masih tega? Dimana perikemanusiaan ini? Karena kasus itu rumah
akan disita, simbok juga akan pergi! Aku ini anakmu, Bu! Darah dagingmu!

Lulay Ardianti : Sudah... (Menjerit) Sudah sana pergi, kamu bukan anakku lagi! (Berbalik)

Mentari : (Mengejar Lulay) Ibu! Ibu!

Lulay Ardianti : Pergi! (Meronta dan mendorong Mentari sampai jatuh) Pulang
sana! (Meninggalkan panggung)

Mentari : Ibu! (Berdiri dan berniat mengejar Lulay, menangis) Mentari...


Mentari... (Terisak, kakinya sudah tidak kuat berdiri lalu mulai berlutut)

Mentari terduduk sambil menangis, tiba-tiba dia melihat sebuah pisau yang tergeletak di
lantai. Mentari merangkak dan meraih pisau itu, dia lihat pisaunya persis di depan mata,
tangannya memegang bilah dengan gemetar. Mentari lalu berdiri masih dengan wajah frustrasi.
Monolog pun dimulai.

"Buat apa aku hidup di dunia ini kalau hanya hidup sendiri? Buat apa pisau ini tergeletak
disitu, kalau bukan untuk aku bunuh diri? (Terisak ) Simbok, ibu, dan ayah sekarang sudah tidak
peduli kepada Mentari! Mentari sudah tidak punya siapa-siapa lagi! (Berteriak dan menangis
keras) Mentari anak tidak berguna dan tidak tau diri, Mentari... Mentari... Mentari sudah tidak
pantas lagi berdiri di dunia ini... Aaaaaa... (Berteriak dengan keras sambil mengarahkan pisau
ke perutnya)"

Sebelum pisau menembus tubuh Mentari, tiba-tiba Reyhan datang dari belakang dan
menahan pisau itu melukai sang wanita.
Reyhan : Mentari! (Menahan Mentari yang terus berteriak dan memberontak, setelah pisau
didapat, Reyhan langsung melemparkannya ke belakang) Mentari! Mentari! Sadar Mentari! Apa
yang telah kau lakukan? (Menggoyang-goyangkan bahu Mentari)

Mentari : Lepaskan, Rey! Mentari sudah tidak mau lagi bertemu denganmu!

Reyhan : Mentari mau bunuh diri, hah? Mentari mau mati?

Mentari : Ihhh... Diam Rey! (Memegang kedua telinganya lalu berjalan menjauh,
menangis)

Reyhan : Dimana Mentari yang dulu selalu ceria? Dimana Mentari yang semangatnya selalu
membara? Dimana Mentari kecil yang senyumnya selalu hangat dan tulus? Beginikah semuanya
akan berakhir? Aku mengenalmu sejak umur 4 tahun Mentari, kamu bukanlah orang yang mudah
menyerah seperti ini! Kamu Mentari yang berwarna-warni seperti apa kata orang-orang, bukan
yang redup seperti ini!

Mentari : Pergilah Rey, Mentari warna-warni umur 4 tahun sudah pergi, Mentari itu sudah
hilang. Mentari sudah waktunya untuk tenggelam. (Memalingkan wajah)

Reyhan : Kamu mau bunuh diri? Lihat! Tanganmu terluka. (Memegang tangan Mentari
yang berdarah) Luka kecil saja sakit, kamu masih mau menusukkan pisau itu ke perutmu? Kamu
sudah siap sakit, hah?

Mentari : (Menarik tangannya) Diam Rey! (Membalikkan badan)

Reyhan : (Kembali membalikkan bahu Mentari) Menurutmu kenapa ayah dan kakekmu
memberimu julukan warna-warni? Karena kamu selalu ceria dan bersemangat, kamu tidak pernah
putus asa! Sekali waktu kamu bisa menangis dan tertawa, membawa senyum untuk orang-orang
di sekitarmu! Dan sekarang kamu mau menghilangkan warna-warni itu?

Mentari : Mereka memanggilku begitu karena aku selalu mengenakan pakaian warna
mencolok, seperti orang gila, mereka tidak pernah menyayangiku! Buktinya ayahku sekarang
seorang koruptor, dan kakekku? Dia menjadi gila dan masuk rumah sakit jiwa karena menjadi
psikopat dengan membunuh istrinya sendiri, nenekku, Rey! Nenekku! (Terisak, semakin mundur
menjauh)
Reyhan : (Nada bicara halus) Aku mengenalmu Mentari, lebih dari yang kau tau.

Mentari : (Memegang kepalanya) Hentikan, Rey! Aku bisa saja membunuhmu sekarang
juga dan menjadi psikopat seperti kakek, aku juga bisa menjadi pelacur seperti ibu sekarang jika
kau tetap mengoceh seperti itu. (Berhenti sejenak) Aku ini anak yang tidak baik, Rey. (Tersedu)
Semua keluargaku berakhir buruk! Kenapa kau masih peduli denganku?! Aku ini anak koruptor
dan pelacur, cucu dari seorang psikopat. (Menangis semakin tersedu lalu terduduk)

Reyhan : Kamu bertanya alasannya, Mentari? Alasannya karena aku mengenalmu bukan
seperti Mentari yang sekarang. Kamu bukan seperti ini. (Mundur) Kamu berbeda dari ayah, ibu,
ataupun kakekmu. Kamu adalah Mentari. Mentari warna-warni seperti yang selama ini kukenal.

Semua mematung, masih dengan adegan Reyhan yang berdiri dengan tatapan tulusnya
dan Mentari yang depresi dan terduduk di lantai. Lampu fokus ke keduanya, lalu cahaya mulai
meredup dan mati. Perlahan tirai mulai tertutup.

Babak 4

Babak keempat diatur dengan latar ruang kelas. Di bagian tengah panggung tersusun 6
buah meja dan 7 buah kursi. 4 siswi sedang bencengkerama di sana, 2 diantaranya duduk di atas
meja, dan 2 lainnya duduk di kursi. Mentari masuk dari panggung sebelah kanan dengan wajah
lesu masih membawa ransel dan tempat makan serta tempat minum yang sama. Awalnya kursi
berjejer menjadi 3 baris disusun per kolomnya 2 meja, semuanya diatur agak miring untuk
menghindari pemblokingan. Saat lampu menyala semua siswa sedang ramai menggosip.

Siswa 1 : (Berdialog sambil menopang dagu dan tersenyum lebar) Iya kemarin aku sudah
ditelepon!

Siswa 2 : Lalu bagaimana, kalian akan keluar bersama Sabtu malam ini?

Siswa 1 : (Senyum) Iya dong.

Semua siswa seketika berteriak histeris.

Siswa 4 : Ehh... Lalu, bagaimana dengan tugas Fisikamu? Bukankah itu


dikumpulkan online hari Minggunya?
Siswa 3 : Benar sekali, apa kamu yakin mau keluar dengannya Sabtu malam?

Semua siswa ramai berdebat.

'Benar!' lainnya menyahut 'Tidak bisa begitu!' 'Tugas ini sulit sekali!' 'Iya gurunya galak!'
'Benar!' 'Iya tepat sekali!' 'Wah pilihan yang sulit'

Siswa 1 hanya melongo melihat teman-temannya berdebat dan saling bersahut-sahutan.

Siswa 1 : Ahh... Lalu aku harus bagaimana?

Teman-temannya kembali heboh bersahut-sahutan.

'Bagaimana, ya?' 'Ya mau bagaimana lagi' lainnya menimpali. 'Benar, mau bagaimana
lagi'

Mentari masuk ke panggung, wajahnya ragu, tapi lantas dia meyakinkan diri. Mentari
berjalan pelan ke arah kerumunan siswa lalu duduk di salah satu kursi.

Mentari : Teman-teman. (Menaruh tempat makan dan minumnya di atas meja)

Siswa 3 : Euhh... Euhh... Kenapa kamu kesini Mentari? (Berdiri dari kursi)

Siswa 1 : (Berdiri) Hai Mentari! Kursi ini bukan untukmu! Pergilah! Jangan duduk di sini
lagi! (Mendorong Mentari dari kursi sampai terjatuh)

Siswa lainnya ikut berdiri, salah satunya menggeser tempat makan dan tempat minum
Mentari yang ditaruh di meja.

Mentari : (Bangkit dan berdiri) Tapi teman-teman, aku biasanya duduk di sini bersama
kalian, bukan?

Siswa 4 : Tidak lagi Mentari, mulai sekarang jangan duduk dekat kami! Jangan bergaul lagi
dengan kami! Karena kami tidak mau lagi berteman denganmu! (Menunjuk)

Keempat siswa mengelilingi Mentari, mereka mendorong-dorong dan mempermainkannya


sambil tertawa-tawa.

Mentari : Tapi teman-teman!


Siswa 2 : Diam Mentari! Kami tidak mau lagi berteman dengan seorang anak koruptor dan
pelacur seperti kamu! Kami tidak mau tertular jahatnya keluargamu.

Siswa 3 : Hahaha... Benar sekali, namanya buah pastilah jatuh tidak jauh dari pohonnya,
sama seperti Mentari bodoh ini!

Semua siswa bergerombol di salah satu sudut.

Siswa 1 : Hai teman, kudengar ayahnya korupsi di perusahaan besar, dan ibunya adalah
seorang pelacur! (Nada bicara keras meledek)

Siswa 3 : Oh ya?

Siswa 4 : Benarkah? Orang tua Mentari? Koruptor dan pelacur? Hahaha...

Siswa 2 : Kudengar juga, kakeknya adalah seorang psikopat dan membunuh istrinya
sendiri!

Siswa 1 : Iya kah, keluarganya buruk sekali! (Tertawa)

Siswa 4 : Benar, jangan-jangan Mentari sama dengan keluarganya!

Siswa 3 : Benar sekali, ih jangan sampai kita terugikan gara-gara dekat dengan orang itu!

Siswa 2 : Benar, lebih baik kita pergi jauh-jauh dari anak koruptor dan pelacur serta cucu
dari seorang psikopat itu!

Siswi-siswi yang bergerombol itu terus mengolok-olok Mentari dengan suara lantang
sambil sesekali tertawa. Pada titik puncaknya, Mentari sudah tidak tahan lagi dan mulai
menangis. Mentari terus tersedu.

Siswa 4 : Sudah ayo kita pergi teman-teman! (Berjalan melewati Mentari dengan angkuh
diikuti oleh siswi lainnya)

Mentari berjalan menuju sebuah tempat duduk di barisan depan sambil terus menangis,
sedangkan siswi-siswi lainnya memberi jarak di antara meja mereka dengan meja yang diduduki
Mentari dengan menggesernya ke belakang. Tatapan siswi-siswi itu jijik melihat Mentari seakan-
akan Mentari adalah sampah.
Mentari duduk di kursi lalu meletakkan kepalanya di meja sambil menutupinya dengan
punggung tangan. Tangis Mentari masih terdengar tersedu meski dia berusaha menutupinya.

Sementara siswi-siswi yang lain sedang heboh di belakang, Jovian masuk masih dengan
buku yang dibacanya. Suara siswi-siswi, tak terdengar lagi, suara tangis Mentari yang kini sampai
di telinga. Jovian berjalan menghampiri Mentari yang kebetulan duduk di kursi sebelahnya. Dia
menutup buku dan mulai duduk.

Jovian : Ehm... Mentari, apa kau tidak apa-apa? (Memegang bahu Mentari)

Mentari : (Bangun dan mengusap air mata) Iya, ehm... Aku tidak apa-apa.

Jovian : Kau yakin? (Merogoh saku kemeja)

Mentari : Ya, aku tidak apa-apa, sungguh.

Jovian memberikan sebuah sapu tangan, Mentari menerimanya.

Mentari : Terima kasih, Jovian. (Mengusap air matanya dengan sapu tangan)

Jovian : Maafkan soal yang kemarin, ayahku terlalu ambisius dan dibutakan oleh harta.

Mentari : Ah tidak, bukan ayahmu yang salah kemarin, Ayahku yang sudah bersalah
terhadap keluargamu. (Menunduk dan tersenyum) Maafkan kami. (Menengok ke arah Jovian)

Jovian : Aku tidak ingin kamu berpikir begitu Mentari, bagaimanapun kami juga bersalah
atas ketidakadilan di sidang waktu itu.

Mentari : (Masih dengan tersenyum manis menyembunyikan kesedihan) Orang-orang


seperti kami memang sudah biasa didiskriminasi, kami tidak punya jabatan apa-apa, dan kami juga
tidak kaya. Tidak seperti...

Jovian : (Memotong pembicaraan) Maafkan aku.

Mentari : (Menengok) Kenapa kamu meminta maaf? Ini bukan salahmu


bukan? (Tersenyum)

Jovian : Aku percaya padamu Mentari. (Beradu pandang) Aku yakin kamu bisa melewati
semuanya, aku yakin kalau kamu tidak serapuh itu, dan aku juga yakin kalau kamu berbeda dari
ayahmu, ibumu, ataupun kakekmu. Kamu bukan Mentari yang seperti itu. Aku tau kamu. Mentari
yang ceria dan berwarna-warni.

Seketika tirai ditutup perlahan dan cahaya meredup.

Babak 5

Pada babak ini panggunghanya akan diatur layaknya ruangan interogasi. Sebuah meja
dan dua kursi berdiri tepat di tengah. Seorang laki-laki dengan pakaian serba putih duduk bersila
di kursi sebelah kiri sedang memainkan kuku-kuku tangannya. Di satu kursi lainnya duduklah
seorang siswi dengan seragam SMA rapi. Tirai dibuka, lampu fokus menyorot ke keduanya.
Dialog pun dimulai.

Kakek : Hahahaha... Mentari... Mentari... Cucuku... Cucu kecilku... Hahaha...

Mentari : Kakek, menurutmu aku harus bagaimana? Jawablah pertanyaanku!

Kakek : Hahahaha... Bagaimana? Bagaimana? Hahaha... Bagaimana ya?

Mentari : (Melotot ke arah kakek dengan wajah kesal) Tertawalah sepuasmu Kek, kau sudah
gila!

Kakek : Hahahahaha... Aku gila... Ya, aku memang gila! Tapi taukah kamu Mentari,
kenapa kami memberimu nama Mentari? (Sambil menggigiti kukunya lagi) Karena kami mau
kamu tumbuh bersinar seperti mentari yang membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitar!
Hahahaha... Bodoh! Dan apakah kau tumbuh seperti yang kami harapkan? (Balik melotot, lalu
kembali tertawa)

Mentari : Siapa yang mengharapkan sesuatu seperti itu? Itu bodoh, kakek berbohong!

Kakek : Hahahaha... Apakah kakekmu yang gila ini terlihat bercanda? (Meletakkan kedua
tangan diatas meja sambil terus tertawa)

Mentari : Aku akan pergi ke kantor perusahaan besar dan mengambil uang mereka, atau aku
akan pergi ke kampung pelacur itu dan ikut melacur bersama ibu. Pastilah uang akan berdatangan
dengan mudah karena aku masih muda!
Kakek : Ah, tidak... Tidak... Bukan seperti itu julukan mentari warna-warni yang kakek
berikan padamu. Kami menginginkan kamu tubuh dengan ceria dan semangat yang membara!
Itulah yang disebut Mentari warna-warni. Hahahaha... Gila! (Tertawa sendiri sambil memainkan
rambut)

Mentari mulai menitihkan air mata, dia mengusap pipinya.

Mentari : Kakek, dulu aku dekat sekali denganmu. Tapi kenapa kakek jadi seperti
ini? (Terisak) Jika memang itu benar, lalu kenapa kau sampai membunuh nenek?

Kakek : Hahahaha... Karena aku gila! (Tertawa semakin keras)

Mentari : Hah! Apa aku harus mati saja?

Kakek : Mati? Hahahaha... Mentari gila! Mentari sudah tidak berwarna-warni lagi!
Mentari sudah gila! Gila! Hahahaha...

Mentari : (Berteriak) Hah... aku lelah dengan semua ini. (Berdiri di tengah meninggalkan
kursi) Tuhan kenapa kau tidak bunuh aku saja?! (Terisak)

Sorot lampu fokus pada Mentari, lalu kerumunan siswi bergerombol disorot di panggung
sebelah kiri. Semua siswa tertawa.

Siswa 2 : Benar! Mentari itu anak seorang pelacur!

Siswa 4 : Anak seorang koruptor juga!

Siswa 3 : Kakeknya seorang psikopat!

Siswa 1 : Benar keluarganya semua tidak ada yang baik.

Siswa 4 : Jangan ada yang mau berteman dengannya, dia sekarang gila!

Siswa 3 : Mungkin sekarang dia sedang melacur juga di Kalijodo!

Semua siswa tertawa, namun Mentari yang berdiri di tengah sudah seperti orang gila.
Imajinasi Mentari mulai liar.

Siswa 2 : Dasar pelacur, sekali ibunya pelacur, anaknya pasti juga pelacur!
Siswa 1 : Lalu dia pasti memakan uang perusahaan dan berencana membunuh kita satu
persatu!

Siswa 4 : Sudah cukup, mulai sekarang jangan lagi ada yang berteman dengan Mentari!

Semua siswa menyahut dan heboh.

'Benar' 'Jauh-jauh dari dia!' yang lainnya menimpali. 'Aku tidak mau berteman
dengannya, anak kotor!'

Wajah mereka meremehkan dan sinis menatap Mentari, suara mulai melemah. Sorot
lampu berganti ke sebelah kanan, semua siswi mematung. Di sebelah kanan berdiri Alan Siregar
dan dua hakim persidangan yang menyidang Agus. Dialog kembali mulai.

Alan Siregar : Akhirnya aku mendapatkan kembali kekayaanku! Kamu tau karena apa Pak
Hakim? Karena anak bodoh itu! Anak bodohnya Agus Sulistyo! Hahahaha...

Semua orang ikut tertawa.

Hakim 1 : Anak koruptor itu, ya? Mentari yang terbenam. Mentari yang lemah!

Semua orang kembali tertawa.

Hakim 2 : Anak tidak berpendidikan seperti itu, besarnya kalau tidak jadi lonte, pasti hanya
berakhir bunuh diri! Tidak punya masa depan, hahahaha...

Alan Siregar : Anak bodoh!

Hakim 1 : Anak tidak berguna dan tidak tau diri!

Hakim 2 : Anak tidak punya masa depan!

Alan Siregar : Hehehehe... Aku kaya! Aku kaya! Kaya!

Semua tertawa cekikikan seakan-akan sedang menertawakan Mentari. Lampu perlahan


redup dan suara dialog melemah. Sorot lampu menyorot fokus di bagian sebelah kiri belakang.
Di panggung bagian itu Reyhan dan Jovian berdiri tegap dan memulai dialog, sementara Mentari
semakin gila.

Reyhan : Jangan pergi, Mentari! (Mengulurkan tangan ke depan)


Jovian : Kami menunggumu Mentari! Kami merindukanmu!

Reyhan : Jadilah Mentari yang dulu, temani aku berangkat sekolah lagi!

Jovian : Jadilah teman sebangku ku! Duduklah di sebelahku ketika di kelas Mentari!

Reyhan : Aku ingin kamu menjadi Mentari yang ceria dan bersemangat.

Jovian : Mentari yang senyumnya selalu tulus ketika menatapku.

Reyhan : Mentari yang sesungguhnya.

Jovian : Seperti Mentari yang ku kenal.

Lampu meredup, fokus lampu menyorot bagian belakang panggung sebelah kanan. Saat
lampu menyala, Agus Sulistyo dan Lulay Ardianti sudah berdiri dan memulai dialog.

Agus Sulistyo : Mentari! Maafkanlah ayahmu ini!

Lulay Ardianti : Jangan pernah temui ibu, Mentari!

Agus Sulistyo : Ayah sudah bersalah dan gagal mendidikmu.

Lulay Ardianti : Kalo kamu belum bisa jadi anak yang berguna untuk cari duit, lebih baik
ibu tidak punya anak!

Agus Sulistyo : Ayah sudah membuatmu kecewa, aku masih ingin menjadi ayahmu,
Mentari!

Lulay Ardianti : Ibu malu punya anak cupu seperti kamu.

Agus Sulistyo : Kembalilah Mentari.

Lulay Ardianti : Pergilah Mentari!

Agus Sulistyo : Ayah masih mengharapkanmu.

Lulay Ardianti : Ibu tidak mau mempunyai anak seperti kamu!

Lampu redup, sorot lampu kini berganti ke arah belakang, menyorot kakek Mentari. Kakek
tertawa-tawa gila di belakang dan mulai bermonolog.
Kakek : Mentari gila! Dia sekarang sudah gila! Dia anak orang gila! Keluarganya gila!
Hahahaha... Mentari tidak terbit lagi, mentari telah tenggelam! Mentari sekarang hitam putih,
Mentari tidak berwarna-warni lagi! Hihihihi... Karena Mentari sekarang sudah gila!

Lampu menyala terang, semua tokoh berbicara bersamaan dan dengan nada suara keras.
Semua tokoh terus mengolok-olok Mentari yang memasang wajah ketakutan di tengah. Mentari
terus mondar-mandir ketakutan sambari menangis dan menutup kedua telinganya. Mentari
mengepalkan tangan dengan mata yang berair, dia berteriak. Sangat keras. Monolog pun dimulai.

Mentari : Diam kalian semua! (Menunjuk ke arah semua orang) Aku... Mentari... Akan
membuktikan kepada kalian semua. Aku bersumpah! Aku... Aku... Tidak akan menjadi Mentari
seperti yang kalian kenal sekarang. Mentari akan membuktikannya! Mentari akan berubah.
Mentari... Mentari... Mentari akan mengejutkan kalian semua. Haahhhh.... Apa aku sudah gila?

Semua tokoh kembali berbicara bersamaan. Kali ini semuanya maju mendekati Mentari
ke tengah, semua berkerumun. Mentari terjatuh dan tersentak, dia terduduk di lantai sambil
menutup telinganya lagi. Sesaat, suara jeritan Mentari kembali terdengar. Terdengar sangat
keras. Semuanya mematung, lampu menyorot fokus ke tengah.

Epilog

Narator wanita dengan baju jawa itu masuk panggung dan menempatkan diri di sebelah
kanan. Dia menunjuk ke arah kerumunan. Lampu fokus menyorot.

Wanita : Begitu ceritanya, pada saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa. (Berjalan
kedepan) Sudah lama aku tidak bertemu Mentari. Ada yang bilang dia bekerja di sebuah
perusahaan besar dan menjadi orang sukses (Tersenyum), rumor juga beredar kalau katanya dia
pergi sekolah ke luar negeri dan menjadi seorang dosen. Tetapi ada yang bilang kalau Mentari
menjadi kembang pelacur di perkampungan Kalijodo bersama ibunya, beredar juga kabar kalau
dia menjadi gila dan dijebloskan ke rumah sakit jiwa yang sama dengan kakeknya. Rumor juga
beredar kalau Mentari mati bunuh diri dengan menusukkan pisau di dadanya. Sampai sekarang
tidak ada yang tau pasti dimana Mentari, sumpah untuk berubah yang dikatakan Mentari di hari
itu. (Kembali menunjuk ke kerumunan di tengah) Tidak ada yang tau bagaimana akhirnya. Tidak
ada yang tau berubah menjadi apa Mentari sampai... Hahahaha... (Tertawa ketakutan) Aku merasa
sangat bersalah, semua ini karena salahku. Dan sampai sekarang, aku masih merasa kalau Mentari
masih berada di sekelilingku. Apakah ini halusinasi? Ataukah aku memang sudah gila?
Hahahaha... (Kembali tertawa ketakutan dan mondar-mandir sembari menggaruki telapak
tangannya)

Wanita itu menunjuk ke sisi panggung sebelah kanan, dia menunjukkan jari telunjuknya
sambil menampakkan wajah khawatir.

Wanita : Mentari.

Semuanya mematung. Diujung panggung sebelah kanan tampak seorang siswi SMA
memakai seragamnya sambil menggendong ransel dan membawa tempat makan serta tempat
minum berwarna merah muda sedang tersenyum menatap narator. Gadis itu tidak berkata
apapun, wajahnya pucat dan pasi. Matanya merah dan sedikit berair seperti baru selesai
menangis. Musik tegang berbunyi, lalu suara lagu jawa berputar lirih seiring dengan lampu yang
berkelap-kelip dan perlahan meredup. Lampu mati dan tirai tertutup.

-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai