Anda di halaman 1dari 3

BUDAYA JAWA KAYA AKAN MAKNA

Aksara Jawa (atau dikenal dengan nama hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) atau carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀)


adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk
penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makasar, bahasa Sunda, dan bahasa Sasak.
Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan
Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah
modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga
merupakan abugida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki
kedekatan dengan aksara Bali. Nama aksara ini dalam bahasa Jawa adalah Dentawiyanjana.
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya
dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban
manusia ( sebagai ciptaan). Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan
data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya )
harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.• Pa-Dha-Ja-Ya-
Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Ilahi) dengan yang diberi hidup ( makhluk ).
Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam
perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh
dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.• Ma-Ga-Ba-Tha-
Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak
untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.Makna Huruf HANACARAKA
1. Ha Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
2. Na Nur candra, gaib candra, warsitaning candara – pengharapan manusia hanya
selalu ke sinar Illahi
3. Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi – arah dan tujuan pada Yang Maha
Tunggal
4. Ra Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
5. Ka Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajeteraan
alam
6. Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya
7. Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam
memandang hidup
8. Sa Sifat ingsun handulu sifatullah – membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
9. Wa Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya
bisa tanpa batas
10. La Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
11. Pa Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah
12. Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
13. Ja Jumbuhing kawula lan Gusti – Selalu berusaha menyatu memahami kehendak-
Nya
14. Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah/kodrat Illahi
15. Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan
16. Ma Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin/mantap dalam menyembah Ilahi
17. Ga Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani
18. Ba Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam
19. Tha Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niatan
20. Nga Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi manusia

Dalam kisah Ajisaka


ha na ca ra ka Dikisahkanlah tentang dua orang abdi yang setia
da ta sa wa la Keduanya terlibat perselisihan dan akhirnya berkelahi
pa da ja ya nya Mereka sama-sama kuat dan tangguh
ma ga ba tha nga Akhirnya kedua abdi itu pun tewas bersamaAksara Jawa ha-na-ca-
ra- ka mewakili spiritualitas orang Jawa yang terdalam: yaitu kerinduannya akan
harmoni dan ketakutannya akan segala sesuatu yang dapat memecah-belah harmoni.
Konon aksara Jawa ini diciptakan oleh Ajisaka untuk mengenang kedua abdinya yang
setia.Dikisahkan Ajisaka hendak pergi mengembara, dan ia berpesan pada seorang abdinya yang
setia agar menjaga keris pusakanya dan mewanti-wanti: janganlah memberikan keris itu pada
orang lain, kecuali dirinya sendiri: Ajisaka. Setelah sekian lama mengembara, di negeri perantauan,
Ajisaka teringat akan pusaka yang ia tinggalkan di tanah kelahirannya. Maka ia pun mengutus
seorang abdinya yang lain, yang juga setia, agar dia pulang dan mengambil keris pusaka itu di
tanah leluhur. Kepada abdi yang setia ini dia mewanti-wanti: jangan sekali-kali kembali ke
hadapannya kecuali membawa keris pusakanya. Ironisnya, kedua abdi yang sama-sama setia dan
militan itu, akhirnya harus berkelahi dan tewas bersama: hanya karena tidak ada dialog di antara
mereka. Bukankah sebenarnya keduanya mengemban misi yang sama: yaitu memegang teguh
amanat junjungannya? Dan lebih ironis lagi, kisah tragis tentang dua abdi yang setia ini selalu
berulang dari jaman ke jaman, bahkan dari generasi ke generasi.

UNEN UNEN JAWA


*pamulange sangsarane sesami = pelajarannya sengsaranya sesama
*sakti tanpa aji = berhasil tanpa sarana
*sugih tanpa banda = bisa menginginkan apa saja tanpa persiapan
*ngluruk tanpa bala = menyusup tanpa teman, tetapi selalu mendapatkan hasil
*ngasorake tanpa peperangan = menang tanpa menggunakan kekerasan/perang (objek)apa kang
sinedya teka,apa kang kacipta dadi = apa yang diinginkan/diamaui akan terjadi/ tercipta.
*Digdaya tanpa aji = sakti tanpa ajian
*Trimah mawi pasrah = menerima dengan menyerah
*Suwung pamrih tebih adjrih = sepi hasrat jauh dari takut
*Langgeng tan ana susah tana ana bungah= tenang tetap hidup nama
*murid gurune pribadi = murid gurunya pribadi

HO NO CO RO KO memiliki arti “ono utusaning pangeran (adanya utusan Tuhan)”


(Sujiyanto, 2011). Manusia diciptakan Tuhan sebagai bukti adanya kebesaran Tuhan dan
manusia memiliki fungsi untuk menjaga kelestarian hidup (Hamemayu Hayuning Bawono).
Kelestarian hidup terdiri atas dua bentuk yaitu kelestarian hidup manusia sendiri (Hamemayu
Hayuning Jagat kang Piniji) dan kelestarian alam (Hamemayu Hayuning Jagad Royo). Di
dunia ini hanya Tuhan yang memiliki kebesaran abadi. Manusia tidak boleh sombong dengan
segala kelebihan yang dimiliki. Kelebihan yang dimiliki manusia seharusnya menjadi sesuatu
yang patut disyukuri dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain.
Kelebihan yang dimiliki harus dapat digunakan sebagai bentuk makarya yaitu karya atau
usaha yang dilakukan dengan tujuan mulia bagi diri sendiri ataupun orang lain tanpa adanya
pamrih (Yuwanto, 2012). Kelebihan yang dimiliki harus disyukuri sebagai bentuk pengakuan
adanya kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk relasi vertikal. Relasi dengan sesama
manusia yang baik dapat menjaga kelestarian hidup manusia sebagai bentuk relasi horizontal.
Kelestarian hidup manusia juga dapat dijaga dengan menghindari perusakan alam sehingga
berbagai bentuk bencara alam dapat dicegah. Aksara Jawa sudah mengingatkan sejak awal
bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia akan berdampak rusaknya kelesatarian alam dan
menjadi ancaman bagi kelestarian hidup manusia.
DO TO SO WO LO memiliki arti “ora biso suwolo kabeh wus ginaris kodrat (tidak
bisa diingkari bahwa semua sudah menjadi kodrat Tuhan)” (Sujiyanto, 2011). Segala sesuatu
atau kejadian yang ada di dunia ini telah digariskan oleh Tuhan. Manusia tinggal
menjalankannya saja sesuai dengan lakon yang diperankan. Orang Jawa memiliki
prinsip nerimo ing pandum artinya menerima apapun yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia. Namun makna ini jangan dinilai bahwa manusia sebagai makhluk yang pasif.
Manusia harus selalu berusaha dalam hidup namun setelah usahanya maksimal dan apapun
hasil dari usaha maksimal tersebut maka harus diterima dan disyukuri (Yuwanto, 2012).
PO DHO JO YO NYO memiliki arti “kanti tetimbangan kang podo sak jodo
anane (Tuhan menciptakan sesuatu di dunia dengan pertimbangan dan berpasangan)”
(Sujiyanto, 2011). Arti ini dicontohkan dengan adanya siang-malam, terang-gelap, atas-
bawah, laki-laki-perempuan, bahagia-sedih, hidup-mati. Di dalam kehidupan akan selalu
dijumpai kondisi-kondisi tersebut, manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai
kondisi yang ada. Misalnya saat siang apa yang harus dilakukan, saat malam apa yang harus
dilakukan. Tidak selamanya manusia akan mengalami kesusahan namun adakalanya akan
mengalami kegembiraan (Yuwanto, 2010). Banyak makna yang bisa dipetik sebagai hakikat
manusia, misalnya untuk meneruskan kelestarian hidup manusia harus menikah antara laki-
laki dan perempuan karena kodratnya perempuan yang dibuahi dan laki-laki yang membuahi
dalam proses reproduksi. Saat kita berada di puncak karir kita harus ingat suatu saat karir kita
akan di bawah dan seterusnya seperti roda. Makna aksara PO DHO JO YO NYO juga dapat
diartikan sebagai keseimbangan dalam hidup.
MO GO BO THO NGO memiliki arti “manungso kinodrat dosa, lali, luput, apes, lan
mati (manusia pasti memiliki dosa, lupa, kesalahan, kesialan, dan mati)” (Sujiyanto, 2011).
Tidak ada manusia yang lepas dari kekurangan ini harus diakui oleh manusia, menyalahi
kodrat kalau manusia tidak mau menerima atau mengakui kesalahan yang telah dibuat,
kekurangan diri, ataupun hal-hal negatif dari diri (Yuwanto, 2011). Adanya kelemahan
tersebut seharusnya dapat menjadi bahan kewaspadaan bahwa manusia harus selalu eling lan
waspodo (ingat dan waspada). Dengan segala kekurangan yang pada dasarnya dimiliki
manusia, manusia harus selalu berhati-hati dalam perbuatan agar tidak melakukan kesalahan
yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain, ataupun alam.
Akasara Jawa memiliki makna, dengan pemahaman makna-makna tersebut diharapkan
dapat menjadi penuntun perilaku yang menggambarkan keutamaan hidup. Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Anda mungkin juga menyukai