Anda di halaman 1dari 3

Aksara Jawa Hanacaraka ꦲꦤꦕꦫꦏ 

(dikenal juga dengan nama Carakan) adalah aksara turunan

aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa

Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak.

Asal usul riwayat dari Aksara Jawa ini sendiri berkaitan dengan kisah Aji Saka untuk mengabadikan

dua abdi setianya yang bernama Dora dan Sembada yang mati bertempur demi memperebutkan

pusaka sakti milik Aji Saka.

Untuk mengenang keduanya, maka Aji Saka mengabadikannya dalam sebuah Aksara/Huruf :

1. ꦲꦤꦕꦫꦏ Ha Na Ca Ra Ka (Ono utusan = Ada utusan)

2. ꦢꦠꦱꦮꦭ Da Ta Sa Wa La (Padha kekerengan = Saling berkelahi)

3. ꦥꦝꦗꦪꦚ Pa Dha Ja Ya Nya (Padha digdayane = Sama-sama saktinya)

4. ꦩꦒꦧꦛꦔ Ma Ga Ba Tha Nga (Padha nyunggi bathange = Saling berpangku saat meninggal)

Terlepas dari cerita asal usul Aksara Jawa diatas jika kita mampu mengkaji lebih dalam lagi,

ternyata tersimpan ajaran budi pekerti dan nilai filosofis ajaran luhur kehidupan yang tinggi

 Ha ꦲ, “Hana hurip wening suci” (Adanya kehidupan adalah kehendak dari yang Maha Suci)

 Na ꦤ, “Nur candra, gaib candra, warsitaning candra” (Pengharapan manusia hanya selalu

kepada sinar Ilahi)

 Ca ꦕ, “Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi” (Arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal)

 Ra ꦫ, “Rasaingsun handulusih” (Rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani)

 Ka ꦏ, “Karsaningsun memayuhayuning bawana” (Hasrat diarahkan untuk kesajeteraan

alam)

 Da ꦢ, “Dumadining dhat kang tanpa winangenan” (Menerima hidup apa adanya/ikhlas)

 Ta ꦠ, “Tatas, tutus, titis, titi, lan wibawa” (Mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam

memandang hidup)

 Sa ꦱ, “Sifat ingsun handulu sifatullah” (Mewujudkan sifat kasih sayang seperti kasih Tuhan)

 Wa ꦮ, “Wujud hana tan kena kinira” (Ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa

tanpa batas/tak terkira)

 La ꦭ, “Lir handaya paseban jati” (Mengalirkan hidup semata pada tuntunan I

 Pa ꦥ, “Papan kang tanpa kiblat” (Hakekat Allah yang ada disegala arah)

 Dha ꦝ, “Dhuwur wekasane endek wiwitane” (Untuk bisa sampai diatas tentu dimulai dari

dasar)

 Ja ꦗ, “Jumbuhing kawula lan Gusti” (Selalu berusaha menyatu memahami kehendak-Nya

 Ya ꦪ, “Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi” (Yakin atas titah/kodrat Ilahi)
 Nya ꦚ, “Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diwuruki” (Memahami dengan benar kodrat

kehidupan)

 Ma ꦩ, “Madhep mantep manembah mring Ilahi” (Yakin/mantap dalam menyembah Ilahi)

 Ga ꦒ, “Guru sejati sing muruki” (Belajar pada guru nurani)

 Ba ꦧ, “Bayu sejati kang andalani” (Menyelaraskan diri pada gerak alam)

 Tha ꦛ, “Tukul saka niat” (Sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niatan)

 Nga ꦔ, “Ngracut busananing manungso” (Melepaskan egoisme pribadi manusia)

Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
Aksara Jawa terdiri atas 20 aksara antara lain HO, NO, CO, RO, KO, DO, TO, SO, WO, LO, PO,
DHO, JO, YO, NYO, MO, GO, BO, THO, NGO. Tidak banyak orang yang mengetahui makna dari
aksara Jawa. Aksara Jawa memiliki makna gambaran atau hakikat hidup manusia di dunia. Masing-
masing aksara tersebut memiliki makna misalnya aksara HO sampai dengan NGO memiliki makna.
Makna aksara Jawa juga dapat diuraikan dalam bentuk HO NO CO RO KO, DO TO SO WO LO,
PO DHO JO YO NYO, dan MO GO BO THO NGO. Tulisan berikut akan menguraikan refleksi
hakikat manusia berdasarkan aksara Jawa.
HO NO CO RO KO memiliki arti “ono utusaning pangeran (adanya utusan Tuhan)” (Sujiyanto,
2011). Manusia diciptakan Tuhan sebagai bukti adanya kebesaran Tuhan dan manusia memiliki
fungsi untuk menjaga kelestarian hidup (Hamemayu Hayuning Bawono). Kelestarian hidup terdiri
atas dua bentuk yaitu kelestarian hidup manusia sendiri (Hamemayu Hayuning Jagat kang Piniji)
dan kelestarian alam (Hamemayu Hayuning Jagad Royo). Di dunia ini hanya Tuhan yang memiliki
kebesaran abadi. Manusia tidak boleh sombong dengan segala kelebihan yang dimiliki. Kelebihan
yang dimiliki manusia seharusnya menjadi sesuatu yang patut disyukuri dan dapat dimanfaatkan
untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Kelebihan yang dimiliki harus dapat digunakan sebagai
bentuk makarya yaitu karya atau usaha yang dilakukan dengan tujuan mulia bagi diri sendiri
ataupun orang lain tanpa adanya pamrih (Yuwanto, 2012). Kelebihan yang dimiliki harus disyukuri
sebagai bentuk pengakuan adanya kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk relasi vertikal.
Relasi dengan sesama manusia yang baik dapat menjaga kelestarian hidup manusia sebagai bentuk
relasi horizontal. Kelestarian hidup manusia juga dapat dijaga dengan menghindari perusakan alam
sehingga berbagai bentuk bencara alam dapat dicegah. Aksara Jawa sudah mengingatkan sejak awal
bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia akan berdampak rusaknya kelesatarian alam dan
menjadi ancaman bagi kelestarian hidup manusia.
DO TO SO WO LO memiliki arti “ora biso suwolo kabeh wus ginaris kodrat (tidak bisa diingkari
bahwa semua sudah menjadi kodrat Tuhan)” (Sujiyanto, 2011). Segala sesuatu atau kejadian yang
ada di dunia ini telah digariskan oleh Tuhan. Manusia tinggal menjalankannya saja sesuai
dengan lakon  yang diperankan. Orang Jawa memiliki prinsip nerimo ing pandum artinya menerima
apapun yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Namun makna ini jangan dinilai bahwa
manusia sebagai makhluk yang pasif. Manusia harus selalu berusaha dalam hidup namun setelah
usahanya maksimal dan apapun hasil dari usaha maksimal tersebut maka harus diterima dan
disyukuri (Yuwanto, 2012).
PO DHO JO YO NYO  memiliki arti “kanti tetimbangan kang podo sak jodo anane (Tuhan
menciptakan sesuatu di dunia dengan pertimbangan dan berpasangan)” (Sujiyanto, 2011). Arti ini
dicontohkan dengan adanya siang-malam, terang-gelap, atas-bawah, laki-laki-perempuan, bahagia-
sedih, hidup-mati. Di dalam kehidupan akan selalu dijumpai kondisi-kondisi tersebut, manusia
harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi yang ada. Misalnya saat siang apa yang
harus dilakukan, saat malam apa yang harus dilakukan. Tidak selamanya manusia akan mengalami
kesusahan namun adakalanya akan mengalami kegembiraan (Yuwanto, 2010). Banyak makna yang
bisa dipetik sebagai hakikat manusia, misalnya untuk meneruskan kelestarian hidup manusia harus
menikah antara laki-laki dan perempuan karena kodratnya perempuan yang dibuahi dan laki-laki
yang membuahi dalam proses reproduksi. Saat kita berada di puncak karir kita harus ingat suatu
saat karir kita akan di bawah dan seterusnya seperti roda. Makna aksara PO DHO JO YO NYO juga
dapat diartikan sebagai keseimbangan dalam hidup.
MO GO BO THO NGO memiliki arti “manungso kinodrat dosa, lali, luput, apes, lan mati (manusia
pasti memiliki dosa, lupa, kesalahan, kesialan, dan mati)” (Sujiyanto, 2011). Tidak ada manusia
yang lepas dari kekurangan ini harus diakui oleh manusia, menyalahi kodrat kalau manusia tidak
mau menerima atau mengakui kesalahan yang telah dibuat, kekurangan diri, ataupun hal-hal negatif
dari diri (Yuwanto, 2011). Adanya kelemahan tersebut seharusnya dapat menjadi bahan
kewaspadaan bahwa manusia harus selalu eling lan waspodo (ingat dan waspada). Dengan segala
kekurangan yang pada dasarnya dimiliki manusia, manusia harus selalu berhati-hati dalam
perbuatan agar tidak melakukan kesalahan yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain, ataupun
alam.
Akasara Jawa memiliki makna, dengan pemahaman makna-makna tersebut diharapkan dapat
menjadi penuntun perilaku yang menggambarkan keutamaan hidup. Semoga tulisan ini bermanfaat
bagi penulis dan pembaca.

Anda mungkin juga menyukai