Anda di halaman 1dari 10

Antasena Takon Bapa

Kisah ini menceritakan kemunculan Raden Antasena, yaitu putra Arya Wrekodara yang lahir
dari Dewi Urangayu, yang saya gabungkan pula dengan kisah perkawinan Raden Antareja
dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa.

Kisah ini saya olah dari sumber buku Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono,
dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, November 2017

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini

Raden Antasena.

------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA BARUNA DISERANG MUSUH BERNAMA PRABU MINALODRA

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru sedang memimpin pertemuan para dewa yang
dihadiri Batara Narada, Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Indra, dan Batara
Panyarikan. Dalam pertemuan tersebut mereka membicarakan adanya gara-gara di alam
manusia, yaitu putra Arya Wrekodara yang lahir dari Dewi Urangayu, sudah berusia dua
puluh tahun tetapi masih berwujud bayi. Batara Guru meramalkan bayi tersebut kelak akan
menjadi kesatria pembela kebenaran yang memiliki kesaktian luar biasa, serta menjadi
lambang kejujuran.

Tidak lama kemudian datanglah Batara Baruna yang melaporkan adanya musuh menyerang
Kahyangan Dasarsamodra. Batara Baruna adalah dewa yang bertugas memimpin dan
mengatur para binatang di dalam lautan. Tiba-tiba ia diserang seorang raja raksasa bersisik
ikan bernama Prabu Minalodra yang bermaksud merebut kedudukannya tersebut. Tentu saja
Batara Baruna melawan karena memimpin lautan adalah amanah yang diberikan Batara Guru
kepadanya. Tak disangka, Prabu Minalodra ternyata begitu perkasa. Raja raksasa itu mampu
mengalahkan dan mengusir Batara Baruna dari Kahyangan Dasarsamodra.

Batara Baruna pun datang ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk memohon bantuan Batara
Guru agar menghukum Prabu Minalodra beserta pasukannya. Batara Guru menerima laporan
tersebut dan segera mengirim Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, dan Batara Indra
untuk menumpas Prabu Minalodra. Batara Sambu dan adik-adiknya mematuhi dan segera
mohon pamit menjalankan tugas.

PARA DEWA BERTEMPUR MELAWAN PRABU MINALODRA

Prabu Minalodra berwujud raksasa dengan kulit dipenuhi sisik, di mana ia dapat hidup di
dalam air dan berbicara dengan berbagai macam hewan laut. Dengan berbekal kemampuan
tersebut, ia bertekad merebut kedudukan Batara Baruna sebagai penguasa bawah laut.
Usahanya pun berhasil. Prabu Minalodra berhasil mengalahkan Batara Baruna dan
mengusirnya pergi dari Kahyangan Dasarsamodra.

Kini Batara Baruna telah kembali lagi dengan membawa bala bantuan dari Kahyangan
Jonggringsalaka. Mereka adalah putra-putra Batara Guru, yaitu Batara Sambu, Batara
Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu. Keempatnya segera mengepung Prabu Minalodra
dan memaksanya untuk menyerahkan diri. Prabu Minalodra sama sekali tidak takut. Ia pun
menghadapi keempat dewa tersebut bersama pasukannya yang setia.

Maka, terjadilah pertempuran antara keempat dewa melawan Prabu Minalodra dan
pasukannya. Para dewa tidak menyangka ternyata Prabu Minalodra begitu tangguh dan
perkasa. Mereka merasa kesulitan menghadapi raja raksasa tersebut. Merasa tidak mungkin
menang, Batara Sambu pun mengajak adik-adiknya untuk mundur kembali ke Kahyangan
Jonggringsalaka.

BATARA GURU MEMERINTAHKAN BATARA NARADA MENJEMPUT JAGO


KAHYANGAN

Berita kekalahan para dewa telah terdengar oleh Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka.
Raja para dewa itu lalu mengheningkan cipta untuk melihat masa depan. Setelah
mendapatkan jawaban, ia pun menyampaikannya kepada Batara Narada yang bersiap
menunggu perintah.

Batara Guru berkata bahwa jago kahyangan yang bisa mengalahkan Prabu Minalodra adalah
Raden Antasena, putra Arya Wrekodara yang lahir dari Dewi Urangayu di Padepokan
Kisiknarmada. Batara Narada heran karena Raden Antasena yang dimaksud itu adalah si bayi
berusia dua puluh tahun yang tadi dibicarakan bersama. Batara Guru menjawab memang bayi
tersebut yang ia lihat di masa depan mampu menumpas Prabu Minalodra. Ini bukan pertama
kalinya dewata menjadikan bayi sebagai jago kahyangan. Bukankah dulu sewaktu Raden
Gatutkaca masih bayi juga dijadikan jago untuk menumpas Prabu Kalapracona dan Patih
Sekiputantra?

Batara Narada menerima petunjuk tersebut. Ia kemudian mohon pamit menuju Padepokan
Kisiknarmada untuk menjemput si bayi Raden Antasena.

BATARA NARADA MENCULIK RADEN ANTASENA

Di Padepokan Kisiknarmada, Resi Mintuna sedang menghibur putrinya, yaitu Dewi


Urangayu yang setiap hari selalu bersedih menangisi keadaan putranya. Sudah dua puluh
tahun lamanya Raden Antasena lahir ke dunia tetapi sampai hari ini masih juga berwujud
bayi. Sebenarnya Dewi Urangayu ingin melaporkan hal itu kepada sang suami di Kesatrian
Jodipati, tetapi ia takut Arya Wrekodara tidak mau mengakui anaknya yang menderita
kelainan tersebut.

Resi Mintuna selalu menghibur putrinya bahwa apa yang dialami Raden Antasena pasti
mengandung hikmah pelajaran, dan ia yakin tidak lama lagi cucunya tersebut akan mendapat
pertolongan dari dewata. Lagipula Raden Antasena ini bayi yang unik. Sejak dilahirkan,
setiap hari selalu menangis dan hanya bisa diam apabila sudah direndam di dalam air laut.
Demikianlah, setiap hari selama dua puluh tahun ini si bayi Raden Antasena selalu direndam
di dalam air laut mulai matahari terbit hingga terbenam baru dientas kembali.

Pagi itu Raden Antasena kembali menangis keras, pertanda ia ingin direndam di dalam air
laut. Seperti kebiasaan di hari-hari sebelumnya, Dewi Urangayu pun membawanya menuju
pantai dengan diantar Resi Mintuna. Sesampainya di sana, Raden Antasena segera direndam
di dalam air laut dan ia tidak lagi menangis seperti tadi.

Tidak lama kemudian Batara Narada datang di pantai tersebut tanpa memperlihatkan diri. Ia
mengamati bayi Raden Antasena yang sedang berdiam diri di dalam air laut, lalu
mengambilnya dan melesat pergi menuju Kahyangan Dasarsamodra. Dewi Urangayu terkejut
dan menjerit karena putranya mendadak lenyap. Namun, Resi Mintuna berpenglihatan tajam.
Ia dapat melihat kelebat Batara Narada dan segera pergi mengejarnya.

RADEN ANTASENA BERTARUNG MELAWAN PRABU MINALODRA

Prabu Minalodra di Kahyangan Dasarsamodra sedang berpesta merayakan kemenangannya


memukul mundur para dewa putra Batara Guru. Tiba-tiba terdengar suara Batara Narada
berteriak memanggil-manggil di luar istana. Prabu Minalodra marah dan keluar untuk
menghadapinya.

Batara Narada berkata Prabu Minalodra jangan gembira dulu. Para dewa bukannya kalah,
tetapi sengaja mengalah karena melawan makhluk dunia harus menggunakan jago sesama
makhluk dunia pula. Prabu Minalodra bertanya apakah Batara Narada datang membawa jago
tersebut. Batara Narada pun menunjukkan bayi laki-laki yang ada di gendongannya.
Meskipun masih bayi, namun ia sudah berusia dua puluh tahun.

Prabu Minalodra tertawa menyebut Batara Narada sedang bercanda. Mana ada manusia sudah
berusia dua puluh tahun tetapi masih berwujud bayi? Batara Narada berkata Prabu Minalodra
tidak usah mengejek kalau hanya untuk menutupi rasa takutnya. Prabu Minalodra tersinggung
dan segera menyerang Batara Narada. Batara Narada pun melemparkan bayi dalam
gendongannya ke arah kepala Prabu Minalodra.

Tubuh si bayi Raden Antasena membentur kepala Prabu Minalodra hingga membuatnya
merasa pusing. Anehnya, Raden Antasena tidak mati, tetapi tumbuh menjadi anak kecil yang
sudah bisa berjalan. Prabu Minalodra merasa heran. Ia pun memukul dan menendang tubuh
Raden Antasena. Sungguh ajaib, semakin dipukul tubuh Raden Antasena semakin bertambah
besar, hingga akhirnya menjadi pemuda dewasa sesuai dengan usianya yang sudah dua puluh
tahun.

Prabu Minalodra semakin penasaran. Ia pun mengamuk menyerang Raden Antasena. Raden
Antasena melawan sebisanya. Ia memiliki kesaktian alamiah yang dengan sendirinya dapat
menghadapi semua serangan Prabu Minalodra. Hingga akhirnya, Prabu Minalodra pun tewas
kehilangan nyawa. Jasadnya musnah, dan seluruh kesaktiannya berpindah ke dalam diri
Raden Antasena.

BATARA BARUNA MENGANGKAT RADEN ANTASENA SEBAGAI CUCU

Raden Antasena terlihat kebingunan dan Batara Narada pun mendatangi untuk menjelaskan
siapa dirinya. Tidak lama kemudian datanglah Resi Mintuna. Batara Narada meminta maaf
karena telah meminjam Raden Antasena untuk dijadikan sebagai jago para dewa. Resi
Mintuna justru berterima kasih, karena cucunya kini telah tumbuh dewasa berkat bertarung
melawan Prabu Minalodra tadi.

Raden Antasena pun memberi salam kepada Resi Mintuna. Meskipun selama dua puluh
tahun ini ia berwujud bayi, namun dirinya dapat mengenali wajah kakek dan ibunya. Resi
Mintuna merasa senang dan memeluk cucunya tersebut. Ketika hendak dibawa pulang ke
Padepokan Kisiknarmada, tiba-tiba Batara Guru datang bersama Batara Baruna.

Batara Guru berterima kasih atas bantuan Resi Mintuna dan Raden Antasena dalam
mengalahkan Prabu Minalodra. Sebagai ungkapan terima kasih, Batara Guru pun
memberikan hadiah kepada Raden Antasena berupa Cupu Madusena yang berisi air
kehidupan Tirtamarta Kamandanu. Batara Guru juga mengangkat Resi Mintuna sebagai dewa
pelindung ikan air tawar, berdampingan dengan Batara Baruna yang merupakan dewa
pelindung ikan air laut. Resi Mintuna merasa tidak pantas karena ia tidak membantu apa-apa.
Namun, Batara Guru sudah memutuskan demikian, karena ia menilai tapa brata Resi Mintuna
selama ini sudah mencapai derajat dewa. Maka, sejak hari itu Resi Mintuna boleh disebut
dengan gelar Batara Mintuna.

Batara Baruna juga berterima kasih karena bisa kembali bertakhta di Kahyangan
Dasarsamodra. Ia pun mengangkat Batara Mintuna sebagai saudara, dan menjadikan Raden
Antasena sebagai cucu. Maka, sejak hari itu Raden Antasena pun disebut pula sebagai cucu
Batara Baruna.

RADEN ANTASENA INGIN MENCARI AYAHNYA

Batara Guru menjelaskan bahwa selama dua puluh tahun ini, Raden Antasena dalam wujud
bayi selalu menangis minta direndam di dalam air laut mulai pagi hingga senja. Kelihatannya
ini seperti berendam biasa, tetapi sesungguhnya apa yang dilakukan Raden Antasena adalah
tapa brata keras, di mana ia menyerap intisari kekuatan air agar merasuk ke dalam dirinya.
Hal ini membuat Raden Antasena menjadi manusia sakti alamiah yang tidak terkalahkan.
Selain itu, meskipun kini sudah berubah menjadi pria dewasa, namun sifat-sifat bayi yang
polos dan lugu tetap terbawa, membuat Raden Antasena menjadi pribadi yang jujur apa
adanya, tidak bisa berpura-pura, juga tidak mengenal basa-basi duniawi.

Batara Mintuna bersyukur atas suratan takdir yang dialami cucunya. Kelainan yang dialami
Raden Antasena ternyata mengandung hikmah yang sedemikian besar. Ia pun mohon pamit
untuk mengajak Raden Antasena pulang ke Padepokan Kisiknarmada. Namun, Raden
Antasena menolak. Kini dirinya sudah bukan bayi lagi yang ke sana kemari dalam gendongan
ibu. Sebagai seorang anak, tentunya ia ingin bertemu dengan ayah kandungnya. Meskipun
selama ini berwujud bayi, namun ia dapat mendengar percakapan ibu dan kakeknya, bahwa
ayah kandungnya bernama Arya Wrekodara dari Kesatrian Jodipati di Kerajaan Amarta.
Untuk itu, Raden Antasena pun mohon pamit ingin bertemu dengan kesatria Pandawa nomor
dua tersebut. Kelak apabila ia sudah bertemu dengan Arya Wrekodara, barulah dirinya pulang
ke Padepokan Kisiknarmada untuk berkumpul kembali dengan sang ibu, yaitu Dewi
Urangayu.

Batara Mintuna dapat mengerti perasaan cucunya itu, demikian pula Batara Guru, Batara
Narada, dan Batara Baruna. Setelah mendapatkan petunjuk tentang arah mana yang harus
ditempuh untuk menuju Kerajaan Amarta, Raden Antasena pun mohon pamit berangkat ke
sana.

PRABU KRESNA MENDAPAT LAPORAN TENTANG HILANGNYA PARA


PANDAWA

Sementara itu di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa sedang memimpin


pertemuan yang dihadiri Raden Samba, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Tiba-tiba datanglah
Raden Abimanyu dengan wajah tegang seperti ada masalah besar. Dalam kunjungannya itu,
Raden Abimanyu melapor bahwa kelima Pandawa telah hilang diculik orang.

Awal mulanya ialah, Kerajaan Amarta diserang musuh dari Kerajaan Girikadasar yang
dipimpin Prabu Ganggatrimuka, yang ingin menangkap kelima Pandawa untuk dijadikan
tumbal bagi keselamatan negaranya. Dalam pertempuran itu, pasukan Girikadasar dapat
dipukul mundur oleh Arya Wrekodara dan kedua putranya, yaitu Raden Antareja dan Raden
Gatutkaca. Namun, pada malam harinya tiba-tiba Pandawa Lima lenyap dari istana. Para
putra Pandawa menduga mereka pasti diculik oleh Prabu Ganggatrimuka dengan
menggunakan Aji Sirep.

Prabu Kresna menerima laporan tersebut dan kemudian mengheningkan cipta memohon
petunjuk dewata. Sesaat kemudian ia membuka mata dan menjelaskan bahwa memang benar
Pandawa Lima saat ini berada dalam penjara Kerajaan Girikadasar sebagai tawanan Prabu
Ganggatrimuka. Bulan purnama besok, mereka berlima akan disembelih sebagai tumbal bagi
keselamatan negara.

Raden Abimanyu ngeri mendengarnya. Ia pun memohon bantuan Prabu Kresna agar sudi
menolong para Pandawa. Prabu Kresna menjawab dirinya tidak ditakdirkan untuk melawan
Prabu Ganggatrimuka dan membebaskan para Pandawa. Menurut penerawangannya, yang
bisa membebaskan Pandawa Lima adalah putra Arya Wrekodara.
Mendengar itu, Raden Abimanyu merasa mendapat pencerahan. Ia segera mohon pamit
kepada Prabu Kresna untuk melaporkan hal ini kepada saudara-saudaranya yang lain. Setelah
Raden Abimanyu pergi, Prabu Kresna merasa penasaran dan segera mengikutinya dari
belakang secara diam-diam.

RADEN ANTASENA MELERAI KEDUA KAKAKNYA

Raden Abimanyu kembali ke perbatasan di mana saudara-saudaranya telah menunggu, yaitu


Raden Pancawala, Raden Antareja, Raden Gatutkaca, Raden Bratalaras, dan Raden Sumitra.
Ia segera menyampaikan petunjuk yang telah diberikan Prabu Kresna, bahwa yang bisa
mengalahkan Prabu Ganggatrimuka dan membebaskan para Pandawa adalah putra Arya
Wrekodara. Raden Pancawala gembira mendengarnya dan segera menyerahkan
kepemimpinan kepada Raden Antareja atau Raden Gatutkaca.

Raden Antareja selaku putra sulung Arya Wrekodara, merasa dirinya lebih berhak menjadi
pemimpin upaya penyelamatan para Pandawa. Raden Gatutkaca menentang hal itu. Petunjuk
dari Prabu Kresna menyebut tentang putra Arya Wrekodara, dan ini tidak terbatas pada anak
sulung saja. Meskipun usia Raden Antareja lebih tua, tetapi Raden Gatutkaca lebih dulu
menjadi punggawa Kerajaan Amarta. Dengan kata lain, pengalaman berperang Raden
Gatutkaca jauh lebih banyak daripada kakaknya itu.

Raden Antareja tidak mau mengalah, begitu pula dengan Raden Gatutkaca. Keduanya sama-
sama berebut siapa yang berhak menjadi pemimpin penyelamatan para Pandawa. Sudah
beberapa kali kakak beradik ini terlibat pertarungan tetapi belum bisa menentukan siapa yang
menang, siapa yang kalah. Kali ini mereka kembali bertarung, demi untuk menentukan siapa
yang lebih berhak menjadi pemimpin rombongan.

Raden Pancawala, Raden Abimanyu, Raden Bratalaras, dan Raden Sumitra berusaha melerai
kedua sepupu mereka itu, namun keduanya sudah bertarung sengit, berusaha saling
mengalahkan. Kadang-kadang Raden Antareja menarik tubuh Raden Gatutkaca masuk ke
dalam tanah, kadang-kadang Raden Gatutkaca menyambar tubuh Raden Antareja naik ke
angkasa, seperti pertarungan yang sudah-sudah.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul Raden Antasena menerjang mereka. Dari kepalanya muncul
sepasang sungut udang yang memanjang, dan masing-masing menyengat tubuh Raden
Antareja dan Raden Gatutkaca. Begitu tersengat sungut di kepala Raden Antasena tersebut,
kedua bersaudara itu langsung jatuh terduduk dengan tubuh lemas. Keduanya tidak
menyangka ada seorang pemuda berwajah lugu yang bisa menghentikan pertarungan mereka.
Raden Antareja dan Raden Gatutkaca ingin bangkit berdiri tetapi kaki mereka terasa lemas
tidak bertenaga sama sekali.

Raden Antasena berkata, sungguh memalukan dua punggawa Kerajaan Amarta yang masih
kakak beradik harus bertarung sendiri hanya demi memperebutkan kedudukan sebagai
pemimpin. Apa untungnya mereka menjadi pemimpin jika harus melukai saudara sendiri?
Apa gunanya memamerkan jasa di hadapan para Pandawa, jika harus menginjak saudara
sendiri? Bukankah lebih baik mereka menyisihkan ego dan meraih kemenangan dengan cara
bekerja sama, bukan dengan cara bersaing saling menjatuhkan?

Raden Antareja dan Raden Gatutkaca merasa malu mendengarnya. Raden Gatutkaca lalu
mempersilakan Raden Antareja saja yang menjadi pemimpin pasukan. Namun, Raden
Antareja menolak karena Raden Gatutkaca jauh lebih berpengalaman sebagai punggawa
daripada dirinya. Kedua bersaudara itu kembali bertengkar, tapi kali ini mereka saling
berebut kalah, bukan saling berebut menang.

Raden Antasena tertawa melihat keduanya. Berdiri saja mereka tidak sanggup tapi hendak
menyelamatkan para Pandawa. Urusan memimpin pasukan biarlah dirinya saja yang
memimpin. Raden Antareja dan Raden Gatutkaca tidak terima karena ada pemuda polos
berwajah bodoh hendak memimpin mereka. Namun, mengingat kesaktian Raden Antasena
yang bisa melumpuhkan mereka hanya dengan sekali sengat, keduanya merasa gentar untuk
membantah.

RADEN ANTASENA MENJADI PEMIMPIN UPAYA PEMBEBASAN PARA


PANDAWA

Pada saat itulah Prabu Kresna muncul menampakkan diri. Sejak tadi ia mengintai
pertarungan antara Raden Antareja dan Raden Gatutkaca, hingga kemunculan Raden
Antasena yang berhasil melumpuhkan mereka hanya dengan sekali sengat. Prabu Kresna lalu
mengamat-amati penampilan Raden Antasena dan ia pun menebak bahwa pemuda itu adalah
putra Arya Wrekodara. Raden Antareja, Raden Gatutkaca, dan yang lain terkejut tidak
percaya pada keterangan tersebut.

Prabu Kresna pun menjelaskan bahwa Arya Wrekodara memiliki tiga orang istri. Yang
pertama adalah Dewi Nagagini, yaitu ibu Raden Antareja; yang kedua adalah Dewi Arimbi,
yaitu ibu Raden Gatutkaca. Adapun istri yang ketiga bernama Dewi Urangayu, dan tentunya
wanita itulah yang melahirkan Raden Antasena.

Raden Antasena membenarkan, bahwa dirinya memang putra Arya Wrekodara yang lahir
dari Dewi Urangayu. Tadinya ia menuju Kerajaan Amarta namun ternyata di sana tidak
bertemu para Pandawa. Raden Antasena lalu ditangkap Patih Tambakganggeng yang sedang
meronda karena dikira penyusup yang hendak berbuat onar. Namun, dirinya justru berbalik
meringkus patih Kerajaan Amarta tersebut. Dari keterangan Patih Tambakganggeng, ternyata
Pandawa Lima hilang diculik Prabu Ganggatrimuka, dan saat ini para putra mereka telah
berangkat untuk upaya penyelamatan. Raden Antasena lalu membebaskan Patih
Tambakganggeng dan bergegas menyusul hingga akhirnya melihat Raden Antareja dan
Raden Gatutkaca sedang berkelahi.

Raden Antareja dan Raden Gatutkaca saling pandang kemudian berusaha bangkit untuk
memeluk Raden Antasena. Namun, kaki mereka masih lemas tiada tenaga sama sekali untuk
berdiri. Raden Antasena tertawa dan kemudian kembali menyengat kedua kakaknya tersebut.
Begitu tersengat untuk yang kedua kalinya, seketika tenaga Raden Antareja dan Raden
Gatutkaca kembali pulih. Mereka berdua lalu bersamaan memeluk Raden Antasena.
Keduanya juga setuju biarlah Raden Antasena saja yang memimpin perjuangan
membebaskan para Pandawa.

Raden Pancawala, Raden Abimanyu, dan yang lain pun mendukung Raden Antasena sebagai
pemimpin perjalanan. Karena semuanya sudah sepakat, Raden Antasena pun meminta restu
kepada Prabu Kresna, lalu berangkat bersama saudara-saudaranya tersebut menuju Kerajaan
Girikadasar.

PRABU GANGGATRIMUKA MENERIMA KUNJUNGAN KAKAKNYA


Sementara itu di Kerajaan Girikadasar, Prabu Ganggatrimuka menerima kunjungan kakaknya
yang bernama Prabu Ganggapranawa dari Kerajaan Tawingnarmada. Prabu Ganggapranawa
tampak datang bersama putri kandungnya yang bernama Dewi Ganggi.

Setelah saling memberi salam, Prabu Ganggapranawa pun bertanya apakah benar Prabu
Ganggatrimuka telah menyekap Pandawa Lima. Prabu Ganggatrimuka membenarkan hal itu.
Ia memang telah menculik para Pandawa menggunakan Aji Sirep dan menyekap mereka di
dalam Konggedah. Hal ini karena Kerajaan Girikadasar sedang dilanda wabah, dan menurut
petunjuk dari Batara Kala yang disembah Prabu Ganggatrimuka, bahwa wabah tersebut akan
sirna apabila Pandawa Lima disekap dan disembelih sebagai korban.

Prabu Ganggapranawa merasa prihatin mendengarnya. Sejak awal ia tidak pernah setuju
adiknya itu memuja Batara Kala yang mengajarkan agama sesat. Lebih baik Prabu
Ganggatrimuka kembali ke jalan yang benar, dan membebaskan para Pandawa dari sekapan.
Prabu Ganggatrimuka tidak terima. Ia tetap bersikeras mengorbankan nyawa para Pandawa
dan mempersembahkan darahnya kepada Batara Kala.

Tiba-tiba seorang punggawa masuk dan melaporkan tentang putra-putra Pandawa yang
menyerang Kerajaan Girikadasar. Prabu Ganggatrimuka marah dan segera keluar
menghadapi serangan tersebut.

RADEN ANTASENA MEMBEBASKAN PARA PANDAWA

Sesungguhnya serangan para putra Pandawa itu hanyalah pancingan belaka. Raden Antasena
telah menyusun siasat untuk membebaskan para Pandawa. Ia menugasi Raden Antareja,
Raden Gatutkaca, Raden Abimanyu, Raden Bratalaras, dan Raden Sumitra untuk membuat
kekacauan agar Prabu Ganggatrimuka keluar menghadapi mereka. Sementara itu, Raden
Antasena dan Raden Pancawala menyusup melalui istana belakang untuk mencari di mana
para Pandawa disekap. Setelah mencari sekian lama, mereka akhirnya melihat Pandawa Lima
sedang dikurung dalam sebuah gedung kaca yang sangat tebal. Kelimanya pun tampak
terbaring lemas karena kehabisan udara.

Raden Antasena mengheningkan cipta mengumpulkan kekuatan. Sepasang sungutnya


kembali memanjang dan menyengat gedung kaca tersebut. Gedung kaca ini adalah pusaka
Prabu Ganggatrimuka yang bernama Konggedah. Tidak ada satu pun senjata yang bisa
memecahkannya. Namun, begitu tersengat oleh sungut Raden Antasena, gedung kaca
tersebut menjadi hancur berkeping-keping.

Raden Antasena dan Raden Pancawala menggotong keluar para Pandawa yang sudah lemas
tak sadarkan diri. Raden Antasena lalu membuka Cupu Madusena dan memercikkan air di
dalamnya ke tubuh Pandawa Lima. Seketika para Pandawa pun membuka mata. Raden
Pancawala sangat gembira dan memperkenalkan Raden Antasena kepada mereka.

Prabu Puntadewa sangat bersyukur dan berterima kasih atas pertolongan Raden Antasena.
Namun, Arya Wrekodara tidak bisa mengakui anaknya begitu saja. Ia bersedia menerima
Raden Antasena sebagai putra asalkan bisa mengalahkan Prabu Ganggatrimuka. Mendengar
itu, Raden Antasena segera mohon pamit menuju ke tempat pertempuran.

PRABU GANGGATRIMUKA DIKALAHKAN RADEN ANTASENA


Sementara itu, Prabu Ganggatrimuka dan pasukannya sedang bertempur melawan Raden
Antareja, Raden Gatutkaca, dan yang lain. Prabu Ganggatrimuka sendiri sangat kuat dan sulit
dikalahkan. Raden Antareja dan saudara-saudaranya sudah mengerahkan segala cara, namun
tidak juga berhasil mengalahkan raja Girikadasar tersebut.

Pada saat itulah Raden Antasena muncul. Dengan sekali pukul ia berhasil membuat Prabu
Ganggatrimuka roboh dengan kepala pecah. Raden Antareja, Raden Gatutkaca, dan yang lain
kagum melihat kesaktian Raden Antasena yang luar biasa itu. Dari luar terlihat lugu dan
polos, dengan wajah bodoh, namun ternyata menyimpan kehebatan yang mengagumkan.

Prabu Ganggapranawa tidak terima melihat adiknya tewas. Ia pun maju menyerang para putra
Pandawa tersebut. Raden Antareja segera maju menghadapi. Setelah bertarung cukup lama, ia
akhirnya berhasil mendesak raja tersebut. Prabu Ganggapranawa terkena pukulannya dan
roboh di tanah. Ketika Raden Antareja hendak memukulnya lagi, tiba-tiba Dewi Ganggi
muncul menghalangi.

Dewi Ganggi memohon agar ayahnya diampuni. Sebagai ganti, biarlah dirinya saja yang
dihukum mati oleh Raden Antareja. Namun, ia juga menjelaskan bahwa ayahnya sama sekali
tidak terlibat kejahatan Prabu Ganggatrimuka. Dalam hal ini Prabu Ganggapranawa justru
menasihati Prabu Ganggatrimuka agar membebaskan para Pandawa, namun adiknya itu tetap
bersikeras memuja Batara Kala.

Raden Antareja gemetar melihat kecantikan Dewi Ganggi. Rupanya ia telah jatuh cinta pada
pandangan pertama. Prabu Kresna dan para Pandawa muncul. Prabu Ganggapranawa pun
bangkit dan meminta maaf atas dosa-dosa adiknya yang kini telah tewas. Prabu Puntadewa
mewakili para Pandawa menerima maaf tersebut dan mengajak Prabu Ganggapranawa duduk
bersama.

Raden Arjuna yang banyak berpengalaman dalam urusan cinta dapat melihat bahwa Raden
Antareja telah jatuh cinta kepada Dewi Ganggi. Ia pun meminta Arya Wrekodara agar
berbesan dengan Prabu Ganggapranawa. Arya Wrekodara setuju, mengingat Raden
Gatutkaca sudah lebih dulu menikah, maka sangat pantas apabila Raden Antareja selaku
putra sulung juga mendapatkan istri.

Mendengar itu, Prabu Ganggapranawa sangat bahagia karena dirinya bisa berbesan dengan
para Pandawa. Ia pun menanyai Dewi Ganggi apakah bersedia menjadi istri Raden Antareja.
Dewi Ganggi hanya tertunduk malu. Mereka semua pun tertawa gembira. Suasana
permusuhan kini berubah menjadi persaudaraan.

Arya Wrekodara adalah yang paling merasa gembira, karena para Pandawa termasuk dirinya
telah lolos dari maut, sekaligus mendapat seorang menantu pula. Dan yang lebih utama, ia
kini bertemu dengan putra ketiganya, yaitu Raden Antasena. Prabu Puntadewa sekali lagi
berterima kasih atas pertolongan Raden Antasena yang telah memimpin upaya penyelamatan
atas dirinya dan para Pandawa lainnya dengan sangat baik. Mereka semua lalu kembali ke
Kerajaan Amarta untuk mengadakan syukuran, sekaligus menyusun rencana pernikahan
Raden Antareja dengan Dewi Ganggi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
 
kisah sebelumnya ;  daftar isi ; kisah selanjutnya

CATATAN : Kisah di atas sebenarnya adalah gabungan lakon Antasena Lahir dan Antasena
Takon Bapa yang saya jadikan satu. Mengenai kisah Raden Antasena sudah berusia dua
puluh tahun tetapi masih berwujud bayi adalah karangan saya, sebagai benang merah untuk
mengisahkan asal mula Raden Antasena memiliki watak polos dan jujur seperti anak kecil.
Adapun Prabu Ganggapranawa bersaudara dengan Prabu Ganggatrimuka juga tambahan
dari saya, dengan maksud untuk menyisipkan kisah pernikahan Raden Antareja dengan Dewi
Ganggi.

Anda mungkin juga menyukai