Anda di halaman 1dari 4

LAKON PEWAYANGAN DEWI SRI BOYONG: MERESPON KENAIKAN HARGA

BERAS DALAM KAJIAN ETNOAGRONOMI


Puji Puspita Sari

Banyak pakar yang berteori tentang kebudayaan, seperti: Edward B. Tylor, Bronislaw
Malinowski, Clifford Geertz, Roger M. Keesing, Koentjaraningrat, R. Soekmono, dan
sebagainya; hanya saja, terkait dengan artikel ini, ada salah satu teori yang menarik untuk
dikemukakan di sini, yaitu teori kebudayaan yang digagas oleh C.A. van Peursen. Menurut van
Peursen, kebudayaan pada hakikatnya lahir dari dialektika antara imanensi dan transendensi.
Bagaimana maksud pernyataan van Peursen tersebut dapat diikuti ilustrasi berikut ini? Bencana
alam kekeringan yang berkepanjangan sebagai dampak dari fenomena alam El Nino secara
beruntun, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, berdampak pada munculnya krisis pangan.
Berbagai upaya, baik secara fisikal maupun metafisikal-spiritual dilakukan manusia untuk
mengatasi krisis tersebut. Upaya fisikal dalam jangka pendek dilakukan, seperti dengan
pembuatan sumur-sumur bor dan hujan buatan. Upaya jangka panjang dilakukan manusia dengan
membuat waduk-waduk penampung air dan saluran irigasi yang baru.
Upaya metafisikal-spiritual ditempuh manusia dengan mengadakan ritus-ritual
kepercayaan dan upacara keagamaan, seperti: memberi sesajian di tempat-tempat keramat dan
sumber-sumber air, berdoa, mengadakan sholat berjamaah, dan membaca kitab-kitab suci
keagamaan, serta mengadakan pertunjukan seni budaya tertentu. Kekeringan sebagai dampak
anomali cuaca, El Nino yang berdampak secara beruntun pada: gagal tanam ataupun gagal
panen, yang diikuti kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan, terutama beras, dapat
dimaknai sebagai imanen; sedang upaya fisikal, seperti: pembuatan sumur bor, pembuatan dan
pembangunan waduk-waduk baru, pembangunan saluran irigasi baru, maupun pembersihan
kolam-kolam sumber air, serta upaya metafisikal-spiritual, seperti: mengadakan sesajian di
tempat-tempat yang dikeramatkan, menziarahi tempat-tempat yang dikeramatkan, membersihkan
dan menempatkan sesajian di kolam-kolam sumber air, membaca doa-doa, mengadakan sholat
berjamaah, membaca kitab-kitab suci keagamaan, serta kegiatan-kegiatan spiritual lainnya,
dapat dimaknai sebagai transenden. Secara khusus artikel akan menjelaskan bagaimana
masyarakat Jawa berupaya untuk mendatangkan hujan yang berdampak pada kesuburan tanah
dengan cara metafisikal-spiritual, yaitu dengan salah satunya mementaskan wayang semalam
suntuk dengan lakon Dewi Sri Boyong.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kehidupan seni-budaya manusia sarat dengan simbol-
simbol, termasuk seni-budaya pewayangan. Masyarakat Indonesia tidak sedikit yang paham,
siapa tokoh pewayangan yang sangat populer dengan nama Sengkuni atau Syakuni dan Durna
atau Druna itu: dua tokoh pewayangan yang terkenal dengan sifat-sifat yang sangat licik dan
penuh tipu daya. Kedua nama tokoh pewayangan itu sering dilabelkan pada tokoh-tokoh di dunia
politik khususnya yang memiliki kesamaan sifat. Demikian pula halnya dengan Duryudana, raja
dari Kerajaan Astina dan Dursasana, adik kandung Sang Raja terkenal dengan sifat-sifat lalim,
kejam, jahat, jahil, rakus, penuh nafsu angkara murka. Namanya saja sudah bermakna jahat: Dur
yang berarti buruk atau jahat. Sebaliknya, nama tokoh-tokoh, seperti: Puntadewa, Raja dari
Kerajaan Amarta adalah sebagai simbol kebenaran dan kejujuran, Bimasena atau Werkudara
adalah sebagai simbol keteguhan hati dan sifat-sifat ksatria; Harjuna atau Janaka adalah sebagai
simbol sifat ksatria dan suka menolong, dan masih banyak tokoh yang menyimbolkan sifat-sifat
atau perilaku tertentu. Melalui lakon pewayangan Dewi Sri Boyong, (Dewi Sri yang diboyong
kembali ke Kerajaan Amarta), dikenal tokoh Dewi Sri. Dewi Sri dipercaya masyarakat Jawa
sebagai tokoh mitologis-spiritual yang melambangkan sifat-sifat menghidupi dan menyuburkan.
Dewi Sri dalam mitologi Tanah Jawa juga disebut sebagai Sang Hyang Bathari Sri, Sang Hyang
S(e)ri, ataupun Dewi Padi. Dewi Sri dipercaya secara mitologis sebagai Dewi Padi karena sudah
sejak zaman lampau Pulau Jawa terkenal sebagai produsen padi terbesar yang sekaligus
menjadikannya sebagai makanan pokok penduduk di pulau tersebut.
Lalu, bagaimana kisah lakon pewayangan Dewi Sri Boyong dapat diikuti berikut ini.
Adegan pertama berlangsung di Negara Amarta. Raja Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa
bersedih hati memikirkan murca(hilang tak tentu rimbanya)-nya Dewi Sri yang dibarengi dengan
terjadinya bencana alam kekeringan yang berkepanjangan, ditambah lagi dengan merajalelanya
hama tanaman pangan, terutama tanaman padi, seperti tikus, wereng, belalang, dan beberapa
jenis hama lainnya. Tanaman padi di hampir pelosok negeri banyak yang rusak dan mati karena
dimangsa dan dirusak hama-hama tersebut. Banyak pula petani yang mengalami gagal tanam.
Akibat bencana tersebut terjadi krisis pangan. Harga pangan melambung akibat ketersediaan
pangan menipis. Kelaparan pun terjadi di berbagai pelosok negeri. Atas saran Ki Lurah Semar,
Prabu Puntadewa pun mengutus Raden Janaka untuk mendatangkan Prabu Kresna dan Prabu
Baladewa untuk ikut memikirkan bagaimana mengatasi krisis maupun bencana tersebut. Singkat
kata, Prabu Sri Bathara Kresna dan Prabu Baladewa sampai di Kerajaan Amarta dengan
disambut hangat oleh Prabu Puntadewa dan keempat adiknya, yaitu: Raden Werkudara, Raden
Harjuna, Raden Nakula, serta Raden Sadewa. Di tengah-tengah terjadinya pembicaraan ketiga
raja yang masih bersaudara sepupu itu, tiba-tiba menyeruak datang seorang ksatria tampan yang
bernama Raden Praba Kusuma.
Raden Praba Kusuma mengaku bahwa dirinya adalah putera Raden Janaka dengan Ibu
Dewi Supraba yang merupakan anak dari Bathara Indera. Prabu Kresna pun berbisik ke telinga
Raden Harjuna agar mau mengakui ksatria tersebut sebagai anaknya, tetapi dengan syarat bisa
mencari, menemukan, dan memboyong Dewi Sri kembali ke Bumi Amarta. Raden Prabakusuma
menyanggupi untuk memboyong Dewi Sri kembali ke Negara Amarta. Dengan diiringi
Punakawan Ki Lurah Semar dan ketiga puteranya: Nala Gareng, Petruk, dan Bagong, Raden
Praba Kusuma berangkat mencari keberadaan Dewi Sri. Di tengah-tengah perjalanan dan
kebingungan pikiran dalam mencari Dewi Sri, secara tiba-tiba Raden Prabakusuma bertemu
dengan kakeknya, Bathara Indra, yang memang mencari penyebab terjadinya gara-gara di
Marcapada ( Mayapada), dunia. Atas petunjuk Bathara Indra, Raden Praba Kusuma menuju ke
Negara Atas Angin, tempat disembunyikannya Dewi Sri oleh Raja Nilataksaka yang bermaksud
mempermaisuri Dewi Sri. Dewi Sri menolak mentah-mentah maksud Raja Nilataksaka.

Kedatangan Raden Praba Kusuma tentu saja ingin meminta Raja Nilataksaka untuk
membebaskan Dewi Sri tanpa syarat untuk diboyong kembali ke Kerajaan Amarta dengan cara
yang baik-baik. Permintaan Raden Praba Kusuma itu ditolak mentah-mentah oleh Raja
Nilataksaka, bahkan Raden Praba Kusuma ditantangnya untuk bertarung sampai titik darahyang
penghabisan. Pertarungan antara keduanya pun tak dapat dihindarkan.
Dalam pertarungan itu Raja Nilataksaka yang semula berwujud manusia, tiba-tiba
berubah menjadi naga dengan nama Nagataksaka. Pertarungan bertambah sengit. Raden
Prabakusuma hampir saja kalah. Melihat gelagat bendara (tuan)nya akan kalah, Ki Lurah Semar
memberi isyarat dengan menunjukkan kelemahan Nagataksaka. Akhirnya, Nagataksaka dapat
dikalahkannya. Keajaiban terjadi Nagataksaka yang ingin kembali ke bentuk manusia, tidak
terwujud. Hidupnya merana menderita kekalahan. Mendengar anaknya mengalami kekalahan dan
merana, Prabu Seran Trenggana, ayah Raja Nilataksaka murka. Prabu Seran Trenggana dengan
pasukannya menyerang Negara Amarta. Sesampainya di alun-alun Amarta, pasukan Raja Seran
Trenggana disambut oleh pasukan Amarta yang dipimpin oleh: Raden Werkudara, Raden
Janaka, Raden Gathutkaca, Raden Antasena, Raden Antareja, Raden Abimanyu, dan Raden
Harya Setyaki. Prabu Trenggana bertarung sengit dengan Raden Werkudara.
Dalam pertempuran itu Raden Werkudara hampir saja kalah, tetapi Ahli Strategi Perang
Prabu Sri Bathara Kresna memberi isyarat tertentu kepada Raden Werkudara. Dengan isyarat itu,
Raden Werkudara tahu kelemahan Prabu Seran Trenggana. Akhirnya, Prabu Seran Trenggana
dapat dikalahkannya. Ada lagi keanehannya, Prabu Seran Trenggana berubah menjadi kayu.
Kekalahan Prabu Seran Trenggana menambah penderitaan Nagataksaka. Nagataksaka pun
menghiba-hiba memohon pertolongan kepada Prabu Sri Bathara Kresna untuk dikembalikan ke
wujud semula, sebagai manusia. Prabu Sri Bathara Kresna pun mengabulkan permintaan
Nagataksaka dengan syarat mau memangsa tikus-tikus yang merajalela di seluruh Negeri
Amarta. Nagataksaka menyanggupinya. Sejurus kemudian, Patih Tambakganggeng terengah-
engah datang melaporkan kedatangan pasukan Kurawa yang dipimpin oleh Adipati Karna
kepada Prabu Puntadewa. Menurut laporan Patih Tambakganggeng, kedatangan Adipati Karna
dengan pasukan Kurawanya adalah mau meminta Dewi Sri untuk diboyong ke Kerajaan Astina.
Tanpa menunggu perintah dari Prabu Puntadewa, Raden Werkudara, Raden Harjuna, dan
disertai para putra Pandawa meninggalkan pasewakan (pertemuan) agung Kerajaan Amarta
untuk menyambut kedatangan pasukan Kurawa yang dipimpin oleh Adipati Karna. Pertempuran
sengit antara pasukan Kerajaan Astina dan Kerajaan Amarta pecah. Mereka, baik dari pihak
Pandawa maupun Kurawa, berhadapan dengan musuh bebuyutan masing-masing. Raden
Werkudara berhadapan dengan Raden Dursasana, Raden Harjuna berhadapan dengan Adipati
Karna, Raden Harya Setyaki berhadapan dengan Raden Burisrawa. Raden Jayadrata berhadapan
dengan Raden Gatutkaca, Patih Sengkuni berhadapan dengan Raden Antasena, dan sebagainya.
Setelah bertempur sengit, kemenangan berada di pihak Pandawa. Kurawa mundur teratur.
Pasewakan (pertemuan) Agung di keraton Amarta dibuka kembali oleh Raja Puntadewa yang
dihadiri oleh para Pandawa, Prabu Sri Bathara Kresna, Prabu Baladewa, beserta para kerabat dan
para putera Pandawa. Setelah sejenak beramah tamah akhirnya pertemuan agung ditutup dengan
doa dan rasa syukur kepada Tuhan atas kembalinya Dewi Sri ke bumi Amarta. Bumi Amarta
kembali Gemah ripah loh jinawi (kekayaan melimpah, hidup sejahtera) subur kang sarwa
tinandur (apapun yang ditanam, tumbuh subur kembali); murah kang sarwa tinuku (apa yang
dijual dapat dibeli dengan harga yang terjangkau/ murah).
Lakon di atas menggambarkan bahwa jika kita mulai meninggalkan warisan spirit, elan
vital menurut istilah Henry Bergson, tradisi leluhur sebagai negara agraris, kita semakin
bermasalah dengan ketersediaan kebutuhan pangan kita. Pertarungan berakhir dengan kekalahan
Prabu Nilataksaka. sebagaimana disebutkan di atas, seperti lakon-lakon: Dewi Sri Boyong, Dewi
Sri Mulih atau lakon Dewi Sri--Bambang Sadana. Pada tahun 1980-an ada ritus dan upacara
ritual tradisional unik yang dilakukan Sesepuh atau Tetua Kampung Bodrorejo untuk
menurunkan hujan, seperti yang dilakukan oleh Ki Marto Suwito (Almarhum). Sekitar pukul
10.00 WIB Beliau meletakkan ember yang berisi air kembang tujuh warna di halaman rumahnya.
Di samping ember diletakkan secara terbalik sapu lidi yang masih baru. Di ujung sapu lidi
ditancapkan kembang dengan tujuh warna. Kepala Ki Marto Suwito menengadah ke langit
dengan tangan di angkat ke atas. Mulut Ki Marto Suwito komat-kamit membaca doa/ mantra
memohon hujan kepada hujan.

Anda mungkin juga menyukai