OLEH
NADHIF IBNU SYIFA
KELAS VII C
NO ABSEN 22
TARI KECAK dan TARI GANDRUNG dengan NILAI-NILAINYA
TARI KECAK
KOMPAS.com - Tarian Kecak merupakan tari tradisional Provinsi Bali. Tarian ini tidak
cuma sekadar gerakan badan semata, akan tetapi terdapat kisah di setiap gerakannya yang
bermakna. Saat para penari memasuki panggung, maka awal kisah dimulainya. Lalu,
dilanjutkan dengan dibawa atau diculiknya Shinta oleh Rahwana. Kemudian, Rahwana bertarung
melawan Jatayu serta Hanoman untuk menyelamatkan Shinta. Di dalam proses penyelamatan
itu, Hanoman mengacaukan tempat penyekapan Shinta dengan cara membakar. Akan tetapi,
Hanoman malah terkepung oleh prajurit Rahwana dan hampir saja terbakar. Awalnya, Rama
memang mengalami kekalahan. Tetapi hal tersebut tak membuat surut Rama dalam
menyelamatkan permaisurinya, yakni Shinta.
Tarian ini juga bukan cuma ditujukan bagi para penganut agama Hindu semata saja,
namun pada semua umat beragama tetap bisa menikmatinya dengan baik.
TARI GANDRUNG
Tari Gandrung merupakan tari tradisional yang khas dari Banyuwangi, Jawa Timur
dan telah dipentaskan sejak ratusan tahun yang lalu. Tari Gandrung mulanya berasal dari
kebudayaan Suku Osing dan menjadi wujud dari rasa syukur atas hasil panen pertanian.
Dalam pementasannya, Tari Gandrung dibawakan oleh penari laki-laki maupun perempuan
yang masing-masing penarinya memiliki nama.
Penari perempuan disebut dengan nama Penari Gandrung, sedangkan penari laki-
laki disebut sebagai Paju atau Pemaju. Meskipun pada awalnya, Tari Gandrung ditampilkan
oleh seorang penari laki-laki yang bernama Masran. Kata gandrung dalam penamaan tarian
ini diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris pada Dewi Sri
sebagai Dewi Padi dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Tentang asal dari kesenian gandrung tersebut, Joh Scholte dalam makalahnya yaitu
Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab Gandrung Lelaki antara lain menulis sebagai berikut
ini: Asalnya ada lelaki jejaka yang bernama Marsan dan ia keliling ke desa-desa bersama
dengan pemain musik yang memainkan kendang dan terbang. Sebagai penghargaan dari
permainan tersebut, mereka akhirnya diberi hadiah berupa beras yang mereka bawa dalam
sebuah kantong.
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte dalam makalahnya tersebut, tidak jauh berbeda
dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun temurun, bahwa gandrung pada
mulanya dilakukan oleh kaum laki-laki bernama Marsan yaitu penari gandrung pertama.
Mereka membawa peralatan musik berupa kendang dan beberapa rebana atau terbang.
Setiap hari, para Marsan ini berkeliling dan mendatangi tempat-tempat yang dihuni
oleh sisa rakyat Belambangan yang berada di sebelah timur atau saat ini daerah tersebut
meliputi Kab. Banyuwangi.
Konon, pada saat itu, sisa rakyat yang tinggal di daerah tersebut hanyalah mencapai
5000 jiwa, karena peperangan yaitu penyerbuan kompeni yang dibantu oleh Mataram serta
Madura pada sekitar tahun 1767 untuk merebut Blambangan dari kekuasaan Mengwi,
hingga berakhirnya perang Bayu yang cukup sadis, keji maupun brutal dan dimenangkan
oleh Kompeni pada 11 Oktober tahun 177
Menurut cerita, jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri maupun menjadi tawanan,
hilang dan lainnya tidak tentu. Beberapa rakyat mungkin dibuang atau di selong oleh
Kompeni dan diperkirakan mencapai hingga lebih dari 60.000 jiwa.
Sementara itu, sisanya yaitu 5000 jiwa rakyat hidup terlantar dengan keadaan yang
memprihatinkan, terpencar di desa-desa, di pedalaman atau bahkan banyak yang
memutuskan untuk berlindung di hutan. Mereka adalah para orang tua, janda, anak-anak
yang yatim piatu. Beberapa ada yang memilih untuk menyingkir dan melarikan diri ke negeri
lain seperti Mataram, Madura, Bali dan lainnya.
Apa yang dituliskan adalah sebagai berikut ini, pada tanggal 7 November 1772
sebanyak 2505 orang laki-laki dan perempuan telah menyerahkan dirinya pada Kompeni,
Van Wikkerman mengatakan, bahwa Schophoff telah menyuruh orang-orang tersebut untuk
menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amukan masyarakat dan
memakan daging dari mayat Van Schaar.
Dikatakan pula, bahwa orang-orang Madura telah merebut para perempuan serta
anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri ke dalam
hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga udara pun
tercemar oleh mayat-mayat yang membusuk hingga jarak yang cukup jauh.
Setelah ibu kota baru selesai dibangun, ibu kota tersebut dikenal dengan nama
Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang telah di babad yaitu Tirta Arum.
Dari keterangan tersebut, maka terlihat jelas bahwa tujuan dari kelahiran kesenian
tari gandrung ialah untuk menyelamatkan sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh
Kompeni dan membangun lagi bumi Belambangan di sebelah timur yang telah hancur
karena seruan Kompeni.
Gandrung perempuan, pertama kali dikenal dalam sejarah adalah gandrung semi,
yaitu seorang anak kecil yang pada saat itu masih berusia sepuluh tahun di tahun 1895.
Menurut cerita yang dipercaya oleh masyarakat, pada saat itu Semi menderita penyakit
cukup parah.
Segala cara telah dilakukan, bahkan Semi datang ke dukun, namun Semi tetap tidak
kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi bernama Mak Midhah pun bernazar, “kadhung sira
waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Jika kamu sembuh, saya akan
jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).
Menurut catatan sejarah, tari gandrung pertama kali ditarikan oleh para laki-laki
yang berdandan seperti perempuan, sedangkan menurut laporan dari Scholte (1927),
instrumen utama yang mengiringi tari gandrung lanang adalah kendang.
Pada masa tersebut, biola juga digunakan. Akan tetapi, gandrung laki-laki ini makin
lama semakin hilang dari Banyuwangi tepatnya pada sekitar tahun 1890-an dan diduga
karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau laki-laki yang berdandan
seperti perempuan
Tari gandrung laki-laki pun benar-benar lenyap pada tahun 1914, usai penari terakhir
laki-laki yaitu Marsan meninggal dunia. Menurut sejumlah sumber, kelahiran dari tari
gandrung ditujukan sebagai hiburan semata, terutama bagi para pembabat hutan dan
mengiringi upacara untuk meminta selamat karena proses pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi, lalu diikuti oleh adik-adik perempuannya
dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggung. Kesenian ini lalu
semakin berkembang di daerah Banyuwangi yang lain dan kemudian menjadi ikon khas di
daerah setempat.
Pada mulanya, gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan dari penari
gandrung sebelumnya saja, akan tetapi sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis muda yang
bukan keturunan dari gandrung ikut mempelajari tari gandrung dan menjadikannya sebagai
sumber dari mata pencaharian, selain untuk mempertahankan eksistensi tari gandrung yang
makin terdesak pada akhir abad ke 20.
Meskipun tari gandrung laki-laki yang ditarikan oleh Marsan telah punah, tetapi tari
gandrung perempuan masih eksis hingga saat ini di Banyuwangi. Kesenian gandrung di
Banyuwangi masih terus berkembang, meskipun diera globalisasi saat ini.
Sejak tahun 200, antusiasme seniman dan budayawan Dewan Kesenian Blambangan
pun semakin meningkat. Gandrung dalam pandangan kelompok ini merupakan kesenian
yang memiliki nilai historis komunitas Using yang terus menerus tertekan secara struktural
maupun kultural. Maka dengan kata lain, gandrung merupakan bentuk perlawanan
kebudayaan daerah dari masyarakat Using.
Sementara itu, di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka
maupun citra negatif di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok sosial tertentu,
terutama kaum santri menilai, bahwa penari gandrung perempuan dinilai memiliki citra
negatif dan mendapat perlakuan yang tidak pantas, tersudut, terpinggirkan atau bahkan
mendapatkan diskriminasi pada kehidupan sehari-hari.
Sejak Desember 2000, tari gandrung pun resmi menjadi maskot pariwisata
Banyuwangi yang disusul dengan pematungan gandrung yang dipajang di berbagai sudut
kota maupun desa.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi dari gandrung untuk
dipentaskan di beberapa tempat, contohnya seperti Jakarta, Surabaya hingga ke luar negeri
seperti Hongkong dan Amerika Serikat.
Tari Gandrung Banyuwangi dalam pementasannya ada tiga bagian, yaitu jejer
Gandrung, ngrepen atau repenan, paju atau maju Gandrung, dan seblang-seblangan. Tarian
ini dipentaskan dalam berbagai acara seperti, khitanan, pernikahan, event pariwisata dan
dalam rangka memperingati hari jadi kota kabupaten Banyuwangi, dan dijadikan muatan
lokal untuk tingkat sekolah. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar oleh
masyarakat sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama.
Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tari Gandrung yaitu nilai perjuangan,
keindahan, pandangan hidup, simbolis, budaya dan tanggung jawab.