Anda di halaman 1dari 7

NILAI-NILAI

TARI KECAK dan TARI GANDRUNG

OLEH
NADHIF IBNU SYIFA
KELAS VII C
NO ABSEN 22
TARI KECAK dan TARI GANDRUNG dengan NILAI-NILAINYA

TARI KECAK
KOMPAS.com - Tarian Kecak merupakan tari tradisional Provinsi Bali. Tarian ini tidak
cuma sekadar gerakan badan semata, akan tetapi terdapat kisah di setiap gerakannya yang
bermakna.  Saat para penari memasuki panggung, maka awal kisah dimulainya. Lalu,
dilanjutkan dengan dibawa atau diculiknya Shinta oleh Rahwana. Kemudian, Rahwana bertarung
melawan Jatayu serta Hanoman untuk menyelamatkan Shinta. Di dalam proses penyelamatan
itu, Hanoman mengacaukan tempat penyekapan Shinta dengan cara membakar. Akan tetapi,
Hanoman malah terkepung oleh prajurit Rahwana dan hampir saja terbakar. Awalnya, Rama
memang mengalami kekalahan. Tetapi hal tersebut tak membuat surut Rama dalam
menyelamatkan permaisurinya, yakni Shinta.

Tari kecak, tari tradisional Bali dengan 50 penari pengiring


Raja Rama pun berdoa dengan kesungguhan hati dan kembali lagi berusaha untuk
membawa kembali sang permaisurinya tersebut. Hingga akhirnya, Rama pun berhasil
mendapatkan Shinta dengan kondisi yang selamat. Dari kisah itulah, terdapat makna Tari Kecak
yang cukup mendalam yaitu adanya kepercayaan pada kekuatan Tuhan. Hal itu dicerminkan
pada tindakan Rama saat meminta pertolongan kepada Dewata. Hal seperti itulah memberikan
pelajaran bahwa tarian ini dipercaya sebagai ritual untuk mendatangkan dewi yang sanggup
mengusir segala mara bahaya, baik itu bencana maupun penyakit yang menimpa masyarakat.
Sementara itu terdapat pesan moral berupa, Tarian Kecak yang mencerminkan perilaku Rama
kepada permaisuri kesayangannya yaitu Shinta, dan Burung Garuda yang rela untuk
mengorbankan sayapnya demi Shinta.

Gerak, tari jenis dan unsurnya


Selain pesan moral tersebut, terdapat beberapa makna gerakan tari kecak lainnya.
Gerakan tari kecak bermakna nilai seni yang tinggi, belajar mengandalkan kekuatan Tuhan, dan
mengandung banyak pesan moral. Walaupun tidak diiringi dengan musik maupun alunan
gamelan, Tari Kecak tetap tampak indah dan kompak. Gerakan yang dibuat oleh para penari
tersebut, dapat tetap seirama. Itulah yang menjadikannya bernilai seni tinggi dan disukai oleh
para wisatawan.

Belajar mengandalkan kekuatan Tuhan 


Pada tari Kecak, terdapat adegan di mana Rama meminta pertolongan pada Dewata.
Hal ini membuktikan bahwa Rama memercayai adanya kekuatan Tuhan untuk menolong dirinya.
Tari Kecak juga dipercaya sebagai salah satu ritual guna memanggil dewi yang dapat mengusir
penyakit dan melindungi masyarakat dan kekuatan jahat yang datang. Dewi yang umumnya
dipanggil dalam ritual ini yaitu Dewi Suprabha atau disebut juga Tilotama.

Banyak pesan moral


Tari Kecak mempunyai cerita yang cukup mendalam dan menyampaikan beberapa
pesan moral bagi para penglihatnya. Misalnya, kesetiaan Shinta terhadap suaminya yaitu Rama.
Serta Burung Garuda yang rela mengorbankan sayapnya demi menyelamatkan Shinta dari
cengkeraman Rahwana. Dari cerita inilah, kita semua juga diajarkan bahwa agar tidak
mempunyai sifat buruk seperti Rahwana yang memiliki sifat serakah dan suka mengambil hak
milik orang lain secara paksa.

Tarian ini juga bukan cuma ditujukan bagi para penganut agama Hindu semata saja,
namun pada semua umat beragama tetap bisa menikmatinya dengan baik. 

TARI GANDRUNG
Tari Gandrung merupakan tari tradisional yang khas dari Banyuwangi, Jawa Timur
dan telah dipentaskan sejak ratusan tahun yang lalu. Tari Gandrung mulanya berasal dari
kebudayaan Suku Osing dan menjadi wujud dari rasa syukur atas hasil panen pertanian.
Dalam pementasannya, Tari Gandrung dibawakan oleh penari laki-laki maupun perempuan
yang masing-masing penarinya memiliki nama.

Penari perempuan disebut dengan nama Penari Gandrung, sedangkan penari laki-
laki disebut sebagai Paju atau Pemaju. Meskipun pada awalnya, Tari Gandrung ditampilkan
oleh seorang penari laki-laki yang bernama Masran. Kata gandrung dalam penamaan tarian
ini diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris pada Dewi Sri
sebagai Dewi Padi dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Kesenian gandrung dari Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabatnya hutan


Tirtagondo atau Tirta Arum untuk membangun ibu kota Balambangan sebagai pengganti
dari Pangpang atau Ulu Pangpang atas prakarsa dari bupati pertama Banyuwangi yaitu Mas
Alit yang dilantik pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulu Pangpang.

Tentang asal dari kesenian gandrung tersebut, Joh Scholte dalam makalahnya yaitu
Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab Gandrung Lelaki antara lain menulis sebagai berikut
ini: Asalnya ada lelaki jejaka yang bernama Marsan dan ia keliling ke desa-desa bersama
dengan pemain musik yang memainkan kendang dan terbang. Sebagai penghargaan dari
permainan tersebut, mereka akhirnya diberi hadiah berupa beras yang mereka bawa dalam
sebuah kantong.

Apa yang ditulis oleh Joh Scholte dalam makalahnya tersebut, tidak jauh berbeda
dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun temurun, bahwa gandrung pada
mulanya dilakukan oleh kaum laki-laki bernama Marsan yaitu penari gandrung pertama.
Mereka membawa peralatan musik berupa kendang dan beberapa rebana atau terbang.

Setiap hari, para Marsan ini berkeliling dan mendatangi tempat-tempat yang dihuni
oleh sisa rakyat Belambangan yang berada di sebelah timur atau saat ini daerah tersebut
meliputi Kab. Banyuwangi.

Konon, pada saat itu, sisa rakyat yang tinggal di daerah tersebut hanyalah mencapai
5000 jiwa, karena peperangan yaitu penyerbuan kompeni yang dibantu oleh Mataram serta
Madura pada sekitar tahun 1767 untuk merebut Blambangan dari kekuasaan Mengwi,
hingga berakhirnya perang Bayu yang cukup sadis, keji maupun brutal dan dimenangkan
oleh Kompeni pada 11 Oktober tahun 177

Menurut cerita, jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri maupun menjadi tawanan,
hilang dan lainnya tidak tentu. Beberapa rakyat mungkin dibuang atau di selong oleh
Kompeni dan diperkirakan mencapai hingga lebih dari 60.000 jiwa.

Sementara itu, sisanya yaitu 5000 jiwa rakyat hidup terlantar dengan keadaan yang
memprihatinkan, terpencar di desa-desa, di pedalaman atau bahkan banyak yang
memutuskan untuk berlindung di hutan. Mereka adalah para orang tua, janda, anak-anak
yang yatim piatu. Beberapa ada yang memilih untuk menyingkir dan melarikan diri ke negeri
lain seperti Mataram, Madura, Bali dan lainnya.

Setelah pertunjukan dari gandrung selesai, para Marsan menerima semacam


imbalan dari penduduk yang mampu, seperti beras maupun hasil bumi lainnya. Sebenarnya
yang tampak sebagai imbalan tersebut adalah sumbangan yang nanti akan dibagikan pada
orang-orang yang keadaannya sangat memprihatinkan di pengungsian serta sangat
memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di daerah pedesaan, di pedalaman
maupun yang memilih untuk bertahan hidup di hutan dengan segala penderitaan, meskipun
perang telah usai.

Mengenai orang-orang yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaan


memprihatinkan tersebut, pernah disinggung oleh C. Lekkerkerker yang menulis tentang
beberapa kejadian usai Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran dari Kompeni pada tanggal
11 Oktober 1772.

Apa yang dituliskan adalah sebagai berikut ini, pada tanggal 7 November 1772
sebanyak 2505 orang laki-laki dan perempuan telah menyerahkan dirinya pada Kompeni,
Van Wikkerman mengatakan, bahwa Schophoff telah menyuruh orang-orang tersebut untuk
menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amukan masyarakat dan
memakan daging dari mayat Van Schaar.

Dikatakan pula, bahwa orang-orang Madura telah merebut para perempuan serta
anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri ke dalam
hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga udara pun
tercemar oleh mayat-mayat yang membusuk hingga jarak yang cukup jauh.

Berkat munculnya gandrung, seni ini kemudian dimanfaatkan sebagai alat


perjuangan yang setiap saat mengadakan pementasan dengan mendatangi tempat-tempat
yang dihuni oleh sisa rakyat yang hidup berpencar-pencar di pedesaan, di pedalaman
maupun yang menetap di hutan.
Setelah gandrung datang menampilkan pentas tari, orang-orang yang menderita di
hutan pun mulai ingin kembali ke kampung halamannya, mulai membentuk kehidupan baru
atau ikut membabat hutan Tirta Arum dan kemudian tinggal di ibu kota baru yang dibangun
atas prakarsa dari Mas Alit.

Setelah ibu kota baru selesai dibangun, ibu kota tersebut dikenal dengan nama
Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang telah di babad yaitu Tirta Arum.

Dari keterangan tersebut, maka terlihat jelas bahwa tujuan dari kelahiran kesenian
tari gandrung ialah untuk menyelamatkan sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh
Kompeni dan membangun lagi bumi Belambangan di sebelah timur yang telah hancur
karena seruan Kompeni.

Gandrung perempuan, pertama kali dikenal dalam sejarah adalah gandrung semi,
yaitu seorang anak kecil yang pada saat itu masih berusia sepuluh tahun di tahun 1895.
Menurut cerita yang dipercaya oleh masyarakat, pada saat itu Semi menderita penyakit
cukup parah.

Segala cara telah dilakukan, bahkan Semi datang ke dukun, namun Semi tetap tidak
kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi bernama Mak Midhah pun bernazar, “kadhung sira
waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Jika kamu sembuh, saya akan
jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).

Setelah mengucapkan nazar tersebut, ternyata akhirnya Semi sembuh dari


penyakitnya dan sesuai dengan sang ibu, mak Semi pun dijadikan sebagai Seblang dan
memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh seorang perempuan.

Menurut catatan sejarah, tari gandrung pertama kali ditarikan oleh para laki-laki
yang berdandan seperti perempuan, sedangkan menurut laporan dari Scholte (1927),
instrumen utama yang mengiringi tari gandrung lanang adalah kendang.

Pada masa tersebut, biola juga digunakan. Akan tetapi, gandrung laki-laki ini makin
lama semakin hilang dari Banyuwangi tepatnya pada sekitar tahun 1890-an dan diduga
karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau laki-laki yang berdandan
seperti perempuan

Tari gandrung laki-laki pun benar-benar lenyap pada tahun 1914, usai penari terakhir
laki-laki yaitu Marsan meninggal dunia. Menurut sejumlah sumber, kelahiran dari tari
gandrung ditujukan sebagai hiburan semata, terutama bagi para pembabat hutan dan
mengiringi upacara untuk meminta selamat karena proses pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi, lalu diikuti oleh adik-adik perempuannya
dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggung. Kesenian ini lalu
semakin berkembang di daerah Banyuwangi yang lain dan kemudian menjadi ikon khas di
daerah setempat.

Pada mulanya, gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan dari penari
gandrung sebelumnya saja, akan tetapi sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis muda yang
bukan keturunan dari gandrung ikut mempelajari tari gandrung dan menjadikannya sebagai
sumber dari mata pencaharian, selain untuk mempertahankan eksistensi tari gandrung yang
makin terdesak pada akhir abad ke 20.

Perkembangan Tari Gandrung

Meskipun tari gandrung laki-laki yang ditarikan oleh Marsan telah punah, tetapi tari
gandrung perempuan masih eksis hingga saat ini di Banyuwangi. Kesenian gandrung di
Banyuwangi masih terus berkembang, meskipun diera globalisasi saat ini.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga mulai mewajibkan setiap siswa-siswanya


mulai dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah satu
di antaranya ialah mewajibkan tari Jejer yaitu sempalan dari pertunjukan gandrung
Banyuwangi.

Kebijakan ini menjadi bentuk perhatian pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada


seni budaya lokal yang sebenarnya telah mulai terdesak oleh pentas populer lainnya seperti
campursari maupun dangdut.

Sejak tahun 200, antusiasme seniman dan budayawan Dewan Kesenian Blambangan
pun semakin meningkat. Gandrung dalam pandangan kelompok ini merupakan kesenian
yang memiliki nilai historis komunitas Using yang terus menerus tertekan secara struktural
maupun kultural. Maka dengan kata lain, gandrung merupakan bentuk perlawanan
kebudayaan daerah dari masyarakat Using.

Sementara itu, di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka
maupun citra negatif di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok sosial tertentu,
terutama kaum santri menilai, bahwa penari gandrung perempuan dinilai memiliki citra
negatif dan mendapat perlakuan yang tidak pantas, tersudut, terpinggirkan atau bahkan
mendapatkan diskriminasi pada kehidupan sehari-hari.

Sejak Desember 2000, tari gandrung pun resmi menjadi maskot pariwisata
Banyuwangi yang disusul dengan pematungan gandrung yang dipajang di berbagai sudut
kota maupun desa.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi dari gandrung untuk
dipentaskan di beberapa tempat, contohnya seperti Jakarta, Surabaya hingga ke luar negeri
seperti Hongkong dan Amerika Serikat.

Tari Gandrung Banyuwangi dalam pementasannya ada tiga bagian, yaitu jejer
Gandrung, ngrepen atau repenan, paju atau maju Gandrung, dan seblang-seblangan. Tarian
ini dipentaskan dalam berbagai acara seperti, khitanan, pernikahan, event pariwisata dan
dalam rangka memperingati hari jadi kota kabupaten Banyuwangi, dan dijadikan muatan
lokal untuk tingkat sekolah. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar oleh
masyarakat sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama.
Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tari Gandrung yaitu nilai perjuangan,
keindahan, pandangan hidup, simbolis, budaya dan tanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai