Anda di halaman 1dari 14

AGST Alliance

EdD

Konsep “Ibadah Sejati” Berdasarkan Roma 12:1-2 dan Signifikansinya bagi Pemuridan dan
Pengembangan Spiritualitas Murid Kristus.

Simon Sumping Gawan

Submitted to Dr Binsen S. Sidjabat, EdD, PhD

On 8th May 2021


1

Konsep “Ibadah Yang Sejati” Berdasarkan Roma 12:1-2 dan Signifikansinya Bagi Pemuridan dan
Pengembangan Spiritualitas Murid Kristus.

Abstrak
Diselamatkan oleh kasih karunia adalah berkat terbesar yang bisa dimiliki manusia di bumi
ini. "Terbesar" bukan hanya karena dia abadi, tetapi merupakan pintu masuk ke dalam keluarga dan
kerajaan Tuhan di bumi ini. Namun harus disadari bahwa anugrah menjadi Anak Allah dan hidup
dalam anugrah tidak serta merta membuat seseorang memiliki spiritualitas yang baik. Untuk
mencapai kerohanian yang baik, Paulus berkata bahwa seseorang harus berusaha untuk
"mengerjakan" keselamatannya dengan rasa takut dan gemetar "(Flp. 2: 2). Ini berarti bahwa seorang
murid Kristus perlu mempraktikkan disiplin rohani yang dapat membantu pertumbuhan spiritualnya.
Simon Chan mengatakan; “A rule of life is not about observing a set of rules in order to make
ourselves good and acceptable before God-that would be legalism. Rather, it is about living a life
under a certain pattern of discipline in order to achieve ascetical proficiency.” (Chan, 1998, 190).
Roma 12: 1-2 memiliki beberapa prinsip dasar yang harus dipraktekkan jika seseorang ingin
bertumbuh menjadi dewasa dan sehat secara rohani. Prinsip-prinsip ini termasuk kesediaan untuk
mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Tuhan dan
kepatuhan pada prinsip non-konformitas dengan dunia dan menjalani transformasi akal budi (intelek
dan pikiran). Semua prinsip ini merupakan komponen dasar dari ibadat sejati, dan jika diterapkan
secara konsisten akan mendukung berkembangnya kerohanian yang baik
Kata kunci
Ibadah, mempersembahkan, Sejati, spiritualitas, murid Kristus, signifikan, transformasi.

Kata Pengantar
Ibadah sejati tidak hanya terjadi atau dipraktikkan selama ibadah korporat atau kelompok,
tetapi terjadi setiap detik dalam hidup kita. Dalam konteks gereja Pendidikan, pemuridan dan
spiritualitas mempunyai fokus dan tujuan yang sama yaitu transformasi holistik sehingga seorang
murid pada akhirnya menjadi serupa dengan Kristus. Konsep ibadah sejati dalam Roma 12: 1-2
diyakini berkontribusi pada pencapaian tujuan itu. Sistematika penulisan ini dimulai dengan melihat
konteks dan deskripsi eksegetis dari Roma 12: 1-2 dan diikuti dengan diskusi tentang signifikansinya
bagi pemuridan dan perkembangan spiritualitas para murid Kristus.
2

Konteks dan huraian eksegetis Roma 12:1-2

Latarbelakang Konteks Roma 12:1-2


Pernyataan "oleh karena itu" dapat menjadi penunjuk yang cukup signifikan untuk melihat
latar belakang kontekstual teks ini. Instruksi ini secara implisit mengarahkan fokus kita untuk
menoleh ke belakang, yakni pada fondasi penting yang telah dibahas pada pasal-pasal sebelumnya.
Dave Hagelberg menjelaskan bahwa Tanya mengacu pada apa yang telah dibahas baik dalam
konteks jauh yaitu bab 1-11 dan konteks dekat yaitu bab 11: 25-32 (Dave Hagelberg 2004, 235).
Konteks jauh berbicara tentang kondisi manusia pada umumnya, yaitu berdosa dan
kehilangan kemuliaan Tuhan (Roma 3: 22-23; 5:12), tetapi oleh kasih karunia Tuhan, mereka telah
dipilih (Roma 8:29) dan ditebus oleh Tuhan melalui karya penebusan dan pendamaian di dalam
Yesus Kristus (Roma 5). Semua yang telah diberikan keselamatan dari Tuhan harus hidup dengan
menaklukkan diri mereka sendiri dan menundukkan di bawah kasih karunia Tuhan dan bukan
dengan pembenaran diri berdasarkan hikmat dan perbuatan.
Konteks dekat yaitu pasal 11: 11-32 merupakan klimaks dari pembahasan teologis Paulus
tentang soteriologi, di mana ia menyinggung tentang keselamatan "bangsa-bangsa lain" (11: 11-12,
25); yang secara simbolis digambarkan sebagai tunas liar yang telah "dicangkokkan" ke akar aslinya
(11:17). Berangkat dari status “dicangkokkan” ini, Paulus menasihati mereka untuk tidak menjadi
sombong atau bermegah tetapi; takutlah akan Tuhan (11:18; 11:20).
RC Sproul menulis bahwa Paulus mengakhiri bagian doktrinal dari pasal 11 dengan "fitly,
and appropriately, with Allah doxology…" (secara tepat, dan bersesuaian, dengan doksologi)
(Sproul 1994,193). Bagian ini menunjukkan ciri khas transisi yang biasa dilakukan Paulus ketika dia
ingin beralih dari masalah doktrinal ke penerapan praktis. Dalam Roma 12: 1-2; Paulus menasihati
para pendengarnya nutuk mmberikan tanggapan logis dengan mempraktikkan teori atau doktrin yang
telah diajarkan sebelumnya.

Huraian Eksegetis Roma 12: 1-2

“Karena itu, saudara-saudara…”Istilah “karena itu”, dari kata “οὖν” (oun) yang bermakna
kesungguhan (verily) dan kepastian (certainly) (Strong, G3767), yang memberikan penegasan
bahwa apa yang telah dan akan disampaikan oleh Paulus adalah sangat penting. Peggunaan “karena
itu” tidak dapat dilihat sebagai dua kata yang terpisah tetapi harus dimengerti sebagai satu
3

komponen kata, yang dalam konteks ayat ini menunjuk kepada suatu fondasi yang kuat yang telah
diletakkan sebagai pegangan sekaligus motivasi untuk melakukan hal-hal selanjutnya.

Panggilan “saudara-saudara” adalah terjemahan dari kata ἀδελφός (adelphos), dalam bentuk
maskulin yang secara lateral merujuk kepada saudara laki-laki (Strong, G80). Secara praktis, istilah
ini dapat dipakai sebagai merujuk kepada saudara kandung maupun secara saudara dekat maupun
jauh. Namun istilah ini juga dapat digunakan secara figuratif, seperti mana Paulus menggunakannya
disini yaitu “saudara seiman.” Melalui sapaan “adelphos”, maka jelas bahwa Paulus menganggap
jemaat Roma sebagai saudaranya sendiri dan sekaligus menunjukkan keintiman hubungan
interpersonalnya dengan mereka.

“…demi kemurahan Allah…” οἰκτιρμῶν τοῦ Θεοῦ, (oiktirmos tou Theos), pity, mercy
(Strong, G3627) bermakna atas dasar belas kasihan atau kemurahan Allah semata-mata. Penekanan
Paulus terhadap kemurahan atau belaskasihan Allah sewaktu menyapa “saudara-saudaranya”
menegaskan bahwa apa yang akan disampaikannya bukan dari keinginan atau ambisi pribadinya,
namun secara autentik dari Tuhan. Paulus perlu memberikan penegasan ini karena ia menyadari apa
yang telah dan akan disampaikannya adalah suatu pesan penting dari Tuhan. Kruse menyatakan
bahawa Paulus memulai dengan meletakkan dasar himbauan etisnya; yaitu kemurahan Allah. “The
appeal itself has two parts. The first is the call that his audience to offer themselves to God (12:1),
and the second is an appeal that they are not conformed to the world (12:2)” (Kruse 2012, 461).
Karena kasih karunia dia menasihatkan mereka. Karena kasih karunia mereka harus
mempersembahkan tubuh, dan karena kasih karunia mereka mengalami transformasi akal budi.

“…aku menasihatkan kamu…” Dalam terjemahan Yunani digunakan istilah “parakaleo” yang
secara literal bermakna “memanggil dengan suara nyaring atau berteriak” namun dalam konteks
ayat ini sudah tentu penggunaannya lebih kepada suatu rayuan atau himbauan yang tegas.
Pernyataan “Παρακαλῶ οὖν ὑμᾶς (parakaleō oun humas) menampakkan suatu kesungguhan atau
ketegasan, yang berimplikasi bahwa berita yang ingin disampaikan adalah sangat penting dan wajib
didengar serta dipraktekkan dengan baik.

“…supaya kamu mempersembahkan tubuhmu…” Pesan dari potongan ayat ini sangat jelas, yaitu
suatu exhortasi supaya mereka “mempersembahkan tubuh”. Istilah “mempersembahkan” dari kata
παρίστημι (paristēmi) (Strong, G3488), yaitu menyerahkan sepenuhnya seumpama seorang imam
yang mempersembahkan korban binatang, yang mempersembahkan keseluruhan bagian yang telah
4

ditetapkan sebagai persembahan kurban di hadapan Allah. Dalam ayat ini, Paulus sangat spesifik
menekankan objek dari persembahan, yaitu “tubuhmu”.
Istilah “tubuh”, σῶμα (sōma) (Strong, G4982) dalam bentuk jamak yang menujuk kepada
tubuh secara utuh atau seanteronya. Paulus sangat menyadari bagaimana keadaan tubuh yang tidak
dipersembahkan kepada Allah; yaitu tubuh yang cemar (Roma 1:24), kecenderungan menghambakan
diri kepada dosa (6:6); menuruti keinginanya (6:12); menjadi senjata kelaliman (6:13), dan dalam
frustrasinya Paulus mengatakan; “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari
tubuh maut ini? (7:24). Jadi tubuh yang cenderung tunduk kepada keinginanya perlu diserahkan dan
ditaklukkan dibawah pengendalian Roh Kudus Tuhan, sehingga menjadi persembahan yang hidup,
kudus dan yang berkenaan kepda Allah.

“…sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah..” Dalam
bagian ini Paulus selanjutnya menekankan mengenai ciri-ciri dari ibadah yang sejati, yang
diharapkan dari pembaca dan pendengarnya. Persembahan tersebut berupa suatu persembahan yang
“hidup”, yang sangat kontras dengan persembahan dalam era Perjanjian Lama, yang biasanya
mempersembahkan korban yang sudah disembelih atau mati. Baik secara literal maupun figuratif,
istilah “hidup” ζάω (zaō) bermakna to live, alive atau life (Strong, G2198), yang dapat diartikan
sebagai mempersembahkan kehidupan, hidup atau nyawa. Dalam bukunya, Sumping Esup
memberikan komentar yang lebih spesifik berkenaan “tubuh yang hidup” dimana beliau
menjelaskan bahwa “mempersembahkan tubuh yang hidup merujuk tubuh orang percaya yang dulu
mati karena dosa dan kini hidup oleh Yesus Kristus, yang bermaksud hidup dalam Allah” (Sumping
Esup 2020, 208).

Ciri-ciri dari persembahan tubuh yang selanjutnya dilihat dari segi kualitas, yaitu “kudus”.
Kata ἅγιος (hagios) (Strong, G40) merupakan diskripsi terhadap sesuatu yang sakral (sacred), yang
tak bercacat, dimana terbukti murni secara fisikal dan tak bercela secara moral.

Keadaan persembahan tubuh yang hidup dan tak bercacat merupakan suatu persembahan
yang berkenan kepada Allah. Istilah “berkenan” εὐάρεστος (euarestos) merupakan istilah yang
berkonotasi positif dan sangat menyenangkan, yaitu, “fully agreeable: - acceptable, wellpleasing”
(G2095).

itu adalah ibadahmu yang sejati. Kata ibadah λατρεία (latreia) ministration of God, that is, worship
(divine) service. (Strong, G3000). Jadi latreia disini mengarah kepada suatu pelayanan vertikal,
5

yaitu suatu ibadah kepada Tuhan. Frank Matera menjelaskan mengenai penggunaan kata “Ibadah”
sebagai berikut;

The use of “worship” to describe a morally good life establishes a contrast with Paul’s earlier
description of unredeemed humanity. Those under the wrath of God “dishonest their bodies”
(1:24) and “worshiped and served the creature rather than the creator” (1:25), but he justified
worship God in a way that is pleasing to God by offering themselves as a living sacrifice
through a morally good life. (Matera 2010, 287).

Persembahan tubuh yang hidup, kudus serta bukan hanya berkenan pada Allah merupakan
persyaratan yang dituntut oleh Tuhan, jika ingin mengalami ibadah yang sejati.

“Janganlah kamu menjadi serupa     dengan dunia   ini…” Ayat ini masih dalam kategori ibadah
yang sejati. Kategori pertama adalah berupa himbauan untuk mempersembahkan tubuh dan kedua
transformasi akal budi. Bagian yang kedua ini dimulai dengan suatu peringatan yang bernuansa
negatif, yaitu peringatan untuk tidak menjadi serupa denan dunia ini. Kata serupa συσχηματίζω
(suschēmatizō) to fashion alike, that is, conform to the same pattern (Strong, G4964), dapat
diilustrasikan seperti seorang pengemar atau fans yang berusaha mendandani dirinya persis seperti
idolanya. Dalam konteks ayat ini, Paulus memperingatkan mereka untuk tidak menjadi serupa
dengan dunia. “Dunia” αἰών (aiōn) “an age” yang dapat diartikan sebagai “suatu zaman” (Strong,
G165). Maknanya, peringatan untuk tidak menjadi serupa dengan zaman atau era, merujuk kepada
keadaan atau tren dunia pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Dalam suratnya, Paulus seringkali menggunakan istilah “dunia” merujuk kepada sisi negatif
yang memiliki tendensi untuk mencemarkan hati nurani atau akal budi, moral dan spiritualitas tubuh
Kristus. (rujuk 2Ti 4:10; 1 Kor 5:10; Efs.2:2; Kol.2:8). Jadi, sikap non-konformitas dengan trend
zaman yang cenderung berkontradiksi dengan gaya hidup murid Kristus merupakan suatu sikap yang
harus diprioritaskan oleh pendengarnya.
“…tetapi berubahlah   oleh pembaharuan budimu…”  Sikap untuk tidak konformitas dengan dunia
atau zaman dapat dilakukan dengan mentransformasi akal budi. Berfokus pada “tubuh” dalam ayat 1
dan “akal budi” dalam ayat 2, Paulus menyelesaikan dua perkara seperti yang dituliskan oleh Frank
Matera sebagai berikut; “First he indicates that the moral life encompasses the entire person as an
embodied and thinking self. Second, he draws an implicit contrast between redeemed and
unredeemed humanity” (Matera 2010, 286). μεταμορφόω (metamorphoō) to transform, change and
transfigure (Strong, G3339) secara figuratif dapat dijelaskan melalui proses metamorfosis dalam
lingkaran hidup seekor rama-rama. Terjadinya metamorfosis dari seekor ulat kepada rama-rama
berimplikasi bukan hanya pada perubahan fisik, tetapi juga pada nutrisinya. Seseorang yang sudah
6

mengalami kasih karunia Allah hendaklah mengalami transformasi radikal pada akal budinya.
Transformasi radikal yang dialami oleh Paulus sendiri telah meletakan keyakinan yang kokoh untuk
dia menekankan betapa mereka juga harus mengalaminya.
Kata “Pembaharuan” ἀνακαίνωσις (anakainōsis) (Strong, G342) renovation: - renewing yang
ditekankan dalam ayat ini dapat diilustrasikan sebagai merenovasi sebuah rumah yang telah usang,
dengan membuang segala sesuatu yang telah rosak dan menggantikannya dengan sesuatu yang baru.
Proses anakainōsis ini difokuskan pada “akal budi” νοῦς (nous) the intellect, that is, mind (divine or
human; in thought, feeling, or will); by implication meaning: - mind, understanding (Strong G3563).
“Nous” yang bermakna intelek atau pikiran merupakan bagian non-fisikal dari seorang manusia.
Paulus melihat “renovasi” intelek atau pikiran ini sangat krusial karena disitu terletak kekuatan
luarbiasa yang dapat mengendalikan kehidupan seseorang.
Pembaharuan akal budi sudah pasti akan membuka kemampuan berpikir untuk membedakan
δοκιμάζω (dokimazō) to test; by implication to approve: - allow, discern (Strong, G1381), kehendak
Allah. Paulus menekankan karakteristik dari kehendak Allah sebagai sesuatu yang baik, ἀγαθός
(agathos) good, well, pleasant (Strong, G18) berkenan εὐάρεστος (euarestos) fully agreeable: -
acceptable, wellpleasing (Strong, G2101) kepada Allah dan sempurna τέλειος (teleios) complete
(Strong, G5046). Kemampuan untuk membedakan kehendak Allah hanya dapat terjadi apabila akal
budi sudah mengalami transformasi, seperti yang dituliskan oleh Robert L. Wilken sebagai berikut;
“Certainly, unless the mind is renewed in all knowledge and illuminated by the full wisdom of God,
it cannot discern the will of God.” (Robert L. Wilken 2012, 290). Pembaharuan intelek dan pikiran
merupakan syarat mutlak untuk dapat membedakan manakah kehendak Allah; yaitu, apa yang baik,
menyenang dan sempurna.
Melalui huraian eksegesis diatas terdapat beberapa pesan penting yang dapat terapkan
sebagai materi bagi pemuridan dan pengembangan spiritualitas murid Kristus. Pertama, Kasih
karunia Allah sebagai fondasi dan motivasi bagi pemuridan dan pengembangan spiritualitas. Kedua,
Prinsip-prinsip asas dalam Ibadah sejati, yaitu; mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang
hidup; non-konformitas, dan transformasi akal budi (intelek dan pikiran).

Signifikansi Ibadah Sejati dalam Pemuridan dan Spiritualitas Gereja Lokal

Kemurahan Allah sebagai fondasi dan motivasi dalam ibadah yang sejati
Setiap peserta pemuridan harus didedahkan dengan apa yang menjadi fondasi dan motivasi
dalam mengikuti kelas pemuridan. Samuel D. Rima menjelaskan bahwa motivasi adalah “an
7

internal states of being that impels or drives us to action. Motivation is an energizer of behaviour”
(Rima 2000, 97). Oleh yang demikian, setiap orang harus terlebih dahulu mengintrospeksi diri demi
menemukan apakah hal yang memberikan energi bagi diriya dalam melakukan sesuatu. Berdasarkan
teks Roma 12:1, Paulus dengan jelas mengatakan dasar dan motivasi untuk dia menyampaikan
himbauan kepada jemaat di Roma, iaitu “demi kemurahan Allah”. Bagi Paulus, hidup dan
pelayanannya didasari dan dimotivasi oleh kemurahan Allah.
Para murid perlu diperingatkan mengenai ketidakmampuan manusia jika tidak karena kasih
dan kemurahan Tuhan. Simon Chan menekankan bahawa masalah mendasar bagi spiritualitas adalah
masalah dosa. (Chan1998, 76) Roma 3:23 menyatakan bahwa setiap manusia telah berdosa dan telah
kehilangan kemuliaan Allah. Dalam status sebagai orang berdosa, tidak seseorang pun layak untuk
menghadap Allah yang suci. Namun karena kemurahan Allah, manusia yang berdosa ditebus dan
diperdamaikan dengan Allah. Oleh yang demikian, setiap orang yang telah mengalami karya
penebusan Allah secara mutlak harus meletakkan kasih karunia sebagai fondasi dan motivasi dalam
hidupnya. Perkara pertama yang perlu diyakinkan kepada para peserta pemuridan adalah bahwa
keselamatan yang mereka perolehi semata-mata karena kasih karunia Allah. George Barna
menuliskan;
Disciple must be assured of their salvation by grace alone. Embracing the free gift of
salvation made available to us through the death and the resurrection of Jesus Christ initiates
our journey as a disciple. Without the relationship made possible by the acceptance of His
gift, a person cannot progress as a disciple; rejection of the cross is an insurmountable
obstacle to being a committed follower of Jesus. (Barna 2001, 20).

Meletakkan fondasi “kasih karunia” dalam hati para murid dapat membantu mereka untuk
meninggalkan motivasi-motivasi yang bersifat egosentris. Tidak menutup kemungkinan terdapat
peserta yang memiliki motivasi yang berfokus pada kepentingan diri daripada berfokus pada
kemurahan Allah. Misalnya, dengan mengikuti kelas pemuridan, mereka akan diberkati dengan
limpahnya jasmaniah dan lebih dikasihi Tuhan. Atau, mungkin ada juga yang berpartisipasi karena
dorongan dari pemimpin atau paksaan dari orang tua. Bagi mengantisipasi kemungkinan ada yang
memiliki motivasi yang tidak benar ini, maka para murid harus ditanamkan prinsip yang benar. Rima
menjelaskan “It is our level of motivation, or its absence that will determine how effectively and how
consistently we apply what we know to the leading of our life” (Rima 2000, 96). Mereka hendaklah
diyakinkan bahwa dalam kemurahan Allah, mereka telah menerima pengampunan, penebusan dan
hidup kekal, sehingga dasar untuk meletakkan kasih karunia sebagai fondasi dan motivasi adalah
sesuatu yang logis.
Definisi Ibadah sejati berdasarkan Roma 12:1-2.
8

Definisi yang dibuat disini terbatas pada skop ibadah sejati berdasarkan hasil ekseges dari
Roma 12:1-2. Sepertimana telah disinggung diatas bahwa ibadah sejati adalah mempersembahkan
seluruh eksistensi diri secara total, tidak menjadi serupa dengan dunia serta mengalami transformasi
akal budi. Definisi ini hendaklah difahami dengan benar oleh para murid serta diterapkan secara
konsisten. Mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup mencakup seluruh eksistensi,
yaitu tubuh, jiwa dan roh seseorang. Spiritualitas seseorang tidak dapat dibangun dan dikembangkan
hanya dengan kekerapan mengikuti ibadah secara fizikal, tetapi melalui hubungan yang akrab
dengan Tuhan secara individu. Ibadah yang tidak melibatkan totalitas diri dalam penyembahan hanya
akan mendapat kepuasan emosi atau fisikal saja, tetapi kehilangan dimensi rohaninya. Hubungan
yang akrab dengan Allah dapat dijalin dengan baik apabila seseorang mempersembahkan hidupnya
secara total untuk dipimpin oleh Roh Kudus dan berjalan dalam kebenaran Firman Tuhan.
Ibadah yang sejati bukan berfokus pada diri penyembah tetapi kepada Allah yang disembah.
Oleh sebab itu, keotentikan sebuah ibadah, baik secara individu maupun korporat terletak pada
penyembahan yang lahir dari hati dan akal budi yang telah ditransformasi oleh Tuhan dan
dipersembahkan secara jujur dan sadar melalui ekspresi-ekspresi tertentu. Walaupun dalam proses
pemuridan banyak melibatkan dimensi fisikal, namun sepanjang perjalanan proses itu berjalan harus
dilihat sebagai suatu ibadah atau penyembahan karena didalamnya terdapat doa, pujian, firman dan
persekutuan orang-orang kudus.

Frekuensi Ibadah Sejati

Ibadah memiliki makna yang begitu luas dan variatif, namun seringkali konsep seseorang
atau denominasi mempersempit dinamika dari makna dan penerapan ibadah itu sendiri. Konsep
tradisional mengenai ibadah yang hanya dilihat dari segi perkumpulan orang percaya dengan liturgi-
liturgi tertentu telah menanamkan suatu konsep bahwa ibadah hanya sah apabila dilakukan secara
korporat. Konsep ini telah meletakkan dasar bahwa frekuensi ibadah sangat terbatas pada waktu-
waktu tertentu saja. Implikasi logis dari konsep ini telah membatasi seseorang untuk
mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah
diluar ibadah formal.

Kalau ibadah sejati melibatkan persembahan diri secara utuh, maknanya ia tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu. Seseorang dapat menghadap Allah dimana saja dan kapan saja. Allah tidak
menuntut seseorang berkomunikasi atau berhubung dengan-Nya pada waktu-waktu tertentu saja.
Yesus mengatakan kepada perempuan Samaria bahwa penyembah-penyembah benar tidak lagi
terikat oleh tempat dan waktu, (Yoh 4:21) namun “…menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran;
9

sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian” (Yoh. 4:23-24). Jadi, ibadah yang
sejati melibatkan persembahan seluruh eksistensi diri penyembah dalam frekuensi yang tidak
terbatas sehingga setiap detik adalah ibadah atau penyembahan kepada Tuhan.

Signifikansi ibadah sejati bagi pemuridan


Apabila seorang murid memiliki motivasi yang benar dan ia bersemangat didalamnya, hal ini
dapat dilihat sebagai permulaan yang baik. Walaupun tidak selalu, namun permulaan yang didasari
dengan motivasi yang benar akan membawa kepada keberhasilan. Konsep ibadah sejati, dalam
konteks pemuridan berbicara mengenai motivasi yang benar dan penyerahan yang total. Menerapkan
konsep ibadah sejati sentiasa relevan bagi seorang murid Kristus, terutama apabila dterapkan dalam
pemuridan. Ibadah sejati akan membawa murid bukan hanya memahami materi pembelajaran tetapi
melalui penyerahan total mereka akan mengalami hadirat Tuhan secara pribadi. Dalam menjelaskan
apa itu kerohanian, Alister McGrath menuliskan bahwa spiritualitas bukan hanya mengetahui tentang
Tuhan, tetapi mengenal Tuhan secara individu. “Knowing God, not just knowing about God.
Experiencing God to the full. Transformation of existence on the basis of the Christian faith.
Attaining Christian authenticity in life and thought” (McGrath 1999, 4).
Salah satu cara terbaik untuk membangun spiritualitas seorang murid Kristus adalah melalui
pemuridan. Seseorang yang telah dimuridkan diharapkan dapat memahami, mampu mengajar dan
proaktif dalam menyebarkan apa yang telah dia pelajari dari gurunya. Aspek lain yang perlu
diketahui bahwa sebagai murid Kristus bahwa pemuridan sebagai suatu proses yang berlangsung
seumur hidup. Oleh yang demikian seorang yang ingin menjadi murid hendaklah berkomitmen untuk
mengabdi sepenuhnya dibawah keTuhanan Yesus Kristus seperti yang dituliskan oleh George Barna
berikut ini;
We might define discipleship as becoming a complete and competent follower of Jesus
Christ. It is about the intentional training of people who voluntarily submit to the lordship of
Christ and who want to become imitators of Him in every thought, word, and deed. (Barna
2001, 17).

Pemuridan secara formal bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar iman bagi menunjang
berdiri kokohnya fondasi iman murid Kristus. Namun pemuridan secara non-formal merupakan
proses seumur hidup yang bertujuan untuk mencapai tahap kesempurnaan, yaitu keserupaan dengan
Kristus. Selain meletakkan fondasi iman melalui pembelajaran dogmatika, pemuridan juga
hendaknya mendidik para murid bagaimana mengekspresikan iman melalui perbuatan. Salah satu
aspek yang penting dan wajib diprioritaskan adalah kepekaan serta keterbukaan terhadap bimbingan
Roh Kudus. Bimbingan Roh Kudus akan menyempurnakan seluruh proses pemuridan tersebut,
10

karena jika tidak, seorang guru hanya akan menghasilkan “murid”, tapi bukan murid Kristus yang
sejati.
Selanjutnya kita akan melihat beberapa aspek yang merupakan kondisi atau tuntutan dari
ibadah sejati. Walaupun bagian ini berbicara mengenai masalah teknis dari ibadah sejati, namun
ianya jangan dilihat sebagai persyaratan yang bersifat legalistis.

Syarat dan Kondisi Ibadah Yang Sejati


Jika setiap murid meletakkan kasih karunia sebagai fondasi dan motivasi, serta melihat
pemuridan sebagai ibadah atau penyembahan kepada Tuhan, pada dasarnya mereka telah memasuki
landasan yang tepat dan bersedia untuk melangkah lebih jauh. Pandangan ini akan mempersiapkan
mereka untuk sentiasa bersedia menghadapi tantangan yang bakal dihadapi ke depan. Dalam Roma
12:1-2 terdapat beberapa “persyaratan” atau “tuntutan” awal yang perlu diketahui oleh para murid
karena ia merupakan “persyaratan” yang diperlukan sepanjang pemuridan itu berlangsung, bahkan
sepanjang hayat.
Pertama; mempersembahkan seluruh eksistensi diri kepada Allah
Mempersembahkan seluruh eksistensi diri secara utuh kepada Allah bukan bertujuan untuk
mendapat kelayakkan, tetapi kerana sudah memperolehinya secara sempurna. Dalam kemurahan
Allah, setiap murid Kristus telah diperdamai dan diperlayakkan melalui penebusan Kristus. Sebagai
seorang yang telah ditebus, mempersembahkan diri sepenuhnya adalah sebagai suatu respon yang
wajar. Dalam dualisme gnostik, tubuh dianggap jahat dan jiwa adalah baik. Oleh karena itu tubuh
boleh diperlakukan sesuka hati, tapi jiwa harus dilayani dengan baik. Derrick Jeter menjelaskan
bahwa dalam dunia Kristen terdapat dua ekstrim dalam melayani tubuh.
In practice, some Christians came to the false conclusion that they must literally beat their
bodies into submission and live such ascetic lives that they never allowed themselves the
enjoyment of bodily pleasures. Others went to the opposite extreme and permitted their
physical passions to run whatever course they chose. Those in this second group justified
their libertine lifestyles with the erroneous notion that their evil bodies were destined for
destruction anyway, while their spirits, which they believed were good, would remain
unharmed. (Jeter 2009).
Konsep dualisme seperti ini adalah sangat berbahaya kerana mereka hanya mempersembahkan roh
mereka kepada Tuhan, namun memperlakukan tubuh dengan sesuka hati, demi memenuhi nafsu
kedagingan. Derrick Kruse menyatakan bahwa apabila Paulus menghimbau mereka untuk
mempersembahkan tubuh, ia berbicara tentang penyerahan diri secara total; “… to offer their
“bodies” as living sacrifices, the term is to be understood as their whole selves (Kruse 2012, 461).
Para murid hendaklah sentiasa diingatkan bahwa Allah menuntut penyerahan sepenuhnya, yaitu
11

tubuh, jiwa dan roh. Mempersembahkan juga harus dilihat sebagai “menyerahkan sepenuhnya”
dalam keadaan menyembah atau ibadah kepada Tuhan.

Kedua; non-komformitas dengan dunia.


Himbauan untuk tidak menjadi serupa dengan dunia menegaskan kepada murid Kristus untuk
tidak meniru, meneladani serta berpegang pada filosofis dunia atau zaman yang bertentangan
dengan kebenaran Firman Tuhan. Para murid perlu didedahkan dengan ideologi atau filosofis dan
tren dunia yang dapat mempengaruhi iman Kristen. John Stott menjelaskan bahwa orang Kristen
memiliki tanggungjawab ganda dalam hubungan dengan dunia, dimana orang Kristen harus hidup,
melayani dan bersaksi kepada dunia dan dipihak lain harus berusaha untuk tidak tercemar oleh dunia.
Selanjutnya Stott mengatakan; “so we are neither to seek to preserve our holiness by escaping from
the world nor to sacrifice our holiness by conforming to the world. Escapism and conformism are
thus forbidden to us”. (Stott 2010,19).
Menurut John Stott terdapat empat jenis tren dunia yang dapat menjerumuskan orang Kristen
kedalam arena konformitas, yaitu; pluralisme, materialisme, relativisme etis, dan narcissisme. Dalam
menghadapi semua ini Stott mengatakan;
Over against the challenge of pluralism, we are to be a community of truth, standing up for
the uniqueness of Jesus Christ. Over against the challenge of materialism, we are to be a
community of simplicity and pilgrimage. Over against the challenge of relativism, we are to
be a community of obedience. Over the challenge of narcissism, we are to be a community of
love. (Stott 2012, 21-27).
Sikap non-konformitas bukan bermakna menghindari dan membenci dunia, tetapi berwaspada dari
terpengaruh dan hidup mengikuti jalan-jalannya. Tindakan untuk tidak menjadi serupa dengan dunia
merupakan pilihan yang tepat supaya peranan murid sebagai “garam dan terang” dapat diterapkan
secara efektif.

Ketiga; Transformasi intelek dan pikiran.


Kejatuhan manusia atau seringkali disebut sebagai pemberontakkan kepada Allah telah
merobah status manusia secara radikal. Konsekwensi dari kejatuhan ini telah “merubah” manusia
sempurna, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah telah rosak secara total. Para murid perlu
diajarkan bahwa kejatuhan telah memberikan impak yang negatif terhadap seluruh eksistensi diri
manusia, termasuk intelek dan pikirannya.
Fakta bahwa kaum intelektuil atheis dan agnostic dengan segala usaha menyebarkan
propaganda bahwa tidak ada Allah bukanlah suatu yang rahasia lagi. Pada tahun 2009 kumpulan Pew
Research mengadakan survei yang berjudul “Scientists and Belief” dan memperolehi hasil sebagai
12

berikut: “Finally, the poll of scientists finds that four-in-ten scientists (41%) say they do  not  believe
in God or a higher power, while the poll of the public finds that only 4% of Americans share this
view. (Pew Research 2009). Presentase ini sangat membimbangkan kerana jumlah 41% ini pasti akan
menyebarkan fahaman atheisme dikalangan pelajar dan kaum awam; termasuk didalamnya adalah
orang Kristen. Bagi mengantisipasi kemungkinan terpengaruh dengan fahaman dan tren dunia yang
kontras dengan pengajaran Kristen, maka murid Kristus hendaklah mengalami transformasi intelek
dan fikiran.
Transformasi akal budi akan membuat seseorang peka dan terbuka kepada bimbingan Roh
Kudus sehingga ia memiliki kemampuan untuk membedakan manakah kehendak Allah. Simon chan
menuliskan; “Christian discernment has always been regarded as necessary skill in overcoming the
common obstacles to spiritual progress” (Chan 1998, 199). Dalam dunia yang sangat pluralis,
khususnya dalam bidang agama, kemampuan untuk membedakan kehendak Allah adalah sangat
penting. Kegagalan dalam hal ini cenderung menjerumuskan orang Kristen kedalam perangkat
sinkritisme, dan akhirnya konformitas dengan dunia. Mengerti kehendak Allah adalah sesuatu yang
sangat indah kerana ia merupakan sesuatu yang baik, sempurna dan berkenan kepada Allah sendiri.

Kesimpulan
Ibadah sejati yang meletakkan fondasi dan motivasinya pada kemurahan Allah adalah sangat
signifikan bagi pemuridan dan pengembangan spiritualitas murid Kristus. Seseorang yang telah
mengenal dan hidup dalam kemurahan Allah akan secara konsisten mempersembahkan seluruh
eksistensi dirinya kepada Allah sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenaan kepada
Allah. Mereka akan menjaga kesucian hidup dengan tidak konformitas dengan tren atau gaya hidup
dunia yang bertentangan dengan kehendak Allah, serta berubah melalui transformasi intelek dan
pikiran. Mereka berkemampuan untuk membedakan kehendak Allah; apa yang baik, sempurna dan
berkenan kepada Allah.
Ibadah sejati tidak terbatas pada ruang dan waktu, kerana setiap detik adalah ibadah atau
penyembahan kepada Tuhan. Realita ini dapat membantu murid Kristus meningkatkan hubungan
yang akrab dengan Allah.

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu
mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan
kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,
sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada
Allah dan yang sempurna.
13

(Roma 12:1-2)

Bibliografi

Barna, George. 2001. Growing True Disciples: New Strategies for Producing Genuine Followers of
Christ. Colorado:WaterBrook Press.

Chan, Simon, 1998. Spiritual Theology: A Systematic Study of the Christian Life, IL: InterVarsity
Press.

Esup, Sumping. 2020. Tafsiran Surat Roma. Kota Kinabalu: Tian Sing Printing Co. Sdn. Bhd.

Hagelberg, Dave. 2004. Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani. Bandung: Kalam Hidup.

Jeter, Derrick G. 2009. “Mind Over Matter: The Heresy of Gnosticism both Then and Now” The
Bible-Teaching Ministry of Pastor Chuck Swindol blog, June 15. Accessed May 7, 2021.
https://www.insight.org/resources/article-library/individual/mind-over-matter-the-heresy-of-
gnosticism-both-then-and-now

Kruse, Collin G. 2012. The Pillar New Testament Commentary: Paul’s Letter to the Romans.
Nottingham: Apollos.

Matera, Frank J. 2010. Paidea Commentaries on the New Testament: Romans. MI: Baker Academic

McGrath, Alister E. 1999. Christian Spirituality.Oxford: Blackwell Publishing.

Pazmino, Robert W. 1988. Foundational Issues in Christian Education: An Introduction in


Evangelical Perspective. Baker Book House.

Pew Research Center. 2009. “Scientists and Belief”. Accessed May 7, 2021.
https://www.pewforum.org/2009/11/05/scientists-and-belief/

Rima, Samuel D. 2000. Leading from the Inside Out: The Art of Self-Leadership. MI: Baker Books.

Sproul, R.C. 1994. Focus on the Bible: Romans. Scotland: Christians Focus Publications Ltd.

Stott, John R. W. 2010. The Radical Disciple: Wholehearted Christian Living. Nottingham: Inter-
Varsity Press

Anda mungkin juga menyukai