Anda di halaman 1dari 74

RESUME

Universitas

MALIKUSSALEH

Oleh :

Rahmad Ilham : 170160074

Dosen :

Adi Sofyan Yahya. ST.,MT

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2021
Bab 1
A. Bumi dan Gempa

Aktivitas tektonik sebenarnya disebabkan oleh lapisan perut yang masih panas dan
cair. Gempa-gempa bumi besar yang terjadi di atas berkaitan dengan aktivitas tektonik
lapisan-lapisan bumi yang berproduksi, terutama pada batas-batas lempeng benu. Akumulasi
tumbukan, perpindahan dan pemisahan lempeng ini adalah penyebab utama gempa bumi.
Menurut para ahli, terjadinya gempa tektonik di pengaruhi oleh unsur-unsur di bawahnya.

1. Teori Pergerokon Lempeng Bumi Lapisan litosfer ini bersuhu paling dingin dan
bersifat kaku. Semua permukaan bumi baik di atas atau di bawah lautan adalah
lapisan litosfer ini yang dapat berupa lapisan tanah dan atau batuan. Di bawah litosfer
terdapat astenosfer dengan kedalaman berkisar 700 km. Dengan demikian, lapisan ini
tidak mempunyai bentuk yang tetap dan cen-derung mengalir sepanjang waktu.

Gambar 1.1 Lapisan-lapisan bumi dan mekanisme pergerakannya


2. Sobuk Seismik seismic belt atau sabuk seismik adalah perbatasan antar lempeng/pelat
itu, sekaligus lokasi pertemuan dengan rempeng/pelat lain di mana gempa bumi sering
terjadi. Gempa bumi pada umumnya terjadi di sekitar garis batas benua ini atau
cabang-cabangnya yang disebut dengan patahan .
Gambar 1.2 pusat-pusat gempa periode 1963-1998 sebanyak 358.

B. Gempa Bumi dan Sifat Fisiknya

Gempa bumi adalah fenomena alamiah yang pasti terjadi sewaktu-waktu karena
pertumbuhan bumi itu sendiri. Di bumi ini, setiap hari hampir dapat dipastikan teryadi
gempa bumi, namun sebagian besar tidak dapat dirasakan oleh manusia. Gempa bumi
hanya akan meng-ganggu kehidupan manusia jika energinya sampai pada permukaan
bumi. sifat-sifat fisik gempa harus dipelajari untuk dapat menganalisis bagaimana gempa
memengaruhi lingkungan manusia.

Perambatan Energi Gempa Aspek utama gempa berkaitan dengan kemampuannya


memengaruhi lingkungan manusia adalah karena energi yang dilepaskannya. Ener-gi ini
berasal dari pusat gempa yang diteruskan hinggapermukaan tanah melalui perambatan
gelombang didalam tanah. pro-ses perambatan energi menjadi gelombang seismik dan
guncangan dipermukaan bumi ini disebut osilasi , yakni ilmu yang mem-bahas tentang
gelombang gempa bumi. pada bagian ini, akan dibahas secara garis besar bagaimana energi
tersebut disalurkan.Besar kecilnya energi gempa dicatat dengan alat seismometer
berupadiagram gelombang gempa yang dikembangkan pertama kali per-tama kali oleh
matematikawan Chang Hengzaman Dinasti Han pada tahun 132 sM, yang kemudian
dikembangkan oleh ilmuwan JohnMilne, James Alfred Ewing, dan Thomas Gray, di Jepang
tahun 1gg0hingga 1895, dan juga wood-Anderson tahun rg2o di Amerika. prin-sifat fisik
gempa, seperti kuat dan jarak sumber gempa.tahun 132 sM, yang kemudian dikembangkan
oleh ilmuwan JohnMilne, James Alfred Ewing, dan Thomas Gray, di Jepang tahun
1gg0hingga 1895, dan juga wood-Anderson tahun rg2o di Amerika. prin-sifat fisik gempa,
seperti kuat dan jarak sumber gempa. Pada dasarnya, energi seismik gempa disarurkan ke
permukaan tanahmelalui empat jenis gelombang seismik elastis yang dinamakan de-ngan
gelombang P (Primer), S (Sekunder), L (Love), dan R (Rayleight).

Gambar 1.3 seismograf dan seismogram

a) Gelombang dalam (body woves)

Gelombang dalam adalah gelombang yang berasal langsung dari sumber gempa
(hypocenter) yang berjalan melalui lapisan di bawah permukaan bumiyang terdiri
darigelombang primer (p) dan sekunder (S). Gelombang P adalah gelombang gempa yang
bergerak dengan arah longitudinal atau searah dengan rambatan gempa sehingga dapat
dikatakan sebagai gelombang dorong atau push wove.

Sementara gelombang S adalah gelombang gempa yang bergerak dengan arah


transversal atau tegak lurus dengan rambatan gempa sehingga dinamakan sebagai
gelombang kejut atau shock wove.

Gelombang P merambat di semua media padat atau cair; dan berjalan paling cepat
antara 1,5 hingga 8 kilometer per detik, se- dangkan gelombang s merambat lebih lambat,
sekitar 50% sampai 60% dari kecepatan gelombang p . Namun demikian, karena bergerak
cepat, kekuatan gelombang p sangat rendah, sekitar sepersepuluh dari gelombang S. oleh
karena itu, gelombang ini kemungkinan besar tidak dirasakan oleh manu-sia. Gelombang P
adalah gelombang seismik dengan potensi lebih sedikit menimbulkan kerusakan. Namun
demikian, gelombang p tidak dapat merambat pada benda cair.

Karena bergetar ke arah samping, maka gelombang S menciptakan amplitudo yang


be-sar sehingga sangat berpotensi menimbulkan getaran besar yang berakibat pada kerusakan
lingkungan manusia. Perbedaan kecepatan antara gelombang p dan s ini digunakan oleh para
seismolog untuk menentukan pusat atau hiposentrum gempa.
Begitu gelombang S tiba, besarnya getaran tanah akan di-catat oleh diagram dalam
seismograf. S tiba setelah dua menit dari gelombang p yang berkecepatan L000 m/detik. Di
masa depan, perbedaan kecepatan gelombang p dan S ini dapat dipakai untuk peringatan dini
terjadinya gempa walau waktu yang diberikan relatif sangat sempit.

Karena lebih rambat dengan arah gelombang tegak lurus dari arah perjalanannya ,
gelombang s akan lebih banyak menimbulkan kerusakan karena gelombang ini menyebabkan
gerakan baik vertikar atau horizontal pada tanah yang akan memengaruhi pergerakan
kawasan permu-kaan.

b) Gelombang permukaan (surfoce waves)

Gelombang permukaan terjadi pada permukaan tanah yang juga dibedakan menjadi
dua jenis: gelombang L dan gelombang Gelombang R adalah gelombang sebagai hasil dari
komprikasi pantulan-pantulan gelombang gempa yang datang paling akhir dengan sifat
berputar . Oleh karena itu, gelombang R diar-tikan pula sebagai rolling wove. Gelombang ini
adalah gelombang yang paling berbahaya di antara semua jenis gelombang gempa bumi
karena tidak hanya menyebabkan pergerakan ke samping, namun juga ke atas dan ke bawah.
Namun demikian, gelombang R yang signifikan hanya terjadi pada gempa-gempa besar atau
pada daerah dekat dengan hiposentrum.

1) Klafikasi Kekuatan Gempa

Hingga saat ini, kekuatan gempa seismik diukur dengan dua cara: skara
energi yang dikeluarkan (energy-based measurements) dan skala intensitas akibat gempa
(phenomenological scoles). Kedua skala ini sama pentingnya dalam menentukan besar dan
pengaruh gempa bumi.

a) Skala magnitude

Satuan yang umum digunakan untuk mengukur kekuatan gempa adalah skala Richter
magnitude berdasarkan besaran energi yang dihasilkan. Pengukuran kekuatan gempa diambil
dari besarnya energi pusat gempa yang didasarkan pada besar kecilnya amplitudo yang
dicatat oleh seismograf. Satu milimeter amplitudo seismograf pada jarak 100 km dengan
sumber gempa setara dengan 3 SR. Selanjutnya, gempa 6 SR mempunyai energi seki-tar
1000 kali lipat dari4 SR, dan seterusnya.
Gempa-gempa yang lebih besar dari itu tidak efektif lagi menggunakan skala ini.
Dilihat dari kekuatan energinya, gempa dengan 5 SR dapat diseta-rakan dengan kekuatan
bahan peledak TNT seberat 480 ton atau energi sebesar 2 Terra Joule. Namun demikian,
besaran magnitudo tidak berkorelasi langsung dengan kemampuan merusaknya. Skala
intensitas lebih berkaitan dengan daya rusak tersebut.

Tabel 1.1 Skala magtitudo dan kualitas pengaruhnya pada lingkungan

Magnitudo Deskripsi Dampak Gempa Kejadian


<2.0 Micro Tidak terasa Sangat sering
2.0-2.9 Pada umumnya tidak terasa, tetapi 1.300,000 per tahun
terekam.
3.0-3.9 Minor Umumnya teras, tetapi jarang 1.300,000 per tahun
menimbulkan kerusakan.
4.0-4.9 Light Barang-barang berguncang. Cukup 13,000 per tahun
menimbulkan kerusakan
5.0-5.9 Moderate Dapat menyebabkan kerusakan serius 1,319 per tahun
bagi bangunan yang tidak didesain dan
dikerjakan dengan baik, namun sedikit
bagi gedung yang direncanakan
dengan baik.
6.0-6.9 Strong Bersifat merusak untuk wilayah 134 per tahun
sampai 160 km2 hingga wilayah yang
berpenghuni.
7.0-7.9 Major Dapat menimbulkan kerusakan parah 15 per tahun
pada area yang luas
8.0-8.9 Great Dapat menimbulkan kerusakan parah 1 per tahun
pada area yang luas hingga bentangan
ratusan kilometer
9.0-9.9 Dapat menimbulkan kerusakan parah 1 per 10 tahun
pada area yang luas hingga bentangan
ribuan kilometer
10.0+ Massive Belum pernah terjadi. Dapat Sangat-sangat jarang
menimbulkan kerusakan yang dahsyat atau hampir tidak
pada wilayah yang sangat luas terjadi.

b) Skala intensitas

Italia Giuseppe Mercalli pada tahun 1884 dan L906 dengan menggunakan sepuluh
tingkat skala. Skala ini kemudian dikembangkan menjadi 1-2 tingkatan oleh Cancani dan
Sieberg , kemudian oleh Wood dan Newman , dan juga oleh Charles Richter menjadi
Modified Mercolli lntensity scale seperti sekarang ini. Skala MMI dimulai dari I hingga
XII . Berikut adalah kuantitas skala MMI dan intensitas yang dihasilkanny.

Tabel 1.2 Intensitas skala MMI

MMI Intensitas Fenomena


I Instrrmental Pada umumnya tidak terasa
II Weak/sangat Hanya terasa oleh beberapa orang, khususnya pada lantai atas.
lemah Objek yang tergantung mungkin bergoyang
III Slight/lemah Cukup terasa oleh orang-oiang di:dalarn ruangan, terutama di
tingkat atas, tetapi banyak yang tidak menyadari terjadinya
gempa bumi.
IV Moderate / Terasa oleh orang-orang di dalam ruangan dan sedikit orang di
sedang luar ruangan.Mebuat beberapa orang terbangun pada malam
hari. Barang-barang pajangan, jendela, dan pintu berguncang,
dan dinding mengeluarkan suara gemeretak.
V Rather strong/ Dirasakan oleh hampir semua orang di dalam bangunan, tetapi
agak kuat masih ada yang tidak mer:asakan di luar ruangan. Barang
pajangan sampai pecah.
VI Strong/kuat Dirasakan oleh semua orang yang mulai ketakutan. Membuat
berjalan sempoyongan, jendela, barang-barangf pajangan pecah.
Buku jatuh dari rakyat
VII Very Strong/ Sulit untuk tetap berdiri, furnitur rusak, rusak sangat ringan
sangat kuat untuk bangunan yang direncanakan dan'dlke{iakan dengan
bairh rusak ringanrbagi kebanyakan bangunan, rusak cukup
berat bagi bangunan yang tidak direncanakan dan dibangurr
d,Bngan baik, dirasakan oleh orang yang mengendarai
kendaraan bermotor.
VIII Destructive/cukup Rusak ringan untuk bangunan yang direncanakan tahan gempa,
merusa rusak cukup berat bagi kebanyakan bangunan, rusak berat bagi
bangunan yang tidak direncakan dan dibangun dengan baik,
jatuhnya dinding hingga rusaknya kolom.
IX Violent/ merusak Menimbulkan kepanikan publik, rusak cukup berat bagi
bangunan yang direncanakan dan dibangun dengan baik. Rusak
berat dan sebagian runtuh bagi kebanyakan bangunan.
Bangunan bergeser dari fondasinya
X Inte-nse/ sanga Beberapa bangunan struktur kayu yang baik rusak, sebagian
merusak besar bangunan batu bata hancur sampai fondasinya. Relkereta
api melengkung
XI Extreme/luar Sangat sedikit bangunan batu-bata yang tetap berdiri. Jembatan
biasa merusak banyak rusak. Rel kereta api melengkung hebat.
XII Cataclysmic/ Kerusakan total, semua hancur. Garis pandang terdistorsi
dahsyat benda-benda terlempar ke udara. Tanah bergerak seperti
gelombang. Tanah berubah posisi atau ketinggian hingga
beberapa meter. Alur sungai berpindah.

Kedua skala baik magnitude (SR) dan intensitas (MMI) di atas sangat berguna untuk
menggambarkan tingkat gempa bumi yang terjadi di suatu wilayah dan dijadikan data bagi
perencanaan dan antisipasi gempa bumi. Skala magnitude lebih berguna bagi perhitungan
ukuran kuat gempa berdasarkan sumber dan sifat gelombang gempa yang dilihat dari
frekuensi, amplitudo dan durasi gempa. Akan tetapi, skala magnitude sebenarnya tidak dapat
dipakai untuk menggambarkan situasi fisik lingkungan yang sebenarnya yang terjadi di suatu
wilayah akibat gempa.

Tabel 1.3 Perbandingan skala magnitude SR dengan skala intensitas MMI


Moment magnitude (SR) MMI
1.0 – 3.0 I
3.0 – 3.9 II - III
4.0 – 4.9 IV - V
5.0 – 5.9 VI - VII
6.0 – 6.9 VII - VIII
7.0+ IX Ke atas

Dua buah gempa bermagnitudo yang sama belum tentu berdampak sama pada suatu
daerah karena dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk jarak episentrum dan kedalaman
hiposentrum, jenis kandungan tanah, geografi, dan sebagainya. Dengan demikian, diperlukan
skala yang menggambarkan pengaruh gempa pada wilayah tertentu seperti MMI di atas.
Skala MMI menggambarkan kondisi yang sebenarnya, namun kurang dapat dipakai sebagai
acuan kuantitas yang dapat dipakai sebagai perhitungan teknis karena tidak didasarkan pada
besaran teknis energi gempa seperti skala magnitude. Namun demikian, kedua skala ini dapat
dibandingkan satu dengan yang lain untuk keperluan analisis intensitas gempa seperti Tabel
L.3

2) Puncok Percepolon Tonoh (Peok Ground Accelerofion)

Kelemahan utama skala intensitas MMI adalah bahwa pengukurannya didasarkan


pada hasil pengamatan personalyang sangat mungkin tidak standar karena tergantung masing-
masing individu. Untuk mengetahui tingkat daya merusak sebuah gempa yang lebih terukur;
kemudian dipakailah skala puncak percepatan tanah atau yang dikenal dengan PGA(Peok
Ground Acceleration). PGA kemudian menjadi standar intensitas gempa yang berkaitan
dengan dasar aplikasi perhitungan teknis di bidang rekayasa, seperti penentuan perhitungan
struktur bangunan tahan gempa, peraturan bangunan (building code), risiko ancaman bencana
gempa (hazord risk), dan sebagainya.

Tabel 1.4 korelasi skla intensitas pada PGA (USGS)

Intesitas Akselerasi (g) Kecepatan Getaran terasa Potensi Kerusakan


instrumental (cm/s)
I < 0.0017 < 0.1 Tidak terasa Tidak merusak
II-III 0.0017-0.014 0.1 - 1.1 Lemah Tidak merusak
IV 0.014 - 0.039 1.1 - 3.4 Ringan Tidak merusak
V 0.039 - 0.092 3.4 - 8.1 Sedang Sedikit merusak
VI 0.092 - 0.18 8.1 - 16 Kuat Merusak ringan
VII 0.18 - 0.34 16 - 31 Kuat sekali Merusak sedang
VIII 0.34 - 0.65 31- 60 sangat kuat sekali Merusak sedang berat
IX 0.65 - 1.2 60 - 116 Maha kuat Merusak berat
X+ > 1.24 > l-16 Luar biasa kuat Menghancurkan

PGA diukur berdasarkan percepatan, atau perubahan kecepatan tanah, saat gempa
terjadi yang disetarakan dengan satuan percepatan gravitasi (19 = 9.8 m/detik'z). Sebagai
gambaran, 0.00lg (0.01 m/detik'z) sudah terasa oleh manusia;0.029 (0.2 m/detik2) manusia
kehilangan keseimbangan; 0.59 bangunan teknis mulai rusak tetapi dapat bertahan jika durasi
gempa pendek (Lorant, 2010). Percepatan tanah ini menggambarkan intensitas gempa yang
dipengaruhi oleh panjang patahan yang runtuh pada hiposentrum gempa, magnitudo,
kedalaman sumber gempa, jarak episentrum, durasi gempa, dan kondisi geologi lapisan tanah
yang dilalui gelombang gempa. Makin dangkal/dekat sumber gempa, makin besar PGA yang
mungkin terjadi. Peta potensi gempa (seismic hozard mops,) dapat dihasilkan dari sejarah
gempa bumi di masing-masing lokasi dengan memperhatikan PGA dan kecenderungan waktu
periode kejadian gempa (probability of exceedance PE) serta kondisi geografis setempat. Peta
potensi gempa selanjutnya menjadi pedoman bagi pengambil keputusan dan perencana
berkaitan dengan lingkungan aman gempa. United States Geological Survey (USGS)
menyusun skala intensitas berdasarkan PGA sekaligus kecepatan (lihat Tabel L.4) yang
dijadikan rujukan untuk penyusunan peta potensi gempa.

3) Pemontouon Gempo don Prediksinyo

Pemontouon Gempo don Prediksinyo, Kecenderungan terjadinya gempa dapat dilakukan


dengan melakukan pengawasan dan pencatatan dan perhitungan secara teratur aktivitas
seismik di suatu wilayah walaupun prediksi yang tepat kapan gempa bumi terjadi masih
belum dapat dilakukan hingga saat ini. Monitoring dan pencatatan seismograf adalah metode
yang kini masih paling banyak digunakan untuk memperkirakan periode kurun waktu
terjadinya gempa. Beberapa metode lain juga dilakukan antara lain sebagai berikut:
Perubahan pada tingkat kelajuan rayapan tanah pada lereng sekitar patahan. Mengamati
residu arang pada kedua sisi sesar atau patahan dengan menggunakan metode corbon dating
untuk melihat periode pergerakannya. Perubahan pada level permukaan air tanah pada sumur
air yang meninggi sebagai hasil pemadatan pada bebatuan di dalam tanah. Untuk perkiraan
jangka panjang, juga dapat menggunakan masa ulang terjadinya gempa yang dapat dipelajari
dengan menggunakan periode gempa sebelumnya. Gempa bumi diklaim dapat diperkirakan
dengan menggunakan metode perkiraan untuk jangka pendek dengan melihat fenomena
terjadinya gempa kecil yang terus-menerus , tetapi itu tidak identik berlaku bagi semua kasus
gempa.Perilaku aneh hewan juga dikatakan dapat dipakai untuk menandakan akan terjadinya
gempa, seperti terbangnya kelelawar secara masif di luar kebiasaannya, ular-ular laut yang
berbondong ke daratan, ayam yang gelisah, dan sebagainya.

4) Gempo Susulan

Gempa susulan adalah gempa yang terjadi sesaat setelah gempa pertama pada lokasi yang
sama namun dengan hiposentrum yang sedikit berbeda. Jika gempa susulan lebih besar dari
gempa pertama, maka gempa itulah yang merupakan gempa utama. Gempa susulan
terjadiakibat pelepasan energi yang belum tuntas pada gempa pertama. Untuk menuju
keseimbangan baru tersebut, dibutuhkan waktu yang relatif, bergantung pada kondisi geologi
pelat-pelat tersebut. Gempa besar dapat memiliki gempa susulan yang lebih banyak dan lebih
kuat di mana kemunculannya dapat bertahan dalam hitungan tahun atau lebih lama .

C. Dampak Gempa pada Lingkungon Binaan

Energi gempa dapat bersifat merusak dan juga tidak merusak, bergantung pada aspek-
aspek yang dapat memengaruhi intensitas gempa, seperti kekuatan magnitudonya dan
jarak, serta kedalaman sumber gempa, yang akan dibahas secara lebih detail pada Bab 2 pada
buku ini. Pengaruh langsung pada tanah berupa pecahnya struktur tanah, tanah
terbelah, liquefoction , tanah runtuh atau bebatulongsor. Sementara dampak langsung pada
bangunan dapat berupa getaran pada bangunan, jatuhnya elemen bangunan, kerusakan
struktuI dan keruntuhan bangunan. Sementara pada tanah, gempa secara tidak langsung pada
umumnya juga dapat menyebabkan banji4 tanah longsori dan tsunami.

Dampak lain seperti yang pernah terjadi adalah pada fenomena tsunami pada air danau
atau bendungan yang disebut dengan seiche dan juga avalonche, yaitu runtuhnya salju pada
pegunungan atau daerah bersalju lain yang dapat mengakibatkan longsor atau banjir di daerah
yang lebih rendah. Kerusakan akibat kegagalan pada setiap gempa bumi sangat penting untuk
dipelajari agar berangkat dari pengalaman tersebut tidak terulang kejadian yang sama di masa
depan, sehingga tidak menimbulkan bencana.

Gambar : Liquefaction yang mengakibatkan amblasnya bangunan karena tanah menjadi gembur
pada gempa Niigata 7,6 SR 1964

Gambar : Pengaruh langsung pada rusak dan hancurnya bangunan gedung pada gempa San
Fransisco 1906

Efek gempa dengan terjadinya tsunami hebat lintas benua pada gempa Aceh 9,3 SR 2004

D. Risiko don Kerentonon Gempo Bumi

Gempa menewaskan sekitar 10. Risiko don Kerentonon Gempo Bumi Arequipa, Peru
mengakibatkan setidaknya 26.000 korban pada tahun 2001, kemudian pada tahun 2003, di
Bam, Iran dengan lebih dari 26.000 kematian, dan pada tahun 2004, di sumatra
mengakibatkan lebih banyak kematian hingga 280.000. Gempa Kashmir 8 oktober 2005
menyebabkan lebih dari 85.000 orang terbunuh dan gempa bumi Jawa 27 Mei 27 2006
menewaskan lebih dari 6000 orang . Selama satu abad , kematian karena gempa telah lebih
dari l-,8 juta. Beberapa laporan terah menemukan bahwa bangunan runtuh memberikan
kontribusi lebih dari 75 persen kematian dari gempa selama abad tersebut .Gempa adalah
fenomena alam yang tidak selalu menyebabkan bencana. Hanya objek yang memiliki potensi
kelemahan yang dapat mengubah fenomena tersebut menjadi bencana. Kelemahan potensial
ini disebut risiko seismik yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian di bawah
gempa.

Tabel 1.5 Daftar peringkat kerugian akibat gempa berdasarkan kerugian ekonomi

Peringkat Gempa SR
1 2011 T6hoku earthquake, Japan 9.0 US$ 122 milia
2 1995 Great Hanshin earthquake, Japan 7.2 US$ 100 miliar
3 2008 Sichuan earthquake, China 8.0 US$ 75 miliar
4 2010 Chile earthquake, Chile 8.8 US$ 15-30 miliar
5 1-994 Northridge earthquake, United States 6.7 US$ 20 miliar
6 2011- Christchurch earthquake, New Zealand 6.3 US$ 12 miliar
7 1989 Loma Prieta earthquake, United States 6.9 US$ 11 miliar
8 L921 earthquake, Taiwan 7.6 US$ 10 miliar
9 1906 San Francisco earthquake, United States 7.9 US$ 9.5 miliar
10 1960 Valdivia earthquake, Chile 9.5 US$ 2.9-5.8 miliar
E. Wilayah seismik Indonesia

Wilayah seismik Indonesia terkini terdiri dari 15 zona gempa dari 6 zona sebelumnya
yang dirasakan tidak menggambarkan kondisi seismik yang sebenarnya.zona seismik ini
dibedakan berdasarkan tingkat percepatan tanah PGA <0,05g sampai >1,2g.

Gambar: Peta zonasi gempa Indonesia 2010

kejadian gempa besar; antara lain gempa Aceh 2004 dengan 9,0 - 9,3 sR
yang diikuti dengan tsunami yang dahsyat, gempa Nias 2005 dengan 8,7 SR, dan juga gempa
yogyakarta 6,3 SR, untuk menentu_ kan parameter kejadian seismik dengan Moximum
Credible Earthquake (MCE)(lrsya m, et.o l, 2008).

Dari peta zonasi ini, secara garis besar; dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah Indonesia
yang relatif rawan dari guncangan gempa sedang hingga besar meliputi 25 daerah, yaitu
Aceh, sumatra Utara (Simeuluei Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, pandeglang
(Banten), Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur; Bali, NTB, NTT,
Kepulauan Aru, Sulawesi Selatan, sulawesi Tenggara, surawesi Tengah, sulawesi Utara,
sangir Talaud, Maluku Utara, Maruku selatan, papua bagian utara, Jayapura, Nabire,
Wamena, dan Kalimantan Timur.
Bab 2 Efek Gempa Pada Arsitektur
Gempa bumi adalah fenomena alam yang akan terus terjadi selama bumi masih ada.
Fenomena ini tidak dapat dihindari, namun harus diantisipasi agar tidak berdampak
merugikan pada lingkungan manusia. Gempa bumi bukanlah penyebab utama terbunuhnya
manusia, namun kegagalan bangunanlah yang banyak menimbulkan korban jiwa.

A. Gempa Bumi dan Arsitek

Selama ini, permasalahan pengaruh gempa bumi pada bangunan hampir selalu
dialamatkan pada ahli bidang struktur ketimbang ahli yang lain yang menangani
bangunan. Dampak gempa pada bangunan sering kali hanya dibicarakan pada tataran teknis
perhitungan kekuatan bangunan. Hal ini dapat dikatakan benar namun kurang tepat karena
kualitas keamanan sebuah bangunan justru ditentukan bukan hanya semata-mata dari
kekuatan strukturalnya, namun lebih besar dari itu, yaitu konsep bangunan secara
keseluruhan. Di samping itu, bisa saja bangunan telah dihitung berdasarkan analisis struktur
yang lengkap, namun pada kenyataannya, gempa bumi sedang hingga besar hampir selalu
merobohkan bangunan dan tetap memakan korban dari bangunan yang sebelumnya
diperkirakan kokoh tersebut.

Contoh terkini dari kondisi ini misalnya dapat kita temukan dari banyaknya kerusakan
yang memakan ribuan korban lebih dari 15.000 nyawa melayang dan lebih dari 1-25.000
bangunan hancur dari peristiwa gempa dan tsunami 9.0 SR T6hoku, Jepang pada 3 Maret
20!L,yang diketahui sebagai negara yang mempunyai bangunan paling siap terhadap
gempa. Bahkan reaktor nuklir Fukushima mengalami kerusakan pada tingkat berbahaya
meskipun bangunan itu 100% telah direncanakan aman terhadap gempa. Hal ini
membuktikan bahwa perhitungan struktur bukanlah satu-satunya pertimbangan utama dalam
merancang bangunan aman gempa.

Sementara itu, pada peristiwa yang lain, terdapat juga beberapa bangunan yang tidak
direncanakan kuat secara struktural , telah terbukti beberapa di antaranya tetap bertahan di
tengah guncangan gempa. Hal initentu dipengaruhi oleh banyak faktor yang
memengaruhinya, terutama pada kekuatan gempa itu sendiri, jarak episentrum, kedalaman
hiposentrum, dan kondisi geologi lingkungan sekitar.Kita tidak dapat membandingkan secara
rangsung dampak dari dua gempa yang berbeda karena banyak aspek yang saling
terkait, namun pada gempa yang sama, dampaknya pada jenis-jenis bangunan dapat
dibandingkan.

Arsitek adalah profesi satu-satunya yang mempunyai pandangan menyeluruh lengkap


dibanding profesi lain dalam bangunan yang lebih cenderung mengerjakan bagian dari
bangunan Arsitek bekerja menyeluruh sebagai pemimpin sebuah tim yang melayani pemilik
bangunan, membawa ahli-ahli struktur; mekanik, dan lainnya ke dalam proses bangunan, dan
juga mengendalikan kerja kontraktor untuk konstruksi bangunan yang ideal yang diinginkan.
Dengan demikian, arsitek mempunyai posisi krusial yang akan memengaruhi tingkat
keselamatan bangunan terhadap gempa. Tanggung jawab arsitek initentu terletak pada
kualitas konsep dasar perencanaan dan perancangan yang berkaitan dengan disiplin struktur
bangunan.

B. Gempa Bumi dan Pengaruhnya terhadap Bangunan

Bangunan gedung saat terjadi gempa pada intinya dipengaruhi oleh energi gaya gempa
dan beban gedung itu sendiri. Namun demikian, faktor lingkungan juga sangat menentukan
pengaruh gempa terhadap bangunan di suatu wilayah. Gempa 2004 tersebut sangat merusak
bahkan menimbulkan tsunami yang dahsyat hingga mencapai daratan Afrika, sementara
gempa 2012 tidak menimbulkan kerusakan berarti pada bangunan pada lingkungan
terdekat. Gempa 2004 menelan korban jiwa hingga 286.000, sementara gempa 2012hanya 2
korban jiwa. Sementara gempa 20L2terjadidisisiluar garis pelat dan hanya terjadi di area
sepanjang 50 km. Gempa ini telah didahului oleh tiga gempa sebelumnya di sekitar lokasi
yang sama pada 19 April 2006 , 4 Oktober 2007 , dan L0 Januari

Tabel 2.1 perbandingan dua gempa besar Sumatra

Parameter Gempa sumatra 26 Gempa Sumatra 11 April


Desember 2004 2012
Lokasi 2.311°N, 93.063°E 3.316°N, 95.854°E
Magnitudo 9.1 8,6
Kedalaman 22.9 km 30 km
Jarak ke Banda Aceh 250 km tenggara 434 km barat daya

Walaupun mempunyai magnitudo yang tidak jauh berbeda, sifat sumber energi, jarak,
kedalaman hiposentrum, serta kondisi geografi dan geologi hingga lingkungan binaan
(bangunan) terdekat sangat memengaruhi daya rusak sebuah gempa. Sebuah gempa akan
memengaruhi bangunan bergantung pada kekuatan sumber gempa yang disebut dengan
moment magnitude (Mw), dan bagaimana energi tersebut diteruskan hingga ke sife di mana
bangunan berada

a) Energi Gelombang Gempa serla Sifat Merusaknya

Energi gempa adalah energi yang disalurkan melalui gelombang pada gempa sangat
dipengaruhi oleh penyaluran energi ketika merambat dari sumber ke lingkungan manusia di
permukaaan bumi. Berbagai macam gelombang seismik akibat proses ini telah kita bahas
sebelumnya. Selain mekanisme penyaluran, sifat fisik gelombang seismik itu sendiri juga
berpengaruh besar pada besar kecilnya energi yang dapat dihasilkan. Aspek-aspek utama
getaran gempa pada bangunan meliputi durasi, amplitudo, dan frekuensi (Ghaidan,2002).
Berikut adarah kaitan aspek-aspek tersebut dengan sifat fisiknya:

1. Frekuensi dan amplitudo

Amplitudo adalah properti gempa yang berkaitan langsung dengan kuat


lemahnya/energi gempa dikaitkan dengan jauhnya simpangan getaran/guncangan yang
terjadi. Amplitudo berkaitan dengan frekuensi, yaitu banyaknya getaran

setiap detiknya. Berkaitan dengan jenis gelombang, gelombang P mempunyai


frekuensi tinggi sekitar 0.5 hingga 20 Hz, sehingga amplitudonya sangat kecil hingga
getarannya tidak dapat dirasakan manusia. Gelombang S berfrekuensi lebih rendah sekitar
0.005 sampai 0.1_ Hz dan amplitudonya besar sehingga getarannya dapat dirasakan. Besar
amplitudo berkorelasi langsung dengan kuat gempa dan juga pengaruhnya terhadap
kemampuannya memengaruhi lingkungan. Secara umum, mengapa gelombang permukaan
bersifat lebih berbahaya karena mempunyai amplitudo tinggi dengan frekuensi yang
rendah. Amplitudo yang besar menyebabkan pergerakan fisik tanah yang intens, dan
frekuensi rendah lebih mudah menyebabkan kerusakan. Amplitudo pergerakan gelombang ke
samping sekitar 1- hingga 70 mm untuk gempa normal dan hingga 240 mm untuk gempa
kuat.

2. Akselerasi

Bangunan gedung pada umumnya dibuat untuk mengantisipasi beban-beban vertikal


namun bukan untuk beban horizontal. Perubahan kecepatan getaran pada struktur bangunan
dari nol hingga beberapa meter per detik akan membuat strukturi terutama dengan massa
tinggi , akan mempertahankan posisinya, sementara gerakan eksternal bangunan mengajak
untuk bergerak sehingga kekuatan bangunan dalam hal ini dipertaruhkan. Sebagai
contoh, akselerasi dapat menjadikan gempa magnitudo, sedang menjadi bencana karena
akselerasi gempa sebesar 3-5 m/sec2 pada gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 dapat
merobohkan bangunan nonteknis dengan cepat.

3. Resonansi gelombang Gempa

Karena jenis gelombang gempa bermacam-macam dengan perbedaan frekuensinya, maka


sangat mungkin frekuensi-frekuensi tersebut sama dengan frekuensi alamiah \ingkungan
buatan manusia. Bangunan akan bereaksi untuk menanggapi gerakan tanah dengan frekuensi
tertentu sesuai frekuensi alaminya. Kondisi ini menyebabkan efek yang disebut dengan gejala
resonansi, yaitu ikut bergetarnya sesuatu karena mempunyai frekuensiyang sama. Efek
resonansi ini akan memperbesar gerakan dan kekuatan gaya yang bekerja pada bangunan saat
gempa terjadi sehingga kemungkinan bangunan mengalami kerusakan akan lebih besar.
Dengan demikian, struktur satu lantai akan mempunyai frekuensi detik, 10 lantai 1 detik, 30
lantai 3 detik, dan seterusnya. Makin tinggi bangunan, makin rendah frekuensi alamiahnya.
Periode resonansi sekitar 0,1 hingga 6 detik antara tanah dan bangunan akan memiliki
dampak yang signifikan. Dalam hal ini, bangunan pendek atau kaku akan terpengaruh lebih
banyak dalam gempa frekuensi tinggi, sedangkan gempa frekuensi rendah akan lebih banyak
berpengaruh pada bangunan tinggi atau bangunan dengan material fleksibel. Berkaitan
dengan resonansi ini, gedung sangat tinggi, bahkan akan relatif aman dari guncangan gempa
karena menjauh dari frekuensi alami gempa.
b) Intesitas gempa bumi dan pengaruh terhadap bangunan

satuan MMI (Modified Mercalli lntensity scale) ditujukan untuk mengukur seberapa besar
intensitas gempa atau pengaruh sebuah gempa terhadap lingkungan manusia, terutama
berkaitan dengan kondisi bangunan setelah terjadi gempa. Skala intensitas MMI bahkan
dilihat dari tingkat kerusakan bangunan. Seberapa besar pengaruh intensitas gempa ini
dipengaruhi oleh banyak aspek serain kekuatan gempa itu sendiri, yaitu jarak dari
hiposentrum/episentrum, jenis tanah, waktu atau durasi getaran gempa, serta desain bangunan
itu sendiri.

Gambar: Faktor pengaruh intensitas gempa terhadap banguna

1. Pengaruh magnitudi gempa

Magnitudo gempa menunjukkan skala energi gempa yang dikeluarkan dititik pusat atau
hiposentrum gempa. Makin besar magnitudo, makin besar pula energi yang akan
memengaruhi lingkungan manusia (lihat Bab L). Magnitudo saling berkaitan erat dengan sifat
sumber gempa yang lain seperti panjang patahan. Panjang dan besar patahan berkaitan
dengan besar energi yang dikeluarkan dan juga dengan durasi yang diperlukan. Bangunan
tentu akan mudah dipengaruhi gempa dengan magnitudo besar. Menurut pengalaman, gempa
di atas 4 SR baru akan berpengaruh terhadap bangunan dan kerusakan pada bangunan teknis
mulai pada 5 SR. Akan tetapi, magnitudo bukanlah satu-satunya penentu intensitas gempa
terhadap bangunan. Mungkin saja gempa bermagnitudo besar tidak berpengaruh terhadap
bangunan jika aspek-aspek yang lain yang akan dibahas pada bagian di bawah ini tidak cukup
signifikan.
2. Pengaruh jarak hiposentru m/episentrum

Jarak hiposentrum pada dasarnya mencakup jarak sumber gempa dengan bangunan secara
langsung, sedangkan jarak episentrum adalah jarak dari bangunan ke titik permukaan tanah
tepat di atas sumber gempa terjadi. Makin besar jaraknya, makin kecil pengaruh pada
bangunan karena energi gempa akan berkurang sejalan dengan panjang perambatan
gelombang. Intensitas gempa akibat jarak hiposentrum meliputi kedalaman dan jarak
horizontalepisentrum ini. Sumber gempa ini dibagi menjadi gempa dangkal dan gempa
dalam. Gempa yang terjadi lebih dari 70 km bawah permukaan bumi (di bawah tebal kerak
bumi) termasuk gempa dalam. Demikian pula dengan gempa yang terjadi pada jarak 200 km
atau lebih, termasuk gempa jauh (USGS). Tingkat kedalaman dan jarak gempa ini sangat
berpengaruh terhadap intensitas gempa pada bangunan. Gempa dengan magnitudo besar tidak
akan berartijika terjadi di kedalaman yang besar atau jauh dari lokasi bangunan karena
amplitudo akan kecil seiring dengan melemahnya energi gempa. Sebaliknya, walaupun
magnitudo gempa kecil, tetapi kalau gempa terjadi cukup dekat dan dangkal, maka
pengaruhnya terhadap bangunan akan sangat besar. Contoh dari kejadian ini adalah gempa
Yogyakarta 2006. Hanya dengan kekuatan 5.9 SR (BMG) atau 6.3 M (USGS), banyak
bangunan yang hancur karena sumber gempa relatif dekat (puluhan km) dan dangkal (t j.0
kmXUSGS)

3. Pengaruh jenis tanah

Tanah akan berpengaruh terhadap perambatan energi gempa dari sumbernya ke


bangunan. Pembesaran gerakan akibat perubahan energi gempa akibat efek resonansi
disebabkan oleh jenis tanah di daerah di mana gedung berdiri. Makin keras tanah, makin
cepat perambatan gelombang yang diteruskan (perubahan energi terhadap kecepatan
gelombang) sehingga perubahan energi menjadi gerak dapat diminimalkan. Sebaliknya, tanah
lunak akan memberikan kecepatan gelombang kurang dari tanah keras berbatu, akibatnya
energi gelombang tektonik diubah menjadi energi gerak pada tanah tersebut. Dengan
demikian, akan menciptakan amplifikasi kekuatan gempa yang diakibatkan oleh percepatan
pergerakan pada tanah tersebut. Tanah lunak mempunyai perambatan gelombang
4. Pengaruh durasi gempa

Durasi gempa adalah rentang waktu guncangan tanah yang terjadi saat gempa. Gempa
mempunyai durasi yang berbeda, bergantung pada jenis runtuhan dan sifat patahan yang
terjadi. Rentang waktu guncangan akan sangat berpengaruh terhadap intensitas bangunan.
Guncangan relatif kecil (Gambar dibawah ini), namun jika terjadi dalam waktu yang lama,
akan dapat merusak bangunan. Waktu getaran yang panjang atau durasi yang tinggi ini akan
banyak memengaruhi ketahanan material dan struktur gedung.

Gambar : Perbandingan besar magnitudo gempa utama dan susulan

Begitu juga dengan jumlah gempa susulan yang terjadi setelah gempa utama. Walaupun
relatif lebih lemah kekuatannya, guncangan-guncangan kecil dalam waktu yang lama akan
menambah tingkat kerusakan bangunan. Banyak fakta membuktikan bahwa gempa susulan
dampaknya dapat lebih merusak bangunan karena bangunan tersebut telah dipengaruhi oleh
gempa utama sebelumnya

5. Pengaruh desain bangunan

Pada akhirnya, energi gempa akan sampai pada bangunan dan memengaruhinya jika
aspek pemicu utama gempa, magnitudo, teryadi cukup besar kekuatannya, serta aspek
penghambat seperti kedalaman dan jarak sumber gempa atau jenis tanah tidak cukup
signifikan untuk membatasinya. Penentu akhir tingkat intensitas gempa terhadap bangunan
adalah desain bangunan itu sendiri. Pada umumnya, bangunan memang tidak didesain
terhadap guncangan gempa, namun hanya pada beban-beban fungsi dan berat sendiri saja
secara gravitasional. Pada kasus bangunan-bangunan yang rusak karena gempa, banyak
diakibatkan oleh ketidaksiapan bangunan terhadap beban lateral ini. Desain bangunan
terhadap gempa utamanya dipengaruhi oleh karakteristik struktur yang meliputi: a. Waktu
getar alami dari struktur bangunan b. Redaman (damping) dari struktur bangunan c.
Persyaratan dan konsep detailing bangunan Waktu getar (frekuensi) alami, seperti yang telah
dibahas sebelumnya, lebih banyak dipengaruhi oleh ukuran bangunan, sistem struktur; dan
bahan bangunan yang digunakan. Bangunan tinggi dengan struktur fleksibel mempunyai
frekuensi yang lebih rendah dibanding bangunan rendah yang kaku. Redaman lebih berkaitan
dengan sistem utama atau tambahan pada struktur bangunan. Struktur dinding kaku dan
brocing dikategorikan dalam redaman ini. Demikian juga dengan bantalan fondasi fleksibel.

c) Bangunan Gedung di Bawah Guncangan Gempa

Gempa bumi yang besar menyebabkan getaran kuat pada tanah di bawah bangunan. Hal
ini menyebabkan fondasi ikut bergetar yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian
bangunan dengan caranya sendiri sesuai jenis struktur dan bahan, serta aspek lain yang cukup
rumit secara detail. Namun demikian, prinsip kinerja bangunan gedung secara makro di
bawah gempa sebenarnya cukup sederhana dan mudah dipahami.

1. Mekanisme Guncangan Gempa pada Bangunan Gedung

Getaran gempa pada dasarnya adalah pergerakan tanah pada fondasi bangunan yang
menyebabkan fondasi ikut bergerak dan bagian paling atas bangunan cenderung tetap karena
mempertahankan potensi beban massanya sendiri. Makin besar energi gerak/amplitudo
gempa, makin besar pula pergerakan bagian bawah bangunan ini, sehingga bangunan gedung
bagian atas cenderung mengalami displacement atau perbedaan posisi yang cukup besar
dibanding bagian bawah. Perbedaan posisi ini akan memengaruhi mekanisme penyaluran
gayagaya yang terjadi pada bangunan hingga memengaruhi bangunan. Karena proses
tersebut, bagian-bagian bangunan paling atas cenderung mengalami kerusakan lebih dahulu,
sementara bagian vertikal, terutama kolom dan dinding, adalah bagian bangunan yang paling
mengalami dampak tekanan gaya dan menerima tekukan seperti halnya konstruksi kantilever
pada beban vertikal. Gerakan gempa pada tanah sayangnya tidak sekali, tetapi berulangulang,
sesuai durasi gempa disertai dengan perubahan percepatan. Perubahan percepatan membuat
energi gerak getaran tanah harus diterima oleh bangunan dan mengganggu kestabilan
bangunan. Dampak dari fenomena ini adalah kerusakan material elemen bangunan karena
tidak kuat menahan beban percepatan danjatuh/runtuhnya bangunan karena kestabilannya
terganggu

2. Efek Gaya-gaya pada Bangunan Saat Gempa

Pergerakan dinamis tanah di mana bangunan diletakkan menyebabkan gaya lateral (gaya
mendatar) dan vertikal pada bangunan. Gerakan gaya lateral mempunyai efekyang paling
merusakterhadap bangunan. Sebaliknya, gaya-gaya vertikal biasanya kurang signifikan untuk
dapat merusak bangunan (Hamburger dan Scawthorn, 2006). Kondisi tersebut tentu tidak
berlaku untuk bangunan yang relatif terletak di dekat pusat gempa karena efek gaya vertikal
akan cukup tinggi dan justru bersifat lebih merusak bangunan akibat gelombang R seperti
yang telah dibahas di depan

Gambar : Dampak beban lateral gempa bumiyang tebih berbahaya

Bangunan secara umum dibangun untuk melawan gaya gravitasi atau beban vertikal,
tetapi bukan untuk gempa yang membawa gaya horizontal dengan percepatan tertentu
sehingga gempa dapat mudah menghancurkan bangunan. Efek gaya gravitasi vertikal dan
efek gaya lateral yang dikombinasikan oleh gempa bumi akan menyebabkan overturning
moment atau momen terbalik pada bangunan (lihat Gambar 2.L). Dengan demikian, makin
berat bangunan, makin tinggi pula potensi momen balik ini.

Bangunan-bangunan dengan material dan sistem struktur berat seperti dinding batu
bata dan struktur beton bertulang sebenarnya relatif lebih rentan terhadap efek moment ini
dibanding material yang lain yang lebih ringan.
Gambar :Pengaruh kombinasi beban horizontal dan vertikal

pada momen terbalik =(HxL1)-(W x L2

d) Kegagalan Struktur Akibat Gempa

Daerah dengan kondisi kegempaan yang tinggi mungkin saja mengalami banyak gempa
bumi hampir setiap hari. Namun demikian, kerusakan struktural biasanya tidak teryadi
sampai besarnya magnitudo mendekati 5.0 SR (gempa menengah). Kerusakan struktural pada
umumnya adalah hasil dari kegagalan pada tanah, getaran struktur; dan atau penyebab lain
(Yashinsky, 2006). Kegagalan bangunan terhadap gempa bumi umumnya disebabkan oleh
ketidakmampuan bagianbagian bangunan tersebut untuk bekerja sebagai satu sistem dalam
melawan gaya-gaya lateral (Elnashai dan Di Sarno, 2008). Kegagalan bangunan, dalam hal
ini, tidak hanya disebabkan oleh gagalnya sistem struktur utama, tetapijuga elemen sekunder
yang mudah rusak akibat getaran gempa. Beberapa aspek yang menyebabkan kegagalan
bangunan akibat gempa, baik rusak, hancu1 maupun ambruk, berkaitan dengan kesalahan
desain pada bangunan yang akan memengaruhi kinerja sistem struktur; kerusakan pada
elemen struktur karena kekuatan, kekakuan, dan kelenturannya; sambungan elemen bangunan
yang tidak tepat; kualitas pengerjaan dan bahan; serta kegagalan tanah yang struktur fisiknya
berubah akibat gelombang gempa. Kesalahan yang terkait dengan bangunan dan goyangan
gempa tersebut adalah:

1. Struktur yang berat Massa tinggi atau bangunan yang berat, biasanya menggunakan
adobe dan rumah beton bertuiangl akan memrcu gaya inersia yang tebih besar saat
terjadi gempa, t aiena besar amplitudo inersia akan berband\ng \urus dengan massa
struktur
2. Periode getaran pendek bangunan Struktur bangunan dengan periode getaran
pendek akan mem_ punyai lebih banyak ayunan jika teryadi gempa. Jenis struktur
bangunan seperti ini pada umumnya mempunyai tingkat kerentanan yang cukup
tinggi, kecuarijika menggunakan sistem struktur yang lebih kuat. periode
gerombang gempa dengan rentang kurang dari 0,5 sampai 1,0 detik akan
menciptakan perc-epatan tinggi pada amplitudo gerakan tanah, dan kemudian akan
menurun hingga akhir periode getar. Untuk arasan ini, pada struktur dengan periode
getaran pendek, respons percepatan pada bangunun ,,iurnya be_ sar karena
berbanding rurus dengan gaya inersia yang disebabkan oleh massa. Bangunan
pendek dan atau dengan 6an]n bangunan kaku sangat rentan dengan periode
getaran plndek.
3. Kekuatan dan kemamPuan deformasi Kegagalan bangunan dapat dihindari pada
elemen-elemen bangunan yang mendukung sistem beban vertikal dengan
menghindari penggunaan bahan-bahan rapuh. iika tidak, maka kekuatan yang lebih
tinggi harus diberikan dan massa konstruksi harus dikurangi. Kemampuan
deformasi yang tinggi dapat dicapai dengan p"nggrnuun elemen struktural yang
lemas dalam rangka untuk menunda keruntuhan. Prinsip ini akan bekerja bahkan
setelah terjadi kerusakan struktural yang signifikan.
4. Keruntuhan progresi, Kegagalan karena material yang rapuh akan berefek pada
elemen struktural lainnya dengan modus serupa. Bangunan ini akan runtuh mulai
dari lantai di mana elemen rapuh telah gagal. Sebagai hasil karena pengurangan
resistensi lateral dan kehilangan daya dukung beban vertikal, akan menyebabkan
kegagalan berturut-turut lebih lanjut yang disebut sebagai kegagalan progresif
akibat elemen vertikal yang rapuh.
5. Konsentrasi, kerusakan Kegagalan elemen penyangga beban vertikar dari sebuah
lantai biasanya akan mengakibatkan runtuhnya bangunan. Sambungan dengan
kekuatan tinggi antar elemen vertikal (bukan horizontal) diperlukan dalam rangka
mengatasi kerusakan elemen vertikal dan memindahkannya pada elemen
horizontal. prinsip ini dikenal dengan prinsip kolom kuat balok lemah atau strong
column weok beam. Hal ini ditujukan untuk merindungi elemen utama struktur
penyangga bangunan untuk menunda keruntuhan lebih lanjut.
6. Penyimpangan vertikal Deformasi akibat gempa biasa terjadi pada aspek tertentu,
seperti pada tingkat (lantai) fleksibel dan atau lemah. Hal ini akan membuat
kerusakan yang lebih lanjut pada elemen vertikal dan mengakibatkan runtuhnya
bangunan. Lantai lemah ini dikenal sebagai soft story, atau bukaan yang terlalu
lebar pada salah satu lantai yang sayangnya banyak digunakan dalam bangunan
komersial atau residensial pada lantai dasar. Soft story ini adalah contoh yang
banyak dijumpai dalam penyimpangan vertikal. Penyimpangan vertikal lain juga
dapat disebabkan oleh kolom yang tidak menerus di setiap lantai, berat yang tidak
sama atau menerus pada lantai-lantainya, atau bahkan kolom pendek (short column
effect) yang disebabkan oleh perbedaan tinggi antar lantai yang berbeda pada
gedung bertingkat. Kolom yang tidak menerus jelas akan memengaruhi penyaluran
beban lateral ke fondasi bangunan. Berat tidak sama akan menyebabkan momen
puntir (gaya guling) yang besar karena konsentrasi massa secara akibat gaya lateral
akan besar. Kolom pendek pada salah satu lantai bangunan bertingkat akan
menyebabkan konsentrasi gaya yang besar dibanding kolom yang lebih panjang,
sehingga kapasitas pikulnya akan terlampaui dan mengalami kerusakan.
7. Penyimpangan horizontal, Penyimpangan horizontal seperti yang dijumpai dalam
denah bangunan dapat menciptakan struktur asimetris yang mengarah pada
ketidaksetaraan beban antara pusat massa. Hal iniakan menyebabkan getaran torsi
saat gempa. Kerusakan lebih parah diperkirakan akan terjadi pada elemen gedung
yang memiliki denah yang tidak sederhana dan bagian-bagian bangunan yang
mempunyaijarak lebih jauh dari pusat massa.
8. Senggolan bangunan yang berdekatan Bangunan yang tidak diletakkan berdekatan
dengan benar atau terlalu dekat dapat menyebabkan senggolan ketika gempa
terjadi. Senggolan ini menyebabkan efek hommering atau pukulan yang berkali-
kali seiring dengan intensitas gempa yang terjadi. Benturan akan merusak kedua
struktur bangunan, terutama yang relatif lebih lemah. Dampak ini umumnya terjadi
di bangunan di perkotaan yang padat atau pada konfigurasi bangunan yang tidak
benar.
9. Kontribusi elemen arsitektural dan non-struktural Elemen non-struktural atau
elemen arsitektural dapat mengurangi kinerja sistem struktur seperti bukaan lebar;
tangki berat pada atap, dan lain-lain. Elemen non-struktural seperti dinding berat
(batu bata) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kekakuan sistem struktur.
Jika elemen ini tidak terletak pada posisi keseimbangan, penyimpangan kekakuan
atau bahkan penyimpangan torsi dapat menyebabkan kegagalan sistem. Elemen
arsitekturaljuga dapat menyebabkan akibat fatal jika mudah terjatuh dan menimpa
penghuni di bawahnya. Elemen yang mudah jatuh bisanya terdiri dari dinding,
plafon, elemen interior seperti lampu gantung, dan sebagainya.
10. Fondasi adalah elemen penting untuk menyangga bangunan dan menyalurkan
beban ke tanah. Kegagalan fondasi menyebabkan kerusakan besar pada bangunan
waraupun bangunan utama itu sendiri tidak mengalami kerusakan. Fondasi dapat
mengalami ke_ gagalan umumnya karena tanah rongsor; liquefoction, rembah yang
hancur; pemadatan tanah, dan gaya diferensial.
11. Penurunan kualitas dan usia Umur dan atau keadaan lingkungan yang memburuk
akan merusak bahan struktur dan akan langsung mengurangi kemampuan kinerja
seismik bangunan. Inkonsistensi dalam denah dan potongan umum digunakan
dalam bangunan seperti desain vertikal yang tidak menerus atau berjenjang
(sidestepping), dan juga tinggi bangunan yang berbeda di sekeliling bangunan
utama (offsetting) akan menyebabkan konsentrasi stres. Asimetri dalam denah dan
tampak bangunan akan memindah beban dari struktur atas ke fondasi secara tidak
menerus yang akan mengakibatkan gangguan stres yang tidak diinginkan atau
konsentrasi dan efek torsi. Lantai pertama benar-benar terbuka tanpa dinding akan
menyebabkan soft story yang menyebabkan runtuhnya struktural.

e) Kerusakan Siruktural dan Kinerja Bangunan

Bahaya seismik dapat berpotensi menyebabkan kerusakan dan kerugian pada


bangunan. Kerusakan bangunan dihasilkan dari kondisi fisik berkaitan dengan pengaruh
beban gempa, sedangkan kerugian bangunan adalah dampak dari bangunan yang
rusak, seperti jatuhnya korban, hilangnya tempat tinggal, penurunan tingkat ekonomi, dan
sebagainya. Untuk keperluan ini, bangunan diklasifikasikan dalam hal sistem struktural, jenis
bangunan, atau bahkan fungsi bangunan. Aspek lokasi zona seismik, periode desain dan
penggunaan bangunan menentukan kinerja bangunan . Kurva kapasitas ditentukan
berdasarkan prinsip-prinsip rekayasa teknik yang menggambarkan perilaku nonlinier dari
jenis-jenis bangunan. Percepatan tinggi saat gempa akan selalu berkaitan dengan perpindahan
bangunan yang lebih besar.

f) Prinsip peforma Bangunan Gedung


Tingkat kerusakan bangunan menurut HAZUS ditentukan sebagai
ringan , sedang , berat , dan total . Tingkatan-tingkatan ini diambil dari kurva kapasitas
bangunan yang dikenal juga sebagai kurva tekan , sebuah diagram performa bangunan di
bawah gaya-gaya lateral. Pada kurva ditentukan dua area sebagai kapasitas «yield» dan
«ultimote». Kapasitas yield ditentukan berdasarkan kekuatan bangunan atas gaya lateral yang
digunakan sebagai dasar untuk mendesain bangunan, sementara kapasitas ultimate
menggambarkan batas atas bangunan saat keseluruhan struktur bangunan mencapai batas
reaksi maksimumnya. Kerusakan maksimum ditentukan bergantung pada tingkat keselamatan
yang diinginkan. Untuk bangunan dengan fungsi darurat, batas IO harus diambil, sementara
bangunan-bangunan lain cukup dengan LSDalam rangka menentukan tingkat kerusakan yang
dapat diterima, kapasitas bangunan berkaitan dengan aspek yang lain, seperti kurva fragility
dan kurva demand spectro .Kurvafragility menggambarkan kemungkinan perubahan bentuk
dari kerusakan paling ringan ke paling berat, sementara kurva demond spectro menentukan
perubahan bentuk yang dapat diterima akibat akselerasi pergerakan tanah.

Gambar : Hubungan antara inelastic onolysis, fragility clJrYe, demand spectra, dan building
capacity
Bab 3 PRINSIP-PRINSIP BANGUNAN
AMAN GEMPA
A. Struktur Bangunan dan Konsep Arsitektur

Struktur bangunan dan konsep arsitektur adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Struktur bangunan tidak dapat ideal tanpa memperhatikan bentuk, fungsi, sistem
bangunan, material, dan sebagainya. Sebaliknya, konsep arsitektur juga tidak dapat dilakukan
tanpa pemilihan sistem struktur yang tepat untuk sebuah bangunan. Berkaitan dengan gempa
bumi, struktur bangunan bukanlah satu-satunya penentu keselamatan pengguna bangunan.
Namun sistem struktur juga dapat membentuk dan dibentuk oleh konsep arsitektur. Dengan
demikian, keterkaitan kinerja bangunan di bawah gempa sangat diperlukan.

1. Konsep Perpindohon Energi Gempo ke Bongunon Energi gempa memengaruhi


bangunan melalui tanah sebagai media perpindahan energi dari sumber gempa ke
bangunan, seperti yang telah dibahas di depan. Tanah di mana bangunan ditempatkan
pada sebagian besar gempa akan bergerak ke samping/horizontal dengan percepatan
yang berbeda. Di satu sisi, karena massanya, bangunan akan mempertahankan
posisinya. Hingga puncaknya terdapat perbedaan posisi (dislocotion) antara bagian
bangunan yang paling dekat dengan tanah dengan bagian bangunan yang paling jauh
dengan tanah (bagian atas/puncak bangunan).

Gambar pergerakan bangunan dibawah guncangan gempa


Karena peristiwa ini disebabkan oleh gelombang gempa, perbedaan posisi kedua
bagian bangunan atas dan bawah ini akan dilanjutkan pada arah sebaliknya. Dengan
demikian, bangunan akan mengalami guncangan untuk beberapa saat, bergantung
durasi gempa yang terjadi. Makin lama durasi gempa, makin besar kemungkinan
bangunan mengalami kerusakan karena keterbatasan kekuatan dan keuletan
(daktilitas) bahan struktur bangunan. Bagian bangunan yang rentan mengalami
kerusakan adalah pada puncak-puncak bangunan atau bagian atas bangunan.

Kaitan antara ketinggian bangunan dengan displacement dan frekuensi pergerakan


bangunan
Selanjutnya, bangunan mungkin tidak hanya terpengaruh secara vertikal saja melalui
perbedaan posisi atas dan bawah bangunan, akan tetapi juga secara horizontal, yaitu
terjadinya efek puntir. Efek puntir terjadi pada bangunan yang mempunyai perbedaan
jarak antara sisi satu dengan yang lain terhadap titik berat bangunan. Pada kasus ini,
bagian bangunan yang terjauh (ujung/pojok) akan mudah mengalami kerusakan
karena mengalami dislokasi yang tinggi. Dislokasi baik vertikal maupun horizontal di
atas pada gempa dengan energi kecil akan sangat mudah merusakkan bagian-bagian
finishing bangunan seperti genteng dan plasteran dinding. Kerusakan ini disebut
dengan kerusakan non-strukturalyang tidak berpengaruh langsung terhadap berdirinya
sebuah bangunan namun sudah membahayakan keselamatan pengguna dan manusia
di sekelilingnya.

Gambar dislokasi horizontal


Pada tahap tertentu, jika kemampuan daktilitas sistem struktur terlampaui terhadap
energi yang datang, elemen dari sistem struktur tersebut akan mengalami kerusakan.
Kerusakan ini disebut dengan kerusakan struktural. Pada puncaknya, bangunan tidak
dapat lagi ke posisi awalnya dan akan mengalami kerusakan besar hingga akhirnya
mengarami keruntuhan.
Pada kedua jenis peristiwa di atas, elemen utama yang harus diperhatikan adalah pada
elemen arsitektural dan struktural. pada elemen arsitektural harus diupayakan agar
elemen-elemen finishing seperti atap, keramik, plaster; pintu, dan jendela agar tidak
mudah jatuh dengan cara dipasang lekat pada konstruksinya. Sementara eremen
struktural harus mampu mengatasi energi gempa, baik secara kaku (melawan/resrst)
pada sistem struktur kaku (beton bertulang) maupun secara fleksibel (meneruska n/
accomodate) dengan sistem struktur sendi (kayu dan baja).
Elemen yang paling berkaitan langsung pada sistem struktur adalah pada kekuatan
kolom, sehingga terdapat mekanisme strong column weok beom dan juga penggunaan
struktur dinding geser (sheor wolt) untuk struktur kaku beton bertulang agar bangunan
masih dapat terus berdiriwalaupun mengalami kerusakan. sementara bracing atau
penggunaan konstruksi batang diagonal dilakukan untuk sistem struktur fleksibel
kayu dan baja.
2. Konsep Ekuilibrium Bangunan
struktur bangunan adalah media untuk menyalurkan beban bangunan ke tanah dalam
rangka mendukung konsep arsitektur. struktur yang baik harus dibangun sedemikian
rupa sehingga memiliki kemampuan untuk mengantisipasi beban dari segala arah.
Dengan demikian, deformasi atau perubahan bentuk pada bangunan harus
diminimalkan.

Gambar beban bangunan


Beban pada struktur bangunan secara umum disebabkan dari alam dan kegiatan
manusia. Beban dapat dibedakan sebagai: beban mati atau beban statis, yaitu semua
bagian-bagian bangunan termasuk sistem strukturi mekanik, dan utilitas; beban hidup
atau beban dinamis sebagai hasil darifungsi bangunan termasuk pengguna dan
peralatan yang digunakan; beban eksternal atau beban alami yang berasal dari angin,
salju, hujan, banjir gempa bumi, dan sebagainya; beban konstruksi, yaitu beban yang
dipertimbangkan dalam proses konstruksi, seperti alat-alat dan pekerjaan pekerja di
bangunan; dan beban tambahan lainnya. Untuk menjag a agar bangunan dapat tetap
berdiri tegak, bangunan harus dipertahankan dalam keadaan kondisi ekuilibrium dan
stabil, yang berarti beban dan reaksi sama besarnya. Beban gempa pada umumnya
diperhitungkan sebesar 4O% dari total beban vertikal yang diterima bangunan (NBC
2010).
Pada struktur bangunan, semua beban-beban itu diubah menjadi energi yang memiliki
besaran dan arah yang disebut dengan gaya. Gaya dalam bangunan harus dalam
keadaan ekuilibrium, yang berarti setiap gaya yang dihasilkan dari banyak beban
bangunan harus dilawan dengan gaya internal bangunan ke arah yang berlawanan
sehingga dapat dicapai keseimbangan. Gaya dapat dibedakan sebagai gaya normal,
momendan geser.

Gambar macam gaya pada bangunan akibat gempa


Gaya normal adalah gaya yang setara besarnya yang terjadi pada garis yang sama
tetapi mempunyai arah yang berlawanan. Sementara itu, gaya yang bekerja pada arah
yang berbeda akan menciptakan perputaran (rotasi). Gaya geser terjadijika gaya
bekerja pada garis yang berbeda dengan arah yang berlawanan sehingga terjadi
pergeseran. Ekuilibrium mempunyai arti bahwa selain terjadinya keseimbangan beban
dan gaya internal, juga bangunan harus dalam kondisi stabil, tidak terjadi rotasi atau
pergeseran.
3. Konsep Mekanisme Penyaluran Beban pada Bangunan Untuk tetap stabil berdiri,
bangunan gedung dikonstruksikan dari elemen-elemen bangunan baik struktural
maupun non-struktural yang mampu untuk menyalurkan setiap beban ke dalam tanah.
Elemenelemen bangunan itu dimulai dari bagian terkecil bangunan berupa lapisan
finishing lual atap, pelat lantai, balok, kolom/dinding pemikul, dan fondasi. Tanah
adalah media akhir bagi penyaluran beban ini. Pada kondisi mendapat beban lateral
gempa bumi, arah distribusi beban ini justru dibalik dari tanah, fondasi, kolom, balok,
pelat lantai, dinding, atap, hingga bagian finishing bangunan. Beban gempa bumi ini
wujudnya berupa pergerakan atau displocement, yaitu simpangan goyangan dibanding
posisi awalnya. Di bawah getaran gempa bumi, elemen-elemen finishinglah yang
justru lebih dahulu mendapat kerusakan. Dilihat dari mekanisme struktural terhadap
keamanan, kondisi seperti ini memang seharusnya yang terjadi- Finishing bangunan
mengalami kerusakan jika gempa kecil terjadi, baru disusul oleh oleh elemen
berikutnya, seperti atap, dinding, dan elemen nonstruktural lainnya, pada gempa yang
lebih besar.
B. Prinsip Struktur Bangunan di Kawasan Gempa Bumi

Dengan memperhatikan tujuan utama pembangunan aman gempa, maka filosofi dan
prinsip permintaan/kapasitas (demand/capacity) ki nerja bangunan tahan gempa di bawah
beban seismik adalah:

a. Di bawah getaran kecil dan sering, elemen struktural utama dari bangunan tidak boleh
rusak, tetapi elemen non-struktural dapat mengalami kerusakan yang dapat diperbaiki
b. Di bawah getaran sedang dan jarang terjadi, elemen sistem struk tural utama dapat
mengalami kerusakan yang dapat diperbaiki dan bagian lain elemen yang non-
struktural dapat mengalami kerusak an yang juga dapat diperbaiki.
c. Di bawah getaran besar dan jarang, elemen struktural utama dapat mengalami
kerusakan parah namun bangunan masih harus tetap berdiri.

Secara umum, metode ketahanan bangunan terhadap gempa diba gi menjadi dua: aktif
dan pasif. Sementara menurut lokasinya, dapat digolongkan ke dalam sistem super structure
yang mencakup sistem struktur utama bangunan dan sub-structure yang meliputi tanah dan
fondasi bangunan. Metode pasif lebih banyak dipakai pada bangunan karena lebih mudah
dikerjakan dan murah harganya. Hanya pada ba ngunan-bangunan modern yang fungsinya
dianggap sangat penting menggunakan sistem aktif ini. Bahkan pada bangunan tertinggi di
du nia pun menggunakan sistem pasif, antara lain Menara Taiwan 101 (1-01 lantai) yang
menggunakan sistem bandul massa sebagai damper. Berikut adalah pembagian sistem aktif
dan pasif yang sebagian besar dibahas pada buku ini:

Gambar : Macam sistem pengamanan gempa bumi pada bangunan


1. Prinsip Ketahanan Gempo Struktur Utama

Pada struktur utama, kekakuan (stiffness), kekuatan (strength), dan dak tilitas (ductility)
adalah aspek respons struktur yang paling penting untuk menghadapi gempa (Elnashai dan Di
Sarno, 2008)' Kekakuan adalah kemampuan dari suatu elemen atau sekelompok elemen
ba ngunan untuk melawan kemungkinan tekuk (buckling) di bawah beban gempa. Kekuatan
adalah kemampuan dari bagian atau kelompok bagian-bagian bangunan untuk menahan
beban. Daktilitas adalah ke mampuan dari bagian atau rakitan dari bagian-bagian bangunan
untuk pulih dari rusak lebih jauh/di atas dari batas elastis.

Gambar : Stiffness, strenght, dan ductility

Di bawah gempa kecil, kekakuan adalah parameter yang paling signifi kan dalam
bangunan. Struktur dikatakan memiliki kekakuan cukup jika dapat menghindari deformasi
besar dengan gangguan minimal dari kerusakan dan tidak mengganggu fungsi bangunan.
Kekuatan ber kaitan dengan permintaan dan kapasitas struktur (demond/capocity).
Hubungan antara batas kerusakan struktural dan kekuatan adalah jika akumulasi tekanan
lebih besar dari kapasitasnya, kegagalan struktural pada elemen akan berlangsung.

Kekuatan ditujukan untuk mengatur tingkat kekakuan elemen bangunan pada gempa
menengah tapi ja rang. Hal ini dimaksudkan agar kerusakan dapat diperbaiki dengan biaya
perbaikan yang minimum. Dengan cara ini, struktur akan memiriki kekuatan yang cukup
untuk membatasi kerusakan. Daktilitas berhu bungan dengan penghindaran runtuh di bawah
gempa besar namun jarang. Struktur ulet akan mampu berubah bentuk sampai batasnya tanpa
harus kehilangan kemampuan untuk menahan beban mati. De ngan cara ini, gangguan dari
gempa dapat dimaklumi tetapi kerugian dapat diminimalkan, baik kehidupan manusia
maupun benda. Kekakuan, kekuatan, dan daktilitas bangunan dipengaruhi oleh bebe rapa
faktor; termasuk bahan bangunan, elemen struktur; sambungan konstruksi, dan sistem
struktur yang digunakan oleh bangunan. Secara umum, bangunan batu bata dan beton adalah
kaku dan bangunan kayu dan baja adalah lebih ulet.

struktur bangunan berbasis dinding adalah kaku dan sistem berbasis rangka lebih ulet.
Dalam hal kekuatan, bangunan beton bertulang memiliki kapasitas yang lebih tinggi karena
menggabungkan reaksi optimum terhadap gaya masuk atau beban. Kekakuan relatif yang
tinggi adalah subjek deformasi karena beban tertarik datang ke struktur. Short column effect
adalah contoh lain dari fenomena ini, di mana kolom pendek pada sebuah tingkat bangun an
akan cenderung mengalami kerusakan yang lebih besar dibanding yang lain. Hal ini terjadi
karena kapasitas maksimum akan dicapai lebih awal pada elemen kaku dalam bangunan
dibandingkan dengan elemen fleksibel. Sistem kaku seperti rangka beton bertulang bahkan
terbukti sebagai yang paling rentan terhadap gempa bumi dibandingkan de ngan semua jenis
struktur (Erdey, 2007). Untuk alasan inilah kenapa bangunan beton bertulang tidak disarankan
untuk diterapkan pada daerah dengan potensi gempa besar.

Gambar : Short column effect

Gambar : Perbedaan re spons antara bangunan rapuh-kuat dan bangunan utet


Gempa bumi akan berdampak ke bangunan sebagai gaya-gaya lateral yang sebanding dengan
berat struktur dan bagian lainnya dari sebuah gedung. Makin berat bangunan, akan makin
kuat gaya lateral yang ter- jadi pada bangunan. Bangunan yang berat seperti bangunan batu
bata dan beton bertulang memiliki dampak menerima beban yang lebih be sar. Untuk alasan
ini, berkaitan juga dengan kekakuan, bangunan batu bata dan beton bertulang hanya
disarankan untuk dibangun di daerah kegempaan rendah. Di lain sisi, bangunan dengan
struktui ringan yang elastis seperti kayu atau baja dapat digunakan pada daerah dengan
kegempaan tinggi. Kekakuan bangunan dan daktilitas yang terkait de ngan gaya lateraljuga
dapat dikaitkan dengan berat bahan bangunan yang digunakan. Dalam hal ini, rangka beton
bertulang dikombinasi kan dengan dinding bata juga kurang ulet dari baja dan bingkai kayu.

Gambar : Struktur untuk gempa besar vs. untuk gempa keci

Kebanyakan struktur bangunan direkayasa untuk tidak sepenuhnya agar tahan gempa,
tetapi didesain hanya untuk mencegah keruntuhan (Otani, 2004; Yashinsky, 2006;
Scawthorn, 2006). Lebih lanjut, bahkan bangunan dengan massa yang sangat kuat pun
dapatjuga terjadi ke gagalan di bawah guncangan gempa (Erdey, zOOi). Tujuannya adalah
tidak hanya untuk penghematan uang, tetapijuga karena struktur kuat akan menarik beban
yang lebih besar. Untuk alasan inilah kebanyakan struktur dirancang untuk memiliki
daktilitas yang cukup untuk bertahandi bawah guncangan gempa bumi daripada
memaksimalkan kekuat an. Dengan demikian, elemen-elemen bangunan mungkin saja dapat
berguncang dan berubah, tetapi mereka akan menjadi kuat pada gaya geser dan dapat terus
mendukung beban mereka selama dan setelah 9empa. Baik beban lateral maupun vertikal
harus dipertimbangkan untuk ba ngunan tahan gempa untuk dapat memfasilitasi gaya
seismik gempa. Gaya beban harus diarahkan dari asalnya ke bawah melalui sistem
struk tural dan berakhir di fondasi. Untuk mendapatkan perpindahan beban yang aman dari
gaya seismik ke tanah, lintasan gaya harus tidak boleh terganggu pada komponen-komponen
struktur.

Gambar : Rekomendasi struktur kesetamatan bangunan

Beban mati dan lateral harus diarahkan dalam lintasan yang menerus sepanjang baik
elemen horizontal maupun vertikal pada struktur sebelum dibuang ke tanah dasar. Struktur
bangunan yang hanya dipersiapkan untuk beban mati hanya akan memiliki kemampuan
minimal untuk menahan kekuatan beban lateral-horizontal. Kurangnya sistem menahan beban
lateral dan sambungannya akan mengganggu garis beban, dan bangunan akan dengan mudah
menjadi rusak saat teryadi gempa. Prinsip sistem untuk menahan gaya lateral sangat penting
dalam mengamankan struktur pada posisinya. Sistem tersebut akan meno lak atau
mengakomodasi perubahan disebabkan oleh kekuatan gempa yang terjadi untuk mereka
secara paralel (Hamburger dan Scawthorn, 2006). Untuk alasan ini, sistem harus disiapkan
untuk kedua arah horizontal.

Gambar : unsur-unsur utama sistem penahan gaya lateral bangunan


Selanjutnya, Eurocode 8 memberikan panduan prinsip untuk desain ta han gempa,
khususnya pada sistem struktur utama, harus mengikuti konsep-konsep berikut
(dikembangkan dari BSI, 2005):

a. Kesederhanaan struktur

Struktur yang sederhana adalah struktur yang ditandai dengan menggunakan jalur
penyaluran beban yang tidak terganggu, menerus, dan langsung pada sistem struktur
bangunan untuk trans misi beban gempa ke dalam tanah. Kolom-kolom pada bangunan
tidak boleh terputus secara vertikal, baik oleh penghilangan kolom atau perpindahan lokasi
kolom pada salah satu lantai bangunan bertingkat.

 Kesederhanaan, simetri, dan redundansi Kesederhanaan dalam denah, tampak


vertikal, distribusi mas sa, dan tata letak elemen struktur yang simetris adalah kunci
agar perilaku bangunan ketika mengalami beban lateral dapat bekerja setara, tidak ada
bagian-bagian bangunan yang akan mengalami beban yang berlebihan dibanding
dengan bagian lain. Kesederhanaan ini meliputi penggunaan bentuk grid struk tur
pada denah, penggunaan denah atau bentuk bangunan yang simetri, serta pengaturan
titik berat pada bangunan yang tidak terlalu melebar dari titik tengah bangunan.

Gambar :
Kesederhanaan
struktur

Gambar :
Kesederhanaan
denah dan bentuk
bangunan
 Resistensi dan kekakuan torsional Komponen yang paling penting untuk menahan

beban seismik harus didistribusitan tiaat jauh dari selubung bangunan' Efek torsijustru

terjadi maksimal pada selubung bangunan' Oleh kare na itu, selubung bangunan i''u"t

dibuat kaku agar tidak mudah mengalami torsi yani besar sehingga merusak

bangunan' Fasad bangunan y.ng rn"nj-udi satu dengan sistem struktui baik melalui

p"nlgunu.n dinding geser atau iracing' iuga dimaksudkan untuk merig;ntisipasi efek-

torsional ini' Demikian juga dengan bentuk denah sederhana serta simetri, serta tidak

berjarak jauh dengan titik berat denah bangunan.

Gambar :
Kekakuan
horizontaI

Gambar :
Kekakuan torsional
 Diafragma lantaiyang kaku Kekakuan lantai dan atap juga sangat membantu
bangunan ge dung dari gaya-gaya gempa. Sistem lantai dan atap harus didesain
cukup kaku dengan sambungan yang tepat dengan sistem struk tur vertikal dalam
rangka untuk menahan setiap gaya-gaya lateral. Pelat lantai dan atap yang monolit
dengan rangka bangunan akan sangat membantu kinerja bangunan terhadap gempa.

Gambar :
Pengkakuan petat
tantai dan petat
atap

b. Metade Ketahanan Gempa pada Elemen Bangunan yang Lain

Cara-cara pengamanan bangunan terhadap gempa terkini tidak menu tup kemungkinan
pada elemen-elemen lain dalam bangunan selain pada sistem struktur utama di atas. Struktur
utama memang bertang gung jawab terhadap keutuhan sistem strukturi namun untuk
menjaga agar bangunan tetap berdiri, elemen lain seperti fondasi dan juga ele men yang
ditambahkan seperti penggunaan massa pengimbang juga dapat dilakukan pada bangunan.

 Fondasi yang memadai Fondasi adalah dasar bagi berdirinya bangunan gedung.
Kegagalan fondasi akan berakibat pada amblasnya bangunan karena beban vertikal,
robohnya bangunan karena beban horizontal, atau per paduan dari keduanya. Pada
kasus gempa bumi, ketiga fenomena bangunan di bawah gempa sangat mungkin dapat
terjadi Pada bangunan yang berlokasi di dekat sumber gempa, atau dengan kondisi
tanah yang labil yang diakibatkan oleh efek tique foction, fondasi dapat gagal karena
daya dukung tanah menurun drastis. Penurunan vertikal pada bangunan, yang sering
terjaditidak seragam pada setiap titik lokasi fondasi, akan dapat merobohkan
bangunan dengan mudah
Gambar : Fondasi
untuk
mengantisipasi liquef
action tanah

Untuk mengantisipasi dan meminimalkan pengaruh efek liquefac tion, hanya fondasi
yang dapat diandalkan. Fondasi dalam atau tiang pancang hingga mencapai tanah
keras adalah jawaban un tuk permasalahan ini. Sementara itu, fondasi kapal (perat
basement) mungkin dapat diandalkan sejauh lebar pelat cukup untuk mendu kung
berdirinya bangunan. Pada bangunan yang terletak relatif jauh dari sumber gempa,
efek gaya horizontallah yang lebih banyak memengaruhi fondasi. Pada kondisi ini,
beban lateral pada fondasi harus "dilawan,, atau "disesuaikan" agar bangunan tidak
mengalami displocement atau kerusakan pada bagian yang berhubungan dengan tanah
(fondasi dan hubungannya dengan struktur atas super structure). Teknik ini dikenal
dengan base isolator atau isolasi fondasi.
 Peredaman fondasi
Fondasi dan hubungannya dengan suprastruktur harus menyatukan bangunan secara
keseluruhan ketika terjadi beban seismik gempa. Stru ktu r bang u nan a kan bergerak
mem pertaha nkan kedudu ka n nya di bawah guncangan gempa, sementara tanah dan
fondasi akan bergerak mengikuti arah pergerakan gempa. Dengan demikian, fondasi
berfungsi sebagai penerus gaya dan juga sekaligus seba gai penghambat atau lood
buffer pada bangunan. Untuk mencapai kondisi yang ideal, fondasi harus kuat
menahan beban lateral ini dan berfungsi sebagai penghambat sehingga efek gempa
pada ba ngunan dapat diminimalkan.
Gambar jenis fondasi untuk struktur kaku vs fleksibel
Pada struktur kaku rigid frome beton bertulang, kesatuan antara fondasi dan elemen
struktur atas harus kuat sehingga tidak patah atau rusak jika terjadi gempa. Untuk
meminimalkan guncangan pada bangunan, hubungan antara tanah dan struktur ini
harus dihambat. Penghambat berupa lapisan pasir yang berfungsi me nyerap getaran
dalam hal ini disebut sebagai seismic buffer. Pada kasus struktur bangunan
ringan/fleksibel, hubungan fondasi dengan struktur atas harus tetap menyatu
walaupun dihubung kan dengan sambungan sendi dan harus tetap mampu menahan
beban bangunan secara keseluruhan. Hubungan yang fleksibel ini diketahui lebih
mampu meredam bangunan dari guncangan yang merusak sehingga efek gaya lateral
berkurang dibanding dengan sambungan kaku pada rigid frame.
 Pre-stress dan post-tension pada struktur beton
Struktur beton bertulang (reinforced concrete/RC) adalah sistem struktur yang populer
digunakan, terutama pada bangunan rendah hingga bertingkat sedang. Hanya saja,
sifat beton bertulang yang relatif berat dan besar; serta kurang mampu menahan
beban-beban lateral, membatasijenis struktur ini untuk digunakan pada kondisi
ancaman gempa yang tinggi. Untuk mengatasinya, penguatan de ngan memberikan
stress atau tekanan yang lebih tinggi digunakan untuk memperkuat material sekaligus
memperkecil dimensi yang berarti mengurangi beban struktur. Teknik yang dapat
digunakan pada penguatan ini adalah pre-stress dan post-tension pada beton. Pada
prinsipnya, kedua teknik ini tu juannya sama, hanya cara melakukannya di awal
untuk pre-stress dan di akhir pada post-tension.
 Base isolator
Sistem struktur fleksibel mempunyai keuntungan di bawah guncan gan gempa
dibanding struktur kaku atau jepit. pada sambungan struktur sendi, elemen struktur
tidak harus melawan besarnya gaya gempa sehingga bangunan relatif aman dari
kerusakan. Hubungan fleksibel pada struktur ringan kayu atau baja telah
dikembangkan pula untuk penggunaan bangunan-bangunan berat, khususnya pada
aplikasi base isolator. Bedanya, pada bangunan di atas isola tor tetap berperilaku
sebagai rigid body.

Gambar base isolation dengan mekanisme bantalan penghubung bangunan dengan


fondasi
Pada metode ini, bangunan utama dan fondasinya dipisahkan (de coupling) dengan
menggunakan bantalan yang berfungsi meredam guncangan tanah ke bangunan.
Prinsip ini dikenal dengan base iso lotor. Pada bangunan dengan metode ini,
bantalan kenyal namun kuat menahan beban bangunan digunakan. Penggunaan
isolator dapat mereduksi deformasi lateral sekitar 75o/o danjuga memper panjang
waktur getar 2.5 hingga 3 kali (Teruna & Singarimbun, 2010). Dengan demikian,
bangunan akan aman dari guncangan horizontal gempa dan juga terhadap risiko
resonansi dengan fre kuensi dominan gempa.
 Tuned mass damper
Damping atau penyeimbang massa jenis tuned moss domper (TMD) menggunakan
massajenis bandul pemberatyang ditahan oleh be berapa pegas atau sistem hidrolik
untuk mengatur gerakan bandul pada lantai atas bangunan. Metode ini pada umumnya
digunakan untuk mengurangi goyangan pada bangunan sangat tinggi yang
menggunakan sistem struktur ringan. Prinsip kerja dari bandul damping ini adalah
mengimbangi dengan arah berlawanan goyan gan gempa pada bangunan pencakar
langit yang waktunya diatur oleh pegas atau batang hidrolik sehingga goyangan
bangunan gempa akibat gempa dapat diminimalkan. Taiwan lOL adalah salah satu
gedung tertinggi di dunia yang menggunakan mekanisme TMD tersebut.

Gambar mekanisme tuned mass damper


 Tuned liquid damper (slosh tank)
Slosh tank atau tangki aduk adalah tangki besar berisi cairan yang ditempatkan pada
lantai atas gedung bertingkat. Metode ini pada umumnya diterapkan pada struktur
kaku beton bertulang. Jika ter jadi guncangan gempa, cairan di dalam tangki ini akan
teraduk bolak-balik membentuk gelombang yang diarahkan oleh partisi jalusiyang
mencegah tangki dari efek resonansi. Massa air ini dapat berubah atau melawan
periode resonansi bangunan tertentu de ngan mengatur tingkat kekentalan, panjang,
lebaf dan kedalaman cairan yang diisikan pada tangki (Robinson, et.a\,2007). Jalusi
penghambat antar ruang air berfungsi untuk memperlambat gelombang air sehingga
frekuensinya dapat dipakai untuk mereduksi resonansi bangunan. Energi kinetik
tambahan yang terjadi dapat diubah men jadi panas oleh jalusi dan didisipasikan
melalui air.
Gambar prinsip penggunaan slosh tank pada puncak bangunan
 Sistem kontrol aktif gempa
Sistem kontrol aktif membutuhkan energi listrik untuk menggerak kan gaya
kontrolyang diinginkan struktu; sedangkan sistem kontrol pasif tidak membutuhkan
energi untuk menghasilkan gaya kontrol pada struktur. Pada sistem pasif, gaya kontrol
dihasilkan oleh sistem itu sendiri yang timbul karena adanya gerakan relatif dari titik-
titik bagian struktur sendiri. Pada sistem aktif, dibutuhkan sebuah sensor yang
dihubungkan de ngan komputer untuk mengukur respons struktur. Komputer akan
menentukan besarnya gaya yang diinginkan aktuator berdasarkan informasi tersebut.
Kelebihan sistem aktif kontrol adalah meng hasilkan respons struktur yang sesuai,
sedangkan kekurangannya adalah mahal, di samping karena harga teknologi yang
masih ting gi, juga karena membutuhkan pasokan energi yang cukup besar (Teruna
& Singarimbun, 201-0). Bentuk sistem aktif ini meliputi elemen brocing hidrolik atau
octive moss damperyang dapat diatur kinerjanya dengan komputer sesuai guncangan
gempa yang terjadi sehingga keseimbangan bangunan dapat terjaga. Sistem ini
mengadopsi sistem p.g.t r,idrolik pada kendaraan yang diatur secara elektronik.

C. Prinsip perancangan arsitektur bangunan aman gempa


Arsitektur bangunan aman gempa pada dasarnya memang memper hatikan prinsip
struktur bangunan tahan gempa sebagai langkah awal untuk memahami bangunan
yang mampu menghadapi guncangan saat terjadi gempa. Akan tetapi, aspek kekuatan
struktur bukanlah satu-satunya penyebab utama mengapa bangunan tidak aman terha_
dap gempa. Bangunan yang aman terhadap gempa harus dilihat secara menyeluruh
karena risiko kerugian baik nyawa maupun harta tidak ha nya disebabkan oleh
kegagalan sistem struktur saja. Aspek-aspek yang berkaitan dengan prinsip arsitektur
aman gempa adalah seperti di bawah ini.
1. Aspek lingkungan

Bagaimanapun juga, bangunan yang ditujukan khusus aman dari gem pa tidak perlu
dibangun di semua tempat. Hanya di atas tanah yang terletak diwilayah rawan gempa sajalah
bangunan ini perlu dibangun. Untuk itu, perlu data yang lengkap mengenaisifat seismisitas
baik mak ro maupun mikro suatu wilayah. seismisitas makro berkaitan dengan sifat seismik
secara regional yang dapat ditemukan pada peta zonasi seismik yang dikeluarkan oleh
otoritas yang bersangkutan, dalam hal ini BMKG/Pekerjaan umum untuk Indonesia. wilayah-
wilayah yang relatif dekat dengan sabuk lingkar lempeng benua din cabang-cabang retakan
tanahnya (sesar) akan cenderung dipengaruhi oleh aktivitas seismik yang dapat menghasirkan
gempa besar sewaktu-waktu.

Seismisitas mikro juga merupakan aspek yang sangat penting karena zonasi pada
seismisitas makro relatif tidak bersifat sama pada lahan satu dengan lahan yang lain. Kondisi
lapisan tanah lokal dan kandung an air serta topografiwilayah akan menentukan seismisitas
mikro suatu lahan. Tanah dengan sifat lembek dengan kandungan air yang tinggi akan
mempunyai sifat menghambat frekuensi gempa (lihat gelombang S, L, dan R) namun
memperbesar periode dan amplitudo gelombang gempa, sehingga efek gempa akan'rnenjadi
lebih besar. Sebaliknya, ta nah padat dengan bebatuan yang keras akan lebih mudah
meneruskan frekuensi gempa dan tidak mengonversinya menjadi energi.

Topografi lahan dan sekitarnya juga menjadi aspek penting untuk ba ngunan aman
gempa. Kondisi topografi akan memengaruhi bangunan secara tidak langsung yang
menyebabkan bangunan mengalami ke rusakan akibat llquefoction, tanah bergerak pada
lereng gunung, atau tanah longsor. Pada lingkungan yang lebih sempit, kondisi bangunan di
sekitar lahan juga menjadi pertimbangan utama untuk merencanakan bangunan yang akan
didirikan. Ketetanggaan bangunan akan memengaruhi efek pounding atau saling
bersenggolan jika diletakkan berdempetan.

Secara arsitektural, bangunan harus sesuai lingkungannya. Kata ,,sesuai,, dalam hal
ini berarti "benar" dibangun di lingkungunny.. Bangunan yang benar atau tepat untuk
lingkungannya selanjutnya disebut ,,kon tekstual", yaitu bangunan yang dibangun bukan
saja hanya dalam hal langgam arsitektur dengan gaya tertentu bangunan sekitaa akan tetapi
justru berkaitan dengan sifat fisik alam sekitar. Kontekstual dengan sifat fisik lingkungan
meliputi banyak hal yang terdiri dari kondisifisik tanah dan udara. Kontekstualitas berkaitan
erat dengan aspek keamanan ba ngunan baik dari gempa maupun aspek yang lain, seperti
keamanan dari embusan angin ribut, hujan, banjir, dan sebagainya. Demikian juga dengan
kenyamanan yang berkaitan dengan udara dan cahaya. Di lain sisi, sifat fisik tanah berkaitan
dengan daya dukung tanah, lapisan ge ologi, dan aktivitas tektonik yang secara langsung
berkaitan dengan bangunan aman gempa.

Gambar contoh salah satu bentuk rumah tradisional jawa

Langgam bangunan sekitar belum tentu mempunyai nilai kontekstuari tas yang baik
terhadap lingkungan. Mungkin saja langgam bangunan tidak sesuai lingkungannya karena
pengaruh aspek tertentu, seperti perubahan gaya bangunan akibat pengaruh luar; kondisi
perekonomi an, dan sebagainya. Sebagai contoh, bangunan tradisional dirndonesia dulu
selalu dibuat dengan konstruksi kayu. selain kayu banyak dijumpai di lingkungan tropis
Indonesia, bahan bangunan ini bersifat ringan dan tidak menyimpan panas sehingga sesuai
untuk wilayah Indonesia yang sebagian besar berpotensi gempa tinggi serta iklim yang
lembap. Tra disi ini berubah semenjak mendapat pengaruh luari khususnya Belanda (Barat)
yang memperkenalkan bangunan dengan batu bata. Hingga sekarang, bangunan batu bata
lebih banyak digunakan. Bangunan batu bata ini tentu saja kurang sesuai untuk wilayah
seismisitas yang tinggi dan udara tropis lembap. Bangunan batu bata itu selanjutnya dapat
dikatakan kurang mempunyai kontekstualitas dengan lingkungan sekitar.
2. Aspek fungsi bangunan dan ruang

Semua bangunan tentu diharuskan mempunyai sifat aman terhadap gempa, namun
prioritas atau seberapa jauh tingkatannya diberlakukan bergantung pada fungsi bangunan.
Bangunan-bangunan yang mem punyai fungsi gawat darurat dan pertahanan keamanan
mempunyai tingkatan aman gempa yang paling tinggi. Bangunan ini berupa ru mah sakit,
kantor polisi, kantor pelayanan, dan sejenisnya. Selanjutnya adalah bangunan dengan fungsi
massal seperti bangunan sekolahan, peribadatan, pertemuan, dan sabagainya. Setelah itu
bangunan hunian seperti perumahan, apartemen, dan hotel. Tingkatan selanjutnya baru pada
bangunan-bangunan yang lain. Semua tingkatan itu digunakan untuk menyelamatkan nyawa
manusia.

Pembedaan hanya ditujukan untuk sampai seberapa bangunan-ba ngunan tersebut


boleh rusak jika teryadi gempa. Bangunan dengan level keamanan gempa tertinggi tidak
boleh mengalami rusak jika ter jadi gempa sedang hingga besar; level kedua boleh
menderita rusak ringan, dan level ketiga mungkin mengalami rusak sedang. Level ter endah
mungkin saja terjadi rusak berat bangunan, namun bangunan tidak boleh runtuh sehingga
keselamatan pengguna tetap terjaga. Dalam satu bangunan, ruang-ruang juga dibedakan
prioritasnya terha dap keselamatan gempa. Ruang-ruang yang harus diprioritaskan juga
mengikuti prinsip pada bangunan di mana ruang-ruang untuk kepen tingan darurat
(emergency) harus diutamakan, dalam hal ini akses jalur evakuasi seperti selasar dan tangga
harus diutamakan.

3. Aspek konsep dasar desain bangunan

Konsep dasar yang diwujudkan dalam perencanaan awal atau prelimi nary design
adalah tahapan perancangan bangunan pada tahap awal untuk menentukan bentuk dan fungsi
bangunan. Konsep dasar inilah yang akan mendasari proses perencanaan dan perancangan
selanjut nya. Pada tahap ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan tujuan awal perencanaan
bangunan diputuskan. Hanya arsitek dan pemilik atau pengguna bangunan saja yang baru
terlibat, sementara ahli struktur (insinyur sipil) dan ahli-ahli yang lain daram pembangunan
gedung belum dilibatkan sama sekali.

Pada tahap preliminory design ini, arsitek memegang kendari penuh atas desain awal
bangunan. Tahap desain bangunin selanjutnya lebih bersifat teknis yang dapat dideregasikan
kepadi ahli-ahli dibidangnya, termasuk ahli struktur bangunan. Sangat kecil kemungkinan
konsep bangunan akan berubah pada tahap tersebut, sehingga pada konsep dasar harus sudah
dimasukkan unsur keselamatan bangunan terhadap gempa. Hal-hal yang harus
dipertimbangkan adalah:

 Siteplan
Siteplan mengatur perencangan bangunan pada sife atau lahannya. Sife bangunan
berkaitan dengan lokasi sife itu berada terhadap lingkungan di sekitarnya.
Perancangan siteplon aman gempa ha rus memperhatikan aspek perlindungan
terhadap evakuasi gempa, zona aman gempa, dan kemudahan akses dari luar untuk
keperluan pertolongan darurat. Pada pengaturan site, zona aman gempa harus
disediakan pada pengguna sehingga dapat digunakan sebagai tempat untuk mengungsi
keluar dari bangunan dan membebaskannya dari ke mungkinan bahaya kejatuhan
bangunan atau elemen bangunan. Zona aman ini biasanya berbentuk halaman luar
atau dalam yang relatif mempunyai ukuran/jarak tertentu sehingga aman
darijatuh nya elemen bangunan dan berhubungan langsung dengan zona akses
emergency bangunan selasar dan tangga.

Gambar contoh siteplan dengan pertimbangan keselamatan terhadap gempa


Siteplon yang aman gempa juga harus memperhatikan posisi ba ngunan yang berada
di sekelilingnya. Jika sudah diketahui terdapat bangunan yang relatif dekat dengan
site, maka bangunan harus diposisikan agar tidak terlalu dekat dengan bangunan
sekeliling tersebut. Kedekatan dengan bangunan sekitar akan menyebabkan
efekpounding alau benturan satu sama lain. Efek iniakan berbahaya bagi kedua
bangunan, karena dua bangunan yang tidak dibangun secara bersama akan
mempunyai sifat yang berbeda, sehingga jika terjadi benturan, salah satu dari mereka
akan menderita kerusakan yang signifikan. Jika site mempunyai lokasi yang spesifik,
misalnya mempunyai kemiringan atau relatif berada di dekat sungai, danau, tebing,
dan sebagainya, bangunan harus diletakkan sejauh mungkin dengan u nsu r-u nsu r
yang dapat meng gangg u ba ngu na n ji ka terjadi gem pa. Tebing yang curam akan
berisiko terhadap kemungkinan terjadinya tanah longsor; sehingga bangunan harus
dijauhkan dari tebing ter sebut. Begitu juga dengan sungaiyang akan berisiko amblas
akibat liquefoction tanah di bawah fondasi.

Gambar pertimbangan site terhadap keselamatan terhadap gempa


Kontur atau kemiringan site juga harus diperhatikan karena ke mungkinan terjadinya
pergerakan tanah akibat gempa. Bangunan harus diletakkan pada kontur datar relatif
berposisi lebih tinggi un tuk mengantisipasi longsoran tanah ke bangunan.
 Denah
Denah bangunan tidak hanya berhubungan dengan fungsi ruang ruang dalam
bangunan saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek lain, termasuk karakter sistem
struktur yang digunakan dalam ba ngunan. Struktur utama bangunan dapat dikenali
dengan melihat konfigurasi kolom pada sistem struktur rangka dan atau dinding
pemikul. Sistem struktur yang relatif aman terhadap gempa dapat dikenali dengan
jarak kolom dan atau dinding pemikulyang mem punyai pola seragam dengan grid
kolom (grid struktur) dan jarak antar kolom yang tidak terlalu lebar. Grid struktur
akan memasti kan bahwa jarak antar kolom atau dinding pemikul adalah sama.
Ukuran yang sama tersebut akan membuat perilaku sistem struk tur akan menjadi
seragam atau homogen sehingga lebih kompak dalam menghadapigoyangan gempa
dan meminimalkan kemung kinan rusak atau gagal. Jarak antar kolom pada
bangunan yang relatif rapat dapat mening katkan kekakuan bangunan. Sebaliknya,
jarak antar kolom yang terlalu lebar dapat menyebabkan daya dukung kolom terhadap
gaya samping lateral menjadi minimal. Secara struktural sederhana, hal ini dapat
diantisipasi dengan ukuran kolom yang besari namun di lain sisi, kolom yang besar;
walaupun akan meningkatkan kekuat annya, namun akan menyebabkan beban massa
struktur menjadi lebih besar. Massa bangunan yang besar akan menyebabkan
po tensi guling terhadap gaya lateral akan lebih besar pula, yang pada akhirnya juga
akan meningkatkan risiko terhadap bahaya gempa.

Gambar berbagai macam grid struktur penentu denah


Bangunan yang mempunyai bentuk asimetris atau mempunyai bagian yang paling
jauh terhadap titik berat bangunan akan meng alami goyangan paling besar dan
mempunyai kencederungan rusak paling besar. Bentuk-bentuk denah yang tidak
sederhana yang mempunyai risiko gempa yang besar adalah yang mempunyai bentuk-
bentuk H, T, +, dan juga bangunan panjang I yang mempunyai rasio sisi panjangnya
lebih dari l- : 2. Lokasi di mana sisi-sisi terjauh (pojok-pojok bangunan) akan
mengalami displocemenf yang lebih besar.

Gambar bentuk denah yang harus dihindari


Fenomena torsi horizontal sebenarnya juga dapat terjadi pada bentuk denah sederhana
namun mempunyai konfigurasi sistem struktur yang tidak simetris. Asimetris sistem
struktur terjadijika da lam bangunan digunakan gabungan dua sistem struktur yang
tidak simetris, seperti menggunakan dinding pemikul dan kolom, kolom dan core atau
inti bangunan, atau dinding pemikur dan core. Karena jenis-jenis sistem struktur
tersebut tidak mempunyai perilaku yang sama, maka jika digunakan dalam bangunan
secara asimetri, akan menimbulkan efek torsi dalam bangunan jika terjadi gempa.
Pada denah bangunan aman gempa juga harus diperhitungkan lokasi-lokasi akses
evakuasi yang terdiri dari serasar dan tangga (tangga darurat). Eskalator dan elevator
tidak diperhitungkan da lam akses evakuasi ini karena kedua jenis alat transportasi
dalam bangunan tersebut bergantung pada daya listrik yang sewaktu gempa mudah
mengalami gangguan sehingga tidak diperbolehkan digunakan saat gempa. Selasar
dan tangga harus diperhitungkan pada denah bangunan dengan ketentuan jarak ruang
terjauh dari selasar tidak lebih dari 10 meter dan jarak tangga darurat diletak kan
setiap 20 meter.

Gambar penyimpangan horizontal di FEMA 368


Pada intinya, bentuk dan konfigurasi denah harus dibuat sesederha na mungkin
untuk menghindaritorsi horizontalsaat gempa.
 Potongan
Jika pada denah dapat dilihat konfigurasi ruang dan sistem struk turnya secara
horizontal, pada potongan akan dapat dilihat secara vertikal. Secara konvensional,
potongan digunakan untuk melihat bagaimana sistem struktur dan konstruksi pada
bangunan dapat meneruskan beban-beban bangunan dan menyalurkannya ke da lam
tanah. Berkaitan dengan keamanan dan keselamatan terhadap gempa, pada potongan
harus dipikirkan bagaimana gaya lateral gempa bumijuga dapat diakomodasi dengan
baik bersamaan dengan gaya vertikal tesebut.

Gambar prinsip konsistensi/keseragaman kolom


Prinsip-prinsip utama dalam merancang potongan bangunan ta han gempa adalah
bahwa prinsip penyaluran beban tidak terputus atau terganggu secara vertikal. Kolom-
kolom selain akan menya lurkan beban juga dipakai untuk meyakinkan bahwa
bangunan dapat tetap berdirijika terjadi gempa. Oleh karena itu, kolom yang menerus
dan diakhiri dengan fondasi yang mampu menahan dan menyalurkan beban-beban
vertikal dan lateral ke dalam tanah harus didapatkan. Pada bangunan bertingkat,
kolom-kolom pada setiap lantai ha rus dibuat dengan ukuran panjang dan besar yang
seragam untuk menghindari perbedaan kinerja pada lantai-lantai bangunan terse but
yang dapat memperlemah daya dukungnya atau menambah beban tambahan padanya
yang keduanya akan membuat bangun an lemah terhadap gaya lateral. Kolom yang
relatif lebih panjang dengan yang lain dapat memperlemah daya dukung terhadap
gaya lateral karena kolom panjang meningkatkan gaya momen samping. Namun
demikian, kolom yang relatif pendek dengan lantai lain juga tidak diharapkan karena
kolom pendek akan menambah ting kat kekakuan elemen dibanding yang lain yang
akan menyebabkan terkumpulnya beban-beban pada kolom-kolom lain kepadanya.
Untuk alasan itulah kedua kolom yang relatif pendek atau panjang dihindarkan.
Gambar prinsip keseragaman kolom dan efek lecutan
Keseragaman ukuran kolom pada bangunan bertingkat juga diper lukan untuk
menjaga kontinuitas reaksi bangunan terhadap gempa. Kolom yang mengecil pada
bagian atas dengan alasan efisiensi ba han bangunan akan mengakibatkan "efek
lecutan" pada bangunan. Efek ini akan membuat kolom bangunan bagian atas
cenderung mengalami dislokasi yang tinggi karena lebih fleksibel. Dislokasi yang
berlebih akan mengakibatkan mudah rusaknya baik elemen struktural maupun non-
struktural.
Elemen non-struktural juga harus diperhatikan agar tidak mudah jatuh saat gempa.
Plafon sebaiknya tidak digunakan pada bangun an, atau jika harus digunakan,
diharuskan untuk dirancang tidak mudah lepas atau jatuh. Honging plafond
diwajibkan agar plafon dilengkapi dengan rangka yang benar-benar tergantung dan
bukan hanya menempel pada dinding, karena jika dinding bergerak, pla fon akan
tetap tergantung pada balok atau pelat lantai di atasnya. Dinding penyekat ruangan
juga harus digunakan seminimal mung kin untuk menghindari dinding yang jatuh
saat gempa. Jika harus digunakan, maka dinding ringan lebih disarankan agar tidak
ber bahaya jika jatuh. Dinding-dinding berat jika terpaksa digunakan, misalnya pada
bagian luar bangunan lbuilding envelope), harus di yakinkan benar-benar terkait
(diangkufl dengan erat pada kolom dan balok, dan juga harus didukung oleh kolom-
kolom praktis di antara kolom-kolom strukturalnya.
Gambar elemen dinding dan plafon aman gempa
 Tampak bangunan
Bagi arsitek, tampak bangunan dirancang untuk menunjukkan nilai artistik sebuah
bangunan yang dilihat dari skala, proporsi, irama, warna, dan tekstur bangunan. Akan
tetapi, sebenarnya pada tam pak bangunan juga terdapat aspek-aspek bangunan aman
gempa' Prinsip utama tampak bangunan aman gempa juga didasarkan pada kinerja
yang seragam pada elemen tampak bangunan yang mencakup pada aspek bentuk
bangunan, building envelope, bu kaan, serta finishing bangunan' Pada bangunan
sederhana satu lantai, selain kinerja sistem struk tur; arsitektural dinding memegang
peranan besar. Walapun tidak secara langsung berkaitan dengan sistem strukturi
namun dinding batu bata akan berfungsi sebagai pengkaku struktur sehingga
per lubangan pada bangunan harus dilakukan seminimal mungkin. Bukaan yang
terlalu lebar akan memperlemah kinerja bangunan secara keseluruhan terhadap
gempa.

Gambar prinsip ukuran bukaan bangunan tidak bertingkat dengan konstruksi dinding
bata
Bentuk bangunan pada tampak bangunan harus dibuat idealnya lebih besar pada
bagian bawah dan mengecil pada bagian atas secara kompak dan menyatu. Bangunan
yang mengambil bentuk sebaliknya akan lebih rentan terhadap gaya lateral gempa
bumi. Pada bangunan bertingkat rendah, bentuk harus dibuat kompak dengan denah
lantai dasar dan lantai-lantai di atasnya dibuat sama pada bentuk dan ukurannya.
Bangunan bertingkat yang tidak kompak dengan mempunyai bentuk dan ukuran lantai
bangunan berbeda (set bock) akan mempunyai reaksi yang berbeda jika men dapat
tekanan gaya lateral akibat gempa bumi. Akibatnya, bagian yang terlemah, biasanya
pada sambungan lantai yang berbeda itu dan bagian atas bangunan yang mempunyai
goyangan yang paling besar; akan lebih dulu mengalami kerusakan.
Finishing pada bangunan juga harus dipertimbangkan pada gun cangan gempa.
Pemasangan genteng pada atap miring harus diperhati[pn agar melekat dengan kuat
jika terjadi guncangan. Genteng harus dipaku pada atap kemiringan tinggi agar tidak
mu dah lepas yang akan membahayakan penghuni bangunan. Begitu juga dengan
elemen penutup dinding seperti keramik dan batu alam agar tidak mudah lepas dan
dihindari penggunaanya pada ruangan/bangunan yang di bawahnya digunakan secara
massal untuk menhindari kemungkinan jatuh dan menimpa pengguna ba ngunan.
4. Aspek bahan bangunan

Penggunaan material atau bahan bangunan sangat memengaruhi kinerja bangunan


terhadap guncangan gempa. Bahan bangunan ber kaitan dengan keselamatan terhadap
gempa bumi pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu material yang mempunyai massa tinggi
(berat) dan material yang bermassa rendah (ringan).

Untuk menghindari efek momen torsi pada bangunan, penggunaan bahan bangunan
berat harus diminimalkan. Bangunan dengan mate rial berat dan kaku cenderung
mempunyai frekuensi getar alami yang tinggi sehingga akan mudah mengalami resonansi
pada gelombang gempa, terutama gempa berfrekuensi tinggi (gempa dekat). Sebaliknya,
bahan bangunan dengan masa rendah dan fleksibel akan memberikan efek torsi yang rendah
pula. Frekuensi getar alaminya juga lebih rendah sehingga relatif aman pada gempa. Dengan
demikian, bahan bangun an beton bertulang dan dinding batu bata tidak dianjurkan
dibangun pada daerah rawan gempa. Kayu dan baja sebaiknya lebih banyak di gunakan.
Penggunaan bahan kayu dan baja juga mempunyai kelemahan. Mate rial kayu harus
diperhatikan masa usia pakai, karena kayu yang tidak dilindungi akan mudah lapuk dan
kekuatannya sangat menurun, se hingga mudah hancur jika mendapat beban gempa' Korosi
pada baja juga harus diperhatikan agar tidak memperlemah kekuatan material.

5. Aspek bentuk dan sistem struktur

Bangunan juga mempunyai frekuensi getar alami yang sebanding de ngan bahan
bangunan. Bangunan-bangunan rendah akan mempunyai frekuensi getar alami yang tinggi,
dan sebaliknya dengan bangunan bangunan tinggi. Dengan demikian, gempa dengan
frekuensi tinggi, yaitu gempa yang cenderung mempunyai hiposentrum dangkal dan atau
episentrum yang relatif dekat dengan bangunan akan cenderung mempunyai frekuensi tinggi,
dan bangunan rendah akan lebih banyak terpengaruh dibanding bangunan tinggi karena
mempunyai frekuensi yang sama. Sebaliknya, pada bangunan tinggi, bangunan akan lebih
beresonansi dengan gempa berfrekuensi rendah atau gempa dengan jarak episentrum yang
jauh.

Pada bangunan rendah, pada umumnya kerusakan yang terjadi ada lah rusaknya atau
gagalnya sistem struktuL sedangkan pada bangunan tinggijuga dapat terguling, baik karena
kegagalan fondasi akibat lique foction atau momen guling yang tinggi. Bentuk bangunan
yang tepat pada bangunan aman gempa adalah bentuk yang dihasilkan dari aki bat
penggunaan sistem struktur dan bukan dari alasan yang lain. Salah satu prinsip arsitektur
hanya berdasarkan forms follow function atau bentuk mengikuti fungsi tidak dapat digunakan
lagi pada bangun an aman gempa. Selanjutnya, prinsip bangunan aman gempa dapat
dikembangkan sebagai forms follow building structure atau bentuk mengikuti sistem struktur.
Walaupun prinsip ini tidak harus diterap kan secara kaku, namun properti atau sifat-sifat
sistem struktur dapat menghasilkan bentuk bangunan menjadi tidak kalah menarik. Yang
perlu disadari oleh arsitek adalah bahwa bentuk bukanlah tujuan dari desain arsitektur;
melainkan bentuk adalah hasil dari analisis berbagai aspek utama bangunan. Berkaitan
dengan bangunan aman gempa, maka bentuk adalah hasil dari penggunaan konsep aman
gempa, ter masuk penggunaan sistem struktur dan bahan bangunan.

6. Aspek fasilitas keamanan terhadap gempa

Untuk mendapatkan bangunan aman gempa, fasilitas yang berkaitan harus disediakan
tanpa pengecualian. Di saat terjadi gempa, pengguna bangunan memang diharapkan tetap
berada di dalam bangunan untuk menghindari risiko kecelakaan, namun sesaat setelah
gempa, terutama pada gempa sedang hingga besar; pengguna bangunan tetap dibutuh kan
untuk evakuasi keluar bangunan. Di lain sisi, bangunan juga harus menyediakan prasarana
keselamatan lain yang berkaitan dengan efek tidak langsung seperti api dan banjir. Fasilitas
sarana dan prasarana tersebut meliputi:

 Akses darurat
akses daru rat berupa selasar dan tangga harus disediakan untuk bangunan aman
gempa walaupun bangunan sudah menggunakan eskalator (tangga berjalan) atau
elevator (lift). Selasar harus dibuat langsung menuju tangga pada lantai-lantai atas dan
langsung berhubungan dengan halaman luar pada lantai bawah. Lebar selasar dan
tangga harus mampu menampung jumlah pengguna dan harus dihindar kan dari
kemungkinan berdesakan pada selasar dan tangga. Khusus pada tangga darurat, lebar
tangga harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan berdesakan dan
saling mendahului. Lebar tangga darurat sebaiknya hanya digunakan oleh seorang.
Oleh karena itu, jumlah tangga darurat harus diperhitungkan dari jumlah pengguna.
Tangga darurat harus berhenti pada lantai dasar dan langsung berhubungan dengan
ruang luar.
 Tanda-tanda darurat (emergency signs)
Pada bangunan, tanda-tanda darurat, terutama yang berkaitan de ngan lokasi tangga
dan tangga darurat, pintu keluar darurat, serta selasar evakuasi, harus dipasang dengan
jelas, terutama pada ru ang-ruang publik. Tanda-tanda daurat ini harus dapat dilihat
baik pada siang maupun malam hari, terutama saat listrik mati. Oleh karena itu, tanda
harus dengan self illuminotion atau mempunyai sifat berpendar sendirijika listrik
mati.
 Elemen perlindungan
Yang dimaksud dengan elemen perlindungan adalah bagian dari gedung yang
diharapkan dapat memberi perlindungan saat gempa. Ruang-ruang kecil di bawah
tangga atau ruang lemari built-in da pat dipakai untuk perlindungan sementara saat
gempa. Bangunan aman gempa harus didesain mempunyai ruang-ruang
perlindung an ini bagi penghuninya.
 Elemen interior
Elemen interior yang dapat memberi perlindungan sebaiknya digunakan. Meja-meja
kuat dari balok kayu harus lebih banyak di gunakan dibanding dengan meja-meja
dengan bahan ringan yang relatif murah. Berlindung di kolong meja kuat untuk
sementara saat terjadi gempa adalah prosedur standar penyelamatan diri dari ba haya
keruntuhan elemen bangunan saat gempa. Elemen interior yang lain juga disyaratkan
tidak mudah mengalami keruntuhan atau mudah rusak saat gempa. Rak dan almari
harus dipasang terkait dengan dinding sehingga tidak mudah jatuh dan menimpa atau
mencederai pengguna bangunan. Elemen kaca yang mudah pecah harus ditempatkan
sejauh mung kin dengan tempat duduk pengguna bangunan, sehingga terhindar dari
serpihan kaca yang kemungkinan pecah di saat gempa. Begitu juga dengan tempat
tidur pada bangunan hunian.
 Prasarana keselamatan bangunan
Bangunan juga harus dilengkapi prasarana keselamatan bangunan akibat dampak
langsung atau tidak dari gempa. Sistem alarm de teksi dan pemadaman kebakaran
harus dipasang pada bangunan untuk mengurangi efek gempa yang mungkin dengan
terjadinya kebakaran.

D. Tanggap darurat terhadap gempa

Pada daerah-daerah rawan gempa, tanggap darurat terhadap gempa harus dipersiapkan
dan dilaksanakan dengan benar. Tujuan dari tang gap darurat ini adalah memperkecil risiko
terhadap kerugian yang lebih besar yang diakibatkan oleh gempa. Tanggap darurat dapat
dipersiap kan sebelum gempa itu terjadi dengan persiapan yang diperlukan selama gempa
dan aksi tanggap darurat setelah gempa terjadi. Pada bangunan, hal serupa juga dilakukan
untuk memperkecil kemungkinan jatuhnya korban akibat gempa.

1. Persiapan tanggap darurat sebelum gempa

Gempa sulit diprediksikan kapan akan terjadi dan bagaimana ia akan terjadi. Untuk
itu, diperlukan persiapan untuk kemungkinan terburuk pada bangunan. Persiapan tanggap
darurat pada bangunan terdiri dari aspek persiapan kebutuhan dasar yang diperlukan saat
gempa dan persiapan prosedur penanganan ketika gempa terjadi. Persiapan ke butuhan dasar
yang harus disediakan pada gedung adalah meliputi kebutuhan pertolongan pertama dan
kebutuhan pokok makanan, mi numan, dan pakaian darurat yang dapat dipergunakan
beberapa saat sebelum pertolongan dari luar datang. Karena pada gempa besar akan
mengakibatkan kerusakan yang besar; maka perhitungan untuk dapat bertahan beberapa
waktu dalam gedung sebelum mendapat perto longan harus diperkirakan. Logistik darurat
ini harus disediakan dalam ruang khusus yang terjangkau sekaligus diperkirakan yang paling
aman.

2. Aksi tanggap darurat setelah gempa

Segera setelah gempa terjadi, maka semua orang yang tidak mengalami cedera harus
segera melakukan tindakan-tindakan untuk memperke cil jatuhnya korban dengan tidak
mengambil risiko yang lebih besar dengan mewaspadai kondisi bangunan. Bangunan yang
masih berdiri dari guncangan gempa pertama kali secara umum akan tetap berta han hingga
datangnya gempa susulan yang akan dapat memperlemah kinerja struktur dan akan
merobohkan bangunan. Gempa susulan itu biasanya akan terjadi beberapa saat setelah gempa
pertama yang umumnya lebih kecil energinya namun intensitas daya guncangnya dapat
berdampak lebih pada bangunan dibanding gempa pertama. Se hingga setelah gempa
pertama berhenti, maka evakuasi harus segera dilakukan tanpa menimbulkan kepanikan,
karena kepanikan hanya akan menambah risiko cedera yang tidak perlu. Evakuasi saat gempa
sangat sulit untuk dilakukan karena efek guncangan dan kemungkinan benda terjatuh yang
menimpa.

E. Penilaian kerentanan seismik

Banyak gempa bumi telah mengakibatkan kerugian luas baik nyawa maupun benda.
Identifikasi kerentanan seismik bangunan pada po pulasinya sangat dibutuhkan untuk
mengurangi risiko seismik. Hal ini perlu dilakukan untuk menemukan kemungkinan
kerusakan untuk jenis bangunan tertentu yang diakibatkan oleh gempa. Prosedur untuk
evaluasi kerentanan dapat dikategorikan menjadi dua, yakni empiris dan analitis. Sementara
kombinasi keduanya dapat digunakan sebagai metode hibrida.

Gempa bumi selalu mengancam bangunan sekitar daerah di mana gempa itu terjadi,
namun upaya untuk memeriksa dan memberikan peringatan dini, dalam hal ini kita sebut
tingkat kerentanan, dimulai hanya sekitar 30 tahun yang lalu. Evaluasi bangunan dalam
jumlah ba nyak terhadap kerentanan gempa baru dilakukan di awal 70-an (Calvi,
et.al,2006). Beberapa metode telah digunakan dengan menggunakan cara yang sangat teknis
baik dengan menggunakan metode empiris (Matriks Probabilitas Kerusakan, Metode Indeks
Kerentanan, Kurva Ke rentanan menerus, Metode Screening) atau analisis (Kurva
Kerentanan analitis-turunan dan DPMS, Metode Hybrid, Metode Mekanisme Run tuh,
Metode berbasis Spektrum Kapasitas, Metode Keruntuhan Total, dan Metode Analisis
Evaluasi Umum). Semua metode ini umumnya di turunkan dari analisis ilmu
rekayasa/engineering yang membutuhkan seorang insinyur terlatih dan mempunyai akses ke
gambar struktur. Hanya sedikit metode screening visual yang cepat telah ditemukan dan tetap
eksis dan memiliki aplikasi praktis yang luas.

Estimasi kerentanan seismik dilakukan terhadap banyak aspek, ter masuk sistem
ketahanan gempa bangunan, catatan kerusakan gempa masa lalu, penerapan teknik
konstruksi, tipologi bangunan, daerah kegempaan, sampel bangunan, survei rinci bangunan
dipilih, dan membangun database tentang aspek kualitatif dan kuantitatif (Sinha dan Goyal,
2004). Metode kualitatif yang mendekati nilai struktur untuk bangunan yang dikenal sebagai
Prosedur Pemeriksaan Cepat (Rapid Screening Procedure, RSP), sedangkan analisis
kuantitatif mencakup perhitungan permintaan kapasitas (demand capacity, DCR).

Gambar penilaian kerentanan gempa


F. Perbaikan dan penguatan (retrofitting) struktur bangunan rawan gempa
1. Strategi retrofitting

Strategi retrofitting adalah pendekatan dasar untuk mendapatkan performa seperti


peningkatan kekuatan(strength), peningkatan fleksiblitas terhadap beban (deformobility), dan
mengurangi perubahan bentuk (deformation). Retrofitting dan strenghtening adalah strategi
penye lamatan bangunan di area rawan gempa, baik sebelum atau sesudah gempa terjadi.
Jika dilakukan setelah gempa terjadi, maka teknik yang dilakukan adalah untuk perbaikan
pada bangunan yang mengalami kerusakan, dan penguatan untuk bangunan yang belum
mengalami kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini, selanjutnya diperlukan beberapa teknik
retrofitting yang akan dibahas kemudian.

Tujuan dari retrofitting pada bangunan ini adalah sebagai berikut:

 Peningkatan kapasitas global (strengthening).Pada umumnya dica pai dengan


penambahan brocing silang atau penambahan dinding geser pada sisi-sisi bangunan
secara simetris.
 Pengurangan pengaruh seismik (seismic demond) dengan sistem damping tambahan
atau dengan menggunakan isolasi fondasi (bose isolotio n syste ms).
 Peningkatan kapasitas elemen sistem struktur. Strategi yang dilaku kan adalah
dengan mengganti bagian-bagian dari sistem struktur dan bangunan menjadi lebih
efektif pada deformasi/daktilitas, ke kuatan dan kekaku an (deformotion/ductility,
strength or stiffnes.
2. Teknik retrofitting

Untuk mencapai tujuan pada strategi di atas, teknik retrofitting dilaku kan pada
struktur utama dan tambahan-tambahan yang diperlukan baik sebelum maupun setelah gempa
teiadi. Seperti halnya pada prinsip bangunan tahan gempa yang dibahas sebelumnya,
retrofitting juga dilakukan pada elemen-elemen bangunan yang sama pada up per (super)
structure dan sub-structure. Teknik ini meliputi base isolaton suplementory dumpers, tuned
mass dumper, dan octive control system, seperti yang telah dibahas di atas. Hanya saja teknik
ini dilakukan pada bangunan lama. sebagaitambahan, khusus pada bangunan lama, juga dapat
diterapkan teknik sebagai berikut:

 Eksternal post tensloning


Ekstra tensionatau penarikan tulangan biasanya dilakukan untuk ele men beton
bertulang sebelum elemen ini dipasang sebagai bagian dari rangkaian sistem struktur
bangunan. Pada bangunan existing, post tension dapat dilakukan pada elemen
tambahan seperti pada penambah an bracing kabel baja untuk rangka rigid frome
beton. Kabel-kabel beton juga dapat ditambahkan pada elemen-elemen kolom dan
balok untuk memperkuatnya yang diletakkan pada sisi luar elemen. Karena diletakkan
di luar elemen beton, maka teknik ini disebut sebagai eksternal post tension.
 Struktur damper tambahan
Untuk mengurangi efek resonansi bangunan, getaran pada ba ngunan harus direduksi
sedemikian sehingga getaran menjadi menurun atau hilang. Teknik penambahan
shock breaker atau pegas pada sisi-sisi diagonal struktur bangunan dapat dilakukan
untuk mengubah energi gerak gempa menjadi energi panas yang akan disimpan pada
teknik hidrolik atau pegas.
 Perbaikan penyimpangan pada elemen bangunan
Pada kasus bangunan-bangunan yang telah dibangun dengan ti dak memperhatikan
peraturan terhadap getaran gempa, perbaikan harus dilakukan pada elemen-elemen
tersebut. Masalahnya, kasus kasus penyimpangan ini dapat beragam, dari kondisi
tanah hingga finishing bangunan. Dalam pembahasan ini, perbaikan ditujukan pada
sebagian besar kasus yang dijumpai, termasuk perbaikan kondisi tanah. Kasus-kasus
tersebut meliputi:
 Kasus soft story
Soft story atau lantai dasar bangunan yang tidak mengguna kan dinding pada
sisi-sisi luarnya sering terjadi pada bangunan, terutama pada lantai dasa[
karena alasan yang beragam. Kasus ini sangat banyak dijumpai hampir di
semua tempat, baik di negara maju atau negara berkembang. Pada kasus soft
story, permasalahan utama adalah terletak pada lemahnya lantai bangunan
yang tidak didukung oleh dinding sehingga tidak terdapat keseragaman sifat
pada lantai-lantai bangunan bertingkat. Kondisi seperti ini tidak tertutup pada
bangunan bertingkat yang menggunakan dinding berat batu bata saja, akan
tetapijuga pada dinding ringan seperti sistem cladding pada bangunan tinggi.
Untuk mengatasinya, penguatan pada lantai soft sfory harus dilakukan dengan
pemasangan dinding atau bracinc jika me mungkinkan. Atau jika tidak,
penguatan ekstra pada kolom dan balok dengan cara diberi tambahan selimut
beton bertulang (jocketting).
 Kasus hubungan kolom balok yang lemah
Pada sistem struktur beton bertulang, mekanisme rangka kaku atau rigid frame
diperoleh dengan sambungan kolom dan balok yang kaku/jepit. Pada sebagian
bangunan, terutama yang tidak diperhitungkan terhadap beban lateral gempa,
kolom dan ba lok dibuat dengan dimensiyang minimal. Akibatnya, jika
terjadi gaya lateral gempa, sambungan-sambungan ini akan "dipaksa" untuk
menerima beban dan bersifat sebagai sendi. Kondisi ini membuat sambungan-
sambungan kolom balok mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan
keruntuhan pada bangunan.
 Kasus kolom/balok beton pecah
Kasus lain yang sering teryadi kebanyakan pada sistem struk tur beton
bertulang adalah dengan retak atau pecahnya kolom atau balok. Jika
sambungan beton pada hubungan kolom dan balok dapat tetap kaku,
kemungkinan deformasi yang lain da pat terjadi pada elemen-elemen kolom
dan atau balok. Kondisi ini terjadijika elemen balok dan atau kolom tersebut
tidak cu kup mampu menahan beban gempa dan tidak cukup fleksibel
kembali pada bentuk semula. Kurangnya penguatan pada begel atau sengkang
tulangan dicurigai sebagai penyebab lemahnya kolom dan balok pada bagian
tengahnya. Untuk mengembalikan pada kemampuan semula dan
mening katkan kinerjanya di bawah guncangan gempa, kolom dan balok
harus diperkuat. Cara yang juga dapat dilakukan adalah dengan menambahkan
selimut beton bertulang sama dengan metode yang dipakai untuk kasus
struktur beton yang lain. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan
memasang jaket pelat baja pada kolom kemudian ruang yang terbentuk diisi
dengan adukan beton. Cara ini mungkin lebih praktis karena tidak ha rus
menggunakan cetakan begesting, dan juga dapat dilakukan dengan waktu yang
relatif pendek.
 Kasus pelat lantai yang tidak kaku
Pelat lantai adalah bagian dari sistem struktur untuk mendapat kan kekakuan
yang menyeluruh. Pada struktur beton bertulang yang kaku, pelat lantai
menjadi kaku dengan sendirinya karena menyatu dengan balok dan kolom.
Namun, pada sistem struk tur kayu atau baja, pelat lantai tidak terbentuk
menjadi kaku dengan sendirinya. Akibatnya, puntiran atau trazrstrng akibat
lantai yang tidak kaku. Untuk mengantisipasi lantai seperti ini, pengkakuan
horizontal perlu dilakukan dengan menambahkan pengkaku diagonal pada
pelat lantai, baik dengan mengguna kan batang kayu dan baja maupun kabel
baja.
 Kasus kerusakan dinding
Dinding pada struktur bangunan bertingkat pada umumnya bukan bagian dari
sistem struktur. Kecualijika dinding tersebut merupakan dinding pemikul
(bearing wal[) atau dinding geser (shear razal|. Meskipun bukan bagian dari
sistem struktuI na mun dinding mendukung sistem struktur untuk menjadi
lebih kaku. Dinding yang rusak pada saat terjadigempa justru banyak
menyebabkan jatuhnya korban karena elemen non-struktural inilah yang
sering mudah jatuh. Untuk memperkuat dinding, baik yang sudah retak
maupun belum, penguatan perlu dilakukan. Penguatan dengan
menam bahkan tulangan (reinforcemenf) harus dilakukan pada salah satu
atau kedua sisi dinding. Penautan (onchoring) dengan rangka kolom balok
juga sangat penting untuk memastikan dinding tidak mudah roboh saat gempa.
Teknik lain berupa penggunaan lapisan fleksibelyang dilapiskan/ dikuaskan di
bagian dinding juga dapat dilakukan dengan coof ings dengan menggun akan
fiber-glass dan beberapa jenis resin (epoxy atau polyester). Lapisan lentur ini
dapat menjadikan din ding sebagai membran yang fleksibel namun cukup
kaku untuk menerima gaya geser gempa. Cara ini dipandang lebih praktis,
namun bahan resin yang dipakai masih belum banyak tersedia.
 Kasus kegagalan tanah
Kegagalan tanah adalah jenis kerusakan akibat gempa yang pa ling sulit
untuk diperbaiki. Kegagalan tanah ini dapat berupa lapisan tanah yang
bergese4 longsor; dan juga kasus liquefoc tion dengan bertambahnya
kandungan air tanah pada tanah berpasir atau berlumpur. Fondasi dalam
hingga menyentuh lapisan tanah keras mungkin dapat dilakukan. Demikian
juga pada bangu nan existing. Jika bangunan tidak mengalami kerun tuhan
pada kondisitanah yang gagal, perbaikan mungkin dapat dilakukan jika skala
kegagalan tanah secara ekonomi masih da pat dilakukan. Penambahan
fondasi dalam untuk meningkatkan daya dukung tanah adalah cara yang paling
tepat dilakukan. Secara tradisi onal, pemancangan batang-batang kayu atau
bilah-bilah bambu dapat dipasang di sekitar fondasi bangunan. Namun untuk
ke gagalan tanah pada area yang besar; dan tingkat kerusakan bangunan yang
sangat besari mungkin retrofitting dengan pe nguatan fondasi dalam ini tidak
layak untuk dilakukan. Untuk menghindari tanah longsor akibat aliran yang
deras di bawah tanah, jalur-jalur rembesan air secara horizontal da pat
digunakan untuk mengalirkan air agar tidak mengganggu lapisan tanah di
sekitarnya. Dengan demikian, tanah bergerak atau longsor dapat
diminimalkan.
 Kasus struktur kayu lemah
Struktur kayu adalah struktur yang relatif lebih aman terhadap gempa karena
ringan dan mempunyai sifat lentur yang tinggi. Salah satu kelemahan struktur
kayu terletak pada sambungan sambungannya yang karena teknik yang
digunakan, misal: struktur tradisional, mempunyai kekuatan yang rendah
diban ding batang kayu itu sendiri. Hal ini terjadi karena penggunaan teknik
sambungan tradisional "pen" yang harus melubangi atau mengurangi sebagian
penampang kayu. Hasilnya, jika terjadi gempa, maka sambungan-sambungan
kayu inilah yang lebih dahulu mengalami kerusakan. Belum lagi jika usia
bangunan Struktur kayu adalah struktur yang relatif lebih aman terhadap
gempa karena ringan dan mempunyai sifat lentur yang tinggi. Salah satu
kelemahan struktur kayu terletak pada sambungan sambungannya yang
karena teknik yang digunakan, misal: struktur tradisional, mempunyai
kekuatan yang rendah diban ding batang kayu itu sendiri. Hal ini terjadi
karena penggunaan teknik sambungan tradisional "pen" yang harus melubangi
atau mengurangi sebagian penampang kayu. Hasilnya, jika terjadi gempa,
maka sambungan-sambungan kayu inilah yang lebih dahulu mengalami
kerusakan. Belum lagi jika usia bangunan sudah cukup tua, dan pemeliharaan
yang kurang, maka bahan kayu ini megalami pelapukan. Pada konstruksi
modern, sistem sambungan dengan meng gunakan pelat lebih disarankan.
Demikian juga jika bangunan sudah mengalami kerusakan pada sambungan-
sambungan ini, penambahan pelat untuk memperkuat sambungan-sambungan
dapat dilakukan. Penambahan brocing berupa balok kayu dan juga kabel baja
dapat dilakukan untuk mendapatkan sistem struktur lebih kaku.
 Kasus struktur masonry lemah
Bangunan dengan sistem struktur masonry atau tembok batu bata sebagai
dinding pemikul memang tidak disarankan un tuk digunakan pada bangunan
di lokasi rawan gempa. Dinding pemikul batu bata tidak mempunyai
kemampuan mendukung gaya geser yang diakibatkan oleh gempa. Oleh sebab
itu, keru sakan besarsering dijumpai pada jenis bangunan ini. penguatan
harus dilakukan pada dinding untuk membuat bangunan lebih aman terhadap
gempa. Untuk membuat dinding mosonry tahan terhadap gaya lateral,
reinforcemenf harus dilakukan dengan cara menambahkan tu langan pada
salah satu atau kedua sisi dinding. pada skala kecil, retak-retak akibat gempa
dapat diatasi dengan menggunakan tulangan kawat anyaman pada dinding
sebelum dinding diplas ter pada bagian luar. Dengan cara ini, dinding akan
mempunyai kemampuan menahan gaya horizontal dan puntiran akibat gempa
bumi. Penambahan rangka kolom dan balok beton bertulang juga perlu
dilakukan jika kemampuan dinding pemikul ini diragukan untuk menghadapi
guncangan gempa berikutnya. Teknik infil/ atau susupan kolom dan balok
beton pada dinding akan meng ubah sistem struktur masonry menjadi rangka
beton bertulang yang relatif lebih aman.
Bab 4 EVALUASI PRAKTIS KETAHANAN
BANGUNAN TERHADAP GEMPA
FEMA 310 (FEMA, 1998) merekomendasikan tiga tingkatan proses untuk
mengevaluasi kerentanan seismik bangunan existing dengan peningkatan analisis detail yang
menggunakan tingkatan keselamatan. Prosedur-prosedur tersebut meliputi Tier L, Tier 2, dan
Tier 3. Tier L adalah tingkatan (fase) screening untuk mengetahui potensi kelemahan dan
memperkirakan perilaku bangunan di bawah gempa untuk kepentingan agar dapat mengenali
risikonya. Tier 2 adalah proses evaluasi untuk menilai ke cukupan kekuatan bangunan untuk
menahan beban lateral yang dibatasi oleh teknik analisis dasar linier. Tier 3 adalah fase
evaluasi lanjutan rinci untuk bangunan yang memiliki kekurangan yang telah diidentifikasi
aitam fier. i guna ke pentingan evaluasi lanjutan.

A. Prosedur Evaluasi untuk Kerentanan Gempa

Secara umum, berdasarkan tingkat kompleksitasnya, prosedur peme riksaan


kerentanan seismik dikelompokkan dalam tiga jenis (Sinha dan Goyal, 2004), yaitu:

 Ropid Visuol Screening (RVS) atau Level l- (Tier 1). Prosedur ini ada lah
prosedur ringan yang hanya memerlukan evaluasi visual dan sedikit informasi
tambahan yang dikenal sebagai "evaluasi sambil jalan" yang tidak melibatkan
analisis numerik. Tujuannya adalah untuk memverifikasi tingkat permasalahan
utama terhadap bahaya gempa bumi dari bangunan yang perlu pemeriksaan
lanjutan lebih rinci. Prosedur di FEMA 154 (FEMA, 1988), FEMA 310
(FEMA, 1998) Tier l-, dan prosedur yang sama yang diadaptasi oleh Sucuoglu
dan Yazgan (2003) adalah model dari prosedur ini.
 Prosedur yang kedua adalah prosedur pemeriksaan kerentanan yang lebih
teknis namun masih bersifat sederhana yang disebut de ngan simplified
vulnerobility ossessment (SVA) atau level 2 (Tier 2). Prosedur inijuga dikenal
sebagai metodologi penilaian teknis awal (preliminory assessment
methodologieslPAM) yang memerlukan analisis teknik sederhana. Metode ini
harus didasarkan pada data dari hasil pemeriksaan visual dan dokumen
structural, baik untuk elemen struktural maupun non-struktural. Prosedur oleh
FEMA 310 (FEMA, 1998) Fier 2, dan yang digunakan oleh Yakut, et.al
(2003), adalah contoh dari metode ini.
 Prosedur yang ketiga adalah prosedur pemeriksaan kerentanan yang lebih
detail dan rinci yang dikenal dengan detoiled vulnerabi lity ossessmenf
(DVA) atau prosedur tingkat 3 (Tier 3). Prosedur ini memerlukan analisis
struktural yang rinci yang kebanyakan dilaku kan dengan menggunakan
perangkat lunak komputer. Prosedur ini sifatnya setara atau bahkan lebih rumit
dari analisis yang di butuhkan untuk merancang bangunan gedung baru.
Metode ini disarankan untuk diaplikasikan pada semua bangunan yang
bersi fat penting dan darurat. Prosedur yang diusulkan dalam FEMA 356
(FEMA 2000), Eurocode 8 (BSI, 2004), dan yang digunakan oleh Park dan
Ang (1985) adalah beberapa dari prosedur penilaian tingkat ketiga yang rinci
ini. Selain ketiga metode di atas, sebenarnya masih terdapat prosedur yang
lebih sederhana. Prosedur ini sangat sederhana atau tanpa menggunakan
pertimbangan teknis untuk perkiraan penilaian kerentanan yang disebut
dengan prosedur tingkat 0 atau level 0 procedure. Prosedur inijuga diusulkan
untuk menganalisis tingkat kerentanan bangunan terhadap gempa, namun
tidak disarankan karena prosedur itu benar-benar non-teknis dan
dikhawatirkan da pat memberikan risiko yang lebih besar. Pada buku ini,
pembahasan hanya dilakukan pada prosedur tingkat pertama saja, mengingat
prosedur ini paling sesuai dilakukan oleh ahli lain selain insinyur sipil dalam
bangunan, termasuk para arsitek. Bahkan, karena prosedur ini tidak
melibatkan perhitungan teknis yang rumit, maka masyarakat awam pun
diharapkan dapat meng gunakannya. Sifat kemudahan ini sangat penting
dalam upaya menyebarkan seluas-luasnya kemampuan masyarakat banyak
un tuk dapat berpartisipasi terhadap potensi bencana akibat gempa bumi.
Untuk itulah, dalam buku ini memang evaluasi praktis ini le bih diutamakan.
B. Penilaian Screening Visual Cepat (Rapid Visual Screening/RVS)

Rapid Visuol Screenrng (RVS) atau Rapid Screening Procedure (RSP) ini di tujukan
untuk mengenali potensi bahaya gempa bumi untuk bangunan pada aspek tertentu, tanpa
melakukan pemeriksaan rinci atau melibat kan perhitungan struktural. Metode ini
menggunakan sistem skor nilai (point) untuk mengidentifikasi kemampuan sistem struktur
utama yang terkait dengan mekanisme antisipasi terhadap beban lateral (FEMA, 1988a).
Elemen-elemen bangunan yang memengaruhi kinerja bangun an terhadap beban
seismikjuga diperhitungkan dan dianggap sebagai faktor yang dapat memodifikasi skor akhir.
Penjumlahan nilai akhir di lakukan dengan memasukkan nilai dasar dan nilai modifikasi
tersebut. Keseluruhan evaluasi ini dimulai dengan mengumpulkan informasi sekaligus untuk
memberikan keputusan yang kesemuanya dengan mu dah dapat dilakukan di lokasi
bangunan dan hanya memerlukan waktu yang singkat. Prosedur RVS disiapkan untuk
pengguna masyarakat umum berkaitan dengan kerentanan bangunan terhadap gempa bumi
yang dapat di gunakan mulai dari pejabat sampai sektor swasta seperti para pemilik
bangunan. Prosedur ini untuk menentukan bangunan mana dari popu lasi yang ada yang
diperkirakan memiliki kinerja seismik yang memadai dan yang berbahaya dan harus
diperiksa lebih detail. Hasil dari screening visual yang cepat ini dapat diterapkan untuk
apli kasi yang beragam sebagai bagian dari program pengawasan risiko bencana terhadap
gempa bumi (Sinha dan Goyal, 2004), yakni sebagai berikut :

a. Untuk mengidentifikasi apakah bangunan membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan


rinci berkaitan dengan kerentanan seismik atau ti dak.
b. Untuk menentukan tingkat probabilitas pada kerentanan seismik di satu wilayah atau
kota untuk penanganan seismik lanjut.
c. Untuk mempersiapkan agenda pengawasan risiko gempa dari sebuah kota atau
lingkungan masyarakat.
d. Untuk merencanakan penilaian keselamatan bangunan pada kon disi pasca-gempa.
e. Untuk mengembangkan sistem informasi yang terkait dengan ke rentanan seismik
pada suatu wilayah dan penentuan prioritas untuk pembangunan kembali.
f. Untuk menggali teknis penggantian dan atau penguatan untuk pencegahan runtuh
pada gedung tertentu.
g. Untuk meningkatkan kesadaran pada masyarakat mengenai keren tanan seismik
bangunan.
Prosedur RVS dapat digunakan baik untuk daerah pedesaan atau perkotaan. Karena
metode ini lebih didasarkan pada prinsip ilmu reka yasa teknik dan bukan pada yang lain,
bangunan kota lebih diutamakan dibandingkan dengan pedesaan karena kebanyakan
dibangun secara teknis. Pada bangunan kota, sistem konstruksi dan struktural bisa lebih
mudah untuk diperiksa oleh pengamatan visual dibandingkan ba ngunan pedesaan. Untuk
alasan ini, bangunan pedesaan yang mana sebagian besar adalah bangunan vernakular
memiliki kompatibilitas yang kurang untuk aplikasi RVS serta hasil untuk daerah pedesaan
mungkin sangat rendah. Oleh karena itu, metodologi RVS hanya dapat digunakan untuk
bangunan nonstandar (atau non-rekayasa/non-engi neered) dan konstruksi di daerah
pedesaan jika telah dilakukan dengan beberapa adaptasi (Sinha dan Goyal, 2004). Untuk itu,
pada bagian akhir bab ini, adaptasi dilakukan agar RVS dapat digunakan juga pada bangunan
vernakular.

C. Metodologi Screening RVS

Tujuan dari prosedur RVS umumnya untuk memeriksa tingkat keren tanan seismik
bangunan pada populasinya berdasarkan tingkat cut-off dengan menentukan apakah diterima
sebagai bangunan aman atau berbahaya dan harus dipelajari lebih lanjut secara rinci.
Beberapa me todologitelah diusulkan didasarkan pada data gempa atau pendekatan analitis.
Sebuah metode yang dikembangkan di AS oleh FEMA (FEMA 154) dikenal dan menjadi
referensi utama untuk aplikasi di beberapa negara di luar AS dengan beberapa modifikasi.

1) FEMA I54 RVS

Prosedur untuk screening visual yang cepat (Rapid Visual Screening/ RVS) pertama kali
diusulkan oleh Badan Manajemen Darurat Ameri ka (Federal Emergency Management
Agency/FEMA L54) pada tahun 1988 untuk mengidentifikasi, mendata, dan membuat
peringkat ba ngunan-bangunan yang kemungkinan berbahaya secara seismik di Amerika
Serikat (FEMA, 1988a), yang kemudian disempurnakan pada tahun 2002 (FEMA ,2002)
untuk memfasilitasi perkembangan teknologi baru dan juga pengalaman-pelajaran berharga
dari pengalaman ba haya gempa-gempa sebelumnya (misal:gempa Northright 1990). Pada
perkembangannya, prosedur RVS initelah secara luas digunakan di ba nyak negara lain
setelah dilakukan beberapa adaptasi yang berkaitan dengan kondisi lokal. RVS FEMA
menggunakan metodologiyang dimulai dengan memeriksa sistem struktural utama dan
penggunaan bahan bangunan dengan skor berdasarkan bahaya struktural dasar (basic
structurol hazord/BSH), dan memodifikasinya dengan kondisi opsional dalam bangunan yang
akan mengubah skor (sebagai PMFs atau performance modificotion foctors).

2) Bosic Structural Hazard (BSH)

Potensi kerusakan struktural atau bosic structurol hozard (BSll) score adalah ukuran
dasar dari probabilitas kerusakan yang signifikan akibat potensi gaya seismik yang mungkin
terjadi pada bangunan dibanding dengan sejumlah bangunan lain di sekitarnya. Untuk
memberikan nilai potensi, kerusakan ini didasarkan pada kerusakan bangunan pada
ke jadian kerusakan bangunan akibat gempa terdahulu yang dinyatakan sebagai "rusak
signifikan" atau major domage. Bangunan dinyatakan rusak signifikan jika kerusakan fisik
mencapai 600/o atau lebih besar dari total nilai bangunan pada FEMA 155/ATC 13-1985
(FEMA, 1988b).

3) Performance Modifying Factors (PMFs)

Kinerja bangunan terhadap beban seismik akan dimodifikasi oleh banyak faktor
sehingga menjadi berbeda dari nilai dasarnya (BSH). Faktor-faktor yang dapat memodifikasi
kinerja ini disebut sebagai "penyimpangan" atau irregularity, yang disebut sebagai
Performonce Modifying Foctors (PMFs). Faktor-faktor penyimpang ini pada dasarnya terdiri
dari kondisi bangunan dan elemennya yang tidak ideal secara struktural dan arsitektural.
PMFs ini dikumpulkan dari berbagai aspek negatif yang ditemukan dalam bangunan. Satu set
PMFs dipakai untuk mengurangi/menambah BSH untuk menemukan skor akhir struktural
"S". PMFs ini memasukkan semua aspek penting sepertijumlah lantai, kualitas konstruksi,
penyimpangan vertikal atau horizontal berkaitan dengan sistem struktural, soft story,
pounding, cladding, serta kondisi dan sifat tanah (FEMA, 1988a). Semua aspek tersebut dapat
memper buruk kinerja seismik bangunan.
4) Skor kerentanan Struktur (S)

Skor akhir sebagai nilai struktural "S" adalah perhitungan (pengurang anlpenambahan) dari
skor dasar BSH (yang didefinisikan oleh sistem struktur utama dan materialnya) dan aspek
yang akan memengaruhi performanya sebagai Performonce Modified Foctors (PMFs).

S (stuctural score) = BSH (Basic Structural Hazard) + PMFs (performance modification


factors)

FEMA-RVS berada pada rentang skor 0-4 yang didasarkan pada per hitungan
logaritma yang telah dijelaskan di atas. Skor akhir "S" yang rendah berarti bahwa bangunan
itu rentan dan dibutuhkan untuk ana lisis rinci lebih lanjut. Sebaliknya, skor tinggi "S"
menunjukkan bahwa bangunan tersebut kemungkinan besar aman dari ancaman gempa.
FEMA L54 menyarankan untuk nilai cut-off atau ambang batas sebe sar 2.0 yang berarti 1
persen kemungkinan keruntuhan saat gempa atau "kemungkinan untuk rusak lebih dari dua
pertiga bagian (>60o/o) sebesar L% dalam rentang 50 tahun percepatan puncak tanah untuk
wilayah kegempaan di mana bangunan tersebut berada".

Makin rendah nilai S menunjukkan angka kerentanan yang gi dan meningkatkan probabilitas
bangunan untuk rusak dari 600/o). Daftar skor S dan artinya selengkapnya dapat Tabel 4.3.

Anda mungkin juga menyukai