Universitas
MALIKUSSALEH
Oleh :
Dosen :
Aktivitas tektonik sebenarnya disebabkan oleh lapisan perut yang masih panas dan
cair. Gempa-gempa bumi besar yang terjadi di atas berkaitan dengan aktivitas tektonik
lapisan-lapisan bumi yang berproduksi, terutama pada batas-batas lempeng benu. Akumulasi
tumbukan, perpindahan dan pemisahan lempeng ini adalah penyebab utama gempa bumi.
Menurut para ahli, terjadinya gempa tektonik di pengaruhi oleh unsur-unsur di bawahnya.
1. Teori Pergerokon Lempeng Bumi Lapisan litosfer ini bersuhu paling dingin dan
bersifat kaku. Semua permukaan bumi baik di atas atau di bawah lautan adalah
lapisan litosfer ini yang dapat berupa lapisan tanah dan atau batuan. Di bawah litosfer
terdapat astenosfer dengan kedalaman berkisar 700 km. Dengan demikian, lapisan ini
tidak mempunyai bentuk yang tetap dan cen-derung mengalir sepanjang waktu.
Gempa bumi adalah fenomena alamiah yang pasti terjadi sewaktu-waktu karena
pertumbuhan bumi itu sendiri. Di bumi ini, setiap hari hampir dapat dipastikan teryadi
gempa bumi, namun sebagian besar tidak dapat dirasakan oleh manusia. Gempa bumi
hanya akan meng-ganggu kehidupan manusia jika energinya sampai pada permukaan
bumi. sifat-sifat fisik gempa harus dipelajari untuk dapat menganalisis bagaimana gempa
memengaruhi lingkungan manusia.
Gelombang dalam adalah gelombang yang berasal langsung dari sumber gempa
(hypocenter) yang berjalan melalui lapisan di bawah permukaan bumiyang terdiri
darigelombang primer (p) dan sekunder (S). Gelombang P adalah gelombang gempa yang
bergerak dengan arah longitudinal atau searah dengan rambatan gempa sehingga dapat
dikatakan sebagai gelombang dorong atau push wove.
Gelombang P merambat di semua media padat atau cair; dan berjalan paling cepat
antara 1,5 hingga 8 kilometer per detik, se- dangkan gelombang s merambat lebih lambat,
sekitar 50% sampai 60% dari kecepatan gelombang p . Namun demikian, karena bergerak
cepat, kekuatan gelombang p sangat rendah, sekitar sepersepuluh dari gelombang S. oleh
karena itu, gelombang ini kemungkinan besar tidak dirasakan oleh manu-sia. Gelombang P
adalah gelombang seismik dengan potensi lebih sedikit menimbulkan kerusakan. Namun
demikian, gelombang p tidak dapat merambat pada benda cair.
Karena lebih rambat dengan arah gelombang tegak lurus dari arah perjalanannya ,
gelombang s akan lebih banyak menimbulkan kerusakan karena gelombang ini menyebabkan
gerakan baik vertikar atau horizontal pada tanah yang akan memengaruhi pergerakan
kawasan permu-kaan.
Gelombang permukaan terjadi pada permukaan tanah yang juga dibedakan menjadi
dua jenis: gelombang L dan gelombang Gelombang R adalah gelombang sebagai hasil dari
komprikasi pantulan-pantulan gelombang gempa yang datang paling akhir dengan sifat
berputar . Oleh karena itu, gelombang R diar-tikan pula sebagai rolling wove. Gelombang ini
adalah gelombang yang paling berbahaya di antara semua jenis gelombang gempa bumi
karena tidak hanya menyebabkan pergerakan ke samping, namun juga ke atas dan ke bawah.
Namun demikian, gelombang R yang signifikan hanya terjadi pada gempa-gempa besar atau
pada daerah dekat dengan hiposentrum.
Hingga saat ini, kekuatan gempa seismik diukur dengan dua cara: skara
energi yang dikeluarkan (energy-based measurements) dan skala intensitas akibat gempa
(phenomenological scoles). Kedua skala ini sama pentingnya dalam menentukan besar dan
pengaruh gempa bumi.
a) Skala magnitude
Satuan yang umum digunakan untuk mengukur kekuatan gempa adalah skala Richter
magnitude berdasarkan besaran energi yang dihasilkan. Pengukuran kekuatan gempa diambil
dari besarnya energi pusat gempa yang didasarkan pada besar kecilnya amplitudo yang
dicatat oleh seismograf. Satu milimeter amplitudo seismograf pada jarak 100 km dengan
sumber gempa setara dengan 3 SR. Selanjutnya, gempa 6 SR mempunyai energi seki-tar
1000 kali lipat dari4 SR, dan seterusnya.
Gempa-gempa yang lebih besar dari itu tidak efektif lagi menggunakan skala ini.
Dilihat dari kekuatan energinya, gempa dengan 5 SR dapat diseta-rakan dengan kekuatan
bahan peledak TNT seberat 480 ton atau energi sebesar 2 Terra Joule. Namun demikian,
besaran magnitudo tidak berkorelasi langsung dengan kemampuan merusaknya. Skala
intensitas lebih berkaitan dengan daya rusak tersebut.
b) Skala intensitas
Italia Giuseppe Mercalli pada tahun 1884 dan L906 dengan menggunakan sepuluh
tingkat skala. Skala ini kemudian dikembangkan menjadi 1-2 tingkatan oleh Cancani dan
Sieberg , kemudian oleh Wood dan Newman , dan juga oleh Charles Richter menjadi
Modified Mercolli lntensity scale seperti sekarang ini. Skala MMI dimulai dari I hingga
XII . Berikut adalah kuantitas skala MMI dan intensitas yang dihasilkanny.
Kedua skala baik magnitude (SR) dan intensitas (MMI) di atas sangat berguna untuk
menggambarkan tingkat gempa bumi yang terjadi di suatu wilayah dan dijadikan data bagi
perencanaan dan antisipasi gempa bumi. Skala magnitude lebih berguna bagi perhitungan
ukuran kuat gempa berdasarkan sumber dan sifat gelombang gempa yang dilihat dari
frekuensi, amplitudo dan durasi gempa. Akan tetapi, skala magnitude sebenarnya tidak dapat
dipakai untuk menggambarkan situasi fisik lingkungan yang sebenarnya yang terjadi di suatu
wilayah akibat gempa.
Dua buah gempa bermagnitudo yang sama belum tentu berdampak sama pada suatu
daerah karena dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk jarak episentrum dan kedalaman
hiposentrum, jenis kandungan tanah, geografi, dan sebagainya. Dengan demikian, diperlukan
skala yang menggambarkan pengaruh gempa pada wilayah tertentu seperti MMI di atas.
Skala MMI menggambarkan kondisi yang sebenarnya, namun kurang dapat dipakai sebagai
acuan kuantitas yang dapat dipakai sebagai perhitungan teknis karena tidak didasarkan pada
besaran teknis energi gempa seperti skala magnitude. Namun demikian, kedua skala ini dapat
dibandingkan satu dengan yang lain untuk keperluan analisis intensitas gempa seperti Tabel
L.3
PGA diukur berdasarkan percepatan, atau perubahan kecepatan tanah, saat gempa
terjadi yang disetarakan dengan satuan percepatan gravitasi (19 = 9.8 m/detik'z). Sebagai
gambaran, 0.00lg (0.01 m/detik'z) sudah terasa oleh manusia;0.029 (0.2 m/detik2) manusia
kehilangan keseimbangan; 0.59 bangunan teknis mulai rusak tetapi dapat bertahan jika durasi
gempa pendek (Lorant, 2010). Percepatan tanah ini menggambarkan intensitas gempa yang
dipengaruhi oleh panjang patahan yang runtuh pada hiposentrum gempa, magnitudo,
kedalaman sumber gempa, jarak episentrum, durasi gempa, dan kondisi geologi lapisan tanah
yang dilalui gelombang gempa. Makin dangkal/dekat sumber gempa, makin besar PGA yang
mungkin terjadi. Peta potensi gempa (seismic hozard mops,) dapat dihasilkan dari sejarah
gempa bumi di masing-masing lokasi dengan memperhatikan PGA dan kecenderungan waktu
periode kejadian gempa (probability of exceedance PE) serta kondisi geografis setempat. Peta
potensi gempa selanjutnya menjadi pedoman bagi pengambil keputusan dan perencana
berkaitan dengan lingkungan aman gempa. United States Geological Survey (USGS)
menyusun skala intensitas berdasarkan PGA sekaligus kecepatan (lihat Tabel L.4) yang
dijadikan rujukan untuk penyusunan peta potensi gempa.
4) Gempo Susulan
Gempa susulan adalah gempa yang terjadi sesaat setelah gempa pertama pada lokasi yang
sama namun dengan hiposentrum yang sedikit berbeda. Jika gempa susulan lebih besar dari
gempa pertama, maka gempa itulah yang merupakan gempa utama. Gempa susulan
terjadiakibat pelepasan energi yang belum tuntas pada gempa pertama. Untuk menuju
keseimbangan baru tersebut, dibutuhkan waktu yang relatif, bergantung pada kondisi geologi
pelat-pelat tersebut. Gempa besar dapat memiliki gempa susulan yang lebih banyak dan lebih
kuat di mana kemunculannya dapat bertahan dalam hitungan tahun atau lebih lama .
Energi gempa dapat bersifat merusak dan juga tidak merusak, bergantung pada aspek-
aspek yang dapat memengaruhi intensitas gempa, seperti kekuatan magnitudonya dan
jarak, serta kedalaman sumber gempa, yang akan dibahas secara lebih detail pada Bab 2 pada
buku ini. Pengaruh langsung pada tanah berupa pecahnya struktur tanah, tanah
terbelah, liquefoction , tanah runtuh atau bebatulongsor. Sementara dampak langsung pada
bangunan dapat berupa getaran pada bangunan, jatuhnya elemen bangunan, kerusakan
struktuI dan keruntuhan bangunan. Sementara pada tanah, gempa secara tidak langsung pada
umumnya juga dapat menyebabkan banji4 tanah longsori dan tsunami.
Dampak lain seperti yang pernah terjadi adalah pada fenomena tsunami pada air danau
atau bendungan yang disebut dengan seiche dan juga avalonche, yaitu runtuhnya salju pada
pegunungan atau daerah bersalju lain yang dapat mengakibatkan longsor atau banjir di daerah
yang lebih rendah. Kerusakan akibat kegagalan pada setiap gempa bumi sangat penting untuk
dipelajari agar berangkat dari pengalaman tersebut tidak terulang kejadian yang sama di masa
depan, sehingga tidak menimbulkan bencana.
Gambar : Liquefaction yang mengakibatkan amblasnya bangunan karena tanah menjadi gembur
pada gempa Niigata 7,6 SR 1964
Gambar : Pengaruh langsung pada rusak dan hancurnya bangunan gedung pada gempa San
Fransisco 1906
Efek gempa dengan terjadinya tsunami hebat lintas benua pada gempa Aceh 9,3 SR 2004
Gempa menewaskan sekitar 10. Risiko don Kerentonon Gempo Bumi Arequipa, Peru
mengakibatkan setidaknya 26.000 korban pada tahun 2001, kemudian pada tahun 2003, di
Bam, Iran dengan lebih dari 26.000 kematian, dan pada tahun 2004, di sumatra
mengakibatkan lebih banyak kematian hingga 280.000. Gempa Kashmir 8 oktober 2005
menyebabkan lebih dari 85.000 orang terbunuh dan gempa bumi Jawa 27 Mei 27 2006
menewaskan lebih dari 6000 orang . Selama satu abad , kematian karena gempa telah lebih
dari l-,8 juta. Beberapa laporan terah menemukan bahwa bangunan runtuh memberikan
kontribusi lebih dari 75 persen kematian dari gempa selama abad tersebut .Gempa adalah
fenomena alam yang tidak selalu menyebabkan bencana. Hanya objek yang memiliki potensi
kelemahan yang dapat mengubah fenomena tersebut menjadi bencana. Kelemahan potensial
ini disebut risiko seismik yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian di bawah
gempa.
Tabel 1.5 Daftar peringkat kerugian akibat gempa berdasarkan kerugian ekonomi
Peringkat Gempa SR
1 2011 T6hoku earthquake, Japan 9.0 US$ 122 milia
2 1995 Great Hanshin earthquake, Japan 7.2 US$ 100 miliar
3 2008 Sichuan earthquake, China 8.0 US$ 75 miliar
4 2010 Chile earthquake, Chile 8.8 US$ 15-30 miliar
5 1-994 Northridge earthquake, United States 6.7 US$ 20 miliar
6 2011- Christchurch earthquake, New Zealand 6.3 US$ 12 miliar
7 1989 Loma Prieta earthquake, United States 6.9 US$ 11 miliar
8 L921 earthquake, Taiwan 7.6 US$ 10 miliar
9 1906 San Francisco earthquake, United States 7.9 US$ 9.5 miliar
10 1960 Valdivia earthquake, Chile 9.5 US$ 2.9-5.8 miliar
E. Wilayah seismik Indonesia
Wilayah seismik Indonesia terkini terdiri dari 15 zona gempa dari 6 zona sebelumnya
yang dirasakan tidak menggambarkan kondisi seismik yang sebenarnya.zona seismik ini
dibedakan berdasarkan tingkat percepatan tanah PGA <0,05g sampai >1,2g.
kejadian gempa besar; antara lain gempa Aceh 2004 dengan 9,0 - 9,3 sR
yang diikuti dengan tsunami yang dahsyat, gempa Nias 2005 dengan 8,7 SR, dan juga gempa
yogyakarta 6,3 SR, untuk menentu_ kan parameter kejadian seismik dengan Moximum
Credible Earthquake (MCE)(lrsya m, et.o l, 2008).
Dari peta zonasi ini, secara garis besar; dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah Indonesia
yang relatif rawan dari guncangan gempa sedang hingga besar meliputi 25 daerah, yaitu
Aceh, sumatra Utara (Simeuluei Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, pandeglang
(Banten), Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur; Bali, NTB, NTT,
Kepulauan Aru, Sulawesi Selatan, sulawesi Tenggara, surawesi Tengah, sulawesi Utara,
sangir Talaud, Maluku Utara, Maruku selatan, papua bagian utara, Jayapura, Nabire,
Wamena, dan Kalimantan Timur.
Bab 2 Efek Gempa Pada Arsitektur
Gempa bumi adalah fenomena alam yang akan terus terjadi selama bumi masih ada.
Fenomena ini tidak dapat dihindari, namun harus diantisipasi agar tidak berdampak
merugikan pada lingkungan manusia. Gempa bumi bukanlah penyebab utama terbunuhnya
manusia, namun kegagalan bangunanlah yang banyak menimbulkan korban jiwa.
Selama ini, permasalahan pengaruh gempa bumi pada bangunan hampir selalu
dialamatkan pada ahli bidang struktur ketimbang ahli yang lain yang menangani
bangunan. Dampak gempa pada bangunan sering kali hanya dibicarakan pada tataran teknis
perhitungan kekuatan bangunan. Hal ini dapat dikatakan benar namun kurang tepat karena
kualitas keamanan sebuah bangunan justru ditentukan bukan hanya semata-mata dari
kekuatan strukturalnya, namun lebih besar dari itu, yaitu konsep bangunan secara
keseluruhan. Di samping itu, bisa saja bangunan telah dihitung berdasarkan analisis struktur
yang lengkap, namun pada kenyataannya, gempa bumi sedang hingga besar hampir selalu
merobohkan bangunan dan tetap memakan korban dari bangunan yang sebelumnya
diperkirakan kokoh tersebut.
Contoh terkini dari kondisi ini misalnya dapat kita temukan dari banyaknya kerusakan
yang memakan ribuan korban lebih dari 15.000 nyawa melayang dan lebih dari 1-25.000
bangunan hancur dari peristiwa gempa dan tsunami 9.0 SR T6hoku, Jepang pada 3 Maret
20!L,yang diketahui sebagai negara yang mempunyai bangunan paling siap terhadap
gempa. Bahkan reaktor nuklir Fukushima mengalami kerusakan pada tingkat berbahaya
meskipun bangunan itu 100% telah direncanakan aman terhadap gempa. Hal ini
membuktikan bahwa perhitungan struktur bukanlah satu-satunya pertimbangan utama dalam
merancang bangunan aman gempa.
Sementara itu, pada peristiwa yang lain, terdapat juga beberapa bangunan yang tidak
direncanakan kuat secara struktural , telah terbukti beberapa di antaranya tetap bertahan di
tengah guncangan gempa. Hal initentu dipengaruhi oleh banyak faktor yang
memengaruhinya, terutama pada kekuatan gempa itu sendiri, jarak episentrum, kedalaman
hiposentrum, dan kondisi geologi lingkungan sekitar.Kita tidak dapat membandingkan secara
rangsung dampak dari dua gempa yang berbeda karena banyak aspek yang saling
terkait, namun pada gempa yang sama, dampaknya pada jenis-jenis bangunan dapat
dibandingkan.
Bangunan gedung saat terjadi gempa pada intinya dipengaruhi oleh energi gaya gempa
dan beban gedung itu sendiri. Namun demikian, faktor lingkungan juga sangat menentukan
pengaruh gempa terhadap bangunan di suatu wilayah. Gempa 2004 tersebut sangat merusak
bahkan menimbulkan tsunami yang dahsyat hingga mencapai daratan Afrika, sementara
gempa 2012 tidak menimbulkan kerusakan berarti pada bangunan pada lingkungan
terdekat. Gempa 2004 menelan korban jiwa hingga 286.000, sementara gempa 2012hanya 2
korban jiwa. Sementara gempa 20L2terjadidisisiluar garis pelat dan hanya terjadi di area
sepanjang 50 km. Gempa ini telah didahului oleh tiga gempa sebelumnya di sekitar lokasi
yang sama pada 19 April 2006 , 4 Oktober 2007 , dan L0 Januari
Walaupun mempunyai magnitudo yang tidak jauh berbeda, sifat sumber energi, jarak,
kedalaman hiposentrum, serta kondisi geografi dan geologi hingga lingkungan binaan
(bangunan) terdekat sangat memengaruhi daya rusak sebuah gempa. Sebuah gempa akan
memengaruhi bangunan bergantung pada kekuatan sumber gempa yang disebut dengan
moment magnitude (Mw), dan bagaimana energi tersebut diteruskan hingga ke sife di mana
bangunan berada
Energi gempa adalah energi yang disalurkan melalui gelombang pada gempa sangat
dipengaruhi oleh penyaluran energi ketika merambat dari sumber ke lingkungan manusia di
permukaaan bumi. Berbagai macam gelombang seismik akibat proses ini telah kita bahas
sebelumnya. Selain mekanisme penyaluran, sifat fisik gelombang seismik itu sendiri juga
berpengaruh besar pada besar kecilnya energi yang dapat dihasilkan. Aspek-aspek utama
getaran gempa pada bangunan meliputi durasi, amplitudo, dan frekuensi (Ghaidan,2002).
Berikut adarah kaitan aspek-aspek tersebut dengan sifat fisiknya:
2. Akselerasi
satuan MMI (Modified Mercalli lntensity scale) ditujukan untuk mengukur seberapa besar
intensitas gempa atau pengaruh sebuah gempa terhadap lingkungan manusia, terutama
berkaitan dengan kondisi bangunan setelah terjadi gempa. Skala intensitas MMI bahkan
dilihat dari tingkat kerusakan bangunan. Seberapa besar pengaruh intensitas gempa ini
dipengaruhi oleh banyak aspek serain kekuatan gempa itu sendiri, yaitu jarak dari
hiposentrum/episentrum, jenis tanah, waktu atau durasi getaran gempa, serta desain bangunan
itu sendiri.
Magnitudo gempa menunjukkan skala energi gempa yang dikeluarkan dititik pusat atau
hiposentrum gempa. Makin besar magnitudo, makin besar pula energi yang akan
memengaruhi lingkungan manusia (lihat Bab L). Magnitudo saling berkaitan erat dengan sifat
sumber gempa yang lain seperti panjang patahan. Panjang dan besar patahan berkaitan
dengan besar energi yang dikeluarkan dan juga dengan durasi yang diperlukan. Bangunan
tentu akan mudah dipengaruhi gempa dengan magnitudo besar. Menurut pengalaman, gempa
di atas 4 SR baru akan berpengaruh terhadap bangunan dan kerusakan pada bangunan teknis
mulai pada 5 SR. Akan tetapi, magnitudo bukanlah satu-satunya penentu intensitas gempa
terhadap bangunan. Mungkin saja gempa bermagnitudo besar tidak berpengaruh terhadap
bangunan jika aspek-aspek yang lain yang akan dibahas pada bagian di bawah ini tidak cukup
signifikan.
2. Pengaruh jarak hiposentru m/episentrum
Jarak hiposentrum pada dasarnya mencakup jarak sumber gempa dengan bangunan secara
langsung, sedangkan jarak episentrum adalah jarak dari bangunan ke titik permukaan tanah
tepat di atas sumber gempa terjadi. Makin besar jaraknya, makin kecil pengaruh pada
bangunan karena energi gempa akan berkurang sejalan dengan panjang perambatan
gelombang. Intensitas gempa akibat jarak hiposentrum meliputi kedalaman dan jarak
horizontalepisentrum ini. Sumber gempa ini dibagi menjadi gempa dangkal dan gempa
dalam. Gempa yang terjadi lebih dari 70 km bawah permukaan bumi (di bawah tebal kerak
bumi) termasuk gempa dalam. Demikian pula dengan gempa yang terjadi pada jarak 200 km
atau lebih, termasuk gempa jauh (USGS). Tingkat kedalaman dan jarak gempa ini sangat
berpengaruh terhadap intensitas gempa pada bangunan. Gempa dengan magnitudo besar tidak
akan berartijika terjadi di kedalaman yang besar atau jauh dari lokasi bangunan karena
amplitudo akan kecil seiring dengan melemahnya energi gempa. Sebaliknya, walaupun
magnitudo gempa kecil, tetapi kalau gempa terjadi cukup dekat dan dangkal, maka
pengaruhnya terhadap bangunan akan sangat besar. Contoh dari kejadian ini adalah gempa
Yogyakarta 2006. Hanya dengan kekuatan 5.9 SR (BMG) atau 6.3 M (USGS), banyak
bangunan yang hancur karena sumber gempa relatif dekat (puluhan km) dan dangkal (t j.0
kmXUSGS)
Durasi gempa adalah rentang waktu guncangan tanah yang terjadi saat gempa. Gempa
mempunyai durasi yang berbeda, bergantung pada jenis runtuhan dan sifat patahan yang
terjadi. Rentang waktu guncangan akan sangat berpengaruh terhadap intensitas bangunan.
Guncangan relatif kecil (Gambar dibawah ini), namun jika terjadi dalam waktu yang lama,
akan dapat merusak bangunan. Waktu getaran yang panjang atau durasi yang tinggi ini akan
banyak memengaruhi ketahanan material dan struktur gedung.
Begitu juga dengan jumlah gempa susulan yang terjadi setelah gempa utama. Walaupun
relatif lebih lemah kekuatannya, guncangan-guncangan kecil dalam waktu yang lama akan
menambah tingkat kerusakan bangunan. Banyak fakta membuktikan bahwa gempa susulan
dampaknya dapat lebih merusak bangunan karena bangunan tersebut telah dipengaruhi oleh
gempa utama sebelumnya
Pada akhirnya, energi gempa akan sampai pada bangunan dan memengaruhinya jika
aspek pemicu utama gempa, magnitudo, teryadi cukup besar kekuatannya, serta aspek
penghambat seperti kedalaman dan jarak sumber gempa atau jenis tanah tidak cukup
signifikan untuk membatasinya. Penentu akhir tingkat intensitas gempa terhadap bangunan
adalah desain bangunan itu sendiri. Pada umumnya, bangunan memang tidak didesain
terhadap guncangan gempa, namun hanya pada beban-beban fungsi dan berat sendiri saja
secara gravitasional. Pada kasus bangunan-bangunan yang rusak karena gempa, banyak
diakibatkan oleh ketidaksiapan bangunan terhadap beban lateral ini. Desain bangunan
terhadap gempa utamanya dipengaruhi oleh karakteristik struktur yang meliputi: a. Waktu
getar alami dari struktur bangunan b. Redaman (damping) dari struktur bangunan c.
Persyaratan dan konsep detailing bangunan Waktu getar (frekuensi) alami, seperti yang telah
dibahas sebelumnya, lebih banyak dipengaruhi oleh ukuran bangunan, sistem struktur; dan
bahan bangunan yang digunakan. Bangunan tinggi dengan struktur fleksibel mempunyai
frekuensi yang lebih rendah dibanding bangunan rendah yang kaku. Redaman lebih berkaitan
dengan sistem utama atau tambahan pada struktur bangunan. Struktur dinding kaku dan
brocing dikategorikan dalam redaman ini. Demikian juga dengan bantalan fondasi fleksibel.
Gempa bumi yang besar menyebabkan getaran kuat pada tanah di bawah bangunan. Hal
ini menyebabkan fondasi ikut bergetar yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian
bangunan dengan caranya sendiri sesuai jenis struktur dan bahan, serta aspek lain yang cukup
rumit secara detail. Namun demikian, prinsip kinerja bangunan gedung secara makro di
bawah gempa sebenarnya cukup sederhana dan mudah dipahami.
Getaran gempa pada dasarnya adalah pergerakan tanah pada fondasi bangunan yang
menyebabkan fondasi ikut bergerak dan bagian paling atas bangunan cenderung tetap karena
mempertahankan potensi beban massanya sendiri. Makin besar energi gerak/amplitudo
gempa, makin besar pula pergerakan bagian bawah bangunan ini, sehingga bangunan gedung
bagian atas cenderung mengalami displacement atau perbedaan posisi yang cukup besar
dibanding bagian bawah. Perbedaan posisi ini akan memengaruhi mekanisme penyaluran
gayagaya yang terjadi pada bangunan hingga memengaruhi bangunan. Karena proses
tersebut, bagian-bagian bangunan paling atas cenderung mengalami kerusakan lebih dahulu,
sementara bagian vertikal, terutama kolom dan dinding, adalah bagian bangunan yang paling
mengalami dampak tekanan gaya dan menerima tekukan seperti halnya konstruksi kantilever
pada beban vertikal. Gerakan gempa pada tanah sayangnya tidak sekali, tetapi berulangulang,
sesuai durasi gempa disertai dengan perubahan percepatan. Perubahan percepatan membuat
energi gerak getaran tanah harus diterima oleh bangunan dan mengganggu kestabilan
bangunan. Dampak dari fenomena ini adalah kerusakan material elemen bangunan karena
tidak kuat menahan beban percepatan danjatuh/runtuhnya bangunan karena kestabilannya
terganggu
Pergerakan dinamis tanah di mana bangunan diletakkan menyebabkan gaya lateral (gaya
mendatar) dan vertikal pada bangunan. Gerakan gaya lateral mempunyai efekyang paling
merusakterhadap bangunan. Sebaliknya, gaya-gaya vertikal biasanya kurang signifikan untuk
dapat merusak bangunan (Hamburger dan Scawthorn, 2006). Kondisi tersebut tentu tidak
berlaku untuk bangunan yang relatif terletak di dekat pusat gempa karena efek gaya vertikal
akan cukup tinggi dan justru bersifat lebih merusak bangunan akibat gelombang R seperti
yang telah dibahas di depan
Bangunan secara umum dibangun untuk melawan gaya gravitasi atau beban vertikal,
tetapi bukan untuk gempa yang membawa gaya horizontal dengan percepatan tertentu
sehingga gempa dapat mudah menghancurkan bangunan. Efek gaya gravitasi vertikal dan
efek gaya lateral yang dikombinasikan oleh gempa bumi akan menyebabkan overturning
moment atau momen terbalik pada bangunan (lihat Gambar 2.L). Dengan demikian, makin
berat bangunan, makin tinggi pula potensi momen balik ini.
Bangunan-bangunan dengan material dan sistem struktur berat seperti dinding batu
bata dan struktur beton bertulang sebenarnya relatif lebih rentan terhadap efek moment ini
dibanding material yang lain yang lebih ringan.
Gambar :Pengaruh kombinasi beban horizontal dan vertikal
Daerah dengan kondisi kegempaan yang tinggi mungkin saja mengalami banyak gempa
bumi hampir setiap hari. Namun demikian, kerusakan struktural biasanya tidak teryadi
sampai besarnya magnitudo mendekati 5.0 SR (gempa menengah). Kerusakan struktural pada
umumnya adalah hasil dari kegagalan pada tanah, getaran struktur; dan atau penyebab lain
(Yashinsky, 2006). Kegagalan bangunan terhadap gempa bumi umumnya disebabkan oleh
ketidakmampuan bagianbagian bangunan tersebut untuk bekerja sebagai satu sistem dalam
melawan gaya-gaya lateral (Elnashai dan Di Sarno, 2008). Kegagalan bangunan, dalam hal
ini, tidak hanya disebabkan oleh gagalnya sistem struktur utama, tetapijuga elemen sekunder
yang mudah rusak akibat getaran gempa. Beberapa aspek yang menyebabkan kegagalan
bangunan akibat gempa, baik rusak, hancu1 maupun ambruk, berkaitan dengan kesalahan
desain pada bangunan yang akan memengaruhi kinerja sistem struktur; kerusakan pada
elemen struktur karena kekuatan, kekakuan, dan kelenturannya; sambungan elemen bangunan
yang tidak tepat; kualitas pengerjaan dan bahan; serta kegagalan tanah yang struktur fisiknya
berubah akibat gelombang gempa. Kesalahan yang terkait dengan bangunan dan goyangan
gempa tersebut adalah:
1. Struktur yang berat Massa tinggi atau bangunan yang berat, biasanya menggunakan
adobe dan rumah beton bertuiangl akan memrcu gaya inersia yang tebih besar saat
terjadi gempa, t aiena besar amplitudo inersia akan berband\ng \urus dengan massa
struktur
2. Periode getaran pendek bangunan Struktur bangunan dengan periode getaran
pendek akan mem_ punyai lebih banyak ayunan jika teryadi gempa. Jenis struktur
bangunan seperti ini pada umumnya mempunyai tingkat kerentanan yang cukup
tinggi, kecuarijika menggunakan sistem struktur yang lebih kuat. periode
gerombang gempa dengan rentang kurang dari 0,5 sampai 1,0 detik akan
menciptakan perc-epatan tinggi pada amplitudo gerakan tanah, dan kemudian akan
menurun hingga akhir periode getar. Untuk arasan ini, pada struktur dengan periode
getaran pendek, respons percepatan pada bangunun ,,iurnya be_ sar karena
berbanding rurus dengan gaya inersia yang disebabkan oleh massa. Bangunan
pendek dan atau dengan 6an]n bangunan kaku sangat rentan dengan periode
getaran plndek.
3. Kekuatan dan kemamPuan deformasi Kegagalan bangunan dapat dihindari pada
elemen-elemen bangunan yang mendukung sistem beban vertikal dengan
menghindari penggunaan bahan-bahan rapuh. iika tidak, maka kekuatan yang lebih
tinggi harus diberikan dan massa konstruksi harus dikurangi. Kemampuan
deformasi yang tinggi dapat dicapai dengan p"nggrnuun elemen struktural yang
lemas dalam rangka untuk menunda keruntuhan. Prinsip ini akan bekerja bahkan
setelah terjadi kerusakan struktural yang signifikan.
4. Keruntuhan progresi, Kegagalan karena material yang rapuh akan berefek pada
elemen struktural lainnya dengan modus serupa. Bangunan ini akan runtuh mulai
dari lantai di mana elemen rapuh telah gagal. Sebagai hasil karena pengurangan
resistensi lateral dan kehilangan daya dukung beban vertikal, akan menyebabkan
kegagalan berturut-turut lebih lanjut yang disebut sebagai kegagalan progresif
akibat elemen vertikal yang rapuh.
5. Konsentrasi, kerusakan Kegagalan elemen penyangga beban vertikar dari sebuah
lantai biasanya akan mengakibatkan runtuhnya bangunan. Sambungan dengan
kekuatan tinggi antar elemen vertikal (bukan horizontal) diperlukan dalam rangka
mengatasi kerusakan elemen vertikal dan memindahkannya pada elemen
horizontal. prinsip ini dikenal dengan prinsip kolom kuat balok lemah atau strong
column weok beam. Hal ini ditujukan untuk merindungi elemen utama struktur
penyangga bangunan untuk menunda keruntuhan lebih lanjut.
6. Penyimpangan vertikal Deformasi akibat gempa biasa terjadi pada aspek tertentu,
seperti pada tingkat (lantai) fleksibel dan atau lemah. Hal ini akan membuat
kerusakan yang lebih lanjut pada elemen vertikal dan mengakibatkan runtuhnya
bangunan. Lantai lemah ini dikenal sebagai soft story, atau bukaan yang terlalu
lebar pada salah satu lantai yang sayangnya banyak digunakan dalam bangunan
komersial atau residensial pada lantai dasar. Soft story ini adalah contoh yang
banyak dijumpai dalam penyimpangan vertikal. Penyimpangan vertikal lain juga
dapat disebabkan oleh kolom yang tidak menerus di setiap lantai, berat yang tidak
sama atau menerus pada lantai-lantainya, atau bahkan kolom pendek (short column
effect) yang disebabkan oleh perbedaan tinggi antar lantai yang berbeda pada
gedung bertingkat. Kolom yang tidak menerus jelas akan memengaruhi penyaluran
beban lateral ke fondasi bangunan. Berat tidak sama akan menyebabkan momen
puntir (gaya guling) yang besar karena konsentrasi massa secara akibat gaya lateral
akan besar. Kolom pendek pada salah satu lantai bangunan bertingkat akan
menyebabkan konsentrasi gaya yang besar dibanding kolom yang lebih panjang,
sehingga kapasitas pikulnya akan terlampaui dan mengalami kerusakan.
7. Penyimpangan horizontal, Penyimpangan horizontal seperti yang dijumpai dalam
denah bangunan dapat menciptakan struktur asimetris yang mengarah pada
ketidaksetaraan beban antara pusat massa. Hal iniakan menyebabkan getaran torsi
saat gempa. Kerusakan lebih parah diperkirakan akan terjadi pada elemen gedung
yang memiliki denah yang tidak sederhana dan bagian-bagian bangunan yang
mempunyaijarak lebih jauh dari pusat massa.
8. Senggolan bangunan yang berdekatan Bangunan yang tidak diletakkan berdekatan
dengan benar atau terlalu dekat dapat menyebabkan senggolan ketika gempa
terjadi. Senggolan ini menyebabkan efek hommering atau pukulan yang berkali-
kali seiring dengan intensitas gempa yang terjadi. Benturan akan merusak kedua
struktur bangunan, terutama yang relatif lebih lemah. Dampak ini umumnya terjadi
di bangunan di perkotaan yang padat atau pada konfigurasi bangunan yang tidak
benar.
9. Kontribusi elemen arsitektural dan non-struktural Elemen non-struktural atau
elemen arsitektural dapat mengurangi kinerja sistem struktur seperti bukaan lebar;
tangki berat pada atap, dan lain-lain. Elemen non-struktural seperti dinding berat
(batu bata) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kekakuan sistem struktur.
Jika elemen ini tidak terletak pada posisi keseimbangan, penyimpangan kekakuan
atau bahkan penyimpangan torsi dapat menyebabkan kegagalan sistem. Elemen
arsitekturaljuga dapat menyebabkan akibat fatal jika mudah terjatuh dan menimpa
penghuni di bawahnya. Elemen yang mudah jatuh bisanya terdiri dari dinding,
plafon, elemen interior seperti lampu gantung, dan sebagainya.
10. Fondasi adalah elemen penting untuk menyangga bangunan dan menyalurkan
beban ke tanah. Kegagalan fondasi menyebabkan kerusakan besar pada bangunan
waraupun bangunan utama itu sendiri tidak mengalami kerusakan. Fondasi dapat
mengalami ke_ gagalan umumnya karena tanah rongsor; liquefoction, rembah yang
hancur; pemadatan tanah, dan gaya diferensial.
11. Penurunan kualitas dan usia Umur dan atau keadaan lingkungan yang memburuk
akan merusak bahan struktur dan akan langsung mengurangi kemampuan kinerja
seismik bangunan. Inkonsistensi dalam denah dan potongan umum digunakan
dalam bangunan seperti desain vertikal yang tidak menerus atau berjenjang
(sidestepping), dan juga tinggi bangunan yang berbeda di sekeliling bangunan
utama (offsetting) akan menyebabkan konsentrasi stres. Asimetri dalam denah dan
tampak bangunan akan memindah beban dari struktur atas ke fondasi secara tidak
menerus yang akan mengakibatkan gangguan stres yang tidak diinginkan atau
konsentrasi dan efek torsi. Lantai pertama benar-benar terbuka tanpa dinding akan
menyebabkan soft story yang menyebabkan runtuhnya struktural.
Gambar : Hubungan antara inelastic onolysis, fragility clJrYe, demand spectra, dan building
capacity
Bab 3 PRINSIP-PRINSIP BANGUNAN
AMAN GEMPA
A. Struktur Bangunan dan Konsep Arsitektur
Struktur bangunan dan konsep arsitektur adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Struktur bangunan tidak dapat ideal tanpa memperhatikan bentuk, fungsi, sistem
bangunan, material, dan sebagainya. Sebaliknya, konsep arsitektur juga tidak dapat dilakukan
tanpa pemilihan sistem struktur yang tepat untuk sebuah bangunan. Berkaitan dengan gempa
bumi, struktur bangunan bukanlah satu-satunya penentu keselamatan pengguna bangunan.
Namun sistem struktur juga dapat membentuk dan dibentuk oleh konsep arsitektur. Dengan
demikian, keterkaitan kinerja bangunan di bawah gempa sangat diperlukan.
Dengan memperhatikan tujuan utama pembangunan aman gempa, maka filosofi dan
prinsip permintaan/kapasitas (demand/capacity) ki nerja bangunan tahan gempa di bawah
beban seismik adalah:
a. Di bawah getaran kecil dan sering, elemen struktural utama dari bangunan tidak boleh
rusak, tetapi elemen non-struktural dapat mengalami kerusakan yang dapat diperbaiki
b. Di bawah getaran sedang dan jarang terjadi, elemen sistem struk tural utama dapat
mengalami kerusakan yang dapat diperbaiki dan bagian lain elemen yang non-
struktural dapat mengalami kerusak an yang juga dapat diperbaiki.
c. Di bawah getaran besar dan jarang, elemen struktural utama dapat mengalami
kerusakan parah namun bangunan masih harus tetap berdiri.
Secara umum, metode ketahanan bangunan terhadap gempa diba gi menjadi dua: aktif
dan pasif. Sementara menurut lokasinya, dapat digolongkan ke dalam sistem super structure
yang mencakup sistem struktur utama bangunan dan sub-structure yang meliputi tanah dan
fondasi bangunan. Metode pasif lebih banyak dipakai pada bangunan karena lebih mudah
dikerjakan dan murah harganya. Hanya pada ba ngunan-bangunan modern yang fungsinya
dianggap sangat penting menggunakan sistem aktif ini. Bahkan pada bangunan tertinggi di
du nia pun menggunakan sistem pasif, antara lain Menara Taiwan 101 (1-01 lantai) yang
menggunakan sistem bandul massa sebagai damper. Berikut adalah pembagian sistem aktif
dan pasif yang sebagian besar dibahas pada buku ini:
Pada struktur utama, kekakuan (stiffness), kekuatan (strength), dan dak tilitas (ductility)
adalah aspek respons struktur yang paling penting untuk menghadapi gempa (Elnashai dan Di
Sarno, 2008)' Kekakuan adalah kemampuan dari suatu elemen atau sekelompok elemen
ba ngunan untuk melawan kemungkinan tekuk (buckling) di bawah beban gempa. Kekuatan
adalah kemampuan dari bagian atau kelompok bagian-bagian bangunan untuk menahan
beban. Daktilitas adalah ke mampuan dari bagian atau rakitan dari bagian-bagian bangunan
untuk pulih dari rusak lebih jauh/di atas dari batas elastis.
Di bawah gempa kecil, kekakuan adalah parameter yang paling signifi kan dalam
bangunan. Struktur dikatakan memiliki kekakuan cukup jika dapat menghindari deformasi
besar dengan gangguan minimal dari kerusakan dan tidak mengganggu fungsi bangunan.
Kekuatan ber kaitan dengan permintaan dan kapasitas struktur (demond/capocity).
Hubungan antara batas kerusakan struktural dan kekuatan adalah jika akumulasi tekanan
lebih besar dari kapasitasnya, kegagalan struktural pada elemen akan berlangsung.
Kekuatan ditujukan untuk mengatur tingkat kekakuan elemen bangunan pada gempa
menengah tapi ja rang. Hal ini dimaksudkan agar kerusakan dapat diperbaiki dengan biaya
perbaikan yang minimum. Dengan cara ini, struktur akan memiriki kekuatan yang cukup
untuk membatasi kerusakan. Daktilitas berhu bungan dengan penghindaran runtuh di bawah
gempa besar namun jarang. Struktur ulet akan mampu berubah bentuk sampai batasnya tanpa
harus kehilangan kemampuan untuk menahan beban mati. De ngan cara ini, gangguan dari
gempa dapat dimaklumi tetapi kerugian dapat diminimalkan, baik kehidupan manusia
maupun benda. Kekakuan, kekuatan, dan daktilitas bangunan dipengaruhi oleh bebe rapa
faktor; termasuk bahan bangunan, elemen struktur; sambungan konstruksi, dan sistem
struktur yang digunakan oleh bangunan. Secara umum, bangunan batu bata dan beton adalah
kaku dan bangunan kayu dan baja adalah lebih ulet.
struktur bangunan berbasis dinding adalah kaku dan sistem berbasis rangka lebih ulet.
Dalam hal kekuatan, bangunan beton bertulang memiliki kapasitas yang lebih tinggi karena
menggabungkan reaksi optimum terhadap gaya masuk atau beban. Kekakuan relatif yang
tinggi adalah subjek deformasi karena beban tertarik datang ke struktur. Short column effect
adalah contoh lain dari fenomena ini, di mana kolom pendek pada sebuah tingkat bangun an
akan cenderung mengalami kerusakan yang lebih besar dibanding yang lain. Hal ini terjadi
karena kapasitas maksimum akan dicapai lebih awal pada elemen kaku dalam bangunan
dibandingkan dengan elemen fleksibel. Sistem kaku seperti rangka beton bertulang bahkan
terbukti sebagai yang paling rentan terhadap gempa bumi dibandingkan de ngan semua jenis
struktur (Erdey, 2007). Untuk alasan inilah kenapa bangunan beton bertulang tidak disarankan
untuk diterapkan pada daerah dengan potensi gempa besar.
Kebanyakan struktur bangunan direkayasa untuk tidak sepenuhnya agar tahan gempa,
tetapi didesain hanya untuk mencegah keruntuhan (Otani, 2004; Yashinsky, 2006;
Scawthorn, 2006). Lebih lanjut, bahkan bangunan dengan massa yang sangat kuat pun
dapatjuga terjadi ke gagalan di bawah guncangan gempa (Erdey, zOOi). Tujuannya adalah
tidak hanya untuk penghematan uang, tetapijuga karena struktur kuat akan menarik beban
yang lebih besar. Untuk alasan inilah kebanyakan struktur dirancang untuk memiliki
daktilitas yang cukup untuk bertahandi bawah guncangan gempa bumi daripada
memaksimalkan kekuat an. Dengan demikian, elemen-elemen bangunan mungkin saja dapat
berguncang dan berubah, tetapi mereka akan menjadi kuat pada gaya geser dan dapat terus
mendukung beban mereka selama dan setelah 9empa. Baik beban lateral maupun vertikal
harus dipertimbangkan untuk ba ngunan tahan gempa untuk dapat memfasilitasi gaya
seismik gempa. Gaya beban harus diarahkan dari asalnya ke bawah melalui sistem
struk tural dan berakhir di fondasi. Untuk mendapatkan perpindahan beban yang aman dari
gaya seismik ke tanah, lintasan gaya harus tidak boleh terganggu pada komponen-komponen
struktur.
Beban mati dan lateral harus diarahkan dalam lintasan yang menerus sepanjang baik
elemen horizontal maupun vertikal pada struktur sebelum dibuang ke tanah dasar. Struktur
bangunan yang hanya dipersiapkan untuk beban mati hanya akan memiliki kemampuan
minimal untuk menahan kekuatan beban lateral-horizontal. Kurangnya sistem menahan beban
lateral dan sambungannya akan mengganggu garis beban, dan bangunan akan dengan mudah
menjadi rusak saat teryadi gempa. Prinsip sistem untuk menahan gaya lateral sangat penting
dalam mengamankan struktur pada posisinya. Sistem tersebut akan meno lak atau
mengakomodasi perubahan disebabkan oleh kekuatan gempa yang terjadi untuk mereka
secara paralel (Hamburger dan Scawthorn, 2006). Untuk alasan ini, sistem harus disiapkan
untuk kedua arah horizontal.
a. Kesederhanaan struktur
Struktur yang sederhana adalah struktur yang ditandai dengan menggunakan jalur
penyaluran beban yang tidak terganggu, menerus, dan langsung pada sistem struktur
bangunan untuk trans misi beban gempa ke dalam tanah. Kolom-kolom pada bangunan
tidak boleh terputus secara vertikal, baik oleh penghilangan kolom atau perpindahan lokasi
kolom pada salah satu lantai bangunan bertingkat.
Gambar :
Kesederhanaan
struktur
Gambar :
Kesederhanaan
denah dan bentuk
bangunan
Resistensi dan kekakuan torsional Komponen yang paling penting untuk menahan
beban seismik harus didistribusitan tiaat jauh dari selubung bangunan' Efek torsijustru
terjadi maksimal pada selubung bangunan' Oleh kare na itu, selubung bangunan i''u"t
dibuat kaku agar tidak mudah mengalami torsi yani besar sehingga merusak
bangunan' Fasad bangunan y.ng rn"nj-udi satu dengan sistem struktui baik melalui
p"nlgunu.n dinding geser atau iracing' iuga dimaksudkan untuk merig;ntisipasi efek-
torsional ini' Demikian juga dengan bentuk denah sederhana serta simetri, serta tidak
Gambar :
Kekakuan
horizontaI
Gambar :
Kekakuan torsional
Diafragma lantaiyang kaku Kekakuan lantai dan atap juga sangat membantu
bangunan ge dung dari gaya-gaya gempa. Sistem lantai dan atap harus didesain
cukup kaku dengan sambungan yang tepat dengan sistem struk tur vertikal dalam
rangka untuk menahan setiap gaya-gaya lateral. Pelat lantai dan atap yang monolit
dengan rangka bangunan akan sangat membantu kinerja bangunan terhadap gempa.
Gambar :
Pengkakuan petat
tantai dan petat
atap
Cara-cara pengamanan bangunan terhadap gempa terkini tidak menu tup kemungkinan
pada elemen-elemen lain dalam bangunan selain pada sistem struktur utama di atas. Struktur
utama memang bertang gung jawab terhadap keutuhan sistem strukturi namun untuk
menjaga agar bangunan tetap berdiri, elemen lain seperti fondasi dan juga ele men yang
ditambahkan seperti penggunaan massa pengimbang juga dapat dilakukan pada bangunan.
Fondasi yang memadai Fondasi adalah dasar bagi berdirinya bangunan gedung.
Kegagalan fondasi akan berakibat pada amblasnya bangunan karena beban vertikal,
robohnya bangunan karena beban horizontal, atau per paduan dari keduanya. Pada
kasus gempa bumi, ketiga fenomena bangunan di bawah gempa sangat mungkin dapat
terjadi Pada bangunan yang berlokasi di dekat sumber gempa, atau dengan kondisi
tanah yang labil yang diakibatkan oleh efek tique foction, fondasi dapat gagal karena
daya dukung tanah menurun drastis. Penurunan vertikal pada bangunan, yang sering
terjaditidak seragam pada setiap titik lokasi fondasi, akan dapat merobohkan
bangunan dengan mudah
Gambar : Fondasi
untuk
mengantisipasi liquef
action tanah
Untuk mengantisipasi dan meminimalkan pengaruh efek liquefac tion, hanya fondasi
yang dapat diandalkan. Fondasi dalam atau tiang pancang hingga mencapai tanah
keras adalah jawaban un tuk permasalahan ini. Sementara itu, fondasi kapal (perat
basement) mungkin dapat diandalkan sejauh lebar pelat cukup untuk mendu kung
berdirinya bangunan. Pada bangunan yang terletak relatif jauh dari sumber gempa,
efek gaya horizontallah yang lebih banyak memengaruhi fondasi. Pada kondisi ini,
beban lateral pada fondasi harus "dilawan,, atau "disesuaikan" agar bangunan tidak
mengalami displocement atau kerusakan pada bagian yang berhubungan dengan tanah
(fondasi dan hubungannya dengan struktur atas super structure). Teknik ini dikenal
dengan base isolator atau isolasi fondasi.
Peredaman fondasi
Fondasi dan hubungannya dengan suprastruktur harus menyatukan bangunan secara
keseluruhan ketika terjadi beban seismik gempa. Stru ktu r bang u nan a kan bergerak
mem pertaha nkan kedudu ka n nya di bawah guncangan gempa, sementara tanah dan
fondasi akan bergerak mengikuti arah pergerakan gempa. Dengan demikian, fondasi
berfungsi sebagai penerus gaya dan juga sekaligus seba gai penghambat atau lood
buffer pada bangunan. Untuk mencapai kondisi yang ideal, fondasi harus kuat
menahan beban lateral ini dan berfungsi sebagai penghambat sehingga efek gempa
pada ba ngunan dapat diminimalkan.
Gambar jenis fondasi untuk struktur kaku vs fleksibel
Pada struktur kaku rigid frome beton bertulang, kesatuan antara fondasi dan elemen
struktur atas harus kuat sehingga tidak patah atau rusak jika terjadi gempa. Untuk
meminimalkan guncangan pada bangunan, hubungan antara tanah dan struktur ini
harus dihambat. Penghambat berupa lapisan pasir yang berfungsi me nyerap getaran
dalam hal ini disebut sebagai seismic buffer. Pada kasus struktur bangunan
ringan/fleksibel, hubungan fondasi dengan struktur atas harus tetap menyatu
walaupun dihubung kan dengan sambungan sendi dan harus tetap mampu menahan
beban bangunan secara keseluruhan. Hubungan yang fleksibel ini diketahui lebih
mampu meredam bangunan dari guncangan yang merusak sehingga efek gaya lateral
berkurang dibanding dengan sambungan kaku pada rigid frame.
Pre-stress dan post-tension pada struktur beton
Struktur beton bertulang (reinforced concrete/RC) adalah sistem struktur yang populer
digunakan, terutama pada bangunan rendah hingga bertingkat sedang. Hanya saja,
sifat beton bertulang yang relatif berat dan besar; serta kurang mampu menahan
beban-beban lateral, membatasijenis struktur ini untuk digunakan pada kondisi
ancaman gempa yang tinggi. Untuk mengatasinya, penguatan de ngan memberikan
stress atau tekanan yang lebih tinggi digunakan untuk memperkuat material sekaligus
memperkecil dimensi yang berarti mengurangi beban struktur. Teknik yang dapat
digunakan pada penguatan ini adalah pre-stress dan post-tension pada beton. Pada
prinsipnya, kedua teknik ini tu juannya sama, hanya cara melakukannya di awal
untuk pre-stress dan di akhir pada post-tension.
Base isolator
Sistem struktur fleksibel mempunyai keuntungan di bawah guncan gan gempa
dibanding struktur kaku atau jepit. pada sambungan struktur sendi, elemen struktur
tidak harus melawan besarnya gaya gempa sehingga bangunan relatif aman dari
kerusakan. Hubungan fleksibel pada struktur ringan kayu atau baja telah
dikembangkan pula untuk penggunaan bangunan-bangunan berat, khususnya pada
aplikasi base isolator. Bedanya, pada bangunan di atas isola tor tetap berperilaku
sebagai rigid body.
Bagaimanapun juga, bangunan yang ditujukan khusus aman dari gem pa tidak perlu
dibangun di semua tempat. Hanya di atas tanah yang terletak diwilayah rawan gempa sajalah
bangunan ini perlu dibangun. Untuk itu, perlu data yang lengkap mengenaisifat seismisitas
baik mak ro maupun mikro suatu wilayah. seismisitas makro berkaitan dengan sifat seismik
secara regional yang dapat ditemukan pada peta zonasi seismik yang dikeluarkan oleh
otoritas yang bersangkutan, dalam hal ini BMKG/Pekerjaan umum untuk Indonesia. wilayah-
wilayah yang relatif dekat dengan sabuk lingkar lempeng benua din cabang-cabang retakan
tanahnya (sesar) akan cenderung dipengaruhi oleh aktivitas seismik yang dapat menghasirkan
gempa besar sewaktu-waktu.
Seismisitas mikro juga merupakan aspek yang sangat penting karena zonasi pada
seismisitas makro relatif tidak bersifat sama pada lahan satu dengan lahan yang lain. Kondisi
lapisan tanah lokal dan kandung an air serta topografiwilayah akan menentukan seismisitas
mikro suatu lahan. Tanah dengan sifat lembek dengan kandungan air yang tinggi akan
mempunyai sifat menghambat frekuensi gempa (lihat gelombang S, L, dan R) namun
memperbesar periode dan amplitudo gelombang gempa, sehingga efek gempa akan'rnenjadi
lebih besar. Sebaliknya, ta nah padat dengan bebatuan yang keras akan lebih mudah
meneruskan frekuensi gempa dan tidak mengonversinya menjadi energi.
Topografi lahan dan sekitarnya juga menjadi aspek penting untuk ba ngunan aman
gempa. Kondisi topografi akan memengaruhi bangunan secara tidak langsung yang
menyebabkan bangunan mengalami ke rusakan akibat llquefoction, tanah bergerak pada
lereng gunung, atau tanah longsor. Pada lingkungan yang lebih sempit, kondisi bangunan di
sekitar lahan juga menjadi pertimbangan utama untuk merencanakan bangunan yang akan
didirikan. Ketetanggaan bangunan akan memengaruhi efek pounding atau saling
bersenggolan jika diletakkan berdempetan.
Secara arsitektural, bangunan harus sesuai lingkungannya. Kata ,,sesuai,, dalam hal
ini berarti "benar" dibangun di lingkungunny.. Bangunan yang benar atau tepat untuk
lingkungannya selanjutnya disebut ,,kon tekstual", yaitu bangunan yang dibangun bukan
saja hanya dalam hal langgam arsitektur dengan gaya tertentu bangunan sekitaa akan tetapi
justru berkaitan dengan sifat fisik alam sekitar. Kontekstual dengan sifat fisik lingkungan
meliputi banyak hal yang terdiri dari kondisifisik tanah dan udara. Kontekstualitas berkaitan
erat dengan aspek keamanan ba ngunan baik dari gempa maupun aspek yang lain, seperti
keamanan dari embusan angin ribut, hujan, banjir, dan sebagainya. Demikian juga dengan
kenyamanan yang berkaitan dengan udara dan cahaya. Di lain sisi, sifat fisik tanah berkaitan
dengan daya dukung tanah, lapisan ge ologi, dan aktivitas tektonik yang secara langsung
berkaitan dengan bangunan aman gempa.
Langgam bangunan sekitar belum tentu mempunyai nilai kontekstuari tas yang baik
terhadap lingkungan. Mungkin saja langgam bangunan tidak sesuai lingkungannya karena
pengaruh aspek tertentu, seperti perubahan gaya bangunan akibat pengaruh luar; kondisi
perekonomi an, dan sebagainya. Sebagai contoh, bangunan tradisional dirndonesia dulu
selalu dibuat dengan konstruksi kayu. selain kayu banyak dijumpai di lingkungan tropis
Indonesia, bahan bangunan ini bersifat ringan dan tidak menyimpan panas sehingga sesuai
untuk wilayah Indonesia yang sebagian besar berpotensi gempa tinggi serta iklim yang
lembap. Tra disi ini berubah semenjak mendapat pengaruh luari khususnya Belanda (Barat)
yang memperkenalkan bangunan dengan batu bata. Hingga sekarang, bangunan batu bata
lebih banyak digunakan. Bangunan batu bata ini tentu saja kurang sesuai untuk wilayah
seismisitas yang tinggi dan udara tropis lembap. Bangunan batu bata itu selanjutnya dapat
dikatakan kurang mempunyai kontekstualitas dengan lingkungan sekitar.
2. Aspek fungsi bangunan dan ruang
Semua bangunan tentu diharuskan mempunyai sifat aman terhadap gempa, namun
prioritas atau seberapa jauh tingkatannya diberlakukan bergantung pada fungsi bangunan.
Bangunan-bangunan yang mem punyai fungsi gawat darurat dan pertahanan keamanan
mempunyai tingkatan aman gempa yang paling tinggi. Bangunan ini berupa ru mah sakit,
kantor polisi, kantor pelayanan, dan sejenisnya. Selanjutnya adalah bangunan dengan fungsi
massal seperti bangunan sekolahan, peribadatan, pertemuan, dan sabagainya. Setelah itu
bangunan hunian seperti perumahan, apartemen, dan hotel. Tingkatan selanjutnya baru pada
bangunan-bangunan yang lain. Semua tingkatan itu digunakan untuk menyelamatkan nyawa
manusia.
Konsep dasar yang diwujudkan dalam perencanaan awal atau prelimi nary design
adalah tahapan perancangan bangunan pada tahap awal untuk menentukan bentuk dan fungsi
bangunan. Konsep dasar inilah yang akan mendasari proses perencanaan dan perancangan
selanjut nya. Pada tahap ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan tujuan awal perencanaan
bangunan diputuskan. Hanya arsitek dan pemilik atau pengguna bangunan saja yang baru
terlibat, sementara ahli struktur (insinyur sipil) dan ahli-ahli yang lain daram pembangunan
gedung belum dilibatkan sama sekali.
Pada tahap preliminory design ini, arsitek memegang kendari penuh atas desain awal
bangunan. Tahap desain bangunin selanjutnya lebih bersifat teknis yang dapat dideregasikan
kepadi ahli-ahli dibidangnya, termasuk ahli struktur bangunan. Sangat kecil kemungkinan
konsep bangunan akan berubah pada tahap tersebut, sehingga pada konsep dasar harus sudah
dimasukkan unsur keselamatan bangunan terhadap gempa. Hal-hal yang harus
dipertimbangkan adalah:
Siteplan
Siteplan mengatur perencangan bangunan pada sife atau lahannya. Sife bangunan
berkaitan dengan lokasi sife itu berada terhadap lingkungan di sekitarnya.
Perancangan siteplon aman gempa ha rus memperhatikan aspek perlindungan
terhadap evakuasi gempa, zona aman gempa, dan kemudahan akses dari luar untuk
keperluan pertolongan darurat. Pada pengaturan site, zona aman gempa harus
disediakan pada pengguna sehingga dapat digunakan sebagai tempat untuk mengungsi
keluar dari bangunan dan membebaskannya dari ke mungkinan bahaya kejatuhan
bangunan atau elemen bangunan. Zona aman ini biasanya berbentuk halaman luar
atau dalam yang relatif mempunyai ukuran/jarak tertentu sehingga aman
darijatuh nya elemen bangunan dan berhubungan langsung dengan zona akses
emergency bangunan selasar dan tangga.
Gambar prinsip ukuran bukaan bangunan tidak bertingkat dengan konstruksi dinding
bata
Bentuk bangunan pada tampak bangunan harus dibuat idealnya lebih besar pada
bagian bawah dan mengecil pada bagian atas secara kompak dan menyatu. Bangunan
yang mengambil bentuk sebaliknya akan lebih rentan terhadap gaya lateral gempa
bumi. Pada bangunan bertingkat rendah, bentuk harus dibuat kompak dengan denah
lantai dasar dan lantai-lantai di atasnya dibuat sama pada bentuk dan ukurannya.
Bangunan bertingkat yang tidak kompak dengan mempunyai bentuk dan ukuran lantai
bangunan berbeda (set bock) akan mempunyai reaksi yang berbeda jika men dapat
tekanan gaya lateral akibat gempa bumi. Akibatnya, bagian yang terlemah, biasanya
pada sambungan lantai yang berbeda itu dan bagian atas bangunan yang mempunyai
goyangan yang paling besar; akan lebih dulu mengalami kerusakan.
Finishing pada bangunan juga harus dipertimbangkan pada gun cangan gempa.
Pemasangan genteng pada atap miring harus diperhati[pn agar melekat dengan kuat
jika terjadi guncangan. Genteng harus dipaku pada atap kemiringan tinggi agar tidak
mu dah lepas yang akan membahayakan penghuni bangunan. Begitu juga dengan
elemen penutup dinding seperti keramik dan batu alam agar tidak mudah lepas dan
dihindari penggunaanya pada ruangan/bangunan yang di bawahnya digunakan secara
massal untuk menhindari kemungkinan jatuh dan menimpa pengguna ba ngunan.
4. Aspek bahan bangunan
Untuk menghindari efek momen torsi pada bangunan, penggunaan bahan bangunan
berat harus diminimalkan. Bangunan dengan mate rial berat dan kaku cenderung
mempunyai frekuensi getar alami yang tinggi sehingga akan mudah mengalami resonansi
pada gelombang gempa, terutama gempa berfrekuensi tinggi (gempa dekat). Sebaliknya,
bahan bangunan dengan masa rendah dan fleksibel akan memberikan efek torsi yang rendah
pula. Frekuensi getar alaminya juga lebih rendah sehingga relatif aman pada gempa. Dengan
demikian, bahan bangun an beton bertulang dan dinding batu bata tidak dianjurkan
dibangun pada daerah rawan gempa. Kayu dan baja sebaiknya lebih banyak di gunakan.
Penggunaan bahan kayu dan baja juga mempunyai kelemahan. Mate rial kayu harus
diperhatikan masa usia pakai, karena kayu yang tidak dilindungi akan mudah lapuk dan
kekuatannya sangat menurun, se hingga mudah hancur jika mendapat beban gempa' Korosi
pada baja juga harus diperhatikan agar tidak memperlemah kekuatan material.
Bangunan juga mempunyai frekuensi getar alami yang sebanding de ngan bahan
bangunan. Bangunan-bangunan rendah akan mempunyai frekuensi getar alami yang tinggi,
dan sebaliknya dengan bangunan bangunan tinggi. Dengan demikian, gempa dengan
frekuensi tinggi, yaitu gempa yang cenderung mempunyai hiposentrum dangkal dan atau
episentrum yang relatif dekat dengan bangunan akan cenderung mempunyai frekuensi tinggi,
dan bangunan rendah akan lebih banyak terpengaruh dibanding bangunan tinggi karena
mempunyai frekuensi yang sama. Sebaliknya, pada bangunan tinggi, bangunan akan lebih
beresonansi dengan gempa berfrekuensi rendah atau gempa dengan jarak episentrum yang
jauh.
Pada bangunan rendah, pada umumnya kerusakan yang terjadi ada lah rusaknya atau
gagalnya sistem struktuL sedangkan pada bangunan tinggijuga dapat terguling, baik karena
kegagalan fondasi akibat lique foction atau momen guling yang tinggi. Bentuk bangunan
yang tepat pada bangunan aman gempa adalah bentuk yang dihasilkan dari aki bat
penggunaan sistem struktur dan bukan dari alasan yang lain. Salah satu prinsip arsitektur
hanya berdasarkan forms follow function atau bentuk mengikuti fungsi tidak dapat digunakan
lagi pada bangun an aman gempa. Selanjutnya, prinsip bangunan aman gempa dapat
dikembangkan sebagai forms follow building structure atau bentuk mengikuti sistem struktur.
Walaupun prinsip ini tidak harus diterap kan secara kaku, namun properti atau sifat-sifat
sistem struktur dapat menghasilkan bentuk bangunan menjadi tidak kalah menarik. Yang
perlu disadari oleh arsitek adalah bahwa bentuk bukanlah tujuan dari desain arsitektur;
melainkan bentuk adalah hasil dari analisis berbagai aspek utama bangunan. Berkaitan
dengan bangunan aman gempa, maka bentuk adalah hasil dari penggunaan konsep aman
gempa, ter masuk penggunaan sistem struktur dan bahan bangunan.
Untuk mendapatkan bangunan aman gempa, fasilitas yang berkaitan harus disediakan
tanpa pengecualian. Di saat terjadi gempa, pengguna bangunan memang diharapkan tetap
berada di dalam bangunan untuk menghindari risiko kecelakaan, namun sesaat setelah
gempa, terutama pada gempa sedang hingga besar; pengguna bangunan tetap dibutuh kan
untuk evakuasi keluar bangunan. Di lain sisi, bangunan juga harus menyediakan prasarana
keselamatan lain yang berkaitan dengan efek tidak langsung seperti api dan banjir. Fasilitas
sarana dan prasarana tersebut meliputi:
Akses darurat
akses daru rat berupa selasar dan tangga harus disediakan untuk bangunan aman
gempa walaupun bangunan sudah menggunakan eskalator (tangga berjalan) atau
elevator (lift). Selasar harus dibuat langsung menuju tangga pada lantai-lantai atas dan
langsung berhubungan dengan halaman luar pada lantai bawah. Lebar selasar dan
tangga harus mampu menampung jumlah pengguna dan harus dihindar kan dari
kemungkinan berdesakan pada selasar dan tangga. Khusus pada tangga darurat, lebar
tangga harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan berdesakan dan
saling mendahului. Lebar tangga darurat sebaiknya hanya digunakan oleh seorang.
Oleh karena itu, jumlah tangga darurat harus diperhitungkan dari jumlah pengguna.
Tangga darurat harus berhenti pada lantai dasar dan langsung berhubungan dengan
ruang luar.
Tanda-tanda darurat (emergency signs)
Pada bangunan, tanda-tanda darurat, terutama yang berkaitan de ngan lokasi tangga
dan tangga darurat, pintu keluar darurat, serta selasar evakuasi, harus dipasang dengan
jelas, terutama pada ru ang-ruang publik. Tanda-tanda daurat ini harus dapat dilihat
baik pada siang maupun malam hari, terutama saat listrik mati. Oleh karena itu, tanda
harus dengan self illuminotion atau mempunyai sifat berpendar sendirijika listrik
mati.
Elemen perlindungan
Yang dimaksud dengan elemen perlindungan adalah bagian dari gedung yang
diharapkan dapat memberi perlindungan saat gempa. Ruang-ruang kecil di bawah
tangga atau ruang lemari built-in da pat dipakai untuk perlindungan sementara saat
gempa. Bangunan aman gempa harus didesain mempunyai ruang-ruang
perlindung an ini bagi penghuninya.
Elemen interior
Elemen interior yang dapat memberi perlindungan sebaiknya digunakan. Meja-meja
kuat dari balok kayu harus lebih banyak di gunakan dibanding dengan meja-meja
dengan bahan ringan yang relatif murah. Berlindung di kolong meja kuat untuk
sementara saat terjadi gempa adalah prosedur standar penyelamatan diri dari ba haya
keruntuhan elemen bangunan saat gempa. Elemen interior yang lain juga disyaratkan
tidak mudah mengalami keruntuhan atau mudah rusak saat gempa. Rak dan almari
harus dipasang terkait dengan dinding sehingga tidak mudah jatuh dan menimpa atau
mencederai pengguna bangunan. Elemen kaca yang mudah pecah harus ditempatkan
sejauh mung kin dengan tempat duduk pengguna bangunan, sehingga terhindar dari
serpihan kaca yang kemungkinan pecah di saat gempa. Begitu juga dengan tempat
tidur pada bangunan hunian.
Prasarana keselamatan bangunan
Bangunan juga harus dilengkapi prasarana keselamatan bangunan akibat dampak
langsung atau tidak dari gempa. Sistem alarm de teksi dan pemadaman kebakaran
harus dipasang pada bangunan untuk mengurangi efek gempa yang mungkin dengan
terjadinya kebakaran.
Pada daerah-daerah rawan gempa, tanggap darurat terhadap gempa harus dipersiapkan
dan dilaksanakan dengan benar. Tujuan dari tang gap darurat ini adalah memperkecil risiko
terhadap kerugian yang lebih besar yang diakibatkan oleh gempa. Tanggap darurat dapat
dipersiap kan sebelum gempa itu terjadi dengan persiapan yang diperlukan selama gempa
dan aksi tanggap darurat setelah gempa terjadi. Pada bangunan, hal serupa juga dilakukan
untuk memperkecil kemungkinan jatuhnya korban akibat gempa.
Gempa sulit diprediksikan kapan akan terjadi dan bagaimana ia akan terjadi. Untuk
itu, diperlukan persiapan untuk kemungkinan terburuk pada bangunan. Persiapan tanggap
darurat pada bangunan terdiri dari aspek persiapan kebutuhan dasar yang diperlukan saat
gempa dan persiapan prosedur penanganan ketika gempa terjadi. Persiapan ke butuhan dasar
yang harus disediakan pada gedung adalah meliputi kebutuhan pertolongan pertama dan
kebutuhan pokok makanan, mi numan, dan pakaian darurat yang dapat dipergunakan
beberapa saat sebelum pertolongan dari luar datang. Karena pada gempa besar akan
mengakibatkan kerusakan yang besar; maka perhitungan untuk dapat bertahan beberapa
waktu dalam gedung sebelum mendapat perto longan harus diperkirakan. Logistik darurat
ini harus disediakan dalam ruang khusus yang terjangkau sekaligus diperkirakan yang paling
aman.
Segera setelah gempa terjadi, maka semua orang yang tidak mengalami cedera harus
segera melakukan tindakan-tindakan untuk memperke cil jatuhnya korban dengan tidak
mengambil risiko yang lebih besar dengan mewaspadai kondisi bangunan. Bangunan yang
masih berdiri dari guncangan gempa pertama kali secara umum akan tetap berta han hingga
datangnya gempa susulan yang akan dapat memperlemah kinerja struktur dan akan
merobohkan bangunan. Gempa susulan itu biasanya akan terjadi beberapa saat setelah gempa
pertama yang umumnya lebih kecil energinya namun intensitas daya guncangnya dapat
berdampak lebih pada bangunan dibanding gempa pertama. Se hingga setelah gempa
pertama berhenti, maka evakuasi harus segera dilakukan tanpa menimbulkan kepanikan,
karena kepanikan hanya akan menambah risiko cedera yang tidak perlu. Evakuasi saat gempa
sangat sulit untuk dilakukan karena efek guncangan dan kemungkinan benda terjatuh yang
menimpa.
Banyak gempa bumi telah mengakibatkan kerugian luas baik nyawa maupun benda.
Identifikasi kerentanan seismik bangunan pada po pulasinya sangat dibutuhkan untuk
mengurangi risiko seismik. Hal ini perlu dilakukan untuk menemukan kemungkinan
kerusakan untuk jenis bangunan tertentu yang diakibatkan oleh gempa. Prosedur untuk
evaluasi kerentanan dapat dikategorikan menjadi dua, yakni empiris dan analitis. Sementara
kombinasi keduanya dapat digunakan sebagai metode hibrida.
Gempa bumi selalu mengancam bangunan sekitar daerah di mana gempa itu terjadi,
namun upaya untuk memeriksa dan memberikan peringatan dini, dalam hal ini kita sebut
tingkat kerentanan, dimulai hanya sekitar 30 tahun yang lalu. Evaluasi bangunan dalam
jumlah ba nyak terhadap kerentanan gempa baru dilakukan di awal 70-an (Calvi,
et.al,2006). Beberapa metode telah digunakan dengan menggunakan cara yang sangat teknis
baik dengan menggunakan metode empiris (Matriks Probabilitas Kerusakan, Metode Indeks
Kerentanan, Kurva Ke rentanan menerus, Metode Screening) atau analisis (Kurva
Kerentanan analitis-turunan dan DPMS, Metode Hybrid, Metode Mekanisme Run tuh,
Metode berbasis Spektrum Kapasitas, Metode Keruntuhan Total, dan Metode Analisis
Evaluasi Umum). Semua metode ini umumnya di turunkan dari analisis ilmu
rekayasa/engineering yang membutuhkan seorang insinyur terlatih dan mempunyai akses ke
gambar struktur. Hanya sedikit metode screening visual yang cepat telah ditemukan dan tetap
eksis dan memiliki aplikasi praktis yang luas.
Estimasi kerentanan seismik dilakukan terhadap banyak aspek, ter masuk sistem
ketahanan gempa bangunan, catatan kerusakan gempa masa lalu, penerapan teknik
konstruksi, tipologi bangunan, daerah kegempaan, sampel bangunan, survei rinci bangunan
dipilih, dan membangun database tentang aspek kualitatif dan kuantitatif (Sinha dan Goyal,
2004). Metode kualitatif yang mendekati nilai struktur untuk bangunan yang dikenal sebagai
Prosedur Pemeriksaan Cepat (Rapid Screening Procedure, RSP), sedangkan analisis
kuantitatif mencakup perhitungan permintaan kapasitas (demand capacity, DCR).
Untuk mencapai tujuan pada strategi di atas, teknik retrofitting dilaku kan pada
struktur utama dan tambahan-tambahan yang diperlukan baik sebelum maupun setelah gempa
teiadi. Seperti halnya pada prinsip bangunan tahan gempa yang dibahas sebelumnya,
retrofitting juga dilakukan pada elemen-elemen bangunan yang sama pada up per (super)
structure dan sub-structure. Teknik ini meliputi base isolaton suplementory dumpers, tuned
mass dumper, dan octive control system, seperti yang telah dibahas di atas. Hanya saja teknik
ini dilakukan pada bangunan lama. sebagaitambahan, khusus pada bangunan lama, juga dapat
diterapkan teknik sebagai berikut:
Ropid Visuol Screening (RVS) atau Level l- (Tier 1). Prosedur ini ada lah
prosedur ringan yang hanya memerlukan evaluasi visual dan sedikit informasi
tambahan yang dikenal sebagai "evaluasi sambil jalan" yang tidak melibatkan
analisis numerik. Tujuannya adalah untuk memverifikasi tingkat permasalahan
utama terhadap bahaya gempa bumi dari bangunan yang perlu pemeriksaan
lanjutan lebih rinci. Prosedur di FEMA 154 (FEMA, 1988), FEMA 310
(FEMA, 1998) Tier l-, dan prosedur yang sama yang diadaptasi oleh Sucuoglu
dan Yazgan (2003) adalah model dari prosedur ini.
Prosedur yang kedua adalah prosedur pemeriksaan kerentanan yang lebih
teknis namun masih bersifat sederhana yang disebut de ngan simplified
vulnerobility ossessment (SVA) atau level 2 (Tier 2). Prosedur inijuga dikenal
sebagai metodologi penilaian teknis awal (preliminory assessment
methodologieslPAM) yang memerlukan analisis teknik sederhana. Metode ini
harus didasarkan pada data dari hasil pemeriksaan visual dan dokumen
structural, baik untuk elemen struktural maupun non-struktural. Prosedur oleh
FEMA 310 (FEMA, 1998) Fier 2, dan yang digunakan oleh Yakut, et.al
(2003), adalah contoh dari metode ini.
Prosedur yang ketiga adalah prosedur pemeriksaan kerentanan yang lebih
detail dan rinci yang dikenal dengan detoiled vulnerabi lity ossessmenf
(DVA) atau prosedur tingkat 3 (Tier 3). Prosedur ini memerlukan analisis
struktural yang rinci yang kebanyakan dilaku kan dengan menggunakan
perangkat lunak komputer. Prosedur ini sifatnya setara atau bahkan lebih rumit
dari analisis yang di butuhkan untuk merancang bangunan gedung baru.
Metode ini disarankan untuk diaplikasikan pada semua bangunan yang
bersi fat penting dan darurat. Prosedur yang diusulkan dalam FEMA 356
(FEMA 2000), Eurocode 8 (BSI, 2004), dan yang digunakan oleh Park dan
Ang (1985) adalah beberapa dari prosedur penilaian tingkat ketiga yang rinci
ini. Selain ketiga metode di atas, sebenarnya masih terdapat prosedur yang
lebih sederhana. Prosedur ini sangat sederhana atau tanpa menggunakan
pertimbangan teknis untuk perkiraan penilaian kerentanan yang disebut
dengan prosedur tingkat 0 atau level 0 procedure. Prosedur inijuga diusulkan
untuk menganalisis tingkat kerentanan bangunan terhadap gempa, namun
tidak disarankan karena prosedur itu benar-benar non-teknis dan
dikhawatirkan da pat memberikan risiko yang lebih besar. Pada buku ini,
pembahasan hanya dilakukan pada prosedur tingkat pertama saja, mengingat
prosedur ini paling sesuai dilakukan oleh ahli lain selain insinyur sipil dalam
bangunan, termasuk para arsitek. Bahkan, karena prosedur ini tidak
melibatkan perhitungan teknis yang rumit, maka masyarakat awam pun
diharapkan dapat meng gunakannya. Sifat kemudahan ini sangat penting
dalam upaya menyebarkan seluas-luasnya kemampuan masyarakat banyak
un tuk dapat berpartisipasi terhadap potensi bencana akibat gempa bumi.
Untuk itulah, dalam buku ini memang evaluasi praktis ini le bih diutamakan.
B. Penilaian Screening Visual Cepat (Rapid Visual Screening/RVS)
Rapid Visuol Screenrng (RVS) atau Rapid Screening Procedure (RSP) ini di tujukan
untuk mengenali potensi bahaya gempa bumi untuk bangunan pada aspek tertentu, tanpa
melakukan pemeriksaan rinci atau melibat kan perhitungan struktural. Metode ini
menggunakan sistem skor nilai (point) untuk mengidentifikasi kemampuan sistem struktur
utama yang terkait dengan mekanisme antisipasi terhadap beban lateral (FEMA, 1988a).
Elemen-elemen bangunan yang memengaruhi kinerja bangun an terhadap beban
seismikjuga diperhitungkan dan dianggap sebagai faktor yang dapat memodifikasi skor akhir.
Penjumlahan nilai akhir di lakukan dengan memasukkan nilai dasar dan nilai modifikasi
tersebut. Keseluruhan evaluasi ini dimulai dengan mengumpulkan informasi sekaligus untuk
memberikan keputusan yang kesemuanya dengan mu dah dapat dilakukan di lokasi
bangunan dan hanya memerlukan waktu yang singkat. Prosedur RVS disiapkan untuk
pengguna masyarakat umum berkaitan dengan kerentanan bangunan terhadap gempa bumi
yang dapat di gunakan mulai dari pejabat sampai sektor swasta seperti para pemilik
bangunan. Prosedur ini untuk menentukan bangunan mana dari popu lasi yang ada yang
diperkirakan memiliki kinerja seismik yang memadai dan yang berbahaya dan harus
diperiksa lebih detail. Hasil dari screening visual yang cepat ini dapat diterapkan untuk
apli kasi yang beragam sebagai bagian dari program pengawasan risiko bencana terhadap
gempa bumi (Sinha dan Goyal, 2004), yakni sebagai berikut :
Tujuan dari prosedur RVS umumnya untuk memeriksa tingkat keren tanan seismik
bangunan pada populasinya berdasarkan tingkat cut-off dengan menentukan apakah diterima
sebagai bangunan aman atau berbahaya dan harus dipelajari lebih lanjut secara rinci.
Beberapa me todologitelah diusulkan didasarkan pada data gempa atau pendekatan analitis.
Sebuah metode yang dikembangkan di AS oleh FEMA (FEMA 154) dikenal dan menjadi
referensi utama untuk aplikasi di beberapa negara di luar AS dengan beberapa modifikasi.
Prosedur untuk screening visual yang cepat (Rapid Visual Screening/ RVS) pertama kali
diusulkan oleh Badan Manajemen Darurat Ameri ka (Federal Emergency Management
Agency/FEMA L54) pada tahun 1988 untuk mengidentifikasi, mendata, dan membuat
peringkat ba ngunan-bangunan yang kemungkinan berbahaya secara seismik di Amerika
Serikat (FEMA, 1988a), yang kemudian disempurnakan pada tahun 2002 (FEMA ,2002)
untuk memfasilitasi perkembangan teknologi baru dan juga pengalaman-pelajaran berharga
dari pengalaman ba haya gempa-gempa sebelumnya (misal:gempa Northright 1990). Pada
perkembangannya, prosedur RVS initelah secara luas digunakan di ba nyak negara lain
setelah dilakukan beberapa adaptasi yang berkaitan dengan kondisi lokal. RVS FEMA
menggunakan metodologiyang dimulai dengan memeriksa sistem struktural utama dan
penggunaan bahan bangunan dengan skor berdasarkan bahaya struktural dasar (basic
structurol hazord/BSH), dan memodifikasinya dengan kondisi opsional dalam bangunan yang
akan mengubah skor (sebagai PMFs atau performance modificotion foctors).
Potensi kerusakan struktural atau bosic structurol hozard (BSll) score adalah ukuran
dasar dari probabilitas kerusakan yang signifikan akibat potensi gaya seismik yang mungkin
terjadi pada bangunan dibanding dengan sejumlah bangunan lain di sekitarnya. Untuk
memberikan nilai potensi, kerusakan ini didasarkan pada kerusakan bangunan pada
ke jadian kerusakan bangunan akibat gempa terdahulu yang dinyatakan sebagai "rusak
signifikan" atau major domage. Bangunan dinyatakan rusak signifikan jika kerusakan fisik
mencapai 600/o atau lebih besar dari total nilai bangunan pada FEMA 155/ATC 13-1985
(FEMA, 1988b).
Kinerja bangunan terhadap beban seismik akan dimodifikasi oleh banyak faktor
sehingga menjadi berbeda dari nilai dasarnya (BSH). Faktor-faktor yang dapat memodifikasi
kinerja ini disebut sebagai "penyimpangan" atau irregularity, yang disebut sebagai
Performonce Modifying Foctors (PMFs). Faktor-faktor penyimpang ini pada dasarnya terdiri
dari kondisi bangunan dan elemennya yang tidak ideal secara struktural dan arsitektural.
PMFs ini dikumpulkan dari berbagai aspek negatif yang ditemukan dalam bangunan. Satu set
PMFs dipakai untuk mengurangi/menambah BSH untuk menemukan skor akhir struktural
"S". PMFs ini memasukkan semua aspek penting sepertijumlah lantai, kualitas konstruksi,
penyimpangan vertikal atau horizontal berkaitan dengan sistem struktural, soft story,
pounding, cladding, serta kondisi dan sifat tanah (FEMA, 1988a). Semua aspek tersebut dapat
memper buruk kinerja seismik bangunan.
4) Skor kerentanan Struktur (S)
Skor akhir sebagai nilai struktural "S" adalah perhitungan (pengurang anlpenambahan) dari
skor dasar BSH (yang didefinisikan oleh sistem struktur utama dan materialnya) dan aspek
yang akan memengaruhi performanya sebagai Performonce Modified Foctors (PMFs).
FEMA-RVS berada pada rentang skor 0-4 yang didasarkan pada per hitungan
logaritma yang telah dijelaskan di atas. Skor akhir "S" yang rendah berarti bahwa bangunan
itu rentan dan dibutuhkan untuk ana lisis rinci lebih lanjut. Sebaliknya, skor tinggi "S"
menunjukkan bahwa bangunan tersebut kemungkinan besar aman dari ancaman gempa.
FEMA L54 menyarankan untuk nilai cut-off atau ambang batas sebe sar 2.0 yang berarti 1
persen kemungkinan keruntuhan saat gempa atau "kemungkinan untuk rusak lebih dari dua
pertiga bagian (>60o/o) sebesar L% dalam rentang 50 tahun percepatan puncak tanah untuk
wilayah kegempaan di mana bangunan tersebut berada".
Makin rendah nilai S menunjukkan angka kerentanan yang gi dan meningkatkan probabilitas
bangunan untuk rusak dari 600/o). Daftar skor S dan artinya selengkapnya dapat Tabel 4.3.