Peran Keluarga Dalam Kesuksesan Pekerjaan - Kelompok 12 - MWFL
Peran Keluarga Dalam Kesuksesan Pekerjaan - Kelompok 12 - MWFL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Managing Work and Family Life
Disusun oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan tempat paling awal dan pertama bagi seseorang untuk dapat
mengenal dan memahami mengenai nilai penting dalam kehidupan. Keluarga juga merupakan
tempat untuk bisa saling berdiskusi bagi para anggotanya. Dalam kaitannya dengan pekerjaan,
keluarga juga tentunya berperan penting bagi kesuksesan karir dan pekerjaan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keluarga dan pekerjaan semestinya harus selalu berjalan
beriringan, seimbang dan tidak berat sebelah. Untuk menemukan keseimbangan di antara
keduanya, memang bukanlah suatu hal yang mudah. Namun, ketika kita menemukan titik
tengahnya, maka kesejahteraan dan manfaat yang diperoleh sangat besar dan berpengaruh
bagi kehidupan.
PEMBAHASAN
2.1 Menggabungkan Antara Keluarga dan Pekerjaan : Bukti dari Wanita Pakistan dan
Bangladesh
Oldham merupakan kota industri yang berada di utara Manchester yang saat
itu pernah menjadi pusat industri kapas di dunia. Di tahun 1950an terdapat upaya
untuk menghidupkan kembali industri di Oldham melalui pemasangan teknologi dan
pemberlakuan shift malam. Pada saat inilah perekrutan pekerja laki-laki dari Asia
Selatan dirancang untuk mengisi lowongan shift malam tersebut. Para imigran tersebut
datang ke Oldham dengan hanya memiliki sedikit kualifikasi pendidikan dan tidak
terlalu fasih berbahasa Inggris. Biasanya, setelah mereka mapan di suatu pekerjaan,
mereka akan membawa keluarganya untuk bergabung dan pindah ke perumahan
bertingkat bagi para pekerja pabrik. Namun di tahun 1980an, industri kapas
mengalami resesi yang berdampak kepada meningkatnya jumlah pengangguran bagi
kelompok migran. Akses ke pekerjaan alternatif juga terhambat sebab imigran tersebut
tidak memiliki cukup keterampilan dan pendidikan formal yang memadai ditambah
adanya diskriminasi yang dihadapi oleh para pekerja Asia Selatan saat mencari
pekerjaan.
Kelompok etnis minoritas terbesar yang ada di Oldham pada tahun 1999
diduduki oleh imigran asal Pakistan dengan 6,1% dan diikuti Bangladesh dengan 3,9%
dari populasi Borough. Hampir seluruhnya adalah beragama Muslim dan lahir serta
dididik di Inggris. Oldham sendiri termasuk wilayah yang relatif miskin. Hal ini
dibuktikan dengan 7 dari 20 distriknya yang berada dalam 10% wilayah terburuk
secara nasional menurut Departemen Perhubungan, Pemerintah Daerah dan Wilayah.
Pasar tenaga kerja yang ada di Oldham juga menawarkan pekerjaan dengan upah
rendah dan tingkat pendidikan di bawah rata-rata nasional, bukan hanya itu, terjadi
juga pemisahan pendidikan dan pemukiman bagi penduduk kulit putih dan Asia
sehingga membuat aspek sosial ekonomi di sana semakin terganggu.
2. The research questions and the data
Bukti empiris yang digunakan berasal dari gabungan data kuantitatif nasional
dan data kualitatif dari wawancara dan diskusi kelompok. Data kuantitatif diperoleh
berdasarkan statistik UCAS dan HESA yang memberikan informasi tentang sejauh
mana aplikasi untuk pendidikan tinggi dari anak muda Pakistan dan Bangladesh dan
preferensi mata pelajaran mereka dari waktu ke waktu, dibandingkan dengan
kelompok etnis lain. Sedangkan data wawancara individu dilakukan terhadap wanita
Pakistan dan Bangladesh di Oldham, yang dipilih untuk mewakili berbagai tahapan
siklus hidup, tingkat partisipasi pasar kerja yang berbeda, dan tingkat pendidikan yang
berbeda. Maka dari itu, partisipan untuk wawancara adalah wanita muda yang lahir
atau berpendidikan di Inggris serta wanita yang lebih tua yang mampu memberikan
beberapa wawasan tentang preferensi mereka untuk pendidikan dan pekerjaan anak-
anak mereka sendiri.
Pilihan pekerjaan bagi seorang perempuan bukan hanya didasarkan pada faktor
struktural dan sumber daya manusia saja, melainkan juga berdasar pada ekspektasi
budaya serta tekanan keluarga dan masyarakat. Maka dari itu, pemahaman dan
persepsi mengenai keputusan pernikahan bagi perempuan, pembentukan keluarga
serta pekerjaan menjadi topik yang relevan dan penting.
Berdasarkan pendapat salah satu wanita muda Pakistan, banyak perempuan
Pakistan tidak bekerja karena mereka terlalu sibuk dengan tanggung jawab keluarga,
sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk pekerjaan lain walaupun mereka
menginginkannya. Selain itu alasan kualifikasi pendidikan dan kecakapan bahasa
Inggris yang kurang menjadi hambatan yang cukup besar bagi perempuan Pakistan
dan Bangladesh dalam pasar tenaga kerja dan aktivitas ekonomi lainnya.
Terdapat beberapa perbedaan besar dalam cara-cara yang diterapkan pada anak
perempuan. Bagi sebagian besar keluarga yang masih tradisional, mereka terus
menganggap bahwa anak perempuan tidak boleh keluar sendirian dan melanjutkan
pendidikannya di universitas. Namun ada juga yang sebaliknya yang mengatakan
bahwa meskipun anak perempuan mereka tinggal jauh dari rumah, orang tua akan
mempercayai putrinya untuk berperilaku dengan cara yang pantas.
Kedua keluarga dengan paham yang berbeda ini menunjukkan bagaimana cara
mereka memperlakukan anak perempuannya. Bagi keluarga yang lebih modern dan
liberal, menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan membuat seorang
anak akan menjadi individu yang kuat dan mengerti tentang baik buruknya sesuatu.
Berbeda halnya dengan keluarga tradisional yang selalu menekankan pentingnya izzat
yang mengacu pada ajaran Islam. Dalam beberapa wawancara terdapat beberapa
wanita muda yang mengalami pembatasan secara ekstrem dan bertekad untuk tidak
akan memaksakan hal yang sama kepada anak-anak mereka di kemudian hari.
Oleh karena itu, bukti statistik menunjukkan bahwa ada keuntungan yang
sangat nyata yang diperoleh oleh kaum muda Pakistan dan Bangladesh khususnya
wanita dengan mempersempit kepemimpinan yang dipegang oleh pria dalam hal
masuk ke program tingkat sarjana. Ini sesuai dengan tekad yang diungkapkan dari
banyak anak muda yang diwawancarai untuk berhasil melawan rintangan dan
dorongan serta dukungan yang diberikan oleh orang tua dan keluarga. Komunitas
Pakistan dan Bangladesh di Inggris dicirikan oleh tingginya tingkat pengangguran dan
ketidakaktifan ekonomi, segregasi geografis yang sangat mencolok (Peach, 1996) dan
kemiskinan materi yang cukup besar (Blackburn et al., 1997; Karn et al., 1999) serta
siswa Asia Selatan yang cenderung memiliki level nilai A yang lebih rendah dari rata-
rata.
Hasil dari wawancara menghasilkan bahwa wanita lajang muda yang telah
meninggalkan pendidikan (semuanya berpendidikan di Inggris tetapi dengan berbagai
kualifikasi), melihat pekerjaan berbayar membawa manfaat positif. Mereka merasa
bahwa mereka memperoleh kemandirian dan harga diri dari suatu pekerjaan dan
beberapa juga melihat pekerjaan memberikan kebebasan dan kemampuan untuk
'keluar dari rumah'. Hal ini dapat dipahami dalam kaitannya dengan pandangan
'tradisional' bahwa perempuan tidak boleh mengambil pekerjaan di luar rumah.
Patut dicatat bahwa semua remaja putri yang diwawancarai menerima tanpa
bertanya-tanya bahwa mereka akan menikah dan memiliki anak. Mereka juga
meramalkan bahwa pernikahan cenderung mengarah pada beberapa kompromi dan
mereka akan kehilangan sebagian kebebasan individu mereka, terutama jika mereka
pindah ke rumah mertua mereka. Para wanita ini fasih dalam berbahasa Inggris
dengan kualifikasi yang diperoleh dari sistem pendidikan Inggris, dan hal ini
menghilangkan hambatan pekerjaan yang dihadapi oleh perempuan yang lebih tua dan
pendatang baru yang tidak fasih berbahasa Inggris.
Oleh karena itu, perempuan yang ingin bekerja seringkali harus membenarkan
keputusan tersebut. Mereka yang memiliki kualifikasi lebih tinggi tampak lebih
percaya diri dan lebih termotivasi untuk menentang pandangan tradisional ini tetapi
juga tetap menggunakan Alquran untuk membenarkan keputusan mereka. Beberapa
dari wanita ini juga harus menunjukkan resolusi dan tekad yang kuat untuk mencapai
kualifikasi mereka. Wanita dengan sedikit kualifikasi sering merasa dikalahkan oleh
pasar tenaga kerja karena mereka berpikir bahwa mereka tidak bersekolah sehingga
tidak memiliki kualifikasi dan tidak terlalu baik untuk pekerjaan apapun.
Namun, ketika ditanya secara khusus apakah dia ingin bekerja setelah menikah
yang direncanakan untuk tahun berikutnya dia menjawab bahwa ia telah berbicara
dengan calon suaminya tentang hal ini dan suaminya mengatakan bahwa ini baik-baik
saja dan tidak akan keberatan jika ia memiliki pekerjaan selama tidak
mengabaikannya dan menjalani kewajiban menjadi seorang istri.
Penting bagi seorang wanita yang memiliki kualifikasi seperti pendidikan yang
tinggi dan prospek kerja yang baik akan lebih memilih untuk mengambil pekerjaan.
Mereka memiliki keyakinan pada kemampuan mereka sendiri dan juga lebih
cenderung menikah dengan pria yang menerima pandangan mereka tentang wanita
yang bekerja.
Di negara Pakistan wanita yang sudah menikah dituntut untuk menaati nilai-
nilai tradisional atau nilai tradisi karena itu banyak orang tua dan mertua melarang
seorang wanita untuk bekerja karena faktor nilai-nilai yang dianut oleh negara
pakistan. Tetapi lain dengan seorang wanita yang sudah menikah dan tinggal di
negara lain seperti Inggris serta mengenyam pendidikan di universitas dan bekerja,
tampak memiliki kemandirian yang cukup, memiliki komitmen tinggi terhadap karir
mereka tetapi juga berkomitmen untuk berperan sebagai istri dan ibu.
Multivariate Analysis
Model perilaku kerja yang dihasilkan untuk wanita kulit putih menunjukkan
bahwa peningkatan pencapaian pendidikan mengarah pada peningkatan tajam dalam
tingkat aktivitas ekonomi, terutama di antara wanita dengan anak kecil (Macran, Joshi
dan Dex, 1996; Dale dan Egerton, 1997). Namun, kami tidak dapat berasumsi bahwa
faktor yang mempengaruhi perilaku kerja perempuan kulit putih akan sama untuk
perempuan Pakistan dan Bangladesh yang jelas memasuki pasar tenaga kerja dalam
keadaan yang sangat berbeda (Brah dan Shaw, 1992; Brah, 1993,1996).Dengan
menggunakan bukti dari wawancara untuk melihat faktor-faktor apa yang
mempengaruhi perilaku kerja perempuan Pakistan dan Bangladesh.
● (Menikah dengan Pakistan, 23, tidak punya anak, gelar, sekarang bekerja
penuh waktu) sesuai dengan diskusi yang saya lakukan dengan suami saya
tentang bekerja paruh waktu atau full time, saya diijinkan oleh suami saya
untuk bekerja secara full time.
● (Apoteker Pakistan, menikah, 26 tahun, tanpa anak), Saya pikir saya juga
ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak saya dan dengan itu
datanglah keamanan finansial dan saya pikir, seperti halnya penghasilan suami
saya, saya ingin melakukan pekerjaan paruh waktu, oleh karena itu anak-anak
saya akan mendapatkan yang terbaik, jadi ya saya akan melakukannya.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ada bukti yang sangat jelas tentang perubahan lintas generasi. Berbeda dengan
generasi ibu mereka, di mana keluarga diprioritaskan dan hanya ada sedikit peluang untuk
pekerjaan berbayar di luar rumah, wanita yang lebih muda yang pernah menempuh
pendidikan di Inggris melihat pekerjaan berbayar sebagai sarana untuk kemandirian dan
harga diri. Meskipun pekerjaan bukanlah sesuatu yang dianggap remeh dan banyak
perempuan harus berdebat dengan keluarga mereka untuk diizinkan bekerja, namun, semua
perempuan yang diwawancarai berharap untuk menikah (jika mereka belum menikah) dan
berasumsi bahwa mereka akan memiliki anak. Mereka juga menerima bahwa hal ini
memerlukan beberapa penyesuaian. Wanita dengan kualifikasi tingkat tinggi sering kali
menunjukkan tekad yang kuat untuk menggabungkan pekerjaan berbayar dan pengasuhan
anak. Sementara sebagian besar wanita sangat menganut sentralitas keluarga, jelas bahwa
mayoritas akan mengikuti jalan hidup yang sangat berbeda dari ibu mereka. Namun, ada
pertanyaan penting yang belum terjawab tentang bagaimana para wanita ini akan
menggabungkan tuntutan persaingan kerja dan keluarga. Dibandingkan dengan perempuan
kulit putih, perempuan pekerja Pakistan dan Bangladesh menghadapi lebih banyak kesulitan
dalam mendamaikan pekerjaan dan keluarga. Ini termasuk konteks budaya di mana, secara
tradisional, seorang wanita masih diharapkan untuk memberikan prioritas pada keluarga dan
kehidupan rumah tangga dan budaya tempat kerja yang, biasanya, membuat sedikit
kelonggaran untuk persyaratan fasilitas sholat atau untuk liburan selama perayaan Idul Fitri
atau untuk haji, Oleh karena itu, para wanita ini mengalami kendala tambahan baik di rumah
maupun di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Houston, D. M. (2005). Work Life Balance in the 21st Century. Palgrave Macmillan.
Weinstein, Sharon M. 2015. B is For Balance: 12 Steps Toward a More Balanced Life at
Home and at Work. USA: - Sigma Theta Tau International.