Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERAN KELUARGA DALAM KESUKSESAN PEKERJAAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Managing Work and Family Life

Dosen Pengampu : Drs. Heru Susilo, M.A.

Disusun oleh :

Binsar Ferdinand (185030200111053)

Muqorrobin Affan (185030200111138)

Aulia Audrey G.V (185030201111035)

Sylvania Risvie Y. (185030207111029)

Ferdion Gerry Alfeus (185030207111090)

Mohammad Febrianika Syah R. T. (185030207111103)

Jodi Putra Sasmita (185030207111105)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan tempat paling awal dan pertama bagi seseorang untuk dapat
mengenal dan memahami mengenai nilai penting dalam kehidupan. Keluarga juga merupakan
tempat untuk bisa saling berdiskusi bagi para anggotanya. Dalam kaitannya dengan pekerjaan,
keluarga juga tentunya berperan penting bagi kesuksesan karir dan pekerjaan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keluarga dan pekerjaan semestinya harus selalu berjalan
beriringan, seimbang dan tidak berat sebelah. Untuk menemukan keseimbangan di antara
keduanya, memang bukanlah suatu hal yang mudah. Namun, ketika kita menemukan titik
tengahnya, maka kesejahteraan dan manfaat yang diperoleh sangat besar dan berpengaruh
bagi kehidupan.

Sebenarnya, banyak pertanyaan mengenai definisi sukses yang sesungguhnya. Banyak


orang beranggapan bahwa sukses adalah ketika kita dapat melakukan apa yang kita mau
dengan mandiri dan tanpa bantuan serta dukungan dari orang lain. Lalu sebagian orang yang
lain menganggap bahwa sukses berarti dikenal banyak orang, memiliki reputasi yang baik,
kekayaan yang melimpah dan memiliki jabatan atau posisi yang tinggi dalam pekerjaannya.
Tetapi sekali lagi, hal yang perlu diingat adalah bahwa kesuksesan tidak akan berarti apa-apa
tanpa memiliki hubungan dengan orang lain, baik itu masyarakat, teman atau bahkan yang
paling utama adalah dukungan dari keluarga.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami penggabungan antara Keluarga dan Pekerjaan.


2. Untuk memahami peran keluarga dalam kesuksesan pekerjaan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Menggabungkan Antara Keluarga dan Pekerjaan : Bukti dari Wanita Pakistan dan
Bangladesh

1. The Pakistani and Bangladeshi communities in Oldham

Oldham merupakan kota industri yang berada di utara Manchester yang saat
itu pernah menjadi pusat industri kapas di dunia. Di tahun 1950an terdapat upaya
untuk menghidupkan kembali industri di Oldham melalui pemasangan teknologi dan
pemberlakuan shift malam. Pada saat inilah perekrutan pekerja laki-laki dari Asia
Selatan dirancang untuk mengisi lowongan shift malam tersebut. Para imigran tersebut
datang ke Oldham dengan hanya memiliki sedikit kualifikasi pendidikan dan tidak
terlalu fasih berbahasa Inggris. Biasanya, setelah mereka mapan di suatu pekerjaan,
mereka akan membawa keluarganya untuk bergabung dan pindah ke perumahan
bertingkat bagi para pekerja pabrik. Namun di tahun 1980an, industri kapas
mengalami resesi yang berdampak kepada meningkatnya jumlah pengangguran bagi
kelompok migran. Akses ke pekerjaan alternatif juga terhambat sebab imigran tersebut
tidak memiliki cukup keterampilan dan pendidikan formal yang memadai ditambah
adanya diskriminasi yang dihadapi oleh para pekerja Asia Selatan saat mencari
pekerjaan.

Kelompok etnis minoritas terbesar yang ada di Oldham pada tahun 1999
diduduki oleh imigran asal Pakistan dengan 6,1% dan diikuti Bangladesh dengan 3,9%
dari populasi Borough. Hampir seluruhnya adalah beragama Muslim dan lahir serta
dididik di Inggris. Oldham sendiri termasuk wilayah yang relatif miskin. Hal ini
dibuktikan dengan 7 dari 20 distriknya yang berada dalam 10% wilayah terburuk
secara nasional menurut Departemen Perhubungan, Pemerintah Daerah dan Wilayah.
Pasar tenaga kerja yang ada di Oldham juga menawarkan pekerjaan dengan upah
rendah dan tingkat pendidikan di bawah rata-rata nasional, bukan hanya itu, terjadi
juga pemisahan pendidikan dan pemukiman bagi penduduk kulit putih dan Asia
sehingga membuat aspek sosial ekonomi di sana semakin terganggu.
2. The research questions and the data

Dalam penelitian ini, secara khusus peneliti menanyakan tentang perubahan


seperti apa yang dapat diharapkan di antara wanita muda Pakistan dan Bangladesh
yang dibesarkan di Inggris. Selain itu, bagaimana kualifikasi pendidikan dan
pembentukan keluarga yang diharapkan untuk mempengaruhi partisipasi pada pasar
tenaga kerja di antara wanita tersebut. Hambatan seperti apa yang dihadapi, sejauh
mana keluarga dan masyarakat memberlakukan hambatan-hambatan tersebut dan
sejauh mana hambatan itu diberlakukan oleh pasar tenaga kerja lokal.

Bukti empiris yang digunakan berasal dari gabungan data kuantitatif nasional
dan data kualitatif dari wawancara dan diskusi kelompok. Data kuantitatif diperoleh
berdasarkan statistik UCAS dan HESA yang memberikan informasi tentang sejauh
mana aplikasi untuk pendidikan tinggi dari anak muda Pakistan dan Bangladesh dan
preferensi mata pelajaran mereka dari waktu ke waktu, dibandingkan dengan
kelompok etnis lain. Sedangkan data wawancara individu dilakukan terhadap wanita
Pakistan dan Bangladesh di Oldham, yang dipilih untuk mewakili berbagai tahapan
siklus hidup, tingkat partisipasi pasar kerja yang berbeda, dan tingkat pendidikan yang
berbeda. Maka dari itu, partisipan untuk wawancara adalah wanita muda yang lahir
atau berpendidikan di Inggris serta wanita yang lebih tua yang mampu memberikan
beberapa wawasan tentang preferensi mereka untuk pendidikan dan pekerjaan anak-
anak mereka sendiri.

Dalam wawancara yang dilakukan, peneliti tidak dapat mengklaim bahwa


hasilnya dapat mewakili populasi Pakistan dan Bangladesh yang ada di Oldham, maka
dari itu peneliti juga menggunakan data dari Survei Etnis Minoritas Nasional Keempat
PSI yang dirancang khusus untuk kelompok etnis minoritas di Inggris.

3. The employment context for Pakistani and Bangladeshi women

Pilihan pekerjaan bagi seorang perempuan bukan hanya didasarkan pada faktor
struktural dan sumber daya manusia saja, melainkan juga berdasar pada ekspektasi
budaya serta tekanan keluarga dan masyarakat. Maka dari itu, pemahaman dan
persepsi mengenai keputusan pernikahan bagi perempuan, pembentukan keluarga
serta pekerjaan menjadi topik yang relevan dan penting.
Berdasarkan pendapat salah satu wanita muda Pakistan, banyak perempuan
Pakistan tidak bekerja karena mereka terlalu sibuk dengan tanggung jawab keluarga,
sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk pekerjaan lain walaupun mereka
menginginkannya. Selain itu alasan kualifikasi pendidikan dan kecakapan bahasa
Inggris yang kurang menjadi hambatan yang cukup besar bagi perempuan Pakistan
dan Bangladesh dalam pasar tenaga kerja dan aktivitas ekonomi lainnya.

Di kalangan tradisional, wanita Pakistan memang banyak yang menikah di usia


muda, yaitu sekitar usia 16 atau 17 tahun. Banyak responden pula yang mengatakan
bahwa mereka menikah dengan diatur oleh orang tuanya, meskipun sebelumnya juga
telah bertemu dengan calon pasangan dan atas persetujuan mereka. Selain itu, setelah
menikah, wanita Pakistan akan bergabung dengan keluarga suami dan kedua
mertuanya memainkan peran penting yang berhubungan dengan keputusan
pekerjaannya.

4. Post-Compulsory Education for Pakistani and Bangladeshi Girls

Bagi mayoritas komunitas Asia di Oldham, penting bagi seorang anak


perempuan untuk menjaga nama baik keluarga dan menghindari perilaku apapun yang
dapat merusak kehormatan keluarga (izzat). Jika gadis tersebut berperilaku buruk,
maka keluarganya akan menderita dan tidak lagi dapat diterima oleh masyarakat. Hal
ini akhirnya berimplikasi pada kelanjutan pendidikan pasca 16 tahun bagi anak
perempuan dimana orang tua tidak bisa mengawasi aktivitas anak perempuan mereka,
berbeda halnya dengan anak laki-laki yang tidak memiliki batasan seperti layaknya
anak perempuan.

Terdapat beberapa perbedaan besar dalam cara-cara yang diterapkan pada anak
perempuan. Bagi sebagian besar keluarga yang masih tradisional, mereka terus
menganggap bahwa anak perempuan tidak boleh keluar sendirian dan melanjutkan
pendidikannya di universitas. Namun ada juga yang sebaliknya yang mengatakan
bahwa meskipun anak perempuan mereka tinggal jauh dari rumah, orang tua akan
mempercayai putrinya untuk berperilaku dengan cara yang pantas.

Kedua keluarga dengan paham yang berbeda ini menunjukkan bagaimana cara
mereka memperlakukan anak perempuannya. Bagi keluarga yang lebih modern dan
liberal, menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan membuat seorang
anak akan menjadi individu yang kuat dan mengerti tentang baik buruknya sesuatu.
Berbeda halnya dengan keluarga tradisional yang selalu menekankan pentingnya izzat
yang mengacu pada ajaran Islam. Dalam beberapa wawancara terdapat beberapa
wanita muda yang mengalami pembatasan secara ekstrem dan bertekad untuk tidak
akan memaksakan hal yang sama kepada anak-anak mereka di kemudian hari.

Melanjutkan pendidikan di wilayah Oldham sendiri sebenarnya tidak terlalu


beresiko daripada pergi ke luar Oldham, sebab universitas yang cukup ternama disana
berada di pusat Oldham sehingga para orang tua tentunya akan mengetahui jika
anaknya melakukan suatu tindakan yang buruk dan melampaui batas norma. Para anak
perempuan ini juga mengatakan bahwa orang tua mereka sebenarnya khawatir jika
anaknya mengikuti mode pakaian barat dan melampaui batasan. Rasa khawatir ini
akan bertambah jika anak perempuannya menempuh pendidikan di luar negeri yang
berarti sulit bagi keluarga untuk mengendalikan anak tersebut. “Teladan” disebut
sebut memberikan kepastian bagi orang tua, dimana ketika misalnya sepupu yang
lebih tua berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya, hal ini membuat orang tua
lebih percaya dan lebih mudah untuk memberikan izin. Sekali lagi, perlu diingat
bahwa tidak semua wawancara menunjukkan hasil dimana orang tua mengizinkan
anak perempuannya untuk dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi, beberapa
kasus yang terjadi adalah bahwa mereka dicegah atau bahkan dilarang untuk
melanjutkan pendidikan.

5. Uptake of higher education

Wawancara Oldham menunjukkan, bahwa adanya peningkatan dalam


penggunaan pendidikan tinggi di antara wanita muda Pakistan dan Bangladesh. Angka
Survei Angkatan Kerja untuk usia 19-24 tahun yang belajar untuk gelar pertama atau
lebih tinggi pada tahun 1995 (ONS, 1996) menunjukkan tingkat nasional yang sangat
mirip untuk orang kulit putih dan Pakistan dan Bangladesh orang muda yaitu sekitar
13-14 persen namun jauh lebih rendah dari 30 persen orang India dalam kelompok
usia ini.

Pendaftaran untuk program gelar, terdapat peningkatan yang mencolok di


antara orang Asia Selatan, terutama untuk wanita Bangladesh dan Pakistan yaitu
masing-masing sebesar 83% dan 60%. Selain itu juga adanya penurunan aplikasi dari
pria selama periode waktu ini dan hanya sedikit peningkatan diantara wanita kulit
putih. Badan Statistik Pendidikan Tinggi (HESA) memberi rincian jumlah siswa full-
time degree yang berdomisili di Inggris Raya yang menunjukan peningkatan 95 persen
untuk wanita Bangladesh dan 71 persen untuk wanita Pakistan antara tahun 1994/5
dan 1998/9. Dan juga peningkatan untuk pria Bangladesh dan Pakistan, untuk periode
waktu yang sama, masing-masing adalah 21 persen dan 44 persen.

Ada juga indikasi perempuan muda Pakistan dan Bangladesh sedang


mempersempit kesenjangan gender dalam pendidikan tinggi. Di antara siswa tahun
pertama berdomisili Inggris tingkat sarjana penuh waktu untuk tahun 1994/5,
perempuan mewakili 38 persen dari Pakistan dan Bangladesh. Pada 1999/2000, angka
ini meningkat masing-masing menjadi 44 persen dan 46 persen.

Oleh karena itu, bukti statistik menunjukkan bahwa ada keuntungan yang
sangat nyata yang diperoleh oleh kaum muda Pakistan dan Bangladesh khususnya
wanita dengan mempersempit kepemimpinan yang dipegang oleh pria dalam hal
masuk ke program tingkat sarjana. Ini sesuai dengan tekad yang diungkapkan dari
banyak anak muda yang diwawancarai untuk berhasil melawan rintangan dan
dorongan serta dukungan yang diberikan oleh orang tua dan keluarga. Komunitas
Pakistan dan Bangladesh di Inggris dicirikan oleh tingginya tingkat pengangguran dan
ketidakaktifan ekonomi, segregasi geografis yang sangat mencolok (Peach, 1996) dan
kemiskinan materi yang cukup besar (Blackburn et al., 1997; Karn et al., 1999) serta
siswa Asia Selatan yang cenderung memiliki level nilai A yang lebih rendah dari rata-
rata.

6. The role of qualifications in the labour market

Hasil dari wawancara menghasilkan bahwa wanita lajang muda yang telah
meninggalkan pendidikan (semuanya berpendidikan di Inggris tetapi dengan berbagai
kualifikasi), melihat pekerjaan berbayar membawa manfaat positif. Mereka merasa
bahwa mereka memperoleh kemandirian dan harga diri dari suatu pekerjaan dan
beberapa juga melihat pekerjaan memberikan kebebasan dan kemampuan untuk
'keluar dari rumah'. Hal ini dapat dipahami dalam kaitannya dengan pandangan
'tradisional' bahwa perempuan tidak boleh mengambil pekerjaan di luar rumah.
Patut dicatat bahwa semua remaja putri yang diwawancarai menerima tanpa
bertanya-tanya bahwa mereka akan menikah dan memiliki anak. Mereka juga
meramalkan bahwa pernikahan cenderung mengarah pada beberapa kompromi dan
mereka akan kehilangan sebagian kebebasan individu mereka, terutama jika mereka
pindah ke rumah mertua mereka. Para wanita ini fasih dalam berbahasa Inggris
dengan kualifikasi yang diperoleh dari sistem pendidikan Inggris, dan hal ini
menghilangkan hambatan pekerjaan yang dihadapi oleh perempuan yang lebih tua dan
pendatang baru yang tidak fasih berbahasa Inggris.

Wawancara memberikan bukti luar biasa tentang peran kualifikasi pendidikan


yang diperoleh di Inggris dalam mempromosikan partisipasi pasar tenaga kerja.
Pengaruh kualifikasi terlihat dalam dua cara. Pertama, untuk wanita kulit putih
kualifikasi memberikan persyaratan masuk untuk banyak pekerjaan, terutama di sektor
non-manual, namun untuk pelamar Asia kualifikasi yang dimiliki harus lebih baik
ketimbang pelamar berkulit putih agar memiliki peluang sukses yang serupa. Kedua,
pandangan tradisional masyarakat Asia di Oldham adalah bahwa perempuan tidak
boleh bekerja di luar rumah. Pernyataan ini sering diperkuat dengan menyerukan
ajaran Islam yaitu dimana Islam tidak memperbolehkan wanita bekerja diluar rumah,
jadi selama mereka bisa tinggal di rumah, itu lebih baik.

Oleh karena itu, perempuan yang ingin bekerja seringkali harus membenarkan
keputusan tersebut. Mereka yang memiliki kualifikasi lebih tinggi tampak lebih
percaya diri dan lebih termotivasi untuk menentang pandangan tradisional ini tetapi
juga tetap menggunakan Alquran untuk membenarkan keputusan mereka. Beberapa
dari wanita ini juga harus menunjukkan resolusi dan tekad yang kuat untuk mencapai
kualifikasi mereka. Wanita dengan sedikit kualifikasi sering merasa dikalahkan oleh
pasar tenaga kerja karena mereka berpikir bahwa mereka tidak bersekolah sehingga
tidak memiliki kualifikasi dan tidak terlalu baik untuk pekerjaan apapun.

Ini menunjukkan bahwa peran kualifikasi mungkin memiliki dampak yang


lebih besar bagi wanita Asia daripada wanita kulit putih dan, memang, analisis Survei
Nasional Keempat Minoritas Etnis (Dale et al., 2002) menunjukkan bahwa memang
demikianlah masalahnya. Hampir semua wanita Pakistan dan Bangladesh dengan
kualifikasi di tingkat A keatas aktif secara ekonomi dibandingkan dengan hanya 13
persen wanita tanpa kualifikasi.
Secara umum, analisis survei PSI menunjukkan bahwa wanita Pakistan dan
Bangladesh yang pernah mengalami sistem pendidikan yang sama dengan wanita kulit
putih mencapai tingkat kualifikasi yang sama atau lebih tinggi dan menunjukkan
tingkat aktivitas ekonomi yang serupa atau lebih tinggi (Dale et al., 2002). Namun,
angka-angka ini tidak mengontrol efek perkawinan dan melahirkan anak.

7. Marriage and family

Dalam wawancara kami, dibandingkan dengan penduduk kulit putih, orang


Asia lebih memprioritaskan keluarga mereka. Oleh karena itu, kami tertarik pada
peran yang dimainkan oleh kualifikasi pendidikan dan potensi pekerjaan dalam
kaitannya dengan keputusan tentang prioritas keluarga dan pekerjaan berbayar setelah
menikah dan melahirkan anak.

Younger single women

Seorang wanita Bangladesh berusia 21 tahun dengan kualifikasi di tingkat


GNVQ memberi tanggapan atas pertanyaan tentang arti pekerjaan baginya, ia
menjawab bahwa memiliki pekerjaan berarti memiliki kebebasan menjadi pribadi dan
individu, ia merasa di tempat kerja bisa menjadi profesional dan dewasa serta bekerja
berarti bersosialisasi dan mencari teman baru itu baik”

Namun, ketika ditanya secara khusus apakah dia ingin bekerja setelah menikah
yang direncanakan untuk tahun berikutnya dia menjawab bahwa ia telah berbicara
dengan calon suaminya tentang hal ini dan suaminya mengatakan bahwa ini baik-baik
saja dan tidak akan keberatan jika ia memiliki pekerjaan selama tidak
mengabaikannya dan menjalani kewajiban menjadi seorang istri.

Responden lain memberikan komentar serupa, di satu sisi menegaskan


pentingnya pekerjaan berbayar dalam memberi mereka pengakuan sebagai individu
dan di sisi lain, menerima bahwa setelah menikah, individualitas mungkin dimasukkan
dalam kehidupan keluarga yang seringkali termasuk tinggal dengan mertua. Dengan
demikian, para wanita pekerja muda ini menikmati kebebasan yang datang dengan
pekerjaan berbayar tetapi juga menerima bahwa mereka akan menikah dan memiliki
anak. Mereka juga meramalkan bahwa hal ini dapat menyebabkan beberapa kompromi
dan hilangnya kebebasan individu mereka terutama saat tinggal dengan mertua.
Berbeda dengan wanita Muslim yang diwawancarai oleh Afshar (1994) di
Bradford, wanita ini tampaknya tidak melihat pernikahan sebagai memberi mereka
kebebasan dari orang tua mereka sendiri, tetapi sebagai ancaman potensial terhadap
kemerdekaan yang mereka capai melalui pekerjaan berbayar. Namun, kita harus ingat
bahwa pandangan yang dilaporkan di atas berasal dari kelompok perempuan muda
yang sudah memiliki kebebasan untuk bekerja dengan bayaran. Tidak semua remaja
putri atau orang tua mereka memegang pandangan ini. Wanita dari keluarga
tradisional kemungkinan besar akan segera menikah setelah meninggalkan sekolah
tanpa harus bekerja di luar rumah.

Younger Married Women

Penting bagi seorang wanita yang memiliki kualifikasi seperti pendidikan yang
tinggi dan prospek kerja yang baik akan lebih memilih untuk mengambil pekerjaan.
Mereka memiliki keyakinan pada kemampuan mereka sendiri dan juga lebih
cenderung menikah dengan pria yang menerima pandangan mereka tentang wanita
yang bekerja.

Di negara Pakistan wanita yang sudah menikah dituntut untuk menaati nilai-
nilai tradisional atau nilai tradisi karena itu banyak orang tua dan mertua melarang
seorang wanita untuk bekerja karena faktor nilai-nilai yang dianut oleh negara
pakistan. Tetapi lain dengan seorang wanita yang sudah menikah dan tinggal di
negara lain seperti Inggris serta mengenyam pendidikan di universitas dan bekerja,
tampak memiliki kemandirian yang cukup, memiliki komitmen tinggi terhadap karir
mereka tetapi juga berkomitmen untuk berperan sebagai istri dan ibu.

Namun, tidak semua perempuan memiliki ibu mertua yang menginginkan


mereka tetap tinggal di rumah. Sejumlah wanita yang kami wawancarai merasa ibu
mertua mereka mendukung dan membantu. Jelas bahwa kekuasaan yang dijalankan
oleh mertua dinegosiasikan dan bahwa pendidikan dan pekerjaan keduanya signifikan
dalam memberi anak perempuan dalam hukum kekuatan tawar-menawar dan
kepercayaan diri. Maka cara yang digunakan seperti menggabungkan pekerjaan paruh
waktu dan mengurus anak tampaknya menawarkan keseimbangan dalam kehidupan
berkeluarga dan pekerjaan.
8. Analysis of fourth ethnic minority survey

Sesuai dengan survei PSI (Dale, 2002) :

● Wanita Pakistan dan Bangladesh tanpa anak menunjukkan tingkat aktivitas


ekonomi yang sama dengan rekan kulit putih mereka (lebih dari 90% aktif
secara ekonomi).
● wanita Pakistan dan Bangladesh yang memiliki pasangan tetapi tidak memiliki
anak, aktivitas ekonomi 66 persen jauh lebih rendah daripada wanita kulit
putih dalam kategori ini (83%).
● wanita Pakistan dan Bangladesh yang memiliki pasangan dan anak-anak
aktivitas ekonominya paling rendah - sekitar 10 persen - dan sangat kontras
dengan wanita kulit putih (72%).

Dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab keluarga mempengaruhi aktivitas


ekonomi wanita di Pakistan dan Bangladesh daripada wanita kulit putih. Ini mungkin
karena tradisi yang dianut oleh negara pakistan dan bangladesh yaitu wanita yang
sudah menikah serta memiliki anak akan dituntut untuk melakukan pekerjaan dirumah
seperti mengurusi suaminya atau anaknya.

Multivariate Analysis

Model perilaku kerja yang dihasilkan untuk wanita kulit putih menunjukkan
bahwa peningkatan pencapaian pendidikan mengarah pada peningkatan tajam dalam
tingkat aktivitas ekonomi, terutama di antara wanita dengan anak kecil (Macran, Joshi
dan Dex, 1996; Dale dan Egerton, 1997). Namun, kami tidak dapat berasumsi bahwa
faktor yang mempengaruhi perilaku kerja perempuan kulit putih akan sama untuk
perempuan Pakistan dan Bangladesh yang jelas memasuki pasar tenaga kerja dalam
keadaan yang sangat berbeda (Brah dan Shaw, 1992; Brah, 1993,1996).Dengan
menggunakan bukti dari wawancara untuk melihat faktor-faktor apa yang
mempengaruhi perilaku kerja perempuan Pakistan dan Bangladesh.

● (Menikah dengan Pakistan, 23, tidak punya anak, gelar, sekarang bekerja
penuh waktu) sesuai dengan diskusi yang saya lakukan dengan suami saya
tentang bekerja paruh waktu atau full time, saya diijinkan oleh suami saya
untuk bekerja secara full time.
● (Apoteker Pakistan, menikah, 26 tahun, tanpa anak), Saya pikir saya juga
ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak saya dan dengan itu
datanglah keamanan finansial dan saya pikir, seperti halnya penghasilan suami
saya, saya ingin melakukan pekerjaan paruh waktu, oleh karena itu anak-anak
saya akan mendapatkan yang terbaik, jadi ya saya akan melakukannya.

Analisis menunjukkan semakin banyak wanita muda Pakistan dan Bangladesh


dengan kualifikasi lebih tinggi berhadap untuk bekerja secara full time, setidaknya
sampai mereka memiliki anak. Namun para wanita tersebut kemungkinan besar akan
menghadapi masalah tambahan dalam mencapai tujuan ini.

● Pertama tingkat pengangguran wanita di Pakistan dan Bangladesh jauh lebih


tinggi daripada wanita kulit putih ini karena perbedaan jumlah lapangan
pekerjaan yang dibuka.
● Kedua setelah wanita mendapatkan pekerjaan, bagaimanapun wanita akan
menghadapi tekanan keluarga serta tradisi yang dianut oleh negara Pakistan
dan Bangladesh.

2.2 Peran Keluarga Dalam Kesuksesan Pekerjaan

2.2.1 Peran Pendidikan dalam Meraih Kesuksesan

Ada 3 (tiga) teori yang melandasi dunia pendidikan, yaitu:


1.Teori Tabularasa (John Locke)
2.Teori Nativisme (Schopenhauer)
3.Teori Konvergensi (Wlliam Stern)

a. Teori Tabularasa (John Locke)


Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat
diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi. Jadi, sejak lahir anak itu tidak
mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak
pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan
berkuasa atas pembentukan anak.
Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu
aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan
manusia itu timbul dari pengalaman (empiris) yang masuk melalui alat indera. Aliran
ini disebut juga aliran optimisme. Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan
teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan,
atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme adalah
pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam
lingkungan seorang anak.

b. Teori Navitisme (Schopenhauer)


Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah
mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya
masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada baik dan ada yang buruk. Aliran
Nativisme berpendapat bahwa pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa
dalam hal pendidikan anak. Aliran Pendidikan yang menganut paham nativisme ini
disebut aliran pesimisme. Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua teori
tersebut ada benarnya dan ada pula yang tidak benarnya. Maka dari itu, untuk
mengambil kebenaran dari keduanya, William Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman,
telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori konvergensi.

c. Teori Konvergensi (William Stern)

Teori Konvergensi adalah teori yang menggabungkan teori tabularasa dan


nativisme. Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki
potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu
harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan,
oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan perkembangan semaksimal
mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga,
masyarakat, nusa, dan bangsanya.
2.2.2 Faktor-faktor dalam Meraih Kesuksesan
Berdasarkan dari beberapa teori tersebut di atas, maka seorang individu dalam
tumbuh berkembangnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Individu akan
berhasil berkembang secara maksimal jika secara herediter (keturunan) baik, tumbuh
berkembang di lingkungan yang sangat mendukung untuk perkembangan potensi
yang dimiliki individu tersebut secara herediter.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam mengantarkan seseorang sukses
dalam pekerjaan adalah faktor keluarga. Keluarga merupakan salah satu ruang
lingkup pendidikan yang sifatnya sangat mendasar. Keluarga merupakan sumber
inspirasi yang tak pernah habis ditelan zaman. Karena, keluarga adalah penopang
kesuksesan. Keluarga merapakan sumber motivasi diri untuk sukses. Tentunya,
dengan menanamkan keyakinan bahwa, setiap manusia memiliki bekal atau potensi
untuk mencapai kesuksesan. Siapa yang paling mampu mengelola potensi dan
memaksimalkannya, maka ialah yang paling berpeluang mencapai sukses.
Keluarga sebagai pendukung kesuksesan individu dalam bekerja diharapkan
mampu menciptakan suasana suasana akrab, nyaman, dan bahagia. Dalam keluarga
kita harus memahami hak, kewajiban, tugas, dan fungsi masing-masing.
Terkadang terjadi kesalahpahaman, diupayakan segera diselesaikan. Sehingga,
tidak menganggu peningkatan karir dan mengembangkan komitmen keilmuan dengan
terus berkarya.
Lingkungan rumah tempat tinggal juga dapat sebagai sumber motivasi untuk
sukses. Seseorang yang tinggal di lingkungan yang kumuh, banyak pemuda yang
pengangguran akan berbeda dengan lingkungan tempat tinggal atau perumahan yang
rata-rata penghuninya orangs ukses atau orang terdidik. Tinggal di lingkungan
perumahan membuat setiap keluarga menjadi sorotan bagi keluarga yang lain.
Sehingga segala sesuatu yang kita lakukan akan mendapatkan sorotan para tetangga
kita. Demikian juga kita akan bisa mengamati kehidupan para tetangga kita. Suatu aib
yang besar jika tinggal di lingkungan perumahan seandainya salah satu anggota
keluarga kita melakukan suatu hal yang tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat.
Sisi positif tinggal di perumahan adalah memacu kita untuk dapat berhasil dengan
baik dalam berinteraksi sosial maupun dalam meraih kesuksesan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka selain keluarga ternyata lingkungan
tempat tinggal kita juga bisa dijadikan sumber inspirasi atau penumbuh semangat bagi
kita dalam mencapai kesuksesan. Lingkungan keluarga yang harmonis dengan pola
didik yang bagus akan memiliki peran penting dalam seseorang individu dalam
meraih suksesnya. Demikian juga lingkungan dimana tempat tinggal suatu individu
berada kalau norma-norma dan tatanan hidup bertetangga baik juga akan sangat
mendukung keberhasilan individu tersebut dalam mencapai keseuksesan
karir/pekerjaannya.

2.2.3 Peran / Dukungan Keluarga dalam Kesuksesan Pekerjaan


Keluarga adalah tempat belajar pertama seseorang di dunia ini, maka keluarga
merupakan salah satu penunjang paling vital yang membuat orang sukses (Edward,
2013). Banyak orang mengatakan bahwa keluarga adalah kelompok terkecil dalam
kehidupan sosial dan juga kelompok orang pertama yang mengajari Anda tentang
dasar-dasar kehidupan yang penting. Misalnya, mereka mengajari Anda norma dan
nilai kehidupan serta mengajari Anda apa yang benar dan salah. Apalagi keluarga
merupakan lembaga yang memiliki fungsi dalam mendidik kepribadian anak sejak
mereka lahir.
Selain itu, keluarga selalu mendidik anak dan memberikan bimbingan tentang
nilai-nilai pribadi dan perilaku sosial kepada anaknya. Selain itu, keluarga
berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga. Misalnya, keluarga adalah
lembaga pertama yang membangun kualitas hidup anggota keluarga untuk
memperoleh pendidikan dan kehidupan sosial yang lebih baik, serta keluarga
memiliki fungsi untuk menentukan status anggota keluarga seperti kebangsaan, agama
dan kepercayaan.
Lebih lanjut, dukungan keluarga dapat membantu orang untuk
mengembangkan hubungan interpersonal yang positif (Edward, 2013). Misalnya,
nilai, sikap, keyakinan, keyakinan, bahkan budaya yang diajarkan dan dibina oleh
keluarga dapat memberikan pikiran perspektif yang positif dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dari perspektif lain, dukungan keluarga memberi kita bekal ekonomi dan
dukungan emosional. Menurut Canavan, Dolan & Pinkerton (2000), banyak orang
percaya bahwa dukungan ekonomi dan dukungan emosional adalah fungsi umum
dalam keluarga saat ini dan fungsi ini mengarah pada kesuksesan anak. Pertama-tama,
keluarga adalah fondasi dasar dari institusi ekonomi masyarakat. Fungsi ekonomi
keluarga penting untuk kesuksesan anak. Misalnya, dukungan ekonomi dari orang tua
memperluas kesempatan anak-anak dalam kehidupan pendidikan dan sosial.
Selain itu, dukungan emosional keluarga merupakan salah satu faktor
terpenting yang mempengaruhi orang untuk mencapai tujuannya. Cinta dan
kehangatan dalam keluarga bisa membangun anggota keluarga untuk bahagia dan
dekat satu sama lain. Selain itu, kecintaan orang tua terhadap anak juga penting
karena dapat memotivasi anak agar menjadi lebih berani dan juga membantu
menginspirasi anak untuk bekerja keras dalam prestasi yang ingin mereka lakukan di
masa depan.
Selain itu, banyak orang yang menyatakan bahwa dukungan keluarga mungkin
dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan keamanan perlindungan dalam
kehidupan anak (Canavan, Dolan & Pinkerton, 2000). Misalnya, ketika anak
mengalami gangguan emosi, mereka mungkin meminta nasihat untuk menyelesaikan
masalah mereka dari keluarga dan juga mereka dapat menciptakan rasa saling
pengertian.
Namun, penentang gagasan ini berpendapat bahwa kurangnya dukungan sosial
adalah masalah yang dihadapi keluarga saat ini. Oleh karena itu, peran keluarga
terhadap anak-anaknya lambat laun menurun. Buktinya, lingkungan sosial merupakan
salah satu faktor terpenting yang membentuk karakter sukses masyarakat dan juga
merupakan salah satu aspek fundamental yang mempengaruhi kesuksesan
masyarakat. Pertama-tama, sebagian besar orang berpendapat bahwa sekolah
memberikan banyak kesempatan sistem pendidikan kepada anak-anak dan juga
dukungan sekolah dapat mendorong siswa dan anak melalui aktivitas dan pengalaman
sosial (Canavan, Dolan & Pinkerton, 2000).
Sementara itu, banyak orang yang percaya bahwa guru mirip dengan orang tua
kedua karena guru memiliki pengaruh dalam pembelajaran anak. Sebagai hasil dari
kenyataan bahwa anak-anak mulai belajar pada usia sekitar lima tahun dan kira-kira
lulus pada usia dua puluh lima tahun. Dengan demikian, dalam masa pendidikan ini,
seorang guru berpengaruh terhadap kehidupan anak baik dari segi gagasan, sikap, dan
pemahamannya.
Selain itu, teman adalah salah satu dukungan terpenting yang membuat orang
sukses. Banyak orang memperdebatkan bahwa teman itu menyerupai cermin diri kita
yang mencerminkan jati diri kita yang sebenarnya. Namun, argumen bahwa dukungan
sosial seperti sekolah, guru dan bahkan teman membuat orang lebih sukses mungkin
tidak sepenuhnya benar. Karena dukungan sekolah atau pemerintah tidak memiliki
cukup uang, perumahan, bahan pelajaran, dan ketentuan lain untuk mendukung semua
siswa. Apalagi cinta dan kasih sayang tidak bisa didapat dari dukungan masyarakat.
Misalnya, ketika seseorang mengalami gangguan emosi, mereka menginginkan
semangat dan pemahaman dari keluarganya.
Jadi, dorongan keluarga saja tidak cukup untuk orang-orang. Selain itu,
sebagian besar ahli menyatakan bahwa meskipun pengobatan dan pendidikan perlu
didukung oleh pemerintah. Namun tidak cukup, harus diurus oleh keluarga.
Akibatnya, terutama lingkungan keluarga, dan juga para orang tua tersebut dapat
memperoleh dukungan finansial yang cukup, dan juga mereka dapat mendorong dan
memotivasi anak-anaknya dengan cara yang benar. Selain itu, kedekatan dan
keakraban keluarga adalah penopang yang membuat orang lebih sukses bukan
penopang masyarakat.

Kesimpulannya, seperti yang telah disepakati, dukungan keluarga merupakan


faktor terpenting bagi keberhasilan masyarakat. Karena keluarga adalah lembaga
pertama untuk pembelajaran masyarakat dan juga merupakan dukungan ekonomi dan
emosional bagi individu. Selain itu, cinta dan kasih sayang dari keluarga dan juga
inspirasi dari keluarga dapat mendorong seseorang untuk sukses dalam hidupnya;
Selain itu, orang mencapai tujuan mereka dan sukses dalam hidup mereka karena
keluarga adalah faktor penting yang memainkan peran mendasar bagi kesuksesan
masyarakat. Dukungan keluarga akan memunculkan karakter sukses mereka, yang
akan membantu mereka untuk sukses. Oleh karena itu, agar berhasil, keluarga adalah
tempat belajar pertama dalam kehidupan masyarakat dan merupakan penopang
ekonomi dan emosional. Maka, tidak heran dan kita tidak bisa menolak bahwa dasar
sukses adalah dukungan keluarga.

2.2.4 Dukungan keluarga dan keseimbangan kerja-keluarga

A. Dukungan emosional dan keseimbangan pekerjaan-keluarga

Dukungan emosional dapat diartikan sebagai perilaku atau sikap anggota


keluarga yang bertujuan untuk memberikan dorongan, pengertian, perhatian, dan hal
positif (King et al., 1995). Dukungan emosional keluarga umumnya dipandang oleh
keluarga sebagai sumber daya yang memelihara rasa (Hobfoll, 1989). Misalnya,
anggota keluarga dapat mendorong dengan mengakui kontribusi dan pencapaian
keluarga dan pekerjaan. Secara khusus, pemahaman dan dorongan yang diungkapkan
oleh anggota keluarga dapat mempromosikan pekerjaan dengan meningkatkan
pengalaman positif mereka dalam mengelola antarmuka kerja-keluarga (Shelton,
2006).

Selain itu, dukungan emosional dapat menciptakan rasa keintiman,


kepercayaan, dan kedekatan, yang pada gilirannya memicu citra diri yang positif
(misalnya, pencapaian peran yang dirasakan) pada pemilik UKM (Hobfoll et al.,
1990). Selain itu, karena fokus dukungan emosional adalah untuk memberikan
perasaan memiliki dan kepastian, kami berpendapat bahwa dukungan emosional lebih
mungkin dianggap sebagai sumber daya (daripada ancaman) untuk pelestarian sumber
daya lain.

B. Dukungan instrumental dan keseimbangan kerja-keluarga

Dukungan instrumental dapat didefinisikan sebagai perilaku dan sikap anggota


keluarga yang bertujuan untuk memfasilitasi operasi sehari-hari mereka (King et al.,
1995). Tidak seperti dukungan emosional, dukungan instrumental diberikan dengan
tujuan menyelesaikan tugas-tugas tertentu untuk penerima dukungan (Beehr &
Bhagat, 1985; House, 1981).

Dukungan keluarga instrumental dianggap keluarga sebagai sumber daya yang


mempromosikan pelestarian sumber daya lain (Ferguson et al., 2012; Hobfoll, 1989).
Secara khusus, dengan membantu pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas
tertentu, dukungan instrumental membatasi hilangnya energi dan waktu mereka, yang
mengarah pada rasa pencapaian peran mereka dalam domain pekerjaan dan keluarga.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ada bukti yang sangat jelas tentang perubahan lintas generasi. Berbeda dengan
generasi ibu mereka, di mana keluarga diprioritaskan dan hanya ada sedikit peluang untuk
pekerjaan berbayar di luar rumah, wanita yang lebih muda yang pernah menempuh
pendidikan di Inggris melihat pekerjaan berbayar sebagai sarana untuk kemandirian dan
harga diri. Meskipun pekerjaan bukanlah sesuatu yang dianggap remeh dan banyak
perempuan harus berdebat dengan keluarga mereka untuk diizinkan bekerja, namun, semua
perempuan yang diwawancarai berharap untuk menikah (jika mereka belum menikah) dan
berasumsi bahwa mereka akan memiliki anak. Mereka juga menerima bahwa hal ini
memerlukan beberapa penyesuaian. Wanita dengan kualifikasi tingkat tinggi sering kali
menunjukkan tekad yang kuat untuk menggabungkan pekerjaan berbayar dan pengasuhan
anak. Sementara sebagian besar wanita sangat menganut sentralitas keluarga, jelas bahwa
mayoritas akan mengikuti jalan hidup yang sangat berbeda dari ibu mereka. Namun, ada
pertanyaan penting yang belum terjawab tentang bagaimana para wanita ini akan
menggabungkan tuntutan persaingan kerja dan keluarga. Dibandingkan dengan perempuan
kulit putih, perempuan pekerja Pakistan dan Bangladesh menghadapi lebih banyak kesulitan
dalam mendamaikan pekerjaan dan keluarga. Ini termasuk konteks budaya di mana, secara
tradisional, seorang wanita masih diharapkan untuk memberikan prioritas pada keluarga dan
kehidupan rumah tangga dan budaya tempat kerja yang, biasanya, membuat sedikit
kelonggaran untuk persyaratan fasilitas sholat atau untuk liburan selama perayaan Idul Fitri
atau untuk haji, Oleh karena itu, para wanita ini mengalami kendala tambahan baik di rumah
maupun di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Houston, D. M. (2005). Work Life Balance in the 21st Century. Palgrave Macmillan.

Weinstein, Sharon M. 2015. B is For Balance: 12 Steps Toward a More Balanced Life at
Home and at Work. USA: - Sigma Theta Tau International.

Anda mungkin juga menyukai