(Modul 1)
A. Menggali Pengalaman
a. Ibu mengerti, maksud Ayah mungkin ingin membuat anak-anak berprestasi. Namun, Ibu
rasa tidak terlalu baik untuk memaksa anak dengan suatu mata pelajaran yang menurut
Ayah bagus. Mereka punya hak untuk memilih mata pelajaran yang mereka sukai tanpai
adanya tekanan.
b. Prestasimu sudah bagus, Nak. Ayah bangga denganmu karena kamu anak yang pintar.
Tapi, Ayah kurang suka kalau kamu suka marah-marah hanya karena masalah sepele.
Jadi, perbaiki kontrol emosimu sebisa mungkin, ya.
c. Acara seperti ini seharusnya tidak ditayangkan di jam-jam seperti ini karena anak-anak
biasanya menonton TV. Jika tidak sengaja terlihat oleh anak-anak, dikhawatirkan
mereka merasa penasaran dan akhirnya menontonnya.
d. Baju yang kamu jahit kemarin sudah cukup bagus dari segi desain. Namun, melihat
kepuasan pembeli yang saya terima, saya rasa kamu kurang teliti dalam menjahit
bagian-bagiannya, seperti ada bagian lengan yang kurang pas dan juga ada beberapa
bagian yang belum rapi.
e. Saat ini, kinerja para guru di sekolah ini sudah cukup baik, tetapi akan jauh lebih baik
jika guru tetap terus diberikan pelatihan. Karena saya lihat mereka kurang bisa
menyampaikan materi yang dapat dipahami siswa karena tidak adanya konsep.
f. Terima kasih untuk presentasinya yang bagus. Namun, saya kurang setuju dengan ide
kamu untuk mengadakan pameran di masa pandemi sekarang ini meskipun
menggunakan protokol kesehatan yang tepat. Ini terlalu berisiko, terlebih pameran ini
mengundang banyak orang.
g. Lagu yang kamu nyanyikan memang bagus, namun kurang cocok untuk anak seusia
kamu yang seharusnya masih bermain-main dan belum memikirkan percintaan. Untuk
itu, pikirkan terlebih dahulu mengenai lagu yang akan kamu pilih. Ya, apakah cocok atau
tidak.
8. Tafsiran isi 6 Jendela dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah metafora
yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang untuk mengakses
dunia lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan tempatnya.
Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika dibandingkan
dengan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/ keluar. Jendela
adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si
miskin berlapang dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur
dari kemalangan si miskin, masyarakat borjuis yang sempurna dan
harmonis akan tercipta.
9. Tafsiran isi 7 Dongeng semacam inilah yang ditawarkan “Rumah Tanpa Jendela” pada
penonton yang mereka sasar, tidak lain tentu anak-anak kelas menengah
atas yang mampu mengakses bioskop sebagai bagian dari leisure activity.
Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar
mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang
diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat, yang kemiskinan dan
kekayaan ternaturalisasi sebagai takdir dan karenanya tidak perlu
dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah, si kaya termungkinkan
ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka; dengan
membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak tampak’ di depan mata.
10. Evaluasi 1 Sayang, sebagai sebuah film musikal, tidak banyak yang disumbangkan
oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini, kecuali
penekanan dramatis belaka. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-
scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif
adalah energi dan semangat kanak-kanak. Adegan musikal kebanyakan
merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo).
Penekanan pada kolektivitas ini merupakan salah satu “karateristik” film
musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ideide soal komunitas dan
stabilitas sosial, baik relasi interkomunitas (konflik keluarga Aldo) maupun
antarkomunitas (konflik antara keluarga Aldo dan komunitas Rara).
11. Evaluasi 2 Penggambaran kemiskinan dalam film tersebut tidak berlebihan. Film
tersebut menggambarkan keluarga baik-baik dan protektif untuk
meyakinkan bahwa pergaulan Rara terbebas dari eksploitasi maupun
perilaku destruktif yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme
sosial dalam menilai film musikal adalah sia-sia, mengingat film musikal
sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada
diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep
“film yang menghibur” sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya
adalah utopia menurut siapa?
12. Rangkuman Dari paparan tadi, dapat disimpulkan bahwa film “Rumah Tanpa Jendela”
memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi
lewat model film musikal klasik ala Hollywood. Film ini menawarkan model
utopia dalam merespons kondisi masyarakat Indonesia yang
terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi, yaitu utopia atau kondisi
hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Sekurang-kurangnya sepuluh atau lima belas orang, laki-laki dan perempuan, berdiri dalam
satu deretan panjang, berbaris dari belakang dan berhenti ujungnya di depan sebuah loket. Di
atas loket itu tergantung sebilah papan bertulis dengan huruf-huruf putih mungil: Mengambil
uang pos wesel bertanda C. Biasanya pos wesel yang bertanda C berjumlah di bawah seribu
rupiah.
Yang berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan bergayut pada kawat
ranjang loket adalah seorang laki-laki berperawakan kurus kecil yang sekilas tampak sebagai
karung goni kosong yang disampirkan ke kawat penjemuran. Kepala yang ditumbuhi rambut
kelabu dengan sewenang-wenang dan tak terurus itu seperti dipertautkan begitu saja di atas
tubuh kurus kecil itu. Dan yang lebih mengganggu ialah pakaian yang menempeli badannya,
selain kelonggaran, pun tampaknya sudah berminggu-minggu belum pernah berganti.
Patutlah jika wanita di belakangnya selalu menekan sapu tangannya ke bawah hidupnya dan
tetap menjaga jarak tertentu dari laki-laki itu. Mungkin untuk mengindari hal-hal yang kurang
menyedapkan.
Tapi, laki-laki itu rupannya tidak memusingkan sama sekali perilaku perempuan di
belakangannya itu. Perhatiannya selalu tercurah kepada kepada jendela loket di hadapannya
yang belum terbuka.
Tambah lama tambah panjang juga jadinya antrean itu karena orang-orang yang baru datang
terus saja tegak menyambung. Tapi, jendela loket itu belum juga terbuka. Beberapa orang
mulai bersungut-sungut dan malahan sudah ada yang mengomel keras-keras karena sang
pegawai belum tampak juga batang hidupnya. Dan deretan terus memanjang hingga
mengganggu lalu-lalang ke loket lain.
Akhirnya, muncul juga pegawai yang ditunggu-tunggu. Seorang wanita separo baya,
berkacamata, dalam gaun seragam lengkap dengan tanda-tanda kepegawaian yang
terpancang di bahunya. Beberapa helai uban tampak di antara rambutnya yang tersusun rapi.
Setelah duduk di mejanya, sekejap ditatapnya deretan panjang di muka loket itu, seakan-akan
hendak dihitungnya jumlah mereka. Dan sesaat wajahnya berubah mengerut. Dan semua
mata dari deretan itu membalasnya dengan lontaran rasa jengkel yang tersekat.
"Ayo lekas, Bung!" kata si pegawai kepada orang pertama serentak derak jendela loket
dibuka.
Laki-laki kurus kecil itu tersentak dan buru-buru disodorkannya pos weselnya ke dalam loket.
Dari saku celananya laki-laki itu mengeluarkan kartu yang dimaksud dan sekali lagi
menyodorkannya ke dalam loket. Si pegawai kini mencocokkan tanda tangan dalam pos wesel
itu dengan tanda-tangan yang tertera dalam kartu pengenal. Lalu ia mulai membandingkan-
bandingkan potret dalam kartu itu dengan muka laki-laki di hadapannya. Lakunya terang tidak
menyenangkan laki-laki kurus kecil itu, tapi dia tentu mengerti dalam hal ini ia tak bisa berbuat
apa-apa.
"Kedua tanda tangan ini agak berbeda satu sama lain. Dan potret ini, benarkah ini potret
Saudara sendiri?" tanya si pegawai akhirnya.
"Mengapa? Itu potret saya dua tahun yang lalu..." "Dua tahun? Mengapa begini jauh
berbeda?"
Laki-laki itu kini memandang tajam kepada si pegawai dan urat-urat di wajahnya meregang
serempak. Tapi, ia tetap membisu. Apakah lantaran pandangan tajam itu, entahlah, tapi si
pegawai kemudian berkata.
"Ya, kali ini biarlah tak mengapa. Sebaiknya Saudara ganti kartu pengenal dengan potret yang
terbaru. Sebab, maklumlah orang-orang sekarang rupanya lekas berubah jadi tua. Memang
hari-hari masa kini lebih serakah menghisap usia kita. Nah, berapa jumlah yang harus
Saudara terima?"
"Tiga ratus."
Sambil menyerahkan uang dan kartu pengenal kepada laki-laki itu, si pegawai melanjutkan
pula, "Coba lihat, dua tahun yang lalu Saudara buat potret ini, dan sekarang hampir-hampir
tak bisa dikenali lagi."
Laki-laki itu menerima uang dan kartu pengenalnya kembali dan dengan diam-diam pergi dari
situ.
Menyusullah kemudian orang kedua dalam deretan itu mendapat giliran dan begitu seterusnya
setiap orang bergerak maju satu demi satu ke depan loket menyodorkan pos weselnya
masing-masing dan setelah mendapat pelayanan mereka pun pergi berlalu.
Banyak sudah yang telah mendapat giliran, tapi deretan itu seperti tak kunjung berkurang
karena yang baru datang pun mengalir terus tiada putus-putusnya. Detik-dekit menggelinding
bagai butiran-butiran kalung bergerak bersama deretan panjang di muka loket itu.
Satu jam berlalu dan si pegawai masih terus sibuk di mejanya ketika tiba-tiba muncul kembali
wajah laki-laki kurus kecil, orang yang pertama dilayaninya tadi, di muka loket seraya berkata,
"Maaf Nyonya saya mengganggu lagi. Tidakkah tadi..."
"Nona!" sela si pegawai ketus. Seketika laki-laki itu diam termangu memandangi roman muka
si pegawai wanita. Ada sedikit rasa mual naik membayang di wajahnya.
"Maaf Nona, saya tidak tahu," katanya kemudian. "Ya, ya. Ada apa lagi?" desak si pegawai.
"Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika Nona membayarkan uang pos wesel kepada
saya, sebab..."
"Mana bisa keliru?" si pegawai menyela cepat."Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah,
bukan? Kalau tidak salah sekianlah angka yang tertulis dalam pos wesel saya."
"Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor pos wesel Saudara."
Lalu si pegawai memeriksa satu lajur dalam daftar yang terkembang di hadapannya,
kemudian katanya, "Nah, ini wesel nomor satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah
uang: tiga ratus rupiah. Apa yang keliru? Bukankah Saudara tadi terima dari saya tiga ratus
rupiah?"
"Tidak," jawab laki-laki itu. "Nona tadi memberikan kepada saya bukan tiga lembar uang
kertas ratusan, tapi empat lembar. Jadi, empat ratus rupiah yang saya terima tadi."
Ada semacam perasaan ganjil yang menggelitik di hati "nona" itu hingga hampir-hampir ia
menjerit karenanya dan itulah pula sebabnya ia tak membuka mulut sesaat lamanya.
Kemudian ujarnya, "Oh, kalau begitu saya keliru. Benar-benar keliru," katanya dengan
kemalu-maluan. "Maklum banyak kerja. Lagipula lembaran-lembaran uang itu masih baru
benar hingga mudah saja terlengket. Jadi, Saudara mau kembalikan uang seratus rupiah itu
kepada saya sekarang?"
"Betul, saya akan mengembalikannya kepada Nyonya..." "Nona!" sela si pegawai cepat.
"Oh, maaf. Mulanya saya akan kembalikan kepada Nona seratus rupiah. Tapi, ketika dari
rumah saya bersepeda ke mari, dengan tak terduga-duga ban sepeda saya meletus di tengah
jalan. Terpaksa saya suruh orang menambalkan dan ongkosnya lima belas rupiah. Selain itu,
saya mesti menitipkan sepeda saya dekat kantor ini dan orangnya minta dibayar lima rupiah.
Jadi,seratus rupiah diambil dua puluh rupiah sisanya adalah delapan puluh rupiah. Itulah yang
akan saya kembalikan kepada Nona. Delapan puluh rupiah." Lalu disodorkannya sejumlah
uang yang telah disebutkannya itu ke dalam loket.
Pegawai wanita itu menggeser kursinya ke belakang seolah-olah ia tiba-tiba merasa cemas
melihat hidung laki-laki kurus di hadapannya itu. Kacamatanya bergerak-gerak resah.
"Delapan puluh rupiah?" pekiknya. "Mengapa delapan puluh? Sungguh saya tidak mengerti
mengapa pula ban-ban sepeda yang meletus dihubung-hubungkan dengan soal ini? Oh,
jangan berolok-olok... Saya tidak tahu apakah ban sepeda Saudara meletus dengan tiba-tiba
atau meledak seperti bom hidrogen. Saya tidak peduli apakah Saudara menitipkan sepeda itu
atau melemparkannya di jalan. Bahkan, saya tidak tahu apakah benar-benar Anda memiliki
sebuah sepeda. Dan saya memang tidak peduli pada semua itu. Yang saya tahu pasti ialah
Saudara telah mengakui di hadapan saya dan semua khalayak di muka loket ini bahwa
Saudara telah menerima kelebihan selembar uang kertas ratusan dari saya. Dan jumlah itulah
yang harus saya terima kembali. Sesen pun tidak boleh dikurangi. Ketahuilah bahwa uang itu
bukan milik saya, tapi milik negara!"
"Tapi, Nona harus mengerti pula," ujarnya kemudian dengan suara menggelegar.
"Kedatangan saya kembali bukanlah menjadi urusan saya, tapi semata-mata adalah demi
kepentingan Nona..."
"Sudah saya bilang tadi, itu saya tidak peduli! Jangan buang-buang waktu. Ayo, cepat!
Kembalikan uang itu!
Huru-hara itu telah menyebabkan deretan panjang yang teratur itu jadi bubar berantakan.
Semua orang sekarang sama menggerundel dekat loket. Dan sudah barang tentu mereka
telah mengikuti dengan saksama pertengkaran antara laki-laki kurus dan si pegawai wanita di
belakang loket itu. Umumnya mereka sependapat, peristiwa ini adalah sesuatu yang menarik
juga, meskipun karenanya waktu mereka jadi tersia-sia.
Sebagian bersikap acuh tak acuh dan sebagian lagi telah menyimpulkan penilaian masing-
masing.
"Si pegawai wanita itu memang cerewet." Inilah pendapat sebagian dari mereka. "Si tua itu
kepingin benar dipanggil nona. Benarkah ia masih nona? Itu bukan soal utama. Yang jelas
ialah bahwa ia, si tua itu, tak dapat menghargai kejujuran yang begitu bersih. Si tua itu
seharusnya sudah puas menerima, misalnya separo dari jumlah uang yang telah
dikelirukannya. Siapakan orangnya sekarang yang sudi tersuruk-suruk datang kembali ke
loket itu untuk menyerahkan kembali uang yang telah berada di tangan?"
"Laki-laki kurus itulah yang sebenarnya tolol, kalau tidak mau disebut gila!" Ini adalah
pendapat setengah yang lain. "Apa guna ia datang terengah-engah untuk menyerahkan
kembali rezeki mujur yang telah diperolehnya dari si tua itu? Tidakkah lebih baik jika ia
membelanjakan saja untuk dirinya? Bukankah seratus rupiah banyak pula gunanya? Lebih-
lebih di zaman uang seret seperti sekarang ini? Oh, si goblok yang tak tahu diri, biarlah
dirasainnya sendiri akibat ketololannya."
Seorang laki-laki berbadan tegap laksana reruntuhan sebuah candi yang baru saja mendapat
gilirannya, akhirnya tak dapat menahan hati dan ikut pula menengahi, ia berkata kepada laki-
laki kurus itu.
"Apakah yang mendorong Saudara dari jauh datang kembali untuk mengembalikan uang itu?"
Laki-laki kurus itu berpikir sejenak dan berkata-kata yang patut untuk dijadikan jawaban bagi
pertanyaan yang datang tiada tersangka-sangka itu.
"Saya merasa," katanya. "uang itu bukan milik saya, jadi saya tidak berhak atas uang itu maka
harus saya kembalikan pada yang berhak."
Barangkali disebabkan oleh susunan kalimat yang baru didengarnya itu, tapi laki-laki tegap itu
memang termangu sejenak, ia merasa dirinya berada dalam sebuah masjid mendengar fatwa
yang bernada agung dan bergaung kudus, atau serupa ia menemukan satu kalimat yang
bagus dan mengesankan dari buku yang sedang dibacanya.
Tiba-tiba saudaranya jadi sangat gembira, "Wajiblah kita menghormati Saudara. Bahkan,
layak bila Saudara kami dandani dengan pakaian kebesaran, lalu ramai-ramai kita arak
menuju ke rumah Bapak Wali kota. Tidaklah berlebihan kalau saya katakan, kesempatan
seperti ini harus kita rayakan secara besar-besaran!"
Laki-laki kurus itu ternanar. "Mudah-mudahan itu hanya olok-olok saja," pikirnya, karena
tidaklah dapat dibayangkan bagaimana ia dalam pakaian kebesaran itu diarak beramai-ramai
ke rumah Bapak Wali Kota.
"Nah, sekarang masukkan kembali ke kantong Saudara delapan puluh rupiah itu," ujar laki-laki
berbadan tegap itu pula. "Seratus rupaih akan saya keluarkan dari kantong sendiri untuk
menggantikannya," seraya berpaling kepada si pegawai dalam loket dan menyodorkan satu
lembar kertas ratusan seraya berkata, "Terimalah kembali uang ini, Nyonya..."
"Maaf Nona manis," lalu kepada laki-laki kurus katanya, "Sekarang soalnya sudah beres. Mari
kita sama-sama pergi dari tempat ini."
Mereka menguak kerumunan orang banyak yang mengelilinginya dan berdua melangkah
meninggalkan tempat itu. Semua mata serupa terpesona mengikuti mereka sampai hilang ke
balik pintu besar ruangan itu. Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus pun
berkata dengan suara penuh hormat kepada kawan barunya itu, "Saya mengucapkan terima
kasih atas kemurahan Saudara..."
Tiba-tiba kawannya itu pecah dalam gelak terbahak-bahak yang tentunya membuat si kurus
jadi heran. "Saudara sama sekali tidak usah berterima kasih kepada saya," ujar si tegap.
"Sebenarnya uang yang saya kembalikan tadi itu bukanlah uang saya.."
"Seperti yang Saudara alami sebelumnya, begitulah si Nona manis itu telah berkenan
memberi ekstra pula kepada saya sejumlah seratus rupiah."
Kini si kurus sudah mengerti dan benar-benarlah sekujur tubuhnya menggigil menahan
amarahnya.
"Saya orang melarat," katanya serak, Tidak tahulah saya adakah besok mampu membeli
beras untuk mereka. Tapi, olok-olok Saudara itu tidak dapat saya terima. Harus saya
kembalikan uang ini kepadanya."
Cepat si kurus membalik. Terhuyung-huyung ia lari menuju pintu kantor pos dan menghilang
di sana.
Si tegap berdiri takjub. Tanya di dalam hatinya tak kunjung terjawab, "Benarkah ada orang
seaneh itu?