Anda di halaman 1dari 12

BAB V KRITIK SASTRA

(Modul 1)
A. Menggali Pengalaman

1. Ingatlah yang pernah kalian dengar atau baca!

Dalam percakapan sehari-hari baik dalam kepentingan


keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan bisa terucap atau
terdengar kalimat yang isinya seperti kalimat-kalimat berikut.
Bacalah beberapa kalimat berikut lalu simpulkan persamaan isi
pokok informasinya dan tujuannya serta cara terbaiknya!

a. Ibu mengerti, maksud Ayah mungkin ingin membuat anak-anak berprestasi. Namun, Ibu
rasa tidak terlalu baik untuk memaksa anak dengan suatu mata pelajaran yang menurut
Ayah bagus. Mereka punya hak untuk memilih mata pelajaran yang mereka sukai tanpai
adanya tekanan.

b. Prestasimu sudah bagus, Nak. Ayah bangga denganmu karena kamu anak yang pintar.
Tapi, Ayah kurang suka kalau kamu suka marah-marah hanya karena masalah sepele.
Jadi, perbaiki kontrol emosimu sebisa mungkin, ya.

c. Acara seperti ini seharusnya tidak ditayangkan di jam-jam seperti ini karena anak-anak
biasanya menonton TV. Jika tidak sengaja terlihat oleh anak-anak, dikhawatirkan
mereka merasa penasaran dan akhirnya menontonnya.

d. Baju yang kamu jahit kemarin sudah cukup bagus dari segi desain. Namun, melihat
kepuasan pembeli yang saya terima, saya rasa kamu kurang teliti dalam menjahit
bagian-bagiannya, seperti ada bagian lengan yang kurang pas dan juga ada beberapa
bagian yang belum rapi.

e. Saat ini, kinerja para guru di sekolah ini sudah cukup baik, tetapi akan jauh lebih baik
jika guru tetap terus diberikan pelatihan. Karena saya lihat mereka kurang bisa
menyampaikan materi yang dapat dipahami siswa karena tidak adanya konsep.
f. Terima kasih untuk presentasinya yang bagus. Namun, saya kurang setuju dengan ide
kamu untuk mengadakan pameran di masa pandemi sekarang ini meskipun
menggunakan protokol kesehatan yang tepat. Ini terlalu berisiko, terlebih pameran ini
mengundang banyak orang.

g. Lagu yang kamu nyanyikan memang bagus, namun kurang cocok untuk anak seusia
kamu yang seharusnya masih bermain-main dan belum memikirkan percintaan. Untuk
itu, pikirkan terlebih dahulu mengenai lagu yang akan kamu pilih. Ya, apakah cocok atau
tidak.

2.Dalam Pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (sebelum


revisi 2018) Ada KD Teks Ulasan atau Review.

Bacalah teks berikut lalu temukan kalimat yang isi pokok


informasinya dan tujuannya sama dengan contoh beberapa kalimat
di atas (nomor 1)!

Bacalah contoh teks ulasan film berikut ini!

Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis

No. Struktur Teks Kalimat


1. Orientasi 1 Tradisi film musikal yang dikembangkan di Hollywood mengacu pada
kecenderungan film-film musikal klasik tahun 1930-1960-an, berpaku pada
hal-hal yang berlawanan (oposisi biner), terutama berkaitan dengan
gender, ras, agama, latar belakang, atau temperamen. Tradisi oposisi
biner tersebut tampak dalam film musikal anak-anak “Rumah Tanpa
Jendela”. Film tersebut diadaptasi dari cerpen “Jendela Rara” karya Asma
Nadia.
2. Orientasi 2 Kisah dalam film tersebut terinspirasi dari model biner dalam dongeng
moral berjudul The Prince and The Pauper karya Mark Twain. Sang
pangeran adalah tokoh Aldo, seorang anak laki-laki dari keluarga kaya-
raya dengan sindrom mental, yang membuatnya mengalami “penolakan”
dari komunitasnya (anggota keluarga). Aldo mewakili ide paradoks
keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan fisiknya berlebihan, tetapi
jiwanya kering dan mengakibatkan dilema personal. Sementara itu, si
miskin diwakili oleh tokoh Rara, gadis cilik yang sesekali bekerja sebagai
ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar. Rara tinggal di sebuah
rumah tidak berjendela yang terbuat dari seng, tripleks, dan kayu bekas di
salah satu kawasan permukiman kumuh. Rumah itu ditempati Rara
bersama nenek (Si Mbok) dan ayahnya. Kondisi rumah tersebut membuat
Rara terobsesi untuk memiliki sebuah rumah berjendela. Sebuah impian
yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
3. Tafsiran isi 1 Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu secara tidak
sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil. Sejak saat itu, mereka
bersahabat. Persahabatan tersebut bukan hanya pertemanan
antarindividu, melainkan pertemuan dua kutub latar belakang status sosial
yang berbeda. Hal itu tergambar pada kondisi keluarga Aldo dan teman-
teman Rara, antara si miskin dan si kaya. Persahabatan Aldo dan Rara
tidak berjalan mulus. Ibu dan kakak perempuan Aldo menganggap teman-
teman baru Aldo sebagai perusak ketenangan di rumah mereka.
Sementara itu, kemewahan rumah Aldo dengan banyak jendela
menularkan obsesi untuk memiliki rumah berjendela di kalangan teman-
teman Rara.
4. Tafsiran isi 2 Layaknya dongeng anak-anak dalam majalah Bobo, film “Rumah
Tanpa Jendela” menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk
menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi
dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi
fisik/mental. Fungsi ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi
dari ketakutan akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif.
Namun, permasalahan dari film musikal anakanak adalah bahwa ia
menawarkan resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film agar bisa
dipahami oleh anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan melakukan
penyederhanaan. Penyederhanaan posisi berlawanan si miskin dan si
kaya terwakili oleh narasi sosialekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya,
memiliki berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir,
pembantu, dan sekolah khusus). Sementara itu, Rara mewakili narasi
kemiskinan dalam segala keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela,
sekolah seadanya, dan kerja sampingan. Oleh sebab itu, perbedaan si
miskin dan si kaya dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-
berpunya.
5. Tafsiran isi 3 Dalam film “Rumah Tanpa Jendela” sikap moral yang disarankan kepada
penonton adalah bersyukur. Rara menginginkan hal yang tak mungkin
menjadi miliknya, yaitu kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo
memungkinkan Rara mengakses ini dan bahkan yang lebih lagi: kolam
renang, mobil, buku, dan krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai
sebagai keinginan yang berlebihan ketika ia “dihukum” dengan
kompensasi yang harus ia bayar. Logika pemaknaan tersebut bekerja
ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta ulang tahun
kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Si Mbok
tergeletak koma dan ayahnya meninggal dunia. Keinginan Rara untuk
memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang
lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang
menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai orang yang tidak berpunya.
6. Tafsiran isi 4 Lebih jauh lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran
yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas
semua yang mereka punyai (harta dan keluarga yang utuh), sementara
ada orang-orang yang tidak berpunya seperti Rara. Oleh karena itu, untuk
“membayar” pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong
Rara dan Si Mboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta
memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta. Dengan
begitu, mereka melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu
mengorbankan kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat
secara dekat.
7. Tafsiran isi 5 Dalam model utopia (khayalan) yang terdapat di dalam film tersebut, anak-
anak menjadi “penanda” dari kelahiran atau takdir manusia. Permasalahan
yang dimiliki anak-anak ini diperlihatkan sebagai sesuatu yang alami
dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih
mempertanyakan penyebabnya. Hal ini paling tampak dalam posisi biner
permasalahan Aldo dan Rara. Kekurangan pada diri Aldo yang mewakili
aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara sehingga
membuat kemiskinan ternaturalisasikan lewat logika pemahaman yang
sama, alih-alih hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung
negara, film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir
manusia.

8. Tafsiran isi 6 Jendela dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah metafora
yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang untuk mengakses
dunia lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan tempatnya.
Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika dibandingkan
dengan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/ keluar. Jendela
adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si
miskin berlapang dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur
dari kemalangan si miskin, masyarakat borjuis yang sempurna dan
harmonis akan tercipta.
9. Tafsiran isi 7 Dongeng semacam inilah yang ditawarkan “Rumah Tanpa Jendela” pada
penonton yang mereka sasar, tidak lain tentu anak-anak kelas menengah
atas yang mampu mengakses bioskop sebagai bagian dari leisure activity.
Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar
mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang
diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat, yang kemiskinan dan
kekayaan ternaturalisasi sebagai takdir dan karenanya tidak perlu
dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah, si kaya termungkinkan
ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka; dengan
membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak tampak’ di depan mata.
10. Evaluasi 1 Sayang, sebagai sebuah film musikal, tidak banyak yang disumbangkan
oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini, kecuali
penekanan dramatis belaka. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-
scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif
adalah energi dan semangat kanak-kanak. Adegan musikal kebanyakan
merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo).
Penekanan pada kolektivitas ini merupakan salah satu “karateristik” film
musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ideide soal komunitas dan
stabilitas sosial, baik relasi interkomunitas (konflik keluarga Aldo) maupun
antarkomunitas (konflik antara keluarga Aldo dan komunitas Rara).
11. Evaluasi 2 Penggambaran kemiskinan dalam film tersebut tidak berlebihan. Film
tersebut menggambarkan keluarga baik-baik dan protektif untuk
meyakinkan bahwa pergaulan Rara terbebas dari eksploitasi maupun
perilaku destruktif yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme
sosial dalam menilai film musikal adalah sia-sia, mengingat film musikal
sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada
diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep
“film yang menghibur” sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya
adalah utopia menurut siapa?
12. Rangkuman Dari paparan tadi, dapat disimpulkan bahwa film “Rumah Tanpa Jendela”
memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi
lewat model film musikal klasik ala Hollywood. Film ini menawarkan model
utopia dalam merespons kondisi masyarakat Indonesia yang
terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi, yaitu utopia atau kondisi
hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.

3.Setelah memahami nomor 1 dan 2 di atas, sekarang simpulkan


informasi pokok yang dipahami sebagai dasar berpikir masuk
ke proses pembelajaran tentang kritik sastra!

B. Memahami Konsep Kritik Sastra

1. Bacalah cerpen berikut! Apakah kalian pernah mempelajari


cerpen ini di kelas sebelumnya? Baca sekali lagi dengan
saksama untuk menemukan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsiknya!

Kisah di Kantor Pos

Sekurang-kurangnya sepuluh atau lima belas orang, laki-laki dan perempuan, berdiri dalam
satu deretan panjang, berbaris dari belakang dan berhenti ujungnya di depan sebuah loket. Di
atas loket itu tergantung sebilah papan bertulis dengan huruf-huruf putih mungil: Mengambil
uang pos wesel bertanda C. Biasanya pos wesel yang bertanda C berjumlah di bawah seribu
rupiah.

Yang berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan bergayut pada kawat
ranjang loket adalah seorang laki-laki berperawakan kurus kecil yang sekilas tampak sebagai
karung goni kosong yang disampirkan ke kawat penjemuran. Kepala yang ditumbuhi rambut
kelabu dengan sewenang-wenang dan tak terurus itu seperti dipertautkan begitu saja di atas
tubuh kurus kecil itu. Dan yang lebih mengganggu ialah pakaian yang menempeli badannya,
selain kelonggaran, pun tampaknya sudah berminggu-minggu belum pernah berganti.

Patutlah jika wanita di belakangnya selalu menekan sapu tangannya ke bawah hidupnya dan
tetap menjaga jarak tertentu dari laki-laki itu. Mungkin untuk mengindari hal-hal yang kurang
menyedapkan.
Tapi, laki-laki itu rupannya tidak memusingkan sama sekali perilaku perempuan di
belakangannya itu. Perhatiannya selalu tercurah kepada kepada jendela loket di hadapannya 
yang belum terbuka.

Tambah lama tambah panjang juga jadinya antrean itu karena orang-orang yang baru datang
terus saja tegak menyambung. Tapi, jendela loket itu belum juga terbuka. Beberapa orang
mulai bersungut-sungut dan malahan sudah ada yang mengomel keras-keras karena sang
pegawai belum tampak juga batang hidupnya. Dan deretan terus memanjang hingga
mengganggu lalu-lalang ke loket lain.

Akhirnya, muncul juga pegawai yang ditunggu-tunggu. Seorang wanita separo baya,
berkacamata, dalam gaun seragam lengkap dengan tanda-tanda kepegawaian yang
terpancang di bahunya. Beberapa helai uban tampak di antara rambutnya yang tersusun rapi.

Setelah duduk di mejanya, sekejap ditatapnya deretan panjang di muka loket itu, seakan-akan
hendak dihitungnya jumlah mereka. Dan sesaat wajahnya berubah mengerut. Dan semua
mata dari deretan itu membalasnya dengan lontaran rasa jengkel yang tersekat.

"Ayo lekas, Bung!" kata si pegawai kepada orang pertama serentak derak jendela loket
dibuka.

Laki-laki kurus kecil itu tersentak dan buru-buru disodorkannya pos weselnya ke dalam loket.

"Punya kartu pengenal?' tanya si pegawai.

Dari saku celananya laki-laki itu mengeluarkan kartu yang dimaksud dan sekali lagi
menyodorkannya ke dalam loket. Si pegawai kini mencocokkan tanda tangan dalam pos wesel
itu dengan tanda-tangan yang tertera dalam kartu pengenal. Lalu ia mulai membandingkan-
bandingkan potret dalam kartu itu dengan muka laki-laki di hadapannya. Lakunya terang tidak
menyenangkan laki-laki kurus kecil itu, tapi dia tentu mengerti dalam hal ini ia tak bisa berbuat
apa-apa.

"Kedua tanda tangan ini agak berbeda satu sama lain. Dan potret ini, benarkah ini potret
Saudara sendiri?" tanya si pegawai akhirnya.

"Mengapa? Itu potret saya dua tahun yang lalu..." "Dua tahun? Mengapa begini jauh
berbeda?"

Laki-laki itu kini memandang tajam kepada si pegawai dan urat-urat di wajahnya meregang
serempak. Tapi, ia tetap membisu. Apakah lantaran pandangan tajam itu, entahlah, tapi si
pegawai kemudian berkata.

"Ya, kali ini biarlah tak mengapa. Sebaiknya Saudara ganti kartu pengenal dengan potret yang
terbaru. Sebab, maklumlah orang-orang sekarang rupanya lekas berubah jadi tua. Memang
hari-hari masa kini lebih serakah menghisap usia kita. Nah, berapa jumlah yang harus
Saudara terima?"

"Tiga ratus."

Sambil menyerahkan uang dan kartu pengenal kepada laki-laki itu, si pegawai melanjutkan
pula, "Coba lihat, dua tahun yang lalu Saudara buat potret ini, dan sekarang hampir-hampir
tak bisa dikenali lagi."
Laki-laki itu menerima uang dan kartu pengenalnya kembali dan dengan diam-diam pergi dari
situ.

Menyusullah kemudian orang kedua dalam deretan itu mendapat giliran dan begitu seterusnya
setiap orang bergerak maju satu demi satu ke depan loket menyodorkan pos weselnya
masing-masing dan setelah mendapat pelayanan mereka pun pergi berlalu.

Banyak sudah yang telah mendapat giliran, tapi deretan itu seperti tak kunjung berkurang
karena yang baru datang pun mengalir terus tiada putus-putusnya. Detik-dekit menggelinding
bagai butiran-butiran kalung bergerak bersama deretan panjang di muka loket itu.

Satu jam berlalu dan si pegawai masih terus sibuk di mejanya ketika tiba-tiba muncul kembali
wajah laki-laki kurus kecil, orang yang pertama dilayaninya tadi, di muka loket seraya berkata,
"Maaf Nyonya saya mengganggu lagi. Tidakkah tadi..."

"Nona!" sela si pegawai ketus. Seketika laki-laki itu diam termangu memandangi roman muka
si pegawai wanita. Ada sedikit rasa mual naik membayang di wajahnya.

"Maaf Nona, saya tidak tahu," katanya kemudian. "Ya, ya. Ada apa lagi?" desak si pegawai.

"Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika Nona membayarkan uang pos wesel kepada
saya, sebab..."

"Mana bisa keliru?" si pegawai menyela cepat."Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah,
bukan? Kalau tidak salah sekianlah angka yang tertulis dalam pos wesel saya."

"Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor pos wesel Saudara."

Lalu si pegawai memeriksa satu lajur dalam daftar yang terkembang di hadapannya,
kemudian katanya, "Nah, ini wesel nomor satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah
uang: tiga ratus rupiah. Apa yang keliru? Bukankah Saudara tadi terima dari saya tiga ratus
rupiah?"

"Tidak," jawab laki-laki itu. "Nona tadi memberikan kepada saya bukan tiga lembar uang
kertas ratusan, tapi empat lembar. Jadi, empat ratus rupiah yang saya terima tadi."

Ada semacam perasaan ganjil yang menggelitik di hati "nona" itu hingga hampir-hampir ia
menjerit karenanya dan itulah pula sebabnya ia tak membuka mulut sesaat lamanya.
Kemudian ujarnya, "Oh, kalau begitu saya keliru. Benar-benar keliru," katanya dengan
kemalu-maluan. "Maklum banyak kerja. Lagipula lembaran-lembaran uang itu masih baru
benar hingga mudah saja terlengket. Jadi, Saudara mau kembalikan uang seratus rupiah itu
kepada saya sekarang?"

"Betul, saya akan mengembalikannya kepada Nyonya..." "Nona!" sela si pegawai cepat.

"Oh, maaf. Mulanya saya akan kembalikan kepada Nona seratus rupiah. Tapi, ketika dari
rumah saya bersepeda ke mari, dengan tak terduga-duga ban sepeda saya meletus di tengah
jalan. Terpaksa saya suruh orang menambalkan dan ongkosnya lima belas rupiah. Selain itu,
saya mesti menitipkan sepeda saya dekat kantor ini dan orangnya minta dibayar lima rupiah.
Jadi,seratus rupiah diambil dua puluh rupiah sisanya adalah delapan puluh rupiah. Itulah yang
akan saya kembalikan kepada Nona. Delapan puluh rupiah." Lalu disodorkannya sejumlah
uang yang telah disebutkannya itu ke dalam loket.

Pegawai wanita itu menggeser kursinya ke belakang seolah-olah ia tiba-tiba merasa cemas
melihat hidung laki-laki kurus di hadapannya itu. Kacamatanya bergerak-gerak resah.

"Delapan puluh rupiah?" pekiknya. "Mengapa delapan puluh? Sungguh saya tidak mengerti
mengapa pula ban-ban sepeda yang meletus dihubung-hubungkan dengan soal ini? Oh,
jangan berolok-olok... Saya tidak tahu apakah ban sepeda Saudara meletus dengan tiba-tiba
atau meledak seperti bom hidrogen. Saya tidak peduli apakah Saudara menitipkan sepeda itu
atau melemparkannya di jalan. Bahkan, saya tidak tahu apakah benar-benar Anda memiliki
sebuah sepeda. Dan saya memang tidak peduli pada semua itu. Yang saya tahu pasti ialah
Saudara telah mengakui di hadapan saya dan semua khalayak di muka loket ini bahwa
Saudara telah menerima kelebihan selembar uang kertas ratusan dari saya. Dan jumlah itulah
yang harus saya terima kembali. Sesen pun tidak boleh dikurangi. Ketahuilah bahwa uang itu
bukan milik saya, tapi milik negara!"

Kata-kata si pegawai memberondong demikian cepat bagaikan peluru-peluru yang mendesing


memerahkan daun telinga laki-laki kurus kecil itu. Biji matanya melotot berputar-putar cepat
seolah-olah hendak melompat keluar dari kedua bela matanya.

"Tapi, Nona harus mengerti pula," ujarnya kemudian dengan suara menggelegar.

"Kedatangan saya kembali bukanlah menjadi urusan saya, tapi semata-mata adalah demi
kepentingan Nona..."

"Sudah saya bilang tadi, itu saya tidak peduli! Jangan buang-buang waktu. Ayo, cepat!
Kembalikan uang itu!

Huru-hara itu telah menyebabkan deretan panjang yang teratur itu jadi bubar berantakan.
Semua orang sekarang sama menggerundel dekat loket. Dan sudah barang tentu mereka
telah mengikuti dengan saksama pertengkaran antara laki-laki kurus dan si pegawai wanita di
belakang loket itu. Umumnya mereka sependapat, peristiwa ini adalah sesuatu yang menarik
juga, meskipun karenanya waktu mereka jadi tersia-sia.

Sebagian bersikap acuh tak acuh dan sebagian lagi telah menyimpulkan penilaian masing-
masing.

"Si pegawai wanita itu memang cerewet." Inilah pendapat sebagian dari mereka. "Si tua itu
kepingin benar dipanggil nona. Benarkah ia masih nona? Itu bukan soal utama. Yang jelas
ialah bahwa ia, si tua itu, tak dapat menghargai kejujuran yang begitu bersih. Si tua itu
seharusnya sudah puas menerima, misalnya separo dari jumlah uang yang telah
dikelirukannya. Siapakan orangnya sekarang yang sudi tersuruk-suruk datang kembali ke
loket itu untuk menyerahkan kembali uang yang telah berada di tangan?"

"Laki-laki kurus itulah yang sebenarnya tolol, kalau tidak mau disebut gila!" Ini adalah
pendapat setengah yang lain. "Apa guna ia datang terengah-engah untuk menyerahkan
kembali rezeki mujur yang telah diperolehnya dari si tua itu? Tidakkah lebih baik jika ia
membelanjakan saja untuk dirinya? Bukankah seratus rupiah banyak pula gunanya? Lebih-
lebih di zaman uang seret  seperti sekarang ini? Oh, si goblok yang tak tahu diri, biarlah
dirasainnya sendiri akibat ketololannya."
Seorang laki-laki berbadan tegap laksana reruntuhan sebuah candi yang baru saja mendapat
gilirannya, akhirnya tak dapat menahan hati dan ikut pula menengahi, ia berkata kepada laki-
laki kurus itu.

"Apakah yang mendorong Saudara dari jauh datang kembali untuk mengembalikan uang itu?"

Laki-laki kurus itu berpikir sejenak dan berkata-kata yang patut untuk dijadikan jawaban bagi
pertanyaan yang datang tiada tersangka-sangka itu.

"Saya merasa," katanya. "uang itu bukan milik saya, jadi saya tidak berhak atas uang itu maka
harus saya kembalikan pada yang berhak."

Barangkali disebabkan oleh susunan kalimat yang baru didengarnya itu, tapi laki-laki tegap itu
memang termangu sejenak, ia merasa dirinya berada dalam sebuah masjid mendengar fatwa
yang bernada agung dan bergaung kudus, atau serupa ia menemukan satu kalimat yang
bagus dan mengesankan dari buku yang sedang dibacanya.

"Saya sungguh-sungguh terharu menyaksikan kejujuran Saudara, " katanya kemudian."Jarang


saya jumpai orang sejujur Saudara. Kejujuran seperti ini patut kita hargai."

Tiba-tiba saudaranya jadi sangat  gembira, "Wajiblah kita menghormati Saudara. Bahkan,
layak bila Saudara kami dandani dengan pakaian kebesaran, lalu ramai-ramai kita arak
menuju ke rumah Bapak Wali kota. Tidaklah berlebihan kalau saya katakan, kesempatan
seperti ini harus kita rayakan secara besar-besaran!"

Laki-laki kurus itu ternanar. "Mudah-mudahan itu hanya olok-olok saja," pikirnya, karena
tidaklah dapat dibayangkan bagaimana ia dalam pakaian kebesaran itu diarak beramai-ramai
ke rumah Bapak Wali Kota. 

"Nah, sekarang masukkan kembali ke kantong Saudara delapan puluh rupiah itu," ujar laki-laki
berbadan tegap itu pula. "Seratus rupaih akan saya keluarkan dari kantong sendiri untuk
menggantikannya," seraya berpaling kepada si pegawai dalam loket dan menyodorkan satu
lembar kertas ratusan seraya berkata, "Terimalah kembali uang ini, Nyonya..."

"Nona!", cetus si pegawai wanita.

"Maaf Nona manis," lalu kepada laki-laki kurus katanya, "Sekarang soalnya sudah beres. Mari
kita sama-sama pergi dari tempat ini."

Mereka menguak kerumunan orang banyak yang mengelilinginya dan berdua melangkah
meninggalkan tempat itu. Semua mata serupa terpesona mengikuti mereka sampai hilang ke
balik pintu besar ruangan itu. Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus pun
berkata dengan suara penuh hormat kepada kawan barunya itu, "Saya mengucapkan terima
kasih atas kemurahan Saudara..."

Tiba-tiba kawannya itu pecah dalam gelak terbahak-bahak yang tentunya membuat si kurus
jadi heran. "Saudara sama sekali tidak usah berterima kasih kepada saya," ujar si tegap.
"Sebenarnya uang yang saya kembalikan tadi itu bukanlah uang saya.."

Si kurus belum mengerti.

"Seperti yang Saudara alami sebelumnya, begitulah si Nona manis itu telah berkenan
memberi ekstra pula kepada saya sejumlah seratus rupiah."

Kini si kurus sudah mengerti dan benar-benarlah sekujur tubuhnya menggigil menahan
amarahnya.

"Saya orang melarat," katanya serak, Tidak tahulah saya adakah besok mampu membeli
beras untuk mereka. Tapi, olok-olok Saudara itu tidak dapat saya terima. Harus saya
kembalikan uang ini kepadanya."

Cepat si kurus membalik. Terhuyung-huyung ia lari menuju pintu kantor pos dan menghilang
di sana.

Si tegap berdiri takjub. Tanya di dalam hatinya tak kunjung terjawab, "Benarkah ada orang
seaneh itu?

Karya: Muhammad Ali

2.Selanjutnya, bacalah teks kritik cerpen Kisah di Kantor Pos


berikut ini dengan lebih saksama!
Tujuan membacanya adalah untuk mendefinisikan konsep kritik
sastra, ruang lingkup isi kritik sastra, dan caranya membuat
kritik terhadap karya sastra!
Contoh Wesel Pos

Anda mungkin juga menyukai