Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gempa Bumi

2.1.1. Definisi Gempa Bumi


Menurut M.T. Zen (John Tri Hatmoko, 2016), gempa di definisikan sebagai
gerakan tiba- tiba atau sederetan Gerakan tiba-tiba dari tanah dan batuan yang
bersifat transient dan berasal dari suatu daerah terbatas yang kemungkinan
menyebar ke segala arah karena dirambatkan oleh medium yang ada (lapisan bumi).
Menurut Katili (John Tri Hatmoko, 2016), gempa bumi didefinisikan sebagai suatu
sentakan asli yang terjadi di bumi, bersumber dari dalam bumi yng kemudian
merambat ke permukaan.
2.1.2. Penyebab Gempa Bumi
Penyebab gempa bumi dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam
diantaranya: tektonik, vulkanik, runtuhan, jatuan meteor, dan gempa bumi buatan
manusia. (Sunarjo 2012). Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang
disebabkan oleh pelepasan energy elastis yang tersimpan dala lempeng tektonik.
Lempeng tektonik bumi kita ini adalah batuan yang bersifat elastis, sehingga energi
yang diterima dari lapisan mantel tersimpan dalam bentuk energy elastis. Bila energi
yang diterima sudah melebihi batas elastisitas lempeng tektonik, maka energy akan
terlepas dalam bentuk deformasi plastis dan gelombang elastis. Daerah yang
melepaskan energy elastis umumnya daerah yang lemah sehingga di daerah terseut
akan mengalami deformasi plastis, sedangkan daerah yang jauh dari sumber tersebut
akan mengalami deformasi elastis dalam bentuk gelombang seismic. Dengan adanya
deformasi plastisdi sekitar sumber gempa bumi, fenomena yang dapat diamati
dalam jangka waktu panjang adalah terjadi pergerakan dari lempeng tektonik
dengan jenis pergerakan antara lain: penunjaman antara lempeng samudra dan
lempeng benua, tumnukan antara kedua lempeng benua, dan pergerakan lempeng
samudera yang saling menjauh, serta pergerakan lempeng yang saling bergeser.
Dikarenakan tepian lempeng yang tidak rata maka jika bergesekan maka timbullah
friksi. Friksi inilah yang kemudian melepaskan energy goncangan gempa bumi.
(Sunarjo, 2012).
Gempa bumi vulkanik adalah gempa bumiyang disebabkan oleh kegiatan
gunung api. Magma yang berada pada kantong dibawah gunung tersebut mendapat
tekanan dan melepaskan energinya secara tiba-tiba sehingga menimbulkan getaran
tanah. Selain itu, pelepasan energy stress tersebut juga menyebabkan gerakan
magma secara perlahan. (Sunarjo, 2012).
Aktivitas gempa bumi tektonik dapat memicu aktivitas gempa bumi vulkanik.
Naiknya magma ke permukaan dapat dipicu oleh pergeseran lempeng tektonik pada
sesar bumi. Biasanya ini terjadi pada batas lempeng tektonik yang bersifat
konvergen (saling mendesak). Hanya saja pada gempa bumi vulkanik, efek
goncangan lebih ditimbulkan karena desakan magma, sedangkan paga gempa bumi
tektonik efek goncangan langsung ditimbulkan oleh benturan kedua lempeng
tektonik. Bila lempeng tektonik yang terlibat adalah lempeng benua dengan
lempeng samudera, maka akan terjadi deformasi di dasra laut yang kemudian
menimbulkan tsunami karena batas lempengnya umumnya berada di dasar laut.
(Sunarjo, 2012).
Getaran yang terjadi selama gempa bumi berlangsung dapat menyebabkan
kerusakan yang cukup serius karena terbentuknya celah, gerakan abnormal dan /
atau tidak sama yang cukup besar dan tiba tiba, mengakibatkan kegagalan bangunan,
tanah longsor, tsunami bahkan hilangnya kekuatan atau kekakuan tanah atau
likuifaksi.
2.2. Likuifaksi
2.2.1. Pengertian Likuifaksi
Menurut Day (2001) gempa bumi dapat mengakibatkan secondary effect atau
proses non tektonik di permukaan yang berhubungan langsung dengan gempa bumi.
Salah satu efek sekunder ini adalah terjadinya fenomena pencairan tanah akibat
beban siklik atau yang dikenal dengan istilah likuifaksi. Peristiwa likuifaksi pada
umumnya terjadi pada konsistensi tanah granular jenuh (saturated) yang lepas
sampai sedang dengan sifat drainase dalam tanah. Endapan atau deposit tanah yang
berpotensi mengalami likuifaksi ketika diberikan beban siklik adalah pasir halus
(sand), pasir berlumpur (silty sand), dan pasir lepas (loose sand). Karena hanya
terjadi di tanah yang jenuh, likuifaksi umumnya terjadi di dekat sungai, teluk, atau
badan air lainnya (Kramer, 1996).
Proses perubahan kondisi tanah pasir yang jenuh air akan menjadi cair akibat
tekanan air pori yang meningkat hingga ke titik sama besar dengan tegangan total
akibat adanya beban siklik sehingga tegangan efektif tanah akan berukurang hingga
sama dengan nol. Hal ini menunjukkan bahwa likuifaksi merupakan fenomena suatu
tanah kehilangan banyak kekuatan (strength) dan kekakuan (stiffness) dalam waktu
yang singkat. Saat terjadi gempa, gaya geser yang ditimbulkan mengakibatkan pasir
bereaksi sehingga tekanan air pori meningkat. Akibat getaran siklik yang terjadi
dalam waktu singkat ini, tanah kehilangan banyak kekuatan atau kekakuannya
sehingga tidak dapat mendukung struktur di atasnya dan menjaga untuk tetap stabil.
(Jefferies dan Been, 2006).
Pasir dengan kepadatan lepas sampai sedang dan pasir berlumpur yang jenuh
air cenderung bereaksi dengan beban siklik sehingga tanah kehilangan kuat geser
akibat menurunnya tegangan efektif tanah seiring dengan meningkatnya tegangan
air pori. Kondisi tanah pada saat terjadi likuifaksi dapat dinyatakan dalam
Persamaan 2.1.

σ'=σ–u Pers 2. 1
Keterangan:
σ’ = tegangan efektif tanah (t/m2)
σ = tegangan total (t/m2)
u = tekanan air pori (t/m2)
Menurut Das (1993) tegangan total dapat dihitung menggunakan Persamaan

2.2.

σ = (H . γ d ) + (H - HA) . γ sat Pers 2. 2

Keterangan:
σ = tegangan total (t/m2 )
H = tinggi muka air diukur dari permukaan tanah (m)
HA = jarak antara titik A dengan muka air (m)
γd = berat volume tanah kering (t/m3 )
γsat = berat volume tanah jenuh air (t/m3)

Sedangkan nilai rasio tekanan air pori tanah dihitung dengan menggunakan
Persamaan 2.3.
u = HA . γW Pers 2. 3
Keterangan:
HA = jarak antara titik A dengan muka air
γw = berat volume air (10 kN/m3 )

Peningkatan tekanan air pori menyebabkan aliran air naik ke permukaan tanah
dalam bentuk semburan lumpur atau pasir. Untuk keadaan likuifaksi ini, tegangan
efektif tanah menjadi sama dengan nol dan partikel tanah saling melepaskan seolah-
olah mengambang di air. Struktur yang berada di atas endapan tanah pasir yang
terlikuifaksi saat gempa bumi akan tenggalam atau jatuh dan saluran yang terkubur
akan mengapung ke permukaan (Seed, 1970).

2.2.2. Proses Terjadinya Likuifaksi


Endapan atau deposit tanah pasir yang mempunyai muka air tanah di bawah
permukaan rentan mengalami likuifaksi. Selama gempa bumi, tegangan geser siklik
yang disebabkan oleh rambatan gelombang geser menyebabkan pasir lepas bereaksi
dan menghasilkan tekanan air pori yang meningkat. Akibat gelombang siklik yang
terjadi begitu cepat, air pada tanah tidak mampu keluar. Meningkatnya tekanan air
pori menyebabkan aliran air ke atas permukaan berupa semburan lumpur atau pasir.
Tekanan air pori meningkat karena tanah yang bergerak mengakibatkan air mengalir
ke atas dan mengubah pasir dari fase padat menjadi fase cair disebut likuifaksi (Day,
2001).
Pasir dengan kepadatan sedang sampai lepas dan memiliki elevasi muka air
tanah yang tinggi, saat tidak ada getaran tanah akan stabil karena partikel tanah
pasir saling mengunci (interlocking). Ketika terjadi gempa, volume tanah cenderung
menyusut dan mengakibatkan peningkatan pada tekanan air pori sehingga kuat geser
efektif tanah akan menurun. Pasir yang jenuh air akan mengisi ruang antar partikel
sehingga kekuatan interlocking antara partikel hilang.
Ishihara (1985) mengemukakan bahwa pada saat keadaan likuifaksi, tegangan
efektif tanah sama dengan nol. Hal ini diakibatkan karena tekanan air pori meningkat
hingga ke titik saat tegangan air pori sama besar dengan tegangan tanah. Karena
kehilangan kuat geser tanah, partikel-partikel pasir yang mengunci saling
melepaskan dan seolah-olah partikel pasir mengembang di air.
Setelah terjadi likuifaksi, tekanan air pori berlebih akan mulai terdisipasi.
Lamanya waktu tanah tetap dalam keadaan cair bergantung pada 2 faktor utama,
yaitu durasi getaran akibat gempa bumi dan kondisi drainase dari tanah yang
terlikuifaksi. Semakin lama dan kuat tegangan geser siklik akibat gempa, semakin
lama likuifaksi terjadi. Ketika proses likuifaksi selesai, tanah dapat kembali
memadat, ambles, atau kemungkinan tidak sempat untuk memadat.
Sebagian besar kejadian likuifaksi di dunia dipicu oleh beban gempa. Secara
umum nilai magnitude gempa yang bisa memicu fenomena likuifaksi dengan
dampak yang signifikan adalah gempa dengan 7 Mw atau lebih, seperti gempa yang
terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. (PusGen,
2018).

2.2.3. Likuifaksi Gempa Palu Sigi Donggala, Sulawesi tengah


Salah satu wilayah terdampak likuifaksi yang cukup parah adalah kecamatan
Jono Oge. Fenomena likuifaksi yang terjadi pada daerah tersebut terdiri dari
beberapa jenis yaitu Sand Boil, Likuifaksi Alir dan Lateral Spreading. Sand Boil
merujuk kepada situasi dimana pasir bersama air menerobos lapisan di atasnya
membentuk erupsi pasir di permukaan tanah. Lateral spreading dan likuifaksi alir ,
kedua istilah tersebut mengacu kepada dua hal yang hampir mirip fenomenanya
hanya saja pada likuifaksi alir perpindahan tanah sangat besar dan deformasinya
“unlimited” karena praktis mengalir hingga keseimbangan dicapai. Peralihan bisa
sebesar beberap centimeter hingga beberapa meter seperti yang banyak terjadi di
masa masa sebelumnya. Berhubung kondisi tanah yang bergerak diatas lapisan
tanah yang terlikuifaksi bisa masih kokoh, maka gaya pasif maksimum bisa saja
terjadi. Jalan, bangunan dan struktur teknik sipil yang lain dapat mengalami
kerusakan fatal akibat likuifaksi. Struktur yang terletak di dekat atau di perbatasan
tergeser dengan sangat hebat dan mengalami offset sampai beberapa meter bahkan
puluhan meter, sedangkan di kaki lereng akan terkompresi atau tertekuk/terlipat.
Mempertimbangkan luas area terdampak, wilayah terdampak di Petobo dan
Jono Oge relative lebih luas dibandingkan dengan wilayah terdampak di Balaroa,
Lolu dan Sibalaya Selatan. Kondisi tataguna lahan menjadi faktor pengontrol
terjadinya luas area aliran massa tanah. Lahan persawahan yang luas di daerah Jono
Oge juga menyebabkan aliran massa tanah bergerak lebih jauh di bandingkan
dengan aliran massa tanah di daerah lainnya. Selain factor tataguna lahan, factor
geomorfologi lereng juga mengontrol luasan wilayah terdampak. Pada wilayah
Petobo dan Jono Oge, morfologi lereng cekung yang lebar. Sedangkan wilayah
Balaro, Lolu dan Sibalayacenderung mempunyai morfologi lereng lurus. Daerah
dengan morfologi lereng berbentuk cekung cenderung mempunyai muka air tanah
yang dangkal sehingga massa tanah akan mudah mengalir seperti lumpur hingga
beberapa kilometer. Setelah kejadian likuifaksi, lapisan tanah pasir cenderung
masih jenuh air sebagaimana dapat dilihat di lokasi Petobo dan Jono Oge.
Dalam kondisi stabil, setiap elemen tanah di bawah permukaan tanah memiliki
kuat geser (shear strength), hal ini berbeda ketika kejadian gempa terjadi. Saat
gelombang gempa merambat melalui tanah (khusunya komponen gelombang
geser), elemen tanah di setiap kedalaman akan menerima tambahan gaya geser
dinamik secara berbolak – balik (cyclic shear stress). Jika cyclic shear stress yang
bekerja cukup kuat dengan durasi yang cukup untuk menaikkan excess pore water
pressure secara signifikan, maka semua kontak friksi elemen material tanah granural
tersebut akan hilang dan shear strength material tersebut akan mendekati nihil. Saat
ini terjadi, maka elemen tanah akan berperilaku seperti air secara sementara
yang disebut sebagai proses pencairan tanah (likuifaksi) karena air adalah
material yang tidak memiliki shear strength sama sekali. Keika gelombang gempa
berhenti dan excess pore water pressure perlahan turun kembali mencapai kondisi
hidrostatiknya, partikel –partikel tanah akan kembali bersentuhan dan kembali
mendapatkan gaya kontak friksinya sehingga shear strength akan naik kembali.
Ketika fenomena likuifaksi terjadi pada area di lereng atau dataran rendah
dengan kemiringan yang cukup landau, semua massa tanah yang berperilaku seperti
air secara sementara tersebut akan bergerak dan hulu ke hilir mengikuti gaya
grafitasi (liquefaction-induced landslide) yang mampu membawa semua objek yang
berada diatasnya. Semakin tebal lapisan tanah yang mengalami likuifaksi, maka
semakin massif pula pergerakan yang terjadi karena gaya grafitasi yang lebih besar
akibat berat sendirinya. (PusGen, 2018)
Berdasarkan pemaparan di atas likuifaksi umumnya terjadi saat gempa, dan
telah menyebabkan keruntuhan tanah dan bangunan diatasnya. Tanah berubah dari
fase solid, menjadi berperilaku cair sementara kehilangan kekuatannya. Likuifasi
terjadi pada tanah pasir lepas dan medium yang jenuh air yang mengalami
pengingkatan tekanan air pori ekses akibat perambatan gelombang gempa ke
permukaan tanah. Pasir dan pasir kelanauan adalah jenis tanah yang dapat
mengalami likuifaksi.
Pada umumnya semua tanah tidak seluruhnya berpeluang untuk terjadi
likuifaksi. Tanah dapat dikatakan berpeluang untuk terjadi likuifaksi menurut
Association of Bay Area Government, San Fransisco, Yaitu:
1. Tanah mempunyai sifat lepas, tidak terjadi konsolidasi atau tidak dapat
terpadatkan dan tanah yang berjenis pasir ataupun lanau tanpa banyak
mengandung material-material lempung yang terkandung pada jenis tanah
tersebut.
2. Tanah yang mempunyai jenis pasir dan lanau bersifat jenuh air yang diakibatkan
oleh naiknya muka air tanah tersebut.
Letak air tanah yang dekat dengan permukaan tanah akan mempunyai potensi
yang besar terjadinya likuifaksi. Lapisan permukaan tanah yang tidak jenuh air
memiliki potenis yang keil akan terjadinya likuifaksi. Apabila lapisan tanah
permukaan tidak terendam air maka tidak mungkin akan terjadi likuifaksi. (Allafa
dan Prasetya, 2019). Menurut Tohari et. Al., 2015, likuifaksi terjadi pada tanah
lepas dengan nilai DR berkisar antara 15-50% seperti yang terlihat pada table 2.1
di bawah.
Tabel 2. 1 Qualitative description of granular soil deposits

Relative density (%) Description of soil deposit


0-15 Very Loose
15-50 Loose
50-70 Medium
70-85 Dense
85-100 Very dense
Sumber: Youd dkk. 1979 dalam Tandirerung, 2017
Dengan mempertimbangkan kedalaman muka air tanah, maka tingkat
kerentanan likuifaksi mengikuti kriteria oleh (Youd dkk. 1979) dalam (Tandirerung,
2017) seperti pada table 2.2 Likuifaksi sering terjadi pada lapisan endapan yang
relatif dekat dengan permukaan atau kurang dari 10 meter pada situasi muka air
tanah beberapa meter dari permukaan.

Tabel 2. 2Pengaruh tinggi muka air tanah terhadap potensi terjadinya likuifaksi

Ground Water Depth (m) Maximum Posible Susceptibility


< 3,0 Very High
3,0 - 9,1 High
9,1 - 15,2 Low
> 15,2 Very Low
Sumber: Youd dkk. 1979 dalam Tandirerung, 2017

2.2.4 Kurva Kriteria Batas Likuifaksi Ishihara


Untuk menyebabkan kerusakan pada permukaan tanah yang rata akibat
likuifaksi, lapisan tanah yang terlikuifaksi harus cukup tebal sehingga tekanan
angkat yang dihasilkan dan jumlah air yang dikeluarkan dari lapisan yang
terlikuifaksi dapat mengakibatkan pecahnya tanah seperti pasir mendidih (sand
boiling) dan keretakan lateral. Jika lapisan pasir jenuh yang rentan likuifaksi
ketebalannya cukup tipis dan berada dibawah lapisan tidak rentan likuifaksi yang
cukup tebal maka hal ini dapat mencegah efek likuifaksi mencapai permukaan.
Ishihara dalam (Bora Sonmez,et.al,2008) merekomendasikan kriteria empris sesuai
Gambar.2.1 untuk menilai potensi ketebalan lapisan yang rentan mengalami
likuifaksi terhadap tidak rentan likuifaksi, hal ini berkaitan dengan manifestasi
perbandingan ketebalan permukaan tanah yang tidak rentan terlikuifaksi terhadap
ketebalan tanah rentan likuifaksi pada rentang besaran percepatan gempa yang
diamati. Kriteria ini didasarkan dari hasil peneltian kondisi tanah yang terkait
dengan berbagai laporan kerusakan likuifaksi dari gempa Nihonkai-Chubu tahun
1983 di Jepang (M = 7.7) dan gempa Tanghsan tahun 1976 di Cina (M = 7.8), dan
menghasilkan grafik untuk memperkirakan ketebalan lapisan tanah penutup yang
diperlukan untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh likuifaksi pada
permukaan tanah.
Gambar 2. 1 Kurva batas yang diusulkan untuk identifikasi lokasi kerusakan
akibat likuifaksi menurut Ishihara, (Bora Sonmez,et.al,2008)

Dalam prosedur Ishara ini, dua terminologi digunakan yaitu ketebalan, H1


(ketebalan lapisan tanah penutup yang tidak mengalami likuifaksi) dan H2
(ketebalan lapisan tanah yang terlikuifaksi), sebagaamana diilustrasikan pada
Gambar 2.1a. Dalam pendekatan ini, terjadinya kerusakan permukaan akibat
likuifaksi bergantung pada H1, H2 dan percepatan tanah horizontal puncak (a max).
Definisi dari lapisan permukaan yang tidak terlikuifaksi dan lapisan yang dapat
terlikuifaksi yang mendasari, dan kurva batas yang diusulkan oleh Ishihara untuk
membedakan antara terjadinya dan tidak timbulnya efek permukaan dari likuifaksi
ditunjukkan pada Gambar. 2.1b. . Kurva Ishihara, dikembangkan berdasarkan
lubang bor-log dari situs dengan atau tanpa efek kerusakan permukaan akibat
likuifaksi, ketebalan lapisan tanah penutup yang tidak terlikuifaksi dan lapisan yang
dapat terlikuifaksi.
Sejumlah peneliti telah menguji batasan yang diusulkan oleh Ishihara,
dengan menggunakan prosedur simplikasi dari Seed (Bora Sonmez,et.al,2008),
menyimpulkan bahwa untuk situs yang tidak rentan terhadap osilasi tanah dan
penyebaran lateral, terjadinya atau tidak terjadinya efek likuifaksi permukaan secara
umum diprediksi dengan benar oleh batas-batas yang dikemukakan oleh Ishihara,
khususnya manifestasi sand boiling. Namun sayangnya, batas-batas tersebut dengan
buruk memprediksi efek permukaan tanah di situs dengan osilasi
tanah atau penyebaran lateral, oleh karena itu menyimpulkan bahwa kurva batas
Ishihara memerlukan modifikasi atau pengamatan lapangan dari kegagalan tanah
dalam hal ini pada interpretasi yang berbeda, dibutuhkan lebih banyak studi kasus
diperlukan untuk mengkonfirmasi kurva batas bawah dan batas. Mereka juga
mengindikasikan bahwa prosedur Ishihara mungkin tidak dapat diterapkan secara
tepat di area yang melibatkan penyebaran lateral yang massif.

2.2.5 Penelitian-Penelitian Terkait


Vesariany (2012) mengevaluasi potensi likuifaksi dengan mensimulasi
fenomena likuifaksi dengan membuat model fisik skala laboratorium mengguakan
alat uji shaking table, dengan kajian pengaruh gradasi, ukuran butiran, dan
kandungan air pada pasir terhadap potensi likuifaksi. Hasil dari penelitian
Vesariany menunjukkan bahwa pasir halus bergradasi buruk pada kondisi terendam
penuh lebih berpotensi likuifaksi dibandingkan dengan pasir sedang, pasir kasar,
dan pasir gradasi baik.
Mase, L. Z. (2013) melakukan studi eksperimental potensi likuifaksi pasir
Kali Opak Imogiri menggunakan alat shaking table. Pengujian dilakukan dengan
memodelkan percepatan maksimum gempa kawasan Kali Opak Imogiri yaitu 0.3g,
0.35g, dan 0.4g dengan frekuensi getaran sebesar 1.6 Hz serta waktu penggetaran
selama 32 detik. Hasil analisis menunjukkan bahwa potensi likuifaksi terjadi untuk
setiap pembebanan. Keseluruhan nilai ru hasil pengujian bernilai > 1. Penambahan
beban dinamik akan memperbesar ru dan memperbesar durasi likuifaksi.

Anda mungkin juga menyukai