Perempuan?
Yang mana berarti eksistensi perempuan dalam dunia perfilm hantuan ini
sangatlah menarik bagi mereka. Bagaimana bisa? Pertama, karena paras
perempuan yang cantik sifatnya sangat menjual, kenapa? Mari kita lihat, biasanya
film-film hantu ini tidak akan secara langsung menyajikan gambaran yang buruk
dari hantu tersebut, biasanya akan terlebih dahulu diceritakan latar belakang dari
perempuan tersebut sampai akhirnya bisa menjelma menjadi sosok yang sangat
menyeramkan.
Hantu-hantu perempuan ini bisa dibilang lahir dari kaum tertindas yang
kebanyakan cukup berakhir dengan kata “Yaudah sabarin aja, mau gimana lagi”
atau bisa saja hantu perempuan ini hanya dijadikan sebagai objek komoditi yang
menjual bagi tontonan laki-laki sagapung alias tontonan esek-esek yang tidak
berkualitas dan tidak bermoral.
Padahal sebenarnya hantu atau setan itu tidak bergender atau nonbiner
karena tidak memiliki alat reproduksi, hantu-hantu yang diklasifikasikan memiliki
gender tertentu ini hanya sekadar akal-akalan saja. Yang mana kelihatannya malah
membuat citra dari perempuan semakin terpojokkan. Nah, marginalisasi seperti ini
menyebabkan pola pikir yang salah dan tentunya malah melanggengkan budaya
patriarki.
Memang sulit untuk memberantas budaya yang telah lama melekat, akan
tetapi jika budaya itu salah apakah akan tetap dibiarkan begitu saja? Sedangkan
zaman semakin berkembang, dan budaya pun seharusnya dapat terbaharui. Bukan
malah melanggengkan budaya lama yang salah. Diam dalam sebuah kondisi di
zona nyaman yang mana seharusnya tidak membuat nyaman, itu yang harus
dipertanyakan ada yang salah dalam dirimu.
Kedua, katak itu dimasukkan ke dalam panci yang berisi air dan pada
awalnya dia senang masih menikmati berenang kesana kemari, sampai ketika
kompor dinyalakan, mulai terjadi perubahan suhu dan katak itu masih belum
menyadarinya bahwa akan ada bahaya yang mengintai keselamatannya. Lalu
sampai pada air itu mendidih katak sadar dan mulai berenang ke pinggiran panci
akan tetapi itu sudah terlambat.
Nah ibroh yang bisa kita ambil dari kejadian ini adalah bahwa tidak semua
comfort zone berarti safety zone karena bisa jadi itu adalah danger zone yang
belum kita sadari, sama halnya seperti patriarki ada bahaya yang mengancam di
dalamnya.