Anda di halaman 1dari 3

Menguak Sisi Produksi Perfilman: Mengapa Banyak Peran Hantu di Dominasi

Perempuan?

Sebenarnya agak menggelitik ketika menulis ini, mengapa perkara hantu


saja menjadi bahan untuk diskusi, tapi jika kita perhatikan dengan seksama di
film-film baik yang di produksi luar maupun dalam negeri kebanyakan yang
menjadi sosok arwah penasaran atau bisa dibilang hantu itu adalah perempuan.
Benar tidak? coba perhatikan beberapa judul film ini Pengabdi Setan, Perempuan
Tanah Jahannam, Kuntilanak, Kain Kafan Perawan, Suzana Bangkit dari Kubur,
Si Manis Jembatan Ancol, Sundel Bolong dan masih banyak lagi judul yang
lainnya.

Yang mana berarti eksistensi perempuan dalam dunia perfilm hantuan ini
sangatlah menarik bagi mereka. Bagaimana bisa? Pertama, karena paras
perempuan yang cantik sifatnya sangat menjual, kenapa? Mari kita lihat, biasanya
film-film hantu ini tidak akan secara langsung menyajikan gambaran yang buruk
dari hantu tersebut, biasanya akan terlebih dahulu diceritakan latar belakang dari
perempuan tersebut sampai akhirnya bisa menjelma menjadi sosok yang sangat
menyeramkan.

Mengapa kecantikan juga dalam hal ini sangatlah di perhitungkan, tentu


untuk menaikkan rating. Karena dalam dunia seni film yang dijajakan adalah
tampilan luar yang kemudian dilihat oleh para penikmatnya. Jika saja pemain itu
kurang menarik biasanya peminatnya juga akan berkurang. Jujur saja saya sebagai
salah seorang yang hobi nonton drakor lebih tertarik jika aktornya ganteng, di luar
dari alur ceritanya sendiri yang memang sudah keren.

Kemudian selain dari paras yang menarik, alasan perempuan lebih


dominan memegang peran sebagai hantu adalah karena citra yang terbentuk dari
society, bahwa perempuan itu lemah, tidak berdaya dan bisa di perdaya. Sehingga
muncullah ide-ide yang menggambarkan betapa ironisnya perempuan hanya
mampu melakukan teror kepada orang-orang yang menyakitinya setelah ia mati.

Bahkan dalam penggambaran teror tersebut pun perempuan mesti harus


turun tangan sendiri. Yang jadi pertanyaan kenapa bisa semenyedihkan itu?
Karena sosok hantu dari perempuan ini kerap kali tercipta dari berbagai kekerasan
yang dilakukan laki-laki kepada mereka. Nah dampak dari pengotakan citra
perempuan inilah yang menjadikan perempuan tidak sepemberani laki-laki dalam
hal bersikap dan mengekspresikan emosi.

Gambaran-gambaran seperti ini secara tidak langsung akan terserap oleh


para penonton dan menjadikan mindset yang salah dalam menilai perempuan.
Alasan selanjutnya menyoal teror meneror ini jika terjadi karena dendam,
terdengar lebih realistis karena biasanya perempuan lebih dapat untuk
membungkus rapi dendam itu dibanding harus dikeluarkan lewat emosi, maka
dari itu alasan ini yang menjadi sasaran empuk bagi para director yang kemudian
dikemas menjadi hantu penasaran karena ada urusan yang belum sempat
terselesaikan.

Hantu-hantu perempuan ini bisa dibilang lahir dari kaum tertindas yang
kebanyakan cukup berakhir dengan kata “Yaudah sabarin aja, mau gimana lagi”
atau bisa saja hantu perempuan ini hanya dijadikan sebagai objek komoditi yang
menjual bagi tontonan laki-laki sagapung alias tontonan esek-esek yang tidak
berkualitas dan tidak bermoral.

Padahal sebenarnya hantu atau setan itu tidak bergender atau nonbiner
karena tidak memiliki alat reproduksi, hantu-hantu yang diklasifikasikan memiliki
gender tertentu ini hanya sekadar akal-akalan saja. Yang mana kelihatannya malah
membuat citra dari perempuan semakin terpojokkan. Nah, marginalisasi seperti ini
menyebabkan pola pikir yang salah dan tentunya malah melanggengkan budaya
patriarki.

Memang sulit untuk memberantas budaya yang telah lama melekat, akan
tetapi jika budaya itu salah apakah akan tetap dibiarkan begitu saja? Sedangkan
zaman semakin berkembang, dan budaya pun seharusnya dapat terbaharui. Bukan
malah melanggengkan budaya lama yang salah. Diam dalam sebuah kondisi di
zona nyaman yang mana seharusnya tidak membuat nyaman, itu yang harus
dipertanyakan ada yang salah dalam dirimu.

Tidak sepantasnya budaya yang masih bias menjadi safety zone, ya


memang nyaman ya? Ketika ada dalam situasi dan kondisi seperti ini mungkin
bagi beberapa orang menyenangkan. Karena segala sesuatu dapat diselesaikan
tanpa stres, mengapa demikian? Sebab itu bukanlah hal yang baru melainkan
sebuah rutinitas yang berulang-ulang dilakukan dan diajarkan secara terus
menerus dan turun menurun dengan pola dan sistem yang teratur.
Persis seperti The Boiling Frog Syndrome yaitu sebuah eksperimen yang
dilakukan kepada katak untuk melihat reaksinya ketika comfort zonenya di
pertaruhkan. Eksperimen ini dilakukan dengan dua kondisi, pertama ketika katak
didekatkan dengan panci yang berisi air panas, spontan ia meloncat keluar dan
menjauhinya.

Kedua, katak itu dimasukkan ke dalam panci yang berisi air dan pada
awalnya dia senang masih menikmati berenang kesana kemari, sampai ketika
kompor dinyalakan, mulai terjadi perubahan suhu dan katak itu masih belum
menyadarinya bahwa akan ada bahaya yang mengintai keselamatannya. Lalu
sampai pada air itu mendidih katak sadar dan mulai berenang ke pinggiran panci
akan tetapi itu sudah terlambat.

Ini menggambarkan bahwa katak sudah terlena dengan kondisi di zona


nyamannya dan ia tidak mau untuk berusaha keluar dari zona itu sampai pada
akhirnya zona nyaman itulah yang membawanya kepada bahaya. Padahal jika
dipikirkan secara logika, katak itu sudah merasa ada yang tidak beres semenjak
ada perubahan suhu dalam air itu. Namun ia tidak menghiraukannya, dan memilih
untuk tetap stay dalam zona itu meskipun kendali dirinya ia pegang sepenuhnya,
tapi ia malah memilih keputusan yang salah.

Nah ibroh yang bisa kita ambil dari kejadian ini adalah bahwa tidak semua
comfort zone berarti safety zone karena bisa jadi itu adalah danger zone yang
belum kita sadari, sama halnya seperti patriarki ada bahaya yang mengancam di
dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai