Anda di halaman 1dari 14

KLIPING SEJARAH INDONESIA

“POLITIK ETIS”

DISUSUN OLEH :
NAMA : MAKBUL SIDIK MUSTOFA
NO : 20
KELAS : X TBSM 1

SMK MA’ARIF 2 TEMON


 KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan
kliping Politik Etis ini dengan baik. Karena dengan izin-Nya kami dapat membuat dan
menyelesaikan kliping ini, walaupun masih banyak kekurangan.
Kami ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu guru yang telah membimbing kami.
Besar harapan kami, kehadiran kliping ini dapat memberikan kontribusi bagi
terselenggaranya pendidikan yang berkualitas serta mendorong siswa untuk menjadi
generasi berprestasi.
Kami menyadari dalam penyusunan kliping ini masih banyak kekurangan, maka
dari itu dengan kerendahan hati, kami mengharap kritik dan saran dari semua pihak
untuk/memperbaiki kliping ini sehingga menjadi lebih baik.

Temon, 25 Juni 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................i
Kata Pengantar...........................................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................................iii
1. Pengertian Politik Etis..........................................................................................1
2. Latar Belakang Politik Etis..................................................................................2
3. Tokoh Pencetus Politik Etis..................................................................................3
4. Tujuan Politik Etis .............................................................................................6
5. Isi Politik Etis.......................................................................................................6
6. Penyimpangan Politik Etis...................................................................................6
7. Kritik Politik Etis.................................................................................................7
8. Pelaksanaan Dalam Politik Etis...........................................................................8
9. Dampak Politik Etis.............................................................................................9
10. Kekurangan Pelaksanaan Politik Etis...................................................................9
11. Politik Etis dan Implikasi Dalam Perkembangan Pendidikan..............................10
Daftar Pustaka............................................................................................................11

iii
KRITIK POLITIK ETIS

Pengertian Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa
pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran
ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief)
dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih
memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan
hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam
program Trias Van deventer yang meliputi:
 Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan
untuk keperluan pertanian
 Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
 Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-
tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer
kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun
irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan
penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang
berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah
seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon

1
(1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905).
Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa
yang hampir merata di daerah-daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang
Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap
pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka
berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan
mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut
pendidikan ke arah swadaya.

Latar belakang Politik Etis


Pada awal sebelum dilaksanakannya politk etis keadaan social dan ekonomi di Indonesia begitu
buruk dan jauh dari kata sejahtera terutama untuk pendidikan pribumi yang bukan dikalangan
bangsawan. Pendidikan bukan menjadi baik justru sebaliknya. Dari bidang ekonomi tanah-tanah
farah yang luas masih dikuasai oleh perantuan tanah yang dimana rakyat biasa hanya sebagai
penyewa dan pekerja saja.
Bidang politk masalah yang berkembang saat ini adalah sentralisasi politik yang kuat sehingga
tidak ada pemisahan kekuasaan dan keuangan antara pemerintah koloniol dan bangsa Indonesia
yang berdampak pada ketidak sejahteraan pribumi. Keadaan ini mendapatkan tanggapan dari
golongan social democrat yang didalangi oleh VON Deventer yang kemudian dijuluki bapak
pangeran etis yang menginginkan adanya balas budi unntuk bangsa Indonesia. Van deveter
dalam majalah de gres mengkritrik pemerintah colonial dan menyarankan agar dilakukan politik
kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan untuk bangsa
Indonesia terhadap Negara belanda.
Kritikan ini kemudian direspon oleh Ratu Wilhelmina dalam pengangkatannya sebagai ratu baru
balanda pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bahwa bangsa belanda mempunyai
hutang moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.selain dua factor ini, juga
karena perubahan politik dibelanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang
menginginkan dilakukannya sisitem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan agar
pendidikan mulai di tingkatkan di indonesia. Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda
semakin membuat politik etis agar segera dilaksanakan yaitu:
 Golongan misionaris
Tiga partai Kristen partai katolik, anti revolisoner dan kresten yang programnya adalah
kewajiban belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh agama.
 Golongan koseriatif
Menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberadapkan
orang-orang terbelakang.

2
Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan terahir politik
colonial seharusnya telah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk
pribumi, evaluasi ekonomi bukan eksploitasi colonial melainkan pertanggung jawaban moral.

Tokoh Pencetus Politik Etis


Yang keberadaan Politik Etis di Hindia Belanda ketika itu, setidaknya diwarnai oleh sosok-
sosok mereka, baik sebagai inisiator, fasilitator, eksekutor maupun kritikus dari kebijaksanaan
tersebut. Berikut adalah tokoh-tokoh Belanda yang mewarnai Politik Etis.
 Eduard Douwes Dekker (1820-1887)
Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal pula dengan
nama pena Multatuli adalah penulis Belanda yang
terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya
yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah
terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Ketika
menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama
samaran ‘Multatuli’.

Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “‘Aku


sudah menderita cukup banyak’” atau “‘Aku sudah
banyak menderita’”; di sini, aku dapat berarti Eduard
Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah
buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda,
walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan. Max
Havelaar bisa jadi buku yang mempengaruhi terlahirnya Politik Etis di Hindia Belanda kelak.
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (Sumber: voiceseducation)

 Pieter Brooshooft (1845 – 1921)

Brooshooft adalah seorang wartawan dan sastrawan, yang


dikenal sebagai salah satu tokoh Politik Etis. Tahun 1887
Brooshooft mengadakan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa,
lalu menuliskan laporan tentang keadaaan yang sangat
menyedihkan di Hindia Belanda akibat kebijakan tanam paksa
pemerintah. Dia menyampaikan laporan tadi kepada 12 tokoh
politisi Belanda terkemuka, disertai lampiran setebal buku
yang memaparkan fakta-fakta yang dicatat dan ditandatangani
1255 orang.

3
Laporan itu menuntut harus dibentuk sebuah partai Hindia agar kepentingan Hindia Belanda
terwakili di Parlemen. Dilampirkan pula buku Memorie over den toestan in indie (Catatan
tentang keadaan di Hindia), yang mengkritik struktur pajak dan mengecam sistem bandar. Tahun
1904 Brooshooft kembali ke Belanda dalam keadaan kecewa dan putus asa, karena merasa
perjuangannya bagi keadilan terhadap pribumi tidak ada hasilnya. Tajuk Rencana yang terakhir
ditulis berjudul: Pamitan Dengan Orang Sakit, dimuat pada surat kabar Semarang, De
Locomotief, tanggal 31 Desember 1903.

Setelah di Belanda, Brooshooft tetap rajin menulis, antara lain sebuah naskah pentas: Arm Java
(Kasihan, Pulau Jawa), pada 1906. Naskah ini dianggap memiliki benang merah dengan
eksistensi dan riwayat Kartini, sebab di dalamnya ada tokoh Murtinah, puteri seorang Bupati
modern yang telah maju pikirannya. Diceritakan Murtinah sering menulis dalam majalah-
majalah wanita di Belanda dan mengadakan surat-menyurat dengan teman-teman di negeri itu
pula. Pieter Brooshoft.

 Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)

Van Deventer dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda


dan juga tokoh Politik Etis. Pada sebuah surat tertanggal 30
April 1886 yang ditujukan untuk orang tuanya, Deventer
mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih
manusiawi bagi pribumi karena mengkhawatirkan akan
kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan
tanah jajahan. Lalu pada 1899 Deventer menulis dalam
majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang
kehormatan).

Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana
mereka menjadi negara yang makmur dan aman adalah hasil kolonialisasi yang datang dari
daerah jajahan di Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan
terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan. Ketika Deventer
menjadi anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri daerah jajahan Idenburg
untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat pribumi di Jawa dan
Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan tugasnya (1904).

Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan, kemudian dengan tegas
mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan itu sangat terkenal, dan tentu saja mengundang
banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tak kalah terkenalnya adalah yang dimuat

4
oleh De Gids juga (1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan
prinsip-prinsip etis bagi beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya. Theodor van Deventer.

 Jacques Henrij Abendanon (1852-1925)


J.H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama,
dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Ia
datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900. Ia ditugaskan
oleh Belanda untuk melaksanakan Politik Etis. Di bawah
Abendanon, sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-
sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa
yang hampir merata di daerah-daerah.

Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para


kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang
direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai
pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleiding
School Voor Inlandsche Ambtenaren). J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-
surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi
judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan
surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan
terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Jacques Henrij Abendoon.

 Dr. Douwes Dekker (1879-1950)


Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau Danudirja
Setiabudi adalah seorang pejuang kemerdekaan dan
pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang
peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20,
penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta
penggagas nama “Nusantara” sebagai nama untuk Hindia-
Belanda yang merdeka.

Setiabudi adalah salah satu dari “Tiga Serangkai” pejuang


pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat. Ernest Douwes Dekker termasuk yang
menentang ekses pelaksanaan politik etis ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial
yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis

5
ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula
orang Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.

Tujuan Politik Etis


Adapun tujuan Politik Etis yaitu:
 Edukasi ialah menyelenggarakan pendidikan.
 Irigasi ialah membangun sarana dan jaringan pengairan.
 Transmigrasi/imigrasi ialah mengorganisasi perpindahan penduduk.

Politik etis yang dalam hal ini dilaksanakan Belanda dengan melakukan perbaikan bidang
irigasi, pertanian, transmigrasi dan pendidikan, sepintas kelihatan mulia. Namun di balik itu,
program-program ini dimasudkan untuk kepentingan Belanda sendiri.

Isi Politik Etis


Pada 17 September 1907, Ratu Wilhelmira yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan parlemen belanda, bahwa pemerintah belanda mempunyai panggilan moral dan
hutang budi (een eersehuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia belanda. Ratu wilhelmira
menuangkan panggilan moral tidak kedalam kebijakan politik etis, yang terankum dalam
program trias politika yang meliputi:
1. Irigasi(pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk
keperluasan peratanian.
2. Dua imigrasi yakni mengajak pendidik untuk transmigrasi.
3. Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : “Gerakan Reformasi” Faktor Pendorong
Terjadinya & ( Politik – Ekonomi – Sosial – Hukum )

Penyimpangan Politik Etis
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai
Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
 Irigasi
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta
Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
 Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat,
hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu.

6
Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak
pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak
pribumi dan pada umumnya.
 Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar
akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara,
khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke
Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk
mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale
Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari
dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan
Belanda.

Kritik Politik Etis
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial
adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di
kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan
hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak
dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi
haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.

Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang
harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia
Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).

Politik etis atau politik balas budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah
kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi (negara jajahan).
Pencetus politik etis (politik balas budi) ini adalah Van De Venter. Van Deventer
memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dengan menulis karangan dalam majalah De Gids yang
berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah
berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan
memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan.

7
Menurut Van Deventer, ada tiga cara untuk memperbaiki nasib rakyat tersebut yaitu memajukan
 Edukasi (Pendidikan)
Dengan edukasi akan dapat meningkatkan kualitas bangsa Indonesia sehingga dapat
diajak memajukan perusahaan perkebunan dan mengurangi keterbelakangan.
 Irigasi (pengairan)
Dengan irigasi tanah pertanian akan menjadi subur dan produksinya bertambah.
 Emigrasi (pemindahan penduduk)
Dengan emigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan,
akan dapat diolah untuk menambah penghasilan. Selain itu juga untuk mengurangi
kepadatan penduduk Jawa.

Pendukung Politik Etis usulan Van Deventer adalah sebagai berikut.


1. Mr. P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada tahun 1901 menulis buku
berjudul De
2. Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis dalam Politik Kolonial).
3. K.F. Holle, banyak membantu kaum tani.
4. Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum adat pada beberapa suku bangsa di
Indonesia.
5. Abendanon, banyak memikirkan soal pendidikan penduduk pribumi.
6. Leivegoed, seorang jurnalis yang banyak menulis tentang rakyat Indonesia.
7. Van Kol, banyak menulis tentang keadaan pemerintahan Hindia Belanda.
8. Douwes Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar.

Pelaksanaan Dalam Politik Etis


Dalam perubahan politik ini negeri Belanda membawa pengaruh bagi kebijakan pada negara-
negara jajahan Belanda, termasuk Indonesia “Hindia Belanda”. Golongan liberal di negeri
Belanda yang mendapat dukungan yang besar dari kalangan masyarakat, mendesak pemerintah
Belanda untuk meningkatkan kehidupan di wilayah jajahan.

Yang dalam hal ini salah satu penganut politik liberal ialah Van Deventer.C.Th.van Deventer
yang merupakan salah seorang tokoh penganjur “pencetus” Politik Etis. Desakan ini mendapat
dukungan dari pemerintah Belanda, dalam pidato negara pada tahun 1901, Ratu Belanda,
Wihelmina mengatakan:
“Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran dari penduduk
Hindia Belanda”.
Yang hal demikian pidato tersebut menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda
yang dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi.

8
Dampak Poltik Etis
Dampak yang di timbulkan oleh politik etis tentunya ada yang negatif dan positif namun yang
perlu kita ketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan awal dari politik etis banyak
yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu program yang berdampak positif
dengan sifat jangka panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang pendidikan yang akan
mendatangkan golongan terpelajar dan terdidik yang dikemudian hari akan membuat
pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya Budi Utomo, Sarikat Islam dan
berdirinya Volksraad. Adapun dampak-dampak yang terlihat nyata adalah dalam tiga bidang :
 Politik : Desentralisasi kekuasaan atau otonomi bagi bangsa Indonesia, namun tetap saja
terdapat masalah yaitu golongan penguasa tetap kuat dalam arti intervensi, karena
perusahaan-perusahaan Belanda kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan
sentralisasi berusaha diterapkan kembali.
 Sosial : Lahirya golongan terpelajar, peningkatan jumlah melek huruf, perkembangan
bidang pendidikan adalah dampak positifnya namun dampak negatifnya adalah
kesenjangan antara golongan bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena
bangsawan kelas atas dapat berseolah dengan baik dan langsung di pekerjakan di
perusahaan-perusahaan Belanda.
 Ekonomi : lahirnya sistem Kapitalisme modern, politkk liberal dan pasar bebas yang
menjadikan persaingan dan modal menjadi indikator utama dalam perdagangan.
Sehingga yang lemah akan kalah dan tersingkirkan. Selain itu juga muculnya dan
berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta dan asing di Indonesia seperti Shell

Kekurangan Pelaksanaan Politik Etis


Kekurangan dari pelaksanaan pelitik etis adalah kebijakan ini hanya dibutuhkan bagi orang
pribumi (eksklusif).buktinya adalah pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya
ditujukan untuk kalangan pribumi. Sementara orang-orang campuran tidak dapat masuk
ketempat itu. Bagi mereka yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus
pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.
Padangan pemerintah colonial yang memandang bahwa hanya orang pribumilah yang harus
ditolong, di tentang oleh Ernest Douwes dekker. Menurutnya, seharusnya politik etis ditujukan
bagi semua pendidik hindia belanda (indies) yang didalamnya termasuk orang eropa yang
menetap dan tionghoa.

9
Politik Etis dan Implikasi Dalam Perkembangan Pendidikan
Dinamikanisasi Pendidikan dan Perkembangan Sekolah
politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang diperjuangakan oleh golongan liberal dan sosiol
demokrat yang menginginkan adanya suatau keadilan yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda
yang telah begitu banyak membantu dan meningkatkan defisa dan kemakmuran bagi
pemerintahan Belanda.
Awal politik etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I diangkat sebagai ratu baru di Negeri Belanda
pada tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia mengungkapkan bahwa pemerintahan
Belanda berhutang moril kepada Hindia-Belanda dan akan segera dilakukan policy mengenai
kesejahteraan di Hindia-Belanda, yang kemudian di buat tim penelitian untuk keadaan di
Hindia-Belanda. Pernyataan itulah yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis.
Meskipun makna dan sejarah istilah tersebut tidak hanya sebatas atas kejadian tersebut, dan
diantara tokoh-tokoh pencetus politik etis adalah van Devebter, van Kol, dan yang paling
terkenal adalah Abendanon sebagai representasi dari politik etis.

Munculnya Elite Nasional “Kaum Terpelajar Pribumi”


Yangs salah satu dampak pelaksanaan Politik Etis ialah melahirkan golongan cerdik, karena
berkat diselenggarakannya pendidikan “cendikiawan”. Sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu
ialah HIS “Hollands Inlandsche School” yang diperuntukkan bagi keturunan Indonesia asli yang
berada pada golongan atas, sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah
disediakan sekolah kelas dua.
Dalam pendidikan tingkat menengah disediakan HBS “Hogere Burger School”, MULO “Meer
Uiterbreit Ondewijs”, AMS “Algemene Middlebared School”, di samping itu ada beberapa
sekolah kejuruan/keguruan seperti Kweek School, Normal School.
Adapun untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik “Koninklijk Institut or Hoger
Technisch Ondewijs in Netherlands Indie”, Sekolah Tinggi Hukum “Rechshool”, dan Sekolah
Tinggi Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah Dokter Jawa, Stovia, Nias dan GHS
“Geneeskundige Hooge School”.

Pendidikan kesehatan “kedokteran tersebut di atas” yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir
sebagai sekolah dokter Jawa, kemudian pada tahun 1875 diubah menjadi Ahli Kesehatan Bumi
Putra “Inlaends Geneekundige”. Dalam perkembangannya pada tahun 1902 menjadi Dokter
Bumi Putra “Inlands Arts”, Sekolah ini diberi nama STOVIA “School Tot Opleiding Van
Indische Artsen” kemudian pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS “Netherlands Indische
Artesen School”. Dengan kemajuan di bidang pendidikan ini maka melahirkan golongan cerdik
dan pandai yang mulai memikirkan perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://www.gurupendidikan.co.id/politik-etis/

11

Anda mungkin juga menyukai