Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi yang dicirikan oleh pesatnya perdagangan, industri

pengolahan pangan, jasa dan informasi akan mengubah gaya hidup dan pola

konsumsi makan masyarakat, terutama di perkotaan. Dalam waktu relatif

singkat telah diperkenalkan selera makan gaya fast food maupun health food

yang populer di Amerika dan Eropa. Budaya makan telah berubah menjadi

tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro.

Perubahan selera makan ini cenderung menjauhi konsep makan seimbang,

sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan dan gizi (Baliwati, 2004).

Perubahan gaya hidup masyarakat masa kini turut mempengaruhi pola

konsumsi dengan maraknya makanan instan. Makanan instan atau siap saji

kian digemari sebagai makanan pengganti nasi, salah satunya adalah mie

instan. Pergeseran pola konsumsi ini dimungkinkan karena mie dapat diproses

dengan mudah, disajikan dengan praktis dan dapat memenuhi selera sebagian

besar masyarakat, baik orang dewasa maupun anak – anak (Kurnianingsih,

2007). Mie instan adalah makanan favorit dari semua kalangan masyarakat

terutama bagi orang yang memiliki kesibukan yang sangat banyak sehingga

tidak sempat untuk membuat ataupun membeli makanan yang sehat (Fahmi,

2010).

Mie instan belum dapat dianggap sebagai makanan penuh (wholesome

food) karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Mie
yang terbuat dari terigu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi

kandungan protein, vitamin, dan mineralnya hanya sedikit. Pemenuhan gizi

mie instan dapat diperoleh jika ada penambahan sayuran dan sumber protein

(Fahmi, 2010). Kebiasaan mengkonsumsi mie siap saji tanpa tambahan sayur

dan protein menjadi kurang tepat karena tidak semua kebutuhan zat gizi

terpenuhi. Selain bahan tambahan yang ada di dalamnya, mie instan juga

rendah serat, serat dalam makanan juga diperlukan untuk menjaga kesehatan

saluran cerna, wasir, maupun kanker usus dikemudian hari.

Di Indonesia, mie digemari berbagai kalangan, mulai anak – anak hingga

lanjut usia. Alasannya, sifat mie yang enak, praktis dan mengenyangkan.

Kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mie digunakan sebagai

sumber karbohidrat pengganti nasi. Selain itu, mie instan juga sering dijadikan

solusi untuk mengatasi balita yang sulit makan, padahal jika pemberian mie

instan ini dibiasakan terhadap anak sejak usia dini, mereka akan merasa

ketagihan dan pada akhirnya hanya mau mengkonsumsi mie instan saja karena

rasanya yang gurih dan tekstur yang lembut, serta warnanya yang mencolok

(Ismullah, 2010).

Balita usia prasekolah mempunyai kebiasaan mengonsumsi makanan

cepat saji, yang umumnya memiliki energi tinggi karena 45 – 50%nya berasal

dari lemak (Irene, 2009). Konsumsi mie instan oleh masyarakat Indonesia

diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% pertahun. Berdasarkan

salah satu merk mie instan, dalam 85 gram mie instan mengandung 420 kkal

energi dengan jumlah lemak 18 gram, protein 7 gram, karbohidrat 57 gram.


Jika dibandingkan dengan nasi dalam berat yang sama mengandung 148,75

kkal, 3,4 gram protein, dan 34 gram karbohidrat (DKBM, 2009).

Dalam kerangka UNICEF mengenai penyebab terjadinya masalah gizi,

faktor asupan makanan merupakan penyebab langsung terjadinya kurang gizi.

Pada umumnya, balita membutuhkan asupan energi dan protein yang cukup

untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (Brown,

2015). Asupan makan yang beragam juga diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan zat gizi penting yang lain. Namun yang sering terjadi pada rentang

usia balita adalah asupan makan anak cenderung kurang karena anak menolak

makan yang tidak disukai dan hanya mengkonsumsi makanan favoritnya

(Kurniasih, dkk, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Anggi (2011), balita dengan frekuensi

konsumsi mie instan tinggi adalah 58,6% dan 48,5% untuk tingkat konsumsi

mie instan rendah. Penelitian Handayani (2014) mengungkapkan bahwa

frekuensi konsumsi mie instan pada sebagian besar keluarga miskin adalah

40%, sedangkan konsumsi mie instan pada keluarga tidak miskin 30%.

Konsumsi mie instan yang terlalu banyak juga dikhawatirkan dapat

mengakibatkan efek kurang baik bagi tubuh, terutama anak– anak yang berada

dalam masa pertumbuhan. Konsumsi mie instan secara tunggal dan terus

menerus membuat tubuh akan mengalami kekurangan atau kelebihan beberapa

zat gizi (Winarno, 2012). Dahl, Heine, dan Tassinari dalam Pipes (2013)

mengungkapkan bahwa asupan garam yang tinggi pada usia dini dapat

meningkatkan risiko hipertensi pada saat dewasa.


Tingginya konsumsi mie instan secara umum disebabkan oleh beberapa

faktor, satu diantaranya adalah umur dan jenis kelamin. Menurut Marotz

(2015), terdapat perbedaan makan antara balita umur 12 – 24 bulan dengan

balita umur > 24 bulan, nafsu makannya mulai meningkat seiring dengan

terbentuknya preferensi makan. Selain itu, terdapat perbedaan asupan energi

dan zat gizi lain antara laki – laki dan perempuan. Pada beberapa studi, laki –

laki mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak sehingga menghasilkan

asupan energi dan zat gizi yang lebih tinggi daripada perempuan (Pipes,

2013).

Varian konsumsi antar umur dan jenis kelamin ini dapat dikaitkan

dengan perilaku konsumsi mie instan. Secara umum, di negara berkembang,

ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan

untuk dikonsumsi anggota keluarga. Pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi

jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarga.

Pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi jenis pangan dan mutu gizi

makanan yang dikonsumsi anggota keluarga (Suhardjo, 2009).

Ibu yang memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap gizi yang tinggi

juga akan menularkan kebiasaan makan yang sehat bagi keluarganya

(Hardinsyah, 2007). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh

terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan yang menentukan mudah

tidaknya seseorang memahami manfaat kandungan gizi dari makanan yang

dikonsumsi. Pengetahuan gizi yang baik diharapkan mempengaruhi konsumsi

makanan yang baik pula, pengetahuan gizi juga mempunyai peranan yang

sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang.


Pengetahuan dan perilaku ibu yang kurang memahami kebutuhan gizi

balita merupakan masalah dalam perkembangan kesehatan balita. Perilaku

sehat adalah perilaku – perilaku atau kegiatan – kegiatan yang berkaitan

dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Satu diantara

perilaku sehat adalah makan dengan menu seimbang. Menu seimbang disini

adalah pola makan sehari – hari yang memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh baik

menurut kuantitas maupun kualitas (Notoatmodjo, 2012).

Berdasarkan uraian masalah diatas maka peneliti bermaksud untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Mie

Instan Dan Perilaku Konsumsi Mie Instan Pada Balita Di Wilayah Kerja

Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan

masalah dalam penelitian ini yaitu apakah ada hubungan pengetahuan ibu

tentang mie instan dan perilaku konsumsi mie instan pada balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang mie instan dan

perilaku konsumsi mie instan pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Natar Kabupaten Lampung Selatan.


2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang mie

instan di Wilayah Kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung

Selatan.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perilaku konsumsi mie instan

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung

Selatan.

c. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang mie instan dan

perilaku konsumsi mie instan pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Natar Kabupaten Lampung Selatan.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pembuktian penelitian sebelumnya tentang hubungan pengetahuan ibu

tentang mie instan dan perilaku konsumsi mie instan pada balita.

2. Praktis

a. Bagi Puskesmas Natar

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi petugas

kesehatan terutama pemegang program gizi untuk lebih meningkatkan

kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perbaikan gizi pada

balita.
b. Bagi Universitas Malahayati

Sebagai tambahan pustaka dan sarana untuk memperkaya ilmu

dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan hubungan pengetahuan

ibu tentang mie instan dan perilaku konsumsi mie instan pada balita.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan peneliti selanjutnya

sebagai pertimbangan jika hendak melakukan penelitian yang

berkaitan dengan hubungan pengetahuan ibu tentang mie instan dan

perilaku konsumsi mie instan pada balita.

E. Ruang Lingkup

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan cross

sectional. Subjek penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Natar. Variabel dalam penelitian ini adalah

pengetahuan dan perilaku. Penelitian ini akan dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas Natar pada bulan Februari tahun 2021.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil

penggunaan panca inderanya, segala apa yang diketahui berdasarkan

pengalamannya yang didapatkan oleh setiap manusia. Pengetahuan juga

merupakan mengingat suatu hal, termasukmengingat kembali kejadian

yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidaksengaja dan ini

terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadapsuatu

obyek tertentu (Wahit, 2011).

Menurut Notoatmodjo dalam buku Wawan (2019) pengetahuan

merupakan sebuah hasil (tahu) setelah seseorang melakukan penginderaan

terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terhadap suatu obyek dapat

terjadi melalui panca indra diantaranya indra penglihat, pendengar,

pencium, perasa dan raba. Dalam proses penginderaan dapat dipengaruhi

oleh faktor persepsi terhadap obyek. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui alat indra penglihat dan pendengaran.

Berdasarkan pemaparan dari beberapa tokoh di atas sehingga dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah sebuah hasil yang

diperoleh oleh manusia tentang kebenarannya setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek melalui panca indra

manusia yang dalam proses penginderaan hasil dari pengetahuan

dipengarui oleh faktor persepsi terhadap obyek tersebut. Pengetahuan atau


kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang (ovent behavior) (Wawan, 2019).

Dimensi pengetahuan menurut Anderson (2010) ada empat kategori

yaitu:

1) Faktual berisi unsur-unsur dasar yang harus diketahui siswa jika mereka

akan diperkenalkan dengan satu mata pelajaran tertentu atau untuk

memecahkan suatu masalah tertentu.

2) Konsep meliputi skema, model mental atau teori dalam berbagai model

psikologi kognitif.

3) Prosedur merupakan pengetahuan tentang bagaimana melakukan

sesuatu, biasanya berupa seperangkat urutan atau langkah-langkah yang

harus diikuti.

4) Metakognitif merupakan pengetahuan tentang pemahaman umum,

seperti kesadaran tentang sesuatu dan pengetahuan tentang pemahaman

pribadi seseorang.

2. Tingkatan Pengetahuan

Taksonomi Bloom yang dikutip Djaali (2012), tingkatan pengetahuan

di bagi menjadi enam tahap yaitu:

a. Pengetahuan (knowledge) ialah kemampuan untuk menghafal,

mengingat, atau menggulangi informasi yang pernah diberikan.

b. Pemahaman (comprehension) ialah kemampuan untuk

menginterprestasi atau mengulang informasi dengan menggunakan

bahasa sendiri.
c. Aplikasi (application) ialah kemampuan menggunakan informasi, teori

dan aturan pada situasi baru.

d. Analisis (analysis) ialah kemampuan mengurai pemikiran yang

kompleks dan mengenau bagian-bagian serta hubungannya.

e. Sintesis (synthesis) ialah kemampuan mengumpulkan komponen yang

sama guna membentuk satu pola pemikiran yang baru.

f. Evaluasi (evaluation) ialah kemampuan membuat pemikiran

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

Menurut Wawan (2019) yang menjelaskan tentang 6 domain kognitif

yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat

kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide,

rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk

menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses

berfikir yang paling rendah. Dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dan seluruh

bahan ajar yang telah dipelajari atau diterima. Oleh karena itu dalam

pengetahuan tahu merupakan tingkat paling rendah. Misalnya dapat

menyebutkan kembali mata pelajaran yang sudah dipelajari pada hari

tersebut. Dengan demikian pelaku atau pelaksana dapat dikatakan tahu.


b. Memahami (comperehention)

Memahami adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau

memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan

kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat

melihatnya dari berbagai segi. Seseorang dapat dikatakan paham ketika

orang tersebut dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya tentang suatu objek

tertentu yang sudah dipelajari atau diajarkan. Dengan demikian pelaku

atau pelaksana dapat dikatakan tahu. Pemahaman merupakan jenjang

kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau

hafalan.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan

materi, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus,

teori-teorl dan sebagainya, yang sudah dipelajari pada situasi ataupun

kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini diartikan dapat menggunakan

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks

atau situasi tertentu. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir

setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau

menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang

lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian¬bagian

atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Dapat


diartikan bahwa materi yang ada dapat mendukung seseorang dalam

menyusun suatu rencana dengan tujuan memperkokoh struktur suatu

organisasi.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan

dari proses berpikir analisis. Sintesis yang dimaksud menunjukkan pada

suatu kemampuan untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-

bagian didalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis

merupakan suatu kemampuan seseorang dalam menyusun formula baru.

Formula tersebut berasal dari formula yang sudah ada namun kemudian

dikembangkan sehingga menjadi formula baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan seseorang

untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek atau materi. Penilaian

tersebut berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria yang sudah ada. Dalam hal ini pelaku evaluasi tentu saja sudah

teruji kemampuannya.

Menurut Anderson dan Krathwohl dalam Uzlifatul (2012) dimensi

proses kognitif terdiri atas beberapa tingkat yaitu:

a. Remember (mengingat) adalah kemampuan memperoleh kembali

pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang.

b. Understand (memahami) adalah kemampuan merumuskan makna

dari pesan pembelajaran dan mampu mengkomunikasikannya dalam

bentuk lisan, tulisan maupun grafik. Siswa mengerti ketika mereka


mampu menentukan hubungan antara pengetahuan yang baru

diperoleh dengan pengetahuan mereka yang lalu.

c. Apply (menerapkan) adalah kemampuan menggunakan prosedur

untuk rnenyelesaikan masalah. Siswa memerlukan latihan soal

sehingga siswa terlatih untuk mengetahui prosedur apa yang akan

digunakan untuk menyelesaikan soal.

d. Analyze (menganalisis) meliputi kemampuan untuk memecah suatu

kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-

bagian tersebut dihubungkan satu dengan yang lain atau bagian

tersebut dengan keseluruhannya. Analisis menekankan pada

kemampuan merinci sesuatu unsur pokok menjadi bagian-bagian dan

melihat hubungan antar bagian tersebut.

e. Evaluate (menilai) mencakup kemampuan untuk membentuk suatu

pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan

pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasar _criteria tertentu.

Adanya kemampuan ini dinyatakan dengan memberikan penilaian

terhadap sesuatu.

f. Create (berkreasi) didefinicikan sebagai menggeneralisasi ide baru,

produk atau cara pandang yang baru dari sesuatu kejadian.

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa tingkatan

pengetahuan di bagi menjadi 6, meliputi: 1) pengetahuan, kemampuan

seseorang untuk menghafal, mengingat, atau mengulangi informasi, 2)

pemahaman, kemampuan seseorang dalam mengulangi informasi

menggunakan bahasa sendiri, 3) aplikasi, kemampuan seseorang


menggunakan informs, teori dan aturan pada situasi baru, 4) analisis,

kemampuan seseorang mengruraikan pemikiran yang kompleks, 5)

sintesis, kemampuan geseorang dalam mengumpulkan pikiran untuk

membentuk pemikiran baru, 6) Evaluasi, kemampuan seseorang membuat

pemikiran berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Wawan (2019), dalam mendapatkan pengetahuan seseorang

akan mendapatkan beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan yang

mereka dapat. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan terdiri dari dua

kategori yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini adalah

beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan:

a. Faktor Internal.

Faktor internal terdiri dari beberapa aspek yang berada pada diri

individu masing masing yaitu:

1) Pendidikan.

Dalam pendidikan seseorang akan mendapatkan sebuah

informasi yang dapat digunakan dalam kehidupannya seperti ilmu

yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas

hidup. Selain itu dalam pendidikan dapat membentuk sebuah

karakter seseorang. Dimana karakter yang baik diterapkan dalam

pendidikan maka akan terbentuk manusia dengan akhlak yang

berbudi luhur dan berilmu. Menurut Notoadmojo yang dikutip oleh

Wawan (2019) pendidikan dapat mempengaruhi seseorang

termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam


memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan.

Menurut tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya

seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka

peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka

semakin baik pula pengetahuannya.

2) Pekerjaan.

Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama

untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya.

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak

merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dam

banyak tantangan. Sedangkakan bekerja umumnya merupakan

sebuah kegiatan yang menyita waktu. Lingkungan pekerjaan dapat

menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan

baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pekerjaan

berhubungan erat dengan faktor interaksi sosial dan kebudayaan,

sedangkan interaksi social dan budaya berhubunga erat dengan

proses pertukaran informasi (Wawan, 2019).

3) Umur.

Setiap individu yang hidup pasti akan mempunyai hitungan

umur. Dimulai dari ia dilahirkan sampai dia tutup usia. Menurut

Huclok yang dikutip Wawan (2019) semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam

berfikir dan bekerja. Dengan bertambahnya umur seseorang akan

terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental).


b. Faktor Eksternal

1) Faktor Lingkungan.

Lingkungan merupakan suatu keadaan yang berada di dalam

sekitar kita. Dalam keadaan tersebut pengetahuan dapat didapatkan.

Lingkungan sangat berperan dalam pembentukan karakter

seseorang. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan

pengaruh pertama bagi seseorang, dimana seseorang dapat

mempelajarai hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk

tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingklingan seseorang

akan memperoleh pengalanm yang akan berpengaruh pada cara

berfikir seseorang.

2) Sosial Budaya.

Sistem sosial dan budaya dalam masyarakat dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (Wawan,

2019). Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya menjaga

kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat

sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan.

Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang.

Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungatmya

dengan orang lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu

proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan. Status ekonomi

seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang


diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi

ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

B. Mie Instan

1. Pengertian Mie Instan

Mie adalah makanan cepat saji yang berbentuk adonan tipis dan

panjang serta paling popular dari semua jenis makanan cepat saji, pangan

merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari

dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kekurangan

atau kelebihan dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk dalam

kesehatan (Pritasari dkk. 2017).

Mie instan adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung

terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan

makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah

digoreng atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit (Arianto,

2013). Mie instan biasanya dikenal dengan nama ramen. Mie ini dibuat

dengan penambahan beberapa bahan lalu diproses menjadi mie segar.

Tahap – tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan, dan

pengeringan.Kadar air mie instan umumnya mencapai 5-8% sehingga

memiliki daya simpan yang sangat lama.Karenanya mie instan cenderung

rendah serat, rendah vitamin serta mineral, tetapi tinggi kalori, lemak,

natrium serta kolestrol. Untuk mengurangi dampak negatif dari

mengkonsumsi mi instan tersebut adalah dengan mengurangi pemakaian

bumbu dan membuang air rebusan, dan diganti dengan air yang baru

(Katmawanti, 2016).
2. Bahan Tambahan pada Mie Instan

a. Sodium

Sodium yang dibutuhkan dalam tubuh perhari yaitu 1500 mg.

Tetapi pada 1 cup mie instan terkandung 2700 mg sodium.Tetapi,

terlalu banyak garam tidak lagi menimbulkan bahaya yang spesifik

terhadap kesehatan (WINA, 2017).

b. Tertiary Butyl Hydroquinone (TBHQ)

TBHQ adalah pengawet kimia yang berbentuk butana yang biasa

digunakan dalam makanan, biasanya untuk memperpanjangumur

simpan makanan maka tidak heran makanan terasa nikmat dan tahan

lama. FDA TBHQ diijinkan hingga 0,02% dari total minyak dalam

makanan. Di Indonesia, nilai ADI untuk penggunaan TBHQ sebagai

BTP adalah 0-0,7 mg/Kg berat badan. TBHQ dapat mengakibatkan,

inkoherensi, tinnitus (berdering di telinga) dan muntah-muntah, asma,

rinitis dan dermatitis (Riskesdas, 2013).

c. Monosodium Glutamat (MSG)

MSG adalah penambah rasa yang dimanfaatkan oleh produsen

mie instan untuk membuat rasa mie instan semakin nikmat.MSG tidak

baik bagi sebagian populasi karena orang yang terlalu sensitive

terhadap MSG dapat mengakibatkan kemerahan pada wajah, nyeri

tubuh, dan nyeri otak (Mubarokah, 2014).

d. Propylene Glycol

Propylene glicol merupakan bahan yang berfungsi untuk

mencegah mie dari pengeringan dengan mempertahankan


kelembapan.Tubuh kita sangat mudah untuk menyerap zat ini,

mungkin lama-kelamaan dapat terakumulasi di jantung, hati dan

ginjal.Akibatnya beragam macam kelainan pada organ, dapat

melemahkan sistem kekebalan tubuh.

e. Polystyrene Packaging (Styrofoam)

Polystyrene merupakan wadah makanan berupa busa dan non-

busa dalam pembuatan satu kali pakai seperti gelas, piring, dan

peralatan makan. Zat ini senyawa aromatik karsinogenik jika

digunakan jangka panjang dapat mengakibatkan efek bruurk terhadap

kesehatan manusia.

3. Dampak Mie Instan

Dampak konsumsi mie instan berlebihan yaitu:

a. Mie instan tidak hancur dalam proses pencernaan berjam-jam.

Mie instan tidak hancur selama dua jam proses pencernaan

didalam tubuh. Bentuk mie yang masih utuh memaksakan saluran

pencernaan manusia bekerja ekstra untuk memecahkan makanan

tersebut. Jika mie instan tetpdalam saluran pencernaan untuk waktu

yang lama, akan berdampak pada penyerapan nutrisi makanan lain.

Selain itu didalam mie instan juga tidak ada nutrisi yang dapat diserap

tubuh. Sebaliknya, tubuh akan menyerap zat aditif, termasuk zat

beracun dari bahan pengawet , seperti TBHQ.


b. Pengawet TBHQ sangat berbahaya bagi tubuh

TBHQ merupakan bahan kimia yang memiliki fungsi

antioksidan.Tetapi, TBHQ berasal dari bahan kimia sintetis bukan

antioksidan alami.Zat ini berfungsi untuk mencegah oksidasi lemak

dan minyak.sehingga memperpanjang masa simpan makanan atau

biasa disebut pengawet makanan.TBHQ biasa digunakan dalam

makanan olahan instan. Tetapi, bahan kimia ini juga bias ditemukan

dalam non-makanan. seperti pestisida, kosmetik, parfum, karena

sifatnya mengurangi tingkat penguapan. Efek terlalu sering

mengonsumsi TBHQ adalah mual disertai muntah, mengigau, sesak

napas, inkoherensi, jatuh, tinnitus (berdering di telinga), asma, rinitis

dan dermatitis (WINA, 2017).

c. Styrofoam mengahantar zat berbahaya pada makanan

Styrofoam merupakan bahan kimia organic yang tidak dapat

terurai menggunakan alat. Styrooam terbuat dari bahan yng memiliki

kandungan benzene yang berbentuk butiran styrene, styrene terebut

bersifat mutagenic (mampu mengubah gen) dan potensial karsinogen

sehingga semaki ama suatu makanan dikemas dengan Styrofoam yang

suhunya semakin tinggi semakin besar pula perpindahan bahan kimia

yang bersifat toksik tersebut kedalam makanan atau minuman yang

dkemas apalagi jika makanan tersebut mengandung lemak dan minyak.

sedangkan benzene ialah bahan kimia yang menimbulkan penyakit

berupa badan geetar, mudah gelisah, sulit tidur, mempercepat denyut


jantung mengganggu system saraf membuat mudah lelah (Cindy,

2016).

d. Mie instan timbulkan gangguan metabolisme

Seseorang yang mengkonumsi mie instan lebih dari dua kali

dalam seminggu beresiko mengalami gangguan metabolisme, yaitu

gejala tubuh seperti obesitas, tekanan darah tinggi, peningkatan kadar

gula darah, dan kolestrol. Para konsumen mie instan memiliki asupan

nutrisi lebih rendah, seperti protein, kalsium, fosfor, zat besi, kalium,

vitamin A, niasin, dan vitamin C. hal tersebut diperparah dengan

temuan zat benzopyrene (zat penyebab kanker). Selain itu, penyebab

penyakit yang berasal dari mie instan adalah MSG dan natrium

tripolifosfat. Apabila dikonsumsi dalam jangka panjang akan

mengakibatkan kanker getah bening, disfungsi otak dan kerusakan

berbagai organ (Katmawanti, 2016). Zat ini juga dapat menimbulkan

penyakit seperti Alzheimar dan pakinson.

C. Perilaku

1. Pengertian Perilaku

Perilaku adalah respon terhadap suatu stimulus atau objek yang

berkaitan dengan sehat-sakit dan faktor yang mempengaruhi seperti

lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata

lain adalah kegiatan seseorang yang dapat diamati ataupun tidak yang

berkaitan dengan tingkat kesehatannya (Huh et al. 2017).


Perilaku adalah suatu respon yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, layanan kesehatan, makananserta lingkungan. Respon yang

terkait disini yaitu bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, sikap) dan bersifat

aktif (tindakan dan praktek) (Iniabong, 2017).

2. Bentuk Perilaku

Menurut Hendra (2013), Perilaku manusia dapat dibentuk dan

dipelajari, beberapa cara terbentuknya perilaku seseorang antara lain :

a. Kebiasaan, terbentuknya perilaku karena kebiasaan yang sering

dilakukan, misal menggosok gigi sebelum tidur, dan bangun pagi

sarapan pagi.

b. Pengertian (insight) terbentuknya perilaku ditempuh dengan

pengertian, misalnya bila naik motor harus menggunakan helm, agar

jika terjadi sesuatu dijalan, bisa sedikit menyelamatkan anda.

c. Pengguanaan model, pembentukan perilaku ini, contohnya adalah ada

seseorang yang menjadi sebuah panutan untuk seseorang mau

berperilaku seperti yang dia lihat saat itu.

3. Pengukuran Perilaku

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui

dua cara, secara langsung, yakni dengan pengamatan (obsevasi), yaitu

mengamati tindakan dari subyek dalam rangka memelihara kesehatannya.

Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat

kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaanpertanyaan

terhadap subyek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan


obyek tertentu (Ratnasari, 2012). Kriteria perilaku yaitu menghasilkan

positif dan negative, dengan menggunakan kategori ketentuan selalu,

sering, jarang, tidak pernah. Dimana pemberian skor menurut Riyana

(2013) sebagai berikut:

a. Pernyataan perilaku positif

- Selalu (SL) =4

- Sering (SR) =3

- Jarang (JR) =2

- Tidak Pernah (TP) =1

b. Pernyataan perilaku negatif

- Selalu (SL) =1

- Sering (SR) =2

- Jarang (JR) =3

- Tidak Pernah (TP) =4

4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut Lawrence Green (2011), perilaku diperilaku oleh 3 faktor utama,

yaitu:

a. Faktor Predisposisi

Faktor yang mempermudah terjadinya perilaku sesorang yang

mencakup usia, pengetahuan, sikap, pendidikan, social ekonomi,

kepercayaan keyakinan.
b. Faktor Pemungkin

Faktor dimana perubahan perilaku dapat terwujud yang mencakup

sarana dan prasarana seperti uang, swalayan yang dapat menjadi factor

bagi individu untuk berperilaku.

c. Faktor Penguat

Faktor yang diperoleh dari orang dekat dan adanya dukungan

sosial yang diberikan ke individu seperti seperti teman sebaya, orang

tua, toga, toma yang memperkuat akan terjadinya perilaku

D. Penelitian Terkait

1. Nurul Wandasari (2014) dengan judul Hubungan Pengetahuan Ibu

Tentang Mie Instan Dan Perilaku Konsumsi Mie Instan Pada Balita Di

RW. 04 Perumahan Villa Bala. Hasil uji statistik menunjukkan adanya

hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu tentang mie instan dan

perilaku konsumsi mie instan (p< 0,05), nilai r hitung (0,849) lebih besar

dari nilai r tabel (0,266) yang memiliki hubungan korelasi sangat kuat.

2. Mar’atul Husna (2018) dengan judul Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu

Dengan Cara Penyajian Mie Instan Pada Siswa SD Muhammadiyah 16

Karangasem Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak

38 subjek (61,29%) pengetahuan gizi ibu tentang mie instan termasuk

dalam kategori baik dan 24 subjek (38,70%) dalam kategori kurang

sedangkan cara penyajian mie instan sebanyak 54 subjek (87,09%)

menghidangkan mie instan menggunakan lauk sumber protein atau

sayuran dan 8 subjek (12,90%) tidak menghidangkan lauk sumber protein


atau sayuran. Tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan cara

penyajian mie instan dengan nilai p value = 0,700.

3. Bulan Putri Intan Raissa Cindy (2016) dengan judul Hubungan Konsumsi

Mie Instan Dengan Status Gizi Pada Balita Usia 24 – 59 Bulan Di Desa

Jamus Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, Indonesia Tahun 2015.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan kecukupan energi

dan protein balita dengan status gizi balita di Desa Jamus, (nilai p =

0,0001 ; = 0,544) untuk kecukupan energi balita dengan status gizi, (nilai

p = 0,045 ; = 0,303) untuk kecukupan protein balita dengan status gizi

balita. 5. Tidak ada hubungan kontribusi energi dan protein Mie Instan

status gizi balita di Desa Jamus, (nilai p = 0,426 ; = -0,123) untuk persen

kontribusi energi mie instan bdengan status gizi balita, (nilai p = -0,054 ;

= -0,054) untuk persen kontribusi protein mie instan dengan status gizi

balita.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan

untuk mengidentifikasi variable-variabel yang akan diteliti (diamati) yang

berkaitan dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk

menggabungkan kerangka konsep penelitian (Notoatmodjo, 2018).


Gambar 2.1
Kerangka Teori

Predisposing Genetics
HEALTH
PROGRAM

Educational Reinforsing Behavior


Strategiex

Quality
Health of life
Policy
Regulation Enabling Environment
Organization

Sumber: Teori Lawrence Green dalam buku Health Program Planning


(Green, 2011)

F. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep-konsep atau variable-variabel yang akan diamati (diukur) melalui

penelitian yang dimaksud (Natoatmodjo, 2018).

Gambar 2.2
Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Pengetahuan Perilaku

G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.

Biasanya hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk ada hubungan antara dua
variable, variable bebas dan variable terikat (Notoatmodjo, 2018). Hipotesis

pada penelitian ini adalah

Ha : ada hubungan pengetahuan ibu tentang mie instan dan perilaku konsumsi

mie instan pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Natar Kabupaten

Lampung Selatan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan

penelitian cross sectional. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross

sectional, yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara

faktor-faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach)

(Notoatmodjo, 2018)

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2021 di Wilayah Kerja

Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2018).

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan.

2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2018). Sampel dalam

penelitian ini menggunakan sampel minimal. Sebagaimana

dikemukakan oleh Baley dalam Mahmud (2011) yang menyatakan

bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisis data statistik,

ukuran sampel paling minimum adalah 30. Jadi jumlah sampel dalam

penelitian ini dalah 30 ibu yang memiliki balita.

Teknik pengambilam sampel dalam penelitian ini menggunakan

accidental sampling. Accidental sampling adalah pengambilan sampel

berdasarkan subjek yang ada saat berlangsungnya penelitian.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel dependent : perilaku ibu

2. Variabel independent : Pengetahuan

E. Definisi Operasional

Definisi operasional yang terkait dalam penelitian ini adalah :

Tabel 3.1
Definisi operasional variabel

Definisi Skala
No Variabel Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
1 Dependen (y) Tindakan ibu Kuesioner Mengisi 0. Baik, jika skor Ordinal
Perilaku ibu dalam memberikan Kuesioner ≥80%
makanan berupa 1. Kurang baik,
mie instan kepada jika skor <80%
anak nya yang
masih berusia
balita
2 Independen (x)
Tingkat Tingkat Kuesioner Mengisi 0. Baik : Ordinal
pengetahuan pemahaman Kuesioner Hasil persentase
responden 76% - 100%
mengenai mie 1. Cukup :
instan Hasil persentase
56% - 75%
2. Kurang :
Hasil persentase
<56%

F. Pengumpulan Data.

1. Instrumen

Instrumen penelitian adalah alat pengumpul data yang digunakan untuk

mengukur variabel – variabel yang diteliti yang didasarkan pada teori –

teori yang ada, instrumen berupa kuesioner yang akan diisi oleh ibu yang

memiliki balita di Wilayah Kerja Puskesmas Natar. Instrumen yang

digunakan untuk mengambilan data pada penelitian ini adalah lembar

kuesioner dengan pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup memuat

sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden, dimana jawaban

dari pertanyaan tersebut sudah disediakan oleh peneliti. Proses

pengembangan instrumen :

1) Uji Validitas.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat

validitas atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid

atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang

kurang valid berarti memiliki validitas yang rendah (Arikunto, 2006).

Pengujian validitas item-item kuesioner, dilakukan menggunakan

program SPSS untuk windows mengacu pada penjelasan Arikunto yang

mengatakan bahwa jika koefisien korelasi antara skor item dengan skor

total yang diperoleh (r hitung) lebih besar atau sama dengan koefisien

ditabel nilai-nilai r (r tabel) pada α= 5% maka item tersebut dinyatakan


valid, dan sebaliknya item tersebut dinyatakan gugur bila r hitung lebih

kecil daripada r tabel (Arikunto, 2010). Agar diperoleh distribusi nilai

hasil pengukuran mendekati normal, maka sebaiknya jumlah responden

untuk uji coba paling sedikit 30 orang (Sugiyono, 2016).

2) Uji Reliabilitas

Reliabilitas (keandalan) adalah kesamaan hasil pengukuran atau

pengamatan bila fakta atau kesamaan hidup diukur berkali-kali. dalam

waktu yang berlainan. Pertanyaan yang sudah valid dilakukan uji

reliabilitas dengan cara membandingkan r tabel dengan r hasil. Jika

nilai r hasil alpha yang terletak diawal output dengan tingkat

kemaknaan 5% (0,05) maka setiap pernyataan-pernyataan kuesioner

dikatakan valid, jika r alpha lebih besar dari konstanta (0,6) maka

pernyataan-pernyataan tersebut reliabel. Instrumen dikatakan reliabel

bila nilai r alpha > 0,60 atau mendekati 1 (Arikunto, 2010).

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan dalam

mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian ini.

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan memberi

kuisioner pada responden dan merupakan data primer.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu langkah yang penting hal ini

disebabkan karena data yang diperoleh langsung dari penelitian masih

merupakan data mentah belum memberikan informasi apapun dan belum siap

untuk disajikan. Untuk memperoleh penyajian data sebagai hasil yang berarti
dan kesimpulan yang baik, diperlukan pengolahan data (Notoatmodjo, 2018),

Beberapa teknik pengolahan data yaitu :

a Editing

Upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau

dikumpulkan. Dilakukan pada tahap pengumpulan data. Dari hasil

penelitian yang telah dilakukan maka penulis melakukan editing dengan

cara :

1) Mengkoreksi kejelasan pengisian jawaban yang dilakukan oleh

responden, pertanyaan telah terisi semua dan jelas, mudah terbaca

sehingga dapat dimasukkan dalam tabel pegolahan

2) Mengoreksi kembali pertanyaan yang dibuat bersangkut paut atau

relevan dan konsisten dengan tujuan dari penelitian yang dibuat.

3) Semua data yang sudah dikoreksi kemudian dimasukkan ke tabel

pengolahan.

b Coding

Merupakan kegiatan pemberian kode numerik. Pemberian kode ini sangat

penting karena pengolahan dan analisa data menggunakan program

komputer.

c Proccesing

Data yang telah dimasukkan diperiksa kembali untuk memastikan bahwa

data telah bersih dari kesalahan, baik pada waktu pengkodean maupun

dalam waktu membaca kode, sehingga siap untuk dianalisa. Data – data

yang telah berbentuk angka kemudian di tabulasi dengan bantuan program

komputer.
d Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah

ada kesalahan atau tidak.

e Tabulating

Memasukkan data jawaban responden dalam tabel sesuai dengan skor

jawaban kemudian dimasukkan dalam tabel distribusi frekuensi yang telah

disiapkan.

H. Analisis Data

Pada penelitian ini, data yang sudah terkumpul selanjutnya diolah dan

dianalisis dengan teknik statistik. Proses pemasukan data dan pengolahan data

menggunakan aplikasi perangkat lunak komputer dengan menggunakan

program SPSS. Penelitian ini menggunakan dua cara dalam menganalisis data

yaitu analisis data Univariat dan Bivariat.

1. Analisa univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan dari

variabel terikat dan variabel bebas. Pada umumnya analisis ini

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel

(Notoatmodjo, 2010).

2. Analisa bivariat

Analisisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa bivariat. Analisa

bivariat adalah analisa yang dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan

hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Teknik yang

digunakan untuk analisis bivariat ini adalah uji Chi Square (x2) pada α 5%

dengan derajat kepercayaan 95%, sehingga jika nilai p ≤ 0,05 berarti


perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan hubungan

antara variabel bebas dengan variabel terikat.

DAFTAR PUSTAKA
A.Wawan & Dewi M. 2019. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan
Perilaku Manusi.Cetakan II. Yogyakarta : Nuha Medika.
Arianto, Nurcahyo Tri. (2013). Pola Makan Mie Instan: Studi Antropologi Gizi
PAda Mahasiswa Antropologi Fisip Unair. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-
Juni 2013, hal. 27
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Cindy, Bulan Putri Intan Raissa. (2016). Hubungan Konsumsi Mie Instan Dengan
Status Gizi Pada Balita Usia 24 – 59 Bulan Di Desa Jamus Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak, Indonesia Tahun 2015. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal) Volume 4, Nomor 2, April 2016 (ISSN: 2356-
3346)
Djaali. 2015. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Green, Lawrence. (2011).  Health Promotion Planning An Educational and.
Environmental Approach. Mayfield Publishing Company.
London: Mountain View-Toronto.
Hendra, Agus. (2013). Hubungan frekuensi konsumsi mie instan dengan
komposisi tubuh pada siswi kelas 3 SMAN 12 Banda Aceh. Jurnal Jurusan
Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh.
Huh, In Sil et al. (2017). Instant noodle consumption is associated with
cardiometabolic risk factors among college students in Seoul. Nutrition
Research and Practice 2017;11(3):232-239
Iniabong A. Charles. (2017). Health risk assessment of instant noodles commonly
consumed in Port Harcourt, Nigeria. Research Article Environ Sci Pollut
Res.
Katmawanti, Septa. (2016). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pola Konsumsi
Mie Instan Pada Mahasiswa Di Universitas Negri Malang. Jurnal Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang.
Mubarokah, Aini. (2014). Hubungan Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan
dengan Konsumsi Mie Instan pada Santriwati SMA Pondok Pesantren Asy
SyarifahMranggen Demak. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang April 2014, Volume 3, Nomor 1
Notoatmodjo S. 2011. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Notoatmodjo,S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Pritasari dkk. (2017). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Diakses dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/
11/gizi-dalam-daur-kehidupan-final-SC.pdf pada tanggal 28 Januari 2021
Ratnasari, Dewi Kristina. (2012). Gambaran kebiasaan konsumsi mie instan pada
anak usia 7-12 tahun studi di sekolah dasar kanisius tlogosari kulon
semarang. Journal of Nutrition College, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012.
Riska, Riyana. (2013). Hubungan antara konsumsi mie instan, asupan (energi,
Protein, vitamin a dan fe) dan status gizi laki-laki usia 19-29 tahun di
pulau sumatra (analisis data sekunder Riskesdas 2010). Jurnal Nutrire
Diaita Volume 5 Nomor 1, April 2013
Riskesdas. (2013). Konsumsi Makanan Olahan dari Tepung Tahun 2013. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sugiyono 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta.
World Instan Noodle Assosiation (WINA). (2017). Global Demand For
InstantNoodles. http://instantnoodles.org/en/noodles/market.html. Diakses
pada tanggal 28 Januari 2021

Anda mungkin juga menyukai